Anda di halaman 1dari 191

BUKU AJAR

HUKUM PIDANA LANJUTAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

TAHUN 2016

i
BUKU AJAR
HUKUM PIDANA LANJUTAN

Planning Group
Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H., M.S.
Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H.
A.A. Ngurah Wirasila, S.H., M.H.
I Gusti Ngurah Parwata, S.H., M.H.
Sagung Putri M.E Purwani, S.H., M.H.
I Made Walesa Putra, S.H., M.Kn.
Diah Ratna Sari Hariyanto, S.H., M.H

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
ii
KATA PENGANTAR PENYUSUN

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat karunia-
Nya, Buku Ajar Hukum Pidana Lanjutan berhasil diselesaikan. Buku Ajar mata
kuliah Hukum Pidana Lanjutan ini dimaksudkan sebagai buku pedoman
pelaksanaan proses pembelajaran, baik untuk mahasiswa maupun bagi dosen
dan tutor, sehingga diharapkan pelaksanaan perkuliahan berjalan sesuai dengan
rencana dan jadwal yang ditentukan di dalam Buku Ajar.
Substansi Buku Ajar meliputi identitas mata kuliah beserta tim pengajar,
diskripsi substansi perkuliahan, capaian pembelajaran (CP), manfaat mata kuliah,
persyaratan mengikuti mata kuliah, organisasi materi, metode, strategi, dan
pelaksanaan proses pembelajaran, tugas-tugas, ujian-ujian, penilaian, dan bahan
pustaka. Selain itu, terdapat pula kegiatan pembelajaran yang dilakukan pada
setiap pertemuan berdasarkan pada jadwal kegiatan pembelajaran (jadwal
perkuliahan). Buku Ajar ini juga dilengkapi dengan Silabus, RPP, dan Kontrak
Kuliah. Buku Ajar Hukum Pidana Lanjutan ini memuat materi-materi dalam hukum
pidana lanjutan sebagai keberlanjutan dari mata kuliah hukum pidana, sehingga
secara teoritis memperoleh pemahaman yang utuh mengenai hukum pidana.
Buku ajar ini juga dilengkapi dengan latihan soal-soal berupa kasus-kasus yang
akan didiskusikan. Hal ini tentu akan menambah kemampuan dalam menganalisa
dan secara praktis dapat memecahkan permasalahan atau kasus-kasus yang
terjadi di dalam masyarakat.
Dalam proses penyusunan Buku Ajar Hukum Pidana Lanjutan ini, banyak
pihak yang telah membantu dalam pelaksanaannya. Untuk itu dalam kesempatan
ini kami menyampaikan rasa terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan para Wakil Dekan Fakultas
Hukum Universitas Udayana, dan
2. Para pihak yang telah membantu penyelesaian buku ajar ini.
Akhirnya, mohon maaf atas segala kekurangan dan kelemahan pada buku
ajar ini. Besar harapan penulis semoga Buku Ajar Hukum Pidana Lanjutan ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Denpasar, 10 Oktober 2016


Tim Penyusun
iii
KATA PENGANTAR
DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nyalah telah tersusun Buku Ajar Hukum Pidana Lanjutan ini. Kami atas
nama lembaga Fakultas Hukum Universitas Udayana menyambut baik terbitnya
buku ajar ini. Buku ajar merupakan salah satu instrumen di dalam penguatan
kurikulum.
Buku ajar juga merupakan media yang sangat penting baik bagi mahasiswa
dan dosen, untuk digunakan sebagai pedoman dalam penyampaian mata kuliah.
Keberadaan buku ajar sangat diperlukan dalam proses belajar-mengajar. Tujuan
pembuatan buku ajar ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas proses belajar
mengajar dan lulusan Fakultas Hukum Universitas Udayana. Dengan pola
penyusunan buku ajar yang berbasis KKNI yang mengarah pada learning
outcome tentu akan mengarahkan pada pencapaian lulusan yang unggul, mandiri,
dan berbudaya, serta memiliki kemampuan kompetitif atau daya saing.
Penyusunan buku ajar ini melibatkan banyak pihak. Oleh karena itu, kami
mengucapkan terimakasih untuk pihak-pihak yang berkontribusi dalam
penyusunan Buku Ajar Hukum Pidana Lanjutan ini. Kritik dan saran yang
membangun tentu diperlukan dalam penyempurnaan. Akhir kata, semoga buku ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Denpasar, 18 Oktober 2016


Dekan, Fakultas Hukum Universitas Udayana

Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., M.Hum


NIP.19650221 199003 1 005

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .................................................................................... i


KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
I. IDENTITAS MATA KULIAH .......... ......................................................... 1
II. DISKRIPSI SUBSTANSI PERKULIAHAN .............................................. 1
III. CAPAIAN PEMBELAJARAN (CP) ......................................................... 1
IV. MANFAAT MATA KULIAH .................................................................... 2
V. PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH ........................................ 2
VI. ORGANISASI MATERI .......................................................................... 3
VII. METODE, STRATEGI, DAN PELAKSANAAN PROSES
PEMBELAJARAN ................................................................................... 3
VIII. TUGAS-TUGAS ..................................................................................... 4
IX. UJIAN-UJIAN DAN PENILAIAN ............................................................. 4
X. BAHAN PUSTAKA ................................................................................ 5
XI. JADWAL PERKULIAHAN ...................................................................... 7
BAB I PERCOBAAN/POGING ........................................................................ 9
PERTEMUAN I : PERKULIAHAAN I (PERCOBAAN/POGING) ... 9
PERTEMUAN II : TUTORIAL I .................................................... .. 33
BAB II PENYERTAAN/DEELNEMING ........................................................... 38
PERTEMUAN III : PERKULIAHAAN II (PENYERTAAN/
DEELNEMING) ................................................ 38
PERTEMUAN IV : TUTORIAL II .. .................................................. 58
BAB III (PEMBANTUAN/MEDEPLIGHTIGHEID) ............................................ 61
PERTEMUAN V : PERKULIAHAAN III (PEMBANTUAN/
MEDEPLIGHTIGHEID) .................................... 61
PERTEMUAN VI : TUTORIAL III ...................................................... 71

PERTEMUAN VII : UJIAN TENGAH SEMESTER ...................................... 73

BAB IV PERBARENGAN/SAMENLOOP ........................................................ 74


PERTEMUAN VIII : PERKULIAHAAN IV (PERBARENGAN/

v
SAMENLOOP) .. ................................................ 74
PERTEMUAN IX : TUTORIAL IV .................................................... 93

BAB V PENGULANGAN/RECIDIVE DAN DELIK ADUAN (KLACHTDELICT) 96


PERTEMUAN X : PERKULIAHAAN V (PENGULANGAN/RECIDIVE)
DAN DELIK ADUAN (KLACHTDELICT) ........... 96
PERTEMUAN XI : TUTORIAL ........................................................ 123

BAB VI GUGURNYA HAK MENUNTUT PIDANA DAN MENJALANKAN


PIDANA SERTA GRASI, AMNESTI, ABOLISI DAN REHABILITASI .. 126
PERTEMUAN XII : GUGURNYA HAK MENUNTUT PIDANA DAN
MENJALANKAN PIDANA SERTA GRASI,
AMNESTI, ABOLISI DAN REHABILITASI ....... 126
PERTEMUAN XIII : TUTORIAL VI ................................................... 143

PERTEMUAN XIV : UJIAN AKHIR SEMESTER .................................... ...... 147

LAMPIRAN ...................................................................................................... 148


Lampiran 1. Silabus
Lampiran 2. RPP
Lampiran 3. Kontrak Kuliah

vi
HUKUM PIDANA LANJUTAN

I IDENTITAS MATA KULIAH


Nama Mata Kuliah : Hukum Pidana Lanjutan
Kode Mata Kuliah : BII3217
SKS : 2 SKS
Prasyarat: : PHI, PIH, dan Hukum Pidana
Semester : 3 (Tiga)
Status Mata Kuliah : Wajib Institusional (Universitas/Fakultas)
Tim Pengajar :
1. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H.,M.S.
2. Dr. Gde Made Swardhana, S.H.,M.H.
3. A.A. Ngurah Wirasila, S.H.,M.H.
4. I Gusti Ngurah Parwata, S.H.,M.H.
5. Sagung Putri M.E Purwani, S.H.,M.H.
6. I Made Walesa Putra, S.H.,M.Kn.
7. Diah Ratna Sari Hariyanto, S.H., M.H.

II DISKRIPSI SUBSTANSI PERKULIAHAN


Materi perkuliahan hukum pidana lanjutan lebih terfokus pada
pemahaman asas-asas hukum pidana sebagai kelanjutan dari mata
kuliah hukum pidana. Terdapat 8 (delapan) pokok bahasan yakni : 1)
Percobaan (poging); 2) Penyertaan (deelneming) ; 3) Pembantuan
(Medeplightigheid); 4) Perbarengan (samenloop) ; 5) Recidive ; 6) Delik
aduan (klac htdelict) ; 7) Gugurnya hak menuntut pidana dan
menjalankan pidana ; dan 8) Grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.

III. CAPAIAN PEMBELAJARAN (CP)

Dengan mata kuliah ini, diharapkan mahasiswa mampu


memahami mengenai : 1) Percobaan (poging); 2) Penyertaan
(deelneming) ; 3) Pembantuan (Medeplightigheid); 4) Perbarengan
(samenloop) ; 5) Recidive ; 6) Delik aduan (klachtdelict) ; 7) Gugurnya
hak menuntut pidana dan menjalankan pidana ; dan 8) Grasi, amnesti,

1
abolisi dan rehabilitasi. Dengan pemahaman mengenai 8 (delapan)
substansi pokok dalam mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan mampu
memahami secara utuh mengenai asas-asas hukum pidana sebagai
kelanjutan dari mata kuliah hukum pidana, yang menjadi fokus utama
dari mata kuliah ini. Dengan demikian, mahasiswa diharapkan mampu
menganalisa berbagai kasus-kasus pidana yang terjadi dalam
prakteknya.

IV. MANFAAT MATA KULIAH


Melalui mata kuliah ini mahasiswa dapat memperoleh manfaat
teoritis dan praktis. Manfaat teoritis, mahasiswa dapat mengetahui dan
mendalami materi-materi dalam hukum pidana lanjutan, khususnya
mengenai : 1) Percobaan (poging); 2) Penyertaan (deelneming) ; 3)
Pembantuan (Medeplightigheid); 4) Perbarengan (samenloop) ; 5)
Recidive ; 6) Delik aduan (klachtdelict) ; 7) Gugurnya hak menuntut
pidana dan menjalankan pidana ; dan 8) Grasi, amnesti, abolisi dan
rehabilitasi. Hukum Pidana Lanjutan merupakan mata kuliah yang
penting sebagai keberlanjutan dari mata kuliah hukum pidana, sehingga
secara teoritis melalui mata kuliah ini, mahasiswa memperoleh
pemahaman yang utuh mengenai hukum pidana. Secara praktis,
dengan pemahaman mengenai Hukum Pidana Lanjutan, mahasiswa
akan mampu menganalisa dan memecahkan permasalahan atau kasus-
kasus pidana yang terjadi di dalam masyarakat.

V. PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH


Mata kuliah Hukum Pidana Lanjutan merupakan mata kuliah
Wajib Institusional (Universitas/Fakultas) yang ditawarkan pada
semester 3 (tiga). Berdasarkan pada Keputusan Rektor Universitas
Udayana Nomor : 980/Un14.1.11/PP/2013 Tentang Buku Pedoman
Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2013 dan
Keputusan Rektor Universitas UdayanaNomor: 849/Un14.1.11/PP/2013
Tentang Kurikulum Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2013,
mata kuliah Hukum Pidana Lanjutan dipersyarati dengan mata kuliah
PHI, PIH, dan Hukum Pidana.
2
VI. ORGANISASI MATERI
Materi kuliah terdiri dari beberapa pokok bahasan, yang dapat
digambarkan sebagai berikut :
1) Percobaan (poging)
2) Penyertaan (deelneming)
3) Pembantuan (medeplightigheid)
4) Perbarengan (samenloop)
5) Recidive
6) Delik aduan (klachtdelict)
7) Gugurnya hak menuntut pidana dan menjalankan pidana
8) Grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi

VII METODE, STRATEGI, DAN PELAKSANAAN PROSES


PEMBELAJARAN
1. Metode Pembelajaran

Metode Pembelajaran adalah Problem Based Learning (PBL), pusat


pembelajaran ada pada mahasiswa. Metode yang diterapkan
adalah “belajar” (Learning) bukan “mengajar” (Teaching). Dosen
memfasilitasi mahasiswa untuk belajar.

2. Strategi Pembelajaran

Kombinasi perkuliahan 50 % ( 6 kali pertemuan perkuliahan ) dan


tutorial 50 % ( 6 kali pertemuan tutorial ). Satu kali pertemuan untuk
Tes Tengah semester, dan satu kali pertemuan untuk Tes Akhir
Semester. Total pertemuan 14 kali. Perkuliahan & Tutorial dalam
Mata Kuliah Hukum Pidana Lanjutan ini ini, masing-masing
direncanakan berlangsung sebanyak 6 kali pertemuan yaitu :

a. Perkuliahan : pertemuan 1, 3, 5, 7, 9 dan 11; dan


b. Tutorial : pertemuan 2, 4, 6, 8, 10, 12

3
3. Pelaksanaan Perkuliahan dan Tutorial

3.1 Strategi dan Teknik Perkuliahan.


Perkuliahan tentang sub-sub pokok bahasan dipaparkan
dengan alat bantu media papan tulis, power point slide, serta
penyiapan bahan bacaan tertentu yang dipandang sulit diakses oleh
mahasiswa. Sebelum mengikuti perkuliahan mahasiswa sudah
mempersiapkan diri (self study) mencari bahan (materi), membaca
dan memahami pokok bahasan yang akan dikuliahkan sesuai
dengan arahan (guidance) dalam Buku Ajar. Teknik perkuliahan :
pemaparan materi, tanya-jawab, dan diskusi (proses pembelajaran
dua arah).

3.2 Strategi Tutorial:

a. Mahasiswa mengerjakan tugas-tugas: (Discussion task; Study


Task dan Problem Task) sebagai bagian dari self study ( 20
jam perminggu ), kemudian berdiskusi di kelas, tutorial,
presentasi power point, dan diskusi.
b. Dalam 6 kali tutorial di kelas, mahasiswa diwajibkan :
1) Menyetor karya tulis berupa paper dan/atau tugas-tugas
lain sesuai dengan topik tutorial 1, 2, 3, 4, 5 & 6.
2) Mempresentasikan tugas tutorial dalam bentuk power point
presentation ataupun slide head projector untuk tugas
tutorial 1, 2, 3, 4, 5, dan 6.

VIII. TUGAS-TUGAS
Mahasiswa diwajibkan untuk mengerjakan, mempersiapkan, dan
membahas tugas-tugas yang ditentukan di dalam Buku Ajar. Tugas-tugas
terdiri dari tugas mandiri yang dikerjakan di luar perkuliahan, tugas yang
harus dikumpulkan, dan tugas yang harus dipresentasikan.

IX. UJIAN-UJIAN DAN PENILAIAN


a. Ujian :
Ujian dilaksanakan dua kali dalam bentuk tertulis yaitu Ujian Tengah
Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS).

4
b. Penilaian :
Penilaian Akhir dan proses pembelajaran ini berdasarkan Rumus
Nilai Akhir sesuai Buku Pedoman Fakultas Hukum Universitas
Udayana, sebagai berikut :

(UTS + TT) + (2 x UAS)


2
Nilai Akhir =
3

Skala Nilai Penguasaan Keterangan dengan skala


nilai
Kompetisi
Huruf Angka 0-10 0-100

A 4 Sangat baik 8,0-10,0 80-100

B 3 Baik 6,5-7,9 60-79

C 2 Cukup 5,5-6,4 55-64

D 1 Sangat kurang 4,0-5,4 40-54

E 0 Gagal 0,0-3,9 10-39

X. DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU

Bemmelen, Mr. J.M. van, 1987 : Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Materiil
Bagian Umum, Binacipta, Bandung.

Chazawi, Adami, 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2, Raja Grafindo


Persada, Jakarta.

_____________, 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 3, Raja Grafindo


Persada, Jakarta.

5
Kansil, C.S.T dan Kansil, Christine S.T, 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana,
Pradnya Paramita, Jakarta.

________________________________, 2007, Latihan Ujian : Hukum


Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.

Kartanegara, Satauchid, Kumpulan Kuliah Hukum Pidana, Bagian Dua,


Terbitan : Balai Lektur Mahasiswa.

Lamintang, P.A.F., 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung.

_______________, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar


Baru, Bandung.

Maramis, Frans., 2012, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia,


Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Moeljatno, 1983, Delik-Delik Percobaan dan Delik-Delik Penyertaan, Bina


Aksara, Jakarta.

________, 2008, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan, Cet.


27, Bumi Aksara, Jakarta.

Marpaung. Leden, 2009, Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar


Grafika, Jakarta

Ruba’i, Masruchin, 2014, Buku Ajar Hukum Pidana, Bayumedia Publishing,


Malang.

Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu.

Schaffmeister, D.NN.,N. Keijzer, E.PH. Sutorius, 2007, Hukum Pidana,


Editor : J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, Citra Aditya Bakti,
Bandung.

Sianturi, SR 198 Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya.


Jakarta : AHAEM PETEHAEM.

Soemadipradja. R. Achmad, 1982 : Asas-Asas Hukum Pidana, Alumni,


Bandung.

Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta :


Universitas Sebelas Maret.

Prastyo, Teguh, 2011, Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab


Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta :
Sinar Harapan.

6
Tresna, R 1959. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd

Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik
Khusus.

Usfa, A. Fuad dan Tongat, 2004 : Pengantar Hukum Pidana, Penerbitan


Universitas Muhammad Malang, Malang.

Utrecht. E, 1965 : Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Penerbitan


Universitas, Bandung.

Utrecht. E, 1965 : Hukum Pidana II, PT Penerbitan Universitas – Bandung.

Widnyana. I Made, 1992, Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika, FH Unud,


Denpasar.

II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-undang RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi jo Undang-undang


No. 5 tahun 2010 tentang Grasi.

XI JADWAL PERKULIAHAN

Jadwal perkuliahan secara rinci sebagai berikut:

NO PERTEMUAN TOPIK KEGIATAN


1 I PERCOBAAN (POGING) Perkuliahan
1
2 II PERCOBAAN (POGING) Tutorial 1

3 III PENYERTAAN (DEELNEMING) Perkuliahan


2
4 IV PENYERTAAN (DEELNEMING) Tutorial 2

7
5 V PEMBANTUAN/MEMBANTU Perkuliahan
MELAKUKAN TINDAK PIDANA 3
(MEDEPLIGHTIGHEID)
6 VI PEMBANTUAN/MEMBANTU Tutorial 3
MELAKUKAN TINDAK PIDANA
(MEDEPLIGHTIGHEID)
7 VII UJIAN TENGAH SEMESTER Terstruktur
8 VIII PERBARENGAN (SAMENLOOP) Perkuliahan
4
9 IX PERBARENGAN (SAMENLOOP) Tutorial 4
10 X PENGULANGAN (RECIDIVE) SERTA Perkuliahan
DELIK ADUAN (KLACHTDELICT) 5
11 XI PENGULANGAN (RECIDIVE) SERTA Tutorial 5
DELIK ADUAN (KLACHTDELICT)
12 XII GUGURNYA HAK MENUNTUT Perkuliahan
PIDANA DAN MENJALANKAN 6
PIDANA SERTA
GRASI, AMNESTI, ABOLISI DAN
REHABILITASI
13 XIII GUGURNYA HAK MENUNTUT Tutorial 6
PIDANA DAN MENJALANKAN
PIDANA SERTA
GRASI, AMNESTI, ABOLISI DAN
REHABILITASI
14 XIV UJIAN AKHIR SEMESTER Terstruktur

8
POKOK BAHASAN I
PERCOBAAN (POGING)

PERTEMUAN I : PERKULIAHAAN I

BAB I
PERCOBAAN (POGING)

A. Pendahuluan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP, khususnya dalam
Pasal 53 KUHP mengatur mengenai percobaan tindak pidana sebagai
perbuatan yang dapat dipidana. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh
Lamintang bahwa, pembentuk undang-undang memperluas pengertian “
pelaku “ suatu kejahatan, meskipun pelaku belum sempat menyelesaikan
apa yang hendak dilaksanakannya dan tidak melakukan semua bagian yang
yang diuraikan didalam rumusan suatu delik. Percobaan tindak pidana
dapat terjadi atau dapat dikenakan pidana jika telah memenuhi unsur-unsur
atau syarat-syarat dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP. Setelah mempelajari
materi dalam percobaan tindak pidana, Capaian Pembelajaran yang
diperoleh adalah mahasiswa menguasai pengetahuan mengenai konsep-
konsep dan peristilahan dalam Percobaan (poging) yang meliputi Unsur-
Unsur Percobaan ( Poging ), Percobaan yang tidak mampu ( Ondeugdelijke
Poging ). Percobaan (poging) perlu dipelajari lebih mendalam untuk bisa
memahami materi dalam tutorial pada pertemuan berikutnya, sehingga
kasus-kasus dalam tutorial dapat dianalisis dengan baik.

B. Istilah dan Pengertian Percobaan (Poging)


Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP )
mengancam dengan pidana tertentu suatu percobaan untuk melakukan
suatu percobaan kejahatan. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang
memperluas pengertian “ pelaku “ suatu kejahatan, meskipun pelaku belum
sempat menyelesaikan apa yang hendak dilaksanakannya dan tidak

9
melakukan semua bagian yang yang diuraikan didalam rumusan suatu
delik. Kadangkala suatu kejahatan telah mulai dilakukan, akan tetapi tidak
dapat diselesaikan sesuai dengan keinginan / maksud si pelaku, misalnya B
seorang tukang copet, pada saat akan memasukkan tangannya ke kantong
R, banyak orang mengetahui dan B ditangkap. Contoh lain misalnya : A
bermaksud mencuri dirumah X, dengan membongkar dan merusak jendela,
kemudian A masuk kerumah X, tetapi karena X terbangun dan jendela
darimana A masuk terbuka, kemudian A kepergok dan ditangkap oleh
seorang petugas ronda. Dengan melihat kedua contoh tersebut diatas,
memperlihatkan bahwa maksud si pelaku belum terlaksana, yaitu keinginan
/ maksud si A dan B untuk mencuri dan mengambil dompet dan barang /
benda R dan X belum hilang (Laden Merpaung, 2009 : 94). Menurut ilmu bahasa “
mencoba “ berarti berusaha akan mencapai satu tujuan, kadangkala tujuan
itu jadi tercapai dan kadangkala usaha itu tidak berakibat seperti dimaksud.
Lebih lanjut dari segi tata bahasa, bahwa istilah percobaan adalah “ usaha
hendak berbuat atau melakukan sesuatu dalam keadaan diuji. Sehingga
ada 2 (dua) arti percobaan, yaitu :
1). Yang dimaksud dengan usaha hendak berbuat adalah : orang
yang telah mulai berbuat ( untuk mencapai suatu tujuan ), yang
mana perbuatan itu tidak menjadi selesai. Syaratnya adalah
perbuatan telah dimulai, artinya tidaklah cukup sekedar kehendak
( alam bathin ) semata, misalnya hendak menebang pohon,
namun orang itu telah mulai melakukan perbuatan menebang,
tetapi tidak selesai sampai pohon itu tumbang. Misalnya baru
beberapa kali mengkampak, kampaknya patah atau ketahuan
oleh pemilik pohon itu, kemudian dia melarikan diri, sehingga
terhentilah perbuatan menebang. Disini mengayunkan kampak
beberapa kali itu adalah sudah merupakan percobaan dari
perbuatan menebang pohon ( Adami Chazawi (1), 2002 : 1).
2). Yang dimaksud dengan melakukan sesuatu dalam keadaan diuji
adalah : pengertian yang lebih spesifik, yaitu berupa melakukan
perbuatan atau rangkaian perbuatan dalam hal untuk menguji
suatu kajian tertentu dibidang ilmu pengetahuan tertentu,
misalnya percobaan mengembangkan suatu jenis hewan atau
10
tanaman. Pengertian ini lebih jelas, misalnya pada kata kolam
percobaan atau kebun percobaan ( Adami Chazawi (1), 2002 : 2 ).

Namun ini tidak dapat dipakai sebagai ukuran dari percobaan (


melakukan kejahatan ) sebagaimana dalam hukum pidana, oleh karena
dalam hukum pidana memiliki ukuran yang khusus untuk dapat memidana
percobaan melakukan suatu kejahatan. Pengertian percobaan menurut
Pompe merupakan “ suatu usaha tanpa hasil “, bila ditinjau dari sudut
perbuatan, maka percobaan itu merupakan “ pelaksanaan sebagian dari
rumusan delik “. Menurut van Zevenbergen, percobaan itu merupakan “
realisasi dari sebagian perbuatan “ (Mr.J.M. van Bemmelen, 1987 : 241), sedangkan
pendapat Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa “ pada umumnya kata
percobaan atau poeging berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang
pada akhirnya tidak atau belum tercapai “. Jonkers mengatakan bahwa : “
mencoba berarti berusaha untuk mencapai sesuatu, tetapi tidak tercapai “. (

Adami Chazawi (1), 2002 : 2 ). Satochid Kartanegara mengatakan bahwa percobaan


atau poging adalah “ permulaan kejahatan yang belum selesai “ ( I Made

Widnyana, 1992 : 2).

Didalam ilmu hukum pidana istilah percobaan mengandung satu arti


yang lebih sempit, yaitu satu usaha yang tidak berakibat seperti dimaksud,
jadi yang sia-sia. Percobaan ini dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu : (1).
Percobaan tertunda, padahal tidak dapat diselesaikan perbuatan yang
dilakukan untuk mencapai tujuan yang dimaksud dan (2). Percobaan gagal,
disini perbuatan diselesaikan, akan tetapi hasil yang dituju tidak tercapai
Didalam istilah bahasa Belanda, percobaan ini disebut dengan “
poging “, dapat dikatakan menurut doktrin bahwa percobaan adalah “
permulaan kejahatan yang belum selesai “ atau “ een reeds begonnen doch
nog niet voltooid mijsdrijf “. KUHP Indonesia tidak mengambil resiko dengan
menunggu sampai suatu kejahatan terjadi sepenuhnya ataupun akibatnya (
mengenai delik material ) betul-betul terjadi. Sikap ini sesuai dengan pikiran
tentang prevensi atau pencegahan yang menjadi dasar yang penting dalam
hukum pidana modern. Tetapi KUHP juga tidak mengancam segala macam
pelanggaran hukum yang baru taraf percobaan, hanya percobaan terhadap
kejahatan saja yang dapat dipidana, sedangkan percobaan terhadap

11
pelanggaran delik tidak dipidana ( Pasal 54 KUHP ). Hanya percobaan
terhadap pelanggaran hukum yang terlihat dalam Buku II KUHP diancam
dengan pidana, inipun ada beberapa pasal yang tidak mengenal percobaan,
antara lain : Pasal 184 KUHP tentang “ Perkelahian Tanding “, Pasal 302
ayat (4) KUHP tentang “ Penganiayaan Ringan Terhadap Hewan “, Pasal
351 ayat ( 5) KUHP tentang Percobaan Penganiayaan dan Pasal 352 ayat
2) KUHP tentang “ Penganiayaan Ringan“ ( Laden Merpaung, 2009 : 97 dan Adami

Chazawi (1), 2002 : 7 ).

Terhadap masalah percobaan ini ada berbagai pendapat untuk


menjawab pertanyaan : “Apakah percobaan merupakan tindak pidana /
delik tersendiri atau bukan merupakan tindak pidana / delik“ ?. Untuk
menjawab pertanyaan ini ada 2 ( dua ) pendapat, yaitu :
Pendapat 1 : Percobaan bukan sebagai tindak pidana / delik khusus
yang bukan berdiri sendiri, tetapi sebagai tindak pidana
/ delik yang tidak sempurna, hanya memperluas dapat
dipidananya orang saja( Straffausdehnungsgrund ).
Para sarjana yang menganut pendapat ini, misalnya
seperti Hazewinkel –Suringa dan Van Hattum.
Pendapat 2 : Percobaan tindak pidana / delik selesai dan berdiri
sendiri. Sebagaimana dianut oleh Prof. Moeljatno,
dengan 3 (tiga) alasan : (a). dihubungkan dengan
masalah pertanggung jawaban, tidak mungkin ada
pertanggung jawaban kalau orang tidak melakukan
perbuatan pidana ( tindak pidana / delik ), (b).
perbuatan percobaan beberapa kali dirumuskan
sebagai delik selesai, misalnya Pasal 104 – 106 – 107
KUHP mengenai “ Makar “, padahal yang dimaksud
dengan “ makar “ menurut Pasal 87 KUHPnadalah
perbuatan yang niat dan permulaan pelaksanaannya
telah nampak, (c). dalam hukum adat tidak dikenal delik
yang dirumuskan sebagai percobaan dari kejahatan
tertentu (Moeljatno (1), 1983 : 11-12 dan Laden Merpaung, 2009 : 97).

12
C. Sanksi
Masalah percobaan ini KUHP memberikan ancaman yang
maksimumnya diperingan, yaitu dikurangi sepertiganya (1/3) dari maksimum
pidana pokoknya, sedangkan terhadap ancaman pidana mati dan penjara
seumur hidup, maksimumnya menjadi 15 ( lima belas ) tahun. Pengurangan
tidak diberikan bagi pidana tambahan ( Pasal 53 ayat ( 2, 3, 4) KUHP ).
Pasal 53 KUHP menyatakan :
(1). Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah
ternyata dari adanya permualaan pelaksanaan dan tidak
selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan
karena kehendaknya sendiri
(2). Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal
percobaan dikurangi sepertiganya
(3). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas
tahun
(4). Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan
selesai (Moeljatno (2), 2008 : 24-25)

Permusan dalam redaksi Pasal 53 KUHP tersebut dianggap sebagai


“ kabur “ dan menimbulkan berbagai penafsiran. Penentuan perbuatan
mana yang merupakan percobaan bagi masing-masing kejahatan dalam
pasal-pasal KUHP diserahkan kepada ilmu hukum pidana dan jurisprudensi.
Pasal 53 ayat (1) KUHP hanya menjawab pertanyaan, yaitu : pada hal apa
satu percobaan ( yang sia-sia ) untuk melakukan suatu delik dapat dihukum
?. Dengan demikian, “ percobaan untuk melakukan kejahatan terancam
hukuman, bila maksud sipembuat sudah nyata dengan dimulainya
perbuatan itu dan perbuatan itu tidak selesai hanyalah lantaran hal yang
tidak bergantung kepada kemauan sendiri “. Oleh karena itu, 4 ( empat )
syarat yang harus dipenuhi supaya suatu percobaan untuk melakukan suatu
delik dapat dihukum, yaitu :
1). Delik yang dicoba mesti merupakan kejahatan
2). Maksud untuk melakukan kejahtan itu mesti nyata
3). Kejahtan itu mesti sudah mulai dilakukan
4). Kejahatan itu tidak diselesaikan, hanyalah karena sesuatu hal
yang tidak dikehendaki si pembuat.

13
D. Unsur-Unsur Percobaan ( Poging )

Jika kita tinjau isi Pasal 53 ayat (1) KUHP dapat diketahui adanya 3
(tiga) unsur-unsur daripada percobaan, yaitu :
a. Adanya niat / maksud / voornemen

b. Adanya suatu permulaan pelaksanaan / begin van uitvoering

c. Tidak selesainya pelaksanaan itu semata-mata bukan karena


kehendak sendiri

Ad. a). Adanya niat / maksud / voornemen, dalam teks bahasa Belanda
tertulis “ Voornemen “ yang menurut doktrin tidak lain adalah
kehendak untuk melakukan kejahatan atau lebih tepatnya adalah “
opzet “ atau “ kesengajaan “ dalam arti sempit.( Hazewinkwl-Suringa,
Jongkers, Pompe, van Hattum, van Dijck, Zevenbergen, Simons,
Wirjono Prodjodikoro dan Satochid Kartanegara ). Dalam hal opzet
atau kesengajaan itu meliputi semua jenis kesengajaan, yaitu baik
kesengajaan sebagai maksud ( Oogmerk ), kesengajaan sebagai
kesadaran kepastian / keharusan maupun kesengajaan sebagai
kemungkinan. Namun Vos berpendapat lain, bahwa yang dimaksud
dengan voornemen itu adalah hanya kesengajaan sebagai maksud (
Oogmerk ). Oleh karena itu, niat sering disamakan dengan “
kesengajaan “, sebagaimana terlihat dalam Putusan HR 6 Februari
1951, N.J. 1951, No. 475, m.o. B.V.A.R. “ Automobilist-arrest “.
Moeljatno menterjemhkan voornemen itu adalah “ niat “, yang
didalam Memory van Toelichting / MvT dikatakan adalah “ niat untuk
melakuakan perbuatan yang oleh wet dipandang sebagai kejahatan “.
Simons mengartikan “ niat “ itu tiada lain adalah kesengajaan, yang
perlu disini adalah bahwa terdakwa mempunyai kesengajaan untuk
melakukan kejahatan, termasuk dolus eventualis / kesengajaan
sebagai kemungkinan, sehingga niat itu sama dengan kesengajaan.
(lihat Mr. J.M. van Bemmelen, 1987 : 247, A. Fuad Usfa dan Tongat, 2004 : 101, Adami Chazawi
(1), 2002 : 10-11, Moeljatno (1), 1983 : 16 ).

Ad. b). Dalam adanya permulaan pelaksanaan / begin van uitvoering,


kehendak atau niat saja belum cukup bila belum adanya perwujudan

14
dari kehendak, sebab kehendak yang masih dalam pikiran itu adalah
bebas. Permulaan pelaksanaan berarti terjadinya suatu perbuatan
tertentu, maka perbuatan itulah yang dapat dipidana. Meskipun
terlihat sederhana, tetapi bila dikaji dan dicermati, ternyata cukup sulit
untuk menafsirkan apa yang dimaksud dengan “ permulaan
pelaksanaan “. Apakah suatu “ permulaan pelaksanaan kehendak “
atau “ permulaan pelaksanaan kejahatan “. Untuk itu maka timbul
berbagai teori atau diserahkan kepada teori. Seperti halnya dengan
masalah kausalitas atau sebab – akibat, maka kalau akibat dapat
direntang memanjang ke belakang, penyebabnya pun dapat pula
direntang memanjang ke depan. Dalam hal perbuatan-perbuaan yang
mendahului suatu hal atau akibat yang dapat dipidana, dapat
dikatakan adanya : (1). Perbuatan persiapan
(voorbereidingshandelingen) dan (2). Permulaan pelaksanaan
(begin van uitvoering ), akan tetapi dimana batas antara keduanya ?.
Dari sudut proses / tata urutan, permulaan pelaksanaan ( begin van
uitvoering ) adalah berada diantara perbuatan persiapan ( saat
setelah terbentuknya kehendak ) dengan perbuatan pelaksanaan
atau dengan kata lain perbuatan pelaksanaan itu harus dimulai
dengan permulaan pelaksanaan. Jika diurut proses melakukan tindak
pidana ( yang dolus ), maka proses itu dimulai dari terbentuknya niat /
kehendak, kemudian perbuatan persiapan, lanjut dengan perbuatan
pelaksanaan, barulah dilihat : apakah dari perbuatan pelaksanaan itu
menghasilkan tindak pidana sempurna seperti yang dinginkan /
dikehendaki atau tidak. Apabila pada ujung perbuatan pelaksanaan
menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan kehendak bathin, maka
terjadi tindak pidana selesai. Tetapi bila menghasilkan sesuatu yang
tidak sesuai dengan kehendak bathin yang telah terbentuk semula,
artinya kehendak tidak tercapai, keadaan inilah yang disebut dengan
“ pelaksanaan tidak selesai “, maka disini telah terjadi suatu
percobaan yang pelaksanaannya tidak selesai atau kehendak bathin
tidak tercapai karena sebab bukan dari kehendak sendiri. (Adami Chazawi

(1), 2002 : 19-20).

15
Tentang percobaan dapat dipidana, terdapat 2 (dua) pandangan atau
teori, yaitu :
1). Teori yang subjektif ( Subjectieve Pogingstheorie ) mengatakan bahwa “
yang melakukan percobaan harus dipidana, oleh karena orang tersebut
bersifat berbahaya “. Teori ini menekankan pada niat yang terlihat dari
kelakuan dari si pelaku. Pada umumnya untuk hukum, niat adalah
irrelevan, sehingga tidak ada alasan untuk mengurangi maksimum
pidana bagi percobaan, pendirian ini dianut oleh Van Hamel dan Von
Liszt. Didalam ajaran ini, permulaan pelaksanaan adalah : “ apabila dari
wujud perbuatan yang dilakukan telah nampak secara jelas niat atau
kehendaknya untuk melakukan suatu tindak pidana “. Misalnya : “ ada
orang yang tidak biasanya berurusan dengan dengan senjata tajam,
suatu hari tiba-tiba orang itu mengasah sebuah parang, dari mengasah
parang ini telah tampak adanya niat untuk melakukan suatu kejahatan
dengan parang yang diasah itu “
2). Teori yang objektif ( Objectieve Pogingstheorie ), mengatakan bahwa “
dasar untuk memidana percobaan adalah karena berbahayanya
perbuatan yang dilakukan “, pendirian ini dianut oleh Simons, Duynstee.
Didalam ini, adanya permulaan pelaksanaan “ apabila dari wujud
perbuatan itu telah tampak secara jelas arah satu-satunya dari wujud
perbuatan, yaitu pada tindak pidana tertentu “. Misalnya seseorang
dihadapan orang yang dibencinya telah mengokang pistolnya dengan
mengarahkan moncong senjata itu kepada orang yang dibencinya.
Mengokang pistolnya dianggap merupakan permulaan pelaksanaan dari
kejahatan, sedangkan menarik pelatuk pistolnya adalah merupakan
perbuatan pelaksanaan pembunuhan (Moeljatno (1), 1983 : 22, R. Achmad Soema Di

Pradja, 1982 : 261-262, Adami Chazawi (1), 2002 : 17).

Prof. Moeljatno berpendapat lain, beliau mensyaratkan 3 (tiga) hal,


yaitu :
a). Secara objektif : apa yang dilakukan terdakwa harus
mendekatkan kepada delik yang dituju, harus mengandung
potensi untuk meujudkan delik.

16
b). Secara subjektif : ditinjau dari sudut niat, harus tidak ada
keraguan lagi bahwa yang dilakukan terdakwa ditujukan /
diarahkan kepada delik tersebut.
c). Apa yang dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan
melawan hukum. (Moeljatno (1), 1983 : 28-29)
Selanjutnya perlu dicatat, bahwa oleh karena delik yang dituju tidak
diketahui lebih dahulu, bahkan harus ditetapkan antara lain “ dengan
mengingat perbuatan yang dilakukan “, maka istilah permulaan pelaksanaan
pada Pasal 53 KUHP tidak mungkin mempunyai arti yang tetap. Untuk itu
diperlukan bukti-bukti terlebih dahulu. MvT menentukan bahwa perbuatan
persiapan ( voorbereidings handeling / act of preparation ) tidak dapat
dipidana, sedangkan perbuatan permulaan pelaksanaan ( uitvoerings
handeling ) dapat dipidana.
Contoh : A. berkehendak untuk membunuh B. Perbuatan-perbuatan
yang mendahului dapat diperinci sebagai berikut :
a. Membeli sebuah parang atau golok

b. Membawa parang atau golok itu pulang kerumah

c. Sementara disimpan dirumahnya

d. Merencanakan bagaimana melaksanakan kehendaknya

e. Membawa parang atau golok kearah rumah B

f. Mengeluarkan parang atau golok itu dari sarungnya

g. Mengarahkan parang atau golok itu kepada B

h. Mengayunkan parang atau golok itu ke leher B (Lihat I Made Widnyana, 1992 : 5).

Dari urutan perbuatan tersebut diatas, maka marilah kita coba


menerapkan teori-teori tersebut diatas :
1). Menurut teori percobaan subjektif, maka perbuatan sejak pada (a
 membeli sebuah parang atau golok ) sudah merupakan
perbuatan yang dapat dimasukkan sebagai permulaan
pelaksanaan, sehingga dapat dipidana. A telah menunjukkan
kehendaknya yang jahat dan berbahaya

17
2) Menurut teori percobaan objektif, maka perbuatan dari (a 
membeli sebuah parang atau golok ) sampai (c  sementara
menyimpan parang atau golok dirumahnya) belum dapat
dimasukkan sebagai permulaan pelaksanaan, oleh karena
membeli dan menyimpan parang atau golok belum merupakan
perbuatan yang membahayakan kepentingan B, bahkan sampai
perbuatan (e  membawa parang atau golok ke arah rumah B) ,
juga belum merupakan perbuatan yang membahayakan
kepentingan hukum B, sehingga belum dapat dipidana.

Van Hamel sebagai penganut teori subjektif mengatakan : “


permulaan pelaksanaan itu ada, bila dari perbuatan itu telah terbukti
kehendak yang kuat dari pelaku untuk melaksanakan perbuatannya. Jadi
disini, perbuatan (a  membeli sebuah parang atau golok) sampai (c 
sementara menyimpan dirumahnya) belum merupakan petunjuk yang kuat
sebagai permulaan pelaksanaan, baru pada perbuatan (f  mengeluarkan
parang atau golok itu dari sarungnya) terbukti adanya kehendak yang kuat
tersebut “. Prof. Simons sebagai penganut teori objektif membedakan untuk
delik formal dan delik material. Untuk delik formal, maka permulaan
pelaksanaan terjadi bila perbuatannya merupakan sebagian dari perbuatan
yang terlarang, sedangkan untuk delik material, permulaan pelaksanaan itu
ada, bila perbuatan itu sifatnya adalah sedemikian rupa, sehingga secara
langsung menimbulkan akibat yang terlarang. Dalam hal ini barulah
perbuatan (g  mengarahkan parang atau golok kepada B ) yang
merupakan permulaan pelaksanaan.(Moeljatno (1), 1983 : 22-24).
VOS berpendapat bahwa permulaan pelasanaan adalah apabila
perbuatan itu mempunyai sifat terlarang terhadap kepentingan hukum, jadi
dalam hal tersebut diatas barulah pada perbuatan ( f  mengeluarkan
parang atau golok dari sarungnya ) merupakan perbuatan permulaan
pelaksanaan. Pompe berpendirian bahwa perbuatan permulaan
pelaksanaan ada, apabila bagi orang normal perbuatan itu memungkinkan
terjadinya suatu delik. Jadi dalam contoh tersebut diatas, baru pada
perbuatan (f  mengeluarkan parang atau golok dari sarungnya ).

18
Dari pemaparan tersebut diatas, dikalangan para sarjana hukum
banyak yang berpendapat bahwa sebenarnya kurang ada gunanya untuk
membedakan pendirian yang subjektif maupun yang objektif, sebab
kenyataannya masing-masing tidak terlalu sempit memberikan penafsiran.
Demikian juga bila dilihat dari Memorie van Toelihgting ( MvT ) dan KUHP
tidak jelas pendiriannya, yaitu apakah menganut teori yang subektif atau
yang objektif. Sekarang kita hendak meninjau sikap jurisprudensi terhadap
hal ini, dimana pada tanggal 29 Oktober 1934, N.J. 1934, hal. 1673, m. o. T.
Hoge Raad ( HR ) membuat keputusan yang sangat sempit, yang terkenal
dengan sebutan “ Eindhovense brandstich-tings Arrest “ ( Arest
Pembakaran di Eindhoven ) yang kasusnya sebagai berikut :
“ Terdakwa H hendak membakar rumah yang didiami oleh R, yang
rupanya dengan persetujuan R, sebab R pada malam itu pergi keluar
kota, lalu H masuk kerumah itu serta meletakkan pakaian-pakaian tua
dan barang-barang yang mudah terbakar di tiap-tiap kamar, yang
kesemuanya dihubungkan dengan sebuah sumbu panjang, dimana
sumbu itu sampai pada sebuah kompor gas didapur. Dekat kompor
itu dipasang sebuah pistol gas yang kalau ditembakkan
mengeluarkan api dan menyalakan kompor serta sumbu. Pelatuk
pistol itu diikat dengan tali panjang yang ujung lainnya melalui jendela
dikeluarkan sampai pada tembok belakang, bergantung dari atas ke
bawah, sehingga bisa ditarik dari luar tembok dimana kebetulan ada
jalan kecil. Pakaian dan sumbu itu lalu disiram dengan bensin,
sehingga kalau tali ditarik dari luar tembok dijalan kecil, pistol
menyalakan kompor dan sumbu yang akhirnya pakaian-pakaian yang
telah disiram dengan bensin menyala membakar seluruh rumah.
Setelah selesai semua, H lalu menyingkirkan barang-barang
berharga ketempat lain diluar rumah. Sementara itu tertarik dari bau
nya bensin, dijalan kecil belakang rumah berkumpul beberapa orang.
Ketika H kembali dari mengusikan barang-barang berharga itu dan
akan menarik tali dari jalan kecil, H melihat banyak orang disitu,
sehingga tidak bisa menyelesaikan maksudnya “. (Moeljatno (1), 1983 : 35-

36, Adami Chazawi (1), 2002 : 25-28 Frans Maramis, 2012 : 208-209 dan D. Schaffmeister dkk,
2007 : 217, Mr. JM. Van Bemmelen, 1987 : 251).

19
Hof s’Hertogenbosh menganggap perbuatan memasang tali pada
pelatuk pistol gas tersebut suatu “ permulaan pelaksanaan “ untuk kejahatan
tersebut Pasal 187 KUHP dan menjatuhkan pidana 4 tahun penjara. H
memohon kasasi kepada HR dengan alasan pengadilan tersebut diatas
melanggar ketentuan Pasal 53 KUHP ( Percobaan ), karena yang dilakukan
hanyalah suatu “ perbuatan persiapan “. Kasasi diterima oleh dan HR
membatalkan keputusan Hof a’Hertogenbosch dan berpendapat bahwa
telah dimulai menimbulkan kebakaran kalau telah dilakukan / dilaksanakan
perbuatan yang bukan saja perlu sekali untuk itu, tetapi yang juga tidak
mungkin menuju kepada lain dari perbuatan itu dan berhubungan langsung
dengan kejahatan yang dimaksud dan sudah ada kalau pelaku telah
menarik pelatuk pistol. (Adami Chazawi (1), 2002 : 25-27 dan Moeljatno (1), 1983 : 36)
Pendapat ini banyak tantangan daripada para sarjana, dimana HR
menganut teori objektif, tetapi terlu sempit. Duynstee menulis bahwa
terdakwa telah mulai dengan brandstichting atau “ permulaan dari
pelaksanaan pembakaran “ atau “ permulaan dari pelaksanaan persiapan “,
sehingga dapat dipidana. Prof. Moeljatno mengatakan bahwa kalau kasus
pembakaran di Eindhoven itu ditinjau dengan ukuran beliau ( 3 syarat ),
maka syarat pertama yaitu : secara objektif dan potensial perbuatan itu
telah mendekatkan kepada yang dituju, sudah tidak perlu diragukan lagi.
Syarat kedua, yaitu : ditinjau dari niat pelaku, juga tidak ada keraguan lagi
bahwa nitanya ditujukan untuk pembakaran. Sedangkan syarat ketiga,
yaitu : apakah perbuatannya melawan hukum, maka bila yang dibakar itu
bukan rumahnya sendiri, ataupun sekiranya itu adalah rumahnya sendiri,
tetapi didiami oleh orang lain, perbuatan masuk pada saat orangnya tidak
ada itu adalah perbuatan melawan hokum. Sehingga terdakwa telah
melakukan perbuatan percobaan pembakaran seperti ditentukan oleh Pasal
53 dan Pasal 187 KUHP. (Lihat I Made Widnyana, 1992 : 6, Moeljatno (1), 1983 : 33-37)

Jurisprudensi Indonesia rupanya banyak mengikuti jurisprudensi


negeri Belanda, RvJ Medan pada tahun 1938 memutuskan bahwa : “
berhentinya terdakwa dengan sampan di pantai dekat tempat
penyembunyian teh yang tidak ada izinnya untuk dikeluarkan, belum
merupakan percobaan untuk dipidana“. Oleh karena antara perbuatan

20
tersebut dengan kejahatan yang ada dalam niat mereka ( mengeluarkan teh
tanpa izin ) tidak ada pertalian langsung yang demikian rupa, sehingga
perbuatan tersebut dapat dipandang sebagai permulaan pelaksanaan.
Didalam unsur ke dua dari percobaan ini masih ada persoalan lain, ialah “
percobaan yang mampu dan percobaan yang tidak mampu “, persoalannya
terutama terletak pada “ percobaan yang tidak mampu “ ( ondeugdelijke
poeging ). (Moeljatno (1), 1983 : 32, Adami Chazawi (1), 2002 : 43)
Ad.c). Sebagai unsur ketiga dari percobaan adalah bahwa delik tidak dapat
diselesaikan karena bukan semata-mata atas kehendak sendiri. MvT
menyatakan bahwa maksud syarat ketiga ini adalah merupakan
jaminan kepada seseorang yang dengan kehendak sendiri, dengan
sukarela mengurungkan pelaksanaan kejahatan yang telah dimulai
(vrijwillige terugtred) (Moeljatno, 1983 : 54). Unsur ketiga harus dicantumkan
dalam surat dakwaan dan harus dibuktikan oleh Penuntut Umum.
Pembuktian bagi sesuatu yang bersifat negatif sangatlah sukar,
sebab jaksa harus membuktikan bahwa pelaku telah
memberhentikan perbuatannya tidak dengan sukarela, agar
Penuntut Umum dapat menuntutnya dan terdakwa dijatuhi pidana
karena percobaan. Tetapi hal itu kemudian diperingan oleh putusan
HR tahun 1924 yang menjadi jurisprudensi, yaitu bahwa : “
barangsiapa yang dengan sukarela mengundurkan diri tidak dapat
dipidana. Jadi apabila pengunduran diri itu tidak nyata, maka adanya
unsur ketiga tersebut dapat dibuktikan dari adanya suatu hal lain
yang cukup menerangkan apa sebabnya delik tersebut tidak selesai.
Jadi tidak perlu membuktikan bahwa pengunduran diri itu tidak
dengan sukarela “.
Contoh : Kalau seseorang menembakkan pistol dan
diarahkan kepada calon korban tetapi meleset,
mungkin sekali dalam persidangan ia akan
mengatakan bahwa ia telah mengurungkan niat untuk
membunuh, tetapi mengubahnya menjadi hanya
menaku-nakuti saja dengan tembakkan yang
dipelesetkan. Dengan demikian, maka seolah-olah ia

21
mengurungkan maksudnya atas kehendak sendiri.
Jadi peninjauan ini secara psikologis.
Berhubung dengan putusan HR tersebut diatas, maka dalam hal ini
Penuntut Umum, cukup menyebutkan bahwa tuduhannya terhadap
terdakwa dengan percobaan pembunuhan telah terbukti dengan adanya
permulaan pelaksanaan dan niat, serta tidak selesai karena tembakkannya
meleset. Langemeyer juga menyatakan tidak menyetujui pertimbangan HR
tersebut diatas, karena menurut teksnya apabila secara psikologis masih
ada kemungkinan sekali untuk mengadakan perubahan dalam niat
terdakwa, disitu tidak mungkin dikatakan bahwa penghalang dari luar itulah
yang semata-mata menjadi sebab kejahatan tidak selesai ( dalam hal diatas
adalah “ melesetnya tembakkan “ ). Pompe menentang pendapat
Langemeyer dengan alasan bahwa kemungkinan psikologis ini tidak ada
dalam undang-undang, pendapat Pompe ini juga disetujui oleh Moeljatno.
Rumusan / ukuran yang sering diajukan adalah :“ ada pengurungan
sukarela jika menurut pandangan terdakwa dia masih bisa terus, tetapi tidak
mau meneruskan “.
Terdakwa dapat meneruskan niatnya dalam hal :
a). Secara fisik terhalang untuk menyelesaikan kejahatannya,
misalnya saja terdakwa dipegang oleh orang lain,
sehingga tidak dapat bergerak lagi, karena orang lain
senjatanya terlepas atau perbuatannya telah selesai, yaitu
bom dilemparkan dilemparkan tetapi tidak berbunyi.
b). Meskipun tidak ada penghalang fisik, tetapi
pengurungannya ternyata disebabkan akan adanya
penghalang psikis, misalnya karena takut perbuatannya
diketahui orang dengan segera.
Mengenai hal tersebut diatas, terdapat suatu masalah, yaitu : “
Seseorang yang diperiksa sebagai saksi dalam suatu perkara. Ada tanda-
tanda bahwa ia tidak menerangkan dengan sebenarnya, walaupun sudah
disumpah. Setelah hakim memperingatkan bahwa kalau tidak menyatakan
yang benar, ia bisa dituntut karena sumpah palsu, maka lalu menarik
kembali keterangnnya. Apakah dalam hal ini terjadi suatu percobaan
melakukan sumpah palsu ? “.
22
HR pada tahun 1889 menyatakan bahwa ia tidak dapat dituntut
karena percobaan sumpah palsu, hal ini disetujui oleh Vos, dengan alasan
bahwa sebenarnya ia masih dapat saja terus memberikan keterangan tidak
benar, tetapi ia tidak benar, tetapi ia tidak mau, maka hal inilah adalah
pengunduran diri ( pengurungan ) secara sukarela. Van Hattum tidak dapat
menyetujui putusan tersebut, karena manurut beliau, yang menyebabkan
terdakwa menarik kembali keterangannya adalah karena ketakutan
dimasukkan penjara.
Jika dilihat dari pemuatan unsur-unsur ( syarat-syarat ) dipidananya
percobaan kejahatan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP, maka dapat ditarik
suatu kesimpulan bahwa :
1). Ada percobaan kejahatan yang dapat dipidana, jika memenuhi unsur-
unsur (syarat-syarat) tersebut dalam Pasl 53 ayat (1) KUHP dan
secara a contrario ada pula percobaan kejahatan yang tidak dapat
dipidana, yaitu jika salah satu unsur-unsur (syarat-syarat) tidak
terpenuhi, misalnya unsur (syarat) ketiga.
2). Disamping itu ada pula percobaan kejahatan yang secara tegas oleh
UU ditetapkan percobaannya tidak dipidana, contoh pada percobaan
penganiayaan biasa ( Pasal 351 ayat (5) KUHP ), percobaan
penganiayaan hewan ( Pasal 302 ayat (4) KUHP ), percobaan perang
tanding ( Pasal 284 ayat (5) KUHP )
3). Percobaan melakukan pelanggaran tidak dipidana ( dipertegas
dengan adanya Pasal 54 KUHP )
4). Percobaan kejahatan yang dapat dipidana hanya pada tindak pidana
kesengajaan ( dolus ) dan tidak mungkin pada tindak pidana
kealpaanan ( culpa ). Karena isitilah niat adalah artinya kesengajaan,
yang mengenai tindak pidananya disadari dan atau dikehendaki.
Sedangkan kealpaan adalah sikap bathin yang ceroboh – tidak
berhati-hati atau tidak memiliki dan menggunakan pemikiran yang
cukup baik mengenai perbuatannya amupun akibatnya, sehingga
melahirkan suatu tindak pidana culpa
5). Percobaan tidak dapat terjadi pada tindak pidana pasif ( delik
ommsionis ), sebab tindak pidana ommisionis unsur perbuatannya
adalah berupa tidak berbuat, yang dengan tidak berbuat itu
23
melanggar suatu kewajiban hukumnya. Sedangkan pada percobaan
kejahatan harus ada permulaan pelaksanaan, yang in casu harus
berbuat.
6). Juga ada beberapa kejahatan yang karena sifatnya kejahatan dalam
rumusannya tidak mungkin dapat terjadi percobaannya, yaitu (a).
karena percobaannya ( yang in casu ) melakukan suatu perbuatan,
diaman niat telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan
sebagaimana dimaksud pasal 53 KUHP, dirumuskan atau merupakan
kejahatan selesai, yaitu kejahatan-kejahatan makar, seperti Pasal
104 KUHP bermaksud membunuh, merampas kemerdekaan atau
meniadakan kemampuan Presiden dan Wakilnya, Pasal 106 KUHP
bermaksud agar seluruh atau sebagian wilayah Indonesia jatuh
ketangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah negara, Pasal
107 KUHP bermaksud menggulingkan pemerintahan, (b). karena
unsur perbuatannya yang dilarang dari kejahatan pada dasarnya
adalah berupa kejahatan, misalnya Pasal 163 bis ayat ( 1 ) KUHP
atau pasal 391 KUHP
Disamping hal tersebut diatas, R. Soesilo mengatakan bahwa syarat-
syarat yang harus dipenuhi agar suatu percobaan agar percobaan pada
kejahatan dapat dihukum, adalah sebagai berikut :
1. Niat untuk berbuat jahat sudah ada, artinya orang yang sudah
mempunyai oikiran untuk berbuat jahat yang meliputi sifat
kesengajaan ( dolus ), oleh karena percobaan pada kejahatan
culpa tidak mungkin terjadi
2. Orang sudah mulai berbuat kejahatan itu, maksudnya orang itu
bukan hanya berfikir saja, tetapi sudah harus mulai bertindak.
3. Perbuatan kejahatan itu tidak sampai selesai, oleh karena
terhalang sebab-sebab yang timbul kemudian. Tidak selesai
maksudnya adalah tidak semua unsur-unsur dari kejahatan itu
dipenuhi, misalnya bagi delik materiil, akibat dari delik itu belum
terjadi
4. Sebab-sebab itu tidak terletak dalam kemauan pembuat kejahatan
itu sendiri, maksudnya tidak dari kemauan sendiri mundur dari

24
mengerjakan kejahatan itu, sebab harus dari luar, misalnya dalam
mencuri, kerena kepergok / ketahuan orang (I Made Widnyana, 1992 : 11)

E. Percobaan yang tidak mampu ( Ondeugdelijke Poging )

Pembicaraan tentang percobaan, membicarakan pula beberapa


perbuatan yang yang terkesan atau hampir sama / mirip dengan percobaan
kejahatan. Dalam hal ini apa yang disebut dengan “ Percobaan yang tidak
mampu / ondeugdelijke Poging, kekurangan isi delik / Mangel am
tatbestand, delik putatif, delik manqui / percobaan selesai, percobaan
tertunda / Geseharste poging dan Gequalificeerde poging / percobaan yang
dikualifikasir “. Disini akan dibicarakan masalah kemungkinan bahwa suatu
percobaan untuk melakukan kejahatan objeknya atau alatnya tidak mampu
atau tidak punya potensi untuk menyelesaikan.
Percobaan yang tidak mampu ( ondeugdelijke poging ) itu terjadi,
apabila seorang telah melakukan perbuatan jahat yang dikehendaki untuk
diselesaikan, akan tetapi walaupun ia telah melakukan perbuatan-perbuatan
yang diperlukan, kejahatan itu tidak dapat diselesaikan bukan karena
dihalang-halangi. Tidak mampu atau tidak dapat diselesaikannya kejahatan
itu dapat disebabkan karena objek atau sarananya, tetapi mungkin juga
karena alat atau sasarannya ( middel ), sehingga timbul masalah apakah
perbuatan yang demikian ini dapat dipidana atau tidak. Tidak mampunya itu
dapat berbentuk :
a). Ketidak mampuan yang mutlak ( absoluut ondeugdelijke )
b). Ketidak mampuan relatif ( relative ondeugdelijke ).
a). Tidak mampu absolut berarti bahwa bagaimana pun juga kejahatan itu
tidak mungkin diselesaikan, hal ini baik mengenai objeknya (
sasarannya ) maupun mengenai alat / sarananya ( middel ).
b). Tidak mampu relatif berarti bahwa karena keadaan khusus, baik pada
objek maupun sasarannya, kejahatan itu menjadi tidak dapat
diselesaikan.
Contoh :
1. Objek yang tidak mampu absolut : A berniat untuk membunuh B,
segala sesuatu telah disiapkan dan waktu A masuk kekamar B,

25
tampaknya B sudah tidur, kemudian A menembaknya, tetapi
kemudian ternyata B telah meninggal sebelumnya karena penyakit
jantung. Jadi meninggalnya B bukan sebagai akibat ditembak oleh A.
Dalam hal ini tidak mungkin dikenakan Pasal 338 atau 340 KUHP
yaitu pembunuhan, karena tidak mungkin melakukan pembunuhan
terhadap mayat. ( dapat dipidana – subjektif )

2. Objek yang tidak mampu relatif : A ingin membunuh B dengan cara


menikam dengan golok, tetapi B tidak luka sama sekali, karena
kebetulan saat penikaman itu B menggunakan pakaian besi.

3. Sarana yang tidak mampu absolut : A berniat membunuh B


dengan jalan memberikan minuman racun. Setelah menyiapkan
dengan membeli serbuk racun di apotik, ternyata yang diberikan oleh
apotik keliru, ysng diberi adalah gula. Setelah serbuk racun itu
dimasukkan kedalam minuman B, dengan harapan B akan mati kena
serbuk racun itu, ternyata B tidak apa-apa, karena tidak mungkin
gula dapat membunuh orang ( dapat dipidana – objektif )

4. Sarana yang tidak mampu relatif : Seperti halnya pada contoh yang
3, bubukan yang diberikan ternyata benar-benar warangan, tetapi
jumlahnya terlalu sedikit dan kebetulan B mempunyai daya tahan
yang cukup kuat, sehingga dengan sarana itu tidak mungkin B mati.

Dari contoh-contoh tersebut diatas, dapat atau tidak dapatkah pelaku


A tersebut dipidana karena melakukan percobaan pembunuhan ?. Untuk
menjawab masalah itu, hendaknya kita ingat kepada teori-teori yang
berhubungan dengan percobaan itu sendiri, yaitu teori subjektif ( teori yang
menitik beratkan pada berbahaya orangnya ) dan teori objektif ( teori yang
menitik beratkan pada sifat berbahayanya perbuatan ) . Sehingga jawaban
atas pertanyaan diatas adalah mungkin dapat dipidana, tetapi juga mungkin
tidak dapat dipidana. Hal ini tergantung dari teori mana yang akan dianut.
Sesuai dengan teori subjektif, maka perbuatan A pada contoh 1 dan
3 itu dapat dipidana, karena jelas bahwa keduanya A mempunya maksud
jahat. Sebaliknya ditinjau dari teori objektif, maka perbuatan A pada contoh
1 dan 3 tersebut tidak dapat dipidana, karena tidak mungkin perbuatannya

26
itu membahayakan kepentingan hukum B, karena A meninggal ( contoh 1 )
atau juga tidak pemberian gula itu merupakan bahaya bagi kepentingan
hukum B ( contoh 3 ).
Mengenai sasaran dan sarana yang tidak mampu relatif, perlu
ditinjau berdasarkan teori subjektif maupun teori objektif. Ditinjau dari teori
subjektif, maka perbuatan A pada contoh 2 dan 4 semuanya dapat dipidana,
karena adanya maksud yang jahat pada diri A. Sedangkan memalui teori
objektif, juga kedua-duanya perbuatan A dalam contoh 2 dan 4 dapat
dijatuhi pidana, hanya alasan atau landasan pikirannya berbeda.
Pada contoh 2, perbuatan A telah membahayakan kepentingan
hukum B, walaupun kenyataannya B tidak terluka sedikitpun, hal itu adalah
merupakan hal khusus dan kebetulan saja, kecuali itu juga tidak
diselesaikannya bukanlah karena hal yang tergantung dari A. Pada contoh
4, perbuatan juga telah membahayakan kepentingan hukum B, walaupun
dosis racun yang diberikan tidak cukup kuat untuk membunuh B, tetapi tidak
cukupnya merupakan hal yang tidak tergantung dari A. Dari uraian tersebut
diatas, sebenarnya pembedaan peninjauan melalui teori subjektif maupun
teori objektif hasilnya sama saja, yaitu dapat dipidana, hanya secara teoritis
landasan yang dipakai berbeda. Yang menjadi masalah justru untuk
menentukan apakah sasaran itu tidak mampu secara mutlak atau relatif.
Tentang hal ini sebenarnya tergantung dari cara menafsirkan dan
cara menentukan dasar atau landasan berfikirnya. Sebagai suatu contoh :
pada dasarnya atau pada umumnya, gula merupakan alat yang tidak
mampu untuk membunuh orang, sedangkan warangan atau arsenicum
dalam dosis tertentu bisa mematikan, tetapi dalam dosis yang kurang dari
itu, malahan bisa menjadi obat. Apakah dalam hal ini kita akan ambil
abstraksinyua ataukah ditinjau in concreto ?. Demikian juga mengenai
sasarannya, seorang yang mempunyai sakit tertentu (misal diabetes ),
mungkin bisa karena minum minuman yang bergula / mengandung gula,
yang bagi orang normal tidak menyebabkan apa-apa. Sebaliknya terdapat
pula seorang yang mempunyai ketahanan yang lebih tinggi dari orang
normal, sehingga dosis yang bisa mematikan untuk orang normal, tidak
menyebabkan kematian bagi orang itu. Apakah ini juga diambil abstraksinya
ataukah harus ditinjau in conreto ?
27
Contoh untuk menentukan : “ ketidak mampuan absolut ataukah
relatif “ Misalanya A berhendak untuk mencuri uang dalam peti besi suatu
toko. Setelah diselidiki cukup lama, A berpendapat bahwa peti itu selalu
dipakai untuk menyimpan uang. Pada suatu hari kehendaknya itu
dilaksanakan, tetapi ternyata setelah dapat membuka peti besi itu, ternyata
kosong tidak ada uangnya. Kejahatan pencurian itu terpaksa tidak dapat
diselesaikan, tetapi bukan semata-mata bukan karena kehendak A.
Walaupun perbuatan A tersebut memenuhi syarat sebagai percobaan dan
dapat dijatuhi pidana, tetapi secara teoritis sasarannya itu merupakan
sasaran yang tidak mampu secara absolut ataukah secara relatif. Bila kita
berpendirian dengan dasar fikiran “ peti yang kosong “, maka dapat
dikatakan bahwa sasarannya tidak mampu absolut ( Absoluut
Ondeugdelijke Object ), tetapi jika pikiran kita bertumpu pada kenyataan “
biasanya peti uang itu berisi uang “, maka sasarannya bisa disebut sebagai
sasaran yang tidak mampu relatif ( Relative Ondeugdelijke Object )
Dalam hal percobaan yang tidak mampu ini timbul berbagai polemik
diantara para sarjana dan dikemukakan pula contoh-contoh selain “
mencoba mencuri dari peti mati yang kosong“, misalnya saja “ mencoba
menggugurkan kandungan seorang yang tidak hamil “ mencoba membunuh
orang sudah mati “. ( Adami Chazawi (1), 2002 : 46-57, Laden Merpaung, 2009 : 96 dan lihat buku

“ Delik-Delik Percobaan dan Delik-Delik Penyertaan “ dari Moeljatno ).

Mangel Am Tatbestand ( Ontoereikende Delictsinhoud )


Didalam ilmu pidana Jerman terdapat istilah ; “ Mengel Am
Tatbestand “, yaitu kekurangan atau tidak adanya salah satu unsur delik,
sehingga tidak mungkin merupakan delik. Satauchid Kartanegara
menjelaskan istilah tersebut sebagai berikut : “ apabila seseorang
melakukan suatu perbuatan yang dikehendaki dan telah melakukan semua
perbuatan yang diperlukan guna melaksanakan kehendaknya itu, akan
tetapi perbuatan itu juga tidak dapat diselesaikan, yang disebabkan oleh
suatu hal atau masalah, yang tidak tergantung pada si pelaku dan dalam hal
ini masalah itu merupakan salah satu faham yang terdapat pada si pelaku
mengenai salah satu unsur delik yang dikehendakinya. “. Sedangkan
didalam bukunya Adami Chazawi dikatakan bahwa Mangel am Tatsbestand

28
adalah : “ suatu perbuatan yang diarahkan untuk mewujudkan tindak
pidana, tetapi ternyata kekurangan atau tidak memenuhi salah satu unsur
tindak pidana yang dituju “. (Adami Chazawi (1), 2002 : 58-59, D. Schaffmeister dkk, 2007 : 220-

222)

Contoh  A bermaksud mencuri barang B dan maksudnya sudah


dilaksanakan yaitu mengambil barang yang dikiranya milik B.
Tetapi ternyata barang itu adalah milik A sendiri, karena barang
itu memang oleh B dimaksudkan untuk dihadiahkan kepada A.
Apakah dalam hal ini, si A dapat dipidana ?
Sebenarnya hal ini tidak masuk dalam pengertian percobaan dan
tidak dapatnya dipidana A juga bukan berdasarkan atas percobaan, tetapi
oleh karena kenyataan bahwa salah satu unsur delik tidak dipenuhi (
mengambil barang sebagian atau seluruhnya milik orang lain ). Ternyata
ada pula sarjana yang beranggapan bahwa masalah itu termasuk dalam “
percobaan dengan suatu sarana yang tidak mampu absolut “. Jadi masalah
tersebut juga tergantung dari cara penafsirannya. Mangel Am Tatbestand
harus dibedakan dengan Delik Putatif, yaitu apabila seseorang melakukan
suatu perbuatan yang dikiranya merupakan perbuatan yang terlarang dan
diancam dengan pidana oleh undang-undang, tetapi ternyata perbuatannya
tidak merupakan perbuatan terlarang.
Delik Putatif mungkin terjadi karena tiap negara mempunyai
ketentuan pidananya sendiri-sendiri, sehingga mungkin saja suatu
perbuatan yang disuatu negara merupakan delik, akan tetapi dilain negara
tidak demikian. Namun bila memang perbuatan itu bukannya merupakan
perbuatan terlarang ( delik ), walaupun sipelaku menyangka telah
melakukan delik, maka perbuatannya juga tidak dapat dipidana. Delik ini
merupakan “ suatu kesalah pahaman dari seseorang yang mengira bahwa
perbuatan yang telah ia lakukan didalam suatu keadaan tertentu itu
merupakan suatu perbuatan yang terlarang dan diancam dengan pidana,
akan tetapi perbuatan itu bukan merupakan perbuatan yang terlarang,
sehingga orang itu tidak dapat dipidana “ (A. Fuad Usfa dan Tongat, 2004 :111 dan D.

Schaffmeister dkk, 2007 : 222).

Percobaan selesai / delik manque adalah :: “ melakukan suatu


perbuatan yang ditujukan untuk melakukan tindak pidana, yang

29
pelaksanaannya sudah begitu jauh – sama seperti tindak pidana selesai,
akan tetapi oleh sebab sesuatu hal, tindak pidana itu tidak terjadi “.
Dikatakan percobaan, sebab tidak pidana yang dituju tidak terjadi, dikatakan
selesai oleh sebab pelaksanaannya sesungguhnya sama dengan
pelaksanaan yang dapat menimbulkan akibat dari suatu tindak pidana “.
Misalnya : A ingin membunuh B musuhnya, A telah mengarahkan moncong
senjata keleher B, pelatuk telah ditarik dan senapan telah meletup serta
peluru telah melesat, tetapi tidak mengenai sasarannya. Oleh karena itu
percobaan pesuatu pembunuhan telah selesai, bila dilihat dari
perbuatannya, karena niat / kehendak, permulaan pelaksanaan dan
pelaksanaan telah selesai, tetapi tidak mencapai hasil yang diinginkan /
dikehendaki, oleh karena itu masih dikatagorikan sebagai suatu percobaan.
Percobaan tertunda adalah : “ suatu percobaan yang perbuatan itu
pelaksanaannya terhenti pada saat mendekati selesainya kejahatan yang
dituju “. Misalnya seorang pencopet yang telah mengulurkan dan
memasukkan tangannya dan telah memegang dompet seorang wanita
dalam tas wanita itu, akan tetapi, tiba-tiba wanita itu memukul tangan
pencopet itu dan terlepaslah dompet itu yang tadi telah dapat dipegang
dalam tas wanita itu. Sedangkan percobaan yang dikualifisir adalah
merupakan percobaan yang perbuatan pelaksanaannya merupakan tindak
pidana selesai yang lain daripada yang dituju. Misalnya seseorang dengan
maksud untuk membunuh dengan tusukan pisau, akan tetapi orang itu tidak
mati, hanya luka-luka berat. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa orang
memiliki niat / kehendak untuk membunuh dengan tikaman pisau itu, tetapi
tidak sampai timbulnya akibat kematian orang yang ditikam itu, justru yang
terjadi adalah timbulnya luka-luka berat, maka dalam hal telah terjadi
penganiayaan yang telah menimbulkan luka-luka berat (Adami Chazawi (1), 2002 :

61-62).

30
Daftar Pustaka

Bemmelen, Mr. J.M. van, 1987 : Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Materiil
Bagian Umum, Binacipta, Bandung.

Chazawi, Adami (1), 2002 : Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2, Raja


Grafindo Persada, Jakarta.

Maramis, Frans., 2012 : Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia,


Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Moeljatno, 1983 : Delik-Delik Percobaan dan Delik-Delik Penyertaan,


Bina Aksara, Jakarta.

------------, 2008 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan, Cet.


27, Bumi Aksara, Jakarta.

Marpaung. Leden, 2009 : Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar


Grafika, Jakarta.

Schaffmeister, D.NN.,N. Keijzer, E.PH. Sutorius, 2007 : Hukum Pidana,


Editor : J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, Citra
Aditya Bakti, Bandung.

Soema Di Pradja. R. Achmad, 1982 : Asas-Asas Hukum Pidana, Alumni,


Bandung.

Usfa, A. Fuad dan Tongat, 2004 : Pengantar Hukum Pidana, Penerbitan


Universitas Muhammad Malang, Malang.

Widnyana. I Made, 1992 : Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika, FH Unud,


Denpasar.

F. Penutup
1. Rangkuman Materi
Didalam istilah bahasa Belanda, percobaan ini disebut dengan “
poging “, dapat dikatakan menurut doktrin bahwa percobaan adalah “
permulaan kejahatan yang belum selesai “ atau “ een reeds begonnen doch
nog niet voltooid mijsdrijf “. Masalah percobaan ini KUHP memberikan
ancaman yang maksimumnya diperingan, yaitu dikurangi sepertiganya (1/3)
dari maksimum pidana pokoknya, sedangkan terhadap ancaman pidana
mati dan penjara seumur hidup, maksimumnya menjadi 15 ( lima belas )
31
tahun. Pengurangan tidak diberikan bagi pidana tambahan ( Pasal 53 ayat (
2, 3, 4) KUHP ). Jika kita tinjau isi Pasal 53 ayat (1) KUHP dapat diketahui
adanya 3 (tiga) unsur-unsur daripada percobaan, yaitu Adanya niat /
maksud / voornemen, Adanya suatu permulaan pelaksanaan / begin van
uitvoering. Tidak selesainya pelaksanaan itu semata-mata bukan karena
kehendak sendiri.
Percobaan yang tidak mampu ( ondeugdelijke poging ) itu terjadi,
apabila seorang telah melakukan perbuatan jahat yang dikehendaki untuk
diselesaikan, akan tetapi walaupun ia telah melakukan perbuatan-perbuatan
yang diperlukan, kejahatan itu tidak dapat diselesaikan bukan karena
dihalang-halangi. Tidak mampu atau tidak dapat diselesaikannya kejahatan
itu dapat disebabkan karena objek atau sarananya, tetapi mungkin juga
karena alat atau sasarannya ( middel ). Tidak mampunya itu dapat
berbentuk : Ketidak mampuan yang mutlak ( absoluut ondeugdelijke ) dan
Ketidak mampuan relatif ( relative ondeugdelijke ). Untuk menjawab apakah
Percobaan yang tidak mampu dipidana atau tidak, hendaknya dikaitkan ke
teori-teori yang berhubungan dengan percobaan itu sendiri, yaitu teori
subjektif dan teori objektif. Sehingga jawaban atas pertanyaan diatas adalah
mungkin dapat dipidana, tetapi juga mungkin tidak dapat dipidana. Hal ini
tergantung dari teori mana yang akan dianut.

32
2. Latihan :

PERTEMUAN II: TUTORIAL 1


PERCOBAAN (POGING)

1) Syarat dan Unsur-unsur Percobaan (poging)


a. Kasus I
Abraham, bermaksud melakukan tindak pidana pencurian di suatu
rumah di kawasan pemukiman elite di daerah Sanur, yang sedang
ditinggalkan oleh pemiliknya ke Jakarta. Untuk memuluskan aksinya,
Abraham mempersiapkan sebuah anak kunci palsu yang akan
dipergunakan untuk membuka paksa pintu kamar yang diperkirakan sebagai
tempat penyimpanan barang-barang berharga. Sampai di dekat lokasi
sasaran pencurian, Abraham bersembunyi di semak-semak sambil
menunggu waktu yang tepat untuk melakukan aksinya. Pada saat Abraham
memulai aksinya dengan cara memanjat tembok pekarangan rumah yang
akan dijadikan sasaran pencurian, iapun ditangkap oleh satuan
pengamanan lingkungan setempat.

b. Pertanyaan :
1. Apakah dalam kasus di atas, maksud Abraham untuk melakukan
pencurian dapat dikatakan sebagai permulaan pelaksanaan ?
2. Baca secara cermat kasus di atas, kemudian saudara bahas tentang
’peristiwa’ yang merupakan awal pelaksanaan, dengan dasar
pemikiran yang ada dalam doktrin !

c. Bahan Bacaan

1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945


2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.
Bandung : Sinar Baru, hal. 510 - 551
3. Muljatno 1980. Delik-delik Percobaan, 1980 h. 5, 6, 13, 2, 30, 22,
23.

33
4. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 33 - 36
5. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373,
364, 382.
6. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana.
Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 209 -265
7. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 1 - 15
8. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik
Delik Khusus. h, 76- 77.
9. Sianturi, SR 198 Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
10. Tresna, R 1959. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal.
76 - 81
11. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 1 - 32

2) Pemidanaan terhadap Pelaku Percobaan (poging) dan


Pengunduran Diri secara Sukarela sebagai Alasan Tidak
Dipidananya Percobaan
a. Kasus II

Dalam perjalanan pulang dari tempat kerjanya di Nusa Dua, ke


Sanur, Abdulah di perjalana bertemu dengan sahabat lamanya yang
bernama Sanusi. Sanusi berceritera tentang kerasnya kehidupan di kota
Denpasar. Abdulah sebenarnya menghadapi fenomena yang sama dengan
Sanusi. Sanusi bercerita tentang jalan pintas yang pernah ditempuhnya
dengan melakukan tindak pidana pencurian benda-benda sakral yang
menurutnya relatif mudah dijual kepada penadahnya. Abdulah tertarik
dengan cerita Sanusi, dan pada kesempatan itu juga ia bersepakat untuk
melakukan pencurian di suatu tempat di malam itu juga. Pada waktu dan
tempat yang telah dijanjikan, keduanya bertemu dan langsung melakukan
34
aksinya. Namun sebelum niat itu terlaksana, Abdulah dengan niat sendiri
mengurungkan rencananya, sedangkan Sanusi memutuskan untuk
melakukan aksinya seorang diri dan aksinya tersebut diawali dengan
merusak gembok tempat penyimpanan benda-benda sakral di pura. Namun
sebelum aksi Sanusi terlaksana, anggota banjar yang sedang melakukan
ronda memergokinya sehingga niat tersebut tidak kesampaian.

b. Pertanyaan :

1. Dilihat dari kesepakatan antara Abdulah dengan Sanusi untuk


melakukan pencurian , apakah menurut pandangan subyektif dan
obyektif, sudah dapat dijadikan dasar untuk memidana Abdulah dan
Sanusi ?
2. Apakah mengurungkan niat dengan kesadaran sendiri, seperti apa
yang dilakukan Abdulah, merupakan alasan tidak dapat dipidananya
pelaku percobaan ?

c. Bahan Bacaan
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.
Bandung : Sinar Baru, hal. 510 - 551
3. Muljatno 1980. Delik-delik Percobaan, 1980 h. 5, 6, 13, 2, 30, 22,
23.
4. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 33 - 36
5. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373,
364, 382.
6. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana.
Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 209 -265
7. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 1 - 15
8. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik
Delik Khusus. h, 76- 77.
35
9. Sianturi, SR 198 Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
10. Tresna, R 1959. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal.
76 - 81
11. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 1 - 32

3) Pertanggungjawaban Pidana dalam perbuatan Pidana Percobaan.


a. Kasus III
Pagi ini, senin tanggal 1 Januari 2008, Alimudin diadili di Pengadilan
Negeri Denpasar dalam kasus percobaan pencurian sepeda motor di
bilangan Pasar Kereneng. Di dalam melakukan aksinya, Alimudin biasanya
melakukan pemantauan tempat yang biasanya luput dari pengawasan juru
parkir ataupun Satpam Pasar. Untuk memuluskan aksinya, Alimudin telah
mempersiapkan kunci leter T yang dipersiapkan jauh sebelum aksinya
dilakukan. Pada saat yang tepat, Alimudin berangkat dari rumahnya di
kawasan Renon dengan mengendarai sepeda motor, dan untuk
mempersingkat perjalanannya, iapun memacu sepeda motor menerobos
larangan masuk. Niat untuk menerobos jalan tersebut kemudian diurungkan
karena di ujung jalan ia melihat ada seorang petugas Polantas yang sedang
berjaga. Sampai di dekat lokasi sasaran pencurian, Alimudin menunggu
waktu yang tepat sambil mempersiapkan peralatan yang akan dipergunakan
melakukan perbuatannya.

b. Pertanyaan :
Di dalam melakukan aksinya, Alimudin dalam kasus di atas telah pula
mencoba untuk melakukan pelanggaran dengan memasuki rambu
larangan masuk. Bagaimana pendapat saudara ?

c. Bahan Bacaan

1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945


2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.
Bandung : Sinar Baru, hal. 510 - 551
36
3. Muljatno 1980. Delik-delik Percobaan, 1980 h. 5, 6, 13, 2, 30, 22,
23.
4. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 33 - 36
5. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373,
364, 382.
6. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana.
Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 209 -265
7. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 1 - 15
8. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik
Delik Khusus. h, 76- 77.
9. Sianturi, SR 198 Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
10. Tresna, R 1959. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal.
76 - 81
11. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 1-32.

37
POKOK BAHASAN II
PENYERTAAN (DEELNEMING)

PERTEMUAN KE III : PERKULIAHAAN II

BAB II
PENYERTAAN (DEELNEMING)

A. Pendahuluan
Sering terjadi bahwa, peserta atau pelaku tindak pidananya bervariasi
dan dalam hal ini ada aktor intelektualisnya. Sehingga pertanggungjawaban
pidananya juga berbeda. Hukumannya (pidana) juga berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Dengan demikian diperlukan ajaran penyertaan
(deelneming) untuk “Menentukan batas-batas pertanggungjawaban pidana
dari masing-masing peserta atau pelaku”. KUHP juga telah mengatur
mengenai penyertaan ini dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.
Setelah mempelajari materi dalam Penyertaan (deelneming), Capaian
Pembelajaran yang diperoleh adalah mahasiswa menguasai pengetahuan
mengenai Pengertian Penyertaan ( Deelneming ), Orang Yang Melakukan (
Pleger ), Turut Melakukan ( Medeplegen ), Orang yang menyuruh
melakukan ( doen pleger ), dan Menganjurkan ( Uitlokken ). Penyertaan
(deelneming) perlu dipelajari lebih mendalam untuk bisa memahami materi
dalam tutorial pada pertemuan berikutnya, sehingga kasus-kasus dalam
tutorial dapat dianalisis dengan baik.

B. Pengertian Penyertaan ( Deelneming )


Penyertaan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “
deelnemen “, yang diterjemahkan dengan kata “ menyertai “, ada juga yang
mengartikan dengan istilah yang “ mengambil bagian “, semacam
pengertian “ berpartisipasi “ yang umum digunakan dewasa ini. Prof.
Moeljatno menterjemahkan dengan “ penyertaan “, Utrecht menterjemahkan
dengan “ turut serta “, Satauchid Kartanegara dalam kumpulan kuliahnya
tetap menggunakan perkataan “ deelneming “, yaitu : apabila dalam satu
38
delik tersangkut beberapa orang atau lebih dari satu orang. (Laden Merpaung,

2009 : 77). Utrecht mengatakan bahwa : pelajaran umum turut serta ini justru
dibuat untuk menuntut pertanggung jawaban mereka yang memungkinkan
pembuat melakukan peristiwa pidana, biarpun perbuatan mereka itu sendiri
tidak memuat anasir peristiwa pidana tersebut. Biarpun mereka bukan
pembuat – yaitu perbuatan mereka tidak memuat anasir-anasir peristiwa
pidana, masih juga mereka bertanggung jawab atas dilakukannya peristiwa
pidana, oleh kare tanpa turut sertanya mereka sudah tentu peristiwa pidana
itu tidak pernah terjadi (Adami Chazawi (1), 2002 : 69).

Didalam ajaran penyertaan yang merupakan buah fikiran dari von


Feuerbach hanya mengenal adanya 2 (dua) jenis peserta, yaitu :
1. Mereka yang langsung berusaha terjadinya peristiwa pidana atau
auctores atau urhuber, yaitu yang melakukan inisiatif. Dalam
golongan ini ada 4 (empat) pelaku peserta, yaitu : yang melakukan
( pleger ), yang menyuruh melakukan ( doen pleger ), yang turut
melakukan ( medepleger ), dan yang membujuk ( uitlokker )
2. Mereka yang hanya membantu usaha yang dilakukan oleh mereka
yang disebut pada ad. A, yaitu mereka yang tidak langsung
berusaha atau gehilfe yaitu orang yang membantu saja (
medeplichtige ) (Utrecht , 1965 : 7-8).

Ketentuan Pasal 55 KUHP menyatakan :


ayat (1) : dipidana sebagai pembuat ( dader ) sesuatu perbuatan
pidana :
ke-1 : mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan
dan yang turut serta melakukan perbuatan
ke-2 : mereka yang dengan memberi atau menjanjikan
sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan
atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau
penyesatan atau dengan memberi kesempatan,
sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan
orang lain supaya melakukan perbuatan
ayat (2): terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja
dianjurkan sajalah yang diperhitungkan beserta akibat-
akibatnya (Moeljatno, 2008 : 25).

Ketentuan Pasal 56 KUHP menyatakan : dipidana sebagai pembantu


( medeplichtige ) sesuatu kejahatan :

39
ke-1 : mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan
dilakukan
ke-2 : mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau
keterangan untuk melakukan kejahatan (Meoljatno, 2008 : 26).
Dengan demikian, secara umum ketentuan yang mengatur tentang
penyertaan ini terdapat dalam Pasal 55 dan 56 KUHP itu adalah apabila
dalam suatu tindak pidana terlibat / tersangkut beberapa orang atau lebih
dari satu orang. Dimana keterlibatan mereka / orang-orang tersebut dapat
berupa :
a. Beberapa orang bersama-sama melakukan suatu delik
b. Mungkin hanya seorang yang mempunyai kehendak dan
merencanakan delik, tetapi delik tersebut tidak dilakukannya
sendiri, tetapi menggunakan orang lain untuk melaksanakan delik
tersebut
c. Dapat juga terjadi, hanya seorang yang melakukan delik,
sedangkan orang lain membantu orang itu dalam melaksanakan
delik (A. Fuad Usfa dan Tongat, 2004 : 115)
Beberapa orang sarjana, antara lain Van Hammel, Simons, Van
Hattum, Hazewinkel-Suringa mengatakan bahwa ketentuan dalam KUHP
tersebut dimaksudkan untuk “ mengatur pertanggung jawaban menurut
hukum pidana bagi setiap orang yang terlibat dalam suatu perbuatan
pidana, oleh karena tanpa ketentuan tersebut orang yang terlibat tidak dapat
dijatuhi pidana “. Pada umumnya pasal-pasal dalam KUHP menentukan
dengan istilah “ barang siapa “, yang dapat dianggap sebagai mengatur
ancaman pidana itu bagi hanya si pelaku sendiri, walalupun terdapat pula
pasal yang menyebutkan bilaman perbuatan itu dilakukan bersama-sama,
misalnya Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP, yaitu pencurian berkualifikasi yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu. Mengenai
pertanggung jawaban ini terdapat dua (2) sistem pokok yang berlaku, yaitu :
a). tiap peserta dipandang sama nilai pertanggung jawabannya
dengan pelaku, sehingga mereka juga dipertanggung jawabkan
sama
b). tiap peserta tidak dipandang sama nilai pertanggung jawabannya,
dengan pembedaan menurut sifat perbuatan yang dilakukan.

40
Sedangkan bentuk penyertaan / deelneming menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana ( doktrin ) adalah :
1. Bentuk penyertaan yang berdiri sendiri ( Zelfstandige vormen van
deelneming ), dimana pertanggung jawaban tiap-tiap peserta
dinilai sendiri-sendiri
2. Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri ( Onzelfstandige
vormen van deelneming atau aecessoire vormen van deelneming
), dimana pertanggung jawaban seorang peserta digantungkan
kepada perbuatan peserta lainnya, artinya adalah peserta pertama
baru bertanggung jawab, apabila kawan pesertanya melakukan
melakukan perbuatan pidana ( I Made Widnyana, 1992 : 34 dan Utrecht, 1965 : 13)
Ketentuan dimasing-masing negara berbeda-beda, Code Penal
Perancis menyamakan saja pertanggung jawaban “ aucteurs “ dan “
complices “. Inggris juga menyamakan tanggung jawab antara “
principals “ dan “ accessories “, Jerman membedakan tanggung jawab “
tater / anstifter “ dan “ gehilfe “, demikian juga Swiss. Prof. Moeljatno
melihat bahwa KUHP Indonesia mengikuti sistem campuran dalam hal ini,
yaitu dengan cara mengelompokkan peserta dalam Pasal 55 KUHP yaitu
yang dipidana sebagai “ dader “ ( pelaku ) dan Pasal 56 KUHP yang
dipidana sebagai “ pembantu “ ( medeplichtige ), akan tetapi bagi
pembantu pidananya lebih ringan dengan dikurangi 1/3 ( sepertiga ) nya
(Pasal 57 KUHP) (Lihat Utrecht, 1965 : 7-9).
Dari rumusan Pasal 55 dan 56 KUHP tersebut diatas, terdapat
beberapa macam peserta perbuatan pidana, yaitu :
A). Kelompok orang-orang yang perbuatannya disebutkan dalam
pasal 55 ayat (1), yang dalam hal ini disebut dengan “ para
pembuat “ / mededader, yaitu :
1). Yang melakukan atau plegen, orangnya disebut dengan
pembuat pelaksana atau / Pleger / dader of doer
2). Yang menyuruh melakukan atau doen plegen, orangnya
disebut dengan pembuat penyuruh atau doen pleger /
Manus Domina )
3). Yang turut serta melakukan atau medeplegen, orangnya
disebut dengan pembuat peserta atau medepleger
41
4). Yang menganjurkan / membujuk atau uitlokken, orangnya
disebut dengan pembuat penganjur atau uitlokker
B). Kelompok orang yang disebut dengan pembuat pembantu (
medeplichtige ) kejahatan, yang dibedakan menjadi : 1).
Pemberian bantuan pada saat pelaksanaan kejahatan dan 2).
Pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan ( Adami Chazawi

(1), 2002 : 79 ).

Dengan melihat rumusan didalam Pasal 55 KUHP tersebut diatas


terdapat 2 ( dua ) istilah “ dader “ dan “ pleger / plegen “, yang menurut
kesimpulan beberapa sarjana, merupakan istilah dengan pengertian yang
sama. Van Hattum merumuskan “ dader “ adalah hij die het feit pleegt, yaitu
orang yang memenuhi rumusan delik atau orang yang memenuhi semua
unsur dan rumusan delik. Hazewinkel-Suringa memberikan rumusan untuk “
pleger “ sebagai yang telah memenuhi semua unsur dari delik, seperti yang
ditentukan didalam rumusan delik yang bersangkutan. Jadi pada hakikatnya
“ dader “ dan “ plager “ itu adalah sama, yang dapat diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia sebagai “ pelaku “. Dengan mengutip dari van
Bemmelen, Lamintang mengatakan bahwa dengan cara merumuskan
ketentuan pidana dalam Pasal 55 KUHP yang menggunakan “ dipidana “
sebagai dader mereka yang het feit plegen…….. dan seterusnya,
pembentuk undang-undang telah menciptakan kesulitan bagi praktek.
Terhadap pendapat-pendapat apakah mereka yang turut serta itu dianggap
sebagai pelaku ataukah mereka itu harus “ dipidana “ sebagai pelaku,
yang secara praktisnya sebenarnya sama saja dan memang maksudnya
adalah menyangkut pertanggung jawaban menurut hukum pidana.
Sebelum tahun 1932 HR berpendapat bahwa “ peserta bukanlah
pelaku “, hanya mereka itu dipidana sebagai pelaku sampai dengan
maksimumnya “, tetapi sejak tahun 1932 HR berpendapat bahwa “ peserta “
adalah “ pelaku “. Peserta-peserta yang disebut dalam Pasal 55 KUHP yaitu
nomor 1 – 4 diatas semuanya dinamakan “ dader “, sedangkan yang disebut
dalam Pasal 56 KUHP yaitu nomor 5 semuanya dinamakan “ Pembantu “ (
medeplichtige ). Peserta dalam Pasal 55 KUHP dapat diterangkan secara
singkat dan hal ini sesuai dengan MvT, yaitu :

42
Pertama : mereka yang melakukan ( plegen ), perbuatan seperti
yang dirumuskan dalam Buku II dan III KUHP secara
material dan pribadi ( persoonlijk ), dengan atau tanpa
bantuan orang lain.
Kedua : mereka yang juga melakukan perbuatan, tetapi tidak
secara pribadi melainkan dengan perantaraan orang lain.
Orang lain yang melakukan itu tidak mempunyai
kesengajaan, kealpaan atau kemampuan bertanggung
jawab. Yang menyuruh melakukan inilah yang
bertanggung jawab dan mereka adalah “ doen pleger “
Ketiga : mereka yang bersama-sama melakukan perbuatan itu,
mereka inilah yang “ mededader “ atau
yang turut serta melakukan.
Keempat : mereka yang menganjurkan dilakukannya perbuatan itu,
jadi secara material membujuk atau menganjurkan
dengan cara yang disebut dalam Pasal 55 ayat (1) ke- 2
KUHP, mereka inilah yang disebut “ uitlokker “ (
penganjur ).
Mereka semua ini adalah actor intelectualis, ada pendapat yang
sifatnya restriktif dan menurut pendapat ini yang disebut sebagai “ dader “
adalah mereka yang secara pribadi dan material melakukan perbuatan,
sedangkan yang lain-lain itu tadi hanyalah “ dianggap sebagai dader “.
Mereka ini bukan “ pelaku “. Van Hattum berpendapat bahwa KUHP
menganut pendangan yang restriktif ini. Pandangan lain lain bahwa para
peserta adalah “ dader “ ( pelaku ) disebut sebagai pandangan yang “
ekstensif “ ( luas ).
Van Hattum mempunyai keberatan terhadap pandangan yang
ekstensif tersebut, karena kalau mereka yang menyuruh melakukan dan
yang menganjurkan adalah dader, mereka ini harus memiliki kualitas atau
syarat pribadi sebagai yang dimaksud dalam rumusan tindak pidana.
Misalnya delik jabatan, tentunya hanya dapat dilakukan oleh mereka yang
memiliki kedudukkan atau jabatan tersebut. Pendirian HR sebelum tahun
1932 dapat diberikan contoh sebagaimana dibawah ini :

43
“ Seorang walikota mengajukan permohonan kepada pembesar yang
berwenang di propinsi untuk memberikan pas jalan ke luar negeri
dengan mencantumkan umur yang tidak benar dari orang yang
memerlukan pas jalan tersebut “. Perbuatan walikota ini dituntut
dengan tuduhan “ menyuruh melakukan “ tindak pidana yang
tersebut dalam pasal 270 KUHP, walikota tersebut dipidana 1 ( satu )
hari. Walikota mengajukan kasasi dengan alasan : ia tidak memiliki
kualitas pribadi atau wewenang untuk mengeluarkan pas jalan dan
tidak menyuruh membuat pas jalan secara palsu, melainkan
menyuruh memberikan pas jalan yang palsu. HR
mempertimbangkan bahwa mengenai orang yang menyuruh
melakukan perbuatan ( medelijke dader ) menurut undang-undang
adalah dader, jadi harus mempunyai kesengajaan dan kualitas
pribadi, seperti yang diharuskan dalam rumusan tindak pidana.
Putusan HR membenarkan terdakwa dan membatalkan keputusan
pengadilan bahwahan, lalu melepaskan terdakwa dari segala
tuntutan hukum .
Dalam hubungannya antara turut serta dan pembantu dapat
dijelaskan bahwa apabila kerjasama yang dilakukan oleh 2 ( dua ) orang
atau lebih itu demikian eratnya, maka mereka yang melakukan itu masing-
masing adalah “ medepleger “ ( yang turut serta melakukan ) dan bukannya
sebagai “ medeplichtige “ ( pembantu ). Contoh mengenai hal ini adalah
sebagai berikut : “ 2 ( dua ) orang melakukan pembakaran gudang di
Wormerveer, yang menyalakan rumput kering untuk membakar gudang itu
adalah A, sedang B ( yang kasasi ) hanyalah memegangi tangga dan
memberikan rumput kering kepada A. B mengajukan alasan bahwa ia hanya
sebagai membantu saja “. Dalam putusan kasasi dinyatakan bahwa
kerjasama antara A dan B sedemikian eratnya dan dengan kata sepakat
sebelumnya, maka A dan B keduanya adalah “ medepleger “ ( yang turut
serta melakukan ).

44
A. Orang Yang Melakukan ( Pleger )

Diatas telah disebutkan bahwa “ dader “ sama dengan “ pleger “,


karena pada hakekatnya / intinya “ pleger “ itu berarti juga melakukan. Yang
disebut dengan “ dader “ adalah orang yang melakukan sendiri “ suatu
perbuatan yang dirumuskan dalam tiap-tiap delik. Pasal 55 KUHP tidak
dimaksudkan untuk menjatuhkan pidana kepada “ dader “, tetapi kepada “
pleger “ dan karena itu dalam lingkup “ penyertaan “, maka tindak pidana ini
atau delik tidak harus dilakukan sendiri. Prof. Satauchid Kartanegara
menyatakan bahwa sebenarnya mencantumkan rumusan “ die feit plegen “
itu berlebihan, sebab andaikata perumusan itu tidak dicantumkan, sudah
pasti juga akan diketahui siapa pelakunya, yaitu dalam :
1). Delik dengan perumusan formal, pelakunya adalah “ barangsiapa
yang memenuhi rumusan delik “.
2). Delik dengan perumusan material, pelakunya adalah “
barangsiapa yang menimbulkan akibat yang dilarang “.
3). Delik yang memiliki unsur kedudukkan atau kualitas (
hoedanigheid enqualiteit ), palakunua adalah mereka yang
memiliki unsur kedudukkan atau kualitas sebagai yang ditentukan
itu, yaitu misalnya kejahatan dalam jabatan, yang dapat
melakukan adalah hanya para pejabat itu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa “ pleger “ adalah barangsiapa yang
memenuhi semua unsur dari yang terdapat dalam rumusan delik (Laden

Merpaung, 2009 : 78-79).

B. Orang yang menyuruh melakukan ( doen pleger )

Ajaran dalam penyertaan ini disebut juga “ middelijke daderschap “ (


perbuatan dengan perantaraan ). Yang dimaksud dengan orang yang
menyuruh melakukan adalah : “ seseorang yang berkehendak untuk
melakukan suatu delik, tetapi tidak melakukan sendiri dan menyuruh
orang lain untuk melakukannya “. Persyaratan yang penting ini adalah
bahwa orang yang disuruh haruslah orang yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan menurut KUHP. Doen pleger ini terdapat 2 (dua) pihak yaitu : “

45
orang yang menyuruh “, dapat juga disebut sebagai “ middelijke dader “
atau “ manus domina “ dan “ orang yang disuruh “, dapat juga disebut
sebagai “ onmiddelijk dader “ atau “ manus ministra “. (Laden Marpaung, 2009 : 79)
Hal-hal yang membuat orang yang disuruh ( onmidelijk dader /
manus ministra ) itu tidak dapat dipertanggung jawabkan dalam hal ini
adalah “ alasan yang menghilangkan unsur kesalahannya “, yaitu :
a). Kurang sempurna akalnya, seperti dirumuskan dalam Pasal 44
KUHP
b). Berada dalam keadaan dipaksa ( overmacht ), seperti diatur
dalam Pasal 48 KUHP
c). Melakukan perintah jabatan yang tidak syah dengan persyaratan
: (1). Melakukannya dengan etikad baik ( ter goeder trouw ) dan
(2). Perintah jabatan itu pelaksanaannya berada dalam
kewenangannya.
d). Benar-benar tidak mempunyai dasar kesalahan dalam
melaksanakan perbuatan
e). Tidak mempunyai suatu sifat tertentu ( hoedanigheid ) yang
dipersyaratkan oleh undang-undang ( misalnya kejahatan jabatan
yang hanya dapat dikenakan kepada mereka yang
berkedudukkan atau memiliki jabatan itu ). (Laden Marpaung, 2009 : 79-80)

Terdapat perbedaan antara menyuruh melakukan / doen pleger


dengan membujuk / uitlokking, yaitu “ orang yang disuruh melakukan tidak
dapat dipertanggung jawabkan, sedangkan dalam membujuk / uitlokking,
orang yang dibujuk itu adalah seorang yang dapat dipertanggung jawabkan
menurut KUHP “. Terdapat persoalan , apakah seorang yang tidak
mempunyai sifat atau kualitas seperti dirumuskan dalam undang-undang
menyuruh orang lain yang mempunyai kualitas tersebut, misalnya saja : “
bukan pegawai / pejabat menyuruh melakukan seorang pejabat untuk
melakukan tindak pidana atau seorang wanita menyuruh orang gila untuk
memperkosa seorang wanita atau seorang suami mneyuruh orang lain
untuk memperkosa istrinya “?
Van Hammel mengatakan bahwa tidak mungkinlah seorang bukan
pegawai menyuruh seorang pegawai untuk melakukan tindak pidana /
46
kejahatan jabatan, karena ia sendiri tidak dapat melakukannya, dalam hal ini
Van Hammel mencari penyelesaiannya dalam membujuk. Memang dalam
hal seperti yang tersebut diatas terjadi semacam teka-teki, tetapi jika kita
mengikuti pendirian bahwa “ menyuruh melakukan “ adalah salah satu
bentuk “ daderschap “ ( halnya melakukan ), yaitu ada yang melakukan
sendiri dan ada yang dilakukan oleh orang lain, maka dapat saja terjadi
demikian. Jongkers yang mengatakan bahwa peserta dalam Pasal 55
KUHP itu “ dipidana sebagai pelaku “ ( jadi bukan dianggap sebagai
pelakunya sendiri ) dan berpendapat bahwa bisa saja seorang yang bukan
pegawai menyuruh seorang pegawai untuk melakukan kejahatan jabatan.
Demikian pula beberapa sarjana lain, masing-masing mempunyai
konstruksinya sendiri-sendiri untuk menjelaskan pendapatnya. Putusan HR
tanggal 21 April 1915 menyatakan bahwa : “ seorang yang disuruh
melakukan itu bukanlah seorang pelaku, melainkan disamakan dengan
orang yang demikian, kerenanya seorang yang tidak mempunyai sifat-sifat
pribadi tersebut merupakan unsur dari kejahatan yang dilakukan itu “.
Prof. Simons mengutarakan bahwa orang yang disuruh tersebut
harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu :
1. apabila yang yang disuruh melakukan tindak pidana itu adalah
seseorang yang tidak dapat dipertanggung jawabkan seperti yang
dimaksud dalam Pasal 44 KUHP
2. apabila orang yang disuruh melakukan tindak pidana mempunyai
dwaling atau suatu kesalahpahaman mengenai unsur tindak
pidana yang bersangkutan ( Laden Marpaung, 2009 : 79-80 ).

C. Turut Melakukan ( Medeplegen )

Turut melakukan adalah bentuk ke-2 ( kedua ) dari penyertaan. MvT


mengemukakan bahwa orang yang turut melakukan adalah orang yang
dengan sengaja turut berbuat dalam melakukan suatu delik. Perkataan “
turut berbuat “ itu perlu dijelaskan dan hal ini menjadi bahan perbincangan
dan pendapat-pendapat para sarjana. Van Hammel dan Trapman
berpendapat bahwa turut melakukan itu terjadi apbila perbuatan masing-
masing peserta memuat semua unsur delik yang bersangkutan. Tetapi hal

47
ini ditentang oleh para sarjana lainnya, seperti Simons, Hazewinkel-Suringa
dan van Hattum. Kalau pendapat van Hammel itu betul, maka apa gunanya
ada ketentuan tentang “ turut serta “, sebab kalau masing-masing telah
memenuhi unsur delik secara lengkap , bukankah tidak perlu diadakan
ketentuan “ turut serta “ ini. Kadang-kadang sesuatu itu harus dikerjakan
bersama-sama dan tiap orang tidak perlu sepenuhnya menyelesaikan
sesuatu itu, sehingga pendapat van Hammel itu terlalu sempit. Simons
berpendirian lebih luas, ia berpendapat bahwa yang “ turut serta “
melakukan delik adalah “ pelaku “, oleh karena itu mereka yang turut serta
harus memiliki kualitas pribadi yang dipersyaratkan untuk melakukan delik,
jika tidak, maka mereka tidak dapat dikualifikasikan sebagai orang yang
turut serta. Vos menambahkan bahwa dalam hal demikian, maka hanya
dapat dikualifikasikan sebagai pembantu.
Dalam turut melakukan / medeplegen merupakan bentuk deelneming
yang apabila beberapa orang bersama-sama melakukan suatu perbuatan
yang dapat dipidana. Diantara mereka itu harus ada kesadaran berdasarkan
perundingan / permufakatan bahwa mereka akan atau untuk melakukan
suatu tindak pidana, meskipun perundingan / permufakatan itu bukan
merupakan syarat mutlak untuk adanya medepleger (A.Fuad Usfa dan Tongat, 2004 :

116-117 dan Laden Marpaung, 2009 : 81).

Vos memberikan sebuah contoh :


“ A dan B bersama-sama memasuki rumah melalui jendela yang
terkunci dan jendela ini telah dibuka dengan kekeresan oleh A,
selanjutnya B mengambil barang itu tanpa seizin pemiliknya dan
hanya B yang melakukan dan tidak oleh A, walaupun demikian, A
juga dipidana sebagai melakukan pencurian dengan kekerasan “.
Noyon berpendapat lain lagi, menurut dia “ mededaderschap “ itu
adalah “ daderschap “ dan “ medeplegen “ ( turut serta ) ini merupakan
bentuk yang khusus, yaitu justru dalam medeplegen ini tidak diperlukan
seluruh kualitas yang ada pada seorang pelaku. Alasannya adalah
bertumpu pada Pasal 284 KUHP yaitu mengenai perzinahan. Seorang pria
yang tidak beristri atau seorang wanita yang tidak bersuami oleh undang-
undang dengan tegas dinyatakan sebagai “ turut serta dalam zina “, padahal

48
mereka sendiri tidak mungkin melakukan perbuatan zina oleh karena
mereka belum menikah.
Jurisprudensi yang ditimbulkan dengan putusan HR tanggal 21 Juni
1926 berdiri diantara pendirian Simons dan Noyon. Pendapat HR adalah
bahwa tidak perlu yang turut melakukan itu memiliki kualitas sepenuhnya
pada pelaku. Selanjutnya dalam keputusan HR tanggal 29 Oktober 1934
diberikan ukuran bagi turut melakukan, yaitu : (a). antara para peserta ada
suatu kerjasama yang disadari dan (b). para peserta bersama-sama telah
melakukan perbuatan itu. Persoalaan selanjutnya adalah : apakah
kerjasama yang erat diantara para peserta itu perlu diperjanjikan atau
disepakati bersama terlebih dahulu ? Hazewinkel-Suringa berpendapat
bahwa tidak perlulah kerjasama yang erat itu terlebih dahulu disepakati,
cukup apabila telah ada saling mengerti dan perbuatannya itu ditujukan
pada satu tujuan yang sama. Sehingga kiranya ada 2 (dua) orang A dan B
yang hendak melakukan sesuatu kejahatan terhadap C dilakukan secara
turut melakukan ( medeplegen ), apabila A berkehendak untuk membunuh
C, sedangkan B hanya berkehendak untuk menganiaya C saja.
Dalam hal pengertian “ melakukan perbuatan “ seperti tersebut pada
b ( para peserta bersama-sama telah melakukan perbuatan itu ) diatas,
mungkin sekali timbul permasalahan apa yang dimaksud dengan “
melakukan “ atau “ melaksanakan “ itu. Peristiwa ini sama halnya dengan
kesulitan yang timbul dalam hal percobaan, yaitu untuk membedakan
tindakan persiapan ( voorbereiding ) dan permulaan pelaksanaan ( begin
van uitvoering ). Untuk lebih dapat terperinci memahami pengertian turut
melakukan kehendak ini. ( lebih detail dapat dibaca dari Buku Dasar-Dasar Hukum Pidana dari

P.A.F. Lamintang, hal. 582 – 606 ).

D. Menganjurkan ( Uitlokken )

Seperti halnya bentuk penyertaan “ doen plegen “ dan “ medeplegen


“, maka penganjuran atau uitlokken ini juga merupakan suatu bentuk
penyertaan, yaitu terdapatnya 2 ( dua ) orang atau lebih, disatu pihak
sebagai actor intellcktualis dan pihak lan sebagai actor materialis. Dalam
Pasl 55 ayat (1) ke-2 KUHP disebutkan secara limitatif upaya untuk
terjadinya penganjuran, yaitu :

49
1). Memberi atau menjajikan sesuatu
2). Menyalahgunakan kekuasaan atau martabat
3). Dengan kekerasan
4). Dengan ancaman atau penyesatan
5). Memberi kesempatan, sarana atau keterangan
Sedangkan Prof. Moeljatno mempersyaratkan adanya penganjuran
yaitu :
1). Harus ada orang yang mempunyai kesengajaan untuk melakukan
perbuatan pidana dengan menganjurkan orang lain
2). Harus ada orang lain yang dapat melakukan perbuatan yang
sengaja dianjurkan
3). Cara menganjurkan harus dengan cara seperti yang ditentukan
dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP
4). Orang yang dianjurkan harus benar-benar melakukan perbuatan
pidana seperti yang dikehendaki oleh penganjur. (Lihat I Made

Widnyana, 1992 : 47).

Van Hammel merumuskan penganjuran sebagai berikut :


“ Kesengajaan menggerakkan orang lain yang dapat
dipertanggung jawabkan pada dirinya sendiri untuk melakukan
suatu tindak pidana, dengan menggunakan cara-cara yang
telah ditentukan oleh undang-undang dan karena tergerak,
orang tersebut kemudian dengan sengaja melakukan tindak
pidana yang bersangkutan “
Dari kedua rumusan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa :
antara “ menyuruh melakukan “ dan “ menganjurkan “ terdapat persamaan,
yaitu adanya “ manus domina / middelijk dader ( yang menyuruh ) “ dan “
manus ministra / onmiddelijk dader ( orang yang disuruh ) “. Sedangkan
perbedaannya adalah : (a). Dalam Manus ministra ( yang disuruh ) dalam
doen plegen ( yang menyuruh melakukan ) haruslah seorang yang tidak
dapat dipertanggung jawabkan ( niet – toerekenbaar ), sedangkan dalam
manus ministra ( yang disuruh ) dalam penganjuran ( uitlokking ) adalah
orang yang dapat dipetanggung jawabkan atas perbuatannya, (b). Cara-
cara menyuruh dalam doen plegen ( yang menyuruh melakukan ) tidak

50
ditentukan oleh undang-undang, sedangkan cara-cara untuk menganjurkan
ditentukan secara limitatif seperti tersebut diatas
Dari Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP tersebut juga dapat diketahui,
bahwa kesengajaan dari penganjur harus ditujukan kepada tindak
pidananya yang diharapkan dilakukan oleh orang lain yang telah digerakkan
dengan cara-cara tersebut. Bagaimana halnya dengan kesengajaan dari
orang yang telah digerakkan oleh karena anjuran itu ? Apakah harus sama
ataukah malahan yang digerakkan tidak perlu mempunyai kesengajaan itu ?
van Hammel mengatakan bahwa secara yuridis kesengajaan orang
yang telah digerakkan oleh si penganjur itu haruslah identik dengan
kesengajaan yang menganjurkan. Dalam hal yang digerakkan tidak
mempunyai kesengajaan, maka bentuknya lalu bukanlah menganjurkan,
oleh karena tidak adanya kesengajaan itu berarti tidak memenuhi rumusan
delik sehingga orang itu tidak dapat dikatagorikan sebagai alat mati dan ini
adalah bentuk penyertaan doen plegen ( yang menyuruh melakukan ).
Kesengajaan dari penganjur dan yang diberi anjuran harus identik, apakah
hal ini tidak sama dengan pelakunya sendiri ?. Dengan perkataan lain
seolah-olah tidak ada perbedaan sama sekali mengenai kesengajaan
maupun akibat hukum yang berlaku, baik bagi penganjur maupun orang
yang digerakkan, sebab kesengajaan harus sama, juga ancaman pidananya
sama.
Yang merupakan perbedaan antara penganjuran dan pelaku
penganjuran :
(1). Adanya penganjuran adalah bila kesengajaan dari orang yang
melakukan ( yang digerakkan ) baru timbul setelah terjadinya
penganjuran. Jadi kesengajaan seorang penganjur dengan
kesengajaan dari orang orang yang dianjurkan timbul pada
waktu berbeda.
(2). Seorang penganjur tidak bertanggung jawab atas perbuatan
orang yang digerakkan yang melebihi dari apa yang dianjurkan (
Pasal 55 ayat (2) KUHP )
Seorang penganjur harus bertanggung jawab samapi batas hal-hal
yang dianjurkan beserta akibat-akibatnya. Seorang penganjur yang orang
lain untuk penganiayaan, tidak dapat dipertanggung jawabkan atau
51
dipersalahkan sebagai menganjurkan pembunuhan, jika orang yang
digerakkan itu akhirnya melakukan pembunuhan, bukan hanya
penganiayaan. Bagaimana halnya bila seorang telah menggerakkan orang
lain untuk melakukan suatu delik tertentu dengan cara yang ditentukan oleh
undang-undang, tetapi ternyata orang yang digerakkan tidak melakukannya.
Apakah si penganjur tetap dapat dipidana ?
Mengenai hal ini perlu dijelaskan, bahwa terdapat 2 (dua) pendirian
tentang penyertaan, yaitu :
(a). Yang beranggapan bahwa penyertaan adalah sesuatu hal yang
berdiri sendiri ( zelfstanding vormen van deelneming )
(b). Yang beranggapan bahwa penyertaan adalah sesuatu hal yang
tidak berdiri sendiri ( onzelfstanding vormen van deelneming
atau aecessoire varmen van deelneming ) (Lihat kembali I Made

Widnyana, 1992 : 34 dan Utrecht (1), 1965 : 13).

Contoh : A memberikan sejumlah uang kepada B dengan janji


supaya B menganiaya C. Setelah B menerima uang, B
tidak jadi menganiaya C
Menurut pendapat pertama ( Zelfstandig vormen van deelneming –
bentuk penyertaan itu berdiri sendiri ), maka A tetap dapat dituntut karena
melakukan perbuatan yang dapat dipidana, sedangkan sebaliknya yang
mengikuti pendapat kedua ( Onzelfstandig vormen van deelneming – bentuk
penyertaan yang tidak berdiri sendiri ), A tidak dapat dipidana, sebab B
belum atau tidak melakukan perbuatan yang dianjurkan tersebut. Pendapat
tersebut diatas sangat sulit diterapkan dalam praktek, meskipun ada Pasal
53 KUHP tentang percobaan melakukan kejahatan tetap dapat dihukum.
Untuk mengatasi kesulitan ini, maka pada tahun 1925 disusulkan Pasal 163
bis dalam KUHP. Paasal 163 bis KUHP ini menampung perbuatan pidana
yang terjadi karena digerakkan atau dianjurkan ( pelaku material ) tidak
sampai melakukan perbuatan yang dikehendaki oleh si penganjur ( uitlokker
). Penganjuran ini terkenal dengan “ Penganjuran Yang Meleset atau
Penganjuran Yang Tanpa Hasil atau Mislukte Uitlokking “.
Didalam Pasal 163 bis KUHP menyatakan :
(1). Barangsiapa dengan menggunakan salah satu sarana tersebut
dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2, mencoba menggerakkan orang lain

52
supaya melakukan kejahatan, diancam dengan pidana penjara
paling lama enam tahun atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah, jika tidak mengakibatkan kejahatan atau percobaan
kejahatan yang dipidana, tetapi dengan ketentuan bahwa sekali-
kali tidak dapat dijatuhkan pidana yang lebih berat dari pada yang
ditentukan terhadap kejahatan itu sendiri
(2). Aturan tersebut tidak berlaku, jika tidak mengakibatkannya
kejahatan atau percobaan kejahatan yang dipidana itu,
disebabkan karena kehendaknya sendiri
Dari rumusan pasal tersebut diatas, dapat disimpulkan 2 ( dua ) hal
yang penting, yaitu :
1). Pidana yang dijatuhkan lebih ringan atau sekali-kali dapat
dijatuhkan pidana yang lebih berat dari pada yang
ditentukan terhadap kejahatan percobaan.
2). Aturan Pasal 163 bis KUHP tidak berlaku, jika tidak
mengakibatkan kejahatan atau percobaan kejahatan yang
disebabkan karena kehendak si penganjur sendiri
Seperti disebutkan diatas cara-cara untuk menganjurkan ditentukan
secara limitatif oleh undang-undang, ialah :
a). Memberikan : yang diberikan tidak perlu harus berbentuk uang,
tetapi dapat juga dalam bentuk barang, pangkat dsb.nya.
b). Menjanjikan : janji ini berarti kesanggupan dan hal ini juga tidak
harus berbentuk uang, tetapi dapat juga dalam bentuk barang
atau pangkat dsb.nya.
c). Menyalahgunakan kekuasaan : yang dimaksudkan adalah harus
ada kekuasaan yang dimiliki oleh penganjur, seperti halnya
kekuasaan dalam lingkungan pekerjaan, juga kekuasaan orang
tua terhadap anak. Prof. Satauchid Kartanegara dipermasalahkan
hubungan kekuasaan majikan terhadap buruh yang bersifat
perdata, apakah ini juga termasuk sebagai adanya kekuasaan (
gezag ) dari majikan terhadap buruh.
d). Menyalahgunakan martabat : bentuk upaya ini tidak terdapat
dalam KUHP Belanda, ini adalah spesifik Indonesia, seperti

53
Bupati, Kepala Desa yang mempunyai kedudukkan atau martabat
yang dihormati didaerahnya.
e). Kekerasan : apabila mempergunakan kekerasan sampai timbul
overmacht, maka hal ini tidak termasuk dalam penganjuran (
uitlokking ), tetapi berada dalam lingkungan menyuruh
melakukan. Oleh karena itu kekerasan yang digunakan dalam
penganjuran harus lebih ringan sifatnya, yaitu yang menurut
perhitungan yang layak masih dapat dielakkan, sehingga tidak
timbul overmacht.
f). Ancaman : juga harus dipertimbangkan seperti halnya dalam
huruf e.
g). Muslihat : ialah dengan kata-kata yang menimbulkan pengertian
yang salah atau sesuatu yang “ misleid “ kepada hal yang lain.
h). Memberikan kesempatan, sarana atau keterangan : misalnya
seorang pembantu rumah tangga yang memberikan kesempatan
dengan membukakan pintu agar pelaku dapat masuk,
meminjamkan senjata, pemebritahuan tentang situasi dan kondisi
rumah oleh pembantu rumah tangga.

Didalam KUHP terdapat pasal yang mirip dengan penganjuran, yaitu


Pasal 160 KUHP, yang dikenal dengan “ Penghasutan “, yaitu
menggerakkan orang banyak untuk melakukan yang dapat dipidana,
melawan kekuasaan pemerintah dengan kekerasan atau tidak menuruti
peraturan perundang-undangan atau perintah jabatan. Perbedaannya
dengan penganjuran adalah kecuali penghasutan tersebut merupakan delik
tersendiri, objeknya biasanya orang banyak, juga cara-cara untuk
melakukan penghasutan dilakukan tidak secara limitatif, melainkan
ditentukan caranya harus dilakukan dengan lisan atau tulisan dan ditempat
umum.
Pertanggung Jawaban seorang penganjur
Jika kita tinjau bunyi Pasal 55 ayat (2) KUHP : “ terhadap penganjur
hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan
beserta akibat-akibatnya “, maka dapat disimpulkan bahwa disatu pihak
pertanggung jawabannya dibatasi, tetapi dilain pihak diperluas.
54
Dibatasi : karena yang diperhitungkan hanyalah apa yang dianjurkan saja,
maka jika yang dianjurkan melakukan delik yang melebihi
anjurannya, si penganjur hanya bertanggung jawab sebatas yang
dianjurkan dan kelebihannya menjadi tanggung jawab yang
dianjurkan. Contoh seperti diatas : Kalau A hanya menganjurkan
B untuk menganiaya C, tetapi B membunuh C, maka A hanya
dipertanggung jawabkan / dipersalahkan menganjurkan
penganiayaan, sedangkan B bertanggung jawab atas
pembunuhan terhadap C
Diperluas : karena juga mennyangkut beserta akibat-akibatnya, maka
seandainya dalam contoh diatas, B benar-benar hanya
menganiaya C, tetapi berakibat matinya C, maka A tidak
dipertanggung jawabkan atas anjurannya untuk menganiaya C,
melainkan juga menjadi penganiayaan yang mengakibatkan
kematian bagi C. Mengenai akibat ini, tidaklah perlu dapat
dibayangkan oleh si penganjur.
Kiranya masih perlu disebutkan disini hal-hal yang dalam praktek
terjadi, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh “ agent provocateur “.
Contohnya : seorang polisi mengetahui dengan jelas bahwa A sering
melakukan kejahatan. Karena kelihayannya, polisi itu sulit untuk
mendapatkan bukti dan menangkap A. Usaha polisi tersebut misalnya
dengan pura-pura menganjurkan supaya A melakukan kejahatan dan akan
ditangkap pad waktu melakukan kejahatan tersebut. Jadi pendeknya polisis
tersebut menjebak A, akhirnya A betul dapat tertangkap. Apakah polisi itu
sebagai penganjur dapat dijatuhi pidana ??
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, yaitu :
a). Pendapat disatu pihak menganggap bahwa penganjur ( polisi
yang menjebak dengan anjuran itu ) tidak dapat dipidana, dengan
alasan bahwa polisi tersebut tidak mempunyai niat untuk
melakukan kejahatan, tetapi siasat / akal / cara untuk menangkap
A
b). Pendapat yang lain beranggapan bahwa polisi itu harus dipidana,
karena perbuatannya memenuhi unsur-unsur yang terdapat
dalam Pasal 55 KUHP, tanpa mengiraukan niat yang sebenarnya
55
Penganjuran sebagai delik yang berdiri sendiri
Didalam KUHP juga banyak terdapat bentuk penganjuran yang
diangkat sebagai delik tersendiri, misalnya Pasal 236 KUHP tentang “
seorang yang dalam waktu damai menganjurkan seseorang anggota militer
untuk melakukan desersi “. Pasal 237 KUHP tentang “ penganjuran kepada
militer untuk mengadakan huru hara atau pemberontakkan “

Daftar Pustaka

Chazawi, Adami (1), 2002 : Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2, Raja


Grafindo Persada, Jakarta.

Lamintang, P.A.F., 1984 : Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar


Baru, Bandung.

------------, 2008 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan,


Bumi Aksara, Jakarta.

Marpaung. Leden, 2009 : Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar


Grafika, Jakarta.

Utrecht. E, 1965 : Hukum Pidana II, PT Penerbitan Universitas – Bandung.

Usfa, A. Fuad dan Tongat, 2004 : Pengantar Hukum Pidana, Penerbitan


Universitas Muhammad Malang, Malang.

Widnyana. I Made, 1992 : Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika, FH Unud,


Denpasar.

C. Penutup
1. Rangkuman Materi

Penyertaan diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Dikatakan


penyertaan apabila dalam suatu tindak pidana terlibat / tersangkut beberapa
orang atau lebih dari satu orang. Beberapa orang sarjana, antara lain Van
Hammel, Simons, Van Hattum, Hazewinkel-Suringa mengatakan bahwa
ketentuan dalam KUHP tersebut dimaksudkan untuk “ mengatur
pertanggung jawaban menurut hukum pidana bagi setiap orang yang terlibat
dalam suatu perbuatan pidana, oleh karena tanpa ketentuan tersebut orang
56
yang terlibat tidak dapat dijatuhi pidana “. Jenis atau bentuk-bentuk dari
penyertaan :
- Orang Yang Melakukan ( Pleger )

Pasal 55 KUHP tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan pidana kepada


“ dader “, tetapi kepada “ pleger “ dan karena itu dalam lingkup “
penyertaan “, maka tindak pidana ini atau delik tidak harus dilakukan
sendiri.
- Orang yang menyuruh melakukan ( doen pleger )
Yang dimaksud dengan orang yang menyuruh melakukan adalah : “
seseorang yang berkehendak untuk melakukan suatu delik, tetapi tidak
melakukan sendiri dan menyuruh orang lain untuk melakukannya “.
- Turut Melakukan ( Medeplegen )
MvT mengemukakan bahwa orang yang turut melakukan adalah orang
yang dengan sengaja turut berbuat dalam melakukan suatu delik.
- Menganjurkan ( Uitlokken )
Penganjuran atau uitlokken ini juga merupakan suatu bentuk
penyertaan, yaitu terdapatnya 2 ( dua ) orang atau lebih, disatu pihak
sebagai actor intellcktualis dan pihak lan sebagai actor materialis.

57
2. Latihan :

PERTEMUAN KE IV : TUTORIAL II
PENYERTAAN (DEELNEMING)

2) Pelaku dalam Hukum Pidana.


a. Kasus I
Ali bermaksud melakukan tindak pidana pencurian di rumah Burhan
seorang saudagar ikan asin yang di kampungnya terkenal sangat kaya. Ali
tidak mau bekerja seorang diri, oleh karenanya ia mengajak Yudi, Yuda dan
Budi yang masih berstatus sebagai karyawan Burhan. Dalam usahanya
untuk memuluskan aksinya, Ali menyuruh Yudi pada malam yang telah
ditentukan untuk tidak mengunci pintu kantor tempat penyimpanan brankas,
sedangkan Yuda ditugaskan untuk menyiapkan tangga yang akan
dipergunakan sebagai alat bantu memanjat tembok menuju ke tempat
brankas. Untuk melakukan aksinya, Ali membujuk Budi pada malam yang
ditentukan untuk mengambil semua isi brankas di kantor Burhan untuk
kemudian dibawa ke rumah Ali. Hasil dari tindak pidana tersebut kemudian
dibagi-bagi secara merata di antara keempat orang tersebut.

b. Pertanyaan :

a. Jelaskan status masing-masing pelaku tindak pidana dalam contoh


kasus di atas !
b. Tentukan ancaman pidana untuk masing-masing pelaku !

c. Bahan Bacaan

1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945


2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.
Bandung : Sinar Baru, hal. 556 - 627
3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 34 – 36
58
4. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373,
364, 382.
5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana.
Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 209 -265
6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 17 – 39
7. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik
Delik Khusus. h, 76- 77.
8. Sianturi, SR 198 Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
9. Tresna, R 1959. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal.
82 – 97
10. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 32 – 49

3) Menyuruh Orang lain, Bersama-sama melakukan dan


Menganjurkan Orang lain Untuk Melakukan Tindak Pidana.
a. Kasus II
Muhaimin bermaksud melakukan tindak pidana pencurian barang-
barang inventaris kantor di tempatnya bekerja. Dalam melakukan aksinya, ia
melibatkan 4 orang temannya, yaitu : Mu’in, Mu’is, Muklas dan Muklis.
Antara Muhaimin, Mu’in dan Mu’is, telah bersepakat sebelumnya tentang
maksud dan tujuan perbuatannya, namun mereka menyadari tanpa adanya
bantuan orang lain, perbuatan tersebut tidaklah dapat diwujudkan. Untuk itu,
ia dengan menjanjikan hadiah menarik ia menganjurkan Muklas untuk
meninggalkan tempat dilakukannya pencurian. Terhadap Muklas, ia
memerintahkan supaya malam itu, kunci tempat penyimpanan barang
inventaris kantor tidak dikunci. Muklaspun menerima suruhan itu karena
Muklas adalah bawahan Muhamin di kator tersebut. Selanjutnya, pada
malam yang telah ditentukan Muhaimin bersama-sama dengan Mu’in dan
Mu’is mengambil barang-barang inventaris kantor. Mereka bekerja sama
secara fisik untuk mengangkut barang-barang tersebut ke suatu tempat.
Mu’is walaupun malam itu ikut membantu Muhaimin, namun mereka tidak
memehami maksud Muhaimin mengangkut barang-barang tersebut.
59
b. Pertanyaan :
1. Muklas dalam melaksanakan perintah Muhaimin, secara tidak
langsung berhubungan dengan statusnya sebagai bawahan
Muhaimin dalam struktur organisasi kantor tempatnya bekerja.
Apakah dalam kasus di atas, Muklas dapat dipertanggungjawabkan
menurut hukum pidana ?
2. Dalam kasus di atas, tentukan posisi masing-masing pelaku. Siapa
yang berstatus sebagai penganjur (auctor intellectualis atau
intelectuelo dader) dan siapa yang bertindak selaku auctor
materialis atau materiele dader.
3. Dari kasus di atas, tentukansiapa-siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana dan sispa-siapa yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan. Berikan argumen untuk
mendukung pendapat saudara !

c. Bahan Bacaan
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.
Bandung : Sinar Baru, hal. 556 - 627
3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 34 – 36
4. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373,
364, 382.
5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana.
Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 209 -265
6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 17 – 39
7. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik
Delik Khusus. h, 76- 77.
8. Sianturi, SR 198 Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
9. Tresna, R 1959. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal.
82 – 9.
60
POKOK BAHASAN III
PEMBANTUAN/MEMBANTU MELAKUKAN TINDAK PIDANA
(MEDEPLIGHTIGHEID)

PERTEMUAN KE V: PERKULIAHAAN III

BAB III
PEMBANTUAN/MEMBANTU MELAKUKAN TINDAK PIDANA
(MEDEPLIGHTIGHEID)

A. Pendahuluan
Pembantuan (medeplightigheid) merupakan bentuk keempat dari
penyertaan (deelneming). Ketentuan pembantuan ini diatur dalam Pasal 56,
57, dan 60 KUHP KUHP. Pembantuan (medeplightigheid) terjadi ketika
dalam suatu tindak pidana terlibat 2 orang atau lebih yang masingmasing
sebagai pembuat (de hoof dader) dan pembantu (de medaeplichtige).
Setelah mempelajari materi dalam Pembantuan (medeplightigheid),
Capaian Pembelajaran yang diperoleh adalah Mahasiswa menguasai
pengetahuan mengenai Dasar Hukum, Bentuk/macam/jenis pembantuan
(medeplightigheid), Syarat-syarat Pembantuan (medeplightigheid), Sanksi
Pidana, dan Perbedaan antara beberapa bentuk Penyertaan. Pembantuan
(medeplightigheid) perlu dipelajari lebih mendalam untuk bisa memahami
materi dalam tutorial pada pertemuan berikutnya, sehingga kasus-kasus
dalam tutorial dapat dianalisis dengan baik.

B. Istilah dan Pengertian Pembantuan (medeplightigheid)


Lamintang mengatakan bahwa, arti harfiah dari membantu
(medeplichtige) adalah medeschuldig atau turut bersalah. Dalam rumusan
Pasal 56 KUHP, membantu/medeplichtige ini disebut “pembantu”. Dalam
pembantuan ini terdapat : pelaku/pembuat ( hoofd dader ) dan pembantu /
medeplichtige. Menurut Simons medeplightigheid merupakan suatu
onzelfstandige deelneming atau suatu keturutsertaan yang tidak berdiri
sendiri. Ini berarti bahwa apakah seorang medeplightige itu dapat dihukum
61
atau tidak, hal mana bergantung pada kenyataan, yakni apakah pelakunya
telah melakukan tindak pidana atau tidak (Lamintang, 2013 : 646).

C. Dasar Hukum
Pembantuan (medeplightigheid) diatur di dalam 3 (tiga) pasal yakni
Pasal 56, 57, dan 60 KUHP. Pasal 56 KUHP merumuskan mengenai unsur
objektif dan subjektif pembantuan serta bentuk/macam/jenis pembantuan.
Pasal 57 KUHP merumuskan mengenai batas luasnya pertanggungjawaban
bagi pembuat pembantu, dan Pasal 60 KUHP mengatur mengenai
penegasan pertanggungjawaban pembantuan, yaitu hanyalah pada
pembantuan dalam hal kejahatan saja tidak termasuk pelanggaran.

D. Bentuk/macam/jenis pembantuan (medeplightigheid)


Pasal 56 KUHP menentukan bahwa dipidana sebagai pembantu suatu
kejahatan :
Ke-1 : mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu
kejahatan dilakukan.
Ke-2 : mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau
keterangan untuk melakukan kejahatan.
Pasal 56 KUHP ini membedakan 2 (dua) macam pembantuan, yaitu :
1). Membantu “ melakukan kejahatan “ dan
2). Membantu “ untuk melakukan kejahatan “
Yang pertama adalah membantu pada waktu kejahatan dilakukan,
tanpa disebutkan sarana atau daya upaya tertentu, sedangkan yang kedua
adalah pembantuan yang diberikan mendahului kejahatan dilakukan, yaitu
dengan upaya yang berwujud kesempatan, sarana, dan atau keterangan.
Dengan kata lain, bentuk yang kedua ini merupakan pembantuan kejahatan
yang dilakukan pada saat sebelum dilakukannya kejahatan dan telah diatur
secara limitatif di dalam Pasal 56 KUHP yakni, dengan cara :
- Memberi kesempatan
- Memberi sarana
- Memberi keterangan untuk melakukan kejahatan

62
Simons menyatakan bahwa pembantuan ini merupakan penyertaan
yang tidak berdiri sendiri, artinya seorang yang membantu ini dapat dipidana
atau tidak tergantung kepada kenyataan, apakah pelakunya sendiri telah
melakukan tindak pidana atau tidak. Bentuk pembantuan yang pertama,
yaitu sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, dapat
berwujud bantuan material, moral ataupun intelektual. Bentuk pembantuan
yang kedua, adalah kesengajaan memberikan bantuan untuk
mempermudah orang lain melakukan kejahatan (Lamintang, 2013 : 646-647). Hal ini
juga berbentuk material, seperti memberikan alat kepada pelaku, ataupun
dalam bentuk intelektual, seperti memberikan kesempatan orang lain utnuk
melakukan pencurian terhadap barang-barang yang berada dalam
pengawasannya, lebih lanjut dapat dipahami dari penjelasan berikut :
- Memberi kesempatan : memberikan peluang yang sebaik-baiknya
dalam hal orang lain untuk melakukan kejahatan.
- Memberi sarana : memberikan alat atau benda yang dapat
digunakan untuk mempermudah melakukan kejahatan.
- Memberi keterangan untuk melakukan kejahatan : menyampaikan
ucapan-ucapan dalam susunan kalimat yang dimengerti orang lain,
berupa nasihat atau petunjuk dalam hal orang lain melaksanakan
kejahatan.
Ketiga cara ini (memberi kesempatan, sarana, dan keterangan) ini tidak
berfungsi membentuk kehendak orang yang dibantu untuk melakukan
kejahatan, karena kehendak untuk melakukan kejahatan pada pembuat
pelaksanaannya telah lebih dahulu terbentuk sebelum pembuat pembantu
menggunakan atau menyampaikan 3 (tiga) upaya tersebut.
Bagaimana membedakan antara “membantu” atau “turut serta” ?
Hal ini tentu penting untuk diketahui. Cara untuk mengetahui perbedaan
antara seseorang itu “ membantu “ atau “ turut serta “ dalam kejahatan
bukanlah soal mudah. Yang perlu dipegang / diperhatikan sebagai pedoman
untuk diketahui adalah seseorang yang bekerja sama dengan pelaku itu
adalah “ pembantu “ atau “ peserta “ yang diperlukan, karena pidananya
berbeda, yaitu :“ pembantu dipidana berbeda dengan pelaku “ ( Pasal 57
KUHP ) dan “peserta“ dipidana sama dengan pelaku “ ( Pasal 55 KUHP ).

63
E. Syarat-syarat Pembantuan (medeplightigheid)
Pasal 56 KUHP merumuskan unsur subyektif yaitu “sengaja” atau
“kesengajaan” (opzettelijk), sedangkan unsur objektif adalah
“memberikan bantuan”. Kedua unsur ini terkadung 2 (dua) syarat, yakni
syarat subyektif yang terkandung dalam unsur “sengaja” atau “kesengajaan”
(opzettelijk) dan syarat objektif yang terkandung dalam unsur memberi
bantuan.

a. Syarat Objektif
Kesengajaan pembuat pembantu dalam mewujudkan perbuatan
bantuannya ditujukan pada hal untuk mempermudah atau memperlancar
pelaksanaan kejahatan bagi orang lain (pembuat pelaksana). Kesengajaan
pembuat pembantu tidak ditujukan pada pelaksanaan atau penyelesaian
kejahatan, namun ditujukan hanya untuk mempermudah pelaksanaan
kejahatan. Berbeda dengan pembuat penganjur yang kesengajaannya
(sikap batinnya) sama dengan pembuat pelaksana. Timbulnya kehendak
pembuat pelaksana untuk melaksanakan kejahatan selalu lebih dahulu
dibandingkan dengan pembuat pembantu untuk melakukan perbuatan.
Inisiatif mewujudkan kejahatan juga berasal dari pembuat pelaksana, bukan
pada pembuat pembantu. Kesengajaan dalam hal ini berarti, ketika
terbentuknya kehendak pembuat pembantu untuk melakukan perbuatan
bantuannya, maka pada saat itu terbentuk keinsyafan atau kesadaran
bahwa apa yang hendak ia lakukan atau apa yang hendak diperbuatnya itu
adalah untuk kepentingan orang yang dibantunya (pembuat pelaksana)
(Masruchin Ruba’i : 2014, 200-201). Sikap batin pembuat pembantu tidak sama
dengan sikap batin dari pembuat pelaksanaannya.

Kesengajaan Dalam Pembantuan


Pada Pasal 56 KUHP menentukan bahwa pemberian bantuan harus
dilakukan dengan sengaja. Sampai seberapa jauh atau kemanakah arah
kesengajaan ini ditujukan, hal ini terdapat berbagai pendapat. Simons
berpendapat bahwa kesengajaan seorang pembantu harus ditujukan
kepada semua unsur delik, bahkan juga harus ditujukan kepada unsur yang
oleh undang-undang tidak disyaratkan bahwa kesengajaan pelakunya harus
64
ditujukan kepada unsur-unsur tersebut. Selanjutnya Simons mengatakan
bahwa, agar seorang pembantu ( medeplichtige ) dapat dipidana, harus
dipenuhi unsur yang bersifat objektif dan subjektif. Unsur objektif artinya :
“ perbuatan yang dilakukan oleh pembantu, harus benar-benar dapat
mempermudah atau mendukung pelaksanaan perbuatan, artinya,
seandainya bantuan berupa alat-alat dan sebagainya yang diserahkan
kepada pelaku tidak dipergunakan, maka si pembantu pun juga tidak dapat
dipidana “. Sedangkan unsur subjektif, artinya : “ bila perbuatan yang
dilakukan harus benar-benar disengaja atau si pembantu memang
mengetahui bahwa perbuatannya itu dapat mempermudah atau mendukung
pelaksanaan kejahatan oleh orang lain itu adalah memang dikehendaki “.
Sesuai dengan pendapatnya itu, selanjutnya Simons mengatakan : “
pembantuan untuk melakukan suatu kejahatan yang bersifat culpa /
kelalaian sangat jarang terjadi, bahkan tidak mungkin terjadi seperti halnya
suatu penganjuran untuk melakukan kejahatan yang bersifat culpa /
kelalaian “. Pompe berbeda pendapat dengan mengatakan bahwa : “
didalam ayat (2) kekurang hati-hatian itu memang tidak disebutkan, akan
tetapi ini tidak berarti bahwa menggerakkan orang lain untuk melakukan
delik-delik yang dapat dilakukan dengan tidak sengaja, lalu menjadi tidak
harus dipidana “.
Mengenai kesengajaan seorang pembantu, Pompe mengatakan : “
kesengajaan seorang pembantu pertama-tama harus ditujukan kepada
perbuatan membantu atau kepada perbuatan memberikan kesempatan
sarana atau keterangan. Kecuali itu, si pembantu harus mempunyai
kesengajaan atau ketidak sengajaan yang ditujukan kepada unsur
delik “. Apakah mungkin terjadi suatu penyertaan yang ditujukan kepada
penyertaan ? Misalnya “ pembantuan terhadap penganjuran atau
penganjuran untuk memberikan pembantuan. Van Hattum mengatakan
bahwa kebanyakkan penulis Belanda menganggap tidak mungkin adanya
penyertaan terhadap delik penyertaan, tetapi van Hattum mengecualikan
satu hal, yaitu bentuk penyertaan terhadap turut serta ( medeplegen )
mungkin terjadi. Hazewinkel – Suringa tidak menaruh keberatan prinsipiil
kemungkinan adanya penyertaan terhadap penyertaan, kecuali terhadap

65
beberapa bentuk, misalnya “ menyuruh lakukan untuk penganjuran ( doen
plegen van uitlokking ) “.
HR dikatakan oleh Hazewinkel-Suringa untuk pertama kali mengakui
penyertaan terhadap penyertaan dalam Arrestnya yang terkenal sebagai “
Exemen Arrest “ ( 1950 ). Kasusnya sebagai berikut :
“ M Harus menghadapi ujian dan dia telah menerima pelajaran dari A
( terdakwa ). M tetap merasa takut menempuh ujian dan bertanya
kepada A, apakah tidak mungkin orang lain atas nama M yang
menempuh. Dijawab oleh A adalah mungkin. Kesulitan M untuk
mendapatkan orang yang mau dan pandai dipecahkan dengan jalan
A memberikan daftar nama orang-orang yang mungkin dapat disuruh
untuk menempuh ujian tersebut. M memilih B yang dengan janji-jani
mau mendaftarkan atas nama M, tetapi kasus ini ketahuan dan
terdakwa dituntut dan dipidana karena pembantuan untukmelakukan
penganjuran untuk melakukan percobaan penipuan “.
Dalam tingkat kasasi A mengajukan bahwa pembantuan terhadap
penganjuran itu tidak dapat dipidana. Pendirian ini dibenarkan oleh
Langemeyer, yang menyimpulkan agar terdakwa A dilepas dari
segala tuntutan hukum ( ontslag vanalle rechtsvervolging ), HR tidak
membenarkan hal itu, diputuskannya : “ membantu orang untuk
menggerakkan orang lain melakukan suatu kejahatan adalah
mungkin, dengan adanya perkataan “ plegen “ melakukan didalam
Pasal 55 KUHP itu, undang-undang tidak menutup kemungkinan
tentang adanya suatu medelichtigheid didalam suatu uitlokking “.
Rolling memuji putusan HR tersebut, Prof. Moeljatno juga menyetujui
pendirian bahwa pada umumnya penyertaan terhadap delik penyertaan
tidaklah mungkin, tetapi sebagai pengecualian mungkin saja beberapa
bentuk penyertaan terhadap delik penyertaan seperti putusan HR tersebut.
Perbuatan terdakwa A kasus tersebut diatas masih jelas dan mudah
difikirkan, satu sama lain bertalian dengan asas legalitas hukum pidana.
Tetapi yang lebih penting oleh Prof. Moeljatno dianjurkan agar dalam KUHP
diadakan ketentuan tentang batas-batas penyertaan, seperti KUHP
Denmark dan Jepang bersifat singkat dan jelas

66
b. Syarat Objektif
Wujud perbuatan yang dilakukan pembuat pembantu hanya
mempermudah atau memperlancar pelaksanaan kejahatan. Wujud
perbuatan apa yang dilakukan oleh pembuat pembantu dari sudut objektif
berperan mempermudah atau memperlancar penyelesaian kejahatan dan
tidak menyelesaikan kejahatan. Penyelesaian kejahatan tergantung pada
perbuatan pembuat pelaksanaannya.

F. Sanksi Pidana
Ancaman pidana terhadap “ Pembantuan / Medeplichtigheid “
Ancaman pidana terhadap pembantuan disebutkan dalam Pasal 57
KUHP, yaitu :
1). Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap
kejahatan, dikurangi sepertiga.
2). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.
3). Pidana tambahan bagi pembantuan adalah sama dengan
kejahatannya sendiri.
4). Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang
diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah
atau diperlancar olehnya beserta akibat-akibatnya (Moeljatno,
2008 : 26)

Pasal 60 KUHP menyatakan bahwa pembantuan terhadap tidak


dipidana, jadi hanya pembantuan terhadap kejahatan saja yang dapat
dipidana. Kemungkinan adanya keadaan pribadi seseorang yang dapat
menghapuskan, mengurangkan atau pengenaan pidana, hanya
diperhitungkan bagi masing-masing, yaitu terhadap pelaku saja. Artinya
pengurangan tersebut yang berkenaan dengan pelaku tidak dengan
sendirinya juga berlaku bagi pembantu, jika hal itu mengenai keadaan
dirinya.

G. Perbedaan antara beberapa bentuk Penyertaan

Untuk menerangkan, kiranya ada baiknya untuk menyebutkan disini


perbedaan tiap-tiap bentuk penyertaan, dengan cara membandingkan,
walaupun hanya dalam garis besarnya saja.

67
Perbedaan antara Penganjuran dan Menyuruh Melakukan
a. Dalam penganjuran, perbuatan orang yang telah
digerakkan untuk melakukan delik harus dapat
dipertanggung jawabkan kepada yang digerakkan tadi
( orang yang di anjurkan adalah orang yang dapat
dipertanggung jawabkan ). Sedangkan dalam menyuruh
melakukan, perbuatan orang yang disuruh melakukan delik
tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya ( orangnya
yang disuruh tidak dapat dipertanggung jawabkan )

b. Dalam penganjuran, cara menganjurkan telah disebutkan


secara limitatif oleh undang-undang. Sedangkan dalam
menyuruh melakukan, cara-cara untuk menyuruh tidak
disebutkan secara limitatif

Perbedaan antara Penganjuran dan Pembantuan


“ Dalam suatu penganjuran, orang yang digerakkan semula tidak
mempunyai niat / opzet untuk melakukan tindak pidana. Niat / opzet
itu muncul setelah ada suatu penganjuran. Sedangkan dalam
pembantuan, pelaku itu sejak semula telah mempunyai niat untuk
melakukan delik dan kemudian didukung oleh adanya pembantuan “
Perbedaan antara Turut Serta dan Pembantuan
1). Dalam turut serta, perbuatan seseorang peserta / medepleger
ditekankan pada perbuatan turut melakukan. Sedangkan dalam
pembantuan, perbautan seseorang pembantu / medeplichtige
ditekankan pada perbuatan membantu melakukan atau
membantu untuk melakukan suatu kejahatan.
2). Dalam turut serta, seorang peserta / medepleger harus
melakukan suatu perbuatan pelaksanaan / uitvoeringshandeling.
Sedangkan dalam pembantuan, seorang pembantu cukup bila
telah melakukan perbuatan persiapan / voobereidingshandeling
atau suatu perbuatan dukungan / voobereidngshandeling.
3). Turut serta dalam pelanggaran dapat dipidana. Sedangkan
dalam pembantuan, membantu melakukan pelanggaran tidak
dapat dipidana.
68
4). Dalam turut serta, ancaman pidana terhadap peserta /
medepleger sama dengan ancaman terhadap pelaku utama,
sesuai dengan rumusan delik. Sedangkan dalam pembantuan,
ancaman pidana terhadap pembantu adalah ancaman pidana
pokok bagi pelaku dikurangi sepertiganya

Daftar Pustaka

Lamintang, P.A.F., 2013 : Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar


Baru, Bandung.

Moeljatno, 1983 : Delik-Delik Percobaan dan Delik-Delik Penyertaan,


Bina Aksara, Jakarta.

------------, 2008 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan,


Cet. 27, Bumi Aksara, Jakarta.

Ruba’i, Masruchin, 2014 : Buku Ajar Hukum Pidana, Bayumedia


Publishing, Malang.

H. Penutup
1. Rangkuman Materi
Dalam rumusan Pasal 56 KUHP, membantu/medeplichtige ini disebut
“pembantu”. Dalam pembantuan ini terdapat : pelaku/pembuat ( hoofd dader
) dan pembantu / medeplichtige. Menurut Simons medeplightigheid
merupakan suatu onzelfstandige deelneming atau suatu keturutsertaan
yang tidak berdiri sendiri. Ini berarti bahwa apakah seorang medeplightige
itu dapat dihukum atau tidak, hal mana bergantung pada kenyataan, yakni
apakah pelakunya telah melakukan tindak pidana atau tidak.
Pembantuan (medeplightigheid) diatur di dalam 3 (tiga) pasal yakni
Pasal 56, 57, dan 60 KUHP. Pasal 56 KUHP menentukan bahwa dipidana
sebagai pembantu suatu kejahatan :
Ke-1 : mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu
kejahatan dilakukan.

69
Ke-2 : mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau
keterangan untuk melakukan kejahatan.
Pasal 56 KUHP ini membedakan 2 (dua) macam pembantuan, yaitu :
1). Membantu “ melakukan kejahatan “ dan
2). Membantu “ untuk melakukan kejahatan “
Syarat-syarat Pembantuan (medeplightigheid) dapat ditemukan dalam Pasal
56 KUHP yang merumuskan unsur subyektif yaitu “sengaja” atau
“kesengajaan” (opzettelijk) dan unsur objektif adalah “memberikan bantuan”.
Ancaman pidana terhadap pembantuan disebutkan dalam Pasal 57
KUHP, yaitu :
1). Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap
kejahatan, dikurangi sepertiga.
2). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.
3). Pidana tambahan bagi pembantuan adalah sama dengan
kejahatannya sendiri.
4). Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang
diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah
atau diperlancar olehnya beserta akibat-akibatnya (Moeljatno,
2008 : 26)

Pasal 60 KUHP menyatakan bahwa pembantuan terhadap tidak dipidana,


jadi hanya pembantuan terhadap kejahatan saja yang dapat dipidana.

70
2. Latihan :

PERTEMUAN VI : TUTORIAL III


PEMBANTUAN (MEDEPLIGHTIGHEID)

a. Kasus
Abu Bakar berniat untuk melakukan penganiayaan terhadap Ibrahim
di suatu tempat yang luput dari pantauan orang lain. Rencana tersebutpun
disampaikan kepada Maliki, dan Abdurrahman teman dekatnya. Untuk
memuluskan rencananya, Abu Bakar membutuhkan bantuan Maliki, untuk
mengetahui jalan-jalan yang akan dilalui oleh Ibrahim, pulang dari tempat
kerjanya. Maliki dengan senang hati memberikan keterangan bahwa Ibrahim
biasanya melewati Jalan setapak di pinggiran desanya pada jam 17.00 sore.
Berkat keterangan Maliki, Abu Bakar dapat menyusun rencananya dan
menunggu kedatangan Ibrahim pada tempat yang ditunjukkan oleh Maliki
bersama-sama dengan Abdurrahman. Ketika Ibrahim tiba di tempat
tersebut, Abu Bakar menyerang Ibrahim, namun karena teknik perkelahian
yang dimiliki Ibrahim, Abu Bakar terdesak. Pada saat itulah, Abdurrahman
melemparkan sepotong kayu kepada Abu Bakar, yang kemudian
dipergunakan oleh Abu Bakar untuk memukul kepala Ibrahim sampai tidak
sadarkan diri, namun sebelumnya, Abdurrahman memberikan kode-kode
dengan isyarat fisik kepada Abu Bakar untuk melumpuhkan Ibrahim.

b. Pertanyaan :
1. Tentukan status masing-masing pelaku tersebut dalam contoh kasus
di atas !
2. Kapan seseorang dapat dikatakan memberikan bantuan secara fisik
ataun non fisik. Dengan memperhatikan contoh di atas, tentukan
status Maliki dan juga Abdurrahman !

c. Bahan Bacaan
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

71
2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.
Bandung : Sinar Baru, hal. 556 - 627
3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 34 – 36
4. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373,
364, 382.
5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana.
Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 209 -265
6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 40 - 62
7. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik
Delik Khusus. h, 76- 77.
8. Sianturi, SR 198 Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
9. Tresna, R 1959. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal.
157 - 164
10. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 50 – 64

72
PERTEMUAN VII
UJIAN TENGAH SEMESTER

73
POKOK BAHASAN IV
PERBARENGAN (SAMENLOOP)

PERTEMUAN KE VIII : PERKULIAHAAN IV

BAB IV
PERBARENGAN (SAMENLOOP)

A. Pendahuluan

Apabila seseorang melakukan beberapa tindak pidana sekaligus atau


serentak. Kejadian yang sekaligus atau serentak itu disebut dengan
Perbarengan, dalam bahasa Belanda disebut samenloop van strafbaar feit
atau concursus. Namun orang hanya dapat berbicara mengenai adanya
suatu concursus, jika jangka waktu tertentu, ia melakukan lebih daripada
satu tindak pidana dan di dalam jangka waktu tersebut orang yang
bersangkutan belum pernah dijatuhi hukuman oleh pengadilan, karena
salah satu dari tindakan-tindakan yang telah ia lakukan.

Setelah mempelajari materi dalam perbarengan/Gabungan Tindak


Pidana tindak pidana, Capaian Pembelajaran yang diperoleh adalah
Mahasiswa menguasai pengetahuan mengenai Pengertian Gabungan
Tindak Pidana, Concursus Idealis / Eendaadse Samenloop, Concursus
Realis / Meerdaadse Samenloop, dan Perbuatan Berlanjut ( Voorgeezette
Handeling ). Perbarengan/Gabungan Tindak Pidana tindak pidana perlu
dipelajari lebih mendalam untuk bisa memahami materi dalam tutorial pada
pertemuan berikutnya, sehingga kasus-kasus dalam tutorial dapat dianalisis
dengan baik.

B. Pengertian Gabungan Tindak Pidana

Dalam materi tentang penyertaan kita dihadapkan pada masalah


beberapa orang yang melakukan satu tindak pidana, dimana masing-

74
masing pelaku itu merupakan peserta. Tetapi didalam Gabungan Tindak
Pidana / concursus ini terjadi seorang yang melakukan beberapa tindak
pidana. Contoh : “ pada suatu malam A yang tidak memiliki Surat Izin
Mengemudi (SIM) mengemudikan mobil didalam kota, dengan kecepatan
melebihi 40 km/jam dan tidak menyalakan lampu “. Dalam peristiwa ini A
telah melakukan 3 (tiga) macam pelanggaran, yaitu : mengemudi tanpa
SIM, melebihi kecepatan yang dibolehkan dan tidak menyalakan lampu.
Persoalannya adalah bagaimana menjatuhkan pidana kepada A, apakah A
harus dijatuhi pidana untuk ke 3 (tiga) pelanggarannya atau hanya dijatuhi 1
(satu) pidana saja yang terberat atau diperberat. Ketentuan yang mengatur
soal ini adalah pada Pasal 63 KUHP dan seterusnya, yaitu “ mengatur suatu
lembaga hukum pidana yang disebut dengan Gabungan Tindak Pidana /
Perbarengan Tindak Pidana ( Samenloop van Strafbare Feiten / Concursus
)“. Pada dasarmya yang dimaksud dengan perbarengan adalah terjadimya
dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang, dimana tindak pidana yang
dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana atau antara tindak pidana yang
awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan
hakim (Adami Chazawi (2), 2002 :109 ). Ada juga yang mengatakan bahwa “
perbarengan tindak pidana “ adalah : peristiwa dimana seseorang
melakukan perbuatan atau perbuatan-perbuatan yang melanggar beberapa
ketentuan pidana dan beberapa tindak pidana itu diadili sekaligus (Frans

Maramis, 2012 : 225).

Didalam ajaran tentang gabungan tindak pidana atau perbarengan


atau samenloop ini, mesikpun seseorang yang telah melakukan satu kali
perbuatan, akan tetapi dengan satu kali perbuatan telah terjadi pelanggaran
beberapa peraturan, maka terhadap pelaku akan diadili sekaligus dan
dijatuhkan hukuman / pidana yang terberat, dengan dasar pertimbangan :
1. Pertimbangan psikologis : maksudnya adalah bahwa menjalani
pidana satu kali dalam waktu yang lama dirasakan lebih berat
daripada menjalani pidana dua kali dalam jumlah yang sama.
Misalnya menjalani pidana penjara dua kali yang lamanya masing-
masing 2 (dua) dan 3 (tiga) tahun, dirasa lebih ringan beban yang
diderita orang itu daripada menjalani pidana penjara satu kali
berturut-turut selama 5 (lima) tahun

75
2. Pertimbangan kesalahan : maksudnya adalah kesalahan si pelaku
dalam hal melakukan tindak pidana berikutnya dipandang lebih
ringan daripada kesalahan dalam hal melakukan tindak pidana
yang pertama (Adami Chazawi (2), 2002 : 114).

P.A.F. Lamintang mengatakan bahwa ajaran tentang Samenloop


van Strafbare Feiten ( Gabungan Tindak Pidana ) ini merupakan ajaran
tersulit dalam ilmu hukum pidana, sehingga orang tidak akan dapat
memahami apa yang sebenarnya dimaksud dengan Samenloop van
Strafbare Feiten itu sendiri. Demikian juga permasalahannya apabila orang
tidak mengikuti perkembangan faham tentang “ Feit “ yang terdapat dalam
rumusan yang mengatur masalah Samenloop itu, khususnya dalam
rumusan Pasal 63 ayat (1) KUHP. Lebih lanjut Lamintang berkeberatan
kalau perkataan “ Feit “ diterjemahkan dengan “ perbuatan “, seperti
halnya oleh team penterjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional ( BPHN
). Dengan alasan bahwa team itu telah menafsirkan “Feit” sebagai suatu “
Material Feit “ atau “ Materiele Handeling “ atau sebagai “perbuatan
nyata” yang ditinggalkan oleh HR lebih dari setengah abad yang lalu.
Alasan selanjutnya adalah bahwa dengan demikian maka “ Omissie
Delicten “ menjadi tidak termasuk kedalam pengertian pidana seperti yang
dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) KUHP. Beliau selanjutnya
menterjemahkan “ Feit “ itu menjadi “ Prilaku “, tetapi kenyataannya tidak
selalu demikian. Kiranya akan lebih baik bila sama-sama diketahui bahwa
yang dimaksud dengan “ perbuatan pidana “ atau “ tindak pidana “ itu
termasuk juga perbuatan atau tindakan yang negatif seperti halnya dalam
delik omisionis.
Dalam menempatkan lembaga gabungan tindak pidana ini didalam
ilmu hukum pidana, para sarjana berbeda pendapat, seperti Van Hamel
membahas gabungan tindak pidana ini sebagai lembaga hukum pidana
sendiri, demikian pula Van Hattum, walaupun dengan alasan lain. Van
Hattum mengatakan bahwa gabungan tindak pidana ini sangat erat
berhubungan dengan “ ne bis in idem “ yang tercantum dalam Pasal 76
KUHP dan ajaran mengenai unsur-unsur yang tersebut dalam teks
ketentuan yang bersangkutan. Simons, Zevenbergen, Vos dan Hazewinkel
76
– Suringa menempatkan gabungan itu dalam pembahasan mengenai
ukuran untuk menentukan / menetapkan beratnya pidana ( straftoemeting ),
sedangkan Pompe membahasnya sebagai bagian dari pelajaran mengenai “
strafbaarfeit “ pelaku atau dapat tidakdaptnya dipidana seorang pelaku,
karena Pasal 63 dan 64 KUHP menyinggung hubungan antara peristiwa
pidana dan perbuatan. Jongkers membahas gabungan tindak pidana itu
sebagai bagian dari pelajaran mengenai peristiwa pidana ( strafbaarfeit )
dan juga melihatnya sebagai salah satu ukuran untuk mnentukan beratnya
pidana.
Berhubung dengan hal tersebut diatas, maka ada baiknya diketahui
terlebih dahulu beberapa stelsel pidana yang disebut :
1). Pidana Minimal Umum / Algemene Strafminima, yang dimaksudkan
adalah pidana yang terendah secara umum ( berlaku untuk
semuanya ), Stelsel ( asas ) ini dipakai dalam KUHP Indonesia, yaitu
pidana penjara / kurungan terendah adalah 1 ( satu ) hari dan adanya
denda terendah.
2). Pidana Maksimal Umum / Algemene Strafmaxima, asas ini di
Indonesia hanya berlaku untuk pidana yang membatasi kebebasan (
vrilheidsstraf ) atau hukuman badan, yaitu paling tinggi 15 ( lima
belas ) tahun, kecuali bila terdapat hal-hal yang memberatkan
3). Pidana Maksimal Khusus ( Speciale Strafmaxima ), yaitu bahwa
tiap-tiap delik diancam dengan pidana maksimum secara tersendiri.
Samenloop van Strafbaar Feiten atau gabungan tindak pidana justru
disandarkan pidana pokok terberat, sehingga sebenarnya dalam praktek
timbul kesulitan, asalkan hakim tidak memberikan pidana yang lebih dari
maksimum umum dan tidak tidak lebih tinggi dari pada maksimum umum,
juga kenyataan hakim jarang menjatuhkan pidana yang terberat. Disamping
ke 3 ( tiga ) stelsel tersebut diatas mengenai pidana, dikenal pula 4 ( empat
) asas, yaitu :
1). Asas Absorpsi : menurut asas ini dalam hal seseorang melakukan
beberapa delik dengan ancaman yang berbeda-beda, terhadapnya
hanya dijatuhi pidana satu macam saja yang terberat dan satu pidana
ini seolah-olah telah menyerap pidana lainnya yang diancamkan.

77
2). Asas Kumulasi : menurut asas ini seseorang yang melakukan
beberapa delik dengan ancaman pidana sendiri-sendiri, semuanya
dijatuhkan kepadanya dengan menjumlahkannya.
3). Asas Absorpsi yang dipertajam ( Verscherpte Absorptie Stelesel ) :
yaitu terhadap pelaku yang melakukan beberapa tindak pidana
dengan ancaman pidana masing-masing, dijatuhkan yang terberat,
tetapi ditembah dengan 1/3 ( sepertiga ) nya.
4). Asas Kumulasi sedang ( Gematige Cumulatie Stelsel ) : dalam hal ini
seperti halnya asas absorpsi yang dipertajam, tetapi melihat dari
sudut kumulasi terlebih dahulu, yaitu dengan menjumlahkan seluruh
ancaman yang ada, tetapi yang dijatuhkan adalah pidana yang
terberat ditambah dengan 1/3 ( sepertiga ) nya. (Lihat I Made Widnyana, 1992 :

67, Utrecht, 1965 : 177 dan Frans Maramis, 2012 : 227-229)

Asas yang ke 3 dan 4 merupakan stelsel tengah yang disebut dengan


“ Tussen Stelsel “.
Mengenai asas-asas tersebut diatas, KUHP mengikuti asas tengah,
akan tetapi didalam beberapa hal juga menggunakan kedua asas pokok
yaitu yang pertama dan kedua. Oleh karena Samenloop atau gabungan
tindak pidana ini sangat erat berhubungan dengan masalah penjatuhan
pidana, maka dapat dikatakan bahwa “ gabungan tindak pidana oleh KUHP
dianggap suatu keadaan yang memberatkan pidana “. Hal ini dapat kita lihat
pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 12 KUHP yang memungkinkan
pidana melebihi 15 tahun dalam hal Concursus, Residive atau karena
ditentukan dalam Pasal 52 KUHP ( Kejahatan Jabatan ), juga terlihat dalam
Pasal 18 KUHP yang memungkinan pemberatan seperti diatas dalam hal
pidana kurungan.
Jika samenloop atau gabungan tindak pidana ini dipandang dari segi
lain dari pada soal penjatuhan pidana, yaitu dari segi “ recht dogmatiek “,
maka timbullah beberapa masalah yang sulit, yaitu tentang :
a). Tentang penilaian atas penafsiran terhadap istilah “ feit “.
b). Tentang kapan dianggap hanya ada “ satu feit “ dan dalam hal apa
dianggap terdapat “ lebih dari satu feit “.
c). Tentang persoalan perbuatan berlanjut ( Voortgezette handeling ).

78
Ilmu pengetahuan hukum pidana mengenai berbagai jenis samenloop
atau gabungan tindak pidana, yaitu :
1). Concursus Idealis / Eendaadse Samenloop.
2). Concursus Realis / Meerdaadse Samenloop
3). Voortgezette Handeling / Perbuatan Berlanjut.

1. Concursus Idealis / Eendaadse Samenloop


Pasal 63 KUHP menyatakan :
Ayat (1) : Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan
pidana, maka yang dikenakan hanyalah salah satu
diantara itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang
memuat ancaman pidana pokok yang berat
Ayat (2) : jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan
pidana yang umum, diatur pula dalam aturan yang khusus,
maka yang khusus itulah yang dikenakan (Moeljatno, 2008 : 27).

Secara sederhana Satochid Kartanegara memberikan penjelasan bahwa


“ Concursus Idealis / Eendaadse Samenloop terdapat apabila seseorang
melakukan perbuatan dan dengan dilakukannya satu perbuatan itu,
melanggar beberapa peraturan hukum pidana, dengan demikian ia
melakukan beberapa delik “. Apabila melihat rumusan Pasal 63 ayat (1)
KUHP tersebut diatas, dirumuskan beberapa “ feit “ yang dalam doktrin
menimbulkan pengertian yang berbeda-beda, yaitu :
1. Ada yang menafsirkan “ materiil feit “ / feit materiil “ yaitu : perbuatan
manusia yang dilakukan dengan kekuatan jasmaniah, seperti
memukul, membunuh dsb.
2. Strafbaareit menurut Moeljatno adalah perbuatan yang diancam
dengan pidana barang siapa melanggar aturan-aturan itu
3. Feit juga diartikan “ misdadig voorvall “, yaitu serentetan perbuatan
yang semuanya merupakan perbuatan pidana tanpa memperdulikan
perbuatan pidana apa
4. Feit juga dapat dipandang dari sudut Hukum Acara Pidana, yaitu
perbuatan yang disebutkan dalam surat dakwaan kepada terdakwa
mengenai perbuatan tertentu (I Made Widnyana, 1992 : 69).

Perlu diketahui pula bahwa ada beberapa sarjana kurang menyetujui


istilah “ eendaadse samenloop van strafbare feiten “ dan dikatakan lebih
79
tepat kalau diberi istilah “ Samenloop van Strafbepalingen “ atau “ gabungan
ketentuan hukum “. Moeljatno diterjemahkan dengan “ perbarengan
peraturan “, alasannya adalah bahwa dalam eendaadse samenloop itu
hanya terjadi satu perbuatan saja, sedangkan yang merupakan gabungan
adalah beberapa peraturan hukum pidana yang dilanggar dengan satu
perbuatan itu. (Lihat juga I Made Widnyana, 1992 : 68)
Persoalan yang timbul adalah : apakah yang dimaksud dengan “ een feit
“ ( suatu perbuatan ) itu ?. Van Hamel, Simons dan Zevenbergen yang
beraliran klasik berpendapat bahwa : “ feit “ adalah perbuatan fisik (
lichamelijke handeling ) atau “ perbuatan material “. Van Hamel memberikan
contoh tentang perbuatan memperkosa dijalan umum ( Pasal 281 dan 258
KUHP ), contoh ini juga disebut dalam MvT sebagai perbuatan menipu
dengan mempergunakan dokumen palsu ( Pasal 378 dan 263 KUHP ).
Sedangkan Simons memberikan contoh tentang perbuatan cabul dengan
seorang dibawah umur 15 tahun dijalan umum ( Pasal 281 dan 290 KUHP ).
Dalam hal ini Vos tidak sependapat dengan sarjana tersebut diatas,
kemudian memberikan contoh : kejahatan kesusilaan yang dilakukan oleh
seorang laki-laki yang telah kawin ( Pasal 284 dan 288 KUHP ), perbuatan
kekerasan melawan pegawai negeri yang mengakibatkan pegawai itu luka
berat ( Pasal 212 dan 351 KUHP ), perbuatan membakar rumah dapat
meliput Pasal 187, 382 dan 406 KUHP, perbuatan membunuh dengan jalan
menembak dan juga dengan memecah kaca ( Pasl 338 dan 406 KUHP ),
yang semuanya merupakan contoh dari Concursus Idealis / eendaadse
samenloop.
Menurut Van Hamel, Simons dan Zevenbergen concursus idealis ini
meliputi semua perkara pidana yang terjadi karena dengan dilakukannya
hanya satu perbuatan materiil saja, sudah merupakan pelanggaran hukum
yang sesuai dengan beberapa ketentuan pidana sekaligus. Sebelum tahun
1932 HR juga bersikap demikian, yaitu bahwa yang dimaksud dengan “ feit “
adalah “ materieel feit / perbuatan fisik atau perbuatan jasmana “, yaitu
perbuatan yang terjadi di alam luar (Adami Chazawi (2), 2002 : 116-117). Yang terlihat
antara dari putusan HR mengenai kasus “ Seorang (A) yang
mengemudikan mobil, SIM nya telah dicabut dan orang itu berada dalam
keadaan mabuk “. Pada saat / waktu itu (11 April 1932) HR berpendapat
80
bahwa perbuatan (A) itu adalah “ satu feit “ (Mr. JM.van Bemmelen, 1987 : 323).

Kemudian ternyata bahwa sesudah tahun 1932, dengang putusannya


tanggal 24 Oktober 1932, NJ 1933, W Nr 12560 dalam kasus “ Seseorang
bernama A dengan mobinya menabrak 3 ( tiga ) orang sekaligus yang
sedang naik sepeda, dimana satu orang meninggal dan 2 ( dua ) orang
mengalami luka “. Bilamana dilihat dari luar, perbuatannya hanya satu,
yaitu “ menabrak 3 ( tiga ) orang, tetapi dengan 1 (satu ) perbuatan
menabrak, telah dicakup atau terserap ( di absorpsi ) perbuatan lain, yaitu
dengan meninggalnya seseorang dan 2 (dua) orang lagi menderita luka.
Vos mengatakan bahwa mengapa yang dijatuhkan pidana pokok terberat
dalam hubungannya dengan Samenloop van Strafbare Feiten atau
gabungan tindak pidana, yaitu : (a). barangsiapa yang telah memberanikan
diri untuk mengadakan delik yang lebih berat ancaman pidananya, tidak
akan mundur apabila ia kemudian mengetahui bahwa pada saat ia akan
melakukan delik yang lebih berat itu, sekaligus juga akan melakukan sutu
delik yang ancamannya lebih ringan, (b). maksimum hukuman yang
ditentukan dalam ketentuan pidana ditujukan kepada penghukuman
peristiwa ( pidana ) yang paling berat, sehingga dilakukannya satu delik
yang lebih ringan sekaligus itu tidak boleh dijadikan alasan untuk
memperberat hukuman maksimum tersebut (Adami Chazawi (2), 2002 : 118-119). Oleh
karena itu, VOS dalam hal lebih lanjut berpendapat bahwa hanya dalam 2 (
dua ) hal saja dapat terjadi concursus idealis ini, yaitu : (1). Dalam hal ( dari
luar ) kelihatan hanya satu peristiwa saja, yaitu hanya satu peristiwa saja,
yaitu hanya satu perbuatan saja dengan ( dari luar ) kelihatan hanya satu
akibat dan (2). Dalam hal yang meragukan, dimana dari luar kelihatan
beberapa akibat, tetapi masih juga salah satu diantara peristiwa-peristiwa itu
adalah “ conditio sine quanon “ ( kondisi yang merupakan keharusan ) untuk
yang lain, misalnya A menembak mati B yang duduk dibelakang kaca
jendela. Merusak kaca jendela adalah conditio sine quanon untuk dapat
membunuh B dengan satu tembakkan (Adami Chazawi (2), 2002 : 119).

Dengan melihat putusan HR tersebut diatas, yang dipakai dasar untuk


menetapkan hal itu sebagai lebih satu feit, adalah bahwa feit itu merupakan
pelanggaan hukum yang berdiri sendiri dengan sifat yang berbeda, yaitu :
(a). dilihat dari orangnya : mengendarai sepeda motor dalam keadaan
81
mabuk dan (b). dilihat dari sepeda motornya : tanpa lampu pada malam hari
/ waktu malam. Adapun alasan HR mengubah pendiriannya itu adalah :
1). Bahwa terjadi 2 (dua) peristiwa pada saat yang sama bukanlah
sesuatu yang penting
2). Bahwa perbuatan / feit yang satu bukan merupakan perbuatan / feit
yang mendahului perbuatan / feit yang lain
3). Bahwa perbuatan / feit satu merupakan keharusan terjadinya
perbuatan / feit yang lain
4). Bahwa perbuatan / feit tersebut merupakan pelanggaran yang berdiri
sendiri dengan sifatnya yang berbeda
5). Bahwa perbuatan / feit yang terjadi itu dapat dipisah-pisahkan antara
yang satu dengan yang lain. (Lihat Mr. J.M. van Bemmelen, 1987 : 324).

Setelah adanya faham baru dari HR, Simons mengatakan bahwa : “


yang jelas adalah bahwa perkataan feit itu menurut faham baru harus
diartikan lebih sempit dari pada tindakkan dalam arti material dan juga harus
diartikan lebih luas dari pada tindak pidana “. Pompe mengatkan bahwa : “
feit didalam rumusan Pasal 63 ayat (1) KUHP itu haruslah diartikan sebagai
suatu prilaku yang nyata, yang ditujukan kepada suatu tujuan tertentu, yang
juga merupakan objek dari norma-norma “. Tujuan yang dimaksud disini
bukanlah tujuan yang ingin dicapai oleh si pelaku atau “ finish operatis “,
melainkan merupakan tujuan yang melekat pada perilakunya. Lebih lanjut
beliau mengatakan bahwa bila didalam suatu peristiwa terdapat satu tujuan
yang mempunyai arti ( relevan ) menurut hukum pidana, maka disitu
terdapat eendaadse samenloop / concursus idealis. Diberikan contoh :
seorang ayah yang telah melakukan hubungan seksual dengan anak
gadisnya yang diketahui belum berumur 15 tahun. Secara in abstracto
melanggar norma yang terkandung dalam Pasal 294 dan 287 KUHP, akan
tetapi secara in concreto perilakunya ditujukan kepada satu tujuan yang
merupakan objek dari norma, yaitu memperoleh kepuasan sexual (Adami

Chazawi (2), 2002 : 127). Contoh sebaliknya adalah misalnya : “ A mabuk ditempat
umum dan kemudian memukul seorang polisi yang sedang melakukan
tugas dengan syah, karena pukulan tersebut, polisi tersebut menderita sakit
“. Walaupun disini A hanya melakukan satu perbuatan, didalamnya telah
82
terjadi beberapa hal dengan tujuan yang lebih dari satu yaitu : (a).
mengganggu keamanan lalu lintas, (b). melakukan perlawanan terhadap
petugas yang syah dan (c). melakukan penganiayaan.
Van Bemmelen mula-mula mengemukakan ajaran “ eo ipso “ yang
artinya dengan sendiri, akan tetapi rumus itu kemudian ditinggalkan nya.
Ajaran atau rumus “ eo ipso “ tersebut adalah : concursus idealis terjadi
bilamana dengan suatu perbuatan yang satu kali ( eemalig ) eo ipso /
dengan sendirinya 2 ( dua ) delik atau lebih dilakukan atau dengan
melakukan delik yang satu merupakan conditio sine quanon untuk delik
yang lain atau bilamana delik yang satu terserap / absorpsi / termasuk pada
delik yang lain. Rumus atau ajaran ini ditentang oleh Van Hattum, yang
mengatakan bahwa bila dipakai rumus atau ajaran itu harus selalu
diperhatikan apa yang terjadi “ in concreto “, oleh karena “ in abstracto “
selalu bisa kita pisahkan satu perbuatan menjadi 2 (dua) atau 3 (tiga0 delik
dalam pikiran. Suatu delik in abstracto dapat merupakan conditio sine
quanon terhadap delik lain. Selanjutnya pendirian Van Bemmelen bergeser
dengan mengatakan bahwa : walaupun seseorang melakukan satu
perbuatan pada suatu saat dan tempat, akan tetapi apabila perbuatan yang
satu itu melanggar beberapa kepentingan hukum, maka terdapat
meerdaadse samenloop atau concursus idealis. Dengan perkataan lain Van
Bemmelen mengatakan : “ perbuatan / feit “ baik dalam Pasal 63 KUHP
maupun Pasal 76 KUHP ( ne bis in idem ) adalah suatu perbuatan yang
secara tertentu mengganggu kepentingan hukum yang sama.
Komentar VOS terhadap pendapat ini antara lain adalah bahwa :
perlu disisipkan kata “ dan membahayakan “ dibelakang kata “
mengganggu “ dan dianggapnya terlalu sempit, karena tidak meliputi
perkara tentang perkosaan di tepi jalan umum ( yang menurut MvT
merupakan suatu concursus idealis, sehingga menyimpang dari MvT
tersebut ). Walaupun HR telah meninggalkan faham lama sejak tahun 1932,
yaitu : bahwa yang disebut sebagai “ feit ” adalah “ perbuatan material “,
ditambah dengan pendapat-pendapat dari para sarjana tersebut diatas,
kenyataannya HR belum dapat memberikan penjelasan yang terang. Arrest-
arerst HR tidak memberikan jawaban tentang apa yang dimaksud dengan “
satu feit “ atau “ beberapa feit “. Dapat diambil kesimpulan bahwa HR
83
bekerja atas dasar “ casuistis “, artinya menyelesaikan setiap kejadian
secara kasus demi kasus.

Penjatuhan pidana dalam concursus idealis


Simons dan VOS berpendapat bahwa yang penting dalam ajaran
mengenai concursus adalah berhubungan dengan menentukan besarnya
pidana yang dijatuhkan. Pasala 63 ayat (1) KUHP tersebut diatas
menentukan bahwa dalam hal terjadinya concursus idealis, pidana yang
dijatuhkan hanyalah satu, yaitu yang paling berat. Mengenai perbuatannya
yang harus dipersalahkan, terdapat 2 ( dua ) pendapat :
1). Pendirian yang menyatakan bahwa orang yang bersangkutan harus
dipersalahkan terhadap semua perbuatan pidana yang dilakukan –
Ini merupakan pendirian yang umum.
2). Pendirian yang menyatakan bahwa orang yang bersangkutan hanya
dipersalahkan terhadap perbuatan pidana yang pidananya pada
dirinya saja
Berhubung dengan adanya stelsel maksima khusus yang berlaku dan
adanya kebebasan hakim untuk menentukan besarnya pidana ( asal tidak
lebih rendah dari minima umum dan lebih tinggai dari maksima khusus
muapun maksima umum ) dan praktek jarang sekali hakim menjatuhkan
pidana maksimum. Sehingga ajaran tentang concursus itu tidak begitu
penting dalam hal ini ( penjatuhan pidana ). Walaupun demikian, ajaran
concursus yang ditinjau dari sudut rechst dogmatiek sangat rumit itu
memang tetap perlu diperhatikan demi pekembangan ilmu pengetahuan
hukum dan mungkin juga untuk politik hukum. Pasal 63 ayat (1) KUHP
mengatur tentang dalam hal terjadi suatu perbuatan yang termasuk dalam
aturan pidana umum dan juga masuk dalam aturan pidana khusus, dalam
hal ini yang diperlukan adalah aturan pidana khusus. Oleh karena hal ini
adalah pelaksanaan asas “ lex specialist derogat legi generaly “. Sementara
itu perlu diingat bahwa peraturan pidana khusus memiliki unsur yang
terdapat dalam aturan pidana umum, tetapi disamping itu terdapat pula lain-
lain unsur yang tidak dijumpai dalam aturan pidana umum.

2. Concursus Realis / Meerdaadse Samenloop


84
Sejak jurisprudensi HR tahun 1932 mengenai “ feit “ dalam Pasl 63
KUHP telah dapat memperluas pengetahuan bidang concursus realis
sebagaiamana pendapat Hazewinkel-Suringa dan Jongkers, sehingga
beberapa sarjana seperti Vrij berpendapat bahwa dengan sangat
diperluasnya concursus realis ini, maka mengenai concursus idealis menjadi
seperti “ lege hull “ atau “ sampul tanpa sampul “ untuk menentukan
perbuatan dan pemidanaan, akan tetapi pendapat ini mendapat tentangan,
karena kenyataannya masih terdapat concursus idealis itu (Utrecht E, 1965 : 174-

175). KUHP mengatur concursus realis dengan akibat-akibatnya pada Pasal


65 sampai Pasal 71.
VOS mendifinisikan : concursus realis terjadi dalam hal fakta-fakta
yang harus dipandang sebagai perbuatan sendiri-sendiri dan masing-
masing merupakan tindak pidana, dilakukan oleh seseorang dan diantara
waktu terjadinya masing-masing fakta itu tidak / belum diputuskan pidana
terhadap salah satunya. Fakta-fakta itu tidak perlu merupakan fakta-fakta
yang sejenis dan tidak perlu ada hubungan diantaranya (Utrecht E, 1965 : 175-176).

Misalnya seseorang pada suatu hari mencuri sepeda motor, kemudian pada
hari lain melakukan penganiayaan dan hari berikutnya melakukan
pelanggaran lalu lintas, maka disini telah terjadi concursus realis.
Selanjutnya KUHP dalam concursus realis ini mengadakan pembedaan
yang berhubungan dengan penjatuhan pidana, yaitu dalam hal :
1. Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang
sejenis

2. Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak


sejenis

3. Pelanggaran-pelanggaran

Ad 1). Concursus realis yang ancaman pidananya adalah pidana pokok


yang sejenis. Misalnya X melakukan pidana pencurian, penggelapan
dan penipuan ( semua merupakan kejahatan ), masing-masing
ancaman pidananya adalah 5 tahun, 4 tahun dan 4 tahun. Dalam hal
ini maksimum pidananya adalah yang terberat ( 5 tahun ) ditambah
dengan 1/3 ( sepertiganya ) atau 20 bulan, jadi semuanya maksimum

85
6 tahun 8 bulan ( lihat Pasal 65 ayat (2) KUHP. Dalam hubungannya
dengan stelsel pidana terdapat, yaitu : (a). dipergunakan stelsel
absorpsi yang dipertajam ( verscherpte absorptie ), karena dijatuhkan
pidana terberat ditambah dengan 1/3 ( sepertiganya ), dianggap telah
“ menyerap “ ancaman pidana yang lain, (b). dipergunakan stelsel
kumulasi sedang ( gematigde cumulatie ), mengingat redaksi Pasal
66 ayat (2) KUHP yang menyebutkan : maksimum pidana yang
dijatuhkan adalah jumlah maksimum pidana….. dan sebagainya. Jika
dalam praktek akan terlihat perhitungan yang sama saja, yaitu 6
tahun 8 bulan.
Ad 2). Concursus realis mengenai kejahatan-kejahatan yang ancaman
pidananya tidak sejenis, maka menurut Pasal 66 KUHP dijatuhkan
pidana atas semua kejahatan,akan tetapi jumlah pidananya tidak
boleh melebihi yang terberat ditambah dengan 1/3 (sepertiga). Jadi
jika seseorang melakukan tindak pidana yang ancaman maksimalnya
masing-masing adalah kurungan 9 bulan dan penjara 15 bulan, maka
maksimum pidana yang dijatuhkan adalah 15 bulan ditambah dengan
1/3 (sepertiga) nya. Dalam hal ini hakim boleh menentukan menjadi 5
bulan pidana kurungan dan 15 bulan pidana penjara, asalkan tidak
melebihi 20 bulan ataupun seluruhnya pidana penjara 20 bulan ( 1
tahun 8 bulan ), sehingga disini berlaku stelsel pidana kumulatif
sedang ( gematigde cumulatie ).
Dalam hal ancaman pidananya dari suatu delik dapat dapat dipilih
pidana pokok yang berbeda, menururt Jongkers perlu ditiadakan dulu
pilihan pidana oleh hakim. Jika dipilih pidana sejenis, maka
diberlakukan stelsel absorpsi yang dipertajam, tetapi jika yang dipilih
pidana yang tidak sejenis, maka diperlukan stelsel kumulasi sedang.
Dalam hal pidananya adalah pidana denda, maka perhitungannya
dapat dilakukan berdasarkan Pasal 30 KUHP.
Ad 3). Dalam concursus realis, mengenai penjatuhan pidana dibedakan
antara kejahatan dan pelanggaran. Pasal 70 KUHP menentukan
bahwa “ untuk concursus realis yang ancaman pidananya dikurangi “.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa stelsel yang dipakai adalah
kumulasi stelsel. Pembatasannya pada pidana kurungan, yaitu tidak
86
boleh dari 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan, pidana kurungan pengganti
tidak boleh lebih dari 8 (delapan) bulan.
Untuk ketentuan Pasal 67 KUHP yang menyatakan : “ Jika orang
dijatuhi mati atau pidana seumur hidup, disamping itu tidak boleh dijatuhkan
pidana lain lagi, kecuali pencabutan hak, perampasan barang dan
pengumuman putusan hakim “. VOS mengatakan ini sebenarnya
merupakan ketentutan umum, tidak hanya bagi samenloop saja, sebab
ketiganya merupakan pidana tanbahan yang dapat saja dijatuhkan
bersama-sama dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, kecuali
pidana pokok tidak dapat dijatuhkan, namun “ pidana tambahan tetap harus
dijatuhkan disampingnya “, mungkin yang dimaksudkan bukannya “ harus “
tetapi “ dapat “.
Pasal 68 KUHP mengatur tentang penjatuhan pidana tambahan
dalam hal terjadinya cuncursus realis dalam Pasal 65 dan 65 KUHP . Dalam
ketentuan pasal tersebut ( baca KUHP ), dapat disimpulkan bahwa dalam
hal penjatuhan pidana ini, KUHP menggunakan berbagai ukuran stelsel,
yaitu :
1). Pidana berbentuk pencabutan hak yang sama dilebur menjadi 1
(satu) pidana saja dengan ketentuan waktu tertentu ( Stelsel
Absorpsi ).
2). Pidana yang berbentuk pencabutan yang hak yang berbeda,
masing-masing diterapkan bagi tiap kejahatan tanpa
pengurangan ( Stelsel Kumulasi ).
3). Pisana perampasan barang dan kurungan pengganti karena tidak
menyerahkan barang, dijatuhkan sendiri-sendiri tanpa dikurangi (
Stelsel Kumulasi )
4). Pidana kurungan pengganti tidak boleh lebih dari 8 (delapan)
bulan ( Stelsel Kumulasi Sedang / Gematigde Stelsel ).
Berhubung dengan penjatuhan pidana untuk concursus realis dalam
hal pelanggaran, khususnya untuk kejahatan, dengan stb 1931 No. 241
ditambahkan Pasal 70 bis KUHP. Dengan memasukkan beberapa pasal
pada Buku II ( Kejahatan ) sebagai pelanggaran, menurut Jonkers
mengatakan bahwa dengan diundangkannya pasal ini karena beberapa
pasal kejahatan ringan yang dimasukkan tadi, pidananya maksimal 3 (tiga)
87
bukan dan sistem dalam Pasal 65 dan 66 KUHP dirasakan kurang
memuaskan, sebab menggunakan kedudukkan sebagai kejahatan, maka
dalam hal terjadi perbarengan maksimumnya hanya menjadi 4 (empat)
bulan, hal ini dirasakan tidak adil. Sebab dengan menyatakan kejahatan
ringan itu sebagai pelanggaran, maka akan dapat diterapakan kumulasi dan
ancaman pidananya bisa menjadi 8 (delapan) bulan.(Utrecht E, 1965 : 183)
Pasal 71 KUHP, merupakan suatu peringatan kepada aparat
penegak hukum ( hakim dan jaksa ), bila terjadi suatu tindak pidana yang
telah dilakukan dalam gabungan dan ternyata ada yang tersisa belum diadili
( atau diadili dalam waktu yang tidak bersamaan ), ukuran-ukuran tentang
beratnya pidana yang dapat dijatuhkan dalam hal perbarengan ini tetap
berlaku, karena pasal itu menyatakan bahwa “ pidana yang dahulu
diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan “. Sudah barang
tentu bila ada kejadian kejahatan atau pelanggaran itu terjadi sesudah
adanya putusan hakim, bukan menjadi persoalaan dalam perbarengan
perbuatan, karena ratio ketentuan Pasal 71 KUHP adalah agar terhadap
seseorang tidak dijatuhkan pidana yang melebihi ukuran yang semestinya.
(Utrecht E, 1965 : 184).

3. Perbuatan Berlanjut ( Voorgeezette Handeling )


Perbuatan berlanjut ini ada yang mengistilahkan dengan “ Perbuatan
Terus-Menerus “, artinya perbuatan terus-menerus itu ada apabil beberapa
perbuatan berhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang
sebagai satu perbuatan yag diteruskan (Utrecht E, 1965 : 185). Ketentuan tentang
hal ini terdapat dalam Pasal 64 KUHP dan merupakan salah satu bentuk
daripada concursus realis. Ketentuan dalam pasal ini mengatakan bahwa “
perbuatan itu berhubungan sedemikian rupa, sehingga dipandang sebagai
perbuatan berlanjut “. Ketentuan itu tidak menjelaskan apa-apa, akan tetapi
MvT menyebutkan adanya 3 ( tiga ) syarat untuk adanya perbuatan
berlanjut / voorgeezette handeling, yaitu :
1). Harus adanya keputusan kehendak dari pelaku
2). Delik-delik itu harus sejenis
3). Waktu antara saat-saat dilakukannya tiap-tiap delik itu tidak boleh
terlalu lama (Laden Marpaung, 2009 : 37, Utrecht E, 1965 : 185-186).

88
Sebagai suatu contoh adanya perbuatan berlanjut / voorgeezette
handeling adalah : “ seorang pelayan toko gula yang setiap hari mencuri 1
( satu ) kg gula pasir milik majikannya “. Sedangkan sarjana lain seperti Mr.
M.H. Tirtaamidjaya memberi contoh perbuatan berlanjut tersebut sebagai
berikut :
1. A hendak berzina dengan seorang perempuan B yang telah
bersuami, A melaksanakan maksudnya itu dengan beberapa kali
berzina dengan perempuan itu dalam selang waktu yang tidak
terlalu lama.
2. A yang menguasai kas N.V. tempat ia bekerja, memutuskan untuk
mengambil untuk dirinya sendiri sebagian dari isi kas itu. Untuk
melaksanakan maksudnya, ia mengambil beberapa kali dalam
interval waktu yang tidak lama suatu jumlah tertentu (Laden Marpaung,

2009 : 36).

Terhadap syarat pertama, yaitu ada suatu keputusan kehendak dari


si pelaku banyak terdapat pendapat atau komentar dari para sarjana / ahli
dan tidak semuanya yang menerima hal itu. VOS berpendapat bahw
dibuktikannya adanya “ hubungan “ antara tiap keputusan kehendak
sudahlah cukup. Misalnya : A mencuri uang dari majikannya hendak dipakai
untuk berdagang dan mengharapkan untung, tetapi ternyata rugi dan untuk
menutupi kerugiannya, A kembali mencuri uang majikannya. Walupun
keputusan kehendaknya kalau yang dimaksudkan adalah maksud
dibelakang pencurian itu tidak sama, akan tetapi masih berhubungan, maka
disitu ada perbuatan berlanjut / voorgeezette handeling. Hazewinkel –
Zuringa berpendapat bahwa, “ berhubungan “ itu dapat ditafsirkan sebagai
untuk mencapai suatu tujuan. Pompe menyatakan bahwa menurut MvT
yang dimaksud dengan “ berhubungan “ itu diserahkan kepada hakim untuk
menilainya.
Terhadap syarat kedua, yaitu delik-delik yang harus sejenis, juga
banyak terdapat komentar atau pendapat dari kalangan sarjana / ahli,
seperti VOS dan Jongkers mengatakan bahwa fakta delik yang sejenis itu
adalah dalam hubungan delik yang dilakukan secara biasa yang dilakukan
dengan pemberatan (gequalificeerde delichten). Sedangkan HR
mempertahankan keputusannya dengan berpegang kepada MvT, juga

89
mengingat Pasal 64 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa pemalsuan
atau perusakkan mata uang dan menggunakan barang yang dipalsu atau
dirusak tadi adalah sebagai delik yang sejenis, sehingga merupakan
pengecualian dari yang umum dinyatakan oleh MvT. Dari sini dapt diketahui
bahwa menetapkan mana yang sejenis ( sehingga dianggap sebagai satu
delik ), dengan demikian konsekuensinya dalam hal penjatuhan pidana
berbeda daripada delik yang berbeda-beda, bukanlah hal yang mudah.
Terhadap syarat ketiga, yaitu waktunya tidak terlalu lama, Jonkers
mengatakan bahwa perbuatan berlanjut / voorgeezette handeling itu dapat
dilakukan beberapa tahun berturut-turut, asal dilakukan dengan waktu
tertentu / periodik dan antar waktunya tidak terlalu lama. Noyon
berpendapat bahwa perbuatan berlanjut / voorgeezette handeling itu tidak
dapt diterapkan untuk delik omisionis, karena dengan tegas disebutkan “
handeling “ ( perbuatan ), sedangkan VOS mengatakan bahwa pendapat
Jonkers itu tidak logis. Lebih lanjut VOS mengatakan bahwa perbuatan
berlanjut / voorgeezette handeling itu juga dapat diterapkan kepada delik
culpa, karena syarat tentang keputusan kehendak itu dihubungkan dengan
perbuatannya, bukan terhadap akibatnya, sebab akibat dari perbuatannya (
yang mungkin karena culpa ) itu memang tidak dikehendaki. Pompe
mengatakan seyogyanya Pasal 62 dan 64 KUHP itu dihapuskan saja,
karena lebih menimbulkan kesulitan dari pada keuntungan. Kesulitan yang
sangat besar dijumpai dalam hal mencari dasar-dasarnya dalam rechts
dogmatiek, dengan akibat perbedaan-perbedaan pendapat yang sulit
dipertemukan, padahal dalam praktek hakim diberi kebebasan untuk
menjatuhkan pidana. Jadi senadainya hakim selalu menggunakan
ketentuan-ketantuan mengenai concursus realis pun tidak ada
keberatannya. Bukankah jarang sekali hakim menjatuhkan pidana
maksimum bagi pelaku, adapun yang menjadi masalah adalah pakah
perbuatan itu sejenis atau berbeda-beda, akibatnya adalah dalm
menentukan besarnya pidana. Dalam hal perbuatan itu merupakan
perbuatan sejenis, maka hanya dikenakan satu aturan pidana, sedangkan
bila perbuatan itu dari jenis yang berbeda-beda, dikenakan ancaman pidana
pokok yang paling berat (Utrecht E, 1965 : 185-14)

90
Daftar Bacaan

Bemmelen, Mr. J.M. van, 1987 : Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Materiil
Bagian Umum, Binacipta, Bandung.

-------------------- (2), 2002 : Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 3, Raja


Grafindo Persada, Jakarta.

Maramis, Frans., 2012 : Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia,


Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Moeljatno, 2008 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan,


Cet. 27, Bumi Aksara, Jakarta.

Marpaung. Leden, 2009 : Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar


Grafika, Jakarta.

Utrecht. E, 1965 : Hukum Pidana II, PT Penerbitan Universitas – Bandung.

Widnyana. I Made, 1992 : Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika, FH Unud,


Denpasar

C. Penutup
1. Rangkuman Materi

1. Ajaran tentang gabungan tindak pidana atau perbarengan


(samenloop atau Concursus) membahas perbuatan seseorang
melakukan beberapa perbuatan pidana sekaligus, atau melakukan
satu perbuatan yang diatur dalam beberapa ketentuan pidana.
2. Perbarengan peraturan, perbuatan berlanjut dan perbarengan
perbuatan pidana dalam buku kedua Bab VI Pasal 63-71 KUHP.
Concursus terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu:
1) Concursus Idealis (eendaadsche samenloop)
2) Concursus realis (meerdaadsche samenloop)
3) Perbuatan lanjutan (voortgezette handeling)
3. Secara garis besar, akibat hukum yang timbul dari concursus adalah
sebagai berikut:

91
1) Concursus idealis, sanksi pidana yang dikenakan terhadap
pelakunya adalah hukuman pidana pokok yang paling berat.
2) Concursus realis, jika hukuman pokoknya sejenis, maka satu
hukuman saja yang dijatuhkan. Sedangkan apabila hukuman
pokoknya tidak sejenis, maka setiap hukuman dari masing-
masing perbuatan pidana itu dijatuhkan.
3) Perbuatan berlanjut, dikenai ancaman pidana yang terberat atau
yang mengandung ancaman hukuman yang lebih berat

92
2. Latihan :
PERTEMUAN KE VIII :TUTORIAL IV
PERBARENGAN (SAMENLOOP)

1) Pengertian Perbarengan
a. Kasus I
Hamid di kampungnya lebih dikenal dengan sebutan ”Drunken
Master”. Pada suatu malam di pesta sunatan anak teman karibnya, ia
minum minuman beralkohol secara berlebihan sampai mabuk. Lewat waktu
tengah malam Hamid dengan sepeda motornya, pulang menuju rumahnya
yang jaraknya kurang lebih 5 Km. Di perjalanan, Polantas sedang
melakukan razia surat-surat dan kelengkapan kendaraan bermotor. Hamid
distop untuk diperiksa kelengkapan surat-surat sepeda motornya. Pada saat
Hamid dihentikan, ia marah-marah dan memaki polisi lalu lintas yang
sedang menjalankan tugasnya, bahkan perlakuan Hamid tidak hanya
memaki tetapi juga memukul polisi, dan kemudian melarikan diri dengan
memacu sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Karena kurang kontrol,
Hamid kemudian menabrak nenek Saonah, seorang pejalan kaki yang
sedang menyeberang.

b. Pertanyaan :

Apakah perbuatan Hamid seperti yang tertera dalam contoh kasus di


atas dapat dikatakan sebagai perbuatan berlanjut (samenloop van
Strafbaarfeiten) ? dan tentukan pula pemidanaan yang dapat diterapkan.

c. Bahan Bacaan
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.
Bandung : Sinar Baru, hal. 642 -683
3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 - 40

93
4. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373,
364, 382.
5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana.
Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 175 - 189
6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 40 – 58
7. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik
Delik Khusus. h, 76- 77.
8. Sianturi, SR 198 Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
9. Tresna, R 1959. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal.
157 – 164
10. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 64 – 84

2) Bangunan dan Bentuk-bentuk Samenloop


a. Kasus II
Aminah, seorang pembantu rumah tangga yang bekerja di rumah
Drs. Said Karim, pada suatu hari mengambil barang berupa perhiasan yang
terdiri dari beberapa rangkaian yang terpisah-pisah. Pertama-tama ia
mengambil cincin berlian, dan seminggu kemudian ia mengambil kalung,
disusul 3 hari kemudian mengambil gelang emas milik Nyonya Said Karim.
Sebulan kemudian, Aminah mengambil barang-barang koleksi kesayangan
Drs. Said Karim berupa patung porselen berwujud burung yang bagian-
bagiannya bisa dilepas. Pertama-tama aminah mengambil bagian kepala
patung, dan secara berturut-turut mengambil sayap, badan dan kaki.
Barang-barang tersebut diambil dalam kurun waktu sama, yaitu 5 hari,
sampai semua bagian patung diambilnya. Menjelang hari raya Idul Fitri,
Aminah minta ijin kepada Drs Said Karim untuk mudik, tetapi Aminah tidak
kembali lagi bekerja di rumah keluarga Drs Said Karim. Bersamaan dengan
hal itu, keluarga Drs Said Karim menyadari bahwa barang-barangnya telah
hilang.

94
b. Pertanyaan :
a. Dengan mencermati bangunan serta bentuk-bentuk Samenloop,
perbuatan Aminah termasuk dalam bentuk yang mana ?
b. Perbuatan Aminah, apakah dapat dikategorikan sebagai perbuatan
berlanjut ? Berikan alasan dan tunjukkan dasar hukumnya !

c. Bahan Bacaan
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.
Bandung : Sinar Baru, hal. 642 -683
3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40
4. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373,
364, 382.
5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana.
Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 175 – 189
6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 40 – 58
7. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik
Delik Khusus. h, 76- 77.
8. Sianturi, SR 198 Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
9. Tresna, R 1959. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal.
157 – 164
10. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 64 - 84

95
POKOK BAHASAN V
PENGULANGAN (RECIDIVE) DAN DELIK ADUAN (KLACHTDELICT)

PERTEMUAN KE X : PERKULIAHAAN V

BAB V
PENGULANGAN (RECIDIVE) DAN DELIK ADUAN (KLACHTDELICT)

A. Pendahuluan
Recidive terjadi jika seseorang yang telah melakukan tindak pidana
dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim dimana telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), kemudian melakukan
tindak pidana lagi. Sedangkan Delik aduan (klacht delict) merupakan delik
yang hanya dapat dituntut, apabila diadukan oleh orang yang merasa
dirugikan. Delik aduan sifatnya pribadi/privat, dengan syarat adanya suatu
aduan dari pihak yang dirugikan. Delik aduan/klach delict juga diartikan
sebagai pembatasan inisiatif jaksa untuk melakukan penuntutan. Delik ini
membahas tentang kepentingan korban. Pengaturan delik aduan dijumpai
secara tersebar di dalam Buku ke II KUHP.
Setelah mempelajari materi dalam pengulangan (recidive) dan delik
aduan (klachtdelict), Capaian Pembelajaran yang diperoleh adalah
mahasiswa menguasai pengetahuan mengenai Recidive, meliputi :
pengertian, Pemberatan Pidana Dalam Residive, Residive Dalam KUHP,
Sistem Residive, Sanksi Pidana (Pemberatan Dalam recidive), Syarat
Residive, dan mengenai Delik aduan (klachtdelict) meliputi : pengertian, Hak
Mengajukan Pengaduan, Jenis Delik Aduan, Menarik Pengaduan.
Pengulangan (recidive) dan delik aduan (klachtdelict), perlu dipelajari lebih
mendalam untuk bisa memahami materi dalam tutorial pada pertemuan
berikutnya, sehingga kasus-kasus dalam tutorial dapat dianalisis dengan
baik.

96
5.1 PERKULIAHAN PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE)
A. Pengertian
Jonkers, Hazewinkel-Suringa, Vos, Van Hattum menganggap sesuatu
yang tidak tepat jika membahas masalah gabungan/perbarengan/
samenloop dengan pengulangan/residive dalam satu bab, karena
pengulangan/residive berbeda prinsip dari gabungan/perbarengan/
samenloop. Oleh karena pengulangan/residive itu menjadi suatu alasan
yang memperberat pemidanaan terhadap para pelaku
kejahatan/pelanggaran. Pompe mengatakan bahwa, baik dalam gabungan
maupun pengulangan adalah satu orang yang telah melakukan berturut-
turut beberapa peristiwa pidana. Tetapi dalam gabungan, dalam waktu
antara dilakukannya dua peristiwa pidana, tetapi pembuat itu tidak dijatuhi
pidana karena peristiwa pidana itu, sedangkan dalam pengulangan pembuat
tersebut telah dijatuhi pidana karena peristiwa pidana yang telah dilakukan
pertama diantara peristiwa pidana yang kedua itu (Utrecht E, 1965 : 195 - 196).

Arti residive menurut masyarakat adalah : “setiap orang yang telah


melakukan tindak pidana dan tindak pidana itu telah dijatuhi suatu pidana,
setelah menjalani pembinaan, bimbingan dan pendidikan tertentu didalam
lembaga pemasyarakatan, agar menjadi orang yang baik dan berguna dan
kembali menjadi anggota masyarakat, tetapi beberapa saat kemudian
kembali melakukan suatu tindak pidana”. Sehingga dalam hal ini telah
terjadi pengulangan suatu tindak pidana, tanpa memperhatikan syarat-
syarat lainnya sebagaimana yang terdapat dalam undang-undang.
Sedangkan arti menurut hukum pidana adalah : “setiap orang yang telah
melakukan suatu tindak pidana dan terhadap tindak pidana yang telah
dilakukan itu telah dijatuhi pidana, kemudian menjalani pembinaan,
bimbingan dan pendidikan tertentu didalam lembaga pemasyarakatan agar
menjadi orang yang baik dan berguna dan bila selesai menjalani pidana
serta kembali menjadi anggota masyarakat, beberapa waktu kemudian
kembali melakukan suatu tindak pidana”. Hal inilah yang menjadi ratio atau
dasar pemberatan pidana bagi pelaku suatu tindak pidana, karena kembali
melakukan pengulangan suatu tindak pidana yang dihubungkan dengan
syarat-syarat tertentu yang ditetapkan di dalam undang-undang.

97
Masruchin Ruba’i menegaskan bahwa, residive adalah salah satu
dasar pemberatan pidana (Masruchin Ruba’i, 2014 : 228). Hal yang perlu diingat dan
merupakan salah satu dasar pembeda antara pengulangan/residive dengan
gabungan/perbarengan/samenloop adalah bahwa dalam
pengulangan/residive perkara yang sebelumnya sudah diadili, sudah
diputus oleh hakim sehingga memiliki kekuatan hukum tetap/telah dijatuhi
pidana kemudian melakukan tindak pidana lagi. Mengenai hal ini Teguh
Prasetyo menyatakan bahwa, “Pengulangan/residive terdapat dalam hal
seseorang telah melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing
merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri, diantara perbuatan mana satu
atau lebih telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan” (Teguh Prasetyo, 2011 : 191).

B. Pemberatan Pidana Dalam Residive


3 faktor Dasar Filosofi pemberatan pidana pada Residive :
1. Lebih dari satu kali melakukan tindak pidana.
2. Telah dijatuhi pidana terhadap si pembuat atas tindak pidana yang
pertama.
3. Pidana telah dijalankan pada yang bersangkutan.
Penjatuhan hukuman yang pertama dapat dianggap sebagai peringatan dari
negara. Dengan mengulang lagi (melakukan tindak pidana kedua kalinya),
maka dianggap tidak mengindahkan peringatan tersebut (Masruchin Ruba’i, 2014 :
228). Seseorang yang dijatuhi hukuman dan mengulang lagi melakukan
kejahatan membuktikan bahwa ia memiliki tabiat buruk. Jahat, sehingga
dianggap membahayakan bagi keamanan dan ketertiban masyarakat (Teguh
Prasetyo, 2011 : 191).

C. Residive Dalam KUHP


KUHP kita tidak mengenal apa yang disebut residive umum (generale
recidive). Sistem residive umum itu dianut oleh Code Penal. Dalam sistem
itu berlaku ketentuan bahwa seseorang yang telah dipidana karena tindak
pidana, yang kemudian melakukan tindak pidana lagi, maka delik yang
dilakukan sebelumnya (delik apapun juga) akan menjadi alasan pemberatan
pemidanaan untuk delik kedua tersebut. Kesamaan jenis delik dan lamanya
waktu terjadinya delik yang terdahulu tidak menjadi pertimbangan. Disini
98
tidak ada lewat waktu dan lagi pula hakim wajib memberikan pemberatan
dalam pemidanaan delik kedua.
KUHP tidak mengatur mengenai pengulangan umum (general
recidive). Pengulangan umum adalah sebagai dasar pemberatan pidana
dengan berlaku terhadap semua tindak pidana. KUHP menggunakan sistem
Spesial Residive (Residive Khusus). Masruchin Ruba’i mengemukakan
bahwa, dasar pemberat pidana dalam KUHP merupakan pengulangan
khusus, yang berarti bahwa, pemberatan pidana dari suatu pengulangan
tidak berlaku pada semua pengulangan tindak pidana, namun hanya
pengulangan tindak pidana tertentu dengan syarat-syarat tertentu. Dengan
demikian, tidak semua pengulangan merupakan dasar pemberatan pidana.
Oleh karena itu, pengulangan dalam KUHP disebut “Pengulangan Khusus”
(Masruchin Ruba’i 2014 : 228).
Pengulangan yang diatur dalam KUHP (sebagai pengulangan khusus):
a. Pengulangan hanya terjadi pada kejahatan-kejahatan tertentu dengan
syarat-syarat tertentu. Pengulangan terbatas pada tindak pidana yang
disebutkan dalam Pasal 486, 487, dan 488 KUHP saja.
b. Diluar kelompok kejahatan dalam Pasal 486, 487, dan 488 KUHP itu,
KUHP juga ada beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat
terjadi pengulangan. Misalnya : tindak pidana Pasal 216 Ayat (3), 489
Ayat (2), 495 Ayat (2), 501 Ayat (2), 512 Ayat (3).
Tindak pidana lain yang tidak termasuk pada huruf a dan b diatas, maka
tidak dapat terjadi pengulangan (Masruchin Ruba’i 2014 : 228).

Residive diatur dalam Buku II KUHP, BAB XXXI dari Pasal 486, 487
dan 488, ini berarti bahwa ketentuan yang menyangkut residive itu tidak
berlaku umum, akan tetapi hanya untuk delik-delik yang disebutkan dalam
ketiga ( ke – 3 ) pasal tersebut. Dimana ketiga pasal tersebut masing-
masing menyebutkan kelompok kejahatan yang memberi pemberatan
tentang pemidanaan jika terjadi pengulangan tindak pidana.
Dalam KUHP, pengulangan tindak pidana ditentukan secara khusus,
yakni termasuk dalam jenis-jenis kelompok tindak pidana yang sama.
Misalnya :
486 : berkaitan dengan kej. Harta benda (pencurian, penggelapan, dll).
99
487 : berkaitan dengan nyawa (penyerangan presiden atau wakil presiden,
pembunuhan, pengguguran kandungan dll)
488 : berkaitan dengan kehormatan/nama baik dan harga diri orang
(penghinaan presiden atau wakil presiden, penghinaan, dll)
Apabila 1 (satu) orang telah melakukan beberapa tindak pidana,
timbullah kemungkinan-kemungkinan yaitu :
a). Gabungan, yaitu apabila dalam waktu antara dilakukannya 2 (dua)
tindak pidana tidak telah ditetapkan suatu hukuman karena tindak
pidana yang pertama diantara tindak pidana itu. Dalam hal
gabungan ini, maka praktis dialami (oleh yang terhukum) satu
peringanan hukuman, karena tidak selalu dapat ditetapkan jumlah
besar maksimum dari hukuman yang bersangkutan.
b). Pengulangan, yaitu apabila ada satu hukuman seperti yang
dimaksud pada poin a yang tidak lagi dapat ditiadakan. Disini
terdapatlah satu alasan untuk memperberat hukuman.
c). Telah ditetapkan hukuman yang dimaksud pada poin a, tetapi
hukuman itu bukanlah satu hukuman yang tidak lagi dapat
ditiadakan. Dalam hal demikian, tiada gabungan maupun
pengulangan dan tiap-tiap tindak pidana dapat dihukum dengan
maksimum yang telah ditentukan untuk masing-masingnya,
sehingga kemungkinan dapat dilakukan / diadakan kumulasi
biasa (Utrecht. E, 1965 : 196-197)

Jika pemberian pemberatan hukuman / pidana terhadap residive, VOS


mengatakan bahwa hal ini bertentangan dengan teori-teori hukuman /
pemidanaan, terutama teori pembalasan / absolut. VOS beralasan bahwa
belum tentu tindak pidana yang kedua, yang dilakukan oleh seseorang
memperlihatkan suatu mentalitet jahat pada pembuatnya yang lebih besar.
Melainkan seringkali ternyata bahwa tanggung jawab atas tindak pidana
kedua yang dilakukan, kemudian tidak begitu besar seperti tanggung jawab
atas tindak pidana pertama yang dilakukan terlebih dahulu oleh seseorang.
Oleh karena seringkali tindak pidana pertama membawa akibat yang sangat
buruk bagi pembuat tindak pidana, seperti namanya cacat dimata orang
(stigma), kehilangan pekerjaan dan ditempatkan dalam keadaan sosial yang
100
menyulitkan untuk mencari nafkah. Orang yang dalam keadaan demikian
ini, tidak jarang terpaksa melakukan tindak pidana kedua. Sedangkan
Pompe berpendapat lain, yaitu bahwa tindak pidana pengulangan itu justru
menimbulkan dugaan bahwa pembuat mempunyai satu mentalitet tertentu
yang sudah agak tetap, yaitu suatu kecendrungan yang lebih besar untuk
melakukan kejahatan (Utrecht. E, 1965 : 198).

D. Sistem Residive
Pada umumnya tentang sistem residive yang dikenal adalah :
1. Residive Umum ( Algemene Recidive / Generale Recidive )

2. Residive Khusus ( Speciale Recidive / Bijzondere Recidive )

3. Tussen Stelsel ( tempatnya diantara pertama dan kedua )

(I Made Widnyana, 1992 : 85)

Ad 1). Residive Umum ( Algemene Recidive / Generale Recidive ) : “


terjadi apabila seseorang telah melah melakukan delik / tindak pidana
/ perbuatan pidana dan terhadap tindak pidana itu telah dijatuhi
pidana oleh hakim, akan tetapi setelah orang itu menjalankan
pidananya dan kemudian setelah bebas dan kembali kedalam
masyarakat, dalam jangka waktu tetentu yang ditetapkan oleh
undang-undang, orang itu kembali melakukan tindak pidana dan
tindak pidana itu tidak harus sejenis “. ( T.P. Pencurian setelah
melakukan Perampokan )
Ad 2). Residive Khusus ( Speciale Recidive / Bijzondere Recidive ) : “
apabila seseorang melakukan delik / tindak pidana / perbuatan
pidana dan terhadap tindak pidana itu telah dijatuhi pidana oleh
hakim, setelah dijatuhi pidana dan pidana itu telah dijalankan,
kemudian kembali kedalam masyarakat, dalam jangka waktu tertentu
yang telah ditetapkan oleh undang-undang, kembali melakukan
tindak pidana yang sejenis dengan tindak pidana terdahulu”.
Ad 3). Tussen Stelsel / Tussen Systeem ( satu sistem peralihan /
pengulangan pengelompokkan / groups recideive ) : “ apabila
seseorang melakukan delik / tindak pidana / perbuatan pidana dan

101
terhadap tindak pidana itu, orang tersebut telah dijatuhi pidana oleh
hakim, setelah orang itu menjalani pidana dan kemudian dibebaskan,
kembali orang tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah
ditentukan oleh undang-undang melakukan tindak pidana dan tindak
pidana yang dilakukan itu merupakan golongan tertentu yang
ditetapkan oleh undang-undang “ (Utrecht. E, 1965 : 200 – 201 dan I Made Widnyana,
1992 : 86).

Maksud “ tindak pidana menurut penggolongan undang-undang “


adalah : “ undang-undang menentukan dulu sejumlah tindak pidana dan
dibaginya dalam golongan-golongan yang menurut sifatnya dianggap sama.
Semua tindak pidana yang sifatnya sama itu dimaksudkan dalam satu
golongan “ ( tindak pidana 1 adalah “ pencurian “, tindak pidana 2 adalah “
penggelapan “ dan tindak pidana 3 adalah “ perampasan “ )
Pasal 486 KUHP :
Pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 127, 204 ayat pertama,
244-248, 253-260 bis, 263, 264, 266–268, 274, 362, 363, 365 ayat
pertama, kedua dan ketiga, 368 ayat pertama dan kedua sepanjang
disitu ditunjuk kepada ayat kedua dan ketiga Pasal 365, Pasal 369,
372, 374, 375, 378, 380, 381–383, 385-388, 397, 399, 400, 402, 415,
417, 425, 432 ayat penghabisan, 452, 466, 480 dan 481, begitupun
pidana penjara selama waktu tertentu yang akan dijatuhkan menurut
Pasal 204 ayat kedua, 365 ayat keempat, dan 368 ayat kedua,
sepanjang disitu ditunjuk kepada ayat ke empat Pasal 365, dapat
ditambah dengan sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan
kejahatan, belum lewat lima tahun sejak menjalani untuk seluruhnya
atau sebagian dari pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik
karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal itu,
maunpun karena salah satu kejahatan, yang dimaksud dalam salah
satu dari pasal 104 – 143, 145 dan 149 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Tentara, atau sejak pidana tersebut baginya sama
sekali dihapuskan (kwijtgescholden) atau jika pada waktu melakukan
kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum
daluwarsa “ (Moeljatno, 2014 : 174)
Jika terjadi pengulangan peristiwa / perbuatan / tindak pidana
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 486 KUHP, maka ancaman
pidananya diperberat atau ditambah dengan 1/3 ( sepertiga ) apabila :
1. Mengulangi kejahatan yang sama atau oleh undang-undang
dianggap sama macamnya ( sama macamnya, misalnya hari ini
mencuri, kemudian pada lain hari mencuri lagi. Oleh undang-

102
undang dianggap sama macamnya, meskipun kejahatan itu
berlainan macamnya, tetapi dianggap sama, seperti halnya pasal-
pasal yang tersebut dalam Pasal 486 )

2. Diantara kejahatan yang satu dengan yang lainnya sudah ada


yang mendapat putusan hakim ( apabila satu diantaranya belum
diputuskan oleh hakim, perbuatan itu merupakan suatu gabungan
kejahatan dan bukan residive ).

3. Hukuman yang dapat dimasukkan dalam peraturan residive


umum ialah hukuman penjara, bukan hukuman kurungan atau
denda

4. Jarak waktu kejahatan itu dilakukan tidak lebih dari 5 (lima) tahun,
terhitung sejak yang bersalah menjalani hukuman yang telah
dijatuhkan ( sebagian atau seluruhnya )

Ketentuan Pasal 486 KUHP itu apabila kita amati, ternyata mengatur
dalam hal apa pidana maksimum dari beberapa kejahatan dapat ditambah
dengan 1/3 ( sepertiga ) karena pengulangan. Apabila kita lihat pasal-pasal
yang ditunjuk dalam Pasal 486 KUHP, kejahatan-kejahatan yang
digolongkan terdiri dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan seseorang
dengan maksud untuk mendapat keuntungan yang tidak halal ataupun yang
dilakukan seseorang dengan tipu muslihat. Hal-hal itulah yang dipakai
sebagai dasar untuk memperberat pidananya dengan 1/3 bagi pengulangan
( residive ), dengan syarat :
(1). Terhadap kejahatan yang dilakukan harus sudah dipidana
dengan keputusan hakim yang tidak dapat dirubah lagi dan
hanya dengan pidana penjara dan
(2). Harus dalan jangka waktu 5 ( lima ) tahun terhitung dengan saat
selesainya menjadi pidana penjara dengan saat ia melakukan
tindak pidana untuk kedua kalinya (I Made Widnyana, 1992 : 88)

Pasal 487 KUHP :


Pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 130 ayat pertama, 131,
133, 140 ayat pertama, 141, 170, 213, 214, 338, 341, 342, 344, 347,

103
348, 351, 353 – 355, 438 – 443, 459 dan 460, begitupun pidana
penjara selama waktu tertentu yang dijatuhkan menurut Pasal 104,
105, 130 ayat kedua dan ketiga, pasal 140 ayat kedua dan ketiga,
399, 340, 444, dapat ditambah sepertiga. Jika yang bersalah ketika
melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk
seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan
kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang diterangkan
dalam pasal-pasal itu maupun karena salah satu kejahatan yang
dimaksudkan dalam Pasal 106 ayat kedua dan ketiga, 107 ayat
kedua dan ketiga, 108 ayat kedua, 109, sejauh kejahatan yang
dilakukan itu atau perbuatan yang menyertainya menyebabkan luka-
luka atau mati, Pasal 131 ayat kedua dan ketiga, 137 dan 138 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Tentara atau sejak pidana tersebut
baginya sama sekali telah dihapuskan, atau jika pada waktu
melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut
belum daluwarsa “. (Moeljatno, 2014 : 175)

Apabila kita cermati isi rumusan Pasal 487 KUHP, yang


menyebabkan ancaman pidananya ditambah dengan sepertiga, oleh karena
didalam pasal ini menyangkut tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang,
misalnya dengan menggunakan kekerasan terhadap orang, tentang
pembunuhan atau penganiayaan.

Pasal 488 KUHP :


Pidana yang ditentukan pada Pasal 134 – 138, 142 – 144, 207, 208,
310 – 321, 483 dan 484, dapat ditambah sepertiga, jika yang
bersalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak
menjalani untuk seluruhnya atau sebagian, pidana penjara yang
dijatuhkan kepadanya, karena salah satu kejahatan yang diterangkan
pada pasal itu, atau sejak pidana yersebut baginya sama sekali telah
dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan kewenangan
menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa “. (Moeljatno, 2014 : 176-177)

Apabila dilihat dan dicermati isi rumusan Pasal 488 KUHP ini, suatu
hal yang wajar penjatuhan pidananya diperberat dan ditambah dengan
sepertiganya dari tindak pidana yang dilakukan. Oleh karena, tindak pidana
yang dilakukan dapat menimbulkan perasaan tidak enak atau tidak
menyenangkan bagi yang terkena kejahatannya, seperti “ penghinaan
terhadap Presiden dan Wakil Presiden ( Pasal 134 KUHP ) , penghinaan
terhadap raja dari negara sahabat ( Pasal 142 KUHP ), penghinaan
terhadap suatu kekuasaan pemerintahan ( Pasal 207 KUHP ), penyerangan

104
terhadap kehormatan seseorang ( Pasal 310 KUHP ) dan menerbitkan
suatu tulisan atau gambar yang sifatnya dapat dipidana “.
Syarat-syarat agar pidana maksimum dapat ditambah 1/3 karena
residive / pengulangan dalam Pasaal 488 KUHP adalah : “ Syarat-syarat
pertama ini berbeda dengan syarat pertama yang ditentukan dalam Pasal
486 dan Pasal 487 KUHP. Dalam Pasal 488 KKUHP ditentukan penjatuhan
pidana penjara yang belum lewat 5 tahun, sejak menjalani pidana untuk
seluruhnya atau sebagian sehubungan dengan perbuatan kejahatan yang
dilakukan pertama atau pidana yang diterimanya telah dihapuskan dan
ketika menjalani pidana belum daluarsa “

E. Sanksi Pidana (Pemberatan Dalam recidive)


Menurut Pasal 486, 487, dan 488 KUHP, pemberatan pidana dapat
ditambah sepertiga dari ancaman maksimum pidana. Menurut Pasal 486
dan 487 KUHP yang dapat diperberat hanya pidana penjara saja.
Sedangkan, menurut Pasal 488 KUHP dapat diperberat semua jenis pidana.
Sementara, pada residive lainnya diluar kelompok tindak pidana, yang
masuk kelompok kedua diatas, dapat ditambah dengan sepertiga dari
ancaman maksimum. Juga dapat diperberat dengan tidak menyebutkan
angka sepertiga, namun dapat dengan menambah lamanya saja. Misalnya
: Pasal 492 Ayat (2) KUHP : dari 6 (enam) hari kurungan menjadi 2 (dua)
minggu kurungan, atau pada Pasal 495 Ayat (2) KUHP yang merubah jenis
pidana dari denda menjadi kurungan.(Masruchin Ruba’i 2014 : 228).

F. Syarat Residive
Ada 2 (dua) syarat esensial yang harus dipenuhi dalam pemberatan
pidana pada Pasal 486, 487, dan 488 KUHP :
1) Terpidana telah menjalani seluruh atau sebagian pidana yang telah
dijatuhkan, atau ia dibebaskan dari menjalani pidana, atau ketika ia
melakukan kejahatan kedua kalinya itu, hak negara untuk
menjalankan pidananya belum daluwarsa.
2) Melakukan kejahatan pengulangan masih dalam waktu belum lewat
dari 5 (lima) tahun sejak terpidana menjalani pidana. (Masruchin Ruba’i

2014 : 229-230).

105
Selain pengulangan pada Pasal 486, 487, dan 488 KUHP, bentuk
pengulangan yang diluar pasal tersebut juga tersebar dalam beberapa
pasal diantaranya : Pasal 216 ayat (3), 492 ayat (2), 495 Ayat (2), 501
Ayat (2), Pasal 512 Ayat (3), dan Pasal 512 Ayat (2). Dalam hal ini,
syarat pengulangannya tidak sama, jangka waktu tenggang
daluwarsanya lebih pendek dari 5 (lima) tahun, dengan pemberata yang
lain dari ditambah sepertiga. Misalnya, dengan merubah jenis pidananya
dari denda menjadi kurungan atau meruba ancaman pidana dengan
pidana yang lebih berat yang sama jenisnya (Masruchin Ruba’i 2014 : 229-232).

Daftar Bacaan

Bemmelen, Mr. J.M. van, 1987 : Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Materiil
Bagian Umum, Binacipta, Bandung.

Chazawi, Adami (2), 2002 : Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 3, Raja


Grafindo Persada, Jakarta.

Maramis, Frans., 2012 : Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia,


Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Moeljatno, 2014 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan,


Bumi Aksara, Jakarta.

Marpaung. Leden, 2009 : Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar


Grafika, Jakarta.

Prastyo, Teguh, 2011, Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Ruba’i, Masruchin, 2014 : Buku Ajar Hukum Pidana, Bayumedia


Publishing, Malang.

Utrecht. E, 1965 : Hukum Pidana II, PT Penerbitan Universitas – Bandung.

Widnyana. I Made, 1992 : Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika, FH Unud,


Denpasar.

106
5.2 DELIK ADUAN
A. Pengertian Delik Aduan
Bila dilihat pengertian dari delik aduan sebauiknya dilihat terlebih dulu
kata atau peristilahan “delik” itu sendiri. Delik adalah terjemahan dari kata
Strafbaar feit. Perkataan feit berasal dari bahasa Belanda yang berarti
sebagian dari suatu kenyataan atau een gedeelte van de werkelijiheid,
sedangkan strafbaar berarti dapat dihukum. Dengan demikian secara
harfiah perkataan strafbaar feit dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari
suatu kenyataan yang dapat dihukum(P.A.F. Lamintang,2011: 181).
Terjemahan lain untuk kata strafbaar feit adalah peristiwa pidana, perbuatan
pidana, tindak pidana, perbuatan yang dapat dihukum dan pelanggaran
pidana. Tidak hanya perbuatan yang dapat terlihat secara langsung, tetapi
juga perbuatan yang tidak secara langsung (seperti : menyuruh,
menggerakkan dan membantu) adalah juga dapat dimasukkan sebagai
suatu kelakuan. Secara umum, pengertian delik, , dapat didefinisikan
sebagai perbuatan seseorang yang melanggar hukum dan terhadap
perbuatan itu sebagai konsekuensi dapat dikenakan sanksi.
Delik aduan (klacht delict) adalah delik yang hanya dapat dituntut,
jika diadukan oleh orang yang merasa dirugikan. Delik aduan sifatnya
pribadi/privat, yang memiliki syarat yaitu harus ada aduan dari pihak yang
dirugikan. Selain itu, yang dimaksud dengan delik aduan/klach delict
merupakan pembatasan inisiatif jaksa untuk melakukan penuntutan. Ada
atau tidaknya tuntutan terhadap delik ini tergantung persetujuan dari yang
dirugikan/korban/orang yang ditentukan oleh undang-undang. Delik ini
membicarakan mengenai kepentingan korban. Pada delik aduan, jaksa
hanya akan melakukan penuntutan apabila telah ada pengaduan dari orang
yang menderita, atau dirugikan oleh kejahatan tersebut. Pengaturan delik
aduan tidak terdapat dalam Buku ke I KUHP, tetapi dijumpai secara tersebar
di dalam Buku ke II. Tiap-tiap delik yang oleh pembuat undang-undang
dijadikan delik aduan, menyatakan hal itu secara tersendiri, dan dalam
ketentuan yang dimaksud sekaligus juga ditunjukan siapa-siapa yang
berhak mengajukan pengaduan tersebut.

107
Kalau diperhatikan banyak pendapat yang dikemukakan oleh para
pakar hukum terhadap delik aduan diantaranya, sebagai berikut:

a. Menurut Samidjo, delik aduan (Klacht Delict) adalah suatu delik yang
diadili apabila yang berkepentingan atau yang dirugikan
mengadukannya. Bila tidak ada pengaduan, maka Jaksa tidak akan
melakukan penuntutan.
b. Menurut R. Soesilo dari banyak peristiwa pidana itu hampir semuanya
kejahatan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari
orang yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana semacam ini
disebut delik aduan.
c. Adami Chazawi, Dalam hal kejahatan aduan (delik aduan), prinsip
umum dalam penuntutan perkara pidana dikecualikan dalam delik
aduan ini, karena Negara tidak berwenag menuntut pidana apabila
korban kejahatan (yang berhak mengadu) tidak mengadukan (Adami
Chazawi,2005: 89).
d. Menurut P. A. F Lamintang, tindak pidana hanya dapat dituntut apabila
ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Tindak pidana seperti ini
disebut Klacht Delicten. (http://repository.usu.ac.id)
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa, suatu delik aduan, di
samping delik tersebut memiliki unsur yang lazim dimiliki oleh tiap delik,
maka delik ini haruslah juga mensyaratkan adanya pengaduan dari si
korban atau pihak yang dirugikan untuk dapat dituntutnya si pelaku. Delik
aduan (Klacht Delicten) ini merupakan suatu delik, pada umumnya
kejahatan biasa, di mana untuk penuntutan perkara diharuskan adanya
pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan, dalam hal ini tentu
dengan pertimbangan sepanjang penuntut umum berpendapat bahwa
kepentingan umum tidak terganggu dengan dilakukannya penuntutan atas
perkara tersebut.

B. Hak Mengajukan Pengaduan


Diperbuatnya tindak pidana oleh subyek hukum tindak pidana, tidak
akan menjadi suatu perkara pidana dan diperiksa disidang pengadilan
yang pada akhirnya diputus, apabila sebelumnya tidak dilakukan

108
penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum ke sidang pengadilan. Namun
sebelum Jaksa PU dapat mengajukan tuntutan, haruslah terlebih dahulu
dilakukan penyidikan mengenai tindak pidana itu beserta segala sesuatu
yang bersangkut paut baik dengan si pembuat maupun perbuatannya,
penyidikan mana ditujukan selain untuk memberkas perkara juga ditujukan
untuk menentukkan apakah perkara itu cukup bukti dan alas an untuk
dapat diajukkan penuntutan pidana oleh Jaksa PU ataukah tidak. Bahkan
kadang- kadang sebelum tindakan penyidikan dilakukan, diperlukan
tindakan penyelidikan terlebih dahulu, untuk menentukan apakah suatu
peristiwa itu dapat dilakukan penyidikan atau tidak.
Nyatalah bahwa inisiatif untuk beracara dalam perkara pidana
bukanlah pada pihak orang yang terlanggar kepentingan hukumnya atau
korban tindak pidana,melainkan pada pihak Negara in casu dimulai oleh
pejabat penyelidik atau pejabat penyidik yakni Kepolisian. Namun pejabat
penyelidik atau penyidik tidak menentukan untuk melakukan penuntutan.
Penuntutan hanya dilakukan oleh pejabat Penuntut Umum dan Institusi
Kejaksaan. Penuntutan (vervolging) ialah berupa tidnakan melimpahklan
perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan
supaya perkara itu diperiksa dan diputuskan oleh hakim disidang
pengadilan( Pasal 1 angka 7 KUHAP). Jadi ada dua unsur esensial dari
tindakan penuntutan pidana, yaitu:
 Perbuatan melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri;
 Disertai permintaan agar perkara itu diperiksa dan diputus.
Tindakan penuntutan pidana (vervolging) tidaklah sama dengan
tindakan mengajukan tuntutan pidana (requisitoir) sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 182 KUHAP atau dulu Pasal 290 HIR. Tuntutan
pidana (requisitoir) dimuat dalam sebuah surat yang disebut Surat
Tuntutan (requisitoir), yang dibuat dan dibacakan/ diucapkan oleh Jaksa
PU dalam sidang setelah acara pembuktian selesai, dimana Majelis Hakim
memberikan kesempatan pada Jaksa Penuntut untuk mengajukan
tuntutannya. Surat tuntutan ini berisi tentang pendapat Jaksa Penuntut (
hal terbukti tidaknya dakwaan) mengenai perkara yang diperiksa dan

109
permintaan kepada hakim mengenai putusan apa yang dijatuhkan pada
Terdakwa (pemidanaan, pelepasan dari tuntutan hukum, pembebasab,
atau tindakan). Jika Jaksa Penuntut umum meminta untuk menjatuhkan
pidana maka harus tegas jenis dan berat ringan pidana yang dimintanya.
Sedangkan tindakan penuntutan pidana, adalah pekerjaan penuntutan
sebagaimana yang diatur dalam Bab XV (137 s/d 144) KUHAP atau dulu
Bagian Pertama Titel X HIR (Pasal 246 s/d 251).
Jadi jelaslah bahwa untuk lahirnya perkara pidana atau beracara
dalam perkara pidana adalah atas inisiatif Negara yang in casu diwakili
pejabat penyidik yakni Kepolisian, dan dilanjutkan penuntutan oleh Jaksa
Penuntut Umum. Berbeda halnya dengan perkara perdata, dimana untuk
beracara tidak dimulai atas inisiatif Negara, melainkan oleh pihak yang
merasa kepentingan hukumnya dirugikan atau terlanggar oleh orang atau
pihak lain. Sedangkan Negara sifatnya pasif, sekedar menunggu dan
berbuat (pengadilan memeriksa) sepanjang diminta oleh salah satu pihak
(penggugat).
Untuk beracara dalam hal perkara pidana tidak diperlukan
permintaan oleh pihak yang dirugikan/ dilanggar kepentingan hukumnya
semacam itu. Perinsip Umum dalam perkara pidana tindak pidana apda
dasarnya adalah kepentingan hukum public atau bercorak public
(walaupun pada kenyataannya juga melanggar kepentingan hukum orang
gperorangan, misalnya orang ditipu), maka inisiatif untuk beracara dalam
hal mempertahankan dan menegakkan kepentingan hukum yang
terlanggar tadi adalah Negara, bukan korban. Sedangkan subjek hukum
korban tindak pidana yang didakwakan serta menentukan kadar kesalahan
si pembuat oleh Majelis Hakim.
Berdasarkan pada perinsip umum itu, maka tidak penting tentang apa
yang diminta oleh korban dalam perkara pidana. Diminta ataukah tidak
Negara akan melakukan penuntutan atas perkara pidana. Namun perinsip
umum itu dikecualikan dalam hal kejahatan aduan. Dalam hal kejahatan
aduan Negara tidak berwenang menuntut pidana apabila korban kejahatan
(yang ebrhak menagdu) tidak meminta (mengadu) agar perkara pidana
yang diadukan itu diperiksa, diajukan ke sidang pengadilan dan diputus.
Dalam hal kejahatan aduan pengaduan itu menajdi syarat mutlak untuk
110
dapatnya Negara (in casu Jaksa PU) melakukan penuntutan pidana,
kecuali dalam hal penghinaan terhadap pejabat (pegawai negeri) pada
waktu atau karena menjalankan tugas yang sah (316 jo 319). Peranan
korban pad akejahatan aduan adalah menentukkan untuk dapat tidaknya
dilakukan penuntutan pidana (vervolging). Tetapi bukan menentukan untuk
dapatnya dilakukan penyidikan (opsporing). Dalam hal penyidikan tidaklah
penting ada pengaduan ataukah tidak. Penyidikan boleh dilakukan
terhadap sipembuat kejahatan aduan tanpa digantungkan adanya
pengaduan dari yang ebrhak menagdu. Hanya saja pekerjaan ini akan
menajdi sia-sia jika ditolak oleh Jaksa PU lantaran pejabat penuntut ini
tidak dapat mengajukan tuntutan pidana ke sidang pengadilan, yang jika
dilakukan juga, Majelis Hakim akan memutus tentang tuntutan itu yang
isinya ialah “menyatakan dakwaan tidak dapat diterima” nerhubung
Penuntu Umum tidak berwenang menuntut pidana.
Akan tetapi sesungguhnya bagi penyidik yang melakukan juga
penyidikan terhadap tindak pidana aduan tanpa danya pengaduan yang
berhak menagdu, dalam bebrapa hal kadang-kadang sangat bermanfaat,
yaitu:
 Apabila kemudian korban atau yang berhak mengadu pada akhirnya
benar-benar memasukkan penagduannya. Dalam praktik hal
semacam ini seringkali terjadi, dimana pada mulanya korban tidak
segera memasukkan pengaduannya, namum kemudian berubah
pikiran, yang pad akhirnya mengajukan pengaduannya.
 Setelah dilakukan penyidikan ternyata ada orang lain yang ikut
terlibat (pelaksana, penyuruh, peserta, penganjur, atau pembantu)
dalam melakukan kejahatan yang tidak diadukan itu, yang
penuntutan pidana terhadap keterlibatannya dalam kejahatan itu tidak
diisyaratkan adanya pengaduan, maka mengenai keterlibatannya ini
dapat dilakukan penuntutan pidana, sedangkan bagi orang yang
tunduk pada syarat pengaduan untuk dilakukan penuntutan pidana
distatuskan menjadi saksi belaka.
 Setelah dilakukan penyidikan ternyata adal tindak pidana lain yang
bukan kejahatan aduan. Bagi kepentingan hukum public sangat

111
pentung untuk melakukan penuntutan pidana terhadap si pembuat
tindak pidana bukan aduan ini.
 Menjadi penting ialah dalam hal untuk menyelamatkan barang bukti.
Dengan segera dilakukan penyidikan, penyidik dapat melakukan
penyitaan barang-barang bukti, yang kadang-kadang barang bukti ini
sangat berguna dalam upaya menghindari kerugian yang lebih besar
yang diderita korban. Misalnya anak mencuri ratusan juta rupiah-
uang milik orang tuanya. Bila segera dilakukan penyidikan uang itu
dapat disita, dan walaupun terhadap anak itu tidak dapat dituntut
pidana karena tanpa pengaduan, tetapi sebagian atau seluruh uang
itu dapat diselamatkan dengan dikembalikan pada orang tuanya.
Apakah yang dimaksud dengann pengaduan (klacht)? Pengaduan
didefinisikan ialah suatu pernyataan tegas (lisan atau tertulis atau
dituliskan) dari seseorang yang berhak (mengadu) yang disampaikan
kepada pejabat penyelidik atau pejabat penyidik (Kepolisian RI) tentang
telah diperbuatnya suatu tindak pidana (in casu kejahatan aduan) oleh
seseroang dengan disertai permintaan agar dilakukan pemerikasaan untuk
selanjutnya dilakukan penuntutan kepengadilan yang berwenang. Jadi
ada dia unsure esensial pengaduan adalah:
a. Pernyatan tentang telah diperbuatnya tindak pidana oleh
seseorang, dan disertai
b. Permintaan untuk diadakan pemeriksaan (penyidikan) untuk
dilakukan penuntutan pidana ke sidang pengadilan.
Walaupun ada persamaan sifat dengan laporan, karena laporan juga
merupakan pernyataan mengenai telah diperbuatnya tindak pidana,
namun perbedaan yang mendasar dengan penagduan. Perbedaan itu
adalah:
a. Pada pelaporan cukup sekedar menyampaikan (berisi)
keterangan atau informasi tenatang adanya peristiwa yang
diduga sebagai tindak pidana. Sedangkan pada pengaduan
disamping berupa informasi tenatng diperbuatnya tindak pidana,
juga harus disertai permintaan yang tegas kepada pejabat
penerima pengaduan agar tindak pidana itu diusut dan kemudian
dilakukan penuntutan pidana ke sidang pengadilan.
112
b. Pelaporan (aangifte) dapat dilakukan oleh siapa saja, baik korban
maupun bukan, baik orang dewasa maupun anak yang belum
cukup umurnya (belum dewasa). Sedangkan pengaduan (klacht)
hanya dapat dilakukan oleh orang yang berhak saja (korban,
kuasanya, walinya dan lain-lain, lihat 72 dan 73).
c. Pelaporan dapat diajukan mengenai semua tindak pidana
(kejahatan maupun pelanggaran). Sedangkan pengaduan hanya
dapat dilakukan oleh kejahatan-kejahatan (aduan) saja.
d. Pelaporan tidak merupakan syarat dapatnya dilakukan
penuntutan pidana terhadap si pembuatnya. Sebaliknya
pengaduan adalah merupakan syarat esensial untuk dapatnya
Negara melakukan penuntutan pidana.
Apakah hak oportunitas tidak berlaku pada kejahatan aduan, mengingat
dalam kejahatan aduan ini peranan permintaan dari korban kejahatan untuk
melakukan penuntutan pidana adalah menentukan?. Dalam persoalan ini,
hak Penuntut Umum untuk mendeponer (deponeren) suatu kasus perkara
pidana berdasarkan kepentingan umum (asas opportunitas, Pasal 32 huruf
c UU no 5 Tahun 1991) tidak dipengaruhi oleh adanya pengaduan (
permintaan agar menuntut) oleh pengadu (Utrecht, 1965:246). Walaupun
ada pengaduan pad kejahatan aduan, toh Jaksa PU (atas nama Jaksa
Agung) tetap dapat melakukan deponering (memtieskan atau
menyampingkan) sesuatu perkara, demi untuk ke[entingan umum. Arti
kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara dan /atau
kepentingan amsyarakat luas (Penjelasan pasa 32 huruf b). asas
opportunitas berdasarkan atas pandangan bahwa akan lebih besar
hanyanya daripada manfaatnya dengan adanya penuntutan pidana, maka
Jaksa PU atas nama Jaksa Agung boleh tidak melakukan penuntutan
(mendeponir) perkara pidana(Adami Chazawi, 2005: 99).

Ada pertimbangan yang dipakai dasar bagi Pembentuk Undang-


Undang (KUHAP) untuk menetapkan pengaduan sebagai syarat untuk
dapatnya dituntut pidana terhadap si pembuat kejahatan aduan.
Pertimbangan itu ialah bahwa dalam hal kejahatan aduan pentinya bagi
yang berhak mengadu atau yang kepentingan hukumnya dilanggar apabila

113
perkara itu dituntut adalah lebih besar dari pada pentingnya bagi Negara
apabila perkara itu dilakukan penuntutan pidana. Dalam hal kejahatan
aduan, terdapat dua hukum yang saling bertentangan, yaitu disatu pihak
perlunya hukim ditegakkan, artinya penting bagi Negara untuk dilakukkan
penuntutan, dan dilain pihak bagi korban ada kepentingan agar perkara
kejahatan aduan untuk tidak dilakukan penuntutan, misalnya pembuatnya
ada hubungan keluarga, atau kepentingan hukum yang dilanggar adalah
bersifat pribadi (misalnya zina atau penghinaan). Dalam hal ini
kepentingan korban untuk tidak dilakukan penuntutan pidana lebih
diutamakan daripada kepentingan Negara dalam hal menegakkan hukum.
Sehingga peranan korban menjadi sangat dominan (diutamakan) dalam
hal Negara untuk melakukan penuntutan pidana.
Kejahatan aduan itu tidak terkumpul didalam satu Bab, akan
tetapi tersebar dalam pasal-pasal mengenai beberapa jenis kejahatan di
Buku II. Tetapi ektentuan tentang pengaduan itu sendiri (mengajukan dan
menarik pengaduan), dan bukan mengenai kejahatan-kejahatan aduan,
termuat dalam satu Bab, yaitu pada Bab VII buku I yang berjudul
“Mengajukan dan Menarik Kembali Pengaduan Dalam Hal Kejahatan-
Kejahatan yang Hanya Dituntut Atas Pengaduan”, terdiri dari Pasal 72
sampai dengan Pasal 75.(
Kejahatan- kejahatan aduan yang tersebar dalam pasal-pasal
Buku II, antara lain:
 284: kejahatan zina;
 287 : bersetubuh dengan perempuan luar akwin yang umurnya
belum 15tahun atau belum waktunya untuk dikawinkan;
 293: menggerakkan seseorang yang baik tingkahlakunya untuk
,melakukan perbuatan cabul dengan dia;
 319 (jo 310-318) : segala bentuk penghinaan kecuali pasal 316
 320: pencemaran terhadap orang yang sudah meninggal
 321: menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka
umum tulisan atau gambar yang isinya menghina orang yang
sudah meninggal.

114
 322: membuka rahasia yang wajib disimpan karena jabatan atau
pencarian;
 323: memberutahukan hal-hal khusus tentang suatu perusahaan
dimana dia bekerja atau dulu bekerja yang harus
dirahasiakannya.
 332: melarikan perempuan belum dewasa atas persetujuanya
tanpa dikehendaki orang tuanya.
 367( jo 362,363,364, atau 365): segala bentuk pencurian dalam
kalangan keluarga;
 369: kejahatan pengancaman;
 370: (jo 372-375): semua bentuk penggelapan dalam kalangan
keluarga;
 394(jo 378-393 bis): semua bentuk penipuan (bedrog) dalam
kalangan keluarga, kecuali 393 bis ayat (2).

C. JENIS DELIK ADUAN


Menilik dari sifatnya, kejahatan aduan dapat dibedakan antara
kejahatan aduan mutlak (absolute) dan kejahatan aduan relative (nisbi).
Kejahatan aduan absolute adalah kejahatan yang pada dasarnya adalah
berupa kejahatan aduan, artinya untuk segala hal dan atau kejadian
diperlukan syarat pengaduan untuk dapatnya Negara melakukan
penuntutan mengenai perkara itu. Contohnya ialah kejahatan pada pasal-
pasal: 284, 287, 293, 319 (jo 310-318a0, 322, 332. Sedangkan kejahatan
aduan relative, ialah kejahatan yang pada dasarnya bukan berupa
kejahatan aduan, melainkan hanya dalam hal-hal atau keadaan tertentu
saja kejahatan itu menjadi kejahatan aduan. Hanya karena adanya unsure-
unsur tertentu, syarat pengaduan tidak diperlukan untuk melakukan
penuntutan. Contohnya pencurian dalam segala bentuknya (362-365)
pada dasarnya bukan kejahatan aduan, akan tetapi bila ada unsure dalam
kalangan keluarga atau kejahatan itu dilakukan dalam kalangan keluarga,
maka menajdi kejahatan aduan (relative). Contoh lainnya al. Pasal-pasal:
370 (jo 368,369), 376 (jo 372-375), 394(jo 378-393).

115
Menurut Modderman, ada alasan khusus dijadikannya kejahatan-
kejahatan tertentu yang menjadi kejahatan aduan relative bilamana
dilakukan dalam kalangan keluarga, yaitu:
a. Alasan susila, yaitu untuk mencegah pemerintah menghadapkan
orang-orang satu terhadap yang lain yang amsih ada hubungan
yang sangat erat dan dalam sidang penagdilan;
b. Alasan materiil (stoffelijk), yaitu pada kenyataannya didalam
suatu keluarga antara pasangan suami dan istri ada semacam
condominium (Utrecht,ibid:249).
Siapakah yang berhak mengajukan pengaduan dalam hal
kejahatan aduan?. Pada dasarnya orang yang berhalk mengajukan
pengaduan adalah orang yang etrkena kejahatan (korban). Namun (72
ayat 1) apabila korban kejahatan itu:
a. Masih anak-anak yang kriterianya ialah umurnya belum 16 (enam
belas) tahun dan belum dewasa, (perkawinan menyebabkan
kedewasaan walaupun umurnya belum 16 tahun); atau
b. Korban berada dibawah pengampuan selain karena sifat boros,
Maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam
perkara perdata. Wakilnya yang sah dalam perkara perdata dalam hal
kebelum dewasaan adalah walinya (voogd) yaitu orang tua kandung
(ayahnya), jika ayahnya tiada: ibunya, jika ayah dan ibu tiada ialah siapa
yang menurut hukum yang berlaku bagi anak itu (BW atau adat) menurut
cara tertentu menjadi wali. Dalam hukum adat bias pamannya, kakak dan
lain- lain orang yang menurut hukum menjadi wali dari anak itu.
Terhadap orang - orang yang diletakkan dibawah pengampuan
(curatele, Pasal 433 BW), ialah terhadap orang dewasa yang karena
dalam keadaan atau sifat-sifat pribadi tertentu, ialah; dungu, sakit ingatan,
mata gelap/pemarah berlebih-lebihan tanpa alas an rasional, pemboros.
Keadaan kecanduan narkotika dapat pula dipakai sebagai alas an
peletakan seseorang dibawah pengampuan (anologi). Orang dalam
keadaan atau memiliki sifat pribadi seperti itu dianggap tidak mampu
secara pribadi melakukan perbuatan hukum, oleh karena itu harus ditunjuk
seorang pengampu (curator) untuk mengurus segala kepentingan hukum
orang itu (curandus), termasuk didalamnya melakukan perbuatan
116
mengajukan aduan dalam hal kejahatan aduan. Tetapi curator tidak berhak
mewakili curandus dalam hal diletakkannya dibawah pengampuan itu oleh
sebab sifat boros untuk mengajukan pengaduan. Curandus yang karena
alas an boros tetap mampu untuk mengajukan pengaduan dalam perkara
kejahatan aduan. Peletakkan seseorang di bawah pengampuan beserta
menunjuk curatornya haruslah melalui penetapan hakim perdata
Pengadilan Negeri di ana curansud berdiam (Pasal 436 BW).

Jika tidak ada wakil sebagaimana yang dimaksudkan dalam


Pasal 72 Ayat (1), atau wakilnya itu sendiri adalah di pembuat yang harus
diadukan, maka orang yang berhak mengajukan pengaduan itu adalah :

a. Wali Pengawas (toeziende voogd, 366 jo 370 BW); atau

b. Pengampun Pengawas (toexinde curator, Pasal 499 BW); atau

c. Majelis yang menjadi Wali Pengawas atau menjadi Pengampu


Pengawas; atau juga

d. Istrinya, atau

e. Salah satu dari keluarga sedarah dalam garis lurus, atau jika itu
tidak ada, maka pengaduan dilakukan oleh

f. Salah satu dari keluarga sedarah dalam garis menyimpang


sampai derajat ketiga (Pasal 72 Ayat 2).

Bagaimana dengan korban yang berhak mengadu kemudian


meninggal dunia, apakah dengan demikian hak pengaduan dalam hal
perkara itu menjadi hapus?. Mengenai persoalan ini, diterangkan dalam
Pasal 73 yang menyatakan bahwa”Jika yang terkena kejahatan meninggal
dunia di dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam pasal berikut maka
tanpa memperpanjang tenggang itu, penuntutan dilakukan atas
pengaduan orang tuanya, anaknya, istrinya, atau suaminya yang amsih
hidup kecuali kalau ternyata bahwa yang meninggal dunia itu tidak
mengkhendaki penuntutan”.

117
Nyatalah dari norma Pasal 73, orang yang terlanggar
kepentingan hukumnya oleh kejahatan aduan, meskipun kemudian
meninggal, maka hak menghajukan pengaduan itu tetap berlangsung
selama tenggang waktu hak mengadu masih ada (masih berlangsung)
sesuai dengan Pasal 74. Hak pengaduan itu beralih pada para ahli
warisnya sebagaimana disebutkan secara limitative pada Pasal 73. Hak
pengaduan oleh ahli waris dari korban kejahatan aduan yang dimaksud
oleh Pasal 73 ini tidak berlaku dalam hal kejahatan aduan perzinaan (284
ayat 3).

Tenggang waktu hak mengajukan pengaduan yang dimaksud


Pasal 73 ialah dalam waktu 6 (enam) bulan sejak orang yang berhak
mengadu mengetahui adanya kejahatan aduan, jika ia bertempat tinggal di
Indonesia, atau dalam waktu 9(Sembilan) bulan apabila dia bertempat
tinggal di luar Indonesia. Mengenai tenggang waktu 6(enam) dan 9
(Sembilan) bulan disini dikecualikan dalam hal kejahatan aduan Pasal 293
Ayat (3) ialah kejahatan pembujukan terhadap orang belum dewasa yang
baik tingkah lakunya untuk berbuat cabul atau membiarkan diri untuk
dilakukan perbuatan cabul, yang tenggang waktu hak mengadu adalah
9(Sembilan) bulan dan 12(dua belas) bulan.

Sehubungan dengan ketentuan siapa yang berhak mengajukan


pengaduan dalam hal korban meninggal dunia, perlulah diperhatikan
kejahatan aduan yang dirumuskan dalam Pasal 320 dan 321, di mana hak
mengadu juga da pada ahli warisnya, yakni pada “salah seorang keluarga
sedarah maupun semenda dalam garis lurus atau menyimpang sampai
derajat kedua dari yang meninggal dunia, dan jika karena lembaga
matriarchal kekuasaan bapak, maka kejahatan juga dapat dituntut atas
pengaduan orang itu” (320 jo 321). Hak menagdu pada ahli waris menurut
Pasal 320 dan 321 berbeda dengan hak mengadu pada Pasal 73.
Perbedaannya ialah hak mengadu menurut Pasal 73 adalah hak mengadu
yang dialihkan, tetapi hak mengadu yang diatur dalam Pasal 320 dan 321
adalah hak mengadu asli yang langsung diletakkan pada ahli waris dari

118
orang yang sudah meninggal, bukan yang dialihkan sebagaimana Pasal
73.

Bilamanakah pengaduan itu dapat dilakukan? Sebagaimana yang


sudah ditrangkan diatas, Pasal 74 Ayat (1) menentukan bahwa
“pengaduan hanya boleh dilakukan dalam waktu 6(enam) bulan sejak
orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika
bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu 9(Sembilan) bulan jika
bertempat tinggal di luar Indonesia”. Perkecualian dari waktu enam dan
Sembilan bulan itu adalah 9(Sembilan) bulan untuk yang tinggal di
Indonesia, atau 12(sua belas) bulan bagi yang tinggal di luar Indonesia
bagi kejahatan pada Pasal 293. Menurut Jonkers, jangka waktu Sembilan
dan dua belas bulan ini disesuaikan dengan jangka waktu kehamilan
seorang perempuan (Jonkers , 1987: 250).

Berhubung dengan cara atau bentuknya pengaduan, ada dua


macam, yakni pengaduan lisan dan pengaduan dengan tulisan atau
tertulis, maka waktu penagjuan pengaduan itu ada perbedaan. Pada
pengaduan lisan, pengaduan ini telah terjadi pada saat diucapkan atau
dinyatakan secara lisan, apabila pengaduan diajukan secara tertulis, maka
penagduan itu terjadi ialah pada waktu surat pengaduan itu dikirim, dan
bukan pada saat pengaduan itu diterima oleh Pejabat Penyelidik atau
Pejabat Penyidik yakni Kepolisian. Dalam praktik selama ini, apabila
pengadu datang ke Kantor Kepolisian untuk mengajukan pengaduan lisan,
kemudian oleh Pejabat Kepolisian yang menrima pengaduan itu dibuat
tanda penerimaan pengaduan (tertulis) dimana didalamnya dimuat tanggal
pengajuan pengaduan dan informasi atau keterangan tentang trjadinya
tindak pidana dan informasi untuk dilakukan pemeriksaan/ penyidikan dan
penuntutan pidana. Lalu pengadu menandatanganinya, berikut juga
pejabat Kepolisian penerima pengaduan itu. Dengan demikian pengaduan
lisan itu apda dasarnya telah menjadi pengaduan tertulis atau dituliskan.
Waktu melakukan pengaduan adalah pada hari dan tanggal pengajuan
pengaduan yang dituliskan dalam tanda penerima pengaduan itu.

119
Bagi pengaduan oleh korban kejahatan yang amsih dalam
yenggang waktu 6(enam) atau 9(Sembilan) bulan kemudian menjadi
berhak untuk mengajukan pengaduan, maka pengaduan tersebut boleh
dilakukan dalam sisa tenggang waktu yang amsih ada (74 ayat 2).

Perlu juga diperhatikan bahwa pengaduan dalam hal kejahatan


aduan absolute tidak boleh dipecah atau dipisah (onsplitbaar), misalnya
pada perzinaan (284). Tidak dibenarkan pengadu memajukan pengaduan
terhadap pelaku pesertanya saja, sedang pelaku pelaksananya tidak atau
sebaliknya, misalnya karena dia adalah istri/ suami pengadu. Dalam hal ini
pejabat Penuntut tetap akan menuntut pidana dengan mengajukan ke
pengadilan terhadap kedua-duanya. Bagaimana jika Jaksa PU hanya
menuntut pelaku pelaksananya saja berhubung pelaku pesertanya (gadis
atau janda) melarikan diri atau karena alasan demi kepentingan umum
(asas opportunitas), sehingga tidak dituntut dengan tidak dimasukkan
dalam dakwaan? Dalam hal ini Majelis hakim hanya akan menjatuhkan
pidana terhadap siapa yang dituntut dan mengenai apa yang didakwakan
saja, dan tidak terhadap pelaku peserta gadis yang tidak dituntu dengan
tidak mencantumkannya dalam surat dakwaan sebagai pelaku peserta
zina. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum acara pidana yang melarang
Hakim memutus orang dan sesuatu diluar yang dituntut dan apa yang
didakwakan.

D. Menarik Pengaduan

Pengaduan yang telah diajukan dapat ditarik kembali bilamana masih


dalam tenggang waktu 3(tiga) bulan setelah pengaduan diajukan (Pasal
75). Dalam hal berlakunya tenggang waktu tiga bulan itu dihitung mulai
keesokan ahri dari pengajuan pengaduan. Ketentuan boleh ditariknya
pengaduan ini memberikan kemungkinan apabila setelah pengaduan
diajukan, si pengadu berubah pikiran karena misalnya si pembuat telah
meminta maaf dan menyatakan penyesalannya atau istilah dalam praktik
“telah berdamai”, maka pengadu dapat menarik kembali pengaduannya
selama masih dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.
Setelah pengaduan ditarik, maka tidak dapat diajukan lagi.

120
Mengenai kejahatan aduan perzinaan, pengaduan dapat ditarik
kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belumlah dimulai
(284 ayat 4), jadi tidak tunduk pada tenggang waktu tiga bulan menurut
Pasal 75. Dalam praktik selama ini tentang perkara perzinaan, pad hari
sidang pertama, sebelum Hakim Ketua Sidang meminta kepada Jaksa PU
untuk membacakan surat dakwaannya, seringkali Ketua Majelis
menanyakan terlebih dahulu kepada saksi pengadu apakah dia tetap pada
permintaannya dalam penagduan. Apabila pengadu tetap pada
permintaannya dalam pengaduan, maka sidang diteruskan dengan
pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa PU.

Andai kata terjadi, setelah surat dakwaan dibacakan, kemudian dia


menarik pengaduannya. Apakah dalam hal ini dibenarkan penarikan
pengaduannya itu? Untuk perkara zina, tidaklah mungkin, karena
bertentangan dengan Pasal 284 ayat (4). Pembacaan surat dakwaan
dalam praktik adalah dianggap permilaan pemeriksaan perkara pidana.
Bagaimana dengan perkara bukan zina, jika penarikan pengaduannya
masih dalam tenggang tiga bulan sejak dimasukannya pengaduan, tetapi
dilakukan setelah surat dakwaan dibacakan? Apakah penarikan
pengaduan ini dibenarkan? Dalam persoalan ini undang-undang tidak
secara jelas melarang. Jika semata-mata melihat bunyi rumusan Pasal 75,
yang menerangkan semata-mata perihal tenggang waktu untuk menarik
pengaduannya (tiga bulan). Begitu juga tidak secara tegas dilarang oleh
Pasal 284 Ayat (4) berhubung pokok perkaranya bukan zina. Maka boleh
menarik pengaduan dalam hal perkara selain zina yang dilakukan setelah
surat dakraan dibacakan dan sebelum putusan diucapkan. Alasannya ialah
dapat dibenarkan melakukan segala sesuatu perbuatan yang secara tegas
tidak dilarang. Melarang menarik pengaduan setelah pemeriksaan dalam
perkara kejahatan aduan zina, tidak berarti melarang penarikan
pengaduan setelah pemeriksaan dalam perkara kejahatan aduan yang
lain.

Alasan ini juga dibenarkan apabila dipandang bahwa penarikan itu


apda dasarnya adaklah merupakan alas an peniadaan penuntutan pidana

121
khusus (untuk kejahatan aduan). Dengan adanya penarikan pengaduan,
maka hak penuntutan menajdi hapus. Dengan hapusnya hak penuntutan
pidana, maka penuntutan yang sedang berjalan menjadi gugur. Keadaan
ini tidak berbeda dengan sebab meninggalnya terdakwa yang
mengahpuskan hak menuntut pidana.( Adami Chazawi,2005: 119).

DAFTAR BACAAN

Adami Chazawi, (2005), Pelajaran Hukum Pidana (Penafsiran Hukum


Pidana, Dasar-dasar Pemidanaan, Pemberantasan dan
Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran
Kausalitas), Bagian 2, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

P.A.F. Lamintang, 2011, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra


aditya Bakti, Bandung.

http://repository.usu.ac.id

5.3 Penutup
1. Rangkuman Materi

1. Recidive adalah pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh


seseorang yang telah melakukan tindak pidana pertama dimana telah
dijatuhi suatu putusan hakim berkekuatan hukum tetap, kemudian
melakukan suatu tindak pidana lagi.
2. Syarat Recidive yaitu ada keputusan hakim, dan merupakan
keputusan yang tidak dapat dirubah lagi, hukuman dijalankan atau
baru sebagian.
3. Sistem Recidive ada dua yaitu Recidive umum dan Recidive khusus.
Sedangkan jenis-jenis Recidive yaitu Recidive kejahatan dan
pelanggaran
4. Delik aduan merupakan delik yang hanya dapat dituntut, jika
diadukan oleh orang yang merasa dirugikan. Delik aduan bersifat

122
pribadi/privat, yang memiliki syarat yaitu harus ada aduan dari pihak
yang dirugikan.
5. Delik aduan juga digolongkan dalam dua jenis delik aduan absolut
(absolute klacht delict) dan delik aduan relatif (relatieve klacht delict).

2. Latihan :

PERTEMUAN KE XI : TUTORIAL V
PENGULANGAN (RECIDIVE) SERTA DELIK ADUAN (KLACHTDELICT)

1) PENGULANGAN (RECIDIVE)

a. Kasus
Lima tahun setelah Andi selesai menjalani masa pidana di LP Kelas II
Kerobokan dalam kasus perampasan sepeda motor, kembali diadili di
Pengadilan Negeri Denpasar dalam kasus pencurian, penipuan dan
penggelapan barang-barang milik perusahaan tempatnya ia bekerja di
bilangan Kuta. Andi selesai menjalani masa pidana pada akhir tahun 2000,
dan setelah itu ia bekerja di CV Jaya Garment yang bergerak di bidang
manufacturing dan eksport garmen. Di perusahaan tersebut, ia juga
menanamkan saham sebesar 20 %. Pada akhir tahun 2005, Andi dilaporkan
ke Polda Bali dalam kasus pencurian, penipuan dan penggelapan barang-
barang milik perusahaan. Atas laporan tersebut, penyidikan dilakukan dan
sampai berlanjut ke proses pemeriksaan di persidangan. Hakim
memutuskan bahwa andi terbukti bersalah dalam kasus tindak pidana yang
didakwakan kepadanya.

b. Pertanyaan :
1. Karena Andi memiliki saham di perusahaan tempat ia melakukan
tindak pidana, apakah unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan
dapat terpenuhi ?

123
2. Dalam kasus di atas, Andi dapat dijatuhi pidana lebih berat, kenapa ?

c. Bahan bacaan
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40
3. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373,
364, 382.
4. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 59 - 62
5. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik
Delik Khusus. h, 76- 77.
6. Sianturi, SR 198 Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
7. Tresna, R 1959. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal.
157 – 164
8. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 84 – 93.

2) DELIK ADUAN (KLACHTDELICT)


a. Kasus
Abdul Kadir merasa terhina oleh kata-kata yang diucapkan oleh
Hasan, sehubungan isue peselingkuhan Abdul Kadir dengan Ngatimin istri
tetangganya, yaitu Pak Komarudin. Komarudin punya bukti-bukti bahwa
benar Ngatimin berselingkuh dengan Abdul Kadir. Kabar yang berkembang
di kampung berakibat Abdul Kadir merasa terusik, kemudian melaporkan
Hasan ke polisi karena menurutnya telah memfitnah dirinya. Dalam
pemeriksaan polisi, Ngatimin yang diminta sebagai saksi, ternyata
membenarkan isue tersebut, namun Pak Komarudin tidak melaporkan
perselingkuhan istrinya dengan Abdul Kadir ke polisi.

b. Pertanyaan :
124
Tanpa adanya pengaduan, apakah dalam kasus di atas, Abdul Kadir
dapat dituntut ?
c. Bahan Bacaan
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40
3. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373,
364, 382.
4. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 59 - 62
5. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik
Delik Khusus. h, 76- 77.
6. Sianturi, SR 198 Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
7. Tresna, R 1959. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal.
157 – 164
8. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 94 - 101

125
POKOK BAHASAN VI
GUGURNYA HAK MENUNTUT PIDANA DAN MENJALANKAN PIDANA
SERTA GRASI, AMNESTI, ABOLISI DAN REHABILITASI

PERTEMUAN KE XII : PERKULIAHAAN VI

BAB VI
Gugurnya Hak Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana Serta Grasi,
Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi

A. Pendahuluan
Dalam melakukan penuntutan pidana terhadap pelaku tindak pidana di
dalam KUHP diatur pula tentang hapusnya kewenangan menuntut pidana
dan menjalankan pidana, hal ini diatur dalam KUHP Buku kesatu, Bab VIII
mengenai aturan umum. Kewenangan menuntut pidana sendiri merupakan
hak negara yang dilakukan oleh aparat penegak hukum khususnya dalam
hal ini adalah kejaksaan, Untuk itu maka dalam perkara pidana diberikan
jangka waktu hal ini berkaitan dengan daluwarsa yang diatur dalam Pasal
76 sampai dengan pasal 85 KUHP. Hal ini berkaitan dengan daluwarsa
terhadap penuntutan pidana dan daluwarsa terhadap penjalanan pidana.
Sedangkan keadaan-keadaan yang membuat hakim tidak dapat mengadili
seseorang pelaku sehingga hakim tidak dapat menjatuhkan sesuatu
hukuman disebut dengan “dasar-dasar yang meniadakan hukuman”.
Amnesti dan Abolisi merupakan salah satu sebab gugurnya hak menuntut
Pidana. Dan pemberian Grasi salah satu sebab hilangnya hak
melaksanakan pidana.
Setelah mempelajari materi dalam Gugurnya Hak Menuntut Pidana
dan Menjalankan Pidana Serta Grasi, Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi,
Capaian Pembelajaran yang diperoleh adalah Mahasiswa menguasai
pengetahuan mengenai Gugurnya hak menuntut pidana dan menjalankan
pidana meliputi : 1) Alasan Gugurnya Hak Menuntut, Alasan Gugurnya Hak
Menjalankan Pidana. 2) Grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, meliputi :
grasi, Abolisi dan Amnesti. Gugurnya Hak Menuntut Pidana dan
126
Menjalankan Pidana Serta Grasi, Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi, perlu
dipelajari lebih mendalam untuk bisa memahami materi dalam tutorial pada
pertemuan berikutnya, sehingga kasus-kasus dalam tutorial dapat dianalisis
dengan baik.

6.1 Perkuliahan Gugurnya Hak Menuntut Pidana dan Menjalankan


Pidana
Didalam kepastian hukum semua menginginkan / mengharapkan
supaya tidak terjadi suatu masalah berlangsung lama dan terus menerus.
Oleh karena itu sudah seharusnya segala sesuatu itu dapat diselesaikan
dengan cepat dan tuntas, sehingga dapat menimbulkan adanya perasaan
aman, damai, tenang dan tentram dalam kehidupan masyarakat. Misalnya
apabila seseorang telah melakukan suatu tindak pidana atau pelanggaran
beberapa waktu yang lampau, namun baru diketahui saat ini atau beberapa
saat kemudian. Tentu akan menimbulkan suatu pertanyaan bagi setiap
orang yaitu : apakah pelaku kejahatan itu masih dapat dituntut dan diadili
tanpa batas waktu ?. Apabila hal itu terjadi, sudah barang tentu akan dapat
menimbulkan ketidak tenangan, ketidak tentraman, tidak timbulnya
kepastian hukum, bahkan keamanan juga terganggu dalam kehidupan
masyarakat.
Hal ini dalam hukum pidana ( KUHP ) dapat dilihat di Buku I, Bab VIII
dari Pasal 76 sampai Pasal 85 KUHP. Masalah ini pada masa lalu
merupakan pembahasan dalam hukum acara pidana. Dimana alasan
gugurnya hak menuntut dan alasan gugurnya hak melaksanakan pidana,
dianggap sebagai suatu alasan gugurnya wewenang untuk melaksanakan
hak penuntutan dan alasan gugurnya wewenang untuk melaksanakan
pidana.
B. Alasan Gugurnya Hak Menuntut
Tentang hal ini, didalam KUHP terlihat dan diatur dalam :
1) Pasal 76 KUHP tentang Ne bis in idem

2) Pasal 77 KUHP tentang terdakwa meninggal dunia

3) Pasal 78 – 80 KUHP tentang daluarsa / verjaring

127
4) Pasal 82 KUHP tentang penyelesaian diluar pengadilan (
hanya untuk pelanggaran

Sedangkan pengaturan hal ini diluar KUHP adalah tentang abolisi


dan amnesti (I Made Widnyana, 1992 : 102 dan Utrecht, 1965 : 205)

Ad 1). Pasal 76 KUHP ( Ne bis in idem )


Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan hal tersebut adalah : “
seseorang yang tidak boleh dituntut dua kali ( sekali lagi ) terhadap
perbuatan yang baginya telah diputuskan hukumnya dengan
keputusan hakim yang tidak boleh dirubah atau ditiadakan /
onherroepelijk ( mempunyai kekuatan hukum tetap ) “. Adapun yang
menjadi dasar pertimbangan dalam Pasal 76 KUHP ini adalah : (1).
Untuk menjunjung tinggi keluhuran negara serta kehormatan
pengadilan, (2). Untuk memberikan rasa kepastian hukum bagi
perseorangan yang pernah dijatuhi pidana.
Sedangkan yang menjadi syarat untuk adanya Ne bis in idem ( Pasal
76 KUHP ) ini adalah :
1). Orang yang ditunut itu harus satu ( orangnya harus sama )
2). Melakukan perbuatan yang sama dengan yang dahulu
3). Telah dijatuhi keputusan hukum oleh hakim yang memiliki
kekuatan hukum tetap dan tentang perkara yang sama.
(Utrecht, 1965 : 206-209, I Made Widnyana, 1992 : 102, Adami Chazawi (1), 2002 :
152-154 dan Laden Marpaung, 2009 : 100-101).

Didalam ajaran Ne bis in idem ( Pasal 76 KUHP ) ini juga dikenal


dengan kata-kata “ nemo debet bis vexari “, yang artinya orang tidak dapat
dituntut untuk kedua kalinya karena satu perbuatan ( feit ) yang telah
dilakukannya dan terhadap perbuatan itu telah dijatuhkan keputusan hakim
yang tidak dapat lagi diubah atau ditiadakan ( onherroepelijk ). Dengan kata
lain bahwa orang itdak dapat dihukum dua kali karena satu perbuatan,
perkara yang telah diputuskan mutlak tidak dapat dituntut untuk kedua
kalinya.
Jongkers menyebutkan bahwa dalam hal ini, keputusan hakim yang
memutuskan tentang perbuatan dalam suatu perkara dapat berbentuk :

128
1. Penghukuman / veroordeling : hakim memutuskan bahwa
terdakwa telah melakukan perbuatan yang menjadi tuduhan
terhadapnya serta terdakwa bersalah karena melakukannya.
2. Pembebasan / pelepasan dari penuntutan hukum ( onslag van
rechts-vervolging ) : hakim memutuskan bahwa terdakwa telah
melakukan perbuatan yang menjadi tuduhan terhadapnya, tetapi
terdakwa ( pembuat – dader ) tidak dapat dijatuhi hukuman karena
alasan-alasan yang mengecualikan dijatuhkan hukuman (
strafuitsluitingsgrondden ) atau perbuatan yang menjadi tuduhan
seperti yang dicantumkan dalam pendakwaan, tidak dapat
dihukum
3. Pembebasan / keputusan bebas / vrijspraak : hakim memutuskan
bahwa kesalahan terdakwa atas perbuatan yang menjadi tuduhan
tidak terbukti. Dalam hal ini, pembebasan itu mempunyai sifat
negatif, yaitu pembebasan tidak menyatakan bahwa terdakwa
telah melakukan yang menjadi tuduhan, dimana pembebasan
hanya menyatakan bahwa kesalahan terdakwa atas melakukan
perbuatan itu tidak terbukti. Mungkin saja terdakwa melakukan
suatu perbuatan, akan tetapi dalam persidangan dimuka hakim
tidak dapat dibuktikan (Utrecht, 1965 : 207).

Oleh karena itu, van Hammel mengemukakan pendapatnya tentang “


perbuatan “ sebagaimana diatur dalam Pasal 76 KUHP, yaitu :
1. Perbuatan dalam arti peristiwa jahat yang telah terjadi / misdadig
voorval ( A dan B melakukan suatu kejahatan, kemudian A
ditangkap dan dituntut serta dijatuhi pidana, B ditangkap
kemudian, maka B tidak dapat dituntut dan dijatuhi pidana menurut
ajaran ini ).
2. Perbuatan dalam arti perbuatan yang menjadi pokok pendakwaan /
de handeling zoals die is te laste gelegd . Pendapat ini terlalu
sempit, contoh A dihukum karena telah menganiaya B, sebagai
akibat penganiayaan itu, beberapa hari kemudian B meninggal, A
dituntut dan dijatuhi hukuman. Dua tahun kemudian sesudah A
dihukum, maka secara meyakinkan yang dikemukakan oleh

129
beberapa orang saksi dapat dibuktikan menyatakan bahwa A
memang mempunyai rencana untuk membunuh B, terhadap hal
ini, A kemungkinan dapat diadakan dituntut lagi. Pendapat ini
terkenal dengan nama “ pelajaran yang menanggap “ hetzelfde feit
( perbuatan sama ) “ sama dengan “ hetselfde strafbare feit (
perbuatan pidana yang sama ) “
3. Perbuatan dalam arti perbuatan materiil / materiele handeling :
adalah perbuatan ( yang ditinjau ) terlepas dari unsur kesalahan
dan terlepas dari akibat. Contoh : A menemukan sebuah arloji,
kemudian menjualnya – dapat dituduh dan dituntut atas tindak
pidana pencurian, apabila ketika menemukan arloji itu sudah
mempunyai kehendak / rencana untuk memiliki atau dituduh
melakukan penggelapan. Kemudian hakim membebaskan A dari
tuduhan dan tuntutan tindak pidana pencurian dan tidak dapat
dituduh dan dituntut atas dasar melakukan tindak pidana
penggelapan ( Utrecht, 1965 : 210 – 211, Adami Chazawi ( 1), 2002 : 166 dan Frans

Maramis, 2012 : 264 ).

Ad 2). Pasal 77 KUHP ( Meninggalnya tertdakwa )


Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 77 KUHP, yaitu : “
kewenangan menuntut pidana hapus, jika terdakwa meninggal dunia
“. Pengaturan hal ini adalah sebagai suatu konsekuensi dari sifat
pidana yang hanya didasarkan atas kesalahan diri pribadi dari
seseorang manusia, artinya harus dianggap bahwa hanya seseorang
pribadi itu sendirilah yang harus bertanggung jawab, oleh karena
hanya suatu kesalahan manusia saja yang dapat dituntut.
Ad 3). Pasal 78 – 80 KUHP ( Kadaluarsa / verjaring )
Pasal 78 KUHP menentukan dalam :
Ayat (1) : Kewenangan menuntut pidana hapus karena
daluarsa :
Ke-1. Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan
yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu
tahun
Ke-2. Mengenai kejahatan yang diancam dengan
denda, kurungan atau pidana penjaran paling
lama tiga tahun sesudah enam tahun

130
Ke-3. Mengenai kejahatan yang diancam dengan
pidana lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas
tahun
Ke-4. Mengenai kejahatan yang diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup,sesudah delan belas tahun
Ayat (2) : Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan
umurnya belum delapan belas tahun, masing-
masing tenggang daluarsa diatas dikurangi
menjadi sepertiga (Moeljatno, 2008 : 33)

Masalah kadaluarsa / verjaring ini adalah merupakan lampaunya


waktu yang ditentukan / diberikan oleh undang-undang, untuk menuntut
seseorang terdakwa / tertuduh dalam suatu tindak pidana / perbuatan
pidana. Tentang tenggang waktu ini diatur didalam Pasal 78 KUHP dan hak
untuk menuntut menjadi gugur sesudah lewat 1 (satu) tahun, 6 (enam)
tahun dan 12 (dua belas) tahun. Yang menjadi pemikiran dan dasar hukum
tentang daluarsa ini adalah :
1). Sesudah lewatnya beberapa waktu – apalagi waktu yang
telah lewat itu panjang, mmaka ingatan seseorang tentang
peristiwa telah berkurang, bahkan tidak jarang hampir
hilang, sehingga menurut baik teori pembalasan, prevensi
umum maupun prevensi khusus tidak ada gunanya untuk
menuntut hukuman.
2). Kepada individu harus diberikan kepastian hukum / rechts-
zakerheid dan jaminan atas keamanannya menurut hukum
/ rechtsveiligheid, terutama apabila individu telah dipaksa
tinggal lama diluar negeri dan dengan demikian untuk
sementara waktu merasa kehilangan atau dikuranginya
kemerdekaannya
3). Dengan lampaunya waktu yang agak lama, maka seorang
terdakwa yang takut dituntut dan belum tertangkap, pada
umumnya akan melarikan diri keluar negeri / keluar daerah
dan telah terpisah dari sanak saudaranya dimana tindak
pidana / perbuatan pidana itu terjadi. Oleh karena itu, hal
ini sudah dapat dianggap sebagai pengganti pidana yang

131
semestinya diterima, bahkan dirasakan lebih berat
daripada menjalini pidana.
4). Untutk berhasilnya tuntutan pidana, maka sukarlah
mendapatkan bukti-butki sesudah lewatnya waktu yang
agak panjang. (I Made Widnyana, 1992 : 103, Utrecht, 1965 : 223-224, Laden

Marpaung, 2009 : 101-102).

Pasal 79 KUHP mengatur masalah penghitungan kadaluarsa, yang


menentukan sebagai berikut : “ Tenggang daluarsa mulai berlaku pada hari
sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut :
1. Mengenai pemalsuan atau pengrusakkan mata uang, tenggang
mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata
uang yang dirusak digunakan oleh si pembuat

2. Mengenai kejahatan tersebut dalam Pasal 328, 329 dan 333,


tenggang dimulai pada hari sesudah orang yang langsung terkena
oleh kejahatan dibebaskan atau meninggal dunia

3. Mengenai pelanggaran tersebut Pasal 556 sampai dengan 558a,


tenggang dimulai pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat
pelanggaran-pelanggaran itu, menurut aturan-aturan umum yang
menentukan bahwa register-register burgelijk stand harus
dipindah ke kantor panitera suatu pengadilan, dipindah kekantor
tersebut (Moeljatno (2), 2008 : 33-34, Adami Chazawi (1), 2002: 178-182 dan Frans

Maramis. 2012 : 266)

Walaupun berlakunya jangka waktu kadaluarsa itu dapat


mengugurkan hak untuk menuntut pidana, namun sebaliknya bahwa “
berlakunya jangka waktu kedaluarsa itu dapat dihentikan “ oleh karena :
a). Stuiting van de verjaring / penghentian kedaluarsa ( Pasal
80 KUHP )
b). Schorsing van de verjaring / penundaan kedaluarsa ( Pasal
81 KUHP )
Ad. a). Stuiting van de verjaring / penghentian kedaularsa.
Apabila jangka waktu kedaluarsa telah mulai berjalan, maka pada
suatu saat berlakunya ini dihentikan dan sejak saat itu dimulailah

132
jangka waktu yang baru ddan jangka waktu yang semula tidak
diperhitungkan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Pasal 90 KUHP,
bahwa : “ berlakunya jangka waktu kedaluarsa dihentikan ( stuiten )
oleh tiap-tiap tindakan penuntut dan sejak dilakukannya penghentian
itu harus diketahui oleh atau diberitahukan kepada si pelaku ( Pasal
80 ayat (1) KUHP ) “. Sejak saat itu mulailah berjalan jangka waktu
kedaluarsa yang baru ( Pasal 80 ayat (2) KUHP ). Persoalannya
adalah : tentang program apakah yang dimaksud dengan “ tiap-tiap
tindakan penuntutan ” oleh Pasal 80 ayat (1) KUHP itu ?. Dalam hal
ini tindakkan penuntutan harus ditafsirkan dalam arti yang luas dan
apabila tindakkan itu ditinjau dari sudut pemeriksaan pendahuluan
oleh Polisi, sudah dianggap sebagai tindakan penuntutan. Padahal
kalau kita tinjau secara sempit, maka tindakkan penuntutan itu hanya
boleh dilakukan oleh Jaksa, sedangkan tindakkan Polisi itu belum
merupakan tindakan penuntutan dan harus merupakan tindakkan
pengusutan saja.
Ad.b). Schorsing van de verjaring / penundaan kedaluarsa ( Pasal 81
KUHP)
Yang dimaksud adalah : apabila jangka waktu kedaluarsa telah mulai
berlaku, maka pada suatu saat berjalannya jangka waktu itu,
ditangguhkan selama beberapa waktu, untuk kemudian dilanjutkan
lagi, dengan pengertian bahwa : (a). jangka waktu yang telah berjalan
sebelum dihentikan turut diperhitungkan, (b). waktu selama mana
jangka waktu dihentikan tidak turut dihentikan.
Pasal 81 KUHP menyebutkan : “ penangguhan penuntutan pidana
berhubung dengan adanya perselisihan prae yudisiil, menunda
jalan kedaluarsa “. Prae yudisiil adalah : “ suatu perselisihan tentang
suatu soal diluar perkara pidana yang menjadi sebab berlakunya
kedaluarsa digantungkan kepada soal tadi “.
Perlu diketahui bahwa dalam pengertian hukum pidana, perselisihan
prae yudisiil ada 2 ( dua ) jenis, yaitu :
1). Persoalan ( dalam hal ini keputusan hakim ) yang
digantungkan kepada keputusan hakim-hakim lain.

133
2). Persoalan ( dalam hal ini keputusan hakim ) yang
digantungkan kepada tindakkan
Contoh 1) : Didalam hukum pidana ada suatu tindak pidana /
perbuatan pidana yang disebut dengan “ Stellionaat “, yaitu penggelapan
hak orang atas barang-barang tetap ( misalnya sebidang sawah ). A dituduh
dalam menjual sebidang tanah sawah yang sebenarnya milik B. Pada saat
A dituntut, ia membela diri dengan menyatakan / dengan memberi
keterangan bahwa sebidang tanah sawah itu miliknya sendiri yang diperoleh
karena warisan. Dengan demikian akan timbul persoalan yaitu : siapakah
sebenarnya yang memilikinya untuk menentukan siapa yang berhak harus
diputuskan oleh hakim perdata ? Oleh karena itu, salah satu / salah seorang
diantara A dan B harus mengajukan guggatan didepan hakim perdata.
Padahal perkara pidana semula sudah dimulai disidangkan, maka oleh
karena persoalan diatas, hakim pidana harus menunda pemeriksaan
sampai hakim perdata memberikan suatu keputusan. Sementara menunggu
keputusan hakim perdata itu, jangka waktu kedaluarsa dihentikan.
Contoh 2) : Suatu tindak pidana / perbuatan pidana yang menyangkut
overspel ( Pasal 284 KUHP ) adalah suatu kejahatan yang merupakan delik
aduan. Apabila terjadi kejahatan overspel, maka dituntutna dan diberikan
keputusan terhadap kejahatan itu digantungkan kepada adanya suatu
pengaduan, dalam arti bahwa selama belum ada pengaduan, maka
kejahatan itu belumdapat dituntut ( I Made Widnyana, 2009 : 103 – 106 ).
Ad 4). Penyelesaian diluar proses pengadilan ( Afkoop / Afdoning buiten
proces )
Menurut Pasal 82 KUHP menyatakan : “ hak menuntut pidana karena
pelanggaran yang semata-mata diancam dengan pidana pokok tidak lain
daripada denda, tiada berlaku lagi, jika maksimum denda dibayar dengan
kemauan sendiri dan demikian juga dibayar ongkos perkara, jika penuntutan
telah dilakaukan, dengan ijin pejabat yang ditunjuk dalam undang-undang
umum, dalam tempo yang ditetapkan. Dengan demikian apabila simpulkan,
maka : (1). Orang yang melakukan pelanggaran itu sukarela membayar
sejumlah uang yang sama dengan uang denda yang tinggi yang
diancamkan terhadap pelanggaran itu, (2). Tawaran itu disetujui oleh kepala
jawatan yang bersangkutan.
134
Dari ketentuan Pasal 82 KUHP itu dapat diketahui bahwa bangunan
hukum penyelesaian diluar proses pengadilan hanya berlaku terhadap
pelanggaran semata-mata yang diancam dengan pidana denda. Syarat agar
seseorang dapat melepaskan diri dari tuntutan pidana yang dijalankan
terhadapnya itu sehubungan dengan pelanggaran yang dilakukan yaitu : (a).
dengan membayar secara sukarela denda tertinggi ( maksimum ) yang
diancamkan kepada pelanggaran itu, (b). dengan izin dari pegawai yang
ditunjuk UU, misalnya Kepala Jawatan Pajak dalam hal orang melanggar
dibidang hukum fiskal. Terhadap hal ini, ada beberapa sarjana yang tidak
setuju dengan alasan :
1). Dilaksanakannya bangunan hukum ini diluar pengadilan adalah
bertentangan dengan sifat hukum pidana sebagai hukum publik,
yang semata-mata harus dilaksanakan demi kepentingan umum,
sehingga dengan demikian, maka apabila orang diizinkan untuk
menggugurkan tuntutan pidananya dengan harus membayar
sejumlah uang saja, maka ini seolah-olah yang dapat menebus
dengan membayar denda saja, padahal sebenarnya keputusan
hakimlah yang menentukan apakah penuntutan itu boleh ditebus
atau tidak.
2). Maksud Pasal 82 KUHP agar pengadilan jangan lagi dibebani
banyakpekerjaan yang tidak penting, oleh karena didalam praktek
ongkos penebusan itu terlalu tinggi, padahal pidana denda yang
dijatuhkan oleh hakim biasanya jauh dari denda maksimum yang
ditentukan pada pelanggaran itu ( I Made Widnyana, 1992 : 106-107 dan lihat

juga Laden Marpaung, 2009 : 100-102).

C. Alasan Gugurnya Hak Menjalankan Pidana


Hal ini diatur dalam Pasal 83 KUHP tentang meninggalnya terdakwa /
terhukum dan Pasal 84 – 85 KUHP tentang kedaluarsa, sedangkan
pengaturan diluar KUHP adalah tentang grasi. Didalam Pasal 83 KUHP
menentukan tentang kewenangan menjalankan hapus jika si terhukum
meninggal dunia. Sedangkan didalam Pasal 84 KUHP, maka lamanya
kedaluarsa yang dapat menggugurkan hak untuk melaksanakan pidana
adalah 2 (dua) tahun bagi segala pelanggaran dan 5 (lima) tahun bagi

135
kejahatan- kejahatan yang dilaksanakan dengan alat-alat cetak, 1/3
(sepertiga) lebih lama dari jangka waktu kedaluarsa yang dapat
menggugurkan menuntut pidana bagi lain-lain kejahatan. Sehingga
berdasarkan ini, maka perhitungan 8 (delapan) tahun untuk kejahatan yang
diancam dengan pidana denda, kurungan, penjara yang tidak lebih dari 3
(tiga) tahun ( lihat Pasal78 ayat (2) KUHP dan tambah dengan 1/3
(sepertiga) tahun. 16 (enam belas) tahun untuk kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara yang lebih dari 3 (tiga) tahun ( lihat Pasal 78 ayat (3)
KUHP dan ditambah dengan 1/3nya ). Akan tetapi mengenai lamanya
jangka waktu ini terdapat pembatasan, yaitu bahwa lamanya untuk
menggugurkan hal untuk menjalankan pidana yang telah dijatuhkan oleh
hakim ( Pasal 84 ayat (3) KUHP). Oleh karena itu, hak untuk menjalankan
pidana penjara seumur hidup tidak dapat gugur karena kedaluarsa, juga hak
untuk menjalankan pidana mati tidak dapat gugur karena kedaluarsa ( Pasal
84 ayat (4) KUHP). (Lihat Frans Maramis, 2012 : 268, Adami Chazawi (1), 2002 : 168-187 dan laden

Marpaung, 2009 : 103-104)

Mulai berlakunya daluarsa diatur dalam Pasal 85 KUHP, yaitu :


(1). Tenggang daluarsa mulai berlaku pada esok harinya setelah
putusan hakim dapat dijalankan.
(2). Jika seorang terpidana melarikan diri selama menjalani pidana,
maka pada esok harinya setelah melarikan diri, mulai berlaku
tenggang daluarsa baru. Jika suatu pelepasan bersyarat
dicabut, maka pada esok harinya setelah pencabutan, mulai
berlaku tanggang daluarsa baru.
(3). Tenggang daluarsa tertunda selama perjalanan pidana ditunda
menurut perintah dalam suatu peraturan umum dan juga selama
terpidana dirampas kemerdekaannya, meskipun perampasan
kemerdekaan itu berhubungan dengan pemidanaan lain (Moeljatno
(2), 2008 : 35).

Dengan melihat rumusan Pasal 85 KUHP tersebut, maka : (a).


menentukan saat mulai berlakunya jangka waktu daluarsa (ayat 1), (b).
menentukan apabila siterpidana melarikan diri dari penjara, maka pada
keesokan harinya sesudah ia melarikan diri, dimulai dengan jangka waktu
kedaluarsa yang baru, selama diluar penjara, jangka waktu kedaluarsa tidak
berlaku, artinya dihentikan / ditangguhkan (ayat 2) dan (c). jangka waktu
kedaluarsa itu ditunda jalannya selama : (1). Pelaksanaan pidana ditunda (
dischors ) dan (2). Siterpidana ditahan karena juga diperslahkan terhadap

136
tindak pidana / perbuatan pidana ( delik ) yang lain (Adami Chazawi (1), 2002 : 188-

190).

Daftar Bacaan

Chazawi, Adami (1), 2002 : Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2, Raja


Grafindo Persada, Jakarta.

Maramis, Frans., 2012 : Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia,


Raja Grafindo Persada, Jakarta.

------------, 2008 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan, Cet.


27, Bumi Aksara, Jakarta.

Marpaung. Leden, 2009 : Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar


Grafika, Jakarta.

Moeljatno, 2008 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan,


Cet. 27, Bumi Aksara, Jakarta.

Utrecht. E, 1965 : Hukum Pidana II, PT Penerbitan Universitas – Bandung.

Widnyana. I Made, 1992 : Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika, FH Unud,


Denpasar

6.2 PERKULIAHAN GRASI, AMNESTI, ABOLISI DAN REHABILITASI

A. Grasi
Didalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Negara
Republik Indonesia menyatakan bahwa : “ Presiden memberi grasi, amnesti,
abolisi dan rehabilitasi “
Grasi itu adalah : “ hak Kepala Negara untuk memberikan
pengampunan kepada orang yang dipidana yang namanya disebutkan
dalam keputusan yang bersangkutan “. Masalah grasi ini merupakan suatu
wewenang yang bersifat tradisional seorang Kepala Negara. Grasi saat ini
sifatnya sudah berubah dari semula, pada jaman kerajaan-kerajaan absolut
di daratan Eropah, grasi itu merupakan suatu anugrah raja / vorstelijke
gunst. Suatu anugrah seorang raja yang telah memberikan pengampunan

137
kepada pelaku-pelaku kejahatan. Dijaman modern saat ini, sesudah adanya
pembagian kekuasaan akibat pengaruh ajaran Trias Politics, termasuk
terbentuknya badan-badan peradilan yang membuat badan eksekutif tidak
dapat mempengaruhi secara langsung badan peradilan itu. Sehingga
masalah grasi dewasa ini lebih bersifat satu koreksi atas keputusan hakim,
yaitu satu koreksi yang diadakan berdasarkan alasan-alasan yang diketahui
sesudah hakim memutuskan perkara yang bersangkutan. Adapun sebagai
alasan diberikannya grasi adalah :
1. Kepentingan keluarga dari yang terhukum.
2. Yang terhukum / terpidana pernah sangat berjasa bagi
masyarakat.
3. Yang terhukum / terpidana menderita penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
4. Yang terhukum / terpidana berkelakuan baik dipenjara dan
memperlihatkan keinsyafan atas kesalahannya (Utrecht, 1965 : 239-240,

Adami Chazawi (1), 2002 : 193 dan I Made Widnyana, 1992 : 110).

Pengaturan masalah grasi di Indonesia ini dimulai dari Gratieregeling


Stb. 1933. No. : 2, kemudian diganti oleh Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. : 67 Tahun 1948, kemudian diganti dengan Undang-Undang
No.: 3 Tahun 1950 (LN 1950, No.: 40) dan terakhir diganti dengan Undang-
Undang No. : 22 Tahun 2002 tentang Grasi (Adami Chazawi, (1), 2002 : 193, I Made

Widnyana, 1992 : 110 dan Laden Marpaung, 2009 : 104). Menurut VOS bahwa pemberian
grasi pada umumnya akan diberikan kepada terpidana pada saat-saat
perayaan hari-hari nasional, seperti Hari Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945 dan tidak boleh dianggap sebagai anugrah kepala negara
kepada terpidana. Pemberian ini harus dianggap sebagai satu pernyataan
masyarakat yang telah mulai berperasaan baik kembali terhadap terhukum /
terpidana. Dalam hal ini yang perlu di ingat adalah pemberian grasi itu tidak
menghilangkan keputusan hakim yang bersangkutan. Dimana keputusan
hakim itu tetap ada, akan tetapi pelaksanaannya yang ditiadakan /
dihilangkan atau dikurangi atau jenis hukumannya diubah. Karena hal ini
sesuai dengan prinsip bahwa pengadilan adalah badan yang berdiri sendiri (
selfstandig Orgaan ), maka dalam hal ini kepala negara tidak dapat

138
menghilangkan / meniadakan. Apabila kepala negara menganggap
keputusan hakim itu terlalu keras, maka kepala negara hanya dapat
meringankan pelaksanaannya saja dari keputusan hakim itu denga : (a).
tidak mengeksekusi seluruh putusan, (b). hanya mengeksekusi sebagian
saja dari putusan itu dan (c). mengadakan komotasi, yaitu jenis hukuman
digandti, misalnya hukuman penjara diganti dengan hukuman kurungan,
hukuman kurungan diganti dengan hukuman denda, hukuman mati diganti
dengan hukuman penajara seumur hidup (Utrecht, 1965 : 240-241, I Made Widnyana, 1992

: 111).

Yang harus menjadi pertimbangan dan perhatian adalah beberapa


hal yang menjadi prinsip dalam grasi, yaitu :
1. Grasi dapat diajukan dan diberikan hanyalah kepada pemohon
yang telah dinyatakan bersalah dan dipidana dengan outusan
pengadilan ( sipil / militer ) yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, jadi grasi tidak dapat diberikan pada orang yang telah
dinyatakan bersalah denga dijatuhi tindakan.
2. Permohonan grasi tidak saja dapat diajukan oleh terpidana atau
kuasa hukumnya, tetapi dapat juga diajukan oleh pihak ketiga
dengan syarat terpidana menyetujui permohonan itu, selain
dijatuhi dengan pidana mati
3. Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan dapat
diajukan oleh orang lain tanpa persetujuan si terpidana mati itu
sendiri
4. Apabila dijatuhi pidana tutupan, penjara dan kurungan termasuk
pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda, tidak boleh
dijalankan apabila pemohon meminta agar pidana yang dijatuhkan
tidak dijalankan dengan mengajukan permohonan grasi
5. Permohonan grasi yang diajukan dalam tenggang waktu 14 hari
sejak diucapakan dalam sidang terbuka untuk umum atau 14 hari
sejak diberitahukannyapada terpidana dalam hal putusan oleh
pengadilan tingkat banding atau tingkat kasasi, menyebabkan
pelaksanaan pidana tertunda, apabila ketika mengajukan grasi
pidana belum dijalankan. Tetapi permohonan grasi itu telah
lampau 14 hari, maka permohonan grasi tidak menunda eksekusi

139
6. Putusan pengadilan dengan pidana mati tidak boleh dijalankan,
sebelum adanya putusan dari Presiden sampai pada kepala
Kejaksaan pada pengadilan yang memutus pada tingkat pertama
(Adami Chazawi (1), 2002 : 193-194)

Pengajuan permohonan grasi adalah merupakan sebagai suatu


upaya terakhir bagi terpidana, agar terhindar dari dijalankannya pidana yang
telah dijatuhkan dalam putusan pengadilan / hakim yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap. Grasi ini dianggap sebagai suatu pengampunan dari
Kepala Negara kepada terpidana dan bersifat koreksi terhadap putusan
pengadilan / hakim. Dalam hal permohonan grasi oleh terpidana kepada
Presiden / Kepala Negara, maka Presiden / Kepala Negara terlebih dahulu
harus mendengar pertimbangan-pertimbangan dari :
1. Hakim yang telah memutus perkara itu
2. Jaksa yang bertindak sebagai Penuntut Umum dalam tingkat
pertama
3. Jaksa Agung apabila : (1). Apabila putusan pengadilan
tentang pidana mati, (2). Jaksa Agung sebelumnya
mengemukakan keinginannya kepada Mahlamah Agung Indonesia
untuk dimintai pertimbangannya.
4. Mahkamah Agung
5. Mentri Kehakiman
6. Menteri-Menteri yang dianggap perlu.(Utrecht, 1965 : 240, I Made Widnyana,

1992 : 111, Adami Chazawi, (1), 2002 : 190 dan Laden Marpaung, 2009 : 104)

B. Abolisi dan Amnesti


Abolisi dan Amnesti yang nmenyebabkan gugurnya hak untuk
menuntut diatur diluar KUHP, jelasnya hal ini diatur dalam Undang-Undang
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945, yang diberikan oleh
seorang Kepala Negara ( Presiden ) dan merupakan hak preogratif. Didalam
Abolisi adalah merupakan wewenang Kepala Negara dengan U.U. untuk
menghentikan atau meniadakan segala tuntutan tentang satu atau beberapa
orang tertentu. Dengan kata lain bahwa keputusan Abolisi ini, menyebabkan
setiap orang yang tersangkut / terlibat dalam satu atau beberapa tindak

140
pidana / perbuatan pidana yang belum atau sedang dalam penuntutan
dihentikan atau ditiadakan. Demikian juga orang yang masih dalam
pemeriksaan pendahuluan, juga dihentikan bahkan terhadap orang yang
belum diketahui pun ikut dihentikan. Sedangkan Amnesti adalah merupakan
wewenang Kepala Negara dengan U.U. atau atas kuasa U.U. yang dengan
pemberian Amnesti ini, maka akibat hukum pidana terhadap orang-orang
yang telah melakukan suatu tindak pidana / perbuatan pidana dihapuskan /
dihentikan. Adapun perbedaan antara keduanya adalah :
“ Dalam Abolisi hanya menggugurkan penuntutan terhadap mereka
yang belum dipidana, sedangkan dalam Amnesti memiliki akibat hukum
yang lebih luas, sebab Amnesti dapat diberikan kepada mereka yang sudah
dipidana maupun yang belum dijatuhi pidana, artinya bahwa tidak hanya
tindakan penuntutan yang ditiadakan / dihapuskan, akan tepai semua akibat
hukum yang berupa apapun ditiadakan / dihapuskan juga “. Alasan
pemberian Abolisi dan Amnesti ini semata-mata merupakan kebijaksanaan
pemerintah penguasa, yang pada umumnya lebih memperhatikan
kepentingan negara yang menjadi dasar pemikiran atau ukuran (Utrecht, 1965 :

244, Adami Chazawi (1), 2002 : 183-185, I Made Widnyana, 1992 : 108 dan Laden Marpaung, 2009 : 102-103).

Daftar Bacaan
Chazawi, Adami (1), 2002 : Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.

Maramis, Frans., 2012 : Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia,


Raja Grafindo Persada, Jakarta.

------------, 2008 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan, Cet.


27, Bumi Aksara, Jakarta.

Marpaung. Leden, 2009 : Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar


Grafika, Jakarta.

Utrecht. E, 1965 : Hukum Pidana II, PT Penerbitan Universitas – Bandung

Widnyana. I Made, 1992 : Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika, FH Unud,


Denpasar.

141
6.3. Penutup
1. Rangkuman Materi

1. Pembahasan mengenai hak menuntut, istilah subjectief strafrecht (jus


puniendi) dimana recht tidak berarti “hukum” tetapi “hak”, yaitu hak
Negara, yang diwakili oleh alat-alatnya menghukum seorang
pelanggar hukum pidana.
2. Gugurnya hak menuntut Pidana dalam Hukum Pidana meliputi :
1) Perbuatan telah diputus memiliki kekuatan hukum tetap;
2) Sebab meninggalnya pelaku;
3) Sebab telah lampau waktu (daluwarsa);
4) Sebab penyelesaian di luar pengadilan;
5) Sebab Amnesti dan Abolisi.
3. Sebab hilangnya hak melaksanakan pidana ada tiga yakni:
1) Meninggalnya terpidana;
2) Sebab kadaluarsa;
3) Sebab pemberian grasi.
4. Grasi merupakan hak Kepala Negara untuk memberikan
pengampunan kepada orang yang dipidana yang namanya
disebutkan dalam keputusan yang bersangkutan.
5. Abolisi merupakan wewenang Kepala Negara dengan U.U. untuk
menghentikan atau meniadakan segala tuntutan tentang satu atau
beberapa orang tertentu.
6. Amnesti merupakan wewenang Kepala Negara dengan U.U. atau
atas kuasa U.U. yang dengan pemberian Amnesti ini, maka akibat
hukum pidana terhadap orang-orang yang telah melakukan suatu
tindak pidana / perbuatan pidana dihapuskan / dihentikan.
7. Rehabilitasi merupakan suatu tindakan Presiden dalam rangka
mengembalikan hak seseorang yang telah hilang karena suatu
keputusan hakim yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti
bahwa kesalahan yang telah dilakukan seorang tersangka tidak
seberapa dibandingkan dengan perkiraan semula atau bahkan ia
ternyata tidak bersalah sama sekali.

142
2. Latihan :

PERTEMUAN KE XIII : TUTORIAL VI


GUGURNYA HAK MENUNTUT PIDANA DAN MENJALANKAN PIDANA
SERTA GRASI, AMNESTI, ABOLISI DAN REHABILITASI

1) GUGURNYA HAK MENUNTUT PIDANA DAN MENJALANKAN


PIDANA

Gugurnya Hak Menuntut Pidana menurut Ketentuan KUHP


a. Kasus I
Drs Zulfikar Direktur PT Suka Bangun yang bergerak di bidang usaha
real estate di kota Denpasar. Perusahaannya adalah perusahaan yang sah
dan dalam membangun perumahan ia selalu mengurus perijinan di Dinas
Tata Kota Denpasar. Berdasarkan persyaratan perijinan, serta gambar
perencanaan (site plan) PT (Persero) Bank Tabungan Negara Cabang
Denpasar telah mengeluarkan persetujuan kredit dalam bentuk Kredit
Pemilikan Rumah (KPR). Dalam gambar perencanaan (site plan) sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dicantumkan
beberapa lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial. Pada saat penyerahan
perumahan kepada konsumen, Drs Zulfikar ternyata tidak menyerahkan
fasos dan fasum kepada konsumen, dalam artian tidak ada pelepasan hak
atas tanah-tanah yang di dalam gambar perencanaan dicantumkan sebagai
fasos dan fasum, bahkan sebagian dari tanah-tanah tersebut telah
disertifikatkan atas namanya sendiri, dan dijual kepada pihak ketiga.
Delapan tahun kemudian, para kreditur menyadari bahwa mereka telah
menjadi korban penipuan dan penggelapan. Untuk itu, para konsumen yang
merasa dirugikan melaporkan kasusnya ke Poltabes Denpasar.

b. Pertanyaan :
Cermati kasus di atas, apakah kasus tersebut termasuk kasus pidana
atau sengketa perdata !
143
c. Bahan Bacaan
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40
3. Satochid Kartanegara. Kuliah Hukum Pidana bagian Kesatu
4. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal 102 -109

Alasan Gugurnya Hak menuntut Pidana Diluar KUHP

a. Kasus II
Khairudin dan Hasannudin adalah orang-orang yang ditangkap
karena melakukan kegiatan kejahatan politik dalam era pemerintahan
Presiden Abu Nawas. Terhadap kedua orang tersebut, Khairudin masih
dalam proses penyidikan sedangkan Hasannudin telah diperiksa di
pengadilan dan dalam pemeriksaan sidang pengadilan, Hasanuddin terbukti
melakukan tindak pidana. Kemudian terjadi reformasi di negaranya.
Presiden Abu Nawas turun dan digantikan oleh Presiden Balang Tamak.
Presiden Balang Tamak, ternyata mengambil sikap berbeda dengan
Presiden Abu Nawas, dengan memberikan abolisi kepada Khairudin dan
Amnesti kepada Hasanuddin.
b. Pertanyaan :

Apakah dalam pemberian abolisi dan amnesti dalam kasus di atas,


tindakan Presiden Abu Nawas dapat dibenarkan ?

c. Bahan Bacaan

1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

144
2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40
3. Satochid Kartanegara. Kuliah Hukum Pidana bagian Kesatu
4. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal 102 -109

Hal-hal yang Menyebabkan Gugurnya Hak untuk Menjalankan Pidana

a. Kasus III
Ali seorang redaktur koran kenamaan di kota Medan, pada tahun
2000 melakukan tindak pidana pencemaran nama baik yang korbannya
adalah seorang artis ibu kota bernama Diana. Pada tahun 2002, Diana
melaporkan perbuatan Ali ke Polisi, namun dengan alasan tidak cukup bukti,
penyidikan terhadap kasus tersebut tidak dilanjutkan. Pada tahun 2005,
berkat penjelasan seorang ahli (saksi ahli), polisi memperoleh bukti-bukti
baru dan menurut penilaian polisi dan jaksa, benar perbuatan Ali merupakan
tindak pidana.

b. Pertanyaan :
Apakah tindakan yang dilakukan Ali termasuk kategori tindak pidana
dengan menggunakan alat percetakan ? Kalau ’ya’ tentukan kapan
gugurnya hak menuntut pidana !

c. Bahan Bacaan
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40
3. Satochid Kartanegara. Kuliah Hukum Pidana bagian Kesatu
4. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal 102 -109.
145
2) GRASI, AMNESTI, ABOLISI DAN REHABILITASI

Grasi dan Rehabilitasi

a. Kasus I
Amrozy, Mukhlas dan Imam Samudra adalah tiga terpidana mati
pelaku peledakan Bom Bali pada tahun 2002. Ketiganya saat ini sedang
menunggu eksekusi di Lembaga pemasyarakatan Batu Nusa Kambangan.
Dalam keterangannya, jelas-jelas mereka bertiga tidak akan mengajukan
permohonan pengampunan (Grasi) yang menurutnya pengampunan hanya
dapat diberikan oleh Allah SWT, bukan oleh manusia (Presiden). Di
samping itu, menurut penilaiannya, apabila permohonan pengampunan
tersebut diajukan, secara otomatis mereka mengakui perbuatannya sebagai
kesalahan. Berdasarkan pertimbangan tersebutlah mereka tidak
mengajukan permohonan Grasi. Mengingat permohonan Grasi tidak hanya
dapat diajukan oleh terpidana, maka keluarga terpidana mengajukan
permohonan Grasi ke Presiden tanpa sepengetahuan terpidana.

b. Pertanyaan :
Apakah tanpa persetujuan terpidana, pengacara ataupun keluarga
terpidana dapat mengajukan permohonan grasi ?

c. Bahan Bacaan

a. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945


b. Undang-undang tentang Grasi
c. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40
d. Satochid Kartanegara. Kuliah Hukum Pidana bagian Kesatu
e. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal 102 -109.

146
PERTEMUAN XIV
UJIAN AKHIR SEMESTER

147
LAMPIRAN

148
LAMPIRAN 1.

SILABUS

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum


2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Pidana Lanjutan
3. Kode MK : BII3217
4. Semester : III
5. SKS : 2 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : PHI, PIH, dan Hukum Pidana
7. Deskripsi Mata Kuliah :
Materi perkuliahan hukum pidana lanjutan lebih terfokus pada
pemahaman asas-asas hukum pidana sebagai kelanjutan dari mata
kuliah hukum pidana. Terdapat 8 (delapan) pokok bahasan yakni : 1)
Percobaan (poging); 2) Penyertaan (deelneming) ; 3) Pembantuan
(Medeplightigheid); 4) Perbarengan (samenloop) ; 5) Recidive ; 6)
Delik aduan (klachtdelict) ; 7) Gugurnya hak menuntut pidana dan
menjalankan pidana ; dan 8) Grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.

8. CapaianPembelajaran :

Mahasiswa menguasai pengetahuan mengenai konsep-konsep dan


peristilahan dalam 1) Percobaan (poging); 2) Penyertaan (deelneming)
; 3) Pembantuan (Medeplightigheid); 4) Perbarengan (samenloop) ; 5)
Recidive ; 6) Delik aduan (klachtdelict) ; 7) Gugurnya hak menuntut
pidana dan menjalankan pidana ; dan 8) Grasi, amnesti, abolisi dan
rehabilitasi. Dengan demikian, mahasiswa memperoleh pemahaman
yang utuh mengenai hukum pidana. Mahasiswa mampu menganalisa
dan memecahkan permasalahan atau kasus-kasus pidana yang terjadi
di dalam masyarakat.

9. Bahan Kajian

Bahan Kajian mata kuliah terdiri dari: 1) Percobaan (poging) yang


meliputi Pengertian, Unsur-Unsur Percobaan ( Poging ), Sanksi,
Percobaan yang tidak mampu ( Ondeugdelijke Poging ). 2) Penyertaan

1
(deelneming) meliputi : Pengertian Penyertaan ( Deelneming ), Orang
Yang Melakukan ( Pleger ), Turut Melakukan ( Medeplegen ), Orang
yang menyuruh melakukan ( doen pleger ), Menganjurkan ( Uitlokken
). 3) Pembantuan (Medeplightigheid) meliputi : pendahuluan, Dasar
Hukum, Bentuk/macam/jenis pembantuan (medeplightigheid), Syarat-
syarat Pembantuan (medeplightigheid), Sanksi Pidana, dan
Perbedaan antara beberapa bentuk Penyertaan.: 4) Perbarengan
(samenloop), meliputi : Pengertian Gabungan Tindak Pidana,
Concursus Idealis / Eendaadse Samenloop, Concursus Realis /
Meerdaadse Samenloop, dan Perbuatan Berlanjut ( Voorgeezette
Handeling ). 5) Recidive, meliputi : pengertian, Pemberatan Pidana
Dalam Residive, Residive Dalam KUHP, Sistem Residive, Sanksi
Pidana (Pemberatan Dalam recidive), Syarat Residive, 6) Delik aduan
(klachtdelict) meliputi : pengertian, Hak Mengajukan Pengaduan, Jenis
Delik Aduan, Menarik Pengaduan. 7) Gugurnya hak menuntut pidana
dan menjalankan pidana meliputi : pendahuluan, Alasan Gugurnya
Hak Menuntut,, Alasan Gugurnya Hak Menjalankan Pidana. 8) Grasi,
amnesti, abolisi dan rehabilitasi, meliputi : grasi, Abolisi dan Amnesti.

10. Referensi

I. BUKU

Bemmelen, Mr. J.M. van, 1987 : Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Materiil
Bagian Umum, Binacipta, Bandung.

Chazawi, Adami, 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2, Raja Grafindo


Persada, Jakarta.

_____________, 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 3, Raja Grafindo


Persada, Jakarta.

Kansil, C.S.T dan Kansil, Christine S.T, 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana,
Pradnya Paramita, Jakarta.

________________________________, 2007, Latihan Ujian : Hukum


Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.

Kartanegara, Satauchid, Kumpulan Kuliah Hukum Pidana, Bagian Dua,


Terbitan : Balai Lektur Mahasiswa.

2
Lamintang, P.A.F., 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung.

_______________, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar


Baru, Bandung.

Maramis, Frans., 2012, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia,


Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Moeljatno, 1983, Delik-Delik Percobaan dan Delik-Delik Penyertaan, Bina


Aksara, Jakarta.

________, 2008, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan, Cet.


27, Bumi Aksara, Jakarta.

Marpaung. Leden, 2009, Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar


Grafika, Jakarta

Ruba’i, Masruchin, 2014, Buku Ajar Hukum Pidana, Bayumedia Publishing,


Malang.

Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu.

Schaffmeister, D.NN.,N. Keijzer, E.PH. Sutorius, 2007, Hukum Pidana,


Editor : J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, Citra Aditya Bakti,
Bandung.

Sianturi, SR 198 Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya.


Jakarta : AHAEM PETEHAEM.

Soemadipradja. R. Achmad, 1982 : Asas-Asas Hukum Pidana, Alumni,


Bandung.

Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II. Surakarta :


Universitas Sebelas Maret.

Prastyo, Teguh, 2011, Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP (Kitab


Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi. Jakarta :
Sinar Harapan.

Tresna, R 1959. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd

Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik
Khusus.

Usfa, A. Fuad dan Tongat, 2004 : Pengantar Hukum Pidana, Penerbitan


Universitas Muhammad Malang, Malang.

3
Utrecht. E, 1965 : Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Penerbitan
Universitas, Bandung.

Utrecht. E, 1965 : Hukum Pidana II, PT Penerbitan Universitas – Bandung.

Widnyana. I Made, 1992, Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika, FH Unud,


Denpasar.

II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-undang RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi jo Undang-undang


No. 5 tahun 2010 tentang Grasi.

Pengampu Mata Kuliah

4
LAMPIRAN 2.

LAMPIRAN II: RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

RPP PERTEMUAN KE I DAN II

PERCOBAAN (POGING)

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum


2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Pidana Lanjutan
3. Kode MK : BII3217
4. Semester : III
5. SKS : 2 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : PHI, PIH, dan Hukum Pidana
7. Capaian Pembelajaran :

Mahasiswa menguasai pengetahuan mengenai konsep-konsep dan


peristilahan dalam Percobaan (poging) yang meliputi Unsur-Unsur
Percobaan ( Poging ), Percobaan yang tidak mampu ( Ondeugdelijke
Poging ).

8. Indikator Pencapaian
Mahasiswa mampu memahami menjelaskan, dan menguraikan dan
mendiskusikan Istilah, percobaan dan unsur-unsur percobaan dalam
hukum pidana. Serta pada tutorial mahasiswa mampu menganalisa
Pengertian, Syarat, Unsur-unsur Percobaan (poging) dan Pemidanaan
terhadap Pelaku Percobaan (poging) serta Pertanggungjawaban Pidana
dalam perbuatan Pidana Percobaan.

9. Materi Pokok

a. Pengertian
b. Unsur-Unsur Percobaan ( Poging )
c. Sanksi
d. Percobaan yang tidak mampu ( Ondeugdelijke Poging ).

5
10. Metode Pembelajaran
a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).
b. Metode: Problem Based Learning (PBL).
c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya jawab.

11. Media, Alat dan Sumber Belajar

a. Power point presentation.


b. LCD, white board, spidol, Audio Visual.
c. Laptop/PC Handout
d. Bahan bacaan/pustaka

12. Tahapan Kegiatan Pembelajaran

Kegiatan Deskripsi Kegiatan Pembelajaran Alokasi


Waktu
Pendahuluan Dosen mengkondisinkan mahasiswa 20 menit
untuk siap menerima perkuliahan,
menemukan perilaku awal mahasiswa,
menjelaskan RPS, RPP, Silabus, dan
Kontrak Perkuliahan. Memberikan ulasan
umum isi Block Book dan materi
Percobaan (poging). Memfasilitasi
pembentukan kelompok diskusi (FGD)
untuk tutorial.

Kegiatan Inti Dosen melalui media pembelajaran LCD 60 menit


mendeskripsikan mengenai pengertian,
Unsur-Unsur Percobaan ( Poging ),
sanksi, dan Percobaan yang tidak mampu
( Ondeugdelijke Poging ). Mahasiswa
dengan rasa ingin tahu, tangung jawab
dan jujur menganalisis, mendeskripsikan
dalam bentuk catatan serta
menambahkan informasi pelengkap dari
sumber.

Mahasiswa secara mandiri dengan cerdas


dan tanggun jawab menyajikan secara
lisan mengenai hasil analisis terkait
dengan Unsur-Unsur Percobaan ( Poging
) dan Percobaan yang tidak mampu (

6
Ondeugdelijke Poging ).

Penutup Dosen bersama mahasiswa secara 10 menit


bertanggung jawab dan logis
menyimpulkan proses dan hasil
pembelajaran.

Dosen memberikan penguatan, evaluasi,


dan tugas untuk mempelajari lebih
mendalam Percobaan ( Poging ) untuk
memahami materi dalam tutorial pada
pertemuan berikutnya.

Tutorial Pelaksanaan tutorial 90 menit

13. Tugas
Analisis kasus dalam tutorial

14. Pedoman Penskoran


a. Skor 0: Jika mahasiswa tidak menjawab.
b. Skor 0,5: Jika jawaban mahasiswa sebagian yang sesuai dengan
indikator jawaban dosen.
c. Skor 1: Jika jawaban mahasiswa semuanya sesuai dengan
indikator yang dibuat oleh dosen.

15. Evaluasi Soft Skills

No Aspek yang Dinilai 3 2 1 Keterangan


1 Kejujuran
2 Tanggung jawab
3 Disiplin
4 Kreativitas
5 Berkomunikasi

16. Sumber Belajar


Bemmelen, Mr. J.M. van, 1987 : Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Materiil
Bagian Umum, Binacipta, Bandung.

7
Chazawi, Adami (1), 2002 : Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.

Maramis, Frans., 2012 : Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia,


Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Moeljatno, 1983 : Delik-Delik Percobaan dan Delik-Delik Penyertaan,


Bina Aksara, Jakarta.

------------, 2008 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan, Cet.


27, Bumi Aksara, Jakarta.

Marpaung. Leden, 2009 : Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar


Grafika, Jakarta.

Schaffmeister, D.NN.,N. Keijzer, E.PH. Sutorius, 2007 : Hukum Pidana,


Editor : J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, Citra
Aditya Bakti, Bandung.

Soema Di Pradja. R. Achmad, 1982 : Asas-Asas Hukum Pidana, Alumni,


Bandung.

Usfa, A. Fuad dan Tongat, 2004 : Pengantar Hukum Pidana, Penerbitan


Universitas Muhammad Malang, Malang.

Widnyana. I Made, 1992 : Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika, FH Unud,


Denpasar.

Pengampu Mata Kuliah

8
RPP PERTEMUAN KE III dan IV

PENYERTAAN (DEELNEMING)

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum


2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Pidana Lanjutan
3. Kode MK : BII3217
4. Semester : III
5. SKS : 2 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : PHI, PIH, dan Hukum Pidana
7. Capaian Pembelajaran :

Mahasiswa menguasai pengetahuan mengenai Pengertian Penyertaan


( Deelneming ), Orang Yang Melakukan ( Pleger ), Turut Melakukan (
Medeplegen ), Orang yang menyuruh melakukan ( doen pleger ),
Menganjurkan ( Uitlokken ).

8. Indikator Pencapaian
Mahasiswa mampu memahami menjelaskan, dan menguraikan dan
mendiskusikan Istilah, pengertian penyertaan dan jenis-jenisnya dalam
hukum pidana. Serta pada tutorial mahasiswa mampu menganalisa
pelaku dalam Hukum Pidana dan Pemidanaan Pelaku Penyertaan
dalam Hukum Pidana.

9. Materi Pokok

Pengertian Penyertaan ( Deelneming ), Orang Yang Melakukan ( Pleger


), Turut Melakukan ( Medeplegen ), Orang yang menyuruh melakukan (
doen pleger ), Menganjurkan ( Uitlokken ).

10. Metode Pembelajaran


a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).
b. Metode: Problem Based Learning (PBL).
c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya jawab.

11. Media, Alat dan Sumber Belajar

9
e. Power point presentation.
f. LCD, white board, spidol, Audio Visual.
g. Laptop/PC Handout
h. Bahan bacaan/pustaka

12. Tahapan Kegiatan Pembelajaran

Kegiatan Deskripsi Kegiatan Pembelajaran Alokasi


Waktu
Pendahuluan Dosen mengkondisinkan mahasiswa 20 menit
untuk siap menerima perkuliahan,
menemukan perilaku awal mahasiswa,
menjelaskan RPS, RPP, Silabus, dan
Kontrak Perkuliahan. Memberikan ulasan
umum isi Block Book dan materi
Penyertaan ( Deelneming ). Memfasilitasi
pembentukan kelompok diskusi (FGD)
untuk tutorial.

Kegiatan Inti Dosen melalui media pembelajaran LCD 60 menit


mendeskripsikan mengenai Pengertian
Penyertaan ( Deelneming ), Orang Yang
Melakukan ( Pleger ), Turut Melakukan (
Medeplegen ), Orang yang menyuruh
melakukan ( doen pleger ), Menganjurkan
( Uitlokken ).

Mahasiswa dengan rasa ingin tahu,


tangung jawab dan jujur menganalisis,
mendeskripsikan dalam bentuk catatan
serta menambahkan informasi pelengkap
dari sumber.

Mahasiswa secara mandiri dengan cerdas


dan tanggun jawab menyajikan secara
lisan mengenai hasil analisis terkait
dengan Pengertian Penyertaan (
Deelneming ), Orang Yang Melakukan (
Pleger ), Turut Melakukan ( Medeplegen ),
Orang yang menyuruh melakukan ( doen
pleger ), Menganjurkan ( Uitlokken ).

Penutup Dosen bersama mahasiswa secara 10 menit


bertanggung jawab dan logis

10
menyimpulkan proses dan hasil
pembelajaran.

Dosen memberikan penguatan, evaluasi,


dan tugas untuk mempelajari lebih
mendalam Penyertaan ( Deelneming )
untuk memahami materi dalam tutorial
pada pertemuan berikutnya.

Tutorial Pelaksanaan tutorial 90 menit

13. Tugas
Analisis kasus

14. Pedoman Penskoran


a. Skor 0: Jika mahasiswa tidak menjawab.
b. Skor 0,5: Jika jawaban mahasiswa sebagian yang sesuai dengan
indikator jawaban dosen.
c. Skor 1: Jika jawaban mahasiswa semuanya sesuai dengan
indikator yang dibuat oleh dosen.

15. Evaluasi Soft Skills

No Aspek yang Dinilai 3 2 1 Keterangan


1 Kejujuran
2 Tanggung jawab
3 Disiplin
4 Kreativitas
5 Berkomunikasi

16. Sumber Belajar


Chazawi, Adami (1), 2002 : Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.

Lamintang, P.A.F., 1984 : Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar


Baru, Bandung.

11
------------, 2008 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan, Cet.
27, Bumi Aksara, Jakarta.

Marpaung. Leden, 2009 : Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar


Grafika, Jakarta.

Utrecht. E, 1965 : Hukum Pidana II, PT Penerbitan Universitas – Bandung.

Usfa, A. Fuad dan Tongat, 2004 : Pengantar Hukum Pidana, Penerbitan


Universitas Muhammad Malang, Malang.

Widnyana. I Made, 1992 : Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika, FH Unud,


Denpasar.

Pengampu Mata Kuliah

12
RPP PERTEMUAN KE V dan VI

PEMBANTUAN (MEDEPLIGHTIGHEID)

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum


2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Pidana Lanjutan
3. Kode MK : BII3217
4. Semester : III
5. SKS : 2 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : PHI, PIH, dan Hukum Pidana
7. Capaian Pembelajaran :

Mahasiswa menguasai pengetahuan mengenai Dasar Hukum,


Bentuk/macam/jenis pembantuan (medeplightigheid), Syarat-syarat
Pembantuan (medeplightigheid), Sanksi Pidana, dan Perbedaan
antara beberapa bentuk Penyertaan.

8. Indikator Pencapaian
Mahasiswa mampu memahami menjelaskan, menguraikan dan
mendiskusikan Istilah, pengertian pembantuan tindak pidana , jenis-
jenis dan syarat-syarat pembantuan tindak pidana. Serta pada tutorial
Mahasiswa mampu menganalisa Pemidanaan pembantuan tindak
pidana

9. Materi Pokok

Dasar Hukum, Bentuk/macam/jenis pembantuan (medeplightigheid),


Syarat-syarat Pembantuan (medeplightigheid), Sanksi Pidana, dan
Perbedaan antara beberapa bentuk Penyertaan.

10. Metode Pembelajaran


a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).
b. Metode: Problem Based Learning (PBL).
c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya jawab.

11. Media, Alat dan Sumber Belajar

13
a. Power point presentation.
b. LCD, white board, spidol, Audio Visual.
c. Laptop/PC Handout
d. Bahan bacaan/pustaka

12. Tahapan Kegiatan Pembelajaran

Kegiatan Deskripsi Kegiatan Pembelajaran Alokasi


Waktu
Pendahuluan Dosen mengkondisinkan mahasiswa 20 menit
untuk siap menerima perkuliahan,
menemukan perilaku awal mahasiswa,
menjelaskan RPS, RPP, Silabus, dan
Kontrak Perkuliahan. Memberikan ulasan
umum isi Block Book dan materi
pembantuan (medeplightigheid).
Memfasilitasi pembentukan kelompok
diskusi (FGD) untuk tutorial.

Kegiatan Inti Dosen melalui media pembelajaran LCD 60 menit


mendeskripsikan mengenai Dasar
Hukum, Bentuk/macam/jenis
pembantuan (medeplightigheid),
Syarat-syarat Pembantuan
(medeplightigheid), Sanksi Pidana, dan
Perbedaan antara beberapa bentuk
Penyertaan.

Mahasiswa dengan rasa ingin tahu,


tangung jawab dan jujur menganalisis,
mendeskripsikan dalam bentuk catatan
serta menambahkan informasi pelengkap
dari sumber.

Mahasiswa secara mandiri dengan cerdas


dan tanggun jawab menyajikan secara
lisan mengenai hasil analisis terkait
dengan Dasar Hukum,
Bentuk/macam/jenis pembantuan
(medeplightigheid), Syarat-syarat
Pembantuan (medeplightigheid),
Sanksi Pidana, dan Perbedaan antara
beberapa bentuk Penyertaan.
Penutup Dosen bersama mahasiswa secara 10 menit

14
bertanggung jawab dan logis
menyimpulkan proses dan hasil
pembelajaran.

Dosen memberikan penguatan, evaluasi,


dan tugas untuk mempelajari lebih
mendalam pembantuan
(medeplightigheid) untuk memahami
materi dalam tutorial pada pertemuan
berikutnya.

Tutorial Pelaksanaan tutorial 90 menit

13. Tugas
Analisis kasus

14. Pedoman Penskoran


d. Skor 0: Jika mahasiswa tidak menjawab.
e. Skor 0,5: Jika jawaban mahasiswa sebagian yang sesuai dengan
indikator jawaban dosen.
f. Skor 1: Jika jawaban mahasiswa semuanya sesuai dengan
indikator yang dibuat oleh dosen.

15. Evaluasi Soft Skills

No Aspek yang Dinilai 3 2 1 Keterangan


1 Kejujuran
2 Tanggung jawab
3 Disiplin
4 Kreativitas
5 Berkomunikasi

16. Sumber Belajar


Lamintang, P.A.F., 2013 : Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar
Baru, Bandung.

15
Moeljatno, 1983 : Delik-Delik Percobaan dan Delik-Delik Penyertaan,
Bina Aksara, Jakarta.

------------, 2008 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan,


Cet. 27, Bumi Aksara, Jakarta.

Ruba’i, Masruchin, 2014 : Buku Ajar Hukum Pidana, Bayumedia


Publishing, Malang.

Pengampu Mata Kuliah

16
RPP PERTEMUAN KE VII dan VIII

PERBARENGAN (SAMENLOOP)

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum


2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Pidana Lanjutan
3. Kode MK : BII3217
4. Semester : III
5. SKS : 2 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : PHI, PIH, dan Hukum Pidana
7. Capaian Pembelajaran :

Mahasiswa menguasai pengetahuan mengenai Pengertian Gabungan


Tindak Pidana, Concursus Idealis / Eendaadse Samenloop, Concursus
Realis / Meerdaadse Samenloop, dan Perbuatan Berlanjut (
Voorgeezette Handeling ).

8. Indikator Pencapaian
Mahasiswa mampu memahami menjelaskan, menguraikan, dan
mendiskusikan Istilah, pengertian perbarengan tindak pidana , dan
bentuk-bentuk perbarengan tindak pidana, dan penjatuhan pidananya.
Serta pada tutorial Mahasiswa mampu menganalisa, Pemidanaan
perbarengan tindak pidana.

9. Materi Pokok

Pengertian Gabungan Tindak Pidana, Concursus Idealis / Eendaadse


Samenloop, Concursus Realis / Meerdaadse Samenloop, dan
Perbuatan Berlanjut ( Voorgeezette Handeling ).

10. Metode Pembelajaran


a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).
b. Metode: Problem Based Learning (PBL).
c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya jawab.

17
11. Media, Alat dan Sumber Belajar

a. Power point presentation.


b. LCD, white board, spidol, Audio Visual.
c. Laptop/PC Handout
d. Bahan bacaan/pustaka

12. Tahapan Kegiatan Pembelajaran

Kegiatan Deskripsi Kegiatan Pembelajaran Alokasi


Waktu
Pendahuluan Dosen mengkondisinkan mahasiswa 20 menit
untuk siap menerima perkuliahan,
menemukan perilaku awal mahasiswa,
menjelaskan RPS, RPP, Silabus, dan
Kontrak Perkuliahan. Memberikan ulasan
umum isi Block Book dan materi
Gabungan Tindak Pidana. Memfasilitasi
pembentukan kelompok diskusi (FGD)
untuk tutorial.

Kegiatan Inti Dosen melalui media pembelajaran LCD 60 menit


mendeskripsikan mengenai Pengertian
Gabungan Tindak Pidana, Concursus
Idealis / Eendaadse Samenloop,
Concursus Realis / Meerdaadse
Samenloop, dan Perbuatan Berlanjut (
Voorgeezette Handeling ).

Mahasiswa dengan rasa ingin tahu,


tangung jawab dan jujur menganalisis,
mendeskripsikan dalam bentuk catatan
serta menambahkan informasi pelengkap
dari sumber.

Mahasiswa secara mandiri dengan cerdas


dan tanggun jawab menyajikan secara
lisan mengenai hasil analisis terkait
dengan Pengertian Gabungan Tindak
Pidana, Concursus Idealis / Eendaadse
Samenloop, Concursus Realis /
Meerdaadse Samenloop, dan
Perbuatan Berlanjut ( Voorgeezette
Handeling ).

18
Penutup Dosen bersama mahasiswa secara 10 menit
bertanggung jawab dan logis
menyimpulkan proses dan hasil
pembelajaran.

Dosen memberikan penguatan, evaluasi,


dan tugas untuk mempelajari lebih
mendalam Gabungan Tindak Pidana
untuk memahami materi dalam tutorial
pada pertemuan berikutnya.

Tutorial Pelaksanaan tutorial 90 menit

13. Tugas
Analisis kasus

14. Pedoman Penskoran


a. Skor 0: Jika mahasiswa tidak menjawab.
b. Skor 0,5: Jika jawaban mahasiswa sebagian yang sesuai dengan
indikator jawaban dosen.
c. Skor 1: Jika jawaban mahasiswa semuanya sesuai dengan
indikator yang dibuat oleh dosen.

15. Evaluasi Soft Skills

No Aspek yang Dinilai 3 2 1 Keterangan


1 Kejujuran
2 Tanggung jawab
3 Disiplin
4 Kreativitas
5 Berkomunikasi

16. Sumber Belajar


Bemmelen, Mr. J.M. van, 1987 : Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Materiil
Bagian Umum, Binacipta, Bandung.

19
-------------------- (2), 2002 : Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 3, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.

Maramis, Frans., 2012 : Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia,


Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Moeljatno, 2008 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan,


Cet. 27, Bumi Aksara, Jakarta.

Marpaung. Leden, 2009 : Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar


Grafika, Jakarta.

Utrecht. E, 1965 : Hukum Pidana II, PT Penerbitan Universitas – Bandung.

Widnyana. I Made, 1992 : Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika, FH Unud,


Denpasar

Pengampu Mata Kulia

RPP PERTEMUAN VII

UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)

20
RPP PERTEMUAN KE VIII dan IX

PERBARENGAN (SAMENLOOP)

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum


2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Pidana Lanjutan
3. Kode MK : BII3217
4. Semester : III
5. SKS : 2 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : PHI, PIH, dan Hukum Pidana
7. Capaian Pembelajaran :

Mahasiswa menguasai pengetahuan mengenai Pengertian Gabungan


Tindak Pidana, Concursus Idealis / Eendaadse Samenloop, Concursus
Realis / Meerdaadse Samenloop, dan Perbuatan Berlanjut (
Voorgeezette Handeling ).

8. Indikator Pencapaian
Mahasiswa mampu memahami menjelaskan, menguraikan, dan
mendiskusikan Istilah, pengertian perbarengan tindak pidana , dan
bentuk-bentuk perbarengan tindak pidana, dan penjatuhan pidananya.
Serta pada tutorial Mahasiswa mampu menganalisa, Pemidanaan
perbarengan tindak pidana.

9. Materi Pokok

Pengertian Gabungan Tindak Pidana, Concursus Idealis / Eendaadse


Samenloop, Concursus Realis / Meerdaadse Samenloop, dan
Perbuatan Berlanjut ( Voorgeezette Handeling ).

10. Metode Pembelajaran


a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).
b. Metode: Problem Based Learning (PBL).
c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya jawab.

21
11. Media, Alat dan Sumber Belajar

a. Power point presentation.


b. LCD, white board, spidol, Audio Visual.
c. Laptop/PC Handout
d. Bahan bacaan/pustaka

12. Tahapan Kegiatan Pembelajaran

Kegiatan Deskripsi Kegiatan Pembelajaran Alokasi


Waktu
Pendahuluan Dosen mengkondisinkan mahasiswa 20 menit
untuk siap menerima perkuliahan,
menemukan perilaku awal mahasiswa,
menjelaskan RPS, RPP, Silabus, dan
Kontrak Perkuliahan. Memberikan ulasan
umum isi Block Book dan materi
Gabungan Tindak Pidana. Memfasilitasi
pembentukan kelompok diskusi (FGD)
untuk tutorial.

Kegiatan Inti Dosen melalui media pembelajaran LCD 60 menit


mendeskripsikan mengenai Pengertian
Gabungan Tindak Pidana, Concursus
Idealis / Eendaadse Samenloop,
Concursus Realis / Meerdaadse
Samenloop, dan Perbuatan Berlanjut (
Voorgeezette Handeling ).

Mahasiswa dengan rasa ingin tahu,


tangung jawab dan jujur menganalisis,
mendeskripsikan dalam bentuk catatan
serta menambahkan informasi pelengkap
dari sumber.

Mahasiswa secara mandiri dengan cerdas


dan tanggun jawab menyajikan secara
lisan mengenai hasil analisis terkait
dengan Pengertian Gabungan Tindak
Pidana, Concursus Idealis / Eendaadse
Samenloop, Concursus Realis /
Meerdaadse Samenloop, dan
Perbuatan Berlanjut ( Voorgeezette
Handeling ).

22
Penutup Dosen bersama mahasiswa secara 10 menit
bertanggung jawab dan logis
menyimpulkan proses dan hasil
pembelajaran.

Dosen memberikan penguatan, evaluasi,


dan tugas untuk mempelajari lebih
mendalam Gabungan Tindak Pidana
untuk memahami materi dalam tutorial
pada pertemuan berikutnya.

Tutorial Pelaksanaan tutorial 90 menit

13. Tugas
Analisis kasus

14. Pedoman Penskoran


a. Skor 0: Jika mahasiswa tidak menjawab.
b. Skor 0,5: Jika jawaban mahasiswa sebagian yang sesuai dengan
indikator jawaban dosen.
c. Skor 1: Jika jawaban mahasiswa semuanya sesuai dengan
indikator yang dibuat oleh dosen.

15. Evaluasi Soft Skills

No Aspek yang Dinilai 3 2 1 Keterangan


1 Kejujuran
2 Tanggung jawab
3 Disiplin
4 Kreativitas
5 Berkomunikasi

16. Sumber Belajar


Bemmelen, Mr. J.M. van, 1987 : Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Materiil
Bagian Umum, Binacipta, Bandung.

23
-------------------- (2), 2002 : Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 3, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.

Maramis, Frans., 2012 : Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia,


Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Moeljatno, 2008 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan,


Cet. 27, Bumi Aksara, Jakarta.

Marpaung. Leden, 2009 : Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar


Grafika, Jakarta.

Utrecht. E, 1965 : Hukum Pidana II, PT Penerbitan Universitas – Bandung.

Widnyana. I Made, 1992 : Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika, FH Unud,


Denpasar

Pengampu Mata Kuliah

24
RPP PERTEMUAN KE X DAN XI

PENGULANGAN (RECIDIVE) DAN DELIK ADUAN (KLACHTDELICT)

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum


2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Pidana Lanjutan
3. Kode MK : BII3217
4. Semester : III
5. SKS : 2 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : PHI, PIH, dan Hukum Pidana
7. Capaian Pembelajaran :

Mahasiswa menguasai pengetahuan mengenai Recidive, meliputi :


pengertian, Pemberatan Pidana Dalam Residive, Residive Dalam
KUHP, Sistem Residive, Sanksi Pidana (Pemberatan Dalam recidive),
Syarat Residive, dan mengenai Delik aduan (klachtdelict) meliputi :
pengertian, Hak Mengajukan Pengaduan, Jenis Delik Aduan, Menarik
Pengaduan.

8. Indikator Pencapaian
Mahasiswa dapat memahami menjelaskan, dan menguraikan dan
mendiskusikan Istilah, pengertian pengulangan tindak pidana dan delik
aduan. Serta pada tutorial Mahasiswa mampu menganalisa kasus
pengulangan dalam tindak pidana dan delik aduan.

9. Materi Pokok

Recidive, meliputi : pengertian, Pemberatan Pidana Dalam Residive,


Residive Dalam KUHP, Sistem Residive, Sanksi Pidana (Pemberatan
Dalam recidive), Syarat Residive, dan mengenai Delik aduan
(klachtdelict) meliputi : pengertian, Hak Mengajukan Pengaduan, Jenis
Delik Aduan, Menarik Pengaduan.

10. Metode Pembelajaran

25
a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).
b. Metode: Problem Based Learning (PBL).
c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya jawab.

11. Media, Alat dan Sumber Belajar

a. Power point presentation.


b. LCD, white board, spidol, Audio Visual.
c. Laptop/PC Handout
d. Bahan bacaan/pustaka

12. Tahapan Kegiatan Pembelajaran

Kegiatan Deskripsi Kegiatan Pembelajaran Alokasi


Waktu
Pendahuluan Dosen mengkondisinkan mahasiswa 20 menit
untuk siap menerima perkuliahan,
menemukan perilaku awal mahasiswa,
menjelaskan RPS, RPP, Silabus, dan
Kontrak Perkuliahan. Memberikan ulasan
umum isi Block Book dan materi
Pengulangan (Recidive) Dan Delik
Aduan (Klachtdelict). Memfasilitasi
pembentukan kelompok diskusi (FGD)
untuk tutorial.

Kegiatan Inti Dosen melalui media pembelajaran LCD 60 menit


mendeskripsikan mengenai Recidive,
meliputi : pengertian, Pemberatan
Pidana Dalam Residive, Residive
Dalam KUHP, Sistem Residive, Sanksi
Pidana (Pemberatan Dalam recidive),
Syarat Residive, dan mengenai Delik
aduan (klachtdelict) meliputi :
pengertian, Hak Mengajukan
Pengaduan, Jenis Delik Aduan,
Menarik Pengaduan.

Mahasiswa dengan rasa ingin tahu,


tangung jawab dan jujur menganalisis,
mendeskripsikan dalam bentuk catatan
serta menambahkan informasi pelengkap

26
dari sumber.

Mahasiswa secara mandiri dengan cerdas


dan tanggun jawab menyajikan secara
lisan mengenai hasil analisis terkait
dengan Recidive, meliputi : pengertian,
Pemberatan Pidana Dalam Residive,
Residive Dalam KUHP, Sistem
Residive, Sanksi Pidana (Pemberatan
Dalam recidive), Syarat Residive, dan
mengenai Delik aduan (klachtdelict)
meliputi : pengertian, Hak Mengajukan
Pengaduan, Jenis Delik Aduan,
Menarik Pengaduan.

Penutup Dosen bersama mahasiswa secara 10 menit


bertanggung jawab dan logis
menyimpulkan proses dan hasil
pembelajaran.

Dosen memberikan penguatan, evaluasi,


dan tugas untuk mempelajari lebih
mendalam Pengulangan (Recidive) Dan
Delik Aduan (Klachtdelict) untuk
memahami materi dalam tutorial pada
pertemuan berikutnya.

Tutorial Pelaksanaan tutorial 90 menit

13. Tugas
Analisis kasus

14. Pedoman Penskoran


d. Skor 0: Jika mahasiswa tidak menjawab.
e. Skor 0,5: Jika jawaban mahasiswa sebagian yang sesuai dengan
indikator jawaban dosen.
f. Skor 1: Jika jawaban mahasiswa semuanya sesuai dengan
indikator yang dibuat oleh dosen.

15. Evaluasi Soft Skills

27
No Aspek yang Dinilai 3 2 1 Keterangan
1 Kejujuran
2 Tanggung jawab
3 Disiplin
4 Kreativitas
5 Berkomunikasi

16. Sumber Belajar

Bemmelen, Mr. J.M. van, 1987 : Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Materiil
Bagian Umum, Binacipta, Bandung.

Chazawi, Adami (2), 2002 : Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 3, Raja


Grafindo Persada, Jakarta.

________________, 2005, Pelajaran Hukum Pidana (Penafsiran Hukum


Pidana, Dasar-dasar Pemidanaan, Pemberantasan dan
Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran
Kausalitas), Bagian 2, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Lamintang, P.A.F., 2011, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra


aditya Bakti, Bandung.

Maramis, Frans., 2012 : Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia,


Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Moeljatno, 2014 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan,


Bumi Aksara, Jakarta.

Marpaung. Leden, 2009 : Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar


Grafika, Jakarta.

Prastyo, Teguh, 2011, Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Ruba’i, Masruchin, 2014 : Buku Ajar Hukum Pidana, Bayumedia


Publishing, Malang.

Utrecht. E, 1965 : Hukum Pidana II, PT Penerbitan Universitas – Bandung.

28
Widnyana. I Made, 1992 : Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika, FH Unud,
Denpasar.

http://repository.usu.ac.id

Pengampu Mata Kuliah

29
RPP PERTEMUAN KE XII DAN XIII

GUGURNYA HAK MENUNTUT PIDANA DAN MENJALANKAN PIDANA

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum


2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Pidana Lanjutan
3. Kode MK : BII3217
4. Semester : III
5. SKS : 2 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : PHI, PIH, dan Hukum Pidana
7. Capaian Pembelajaran :

Mahasiswa menguasai pengetahuan mengenai Gugurnya hak


menuntut pidana dan menjalankan pidana meliputi : 1) Alasan
Gugurnya Hak Menuntut, Alasan Gugurnya Hak Menjalankan Pidana.
2) Grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, meliputi : grasi, Abolisi dan
Amnesti.

8. Indikator Pencapaian
Mahasiswa mampu memahami menjelaskan, dan menguraikan dan
mendiskusikan Istilah, pengertian Gugurnya Hak Menuntut Pidana
dan Menjalankan Pidana Serta Grasi, Amnesti, Abolisi dan
Rehabilitasi. Serta pada tutorial Mahasiswa mampu menganalisa
kasus Gugurnya Hak Menuntut Pidana dan Menjalankan

9. Materi Pokok

1) Alasan Gugurnya Hak Menuntut, Alasan Gugurnya Hak Menjalankan


Pidana. 2) Grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, meliputi : grasi,
Abolisi dan Amnesti.

10. Metode Pembelajaran


a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).
b. Metode: Problem Based Learning (PBL).

30
c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya jawab.

11. Media, Alat dan Sumber Belajar

a. Power point presentation.


b. LCD, white board, spidol, Audio Visual.
c. Laptop/PC Handout
d. Bahan bacaan/pustaka

12. Tahapan Kegiatan Pembelajaran

Kegiatan Deskripsi Kegiatan Pembelajaran Alokasi


Waktu
Pendahuluan Dosen mengkondisinkan mahasiswa 20 menit
untuk siap menerima perkuliahan,
menemukan perilaku awal mahasiswa,
menjelaskan RPS, RPP, Silabus, dan
Kontrak Perkuliahan. Memberikan ulasan
umum isi Block Book dan materi
Gugurnya hak menuntut pidana dan
menjalankan pidana. Memfasilitasi
pembentukan kelompok diskusi (FGD)
untuk tutorial.

Kegiatan Inti Dosen melalui media pembelajaran LCD 60 menit


mendeskripsikan mengenai 1) Alasan
Gugurnya Hak Menuntut, Alasan
Gugurnya Hak Menjalankan Pidana. 2)
Grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi,
meliputi : grasi, Abolisi dan Amnesti.

Mahasiswa dengan rasa ingin tahu,


tangung jawab dan jujur menganalisis,
mendeskripsikan dalam bentuk catatan
serta menambahkan informasi pelengkap
dari sumber.

Mahasiswa secara mandiri dengan cerdas


dan tanggun jawab menyajikan secara
lisan mengenai hasil analisis terkait
dengan 1) Alasan Gugurnya Hak
Menuntut, Alasan Gugurnya Hak
Menjalankan Pidana. 2) Grasi, amnesti,
abolisi dan rehabilitasi, meliputi : grasi,

31
Abolisi dan Amnesti.

Penutup Dosen bersama mahasiswa secara 10 menit


bertanggung jawab dan logis
menyimpulkan proses dan hasil
pembelajaran.

Dosen memberikan penguatan, evaluasi,


dan tugas untuk mempelajari lebih
mendalam Gugurnya hak menuntut
pidana dan menjalankan pidana untuk
memahami materi dalam tutorial pada
pertemuan berikutnya.

Tutorial Pelaksanaan tutorial 90 menit

13. Tugas
Analisis kasus

14. Pedoman Penskoran


a. Skor 0: Jika mahasiswa tidak menjawab.
b. Skor 0,5: Jika jawaban mahasiswa sebagian yang sesuai dengan
indikator jawaban dosen.
c. Skor 1: Jika jawaban mahasiswa semuanya sesuai dengan
indikator yang dibuat oleh dosen.

15. Evaluasi Soft Skills

No Aspek yang Dinilai 3 2 1 Keterangan


1 Kejujuran
2 Tanggung jawab
3 Disiplin
4 Kreativitas
5 Berkomunikasi

32
16. Sumber Belajar
Chazawi, Adami (1), 2002 : Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.

Maramis, Frans., 2012 : Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia,


Raja Grafindo Persada, Jakarta.

------------, 2008 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan, Cet.


27, Bumi Aksara, Jakarta.

Marpaung. Leden, 2009 : Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar


Grafika, Jakarta.

Moeljatno, 2008 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan,


Cet. 27, Bumi Aksara, Jakarta.

Utrecht. E, 1965 : Hukum Pidana II, PT Penerbitan Universitas – Bandung.

Widnyana. I Made, 1992 : Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika, FH Unud,


Denpasar

Pengampu Mata Kuliah

RPP PERTEMUAN XIV

UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)

33
LAMPIRAN III: KONTRAK KULIAH

KONTRAK KULIAH

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum


2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Pidana Lanjutan
3. Kode MK : BII3217
4. Semester : III
5. SKS : 2 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : PHI, PIH, dan Hukum Pidana
7. Manfaat Mata Kuliah:
Melalui mata kuliah ini mahasiswa dapat memperoleh manfaat teoritis
dan praktis. Manfaat teoritis, mahasiswa dapat mengetahui dan
mendalami materi-materi dalam hukum pidana lanjutan, khususnya
mengenai : 1) Percobaan (poging); 2) Penyertaan (deelneming) ; 3)
Pembantuan (Medeplightigheid); 4) Perbarengan (samenloop) ; 5)
Recidive ; 6) Delik aduan (klachtdelict) ; 7) Gugurnya hak menuntut
pidana dan menjalankan pidana ; dan 8) Grasi, amnesti, abolisi dan
rehabilitasi. Hukum Pidana Lanjutan merupakan mata kuliah yang
penting sebagai keberlanjutan dari mata kuliah hukum pidana, sehingga
secara teoritis melalui mata kuliah ini, mahasiswa memperoleh
pemahaman yang utuh mengenai hukum pidana. Secara praktis,
dengan pemahaman mengenai Hukum Pidana Lanjutan, mahasiswa
akan mampu menganalisa dan memecahkan permasalahan atau kasus-
kasus pidana yang terjadi di dalam masyarakat.

8. Deskripsi Mata Kuliah:


Materi perkuliahan hukum pidana lanjutan lebih terfokus pada
pemahaman asas-asas hukum pidana sebagai kelanjutan dari mata
kuliah hukum pidana. Terdapat 8 (delapan) pokok bahasan yakni : 1)
Percobaan (poging); 2) Penyertaan (deelneming) ; 3) Pembantuan
(Medeplightigheid); 4) Perbarengan (samenloop) ; 5) Recidive ; 6) Delik
aduan (klachtdelict) ; 7) Gugurnya hak menuntut pidana dan
menjalankan pidana ; dan 8) Grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.

34
9. CapaianPembelajaran:
Pada akhir perkuliahan mata kuliah ini mahasiswa menguasai
pengetahuan mengenai Percobaan (poging); 2) Penyertaan
(deelneming) ; 3) Pembantuan (Medeplightigheid); 4) Perbarengan
(samenloop) ; 5) Recidive ; 6) Delik aduan (klachtdelict) ; 7) Gugurnya
hak menuntut pidana dan menjalankan pidana ; dan 8) Grasi, amnesti,
abolisi dan rehabilitasi. Mahasiswa memperoleh pemahaman yang utuh
mengenai hukum pidana. Mahasiswa akan mampu menganalisa dan
memecahkan permasalahan atau kasus-kasus pidana yang terjadi di
dalam masyarakat.

10. Organisasi Materi

Materi kuliah terdiri dari beberapa pokok bahasan bahasan, yang


dapat digambarkan sebagai berikut :
1) Percobaan (poging)
2) Penyertaan (deelneming)
3) Pembantuan (medeplightigheid)
4) Perbarengan (samenloop)
5) Recidive
6) Delik aduan (klachtdelict)
7) Gugurnya hak menuntut pidana dan menjalankan pidana
8) Grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi

11. Strategi Perkuliahan


Kegiatan pembelajaran menggunakan metode PBL. Pelaksanaan
perkuliahan dikombinasikan dengan tutorial. Perkuliahan dilakukan
sebanyak 4 (empat) kali, untuk memberikan orientasi materi perkuliahan
per-pokok bahasan. Tutorial dilaksanakan sebanyak 9 (sembilan) kali. Hasil
belajar mahasiswa diketahui dari penilaian melalui ujian tengah semester
(UTS) dan ujian akhir semester (UAS) yang diselenggarakan masing-
masing satu kali pertemuan. Penilaian juga dilakukan melalui pemberian

35
tugas-tugas selama masa perkuliahan sebelum dan dan setelah UTS.
Dengan demikan, keseluruhan tatap muka pertemuan untuk perkuliahan,
tutorial dan ujian-ujian berjumlah 14 kali. Penilaian meliputi aspek hard skills
dan soft skills.

12. Tugas-tugas
Tugas-tugas dalam perkuliahan dalam satu semester terdiri dari:
a. tugas-tugas latihan yang terdapat pada setiap sesi penutup kegiatan
pembelajaran seagai media evaluasi atas capaian pembelajaran atas
satu bahan kajian; dan
b. tugas-tugas yang terdapat pada setiap kegiatan tutorial yang
divisualisasi dengan kasus-kasus untuk mencapai capaian kemampuan
akhir yang direncanakan pada setiap pertemuan.

13. Kriteria Penilaian


Penilaian dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat Pedoman
Pendidkan Fakultas Hukum Unud tahun 2013.

14. Jadwal Perkliahan


Jadwal perkuliahan sudah ditentukan di atas.

15. Tata Tertib Perkuliahan


a. Tata tertib perkuliahan sesuai dengan Pedoman Etika Dosen,
Pegawai (Administrasi) dan Mahasiswa yang ditetapkan dalam Buku
Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun
2013, Bab VII, poin 4 huruf c.

b. Batas toleransi keterlambatan yaitu 15 menit. Apabila dosen dan


mahasiswa terlambat daripada batas toleransi, maka akan dikenakan
sanksi, kecuali ada pemberitahuan atas keterlambatan tersebut.

36
Koordinator Kelas, Dosen Pengampu,

………………………………………. .....…………………………………

Mengetahui
Ketua Bagian Hukum Pidana

Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, S.H.,M.H.


NIP. 19620605 1988 03 1 020

37

Anda mungkin juga menyukai