Buku Ajar Hukum Pidana Lanjutan: Fakultas Hukum Universitas Udayana TAHUN 2016
Buku Ajar Hukum Pidana Lanjutan: Fakultas Hukum Universitas Udayana TAHUN 2016
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2016
i
BUKU AJAR
HUKUM PIDANA LANJUTAN
Planning Group
Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H., M.S.
Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H.
A.A. Ngurah Wirasila, S.H., M.H.
I Gusti Ngurah Parwata, S.H., M.H.
Sagung Putri M.E Purwani, S.H., M.H.
I Made Walesa Putra, S.H., M.Kn.
Diah Ratna Sari Hariyanto, S.H., M.H
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
ii
KATA PENGANTAR PENYUSUN
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat karunia-
Nya, Buku Ajar Hukum Pidana Lanjutan berhasil diselesaikan. Buku Ajar mata
kuliah Hukum Pidana Lanjutan ini dimaksudkan sebagai buku pedoman
pelaksanaan proses pembelajaran, baik untuk mahasiswa maupun bagi dosen
dan tutor, sehingga diharapkan pelaksanaan perkuliahan berjalan sesuai dengan
rencana dan jadwal yang ditentukan di dalam Buku Ajar.
Substansi Buku Ajar meliputi identitas mata kuliah beserta tim pengajar,
diskripsi substansi perkuliahan, capaian pembelajaran (CP), manfaat mata kuliah,
persyaratan mengikuti mata kuliah, organisasi materi, metode, strategi, dan
pelaksanaan proses pembelajaran, tugas-tugas, ujian-ujian, penilaian, dan bahan
pustaka. Selain itu, terdapat pula kegiatan pembelajaran yang dilakukan pada
setiap pertemuan berdasarkan pada jadwal kegiatan pembelajaran (jadwal
perkuliahan). Buku Ajar ini juga dilengkapi dengan Silabus, RPP, dan Kontrak
Kuliah. Buku Ajar Hukum Pidana Lanjutan ini memuat materi-materi dalam hukum
pidana lanjutan sebagai keberlanjutan dari mata kuliah hukum pidana, sehingga
secara teoritis memperoleh pemahaman yang utuh mengenai hukum pidana.
Buku ajar ini juga dilengkapi dengan latihan soal-soal berupa kasus-kasus yang
akan didiskusikan. Hal ini tentu akan menambah kemampuan dalam menganalisa
dan secara praktis dapat memecahkan permasalahan atau kasus-kasus yang
terjadi di dalam masyarakat.
Dalam proses penyusunan Buku Ajar Hukum Pidana Lanjutan ini, banyak
pihak yang telah membantu dalam pelaksanaannya. Untuk itu dalam kesempatan
ini kami menyampaikan rasa terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan para Wakil Dekan Fakultas
Hukum Universitas Udayana, dan
2. Para pihak yang telah membantu penyelesaian buku ajar ini.
Akhirnya, mohon maaf atas segala kekurangan dan kelemahan pada buku
ajar ini. Besar harapan penulis semoga Buku Ajar Hukum Pidana Lanjutan ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nyalah telah tersusun Buku Ajar Hukum Pidana Lanjutan ini. Kami atas
nama lembaga Fakultas Hukum Universitas Udayana menyambut baik terbitnya
buku ajar ini. Buku ajar merupakan salah satu instrumen di dalam penguatan
kurikulum.
Buku ajar juga merupakan media yang sangat penting baik bagi mahasiswa
dan dosen, untuk digunakan sebagai pedoman dalam penyampaian mata kuliah.
Keberadaan buku ajar sangat diperlukan dalam proses belajar-mengajar. Tujuan
pembuatan buku ajar ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas proses belajar
mengajar dan lulusan Fakultas Hukum Universitas Udayana. Dengan pola
penyusunan buku ajar yang berbasis KKNI yang mengarah pada learning
outcome tentu akan mengarahkan pada pencapaian lulusan yang unggul, mandiri,
dan berbudaya, serta memiliki kemampuan kompetitif atau daya saing.
Penyusunan buku ajar ini melibatkan banyak pihak. Oleh karena itu, kami
mengucapkan terimakasih untuk pihak-pihak yang berkontribusi dalam
penyusunan Buku Ajar Hukum Pidana Lanjutan ini. Kritik dan saran yang
membangun tentu diperlukan dalam penyempurnaan. Akhir kata, semoga buku ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak.
iv
DAFTAR ISI
v
SAMENLOOP) .. ................................................ 74
PERTEMUAN IX : TUTORIAL IV .................................................... 93
vi
HUKUM PIDANA LANJUTAN
1
abolisi dan rehabilitasi. Dengan pemahaman mengenai 8 (delapan)
substansi pokok dalam mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan mampu
memahami secara utuh mengenai asas-asas hukum pidana sebagai
kelanjutan dari mata kuliah hukum pidana, yang menjadi fokus utama
dari mata kuliah ini. Dengan demikian, mahasiswa diharapkan mampu
menganalisa berbagai kasus-kasus pidana yang terjadi dalam
prakteknya.
2. Strategi Pembelajaran
3
3. Pelaksanaan Perkuliahan dan Tutorial
VIII. TUGAS-TUGAS
Mahasiswa diwajibkan untuk mengerjakan, mempersiapkan, dan
membahas tugas-tugas yang ditentukan di dalam Buku Ajar. Tugas-tugas
terdiri dari tugas mandiri yang dikerjakan di luar perkuliahan, tugas yang
harus dikumpulkan, dan tugas yang harus dipresentasikan.
4
b. Penilaian :
Penilaian Akhir dan proses pembelajaran ini berdasarkan Rumus
Nilai Akhir sesuai Buku Pedoman Fakultas Hukum Universitas
Udayana, sebagai berikut :
X. DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU
Bemmelen, Mr. J.M. van, 1987 : Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Materiil
Bagian Umum, Binacipta, Bandung.
5
Kansil, C.S.T dan Kansil, Christine S.T, 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana,
Pradnya Paramita, Jakarta.
6
Tresna, R 1959. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd
Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik
Khusus.
XI JADWAL PERKULIAHAN
7
5 V PEMBANTUAN/MEMBANTU Perkuliahan
MELAKUKAN TINDAK PIDANA 3
(MEDEPLIGHTIGHEID)
6 VI PEMBANTUAN/MEMBANTU Tutorial 3
MELAKUKAN TINDAK PIDANA
(MEDEPLIGHTIGHEID)
7 VII UJIAN TENGAH SEMESTER Terstruktur
8 VIII PERBARENGAN (SAMENLOOP) Perkuliahan
4
9 IX PERBARENGAN (SAMENLOOP) Tutorial 4
10 X PENGULANGAN (RECIDIVE) SERTA Perkuliahan
DELIK ADUAN (KLACHTDELICT) 5
11 XI PENGULANGAN (RECIDIVE) SERTA Tutorial 5
DELIK ADUAN (KLACHTDELICT)
12 XII GUGURNYA HAK MENUNTUT Perkuliahan
PIDANA DAN MENJALANKAN 6
PIDANA SERTA
GRASI, AMNESTI, ABOLISI DAN
REHABILITASI
13 XIII GUGURNYA HAK MENUNTUT Tutorial 6
PIDANA DAN MENJALANKAN
PIDANA SERTA
GRASI, AMNESTI, ABOLISI DAN
REHABILITASI
14 XIV UJIAN AKHIR SEMESTER Terstruktur
8
POKOK BAHASAN I
PERCOBAAN (POGING)
PERTEMUAN I : PERKULIAHAAN I
BAB I
PERCOBAAN (POGING)
A. Pendahuluan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP, khususnya dalam
Pasal 53 KUHP mengatur mengenai percobaan tindak pidana sebagai
perbuatan yang dapat dipidana. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh
Lamintang bahwa, pembentuk undang-undang memperluas pengertian “
pelaku “ suatu kejahatan, meskipun pelaku belum sempat menyelesaikan
apa yang hendak dilaksanakannya dan tidak melakukan semua bagian yang
yang diuraikan didalam rumusan suatu delik. Percobaan tindak pidana
dapat terjadi atau dapat dikenakan pidana jika telah memenuhi unsur-unsur
atau syarat-syarat dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP. Setelah mempelajari
materi dalam percobaan tindak pidana, Capaian Pembelajaran yang
diperoleh adalah mahasiswa menguasai pengetahuan mengenai konsep-
konsep dan peristilahan dalam Percobaan (poging) yang meliputi Unsur-
Unsur Percobaan ( Poging ), Percobaan yang tidak mampu ( Ondeugdelijke
Poging ). Percobaan (poging) perlu dipelajari lebih mendalam untuk bisa
memahami materi dalam tutorial pada pertemuan berikutnya, sehingga
kasus-kasus dalam tutorial dapat dianalisis dengan baik.
9
melakukan semua bagian yang yang diuraikan didalam rumusan suatu
delik. Kadangkala suatu kejahatan telah mulai dilakukan, akan tetapi tidak
dapat diselesaikan sesuai dengan keinginan / maksud si pelaku, misalnya B
seorang tukang copet, pada saat akan memasukkan tangannya ke kantong
R, banyak orang mengetahui dan B ditangkap. Contoh lain misalnya : A
bermaksud mencuri dirumah X, dengan membongkar dan merusak jendela,
kemudian A masuk kerumah X, tetapi karena X terbangun dan jendela
darimana A masuk terbuka, kemudian A kepergok dan ditangkap oleh
seorang petugas ronda. Dengan melihat kedua contoh tersebut diatas,
memperlihatkan bahwa maksud si pelaku belum terlaksana, yaitu keinginan
/ maksud si A dan B untuk mencuri dan mengambil dompet dan barang /
benda R dan X belum hilang (Laden Merpaung, 2009 : 94). Menurut ilmu bahasa “
mencoba “ berarti berusaha akan mencapai satu tujuan, kadangkala tujuan
itu jadi tercapai dan kadangkala usaha itu tidak berakibat seperti dimaksud.
Lebih lanjut dari segi tata bahasa, bahwa istilah percobaan adalah “ usaha
hendak berbuat atau melakukan sesuatu dalam keadaan diuji. Sehingga
ada 2 (dua) arti percobaan, yaitu :
1). Yang dimaksud dengan usaha hendak berbuat adalah : orang
yang telah mulai berbuat ( untuk mencapai suatu tujuan ), yang
mana perbuatan itu tidak menjadi selesai. Syaratnya adalah
perbuatan telah dimulai, artinya tidaklah cukup sekedar kehendak
( alam bathin ) semata, misalnya hendak menebang pohon,
namun orang itu telah mulai melakukan perbuatan menebang,
tetapi tidak selesai sampai pohon itu tumbang. Misalnya baru
beberapa kali mengkampak, kampaknya patah atau ketahuan
oleh pemilik pohon itu, kemudian dia melarikan diri, sehingga
terhentilah perbuatan menebang. Disini mengayunkan kampak
beberapa kali itu adalah sudah merupakan percobaan dari
perbuatan menebang pohon ( Adami Chazawi (1), 2002 : 1).
2). Yang dimaksud dengan melakukan sesuatu dalam keadaan diuji
adalah : pengertian yang lebih spesifik, yaitu berupa melakukan
perbuatan atau rangkaian perbuatan dalam hal untuk menguji
suatu kajian tertentu dibidang ilmu pengetahuan tertentu,
misalnya percobaan mengembangkan suatu jenis hewan atau
10
tanaman. Pengertian ini lebih jelas, misalnya pada kata kolam
percobaan atau kebun percobaan ( Adami Chazawi (1), 2002 : 2 ).
11
pelanggaran delik tidak dipidana ( Pasal 54 KUHP ). Hanya percobaan
terhadap pelanggaran hukum yang terlihat dalam Buku II KUHP diancam
dengan pidana, inipun ada beberapa pasal yang tidak mengenal percobaan,
antara lain : Pasal 184 KUHP tentang “ Perkelahian Tanding “, Pasal 302
ayat (4) KUHP tentang “ Penganiayaan Ringan Terhadap Hewan “, Pasal
351 ayat ( 5) KUHP tentang Percobaan Penganiayaan dan Pasal 352 ayat
2) KUHP tentang “ Penganiayaan Ringan“ ( Laden Merpaung, 2009 : 97 dan Adami
12
C. Sanksi
Masalah percobaan ini KUHP memberikan ancaman yang
maksimumnya diperingan, yaitu dikurangi sepertiganya (1/3) dari maksimum
pidana pokoknya, sedangkan terhadap ancaman pidana mati dan penjara
seumur hidup, maksimumnya menjadi 15 ( lima belas ) tahun. Pengurangan
tidak diberikan bagi pidana tambahan ( Pasal 53 ayat ( 2, 3, 4) KUHP ).
Pasal 53 KUHP menyatakan :
(1). Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah
ternyata dari adanya permualaan pelaksanaan dan tidak
selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan
karena kehendaknya sendiri
(2). Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal
percobaan dikurangi sepertiganya
(3). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas
tahun
(4). Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan
selesai (Moeljatno (2), 2008 : 24-25)
13
D. Unsur-Unsur Percobaan ( Poging )
Jika kita tinjau isi Pasal 53 ayat (1) KUHP dapat diketahui adanya 3
(tiga) unsur-unsur daripada percobaan, yaitu :
a. Adanya niat / maksud / voornemen
Ad. a). Adanya niat / maksud / voornemen, dalam teks bahasa Belanda
tertulis “ Voornemen “ yang menurut doktrin tidak lain adalah
kehendak untuk melakukan kejahatan atau lebih tepatnya adalah “
opzet “ atau “ kesengajaan “ dalam arti sempit.( Hazewinkwl-Suringa,
Jongkers, Pompe, van Hattum, van Dijck, Zevenbergen, Simons,
Wirjono Prodjodikoro dan Satochid Kartanegara ). Dalam hal opzet
atau kesengajaan itu meliputi semua jenis kesengajaan, yaitu baik
kesengajaan sebagai maksud ( Oogmerk ), kesengajaan sebagai
kesadaran kepastian / keharusan maupun kesengajaan sebagai
kemungkinan. Namun Vos berpendapat lain, bahwa yang dimaksud
dengan voornemen itu adalah hanya kesengajaan sebagai maksud (
Oogmerk ). Oleh karena itu, niat sering disamakan dengan “
kesengajaan “, sebagaimana terlihat dalam Putusan HR 6 Februari
1951, N.J. 1951, No. 475, m.o. B.V.A.R. “ Automobilist-arrest “.
Moeljatno menterjemhkan voornemen itu adalah “ niat “, yang
didalam Memory van Toelichting / MvT dikatakan adalah “ niat untuk
melakuakan perbuatan yang oleh wet dipandang sebagai kejahatan “.
Simons mengartikan “ niat “ itu tiada lain adalah kesengajaan, yang
perlu disini adalah bahwa terdakwa mempunyai kesengajaan untuk
melakukan kejahatan, termasuk dolus eventualis / kesengajaan
sebagai kemungkinan, sehingga niat itu sama dengan kesengajaan.
(lihat Mr. J.M. van Bemmelen, 1987 : 247, A. Fuad Usfa dan Tongat, 2004 : 101, Adami Chazawi
(1), 2002 : 10-11, Moeljatno (1), 1983 : 16 ).
14
dari kehendak, sebab kehendak yang masih dalam pikiran itu adalah
bebas. Permulaan pelaksanaan berarti terjadinya suatu perbuatan
tertentu, maka perbuatan itulah yang dapat dipidana. Meskipun
terlihat sederhana, tetapi bila dikaji dan dicermati, ternyata cukup sulit
untuk menafsirkan apa yang dimaksud dengan “ permulaan
pelaksanaan “. Apakah suatu “ permulaan pelaksanaan kehendak “
atau “ permulaan pelaksanaan kejahatan “. Untuk itu maka timbul
berbagai teori atau diserahkan kepada teori. Seperti halnya dengan
masalah kausalitas atau sebab – akibat, maka kalau akibat dapat
direntang memanjang ke belakang, penyebabnya pun dapat pula
direntang memanjang ke depan. Dalam hal perbuatan-perbuaan yang
mendahului suatu hal atau akibat yang dapat dipidana, dapat
dikatakan adanya : (1). Perbuatan persiapan
(voorbereidingshandelingen) dan (2). Permulaan pelaksanaan
(begin van uitvoering ), akan tetapi dimana batas antara keduanya ?.
Dari sudut proses / tata urutan, permulaan pelaksanaan ( begin van
uitvoering ) adalah berada diantara perbuatan persiapan ( saat
setelah terbentuknya kehendak ) dengan perbuatan pelaksanaan
atau dengan kata lain perbuatan pelaksanaan itu harus dimulai
dengan permulaan pelaksanaan. Jika diurut proses melakukan tindak
pidana ( yang dolus ), maka proses itu dimulai dari terbentuknya niat /
kehendak, kemudian perbuatan persiapan, lanjut dengan perbuatan
pelaksanaan, barulah dilihat : apakah dari perbuatan pelaksanaan itu
menghasilkan tindak pidana sempurna seperti yang dinginkan /
dikehendaki atau tidak. Apabila pada ujung perbuatan pelaksanaan
menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan kehendak bathin, maka
terjadi tindak pidana selesai. Tetapi bila menghasilkan sesuatu yang
tidak sesuai dengan kehendak bathin yang telah terbentuk semula,
artinya kehendak tidak tercapai, keadaan inilah yang disebut dengan
“ pelaksanaan tidak selesai “, maka disini telah terjadi suatu
percobaan yang pelaksanaannya tidak selesai atau kehendak bathin
tidak tercapai karena sebab bukan dari kehendak sendiri. (Adami Chazawi
15
Tentang percobaan dapat dipidana, terdapat 2 (dua) pandangan atau
teori, yaitu :
1). Teori yang subjektif ( Subjectieve Pogingstheorie ) mengatakan bahwa “
yang melakukan percobaan harus dipidana, oleh karena orang tersebut
bersifat berbahaya “. Teori ini menekankan pada niat yang terlihat dari
kelakuan dari si pelaku. Pada umumnya untuk hukum, niat adalah
irrelevan, sehingga tidak ada alasan untuk mengurangi maksimum
pidana bagi percobaan, pendirian ini dianut oleh Van Hamel dan Von
Liszt. Didalam ajaran ini, permulaan pelaksanaan adalah : “ apabila dari
wujud perbuatan yang dilakukan telah nampak secara jelas niat atau
kehendaknya untuk melakukan suatu tindak pidana “. Misalnya : “ ada
orang yang tidak biasanya berurusan dengan dengan senjata tajam,
suatu hari tiba-tiba orang itu mengasah sebuah parang, dari mengasah
parang ini telah tampak adanya niat untuk melakukan suatu kejahatan
dengan parang yang diasah itu “
2). Teori yang objektif ( Objectieve Pogingstheorie ), mengatakan bahwa “
dasar untuk memidana percobaan adalah karena berbahayanya
perbuatan yang dilakukan “, pendirian ini dianut oleh Simons, Duynstee.
Didalam ini, adanya permulaan pelaksanaan “ apabila dari wujud
perbuatan itu telah tampak secara jelas arah satu-satunya dari wujud
perbuatan, yaitu pada tindak pidana tertentu “. Misalnya seseorang
dihadapan orang yang dibencinya telah mengokang pistolnya dengan
mengarahkan moncong senjata itu kepada orang yang dibencinya.
Mengokang pistolnya dianggap merupakan permulaan pelaksanaan dari
kejahatan, sedangkan menarik pelatuk pistolnya adalah merupakan
perbuatan pelaksanaan pembunuhan (Moeljatno (1), 1983 : 22, R. Achmad Soema Di
16
b). Secara subjektif : ditinjau dari sudut niat, harus tidak ada
keraguan lagi bahwa yang dilakukan terdakwa ditujukan /
diarahkan kepada delik tersebut.
c). Apa yang dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan
melawan hukum. (Moeljatno (1), 1983 : 28-29)
Selanjutnya perlu dicatat, bahwa oleh karena delik yang dituju tidak
diketahui lebih dahulu, bahkan harus ditetapkan antara lain “ dengan
mengingat perbuatan yang dilakukan “, maka istilah permulaan pelaksanaan
pada Pasal 53 KUHP tidak mungkin mempunyai arti yang tetap. Untuk itu
diperlukan bukti-bukti terlebih dahulu. MvT menentukan bahwa perbuatan
persiapan ( voorbereidings handeling / act of preparation ) tidak dapat
dipidana, sedangkan perbuatan permulaan pelaksanaan ( uitvoerings
handeling ) dapat dipidana.
Contoh : A. berkehendak untuk membunuh B. Perbuatan-perbuatan
yang mendahului dapat diperinci sebagai berikut :
a. Membeli sebuah parang atau golok
h. Mengayunkan parang atau golok itu ke leher B (Lihat I Made Widnyana, 1992 : 5).
17
2) Menurut teori percobaan objektif, maka perbuatan dari (a
membeli sebuah parang atau golok ) sampai (c sementara
menyimpan parang atau golok dirumahnya) belum dapat
dimasukkan sebagai permulaan pelaksanaan, oleh karena
membeli dan menyimpan parang atau golok belum merupakan
perbuatan yang membahayakan kepentingan B, bahkan sampai
perbuatan (e membawa parang atau golok ke arah rumah B) ,
juga belum merupakan perbuatan yang membahayakan
kepentingan hukum B, sehingga belum dapat dipidana.
18
Dari pemaparan tersebut diatas, dikalangan para sarjana hukum
banyak yang berpendapat bahwa sebenarnya kurang ada gunanya untuk
membedakan pendirian yang subjektif maupun yang objektif, sebab
kenyataannya masing-masing tidak terlalu sempit memberikan penafsiran.
Demikian juga bila dilihat dari Memorie van Toelihgting ( MvT ) dan KUHP
tidak jelas pendiriannya, yaitu apakah menganut teori yang subektif atau
yang objektif. Sekarang kita hendak meninjau sikap jurisprudensi terhadap
hal ini, dimana pada tanggal 29 Oktober 1934, N.J. 1934, hal. 1673, m. o. T.
Hoge Raad ( HR ) membuat keputusan yang sangat sempit, yang terkenal
dengan sebutan “ Eindhovense brandstich-tings Arrest “ ( Arest
Pembakaran di Eindhoven ) yang kasusnya sebagai berikut :
“ Terdakwa H hendak membakar rumah yang didiami oleh R, yang
rupanya dengan persetujuan R, sebab R pada malam itu pergi keluar
kota, lalu H masuk kerumah itu serta meletakkan pakaian-pakaian tua
dan barang-barang yang mudah terbakar di tiap-tiap kamar, yang
kesemuanya dihubungkan dengan sebuah sumbu panjang, dimana
sumbu itu sampai pada sebuah kompor gas didapur. Dekat kompor
itu dipasang sebuah pistol gas yang kalau ditembakkan
mengeluarkan api dan menyalakan kompor serta sumbu. Pelatuk
pistol itu diikat dengan tali panjang yang ujung lainnya melalui jendela
dikeluarkan sampai pada tembok belakang, bergantung dari atas ke
bawah, sehingga bisa ditarik dari luar tembok dimana kebetulan ada
jalan kecil. Pakaian dan sumbu itu lalu disiram dengan bensin,
sehingga kalau tali ditarik dari luar tembok dijalan kecil, pistol
menyalakan kompor dan sumbu yang akhirnya pakaian-pakaian yang
telah disiram dengan bensin menyala membakar seluruh rumah.
Setelah selesai semua, H lalu menyingkirkan barang-barang
berharga ketempat lain diluar rumah. Sementara itu tertarik dari bau
nya bensin, dijalan kecil belakang rumah berkumpul beberapa orang.
Ketika H kembali dari mengusikan barang-barang berharga itu dan
akan menarik tali dari jalan kecil, H melihat banyak orang disitu,
sehingga tidak bisa menyelesaikan maksudnya “. (Moeljatno (1), 1983 : 35-
36, Adami Chazawi (1), 2002 : 25-28 Frans Maramis, 2012 : 208-209 dan D. Schaffmeister dkk,
2007 : 217, Mr. JM. Van Bemmelen, 1987 : 251).
19
Hof s’Hertogenbosh menganggap perbuatan memasang tali pada
pelatuk pistol gas tersebut suatu “ permulaan pelaksanaan “ untuk kejahatan
tersebut Pasal 187 KUHP dan menjatuhkan pidana 4 tahun penjara. H
memohon kasasi kepada HR dengan alasan pengadilan tersebut diatas
melanggar ketentuan Pasal 53 KUHP ( Percobaan ), karena yang dilakukan
hanyalah suatu “ perbuatan persiapan “. Kasasi diterima oleh dan HR
membatalkan keputusan Hof a’Hertogenbosch dan berpendapat bahwa
telah dimulai menimbulkan kebakaran kalau telah dilakukan / dilaksanakan
perbuatan yang bukan saja perlu sekali untuk itu, tetapi yang juga tidak
mungkin menuju kepada lain dari perbuatan itu dan berhubungan langsung
dengan kejahatan yang dimaksud dan sudah ada kalau pelaku telah
menarik pelatuk pistol. (Adami Chazawi (1), 2002 : 25-27 dan Moeljatno (1), 1983 : 36)
Pendapat ini banyak tantangan daripada para sarjana, dimana HR
menganut teori objektif, tetapi terlu sempit. Duynstee menulis bahwa
terdakwa telah mulai dengan brandstichting atau “ permulaan dari
pelaksanaan pembakaran “ atau “ permulaan dari pelaksanaan persiapan “,
sehingga dapat dipidana. Prof. Moeljatno mengatakan bahwa kalau kasus
pembakaran di Eindhoven itu ditinjau dengan ukuran beliau ( 3 syarat ),
maka syarat pertama yaitu : secara objektif dan potensial perbuatan itu
telah mendekatkan kepada yang dituju, sudah tidak perlu diragukan lagi.
Syarat kedua, yaitu : ditinjau dari niat pelaku, juga tidak ada keraguan lagi
bahwa nitanya ditujukan untuk pembakaran. Sedangkan syarat ketiga,
yaitu : apakah perbuatannya melawan hukum, maka bila yang dibakar itu
bukan rumahnya sendiri, ataupun sekiranya itu adalah rumahnya sendiri,
tetapi didiami oleh orang lain, perbuatan masuk pada saat orangnya tidak
ada itu adalah perbuatan melawan hokum. Sehingga terdakwa telah
melakukan perbuatan percobaan pembakaran seperti ditentukan oleh Pasal
53 dan Pasal 187 KUHP. (Lihat I Made Widnyana, 1992 : 6, Moeljatno (1), 1983 : 33-37)
20
tersebut dengan kejahatan yang ada dalam niat mereka ( mengeluarkan teh
tanpa izin ) tidak ada pertalian langsung yang demikian rupa, sehingga
perbuatan tersebut dapat dipandang sebagai permulaan pelaksanaan.
Didalam unsur ke dua dari percobaan ini masih ada persoalan lain, ialah “
percobaan yang mampu dan percobaan yang tidak mampu “, persoalannya
terutama terletak pada “ percobaan yang tidak mampu “ ( ondeugdelijke
poeging ). (Moeljatno (1), 1983 : 32, Adami Chazawi (1), 2002 : 43)
Ad.c). Sebagai unsur ketiga dari percobaan adalah bahwa delik tidak dapat
diselesaikan karena bukan semata-mata atas kehendak sendiri. MvT
menyatakan bahwa maksud syarat ketiga ini adalah merupakan
jaminan kepada seseorang yang dengan kehendak sendiri, dengan
sukarela mengurungkan pelaksanaan kejahatan yang telah dimulai
(vrijwillige terugtred) (Moeljatno, 1983 : 54). Unsur ketiga harus dicantumkan
dalam surat dakwaan dan harus dibuktikan oleh Penuntut Umum.
Pembuktian bagi sesuatu yang bersifat negatif sangatlah sukar,
sebab jaksa harus membuktikan bahwa pelaku telah
memberhentikan perbuatannya tidak dengan sukarela, agar
Penuntut Umum dapat menuntutnya dan terdakwa dijatuhi pidana
karena percobaan. Tetapi hal itu kemudian diperingan oleh putusan
HR tahun 1924 yang menjadi jurisprudensi, yaitu bahwa : “
barangsiapa yang dengan sukarela mengundurkan diri tidak dapat
dipidana. Jadi apabila pengunduran diri itu tidak nyata, maka adanya
unsur ketiga tersebut dapat dibuktikan dari adanya suatu hal lain
yang cukup menerangkan apa sebabnya delik tersebut tidak selesai.
Jadi tidak perlu membuktikan bahwa pengunduran diri itu tidak
dengan sukarela “.
Contoh : Kalau seseorang menembakkan pistol dan
diarahkan kepada calon korban tetapi meleset,
mungkin sekali dalam persidangan ia akan
mengatakan bahwa ia telah mengurungkan niat untuk
membunuh, tetapi mengubahnya menjadi hanya
menaku-nakuti saja dengan tembakkan yang
dipelesetkan. Dengan demikian, maka seolah-olah ia
21
mengurungkan maksudnya atas kehendak sendiri.
Jadi peninjauan ini secara psikologis.
Berhubung dengan putusan HR tersebut diatas, maka dalam hal ini
Penuntut Umum, cukup menyebutkan bahwa tuduhannya terhadap
terdakwa dengan percobaan pembunuhan telah terbukti dengan adanya
permulaan pelaksanaan dan niat, serta tidak selesai karena tembakkannya
meleset. Langemeyer juga menyatakan tidak menyetujui pertimbangan HR
tersebut diatas, karena menurut teksnya apabila secara psikologis masih
ada kemungkinan sekali untuk mengadakan perubahan dalam niat
terdakwa, disitu tidak mungkin dikatakan bahwa penghalang dari luar itulah
yang semata-mata menjadi sebab kejahatan tidak selesai ( dalam hal diatas
adalah “ melesetnya tembakkan “ ). Pompe menentang pendapat
Langemeyer dengan alasan bahwa kemungkinan psikologis ini tidak ada
dalam undang-undang, pendapat Pompe ini juga disetujui oleh Moeljatno.
Rumusan / ukuran yang sering diajukan adalah :“ ada pengurungan
sukarela jika menurut pandangan terdakwa dia masih bisa terus, tetapi tidak
mau meneruskan “.
Terdakwa dapat meneruskan niatnya dalam hal :
a). Secara fisik terhalang untuk menyelesaikan kejahatannya,
misalnya saja terdakwa dipegang oleh orang lain,
sehingga tidak dapat bergerak lagi, karena orang lain
senjatanya terlepas atau perbuatannya telah selesai, yaitu
bom dilemparkan dilemparkan tetapi tidak berbunyi.
b). Meskipun tidak ada penghalang fisik, tetapi
pengurungannya ternyata disebabkan akan adanya
penghalang psikis, misalnya karena takut perbuatannya
diketahui orang dengan segera.
Mengenai hal tersebut diatas, terdapat suatu masalah, yaitu : “
Seseorang yang diperiksa sebagai saksi dalam suatu perkara. Ada tanda-
tanda bahwa ia tidak menerangkan dengan sebenarnya, walaupun sudah
disumpah. Setelah hakim memperingatkan bahwa kalau tidak menyatakan
yang benar, ia bisa dituntut karena sumpah palsu, maka lalu menarik
kembali keterangnnya. Apakah dalam hal ini terjadi suatu percobaan
melakukan sumpah palsu ? “.
22
HR pada tahun 1889 menyatakan bahwa ia tidak dapat dituntut
karena percobaan sumpah palsu, hal ini disetujui oleh Vos, dengan alasan
bahwa sebenarnya ia masih dapat saja terus memberikan keterangan tidak
benar, tetapi ia tidak benar, tetapi ia tidak mau, maka hal inilah adalah
pengunduran diri ( pengurungan ) secara sukarela. Van Hattum tidak dapat
menyetujui putusan tersebut, karena manurut beliau, yang menyebabkan
terdakwa menarik kembali keterangannya adalah karena ketakutan
dimasukkan penjara.
Jika dilihat dari pemuatan unsur-unsur ( syarat-syarat ) dipidananya
percobaan kejahatan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP, maka dapat ditarik
suatu kesimpulan bahwa :
1). Ada percobaan kejahatan yang dapat dipidana, jika memenuhi unsur-
unsur (syarat-syarat) tersebut dalam Pasl 53 ayat (1) KUHP dan
secara a contrario ada pula percobaan kejahatan yang tidak dapat
dipidana, yaitu jika salah satu unsur-unsur (syarat-syarat) tidak
terpenuhi, misalnya unsur (syarat) ketiga.
2). Disamping itu ada pula percobaan kejahatan yang secara tegas oleh
UU ditetapkan percobaannya tidak dipidana, contoh pada percobaan
penganiayaan biasa ( Pasal 351 ayat (5) KUHP ), percobaan
penganiayaan hewan ( Pasal 302 ayat (4) KUHP ), percobaan perang
tanding ( Pasal 284 ayat (5) KUHP )
3). Percobaan melakukan pelanggaran tidak dipidana ( dipertegas
dengan adanya Pasal 54 KUHP )
4). Percobaan kejahatan yang dapat dipidana hanya pada tindak pidana
kesengajaan ( dolus ) dan tidak mungkin pada tindak pidana
kealpaanan ( culpa ). Karena isitilah niat adalah artinya kesengajaan,
yang mengenai tindak pidananya disadari dan atau dikehendaki.
Sedangkan kealpaan adalah sikap bathin yang ceroboh – tidak
berhati-hati atau tidak memiliki dan menggunakan pemikiran yang
cukup baik mengenai perbuatannya amupun akibatnya, sehingga
melahirkan suatu tindak pidana culpa
5). Percobaan tidak dapat terjadi pada tindak pidana pasif ( delik
ommsionis ), sebab tindak pidana ommisionis unsur perbuatannya
adalah berupa tidak berbuat, yang dengan tidak berbuat itu
23
melanggar suatu kewajiban hukumnya. Sedangkan pada percobaan
kejahatan harus ada permulaan pelaksanaan, yang in casu harus
berbuat.
6). Juga ada beberapa kejahatan yang karena sifatnya kejahatan dalam
rumusannya tidak mungkin dapat terjadi percobaannya, yaitu (a).
karena percobaannya ( yang in casu ) melakukan suatu perbuatan,
diaman niat telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan
sebagaimana dimaksud pasal 53 KUHP, dirumuskan atau merupakan
kejahatan selesai, yaitu kejahatan-kejahatan makar, seperti Pasal
104 KUHP bermaksud membunuh, merampas kemerdekaan atau
meniadakan kemampuan Presiden dan Wakilnya, Pasal 106 KUHP
bermaksud agar seluruh atau sebagian wilayah Indonesia jatuh
ketangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah negara, Pasal
107 KUHP bermaksud menggulingkan pemerintahan, (b). karena
unsur perbuatannya yang dilarang dari kejahatan pada dasarnya
adalah berupa kejahatan, misalnya Pasal 163 bis ayat ( 1 ) KUHP
atau pasal 391 KUHP
Disamping hal tersebut diatas, R. Soesilo mengatakan bahwa syarat-
syarat yang harus dipenuhi agar suatu percobaan agar percobaan pada
kejahatan dapat dihukum, adalah sebagai berikut :
1. Niat untuk berbuat jahat sudah ada, artinya orang yang sudah
mempunyai oikiran untuk berbuat jahat yang meliputi sifat
kesengajaan ( dolus ), oleh karena percobaan pada kejahatan
culpa tidak mungkin terjadi
2. Orang sudah mulai berbuat kejahatan itu, maksudnya orang itu
bukan hanya berfikir saja, tetapi sudah harus mulai bertindak.
3. Perbuatan kejahatan itu tidak sampai selesai, oleh karena
terhalang sebab-sebab yang timbul kemudian. Tidak selesai
maksudnya adalah tidak semua unsur-unsur dari kejahatan itu
dipenuhi, misalnya bagi delik materiil, akibat dari delik itu belum
terjadi
4. Sebab-sebab itu tidak terletak dalam kemauan pembuat kejahatan
itu sendiri, maksudnya tidak dari kemauan sendiri mundur dari
24
mengerjakan kejahatan itu, sebab harus dari luar, misalnya dalam
mencuri, kerena kepergok / ketahuan orang (I Made Widnyana, 1992 : 11)
25
tampaknya B sudah tidur, kemudian A menembaknya, tetapi
kemudian ternyata B telah meninggal sebelumnya karena penyakit
jantung. Jadi meninggalnya B bukan sebagai akibat ditembak oleh A.
Dalam hal ini tidak mungkin dikenakan Pasal 338 atau 340 KUHP
yaitu pembunuhan, karena tidak mungkin melakukan pembunuhan
terhadap mayat. ( dapat dipidana – subjektif )
4. Sarana yang tidak mampu relatif : Seperti halnya pada contoh yang
3, bubukan yang diberikan ternyata benar-benar warangan, tetapi
jumlahnya terlalu sedikit dan kebetulan B mempunyai daya tahan
yang cukup kuat, sehingga dengan sarana itu tidak mungkin B mati.
26
itu membahayakan kepentingan hukum B, karena A meninggal ( contoh 1 )
atau juga tidak pemberian gula itu merupakan bahaya bagi kepentingan
hukum B ( contoh 3 ).
Mengenai sasaran dan sarana yang tidak mampu relatif, perlu
ditinjau berdasarkan teori subjektif maupun teori objektif. Ditinjau dari teori
subjektif, maka perbuatan A pada contoh 2 dan 4 semuanya dapat dipidana,
karena adanya maksud yang jahat pada diri A. Sedangkan memalui teori
objektif, juga kedua-duanya perbuatan A dalam contoh 2 dan 4 dapat
dijatuhi pidana, hanya alasan atau landasan pikirannya berbeda.
Pada contoh 2, perbuatan A telah membahayakan kepentingan
hukum B, walaupun kenyataannya B tidak terluka sedikitpun, hal itu adalah
merupakan hal khusus dan kebetulan saja, kecuali itu juga tidak
diselesaikannya bukanlah karena hal yang tergantung dari A. Pada contoh
4, perbuatan juga telah membahayakan kepentingan hukum B, walaupun
dosis racun yang diberikan tidak cukup kuat untuk membunuh B, tetapi tidak
cukupnya merupakan hal yang tidak tergantung dari A. Dari uraian tersebut
diatas, sebenarnya pembedaan peninjauan melalui teori subjektif maupun
teori objektif hasilnya sama saja, yaitu dapat dipidana, hanya secara teoritis
landasan yang dipakai berbeda. Yang menjadi masalah justru untuk
menentukan apakah sasaran itu tidak mampu secara mutlak atau relatif.
Tentang hal ini sebenarnya tergantung dari cara menafsirkan dan
cara menentukan dasar atau landasan berfikirnya. Sebagai suatu contoh :
pada dasarnya atau pada umumnya, gula merupakan alat yang tidak
mampu untuk membunuh orang, sedangkan warangan atau arsenicum
dalam dosis tertentu bisa mematikan, tetapi dalam dosis yang kurang dari
itu, malahan bisa menjadi obat. Apakah dalam hal ini kita akan ambil
abstraksinyua ataukah ditinjau in concreto ?. Demikian juga mengenai
sasarannya, seorang yang mempunyai sakit tertentu (misal diabetes ),
mungkin bisa karena minum minuman yang bergula / mengandung gula,
yang bagi orang normal tidak menyebabkan apa-apa. Sebaliknya terdapat
pula seorang yang mempunyai ketahanan yang lebih tinggi dari orang
normal, sehingga dosis yang bisa mematikan untuk orang normal, tidak
menyebabkan kematian bagi orang itu. Apakah ini juga diambil abstraksinya
ataukah harus ditinjau in conreto ?
27
Contoh untuk menentukan : “ ketidak mampuan absolut ataukah
relatif “ Misalanya A berhendak untuk mencuri uang dalam peti besi suatu
toko. Setelah diselidiki cukup lama, A berpendapat bahwa peti itu selalu
dipakai untuk menyimpan uang. Pada suatu hari kehendaknya itu
dilaksanakan, tetapi ternyata setelah dapat membuka peti besi itu, ternyata
kosong tidak ada uangnya. Kejahatan pencurian itu terpaksa tidak dapat
diselesaikan, tetapi bukan semata-mata bukan karena kehendak A.
Walaupun perbuatan A tersebut memenuhi syarat sebagai percobaan dan
dapat dijatuhi pidana, tetapi secara teoritis sasarannya itu merupakan
sasaran yang tidak mampu secara absolut ataukah secara relatif. Bila kita
berpendirian dengan dasar fikiran “ peti yang kosong “, maka dapat
dikatakan bahwa sasarannya tidak mampu absolut ( Absoluut
Ondeugdelijke Object ), tetapi jika pikiran kita bertumpu pada kenyataan “
biasanya peti uang itu berisi uang “, maka sasarannya bisa disebut sebagai
sasaran yang tidak mampu relatif ( Relative Ondeugdelijke Object )
Dalam hal percobaan yang tidak mampu ini timbul berbagai polemik
diantara para sarjana dan dikemukakan pula contoh-contoh selain “
mencoba mencuri dari peti mati yang kosong“, misalnya saja “ mencoba
menggugurkan kandungan seorang yang tidak hamil “ mencoba membunuh
orang sudah mati “. ( Adami Chazawi (1), 2002 : 46-57, Laden Merpaung, 2009 : 96 dan lihat buku
28
adalah : “ suatu perbuatan yang diarahkan untuk mewujudkan tindak
pidana, tetapi ternyata kekurangan atau tidak memenuhi salah satu unsur
tindak pidana yang dituju “. (Adami Chazawi (1), 2002 : 58-59, D. Schaffmeister dkk, 2007 : 220-
222)
29
pelaksanaannya sudah begitu jauh – sama seperti tindak pidana selesai,
akan tetapi oleh sebab sesuatu hal, tindak pidana itu tidak terjadi “.
Dikatakan percobaan, sebab tidak pidana yang dituju tidak terjadi, dikatakan
selesai oleh sebab pelaksanaannya sesungguhnya sama dengan
pelaksanaan yang dapat menimbulkan akibat dari suatu tindak pidana “.
Misalnya : A ingin membunuh B musuhnya, A telah mengarahkan moncong
senjata keleher B, pelatuk telah ditarik dan senapan telah meletup serta
peluru telah melesat, tetapi tidak mengenai sasarannya. Oleh karena itu
percobaan pesuatu pembunuhan telah selesai, bila dilihat dari
perbuatannya, karena niat / kehendak, permulaan pelaksanaan dan
pelaksanaan telah selesai, tetapi tidak mencapai hasil yang diinginkan /
dikehendaki, oleh karena itu masih dikatagorikan sebagai suatu percobaan.
Percobaan tertunda adalah : “ suatu percobaan yang perbuatan itu
pelaksanaannya terhenti pada saat mendekati selesainya kejahatan yang
dituju “. Misalnya seorang pencopet yang telah mengulurkan dan
memasukkan tangannya dan telah memegang dompet seorang wanita
dalam tas wanita itu, akan tetapi, tiba-tiba wanita itu memukul tangan
pencopet itu dan terlepaslah dompet itu yang tadi telah dapat dipegang
dalam tas wanita itu. Sedangkan percobaan yang dikualifisir adalah
merupakan percobaan yang perbuatan pelaksanaannya merupakan tindak
pidana selesai yang lain daripada yang dituju. Misalnya seseorang dengan
maksud untuk membunuh dengan tusukan pisau, akan tetapi orang itu tidak
mati, hanya luka-luka berat. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa orang
memiliki niat / kehendak untuk membunuh dengan tikaman pisau itu, tetapi
tidak sampai timbulnya akibat kematian orang yang ditikam itu, justru yang
terjadi adalah timbulnya luka-luka berat, maka dalam hal telah terjadi
penganiayaan yang telah menimbulkan luka-luka berat (Adami Chazawi (1), 2002 :
61-62).
30
Daftar Pustaka
Bemmelen, Mr. J.M. van, 1987 : Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Materiil
Bagian Umum, Binacipta, Bandung.
F. Penutup
1. Rangkuman Materi
Didalam istilah bahasa Belanda, percobaan ini disebut dengan “
poging “, dapat dikatakan menurut doktrin bahwa percobaan adalah “
permulaan kejahatan yang belum selesai “ atau “ een reeds begonnen doch
nog niet voltooid mijsdrijf “. Masalah percobaan ini KUHP memberikan
ancaman yang maksimumnya diperingan, yaitu dikurangi sepertiganya (1/3)
dari maksimum pidana pokoknya, sedangkan terhadap ancaman pidana
mati dan penjara seumur hidup, maksimumnya menjadi 15 ( lima belas )
31
tahun. Pengurangan tidak diberikan bagi pidana tambahan ( Pasal 53 ayat (
2, 3, 4) KUHP ). Jika kita tinjau isi Pasal 53 ayat (1) KUHP dapat diketahui
adanya 3 (tiga) unsur-unsur daripada percobaan, yaitu Adanya niat /
maksud / voornemen, Adanya suatu permulaan pelaksanaan / begin van
uitvoering. Tidak selesainya pelaksanaan itu semata-mata bukan karena
kehendak sendiri.
Percobaan yang tidak mampu ( ondeugdelijke poging ) itu terjadi,
apabila seorang telah melakukan perbuatan jahat yang dikehendaki untuk
diselesaikan, akan tetapi walaupun ia telah melakukan perbuatan-perbuatan
yang diperlukan, kejahatan itu tidak dapat diselesaikan bukan karena
dihalang-halangi. Tidak mampu atau tidak dapat diselesaikannya kejahatan
itu dapat disebabkan karena objek atau sarananya, tetapi mungkin juga
karena alat atau sasarannya ( middel ). Tidak mampunya itu dapat
berbentuk : Ketidak mampuan yang mutlak ( absoluut ondeugdelijke ) dan
Ketidak mampuan relatif ( relative ondeugdelijke ). Untuk menjawab apakah
Percobaan yang tidak mampu dipidana atau tidak, hendaknya dikaitkan ke
teori-teori yang berhubungan dengan percobaan itu sendiri, yaitu teori
subjektif dan teori objektif. Sehingga jawaban atas pertanyaan diatas adalah
mungkin dapat dipidana, tetapi juga mungkin tidak dapat dipidana. Hal ini
tergantung dari teori mana yang akan dianut.
32
2. Latihan :
b. Pertanyaan :
1. Apakah dalam kasus di atas, maksud Abraham untuk melakukan
pencurian dapat dikatakan sebagai permulaan pelaksanaan ?
2. Baca secara cermat kasus di atas, kemudian saudara bahas tentang
’peristiwa’ yang merupakan awal pelaksanaan, dengan dasar
pemikiran yang ada dalam doktrin !
c. Bahan Bacaan
33
4. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 33 - 36
5. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373,
364, 382.
6. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana.
Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 209 -265
7. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 1 - 15
8. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik
Delik Khusus. h, 76- 77.
9. Sianturi, SR 198 Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
10. Tresna, R 1959. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal.
76 - 81
11. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 1 - 32
b. Pertanyaan :
c. Bahan Bacaan
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.
Bandung : Sinar Baru, hal. 510 - 551
3. Muljatno 1980. Delik-delik Percobaan, 1980 h. 5, 6, 13, 2, 30, 22,
23.
4. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 33 - 36
5. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373,
364, 382.
6. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana.
Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 209 -265
7. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 1 - 15
8. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik
Delik Khusus. h, 76- 77.
35
9. Sianturi, SR 198 Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
10. Tresna, R 1959. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal.
76 - 81
11. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 1 - 32
b. Pertanyaan :
Di dalam melakukan aksinya, Alimudin dalam kasus di atas telah pula
mencoba untuk melakukan pelanggaran dengan memasuki rambu
larangan masuk. Bagaimana pendapat saudara ?
c. Bahan Bacaan
37
POKOK BAHASAN II
PENYERTAAN (DEELNEMING)
BAB II
PENYERTAAN (DEELNEMING)
A. Pendahuluan
Sering terjadi bahwa, peserta atau pelaku tindak pidananya bervariasi
dan dalam hal ini ada aktor intelektualisnya. Sehingga pertanggungjawaban
pidananya juga berbeda. Hukumannya (pidana) juga berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Dengan demikian diperlukan ajaran penyertaan
(deelneming) untuk “Menentukan batas-batas pertanggungjawaban pidana
dari masing-masing peserta atau pelaku”. KUHP juga telah mengatur
mengenai penyertaan ini dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.
Setelah mempelajari materi dalam Penyertaan (deelneming), Capaian
Pembelajaran yang diperoleh adalah mahasiswa menguasai pengetahuan
mengenai Pengertian Penyertaan ( Deelneming ), Orang Yang Melakukan (
Pleger ), Turut Melakukan ( Medeplegen ), Orang yang menyuruh
melakukan ( doen pleger ), dan Menganjurkan ( Uitlokken ). Penyertaan
(deelneming) perlu dipelajari lebih mendalam untuk bisa memahami materi
dalam tutorial pada pertemuan berikutnya, sehingga kasus-kasus dalam
tutorial dapat dianalisis dengan baik.
2009 : 77). Utrecht mengatakan bahwa : pelajaran umum turut serta ini justru
dibuat untuk menuntut pertanggung jawaban mereka yang memungkinkan
pembuat melakukan peristiwa pidana, biarpun perbuatan mereka itu sendiri
tidak memuat anasir peristiwa pidana tersebut. Biarpun mereka bukan
pembuat – yaitu perbuatan mereka tidak memuat anasir-anasir peristiwa
pidana, masih juga mereka bertanggung jawab atas dilakukannya peristiwa
pidana, oleh kare tanpa turut sertanya mereka sudah tentu peristiwa pidana
itu tidak pernah terjadi (Adami Chazawi (1), 2002 : 69).
39
ke-1 : mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan
dilakukan
ke-2 : mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau
keterangan untuk melakukan kejahatan (Meoljatno, 2008 : 26).
Dengan demikian, secara umum ketentuan yang mengatur tentang
penyertaan ini terdapat dalam Pasal 55 dan 56 KUHP itu adalah apabila
dalam suatu tindak pidana terlibat / tersangkut beberapa orang atau lebih
dari satu orang. Dimana keterlibatan mereka / orang-orang tersebut dapat
berupa :
a. Beberapa orang bersama-sama melakukan suatu delik
b. Mungkin hanya seorang yang mempunyai kehendak dan
merencanakan delik, tetapi delik tersebut tidak dilakukannya
sendiri, tetapi menggunakan orang lain untuk melaksanakan delik
tersebut
c. Dapat juga terjadi, hanya seorang yang melakukan delik,
sedangkan orang lain membantu orang itu dalam melaksanakan
delik (A. Fuad Usfa dan Tongat, 2004 : 115)
Beberapa orang sarjana, antara lain Van Hammel, Simons, Van
Hattum, Hazewinkel-Suringa mengatakan bahwa ketentuan dalam KUHP
tersebut dimaksudkan untuk “ mengatur pertanggung jawaban menurut
hukum pidana bagi setiap orang yang terlibat dalam suatu perbuatan
pidana, oleh karena tanpa ketentuan tersebut orang yang terlibat tidak dapat
dijatuhi pidana “. Pada umumnya pasal-pasal dalam KUHP menentukan
dengan istilah “ barang siapa “, yang dapat dianggap sebagai mengatur
ancaman pidana itu bagi hanya si pelaku sendiri, walalupun terdapat pula
pasal yang menyebutkan bilaman perbuatan itu dilakukan bersama-sama,
misalnya Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP, yaitu pencurian berkualifikasi yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu. Mengenai
pertanggung jawaban ini terdapat dua (2) sistem pokok yang berlaku, yaitu :
a). tiap peserta dipandang sama nilai pertanggung jawabannya
dengan pelaku, sehingga mereka juga dipertanggung jawabkan
sama
b). tiap peserta tidak dipandang sama nilai pertanggung jawabannya,
dengan pembedaan menurut sifat perbuatan yang dilakukan.
40
Sedangkan bentuk penyertaan / deelneming menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana ( doktrin ) adalah :
1. Bentuk penyertaan yang berdiri sendiri ( Zelfstandige vormen van
deelneming ), dimana pertanggung jawaban tiap-tiap peserta
dinilai sendiri-sendiri
2. Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri ( Onzelfstandige
vormen van deelneming atau aecessoire vormen van deelneming
), dimana pertanggung jawaban seorang peserta digantungkan
kepada perbuatan peserta lainnya, artinya adalah peserta pertama
baru bertanggung jawab, apabila kawan pesertanya melakukan
melakukan perbuatan pidana ( I Made Widnyana, 1992 : 34 dan Utrecht, 1965 : 13)
Ketentuan dimasing-masing negara berbeda-beda, Code Penal
Perancis menyamakan saja pertanggung jawaban “ aucteurs “ dan “
complices “. Inggris juga menyamakan tanggung jawab antara “
principals “ dan “ accessories “, Jerman membedakan tanggung jawab “
tater / anstifter “ dan “ gehilfe “, demikian juga Swiss. Prof. Moeljatno
melihat bahwa KUHP Indonesia mengikuti sistem campuran dalam hal ini,
yaitu dengan cara mengelompokkan peserta dalam Pasal 55 KUHP yaitu
yang dipidana sebagai “ dader “ ( pelaku ) dan Pasal 56 KUHP yang
dipidana sebagai “ pembantu “ ( medeplichtige ), akan tetapi bagi
pembantu pidananya lebih ringan dengan dikurangi 1/3 ( sepertiga ) nya
(Pasal 57 KUHP) (Lihat Utrecht, 1965 : 7-9).
Dari rumusan Pasal 55 dan 56 KUHP tersebut diatas, terdapat
beberapa macam peserta perbuatan pidana, yaitu :
A). Kelompok orang-orang yang perbuatannya disebutkan dalam
pasal 55 ayat (1), yang dalam hal ini disebut dengan “ para
pembuat “ / mededader, yaitu :
1). Yang melakukan atau plegen, orangnya disebut dengan
pembuat pelaksana atau / Pleger / dader of doer
2). Yang menyuruh melakukan atau doen plegen, orangnya
disebut dengan pembuat penyuruh atau doen pleger /
Manus Domina )
3). Yang turut serta melakukan atau medeplegen, orangnya
disebut dengan pembuat peserta atau medepleger
41
4). Yang menganjurkan / membujuk atau uitlokken, orangnya
disebut dengan pembuat penganjur atau uitlokker
B). Kelompok orang yang disebut dengan pembuat pembantu (
medeplichtige ) kejahatan, yang dibedakan menjadi : 1).
Pemberian bantuan pada saat pelaksanaan kejahatan dan 2).
Pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan ( Adami Chazawi
(1), 2002 : 79 ).
42
Pertama : mereka yang melakukan ( plegen ), perbuatan seperti
yang dirumuskan dalam Buku II dan III KUHP secara
material dan pribadi ( persoonlijk ), dengan atau tanpa
bantuan orang lain.
Kedua : mereka yang juga melakukan perbuatan, tetapi tidak
secara pribadi melainkan dengan perantaraan orang lain.
Orang lain yang melakukan itu tidak mempunyai
kesengajaan, kealpaan atau kemampuan bertanggung
jawab. Yang menyuruh melakukan inilah yang
bertanggung jawab dan mereka adalah “ doen pleger “
Ketiga : mereka yang bersama-sama melakukan perbuatan itu,
mereka inilah yang “ mededader “ atau
yang turut serta melakukan.
Keempat : mereka yang menganjurkan dilakukannya perbuatan itu,
jadi secara material membujuk atau menganjurkan
dengan cara yang disebut dalam Pasal 55 ayat (1) ke- 2
KUHP, mereka inilah yang disebut “ uitlokker “ (
penganjur ).
Mereka semua ini adalah actor intelectualis, ada pendapat yang
sifatnya restriktif dan menurut pendapat ini yang disebut sebagai “ dader “
adalah mereka yang secara pribadi dan material melakukan perbuatan,
sedangkan yang lain-lain itu tadi hanyalah “ dianggap sebagai dader “.
Mereka ini bukan “ pelaku “. Van Hattum berpendapat bahwa KUHP
menganut pendangan yang restriktif ini. Pandangan lain lain bahwa para
peserta adalah “ dader “ ( pelaku ) disebut sebagai pandangan yang “
ekstensif “ ( luas ).
Van Hattum mempunyai keberatan terhadap pandangan yang
ekstensif tersebut, karena kalau mereka yang menyuruh melakukan dan
yang menganjurkan adalah dader, mereka ini harus memiliki kualitas atau
syarat pribadi sebagai yang dimaksud dalam rumusan tindak pidana.
Misalnya delik jabatan, tentunya hanya dapat dilakukan oleh mereka yang
memiliki kedudukkan atau jabatan tersebut. Pendirian HR sebelum tahun
1932 dapat diberikan contoh sebagaimana dibawah ini :
43
“ Seorang walikota mengajukan permohonan kepada pembesar yang
berwenang di propinsi untuk memberikan pas jalan ke luar negeri
dengan mencantumkan umur yang tidak benar dari orang yang
memerlukan pas jalan tersebut “. Perbuatan walikota ini dituntut
dengan tuduhan “ menyuruh melakukan “ tindak pidana yang
tersebut dalam pasal 270 KUHP, walikota tersebut dipidana 1 ( satu )
hari. Walikota mengajukan kasasi dengan alasan : ia tidak memiliki
kualitas pribadi atau wewenang untuk mengeluarkan pas jalan dan
tidak menyuruh membuat pas jalan secara palsu, melainkan
menyuruh memberikan pas jalan yang palsu. HR
mempertimbangkan bahwa mengenai orang yang menyuruh
melakukan perbuatan ( medelijke dader ) menurut undang-undang
adalah dader, jadi harus mempunyai kesengajaan dan kualitas
pribadi, seperti yang diharuskan dalam rumusan tindak pidana.
Putusan HR membenarkan terdakwa dan membatalkan keputusan
pengadilan bahwahan, lalu melepaskan terdakwa dari segala
tuntutan hukum .
Dalam hubungannya antara turut serta dan pembantu dapat
dijelaskan bahwa apabila kerjasama yang dilakukan oleh 2 ( dua ) orang
atau lebih itu demikian eratnya, maka mereka yang melakukan itu masing-
masing adalah “ medepleger “ ( yang turut serta melakukan ) dan bukannya
sebagai “ medeplichtige “ ( pembantu ). Contoh mengenai hal ini adalah
sebagai berikut : “ 2 ( dua ) orang melakukan pembakaran gudang di
Wormerveer, yang menyalakan rumput kering untuk membakar gudang itu
adalah A, sedang B ( yang kasasi ) hanyalah memegangi tangga dan
memberikan rumput kering kepada A. B mengajukan alasan bahwa ia hanya
sebagai membantu saja “. Dalam putusan kasasi dinyatakan bahwa
kerjasama antara A dan B sedemikian eratnya dan dengan kata sepakat
sebelumnya, maka A dan B keduanya adalah “ medepleger “ ( yang turut
serta melakukan ).
44
A. Orang Yang Melakukan ( Pleger )
45
orang yang menyuruh “, dapat juga disebut sebagai “ middelijke dader “
atau “ manus domina “ dan “ orang yang disuruh “, dapat juga disebut
sebagai “ onmiddelijk dader “ atau “ manus ministra “. (Laden Marpaung, 2009 : 79)
Hal-hal yang membuat orang yang disuruh ( onmidelijk dader /
manus ministra ) itu tidak dapat dipertanggung jawabkan dalam hal ini
adalah “ alasan yang menghilangkan unsur kesalahannya “, yaitu :
a). Kurang sempurna akalnya, seperti dirumuskan dalam Pasal 44
KUHP
b). Berada dalam keadaan dipaksa ( overmacht ), seperti diatur
dalam Pasal 48 KUHP
c). Melakukan perintah jabatan yang tidak syah dengan persyaratan
: (1). Melakukannya dengan etikad baik ( ter goeder trouw ) dan
(2). Perintah jabatan itu pelaksanaannya berada dalam
kewenangannya.
d). Benar-benar tidak mempunyai dasar kesalahan dalam
melaksanakan perbuatan
e). Tidak mempunyai suatu sifat tertentu ( hoedanigheid ) yang
dipersyaratkan oleh undang-undang ( misalnya kejahatan jabatan
yang hanya dapat dikenakan kepada mereka yang
berkedudukkan atau memiliki jabatan itu ). (Laden Marpaung, 2009 : 79-80)
47
ini ditentang oleh para sarjana lainnya, seperti Simons, Hazewinkel-Suringa
dan van Hattum. Kalau pendapat van Hammel itu betul, maka apa gunanya
ada ketentuan tentang “ turut serta “, sebab kalau masing-masing telah
memenuhi unsur delik secara lengkap , bukankah tidak perlu diadakan
ketentuan “ turut serta “ ini. Kadang-kadang sesuatu itu harus dikerjakan
bersama-sama dan tiap orang tidak perlu sepenuhnya menyelesaikan
sesuatu itu, sehingga pendapat van Hammel itu terlalu sempit. Simons
berpendirian lebih luas, ia berpendapat bahwa yang “ turut serta “
melakukan delik adalah “ pelaku “, oleh karena itu mereka yang turut serta
harus memiliki kualitas pribadi yang dipersyaratkan untuk melakukan delik,
jika tidak, maka mereka tidak dapat dikualifikasikan sebagai orang yang
turut serta. Vos menambahkan bahwa dalam hal demikian, maka hanya
dapat dikualifikasikan sebagai pembantu.
Dalam turut melakukan / medeplegen merupakan bentuk deelneming
yang apabila beberapa orang bersama-sama melakukan suatu perbuatan
yang dapat dipidana. Diantara mereka itu harus ada kesadaran berdasarkan
perundingan / permufakatan bahwa mereka akan atau untuk melakukan
suatu tindak pidana, meskipun perundingan / permufakatan itu bukan
merupakan syarat mutlak untuk adanya medepleger (A.Fuad Usfa dan Tongat, 2004 :
48
mereka sendiri tidak mungkin melakukan perbuatan zina oleh karena
mereka belum menikah.
Jurisprudensi yang ditimbulkan dengan putusan HR tanggal 21 Juni
1926 berdiri diantara pendirian Simons dan Noyon. Pendapat HR adalah
bahwa tidak perlu yang turut melakukan itu memiliki kualitas sepenuhnya
pada pelaku. Selanjutnya dalam keputusan HR tanggal 29 Oktober 1934
diberikan ukuran bagi turut melakukan, yaitu : (a). antara para peserta ada
suatu kerjasama yang disadari dan (b). para peserta bersama-sama telah
melakukan perbuatan itu. Persoalaan selanjutnya adalah : apakah
kerjasama yang erat diantara para peserta itu perlu diperjanjikan atau
disepakati bersama terlebih dahulu ? Hazewinkel-Suringa berpendapat
bahwa tidak perlulah kerjasama yang erat itu terlebih dahulu disepakati,
cukup apabila telah ada saling mengerti dan perbuatannya itu ditujukan
pada satu tujuan yang sama. Sehingga kiranya ada 2 (dua) orang A dan B
yang hendak melakukan sesuatu kejahatan terhadap C dilakukan secara
turut melakukan ( medeplegen ), apabila A berkehendak untuk membunuh
C, sedangkan B hanya berkehendak untuk menganiaya C saja.
Dalam hal pengertian “ melakukan perbuatan “ seperti tersebut pada
b ( para peserta bersama-sama telah melakukan perbuatan itu ) diatas,
mungkin sekali timbul permasalahan apa yang dimaksud dengan “
melakukan “ atau “ melaksanakan “ itu. Peristiwa ini sama halnya dengan
kesulitan yang timbul dalam hal percobaan, yaitu untuk membedakan
tindakan persiapan ( voorbereiding ) dan permulaan pelaksanaan ( begin
van uitvoering ). Untuk lebih dapat terperinci memahami pengertian turut
melakukan kehendak ini. ( lebih detail dapat dibaca dari Buku Dasar-Dasar Hukum Pidana dari
D. Menganjurkan ( Uitlokken )
49
1). Memberi atau menjajikan sesuatu
2). Menyalahgunakan kekuasaan atau martabat
3). Dengan kekerasan
4). Dengan ancaman atau penyesatan
5). Memberi kesempatan, sarana atau keterangan
Sedangkan Prof. Moeljatno mempersyaratkan adanya penganjuran
yaitu :
1). Harus ada orang yang mempunyai kesengajaan untuk melakukan
perbuatan pidana dengan menganjurkan orang lain
2). Harus ada orang lain yang dapat melakukan perbuatan yang
sengaja dianjurkan
3). Cara menganjurkan harus dengan cara seperti yang ditentukan
dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP
4). Orang yang dianjurkan harus benar-benar melakukan perbuatan
pidana seperti yang dikehendaki oleh penganjur. (Lihat I Made
50
ditentukan oleh undang-undang, sedangkan cara-cara untuk menganjurkan
ditentukan secara limitatif seperti tersebut diatas
Dari Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP tersebut juga dapat diketahui,
bahwa kesengajaan dari penganjur harus ditujukan kepada tindak
pidananya yang diharapkan dilakukan oleh orang lain yang telah digerakkan
dengan cara-cara tersebut. Bagaimana halnya dengan kesengajaan dari
orang yang telah digerakkan oleh karena anjuran itu ? Apakah harus sama
ataukah malahan yang digerakkan tidak perlu mempunyai kesengajaan itu ?
van Hammel mengatakan bahwa secara yuridis kesengajaan orang
yang telah digerakkan oleh si penganjur itu haruslah identik dengan
kesengajaan yang menganjurkan. Dalam hal yang digerakkan tidak
mempunyai kesengajaan, maka bentuknya lalu bukanlah menganjurkan,
oleh karena tidak adanya kesengajaan itu berarti tidak memenuhi rumusan
delik sehingga orang itu tidak dapat dikatagorikan sebagai alat mati dan ini
adalah bentuk penyertaan doen plegen ( yang menyuruh melakukan ).
Kesengajaan dari penganjur dan yang diberi anjuran harus identik, apakah
hal ini tidak sama dengan pelakunya sendiri ?. Dengan perkataan lain
seolah-olah tidak ada perbedaan sama sekali mengenai kesengajaan
maupun akibat hukum yang berlaku, baik bagi penganjur maupun orang
yang digerakkan, sebab kesengajaan harus sama, juga ancaman pidananya
sama.
Yang merupakan perbedaan antara penganjuran dan pelaku
penganjuran :
(1). Adanya penganjuran adalah bila kesengajaan dari orang yang
melakukan ( yang digerakkan ) baru timbul setelah terjadinya
penganjuran. Jadi kesengajaan seorang penganjur dengan
kesengajaan dari orang orang yang dianjurkan timbul pada
waktu berbeda.
(2). Seorang penganjur tidak bertanggung jawab atas perbuatan
orang yang digerakkan yang melebihi dari apa yang dianjurkan (
Pasal 55 ayat (2) KUHP )
Seorang penganjur harus bertanggung jawab samapi batas hal-hal
yang dianjurkan beserta akibat-akibatnya. Seorang penganjur yang orang
lain untuk penganiayaan, tidak dapat dipertanggung jawabkan atau
51
dipersalahkan sebagai menganjurkan pembunuhan, jika orang yang
digerakkan itu akhirnya melakukan pembunuhan, bukan hanya
penganiayaan. Bagaimana halnya bila seorang telah menggerakkan orang
lain untuk melakukan suatu delik tertentu dengan cara yang ditentukan oleh
undang-undang, tetapi ternyata orang yang digerakkan tidak melakukannya.
Apakah si penganjur tetap dapat dipidana ?
Mengenai hal ini perlu dijelaskan, bahwa terdapat 2 (dua) pendirian
tentang penyertaan, yaitu :
(a). Yang beranggapan bahwa penyertaan adalah sesuatu hal yang
berdiri sendiri ( zelfstanding vormen van deelneming )
(b). Yang beranggapan bahwa penyertaan adalah sesuatu hal yang
tidak berdiri sendiri ( onzelfstanding vormen van deelneming
atau aecessoire varmen van deelneming ) (Lihat kembali I Made
52
supaya melakukan kejahatan, diancam dengan pidana penjara
paling lama enam tahun atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah, jika tidak mengakibatkan kejahatan atau percobaan
kejahatan yang dipidana, tetapi dengan ketentuan bahwa sekali-
kali tidak dapat dijatuhkan pidana yang lebih berat dari pada yang
ditentukan terhadap kejahatan itu sendiri
(2). Aturan tersebut tidak berlaku, jika tidak mengakibatkannya
kejahatan atau percobaan kejahatan yang dipidana itu,
disebabkan karena kehendaknya sendiri
Dari rumusan pasal tersebut diatas, dapat disimpulkan 2 ( dua ) hal
yang penting, yaitu :
1). Pidana yang dijatuhkan lebih ringan atau sekali-kali dapat
dijatuhkan pidana yang lebih berat dari pada yang
ditentukan terhadap kejahatan percobaan.
2). Aturan Pasal 163 bis KUHP tidak berlaku, jika tidak
mengakibatkan kejahatan atau percobaan kejahatan yang
disebabkan karena kehendak si penganjur sendiri
Seperti disebutkan diatas cara-cara untuk menganjurkan ditentukan
secara limitatif oleh undang-undang, ialah :
a). Memberikan : yang diberikan tidak perlu harus berbentuk uang,
tetapi dapat juga dalam bentuk barang, pangkat dsb.nya.
b). Menjanjikan : janji ini berarti kesanggupan dan hal ini juga tidak
harus berbentuk uang, tetapi dapat juga dalam bentuk barang
atau pangkat dsb.nya.
c). Menyalahgunakan kekuasaan : yang dimaksudkan adalah harus
ada kekuasaan yang dimiliki oleh penganjur, seperti halnya
kekuasaan dalam lingkungan pekerjaan, juga kekuasaan orang
tua terhadap anak. Prof. Satauchid Kartanegara dipermasalahkan
hubungan kekuasaan majikan terhadap buruh yang bersifat
perdata, apakah ini juga termasuk sebagai adanya kekuasaan (
gezag ) dari majikan terhadap buruh.
d). Menyalahgunakan martabat : bentuk upaya ini tidak terdapat
dalam KUHP Belanda, ini adalah spesifik Indonesia, seperti
53
Bupati, Kepala Desa yang mempunyai kedudukkan atau martabat
yang dihormati didaerahnya.
e). Kekerasan : apabila mempergunakan kekerasan sampai timbul
overmacht, maka hal ini tidak termasuk dalam penganjuran (
uitlokking ), tetapi berada dalam lingkungan menyuruh
melakukan. Oleh karena itu kekerasan yang digunakan dalam
penganjuran harus lebih ringan sifatnya, yaitu yang menurut
perhitungan yang layak masih dapat dielakkan, sehingga tidak
timbul overmacht.
f). Ancaman : juga harus dipertimbangkan seperti halnya dalam
huruf e.
g). Muslihat : ialah dengan kata-kata yang menimbulkan pengertian
yang salah atau sesuatu yang “ misleid “ kepada hal yang lain.
h). Memberikan kesempatan, sarana atau keterangan : misalnya
seorang pembantu rumah tangga yang memberikan kesempatan
dengan membukakan pintu agar pelaku dapat masuk,
meminjamkan senjata, pemebritahuan tentang situasi dan kondisi
rumah oleh pembantu rumah tangga.
Daftar Pustaka
C. Penutup
1. Rangkuman Materi
57
2. Latihan :
PERTEMUAN KE IV : TUTORIAL II
PENYERTAAN (DEELNEMING)
b. Pertanyaan :
c. Bahan Bacaan
c. Bahan Bacaan
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.
Bandung : Sinar Baru, hal. 556 - 627
3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 34 – 36
4. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373,
364, 382.
5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana.
Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 209 -265
6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 17 – 39
7. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik
Delik Khusus. h, 76- 77.
8. Sianturi, SR 198 Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
9. Tresna, R 1959. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal.
82 – 9.
60
POKOK BAHASAN III
PEMBANTUAN/MEMBANTU MELAKUKAN TINDAK PIDANA
(MEDEPLIGHTIGHEID)
BAB III
PEMBANTUAN/MEMBANTU MELAKUKAN TINDAK PIDANA
(MEDEPLIGHTIGHEID)
A. Pendahuluan
Pembantuan (medeplightigheid) merupakan bentuk keempat dari
penyertaan (deelneming). Ketentuan pembantuan ini diatur dalam Pasal 56,
57, dan 60 KUHP KUHP. Pembantuan (medeplightigheid) terjadi ketika
dalam suatu tindak pidana terlibat 2 orang atau lebih yang masingmasing
sebagai pembuat (de hoof dader) dan pembantu (de medaeplichtige).
Setelah mempelajari materi dalam Pembantuan (medeplightigheid),
Capaian Pembelajaran yang diperoleh adalah Mahasiswa menguasai
pengetahuan mengenai Dasar Hukum, Bentuk/macam/jenis pembantuan
(medeplightigheid), Syarat-syarat Pembantuan (medeplightigheid), Sanksi
Pidana, dan Perbedaan antara beberapa bentuk Penyertaan. Pembantuan
(medeplightigheid) perlu dipelajari lebih mendalam untuk bisa memahami
materi dalam tutorial pada pertemuan berikutnya, sehingga kasus-kasus
dalam tutorial dapat dianalisis dengan baik.
C. Dasar Hukum
Pembantuan (medeplightigheid) diatur di dalam 3 (tiga) pasal yakni
Pasal 56, 57, dan 60 KUHP. Pasal 56 KUHP merumuskan mengenai unsur
objektif dan subjektif pembantuan serta bentuk/macam/jenis pembantuan.
Pasal 57 KUHP merumuskan mengenai batas luasnya pertanggungjawaban
bagi pembuat pembantu, dan Pasal 60 KUHP mengatur mengenai
penegasan pertanggungjawaban pembantuan, yaitu hanyalah pada
pembantuan dalam hal kejahatan saja tidak termasuk pelanggaran.
62
Simons menyatakan bahwa pembantuan ini merupakan penyertaan
yang tidak berdiri sendiri, artinya seorang yang membantu ini dapat dipidana
atau tidak tergantung kepada kenyataan, apakah pelakunya sendiri telah
melakukan tindak pidana atau tidak. Bentuk pembantuan yang pertama,
yaitu sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, dapat
berwujud bantuan material, moral ataupun intelektual. Bentuk pembantuan
yang kedua, adalah kesengajaan memberikan bantuan untuk
mempermudah orang lain melakukan kejahatan (Lamintang, 2013 : 646-647). Hal ini
juga berbentuk material, seperti memberikan alat kepada pelaku, ataupun
dalam bentuk intelektual, seperti memberikan kesempatan orang lain utnuk
melakukan pencurian terhadap barang-barang yang berada dalam
pengawasannya, lebih lanjut dapat dipahami dari penjelasan berikut :
- Memberi kesempatan : memberikan peluang yang sebaik-baiknya
dalam hal orang lain untuk melakukan kejahatan.
- Memberi sarana : memberikan alat atau benda yang dapat
digunakan untuk mempermudah melakukan kejahatan.
- Memberi keterangan untuk melakukan kejahatan : menyampaikan
ucapan-ucapan dalam susunan kalimat yang dimengerti orang lain,
berupa nasihat atau petunjuk dalam hal orang lain melaksanakan
kejahatan.
Ketiga cara ini (memberi kesempatan, sarana, dan keterangan) ini tidak
berfungsi membentuk kehendak orang yang dibantu untuk melakukan
kejahatan, karena kehendak untuk melakukan kejahatan pada pembuat
pelaksanaannya telah lebih dahulu terbentuk sebelum pembuat pembantu
menggunakan atau menyampaikan 3 (tiga) upaya tersebut.
Bagaimana membedakan antara “membantu” atau “turut serta” ?
Hal ini tentu penting untuk diketahui. Cara untuk mengetahui perbedaan
antara seseorang itu “ membantu “ atau “ turut serta “ dalam kejahatan
bukanlah soal mudah. Yang perlu dipegang / diperhatikan sebagai pedoman
untuk diketahui adalah seseorang yang bekerja sama dengan pelaku itu
adalah “ pembantu “ atau “ peserta “ yang diperlukan, karena pidananya
berbeda, yaitu :“ pembantu dipidana berbeda dengan pelaku “ ( Pasal 57
KUHP ) dan “peserta“ dipidana sama dengan pelaku “ ( Pasal 55 KUHP ).
63
E. Syarat-syarat Pembantuan (medeplightigheid)
Pasal 56 KUHP merumuskan unsur subyektif yaitu “sengaja” atau
“kesengajaan” (opzettelijk), sedangkan unsur objektif adalah
“memberikan bantuan”. Kedua unsur ini terkadung 2 (dua) syarat, yakni
syarat subyektif yang terkandung dalam unsur “sengaja” atau “kesengajaan”
(opzettelijk) dan syarat objektif yang terkandung dalam unsur memberi
bantuan.
a. Syarat Objektif
Kesengajaan pembuat pembantu dalam mewujudkan perbuatan
bantuannya ditujukan pada hal untuk mempermudah atau memperlancar
pelaksanaan kejahatan bagi orang lain (pembuat pelaksana). Kesengajaan
pembuat pembantu tidak ditujukan pada pelaksanaan atau penyelesaian
kejahatan, namun ditujukan hanya untuk mempermudah pelaksanaan
kejahatan. Berbeda dengan pembuat penganjur yang kesengajaannya
(sikap batinnya) sama dengan pembuat pelaksana. Timbulnya kehendak
pembuat pelaksana untuk melaksanakan kejahatan selalu lebih dahulu
dibandingkan dengan pembuat pembantu untuk melakukan perbuatan.
Inisiatif mewujudkan kejahatan juga berasal dari pembuat pelaksana, bukan
pada pembuat pembantu. Kesengajaan dalam hal ini berarti, ketika
terbentuknya kehendak pembuat pembantu untuk melakukan perbuatan
bantuannya, maka pada saat itu terbentuk keinsyafan atau kesadaran
bahwa apa yang hendak ia lakukan atau apa yang hendak diperbuatnya itu
adalah untuk kepentingan orang yang dibantunya (pembuat pelaksana)
(Masruchin Ruba’i : 2014, 200-201). Sikap batin pembuat pembantu tidak sama
dengan sikap batin dari pembuat pelaksanaannya.
65
beberapa bentuk, misalnya “ menyuruh lakukan untuk penganjuran ( doen
plegen van uitlokking ) “.
HR dikatakan oleh Hazewinkel-Suringa untuk pertama kali mengakui
penyertaan terhadap penyertaan dalam Arrestnya yang terkenal sebagai “
Exemen Arrest “ ( 1950 ). Kasusnya sebagai berikut :
“ M Harus menghadapi ujian dan dia telah menerima pelajaran dari A
( terdakwa ). M tetap merasa takut menempuh ujian dan bertanya
kepada A, apakah tidak mungkin orang lain atas nama M yang
menempuh. Dijawab oleh A adalah mungkin. Kesulitan M untuk
mendapatkan orang yang mau dan pandai dipecahkan dengan jalan
A memberikan daftar nama orang-orang yang mungkin dapat disuruh
untuk menempuh ujian tersebut. M memilih B yang dengan janji-jani
mau mendaftarkan atas nama M, tetapi kasus ini ketahuan dan
terdakwa dituntut dan dipidana karena pembantuan untukmelakukan
penganjuran untuk melakukan percobaan penipuan “.
Dalam tingkat kasasi A mengajukan bahwa pembantuan terhadap
penganjuran itu tidak dapat dipidana. Pendirian ini dibenarkan oleh
Langemeyer, yang menyimpulkan agar terdakwa A dilepas dari
segala tuntutan hukum ( ontslag vanalle rechtsvervolging ), HR tidak
membenarkan hal itu, diputuskannya : “ membantu orang untuk
menggerakkan orang lain melakukan suatu kejahatan adalah
mungkin, dengan adanya perkataan “ plegen “ melakukan didalam
Pasal 55 KUHP itu, undang-undang tidak menutup kemungkinan
tentang adanya suatu medelichtigheid didalam suatu uitlokking “.
Rolling memuji putusan HR tersebut, Prof. Moeljatno juga menyetujui
pendirian bahwa pada umumnya penyertaan terhadap delik penyertaan
tidaklah mungkin, tetapi sebagai pengecualian mungkin saja beberapa
bentuk penyertaan terhadap delik penyertaan seperti putusan HR tersebut.
Perbuatan terdakwa A kasus tersebut diatas masih jelas dan mudah
difikirkan, satu sama lain bertalian dengan asas legalitas hukum pidana.
Tetapi yang lebih penting oleh Prof. Moeljatno dianjurkan agar dalam KUHP
diadakan ketentuan tentang batas-batas penyertaan, seperti KUHP
Denmark dan Jepang bersifat singkat dan jelas
66
b. Syarat Objektif
Wujud perbuatan yang dilakukan pembuat pembantu hanya
mempermudah atau memperlancar pelaksanaan kejahatan. Wujud
perbuatan apa yang dilakukan oleh pembuat pembantu dari sudut objektif
berperan mempermudah atau memperlancar penyelesaian kejahatan dan
tidak menyelesaikan kejahatan. Penyelesaian kejahatan tergantung pada
perbuatan pembuat pelaksanaannya.
F. Sanksi Pidana
Ancaman pidana terhadap “ Pembantuan / Medeplichtigheid “
Ancaman pidana terhadap pembantuan disebutkan dalam Pasal 57
KUHP, yaitu :
1). Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap
kejahatan, dikurangi sepertiga.
2). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.
3). Pidana tambahan bagi pembantuan adalah sama dengan
kejahatannya sendiri.
4). Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang
diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah
atau diperlancar olehnya beserta akibat-akibatnya (Moeljatno,
2008 : 26)
67
Perbedaan antara Penganjuran dan Menyuruh Melakukan
a. Dalam penganjuran, perbuatan orang yang telah
digerakkan untuk melakukan delik harus dapat
dipertanggung jawabkan kepada yang digerakkan tadi
( orang yang di anjurkan adalah orang yang dapat
dipertanggung jawabkan ). Sedangkan dalam menyuruh
melakukan, perbuatan orang yang disuruh melakukan delik
tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya ( orangnya
yang disuruh tidak dapat dipertanggung jawabkan )
Daftar Pustaka
H. Penutup
1. Rangkuman Materi
Dalam rumusan Pasal 56 KUHP, membantu/medeplichtige ini disebut
“pembantu”. Dalam pembantuan ini terdapat : pelaku/pembuat ( hoofd dader
) dan pembantu / medeplichtige. Menurut Simons medeplightigheid
merupakan suatu onzelfstandige deelneming atau suatu keturutsertaan
yang tidak berdiri sendiri. Ini berarti bahwa apakah seorang medeplightige
itu dapat dihukum atau tidak, hal mana bergantung pada kenyataan, yakni
apakah pelakunya telah melakukan tindak pidana atau tidak.
Pembantuan (medeplightigheid) diatur di dalam 3 (tiga) pasal yakni
Pasal 56, 57, dan 60 KUHP. Pasal 56 KUHP menentukan bahwa dipidana
sebagai pembantu suatu kejahatan :
Ke-1 : mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu
kejahatan dilakukan.
69
Ke-2 : mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau
keterangan untuk melakukan kejahatan.
Pasal 56 KUHP ini membedakan 2 (dua) macam pembantuan, yaitu :
1). Membantu “ melakukan kejahatan “ dan
2). Membantu “ untuk melakukan kejahatan “
Syarat-syarat Pembantuan (medeplightigheid) dapat ditemukan dalam Pasal
56 KUHP yang merumuskan unsur subyektif yaitu “sengaja” atau
“kesengajaan” (opzettelijk) dan unsur objektif adalah “memberikan bantuan”.
Ancaman pidana terhadap pembantuan disebutkan dalam Pasal 57
KUHP, yaitu :
1). Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap
kejahatan, dikurangi sepertiga.
2). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.
3). Pidana tambahan bagi pembantuan adalah sama dengan
kejahatannya sendiri.
4). Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang
diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah
atau diperlancar olehnya beserta akibat-akibatnya (Moeljatno,
2008 : 26)
70
2. Latihan :
a. Kasus
Abu Bakar berniat untuk melakukan penganiayaan terhadap Ibrahim
di suatu tempat yang luput dari pantauan orang lain. Rencana tersebutpun
disampaikan kepada Maliki, dan Abdurrahman teman dekatnya. Untuk
memuluskan rencananya, Abu Bakar membutuhkan bantuan Maliki, untuk
mengetahui jalan-jalan yang akan dilalui oleh Ibrahim, pulang dari tempat
kerjanya. Maliki dengan senang hati memberikan keterangan bahwa Ibrahim
biasanya melewati Jalan setapak di pinggiran desanya pada jam 17.00 sore.
Berkat keterangan Maliki, Abu Bakar dapat menyusun rencananya dan
menunggu kedatangan Ibrahim pada tempat yang ditunjukkan oleh Maliki
bersama-sama dengan Abdurrahman. Ketika Ibrahim tiba di tempat
tersebut, Abu Bakar menyerang Ibrahim, namun karena teknik perkelahian
yang dimiliki Ibrahim, Abu Bakar terdesak. Pada saat itulah, Abdurrahman
melemparkan sepotong kayu kepada Abu Bakar, yang kemudian
dipergunakan oleh Abu Bakar untuk memukul kepala Ibrahim sampai tidak
sadarkan diri, namun sebelumnya, Abdurrahman memberikan kode-kode
dengan isyarat fisik kepada Abu Bakar untuk melumpuhkan Ibrahim.
b. Pertanyaan :
1. Tentukan status masing-masing pelaku tersebut dalam contoh kasus
di atas !
2. Kapan seseorang dapat dikatakan memberikan bantuan secara fisik
ataun non fisik. Dengan memperhatikan contoh di atas, tentukan
status Maliki dan juga Abdurrahman !
c. Bahan Bacaan
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
71
2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.
Bandung : Sinar Baru, hal. 556 - 627
3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 34 – 36
4. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373,
364, 382.
5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana.
Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 209 -265
6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 40 - 62
7. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik
Delik Khusus. h, 76- 77.
8. Sianturi, SR 198 Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
9. Tresna, R 1959. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal.
157 - 164
10. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 50 – 64
72
PERTEMUAN VII
UJIAN TENGAH SEMESTER
73
POKOK BAHASAN IV
PERBARENGAN (SAMENLOOP)
BAB IV
PERBARENGAN (SAMENLOOP)
A. Pendahuluan
74
masing pelaku itu merupakan peserta. Tetapi didalam Gabungan Tindak
Pidana / concursus ini terjadi seorang yang melakukan beberapa tindak
pidana. Contoh : “ pada suatu malam A yang tidak memiliki Surat Izin
Mengemudi (SIM) mengemudikan mobil didalam kota, dengan kecepatan
melebihi 40 km/jam dan tidak menyalakan lampu “. Dalam peristiwa ini A
telah melakukan 3 (tiga) macam pelanggaran, yaitu : mengemudi tanpa
SIM, melebihi kecepatan yang dibolehkan dan tidak menyalakan lampu.
Persoalannya adalah bagaimana menjatuhkan pidana kepada A, apakah A
harus dijatuhi pidana untuk ke 3 (tiga) pelanggarannya atau hanya dijatuhi 1
(satu) pidana saja yang terberat atau diperberat. Ketentuan yang mengatur
soal ini adalah pada Pasal 63 KUHP dan seterusnya, yaitu “ mengatur suatu
lembaga hukum pidana yang disebut dengan Gabungan Tindak Pidana /
Perbarengan Tindak Pidana ( Samenloop van Strafbare Feiten / Concursus
)“. Pada dasarmya yang dimaksud dengan perbarengan adalah terjadimya
dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang, dimana tindak pidana yang
dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana atau antara tindak pidana yang
awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan
hakim (Adami Chazawi (2), 2002 :109 ). Ada juga yang mengatakan bahwa “
perbarengan tindak pidana “ adalah : peristiwa dimana seseorang
melakukan perbuatan atau perbuatan-perbuatan yang melanggar beberapa
ketentuan pidana dan beberapa tindak pidana itu diadili sekaligus (Frans
75
2. Pertimbangan kesalahan : maksudnya adalah kesalahan si pelaku
dalam hal melakukan tindak pidana berikutnya dipandang lebih
ringan daripada kesalahan dalam hal melakukan tindak pidana
yang pertama (Adami Chazawi (2), 2002 : 114).
77
2). Asas Kumulasi : menurut asas ini seseorang yang melakukan
beberapa delik dengan ancaman pidana sendiri-sendiri, semuanya
dijatuhkan kepadanya dengan menjumlahkannya.
3). Asas Absorpsi yang dipertajam ( Verscherpte Absorptie Stelesel ) :
yaitu terhadap pelaku yang melakukan beberapa tindak pidana
dengan ancaman pidana masing-masing, dijatuhkan yang terberat,
tetapi ditembah dengan 1/3 ( sepertiga ) nya.
4). Asas Kumulasi sedang ( Gematige Cumulatie Stelsel ) : dalam hal ini
seperti halnya asas absorpsi yang dipertajam, tetapi melihat dari
sudut kumulasi terlebih dahulu, yaitu dengan menjumlahkan seluruh
ancaman yang ada, tetapi yang dijatuhkan adalah pidana yang
terberat ditambah dengan 1/3 ( sepertiga ) nya. (Lihat I Made Widnyana, 1992 :
78
Ilmu pengetahuan hukum pidana mengenai berbagai jenis samenloop
atau gabungan tindak pidana, yaitu :
1). Concursus Idealis / Eendaadse Samenloop.
2). Concursus Realis / Meerdaadse Samenloop
3). Voortgezette Handeling / Perbuatan Berlanjut.
Chazawi (2), 2002 : 127). Contoh sebaliknya adalah misalnya : “ A mabuk ditempat
umum dan kemudian memukul seorang polisi yang sedang melakukan
tugas dengan syah, karena pukulan tersebut, polisi tersebut menderita sakit
“. Walaupun disini A hanya melakukan satu perbuatan, didalamnya telah
82
terjadi beberapa hal dengan tujuan yang lebih dari satu yaitu : (a).
mengganggu keamanan lalu lintas, (b). melakukan perlawanan terhadap
petugas yang syah dan (c). melakukan penganiayaan.
Van Bemmelen mula-mula mengemukakan ajaran “ eo ipso “ yang
artinya dengan sendiri, akan tetapi rumus itu kemudian ditinggalkan nya.
Ajaran atau rumus “ eo ipso “ tersebut adalah : concursus idealis terjadi
bilamana dengan suatu perbuatan yang satu kali ( eemalig ) eo ipso /
dengan sendirinya 2 ( dua ) delik atau lebih dilakukan atau dengan
melakukan delik yang satu merupakan conditio sine quanon untuk delik
yang lain atau bilamana delik yang satu terserap / absorpsi / termasuk pada
delik yang lain. Rumus atau ajaran ini ditentang oleh Van Hattum, yang
mengatakan bahwa bila dipakai rumus atau ajaran itu harus selalu
diperhatikan apa yang terjadi “ in concreto “, oleh karena “ in abstracto “
selalu bisa kita pisahkan satu perbuatan menjadi 2 (dua) atau 3 (tiga0 delik
dalam pikiran. Suatu delik in abstracto dapat merupakan conditio sine
quanon terhadap delik lain. Selanjutnya pendirian Van Bemmelen bergeser
dengan mengatakan bahwa : walaupun seseorang melakukan satu
perbuatan pada suatu saat dan tempat, akan tetapi apabila perbuatan yang
satu itu melanggar beberapa kepentingan hukum, maka terdapat
meerdaadse samenloop atau concursus idealis. Dengan perkataan lain Van
Bemmelen mengatakan : “ perbuatan / feit “ baik dalam Pasal 63 KUHP
maupun Pasal 76 KUHP ( ne bis in idem ) adalah suatu perbuatan yang
secara tertentu mengganggu kepentingan hukum yang sama.
Komentar VOS terhadap pendapat ini antara lain adalah bahwa :
perlu disisipkan kata “ dan membahayakan “ dibelakang kata “
mengganggu “ dan dianggapnya terlalu sempit, karena tidak meliputi
perkara tentang perkosaan di tepi jalan umum ( yang menurut MvT
merupakan suatu concursus idealis, sehingga menyimpang dari MvT
tersebut ). Walaupun HR telah meninggalkan faham lama sejak tahun 1932,
yaitu : bahwa yang disebut sebagai “ feit ” adalah “ perbuatan material “,
ditambah dengan pendapat-pendapat dari para sarjana tersebut diatas,
kenyataannya HR belum dapat memberikan penjelasan yang terang. Arrest-
arerst HR tidak memberikan jawaban tentang apa yang dimaksud dengan “
satu feit “ atau “ beberapa feit “. Dapat diambil kesimpulan bahwa HR
83
bekerja atas dasar “ casuistis “, artinya menyelesaikan setiap kejadian
secara kasus demi kasus.
Misalnya seseorang pada suatu hari mencuri sepeda motor, kemudian pada
hari lain melakukan penganiayaan dan hari berikutnya melakukan
pelanggaran lalu lintas, maka disini telah terjadi concursus realis.
Selanjutnya KUHP dalam concursus realis ini mengadakan pembedaan
yang berhubungan dengan penjatuhan pidana, yaitu dalam hal :
1. Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang
sejenis
3. Pelanggaran-pelanggaran
85
6 tahun 8 bulan ( lihat Pasal 65 ayat (2) KUHP. Dalam hubungannya
dengan stelsel pidana terdapat, yaitu : (a). dipergunakan stelsel
absorpsi yang dipertajam ( verscherpte absorptie ), karena dijatuhkan
pidana terberat ditambah dengan 1/3 ( sepertiganya ), dianggap telah
“ menyerap “ ancaman pidana yang lain, (b). dipergunakan stelsel
kumulasi sedang ( gematigde cumulatie ), mengingat redaksi Pasal
66 ayat (2) KUHP yang menyebutkan : maksimum pidana yang
dijatuhkan adalah jumlah maksimum pidana….. dan sebagainya. Jika
dalam praktek akan terlihat perhitungan yang sama saja, yaitu 6
tahun 8 bulan.
Ad 2). Concursus realis mengenai kejahatan-kejahatan yang ancaman
pidananya tidak sejenis, maka menurut Pasal 66 KUHP dijatuhkan
pidana atas semua kejahatan,akan tetapi jumlah pidananya tidak
boleh melebihi yang terberat ditambah dengan 1/3 (sepertiga). Jadi
jika seseorang melakukan tindak pidana yang ancaman maksimalnya
masing-masing adalah kurungan 9 bulan dan penjara 15 bulan, maka
maksimum pidana yang dijatuhkan adalah 15 bulan ditambah dengan
1/3 (sepertiga) nya. Dalam hal ini hakim boleh menentukan menjadi 5
bulan pidana kurungan dan 15 bulan pidana penjara, asalkan tidak
melebihi 20 bulan ataupun seluruhnya pidana penjara 20 bulan ( 1
tahun 8 bulan ), sehingga disini berlaku stelsel pidana kumulatif
sedang ( gematigde cumulatie ).
Dalam hal ancaman pidananya dari suatu delik dapat dapat dipilih
pidana pokok yang berbeda, menururt Jongkers perlu ditiadakan dulu
pilihan pidana oleh hakim. Jika dipilih pidana sejenis, maka
diberlakukan stelsel absorpsi yang dipertajam, tetapi jika yang dipilih
pidana yang tidak sejenis, maka diperlukan stelsel kumulasi sedang.
Dalam hal pidananya adalah pidana denda, maka perhitungannya
dapat dilakukan berdasarkan Pasal 30 KUHP.
Ad 3). Dalam concursus realis, mengenai penjatuhan pidana dibedakan
antara kejahatan dan pelanggaran. Pasal 70 KUHP menentukan
bahwa “ untuk concursus realis yang ancaman pidananya dikurangi “.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa stelsel yang dipakai adalah
kumulasi stelsel. Pembatasannya pada pidana kurungan, yaitu tidak
86
boleh dari 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan, pidana kurungan pengganti
tidak boleh lebih dari 8 (delapan) bulan.
Untuk ketentuan Pasal 67 KUHP yang menyatakan : “ Jika orang
dijatuhi mati atau pidana seumur hidup, disamping itu tidak boleh dijatuhkan
pidana lain lagi, kecuali pencabutan hak, perampasan barang dan
pengumuman putusan hakim “. VOS mengatakan ini sebenarnya
merupakan ketentutan umum, tidak hanya bagi samenloop saja, sebab
ketiganya merupakan pidana tanbahan yang dapat saja dijatuhkan
bersama-sama dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, kecuali
pidana pokok tidak dapat dijatuhkan, namun “ pidana tambahan tetap harus
dijatuhkan disampingnya “, mungkin yang dimaksudkan bukannya “ harus “
tetapi “ dapat “.
Pasal 68 KUHP mengatur tentang penjatuhan pidana tambahan
dalam hal terjadinya cuncursus realis dalam Pasal 65 dan 65 KUHP . Dalam
ketentuan pasal tersebut ( baca KUHP ), dapat disimpulkan bahwa dalam
hal penjatuhan pidana ini, KUHP menggunakan berbagai ukuran stelsel,
yaitu :
1). Pidana berbentuk pencabutan hak yang sama dilebur menjadi 1
(satu) pidana saja dengan ketentuan waktu tertentu ( Stelsel
Absorpsi ).
2). Pidana yang berbentuk pencabutan yang hak yang berbeda,
masing-masing diterapkan bagi tiap kejahatan tanpa
pengurangan ( Stelsel Kumulasi ).
3). Pisana perampasan barang dan kurungan pengganti karena tidak
menyerahkan barang, dijatuhkan sendiri-sendiri tanpa dikurangi (
Stelsel Kumulasi )
4). Pidana kurungan pengganti tidak boleh lebih dari 8 (delapan)
bulan ( Stelsel Kumulasi Sedang / Gematigde Stelsel ).
Berhubung dengan penjatuhan pidana untuk concursus realis dalam
hal pelanggaran, khususnya untuk kejahatan, dengan stb 1931 No. 241
ditambahkan Pasal 70 bis KUHP. Dengan memasukkan beberapa pasal
pada Buku II ( Kejahatan ) sebagai pelanggaran, menurut Jonkers
mengatakan bahwa dengan diundangkannya pasal ini karena beberapa
pasal kejahatan ringan yang dimasukkan tadi, pidananya maksimal 3 (tiga)
87
bukan dan sistem dalam Pasal 65 dan 66 KUHP dirasakan kurang
memuaskan, sebab menggunakan kedudukkan sebagai kejahatan, maka
dalam hal terjadi perbarengan maksimumnya hanya menjadi 4 (empat)
bulan, hal ini dirasakan tidak adil. Sebab dengan menyatakan kejahatan
ringan itu sebagai pelanggaran, maka akan dapat diterapakan kumulasi dan
ancaman pidananya bisa menjadi 8 (delapan) bulan.(Utrecht E, 1965 : 183)
Pasal 71 KUHP, merupakan suatu peringatan kepada aparat
penegak hukum ( hakim dan jaksa ), bila terjadi suatu tindak pidana yang
telah dilakukan dalam gabungan dan ternyata ada yang tersisa belum diadili
( atau diadili dalam waktu yang tidak bersamaan ), ukuran-ukuran tentang
beratnya pidana yang dapat dijatuhkan dalam hal perbarengan ini tetap
berlaku, karena pasal itu menyatakan bahwa “ pidana yang dahulu
diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan “. Sudah barang
tentu bila ada kejadian kejahatan atau pelanggaran itu terjadi sesudah
adanya putusan hakim, bukan menjadi persoalaan dalam perbarengan
perbuatan, karena ratio ketentuan Pasal 71 KUHP adalah agar terhadap
seseorang tidak dijatuhkan pidana yang melebihi ukuran yang semestinya.
(Utrecht E, 1965 : 184).
88
Sebagai suatu contoh adanya perbuatan berlanjut / voorgeezette
handeling adalah : “ seorang pelayan toko gula yang setiap hari mencuri 1
( satu ) kg gula pasir milik majikannya “. Sedangkan sarjana lain seperti Mr.
M.H. Tirtaamidjaya memberi contoh perbuatan berlanjut tersebut sebagai
berikut :
1. A hendak berzina dengan seorang perempuan B yang telah
bersuami, A melaksanakan maksudnya itu dengan beberapa kali
berzina dengan perempuan itu dalam selang waktu yang tidak
terlalu lama.
2. A yang menguasai kas N.V. tempat ia bekerja, memutuskan untuk
mengambil untuk dirinya sendiri sebagian dari isi kas itu. Untuk
melaksanakan maksudnya, ia mengambil beberapa kali dalam
interval waktu yang tidak lama suatu jumlah tertentu (Laden Marpaung,
2009 : 36).
89
mengingat Pasal 64 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa pemalsuan
atau perusakkan mata uang dan menggunakan barang yang dipalsu atau
dirusak tadi adalah sebagai delik yang sejenis, sehingga merupakan
pengecualian dari yang umum dinyatakan oleh MvT. Dari sini dapt diketahui
bahwa menetapkan mana yang sejenis ( sehingga dianggap sebagai satu
delik ), dengan demikian konsekuensinya dalam hal penjatuhan pidana
berbeda daripada delik yang berbeda-beda, bukanlah hal yang mudah.
Terhadap syarat ketiga, yaitu waktunya tidak terlalu lama, Jonkers
mengatakan bahwa perbuatan berlanjut / voorgeezette handeling itu dapat
dilakukan beberapa tahun berturut-turut, asal dilakukan dengan waktu
tertentu / periodik dan antar waktunya tidak terlalu lama. Noyon
berpendapat bahwa perbuatan berlanjut / voorgeezette handeling itu tidak
dapt diterapkan untuk delik omisionis, karena dengan tegas disebutkan “
handeling “ ( perbuatan ), sedangkan VOS mengatakan bahwa pendapat
Jonkers itu tidak logis. Lebih lanjut VOS mengatakan bahwa perbuatan
berlanjut / voorgeezette handeling itu juga dapat diterapkan kepada delik
culpa, karena syarat tentang keputusan kehendak itu dihubungkan dengan
perbuatannya, bukan terhadap akibatnya, sebab akibat dari perbuatannya (
yang mungkin karena culpa ) itu memang tidak dikehendaki. Pompe
mengatakan seyogyanya Pasal 62 dan 64 KUHP itu dihapuskan saja,
karena lebih menimbulkan kesulitan dari pada keuntungan. Kesulitan yang
sangat besar dijumpai dalam hal mencari dasar-dasarnya dalam rechts
dogmatiek, dengan akibat perbedaan-perbedaan pendapat yang sulit
dipertemukan, padahal dalam praktek hakim diberi kebebasan untuk
menjatuhkan pidana. Jadi senadainya hakim selalu menggunakan
ketentuan-ketantuan mengenai concursus realis pun tidak ada
keberatannya. Bukankah jarang sekali hakim menjatuhkan pidana
maksimum bagi pelaku, adapun yang menjadi masalah adalah pakah
perbuatan itu sejenis atau berbeda-beda, akibatnya adalah dalm
menentukan besarnya pidana. Dalam hal perbuatan itu merupakan
perbuatan sejenis, maka hanya dikenakan satu aturan pidana, sedangkan
bila perbuatan itu dari jenis yang berbeda-beda, dikenakan ancaman pidana
pokok yang paling berat (Utrecht E, 1965 : 185-14)
90
Daftar Bacaan
Bemmelen, Mr. J.M. van, 1987 : Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Materiil
Bagian Umum, Binacipta, Bandung.
C. Penutup
1. Rangkuman Materi
91
1) Concursus idealis, sanksi pidana yang dikenakan terhadap
pelakunya adalah hukuman pidana pokok yang paling berat.
2) Concursus realis, jika hukuman pokoknya sejenis, maka satu
hukuman saja yang dijatuhkan. Sedangkan apabila hukuman
pokoknya tidak sejenis, maka setiap hukuman dari masing-
masing perbuatan pidana itu dijatuhkan.
3) Perbuatan berlanjut, dikenai ancaman pidana yang terberat atau
yang mengandung ancaman hukuman yang lebih berat
92
2. Latihan :
PERTEMUAN KE VIII :TUTORIAL IV
PERBARENGAN (SAMENLOOP)
1) Pengertian Perbarengan
a. Kasus I
Hamid di kampungnya lebih dikenal dengan sebutan ”Drunken
Master”. Pada suatu malam di pesta sunatan anak teman karibnya, ia
minum minuman beralkohol secara berlebihan sampai mabuk. Lewat waktu
tengah malam Hamid dengan sepeda motornya, pulang menuju rumahnya
yang jaraknya kurang lebih 5 Km. Di perjalanan, Polantas sedang
melakukan razia surat-surat dan kelengkapan kendaraan bermotor. Hamid
distop untuk diperiksa kelengkapan surat-surat sepeda motornya. Pada saat
Hamid dihentikan, ia marah-marah dan memaki polisi lalu lintas yang
sedang menjalankan tugasnya, bahkan perlakuan Hamid tidak hanya
memaki tetapi juga memukul polisi, dan kemudian melarikan diri dengan
memacu sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Karena kurang kontrol,
Hamid kemudian menabrak nenek Saonah, seorang pejalan kaki yang
sedang menyeberang.
b. Pertanyaan :
c. Bahan Bacaan
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.
Bandung : Sinar Baru, hal. 642 -683
3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 - 40
93
4. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373,
364, 382.
5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana.
Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 175 - 189
6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 40 – 58
7. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik
Delik Khusus. h, 76- 77.
8. Sianturi, SR 198 Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
9. Tresna, R 1959. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal.
157 – 164
10. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 64 – 84
94
b. Pertanyaan :
a. Dengan mencermati bangunan serta bentuk-bentuk Samenloop,
perbuatan Aminah termasuk dalam bentuk yang mana ?
b. Perbuatan Aminah, apakah dapat dikategorikan sebagai perbuatan
berlanjut ? Berikan alasan dan tunjukkan dasar hukumnya !
c. Bahan Bacaan
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Lamintang, P.A.F 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.
Bandung : Sinar Baru, hal. 642 -683
3. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40
4. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373,
364, 382.
5. Schaffmeister D, N. Keijzer, PH Sitorius 2007. Hukum Pidana.
Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 175 – 189
6. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 40 – 58
7. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik
Delik Khusus. h, 76- 77.
8. Sianturi, SR 198 Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
9. Tresna, R 1959. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal.
157 – 164
10. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 64 - 84
95
POKOK BAHASAN V
PENGULANGAN (RECIDIVE) DAN DELIK ADUAN (KLACHTDELICT)
PERTEMUAN KE X : PERKULIAHAAN V
BAB V
PENGULANGAN (RECIDIVE) DAN DELIK ADUAN (KLACHTDELICT)
A. Pendahuluan
Recidive terjadi jika seseorang yang telah melakukan tindak pidana
dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim dimana telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), kemudian melakukan
tindak pidana lagi. Sedangkan Delik aduan (klacht delict) merupakan delik
yang hanya dapat dituntut, apabila diadukan oleh orang yang merasa
dirugikan. Delik aduan sifatnya pribadi/privat, dengan syarat adanya suatu
aduan dari pihak yang dirugikan. Delik aduan/klach delict juga diartikan
sebagai pembatasan inisiatif jaksa untuk melakukan penuntutan. Delik ini
membahas tentang kepentingan korban. Pengaturan delik aduan dijumpai
secara tersebar di dalam Buku ke II KUHP.
Setelah mempelajari materi dalam pengulangan (recidive) dan delik
aduan (klachtdelict), Capaian Pembelajaran yang diperoleh adalah
mahasiswa menguasai pengetahuan mengenai Recidive, meliputi :
pengertian, Pemberatan Pidana Dalam Residive, Residive Dalam KUHP,
Sistem Residive, Sanksi Pidana (Pemberatan Dalam recidive), Syarat
Residive, dan mengenai Delik aduan (klachtdelict) meliputi : pengertian, Hak
Mengajukan Pengaduan, Jenis Delik Aduan, Menarik Pengaduan.
Pengulangan (recidive) dan delik aduan (klachtdelict), perlu dipelajari lebih
mendalam untuk bisa memahami materi dalam tutorial pada pertemuan
berikutnya, sehingga kasus-kasus dalam tutorial dapat dianalisis dengan
baik.
96
5.1 PERKULIAHAN PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE)
A. Pengertian
Jonkers, Hazewinkel-Suringa, Vos, Van Hattum menganggap sesuatu
yang tidak tepat jika membahas masalah gabungan/perbarengan/
samenloop dengan pengulangan/residive dalam satu bab, karena
pengulangan/residive berbeda prinsip dari gabungan/perbarengan/
samenloop. Oleh karena pengulangan/residive itu menjadi suatu alasan
yang memperberat pemidanaan terhadap para pelaku
kejahatan/pelanggaran. Pompe mengatakan bahwa, baik dalam gabungan
maupun pengulangan adalah satu orang yang telah melakukan berturut-
turut beberapa peristiwa pidana. Tetapi dalam gabungan, dalam waktu
antara dilakukannya dua peristiwa pidana, tetapi pembuat itu tidak dijatuhi
pidana karena peristiwa pidana itu, sedangkan dalam pengulangan pembuat
tersebut telah dijatuhi pidana karena peristiwa pidana yang telah dilakukan
pertama diantara peristiwa pidana yang kedua itu (Utrecht E, 1965 : 195 - 196).
97
Masruchin Ruba’i menegaskan bahwa, residive adalah salah satu
dasar pemberatan pidana (Masruchin Ruba’i, 2014 : 228). Hal yang perlu diingat dan
merupakan salah satu dasar pembeda antara pengulangan/residive dengan
gabungan/perbarengan/samenloop adalah bahwa dalam
pengulangan/residive perkara yang sebelumnya sudah diadili, sudah
diputus oleh hakim sehingga memiliki kekuatan hukum tetap/telah dijatuhi
pidana kemudian melakukan tindak pidana lagi. Mengenai hal ini Teguh
Prasetyo menyatakan bahwa, “Pengulangan/residive terdapat dalam hal
seseorang telah melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing
merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri, diantara perbuatan mana satu
atau lebih telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan” (Teguh Prasetyo, 2011 : 191).
Residive diatur dalam Buku II KUHP, BAB XXXI dari Pasal 486, 487
dan 488, ini berarti bahwa ketentuan yang menyangkut residive itu tidak
berlaku umum, akan tetapi hanya untuk delik-delik yang disebutkan dalam
ketiga ( ke – 3 ) pasal tersebut. Dimana ketiga pasal tersebut masing-
masing menyebutkan kelompok kejahatan yang memberi pemberatan
tentang pemidanaan jika terjadi pengulangan tindak pidana.
Dalam KUHP, pengulangan tindak pidana ditentukan secara khusus,
yakni termasuk dalam jenis-jenis kelompok tindak pidana yang sama.
Misalnya :
486 : berkaitan dengan kej. Harta benda (pencurian, penggelapan, dll).
99
487 : berkaitan dengan nyawa (penyerangan presiden atau wakil presiden,
pembunuhan, pengguguran kandungan dll)
488 : berkaitan dengan kehormatan/nama baik dan harga diri orang
(penghinaan presiden atau wakil presiden, penghinaan, dll)
Apabila 1 (satu) orang telah melakukan beberapa tindak pidana,
timbullah kemungkinan-kemungkinan yaitu :
a). Gabungan, yaitu apabila dalam waktu antara dilakukannya 2 (dua)
tindak pidana tidak telah ditetapkan suatu hukuman karena tindak
pidana yang pertama diantara tindak pidana itu. Dalam hal
gabungan ini, maka praktis dialami (oleh yang terhukum) satu
peringanan hukuman, karena tidak selalu dapat ditetapkan jumlah
besar maksimum dari hukuman yang bersangkutan.
b). Pengulangan, yaitu apabila ada satu hukuman seperti yang
dimaksud pada poin a yang tidak lagi dapat ditiadakan. Disini
terdapatlah satu alasan untuk memperberat hukuman.
c). Telah ditetapkan hukuman yang dimaksud pada poin a, tetapi
hukuman itu bukanlah satu hukuman yang tidak lagi dapat
ditiadakan. Dalam hal demikian, tiada gabungan maupun
pengulangan dan tiap-tiap tindak pidana dapat dihukum dengan
maksimum yang telah ditentukan untuk masing-masingnya,
sehingga kemungkinan dapat dilakukan / diadakan kumulasi
biasa (Utrecht. E, 1965 : 196-197)
D. Sistem Residive
Pada umumnya tentang sistem residive yang dikenal adalah :
1. Residive Umum ( Algemene Recidive / Generale Recidive )
101
terhadap tindak pidana itu, orang tersebut telah dijatuhi pidana oleh
hakim, setelah orang itu menjalani pidana dan kemudian dibebaskan,
kembali orang tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah
ditentukan oleh undang-undang melakukan tindak pidana dan tindak
pidana yang dilakukan itu merupakan golongan tertentu yang
ditetapkan oleh undang-undang “ (Utrecht. E, 1965 : 200 – 201 dan I Made Widnyana,
1992 : 86).
102
undang dianggap sama macamnya, meskipun kejahatan itu
berlainan macamnya, tetapi dianggap sama, seperti halnya pasal-
pasal yang tersebut dalam Pasal 486 )
4. Jarak waktu kejahatan itu dilakukan tidak lebih dari 5 (lima) tahun,
terhitung sejak yang bersalah menjalani hukuman yang telah
dijatuhkan ( sebagian atau seluruhnya )
Ketentuan Pasal 486 KUHP itu apabila kita amati, ternyata mengatur
dalam hal apa pidana maksimum dari beberapa kejahatan dapat ditambah
dengan 1/3 ( sepertiga ) karena pengulangan. Apabila kita lihat pasal-pasal
yang ditunjuk dalam Pasal 486 KUHP, kejahatan-kejahatan yang
digolongkan terdiri dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan seseorang
dengan maksud untuk mendapat keuntungan yang tidak halal ataupun yang
dilakukan seseorang dengan tipu muslihat. Hal-hal itulah yang dipakai
sebagai dasar untuk memperberat pidananya dengan 1/3 bagi pengulangan
( residive ), dengan syarat :
(1). Terhadap kejahatan yang dilakukan harus sudah dipidana
dengan keputusan hakim yang tidak dapat dirubah lagi dan
hanya dengan pidana penjara dan
(2). Harus dalan jangka waktu 5 ( lima ) tahun terhitung dengan saat
selesainya menjadi pidana penjara dengan saat ia melakukan
tindak pidana untuk kedua kalinya (I Made Widnyana, 1992 : 88)
103
348, 351, 353 – 355, 438 – 443, 459 dan 460, begitupun pidana
penjara selama waktu tertentu yang dijatuhkan menurut Pasal 104,
105, 130 ayat kedua dan ketiga, pasal 140 ayat kedua dan ketiga,
399, 340, 444, dapat ditambah sepertiga. Jika yang bersalah ketika
melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk
seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan
kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang diterangkan
dalam pasal-pasal itu maupun karena salah satu kejahatan yang
dimaksudkan dalam Pasal 106 ayat kedua dan ketiga, 107 ayat
kedua dan ketiga, 108 ayat kedua, 109, sejauh kejahatan yang
dilakukan itu atau perbuatan yang menyertainya menyebabkan luka-
luka atau mati, Pasal 131 ayat kedua dan ketiga, 137 dan 138 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Tentara atau sejak pidana tersebut
baginya sama sekali telah dihapuskan, atau jika pada waktu
melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut
belum daluwarsa “. (Moeljatno, 2014 : 175)
Apabila dilihat dan dicermati isi rumusan Pasal 488 KUHP ini, suatu
hal yang wajar penjatuhan pidananya diperberat dan ditambah dengan
sepertiganya dari tindak pidana yang dilakukan. Oleh karena, tindak pidana
yang dilakukan dapat menimbulkan perasaan tidak enak atau tidak
menyenangkan bagi yang terkena kejahatannya, seperti “ penghinaan
terhadap Presiden dan Wakil Presiden ( Pasal 134 KUHP ) , penghinaan
terhadap raja dari negara sahabat ( Pasal 142 KUHP ), penghinaan
terhadap suatu kekuasaan pemerintahan ( Pasal 207 KUHP ), penyerangan
104
terhadap kehormatan seseorang ( Pasal 310 KUHP ) dan menerbitkan
suatu tulisan atau gambar yang sifatnya dapat dipidana “.
Syarat-syarat agar pidana maksimum dapat ditambah 1/3 karena
residive / pengulangan dalam Pasaal 488 KUHP adalah : “ Syarat-syarat
pertama ini berbeda dengan syarat pertama yang ditentukan dalam Pasal
486 dan Pasal 487 KUHP. Dalam Pasal 488 KKUHP ditentukan penjatuhan
pidana penjara yang belum lewat 5 tahun, sejak menjalani pidana untuk
seluruhnya atau sebagian sehubungan dengan perbuatan kejahatan yang
dilakukan pertama atau pidana yang diterimanya telah dihapuskan dan
ketika menjalani pidana belum daluarsa “
F. Syarat Residive
Ada 2 (dua) syarat esensial yang harus dipenuhi dalam pemberatan
pidana pada Pasal 486, 487, dan 488 KUHP :
1) Terpidana telah menjalani seluruh atau sebagian pidana yang telah
dijatuhkan, atau ia dibebaskan dari menjalani pidana, atau ketika ia
melakukan kejahatan kedua kalinya itu, hak negara untuk
menjalankan pidananya belum daluwarsa.
2) Melakukan kejahatan pengulangan masih dalam waktu belum lewat
dari 5 (lima) tahun sejak terpidana menjalani pidana. (Masruchin Ruba’i
2014 : 229-230).
105
Selain pengulangan pada Pasal 486, 487, dan 488 KUHP, bentuk
pengulangan yang diluar pasal tersebut juga tersebar dalam beberapa
pasal diantaranya : Pasal 216 ayat (3), 492 ayat (2), 495 Ayat (2), 501
Ayat (2), Pasal 512 Ayat (3), dan Pasal 512 Ayat (2). Dalam hal ini,
syarat pengulangannya tidak sama, jangka waktu tenggang
daluwarsanya lebih pendek dari 5 (lima) tahun, dengan pemberata yang
lain dari ditambah sepertiga. Misalnya, dengan merubah jenis pidananya
dari denda menjadi kurungan atau meruba ancaman pidana dengan
pidana yang lebih berat yang sama jenisnya (Masruchin Ruba’i 2014 : 229-232).
Daftar Bacaan
Bemmelen, Mr. J.M. van, 1987 : Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Materiil
Bagian Umum, Binacipta, Bandung.
106
5.2 DELIK ADUAN
A. Pengertian Delik Aduan
Bila dilihat pengertian dari delik aduan sebauiknya dilihat terlebih dulu
kata atau peristilahan “delik” itu sendiri. Delik adalah terjemahan dari kata
Strafbaar feit. Perkataan feit berasal dari bahasa Belanda yang berarti
sebagian dari suatu kenyataan atau een gedeelte van de werkelijiheid,
sedangkan strafbaar berarti dapat dihukum. Dengan demikian secara
harfiah perkataan strafbaar feit dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari
suatu kenyataan yang dapat dihukum(P.A.F. Lamintang,2011: 181).
Terjemahan lain untuk kata strafbaar feit adalah peristiwa pidana, perbuatan
pidana, tindak pidana, perbuatan yang dapat dihukum dan pelanggaran
pidana. Tidak hanya perbuatan yang dapat terlihat secara langsung, tetapi
juga perbuatan yang tidak secara langsung (seperti : menyuruh,
menggerakkan dan membantu) adalah juga dapat dimasukkan sebagai
suatu kelakuan. Secara umum, pengertian delik, , dapat didefinisikan
sebagai perbuatan seseorang yang melanggar hukum dan terhadap
perbuatan itu sebagai konsekuensi dapat dikenakan sanksi.
Delik aduan (klacht delict) adalah delik yang hanya dapat dituntut,
jika diadukan oleh orang yang merasa dirugikan. Delik aduan sifatnya
pribadi/privat, yang memiliki syarat yaitu harus ada aduan dari pihak yang
dirugikan. Selain itu, yang dimaksud dengan delik aduan/klach delict
merupakan pembatasan inisiatif jaksa untuk melakukan penuntutan. Ada
atau tidaknya tuntutan terhadap delik ini tergantung persetujuan dari yang
dirugikan/korban/orang yang ditentukan oleh undang-undang. Delik ini
membicarakan mengenai kepentingan korban. Pada delik aduan, jaksa
hanya akan melakukan penuntutan apabila telah ada pengaduan dari orang
yang menderita, atau dirugikan oleh kejahatan tersebut. Pengaturan delik
aduan tidak terdapat dalam Buku ke I KUHP, tetapi dijumpai secara tersebar
di dalam Buku ke II. Tiap-tiap delik yang oleh pembuat undang-undang
dijadikan delik aduan, menyatakan hal itu secara tersendiri, dan dalam
ketentuan yang dimaksud sekaligus juga ditunjukan siapa-siapa yang
berhak mengajukan pengaduan tersebut.
107
Kalau diperhatikan banyak pendapat yang dikemukakan oleh para
pakar hukum terhadap delik aduan diantaranya, sebagai berikut:
a. Menurut Samidjo, delik aduan (Klacht Delict) adalah suatu delik yang
diadili apabila yang berkepentingan atau yang dirugikan
mengadukannya. Bila tidak ada pengaduan, maka Jaksa tidak akan
melakukan penuntutan.
b. Menurut R. Soesilo dari banyak peristiwa pidana itu hampir semuanya
kejahatan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari
orang yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana semacam ini
disebut delik aduan.
c. Adami Chazawi, Dalam hal kejahatan aduan (delik aduan), prinsip
umum dalam penuntutan perkara pidana dikecualikan dalam delik
aduan ini, karena Negara tidak berwenag menuntut pidana apabila
korban kejahatan (yang berhak mengadu) tidak mengadukan (Adami
Chazawi,2005: 89).
d. Menurut P. A. F Lamintang, tindak pidana hanya dapat dituntut apabila
ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Tindak pidana seperti ini
disebut Klacht Delicten. (http://repository.usu.ac.id)
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa, suatu delik aduan, di
samping delik tersebut memiliki unsur yang lazim dimiliki oleh tiap delik,
maka delik ini haruslah juga mensyaratkan adanya pengaduan dari si
korban atau pihak yang dirugikan untuk dapat dituntutnya si pelaku. Delik
aduan (Klacht Delicten) ini merupakan suatu delik, pada umumnya
kejahatan biasa, di mana untuk penuntutan perkara diharuskan adanya
pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan, dalam hal ini tentu
dengan pertimbangan sepanjang penuntut umum berpendapat bahwa
kepentingan umum tidak terganggu dengan dilakukannya penuntutan atas
perkara tersebut.
108
penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum ke sidang pengadilan. Namun
sebelum Jaksa PU dapat mengajukan tuntutan, haruslah terlebih dahulu
dilakukan penyidikan mengenai tindak pidana itu beserta segala sesuatu
yang bersangkut paut baik dengan si pembuat maupun perbuatannya,
penyidikan mana ditujukan selain untuk memberkas perkara juga ditujukan
untuk menentukkan apakah perkara itu cukup bukti dan alas an untuk
dapat diajukkan penuntutan pidana oleh Jaksa PU ataukah tidak. Bahkan
kadang- kadang sebelum tindakan penyidikan dilakukan, diperlukan
tindakan penyelidikan terlebih dahulu, untuk menentukan apakah suatu
peristiwa itu dapat dilakukan penyidikan atau tidak.
Nyatalah bahwa inisiatif untuk beracara dalam perkara pidana
bukanlah pada pihak orang yang terlanggar kepentingan hukumnya atau
korban tindak pidana,melainkan pada pihak Negara in casu dimulai oleh
pejabat penyelidik atau pejabat penyidik yakni Kepolisian. Namun pejabat
penyelidik atau penyidik tidak menentukan untuk melakukan penuntutan.
Penuntutan hanya dilakukan oleh pejabat Penuntut Umum dan Institusi
Kejaksaan. Penuntutan (vervolging) ialah berupa tidnakan melimpahklan
perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan
supaya perkara itu diperiksa dan diputuskan oleh hakim disidang
pengadilan( Pasal 1 angka 7 KUHAP). Jadi ada dua unsur esensial dari
tindakan penuntutan pidana, yaitu:
Perbuatan melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri;
Disertai permintaan agar perkara itu diperiksa dan diputus.
Tindakan penuntutan pidana (vervolging) tidaklah sama dengan
tindakan mengajukan tuntutan pidana (requisitoir) sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 182 KUHAP atau dulu Pasal 290 HIR. Tuntutan
pidana (requisitoir) dimuat dalam sebuah surat yang disebut Surat
Tuntutan (requisitoir), yang dibuat dan dibacakan/ diucapkan oleh Jaksa
PU dalam sidang setelah acara pembuktian selesai, dimana Majelis Hakim
memberikan kesempatan pada Jaksa Penuntut untuk mengajukan
tuntutannya. Surat tuntutan ini berisi tentang pendapat Jaksa Penuntut (
hal terbukti tidaknya dakwaan) mengenai perkara yang diperiksa dan
109
permintaan kepada hakim mengenai putusan apa yang dijatuhkan pada
Terdakwa (pemidanaan, pelepasan dari tuntutan hukum, pembebasab,
atau tindakan). Jika Jaksa Penuntut umum meminta untuk menjatuhkan
pidana maka harus tegas jenis dan berat ringan pidana yang dimintanya.
Sedangkan tindakan penuntutan pidana, adalah pekerjaan penuntutan
sebagaimana yang diatur dalam Bab XV (137 s/d 144) KUHAP atau dulu
Bagian Pertama Titel X HIR (Pasal 246 s/d 251).
Jadi jelaslah bahwa untuk lahirnya perkara pidana atau beracara
dalam perkara pidana adalah atas inisiatif Negara yang in casu diwakili
pejabat penyidik yakni Kepolisian, dan dilanjutkan penuntutan oleh Jaksa
Penuntut Umum. Berbeda halnya dengan perkara perdata, dimana untuk
beracara tidak dimulai atas inisiatif Negara, melainkan oleh pihak yang
merasa kepentingan hukumnya dirugikan atau terlanggar oleh orang atau
pihak lain. Sedangkan Negara sifatnya pasif, sekedar menunggu dan
berbuat (pengadilan memeriksa) sepanjang diminta oleh salah satu pihak
(penggugat).
Untuk beracara dalam hal perkara pidana tidak diperlukan
permintaan oleh pihak yang dirugikan/ dilanggar kepentingan hukumnya
semacam itu. Perinsip Umum dalam perkara pidana tindak pidana apda
dasarnya adalah kepentingan hukum public atau bercorak public
(walaupun pada kenyataannya juga melanggar kepentingan hukum orang
gperorangan, misalnya orang ditipu), maka inisiatif untuk beracara dalam
hal mempertahankan dan menegakkan kepentingan hukum yang
terlanggar tadi adalah Negara, bukan korban. Sedangkan subjek hukum
korban tindak pidana yang didakwakan serta menentukan kadar kesalahan
si pembuat oleh Majelis Hakim.
Berdasarkan pada perinsip umum itu, maka tidak penting tentang apa
yang diminta oleh korban dalam perkara pidana. Diminta ataukah tidak
Negara akan melakukan penuntutan atas perkara pidana. Namun perinsip
umum itu dikecualikan dalam hal kejahatan aduan. Dalam hal kejahatan
aduan Negara tidak berwenang menuntut pidana apabila korban kejahatan
(yang ebrhak menagdu) tidak meminta (mengadu) agar perkara pidana
yang diadukan itu diperiksa, diajukan ke sidang pengadilan dan diputus.
Dalam hal kejahatan aduan pengaduan itu menajdi syarat mutlak untuk
110
dapatnya Negara (in casu Jaksa PU) melakukan penuntutan pidana,
kecuali dalam hal penghinaan terhadap pejabat (pegawai negeri) pada
waktu atau karena menjalankan tugas yang sah (316 jo 319). Peranan
korban pad akejahatan aduan adalah menentukkan untuk dapat tidaknya
dilakukan penuntutan pidana (vervolging). Tetapi bukan menentukan untuk
dapatnya dilakukan penyidikan (opsporing). Dalam hal penyidikan tidaklah
penting ada pengaduan ataukah tidak. Penyidikan boleh dilakukan
terhadap sipembuat kejahatan aduan tanpa digantungkan adanya
pengaduan dari yang ebrhak menagdu. Hanya saja pekerjaan ini akan
menajdi sia-sia jika ditolak oleh Jaksa PU lantaran pejabat penuntut ini
tidak dapat mengajukan tuntutan pidana ke sidang pengadilan, yang jika
dilakukan juga, Majelis Hakim akan memutus tentang tuntutan itu yang
isinya ialah “menyatakan dakwaan tidak dapat diterima” nerhubung
Penuntu Umum tidak berwenang menuntut pidana.
Akan tetapi sesungguhnya bagi penyidik yang melakukan juga
penyidikan terhadap tindak pidana aduan tanpa danya pengaduan yang
berhak menagdu, dalam bebrapa hal kadang-kadang sangat bermanfaat,
yaitu:
Apabila kemudian korban atau yang berhak mengadu pada akhirnya
benar-benar memasukkan penagduannya. Dalam praktik hal
semacam ini seringkali terjadi, dimana pada mulanya korban tidak
segera memasukkan pengaduannya, namum kemudian berubah
pikiran, yang pad akhirnya mengajukan pengaduannya.
Setelah dilakukan penyidikan ternyata ada orang lain yang ikut
terlibat (pelaksana, penyuruh, peserta, penganjur, atau pembantu)
dalam melakukan kejahatan yang tidak diadukan itu, yang
penuntutan pidana terhadap keterlibatannya dalam kejahatan itu tidak
diisyaratkan adanya pengaduan, maka mengenai keterlibatannya ini
dapat dilakukan penuntutan pidana, sedangkan bagi orang yang
tunduk pada syarat pengaduan untuk dilakukan penuntutan pidana
distatuskan menjadi saksi belaka.
Setelah dilakukan penyidikan ternyata adal tindak pidana lain yang
bukan kejahatan aduan. Bagi kepentingan hukum public sangat
111
pentung untuk melakukan penuntutan pidana terhadap si pembuat
tindak pidana bukan aduan ini.
Menjadi penting ialah dalam hal untuk menyelamatkan barang bukti.
Dengan segera dilakukan penyidikan, penyidik dapat melakukan
penyitaan barang-barang bukti, yang kadang-kadang barang bukti ini
sangat berguna dalam upaya menghindari kerugian yang lebih besar
yang diderita korban. Misalnya anak mencuri ratusan juta rupiah-
uang milik orang tuanya. Bila segera dilakukan penyidikan uang itu
dapat disita, dan walaupun terhadap anak itu tidak dapat dituntut
pidana karena tanpa pengaduan, tetapi sebagian atau seluruh uang
itu dapat diselamatkan dengan dikembalikan pada orang tuanya.
Apakah yang dimaksud dengann pengaduan (klacht)? Pengaduan
didefinisikan ialah suatu pernyataan tegas (lisan atau tertulis atau
dituliskan) dari seseorang yang berhak (mengadu) yang disampaikan
kepada pejabat penyelidik atau pejabat penyidik (Kepolisian RI) tentang
telah diperbuatnya suatu tindak pidana (in casu kejahatan aduan) oleh
seseroang dengan disertai permintaan agar dilakukan pemerikasaan untuk
selanjutnya dilakukan penuntutan kepengadilan yang berwenang. Jadi
ada dia unsure esensial pengaduan adalah:
a. Pernyatan tentang telah diperbuatnya tindak pidana oleh
seseorang, dan disertai
b. Permintaan untuk diadakan pemeriksaan (penyidikan) untuk
dilakukan penuntutan pidana ke sidang pengadilan.
Walaupun ada persamaan sifat dengan laporan, karena laporan juga
merupakan pernyataan mengenai telah diperbuatnya tindak pidana,
namun perbedaan yang mendasar dengan penagduan. Perbedaan itu
adalah:
a. Pada pelaporan cukup sekedar menyampaikan (berisi)
keterangan atau informasi tenatang adanya peristiwa yang
diduga sebagai tindak pidana. Sedangkan pada pengaduan
disamping berupa informasi tenatng diperbuatnya tindak pidana,
juga harus disertai permintaan yang tegas kepada pejabat
penerima pengaduan agar tindak pidana itu diusut dan kemudian
dilakukan penuntutan pidana ke sidang pengadilan.
112
b. Pelaporan (aangifte) dapat dilakukan oleh siapa saja, baik korban
maupun bukan, baik orang dewasa maupun anak yang belum
cukup umurnya (belum dewasa). Sedangkan pengaduan (klacht)
hanya dapat dilakukan oleh orang yang berhak saja (korban,
kuasanya, walinya dan lain-lain, lihat 72 dan 73).
c. Pelaporan dapat diajukan mengenai semua tindak pidana
(kejahatan maupun pelanggaran). Sedangkan pengaduan hanya
dapat dilakukan oleh kejahatan-kejahatan (aduan) saja.
d. Pelaporan tidak merupakan syarat dapatnya dilakukan
penuntutan pidana terhadap si pembuatnya. Sebaliknya
pengaduan adalah merupakan syarat esensial untuk dapatnya
Negara melakukan penuntutan pidana.
Apakah hak oportunitas tidak berlaku pada kejahatan aduan, mengingat
dalam kejahatan aduan ini peranan permintaan dari korban kejahatan untuk
melakukan penuntutan pidana adalah menentukan?. Dalam persoalan ini,
hak Penuntut Umum untuk mendeponer (deponeren) suatu kasus perkara
pidana berdasarkan kepentingan umum (asas opportunitas, Pasal 32 huruf
c UU no 5 Tahun 1991) tidak dipengaruhi oleh adanya pengaduan (
permintaan agar menuntut) oleh pengadu (Utrecht, 1965:246). Walaupun
ada pengaduan pad kejahatan aduan, toh Jaksa PU (atas nama Jaksa
Agung) tetap dapat melakukan deponering (memtieskan atau
menyampingkan) sesuatu perkara, demi untuk ke[entingan umum. Arti
kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara dan /atau
kepentingan amsyarakat luas (Penjelasan pasa 32 huruf b). asas
opportunitas berdasarkan atas pandangan bahwa akan lebih besar
hanyanya daripada manfaatnya dengan adanya penuntutan pidana, maka
Jaksa PU atas nama Jaksa Agung boleh tidak melakukan penuntutan
(mendeponir) perkara pidana(Adami Chazawi, 2005: 99).
113
perkara itu dituntut adalah lebih besar dari pada pentingnya bagi Negara
apabila perkara itu dilakukan penuntutan pidana. Dalam hal kejahatan
aduan, terdapat dua hukum yang saling bertentangan, yaitu disatu pihak
perlunya hukim ditegakkan, artinya penting bagi Negara untuk dilakukkan
penuntutan, dan dilain pihak bagi korban ada kepentingan agar perkara
kejahatan aduan untuk tidak dilakukan penuntutan, misalnya pembuatnya
ada hubungan keluarga, atau kepentingan hukum yang dilanggar adalah
bersifat pribadi (misalnya zina atau penghinaan). Dalam hal ini
kepentingan korban untuk tidak dilakukan penuntutan pidana lebih
diutamakan daripada kepentingan Negara dalam hal menegakkan hukum.
Sehingga peranan korban menjadi sangat dominan (diutamakan) dalam
hal Negara untuk melakukan penuntutan pidana.
Kejahatan aduan itu tidak terkumpul didalam satu Bab, akan
tetapi tersebar dalam pasal-pasal mengenai beberapa jenis kejahatan di
Buku II. Tetapi ektentuan tentang pengaduan itu sendiri (mengajukan dan
menarik pengaduan), dan bukan mengenai kejahatan-kejahatan aduan,
termuat dalam satu Bab, yaitu pada Bab VII buku I yang berjudul
“Mengajukan dan Menarik Kembali Pengaduan Dalam Hal Kejahatan-
Kejahatan yang Hanya Dituntut Atas Pengaduan”, terdiri dari Pasal 72
sampai dengan Pasal 75.(
Kejahatan- kejahatan aduan yang tersebar dalam pasal-pasal
Buku II, antara lain:
284: kejahatan zina;
287 : bersetubuh dengan perempuan luar akwin yang umurnya
belum 15tahun atau belum waktunya untuk dikawinkan;
293: menggerakkan seseorang yang baik tingkahlakunya untuk
,melakukan perbuatan cabul dengan dia;
319 (jo 310-318) : segala bentuk penghinaan kecuali pasal 316
320: pencemaran terhadap orang yang sudah meninggal
321: menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka
umum tulisan atau gambar yang isinya menghina orang yang
sudah meninggal.
114
322: membuka rahasia yang wajib disimpan karena jabatan atau
pencarian;
323: memberutahukan hal-hal khusus tentang suatu perusahaan
dimana dia bekerja atau dulu bekerja yang harus
dirahasiakannya.
332: melarikan perempuan belum dewasa atas persetujuanya
tanpa dikehendaki orang tuanya.
367( jo 362,363,364, atau 365): segala bentuk pencurian dalam
kalangan keluarga;
369: kejahatan pengancaman;
370: (jo 372-375): semua bentuk penggelapan dalam kalangan
keluarga;
394(jo 378-393 bis): semua bentuk penipuan (bedrog) dalam
kalangan keluarga, kecuali 393 bis ayat (2).
115
Menurut Modderman, ada alasan khusus dijadikannya kejahatan-
kejahatan tertentu yang menjadi kejahatan aduan relative bilamana
dilakukan dalam kalangan keluarga, yaitu:
a. Alasan susila, yaitu untuk mencegah pemerintah menghadapkan
orang-orang satu terhadap yang lain yang amsih ada hubungan
yang sangat erat dan dalam sidang penagdilan;
b. Alasan materiil (stoffelijk), yaitu pada kenyataannya didalam
suatu keluarga antara pasangan suami dan istri ada semacam
condominium (Utrecht,ibid:249).
Siapakah yang berhak mengajukan pengaduan dalam hal
kejahatan aduan?. Pada dasarnya orang yang berhalk mengajukan
pengaduan adalah orang yang etrkena kejahatan (korban). Namun (72
ayat 1) apabila korban kejahatan itu:
a. Masih anak-anak yang kriterianya ialah umurnya belum 16 (enam
belas) tahun dan belum dewasa, (perkawinan menyebabkan
kedewasaan walaupun umurnya belum 16 tahun); atau
b. Korban berada dibawah pengampuan selain karena sifat boros,
Maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam
perkara perdata. Wakilnya yang sah dalam perkara perdata dalam hal
kebelum dewasaan adalah walinya (voogd) yaitu orang tua kandung
(ayahnya), jika ayahnya tiada: ibunya, jika ayah dan ibu tiada ialah siapa
yang menurut hukum yang berlaku bagi anak itu (BW atau adat) menurut
cara tertentu menjadi wali. Dalam hukum adat bias pamannya, kakak dan
lain- lain orang yang menurut hukum menjadi wali dari anak itu.
Terhadap orang - orang yang diletakkan dibawah pengampuan
(curatele, Pasal 433 BW), ialah terhadap orang dewasa yang karena
dalam keadaan atau sifat-sifat pribadi tertentu, ialah; dungu, sakit ingatan,
mata gelap/pemarah berlebih-lebihan tanpa alas an rasional, pemboros.
Keadaan kecanduan narkotika dapat pula dipakai sebagai alas an
peletakan seseorang dibawah pengampuan (anologi). Orang dalam
keadaan atau memiliki sifat pribadi seperti itu dianggap tidak mampu
secara pribadi melakukan perbuatan hukum, oleh karena itu harus ditunjuk
seorang pengampu (curator) untuk mengurus segala kepentingan hukum
orang itu (curandus), termasuk didalamnya melakukan perbuatan
116
mengajukan aduan dalam hal kejahatan aduan. Tetapi curator tidak berhak
mewakili curandus dalam hal diletakkannya dibawah pengampuan itu oleh
sebab sifat boros untuk mengajukan pengaduan. Curandus yang karena
alas an boros tetap mampu untuk mengajukan pengaduan dalam perkara
kejahatan aduan. Peletakkan seseorang di bawah pengampuan beserta
menunjuk curatornya haruslah melalui penetapan hakim perdata
Pengadilan Negeri di ana curansud berdiam (Pasal 436 BW).
d. Istrinya, atau
e. Salah satu dari keluarga sedarah dalam garis lurus, atau jika itu
tidak ada, maka pengaduan dilakukan oleh
117
Nyatalah dari norma Pasal 73, orang yang terlanggar
kepentingan hukumnya oleh kejahatan aduan, meskipun kemudian
meninggal, maka hak menghajukan pengaduan itu tetap berlangsung
selama tenggang waktu hak mengadu masih ada (masih berlangsung)
sesuai dengan Pasal 74. Hak pengaduan itu beralih pada para ahli
warisnya sebagaimana disebutkan secara limitative pada Pasal 73. Hak
pengaduan oleh ahli waris dari korban kejahatan aduan yang dimaksud
oleh Pasal 73 ini tidak berlaku dalam hal kejahatan aduan perzinaan (284
ayat 3).
118
orang yang sudah meninggal, bukan yang dialihkan sebagaimana Pasal
73.
119
Bagi pengaduan oleh korban kejahatan yang amsih dalam
yenggang waktu 6(enam) atau 9(Sembilan) bulan kemudian menjadi
berhak untuk mengajukan pengaduan, maka pengaduan tersebut boleh
dilakukan dalam sisa tenggang waktu yang amsih ada (74 ayat 2).
D. Menarik Pengaduan
120
Mengenai kejahatan aduan perzinaan, pengaduan dapat ditarik
kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belumlah dimulai
(284 ayat 4), jadi tidak tunduk pada tenggang waktu tiga bulan menurut
Pasal 75. Dalam praktik selama ini tentang perkara perzinaan, pad hari
sidang pertama, sebelum Hakim Ketua Sidang meminta kepada Jaksa PU
untuk membacakan surat dakwaannya, seringkali Ketua Majelis
menanyakan terlebih dahulu kepada saksi pengadu apakah dia tetap pada
permintaannya dalam penagduan. Apabila pengadu tetap pada
permintaannya dalam pengaduan, maka sidang diteruskan dengan
pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa PU.
121
khusus (untuk kejahatan aduan). Dengan adanya penarikan pengaduan,
maka hak penuntutan menajdi hapus. Dengan hapusnya hak penuntutan
pidana, maka penuntutan yang sedang berjalan menjadi gugur. Keadaan
ini tidak berbeda dengan sebab meninggalnya terdakwa yang
mengahpuskan hak menuntut pidana.( Adami Chazawi,2005: 119).
DAFTAR BACAAN
http://repository.usu.ac.id
5.3 Penutup
1. Rangkuman Materi
122
pribadi/privat, yang memiliki syarat yaitu harus ada aduan dari pihak
yang dirugikan.
5. Delik aduan juga digolongkan dalam dua jenis delik aduan absolut
(absolute klacht delict) dan delik aduan relatif (relatieve klacht delict).
2. Latihan :
PERTEMUAN KE XI : TUTORIAL V
PENGULANGAN (RECIDIVE) SERTA DELIK ADUAN (KLACHTDELICT)
1) PENGULANGAN (RECIDIVE)
a. Kasus
Lima tahun setelah Andi selesai menjalani masa pidana di LP Kelas II
Kerobokan dalam kasus perampasan sepeda motor, kembali diadili di
Pengadilan Negeri Denpasar dalam kasus pencurian, penipuan dan
penggelapan barang-barang milik perusahaan tempatnya ia bekerja di
bilangan Kuta. Andi selesai menjalani masa pidana pada akhir tahun 2000,
dan setelah itu ia bekerja di CV Jaya Garment yang bergerak di bidang
manufacturing dan eksport garmen. Di perusahaan tersebut, ia juga
menanamkan saham sebesar 20 %. Pada akhir tahun 2005, Andi dilaporkan
ke Polda Bali dalam kasus pencurian, penipuan dan penggelapan barang-
barang milik perusahaan. Atas laporan tersebut, penyidikan dilakukan dan
sampai berlanjut ke proses pemeriksaan di persidangan. Hakim
memutuskan bahwa andi terbukti bersalah dalam kasus tindak pidana yang
didakwakan kepadanya.
b. Pertanyaan :
1. Karena Andi memiliki saham di perusahaan tempat ia melakukan
tindak pidana, apakah unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan
dapat terpenuhi ?
123
2. Dalam kasus di atas, Andi dapat dijatuhi pidana lebih berat, kenapa ?
c. Bahan bacaan
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40
3. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373,
364, 382.
4. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 59 - 62
5. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik
Delik Khusus. h, 76- 77.
6. Sianturi, SR 198 Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
7. Tresna, R 1959. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal.
157 – 164
8. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 84 – 93.
b. Pertanyaan :
124
Tanpa adanya pengaduan, apakah dalam kasus di atas, Abdul Kadir
dapat dituntut ?
c. Bahan Bacaan
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40
3. Satochid K., Kuliah Hukum Pidana Bagian Kesatu. h. 362, 373,
364, 382.
4. Soemitro, Widayuti PS, Wonosutanto 1985. Hukum Pidana II.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret, hal. 59 - 62
5. Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik
Delik Khusus. h, 76- 77.
6. Sianturi, SR 198 Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta : AHAEM PETEHAEM, hal. 310 – 311
7. Tresna, R 1959. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : Tiara Ltd, hal.
157 – 164
8. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal. 94 - 101
125
POKOK BAHASAN VI
GUGURNYA HAK MENUNTUT PIDANA DAN MENJALANKAN PIDANA
SERTA GRASI, AMNESTI, ABOLISI DAN REHABILITASI
BAB VI
Gugurnya Hak Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana Serta Grasi,
Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi
A. Pendahuluan
Dalam melakukan penuntutan pidana terhadap pelaku tindak pidana di
dalam KUHP diatur pula tentang hapusnya kewenangan menuntut pidana
dan menjalankan pidana, hal ini diatur dalam KUHP Buku kesatu, Bab VIII
mengenai aturan umum. Kewenangan menuntut pidana sendiri merupakan
hak negara yang dilakukan oleh aparat penegak hukum khususnya dalam
hal ini adalah kejaksaan, Untuk itu maka dalam perkara pidana diberikan
jangka waktu hal ini berkaitan dengan daluwarsa yang diatur dalam Pasal
76 sampai dengan pasal 85 KUHP. Hal ini berkaitan dengan daluwarsa
terhadap penuntutan pidana dan daluwarsa terhadap penjalanan pidana.
Sedangkan keadaan-keadaan yang membuat hakim tidak dapat mengadili
seseorang pelaku sehingga hakim tidak dapat menjatuhkan sesuatu
hukuman disebut dengan “dasar-dasar yang meniadakan hukuman”.
Amnesti dan Abolisi merupakan salah satu sebab gugurnya hak menuntut
Pidana. Dan pemberian Grasi salah satu sebab hilangnya hak
melaksanakan pidana.
Setelah mempelajari materi dalam Gugurnya Hak Menuntut Pidana
dan Menjalankan Pidana Serta Grasi, Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi,
Capaian Pembelajaran yang diperoleh adalah Mahasiswa menguasai
pengetahuan mengenai Gugurnya hak menuntut pidana dan menjalankan
pidana meliputi : 1) Alasan Gugurnya Hak Menuntut, Alasan Gugurnya Hak
Menjalankan Pidana. 2) Grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, meliputi :
grasi, Abolisi dan Amnesti. Gugurnya Hak Menuntut Pidana dan
126
Menjalankan Pidana Serta Grasi, Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi, perlu
dipelajari lebih mendalam untuk bisa memahami materi dalam tutorial pada
pertemuan berikutnya, sehingga kasus-kasus dalam tutorial dapat dianalisis
dengan baik.
127
4) Pasal 82 KUHP tentang penyelesaian diluar pengadilan (
hanya untuk pelanggaran
128
1. Penghukuman / veroordeling : hakim memutuskan bahwa
terdakwa telah melakukan perbuatan yang menjadi tuduhan
terhadapnya serta terdakwa bersalah karena melakukannya.
2. Pembebasan / pelepasan dari penuntutan hukum ( onslag van
rechts-vervolging ) : hakim memutuskan bahwa terdakwa telah
melakukan perbuatan yang menjadi tuduhan terhadapnya, tetapi
terdakwa ( pembuat – dader ) tidak dapat dijatuhi hukuman karena
alasan-alasan yang mengecualikan dijatuhkan hukuman (
strafuitsluitingsgrondden ) atau perbuatan yang menjadi tuduhan
seperti yang dicantumkan dalam pendakwaan, tidak dapat
dihukum
3. Pembebasan / keputusan bebas / vrijspraak : hakim memutuskan
bahwa kesalahan terdakwa atas perbuatan yang menjadi tuduhan
tidak terbukti. Dalam hal ini, pembebasan itu mempunyai sifat
negatif, yaitu pembebasan tidak menyatakan bahwa terdakwa
telah melakukan yang menjadi tuduhan, dimana pembebasan
hanya menyatakan bahwa kesalahan terdakwa atas melakukan
perbuatan itu tidak terbukti. Mungkin saja terdakwa melakukan
suatu perbuatan, akan tetapi dalam persidangan dimuka hakim
tidak dapat dibuktikan (Utrecht, 1965 : 207).
129
beberapa orang saksi dapat dibuktikan menyatakan bahwa A
memang mempunyai rencana untuk membunuh B, terhadap hal
ini, A kemungkinan dapat diadakan dituntut lagi. Pendapat ini
terkenal dengan nama “ pelajaran yang menanggap “ hetzelfde feit
( perbuatan sama ) “ sama dengan “ hetselfde strafbare feit (
perbuatan pidana yang sama ) “
3. Perbuatan dalam arti perbuatan materiil / materiele handeling :
adalah perbuatan ( yang ditinjau ) terlepas dari unsur kesalahan
dan terlepas dari akibat. Contoh : A menemukan sebuah arloji,
kemudian menjualnya – dapat dituduh dan dituntut atas tindak
pidana pencurian, apabila ketika menemukan arloji itu sudah
mempunyai kehendak / rencana untuk memiliki atau dituduh
melakukan penggelapan. Kemudian hakim membebaskan A dari
tuduhan dan tuntutan tindak pidana pencurian dan tidak dapat
dituduh dan dituntut atas dasar melakukan tindak pidana
penggelapan ( Utrecht, 1965 : 210 – 211, Adami Chazawi ( 1), 2002 : 166 dan Frans
130
Ke-3. Mengenai kejahatan yang diancam dengan
pidana lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas
tahun
Ke-4. Mengenai kejahatan yang diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup,sesudah delan belas tahun
Ayat (2) : Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan
umurnya belum delapan belas tahun, masing-
masing tenggang daluarsa diatas dikurangi
menjadi sepertiga (Moeljatno, 2008 : 33)
131
semestinya diterima, bahkan dirasakan lebih berat
daripada menjalini pidana.
4). Untutk berhasilnya tuntutan pidana, maka sukarlah
mendapatkan bukti-butki sesudah lewatnya waktu yang
agak panjang. (I Made Widnyana, 1992 : 103, Utrecht, 1965 : 223-224, Laden
132
jangka waktu yang baru ddan jangka waktu yang semula tidak
diperhitungkan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Pasal 90 KUHP,
bahwa : “ berlakunya jangka waktu kedaluarsa dihentikan ( stuiten )
oleh tiap-tiap tindakan penuntut dan sejak dilakukannya penghentian
itu harus diketahui oleh atau diberitahukan kepada si pelaku ( Pasal
80 ayat (1) KUHP ) “. Sejak saat itu mulailah berjalan jangka waktu
kedaluarsa yang baru ( Pasal 80 ayat (2) KUHP ). Persoalannya
adalah : tentang program apakah yang dimaksud dengan “ tiap-tiap
tindakan penuntutan ” oleh Pasal 80 ayat (1) KUHP itu ?. Dalam hal
ini tindakkan penuntutan harus ditafsirkan dalam arti yang luas dan
apabila tindakkan itu ditinjau dari sudut pemeriksaan pendahuluan
oleh Polisi, sudah dianggap sebagai tindakan penuntutan. Padahal
kalau kita tinjau secara sempit, maka tindakkan penuntutan itu hanya
boleh dilakukan oleh Jaksa, sedangkan tindakkan Polisi itu belum
merupakan tindakan penuntutan dan harus merupakan tindakkan
pengusutan saja.
Ad.b). Schorsing van de verjaring / penundaan kedaluarsa ( Pasal 81
KUHP)
Yang dimaksud adalah : apabila jangka waktu kedaluarsa telah mulai
berlaku, maka pada suatu saat berjalannya jangka waktu itu,
ditangguhkan selama beberapa waktu, untuk kemudian dilanjutkan
lagi, dengan pengertian bahwa : (a). jangka waktu yang telah berjalan
sebelum dihentikan turut diperhitungkan, (b). waktu selama mana
jangka waktu dihentikan tidak turut dihentikan.
Pasal 81 KUHP menyebutkan : “ penangguhan penuntutan pidana
berhubung dengan adanya perselisihan prae yudisiil, menunda
jalan kedaluarsa “. Prae yudisiil adalah : “ suatu perselisihan tentang
suatu soal diluar perkara pidana yang menjadi sebab berlakunya
kedaluarsa digantungkan kepada soal tadi “.
Perlu diketahui bahwa dalam pengertian hukum pidana, perselisihan
prae yudisiil ada 2 ( dua ) jenis, yaitu :
1). Persoalan ( dalam hal ini keputusan hakim ) yang
digantungkan kepada keputusan hakim-hakim lain.
133
2). Persoalan ( dalam hal ini keputusan hakim ) yang
digantungkan kepada tindakkan
Contoh 1) : Didalam hukum pidana ada suatu tindak pidana /
perbuatan pidana yang disebut dengan “ Stellionaat “, yaitu penggelapan
hak orang atas barang-barang tetap ( misalnya sebidang sawah ). A dituduh
dalam menjual sebidang tanah sawah yang sebenarnya milik B. Pada saat
A dituntut, ia membela diri dengan menyatakan / dengan memberi
keterangan bahwa sebidang tanah sawah itu miliknya sendiri yang diperoleh
karena warisan. Dengan demikian akan timbul persoalan yaitu : siapakah
sebenarnya yang memilikinya untuk menentukan siapa yang berhak harus
diputuskan oleh hakim perdata ? Oleh karena itu, salah satu / salah seorang
diantara A dan B harus mengajukan guggatan didepan hakim perdata.
Padahal perkara pidana semula sudah dimulai disidangkan, maka oleh
karena persoalan diatas, hakim pidana harus menunda pemeriksaan
sampai hakim perdata memberikan suatu keputusan. Sementara menunggu
keputusan hakim perdata itu, jangka waktu kedaluarsa dihentikan.
Contoh 2) : Suatu tindak pidana / perbuatan pidana yang menyangkut
overspel ( Pasal 284 KUHP ) adalah suatu kejahatan yang merupakan delik
aduan. Apabila terjadi kejahatan overspel, maka dituntutna dan diberikan
keputusan terhadap kejahatan itu digantungkan kepada adanya suatu
pengaduan, dalam arti bahwa selama belum ada pengaduan, maka
kejahatan itu belumdapat dituntut ( I Made Widnyana, 2009 : 103 – 106 ).
Ad 4). Penyelesaian diluar proses pengadilan ( Afkoop / Afdoning buiten
proces )
Menurut Pasal 82 KUHP menyatakan : “ hak menuntut pidana karena
pelanggaran yang semata-mata diancam dengan pidana pokok tidak lain
daripada denda, tiada berlaku lagi, jika maksimum denda dibayar dengan
kemauan sendiri dan demikian juga dibayar ongkos perkara, jika penuntutan
telah dilakaukan, dengan ijin pejabat yang ditunjuk dalam undang-undang
umum, dalam tempo yang ditetapkan. Dengan demikian apabila simpulkan,
maka : (1). Orang yang melakukan pelanggaran itu sukarela membayar
sejumlah uang yang sama dengan uang denda yang tinggi yang
diancamkan terhadap pelanggaran itu, (2). Tawaran itu disetujui oleh kepala
jawatan yang bersangkutan.
134
Dari ketentuan Pasal 82 KUHP itu dapat diketahui bahwa bangunan
hukum penyelesaian diluar proses pengadilan hanya berlaku terhadap
pelanggaran semata-mata yang diancam dengan pidana denda. Syarat agar
seseorang dapat melepaskan diri dari tuntutan pidana yang dijalankan
terhadapnya itu sehubungan dengan pelanggaran yang dilakukan yaitu : (a).
dengan membayar secara sukarela denda tertinggi ( maksimum ) yang
diancamkan kepada pelanggaran itu, (b). dengan izin dari pegawai yang
ditunjuk UU, misalnya Kepala Jawatan Pajak dalam hal orang melanggar
dibidang hukum fiskal. Terhadap hal ini, ada beberapa sarjana yang tidak
setuju dengan alasan :
1). Dilaksanakannya bangunan hukum ini diluar pengadilan adalah
bertentangan dengan sifat hukum pidana sebagai hukum publik,
yang semata-mata harus dilaksanakan demi kepentingan umum,
sehingga dengan demikian, maka apabila orang diizinkan untuk
menggugurkan tuntutan pidananya dengan harus membayar
sejumlah uang saja, maka ini seolah-olah yang dapat menebus
dengan membayar denda saja, padahal sebenarnya keputusan
hakimlah yang menentukan apakah penuntutan itu boleh ditebus
atau tidak.
2). Maksud Pasal 82 KUHP agar pengadilan jangan lagi dibebani
banyakpekerjaan yang tidak penting, oleh karena didalam praktek
ongkos penebusan itu terlalu tinggi, padahal pidana denda yang
dijatuhkan oleh hakim biasanya jauh dari denda maksimum yang
ditentukan pada pelanggaran itu ( I Made Widnyana, 1992 : 106-107 dan lihat
135
kejahatan- kejahatan yang dilaksanakan dengan alat-alat cetak, 1/3
(sepertiga) lebih lama dari jangka waktu kedaluarsa yang dapat
menggugurkan menuntut pidana bagi lain-lain kejahatan. Sehingga
berdasarkan ini, maka perhitungan 8 (delapan) tahun untuk kejahatan yang
diancam dengan pidana denda, kurungan, penjara yang tidak lebih dari 3
(tiga) tahun ( lihat Pasal78 ayat (2) KUHP dan tambah dengan 1/3
(sepertiga) tahun. 16 (enam belas) tahun untuk kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara yang lebih dari 3 (tiga) tahun ( lihat Pasal 78 ayat (3)
KUHP dan ditambah dengan 1/3nya ). Akan tetapi mengenai lamanya
jangka waktu ini terdapat pembatasan, yaitu bahwa lamanya untuk
menggugurkan hal untuk menjalankan pidana yang telah dijatuhkan oleh
hakim ( Pasal 84 ayat (3) KUHP). Oleh karena itu, hak untuk menjalankan
pidana penjara seumur hidup tidak dapat gugur karena kedaluarsa, juga hak
untuk menjalankan pidana mati tidak dapat gugur karena kedaluarsa ( Pasal
84 ayat (4) KUHP). (Lihat Frans Maramis, 2012 : 268, Adami Chazawi (1), 2002 : 168-187 dan laden
136
tindak pidana / perbuatan pidana ( delik ) yang lain (Adami Chazawi (1), 2002 : 188-
190).
Daftar Bacaan
A. Grasi
Didalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Negara
Republik Indonesia menyatakan bahwa : “ Presiden memberi grasi, amnesti,
abolisi dan rehabilitasi “
Grasi itu adalah : “ hak Kepala Negara untuk memberikan
pengampunan kepada orang yang dipidana yang namanya disebutkan
dalam keputusan yang bersangkutan “. Masalah grasi ini merupakan suatu
wewenang yang bersifat tradisional seorang Kepala Negara. Grasi saat ini
sifatnya sudah berubah dari semula, pada jaman kerajaan-kerajaan absolut
di daratan Eropah, grasi itu merupakan suatu anugrah raja / vorstelijke
gunst. Suatu anugrah seorang raja yang telah memberikan pengampunan
137
kepada pelaku-pelaku kejahatan. Dijaman modern saat ini, sesudah adanya
pembagian kekuasaan akibat pengaruh ajaran Trias Politics, termasuk
terbentuknya badan-badan peradilan yang membuat badan eksekutif tidak
dapat mempengaruhi secara langsung badan peradilan itu. Sehingga
masalah grasi dewasa ini lebih bersifat satu koreksi atas keputusan hakim,
yaitu satu koreksi yang diadakan berdasarkan alasan-alasan yang diketahui
sesudah hakim memutuskan perkara yang bersangkutan. Adapun sebagai
alasan diberikannya grasi adalah :
1. Kepentingan keluarga dari yang terhukum.
2. Yang terhukum / terpidana pernah sangat berjasa bagi
masyarakat.
3. Yang terhukum / terpidana menderita penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
4. Yang terhukum / terpidana berkelakuan baik dipenjara dan
memperlihatkan keinsyafan atas kesalahannya (Utrecht, 1965 : 239-240,
Adami Chazawi (1), 2002 : 193 dan I Made Widnyana, 1992 : 110).
Widnyana, 1992 : 110 dan Laden Marpaung, 2009 : 104). Menurut VOS bahwa pemberian
grasi pada umumnya akan diberikan kepada terpidana pada saat-saat
perayaan hari-hari nasional, seperti Hari Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945 dan tidak boleh dianggap sebagai anugrah kepala negara
kepada terpidana. Pemberian ini harus dianggap sebagai satu pernyataan
masyarakat yang telah mulai berperasaan baik kembali terhadap terhukum /
terpidana. Dalam hal ini yang perlu di ingat adalah pemberian grasi itu tidak
menghilangkan keputusan hakim yang bersangkutan. Dimana keputusan
hakim itu tetap ada, akan tetapi pelaksanaannya yang ditiadakan /
dihilangkan atau dikurangi atau jenis hukumannya diubah. Karena hal ini
sesuai dengan prinsip bahwa pengadilan adalah badan yang berdiri sendiri (
selfstandig Orgaan ), maka dalam hal ini kepala negara tidak dapat
138
menghilangkan / meniadakan. Apabila kepala negara menganggap
keputusan hakim itu terlalu keras, maka kepala negara hanya dapat
meringankan pelaksanaannya saja dari keputusan hakim itu denga : (a).
tidak mengeksekusi seluruh putusan, (b). hanya mengeksekusi sebagian
saja dari putusan itu dan (c). mengadakan komotasi, yaitu jenis hukuman
digandti, misalnya hukuman penjara diganti dengan hukuman kurungan,
hukuman kurungan diganti dengan hukuman denda, hukuman mati diganti
dengan hukuman penajara seumur hidup (Utrecht, 1965 : 240-241, I Made Widnyana, 1992
: 111).
139
6. Putusan pengadilan dengan pidana mati tidak boleh dijalankan,
sebelum adanya putusan dari Presiden sampai pada kepala
Kejaksaan pada pengadilan yang memutus pada tingkat pertama
(Adami Chazawi (1), 2002 : 193-194)
1992 : 111, Adami Chazawi, (1), 2002 : 190 dan Laden Marpaung, 2009 : 104)
140
pidana / perbuatan pidana yang belum atau sedang dalam penuntutan
dihentikan atau ditiadakan. Demikian juga orang yang masih dalam
pemeriksaan pendahuluan, juga dihentikan bahkan terhadap orang yang
belum diketahui pun ikut dihentikan. Sedangkan Amnesti adalah merupakan
wewenang Kepala Negara dengan U.U. atau atas kuasa U.U. yang dengan
pemberian Amnesti ini, maka akibat hukum pidana terhadap orang-orang
yang telah melakukan suatu tindak pidana / perbuatan pidana dihapuskan /
dihentikan. Adapun perbedaan antara keduanya adalah :
“ Dalam Abolisi hanya menggugurkan penuntutan terhadap mereka
yang belum dipidana, sedangkan dalam Amnesti memiliki akibat hukum
yang lebih luas, sebab Amnesti dapat diberikan kepada mereka yang sudah
dipidana maupun yang belum dijatuhi pidana, artinya bahwa tidak hanya
tindakan penuntutan yang ditiadakan / dihapuskan, akan tepai semua akibat
hukum yang berupa apapun ditiadakan / dihapuskan juga “. Alasan
pemberian Abolisi dan Amnesti ini semata-mata merupakan kebijaksanaan
pemerintah penguasa, yang pada umumnya lebih memperhatikan
kepentingan negara yang menjadi dasar pemikiran atau ukuran (Utrecht, 1965 :
244, Adami Chazawi (1), 2002 : 183-185, I Made Widnyana, 1992 : 108 dan Laden Marpaung, 2009 : 102-103).
Daftar Bacaan
Chazawi, Adami (1), 2002 : Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
141
6.3. Penutup
1. Rangkuman Materi
142
2. Latihan :
b. Pertanyaan :
Cermati kasus di atas, apakah kasus tersebut termasuk kasus pidana
atau sengketa perdata !
143
c. Bahan Bacaan
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40
3. Satochid Kartanegara. Kuliah Hukum Pidana bagian Kesatu
4. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal 102 -109
a. Kasus II
Khairudin dan Hasannudin adalah orang-orang yang ditangkap
karena melakukan kegiatan kejahatan politik dalam era pemerintahan
Presiden Abu Nawas. Terhadap kedua orang tersebut, Khairudin masih
dalam proses penyidikan sedangkan Hasannudin telah diperiksa di
pengadilan dan dalam pemeriksaan sidang pengadilan, Hasanuddin terbukti
melakukan tindak pidana. Kemudian terjadi reformasi di negaranya.
Presiden Abu Nawas turun dan digantikan oleh Presiden Balang Tamak.
Presiden Balang Tamak, ternyata mengambil sikap berbeda dengan
Presiden Abu Nawas, dengan memberikan abolisi kepada Khairudin dan
Amnesti kepada Hasanuddin.
b. Pertanyaan :
c. Bahan Bacaan
144
2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40
3. Satochid Kartanegara. Kuliah Hukum Pidana bagian Kesatu
4. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal 102 -109
a. Kasus III
Ali seorang redaktur koran kenamaan di kota Medan, pada tahun
2000 melakukan tindak pidana pencemaran nama baik yang korbannya
adalah seorang artis ibu kota bernama Diana. Pada tahun 2002, Diana
melaporkan perbuatan Ali ke Polisi, namun dengan alasan tidak cukup bukti,
penyidikan terhadap kasus tersebut tidak dilanjutkan. Pada tahun 2005,
berkat penjelasan seorang ahli (saksi ahli), polisi memperoleh bukti-bukti
baru dan menurut penilaian polisi dan jaksa, benar perbuatan Ali merupakan
tindak pidana.
b. Pertanyaan :
Apakah tindakan yang dilakukan Ali termasuk kategori tindak pidana
dengan menggunakan alat percetakan ? Kalau ’ya’ tentukan kapan
gugurnya hak menuntut pidana !
c. Bahan Bacaan
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional 1983 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Resmi.
Jakarta : Sinar Harapan, hal. 36 – 40
3. Satochid Kartanegara. Kuliah Hukum Pidana bagian Kesatu
4. Widnyana, I Made 1992. Hukum Pidana II , Denpasar : Yayasan
Yuridika, hal 102 -109.
145
2) GRASI, AMNESTI, ABOLISI DAN REHABILITASI
a. Kasus I
Amrozy, Mukhlas dan Imam Samudra adalah tiga terpidana mati
pelaku peledakan Bom Bali pada tahun 2002. Ketiganya saat ini sedang
menunggu eksekusi di Lembaga pemasyarakatan Batu Nusa Kambangan.
Dalam keterangannya, jelas-jelas mereka bertiga tidak akan mengajukan
permohonan pengampunan (Grasi) yang menurutnya pengampunan hanya
dapat diberikan oleh Allah SWT, bukan oleh manusia (Presiden). Di
samping itu, menurut penilaiannya, apabila permohonan pengampunan
tersebut diajukan, secara otomatis mereka mengakui perbuatannya sebagai
kesalahan. Berdasarkan pertimbangan tersebutlah mereka tidak
mengajukan permohonan Grasi. Mengingat permohonan Grasi tidak hanya
dapat diajukan oleh terpidana, maka keluarga terpidana mengajukan
permohonan Grasi ke Presiden tanpa sepengetahuan terpidana.
b. Pertanyaan :
Apakah tanpa persetujuan terpidana, pengacara ataupun keluarga
terpidana dapat mengajukan permohonan grasi ?
c. Bahan Bacaan
146
PERTEMUAN XIV
UJIAN AKHIR SEMESTER
147
LAMPIRAN
148
LAMPIRAN 1.
SILABUS
8. CapaianPembelajaran :
9. Bahan Kajian
1
(deelneming) meliputi : Pengertian Penyertaan ( Deelneming ), Orang
Yang Melakukan ( Pleger ), Turut Melakukan ( Medeplegen ), Orang
yang menyuruh melakukan ( doen pleger ), Menganjurkan ( Uitlokken
). 3) Pembantuan (Medeplightigheid) meliputi : pendahuluan, Dasar
Hukum, Bentuk/macam/jenis pembantuan (medeplightigheid), Syarat-
syarat Pembantuan (medeplightigheid), Sanksi Pidana, dan
Perbedaan antara beberapa bentuk Penyertaan.: 4) Perbarengan
(samenloop), meliputi : Pengertian Gabungan Tindak Pidana,
Concursus Idealis / Eendaadse Samenloop, Concursus Realis /
Meerdaadse Samenloop, dan Perbuatan Berlanjut ( Voorgeezette
Handeling ). 5) Recidive, meliputi : pengertian, Pemberatan Pidana
Dalam Residive, Residive Dalam KUHP, Sistem Residive, Sanksi
Pidana (Pemberatan Dalam recidive), Syarat Residive, 6) Delik aduan
(klachtdelict) meliputi : pengertian, Hak Mengajukan Pengaduan, Jenis
Delik Aduan, Menarik Pengaduan. 7) Gugurnya hak menuntut pidana
dan menjalankan pidana meliputi : pendahuluan, Alasan Gugurnya
Hak Menuntut,, Alasan Gugurnya Hak Menjalankan Pidana. 8) Grasi,
amnesti, abolisi dan rehabilitasi, meliputi : grasi, Abolisi dan Amnesti.
10. Referensi
I. BUKU
Bemmelen, Mr. J.M. van, 1987 : Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Materiil
Bagian Umum, Binacipta, Bandung.
Kansil, C.S.T dan Kansil, Christine S.T, 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana,
Pradnya Paramita, Jakarta.
2
Lamintang, P.A.F., 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung.
Soesilo, Pokok Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Delik
Khusus.
3
Utrecht. E, 1965 : Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Penerbitan
Universitas, Bandung.
4
LAMPIRAN 2.
PERCOBAAN (POGING)
8. Indikator Pencapaian
Mahasiswa mampu memahami menjelaskan, dan menguraikan dan
mendiskusikan Istilah, percobaan dan unsur-unsur percobaan dalam
hukum pidana. Serta pada tutorial mahasiswa mampu menganalisa
Pengertian, Syarat, Unsur-unsur Percobaan (poging) dan Pemidanaan
terhadap Pelaku Percobaan (poging) serta Pertanggungjawaban Pidana
dalam perbuatan Pidana Percobaan.
9. Materi Pokok
a. Pengertian
b. Unsur-Unsur Percobaan ( Poging )
c. Sanksi
d. Percobaan yang tidak mampu ( Ondeugdelijke Poging ).
5
10. Metode Pembelajaran
a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).
b. Metode: Problem Based Learning (PBL).
c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya jawab.
6
Ondeugdelijke Poging ).
13. Tugas
Analisis kasus dalam tutorial
7
Chazawi, Adami (1), 2002 : Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
8
RPP PERTEMUAN KE III dan IV
PENYERTAAN (DEELNEMING)
8. Indikator Pencapaian
Mahasiswa mampu memahami menjelaskan, dan menguraikan dan
mendiskusikan Istilah, pengertian penyertaan dan jenis-jenisnya dalam
hukum pidana. Serta pada tutorial mahasiswa mampu menganalisa
pelaku dalam Hukum Pidana dan Pemidanaan Pelaku Penyertaan
dalam Hukum Pidana.
9. Materi Pokok
9
e. Power point presentation.
f. LCD, white board, spidol, Audio Visual.
g. Laptop/PC Handout
h. Bahan bacaan/pustaka
10
menyimpulkan proses dan hasil
pembelajaran.
13. Tugas
Analisis kasus
11
------------, 2008 : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan, Cet.
27, Bumi Aksara, Jakarta.
12
RPP PERTEMUAN KE V dan VI
PEMBANTUAN (MEDEPLIGHTIGHEID)
8. Indikator Pencapaian
Mahasiswa mampu memahami menjelaskan, menguraikan dan
mendiskusikan Istilah, pengertian pembantuan tindak pidana , jenis-
jenis dan syarat-syarat pembantuan tindak pidana. Serta pada tutorial
Mahasiswa mampu menganalisa Pemidanaan pembantuan tindak
pidana
9. Materi Pokok
13
a. Power point presentation.
b. LCD, white board, spidol, Audio Visual.
c. Laptop/PC Handout
d. Bahan bacaan/pustaka
14
bertanggung jawab dan logis
menyimpulkan proses dan hasil
pembelajaran.
13. Tugas
Analisis kasus
15
Moeljatno, 1983 : Delik-Delik Percobaan dan Delik-Delik Penyertaan,
Bina Aksara, Jakarta.
16
RPP PERTEMUAN KE VII dan VIII
PERBARENGAN (SAMENLOOP)
8. Indikator Pencapaian
Mahasiswa mampu memahami menjelaskan, menguraikan, dan
mendiskusikan Istilah, pengertian perbarengan tindak pidana , dan
bentuk-bentuk perbarengan tindak pidana, dan penjatuhan pidananya.
Serta pada tutorial Mahasiswa mampu menganalisa, Pemidanaan
perbarengan tindak pidana.
9. Materi Pokok
17
11. Media, Alat dan Sumber Belajar
18
Penutup Dosen bersama mahasiswa secara 10 menit
bertanggung jawab dan logis
menyimpulkan proses dan hasil
pembelajaran.
13. Tugas
Analisis kasus
19
-------------------- (2), 2002 : Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 3, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
20
RPP PERTEMUAN KE VIII dan IX
PERBARENGAN (SAMENLOOP)
8. Indikator Pencapaian
Mahasiswa mampu memahami menjelaskan, menguraikan, dan
mendiskusikan Istilah, pengertian perbarengan tindak pidana , dan
bentuk-bentuk perbarengan tindak pidana, dan penjatuhan pidananya.
Serta pada tutorial Mahasiswa mampu menganalisa, Pemidanaan
perbarengan tindak pidana.
9. Materi Pokok
21
11. Media, Alat dan Sumber Belajar
22
Penutup Dosen bersama mahasiswa secara 10 menit
bertanggung jawab dan logis
menyimpulkan proses dan hasil
pembelajaran.
13. Tugas
Analisis kasus
23
-------------------- (2), 2002 : Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 3, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
24
RPP PERTEMUAN KE X DAN XI
8. Indikator Pencapaian
Mahasiswa dapat memahami menjelaskan, dan menguraikan dan
mendiskusikan Istilah, pengertian pengulangan tindak pidana dan delik
aduan. Serta pada tutorial Mahasiswa mampu menganalisa kasus
pengulangan dalam tindak pidana dan delik aduan.
9. Materi Pokok
25
a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).
b. Metode: Problem Based Learning (PBL).
c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya jawab.
26
dari sumber.
13. Tugas
Analisis kasus
27
No Aspek yang Dinilai 3 2 1 Keterangan
1 Kejujuran
2 Tanggung jawab
3 Disiplin
4 Kreativitas
5 Berkomunikasi
Bemmelen, Mr. J.M. van, 1987 : Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Materiil
Bagian Umum, Binacipta, Bandung.
28
Widnyana. I Made, 1992 : Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika, FH Unud,
Denpasar.
http://repository.usu.ac.id
29
RPP PERTEMUAN KE XII DAN XIII
8. Indikator Pencapaian
Mahasiswa mampu memahami menjelaskan, dan menguraikan dan
mendiskusikan Istilah, pengertian Gugurnya Hak Menuntut Pidana
dan Menjalankan Pidana Serta Grasi, Amnesti, Abolisi dan
Rehabilitasi. Serta pada tutorial Mahasiswa mampu menganalisa
kasus Gugurnya Hak Menuntut Pidana dan Menjalankan
9. Materi Pokok
30
c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya jawab.
31
Abolisi dan Amnesti.
13. Tugas
Analisis kasus
32
16. Sumber Belajar
Chazawi, Adami (1), 2002 : Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
33
LAMPIRAN III: KONTRAK KULIAH
KONTRAK KULIAH
34
9. CapaianPembelajaran:
Pada akhir perkuliahan mata kuliah ini mahasiswa menguasai
pengetahuan mengenai Percobaan (poging); 2) Penyertaan
(deelneming) ; 3) Pembantuan (Medeplightigheid); 4) Perbarengan
(samenloop) ; 5) Recidive ; 6) Delik aduan (klachtdelict) ; 7) Gugurnya
hak menuntut pidana dan menjalankan pidana ; dan 8) Grasi, amnesti,
abolisi dan rehabilitasi. Mahasiswa memperoleh pemahaman yang utuh
mengenai hukum pidana. Mahasiswa akan mampu menganalisa dan
memecahkan permasalahan atau kasus-kasus pidana yang terjadi di
dalam masyarakat.
35
tugas-tugas selama masa perkuliahan sebelum dan dan setelah UTS.
Dengan demikan, keseluruhan tatap muka pertemuan untuk perkuliahan,
tutorial dan ujian-ujian berjumlah 14 kali. Penilaian meliputi aspek hard skills
dan soft skills.
12. Tugas-tugas
Tugas-tugas dalam perkuliahan dalam satu semester terdiri dari:
a. tugas-tugas latihan yang terdapat pada setiap sesi penutup kegiatan
pembelajaran seagai media evaluasi atas capaian pembelajaran atas
satu bahan kajian; dan
b. tugas-tugas yang terdapat pada setiap kegiatan tutorial yang
divisualisasi dengan kasus-kasus untuk mencapai capaian kemampuan
akhir yang direncanakan pada setiap pertemuan.
36
Koordinator Kelas, Dosen Pengampu,
………………………………………. .....…………………………………
Mengetahui
Ketua Bagian Hukum Pidana
37