Anda di halaman 1dari 10

http://nurmaliaandriani95.blogspot.co.

id/2014/10/etika-dalam-ekonomi-
islam.html
acses 09 Mei 2017 pkul 15.24 WIB
Etika dalam Ekonomi Islam

2.1 Ekonomi Islam


Kegiatan ekonomi sudah tiap hari kita rasakan. Tapi sistem ekonomi yang berkembang saat ini
masih belum bisa mengentaskan persoalan bangsa dari kemiskinan yang banyak terjadi di banyak
Negara Indonesia dan Negara berkembang lainnya. Sistem ekonomi saat ini sering terjadi
penyuapan, pengemasan yang tidak baik, penekanan pelanggan, kenaikan harga yang tidak wajar.
Segala hal yang berkaitan dengan beberapa permasalahan di atas, yang berkaitan dengan etika dan
hukum, termasuk membangun ketidak percayaan di kalangan para konsumen.
Kegagalan sistem ekonomi yang dianut oleh Negara berkembang di dunia. Maka ekonomi islam
mulai berkembang sebagai harapan untuk meningkatkan kesejahteraan bagi manusia. Ekonomi
Islam adalah suatu sistem ekonomi yang tujuan utamanya adalah mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan secara merata. Islam mewajibkan setiap muslim bekerja yang didasarkan iman, etika
kerja dan akhlak Islam[1].
Ekonomi Islam menghindarkan diri dari setiap perilaku asusila. Produk ekonomi Islam
melarang membuat produk – produk yang lebih banyak mudharatnya dan melarang menunda –
nunda kewajiban membayar gaji atau hutang[2].

2.1.1 Pengertian Etika 


Etika sebagai ajaran baik buruk, atau ajaran moral khususnya dalam perilaku dan tindakan –
tindakan ekonomi bersumber dari ajaran agama. Islam menekankan empat sifat sekaligus, yaitu [3]:
1.      kesatuan
2.      keseimbangan
3.      kebebasan
4.      tanggung jawab
Etika memiliki dua pengertian. Pertama, etika sebagaimana moralitas, berisikan nilai dan
norma – norma konkret yamng menjadi pedoman dan pegangan hidup manusia. Kedua, etika
sebagai refleksi kritis dan rasional.
Penggabungan etika dan ekonomi dapat berarti memaksakan norma – norma agama bagi dunia
ekonomi, kode etik profesi bisnis, merevisi sistem dan hukum ekonomi, meningkatkan ketrampilan
memenuhi tuntutan – tuntutan etika pihak – pihak luar untuk mencari aman dan sebagainya.

2.1.2 Perintah Allah tentang beretika ketika melakukan ekonomi


A.  Ayat tentang berekonomi dengan modal kepercayaan
QS. Al Baqarah (2) : 283
‫ضا‬ً ‫ض ُك ْم َب ْع‬ ُ ‫وضةٌ فَِإ ْن أ َِم َن َب ْع‬
َ ُ‫َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم َعلَى َس َف ٍر َولَ ْم تَ ِج ُدوا َكاتِبًا فَ ِر َها ٌن َم ْقب‬
‫اد َة َو َم ْن يَ ْكتُ ْم َها فَِإنَّهُ آَثِ ٌم‬ َّ ‫َفل ُْي َؤ ِّد الَّ ِذي ْاؤتُ ِم َن أ ََما َنتَهُ َولْيَت َِّق اللَّهَ َربَّهُ َواَل تَ ْكتُ ُموا‬
َ ‫الش َه‬
ِ ِ
)283(‫يم‬ ٌ ‫َقلْبُهُ َواللَّهُ ب َما َت ْع َملُو َن َعل‬
Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang[4]  (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian.
Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

QS. Al Mu’minun (23) : 8 dan 11

( ‫صلَ َواتِ ِه ْم يُ َحافِظُو َن‬ ِ َّ ِِ ِ ‫أِل‬ ِ َّ


َ ‫ َوالذ‬ )8( ‫ين ُه ْم ََمانَات ِه ْم َو َع ْهده ْم َراعُو َن‬
َ ‫ين ُه ْم َعلَى‬ َ ‫َوالذ‬
)11( ‫س ُه ْم فِ َيها َخالِ ُدو َن‬ ِ ِ َّ َ ِ‫أُولَئ‬ )9
َ ‫الذ‬ )10( ‫ك ُه ُم ال َْوا ِرثُو َن‬
َ ‫ين يَ ِرثُو َن الْف ْر َد ْو‬
Artinya : Orang-orang yang memelihara amanat – amanat yang dipikulnya dan janji –
janji  dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya.  Mereka itulah orang-orang yang akan
mewarisi,  (yaitu orang – orang yang mewarisi surga Firdaus dan kekal di dalamnya).

B. Ayat tentang keadilan dan jujur


       QS. An Nahl (16) : 92
ِ ‫ت غَ ْزلَها ِمن بع ِد ُق َّو ٍة أَنْ َكاثًا َتت‬
‫َّخ ُذو َن أَيْ َمانَ ُك ْم َد َخاًل َب ْينَ ُك ْم أَ ْن تَ ُكو َن‬ َ ‫َواَل تَ ُكونُوا َكالَّتِي َن َق‬
َْ ْ َ ْ ‫ض‬
)92( ‫أ َُّمةٌ ِه َي أ َْربَى ِم ْن أ َُّم ٍة إِنَّ َما َي ْبلُو ُك ُم اللَّهُ بِ ِه َولَيَُبِّينَ َّن لَ ُك ْم َي ْو َم ال ِْقيَ َام ِة َما ُك ْنتُ ْم فِ ِيه تَ ْختَلِ ُفو َن‬
Artinya : Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang
sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian)
mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak
jumlahnya dari golongan yang lain [5]. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu.
Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu
perselisihkan itu.

       QS. An Nahl (16) : 94


ِ ‫واَل َتت‬
ُّ ‫َّخ ُذوا أَيْ َمانَ ُك ْم َد َخاًل َب ْينَ ُك ْم َفتَ ِز َّل قَ َد ٌم َب ْع َد ُثبُوتِ َها َوتَ ُذوقُوا‬
َ ‫وء بِ َما‬
‫ص َد ْدتُ ْم‬ َ ‫الس‬ َ
ِ ِ ِ ِ‫َعن سب‬
)94( ‫يم‬ ٌ ‫اب َعظ‬ ٌ ‫يل اللَّه َولَ ُك ْم َع َذ‬ َ ْ
Artinya : Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang
menyebabkan tergelincir kaki (mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di
dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar.
2.2 Etika bisnis yang diajarkan Rasulullah SAW
Etika yang diajarkan Rasulullah sesuai dengan prinsip manajemen modern yakni kepuasaan
pelanggan, pelayanan yang unggul, kemampuan, efisien, transparan dan persaingan yang sehat dan
kompetitif. Dengan dijuluki Al amin, Beliau adalah orang yang sangat dipercaya karena bersih dari
segala kejahatan. Beliau menggunakan sistem bagi hasil bagi orang yang menitipkan barang atau
modal kepada beliau.
Kepercayan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW di dalam berbisnis, sesuai dengan
prinsip kemaslahatan. Maka dari itu, adanya ekonomi syariah yang diberlakukan dengan tujuan
maqasid syariah adalah untuk memberikan kemaslahatan kepada manusia di dalam dunia dan
akhirat. Rasulullah sering mengingatkan para pedagang agar bertakwa kepada Allah, berbuat baik,
dan jujur.
Berapapun keuntungan dari berdagang atau berbisnis tidaklah ada artinya dibandingkan
hidayah dari Allah[6]. Bahkan Allah meperingatkan bahayanya memiliki rezeki yang banyak dapat
menyebabkan seseorang melampui batas (lupa diri). Seorang pebisnis tidak boleh mengurangi
timbangan, tidak boleh mempromosikan dengan bohong, tidak boleh mencampurbarang yang baik
dan barang yang jelek.

2.2.1 Etika berekonomi menurut Hadist


1.  JUJUR
       Hadits di atas menjelaskan bahwasannya dalam berjual beli ada tawar- menawar selama belum
berpisah. Dan menerangkan tentang etika kedua orang yang bertransaksi agar sama-sama jujur
tidak merugikan salah satu pihak. Serta menjelaskan bahwa dalam berbisnis yang dicari bukan
hanya profit saja melainkan menyertakan keberkahan juga, karena dengan berkahnya bisnis yang
kita jalankan maka hidup kita akan ikut berkah dan diridho Allah sehingga kita mencapai hidup
yang sejahtera.

‫صالِ ٍح أَيِب اخْلَلِ ِيل َع ْن َعْب ِد اللَّ ِه بْ ِن‬ ٍ


َ ‫َح َّدثَنَا ُسلَْي َما ُن بْ ُن َحْرب َح َّدثَنَا ُش ْعبَةُ َع ْن َقتَ َاد َة َع ْن‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه‬ ِ ُ ‫ال رس‬ َ َ‫ث َر َف َعهُ إِىَل َح ِكي ِم بْ ِن ِحَز ٍام َر ِض َي اللَّهُ َعْنهُ ق‬ ِ ‫احْل ا ِر‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫ال ق‬ َ
‫ص َدقَا و َبَّينَا بُو ِر َك هَلُما يِف‬ ‫ن‬ْ َِ‫ال حىَّت يَت َفَّرقَا ف‬
‫إ‬ َ ‫ق‬
َ ‫َو‬ ‫أ‬ ‫ا‬ ‫ق‬
َ ‫ر‬
َّ ‫ف‬
َ ‫ت‬
َ ‫ي‬ ‫مَل‬ ‫ا‬ ‫م‬ ِ
‫ر‬ ‫ا‬ ‫ي‬ِ‫ان بِاخْل‬
ِ ‫وسلَّم الْبِّيع‬
َ َ َ َ َ ْ َ َْ َ ََ َ ََ
‫ت َبَر َكةُ َبْيعِ ِه َما‬ ِ ِ
ْ ‫َبْيع ِه َما َوإِ ْن َكتَ َما َو َك َذبَا حُم َق‬
(Hadist Bukhari – 1937) Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb telah
menceritakan kepada kami Syu'bah dari Qatadah dari Shalih Abu AL Khalil dari 'Abdullah
bin Al Harits yang dinisbatkannya kepada Hakim bin Hizam radliallahu 'anhu berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Dua orang yang melakukan jual beli boleh
melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan jual beli) selama
keduanya belum berpisah", Atau sabda Beliau: "hingga keduanya berpisah. Jika
keduanya jujur dan menampakkan dagangannya maka keduanya diberkahi dalam jual
belinya dan bila menyembunyikan dan berdusta maka akan dimusnahkan keberkahan jual
belinya".

2.  AMANAH
        ‫اب َع ْن‬ ٍ ‫ح َّدثَنَا إِ ْبر ِاهيم بْن مَحَْزةَ ح َّدثَنَا إِ ْبر ِاهيم بْن س ْع ٍد َعن صالِ ٍح َعن ابْ ِن ِشه‬
َ ْ َ ْ َ ُ ُ َ َ ُ ُ َ َ
‫َخَبَريِن أَبُو‬ ِ ٍ َّ‫َن عب َد اللَّ ِه بن عب‬ ِ ِ ِ ِ
ْ ‫ال أ‬ ْ ‫اس َرض َي اللَّهُ َعْن ُه َما أ‬
َ َ‫َخَبَرهُ ق‬ َ َْ َْ َّ ‫عَُبْيد اللَّه بْ ِن َعْبد اللَّه أ‬
ِّ ‫ت أَنَّهُ أ ََمَر ُك ْم بِالصَّاَل ِة َو‬
‫الص ْد ِق‬ َ ‫ك َما َذا يَأْ ُم ُر ُك ْم َفَز َع ْم‬ َ َ‫َن ِهَرقْ َل ق‬
َ ُ‫ال لَهُ َسأَلْت‬ َّ ‫ُس ْفيَا َن أ‬
ِ ِ ِ َ َ‫اف والْوفَ ِاء بِالْعه ِد وأَد ِاء اأْل َمانَِة ق‬ ِ
ٍّ ‫ال َو َهذه ص َفةُ نَيِب‬ َ َ َ َْ َ َ ‫َوالْ َع َف‬
(Hadist Bukhari – 2484) Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Hamzah telah
menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'ad dari Shalih dari Ibnu Syihab dari 'Ubaidulloih
bin 'Abdullah bahwa 'Abdullah bin 'Abbas radliallahu 'anhuma mengabarkannya berkata,
telah mengabarkan kepada kami Abu Sufyan bahwa Raja Heraklius berkata kepadanya: "Aku
telah bertanya kepadamu apa yang dia perintahkan kepada kalian, lalu kamu menjawab
bahwa dia memerintahkan kalian untuk shalat, bershadaqah (zakat), menjauhkan diri dari
berbuat buruk, menunaikan janji dan melaksankan amanah". Lalu dia berkata; "Ini adalah
diantara sifat-sifat seorang Nabi".

3. MURAH HATI
       “Sesungguhnya sebaik-baik penghasilan ialah penghasilan para pedagang yang mana apabila
berbicara tidak bohong, apabila diberi amanah tidak khianat, apabila berjanji tidak mengingkarinya,
apabila membeli tidak mencela, apabila menjual tidak berlebihan (dalam menaikkan harga), apabila
berhutang tidak menunda-nunda pelunasan dan apabila menagih hutang tidak memperberat orang
yang sedang kesulitan.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di dalam Syu’abul Iman, Bab Hifzhu Al-
Lisan IV/221).
       Dari hadits diatas termasuk etika bisnis adalah bermurah hati pada konsumen, dengan sikap
murah hati kita dapat menarik konsumen lebih banyak, mereka merasa dihargai, merasa dihormati,
merasa nyaman , terciptanya sebuah kepuasan bisnis dan komunikasi yang baik.

2.3 Etika dalam ekonomi islam menurut pemikir Muslim


Ajaran tentang kepercayaan yang merupakan turunan dari hadist tentang cara seseorang
memandang, berbicara, berprilaku, dan bekerja. berkaitan dengan aksi seseorang dan disandarkan
kepada ajaran ekonomi islam bersumber dari teks al qur' an,  hadist,  sejarah kehidupan Rasulullah
SAW.
Berbagai macam bahasan dalam ekonomi islam bermuara pada satu titik, yaitu untuk menjaga
kepercayaan masing masing pelaku ekonomi. Ali bin abi thalib dalam bukunya Nahjul Balaghah, 
bahwa sebuah bisnis akan sukses apabila sumber daya manusia yang terlibat dalam bisnis tersebut
kompeten. dalam ekonomi islam selalu mengedepankan beberapa aturan yang bermuara pada
keadilan[7].
Berikut pandangan para ekonom Muslim tentang beberapa hal sebagai embrio ajaran tentang
etika dalam ekonomi islam:
1.    Perdagangan internasional, regional dan bahasan tentang uang.
Pendapat ibn khaldun tentang perdagangan internasional mencangkup pembahasan uang dan
harga, produksi, distribusi, formasi kapita dan perkembangan, properti, populasi, pertanian,  dan
lain sebagainya. Hasil pemikiran ibn khaldun dan al ghazaly bertujuan untuk menyebarkan keadilan
bagi para pelaku bisnis.  Segala pemikirannya bermuara pada ajaran islam yang menimbulkan
kemaslahatan bagi manusia. Dalam dunia bisnis,  uang merupakan tujuan utama seorang berbisnis.
Tapi ada satu hal yang membedakan bisnis syariah dan konvensional yaitu, keberkahan dalam uang
tersebut.

2.    Keseimbangan dan Keadilan


Keseimbangan dan keadilan, berarti bahwa perilaku bisnis harus seimbang dan adil.
Keseimbangan berarti tidak berlebihan (ekstrim) dalam mengejar keuntungan ekonomi.
Kepemilikan individu yang tak terbatas, sebagaimana dalam sistem kapitalis, tidak
dibenarkan. Dalam Islam, Harta mempunyai fungsi sosial yang kental, sehingga perlu
diberdayakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Jika prinsip keadilan dan
keseimbangan berjalan seiring, maka bisa dipastikan pengembangan ekonomi Islam akan
semakin mengalami peningkatan dan kemajuan yang signifikan.

[1] Yan Orgianus. Moralitas Islam dalam Ekonomi dan Bisnis. (Bandung : Penerbit Marja, 2012), 136
[2]  Yan Orgianus. Moralitas Islam dalam Ekonomi dan Bisnis. (Bandung : Penerbit Marja, 2012), 198
[3]  Veithzal Rivai dan Andi Buchari. 2013. Islamics Economics, (Jakarta : PT. Bumi Aksara),  234
[4] Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.
[5] Kaum muslimin yang jumlahnya masih sedikit itu telah mengadakan perjanjian yang kuat dengan Nabi di
waktu mereka melihat orang-orang Quraisy berjumlah banyak dan berpengalaman cukup, lalu timbullah
keinginan mereka untuk membatalkan perjanjian dengan Nabi Muhammad s.a.w. itu. Maka perbuatan yang
demikian itu dilarang oleh Allah s.w.t.
[6] Yan Orgianus. Moralitas Islam dalam Ekonomi dan Bisnis. (Bandung : Penerbit Marja, 2012), 138

[7] Ika Yunia Fauzia. Etika bisnis dalam islam. (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), 35
Diposkan oleh Nurmalia Andriani di 07.37

http://pustakamediasyariah.blogspot.co.id/2015/05/ma
kalah-pes-perdagangan-dalam-islam.html

b. Etika perdagangan Islam


Perdagangan menurut aturan Islam, menjelaskan berbagai etika yang harus dilakukan oleh para pedagang
Muslim dalam melaksanakan jual beli. Dan diharapkan dengan menggunakan dan mematuhi etika perdagangan
Islam tersebut, suatu usaha perdagangan dan seorang Muslim akan maju dan berkembang pesat lantaran selalu
mendapat berkah Allah SWT di dunia dan di akhirat. Etika perdagangan Islam menjamin, baik pedagang
maupun pembeli, masing-masing akan saling mendapat keuntungan.Adapun tersebut antara lain:
1 Shidiq (Jujur)
Seorang pedagang wajib berlaku jujur dalam melakukan usaha jual beli.Jujur dalam arti luas.Tidak berbohong,
tidak menipu, tidak mcngada-ngada fakta, tidak bekhianat, serta tidak pernah ingkar janji dan lain
sebagainya.Mengapa harus jujur? Karena berbagai tindakan tidak jujur selain merupakan perbuatan yang jelas-
jelas berdosa, –jika biasa dilakukan dalam berdagang– juga akan mewarnal dan berpengaruh negatif kepada
kehidupan pribadi dan keluarga pedagang itu sendiri. Bahkan lebih jauh lagi, sikap dan tindakan yang seperti itu
akan mewarnai dan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat.
Dalam Al Qur’an, keharusan bersikap jujur dalam berdagang, berniaga dan atau jual beli, sudah diterangkan
dengan sangat jelas dan tegas yang antara lain kejujuran tersebu –di beberapa ayat– dihuhungkan dengan
pelaksanaan timbangan, sebagaimana firman Allah SWT: ”Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan
adil”. (Q.S Al An’aam(6): 152).[6]
Firman Allah SWT:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan, dan
timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan
janganlah kamu merajalela di muka bumi ini dengan membuat kerusakan.” (Q.S AsySyu’araa(26): 181-183)
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar.ItuIah yang
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S Al lsraa(17): 35)
“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.”(Q.S Ar
Rahmaan(55): 9)[7]
Dengan hanya menyimak ketiga ayat tersebut di atas, maka kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa;
sesungguhnya Allah SWT telah menganjurkan kepada seluruh ummat manusia pada umumnya, dan kepada para
pedagang khususnya untuk berlaku jujur dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan.
Penyimpangan dalam menimbang, menakar dan mengukur yang merupakan wujud kecurangan dalam
perdagangan, sekalipun tidak begitu nampak kerugian dan kerusakan yang diakibatkannya pada manusia
ketimbang tindak kejahatan yang lehih besar lagi seperti; perampokan, perampasan, pencu rian, korupsi,
manipulasi, pemalsuan dan yang lainnya, nyatanya tetap diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
Mengapa? Jawabnya adalah; karena kebiasaan melakukan kecurangan menimbang, menakar dan mengukur
dalam dunia perdagangan, akan menjadi cikal baka! dari bentuk kejahatan lain yang jauh lebih besar. Sehingga
nampak pula bahwa adanya pengharaman serta larangan dari Islam tersebut, merupakan pencerminan dan sikap
dan tindakan yang begitu bijak yakni, pencegahan sejak dini dari setiap bentuk kejahatan manusia yang akan
merugikan manusia itu sendiri.[8]
Di samping itu, tindak penyimpangan dan atau kecurangan menimbang, menakar dan mengukur dalam dunia
perdagangan, merupakan suatu perbuatan yang sangat keji dan culas, lantaran tindak kejahatan tersebut
bersembunyi pada hukum dagang yang telah disahkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, atau
mengatasnamakan jua! beli atas dasar suka sama suka, yang juga telah disahkan oleh agama.
Jikapencurian, pemerasan, perampasan, –sudah jelas– merupakan tindakan memakan harta orang lain dengan
cara batil, yang dilakukan dengan jalan terang-terangan. Namun tindak penyimpangan dan atau kecurangan
dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan, merupakan kejahatan yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi.Sehingga para pedagang yang melakukan kecurangan tersebut, pada hakikatnya adalah juga
pencuri, perampok dan perampas dan atau penjahat, hanya mereka bersembunyi di balik lambang keadilan
yakni, timbangan, takaran dan ukuran yang mereka gunakan dalam perdagangan. Dengan demikian, tidak ada
bedanya! Mereka sama-sama penjahat.Maka alangkah kejinya tindakan mereka itu. Sehingga wajar, jika Allah
SWT dan Rasul-Nya mengharamkan perbuatan tersebut, dan wajar pula jika para pelakunya diancam Allah
SWT; akan menerima azab dan siksa yang pedih di akhirat kelak, sebagaimana Firman Allah SWT dalam Al
Qur’an:
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran
dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain,
mereka mengurangi.Tidakkah orang-orang ini menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan,
pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan Semesta Alam ini.”  (Q.S
Al Muthaffifiin (83): 1-6)
Selain ancaman azab dan siksa di akhirat kelak –bagi orang-orang yang melakukan berbagai bentuk
penyimpangan dan kecurangan dalam menakar, menimhang dan mengukur barang dagangan mereka–,
sesungguhnya Al Qur’an juga telah menuturkan dengan jelas dan tegas kisah onang-orang Madyan yang
terpaksa harus menerima siksa dunia dari Allah SWT, lantaran menolak peringatan dari Nabi mereka Syuaib as.
“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka Syuaib. Ia berkata:”Hai kaumku,
sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti
yang nyata dari Tuhanmu.Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah membuat kerusakan di
muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya.Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-
orang yang beriman”. (Q.S Al A’raaf(7): 85)
Firman Allah SWT:“Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Syuaib dan orang-orang yang beriman
bersama-sama dia dengan Rahmat dari Kami, dan orang-orang yang zalim dibinasakan oleh satu suara yang
mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpang an di temnpat tinggalnya.” (Q.S Hud(11): 94)
Kedua ayat tersebut di atas, hendaknya menjadi peringatan bagi kita, bahwa ternyata perbuatan curang dalam
menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan, sama sekali tidak memberikan keuntungan, kehahagiaan
bagi para pelakunya, bahkan hanya menimbulkan murka Allah. Sedangkan azab dan siksa serta hukuman bagi
para pelaku kejahatan tersebut, nyatanya tidak selalu diturunkan Allah SWTI kelak dii akhirat saja, namun juga
diturunkan di dunia.
Oleh sebab itu, Rasulullah SAW –dalam banyak haditsnya–, kerapkali mengingatkan para pedagang untuk
berlaku jujur dalam berdagang.Sabda Rasulullah SAW:”Wahai para pedagang, hindarilah kebohongan”. (HR.
Thabrani)
“Seutama-utama usaha dari seseorang adalah usaha para pedagang yang bila berbicara tidak berbohiong,
bila dipercaya tidak berkhianat, bila berjanji tidak ingkar, bila membeli tidak menyesal, bila menjual tidak
mengada -gada, bila mempunyai kewajiban tidak menundanya dan bila mempunyai hak tidak
menyulitkan”. (HR. Ahmad, Thabrani dan Hakim)
“Pedagang dan pembeli keduanya boleh memilih selagi belum berpisah. Apabila keduanya jujur dan terang-
terangan, maka jual belinya akan diberkahi. Dan apabila keduanya tidak rnau berterus terang serta
berbohong, maka jual belinya tidak diberkahi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah SAW menegaskan pula, bahwa pedagang yang jujur dalam melaksakan jual beli, di akhirat kelak
akan ditempatkan di tempat yang mulia. Suatu ketika akan bersama- sama para Nabi dan para Syahid. Suatu
ketika di bawah Arsy, dan ketika lain akan berada di suatu tempat yang tidak terhalang baginya masuk ke dalam
surga.
Sabda Rasulullah SAW:“Pedagang yang jujur serta terpercaya (tempatnya) bersama para Nabi, orang-orang
yang jujur, dan orang-orang yang mati Syahid pada hari kiamat”. (HR. Bukhari, Hakim, Tirmidzi dan Ibnu
Majjah)
“Pedagang yang jujur di bawah Arsy pada hari kiamat”. (HR. Al-Ashbihani)
“Pedagang yang jujur tidak terhalang dari pintu-pintu surga”. (HR. Tirmidzi)
Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits Qudsi):
“Aku yang ketiga (bersama) dua orang yang berserikat dalam usaha (dagang) selama yang seorang tidak
berkhianat (curang) kepada yang lainnya.Apabila berlaku curang, maka Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu
Dawud)
“Sesama Muslim adalah saudara.Oleh karena itu seseorang tidak boleh menjual barang yang ada cacatnya
kepada saudaranya, namun ia tidak menjelaskan cacat tersebut.” (HR. Ahmad dan lbnu Majaah)
“Tidak halal bagi seseorang menjual sesuatu barang dengan tidak menerangkan (cacat) yang ada padanya,
dan tidak halal bagi orang yang tahu (cacal) itu, tapi tidak menerangkannya.” (HR. Baihaqie)
“Sebaik-baik orang Mu‘min itu ialah, mudah cara menjualnya, mudah cara membelinya, mudah cara
membayarnya dan mudah cara menagihnya.” (HR. Thabarani)[9]
2 Amanah (Tanggungjawab)
Setiap pedagang harus bertanggung jawab atas usaha dan pekerjaan dan atau jabatan sebagai pedagang yang
telah dipilihnya tersebut.Tanggung jawab di sini artinya, mau dan mampu menjaga amanah (kepercayaan)
masyarakat yang memang secara otomatis terbeban di pundaknya.
Sudah kita singgung sebelumnya bahwa –dalam pandangan Islam– setiap pekerjaan manusia adalah mulia.
Berdagang, berniaga dan ataujual beli juga merupakan suatu pekerjaan mulia, lantaran tugasnya antara lain
memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat akan barang dan atau jasa untuk kepentingan hidup dan
kehidupannya.
Dengan demikian, kewajiban dan tanggungjawab para pedagang antara lain: menyediakan barang dan atau jasa
kebutuhan masyarakat dengan harga yang wajar, jumlah yang cukup serta kegunaan dan manfaat yang
memadai. Dan oleh sebab itu, tindakan yang sangat dilarang oleh Islam –sehubungan dengan adanya tugas,
kewajiban dan tanggung jawab dan para pedagang tersebut– adalah menimbun barang dagangan.
Menimbun barang dagangan dengan tujuan meningkatkan pemintaan dengan harga selangit sesuai keinginan
penimbun barang, merupakan salah satu bentuk kecurangan dari para pedagang dalam rangka memperoleh
keuntungan yang berlipat ganda.
Menimbun barang dagangan –terutama barangbarang kehutuhan pokok– dilarang keras oleh Islam! Lantaran
perbuatan tersebut hanya akan menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Dan dalam prakteknya, penimbunan
barang kebutuhan pokok masyarakat oleh sementara pedagang akan menimbulkan atau akan diikuti oleh
berhagai hal yang negatifseperti; harga-harga barang di pasar melonjak tak terkendali, barang-barang tertentu
sulit didapat, keseimbangan permintaan dan penawaran terganggu, munculnya para spekulan yang
memanfaatkan kesempatan dengan mencari keuntungan di atas kesengsaraan masyarakat dan lain sebagainya.
Ada banyak hadits Rasulullah yang menyinggung tentang penimbunan barang dagangan, baik dalam bentuk
peringatan, larangan maupun ancaman, yang .ntara lain sebagai berikut:
Sabda Rasulullah (yang artinya):
“Allah tidak akan berbelas kasihan terhadap orang-orang yang tidak mempunyai belas kasihan terhadap orang
lain.” (HR. Bukhari)
“Barangsiapa yang melakukan penimbunan terhadap makanan kaum Muslimin, Allah akan menimpanya
dengan kerugian atau akan terkena penyakit lepra.” (HR. Ahmad)
“Orang yang mendatangkan barang dagangan untuk dijual, selalu akan memperoleh rejeki, dan orang yang
menimbun barang dagangannya akan dilaknat Allah.” (HR. lbnu Majjah)
“Barangsiapa yang menimbun makanan, maka ia adalah orang yang berdosa.” (HR. Muslim dan Abu Daud)
“Barangsiapa yang menimbun makanan selama 40 hari, maka ia akan lepas dari tanggung jawab Allah dan
Allah pun akan cuci tangan dari perbuatannya.” (HR. Ahmad)[10]
3 Tidak Menipu
Dalam suatu hadits dinyatakan, seburuk-buruk tempat adalah pasar.Hal ii lantaran pasar atau termpat di mana
orang jual beli itu dianggap sebagal sebuah tempat yang di dalamnya penuh dengan penipuan, sumpah palsu,
janji palsu, keserakahan, perselisihan dan keburukan tingkah polah manusia lainnya.
Sabda Rasulullah SAW:
“Sebaik-baik tempat adalah masjid, dan seburk-buruk tempat adalah pasar”. (HR. Thabrani).“Siapa saja
menipu, maka ia tidak termasuk golonganku”. (HR. Bukhari)
Setiap sumpah yang keluar dan mulut manusia harus dengan nama Allah. Dan jika sudah dengan nama Allah,
maka harus benar dan jujur. Jika tidak henar, maka akibatnya sangatlah fatal.
Oleh sehab itu, Rasulululah SAW selalu memperingatkan kepada para pedagang untuk tidak mengobral janji
atau berpromosi secara berlebihan yang cenderung mengada-ngada, semata-mata agar barang dagangannya laris
terjual, lantaran jika seorang pedagang berani bersumpah palsu, akibat yang akan menimpa dirinya hanyalah
kerugian.
Sabda Rasulullah SAW:
“Jangan bersumpah kecuali dengan nama Allah. Barangsiapa bersumpah dengan nama Allah, dia harus jujur
(benar). Barangsiapa disumpah dengan nama Allah ia harus rela (setuju). Jika tidak rela (tidak setuju), niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah.” (HR. lbnu Majaah dan Aththusi)
“Ada tiga kelompok orang yang kelak pada hari kiamat Allah tidak akan berkata-kata, tidak akan melihat,
tidak akanpula mensucikan mereka.Bagi mereka azab yang pedih.Abu Dzarr berkata, “Rasulullah mengulang-
ulangi ucapannya itu, dan aku hertanya,” Siapakah mereka itu, ya Rasulullah?”Beliau menjawab, “Orang
yang pakaiannya menyentuh tanah karena kesombongannya, orang yang menyiarkan pemberiannya
(mempublikasikan kebaikannya), dan orang yang menjual dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim)
“Sumpah dengan maksud melariskan barang dagangan adalah penghapus barokah.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
“Sumpah (janji) palsu menjadikan barang dagangan laris, (tetapi) menghapus keberkahan”.(HR. Tirmidzi,
Nasal dan Abu Dawud)
“Berhati-hatilah, jangan kamu bersumpah dalam penjualan.Itu memang melariskan jualan tapi menghilangkan
barokah (memusnahkan perdagangan).” (HR. Muslim)
Sementara itu, apa yang kita alami selama ini, jual beli, perdagangan dan atau perniagaan di zaman sekarang –
terutama di pasar-pasar bcbas– tidak banyak lagi diketemukan orang yang mau memperhatikan etiket
perdagangan Islam. Bahkan nyaris, setiap orang –penjual maupun pembeli– tidak mampu lagi membedakan
barang yang halal dan yang haram, dimnana keadaan ini sesungguhnya sudah disinyalir akan terjadi oleh
Rasulullah SAW, sebagaimana dinyatakan dalam haditsnya.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: “Akan datang pada manusia suatu zaman yang seseorang tidak
memperhatikan apakah yang diambilnya itu dan barang yang halal atau haram.” (HR. Bukhari)[11]
Memang sangat disayangkan, mengapa hal seperti ini harus terjadi? Sementara tidak hanya sekali saja
Rasulullah SAW memberi peringatan kepada para pedagang untuk berbuat jujur, tidak menipu dalam berjual
beli agar tidak merugikan orang lain. Sehagaimana pernyataan beberapa hadits di bawah ini:
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah seseorang menjual akan suatu barang yang
telah dibeli oleh orang lain”. (HR. Bukhari)
Dari lbnu Umar: Bahwa seorang laki-laki menyatakan pada Nabi SAW bahwa ia tertipu ketika berjual heli.
Maka Nabi menyatakan: “Jika engkau berjualbeli maka katakanlah: Tidak boleh menipu”. (HR. Bukhari)
4 Menepati Janji
Seorang pedagang juga dituntut untuk selalu menepati janjinya, baik kepada para pembeli maupun di antara
sesama pedagang, terlebih lagi tentu saja, harus dapat menepati janjinya kepada Allah SWT.
Janji yang harus ditepati oleh para pedagang kepada para pembeli misalnya; tepat waktu pengiriman,
menyerahkan barang yang kwalitasnya, kwantitasnya, warna, ukuran dan atau spesifikasinya sesuai dengan
perjanjian semula, memberi layanan puma jual, garansi dan lain sebagainya.Sedangkan janji yang harus ditepati
kepada sesama para pedagang misalnya; pembayaran dengan jumlah dan waktu yang tepat.
Sementara janji kepada Allah yang harus ditepati oleh para pedagang Muslim misalnya adalah shalatnya.
Sebagaimana Firman Allah dalam Al Qur’an:
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyaknya supaya kamu beruntung.Dan apabila mereka melihat perniagaan atau
permainan, mereka bubar untuk menuju kepadaNya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah).
Katakanlah: ”Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah
sebaik-baik pemberi rezki” (Q.S Al Jumu’ah (62):10-11)
Dengan demikian, sesibuk-sibuknya urusan dagang, urusan bisnis dan atau urusan jual beli yang sedang
ditangani –sebagai pedagang Muslim– janganlah pernah sekali-kali meninggalkan shalat.Lantaran Allah SWT
masih memberi kesempatan yang sangat luas kepada kita untuk mencari dan mendapatkan rejeki setelah shalat,
yakni yang tercermin melalui perintah-Nya; bertebaran di muka bumi dengan mengingat Allah SWT banyak-
banyak supaya beruntung.[12]
5 Murah Hati
Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW menganjurkan agar para pedagang selalu bermurah hati dalam
melaksanakan jual beli.Murah hati dalam pengertian; ramah tamah, sopan santun, murah senyum, suka
mengalah, namun tetap penuh tanggungjawab.
Sabda Rasulullah SAW: “Allah berbelas kasih kepada orang yang murah hati ketika ia menjual, bila membeli
dan atau ketika menuntut hak”. (HR. Bukhari)“Allah memberkahi penjualan yang mudah, pembelian yang
mudah, pembayaran yang mudah dan penagihan yang mudah”. (HR. Aththahawi)
6 Tidak Melupakan Akhirat
Jual beli adalah perdagangan dunia, sedangkan melaksanakan kewajiban Syariat Islam adalah perdagangan
akhirat.Keuntungan akhirat pasti lebih utama ketimbang keuntungan dunia.Maka para pedagang Muslim sekali-
kali tidak boleh terlalu menyibukkan dirinya semata-mata untuk mencari keuntungan materi dengan
meninggalkan keuntungan akhirat.Sehingga jika datang waktu shalat, mereka wajib melaksanakannya sebelum
habis waktunya.Alangkah baiknya, jika mereka bergegas bersama-sama melaksanakan shalat berjamaah, ketika
adzan telah dikumandangkan. Begitu pula dengan pelaksanaan kewajiban memenuhi rukun Islam yang lain.
Sekali-kali seorang pedagang Muslim hendaknya tidak melalaikan kewajiban agamanya dengan alasan
kesibukan perdagangan.
Sejarah telah mencatat, bahwa dengan berpedoman kepada etika perdagangan Islam sebagaimana tersebut di
atas, maka para pedagang Arab Islam tempo dulu mampu mengalami masa kejayaannya, sehinga mereka dapat
terkenal di hampir seluruh penjuru dunia

[6]HADITS-HADITS SHOHIH TENTANG KEUTAMAAN PERNIAGAAN DAN PENGUSAHA MUSLIM /


Posted on April 10, 2012 | 1 Komentar. Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz
[7]Sumber : http://aspal-putih.blogspot.com/2012/07/berdagang-menurut-islam.html#ixzz2OTITPvf5
Under Creative Commons License: Attribution
[8] Berdagang Menurut Islam.Posted by Ryan Riyanto on Friday, July 27, 2012.Sumber :
http://aspalputih.blogspot.com/2012/07/berdagang-menurut-islam.html#ixzz2OVZLPPLq
Under Creative Commons License: Attribution
[9]Sumber : http://aspal-putih.blogspot.com/2012/07/berdagang-menurut-islam.html#ixzz2OTITPvf5
Under Creative Commons License: Attribution
[10]Sumber : http://aspal-putih.blogspot.com/2012/07/berdagang-menurut-islam.html#ixzz2OTITPvf5
Under Creative Commons License: Attribution
[11]Sumber: MAJALAH PENGUSAHA MUSLIM Edisi 6 Volume 1 Tanggal 15 Juni 2010]
[12]Sumber: MAJALAH PENGUSAHA MUSLIM Edisi 6 Volume 1 Tanggal 15 Juni 2010]

Anda mungkin juga menyukai