Anda di halaman 1dari 33

INTENSITAS PENYUSUAN

DALAM LARANGAN PERKAWINAN SEPERSUSUAN


(ANALISIS PASAL 39 AYAT 3 KOMPILASI HUKUM ISLAM)

Abstract
Ccompilation of Islamic law describes banning marriage by raḍā’ah it is
established in article 39 (3), which explains that man and women are prohibited
to marry each other for some reasons. one of them because the relationship
raḍā’ah, but the mention of such article does not explain how the levels of Rada
'that led to the prohibition of marriage raḍā’ah. but viewed from the formulation
compilation of Islamic law rooted in fiqh books Shafi'ites, thus raḍā’ah levels
contained in the article following the Sayafi'i schools, which is five times the
suction (raḍā’ah). whereas in Islamic law explains rada'ah levels argue that there
is more or less still make mahram raḍā’, onecan not make twice mahram raḍā,
and there are also at least five times the suction can make mahram raḍā.
[Kompilasi Hukum Islam menjelaskan tentang larangan perkawinan karena
sepersusuan hal ini termaktub dalam Pasal 39 Ayat 3, dalam pasal tersebut
menyebutkan bahwa seorang laki-laki dan seorang perempuan dilarang
melangsungkan perkawinan disebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya karena
pertalian sepersusuan, namun dalam penyebutan pasal tersebut tidak menjelaskan
seberapa kadar susuan yang menyebabkan larangan perkawinan sepersusuan.
namun melihat dari perumusuan Kompilasi Hukum Islam bersumber pada kitab
fiqh Syafi’iyah,dengan demikian kadar susuan yang terkandung dalam pasal
tersebut yaitu mengikuti madzhab Syafi’i, yaitu lima kali hisapan (susuan).
Sedangkan dalam hukum Islam menjelaskan kadar susuan itu ada yang
berpendapat sedikit banyak tetap menjadikan mahram, satu kali dua kali tidak
dapat menjadikan mahram, dan ada juga minimal lima kali susuan dapat
menjadikan mahram.]
Kata Kunci: Intensitas,Raḍā’ah, Larangan Perkawinan, KHI.

A. Pendahuluan

Perkawinan dalam Islam didefinisikan sebagai sebuah ikatan lahir


batin antara laki-laki dan perempuan yang sering di ungkapkan sebagai
miṡaqan galīdan (ikatan yang kokoh) dan melaksanakannya merupakan suatu
ibadah, demikian di ungkap oleh pasal 2 Kompilasi Hukum Islam.1Ungkapan
tersebut dalam al-Qur’an sebagai kata kunci yang membedakan lembaga
perkawinan dalam Islamdengan lembaga perkawinan jahiliah.
Ikatan perkawinan merupakan ikatan yang sangat suci. Karena begitu
tinggi dan sucinya ikatan perkawinan dalam transformasi struktur budaya
1
Undang-undang Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Arkola, tt), 180.

1
2

masyarakat muslim, Allah Swt telah memberikan ketentuan yang di


syariatkan untuk menjaga kesucian lembaga perkawinan ini. Ketentuan ini
berupa syarat-syarat sebuah perkawinan dan juga hal-hal yang menjadi
larangan bagi pasangan calon mempelai.Mengenai hal ini disebutkan dalam
al-Qur’an.
‫ات األخت‬99‫ات االخ وبن‬99‫ وبن‬9‫واتكم وع ّمتكم وخلتكم‬99‫اتكم وأخ‬99‫حرمت عليكم أ ّمهاتكم وبن‬
2
.‫ من الرّضاعة‬9‫ وأخواتكم‬9‫وأ ّمها تكم الالّتى أرضعنكم‬
Dari ayat tersebut, secara gambling, al-Qur’an menerangkan bahwa
diantara wanita yang haram untuk dinikahi, karena terhitung sebagai mahram
adalah perempuan-perempuan yang masih terikat hubungan susuan
(raḍā’ah).Hal ini menjadi dasar bagi KHI yang juga menerangkan tentang
larangan kawin dengan orang-orang tertentu karena pertalian nasab, pertalian
kerabat semenda, pertalian sesusuan.3
Dalam Hadis Nabi juga menegaskan akan keharaman nikah karena
hubungan sesusuan ini. Hadis ini berbunyi:
‫يحرم من الرضاعة ما يحرم من الوالدة‬.4
Sejalan dengan hal tersebut, dalam hukum Islam, terdapat dua bentuk
larangan perkawinan, yaitu larangan perkawinan untuk selamanya
(mu’abbad) dan larangan perkawinan yang berlaku untuk sementara waktu
disebabkan oleh hal tertentu (muwaqqat).5 Meskipun suatu perkawinan telah
memenuhi seluruh rukun dan syarat yang telah ditentukan, belum tentu
karena masih ada hal yang dapat menghalangi suatu perkawinan.6
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 39 menyebutkan bahwa seorang
pria dan seorang wanita dilarang melangsungkan perkawinan disebabkan oleh
beberapa hal.
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita disebabkan:
1. Karena pertalian Nasab :
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang
menurunkannya atau keturunannya;
b. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya;
2. Karena pertalian kerabat semenda;

2
An-Nisa (4): 23.
3
KHI Impres No. 1 Tahun 1991 Pasal 39.
4
Yaḥya Bin Syaraf an-Nawawī, Saḥīḥ Muslim Bisyarhian-Nawawī,Libanon: Dār al-kutub
al-‘ilmiyah, 2010), IX:17. Hadis nomor 1444, “Kitāb ar-Raḍa’i” “Bāb Yahrumu min ar-Raḍā’ati
Mā Yahrumu min al-Wilādati.” Hadis dari ‘Aisyah, sanadnya ṣahih.
5
As-Sayyid Sābiq, Fiqhu as-Sunnah, (Dar al-Fikr, Beirut: 1977), II: 46.
6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, cet. ke-1 (Jakarta: Kencana, 2006), 109-110.
3

a. Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas


istrinya;
b. Dengan seorang wanita bekas istri orang yang
menurunkannya;
c. Dengan seorang keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali
putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu
qabla ad-dukhul;
d. Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya;
3. Karena pertalian sepersusuan
a. Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut
garis lurus keatas;
b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut
garis lurus kebawah;
c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan
sesusuan kebawah;
Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunananya7

Pasal 39 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut tidak


menjelaskan secara detail tentang kadar susuanyang menyebabkan terjadi
hubungan mahram yang dapat menghalangi seorang pria dan wanita
melakukan perkawinan. Oleh karena itu, sangat perlu untuk mengkaji lebih
jauh mengenai larangan perkawinan sepersusuan, khususnya seberapa
intensitas penyusuan dalam larangan perkawinan sepersusuan yang
terkandung dalam Pasal 39 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam.
Pertanyaan tersebut akan dilihat dari segi hukum Islamnya. Dengan
demikian, tulisan ini merupakan sebuah penelitian pustaka, dengan metode
deskriptif analitik. Data yang digunakan adalah pasal 39 ayat 3 KHI, kitab-
kitab fikih klasik, dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Teknik analisis
data dalam tulisan ini adalah deduktif, yang mana pasal 39 ayat 3 dianalisis
dengan kajian hukum Islam. Sehingga, tulisan ini ingin melihat bagaimana
kerangka penetapan hukum larangan perkawinan sepersusuan dalam KHI,
khususnya intensitas penyusuan.
Adapun sistematika tulisan, antara lain; pertama, pendahuluan yang
berisi latar belakang penulisan dan metode yang dipakai. Kedua, gambaran
umum tentang konsep raḍā’ah dan larangan perkawinan sepersusuan dalam
KHI. Ketiga, Analisis hukum Islam terhadap pasal 39 ayat 3 KHI. Terakhir,
penutup yang berisi kesimpulan dari tulisan ini.
B. Rada’ah dan Larangan Perkawinan Sepersusuan dalam KHI
1. Raḍā’ah
7
Kompilasi Hukum Islam Pasal 39.
4

a. Pengertian Raḍā’ah
Penyusuan anak dalam fiqih dinyatakan dengan ar-raḍa’ (al-
raḍā’ah) atau bisa dibaca ar-riḍa’ (ar-riḍā’ah). Kata ini berasal dari
kata kerja raḍa’a (raḍi’a) yarḍi’u (yarḍa’u) yarḍa’an, yang berarti
menyusu (menetek). Oleh karean itu, bayi yang menyusu disebut ar-
raḍi’.Sementara ibu susuan/perempuan yang menyusui anak orang
lain disebut al-murḍi’ah.8
Secara etimologis, ar-raḍā’ah/ar-riḍā’ah adalah sebuah nama
bagi isapan susu, baik isapan susu manusia maupun susu binatang.
Dalam pengertian etimologis tidak dipersyaratkan bahwa yang
dipersusui itu berupa anak kecil atau bukan.9
Adapun dalam pengertian terminologis, sebagian ulama fiqih
mendefinisikan raḍā’ah sebagai berikut
‫ لبن أدمية الى جوف طفل لم يزد سنّه على حولين‬9‫وصول‬
Mencermati pengertian ini, ada tiga unsur batasan untuk bisa
disebut ar-raḍā’ah as-syarī’ah(penyusuan yang berdasarkan etika
Islam), yaitu: pertama, adanya air susu manusia. Kedua, air susu itu
masuk ke dalam perut seorang bayi. Ketiga, bayi tersebut belum
berusia 2 tahun.
Dari unsur-unsur pengertian ini, dapat dipahami bahwa
seorang bayi laki-laki atau perempuan yang meminum air susu hewan,
misalnya susu sapi atau susu kambing tidak termasuk dalam
pengertian ar-raḍā’ah as-syarī’ah. Ia tidak terkena konsekuensi syara’
seperti keharaman menjalani hubungan pernikahan atau hubungan
syara’ lainnya. Baik masuknya air susu itu melalui mulut ataupun
hidung, asalkan si anak itu belum berusia dua tahun, tetap bisa disebut
ar-raḍā’ah as-syarī’ah. Jadi, batasan maksimal usia anak yang disusui
adalah dua tahun. Sebab pada sampai usia dua tahun, perkembangan
biologis anak sangat ditentukan oleh kadar susu yang diterimanya.
Susu pada usia ini sangat mempengaruhi perkembangan fisik dan
psikis anak. Oleh karena itu, apabila sudah di atas dua tahun, susuan
seorang perempuan kepada anak tidak dianggap sebagai ar-raḍā’ah
as-syarī’ah.10
Dengan demikian, definisi raḍā’ah sebagaimana diuraikan di
atas, dapat dilihat bahwa pengertian raḍā’ah yang secara etimologis

8
Ahmad Warson Munawir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia Al-Munawwir, (Yogyakarta:
t.p, tt.), 540-541.
9
Abdurrahman al-Jazīry, Kitāb al-Fiqh ‘Ala-Al Mażāhibal-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1990).IV: 250-251.
10
Ibn Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid Wa Nihayah Al-Muqtasid, (Beirut:Dar al-Fikr,
t.th),27.
5

lebih luas menjadi terbatas.Keterbatasan tersebut meliputi dua hal


pokok; pertama, jika dalam pengertian etimologis raḍā’ah mencakup
manusia dan binatang, maka pengertian raḍā’ah secara terminologis
terbatas hanya pada manusia. Dalam arti lain, air susu selain manusia
tidak termasuk dalam pengertian ini. Kedua, apabila raḍā’ah dalam
pengertian lugawi tidak terbatas pada siapa saja yang meminum air
susu itu, maka dalam pengertian istilaḥi orang yang menyusu hanya
terbatas pada anak-anak saja. Dengan kata lain, penyusuan yang
dilakukan oleh orang dewasa tidak termasuk dalam pengertian
raḍā’ah sebagaimana dikehendaki oleh syarī’at. Meskipun pengertian
raḍā’ah secara terminologis sebagaimana pengertian kata secara
istilahi pada umumnya lebih sempit dibanding pengertian secara
etimologis, namun jika dilihat dari sudut yang lain ada juga perluasan
arti pada pengertian raḍā’ah. Secara terminologis, jika raḍā’ah dalam
pengertian lugawi terbatas pada sedotan atau isapan air susu dari
payudara, maka raḍā’ah dalam pengertian istilaḥi tidak terbatas pada
isapan air susu dari payudara saja. Yang menjadi pokok ukurannya
adalah sampainnya air susu itu ke dalam kerongkongan anak yang
menyusu, lewat payudara ataupun tidak.
Dengan demikian, rukun ar-raḍā’ah as-syarī’ah bisa
dikatakan ada tiga unsur: pertama, anak yang menyusu. Kedua,
perempuan yang menyusui. Ketiga, kadar air susu yang memenuhi
batas maksimal.11Suatu kasus (qadiyah) bisa disebut ar-raḍā’ah as-
syarī’ah, dan karenanya mengandung konsekuensi-konsekuensi
hukum yang harus berlaku apabila tiga unsur ini bisa ditemukan
padanya.Apabila satu unsur saja tidak ditemukan, maka rada’ah dalam
kasus itu tidak bisa disebut ar-raḍā’ah as-syarī’ah.
b. Dasar Hukum Raḍā’ah
Raḍā’ahdalam wacana fiqh munakahat mempunyai kedudukan
yang sangat penting, karena menentukan boleh tidaknya menikahi
seseorang.Beberapa yang menjelaskan tentang keharaman sebab
persusuan adalah al-Qur’an, Hadis, dan ijma’.
Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang rada’ah
(susuan) yang dijadikan dasar hukum adalah surah al-Baqarah (2) ayat
233, surah an-Nisā (4) ayat 23, al-Ḥajj (22) ayat 2, at-Ṭalaq (65) ayat
6, al-Qaṣaṣ (28) ayat 12. Serta hadis-hadis yang berkaitan dengan
masalah rada’ah adalah:

11
Abi Yahya Zakariya al-Ansari,Fatḥ al Wahhab fi Syarh Minhāj at-Tullab, (Surabaya:
Toko Kitab al-Hidayah, t.t), II: 112.
‫‪6‬‬

‫دهن ح‪99‬ولين ك‪99‬املين لمن أراد أن يت ّم الرض‪99‬اعة وعلى‬ ‫والوال‪99‬دت يرض‪99‬عن أولا ّ‬
‫‪12‬‬
‫ّ‬
‫وكسوتهن بالمعروف‪.9‬‬ ‫ّ‬
‫رزقهن‬ ‫المولود‪ 9‬له‬
‫ح‪99‬رمت عليكم أ ّمه‪99‬اتكم وبن‪99‬اتكم‪ 9‬وأخ‪99‬واتكم‪ 9‬وع ّمتكم وخلتكم وبن‪99‬ات األخ وبن‪99‬ات‬
‫األخت‬
‫‪13‬‬
‫وأ ّمها تكم الالّتى أرضعنكم وأخواتكم من الرّضاعة‪.‬‬
‫يوم ترونها‪ 9‬تذهل ك ّل مرضعة ع ّما أرضعت وتضع ك ّل ذات حمل حملها وت‪99‬رى‬
‫‪14‬‬
‫ّ‬
‫ولكن عذاب هللا شديد‪.‬‬ ‫النّاس سكرى وماهم بسكرى‬
‫عليهن وإن ّ‬
‫كن‬ ‫ّ‬ ‫هن من حيث سكنتم من وج‪99‬دكم‪ 9‬وال تض‪99‬ار ّ‬
‫ّوهن لتض‪99‬يقوا‬ ‫أسكنو ّ‬
‫ّ‬
‫‪9‬ورهن‬ ‫هن أج‪9‬‬‫حملهن فإن أرض‪9‬عن لكم ف‪9‬أتو ّ‬ ‫ّ‬ ‫عليهن حتّى يضعن‬
‫ّ‬ ‫أولاتحمل فأنفقوا‬
‫‪15‬‬
‫وأتمروابينكم بمعروف‪ 9‬وإن تعاسرتم‪ 9‬فسترضع‪ 9‬له أخرى‪.‬‬ ‫ْ‬
‫وحرّمنا‪ 9‬عليه المراضع من قبل فقالت هل أدلّكم على أه‪99‬ل بيت يكفلون‪99‬ه لكم وهم‬
‫‪16‬‬
‫له ناصحون‪.‬‬
‫وح ّدثناه أبو كريب‪ .‬ح ّدثنا أبو أسامة‪.‬ح وح ّدثني‪ 9‬أبو معم‪99‬ر إس‪99‬ماعيل بن إب‪99‬راهيم‬
‫الهذل ّي‪ .‬ح ّدثنا عل ّي بن هاشم بن البريد‪ .‬جميعا عن هشام بن ع‪99‬روة‪ ٬‬عن عب‪99‬د هللا‬
‫ابن أبي بكر‪ ٬‬عن عمرة‪ ٬‬عن عائسة‪ .‬ق‪99‬الت‪ :‬ق‪99‬ال لي رس‪99‬ول هللا ص‪99‬لّى هللا علي‪99‬ه‬
‫‪17‬‬
‫وسلّم ((يحرم من الرضاعة ما يحرم من الوالدة))‪.‬‬
‫حدثنا مس‪99‬لم بن إب‪99‬رهيم‪ :‬ح‪99‬دثنا ه ّم‪99‬ام‪ :‬ح‪99‬دثنا قت‪99‬ادة‪ ،‬عن ح‪99‬ابر بن زي‪99‬د‪ ،‬عن ابن‬
‫عبّاس رضي هللا عنهم‪9‬ا ق‪9‬ال‪ :‬ق‪9‬ال النّ‪9‬ب ّي ص‪9‬لّى هللا علي‪9‬ه وس‪9‬لّم في بنت حم‪9‬زة‪:‬‬
‫(( ال تح‪ّ 999‬ل لي‪ ،‬يح‪999‬رم من الرّض‪999‬اع م‪999‬ا يح‪999‬رم من النّسب‪ ٬‬هي بنت أخي من‬
‫‪18‬‬
‫الرّضاعة))‪.‬‬
‫حديث عائش‪99‬ة رض‪9‬ي‪ 9‬هللا عنها‪ ٬‬ق‪9‬الت‪ :‬دخ‪9‬ل عل ّي النّ‪99‬ب ّي ص‪9‬لّى هللا علي‪9‬ه وس‪9‬لّم ‪٬‬‬
‫وعندي رجل‪ ٬‬قال‪ :‬يا عائش‪9‬ة من ه‪9‬ذا قلت‪ :‬أخي من الرض‪9‬اعة ق‪9‬ال‪ :‬ي‪9‬ا عائش‪9‬ة‬
‫إخوانكن‪ ٬‬فإنّما الرضاعة من المجامعة‪(.‬أخرج‪99‬ه البخ‪99‬ارى في‪)٥٢(:‬‬ ‫ّ‬ ‫انظرن من‬
‫‪19‬‬
‫كتاب الشهادة‪ )٧(:‬باب الشهادة على األنساب والرضاع‪ 9‬المستفيض)‪.‬‬

‫‪12‬‬
‫‪Al-Baqarah (2): 233.‬‬
‫‪13‬‬
‫‪An-Nisa’ (4): 23.‬‬
‫‪14‬‬
‫‪Al-Ḥajj (22): 2.‬‬
‫‪15‬‬
‫‪At-Ṭalaq (65): 6.‬‬
‫‪16‬‬
‫‪Al-Qaṣaṣ (28): 12.‬‬
‫‪17‬‬
‫‪Yaḥya Bin Syaraf an-Nawawī, Saḥīḥ Muslim Bisyarhian-Nawawī,(Libanon: Dār al-‬‬
‫‪kutub al-‘ilmiyah, 2010), IX:17. Hadis nomor 1444, “Kitāb ar-Raḍa’i” “Bāb Yahrumu min ar-‬‬
‫‪Raḍā’ati Mā Yahrumu min al-Wilādati.” Hadis dari Abū Kuraib, sanadnya ṣahih.‬‬
‫‪18‬‬
‫‪Ῑmām Bukhāri, Ṣaḥīḥ Al-Buḥāri, (Libanon: Dār al-kutub al-‘ilmiyah, 2009), II: 168.‬‬
‫‪Hadis nomor 2645, “Kitāb as-Syahādah”, “ Bāb as-Syahādati ‘Alā al-Ansābi, wa ar-Raḍā’i al-‬‬
‫‪Mustafīdi, wal Mauti al-Qadīm.”Hadis dari Muslīm bin Ibrāhīm, sanadnya ṣahih.‬‬
‫‪19‬‬
‫‪Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, Al-Lu’lu’ wal Marjān Fimā Ittafaqa ‘Alaihi Asy-‬‬
‫‪Syaikhāni Al-Bukhāri Wa Muslim, alih bahasa Arif Rahman Hakim, Lc, cet. ke-1, (Solo: Insan‬‬
‫”‪Kamil, 2010), 406, hadis nomor 921, “Kitāb ar-Raḍā”, “Bāb Innamā ar-Raḍā’atu min al-Majā’ati.‬‬
‫‪Hadis dari ‘Aisyah, sanadnya ṣahih.‬‬
7

‫ أن‬٬‫ عن عائشة‬٬‫روة عن أبيه‬999‫ام بن ع‬999‫ق هش‬999‫لم من طري‬999‫حيح مس‬999‫ثبت في ص‬


20
.‫ ال تحرّم المصّة والمصّتان‬:‫رسول هللا صلّى هللا عليه وسلّم قال‬
‫ معلومات يحرّمن‬9‫عن عائشة أنّها قالت كان فيما أنزل من القرأن عشر رضعات‬
ّ
‫رأ‬99‫وهن فيما يق‬ ‫ي رسول هللا صلّى هللا عليه وسلّم‬
9ّ ‫ث ّم نسخن بخمس معلومات فتوف‬
21
.‫من القرأن‬
c. Syarat-Syarat Raḍā’ah
Semua penyusuan mempunyai sifat dan hukum yang sama.
Hukum penyusuan telah ada aturan dan ketentuannya. Hubungan
persusuan ini muncul setelah terpenuhi beberapa syarat, yang setiap
syarat tersebut menjadi ikhtilaf di kalangan ulama. Adapun syarat-
syarat rada’ah sebagai berikut:
1. Usia anak yang menyusu
Batasan usia anak yang menyusu masih terdapat perbedaan
pendapat dikalangan para ulama, dalam hal ini menurut jumhur
ulma berpendapat bahwa anak yang menyusu masih berumur dua
tahun, dikarenakan pada masa tersebut air susu ibu akan menjadi
pertumbuhannya. batas masa dua tahun ini berdasarkan sabda Nabi
dalam hadis dari Qutaibah menurut riwayat at-Tirmiẓi mengatakan
Nabi bersabda yang bunyinya:
22
. ‫أن الرضاعة ال تحرم إاّل ما كان دون الحولين‬
ّ
Berbeda pendapat ulama Ẓahiri yang mengatakan bahwa
susuan yang berlaku terhadap anak yang berumur lebih dari dua
tahun, bahkan yang sudah dewasa juga menimbulkan hubungan
susuan. Golongan ini berdalil dengan keumuman ayat al-Qur’an,
sedangkan hadis di atas tidak cukup kuat untuk membatasi
keumumannya tersebut.23
Berbeda pendapat lagi mengenai hal tersebut Abu Ḥanifah
dan Syafi’i, berpendapat bilamana anak yang sudah dipisahkan
sebelum dua tahun, padahal ia masih memerlukan air susu,

20
Derajat Hadist-Hadist dalam Tafsīr Ibnu Katsīr,Taḥqīq, Muhaammad Nashiruddin Al
Abani, Taḥrīj, Mahmud bin Jamil dkk, alih bahasa ATC Mumtaz Arabia (Jakarta: Pustaka Azzam,
2007), I:479, status hadis ṣahih: Muslim (2628).
21
Muslim, Ṣaḥih Muslim, alih bahasa Taufiq Nuryana, Lc, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah,
2010), II: 776, hadis nomor 1444, “Kitāb ar-Raḍā’ah,” “Bāb Yahrumu min ar-Raḍā’ati Mā
Yahrumu min al-Wilādati.” Hadis dari ‘Aisyah, sanadnya ṣahih.
22
Abī ‘Isa Muhammad Ibn ‘Isa Ibn Saurah at-Tirmiẓi, Sunan at-Tirmiẓi,(Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyah, 2000), II: 308. Hadis nomor 1152, “Kitāb ar-Raḍa’” “Bāb Mā Jāa Mā ẓukira
Inna ar-Raḍā’ata La Tuḥarrimu Illa Fi al-Ṣuguri Duna al-Ḥaulaini.” Hadis dari Qutaibah, sanadnya
ṣahih.
23
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan,116.
8

kemudian ia di susui oleh seorang perempuan maka susuan


semacam ini tetap mengharamkan. Sedangkan Imam Malik
berpendapat bahwa susuan terhadap anak yang lewat umur dua
tahun, baik sedikit ataupun banyak tidak mengharamkan, dan air
susunya dianggap sebagai air. Bila anak kecil dipisahkan sebelum
umur dua tahun atau memang perlu dipustuskan susuannya, maka
bilamana kemudian disusui lagi, susuannya tidak mengharamkan.24
2. Cara menyusu
Proses penyusuan dilakukan dengan mengunakan cara yang
biasa dipahami yaitu si anak langsung menyusu dari puting susu si
ibu sehingga si anak merasakan kehangatan susu ibu itu. Namun
bila si anak menyusu tidak langsung dari puting si ibu, tetapi air
susu ibu yang diperah dimasukkan kedalam mulut si anak dengan
menggunakan alat tertentu, dalam hal ini terdapat perbedaan
pendapat dikalangan ulama dalam menjadikan hubungan susuan
yang dapat menyebabkan hubungan mahram susuan.25
Para ulama maẓhab Ẓahiri dan Imamiyah, berpendapat
bahwa penyusuan yang dapat mengakibatkan terjadinya hubungan
mahram hanyalah penyusuan yang dilakukan oleh bayi dengan
menyedot langsung dari puting ibu. Adapun bayi yang minum susu
itu dari bejana, atau susu itu diperah ke dalam mulutnya lalu bayi
itu menelan, atau disuapkan kepada bayi tersebut dengan roti atau
dengan makanan lain, atau dengan dituangkan lewat mulut, hidung,
telinga dan dengan menyuntikan itu tidak dapat mengakibatkan
hubungan mahram, sekalipun itu makanan bayi sepanjang
hidupnya.26 Begitu juga pendapat maẓhab Ibnu Hazm sama dengan
pendapat maẓhab Ẓahiri yaitu dianggap sepersusuan, apabila
seorang bayi menyedot air susu dengan mulutnya langsung dari
putting si ibu. Sedangkan bayi yang meminum air susu dari ibu
susuan lewat dot atau botol, maka sekalipun hal tersebut dilakukan
secara rutin selama setahun, dan air susu itu merupakan makanan
pokok bagi bayi tersebut, hal tersebut tetap tidak dapat menjadikan
hubungan sepersusuan.27

24
As-Sayyid Sābiq, Fiqh as-Sunnah, alih bahasa Mohammad Thalib, (Bandung: PT.
Alma’arif, 1980), VI:117.
25
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, 116.
26
Nuruddin Abu Lihyah, Halal Haaram dalam Pernikahan,alih bahasa Umar Sitanggal,
cet. ke-I(Yogyakarta: Multi Publishing, 2013), 128-129.
27
Yusuf Qarḍāwi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, alih bahasa Abdul Hayye al-Kattani dkk,
cet. ke-3 (Jakarta: Gema Insani, 2002), III: 419-420.
9

Menurut pendapat Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Asy-


Syabi’penuangan susu dari hidung, sisi mulut maupun kebawah
lidah semuanya dapat mengakibatkan terjadinya hubungan mahram
sepersusuan, bahkan menurut ulama mażhab Hanafi menyatakan,
bahwa susu yang terkena najispun tetap dapat mempengaruhi
mahram sepersusuan. Karena itu tetap merupakan sebagai makanan
pokok yang dapat menumbuhkan daging dan tulang. Namun dalam
hal menuangkan air susu terhadap bayi dengan lewat suntikan
terdapat perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dan Maliki
dengan Syafi’i, menurut pendapat Abu Hanifah dan Malik,
penyuntikan air susu tidak dapat menimbulkan hubungan mahram,
karena penyuntikan bukan termasuk raḍā’ah. Sedangkan menurut
Syafi’i, penyuntikan air susu dapat menyebabkan terjadinya
hubungan mahram, karena penyuntikan merupakan jalan
sampainya zat yang sampai ke perut.28
3. Kemurnian air susu
Air susu yang di minum oleh si bayi harus murni, yakni
dalam masalah kemurnian air susu harus benar-benar murni tidak
bercampur dengan air susu lain atau zat lain, selain susu ibu.29
Sebagian ulama termasuk Abu Ḥanifah dan sahabatnya
mempersyartakan kemurnian air susu itu. Hal ini dihubungkan
kepada pendapat bahwa cara menyusui tidak harus langsung dari
puting susu sebagaimana dibicarakan di atas. Dengan demikian,
bila air susu itu telah bercampur dengan yang lainnya, maka tidak
terjadi hubungan susuan.
Sedangkan menurut Malikiyah warna air susu itu harus
berwarna asli air susu, jika air susu tersebut berwarna kuning atau
merah maka tidak menjadi mahram. 30 Dan menurut Syafi’i air susu
yang bercampur itu menyebabkan hubungan susuan bila
percampuran dengan yang lain itu tidak menghilangkan sifat dan
bentuk dari air susu. Namun bila campuran itu melebur air susu ibu
maka susu tersebut tidak menyebabkan adanya hubungan susuan. 31
Hal ini dalam masalah percampuran air susu dengan benda lain
yang menjadi penyebab keharaman adalah air susunya sendiri,
pencampuran dengan benda lain tidak dapat merubah sifat air susu
tersebut. Karena itu air susu yang telah bercampur dengan benda

28
Nuruddin Abu Lihyah, Halal Haaram dalam Pernikahan,130.
29
Ibid.,118.
30
Abdurrahman al-Jazīry, Kitāb al-Fiqh ‘Ala-Al Mażāhibal-Arba’ah, IV: 226-227.
31
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, 118.
10

lain harus melihat kembali seberapa ukuran air susu itu tercampur
dengan zat lain, ukuran yang mempunyai dasar nas yaitu ukuran
yang banyaknya, sebanyak lima kali hisapan.32
4. Kesaksian
Peristiwa penysuan dapat menyebabkan hubungan susuan dan
dengan adanya hubungan susuan itu, maka timbullah larangan
perkawinan antara orang-orang yang berhubungan susuan itu. Untuk
memastikan terjadinya peristiwa hubungan susuan diperlukan adanya
kesaksian,33dan pengakuan. Hubungan susuan ditetapkan dengan
adanya saksi dua orang laki-laki atau satu laki-laki dan dua orang
wanita, seperti persaksian yang berlaku pada transaksi harta, dan bisa
juga dengan persaksian empat orang wanita, sebab umumnya wanita
memiliki peran dalam proses susuan seperti halnya juga dalam
persalinan.34Sedangkan pengakuan harus dilakukan oleh dua orang
laki-laki yang adil.35Kesaksian ini ada perbedaan pendapat dikalangan
ulama.
Saksi seorang perempuan dalam masalah susuan dapat
diterima bilamana ia melakukannya dengan rela. Menurut jumhur
ulama berpendapat saksi seorang perempuan dan ibu susuan saja tidak
cukup, karena ia menyaksikan perbuatan dirinya sendiri.36 Menurut
Ḥanafiah penetapan dari seoarang saksi dalam peristiwa susuan
haruslah seorang yang adil, dan dengan pengakuan. Adapun kesaksian
disyaratkan, kesaksian tersebut dilakukan oleh dua orang laki-laki
yang adil, atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan yang
adail. Maka tidak cukup dalam penetapan raḍā’ah dengan kesaksian
satu orang yang adil, begitu juga satu orang laki-laki atau satu orang
perempuan yang tidak adil, dan tidak cukup atas kesaksian empat
perempuan yang adil, tetapi dalam kesaksian raḍā’ah wajib adanya
saksi dari seorang laki-laki. 37
Menurut Syafi’iyah, susuan ditetapkan melalui pengakuan dan
beberapa orang saksi, adapun kesaksian dapat dilakukan oleh seorang
laki-laki dan seorang perempuan, dua orang laki-laki, seorang laki-laki
dan dua orang perempuan ataupun empat orang perempuan. Tidak sah

32
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,50.
33
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, 119.
34
Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, alih bahasa Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz,
III: .38.
35
Muḥammad Syaṭa al- Dimyāṭi, Ḥāṡiyah I’ānah aṭ Ṭālibīn, (Jiddah: Ḥaramain, t.t), III:
290.
36
As-Sayyid Sābiq, Fiqh as-Sunnah, VI: 120.
37
Abdurrahman al-Jazīry, Kitab al-Fiqh ‘Ala-Al Mażāhibal-Arba’ah, IV: 241.
11

menjadi sorang saksi apabila tidak memenuhi beberapa syarat,


pertama, menjelaskan kesaksian ketika melihat langsung waktu
penyusuan dengan berkata; anak itu telah menyusu kepada fulanah
pada waktu itu, kedua, menjelaskan berapa kali menyusu, ketiga,
menjelaskan berapa kali si bayi itu terlepas dari puting si ibu susuan,
keempat, menjelaskan sampainya air susu pada tenggorokan si bayi,
dengan melihat langsung keluarnya air susu tersebut dari putting si
ibu.38
d. Rukun Raḍā’ah
Rukun raḍā’ah ada tiga, yaitu ibu susuan, air susu, dan bayi
yang menyusu, inilah rukun susuan yang menjadikan mahram
1. Ibu Susuan
Apabila seorang wanita menyusui seorang bayi maka bayi
tersebut seperti anaknya secra hukum, dengan tiga syarat sebagai
berikut.
Pertama, si bayi benar-benar menyusu pada wanita tersebut.
Air susu hewan ternak tidak berkaitan dengan pengharaman anak.
Jika ada dua bayi pada satu hewan ternak tidak berkaitan pada
pengharaman anak. Jika ada dua bayi menyusu pada satu hewan
ternak, di antara keduanya tidak terjalin hubungan persaudaraan.
Demikian pula, menurut pendapat yang sahih, air susu pria tidak
berimplikasi pada pengharaman.
Kedua, wanita yang menyusui dalam kondisi hidup. Jika si
bayi menyusu kepada wanita yang telah meninggal, atau minum air
susu dari wanita yang dipompa dari wanita yang meninggal, ini
tidak berimplikasi pada pengharaman, sebagaimana yang berlaku
pada hukum mushaharah akibat bersenggama dengan wanita yang
meninggal. Namun air susu seorang wanita saat hidup dipompa,
kemudian setelah meninggal susu tersebut diminumkan kepada
bayi,39menurut pendapat yang sahih bayi itu menjadi mahramnya.
Ketiga, wanita tersebut masih bisa melahirkan akibat
hubungan intim atau yang lainnya-misalnya dia telah berusia
sembilan tahun ke atas, karena kedua putingnya telah
mengeluarkan air susu.
Jika ternyata air susu tersebut berasal dari wanita yang
belum berusia sembilan tahun, ini tidak menjadikan mahram. Jika
dia telah berusia sembilan tahun maka menjadikan mahram,
meskipun belum dihukumi balig. Sebab asumsi balig sudah ada,
38
Ibid.,246.
39
Menuangkan susu tersebut ke kerongkongan bayi sebagai pasokan kalori adalah sama
seperti menyusu.
12

sementara susuan telah cukup hanya dengan asumsi, seperti halnya


nasab, dalam hal ini hukum antara ibu susuan yang sudah menikah
dan belum menikah sama, juga antara yang masih perawan maupun
bukan.40
2. Air Susu
Untuk air susu, penetapan mahram tidak disyaratkan susu
itu harus dalam kondisi alami, baru keluar dari puting, bahkan
meskipun air susu itu telah masam, mengental, menguap, menjadi
keju, mengering, berbuih, atau bercampur air (Maḥīḍ),41 namun
bilamana air susu perempuan bercampur dengan makanan lain atau
minuman atau obat-obatan atau susu kambing dan lain sebagainya,
lalu diminumkan kepada bayi, bilamana air susu perempuannya
lebih banyak, maka air susu tersebut mengharamkan dan jika lebih
sedikit, maka tidak mengharamkan. Demikian pendapat golongan
Ḥanafi, Mazni dan Abi Tsaur.42
Menurut Ḥanafiyah, air susu tidak boleh bercampur dengan
makanan, ketika air susu dengan makanan bercampur kemudian
dimakan oleh sibayi maka hal tersebut tidak menjadikan mahram.43
Ibnul Qayyim dari golongan Maliki berkata: Bilamana air
susunya lebih sedikit dari air atau yang lainnya, lalu diminumkan
kepada bayi, maka ia tidak mengharamkan.
Syafi’i, Ibnu Hubaib, Mutharrif, Ibnul Majisun dari Murid
Imam Malik berpendapat: air susu, yang lebih sedikit dari air atau
yang lainya tetap mengharamkan, sebagaimana kalau berupa air
susu semata-mata atau bercampur dengan minuman lain, asalkan
zat air susunya tidak hilang sama sekali.44
Ibnu Rusyd berkata: sebab perselisihan mereka (para ulama
di atas) dikarenakan perbedaan pendapat apakah air susu yang
tercampur dengan yang lain itu hukumnya sama dengan air susu
murni atau tidak, sebagaimanaibaratnya kalau suatu barang najis
bercampur dengan barang halal yang suci.45
Hal ini kaidah yang terkenal yaitu bila airnya lebih banyak
daripada air susu di anggap air. Dan bilamana air susunya lebih
40
Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, alih bahasa Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz, III:
28.
41
Yaitu air susu yang dicampur air atau benda lainnya, denagn presentasi air susu lebih
banyak atau lebih sedikit. Menurut pendapat yang aẓhar, air susu seperti ini tetap menjadikan bayi
mahram.
42
As-Sayyid Sābiq, Fiqh as-Sunnah, VI:114.
43
Abdurrahman al-Jazīry, Kitab al-Fiqh ‘Ala-Al Mażāhibal-Arba’ah, IV: 226.
44
As-Sayyid Sābiq, VI:115.
45
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, alih bahasa Abu Usamah Fakhtur Rohman, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007), II:73.
13

banyak dari campurannya, maka di anggap air susu juga. 46 Hal ini
disebabkan karena air susu telah sampai ke perut dan tujuan
memberikan makan telah tercapai.
3. Bayi yang menyusu
Penyusu tersebut disyaratkan bayi yang hidup secara
normal dan belum berusia dua tahun berdasarkan hitungan kalender
hijriah. Jika dia lahir bukan pada tanggal pertama maka pada bulan
ke-25 hitungan harinya harus disempurnkan menjadi tiga puluh.
Jika bayi telah berumur dua tahun, susuannya tidak menjadikannya
mahram.47Bayi yang menyusu harus memenuhi tiga syarat:
Pertama, air susu masuk kedalam perut,masuknya air susu
kedalam perut menetapkan adanya ikatan kemahraman, baik
dengan cara menyusuinya itu dengan dipompa, dialirkan langsung
ke tenggorokan, maupun dimasukkan lewat hidung, hingga masuk
kedalam perut dan otaknya. Menurut al-mażhab, cara ini dapat
menyebabkan mahram raḍā’. Berbeda halnya jika air susu tersebut
dimasukkan ke anus atau kemaluan, atau pada perut bayi terdapat
luka lalu air susu dimasukkan ke sana hingga sampai ke perut,
maka menurut pendapat yang aẓhar, ini tidak menyebabkan
kemahraman. Seandainya bayi itu menyusu dan langsung muntah,
menurut pendapat yang ṣaḥiḥ, ini menetapkan kemahraman.
Kedua, bayi belum berusia dua tahun. Jika masuk dua tahun
dengan menggunakan kalender hijriah, susuannya tidak berdampak
hukum. Hal ini para fuqaha sepakat bahwa yang dapat
mempengaruhi adanya hubungan mahram penyusuan bayi tersebut
dilakukan sebelum genap usia dua tahun.
Ketiga, bayi tersebut dalam kondisi hidup. Anak yang
disusui itu harus dalam keadaan hidup jadi Sampainya air susu ke
perut bayi yang sudah tidak bernyawa tidak berimplikasi hukum.
Hal ini menurut pendapat mażhab Syafi’i, sedangkan menurut yang
lain syarat tersebut tidak ada pengaruhnya.48
e. Kadar Raḍā’ahyang Mengharamkan Nikah
Al-Qur’an tidak membatasi dan menyebutkan secara detail
mengenai kadar susuan yang dapat menyebabkan hubungan mahram
antara ibu dan bayi yang disusui, dalam al-Qur’an surah an-Nisa (4):
23 hanya menyebutkan siapa saja yang haram dinikahi. Dari sinilah
muncul perbedaan pendapat dikalangan para ulama karena Nabi
46
As-Sayyid Sābiq, Fiqh as-Sunnah, VI:114-115.
47
Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, alih bahasa Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz, III:
29.
48
Nuruddin Abu Lihyah, Halal Haaram dalam Pernikahan,98-99.
14

Muhammad SAW tidak menerangkan secara jelas mengenai kadar air


susu yang dapat menyebabkan haramnya nikah.
Ulama Syafi’iah dan Ḥanabilah menentukan batas penyusuan
yang mengharamkan nikah adalah lima kali penyusuan yang masing-
masing dilakukan secara terpisah dan tidak ragu, jika ragu apakah
lima kali atau kurang dari lima kali maka tidak menjadikan
mahram.49Menurut ulama Ḥanabilah yang dijadikan dalam patokan
untuk mengetahui tentang penyusuan dengan cara ‘uruf, karean syariat
dalam menyampaikan masalah susuan ini dengan mutlak tidak
membatasi dengan waktu dan ukuran tertentu. Dengan demikian, jika
seorang bayi menetek kemudian berhenti dengan kehendaknya dan
tidak menetek lagi maka hal ini di hitung satu kali susuan. Jika dia
menetek lagi hal itu adalah penyusuan yang lain lagi. Adapun jika
anak itu menghentikan diri karena ada sesuatu yang menggoda, sesak
dan berhenti dari satu tetek ke tetek yang lainnya, hal ini harus dilihat
jika anak itu menetek lagi dengan waktu yang singkat maka dalam
berhentinya tersebut tidak termasuk satu kali susuan.
Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah jika sibayi menyusu dan
sesaat berhenti sejenak karena lalai atau yang lainnya, kemudian ia
kembali meraih tetek ibu susuannya maka hal ini masih di hitung satu
kali susuan. Mereka juga mengatakan andaikan anak itu mengambil
tetek sebelah sampai ASI tersebut habis kemudian dia beralih ke tetek
yang satunya maka hal ini tetap di hitung satu kali susuan.50 Dasar
yang dijadikan oleh kedua golangan ulama Syafi’iah dan Hanabilah
ini yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Aisyah yang
berbunyi;
‫فنسخن بخمس‬-‫أن عشر رضعات معلومات يحرمن‬ ّ ‫كان فيما أنزل هللا في القرأن‬
‫ وأيضا روى مسلم‬٬‫ وهن فيما يقرأ من القرأن‬.‫م‬.‫ هللا ص‬9‫فتوفي رسول‬-‫معلومات‬
51
.)‫(ال تحرم الرضعة وال الرضعتان‬
Menurut Yusuf Qarḍāwi, penyusuan tidak boleh kurang dari
lima kali penyusuan yang mengenyangkan. Jika menyusunya hanya
satu kali harus mengenyangkan, maksudnya ketika si bayi menyusu
dan mengenyot putingnya sampai ia melepaskan mulutnya dari puting
ibu dengan sendirinya karena merasa sudah kenyang.52
Sedangkan menurut Malikiah dan Ḥanafiah penyusuan yang
mengharamkan tidak disyaratkan berapa bilangan dalam hal susuan,
49
Abdurrahman al-Jazīry, Kitab al-Fiqh ‘Ala-Al Mażāhibal-Arba’ah, IV:228.
50
Nuruddin Abu Lihyah, Halal Haaram dalam Pernikahan,136.
51
Imām Muḥammad Abū Zahrah, Al-Aḥwāl As Syakhṣiyyah, (ttp: Dār al-Fikr, t.t), 80.
52
Yusuf Qarḍāwi, Halal dan Haram, alih bahasa Abu Sa’id al-Falahi dan Aunur Rafiq
Shaleh Tamhid, cet. ke-1 (Jakarta: Robbani Press,2000), 202.
15

melainkan setiap sampainya air susu pada tenggorokan bayi baik itu
sedikit maupun banyak tetap mengharamkan.53
f. Faktor Keharaman Sebab Raḍā’ah
Sebagaimana keharaman sebab kerabat raḍā’ah, diharamkan
juga sebab besanan, hal ini diqiaskan dengan hubungan nasab, dalam
hal ini menjadikan beberapa golongan yang haram sebab raḍā’ah.54
Ḥadis yang menjelaskan keharaman sebab susuan
menyebabkan keharaman sebab nasab, ḥadis ini menunjukan ada
beberapa golongan yang haram sebab nasab, adapaun golongan
tersebut ada delapan golongan yang haram untuk dinikahi, golongan
tersebut adalah;
1. Ibu susuan, dan yang berhubungan langsung dengannya, atau
dengan perantara ayah atau kakek, yang meliputi nenek garis lurus
ke atas seperti halnya nenek dari ayah sepersusuan dan nenek dari
ibu sepersusuan.55
2. Anak dari ibu sepersusuan, haram menikahi anak putri
sepersusuan, cucu putri dari anak laki-laki sepersusuan, dan cucu
putri dan anak putri sepersusuan sampai kebawah. Dengan kata
lain haram atas perempuan yang di minum atau dimakan air
susunya atau susu orang yang melahirkannya dengan perantara
dirinya atau lainnya atau disusui oleh wanita yang melahirkannya.
Demikian pula putri-putrinya yang satu nasab sampai kebawah.56
3. Keturunan dari kedua orang tua susuann, yakni saudara-saudara
perempuan dari susuan, dan keponakan perempuan dari anak laki-
laki susuan serta anak perempuannya kebawah.
4. Keturunan langsung dari kakek dan nenek dari susuan, yakni bibi
dari pihak bapak, dan bibi dari pihak ibu susuan. Bibi dari pihak
bapak adalah saudara perempuan suami dari yang menyusui,
sedangkan bibi dari pihak ibu susuan adalah saudara perempuan
yang menyusui. Tidak diharamkan keturunan bibi dan paman dari
pihak bapak susuan, dan keturunan bibi dan paman dari pihak ibu
susuan, sebagaimana tidak diharamkan dari hubungan nasab.
5. Ibu mertua dan neneknya dari susuan dan nasab ke atasnya.
Meskipun telah terjadi persetubuhan dengan istri ataupun tidak.

53
Abdurrahmanal-Jazīry,IV:228.
54
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islāmi wa-Adillatuhu, alih bahasa Abdul Hayyie al-Kattani
dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2007),IX: 132.
55
Abdurrahman al-Jazīry,IV:233.
56
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, FIQH
MUNAKAHAT (Khitbah, Nikah dan Talak), 154.
16

6. Istri bapak, dan istri kakek dari susuan dan nasab ke atasnya.
Meskipun bapak dan kakek telah menggaulinya ataupun tidak.
Sebagaimana diharamkannya istri bapaknya dari hubungan nasab
7. Istri anak, istri cucu dari anak-anak laki-laki dan anak perempuan
susuan, dan nasab di bawahnya. Meskipun anak telah menggauli
istrinya ataupun tidak. Sebagaimana diharamkan bagi istri anak-
anaknya dari hubungan nasab.
8. Anak perempuan istri dari susuan, dan cucu perempuan dari anak-
anaknya dan nasab di bawhnya, jika istri telah digauli. Jika ia
belum digauli, keturunannya dari susuan tidak haram untuk
dinikahi oleh bekas suaminya, sebagaimana halnya kondisi
keturunan secara nasab.57.
2. Larangan Perkawinan Sepersusuan dalam KHI
a. Latar Belakang di Terbitkannya Kompilasi Hukum Islam
Yang menjadi latar belakang diterbitkannya Kompilasi Hukum
Islam adalah dengan adanya keputusan bersama ketua Mahkamah
Agung dan Menteri Agama Tanggal 21 Maret 1985 No.
07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tentang penunjukan
pelaksanakan proyek pembangunan hukum Islam dengan melalu
yurisprudensi atau yang dikenal dengan pembuatan Kompilasi Hukum
Islam, ada dua hal yang menjadikan pertimbangan dalam pembuatan
proyek tersebut:
a. Sesuai dengan fungsi Mahkamah Agung Republik Indonesia
terhadap pelaksanaan jalannya semua peradilan di indonesia,
khususnya peradilan agama perlu mengadakan Kompilasi Hukum
Islam yang selalu menjadi landasan hukum positif di pengadilan
agama;
b. Untuk mencapai maksud tersebut, dalam pelaksanaannya harus
meningkatkan kelancaran dalam pelaksanaan tugas, sinkornasi
dan tertib admisnistrasi dalam proyek pembangunan Kompilasi
Hukum Islam melalui jalur yurisprudensi harus mengadakan tim
penyusun yang berasal dari pejabat Mahkamah Agung dan
Departeman Agama Republik Indonesia.58
Hukum Islam jika dihadapakan pada masalah-masalah
sekarang yang melibatkan masalah perekonomian begitu kaku.Materi
yang tertulis dalam buku-buku fiqh ini masih belum disistematiskan,
sehingga dapat disesuaikan pada masa sekarang. Masalah yang di
hadapi tidak hanya masalah struktur sosial, tetapi juga perubahan

57
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islāmi wa-Adillatuhu, IX: 132-133.
58
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, 15.
17

kebutuhna dan bentuknya, menghadapi tantangan ini ada perbedaan


pendapat, ada yang mengatakan tetap berpegang pada tradisi dan
penfsiran ulama terdahulu, ada yang menawarkan bahwa berpegang
erat saja pada kepada penafsiran-penafsiran lama tidak cukup
menghadapi perubahan sosial di masa sekarang, oleh karena itu
penafsiran-penafsiran tersebut disesuaikan pada masa sekarang.59
Penerapan hukum Islam melalui pengadilan agama,
menerapkan syari’at yakni hukum syara, baik yang sudah pasti
maupun yang belum jelas yang belum ditetapkan oleh fiqh atau
belum, hal itu berkembang lebih pesat setelah diperluasnya refrensi
untuk pengadilan agama.
Penetapan hukum yang di gunakan oleh hakim pengadilan
agama pada umumnya menggunakan hukum Islam menurut madzhab
Syafi’i tetapi tidak selalu, dalam prakteknya sebelum tahun 1976
maupun sesudahnya, hakim peradilan agama dalam menetapkan suatu
hukum itu tidak selalu menggunakan pendapat madzhab Syafi’i,
adakalanya menggunakan langsung dalil al-Qur’an seperti halnya
tentang masalah harta bersama.
Hal ini secara tegas menyatakan bahwa di Indonesia dengan
belum adanya Kompilasi maka dalam praktiknya di pengadilan agama
dalam memutuskan perkara tidak sama padahal kasusnya sama,
karena dalam penetapan perkara di pengadilan agama menggunakan
hukum Islam (Fiqh) yang tersebar dalam sejumlah kitab besar. Hal ini
menyebabkan perbedaan di kalangan hakim dalam memutuskan
perkara tidak seragam, karena dalam fiqih ada beberapa pendapat
yang berbeda.60Akibat sikap dan prilaku hakim yang mengidentikkan
fiqh dengan syari’ah atau hukum Islam lahirlah beberapa produk
putusan pengadilan agama, sesuai dengan latar belakang madzhab
yang di anut oleh hakim tersebut.61Situasi hukum seperti inilah yang
mendorong Mahkamah Agung untuk mengadakan Kompilasi Hukum
Islam.
b. Proses Penyusunan Kompilasi Hukum Islam
Kelahiran Kompilasi Hukum Islam tidak terlepas dari kondisi
dan realita hukum Islam di Indonesia selama ini, diantaranya adalah
belum adanya kesatuan pemahaman yang disepakati tentang hukum
Islam.Sebagaimana realita hukum Islam pada umumnya, hukum Islam
di Indonesia masih tersebar pada kitab-kitab fiqh klasik yang di susun
59
Ibid.,16-17.
60
Ibid.,18-20.
61
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agma dalam Sistem Hukum
Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 22.
18

oleh para ulama konvensional pada puluhan abad lalu. 62Kitab-kitab


itulah yang telah memberi informasi hukum baik di sekolah menengah
agama, perguruan tinggi dan pesantren.
Kajian terhadap kitab-kitab fiqh itu pada umumnya masih
belum komprehensif dan wawasan yang dibangun tidak memberi
peluang adanya kritik.Bahkan yang terbangun adalah persepsi yang
tidak proporsional, diantaranya berbentuk kerancuan pemahaman
antara syari’ah dan fiqh, yang tidak dipandang sebagai produk
pemikiran, namun sebagai syariat agama.
Persoalan lain mengangkat realitas hukum Islam di Indonesia,
secara faktual Pengadilan Agama telah lahir sejak tahun 1882, tetapi
dalam mengambil putusan untuk sesuatu perkara tampak jelas para
hakim pengadilan agama belum mempunyai dasar pijak yang
seragam. Hal itu terutama karena hukum Islam yang berlaku belum
menjadi hukum yang tertulis dan berada di beberapa kitab kuning
yang terkadang untuk kasus yang sama pemecahan persoalannya
berbeda.63Meskipun pada umumnya yang berlaku di Indonesia itu
adalah maẓhab Syafi’i, namun bukan berarti tanpa masalah dan
perbedaan.Banyak perbedaan hukum yang sulit untuk memberikan
kepastian hukum. Dibeberapa daerah, bahkan peristiwa yang sama
terjadi dalam beberapa waktu yang berbeda, mendapat putusan yang
berbeda-beda. Hal ini menimbulkan ketidak adilan dalam
masyarakat.Mereka mengira bahwa dalam peradilan agama tidak
mampu menegakkan keadilan dan persamaan, keadaan demikian
cukup berlangsung lama.Akibat keberagaman itu, kemudian
memunculkan usaha-usaha penyamaan kitab-kitab rujukan bagi
peradilan agama. Penyamaan materi hukum tersebut ternyata belum
memadai, sebab masih sering dikeluarkannya instruksi maupun surat
edaran untuk penyamaan penyelasaian perkara. 64Namun langkah itu
masih belum memenuhi kepastian hukum.sebab, masih sangat
memungkinkan munculnya ketidaksamaan putusan yang berdasarkan
pada rujukan qaul-qaul yang berbeda pada kitab-kitab klasik (Fiqh).
Dengan keadaan yang demikian perlu adanya kodifikasi dan
unifikasi hukum yang sesuai dan memadai. Proses awal rencana
penyusunan Kompilasi Hukum Islam adalah penunjukan pelaksanaan
62
Sudirman Teba, Perkembangan Metafisis Hukum Islam di Asia Tenggara, (Bandung:
Mizan, 1991), 61.
63
Amrullah Ahmad dkk.Prospek Hukum Islamdalam Kerangka Pembangunan Hukum
Nasional di Indonesia (Sebuah Kenangan 65 Tahun Prof. Dr. H. Bustanul Arifin SH.), (Jakarta:
PPIKAHA, 1994), 13.
64
Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan
Agama, (Jakarta: Intermasa, 1991), 9-13.
19

pembangunan hukum Islam melalui jalur Yurisprudensi, dalam


keputusan bersama ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama No.
07/KM/1985 dan No. 25/1985 tertanggal 21 Maret 1985.65
Ide untuk mengadakan penyusunan Kompilasi Hukum Islam
ini memang baru muncul sekitar tahun 1985 dan kemunculannya ini
merupakan hasil kesepakatan antara Mahkamah Agung dengan
Departemen Agama.Langkah untuk mewujudkan kegiatan ini
mendapat dukungan banyak pihak. Pada bulan maret 1985 Soeharto
mengambil prakasa sehingga terbitlah SKB (surat keputusan bersama)
ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama yang membentuk proyek
Kompilasi Hukum Islam yang berarti sejak awal kegiatan ini
mendapat dukungan penuh dari Presiden.66
Melalui keputusan bersama tersebut yakni keputusan No.
07/KMA/1985 dan No. 25/1985, tentang penunjukan pelaksana
proyek pembangunan hukum Islam melalui Yurisprudensi di mulailah
proyek tersebut yang berlangsung untuk jangka waktu dua tahun.
Pelaksanaan proyek tersebut kemudian didukung oleh keputusan
Presiden No. 191/1985 tanggal 10 Desember 1985 dengan biaya
sebesar 230.000.000,00. Biaya ini tidak berasal dari APBN melainkan
dari Presiden Soeharto langsung.
Pelaksanaan proyek tersebut, surat keputusan bersama
menetapkan pemimpin umum yaitu Prof. H. Bustanul Arifin, S.H.
ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung
yang di bantu oleh dua orang wakil pemimpin umum masing-masing
HR. Djoko Soegianto, SH dan H. Zaini Dahlan MA. Pimpinan
pelaksana dalam proyek ini adalah H. Masrani Basran, SH dengan
wakil pimpinan pelaksana yaitu H. Mukhtar Zarkasih, SH dan yang
menjadi sekertaris adalah Ny. Lies Sugondo, SH dan wakil sekertaris
adalah Drs. Marfuddin Kosasih, SH. Kemudian bendaharanya adalah
Alex Marbun dan Drs. Kadi.67
Tugas pokok dari proyek tersebut adalah melaksanakan usaha
pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi dengan
mengadakan Kompilasi Hukum.Sasaran kajian dari proyek ini adalah
kitab-kitab fiqh yang menjadi landasan para hakim dalam menetapkan
suatu perkara, agar sesuai dengan perkembangan masyarkat Indonesia
menuju hukum nasional.68Target akhir dari penyusunan Kompilasi
Hukum Islam ini yaitu tersusunnya kitab hukum yang menjadi
65
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-4 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2000), 42-43.
66
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,33.
67
Ibid.,34.
20

undang-undang. Kitab hukum ini akan menjadi dasar dari putusan-


putusan peradilan agama selamanya.
Program pengadaan Kompilasi Hukum Islam ini di lakukan
dengan beberapa langkah:
a. Pembahsan kitab-kitab fiqh
Pembahsan ini dilakukan minimal menggunakan 13
macam kitab setandar, bahkan bisa lebih yang meliputi beberapa
mazhab lain selain mazhab Syafi’i. Dalam penelitian kitab-kitab
fiqh sebagai rujukan pembentukan Kompilasi Hukum Islam telah
dikaji sebanyak 38 macam kitab yang dibagi pembahasanya oleh
beberapa IAIN diseluruh nusantara, diantara kitab-kitab tersebut
adalah sebagai berikut:
1. IAIN Arraniri Banda Aceh
a) Al Bajuri;
b) Fathul Mu’in;
c) Syarqawi alat Tahrir;
d) Mugnil Muhtaj;
e) Nihayah Al Muhtaj;
f) Asy Syarqawi;
2. IAIN Syarif Hidayatullah
a) I’anatut Talibin;
b) Tuhfah;
c) Targibul Musytag;
d) Bulghat Al Salik;
e) Syamsuri fil Faraidl;
f) Al Mudawanah
3. IAIN Antasari Banjarmasin
a) Qalyubi/Mahalli;
b) Fathul Wahab;
c) Bidayatul Mujtahid;
d) Al Uum;
e) Bugyatul Mustarsyidin;
f) Aqidah Wa al Syari’ah
4. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
a) Al Muhalla;
b) Al Wajiz;
c) Fathul Qadir;
d) Al Fiqhul ‘ala Mażhabil Arba’ah;

68
Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia Telaah Kompilasi Hukum
Islam, 170
21

e) Fiqhus Sunnah;
5. IAIN Sunan Ampel Surabaya
a) Kasyf Al Qina;
b) Majmu atu Fatawi Ibn Taymiah;
c) Qawaninus Syari’ah lis Sayyid Usman bin Yahya;
d) Al Mugni;
e) Al Hidayah Syarah Bidayah Taimiyah Mubtadi;
6. IAIN Alaudin Ujung Pandang
a) Qawanin Syar’iyah lis Sayid Sudaqah Dakhlan;
b) Nawab al Jalil;
c) Syarah Ibnu Abidin;
d) Al Muwattha;
e) Hasyiah Syamsuddin Muh Irfat Dasuki;
7. IAIN Imam Bonjol Padang
a) Badai al Sannai;
b) Tabyin al Haqaiq;
c) Al Fatawi Al Hindiyah;
d) Fathul Qadir;
e) Nihayah.69
b. Wawancara
Wawancara ini dilakukan dengan mewawancarai para
ulama, untuk mengetahui pendapat-pendapat mereka tentang
masalah-masalah tersebut.
c. Menelaah Yurisprudensi
Hal ini dilakukan dengan cara menghimpun putusan
putusan peradilan agama yang masih bisa ditemukan dalam arsip-
arsip lembaga peradilan tersebut, kemudian di kaji dan di pilih
mana yang masih dapat diterapkan dalam sebuah putusan.
d. Studi perbandingan
Dengan mempelajari bagaimana negara-negara lain
menerapkan hukum Islam yang berkaitan dengan bidang-bidang
yang akan dikompilasikan di Indonesia.70
c. Tujuan Pembentukan Kompilasi Hukum Islam
Pembentukan Kompilasi Hukum Islam untuk menjadikan
landasan bagi para hakim peradilan agama mempunyai tujuan, tujuan
dari pembentukan kitab undang-undang tersebut adalah:
a. Melengkapi pilar peradilan agama

69
Abdurrahman Kompilasi Hukum Islam, 39-41.
70
Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia Telaah Kompilasi Hukum
Islam,171-174.
22

Kekuasaan kehakiman dalam menjalankan peradilan ini


mempunyai tiga pilar yang harus terpenuhi, jika tiga pilar tersebut
tidak dijalankan maka penyelenggaraan fungsi peradilan tersebut
tidak benar jalannya, hal ini diamanatkan oleh Pasal 24 Undang
Undang Dasar 1945 jo Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970.
b. Menyamakan presepsi penerapan hukum
Dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam menjadikan
sama dalam ketentuan hukum Islam yang meliputi bidang
perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang sifatnya sudah jadi
dan pasti. Kompilasi Hukum Islam bisa diterapakan di Indonesia
melalui lingkungan peradilan agama, hal ini peran kitab fiqh
dalam penegakkan hukum dan keadilan lambat laun ditinggalkan.
Pedoman yang di pakai oleh peradilan agama yaitu Kompilasi
Hukum Islam yang sama di seluruh inodnesia.71
c. Mempercepat proses taqrīb bain al-ummah
Tujuan lain dari pengadaan Kompilasi Hukum Islam
adalah mempercepat proses penyatuan elemen masyarakat.
Kompilasi Hukum Islam diharapkan menjadi jembatan kearah
usaha memperkecil pertentangan dan perdebatan khilafiyyah.
d. Menyingkirkan faham private affairs
Tujuan lain dari pengadaan Kompilasi Hukim Islam
adalah menyingkirkan faham private affairs (urusan pribadi). Dari
realitas penghayatan dan kesadaran hukum masyarakt Islam,
selam ini diketahui bahwa nilai-nilai hukum Islam di anggap
sebagai urusan pribadi. Tindakan perkawinan, kewarisan, wasiat,
hibah hanya di anggap sebagi hubungan vertical antara seseorang
dengan Allah, sehingga tidak ada campur tangan orang lain atau
penguasa. Mentalak istri adalah hak seorang suami dengan tuhan,
berpoligami adalah urusan seseorang dengan tuhan.72
d. Landasan Berlakunya Kompilasi Hukum Islam
Penyusunan Kompilasi Hukum Islam mengacu pada beberapa
landasan sebagai berikut:
a. Pancasila
Pancasila sebagai idiologi terbuka membuka untuk
menerima nilai-nilai budaya dan hukum, baik berasal dari luar
maupun dari dalam negri, termasuk nilai-nilai agama yang hidup
dan di akui eksistensinya dalam masyarkat, bangsa dan negara,

71
Ibid.,164-166.
72
Ibid., 1667.
23

yang sesuai dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur


pancasila dan yang juga dibutuhkan untuk diberlakukan sebagi
hukum positif.
b. Landasan Konstitusional UUD 1945
Sehubungan dengan UUD ini, dalam Pasal 27 ayat 1
dikaitkan dengan Pasal 29 ayat 2. Kedua pasal ini menjamin hak-
hak warga negara sebagai syarat esensial yang diperlukan oleh
suatu masyarakat yang berada dalam negara yang berdasaratas
hukum.Dengan menggabungkan dua pasal tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa hukum yang berlaku tidak boleh menghalangi
pengamalan suatu agama oleh setiap orang yang menyakininya.
c. Landasan Yuridis
Pentingnya landasan yuridis dalam penunjukan Kompilasi
Hukum Islam adalah, Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama, membutuhkan sutau hukum material yang
mengatur tentang tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan
menyelasikan perkara-perkara seperti tercantum dalam pasal 49
UU No. 7 Tahun 1989. Kemudian Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang tercantum dalam Pasal 20 ayat 1 yang
menyatakan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai hukum yang ada dalam
masyarakat yaitu yang terkandung dalam kitab-kitab fiqh
khususnya fiqh madzhab Syafi’i.
d. Landasan Fungsional
Kompilasi Hukum Islam adalah sebuah fiqh Indonesia
yang disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum
umat Islam Indonesia.Ditinjau dari aspek fungsionalnya,
Kompilasi Hukum Islam memiliki fungsi regulatif (mengatur) dan
legitimatif (melakukan pembenaran-pembenaran) terhadap
aturan-aturan dan institusi-institusi yang sudah ada sebagai
produk negara.73
e. Sebab Keharaman Sepersusuan dalam Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan beberapa pasal
mengenai larangan kawin yaitu larangan perkawinan karena nasab,
larangan perkawinan karena kerabat semenda kemudian larangan
perkawinan karena sepersusuan, dalam bahasan ini sebab dari

73
Ibid., 155-157.
24

larangan perkawinan sepersusuan tercantum dalam pasal 39 ayat 3


yang bunyinya sebagai berikut;
a. Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menerut garis
lurus ke atas, maksudnya ayah, ibu, kakek dan nenek dan
seterusnya;
b. Dengan seorang wanita susuan dan seterusnya menurut garis lurus
kebawah;
c. Dengan seorang wanita saudara dan kemenakan susuan kebawah;
d. Dengan seorang wanita bibi susuan dan nenek bibi susuan ke atas;
e. Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.74
f. Dasar Syar’i Larangan Perkawinan Sepersusuan Dalam
Kompilasi Hukum Islam
Landasan syar’i yang digunakan dalam pembatasan
larangan perkawinan sepersusuan dalam pasal 39 ayat 3 Kompilasi
Hukum Islam yaitu mengacu pada al-Qur’an dan Hadis yaitu;
75
9...‫ من الرّضاعة وأمهات نسائكم‬9‫ وأخواتكم‬9‫وأ ّمها تكم الالّتى أرضعنكم‬
76
.‫ويحرم من الرّضاعة ما يحرم من النّسب‬
Sebagaimana diharamkan para permpuan kerabat akibat
persusuan, diharamkan juga para perempuan kerabat akibat hubungan
nasab.
Selain Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Perkawinan
No.1 Tahun 1974 juga mengatur tentang larangan perkawinan yang
diatur dalam pasal 8.77
Perkawinan dilarang antara dua orang yang
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun
ke atas;
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu
antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan
antara seorang dengan saudara neneknya;
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan
ibu/bapak tiri;
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan;

74
Departen Agama RI, Alasan Syar’i Tentang Penerapan Kompilasi Hukum Islam, (ttp:
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999), 122.
75
An-Nisa’ (4): 23.
76
Ῑmām Bukhāri, Ṣaḥīḥ Al-Buḥāri, II: 168. Hadis nomor 2645, “Kitāb as-Syahādah”, “
Bāb as-Syahādati ‘Alā al-Ansābi, wa ar-Raḍā’i al-Mustafīdi, wal Mauti al-Qadīm.”Hadis dari
Muslīm bin Ibrāhīm, sanadnya ṣahih.
77
Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 8.
25

e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau


kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
seorang;
f. Mempunyai hubungan yang oelah agamanya atau peraturan lain
yang berlaku, dilarang kawin.

Hukum Islamtelah menjelaskan ketentuan mengenai


larangan perkawinan, salah satunya disebabkan oleh susuan
(raḍā’ah). Oleh sebab itu, untuk menjaga aturan tersebut maka
perkawinan sepersusuan tidak dibolehkan karena berimplikasi
terhadap keharaman menikah. Hal ini kejelasan tentang kadar suatu
susuan yang dapat menjadikan mahram antara seorang pria dan
wanita harus dijelaskan secara detail dan diatur lebih lanjut dalam
sebuah perundang-undangan, agar tidak terjadi hal yang dilarang
dan ditentukan dalam pelaksanaan perkawinan, demi kemaslahatan
bersama sedapat mungkin berusaha untuk menghilangkan
kemadharatan. Sebagaimana dalam kaidah fiqh.
78
.‫درء المفاسد مقدم على جلب المصالح‬
C. Analisis Hukum Islam terhadap Intensitas Penyusuan Dalam Pasal 39
Ayat 3 Kompilasi Hukum Islam
1. Intensitas Penyusuan Menurut Kompilasi Hukum Islam Dalam Pasal
39 Ayat 3
Perkawinan adalah suatu akad yang kuat untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya adalah merupakan suatu ibadah. Tujuan dari
perkawinan tersebut adalah untuk mewujudkan keluarga yang sakinah,
mawaddah dan warahmah, suatu perkawinan sah apabila memenuhi rukun
dan syarat, namun demikian dalam pelaksanaannya harus melihat kondisi
dari kedua calon mempelai tersebut apakah masih ada halangan diantara
keduanya untuk melangsungkan suatu perkawinan.
Seorang laki-laki boleh menikah dengan perempuan yang ia
kehendaki dan mendapat persetujuan dari perempuan tersebut, namun ada
beberapa golongan perempuan yang tidak boleh dinikahi oleh seorang
laki-laki, adapun golongan tersebut adalah; perempuan-perempuan yang
masih dalam kategori senasab, semenda dan sepersusuan.
Menikahi perempuan yang disebabkan karena hubungan
sepersusuan (raḍā’ah) merupakan perbuatan yang diharamkan oleh Allah
SWT, karena perkawianan merupakan perbuatan suci dengan tujuan

78
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqh (Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah Praktis), cet. ke-1, (Jakarta: Kencana. 2006), 27.
26

membentuk keluarga sakinah untuk memperoleh keturunan yang sah untuk


mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan oleh syara’dan hukum
positif.Kompilasi Hukum Islam menjelaskan tentang larangan perkawinan
yang meliputi larangan perkawinan sepersusuan antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan yang mempunyai hubungan mahram sebab
sepersusuan, dalam penjelasan pasal 39 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam
sebagai berikut;
a. Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis
lurus keatas;
b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis
lurus kebawah;
c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan
sesusuan kebawah, Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan
keturunananya,
Dari keterangan tersebut sangat jelas seorang laki-laki haram
menikahi beberapa orang perempuan sebab hubungan mahram spersusuan,
sedangkan mengenai berapa kali susuan yang menyebabkan menjadi
mahram dalam penjelasan pasal tersebut tidak menjelaskan secara rinci
berapa kali susuan yang menjadikan mahram, walaupun dalam perumusan
Kompilasi Hukum Islam ini menggunakan sumber-sumber kitab fiqh
yangdiantaranya adalah sebagai berikut;
1. Al Bajuri
2. Fatḥul Mu’in
3. Nihayah al Muḥtaj
4. Asy Syarqawi
5. I’ānatut Ṭalibin
6. Tuḥfah
7. Fatḥul Wahab
8. Al-Uum
9. Bidayatul Mujtahid
10. Fiqhus Sunnah
11. Al Fiqhul ‘ala Maẓhabil Arba’ah
12. Nihayah
13. Al Mugni

Melihat proyek pelaksanan Kompilasi Hukum Islam melalui jalur


kitab, dimana kitab-kitab yang diapaki kebanyakan masih termasuk
madzhab Syafi’iyah maka bisa ditarik kesimpulan bahwa intensitas
penyusuan dalam Pasal 39 Ayat 3 adalah lima kali susuan,hal ini lebih
mengacu kepada mazhab Syaf’i. Namun hal ini masih perlu di jelaskan
27

secara terperinci, karena melihat dari tujuan pembentukan Kompilasi


Hukum Islam tersebut tidak hanya untuk melengkapi pilar Peradilan
Agama, menyamakan persepsi penerapan hukum, mempercepat proses
Taqribi Bainal ummah dan menyingkirkan paham private affairs, akan
tetap tidak tercapai jika tidak dijelaskan secara terperinci dari penjelasan
pasal tersebut. Hal ini juga mengakibatkan pemahaman masyarakat awam
tentang hukum larangan perkawinan sepersusuan menjadi rancu,
begitupun hakim dalam mengambil keputusan perkara perkawinan
sepersusuan.

2. TinjauanHukum Islam Terhadap Intensitas Penyusuan dalam Pasal


39 Ayat 3 KHI
Para ulama sepakat bahwa susuan itu mengharamkan nikah, seperti
halnya haram sebab hubungan darah dan hubungan semenda hal ini cukup
sampai pada keharamannya saja, sedangkan dalam masalah kadar susuan
para ulama berbeda pendapat hal ini didasari oleh penggunaan dalil yang
dipakai oleh para ulama dalam menentukan sebuah hukum.
Ulama Ḥanafiyah dan ulama Malikiyah berpendapat bahwa dalam
penyususan baik sedikit maupun banyak itu sama saja mengharamkan, hal
ini mengmbil dari kemutlakan al-Qur’an.
Abu ‘Ubaid, Abu Tsaur, Daud ad-Dzahiry dan Ibnu al-Mundhir
berpendapat bahwa satu kali, dua kali menyusu itu tidak mengharamkan,
yang mengharamkan ialah tiga kali atau lebih, meraka dalam menentukan
tiga kali atau lebih dalam susuan itu berdasarkan hadis yang di riwayatkan
oleh jamaah kecuali Bukhari dari ‘Aisyah bahwa Nabi SAW bersabda
79
.‫ال تحرّم المصّة والمصّتان‬
Sekali, dua kali menghisap itu tidak mengharamkan, jadi mereka
dalam menentukan kadar susuan melihat dari hadis tersebut membatasi
kemutlakan dari al-Qur’an dengan menentukan tiga kali susuan atau lebih
itu dapat menyebabkan haram kawin.80
Menurut ulama Syafi’iyah dan ulama Ḥanabilah kadar susuan yang
menyebabkan haram nikah adalah lima kali isapan dengan keyakinan, jika
ragu dalam jumlah isapan dan kurang dari lima kali isapan, maka menurut
mereka itu tidak dapat menyebabkan terjadinya hubungan
mahram.81Menurut ulama Ḥanabilah yang dijadikan dalam patokan untuk
79
Yaḥya Bin Syaraf an-Nawawī, Saḥīḥ Muslim Bisyarhian-Nawawī, IX: 17. Hadis nomor
1450, “Kitāb ar-Raḍa’i” “Bāb Fī al-Maṣṣatu wa al-Maṣṣatāni.” Hadis dari Abū Kuraib, sanadnya
ṣahih.
80
Mahmoud Syaltut dan M. Ali As-Syis, Perbandingan Madzhab dalam Masalah Fiqih,
alih bahasa, H. Ismuha, Cet-7 (Jakarta: Bulan Bintang), 132-133.
81
Abdurrahman al-Jazīry, Kitāb al-Fiqh ‘Ala-Al Mażāhibal-Arba’ah, IV: 228.
28

mengetahui tentang penyusuan dengan cara ‘uruf, karean syariat dalam


menyampaikan masalah susuan ini dengan mutlak tidak membatasi dengan
waktu dan ukuran tertentu. Dengan demikian, jika seorang bayi menetek
kemudian berhenti dengan kehendaknya dan tidak menetek lagi maka hal
ini di hitung satu kali susuan. Jika dia menetek lagi hal itu adalah
penyusuan yang lain lagi. Adapun jika anak itu menghentikan diri karena
ada sesuatu yang menggoda, sesak dan berhenti dari satu tetek ke tetek
yang lainnya, hal ini harus dilihat jika anak itu menetek lagi dengan waktu
yang singkat maka dalam berhentinya tersebut tidak termasuk satu kali
susuan.
Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah jika sibayi menyusu dan
sesaat berhenti sejenak karena lalai atau yang lainnya, kemudian ia
kembali meraih tetek ibu susuannya maka hal ini masih di hitung satu kali
susuan. Mereka juga mengatakan andaikan anak itu mengambil tetek
sebelah sampai ASI tersebut habis kemudian dia beralih ke tetek yang
satunya maka hal ini tetap di hitung satu kali susuan.82Dasar yang diambil
dari ulama Syafi’iyah dan ulama Ḥanabilah yaitu hadis yang diriwayatkan
oleh Muslim dari ‘Aisyah;
‫خن بخمس‬99‫ ثم نس‬،‫ا‬99‫ات يحرّمن‬99‫عات معلوم‬99‫ر رض‬99‫ عش‬:‫رأن‬99‫زل من الق‬99‫ا أن‬99‫ان فيم‬99‫ك‬
83
ّ
.‫وهن فيما يقرأ من القرأن‬ ‫ هللا صلّى هللا عليه وسلّم‬9‫ فتوفّى رسول‬،‫معلومات‬
Dalam al-Qur’an pernah disebut bahwa sepuluh kali penyusuan itu
menjadikan mahram dan haram menikah bagi orang yang menyusui dan
yang menysusu, kemudian bilangan tersebut di nasakh dengan lima kali
penyusuan, bilangan lima kali tersebut berlaku sampai nabi wafat dan hal
tersebut tetap dibaca sebagai ketetapan al-Qur’an ketika Rasululah wafat.
Menurut beberapa kitab Syaf’iyah dan Ḥanabilah bahwa mereka
memahami dari hadis ‘Aisyah yang telah di jelaskan di atas, adapun hadis
tersebut menjelaskan tentang ayat al-Qur’anyaitu sepuluh kali penyusuan
yang diketahui yang diharamkan, yang dimaksud diketahui itu adalah
nyata dan tidak ada keraguan didalamnya, sedangkan keharaman tersebut
berlaku antara ibu yang menyusui dan suaminya terhadap anak susuan
didalam perkawinan. Kemudian ayat ini di nasakh pada zaman nabi baik
lafadz maupun maknanya dengan ayat lain yaitu dengan lima kali susuan
yang diketahui dan diharamkan.84
Sebagaimana persoalan tentang batasan ukuran-ukuran raḍā’ah
yang banyak terjadi ikhtilaf dikarenakan karena keẓannian dalillnya.
82
Nuruddin Abu Lihyah, Halal Haaram dalam Pernikahan,136.
83
Muslim, Ṣaḥih Muslim, alih bahasa Taufiq Nuryana, Lc, II: 776, hadis nomor 1444,
“Kitāb ar-Raḍā’ah,” “Bāb Yahrumu min ar-Raḍā’ati Mā Yahrumu min al-Wilādati.” Hadis dari
‘Aisyah, sanadnya ṣahih.
84
Abdurrahman al-Jazīry, Kitāb al-Fiqh ‘Ala-Al Mażāhibal-Arba’ah, IV: .228-229.
29

Terkait dengan berapa kali susuan yang dapat menjadikan mahram susuan
satu kali atau dua kali tidak dapat menyebabkan larangan nikah kerena
dengan satu atau dua kali saja tidak dapat memberikan pengaruh yang
besar terhadap pertumbuhan fisik bayi. Menurut Mahmūd Syaltūt tidak
ada ukuran tertentu dalam raḍā’ah syar’iyyahah, beliau hanya
memberikan batasan raḍā’ah syar’iyyahah dengan munculnya rasa kasih
sayang, rindu serta timbulnya rasa keibuan. Dalam bilangan susuan beliau
berpendapat lima kali susuan merupakan batas minimal yang dapat
mewujudkan predikat ibu dan makna keibuan dalam tingkatan yang paling
rendah serta dua tahun merupakan batasan maksimalnya.
Berdasarkan penjelasan diatas dalam hukum Islam sangat jelas dan
terperinci menjelaskan tentang kadar susuan hal ini terlihat dari penjelasan
pendapat bebrapa mazhab di atas, dari penjelasan tersebut masalah kadar
susuan pada Pasal 39 Ayat 3 Kompilasi Hukum Islam lebih dominan
terhadap madzhab Syafi’i, yaitu lima kali susuan karena sumber rujukan
Kompilasi Hukum Islam lebih dominan pada kitab-kitab Syafi’iyah.
Namun Melihat keterangan Pasal 39 Ayat 3 ini masih belum terperinci
mengaenai masalah kadar susuan dalam pasal tersebut, walaupun dalam
pembentukan Kompilasi Hukum Islam menggunakan kitab-kitab fiqh
Syafi’iyah, tetapi pada kenyataannya masih belum jelas dalam penjelasan
pasal tersebut mengenai kadar susuan, oleh karena itu pasal 39 ayat 3
tersebut harus menjelaskan secara jelas dan terperinci juga agar
masyarakat awam dari kalangan bawah mampu memahami dan tidak
sembarangan menyusui seorang bayi dan diperlukan kejelasan tentang
kadar suatu susuan yang dapat menjadikan mahram antara seorang pria
dan wanita harus dijelaskan secara detail, dalam pasal tersebut, agar tidak
terjadi hal yang dilarang dan ditentukan dalam pelaksanaan perkawinan,
demi kemaslahatan bersama sedapat mungkin berusaha untuk
menghilangkan kemadharatan. Sebagaimana dalam kaidah fiqh.
‫درء المفاسد مقدم على جلب المصالح‬.85
Qaidah tersebut menjelaskan bahwa untuk maslahat ummat maka
sedapat mungkin menghilangkan kemadharatan, hal ini jika dikaitkan
dengan masalah sepersusuan, agar tidak terjadi kesalahfahaman dalam
masayarakat awam mengenai raḍā’ah, maka perlu menjelaskan secara
jelas dan terperinci agar kemaslahatan tercapai. Dengan demikian ketika
terjadi kasus perkwinan sepersusuan di dalam kehidupan masyarakat
awam dan masyarakat juga tidak sembarangan menyusui.
D. Penutup

85
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqh (Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah Praktis), 27.
30

Dinamika hukum Islam atau bisa disebut dengan dialektika fikih


terbentuk oleh kombinasi antara wahyu dengan rasio, kombinasi dua
pradigma tersebut yang mendorong perkembangan pergulatan tradisi ijtihad.
Sebagaimana dalam masalah-masalah kadar susuan yang dapat menyebabkan
larangan perkawinan antara orang yang menyusui dan yang menyusu ini
banyak terjadi khilafiah dikalangan para ulama. Di dalam ijtihad untuk
memahami segala permasalahan-permaslahan hukum yang muncul, para
mujtahid memakai nash sebagai rujukan atau menggunakan rasio untuk
menunjukan illat hukum yang terkandung didalamnya. Sedangkan Kompilasi
Hukum Islam dalam Pasal 39 Ayat 3 Penyebutan batasan kadar susuan dalam
Kompilasi Hukum Islam tidak ada, walaupan dalam pembentukan Kompilasi
Hukum Islam itu menggunakan sumber kitab-kitab fiqh. Hal ini dikarenakan
dalam pembuatan pasal masih mengunakan bahasa kitab fiqh dan menjadikan
sulit untuk difahami. Namun melihat proyek pelaksanan Kompilasi Hukum
Islam melalui jalur kitab, dimana kitab-kitab yang diapaki kebanyakan masih
termasuk madzhab Syafi’iyah maka bisa ditarik kesimpulan bahwa intensitas
penyusuan dalam Pasal 39 Ayat 3 adalah lima kali isapan, hal ini lebih
mengacu kepada mazhab Syafi’i.Oleh karena itu pasal 39 ayat 3 ini perlu
dijelaskan lagi secara terperinci. Agar tujuan pembentukan Kompilasi Hukum
Islam tersebut lebih mengena kepada masyarakat awam.
Dalam hukum Islam menjelaskan ada perbedaan pendapat mengenai
kadar susuan dalam penentuan kadar susuan kalangan para ulama,
diantaranya adalah kalangan ulama Syafi’iyah menurut ulama Syafi’iyah
kadar susuan yang menyebabkan haram nikah adalah lima kali isapan dengan
keyakinan, jika ragu dalam jumlah isapan dan kurang dari lima kali isapan,
maka menurut mereka itu tidak dapat menyebabkan terjadinya hubungan
mahram.Sedangkan dalam masalah cara menyusu menurut ulama Syafi’iyah
jika sibayi menyusu dan sesaat berhenti sejenak karena lalai atau yang
lainnya, kemudian ia kembali meraih tetek ibu susuannya maka hal ini masih
di hitung satu kali susuan. Mereka juga mengatakan andaikan anak itu
mengambil tetek sebelah sampai ASI tersebut habis kemudian dia beralih ke
tetek yang satunya maka hal ini tetap di hitung satu kali susuan. Persoalan
tentang batasan ukuran-ukuran raḍā’ah yang banyak terjadi ikhtilaf
dikarenakan karena perbedaan istimbat hukum beserta dalil yang di gunakan.
31

Daftar Pustaka

Abdullah, Abdul Gani,Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan


Agama, Jakarta: Intermasa, 1991.
Ahmad Amrullah dkk,Prospek Hukum Islamdalam Kerangka Pembangunan
Hukum Nasional di Indonesia (Sebuah Kenangan 65 Tahun Prof. Dr. H.
Bustanul Arifin SH.), Jakarta: PPIKAHA, 1994.
Ansari, Abi Yahya Zakariya al-, Fatḥ al Wahhab fi Syarh Minhāj at-Tullab, juz II,
Surabaya: Toko Kitab al-Hidayah, t.t.
As-Sayyid Sābiq, Fiqhu as-Sunnah, juz II, Dar al-Fikr, Beirut: 1977.
Azzam,Muhammad Abdul Aziz dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, FIQH
MUNAKAHAT (Khitbah, Nikah, dan Talak), alih bahasa Abdul Majid
Khon, Cet-1, Jakarta: AMZAH, 2009.
32

Baqi, Muhammad Fu’ad ‘Abdul, Al-Lu’lu’ wal Marjān Fimā Ittafaqa ‘Alaihi Asy-
Syaikhāni Al-Bukhāri Wa Muslim, alih bahasa Arif Rahman Hakim, Lc,
cet. ke-1, Solo: Insan Kamil, 2010.
Bisri, Cik Hasan,Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agma dalam Sistem
Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Bukhāri, Ῑmām, Ṣaḥīḥ Al-Buḥāri, juz II, Libanon: Dār al-kutub al-‘ilmiyah, 2009.
Departen Agama RI, Alasan Syar’i Tentang Penerapan Kompilasi Hukum Islam,
(ttp: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999.
Derajat Hadist-Hadist dalam Tafsīr Ibnu Katsīr, Taḥqīq, Muhaammad
Nashiruddin Al Abani, Taḥrīj, Mahmud bin dkk, alih bahasa ATC Mumtaz
Arabia, juz I, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Dimyāṭi, Muḥammad Syaṭa al-,Ḥāṡiyah I’ānah aṭ Ṭālibīn,Jiddah: Ḥaramain, t.t.
Djazuli, A, Kaidah-kaidah Fiqh (Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam
Menyelesaikan Masalah-masalah Praktis), cet. ke-1, Jakarta: Kencana.
2006.
Imām Muḥammad Abū Zahrah, Al-Aḥwāl As Syakhṣiyyah, ttp: Dār al-Fikr, t.t.
Jazīry, Abdurrahman al-, Kitāb al-Fiqh ‘Ala-Al Mażāhibal-Arba’ah, juz IV,
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990.
KHI Impres No. 1 Tahun 1991.
Lihyah, Nuruddin Abu, Halal Haaram dalam Pernikahan, alih bahasa Umar
Sitanggal, cet. ke-I, Yogyakarta: Multi Publishing, 2013.
Mukhtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet. Ke-3,
Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Munawir, Ahmad Warson, Kamus Bahasa Arab-Indonesia Al-Munawwir,
Yogyakarta: t.p, tt.
Muslim, Ṣaḥih Muslim, alih bahasa Taufiq Nuryana, Lc, juz II, Jakarta: Pustaka
As-Sunnah, 2010.
Nawawī, Yaḥya Bin Syaraf an-,Saḥīḥ Muslim Bisyarhi an-Nawawī, juz IX,
Libanon: Dār al-kutub al-‘ilmiyah, 2010.
Qarḍāwi, Yusuf, Halal dan Haram, alih bahasa Abu Sa’id al-Falahi dan Aunur
Rafiq Shaleh Tamhid, cet. ke-1, Jakarta: Robbani Press,2000.
Qarḍāwi,Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer, alih bahasa Abdul Hayye al-Kattani
dkk, cet. ke-3 juz II, Jakarta: Gema Insani, 2002.
Rofiq, Ahmad,Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-4, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2000.
33

Rusyd, Ibn, Bidayah Al-Mujtahid Wa Nihayah Al-Muqtasid, Beirut:Dar al-Fikr,


t.th.
Rusyd, Ibnu,Bidayatul Mujtahid, alih bahasa Abu Usamah Fakhtur Rohman,
Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Siroj, Malthuf, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia Telaah Kompilasi
Hukum Islam, cet. Ke-1, Yogykarta: Pustaka Ilmu, 2012.
Syaltut, Mahmoud dan M. Ali As-Syis, Perbandingan Madzhab dalam Masalah
Fiqih, alih bahasa, H. Ismuha, Cet-7, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, cet. ke-1, Jakarta: Kencana, 2006.
Teba, Sudirman, Perkembangan Metafisis Hukum Islam di Asia Tenggara,
Bandung: Mizan, 1991.
Tirmiẓi, Abī ‘Isa Muhammad Ibn ‘Isa Ibn Saurah at-,Sunan at-Tirmiẓi, juz II,
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2000.
Undang-undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya: Arkola, tt.
Zuhaili, Wahbah az-,Fiqh al-Islāmi wa-Adillatuhu, alih bahasa Abdul Hayyie al-
Kattani dkk, juz IX, Jakarta: Gema Insani, 2007.
________________, Fiqih Imam Syafi’i, alih bahasa Muhammad Afifi dan Abdul
Hafiz, cet Ke-I, juz III, Jakarta: Almahira, 2010.

Anda mungkin juga menyukai