Abstract
Ccompilation of Islamic law describes banning marriage by raḍā’ah it is
established in article 39 (3), which explains that man and women are prohibited
to marry each other for some reasons. one of them because the relationship
raḍā’ah, but the mention of such article does not explain how the levels of Rada
'that led to the prohibition of marriage raḍā’ah. but viewed from the formulation
compilation of Islamic law rooted in fiqh books Shafi'ites, thus raḍā’ah levels
contained in the article following the Sayafi'i schools, which is five times the
suction (raḍā’ah). whereas in Islamic law explains rada'ah levels argue that there
is more or less still make mahram raḍā’, onecan not make twice mahram raḍā,
and there are also at least five times the suction can make mahram raḍā.
[Kompilasi Hukum Islam menjelaskan tentang larangan perkawinan karena
sepersusuan hal ini termaktub dalam Pasal 39 Ayat 3, dalam pasal tersebut
menyebutkan bahwa seorang laki-laki dan seorang perempuan dilarang
melangsungkan perkawinan disebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya karena
pertalian sepersusuan, namun dalam penyebutan pasal tersebut tidak menjelaskan
seberapa kadar susuan yang menyebabkan larangan perkawinan sepersusuan.
namun melihat dari perumusuan Kompilasi Hukum Islam bersumber pada kitab
fiqh Syafi’iyah,dengan demikian kadar susuan yang terkandung dalam pasal
tersebut yaitu mengikuti madzhab Syafi’i, yaitu lima kali hisapan (susuan).
Sedangkan dalam hukum Islam menjelaskan kadar susuan itu ada yang
berpendapat sedikit banyak tetap menjadikan mahram, satu kali dua kali tidak
dapat menjadikan mahram, dan ada juga minimal lima kali susuan dapat
menjadikan mahram.]
Kata Kunci: Intensitas,Raḍā’ah, Larangan Perkawinan, KHI.
A. Pendahuluan
1
2
2
An-Nisa (4): 23.
3
KHI Impres No. 1 Tahun 1991 Pasal 39.
4
Yaḥya Bin Syaraf an-Nawawī, Saḥīḥ Muslim Bisyarhian-Nawawī,Libanon: Dār al-kutub
al-‘ilmiyah, 2010), IX:17. Hadis nomor 1444, “Kitāb ar-Raḍa’i” “Bāb Yahrumu min ar-Raḍā’ati
Mā Yahrumu min al-Wilādati.” Hadis dari ‘Aisyah, sanadnya ṣahih.
5
As-Sayyid Sābiq, Fiqhu as-Sunnah, (Dar al-Fikr, Beirut: 1977), II: 46.
6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, cet. ke-1 (Jakarta: Kencana, 2006), 109-110.
3
a. Pengertian Raḍā’ah
Penyusuan anak dalam fiqih dinyatakan dengan ar-raḍa’ (al-
raḍā’ah) atau bisa dibaca ar-riḍa’ (ar-riḍā’ah). Kata ini berasal dari
kata kerja raḍa’a (raḍi’a) yarḍi’u (yarḍa’u) yarḍa’an, yang berarti
menyusu (menetek). Oleh karean itu, bayi yang menyusu disebut ar-
raḍi’.Sementara ibu susuan/perempuan yang menyusui anak orang
lain disebut al-murḍi’ah.8
Secara etimologis, ar-raḍā’ah/ar-riḍā’ah adalah sebuah nama
bagi isapan susu, baik isapan susu manusia maupun susu binatang.
Dalam pengertian etimologis tidak dipersyaratkan bahwa yang
dipersusui itu berupa anak kecil atau bukan.9
Adapun dalam pengertian terminologis, sebagian ulama fiqih
mendefinisikan raḍā’ah sebagai berikut
لبن أدمية الى جوف طفل لم يزد سنّه على حولين9وصول
Mencermati pengertian ini, ada tiga unsur batasan untuk bisa
disebut ar-raḍā’ah as-syarī’ah(penyusuan yang berdasarkan etika
Islam), yaitu: pertama, adanya air susu manusia. Kedua, air susu itu
masuk ke dalam perut seorang bayi. Ketiga, bayi tersebut belum
berusia 2 tahun.
Dari unsur-unsur pengertian ini, dapat dipahami bahwa
seorang bayi laki-laki atau perempuan yang meminum air susu hewan,
misalnya susu sapi atau susu kambing tidak termasuk dalam
pengertian ar-raḍā’ah as-syarī’ah. Ia tidak terkena konsekuensi syara’
seperti keharaman menjalani hubungan pernikahan atau hubungan
syara’ lainnya. Baik masuknya air susu itu melalui mulut ataupun
hidung, asalkan si anak itu belum berusia dua tahun, tetap bisa disebut
ar-raḍā’ah as-syarī’ah. Jadi, batasan maksimal usia anak yang disusui
adalah dua tahun. Sebab pada sampai usia dua tahun, perkembangan
biologis anak sangat ditentukan oleh kadar susu yang diterimanya.
Susu pada usia ini sangat mempengaruhi perkembangan fisik dan
psikis anak. Oleh karena itu, apabila sudah di atas dua tahun, susuan
seorang perempuan kepada anak tidak dianggap sebagai ar-raḍā’ah
as-syarī’ah.10
Dengan demikian, definisi raḍā’ah sebagaimana diuraikan di
atas, dapat dilihat bahwa pengertian raḍā’ah yang secara etimologis
8
Ahmad Warson Munawir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia Al-Munawwir, (Yogyakarta:
t.p, tt.), 540-541.
9
Abdurrahman al-Jazīry, Kitāb al-Fiqh ‘Ala-Al Mażāhibal-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1990).IV: 250-251.
10
Ibn Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid Wa Nihayah Al-Muqtasid, (Beirut:Dar al-Fikr,
t.th),27.
5
11
Abi Yahya Zakariya al-Ansari,Fatḥ al Wahhab fi Syarh Minhāj at-Tullab, (Surabaya:
Toko Kitab al-Hidayah, t.t), II: 112.
6
دهن ح99ولين ك99املين لمن أراد أن يت ّم الرض99اعة وعلى والوال99دت يرض99عن أولا ّ
12
ّ
وكسوتهن بالمعروف.9 ّ
رزقهن المولود 9له
ح99رمت عليكم أ ّمه99اتكم وبن99اتكم 9وأخ99واتكم 9وع ّمتكم وخلتكم وبن99ات األخ وبن99ات
األخت
13
وأ ّمها تكم الالّتى أرضعنكم وأخواتكم من الرّضاعة.
يوم ترونها 9تذهل ك ّل مرضعة ع ّما أرضعت وتضع ك ّل ذات حمل حملها وت99رى
14
ّ
ولكن عذاب هللا شديد. النّاس سكرى وماهم بسكرى
عليهن وإن ّ
كن ّ هن من حيث سكنتم من وج99دكم 9وال تض99ار ّ
ّوهن لتض99يقوا أسكنو ّ
ّ
9ورهن هن أج9حملهن فإن أرض9عن لكم ف9أتو ّ ّ عليهن حتّى يضعن
ّ أولاتحمل فأنفقوا
15
وأتمروابينكم بمعروف 9وإن تعاسرتم 9فسترضع 9له أخرى. ْ
وحرّمنا 9عليه المراضع من قبل فقالت هل أدلّكم على أه99ل بيت يكفلون99ه لكم وهم
16
له ناصحون.
وح ّدثناه أبو كريب .ح ّدثنا أبو أسامة.ح وح ّدثني 9أبو معم99ر إس99ماعيل بن إب99راهيم
الهذل ّي .ح ّدثنا عل ّي بن هاشم بن البريد .جميعا عن هشام بن ع99روة ٬عن عب99د هللا
ابن أبي بكر ٬عن عمرة ٬عن عائسة .ق99الت :ق99ال لي رس99ول هللا ص99لّى هللا علي99ه
17
وسلّم ((يحرم من الرضاعة ما يحرم من الوالدة)).
حدثنا مس99لم بن إب99رهيم :ح99دثنا ه ّم99ام :ح99دثنا قت99ادة ،عن ح99ابر بن زي99د ،عن ابن
عبّاس رضي هللا عنهم9ا ق9ال :ق9ال النّ9ب ّي ص9لّى هللا علي9ه وس9لّم في بنت حم9زة:
(( ال تحّ 999ل لي ،يح999رم من الرّض999اع م999ا يح999رم من النّسب ٬هي بنت أخي من
18
الرّضاعة)).
حديث عائش99ة رض9ي 9هللا عنها ٬ق9الت :دخ9ل عل ّي النّ99ب ّي ص9لّى هللا علي9ه وس9لّم ٬
وعندي رجل ٬قال :يا عائش9ة من ه9ذا قلت :أخي من الرض9اعة ق9ال :ي9ا عائش9ة
إخوانكن ٬فإنّما الرضاعة من المجامعة(.أخرج99ه البخ99ارى في)٥٢(: ّ انظرن من
19
كتاب الشهادة )٧(:باب الشهادة على األنساب والرضاع 9المستفيض).
12
Al-Baqarah (2): 233.
13
An-Nisa’ (4): 23.
14
Al-Ḥajj (22): 2.
15
At-Ṭalaq (65): 6.
16
Al-Qaṣaṣ (28): 12.
17
Yaḥya Bin Syaraf an-Nawawī, Saḥīḥ Muslim Bisyarhian-Nawawī,(Libanon: Dār al-
kutub al-‘ilmiyah, 2010), IX:17. Hadis nomor 1444, “Kitāb ar-Raḍa’i” “Bāb Yahrumu min ar-
Raḍā’ati Mā Yahrumu min al-Wilādati.” Hadis dari Abū Kuraib, sanadnya ṣahih.
18
Ῑmām Bukhāri, Ṣaḥīḥ Al-Buḥāri, (Libanon: Dār al-kutub al-‘ilmiyah, 2009), II: 168.
Hadis nomor 2645, “Kitāb as-Syahādah”, “ Bāb as-Syahādati ‘Alā al-Ansābi, wa ar-Raḍā’i al-
Mustafīdi, wal Mauti al-Qadīm.”Hadis dari Muslīm bin Ibrāhīm, sanadnya ṣahih.
19
Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, Al-Lu’lu’ wal Marjān Fimā Ittafaqa ‘Alaihi Asy-
Syaikhāni Al-Bukhāri Wa Muslim, alih bahasa Arif Rahman Hakim, Lc, cet. ke-1, (Solo: Insan
”Kamil, 2010), 406, hadis nomor 921, “Kitāb ar-Raḍā”, “Bāb Innamā ar-Raḍā’atu min al-Majā’ati.
Hadis dari ‘Aisyah, sanadnya ṣahih.
7
20
Derajat Hadist-Hadist dalam Tafsīr Ibnu Katsīr,Taḥqīq, Muhaammad Nashiruddin Al
Abani, Taḥrīj, Mahmud bin Jamil dkk, alih bahasa ATC Mumtaz Arabia (Jakarta: Pustaka Azzam,
2007), I:479, status hadis ṣahih: Muslim (2628).
21
Muslim, Ṣaḥih Muslim, alih bahasa Taufiq Nuryana, Lc, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah,
2010), II: 776, hadis nomor 1444, “Kitāb ar-Raḍā’ah,” “Bāb Yahrumu min ar-Raḍā’ati Mā
Yahrumu min al-Wilādati.” Hadis dari ‘Aisyah, sanadnya ṣahih.
22
Abī ‘Isa Muhammad Ibn ‘Isa Ibn Saurah at-Tirmiẓi, Sunan at-Tirmiẓi,(Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyah, 2000), II: 308. Hadis nomor 1152, “Kitāb ar-Raḍa’” “Bāb Mā Jāa Mā ẓukira
Inna ar-Raḍā’ata La Tuḥarrimu Illa Fi al-Ṣuguri Duna al-Ḥaulaini.” Hadis dari Qutaibah, sanadnya
ṣahih.
23
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan,116.
8
24
As-Sayyid Sābiq, Fiqh as-Sunnah, alih bahasa Mohammad Thalib, (Bandung: PT.
Alma’arif, 1980), VI:117.
25
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, 116.
26
Nuruddin Abu Lihyah, Halal Haaram dalam Pernikahan,alih bahasa Umar Sitanggal,
cet. ke-I(Yogyakarta: Multi Publishing, 2013), 128-129.
27
Yusuf Qarḍāwi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, alih bahasa Abdul Hayye al-Kattani dkk,
cet. ke-3 (Jakarta: Gema Insani, 2002), III: 419-420.
9
28
Nuruddin Abu Lihyah, Halal Haaram dalam Pernikahan,130.
29
Ibid.,118.
30
Abdurrahman al-Jazīry, Kitāb al-Fiqh ‘Ala-Al Mażāhibal-Arba’ah, IV: 226-227.
31
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, 118.
10
lain harus melihat kembali seberapa ukuran air susu itu tercampur
dengan zat lain, ukuran yang mempunyai dasar nas yaitu ukuran
yang banyaknya, sebanyak lima kali hisapan.32
4. Kesaksian
Peristiwa penysuan dapat menyebabkan hubungan susuan dan
dengan adanya hubungan susuan itu, maka timbullah larangan
perkawinan antara orang-orang yang berhubungan susuan itu. Untuk
memastikan terjadinya peristiwa hubungan susuan diperlukan adanya
kesaksian,33dan pengakuan. Hubungan susuan ditetapkan dengan
adanya saksi dua orang laki-laki atau satu laki-laki dan dua orang
wanita, seperti persaksian yang berlaku pada transaksi harta, dan bisa
juga dengan persaksian empat orang wanita, sebab umumnya wanita
memiliki peran dalam proses susuan seperti halnya juga dalam
persalinan.34Sedangkan pengakuan harus dilakukan oleh dua orang
laki-laki yang adil.35Kesaksian ini ada perbedaan pendapat dikalangan
ulama.
Saksi seorang perempuan dalam masalah susuan dapat
diterima bilamana ia melakukannya dengan rela. Menurut jumhur
ulama berpendapat saksi seorang perempuan dan ibu susuan saja tidak
cukup, karena ia menyaksikan perbuatan dirinya sendiri.36 Menurut
Ḥanafiah penetapan dari seoarang saksi dalam peristiwa susuan
haruslah seorang yang adil, dan dengan pengakuan. Adapun kesaksian
disyaratkan, kesaksian tersebut dilakukan oleh dua orang laki-laki
yang adil, atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan yang
adail. Maka tidak cukup dalam penetapan raḍā’ah dengan kesaksian
satu orang yang adil, begitu juga satu orang laki-laki atau satu orang
perempuan yang tidak adil, dan tidak cukup atas kesaksian empat
perempuan yang adil, tetapi dalam kesaksian raḍā’ah wajib adanya
saksi dari seorang laki-laki. 37
Menurut Syafi’iyah, susuan ditetapkan melalui pengakuan dan
beberapa orang saksi, adapun kesaksian dapat dilakukan oleh seorang
laki-laki dan seorang perempuan, dua orang laki-laki, seorang laki-laki
dan dua orang perempuan ataupun empat orang perempuan. Tidak sah
32
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,50.
33
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, 119.
34
Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, alih bahasa Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz,
III: .38.
35
Muḥammad Syaṭa al- Dimyāṭi, Ḥāṡiyah I’ānah aṭ Ṭālibīn, (Jiddah: Ḥaramain, t.t), III:
290.
36
As-Sayyid Sābiq, Fiqh as-Sunnah, VI: 120.
37
Abdurrahman al-Jazīry, Kitab al-Fiqh ‘Ala-Al Mażāhibal-Arba’ah, IV: 241.
11
banyak dari campurannya, maka di anggap air susu juga. 46 Hal ini
disebabkan karena air susu telah sampai ke perut dan tujuan
memberikan makan telah tercapai.
3. Bayi yang menyusu
Penyusu tersebut disyaratkan bayi yang hidup secara
normal dan belum berusia dua tahun berdasarkan hitungan kalender
hijriah. Jika dia lahir bukan pada tanggal pertama maka pada bulan
ke-25 hitungan harinya harus disempurnkan menjadi tiga puluh.
Jika bayi telah berumur dua tahun, susuannya tidak menjadikannya
mahram.47Bayi yang menyusu harus memenuhi tiga syarat:
Pertama, air susu masuk kedalam perut,masuknya air susu
kedalam perut menetapkan adanya ikatan kemahraman, baik
dengan cara menyusuinya itu dengan dipompa, dialirkan langsung
ke tenggorokan, maupun dimasukkan lewat hidung, hingga masuk
kedalam perut dan otaknya. Menurut al-mażhab, cara ini dapat
menyebabkan mahram raḍā’. Berbeda halnya jika air susu tersebut
dimasukkan ke anus atau kemaluan, atau pada perut bayi terdapat
luka lalu air susu dimasukkan ke sana hingga sampai ke perut,
maka menurut pendapat yang aẓhar, ini tidak menyebabkan
kemahraman. Seandainya bayi itu menyusu dan langsung muntah,
menurut pendapat yang ṣaḥiḥ, ini menetapkan kemahraman.
Kedua, bayi belum berusia dua tahun. Jika masuk dua tahun
dengan menggunakan kalender hijriah, susuannya tidak berdampak
hukum. Hal ini para fuqaha sepakat bahwa yang dapat
mempengaruhi adanya hubungan mahram penyusuan bayi tersebut
dilakukan sebelum genap usia dua tahun.
Ketiga, bayi tersebut dalam kondisi hidup. Anak yang
disusui itu harus dalam keadaan hidup jadi Sampainya air susu ke
perut bayi yang sudah tidak bernyawa tidak berimplikasi hukum.
Hal ini menurut pendapat mażhab Syafi’i, sedangkan menurut yang
lain syarat tersebut tidak ada pengaruhnya.48
e. Kadar Raḍā’ahyang Mengharamkan Nikah
Al-Qur’an tidak membatasi dan menyebutkan secara detail
mengenai kadar susuan yang dapat menyebabkan hubungan mahram
antara ibu dan bayi yang disusui, dalam al-Qur’an surah an-Nisa (4):
23 hanya menyebutkan siapa saja yang haram dinikahi. Dari sinilah
muncul perbedaan pendapat dikalangan para ulama karena Nabi
46
As-Sayyid Sābiq, Fiqh as-Sunnah, VI:114-115.
47
Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, alih bahasa Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz, III:
29.
48
Nuruddin Abu Lihyah, Halal Haaram dalam Pernikahan,98-99.
14
melainkan setiap sampainya air susu pada tenggorokan bayi baik itu
sedikit maupun banyak tetap mengharamkan.53
f. Faktor Keharaman Sebab Raḍā’ah
Sebagaimana keharaman sebab kerabat raḍā’ah, diharamkan
juga sebab besanan, hal ini diqiaskan dengan hubungan nasab, dalam
hal ini menjadikan beberapa golongan yang haram sebab raḍā’ah.54
Ḥadis yang menjelaskan keharaman sebab susuan
menyebabkan keharaman sebab nasab, ḥadis ini menunjukan ada
beberapa golongan yang haram sebab nasab, adapaun golongan
tersebut ada delapan golongan yang haram untuk dinikahi, golongan
tersebut adalah;
1. Ibu susuan, dan yang berhubungan langsung dengannya, atau
dengan perantara ayah atau kakek, yang meliputi nenek garis lurus
ke atas seperti halnya nenek dari ayah sepersusuan dan nenek dari
ibu sepersusuan.55
2. Anak dari ibu sepersusuan, haram menikahi anak putri
sepersusuan, cucu putri dari anak laki-laki sepersusuan, dan cucu
putri dan anak putri sepersusuan sampai kebawah. Dengan kata
lain haram atas perempuan yang di minum atau dimakan air
susunya atau susu orang yang melahirkannya dengan perantara
dirinya atau lainnya atau disusui oleh wanita yang melahirkannya.
Demikian pula putri-putrinya yang satu nasab sampai kebawah.56
3. Keturunan dari kedua orang tua susuann, yakni saudara-saudara
perempuan dari susuan, dan keponakan perempuan dari anak laki-
laki susuan serta anak perempuannya kebawah.
4. Keturunan langsung dari kakek dan nenek dari susuan, yakni bibi
dari pihak bapak, dan bibi dari pihak ibu susuan. Bibi dari pihak
bapak adalah saudara perempuan suami dari yang menyusui,
sedangkan bibi dari pihak ibu susuan adalah saudara perempuan
yang menyusui. Tidak diharamkan keturunan bibi dan paman dari
pihak bapak susuan, dan keturunan bibi dan paman dari pihak ibu
susuan, sebagaimana tidak diharamkan dari hubungan nasab.
5. Ibu mertua dan neneknya dari susuan dan nasab ke atasnya.
Meskipun telah terjadi persetubuhan dengan istri ataupun tidak.
53
Abdurrahmanal-Jazīry,IV:228.
54
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islāmi wa-Adillatuhu, alih bahasa Abdul Hayyie al-Kattani
dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2007),IX: 132.
55
Abdurrahman al-Jazīry,IV:233.
56
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, FIQH
MUNAKAHAT (Khitbah, Nikah dan Talak), 154.
16
6. Istri bapak, dan istri kakek dari susuan dan nasab ke atasnya.
Meskipun bapak dan kakek telah menggaulinya ataupun tidak.
Sebagaimana diharamkannya istri bapaknya dari hubungan nasab
7. Istri anak, istri cucu dari anak-anak laki-laki dan anak perempuan
susuan, dan nasab di bawahnya. Meskipun anak telah menggauli
istrinya ataupun tidak. Sebagaimana diharamkan bagi istri anak-
anaknya dari hubungan nasab.
8. Anak perempuan istri dari susuan, dan cucu perempuan dari anak-
anaknya dan nasab di bawhnya, jika istri telah digauli. Jika ia
belum digauli, keturunannya dari susuan tidak haram untuk
dinikahi oleh bekas suaminya, sebagaimana halnya kondisi
keturunan secara nasab.57.
2. Larangan Perkawinan Sepersusuan dalam KHI
a. Latar Belakang di Terbitkannya Kompilasi Hukum Islam
Yang menjadi latar belakang diterbitkannya Kompilasi Hukum
Islam adalah dengan adanya keputusan bersama ketua Mahkamah
Agung dan Menteri Agama Tanggal 21 Maret 1985 No.
07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tentang penunjukan
pelaksanakan proyek pembangunan hukum Islam dengan melalu
yurisprudensi atau yang dikenal dengan pembuatan Kompilasi Hukum
Islam, ada dua hal yang menjadikan pertimbangan dalam pembuatan
proyek tersebut:
a. Sesuai dengan fungsi Mahkamah Agung Republik Indonesia
terhadap pelaksanaan jalannya semua peradilan di indonesia,
khususnya peradilan agama perlu mengadakan Kompilasi Hukum
Islam yang selalu menjadi landasan hukum positif di pengadilan
agama;
b. Untuk mencapai maksud tersebut, dalam pelaksanaannya harus
meningkatkan kelancaran dalam pelaksanaan tugas, sinkornasi
dan tertib admisnistrasi dalam proyek pembangunan Kompilasi
Hukum Islam melalui jalur yurisprudensi harus mengadakan tim
penyusun yang berasal dari pejabat Mahkamah Agung dan
Departeman Agama Republik Indonesia.58
Hukum Islam jika dihadapakan pada masalah-masalah
sekarang yang melibatkan masalah perekonomian begitu kaku.Materi
yang tertulis dalam buku-buku fiqh ini masih belum disistematiskan,
sehingga dapat disesuaikan pada masa sekarang. Masalah yang di
hadapi tidak hanya masalah struktur sosial, tetapi juga perubahan
57
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islāmi wa-Adillatuhu, IX: 132-133.
58
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, 15.
17
68
Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia Telaah Kompilasi Hukum
Islam, 170
21
e) Fiqhus Sunnah;
5. IAIN Sunan Ampel Surabaya
a) Kasyf Al Qina;
b) Majmu atu Fatawi Ibn Taymiah;
c) Qawaninus Syari’ah lis Sayyid Usman bin Yahya;
d) Al Mugni;
e) Al Hidayah Syarah Bidayah Taimiyah Mubtadi;
6. IAIN Alaudin Ujung Pandang
a) Qawanin Syar’iyah lis Sayid Sudaqah Dakhlan;
b) Nawab al Jalil;
c) Syarah Ibnu Abidin;
d) Al Muwattha;
e) Hasyiah Syamsuddin Muh Irfat Dasuki;
7. IAIN Imam Bonjol Padang
a) Badai al Sannai;
b) Tabyin al Haqaiq;
c) Al Fatawi Al Hindiyah;
d) Fathul Qadir;
e) Nihayah.69
b. Wawancara
Wawancara ini dilakukan dengan mewawancarai para
ulama, untuk mengetahui pendapat-pendapat mereka tentang
masalah-masalah tersebut.
c. Menelaah Yurisprudensi
Hal ini dilakukan dengan cara menghimpun putusan
putusan peradilan agama yang masih bisa ditemukan dalam arsip-
arsip lembaga peradilan tersebut, kemudian di kaji dan di pilih
mana yang masih dapat diterapkan dalam sebuah putusan.
d. Studi perbandingan
Dengan mempelajari bagaimana negara-negara lain
menerapkan hukum Islam yang berkaitan dengan bidang-bidang
yang akan dikompilasikan di Indonesia.70
c. Tujuan Pembentukan Kompilasi Hukum Islam
Pembentukan Kompilasi Hukum Islam untuk menjadikan
landasan bagi para hakim peradilan agama mempunyai tujuan, tujuan
dari pembentukan kitab undang-undang tersebut adalah:
a. Melengkapi pilar peradilan agama
69
Abdurrahman Kompilasi Hukum Islam, 39-41.
70
Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia Telaah Kompilasi Hukum
Islam,171-174.
22
71
Ibid.,164-166.
72
Ibid., 1667.
23
73
Ibid., 155-157.
24
74
Departen Agama RI, Alasan Syar’i Tentang Penerapan Kompilasi Hukum Islam, (ttp:
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999), 122.
75
An-Nisa’ (4): 23.
76
Ῑmām Bukhāri, Ṣaḥīḥ Al-Buḥāri, II: 168. Hadis nomor 2645, “Kitāb as-Syahādah”, “
Bāb as-Syahādati ‘Alā al-Ansābi, wa ar-Raḍā’i al-Mustafīdi, wal Mauti al-Qadīm.”Hadis dari
Muslīm bin Ibrāhīm, sanadnya ṣahih.
77
Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 8.
25
78
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqh (Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah Praktis), cet. ke-1, (Jakarta: Kencana. 2006), 27.
26
Terkait dengan berapa kali susuan yang dapat menjadikan mahram susuan
satu kali atau dua kali tidak dapat menyebabkan larangan nikah kerena
dengan satu atau dua kali saja tidak dapat memberikan pengaruh yang
besar terhadap pertumbuhan fisik bayi. Menurut Mahmūd Syaltūt tidak
ada ukuran tertentu dalam raḍā’ah syar’iyyahah, beliau hanya
memberikan batasan raḍā’ah syar’iyyahah dengan munculnya rasa kasih
sayang, rindu serta timbulnya rasa keibuan. Dalam bilangan susuan beliau
berpendapat lima kali susuan merupakan batas minimal yang dapat
mewujudkan predikat ibu dan makna keibuan dalam tingkatan yang paling
rendah serta dua tahun merupakan batasan maksimalnya.
Berdasarkan penjelasan diatas dalam hukum Islam sangat jelas dan
terperinci menjelaskan tentang kadar susuan hal ini terlihat dari penjelasan
pendapat bebrapa mazhab di atas, dari penjelasan tersebut masalah kadar
susuan pada Pasal 39 Ayat 3 Kompilasi Hukum Islam lebih dominan
terhadap madzhab Syafi’i, yaitu lima kali susuan karena sumber rujukan
Kompilasi Hukum Islam lebih dominan pada kitab-kitab Syafi’iyah.
Namun Melihat keterangan Pasal 39 Ayat 3 ini masih belum terperinci
mengaenai masalah kadar susuan dalam pasal tersebut, walaupun dalam
pembentukan Kompilasi Hukum Islam menggunakan kitab-kitab fiqh
Syafi’iyah, tetapi pada kenyataannya masih belum jelas dalam penjelasan
pasal tersebut mengenai kadar susuan, oleh karena itu pasal 39 ayat 3
tersebut harus menjelaskan secara jelas dan terperinci juga agar
masyarakat awam dari kalangan bawah mampu memahami dan tidak
sembarangan menyusui seorang bayi dan diperlukan kejelasan tentang
kadar suatu susuan yang dapat menjadikan mahram antara seorang pria
dan wanita harus dijelaskan secara detail, dalam pasal tersebut, agar tidak
terjadi hal yang dilarang dan ditentukan dalam pelaksanaan perkawinan,
demi kemaslahatan bersama sedapat mungkin berusaha untuk
menghilangkan kemadharatan. Sebagaimana dalam kaidah fiqh.
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح.85
Qaidah tersebut menjelaskan bahwa untuk maslahat ummat maka
sedapat mungkin menghilangkan kemadharatan, hal ini jika dikaitkan
dengan masalah sepersusuan, agar tidak terjadi kesalahfahaman dalam
masayarakat awam mengenai raḍā’ah, maka perlu menjelaskan secara
jelas dan terperinci agar kemaslahatan tercapai. Dengan demikian ketika
terjadi kasus perkwinan sepersusuan di dalam kehidupan masyarakat
awam dan masyarakat juga tidak sembarangan menyusui.
D. Penutup
85
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqh (Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah Praktis), 27.
30
Daftar Pustaka
Baqi, Muhammad Fu’ad ‘Abdul, Al-Lu’lu’ wal Marjān Fimā Ittafaqa ‘Alaihi Asy-
Syaikhāni Al-Bukhāri Wa Muslim, alih bahasa Arif Rahman Hakim, Lc,
cet. ke-1, Solo: Insan Kamil, 2010.
Bisri, Cik Hasan,Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agma dalam Sistem
Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Bukhāri, Ῑmām, Ṣaḥīḥ Al-Buḥāri, juz II, Libanon: Dār al-kutub al-‘ilmiyah, 2009.
Departen Agama RI, Alasan Syar’i Tentang Penerapan Kompilasi Hukum Islam,
(ttp: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999.
Derajat Hadist-Hadist dalam Tafsīr Ibnu Katsīr, Taḥqīq, Muhaammad
Nashiruddin Al Abani, Taḥrīj, Mahmud bin dkk, alih bahasa ATC Mumtaz
Arabia, juz I, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Dimyāṭi, Muḥammad Syaṭa al-,Ḥāṡiyah I’ānah aṭ Ṭālibīn,Jiddah: Ḥaramain, t.t.
Djazuli, A, Kaidah-kaidah Fiqh (Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam
Menyelesaikan Masalah-masalah Praktis), cet. ke-1, Jakarta: Kencana.
2006.
Imām Muḥammad Abū Zahrah, Al-Aḥwāl As Syakhṣiyyah, ttp: Dār al-Fikr, t.t.
Jazīry, Abdurrahman al-, Kitāb al-Fiqh ‘Ala-Al Mażāhibal-Arba’ah, juz IV,
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990.
KHI Impres No. 1 Tahun 1991.
Lihyah, Nuruddin Abu, Halal Haaram dalam Pernikahan, alih bahasa Umar
Sitanggal, cet. ke-I, Yogyakarta: Multi Publishing, 2013.
Mukhtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet. Ke-3,
Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Munawir, Ahmad Warson, Kamus Bahasa Arab-Indonesia Al-Munawwir,
Yogyakarta: t.p, tt.
Muslim, Ṣaḥih Muslim, alih bahasa Taufiq Nuryana, Lc, juz II, Jakarta: Pustaka
As-Sunnah, 2010.
Nawawī, Yaḥya Bin Syaraf an-,Saḥīḥ Muslim Bisyarhi an-Nawawī, juz IX,
Libanon: Dār al-kutub al-‘ilmiyah, 2010.
Qarḍāwi, Yusuf, Halal dan Haram, alih bahasa Abu Sa’id al-Falahi dan Aunur
Rafiq Shaleh Tamhid, cet. ke-1, Jakarta: Robbani Press,2000.
Qarḍāwi,Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer, alih bahasa Abdul Hayye al-Kattani
dkk, cet. ke-3 juz II, Jakarta: Gema Insani, 2002.
Rofiq, Ahmad,Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-4, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2000.
33