Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

GUILLAIN BARRE SYNDROME (GBS)

Oleh :
Esti Ristanti (132013143112)

PROGRAM PROFESI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
A. Definisi

Guillain Barre Syndrome (GBS) atau bisa juga dikenal dengan Acute Inflammatory
Idiopathic Polyneuropathy (AIIP) atau disebut sebagai Acute Inflammatory Demyelinating
Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada susunan saraf yang terjadi secara akut
dan menyeluruh, terutama mengenai radiks dan saraf tepi, kadang-kadang mengenai saraf
otak yang didahului oleh infeksi. Penyakit ini merupakan penyakit dimana sistem imunitas
tubuh menyerang sel saraf.

B. Etiologi
Penyebab pasti dari Gullaine Barre Syndrom (GBS) sampai saat ini masih belum
dapat diketahui dan masih menjadi bahan perdebatan. Tetapi pada banyak kasus, penyakit
ini sering dihubungkan dengan penyakit infeksi viral, seperti infeksi saluran pernafasan dan
saluran pencernaan. GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.
Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas
atau infeksi gastrointestinal.
Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun paling sering terjadi pada
dewasa muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling berat, sindroma Guillain-Barre menjadi
suatu kondisi kedaruratan medis yang membutuhkan perawatan segera. Sekitar 30%
penderita membutuhkan penggunaan alat bantu nafas sementara.
Kondisi yang khas adanya kelumpuhan yang simetris secara cepat yang terjadi pada
ekstremitas yang pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi viral. Virus yang paling
sering menyebabkan penyakit ini adalah Cytomegalovirus (CMV), HIV, Measles dan
Herpes Simplex Virus. Sedangkan untuk penyebab bakteri paling sering oleh Campylobacter
jejuni. Tetapi dalam beberapa kasus juga terdapat data bahwa penyakit ini dapat disebabkan
oleh adanya kelainan autoimun.
Lebih dari 60% kasus mempunyai faktor predisposisi antara satu sampai beberapa
minggu sebelum onset. Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:

1. Infeksi

2. Vaksinasi
3. Pembedahan

4. Diare

5. Peradangan saluran nafas atas

6. Kelelahan

7. Demam

8. Kehamilan / dalam masa nifas

9. Penyakit sistematik :

a. Keganasan

b. Systemic lupus erythematosus

c. Tiroiditis

10. Penyakit Addison

C. Patogenesis
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi
terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli
membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui
mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity)
terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh
darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan
imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya. Pada SGB, gangliosid
merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi
terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen normal dari serabut mielin ini
menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga
sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari
adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare, mengandung
protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh
Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada
akson ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk
merespon adanya epitop yang sama.
Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka sel-T
merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk makrofag
di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses demielinisasi dan hambatan
penghantaran impuls saraf.
D. Patofisiologi
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang
sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun
menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai
penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme
pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang
mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri.
Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf,
namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya
infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga
sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian
menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin.
Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi
melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin.
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi
sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal
sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin
bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik
kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak
ke otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya,
yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan
diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin
banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya
antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang
bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel
leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan
sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi
lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara
pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan
serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik,
sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu;
sehingga mempengaruhi tubuh penderita.
Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan
aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga
apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan
kembali pulih. Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan
medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis
dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis,
menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan
sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara
pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresif,
ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer.
GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila
selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang
melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun
kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2. Selubung
myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis. Pada tipe
aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi
pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan
diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis
pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah
gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson
membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih
cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita
diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer
dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat
juga ikut terlibat.
Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:
1. Fase progresif : Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal
sampai gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri,
kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung
seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada
waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat
transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen.
Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase plateau : Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak
didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam
memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu
dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan
cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya
sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien
biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi;
namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat
diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi,
sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum
dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan : Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan
perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai
terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot
pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan
penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri,
yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat
muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun
pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah
penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi
pada fase infeksi.
E. Anatomi Fisiologi
Sistem saraf dibagi menjadi 2 yaitu saraf pusat dan saraf tepi. Adapun struktur sel saraf
yaitu:
 Saraf tepi (PNS) terdiri dari saraf-saraf yang membawa impuls antara CNS dengan otot,
kelenjar, kulit dan organ2 lain.
 Sedangkan 31 pasang saraf spinal (serabut motorik, sensorik menyebar pada ekstremitas
& dinding tubuh) 12 pasang saraf kranial (serabut motorik saja, sensorik saja, atau
campuran keduanya menyebar di daerah leher & kepala)
Berikut 12 pasang saraf kranial :
F. Komplikasi

1. Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic.

2. Tetraparese oleh karena penyebab lain.

3. Hipokalemia.

4. Kelumpuhan otot pernafasan

5. Dekubitus.

6. Paralisis otot persisten

7. Gagal nafas, dengan ventilasi mekanik

8. Aspirasi

9. Retensi urin

10. Masalah psikiatrik, seperti depresi dan ansietas

11. Nefropati, pada penderita anak

12. Tromboemboli, pneumonia, ulkus

13. Aritmia jantung

14. Ileus

G. Tanda dan Gejala


1. Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor
neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas
bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf
kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak,
kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan
diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian
proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal
lebih berat dari bagian proksimal.
2. Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai
dengan distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering
dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih
sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti
rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
3. Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka
sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa
ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan
N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X
terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus
yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.
4. Gangguan Fungsi Otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 . Gangguan tersebut
berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial
flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic
profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai . Gangguan
otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
5. Kegagalan Pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak
ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma
dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita.
6. Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti.
Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan
penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Lumbar puncture
Memperlihatkan fenomena klasik dari tekanan normal dan jumlah sel darah putih yang
normal, dengan peningkatan protein nyata dalam 4-6 minggu. Biasanya peningkatan
protein tersebut tidak akan tampak pada 4-5 hari pertama, meungkin diperlukan
pemeriksaaan seri fungsi lumbal (perlu diulang dalam beberapa hari).
2. Elektromiografi
Hasilnya tergantung pada tahap dan perkembangan sindrom yang timbul. Kecepatan
konduksi saraf diperlambat pelan. Fibrilasi (getaran yang berulang dari unit motorik
yang sama) umumnya terjadi pada fase akhir.
3. Darah lengkap
Terlihat adanya leukosit pada fase awal
4. Foto rontgen
Dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan pernapasan seperti
atelectasis dan pneumonia
5. Pemeriksaan fungsi paru
Dapat menunjukkan adanya penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan kemmapuan
inspirasi.
I. Penatalaksanaan
Tujuan utama dapat merawat pasien dengan SGB adalah untuuk memberikan pemeliharaan
fungsi sistem tubuh. Dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang mengancam jiwa, mencegah
infeksi dan komplikasi imobilitas, dan memberikan dukungan psikologis untuk pasien dan
keluarga.
1. Dukungan pernafasan dan kardiovaskuler
Jika vaskulatur pernafasan terkena, maka mungkin dibutuhkan ventilasi mekanik.
Mungkin perlu dilakukan trakeostomi jika pasien tidak dapat disapih dari ventilator
dalam beberapa minggu. Gagal pernafasan harus diantisipasi sampai kemajuan gangguan
merata, karena tidak jelas sejauh apa paralisis akan terjadi. Jika sistem saraf otonom
yang terkena, maka akan terjadi perubahan drastis dalam tekanan darah (hipotensi dan
hipertensi) serta frekuensi jantung akan terjadi dan pasien harus dipantau dengan ketat.
Pemantauan jantung akan memungkinkan disritmia teridentifikasi dan diobati dengan
depat. Gangguan sistem saraf otonom dapat dipicu oleh Valsava maneuver, batuk,
suksioning, dan perubahan posisi, sehingga aktivitas-aktivitas ini harus dilakukan
dengan sangat hati-hati.
2. Plasmaferesis
Plasmaferesis dapat digunakan baik untuk SGB maupun miastenia gravis untuk
menyingkirkan antibodi yang membahayakan dari plasma. Plasma pasien dipisahkan
secara selektif dari darah lengkap, dan bahan-bahan abnormal dibersihkan atau plasma
diganti dengan yang normal atau dengan pengganti koloidal. Banyak pusat pelayanan
kesehatan mulai melakukan penggantian plasma ini jika didapati keadaan pasien
memburuk dan akan kemungkinan tidak akan dapat pulang kerumah dalam 2 minggu.
3. Penatalaksanaan nyeri
Penatalaksanaan nyeri dapat menjadi bagian dari perhatian pad pasien dengan SGB.
Nyeri otot hebat biasanya menghilang sejalan dengan pulihnya kekuatan otot. Unit
stimulasi listrik transkutan dapat berguna pada beberapa orang. Setelah itu nyeri
merupakan hiperestetik. Beberapa obat dapat memberikan penyembuhan sementara.
Nyeri biasanya memburuk antara pukul 10 malam dan 4 pagi, mencegah tidur, dan
narkotik dapat saja digunakan secara bebas pada malam hari jika pasien tidak
mengkompensasi secara marginal karena narkotik dapat meningkatkan gagal pernafasan.
Dalam kasus ini, pasien biasanya diintubasi dan kemudian diberikan narkotik.
4. Nutrisi
Nutrisi yang adekuat harus dipertahankan. Jika pasien tidak mampu untuk makan per
oral, dapat dipasang selang peroral. Selang makan, bagaimana pun, dapat menyebabkan
ketidakseimbangan elektrolit, jadi dibutuhkan pemantauan dengan cermat oleh dokter
dan perawat.
5. Gangguan tidur
Gangguan tidur dapat menjadi masalah berat untuk pasien dengan gangguan ini,terutama
karena nyeri tampak meningkat pada malam hari. Tindakan yang memberikan
kenyamanan, analgesic dan kontrol lingkungan yang cermat (mis, mematikan lampu,
memberikan suasana ruangan yang tenang) dapat membantu untuk meningkatkan tidur
dan istirahat. Juga harus selalu diingat bahwa pasien yang mengalami paralise dan
mungkin pada ventilasi mekanik dapat sangat ketakutan sendiri pada malam hari, karena
ketakutan tidak mampu mendapat bantuan jika ia mendapat masalah. Harus disediakan
cara atau lampu pemanggil sehingga pasien mengetahui bahwa ia dapat meminta
bantuan. Membuat jadwal rutin pemeriksaan pasien juga dapat membantu mengatasi
ketakutan.
6. Dukungan emosional
Ketakutan, keputusasaan, dan ketidakberdayaan semua dapat terlihat pada pasien dan
keluarga sepanjang perjalanan terjadinya gangguan. Penjelasan yang teratur tentang
intervensi dan kemajuan dapat sangat berguna. Pasien harus diperbolehkan untuk
membuat keputusan sebanyak mungkin sepanjang perjalanan pemulihan. Kadang pasien
seperti sangat sulit untuk dirawat karena mereka membutuhkan banyak waktu perawat.
Mereka dapat menggunakan bel pemanggil secara berlebihan jika merasa tidak aman.
Perawat harus mempertimbangkan untuk membiarkan keluarga menghabiskan sebagian
waktu lebih banyak bersama pasien. Dengan menyediakan perawat primer dapat
memberikan pasien dan keluarga rasa aman, mengetahui bahwa ada seseorang yang
dapat menjadi sumber informasi dengan konsisten. Pertemuan tim dengan pasien dan
keluarga harus dilakukan secara.

J. Terapi Farmakologis
Sindroma Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi
di unit intensif care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan memerlukan ventilator
yang kadang-kadang dalam waktu yang lama.
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat
simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan
waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga
pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya
penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).
1. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
2. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil
yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas
yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan
dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih
bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
3. Pengobatan imunosupresan:
- Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan
plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15
hari sampai sembuh.
- Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
a) 6 merkaptopurin (6-MP)
b) Azathioprine
c) Cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
K. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan klien dengan GBS meliputi anamnesis riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
Pengkajian terhadap komplikasi GBS meliputi pemantauan terus-menerus terhadap
ancaman gangguan gagal napas akut yang mengancam kehidupan. Komplikasi lain
mencakup disritmia jantung, yang terlihat melalui pemantauan EKG dan
mengobservasi klien terhadap tanda trombosis vena profunda dan emboli paru-paru,
yang sering mengancam klien imobilisasi dan paralisis.
a. Anamnesis
- Identitas klien, antara lain: nama, jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan, agama,
pendidikan, dan sebagainya
- Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan
adalah berhubungan dengan kelemahan otot baik kelemahan fisik secara umum
maupun lokalis seperti melemahnya otot-otot pernapasan.
- Riwayat Penyakit, meliputi:
1) Riwayat Penyakit Saat Ini
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan merupakan komplikasi
yang paling berat dari GBS adalah gagal napas. Melemahnya otot pernapasan
membuat klien dengan gangguan ini berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan
infeksi pernapasan berulang. Disfagia juga dapat timbul, mengarah pada aspirasi.
Keluhan kelemahan ekstremitas atas dan bawah hampir sama seperti keluhan klien
yang terdapat pada klien stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan dari fungsi
kardiovaskular, yang mungkin menyebabkan gangguan sistem saraf otonom pada
klien GBS yang dapat mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan drastis yang
mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkan klien
mengalami ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf. Pengkajian
pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat
kartikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan reaksinya (untuk menilai
resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensifnya pengkajian.
Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang
dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan
selanjutnya.
- Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien GBS meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan
perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan
perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting
untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun masyarakat. Apakah ada
dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan
terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme
koping yang secara sadar biasa digunakan klien selama masa stres meliputi
kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah
diketahui dan perubahan perilaku akibat stres.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak
pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana
yang tidak sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis
dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu.
Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan
yang diakibatkan oleh defisit neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial
klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan
neurologis di dalam sistem dukungan individu.
b. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan
fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-
keluhan dari klien.
Pada klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal. Penurunan denyut nadi
terjadi berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah jantung. Peningkatan
frekuensi pernapasan berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan
adanya infeksi pada sistem pernapasan dan adanya akumulasi sekret akibat
insufisiensi pernapasan. TD didapatkan ortostatik hipotensi atau TD meningkat
(hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan
parasimpatis.
- B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan karena infeksi
saluran pernapasan dan paling sering didapatkan pada klien GBS adalah penurunan
frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot pernapasan. Palpasi
biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan
seperti ronkhi pada klien dengan GBS berhubungan akumulasi sekret dari infeksi
saluran napas.
- B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler pada klien GBS didapatkan bradikardi yang
berhubungan dengan penurunan perfusi perifer.Tekanan darah didapatkan ortostatik
Hipotensi atau TD meningkat ( hipertensi transien ) berhubungan dengan penurunan
reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
- B3 (Brain)
Merupakan pengkajian focus meliputi :
1) Tingkat kesadaran
Pada klien GBS biasanya kesadaran compos mentis ( CM ). Apabila klien
mengalami penurunan tingkat kesadaran maka penilaian GCS sangat penting
untuk menilai dan sebagai bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan
keperawatan.
2) Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara
klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik yang pada klien GBS
tahap lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran biasanya status mental klien
mengalam perubahan.
3) Pemeriksaan saraf kranial
- Saraf I. Biasanya pada klien GBS tidak ada kelainan dan fungsi penciuman
- Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal
- Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak
mata, paralis ocular.
- Saraf V. Pada klien GBS didapatkan paralis pada otot wajah sehingga
mengganggu proses mengunyah
- Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena
adanya paralisis unilateral.
- Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
- Saraf IX dan X. paralisi otot orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah, dan
menelan. Kamampuan menelan kurang baik sehngga mengganggu pemenuhan
nutrisi via oral.
- Saraf XI. Tidak ada atrof otot sternokleinomastoideus dan trapezius.kemampuan
mobliisasi leher baik.
- Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal.
4) System motoric
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada klien GBS
tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan motorik secara
umum sehingga menggaganggu moblitas fisik .
5) Pemeriksaan reflexs
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, periosteum
derajat reflexs dalam respons normal.
6) Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, Tic,dan distonia.
7) System sensorik
Parestesia ( kesemutan kebas ) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang
ke ekstrimtas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami penurunan
kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu.
- B4 (Bladder)
Terdapat penurunan volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
- B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutris pada klien GBS menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-
otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral
kurang terpenuhi.
- B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menururnkan mobilitas
pasien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebh banyak
dibantu orang lain.
c. Pemeriksaan Diagnostik
- Diagnosis GBS sangat bergantung pada :
- Riwayat penyakit dan perkembangan gejala-gejala klinik.
- Lumbal pungs dapat menunjukkan kadar protein normal pada awalnya dengan
kenaikan pada mnggu ke-4 sampai ke-6. Cairan spinal memperlihatkan adanya
peningkatan konsentrasi protein dengan menghitung jumlah sel normal.
- Pemeriksaan konduksi saraf mencatat transmisi impuls sepanjang serabut saraf.
Pengujan elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk lambatnya laju konduksi
saraf.
- Sekitar 25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibody baik terhadap
cytomegalovirus atau virus Epstein-Barr. Telah ditunjukkan bahwa perubahan
respons imun pada antigen saraf tepi menunjang perkembangan gangguan.
- Uj fungsi pulmonal dapat dilakukan jika GBS terduga, sehingga dapat
ditetapkan nilai dasar untuk perbandingan sebagai kemajuan penyakit. Penurunan
kapasitas pulmonal dapat menunjukkan kebutuhan akan ventilasi mekanik.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yakni :
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot-
otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan (D.0005)
b. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi,
irama, dan konduksi listrik jantung (D.0011)
c. Resiko defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengunyah dan
menelan makanan (D.0032)
d. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular,
penurunan kekuatan otot, dan penurunan kesadaran (D.0054)
e. Ansietas berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang buruk
(D.0080)
L. Intervensi
No Diagnosa Keperawatan Intervensi Rasional
(Tujuan & Kriteria hasil)
1. Pola napas tidak efektif 1. Kaji fungsi paru, 1. Menjadi
b.d kelemahan progresif adanya bunyi napas parameter
cepat otot-otot tambahan, perubahan monitoring
pernapasan dan ancaman irama dan serangan gagal
gagal pernapasan kedalaman, napas dan
(D.0005) penggunaan otot menjadi data
Setelah dilakukan bantu pernapasan dasar intervensi
tindakan asuhan 2. Evaluasi keluhan selanjutnya
keperawatan selama sesak napas bak 2. Tanda dan gejala
3x24 jam diharapkan secara verbal meliputi adanya
pola napas kembali maupun nonverbal kesukaran
efektif dengan kriteria 3. Beri ventilasi bernapas saat
hasil : mekanik bicara,
- Sesak napas (-) 4. Lakukan pernapasan
- RR 16-20x/menit pemeriksaan dangkal dan
- Tidak kapasitas vital ireguler,takikardia
menggunakan pernapasan dan perubahan
otot bantu 5. Kolaborasi : pola napas.
pernapasan Pemberian oksigen 3. Ventilasi mekanik
- Gerakan dada digunakan jika
normal pengkajian sesuai
kapasitas vital,
klien
memperlihatkan
perkembangan
kearah
kemunduran,
yang
mengndikasikan
kearah
memburuknya
kekuatan otot
pernapasan
4. Penurunan
kapasitas vital
dhubungkan
dengan
kelemahan otot-
otot pernapasan
saat
menelan,sehingga
hal ini
menyebabkan
kesukaran saat
batuk dan
menelan, dan
adanya indikasi
memburuknya
fungsi
pernapasan.

2. Resiko penurunan curah 1. Auskultasi TD, 1. Hipotensi dapat


jantung b.d perubahan bandingkan kedua terjadi sampai
frekuensi, irama, dan lengan, ukur dalam dengan disfungsi
konduksi listrik jantung keadaan berbaring, ventrikel,
(D.0011) duduk, atau berdiri hipertensi juga
Setelah dilakukan bila memungkinkan fenomena umum
tindakan asuhan 2. Evaluasi kualitas dan karena nyeri
keperawatan selama kesamaan nadi cemas
2x24 jam diharapkan 3. Catat murmur pengeluaran
penurunan curah jantung 4. Pantau frekuensi katekolamin
tidak terjadi jantung dan irama 2. Penurunan curah
dengan kriteria hasil : 5. Kolaborasi : Berikan jantung
- Stabilitas hemodinamik O2 tambahan sesuai mengakibatkan
baik indikasi menurunnya
kekuatan nadi.
3. Menunjukkan
gangguan aliran
darah dalam
jantung, (kelainan
katup, kerusakan
septum, atau
fibrasi otot
papilar).
4. Perubahan
frekuensi dan
irama jantung
menunjukkan
komplikasi
disritma.
5. Dapat
meningkatkan
saturasi oksgean
dalam darah

3. Resiko defisit nutrisi b.d 1. Kaji kemampuan 1. Perhatian yang


ketidakmampuan klien dalam diberikan untuk
mengunyah dan menelan pemenuhan nutrisi nutrisi yang
makanan (D.0032) klien oral adekuat dan
Setelah dilakukan 2. Monitor komplikasi pencegahan
tindakan asuhan akibat paralisis kelemahan otot
keperawatan selama akibat insufisisensi karena kurang
1x24 jam diharapkan aktivitas parasimpatis makanan
pemenuhan nutrisi klien 3. Berikan nutrisi 2. Ilius paralisis
terpenuhi dengan kriteria melalui NGT dapat disebabkan
hasil : 4. Berikan nutrisi oleh insufisiensi
- Tidak terjadi melalui oral bila aktivitas
komplikasi akibat paralis menelan parasimpatis.
penurunan berkurang Dalam kejadian
asupan nutrisi ini, makanan
melalui intravena
dipertimbangkan
diberikan oleh
dokter dan
perawat
mementau bising
usus sampai
terdengar
3. Indikasi jika klien
tidak mampu
menelan melalui
oral
4. Bila klien dapat
menelan,
makanan melalui
oral diberikan
perlahan-lahan
dan sangat hati-
hati
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol. 2. EGC.jakarta.
Indari, Ayu. 2014. Askep Klien dengan Sindroma Guillain Barre.
http://ayundari1702.blogspot.com/2014/05/askep-klien-dengan-sindroma-guillain.html. Diakses
tanggal 21 Agustus 2019.
Jukarnain.,2011.” Materi Kuliah Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan”.
Makassar.
Infeksi pernafasan ringan atau infeksi GI, pembedahan,
imunisasi, penyakit Hodgkin, limfoma, lupus Eritematosus.
WOC

Proses Autoimun

Menghancurkan myelin yang mengelilingi akson

Konduksi Salsatori tidak terjadi dan tidak ada transmisi impuls saraf

Gangguuan fungsi saraf perifer dan kranial

Ansietas Proknosis penyakit GBS (Guillain Bare


(D.0080) yang kurang baik Syndrome)

B 1: BREATHING B 2: BLOOD B3: BRAIN B4: bladder B5: bowel B6: bone &
integument
Gangguan saraf perifer Disfungsi Sistem gangguan fungsi Penurunan perfusi Gangguan fungsi saraf kranial :
Saraf Otonomik saraf kranial jaringan III, IV, V, VI, VIII, IX, dan XI Gangguan saraf perifer
dan neuro muscular
Paralisis otot pernapasan Paralisis pada ocular,wajah
Pelepasan
penumpukan vaskular Aliran darah ke ginjal
reseptor nyeri dan otot orofaring, kesulitan Parastesia, kelemahan otot
Insufisiensi pernapasan menurun
Bradikinin berbicara, mengunyah dan kakiyang berkembang ke
Prostaglandin Hipoperfusi ginjal menelan
Penurunan aliran ekstremitas atas
Pola nafas tidak efektif darah balik vena
Nyeri Akut Gangguan pemenuhan
(D.0005) Penurunan produksi urin Kelemahan fisik, paralisis
nutrisi dan cairan
Gangguan perfusi (D. 0077) otot wajah
jaringan Risiko Defisit Nutrisi
Uremia Penurunan tonus otot
(D.0032)
seluruh tubuh
Gangguan eliminasi urin
Gangguan mobilitas
(D. 0040)
fisik (D.0054)

Anda mungkin juga menyukai