Anda di halaman 1dari 3

Nabi 

shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

ِ ِ‫المرْ ِء تَرْ ُكهُ َما اَل يَ ْعن‬


‫يه‬ َ ‫ْن إِ ْساَل ِم‬
ِ ‫ِم ْن حُس‬
“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah dia
meninggalkan hal-hal yang tidak ada manfaatnya.” (HR. Tirmidzi
no. 2317, Ibnu Majah no. 3976, shahih)
Hendaknya setiap kita senantiasa menjaga diri dari berbicara atau
menuliskan komentar yang tidak jelas manfaatnya. Kita tidaklah
berbicara kecuali dalam hal-hal yang memang kita berharap ada
manfaat untuk agama (diin)  kita. Ketika kita melihat bahwa suatu
perkataan itu tidak bermanfaat, maka kita pun menahan diri dari
berbicara (alias diam). Kalaupun itu bermanfaat, kita pun masih
perlu merenungkan: apakah ada manfaat lain yang lebih besar
yang akan hilang jika saya tetap berbicara?
Sampai-sampai ulama terdahulu mengatakan bahwa jika kita ingin
melihat isi hati seseorang, maka lihatlah ucapan yang keluar dari
lisannya. Ucapan yang keluar dari lisan seseorang akan
menunjukkan kepada kita kualitas isi hati seseorang, baik orang
itu mau mengakui ataukah tidak. Jika yang keluar dari lisan dan
komentarnya hanyalah ucapan-ucapan kotor, sumpah serapah,
celaan, hinaan, makian, maka itulah cerminan kualitas isi hatinya.
Baca Juga: Bahaya Kebiasaan: Banyak Komentar, Malas
Membaca
Yahya bin Mu’adz rahimahullahu Ta’ala  berkata,

‫القلوب كالقدور في الصدور تغلي بما فيها ومغارفها ألسنتها فانتظر‬


‫الرجل حتى يتكلم فأن لسانه يغترف لك ما في قلبه من بين حلو‬
‫وحامض وعذب وأجاج يخبرك عن طعم قلبه اغتراف لسانه‬
“Hati itu bagaikan periuk dalam dada yang menampung isi di
dalamnya. Sedangkan lisan itu bagaikan gayung. Lihatlah kualitas
seseorang ketika dia berbicara. Karena lisannya itu akan
mengambil apa yang ada dari dalam periuk yang ada dalam
hatinya, baik rasanya itu manis, asam, segar, asin (yang sangat
asin), atau selain itu. Rasa (kualitas) hatinya akan tampak dari
perkataan lisannya.” (Hilyatul Auliya’,  10: 63)
Sebagian orang bersikap ceroboh dengan tidak memperhatikan
apa yang keluar dari lisan dan komentar-komentarnya. Padahal,
bisa jadi ucapan lisan itu akan mencampakkan dia ke jurang
neraka sejauh jarak timur dan barat. Contohnya, dalam hadits
Jundab radhiyallahu ‘anhu,  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam  bersabda,

َ َ‫أَ َّن َر ُجاًل ق‬


‫ال َوهَّللا ِ اَل يَ ْغفِ ُر هَّللا ُ لِفُاَل ٍن َوإِ َّن هَّللا َ تَ َعالَى قَا َل َم ْن َذا الَّ ِذي‬
َ َ‫ت َع َمل‬
‫ك‬ ُ ‫ط‬ْ َ‫ت لِفُاَل ٍن َوأَحْ ب‬
ُ ْ‫ي أَ ْن اَل أَ ْغفِ َر لِفُاَل ٍن فَإِنِّي قَ ْد َغفَر‬ َّ َ‫يَتَأَلَّى َعل‬
“Pada suatu ketika ada seseorang yang berkata, “Demi Allah,
sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni si fulan.” Sementara
Allah Ta’ala berfirman, “Siapa yang bersumpah dengan
kesombongannya atas nama-Ku bahwasanya Aku tidak akan
mengampuni si fulan? Ketahuilah, sesungguhnya Aku telah
mengampuni si fulan dan telah menghapus amal
perbuatanmu.” (HR. Muslim no. 2621)
Baca Juga: Kebangkrutan Besar Akibat Buruknya Lisan di
Sosial Media
Hamba tersebut, yang rajin beribadah, hapuslah seluruh amalnya
hanya karena satu kalimat atau satu ucapan yang ceroboh
tersebut.
Maka benarlah bahwa keselamatan itu adalah dengan menjaga
lisan. Sahabat ‘Uqbah bin ‘Aamir radhiyallahu ‘anhu  bertanya,

ُ‫ُول هَّللا ِ َما النَّ َجاة‬


َ ‫يَا َرس‬
“Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  menjawab,

َ ِ‫ْك َعلَى َخ ِطيئَت‬


‫ك‬ َ ‫ك َو ْليَ َس ْع‬
َ ُ‫ك بَ ْيت‬
ِ ‫ك َواب‬ َ ‫أَ ْم ِس ْك َعلَي‬
َ َ‫ْك لِ َسان‬
“Jagalah lisanmu, hendaklah rumahmu membuatmu merasa
lapang (artinya: betahlah untuk tinggal di rumah), dan
menangislah karena dosa-dosamu.” (HR. Tirmidzi no. 2406,
shahih)
Betapa banyak kita ceroboh dalam memposting, berkomentar di
sana sini, namun tulisan-tulisan itu berbuah penyesalan,
kemudian kita pun harus sibuk klarifikasi sana-sini, sibuk mencari-
cari alasan agar bisa dimaklumi, juga sibuk meminta maaf atas
perasaan saudara dan teman yang terluka atas komentar dan
ucapan kita. Sesuatu yang harusnya tidak terjadi ketika kita selalu
menimbang dan berpikir atas setiap ucapan dan komentar yang
hendak kita ucapkan dan tuliskan.
Baca Juga: Bijak Menyikapi Kajian di YouTube dan Kajian
LIVE di Media Sosial
Oleh karena itu, ketika salah seorang sahabat datang menemui
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  dan bertanya,

‫يَا َرسُو َل هَّللا ِ َعلِّ ْمنِي َوأَ ْو ِج ْز‬


“Ajarkanlah (nasihatilah) aku dengan ringkas saja.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  menjawab,

ُ‫ع َواَل تَ َكلَّ ْم بِ َكاَل ٍم تَ ْعتَ ِذ ُر ِم ْنه‬


ٍ ‫صاَل ةَ ُم َو ِّد‬
َ ‫ص ِّل‬ َ َ‫ك ف‬ َ ِ‫صاَل ت‬ َ ‫إِ َذا قُ ْم‬
َ ‫ت فِي‬
ِ َّ‫س َع َّما فِي أَي ِْدي الن‬
‫اس‬ َ ْ‫َوأَجْ ِم ْع ْاليَأ‬
“Apabila kamu (hendak) mendirikan shalat, maka shalatlah seperti
shalatnya orang yang hendak berpisah. Janganlah kamu
mengatakan suatu perkataan yang akan membuatmu harus
meminta maaf di kemudian hari. Dan kumpulkanlah rasa putus
asa dari apa yang di miliki oleh orang lain.” (HR. Ibnu Majah no.
4171, hadits hasan)
Betapa banyak kita men-share dan menuliskan berita-berita yang
tidak (atau belum) jelas kebenarannya, kemudian penyesalan itu
datang ketika kita harus berurusan dengan pihak berwajib karena
dampak buruk tulisan-tulisan kita di media sosial. Dan kemudian
kita pun sibuk meminta maaf, sama persis dengan nasihat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  di atas.

Anda mungkin juga menyukai