Anda di halaman 1dari 43

COVID 19

Disusun oleh:

Sri Maharani Anastasia Ake

Pembimbing:

dr. Muhammad Arief, Sp.An

SARI PUSTAKA DIBUAT DALAM RANGKA MEMENUHI SYARAT

PEMBELAJARAN JARAK JAUH KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT


DALAM

PERIODE 14 Juni 2021 – 3 Juli 2021

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA

2021

1
DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ...................................................................................................................1


DAFTAR ISI.............................................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................5
1.1....................................................................................................................Latar Belakang
.........................................................................................................................................5
1.2.................................................................................................................................Tujuan
.........................................................................................................................................6
1.2.1. Tujuan Umum.........................................................................................................6
1.2.2 Tujuan Khusus.........................................................................................................7
1.3...............................................................................................................................Manfaat
.........................................................................................................................................7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................8
2.1. Definisi ..........................................................................................................................8
2.2. Virus Covid-19...............................................................................................................8
2.3. Transmisi Covid-19......................................................................................................10
2.4. Patogenesis dan Patofisiologi Covid-19.......................................................................11
2.5. Faktor Resiko Covid-19................................................................................................15
2.6. Manifestasi Klinis Covid-19.........................................................................................16
2.7. Gangguan Gastrointestinal Pada Covid-19...................................................................19
2.8. Diagnosis Covid-19......................................................................................................22
2.8.1. Anamnesis.............................................................................................................22
2.8.2. Pemeriksaan Fisik.................................................................................................24
2.8.3. Pemeriksaan Penunjang........................................................................................25
2.9. Tata Laksana Covid-19.................................................................................................29
2.10. Diagnosis Banding Covid-19......................................................................................36
2.11. Prognosis Covid-19....................................................................................................37
2.12. Komplikasi Covid-19.................................................................................................37
2.13. Edukasi Covid-19.......................................................................................................38
BAB III PENUTUP................................................................................................................39

2
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................40

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada akhir Desember tahun 2019, ditemukan adanya wabah penyakit


pneumonia yang misterius dimana ditandai dengan dengan adanya gejala demam,
batuk kering, dan kelelahan, serta terkadang didapati gejala pada system
gastrointestinal. didapatkan. Wabah awal dilaporkan terjadi di pasar di bagian
seafood wholesale wet market, Wuhan, Hubei, China pada Desember 2019 dan
menjangkit sekitar 66% para pedagang. Oleh kare itu pasar ditutup pada 1 Januari
2020, setelah diekeluarkan pengumuman peringatan oleh dinas kesehatan
setempat pada 31 Desember 2019. Patogen wabah ini kemudian diidentifikasi
sebagai beta-coronavirus baru, bernama 2019 novel coronavirus (nCov-2019).
Kemudian pada 1 Februari 2020, WHO mengganti nama virus menjadi
Coronavirus Disease (COVID-19). Coronavirus disease 2019 (COVID-19) adalah
penyakit infeksi disebabkan oleh SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory
Syndrome Coronavirus-2).¹,²
Sampai dengan tanggal 11 November 2020, virus ini telah menyebar ke 219
negara dengan konfirmasi positif COVID-19 sebanyak 51,803,631 orang, dengan
jumlah kematian 1,279,163 orang dan jumlah kesembuhan mencapai 36,391,431
orang. Masih terdapat 14,133,037 kasus aktif dimana 94,910 (1%) kasus
merupakan kondisi kritis. Indonesia menempati urutan ke-21 dari 219 negara,
dengan total kasus 444,348 orang, dengan angka kematian 14,761 orang, dan
jumlah kesembuhan 375,741 orang.³
Virus Corona merupakan keluarga Coronaviridae. Virus ini dianggap hanya
menginfeksi hewan sampai dijumpai adanya wabah Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS) yang disebabkan oleh SARS-CoV, tahun 2002 di Guangdong,
Cina. Setelahnya satu dekade kemudian, virus corona lain, yang dikenal sebagai

4
Middle East respiratory syndrome coron-avirus (MERS-CoV), menyebabkan
endemik di negara-negara Timur Tengah.² ,⁴
Berdasarkan hasil analisis, SARS-CoV-2 berasal hewan yang terinfeksi dan
dijual ataupun dijadikan bahan makanan. Pada wet market, di Wuhan, banyak
hewan yang dijual serperti kalalawar, burung, katak. Berdasarkan temuan genom
yang serupa dari novel coronavirus dengan SARS, didapatkan pernyataan bahwa
kelelawar dapat menjadi reservoir utama. Pada penyelidikan lebih lanjut
didapatkan mengungkapkan bahwa beberapa individu terjangkit virus tanpa
sebelumnya mengunjungi pasar makanan laut tersebut, sehingga, pengamatan ini
menunjukkan kemampuan penyebaran virus dari manusia ke manusia. Dengan
mengkonsumsi hewan yang terinfeksi sebagai makanan merupakan utama
penularan virus dari hewan ke manusia dan karena kontak dekat dengan orang
yang terinfeksi, virus selanjutnya dapat ditularkan ke orang yang sehat.⁴

COVID-19 memiliki gambaran klinis yang bervariasi, mulai dari keadaan


asimtomatik hingga Acute Respiratory Distress Syndrome dan Multi Organ
Dysfunction. Gambaran klinis yang umum adalah demam (tidak semuanya),
batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, kelelahan, mialgia dan sesak napas.⁵
Pasien COVID-19 dapat memiliki Gejala GastroIntestinal (GI). Prevalensinya
bisa setinggi 50%, tapi kebanyakan penelitian menunjukkan rentang dari 16%
hingga 33%.⁶Pada satu penelitian didapatkan total 61.1% pasien mengalami
menifestasi pada gastrointestinal, yang terdiri dari diare (24,2%), mual (17,9%),
muntah (42,2%) dan gangguan fungsi hati (32,6%). Dan pasien ini memiliki
derajat penyakit yang lebih parah dibandingkan dengan yang tidak memiliki
manifestasi pada gastrointestinal.⁷

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Coronavirus dapat menyebabkan timbulnya penyakit pada hewan tetapi


terkadang dapat memengaruhi timbulnya penyakit pada manusia. Jenis
coronavirus yang ringan pada manusia dapat menyebabkan gejala flu biasaa,
tetapi pada tahun 2002, muncul virus baru pada provinsi Guangdong China, yang
menyebabkan pneumonia atipikal yang parah dan dikenal sebagai SARS yang
disebabkan oleh SARS-COV. Setelah SARS pada 2002, MERS-CoV muncul
pada tahun 2012 dari Timur TengahAfter. Dan pada akhir 2019, Coronavirus
muncul kembali, sekali lagi dari China, dengan wabah awal di Wuhan. Sejak itu
telah ditetapkan sebagai SARSCoV-2, dan penyakit yang dihasilkan disebut
COVID-2019.⁸
COVID-19 adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh severe acute
respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Wabah COVID-19 yang
disebabkan oleh novel coronavirus (SARS-CoV-2) dimulai di Wuhan, Provinsi
Hubei, China pada Desember 2019, dan wabah ini resmi menjadi pandemi.⁹

2.2 Virus COVID-19

6
Corona virus termasuk dalam subfamili Coronovirinae, famili
Coronaviridae dan ordo Nidovirales. Berdasarkan urutan protein dan hubungan
filogenetiknya, subfamili Coronavirinae dapat diklasifikasikan menjadi empat
kelompok, yaitu Alphacoronavirus, Betacoronavirus, Gammacoronavirus, dan
Deltacoronavirus. Gammacoronavirus dan Deltacoronavirus menginfeksi burung
dan mungkin menginfeksi mamalia, tetapi tidak pernah dilaporkan menyebabkan
penyakit apapun pada manusia. Sedangkan Alphacoronavirus dan
Betacoronavirus mampu menyebabkan penyakit system pernapasan maupun
gastrointestinal pada manusia.¹⁰

Sebelum Desember 2019, enam virus korona yang umum (anggota


Alphacoronavirus dan Betacoronavirus) diketahui dapat menginfeksi manusia,
yaitu HCoV-229E, dan HCoV-NL63 (Alphacoronavirus), HCoV-OC43, dan
HCoV-HKU1 (Betacoronavirus) dan dua virus mematikan SARS-CoV dan
MERS-CoV (Betacoronavirus). Dan berdasarkan analisis genomik menemukan
bahwa SARS-CoV-2 adalah milik Kelompok virus Betacorona.¹⁰

Coronavirus adalah virus RNA yang terdiri RNA untai tunggal sekitar 27-
32 kb. Ukuran genom berkisar antara 27–32 kbp, dan merupakan salah satu virus
RNA terbesar yang diketahui. Pada SARS-CoV, terdapat kemiripan pada sekuens
virusnya dengan coronavirus yang telah diisiolosi pada kelelawar, sehingga ada
kesimpulan yang bernaggapan bahwa SARS-CoV-2 berasal dari kelalawar dan
bermutasi sehingga bisa menginfeksi manusia, dimana reservoir perantaranya
adalah mamalia dan burung.¹¹

SARS-CoV-2 memiliki protein spike domain receptor-binding tiga


dimensi yang hampir identik dengan SARS-CoV. Dimana protein yang
mengandung genom virus ini akan berikatan dengan Angiotensin-Converting
Enzyme 2 (ACE-2) di organ paru-paru, jantung, sisten ginjal dan saluran
pernapasan,¹¹ , ¹²

SARS-COV-2 memiliki stabilitas yang mirip dengan SARS-COV. Pada


SARS-COV-2, virus lebih stabil jika berada pada benda berbahan plastik maupun

7
stainless steel (>72 jam) jika dibandingkan dengan tembaga (4 jam) maupun
kardus (24 jam). Selain itu, virus juga dapat ditemukan di lingkungan, yaitu
ditemukan pada gagang pintu, dudukan toilet, saklar lampu, maupun jendela.¹¹
Selain itu, penularan SARS-CoV-2 melalui aerosol juga dapat ditemukan terutama
dalam pengaturan lingkungan terbatas dengan ventilasi yang buruk dan adanya
paparan jangka panjang dari konsentrasi aerosol yang tinggi.¹³

2.3 Transmisi COVID-19


Gambar 1. Struktur corona virus menyebabkan respiratory syndrome⁴
Berdasarkan data epidemiologi, didapatkan bahwa droplets yang
dikeluarkan selama paparan tatap muka, baik selama berbicara, batuk, maupun
bersin, dimana penularan ini merupakan cara penularan yang paling umum.
Dengan adanya kontak yang terlalu lama dengan seseorang yang terinfeksi
(selama 15 menit), atauun paparan yang lebih lama dengan individu yang
bergejala (batuk) akan memiliki resiko penularan yang lebih tinggi. Penyebaran
yang berasal dari kontak benda disekitar (seperti menyentuk permukaan benda
yang terdapat virus) adalah penularan lain yang mungkin terjadi. Permukaan yang
paling sering terpapar meliputi, misalnya Gagang pintu, tombol lift, saklar lampu,
ponsel, pegangan pada transportasi umum.¹⁵ Transmisi penularan virus juga bisa
melalui aerosol (berupa droplets kecil yang tetap tersuspensi diudara). Selain itu,
COVID-19 pada ibu hamil saat ini diyakini memiliki resiko yang rendah untuk
terjadi penularan vertical. Pada sebagian besar kasus, infeksi SARSCoV-2 pada
ibu hamil pada trimester ketiga tidak menyebabkan kematian.¹⁴
Viral load dapat bertahan pada level yang lebih tinggi terutama pada
permukaan benda yang tidak tembus air, seperti baja tahan karat dan plastic
dibandingan dengan benda dengan permukaan yang permeabel, seperti karton.
Virus ini telah diidentifikasi bertahan pada permukaan yang kedap air hingga 3

8
hingga 4 hari setelah inokulasi dimana, virus terdetksi akan rusak pada permukaan
dengan cepat dalam waktu 48 hingga 72 jam.¹⁴

Tabel 1. Infection capability of SARS-CoV 2 for different Materials¹⁵

Studi menunjukkan bahwa bersin dapat melepaskan hingga 2 juta droplets


ke udara, batuk darat melepaskan kurang dari satu juta droplets dan berbicara
melepaskan sekitar 3000 droplets. Droplets yang dikeluarkan dari saluran udara
jika lebih besar dari 100 μm dan dari ketinggian 2m akan jatuh di permukaan
datar dalam 3-6 detik dan menyebar secara horizintal sekitar 1,5 m. Droplets
berukuran 0,5-20,0 μm yang berada di udara tampaknya tidak bertahan untuk
waktu yang lama karena ada penguapan yang akan terjadi. Virus SARS-CoV yang
ditemukan di udara dalam bentuk aerosol bertahan selama 3 jam. Dengan adanya
SARS-CoV-2 selama 3 jam di udara, dapat menyebabkan terjadinya infeksi dari
paparan, penghirupan, dalam beberapa menit atau beberapa jam terutama di jarak
yang dekat dan pada lingkungan yang tertutup.¹⁵

Sehingga tindakan jarak yang lebih luas (jarak antar orang hingga 10 m)
harus diadopsi di dalam lingkungan indoor saat masker wajah tidak digunakan.
Dan dari penggunaan masker wajah yang umum, jarak antar orang dapat
dikurangi menjadi 2m.¹⁶

2.4 Patogenesis dan Patofisiolgi COVID-19

SARS-CoV-2 memiliki protein virus permukaan, yaitu spike glycoprotein


(S), yang memediasi interaksi dengan reseptor permukaan sel ACE2. Glikoprotein

9
membran virus (M) dan Envelope (E) dari SARS-CoV-2 tertanam dalam
membrane lipid bilayes yang membungkus nukleokapsid heliks yang terdiri dari
RNA virus. Spike Glycoprotein (Protein S) dari SARS-CoV-2 merupakan
campuran dari SARS-CoV kelelawar dan Beta-CoV yang tidak diketahui . Dalam
sebuah penelitian fluoresen, dikonfirmasi bahwa SARS-CoV-2 juga menggunakan
ACE2 (angiotensin-converting enzyme 2) reseptor sel.⁴ ,¹⁷

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa ACE2 adalah reseptor


untuk SARS-CoV sama seperti SARS-Cov-2. Berdasarkan penelitian didapatkan
bahwa afinitas pengikatan glikoprotein pada SARS-CoV-2 ke ACE2 10 - 20 kali
lipat lebih tinggi dibandingkan dengan SARS-CoV ke ACE2. ACE2 terutama
diekspresikan pada sel epitel alveolar tipe II, tetapi diekspresikan dengan lemah
pada permukaan sel epitel di mukosa mulut dan hidung dan nasofaring, sehingga
menunjukkan bahwa paru-paru adalah target utama SARS-CoV-2. Selain itu,
ACE2 juga diekspresikan pada sel miokard, sel tubulus proksimal ginjal, dan sel
urothelial kandung kemih, dan banyak diekspresikan pada enterosit usus kecil,
terutama di ileum dan menyebabkan disfungsi organ, seperti sindrom gangguan
pernapasan akut ( ARDS), cedera jantung akut, cedera hati akut, dan cedera ginjal
akut yang cukup umum pada kasus yang parah. ¹⁸

Siklus hidup SARS-CoV-2 di sel inang protein S akan berikatan dengan


reseptor seluler ACE2.. Protein S ini terdiri dari dua subunit fungsional (S1 dan
S2), di antaranya S1 bertanggung jawab untuk mengikat reseptor sel inang dan
subunit S2 berperan dalam fusi membran sel virus dan sel inang. Fusi
postmembran, virus memasuki sel epitel alveolar paru, kemudian SARS-CoV-2
melepaskan RNA ke dalam sel inang. Sekarang di dalam sel inang, virus
mengalami replikasi dan pembentukan RNA untai negatif oleh RNA untai tunggal
positif yang sudah ada sebelumnya melalui aktivitas RNA polimerase
(transkripsi) dan menghasilkan mRNA. RNA untai negatif yang baru terbentuk ini
berfungsi untuk menghasilkan untai baru RNA positif yang kemudian
melanjutkan untuk mensintesis protein baru (relevan) dalam sitoplasma sel
(translasi).⁴ ,¹⁹

10
Protein N virus mengikat RNA genom baru dan protein M memfasilitasi
integrasi ke retikulum endoplasma seluler. Nukleokapsid yang baru sterbentuk ini
kemudian dikumpulan dalam reticulum endoplasma dan diangkut ke lumen
melalui golgi dan ditrasportasikan melalui vesikel ke membran sel, kemudian ke
ruang ekstraseluler melalui eksositosis. Partikel virus baru sekarang siap untuk
menyerang sel epitel yang berdekatan serta untuk menyediakan bahan infektif
segar untuk penularan komunitas melalui tetesan pernapasan. ⁴, ¹⁹

Gambar 2. Siklus hidup SARS-CoV-2 di sel inang⁴

Pneumosit yang sarat virus akan melepaskan banyak sitokin dan


inflammatory markers interleukin (IL-1, IL-6, IL-8, IL-120 dan IL-12), tumor
necrosis factor-α (TNF-α), IFN -λ dan IFN-β, CXCL10, monosit chemoattractant
protein-1 (MCP-1) dan macrophage inflammatory protein-1α (MIP-1α).
Cytokine Storm ini bertindak sebagai chemoattractant untuk neutrofil, sel T
pembantu CD4 dan sel T sitotoksik CD8, yang kemudian mulai menurun di

11
jaringan paru-paru. Sel-sel ini bertanggung jawab untuk melawan virus, tetapi
dengan melakukan itu juga menyebabkan peradangan pada paru. Sel inang
mengalami apoptosis seiring dengan pelepasan partikel virus baru, yang kemudian
menginfeksi sel epitel alveolar tipe 2 yang berdekatan dengan cara yang sama.
Karena cedera persisten yang disebabkan oleh sel-sel inflamasi yang menurun dan
replikasi virus yang menyebabkan hilangnya pneumosit tipe 1 dan tipe 2,
didapatkan adanya kerusakan alveolar yang difus dan berpuncak pada Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS).¹⁹

Pneumosit yang mati akan hilang dan terjadi isian alveoli dengan cairan,
deposit protein, sel debris, makrofag, dan neutrofil. Ini menyebabkan konsolidasi
paru, yang mengarah pada gangguan pertukaran gas dan menyebabkan
hipoksemia. Konsolidasi juga menyebabkan batuk produktif. Selain itu,
hipoksemia juga dapat memicu kemoreseptor yang merangsang Sistem Saraf
Simpatis (SNS) dan menyebabkan takikardia (peningkatan laju jantung) dan
takipnea (peningkatan laju pernapasan). Sistem Saraf Pusat (SSP) juga
terpengaruh oleh konsentrasi tinggi IL-1β, IL-6 dan TNF-α dalam darah, dimana
sitokin akan merangsang hipotalamus untuk melepaskan prostaglandin seperti
PGE2, yang menyebabkan peningkatan suhu tubuh yang menyebabkan demam.²⁰

12
Gambar 3.
Patofisiolo

Gambar 4. Pathophysiology orchestrated by SARS-CoV-2²⁰

2.5. Faktor Resiko Covid-19

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan faktor resiko yang diteukan apada


kontak erat terutama di lingkungan rumah tangga. Pada lingkungan rumah tangga,
kontak erat, kedekatan fisik serta durasi interaksi verbal yang lebih tinggi
dibanding non-rumah tangga merupakan salah satu faktor risiko epidemiologis
untuk penularan SARS-CoV-2.²¹

13
Infeksi terjadi karena adanya paparan virus baik secara langsung maupun tidak
langsung, tetapi ada beberapa faktor yang dapat menjadi penyebabnya. Faktor-
faktor ini mungkin termasuk; a) Faktor manusia seperti usia, jenis kelamin,
golongan darah, kekebalan, kebersihan pribadi, penyakit yang sudah ada
sebelumnya dan riwayat perjalanan ke negara endemik COVID-19, b) Faktor
lingkungan seperti suhu dan kelembaban, dan c) Pekerjaan yang mempengaruhi
seperti pekerja dalam bidang kesehatan. Selain itu, berkaitan dengan jenis
kelamin, lebih banyak pria yang diamati terinfeksi COVID-19 dibandingkan
dengan wanita. Dan berdasarkan golongan darah, golongan darah O mungkin
memiliki kecenderungan yang lebih rendah untuk keparahan, Ini karena ACE
rendah yang ada pada golongan darah O yang dapat digunakan oleh SARS-CoV-2
sebagai reseptor.²²

Pasien dengan sistem kekebalan imun yang lebih rendah seperti lansia dan
mereka dengan penyakit bawaaan (immunocompromised) lebih rentan terhadap
infeksi dan komplikasi yang dapat menyebabkan keparahan dan kematian.²² Pada
pasien dengan Diabetes Melitus, peningkatan ekspresi ACE2 menjadi salah satu
penyebab faktor resiko yang meningkat. Selain itu, pada pasien hipertensi yang
mendapatkan pengobatan dengan ACE-Inhibitor atau ARBS, juga mengalami
peningkatan ACE2.²³ Pada perokok, asap rokok akan menginduksi modifikasi dari
epitel bronkial, yang menyebabkan metaplasia sel mukosa (goblet). Karena sel
goblet adalah sumber utama ACE2 di paru-paru, hal ini dapat menyebabkan
peningkatan level ACE2, namun hal ini belum dapat dikonfirmasi.²⁴

Pada pasien CVD, terjadi peningkatan ACE2, sehingga akan menimbulkan


gejela yang lebih padah dibandingkan dengan orang sehat. ACE 2 sebagian besar
diekspresikan dalam jaringan adiposa dan secara signifikan pada jaringan viseral
daripada jaringan adiposa subkutan, sehingga pada orang dengan obesitas akan
memiliki viral load yang lebih besar dan mungkin berkontribusi pada
perkembangan bentuk yang lebih parah dari penyakit.²⁵ , ²⁶

2.6. Manifestasi Klinis Covid-19

14
Berdasarkan pengalaman di Tiongkok, masa inkubasi khas infeksi
COVID-19 diperkirakan rata-rata 5 hari dimana 97,5% dari penderita yang
mengalami dalam 11 hari setelah paparan, sehingga diperlukan penggunaan
jangka waktu 14 hari untuk mengkarantina individu yang berpotensi terpapar.
Adanya infeksi tanpa gejala telah menjadi hal menarik dalam epidemiologi
COVID-19. Rasio infeksi asimtomatik dan simptomatik saat ini tidak pasti.
Infeksi bergejala biasanya meyebabkan timbulnya sindrom pernapasan, dan yang
paling sering adalah demam dan batuk.²⁷

Mayoritas pasien dengan COVID-19 menunjukkan gejala umum yang


meliputi demam, sesak napas, batuk (baik dengan atau tanpa sputum), sakit
tenggorokan, hidung tersumbat, pusing, menggigil, nyeri otot, artralgia, lemas,
kelelahan atau mialgia, sesak, produksi lendir berlebihan, hemoptisis, dan dispnea.
Demam, batuk, dan kelelahan. adalah tiga gejala paling umum pada pasien
COVID-19. Gejala kurang khas lainnya termasuk sakit kepala, diare, sakit perut,
muntah, nyeri dada, rinorea. Kira-kira 90% dari pasien menunjukkan lebih dari
satu gejala.²⁸

Sekitar 80% dari infeksi COVID-19 menimbulkan gangguan pernapasan


ringan dan umumnya dapat ditangani di luar rumah sakit. Sekitar 15% biasanya
membutuhkan perawatan rumah sakit (biasanya untuk pneumonia moderate
hingga severe), dan 5% lainnya memiliki penyakit kritis yang membutuhkan
dukungan lebih intensif.²⁷՚²⁹

15
Gambar 5. Perkembangan klinis pada COVID-19⁴⁹

Rincian gejala virus corona dari hari ke hari menunjukkan bagaimana


gejala berkembang pada pasien COVID-19:⁹

a. Hari 1: Pada hari dimulainya gejala, pasien menderita demam disertai


kelelahan, nyeri otot, dan batuk kering. Beberapa dari mereka mungkin
mengalami mual dan diare beberapa hari sebelum timbulnya gejala
b. Hari 5: Pasien mungkin menderita gangguan pernapasan terutama pada orang
tua atau memiliki penyakit mendasari.
c. Hari 7: gejala menjadi lebih parah dan menyebabkan pasien dirawat di rumah
sakit
d. Hari 8: 15% pasien mengembangkan sindrom gangguan pernapasan akut
(ARDS), suatu kondisi di mana cairan mengisi paru-paru dan ini sebagian
besar berakibat fatal. Ini biasanya terjadi pada kasus yang parah
e. Hari 10: Terjadi perburukan gejala, pasien dipindahkan ke ICU. Pasien
dengan gejala yang lebih ringan mungkin mengalami sakit perut dan
kehilangan nafsu makan. Hanya sebagian kecil yang meninggal.
f. Hari 17: Rata-rata, setelah dua setengah minggu pasien yang sembuh keluar
dari rumah sakit.

16
Berdasarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Berikut sindrom klinis
yang dapat muncul pada COVID-19:³⁰

1. Tanpa gejala: Kondisi paling ringan, pasien tidak ditemukan gejala.


2. Ringan : Gejala yang muncul seperti demam, batuk, fatigue, anoreksia,
napas pendek, mialgia. Gejala tidak spesifik lainnya seperti sakit
tenggorokan, kongesti hidung, sakit kepala, diare, mual dan muntah,
hilang pembau (anosmia) atau hilang perasa (ageusia) yang muncul
sebelum onset gejala pernapasan juga sering dilaporkan. Pasien usia tua
dan immunocompromised gejala atipikal.
3. Sedang/Moderat: Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda
klinis pneumonia (demam, batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda
pneumonia berat termasuk SpO2 > 93% dengan udara ruangan
4. Berat /Pneumonia Berat: Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan
tanda klinis pneumonia (demam, batuk, sesak, napas cepat) ditambah satu
dari: frekuensi napas > 30 x/menit, distres pernapasan berat, atau SpO2 <
93% pada udara ruangan
5. Kritis: Pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS),
sepsis dan syok sepsis

2.7. Gangguan Gastrointestinal Pada Covid-19

Walaupun telah diamati bahwa virus ditularkan dari manusia ke manusia


melalui droplet system pernapasan. Menariknya, asam ribonukleat (RNA) SARS-
CoV-2 telah diisolasi dari feses pasien, dan menunjukkan kemungkinan
keterlibatan gastrointestinal (GI). Gejala GastroIntestinal memiliki signifikansi
khusus pada pasien COVID-19 karena, berbeda dengan virus corona lain, gejala
tersebut muncul lebih awal dan dapat memburuk selama perjalanan penyakit,
sedangkan dalam beberapa kasus mungkin soliter. Berdasarkan tinjauan terbaru,
diperkirakan prevalensi gejala GI 17,6% pada pasien COVID-19.³¹

17
Pada pasien COVID-19 dengan gejala gastrointestinal, diare merupakan
salah satu gejala yang paling banyak ditemui bersama dengan gejala lain seperti
muntah, mual, kehilangan nafsu makan dan sakit pada perut. Pada beberapa
penelitian cohort, Gejala diare termasuk dalam semua penelitian, meskipun
dengan persentase yang beragam 2,0% hingga 55,0% (Tabel 1). Demikian pula,
muntah (1,0% -12,5%) dan mual (1,0% - 27,5%). ) juga dimasukkan dalam
sebagian besar laporan kasus COVID-19 dengan gejala pencernaan, sementara
penurunan nafsu makan (10,1% ) dan sakit perut (0,98%) dijelaskan dengan
singkat. Studi lain tentang manifestasi GI COVID-19 di Wuhan menunjukkan
bahwa gejala Gatrointestinal timbu pada hari 1–8 (rata-rata hari ke-3) hari setelah
onset.³¹ ,³² ,³³

Mekanisme yang menyebabkan gangguan Gastrointestinal:³⁴

1. Infeksi Direk pada Sel Gastrointestinel

Studi lain memberikan bukti tambahan bahwa coronavirus dapat menginfeksi


saluran pencernaan, karena ekspresi ACE2 yang tinggi telah terdeteksi di sel
epitel usus, esofagus, dan paru-paru. ACE2 adalah enzim yang penting dalam
sistem renin-angiotensin (RAS) dan memainkan peran penting dalam
mengatur inflamasi usus dan diare. ACE2 tidak menunjukan fungsinya
terutama melalui sistem RAS di usus tetapi secara langsung dapat mengatur
homeostasis asam amino usus, ekspresi peptida antimikroba, dan mengatur
ekologi mikrobioma usus. Dengan adanya ikatan SARS-CoV-2 dengan ACE2
pada traktus gastrointestinal, akan menyebabkan penurunan reseptor CE2,
yang akan menyebebkan penurunan level triptofan, dimana triptofan berfungsi
untuk sintesis niacin, dan penurunan kadar niasin akan menyebabkan adanya
pellagra. Triptofan terutama diserap pada permukaan lumen sel epitel usus;
dan menyebabkan aktivasi mammalian target of rapamycin (mTOR), yang
mengatur ekspresi peptida antimikroba, sehingga mengatur komposisi flora
usus dan mengalami colitis.. Penurunan absorbsi triptofan, akan menggangu
keseimbangan flor usus dan menjadi penyebab gejala gastrointestinal seperti
diare. Selain itu, berdasarkan hasil patologik, didapatkan bahwa sel yang

18
menghasilkan ACE2, ditemukan peningkatan kadar monocyte chemokine-1
(MCP-1), tumor growth factor-1 (TGF-1), tumor necrosis factor-ɑ (TNF- ɑ),
interleukin (IL)-1 and IL-6, yang tinggi dan menyebabkan cytokine storm, dan
menyebabkan kematian langsung sel imun dan kerusakan jaringan sehingga
mengarah ke multiple organ damage.

2. Gangguan Gatrointestinal yang disebabkan oleh infeksi paru


Gangguan keseimbangan flora saluran pernapasan akan berdampak pada
saluran pencernaan melalui system imun mukosa. Hal ini disebut sebagai
‘gut-lung axis’. Satu studi menemukan bahwa SARS-CoV-2 tidak selalu
dapat dideteksi pada feses pasien COVID-19 dengan gejala gastrointestinal,
jadi ada spekulasi yang bernggapan bahwa gejala gastrointestinal pada
beberapa pasien mungkin tidak disebabkan oleh kerusakan langsung akibat
infeksi virus. Sel T CD4 yang memasuki mukosa usus adalah penyebab
utama untuk imunitas mukosa dan terjadinya enteritis kronis. Reseptor
kemokin C-C tipe 9 (CCR9) adalah reseptor kemokin yang diperlukan untuk
sel T CD4 untuk memasuki usus kecil, berdasarkan penelitian ditemukan
bahwa reseptor CCR9 di paru akan meningkat setelah infeksi virus, dan
meningkatkan masuknya CD4 ke dalam usus halus, dan menyebabkan adanya
ganggun imun pada usus dan mengganggu homeostatis flora usus. Gangguan
flora usus akan menyebabkan polarisasi Th17 pada usus halus dan memicu
produksi IL-17A yang tinggi dan mengarah pada perekrutan neutrofil. Hal ini
menyebabkan kerusakan pada imun di usus, diare, dan gangguan
gastrointestinal lain. Saat terjadi inflamasi pada usus halus, sitokin dan
bakteria juga akan masuk ke paru-paru melalui aliran darah, yang akan
menyebabkan ganggaun imun serta inflamasi pada paru. Selain itu,
ganggguan muka usus dan ketidakseimbangan flora usus, akan mengganggu
‘gut-liver axis’ yang memicu adanya gangguan fungsi hati pada pasien
COVID-19.

3. Gejala Gastrointestinal disebabkan oleh Efek Samping Obat

19
Diare terkait antibiotik adalah reaksi yang umum terhadap obat antibakteri,
terutama makrolida, sefalosporin, dan antibiotik -laktam. Berdasarkan analisis
retrospektif dari Guangzhou, Cina, dari proses pengobatan untuk 260 pasien
SARSCoV menemukan bahwa makrolida, fluoroquinolon, atau antibiotik
sefalosporin digunakan menyebabkan diare pada 24,2% pasien. Obat antivirus
untuk pengobatan pasien COVID-19 juga dapat menyebabkan diare berat,
yaitu oseltamivir dan arbidol sekitaar 55,2%. Obat antiviral ainnya yaitu,
chloroquine phosphate, lopinavir, and remdesivir. Penelitian di atas
menunjukkan bahwa diare akibat obat yang disebabkan oleh penggunaan obat
antibakteri dan antivirus dalam skala besar juga merupakan salah satu
penyebab gejala gastrointestinal pada beberapa pasien.

Ga
mbar 5.
Mekanism
e Gejala

20
(a) (b)

Gambar 6. Gejala Gastrointestinal pada pasien dengan COVID-19³⁵

2.8. Diagnosis Covid-19


2.8.1 Anamnesis
Diagnosis dapat membantu dalam penerimaan perawatan yang dbutuhkan
dan dapat membantu dalam mengambil tindakan intervensi kemungkinan
menginfeksi orang lain. Orang yang tidak tahu mereka terinfeksi mungkin
tidak akan berdiam di rumah sehingga berisiko menginfeksi orang lain.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasakan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Dokter mungkin akan pertimbangkan apakah
seseorang memiliki kontak dekat dengan seseorang yang terdiagnosis dengan
COVID-19 atau bepergian atau hidup di area mana pun dengan komunitas
penyebaran COVID-19 yang sedang berlangsung dalam 14 hari terakhir.⁹

Diagnosis dapat membantu dalam penerimaan perawatan yang dbutuhkan


dan dapat membantu dalam mengambil tindakan intervensi kemungkinan
menginfeksi orang lain. Orang yang tidak tahu mereka terinfeksi mungkin
tidak akan berdiam di rumah sehingga berisiko menginfeksi orang lain.³⁶

Selama pandemic, semua orang harus diasumsikan menjadi carier


COVID-19, untuk ini ada harus dilajkukan skrinning pada beberapa kriteria:³⁷

1. Adanya paling tidak 1 keluhan COVID-19, yaitu demama (> 37.5⁰C),


diare, mual, muntah, radsa tidak nyaman di peur, batuk kering, sakit
tenggorokan, hidung berair, hidung tersumbat
2. Adanya Riwayat berpergian ke area atau negara resiko tinggi dengan
peringatan level 3 dari CDC dalam 2 minggu terakhir
3. Adanya kontak erat dengan suspek atau kasus positif COVID-19

Setelah dilakukan skinning, maka dapat dikelompokan menjadi:

21
Gambar 7. Klasifikasi resiko infeksi SARAS-CoV-2³⁷

Di Indonesia, berdasarkan HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang


Pedoman Pencegahan dan Pengendalian COVID-19, Menteri Kesehatan RI dr
Terawan Agus Putranto memperkenalkan istilah baru dalam penanganan
Kasus COVID-19, yaitu: Pertama adalah Kasus Suspek dengan kriteria: a.
kasus infeksi saluran pernafasan akut dimana dalam 14 hari sebelum sakit,
orang yang bersangkutan berasal/tinggal didaerah yang sudah terjadi local
transmission. B. Orang yang bersangkutan dalam 14 hari terakhir pernah
kontak dengan kasus terkonfirmasi positif atau kontak dekat dengan kasus
probable. C. Mengalami infeksi saluran pernafasan akut yang berat dan harus
dirawat di RS dan tidak ditemukan penyebabnya secara spesifik dan
meyakinkan bahwa ini bukan penyakit COVID-19.yang kedua adalah Kasus
Probable : Kasus klinis yang diyakini COVID-19, kondisinya dalam keadaan
berat dengan ARDS atau ISPA berat serta gangguan pernafasan yang sangat
terlihat, namun belum dilakukan pemeriksaan laboratorium melalui RT-PCR.
Lalu Kontak erat: Seseorang kontak dengan kasus konfirmasi positif atau
dengan kasus probable. Dan Kasus Konfirmasi: Seseorang yang sudah
terkonfirmasi positif setelah melalui pemeriksaan laboratorium RT-PCR. Ada
2 kriteria dalam kasus konfirmasi yakni kasus konfirmasi dengan gejala dan

22
kasus konfirmasi tanpa gejala. Gejala dapat bervariasi dari batuk ringan
hingga kegagalan pernafasan.³⁸

Tabel 2. Gejala dengan Frekuensi Perkiraan yang Diamati dari Pasien³⁹

2.8.2 Pemeriksaan Fisik


Berdasarkan PPDI Tahun 2020, pada pasien COVID-10, Pada
pemeriksaan fisik hasilnya ditentukan oleh berat atau ringannya manisfestasi
klinis yang dimiliki pasien. Pasien datang dengan tingkat kesadaran kompos
mentis ataupun terjadi penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan Tanda-tanda
vital ditemukan adanya, frekuensi nadi yang meningkat, frekuensi napas yang
meningkat, tekanan darah normal atau menurun (bradikardi), suhu tubuh
meningkat. Saturasi oksigen dapat normal atau turun. Dapat disertai retraksi
otot pernapasan. Pemeriksaan fisis paru didapatkan dari pemeriksaan inspeksi
dapat tidak simetris statis dan dinamis, pemeriksaan palpasi fremitus raba
mengeras, pemeriksaan perkusi redup pada daerah konsolidasi, pemeriksaan
auskultasi suara napas bronkovesikuler atau bronkial dan ditemukan ronki
kasar. Pada keadaan pneumonia berat akan didapatkan frekuensi napas
>30x/menit), saturasi oksigen pasien <90%. Pada keaadaan Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS) , akan ditemukan tanda hipoksemia. Hipoksemia
didefinisikan tekanan oksigen arteri (PaO₂) dibagi fraksi oksigen inspirasi
(FIO₂) kurang dari< 300 mmHg. Pada keadaan syok septik akan didapatkan
hipetensi, denyut jantung bisa takikardi maupun bradikardi, takipneu dengan
capillary refill time >2 detik.³⁰

23
2.8.3 Pemeriksaan Penunjang
Untuk mendiagnosis COVID-19, dapat dilakukan beebrapa pemeriksaan
penunjang, salah satunya adalah Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan
kimia darah, meliputi pemeriksaan Darah perifer lengkap, dimana biasanya
Leukosit dapat ditemukan normal atau menurun; hitung jenis limfosit akan
menurun. Pada kebanyakan pasien, LED (Laju Endap Darah) dan CRP (c-
reactive protein) dijumpai meningkat. Fungsi hepar (Pada beberapa pasien,
enzim liver dan otot meningkat), Faal hemostasis (PT/APTT, d Dimer) dimana
pada kasus berat, Ddimer akan meningkat, Prokalsitonin (PCT) bila dicurigai
bakterialis, Laktat (Untuk menunjang kecurigaan sepsis), dan Analisis Gas
Darah. Pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi hati, albumin, serta Analisis Gas
Darah (AGD) dilakukan pada pasien dengan komorbid.³⁰ , ⁴⁰

Berdasarkan hasil meta analisis pada pemeriksaan laboratorium yang


dilakukan pada 4.662 pasien dari 28 penelitian, didapatkan adanya
peningkatan CRP (73.6%), penurunan albumin (62.9%), peningkatan ESR
(61.2%), penurunan Eos (58.4%), peningkatan IL-6 (53.1%), Limfopenia
(47.9%) dan peningkatan LDH (46,2%), peningkatan IL-6 (53,1%),
peningkatan PCT (9.4%). Pasien dengan peningkatan CRP, Limfopenia, dan
peningkatan LDH membutuhkan perawatan yang lebih baik.⁴⁰

24
Tabel 3. Profil Laboratorium berdasarkan meta analsisi pasien COVID-19⁴⁰

Pemeriksaan penunjang lainnya ialah pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan


radiologis sangat penting dalam diagnosis dini dan penilaian perjalanan
penyakit COVID-19, karena sebagian besar pasien yang terinfeksi COVID-19
didiagnosis dengan pneumonia dengan pola pencitraan CT yang khas. Gejala
dan tanda pada paru, akan dirujuk untuk melakukan oemeriksaan radiologi,
yaitu mengevaluasi radiografi dada (CXR) dan gambar computed tomography
(CT) untuk menilai infiltrat dan menentukan luas, distribusinya dan
perkembangannya.⁴¹ , ⁴²

Pemeriksaan CT lebih sensitif dibanding dengan pemeriksaan radiografi


dada (CXR). Pada cxr, didapatkan gambaran konsolidasi bilateral paru kiri
dan kanan pada lobus bawah kedua paru, perbesaran peri bronkial yang
menandakan adanya pneumonia, bahkan dapat ditemukan adanya efusi pleura
dan atelectasis Pada pemeriksaan CT-scan, dapatterlihat adanya: 1) ground
glass opacities, 2) konsolidasi, 3)nodules, 4) efusi pleura, 5)penebalan septal,
5) air bronchograms, 6) Halo sign (area GGO yang dikelilingi konsolidasi).
Biasanya infiltrat didapatkan pada bilateral paru kiri dan kanan pada bagian
perifer.⁴¹ , ⁴²

Berdasarkan penelitian pada 73 pasien untuk menentukan keparahan penyakit


menggunakan hasil pemeriksaan CT Scan, didapatkan:

a. Pada gejala ringan (6 pasien): 8% memiliki gambaran infiltrate bilateral,


dan opada 50% pasien mengalami pelebaran hilus d

25
b. Pada gejalas sedang (43 pasien): 100% pasien didapatkana danya GGO
bilateral perifer dan penebalan septum interlobar (27%), dan air
bronchogram (7%).
c. Pada gejala berat (21 pasien): 76% paseien didapatkan gamabran GGO
bilateral, 24% konsolidasi, dan 67% penebalan peribronchial.

Gambar 8. CXR Pada pasien COVID-19⁴¹


A: Interstitial infiltrates and ill-defined, rounded peripheral opacities in
bilateral lung fields; B: Interstitial infiltrates with linear and patchy, rounded
opacities in bilateral lung fields and heavily calcified aortic arch.

26
Gambar 9. CT-Scan Pada pasien COVID-19⁴¹
A:Pada
Non-pasien COVID-19 dengan gejala Gastrointestinal, yang dipicu oleh
contrasgangguan pada flora usus dan inflamasi. Akan mengalami gejala
adanya
t examanoreksia, muntah, diare, sakit pada perut. Prosedur Endoskopi
seperti
with
Gastrointestinal

Pada pasien COVID-19 dengan gejala Gastrointestinal, yang dipicu oleh


adanya gangguan pada flora usus dan inflamasi. Akan mengalami gejala
seperti anoreksia, muntah, diare, sakit pada perut. Prosedur Endoskopi
Gastrointestinal jika akan dilakukan pada pasien untuk melihat gangguan pada
gastrointestinal, harus mengikuti protokol kontrol infeksi dan harus dibatasi
hanya pada prosedur emergensi dan pada ruangan bertekanan rendah serta
menggunakan Alat Pelindung Diri,untuk meminimalkan paparan virus baik
pada tenaga kesehatan. Setelah prosedur endoskopi dilakukan, harus dilakukan
proses desinfeksi, dimana menggunakan desinfektan yang bersifat
bactericidal, myocobactericidal, fungicdal, virucidal.³⁷
Diagnosis pasti untuk kasus terkonfirmasi ditentukan berdasarkan hasil
pemeriksaan ekstraksi RNA virus dari virus severe acute respiratory
syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). COVID-19 menggunakan
pemeriksaan reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR),
dimana akan dinyatakan posotof jika didapatkan genom: 1) the RdRP gene
(RNA-dependent RNA polymerase gene), (2) the E gene ( pada envelope), and
(3) the N gene (pada nucleocapsid). Gen RdRP dan E, memiliki sensitifitas
analisis yang lebih tinggi dibandingkan gen N.⁹ ,³⁰ ,⁴³
RT-PCR adalah metode yang paling banyak digunakan untuk mendiagnosis
COVID-19 dengan menggunakan sampe saluran pernapasan. Sampel saluran
pernapasan bagian atas termasuk usap nasofaring, usap orofaringeal, dan
aspirasi hidung. Sampel saluran pernapasan bagian bawah termasuk dahak,

27
cairan BAL, dan aspirasi trakea Sampel saluran pernapasan atas lebih
direkomendasikan, meskipun sampel pernapasan bagian bawah
direkomendasikan untuk pasien yang menunjukkan batuk produktif.
Pengambilan swab di hari ke-1 dan 2 untuk penegakan diagnosis. Dalam 14
hari pertama setelah onset, SARS-CoV-2 paling dapat dideteksi dalam dahak
pasien diikuti oleh usap hidung, sedangkan pada usap tenggorokan tidak dapat
dipercaya pada 8 hari setelah onset gejala. Hasil negatif ini dapat terjadi akibat
teknik pengambilan sampel yang tidak tepat, viral load rendah di area sampel,
atau mutasi pada genom virus.⁴³
Pemeriksaan untuk mendeteksi Antibodi tidak dapat dijadikan pemeriksaan
utama untuk mendetksi infeksi aktif. Antibodi IgM umumnya meningkat di
atas ambang batas yang dapat dideteksi dalam waktu sekitar 5 hingga 7 hari
setelah timbulnya gejala awal dan bertahan selama 14 sampai 21 hari sejak
gejala pertama kali. Pada 14 hari setelah timbul gejala pertama, kadar IgG akan
meningkat diatas batas deteksi. Oleh karena itu antibodi tidak dapat dijadikan
tes pendeteksi utama. Tes ini dapat dijadikan pemeriksaan secara paralel
dengan pengujian molekuler, riwayat pasien dan presentasi klinis pada pasien
bergejala, atau digunakan pada pasien tanpa gejala selama suatu periode.⁴⁴
Pasien dikatakan sembuh jika didapatkan perbaikan klinis serta hasil
negatif pada swab PCR 2 kali berturut-turut dengan selang waktu lebih dari 24
jam. Berdasarkan WHO, Kriteria untuk memulangkan pasien dari tempat
isolasi pada pasien simptomatik adalah jika dalam 10 hari setelah onset dengan
3 hari tambahan tidak ditemukan adanya gejala (seperti demam atau gejala
respirasi). Sedangkan pada pasien asimptomatik adalah 10 hari setelah test
positif SARS-CoV-2.(PERSI,WHO)

2.9. Tata Laksana Covid-19


Berdasarkan Pedoman Tatalaksana COVID-19 pada bulan Agustus 2020,
menetapkan tatalaksana pada pasien terkonfirmasi Covid-19, sebagai berikut:³⁰
1. Tanpa Gejala
- Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak pengambilan spesimen
diagnosis konfirmasi

28
- derikan edukasi non-farmakologis terkait (leaflet untuk dibawa ke
rumah)
- Bila terdapat penyakit penyerta / komorbid, dianjurkan untuk tetap
melanjutkan pengobatan yang rutin dikonsumsi (obat ACEinhibitor dan
Angiotensin Reseptor Blocker perlu dikonsultasiakan)
- Vitamin C : Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14
hari) atau Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)
- Kontrol di FKTP terdekat setelah 10 hari karantina untuk pemantauan
klinis
2. Derajat Ringan
- Isolasi mandiri di rumah/ fasilitas karantina selama maksimal 10 hari
sejak muncul gejala ditambah 3 hari bebas gejala demam dan gangguan
pernapasan.
- Petugas FKTP diharapkan proaktif
- Vitamin C : Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14
hari) atau Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)
- Azitromisin 1 x 500 mg perhari selama 5 hari
- Oseltamivir (Tamiflu) 75 mg/12 jam/oral selama 5-7 hari, Atau
Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2 x 400/100mg selama 10
hari, Atau Favipiravir (Avigan) 600 mg/12 jam/oral selama 5 hari
- Klorokuin fosfat 500 mg/12 jam oral (untuk 5-7 hari) ATAU
Hidroksiklorokuin (sediaan yang ada 200 mg) dosis 400 mg/24 jam/oral
(untuk 5-7 hari) (dapat dipertimbangkan)
- parasetamol bila demam
- Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
- Setelah melewati masa isolasi pasien akan kontrol ke FKTP terdekat.

3. Derajat Sedang
- Rujuk ke Rumah Sakit ke Ruang Perawatan COVID-19/ Rumah Sakit
Darurat COVID-19

29
- Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status
hidrasi/terapi cairan, oksigen
- Pemantauan laboratorium
- Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1
jam (IV)
- Klorokuin fosfat 500 mg/12 jam oral (untuk 5-7 hari) atau
Hidroksiklorokuin (sediaan yg ada 200 mg) hari pertama 400 mg/12
jam/oral, selanjutnya 400 mg/24 jam/oral (untuk 5-7 hari)
- Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari) atau
sebagai alternatif Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga ada
infeksi bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7
hari).
- Salah satu antivirus berikut :
a. Oseltamivir 75 mg/12 jam oral selama 5-7 hari Atau
b. Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2 x 400/100mg selama
10 hari Atau
c. Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12
jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5) Atau
d. Remdesivir 200 mg IV drip/3jam dilanjutkan 1x100 mg IV drip/3
jam selama 9 – 13 hari
- Pengobatan simptomatis (Parasetamol dan lain-lain).
- Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada

4. Derajat berat/ Kritis


- Isolasi di ruang isolasi Rumah Sakit Rujukan atau rawat secara
kohorting
- Istirahat total, intake kalori adekuat, kontrol elektrolit, status hidrasi
(terapi cairan), dan oksigen
- Pemantauan laboratorium Darah.
- Monitor tanda-tanda sebagai berikut; - Takipnea, frekuensi napas
≥30x/min, - Saturasi Oksigen dengan pulse oximetry ≤93% (di jari), -

30
PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg, - Peningkatan sebanyak >50% di keterlibatan
area paru-paru pada pencitraan thoraks dalam 24-48 jam, - Limfopenia
progresif, - Peningkatan CRP progresif, - Asidosis laktat progresif.
- Monitor keadaan kritis : Gagal napas,shock atau gagal Multiorgan
- Terapi oksigen
- Klorokuin fosfat, 500 mg/12 jam/oral (hari ke 1-3) dilanjutkan 250
mg/12 jam/oral (hari ke 4-10) ATAU Hidroksiklorokuin dosis 400 mg /
24 jam/oral (untuk 5 hari), setiap 3 hari kontrol EKG
- Azitromisin 500 mg/24 jam (untuk 5 hari) atau levofloxacin 750 mg/24
jam/intravena (5 hari)
- Antivirus : Oseltamivir 75 mg/12 jam oral ATAU Favipiravir (Avigan
sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan
selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5)
- Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1
jam diberikan secara drips Intravena (IV) selama perawatan
- Vitamin B1 1 ampul/24 jam/intravena
- Hydroxycortison 100 mg/24 jam/ intravena (3 hari pertama)
- Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
- Obat suportif lainnya

31
Gambar 10. Algoritma Penanganan Pasien COIVD-19 terkonfirmasi
positif³⁰

Selain terapi di atas, masih terdapat terapi atau Tindakan tambahan


lainnya, seperti Anti IL-6 (Tocilizumab), Anti IL-1 (Anakinra), Mesenchymal
Stem Cell (MSCs)/ Sel Punca, Intravenous Immunoglobulin (IVIG), Plasma
Konvalesen, pemeriksaan Bronkoskopi.³⁰

Penggunaan obat antibakteri dan antivirus dalam skala besar merupakan


salah satu penyebab gejala gastrointestinal gejala pada beberapa pasien. Seperti
antivirus chloroquine phosphate, lopinavir, and remdesivir yang menginduksi
terjadinya diare. Tetapi perlu diingat gejala pada system Gatrointestinal juga dapat
ditimbulkan oleh mekanisme diluar efek samping penggunaan obat. Berikut
adalah daftar agen terapi, dosis serta efek samping yang ditimbulkan pada obat
pada COVID-19:³⁴ ,⁴⁵

32
Agent Dose Adverse Reaction
CQ phosphate 500 mg CQ (300 mg Gastrointestinal:nausea,
base) every 12 to 24 vomiting,abdominal
hours, 5 to 10 days discomfort.
depends on severity
HCQ 400 mg QD, 5 to 7 Similar to CQ, less
days, depends on common
severity
Oseltamivir 75 mg BID, 5 days Nausea, vomitus,
abdominal discomfort
(frequency 5–10%)
LPV/RTV 400/100 mg QD, 10 Frequency >10%:
days diarrhea, nausea,
vomiting, abdominal pain
Favipiravir 1,600 mg BID on day 1, Frequency ≥1%: diarrhea,
followed by 600 mg Frequency 0.5–1%:
BID (day 2 to 5) nausea, vomitus,
abdominal discomfort,
Remdesivir Loading: 200 mg IV Gastrointestinal
drip for >30 min, disturbance, increase of
followed by 100 mg liver transaminases
given by 3 hours drip,
for 9–13 days

Tabel 3. Obat Pada Covid-19 S dan Efek Samping Gastrointestinal⁴⁵

Penatalaksanaan gejala GI memerlukan penatalaksanaan rutin seperti


untuk penyakit lainnya. Diare biasanya sembuh sendiri dan dapat berupa virus,
kekebalan tubuh, terkait antibiotik atau karena disbiosis. Hidrasi yang tepat sangat
penting untuk menjaga keseimbangan elektrolit. Penggunaan agen antidiare rutin
seperti loperamide dapat dilakukan untuk mengurangi gejala. Probiotik dapat
diresepkan untuk disbiosis dan antispasmodik dapat ditambahkan untuk sakit
perut. Sakit perut dapat berhubungan dengan penyakit atau mungkin karena

33
penyebab lain dan perlu dievaluasi, jika pengobatan simtomatik primer tidak
mencukupi.⁴⁶

Selain itu, pemberian memberikan energi yang diperlukan, nutrisi enteral


dapat membantu memulihkan pencernaan, penyerapan, dan gerak peristaltik
fisiologis usus serta menjaga fungsi normal mikroekologi saluran cerna dan
kekebalan mukosa. Untuk pasien COVID-19 dengan gejala gastrointestinal berat,
penilaian risiko gizi dapat dilakukan. Jika pasien memiliki lesi gastrointestinal dan
tidak dapat mentolerir nutrisi enteral, nutrisi parenteral dapat ditambahkan secara
tepat untuk menjaga suplai energi normal. Begitu risiko pemberian nutrisi enteral
hilang, nutrisi enteral harus dipulihkan secepat mungkin, dan konsumsi oral harus
didorong. Penderita dalam kondisi yang buruk dapat mengonsumsi enzim
pencernaan. Bagi yang tidak mampu mengonsumsi makanan secara oral, dapat
dipasang selang nasogastrik untuk nutrisi enteral. Jika pasien berisiko tinggi
mengalami refluks aspirasi atau tidak dapat mentolerir pemberian selang
nasogastrik, selang jejunal hidung dapat dipasang. Secara umum, kebutuhan
energi pasien harus dievaluasi tepat waktu dan program nutrisi enteral harus
disesuaikan.³⁴

Mual dan muntah seringkali ringan dan hanya sementara. Gejala ini
mungkin disebabkan oleh respons gastrointestinal terhadap infeksi SARS-CoV-2
atau obat antivirus. Perawatan yang direkomendasikan termasuk Metoclopramide,
domperidone, atau antagonis reseptor 5-hydroxytryptamine dapat digunakan
untuk mual dan muntah.⁴⁷ Target potensial seperti ACE-2, TMPRSS2 bersama
dengan obat-obatan dapat digunakan sebagai terapi pada pasien COVID -19
dengan gangguan gastrointestinal, berikut adalah tabel referensi obat yang
digunakan:⁴⁸

34
Tabel 4. Obat Gejala Gastointestinal pada Pasien COVID-19⁴⁸

2.10. Diagnosis Banding Covid-19

COVID-19 perlu dibedakan dari penyakit lainnya, pada penyakit sistem


pernapasan seperti pneumonia virus dan bakteri, SRAS,MERS:⁴⁹ ,⁵²

1. SARS/MERS
Gejala yang ditimbulkan COVID-19, SARS, dan MERS hampir
serupa, antara lain demam, batuk, mialgia, kelelahan, dan gejala
pernapasan bagian bawah.SARS menyebabkan pneumonia atipikal
yang sangat menular dengan fatality rate 9,6. Sedangkan MERS
memiliki high mortality rate mencapai 36%. Untuk memastikan
infeksi ini, Diperlukan pemeriksaan RT-PCR.
2. Viral Pneumonia
Biasanya disebabkan oleh Adenovirus, influenza A & B, akan
menimbulkan gejala Demam tinggi, batuk, sakit tenggorokan,
myalgia. Biasa terjadi pada anak-anak di musim dingin dan
musim semi. Diperlukan pemeriksaan RT-PCR untuk memastikan
infeksi COVID-19.
3. Bacterial Pneumonia
Biasanya disebabkan oleh bakteri Streptococcus, akan
menimbulkan gejala hidung tersumbat, rinorea, sakit tenggorokan

35
dimana gejala biasanya ringan. Pada pemeriksaan laboratorium
biasanya didapatkan jumlah leukosit tinggi, peningkatan ESR dan
CRP.

2.11 Prognosis COVID-19

Pada perkiraan awal tingkat pemulihan COVID-19 secara keseluruhan


cenderung baik yaitu antara 97% dan 99,75%. Pada kasus gejala ringan,
diperlukan waktu 2 minggu untuk pulih dari penyakit. Pada gejala kasus parah
atau kritis, pemulihan dapat membutuhkan waktu hingga 6 minggu. Untuk
Penyakit Berat perlu tinggal di rumah sakit mungkin berlangsung 2 minggu atau
lebih. Pemulihan bergantung pada bagaimana sistem kekebalan seseorang
merespons COVID-19. Yang memiliki resiko untuk sulit sembuh dengan
prognosis yang buruk adalah pasien tua yang lemah dengan penyakit lain yang
mendasar seperti penyakit paru-paru kronis atau penyakit jantung. Angka
kematian dengan ARDS biasanya antara 30% dan 40%, dan untuk orang tua
dengan banyak infeksi, angka kematian setinggi hingga 60% atau lebih.¹⁴

Pasien COVID-19, khususnya mereka dengan gejala pencernaan, memiliki


hasil klinis yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien yang tidak menderita
gejala ini. Pada penelitian yang dilakukan pada tahun 206 pasien, didapatkan 48
pasien mengalmi gejala pencernaan, dimana menunjukan bahwa pada pasien
dengan gejala gastrointestinal mengalami durasi yang lebih lama antara onset
dengan ‘viral clearance’ dan ‘fecal virus positive’ dibandingkan dengan yang
hanya memiliki gejala pernapasan. Hal ini juga dikaitkan dengan perubahan
sistem kekebalan yang memicu kerentanan untuk menderita akibat COVID-19
yang lebih parah.⁵⁰

2.12 Komplikasi COVID-19

Seringkali infeksi yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 baik pada pasien


tanpa gejala atau dengan penyakit ringan dapat sembuh dengan sendirinya. Tetapi,
sekitar 1-5% pasien COVID-19 adalah mengalami gejala berat atau kritis, yang

36
dapat menimbukan adanya berbagai komplikasi. Pasien-pasien ini membutuhkan
perawatan intensif lanjutan, selain dengan tatalaksana simptomatik dan suportif,
diperlukan obat antivirus, antibiotik dan obat-obatan lain serta bantuan bantuan
pernapasan di fasilitas medis khusus atau Intensice Care Unite (ICU).⁵¹

Tabel 5. Komplikasi yang Berkaitan dengan COVID-19⁵¹

2.13 Edukasi COVID-19

Jika mengalami gejala seperti batuk, demam dan sesak napas,


konsultasikan segera ke dokter, hindari naik kendaraan umum. Tinggallah di
rumah jika merasa tidak enak badan, kecuali untuk mendapatkan perawatan
medis. Jika memungkinkan, tinggallah di ruangan yang terpisah dari keluarga dan
kenakan masker saat berada di sekitar orang lain. Tetap di rumah selama
beberapa waktu sesuai petunjuk dokter. Setiap kali batuk atau bersin tutupi mulut
dan hidung dengan kertas tisu. Buang tisu bekas ke tempat sampah dan segera
cuci tangan dengan sabun antiseptik dan air. Oleskan disinfektan setiap hari pada
permukaan yang sering disentuh. Hindari kontak fisik langsung. Cuci tangan
secara teratur dan menyeluruh dengan sabun dan air setidaknya selama 20 detik
atau dengan antiseptik berbasis alkohol (pembersih tangan yang mengandung
setidaknya 60% alkohol).⁹

37
38
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh severe acute respiratory


syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2), jenis corona virus baru dan menjadi
pandemi di seluruh lapisan dunia. Penyebaran dapat terjadi dengan adanya
kontak langsung, kontaminasi pada permukaan benda, dan aerosol. Selain
menyebabkan timbulnya gejala umum seperti demam, sesak napas, batuk,
tenggorokan, hidung tersumbat, pusing, menggigil, nyeri otot, COVID-19
juga dapat menyebabkan gangguan pada sistem pencernaa, seperti diare,
muntah, mual, kehilangan nafsu makan dan sakit pada perut. Diagnosis pasti
COVID-19 didapatkan dengan pemeriksaan reverse transcription polymerase
chain reaction (RT-PCR). Observasi dan studi lanjut masih diperlukan, dan
protokol kesehatan harus tetap dijalankan.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Wu YC, Chen CS, Chan YJ. The outbreak of COVID-19: An overview. J


Chinese Med Assoc. 2020;83(3):217–20.
2. Isbaniah F, Susanto AD. Pneumonia Corona Virus Infection Disease -19
( COVID-19 ). J Indon Med Assoc. 2020;70(4):87–94.
3. Aa Coronavirus Update. 2020. Available from :
https://www.worldometers.info/coronavirus/ akses pada 11 November 2020.
4. Shereen MA, Khan S, Kazmi A, Bashir N, Siddique R. COVID-19 infection:
Origin, transmission, and characteristics of human coronaviruses. J Adv Res
[Internet]. 2020;24(March):91–8. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.jare.2020.03.005
5. Singhal T. Review on COVID19 disease so far. Indian J Pediatr.
2020;87(April):281–6.
6. El Ouali S, Achkar JP, Lashner B, Regueiro M. Gastrointestinal manifestations
of COVID-19 Posted June 15, 2020. Cleve Clin J Med. 2020;87(6):17–20.
7. Siregar GA, Siregar GP, Darmadi D. Gastrointestinal aspects of covid-19: A
review. Open Access Maced J Med Sci. 2020;8(T1):52–4.
8. Holstein B. Coronavirus 101. J Nurse Pract. 2020;16(6):416–9.
9. Ahmad S. A Review of COVID-19 (Coronavirus Disease-2019) Diagnosis,
Treatments and Prevention. Eurasian J Med Oncol. 2020;4(2):116–25.
10. Alanagreh L, Alzoughool F, Atoum M. The human coronavirus disease covid-
19: Its origin, characteristics, and insights into potential drugs and its
mechanisms. Pathogens. 2020;9(5).
11. Susilo A, Rumende CM, Pitoyo CW, Santoso WD, Yulianti M, Herikurniawan
H, et al. Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini. J Penyakit
Dalam Indones. 2020;7(1):45.
12. Di Gennaro F, Pizzol D, Marotta C, Antunes M, Racalbuto V, Veronese N, et
al. Coronavirus diseases (COVID-19) current status and future perspectives: A
narrative review. Int J Environ Res Public Health. 2020;17(8).
13. Mao Y, Jones RM, Tan Q, Ji JS, Li N, Shen J, et al. Aerosol transmission of
SARS-CoV-2? Evidence, prevention and control. Environ Int 144 J. 2020.
14. Wiersinga WJ, Rhodes A, Cheng AC, Peacock SJ, Prescott HC.
Pathophysiology, Transmission, Diagnosis, and Treatment of Coronavirus

40
Disease 2019 (COVID-19): A Review. JAMA - J Am Med Assoc.
2020;324(8):782–93.
15. Fiorillo L, Cervino G, Matarese M, D’amico C, Surace G, Paduano V, et al.
COVID-19 surface persistence: A recent data summary and its importance for
medical and dental settings. Int J Environ Res Public Health. 2020;17(9).
16. Setti L, Passarini F, De Gennaro G, Barbieri P, Perrone MG, Borelli M, et al.
Airborne transmission route of covid-19: Why 2 meters/6 feet of inter-personal
distance could not be enough. Int J Environ Res Public Health. 2020;17(8).
17. Kumar S, Nyodu R, Maurya VK, Saxena SK. Morphology, Genome
Organization, Replication, and Pathogenesis of Severe Acute Respiratory
Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). 2020;2:23–31.
18. Ni W, Yang X, Yang D, Bao J, Li R, Xiao Y, et al. Role of angiotensin-
converting enzyme 2 (ACE2) in COVID-19. Crit Care. 2020;24(1):1–10.
19. Parasher A. COVID-19: Current understanding of its pathophysiology, clinical
presentation and treatment. Postgrad Med J. 2020;postgradmedj-2020-138577.
20. Varghese PM, Tsolaki AG, Yasmin H, Shastri A, Ferluga J, Vatish M, et al.
Host-pathogen interaction in COVID-19: Pathogenesis, potential therapeutics
and vaccination strategies. Immunobiology [Internet]. 2020;225(6):152008.
Available from: https://doi.org/10.1016/j.imbio.2020.152008
21. Ng OT, Marimuthu K, Koh V, Pang J, Linn KZ, Sun J, et al. SARS-CoV-2
seroprevalence and transmission risk factors among high-risk close contacts: a
retrospective cohort study. Lancet Infect Dis [Internet]. 2020;0(0):1–11.
Available from:
https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S1473309920308331
22. Oluwaseun A, Oluwole O. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)
Transmission, Risk Factors, Prevention and Control: A Minireview. J Infect
Dis Epidemiol. 2020;6(4):1–5.
23. Marhl M, Grubelnik V, Magdič M, Markovič R. Diabetes and metabolic
syndrome as risk factors for COVID-19. Diabetes Metab Syndr Clin Res Rev.
2020;14(4):671–7.
24. Polverino F. Cigarette smoking and COVID-19: A complex interaction. Am J
Respir Crit Care Med. 2020;202(3):471–2.
25. Srivastava K. Association between COVID-19 and cardiovascular disease. IJC
Hear Vasc [Internet]. 2020;29:100583. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.ijcha.2020.100583
26. Iannelli A, Favre G, Frey S, Esnault V, Gugenheim J, Bouam S, et al. Obesity
and COVID-19: ACE 2, the Missing Tile. Obes Surg. 2020;30(11):4615–7.
27. Thevarajan I, Buising KL, Cowie BC. Clinical presentation and management
of COVID-19. Med J Aust. 2020;213(3):134–9.

41
28. Baj J, Karakuła-Juchnowicz H, Teresiński G, Buszewicz G, Ciesielka M, Sitarz
E, et al. COVID-19: Specific and Non-Specific Clinical Manifestations and
Symptoms: The Current State of Knowledge. J Clin Med. 2020;9(6):1753.
29. Speretta GF, Leite RD. Covid-19: high rates of severity and death in elderly
and patients with chronic diseases reinforces the importance of regular physical
activity. Sport Sci Health [Internet]. 2020;16(3):589–90. Available from:
https://doi.org/10.1007/s11332-020-00678-8
30. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Anestisiologi dan Terapi
Intensif Indonesia (PERDATIN), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Pedoman Tatalaksana COVID-16. 2nd ed. Pedoman Tatalaksana COVID-19.
2020. 3–6 p.
31. Galanopoulos M, Gkeros F, Doukatas A, Karianakis G, Pontas C, Tsoukalas N,
et al. COVID-19 pandemic: Pathophysiology and manifestations from the
gastrointestinal tract. World J Gastroenterol. 2020;26(31):4579–88.
32. Zhang J et al., Gastrointestinal symptoms, pathophysiology, and treatment in
COVID-19,genes&Diseases,https://doi.org/10.1016/j.gendis.2020.08.01
33. Su S, Jun S, Zhu L. Involvement of digestive system in COVID-19:
manifestations, pathology, management and challenges. Ther Adv Vaccines.
2020;13(6):1–12.
34. Ye Q, Wang B, Zhang T, Xu J, Shang S. The mechanism and treatment of
gastrointestinal symptoms in patients with COVID-19. Am J Physiol -
Gastrointest Liver Physiol. 2020;319(2):G245–52.
35. Andrews PLR, Cai W, Rudd JA, Sanger GJ. COVID-19, nausea, and vomiting.
J Gastroenterol Hepatol. 2020;1–11.
36. Shen KL, Yang YH, Jiang RM, Wang TY, Zhao DC, Jiang Y, et al. Updated
diagnosis, treatment and prevention of COVID-19 in children: experts’
consensus statement (condensed version of the second edition). World J Pediatr
[Internet]. 2020;16(3):232–9. Available from: https://doi.org/10.1007/s12519-
020-00362-4
37. Aguila EJT, Cua IHY, Dumagpi JEL, Francisco CPD, Raymundo NT V., Sy-
Janairo MLL, et al. COVID-19 and its effects on the digestive system and
endoscopy practice. JGH Open. 2020;4(3):324–31.
38. K Kemenkes. Kemenkes Kenalkan Istilah Probable, Suspect, Kontak Erat Dan
Terkonfirmasi Covid-19. Kementrian Kesehat [Internet]. 2020;1–2. Available
from: https://www.kemkes.go.id/pdf.php?id=20071500002
39. Jamil S, Mark N, Carlos G, Dela Cruz CS, Gross JE, Pasnick S. Diagnosis and
management of COVID-19 disease. Am J Respir Crit Care Med.
2020;201(10):P19–22.

42
40. Zhang ZL, Hou YL, Li DT, Li FZ. Laboratory findings of COVID-19: a
systematic review and meta-analysis. Scand J Clin Lab Invest [Internet].
2020;80(6):441–7. Available from:
https://doi.org/10.1080/00365513.2020.1768587
41. Kaufman AE, Naidu S, Ramachandran S, Dalia S Kaufman. ContentsReview
of radiographic findings in COVID-19. World J W J R Radiol.
2020;12(8):142–50.
42. Kolta MF, Ghonimy MBI. COVID-19 variant radiological findings with high
lightening other coronavirus family (SARS and MERS) findings: radiological
impact and findings spectrum of corona virus (COVID-19) with comparison to
SARS and MERS. Egypt J Radiol Nucl Med. 2020;51(1).
43. Udugama B, Kadhiresan P, Kozlowski HN, Malekjahani A, Osborne M, Li
VYC, et al. Diagnosing COVID-19: The Disease and Tools for Detection. ACS
Nano. 2020;14(4):3822–35.
44. Jacofsky D, Jacofsky EM, Jacofsky M. Understanding Antibody Testing for
COVID-19. J Arthroplasty [Internet]. 2020;35(7):S74–81. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.arth.2020.04.055
45. Instiaty, Sri Darmayani IGAAP, Marzuki JE, Angelia F, William, Siane A, et
al. Antiviral treatment of covid-19: A clinical pharmacology narrative review.
Med J Indones [Internet]. 2020;29(3):332–45. Available from:
http://dx.doi.org/10.13181/mji.rev.204652
46. Samanta J, Dhar J, Khaliq A, Kochhar R. 2019 Novel Coronavirus Infection:
Gastrointestinal Manifestations. J Dig Endosc. 2020;11(01):13–8.
47. Zhang X, Tang C, Tian D, Hou X, Yang Y. Management of Digestive
Disorders and Procedures Associated With COVID-19. Am J Gastroenterol.
2020;115(8):1153–5.
48. Sonkar C, Kashyap D, Varshney N, Baral B, Jha HC. Impact of
Gastrointestinal Symptoms in COVID-19 : a Molecular Approach. 2020;
49. Sharma R, Agarwal M, Gupta M, Somendra S, Saxena SK. Clinical
Characteristics and Differential Clinical Diagnosis of Novel Coronavirus
Disease 2019 (COVID-19). 2020;2019:55–70.
50. Villapol S. Gastrointestinal symptoms associated with COVID-19: impact on
the gut microbiome. Transl Res [Internet]. 2020;226:57–69. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.trsl.2020.08.004
51. Vinod N. Identifying patterns in COVID-19: Morbidity, recovery and the
aftermath. Int J Clin Virol. 2020;4(1):056–64.
52. Zeidler A, Karpinski TM. SARS-COV, MERS-COV, SARS-COV-2
comparison of three emerging coronaviruses. Jundishapur J Microbiol.
2020;13(6):1–8

43

Anda mungkin juga menyukai