Disusun oleh:
Pembimbing:
FAKULTAS KEDOKTERAN
JAKARTA
2021
1
DAFTAR ISI
2
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................40
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
Middle East respiratory syndrome coron-avirus (MERS-CoV), menyebabkan
endemik di negara-negara Timur Tengah.² ,⁴
Berdasarkan hasil analisis, SARS-CoV-2 berasal hewan yang terinfeksi dan
dijual ataupun dijadikan bahan makanan. Pada wet market, di Wuhan, banyak
hewan yang dijual serperti kalalawar, burung, katak. Berdasarkan temuan genom
yang serupa dari novel coronavirus dengan SARS, didapatkan pernyataan bahwa
kelelawar dapat menjadi reservoir utama. Pada penyelidikan lebih lanjut
didapatkan mengungkapkan bahwa beberapa individu terjangkit virus tanpa
sebelumnya mengunjungi pasar makanan laut tersebut, sehingga, pengamatan ini
menunjukkan kemampuan penyebaran virus dari manusia ke manusia. Dengan
mengkonsumsi hewan yang terinfeksi sebagai makanan merupakan utama
penularan virus dari hewan ke manusia dan karena kontak dekat dengan orang
yang terinfeksi, virus selanjutnya dapat ditularkan ke orang yang sehat.⁴
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
6
Corona virus termasuk dalam subfamili Coronovirinae, famili
Coronaviridae dan ordo Nidovirales. Berdasarkan urutan protein dan hubungan
filogenetiknya, subfamili Coronavirinae dapat diklasifikasikan menjadi empat
kelompok, yaitu Alphacoronavirus, Betacoronavirus, Gammacoronavirus, dan
Deltacoronavirus. Gammacoronavirus dan Deltacoronavirus menginfeksi burung
dan mungkin menginfeksi mamalia, tetapi tidak pernah dilaporkan menyebabkan
penyakit apapun pada manusia. Sedangkan Alphacoronavirus dan
Betacoronavirus mampu menyebabkan penyakit system pernapasan maupun
gastrointestinal pada manusia.¹⁰
Coronavirus adalah virus RNA yang terdiri RNA untai tunggal sekitar 27-
32 kb. Ukuran genom berkisar antara 27–32 kbp, dan merupakan salah satu virus
RNA terbesar yang diketahui. Pada SARS-CoV, terdapat kemiripan pada sekuens
virusnya dengan coronavirus yang telah diisiolosi pada kelelawar, sehingga ada
kesimpulan yang bernaggapan bahwa SARS-CoV-2 berasal dari kelalawar dan
bermutasi sehingga bisa menginfeksi manusia, dimana reservoir perantaranya
adalah mamalia dan burung.¹¹
7
stainless steel (>72 jam) jika dibandingkan dengan tembaga (4 jam) maupun
kardus (24 jam). Selain itu, virus juga dapat ditemukan di lingkungan, yaitu
ditemukan pada gagang pintu, dudukan toilet, saklar lampu, maupun jendela.¹¹
Selain itu, penularan SARS-CoV-2 melalui aerosol juga dapat ditemukan terutama
dalam pengaturan lingkungan terbatas dengan ventilasi yang buruk dan adanya
paparan jangka panjang dari konsentrasi aerosol yang tinggi.¹³
8
hingga 4 hari setelah inokulasi dimana, virus terdetksi akan rusak pada permukaan
dengan cepat dalam waktu 48 hingga 72 jam.¹⁴
Sehingga tindakan jarak yang lebih luas (jarak antar orang hingga 10 m)
harus diadopsi di dalam lingkungan indoor saat masker wajah tidak digunakan.
Dan dari penggunaan masker wajah yang umum, jarak antar orang dapat
dikurangi menjadi 2m.¹⁶
9
membran virus (M) dan Envelope (E) dari SARS-CoV-2 tertanam dalam
membrane lipid bilayes yang membungkus nukleokapsid heliks yang terdiri dari
RNA virus. Spike Glycoprotein (Protein S) dari SARS-CoV-2 merupakan
campuran dari SARS-CoV kelelawar dan Beta-CoV yang tidak diketahui . Dalam
sebuah penelitian fluoresen, dikonfirmasi bahwa SARS-CoV-2 juga menggunakan
ACE2 (angiotensin-converting enzyme 2) reseptor sel.⁴ ,¹⁷
10
Protein N virus mengikat RNA genom baru dan protein M memfasilitasi
integrasi ke retikulum endoplasma seluler. Nukleokapsid yang baru sterbentuk ini
kemudian dikumpulan dalam reticulum endoplasma dan diangkut ke lumen
melalui golgi dan ditrasportasikan melalui vesikel ke membran sel, kemudian ke
ruang ekstraseluler melalui eksositosis. Partikel virus baru sekarang siap untuk
menyerang sel epitel yang berdekatan serta untuk menyediakan bahan infektif
segar untuk penularan komunitas melalui tetesan pernapasan. ⁴, ¹⁹
11
jaringan paru-paru. Sel-sel ini bertanggung jawab untuk melawan virus, tetapi
dengan melakukan itu juga menyebabkan peradangan pada paru. Sel inang
mengalami apoptosis seiring dengan pelepasan partikel virus baru, yang kemudian
menginfeksi sel epitel alveolar tipe 2 yang berdekatan dengan cara yang sama.
Karena cedera persisten yang disebabkan oleh sel-sel inflamasi yang menurun dan
replikasi virus yang menyebabkan hilangnya pneumosit tipe 1 dan tipe 2,
didapatkan adanya kerusakan alveolar yang difus dan berpuncak pada Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS).¹⁹
Pneumosit yang mati akan hilang dan terjadi isian alveoli dengan cairan,
deposit protein, sel debris, makrofag, dan neutrofil. Ini menyebabkan konsolidasi
paru, yang mengarah pada gangguan pertukaran gas dan menyebabkan
hipoksemia. Konsolidasi juga menyebabkan batuk produktif. Selain itu,
hipoksemia juga dapat memicu kemoreseptor yang merangsang Sistem Saraf
Simpatis (SNS) dan menyebabkan takikardia (peningkatan laju jantung) dan
takipnea (peningkatan laju pernapasan). Sistem Saraf Pusat (SSP) juga
terpengaruh oleh konsentrasi tinggi IL-1β, IL-6 dan TNF-α dalam darah, dimana
sitokin akan merangsang hipotalamus untuk melepaskan prostaglandin seperti
PGE2, yang menyebabkan peningkatan suhu tubuh yang menyebabkan demam.²⁰
12
Gambar 3.
Patofisiolo
13
Infeksi terjadi karena adanya paparan virus baik secara langsung maupun tidak
langsung, tetapi ada beberapa faktor yang dapat menjadi penyebabnya. Faktor-
faktor ini mungkin termasuk; a) Faktor manusia seperti usia, jenis kelamin,
golongan darah, kekebalan, kebersihan pribadi, penyakit yang sudah ada
sebelumnya dan riwayat perjalanan ke negara endemik COVID-19, b) Faktor
lingkungan seperti suhu dan kelembaban, dan c) Pekerjaan yang mempengaruhi
seperti pekerja dalam bidang kesehatan. Selain itu, berkaitan dengan jenis
kelamin, lebih banyak pria yang diamati terinfeksi COVID-19 dibandingkan
dengan wanita. Dan berdasarkan golongan darah, golongan darah O mungkin
memiliki kecenderungan yang lebih rendah untuk keparahan, Ini karena ACE
rendah yang ada pada golongan darah O yang dapat digunakan oleh SARS-CoV-2
sebagai reseptor.²²
Pasien dengan sistem kekebalan imun yang lebih rendah seperti lansia dan
mereka dengan penyakit bawaaan (immunocompromised) lebih rentan terhadap
infeksi dan komplikasi yang dapat menyebabkan keparahan dan kematian.²² Pada
pasien dengan Diabetes Melitus, peningkatan ekspresi ACE2 menjadi salah satu
penyebab faktor resiko yang meningkat. Selain itu, pada pasien hipertensi yang
mendapatkan pengobatan dengan ACE-Inhibitor atau ARBS, juga mengalami
peningkatan ACE2.²³ Pada perokok, asap rokok akan menginduksi modifikasi dari
epitel bronkial, yang menyebabkan metaplasia sel mukosa (goblet). Karena sel
goblet adalah sumber utama ACE2 di paru-paru, hal ini dapat menyebabkan
peningkatan level ACE2, namun hal ini belum dapat dikonfirmasi.²⁴
14
Berdasarkan pengalaman di Tiongkok, masa inkubasi khas infeksi
COVID-19 diperkirakan rata-rata 5 hari dimana 97,5% dari penderita yang
mengalami dalam 11 hari setelah paparan, sehingga diperlukan penggunaan
jangka waktu 14 hari untuk mengkarantina individu yang berpotensi terpapar.
Adanya infeksi tanpa gejala telah menjadi hal menarik dalam epidemiologi
COVID-19. Rasio infeksi asimtomatik dan simptomatik saat ini tidak pasti.
Infeksi bergejala biasanya meyebabkan timbulnya sindrom pernapasan, dan yang
paling sering adalah demam dan batuk.²⁷
15
Gambar 5. Perkembangan klinis pada COVID-19⁴⁹
16
Berdasarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Berikut sindrom klinis
yang dapat muncul pada COVID-19:³⁰
17
Pada pasien COVID-19 dengan gejala gastrointestinal, diare merupakan
salah satu gejala yang paling banyak ditemui bersama dengan gejala lain seperti
muntah, mual, kehilangan nafsu makan dan sakit pada perut. Pada beberapa
penelitian cohort, Gejala diare termasuk dalam semua penelitian, meskipun
dengan persentase yang beragam 2,0% hingga 55,0% (Tabel 1). Demikian pula,
muntah (1,0% -12,5%) dan mual (1,0% - 27,5%). ) juga dimasukkan dalam
sebagian besar laporan kasus COVID-19 dengan gejala pencernaan, sementara
penurunan nafsu makan (10,1% ) dan sakit perut (0,98%) dijelaskan dengan
singkat. Studi lain tentang manifestasi GI COVID-19 di Wuhan menunjukkan
bahwa gejala Gatrointestinal timbu pada hari 1–8 (rata-rata hari ke-3) hari setelah
onset.³¹ ,³² ,³³
18
menghasilkan ACE2, ditemukan peningkatan kadar monocyte chemokine-1
(MCP-1), tumor growth factor-1 (TGF-1), tumor necrosis factor-ɑ (TNF- ɑ),
interleukin (IL)-1 and IL-6, yang tinggi dan menyebabkan cytokine storm, dan
menyebabkan kematian langsung sel imun dan kerusakan jaringan sehingga
mengarah ke multiple organ damage.
19
Diare terkait antibiotik adalah reaksi yang umum terhadap obat antibakteri,
terutama makrolida, sefalosporin, dan antibiotik -laktam. Berdasarkan analisis
retrospektif dari Guangzhou, Cina, dari proses pengobatan untuk 260 pasien
SARSCoV menemukan bahwa makrolida, fluoroquinolon, atau antibiotik
sefalosporin digunakan menyebabkan diare pada 24,2% pasien. Obat antivirus
untuk pengobatan pasien COVID-19 juga dapat menyebabkan diare berat,
yaitu oseltamivir dan arbidol sekitaar 55,2%. Obat antiviral ainnya yaitu,
chloroquine phosphate, lopinavir, and remdesivir. Penelitian di atas
menunjukkan bahwa diare akibat obat yang disebabkan oleh penggunaan obat
antibakteri dan antivirus dalam skala besar juga merupakan salah satu
penyebab gejala gastrointestinal pada beberapa pasien.
Ga
mbar 5.
Mekanism
e Gejala
20
(a) (b)
21
Gambar 7. Klasifikasi resiko infeksi SARAS-CoV-2³⁷
22
kasus konfirmasi tanpa gejala. Gejala dapat bervariasi dari batuk ringan
hingga kegagalan pernafasan.³⁸
23
2.8.3 Pemeriksaan Penunjang
Untuk mendiagnosis COVID-19, dapat dilakukan beebrapa pemeriksaan
penunjang, salah satunya adalah Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan
kimia darah, meliputi pemeriksaan Darah perifer lengkap, dimana biasanya
Leukosit dapat ditemukan normal atau menurun; hitung jenis limfosit akan
menurun. Pada kebanyakan pasien, LED (Laju Endap Darah) dan CRP (c-
reactive protein) dijumpai meningkat. Fungsi hepar (Pada beberapa pasien,
enzim liver dan otot meningkat), Faal hemostasis (PT/APTT, d Dimer) dimana
pada kasus berat, Ddimer akan meningkat, Prokalsitonin (PCT) bila dicurigai
bakterialis, Laktat (Untuk menunjang kecurigaan sepsis), dan Analisis Gas
Darah. Pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi hati, albumin, serta Analisis Gas
Darah (AGD) dilakukan pada pasien dengan komorbid.³⁰ , ⁴⁰
24
Tabel 3. Profil Laboratorium berdasarkan meta analsisi pasien COVID-19⁴⁰
25
b. Pada gejalas sedang (43 pasien): 100% pasien didapatkana danya GGO
bilateral perifer dan penebalan septum interlobar (27%), dan air
bronchogram (7%).
c. Pada gejala berat (21 pasien): 76% paseien didapatkan gamabran GGO
bilateral, 24% konsolidasi, dan 67% penebalan peribronchial.
26
Gambar 9. CT-Scan Pada pasien COVID-19⁴¹
A:Pada
Non-pasien COVID-19 dengan gejala Gastrointestinal, yang dipicu oleh
contrasgangguan pada flora usus dan inflamasi. Akan mengalami gejala
adanya
t examanoreksia, muntah, diare, sakit pada perut. Prosedur Endoskopi
seperti
with
Gastrointestinal
27
cairan BAL, dan aspirasi trakea Sampel saluran pernapasan atas lebih
direkomendasikan, meskipun sampel pernapasan bagian bawah
direkomendasikan untuk pasien yang menunjukkan batuk produktif.
Pengambilan swab di hari ke-1 dan 2 untuk penegakan diagnosis. Dalam 14
hari pertama setelah onset, SARS-CoV-2 paling dapat dideteksi dalam dahak
pasien diikuti oleh usap hidung, sedangkan pada usap tenggorokan tidak dapat
dipercaya pada 8 hari setelah onset gejala. Hasil negatif ini dapat terjadi akibat
teknik pengambilan sampel yang tidak tepat, viral load rendah di area sampel,
atau mutasi pada genom virus.⁴³
Pemeriksaan untuk mendeteksi Antibodi tidak dapat dijadikan pemeriksaan
utama untuk mendetksi infeksi aktif. Antibodi IgM umumnya meningkat di
atas ambang batas yang dapat dideteksi dalam waktu sekitar 5 hingga 7 hari
setelah timbulnya gejala awal dan bertahan selama 14 sampai 21 hari sejak
gejala pertama kali. Pada 14 hari setelah timbul gejala pertama, kadar IgG akan
meningkat diatas batas deteksi. Oleh karena itu antibodi tidak dapat dijadikan
tes pendeteksi utama. Tes ini dapat dijadikan pemeriksaan secara paralel
dengan pengujian molekuler, riwayat pasien dan presentasi klinis pada pasien
bergejala, atau digunakan pada pasien tanpa gejala selama suatu periode.⁴⁴
Pasien dikatakan sembuh jika didapatkan perbaikan klinis serta hasil
negatif pada swab PCR 2 kali berturut-turut dengan selang waktu lebih dari 24
jam. Berdasarkan WHO, Kriteria untuk memulangkan pasien dari tempat
isolasi pada pasien simptomatik adalah jika dalam 10 hari setelah onset dengan
3 hari tambahan tidak ditemukan adanya gejala (seperti demam atau gejala
respirasi). Sedangkan pada pasien asimptomatik adalah 10 hari setelah test
positif SARS-CoV-2.(PERSI,WHO)
28
- derikan edukasi non-farmakologis terkait (leaflet untuk dibawa ke
rumah)
- Bila terdapat penyakit penyerta / komorbid, dianjurkan untuk tetap
melanjutkan pengobatan yang rutin dikonsumsi (obat ACEinhibitor dan
Angiotensin Reseptor Blocker perlu dikonsultasiakan)
- Vitamin C : Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14
hari) atau Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)
- Kontrol di FKTP terdekat setelah 10 hari karantina untuk pemantauan
klinis
2. Derajat Ringan
- Isolasi mandiri di rumah/ fasilitas karantina selama maksimal 10 hari
sejak muncul gejala ditambah 3 hari bebas gejala demam dan gangguan
pernapasan.
- Petugas FKTP diharapkan proaktif
- Vitamin C : Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14
hari) atau Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)
- Azitromisin 1 x 500 mg perhari selama 5 hari
- Oseltamivir (Tamiflu) 75 mg/12 jam/oral selama 5-7 hari, Atau
Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2 x 400/100mg selama 10
hari, Atau Favipiravir (Avigan) 600 mg/12 jam/oral selama 5 hari
- Klorokuin fosfat 500 mg/12 jam oral (untuk 5-7 hari) ATAU
Hidroksiklorokuin (sediaan yang ada 200 mg) dosis 400 mg/24 jam/oral
(untuk 5-7 hari) (dapat dipertimbangkan)
- parasetamol bila demam
- Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
- Setelah melewati masa isolasi pasien akan kontrol ke FKTP terdekat.
3. Derajat Sedang
- Rujuk ke Rumah Sakit ke Ruang Perawatan COVID-19/ Rumah Sakit
Darurat COVID-19
29
- Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status
hidrasi/terapi cairan, oksigen
- Pemantauan laboratorium
- Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1
jam (IV)
- Klorokuin fosfat 500 mg/12 jam oral (untuk 5-7 hari) atau
Hidroksiklorokuin (sediaan yg ada 200 mg) hari pertama 400 mg/12
jam/oral, selanjutnya 400 mg/24 jam/oral (untuk 5-7 hari)
- Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari) atau
sebagai alternatif Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga ada
infeksi bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7
hari).
- Salah satu antivirus berikut :
a. Oseltamivir 75 mg/12 jam oral selama 5-7 hari Atau
b. Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2 x 400/100mg selama
10 hari Atau
c. Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12
jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5) Atau
d. Remdesivir 200 mg IV drip/3jam dilanjutkan 1x100 mg IV drip/3
jam selama 9 – 13 hari
- Pengobatan simptomatis (Parasetamol dan lain-lain).
- Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
30
PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg, - Peningkatan sebanyak >50% di keterlibatan
area paru-paru pada pencitraan thoraks dalam 24-48 jam, - Limfopenia
progresif, - Peningkatan CRP progresif, - Asidosis laktat progresif.
- Monitor keadaan kritis : Gagal napas,shock atau gagal Multiorgan
- Terapi oksigen
- Klorokuin fosfat, 500 mg/12 jam/oral (hari ke 1-3) dilanjutkan 250
mg/12 jam/oral (hari ke 4-10) ATAU Hidroksiklorokuin dosis 400 mg /
24 jam/oral (untuk 5 hari), setiap 3 hari kontrol EKG
- Azitromisin 500 mg/24 jam (untuk 5 hari) atau levofloxacin 750 mg/24
jam/intravena (5 hari)
- Antivirus : Oseltamivir 75 mg/12 jam oral ATAU Favipiravir (Avigan
sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan
selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5)
- Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1
jam diberikan secara drips Intravena (IV) selama perawatan
- Vitamin B1 1 ampul/24 jam/intravena
- Hydroxycortison 100 mg/24 jam/ intravena (3 hari pertama)
- Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
- Obat suportif lainnya
31
Gambar 10. Algoritma Penanganan Pasien COIVD-19 terkonfirmasi
positif³⁰
32
Agent Dose Adverse Reaction
CQ phosphate 500 mg CQ (300 mg Gastrointestinal:nausea,
base) every 12 to 24 vomiting,abdominal
hours, 5 to 10 days discomfort.
depends on severity
HCQ 400 mg QD, 5 to 7 Similar to CQ, less
days, depends on common
severity
Oseltamivir 75 mg BID, 5 days Nausea, vomitus,
abdominal discomfort
(frequency 5–10%)
LPV/RTV 400/100 mg QD, 10 Frequency >10%:
days diarrhea, nausea,
vomiting, abdominal pain
Favipiravir 1,600 mg BID on day 1, Frequency ≥1%: diarrhea,
followed by 600 mg Frequency 0.5–1%:
BID (day 2 to 5) nausea, vomitus,
abdominal discomfort,
Remdesivir Loading: 200 mg IV Gastrointestinal
drip for >30 min, disturbance, increase of
followed by 100 mg liver transaminases
given by 3 hours drip,
for 9–13 days
33
penyebab lain dan perlu dievaluasi, jika pengobatan simtomatik primer tidak
mencukupi.⁴⁶
Mual dan muntah seringkali ringan dan hanya sementara. Gejala ini
mungkin disebabkan oleh respons gastrointestinal terhadap infeksi SARS-CoV-2
atau obat antivirus. Perawatan yang direkomendasikan termasuk Metoclopramide,
domperidone, atau antagonis reseptor 5-hydroxytryptamine dapat digunakan
untuk mual dan muntah.⁴⁷ Target potensial seperti ACE-2, TMPRSS2 bersama
dengan obat-obatan dapat digunakan sebagai terapi pada pasien COVID -19
dengan gangguan gastrointestinal, berikut adalah tabel referensi obat yang
digunakan:⁴⁸
34
Tabel 4. Obat Gejala Gastointestinal pada Pasien COVID-19⁴⁸
1. SARS/MERS
Gejala yang ditimbulkan COVID-19, SARS, dan MERS hampir
serupa, antara lain demam, batuk, mialgia, kelelahan, dan gejala
pernapasan bagian bawah.SARS menyebabkan pneumonia atipikal
yang sangat menular dengan fatality rate 9,6. Sedangkan MERS
memiliki high mortality rate mencapai 36%. Untuk memastikan
infeksi ini, Diperlukan pemeriksaan RT-PCR.
2. Viral Pneumonia
Biasanya disebabkan oleh Adenovirus, influenza A & B, akan
menimbulkan gejala Demam tinggi, batuk, sakit tenggorokan,
myalgia. Biasa terjadi pada anak-anak di musim dingin dan
musim semi. Diperlukan pemeriksaan RT-PCR untuk memastikan
infeksi COVID-19.
3. Bacterial Pneumonia
Biasanya disebabkan oleh bakteri Streptococcus, akan
menimbulkan gejala hidung tersumbat, rinorea, sakit tenggorokan
35
dimana gejala biasanya ringan. Pada pemeriksaan laboratorium
biasanya didapatkan jumlah leukosit tinggi, peningkatan ESR dan
CRP.
36
dapat menimbukan adanya berbagai komplikasi. Pasien-pasien ini membutuhkan
perawatan intensif lanjutan, selain dengan tatalaksana simptomatik dan suportif,
diperlukan obat antivirus, antibiotik dan obat-obatan lain serta bantuan bantuan
pernapasan di fasilitas medis khusus atau Intensice Care Unite (ICU).⁵¹
37
38
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
39
DAFTAR PUSTAKA
40
Disease 2019 (COVID-19): A Review. JAMA - J Am Med Assoc.
2020;324(8):782–93.
15. Fiorillo L, Cervino G, Matarese M, D’amico C, Surace G, Paduano V, et al.
COVID-19 surface persistence: A recent data summary and its importance for
medical and dental settings. Int J Environ Res Public Health. 2020;17(9).
16. Setti L, Passarini F, De Gennaro G, Barbieri P, Perrone MG, Borelli M, et al.
Airborne transmission route of covid-19: Why 2 meters/6 feet of inter-personal
distance could not be enough. Int J Environ Res Public Health. 2020;17(8).
17. Kumar S, Nyodu R, Maurya VK, Saxena SK. Morphology, Genome
Organization, Replication, and Pathogenesis of Severe Acute Respiratory
Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). 2020;2:23–31.
18. Ni W, Yang X, Yang D, Bao J, Li R, Xiao Y, et al. Role of angiotensin-
converting enzyme 2 (ACE2) in COVID-19. Crit Care. 2020;24(1):1–10.
19. Parasher A. COVID-19: Current understanding of its pathophysiology, clinical
presentation and treatment. Postgrad Med J. 2020;postgradmedj-2020-138577.
20. Varghese PM, Tsolaki AG, Yasmin H, Shastri A, Ferluga J, Vatish M, et al.
Host-pathogen interaction in COVID-19: Pathogenesis, potential therapeutics
and vaccination strategies. Immunobiology [Internet]. 2020;225(6):152008.
Available from: https://doi.org/10.1016/j.imbio.2020.152008
21. Ng OT, Marimuthu K, Koh V, Pang J, Linn KZ, Sun J, et al. SARS-CoV-2
seroprevalence and transmission risk factors among high-risk close contacts: a
retrospective cohort study. Lancet Infect Dis [Internet]. 2020;0(0):1–11.
Available from:
https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S1473309920308331
22. Oluwaseun A, Oluwole O. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)
Transmission, Risk Factors, Prevention and Control: A Minireview. J Infect
Dis Epidemiol. 2020;6(4):1–5.
23. Marhl M, Grubelnik V, Magdič M, Markovič R. Diabetes and metabolic
syndrome as risk factors for COVID-19. Diabetes Metab Syndr Clin Res Rev.
2020;14(4):671–7.
24. Polverino F. Cigarette smoking and COVID-19: A complex interaction. Am J
Respir Crit Care Med. 2020;202(3):471–2.
25. Srivastava K. Association between COVID-19 and cardiovascular disease. IJC
Hear Vasc [Internet]. 2020;29:100583. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.ijcha.2020.100583
26. Iannelli A, Favre G, Frey S, Esnault V, Gugenheim J, Bouam S, et al. Obesity
and COVID-19: ACE 2, the Missing Tile. Obes Surg. 2020;30(11):4615–7.
27. Thevarajan I, Buising KL, Cowie BC. Clinical presentation and management
of COVID-19. Med J Aust. 2020;213(3):134–9.
41
28. Baj J, Karakuła-Juchnowicz H, Teresiński G, Buszewicz G, Ciesielka M, Sitarz
E, et al. COVID-19: Specific and Non-Specific Clinical Manifestations and
Symptoms: The Current State of Knowledge. J Clin Med. 2020;9(6):1753.
29. Speretta GF, Leite RD. Covid-19: high rates of severity and death in elderly
and patients with chronic diseases reinforces the importance of regular physical
activity. Sport Sci Health [Internet]. 2020;16(3):589–90. Available from:
https://doi.org/10.1007/s11332-020-00678-8
30. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Anestisiologi dan Terapi
Intensif Indonesia (PERDATIN), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Pedoman Tatalaksana COVID-16. 2nd ed. Pedoman Tatalaksana COVID-19.
2020. 3–6 p.
31. Galanopoulos M, Gkeros F, Doukatas A, Karianakis G, Pontas C, Tsoukalas N,
et al. COVID-19 pandemic: Pathophysiology and manifestations from the
gastrointestinal tract. World J Gastroenterol. 2020;26(31):4579–88.
32. Zhang J et al., Gastrointestinal symptoms, pathophysiology, and treatment in
COVID-19,genes&Diseases,https://doi.org/10.1016/j.gendis.2020.08.01
33. Su S, Jun S, Zhu L. Involvement of digestive system in COVID-19:
manifestations, pathology, management and challenges. Ther Adv Vaccines.
2020;13(6):1–12.
34. Ye Q, Wang B, Zhang T, Xu J, Shang S. The mechanism and treatment of
gastrointestinal symptoms in patients with COVID-19. Am J Physiol -
Gastrointest Liver Physiol. 2020;319(2):G245–52.
35. Andrews PLR, Cai W, Rudd JA, Sanger GJ. COVID-19, nausea, and vomiting.
J Gastroenterol Hepatol. 2020;1–11.
36. Shen KL, Yang YH, Jiang RM, Wang TY, Zhao DC, Jiang Y, et al. Updated
diagnosis, treatment and prevention of COVID-19 in children: experts’
consensus statement (condensed version of the second edition). World J Pediatr
[Internet]. 2020;16(3):232–9. Available from: https://doi.org/10.1007/s12519-
020-00362-4
37. Aguila EJT, Cua IHY, Dumagpi JEL, Francisco CPD, Raymundo NT V., Sy-
Janairo MLL, et al. COVID-19 and its effects on the digestive system and
endoscopy practice. JGH Open. 2020;4(3):324–31.
38. K Kemenkes. Kemenkes Kenalkan Istilah Probable, Suspect, Kontak Erat Dan
Terkonfirmasi Covid-19. Kementrian Kesehat [Internet]. 2020;1–2. Available
from: https://www.kemkes.go.id/pdf.php?id=20071500002
39. Jamil S, Mark N, Carlos G, Dela Cruz CS, Gross JE, Pasnick S. Diagnosis and
management of COVID-19 disease. Am J Respir Crit Care Med.
2020;201(10):P19–22.
42
40. Zhang ZL, Hou YL, Li DT, Li FZ. Laboratory findings of COVID-19: a
systematic review and meta-analysis. Scand J Clin Lab Invest [Internet].
2020;80(6):441–7. Available from:
https://doi.org/10.1080/00365513.2020.1768587
41. Kaufman AE, Naidu S, Ramachandran S, Dalia S Kaufman. ContentsReview
of radiographic findings in COVID-19. World J W J R Radiol.
2020;12(8):142–50.
42. Kolta MF, Ghonimy MBI. COVID-19 variant radiological findings with high
lightening other coronavirus family (SARS and MERS) findings: radiological
impact and findings spectrum of corona virus (COVID-19) with comparison to
SARS and MERS. Egypt J Radiol Nucl Med. 2020;51(1).
43. Udugama B, Kadhiresan P, Kozlowski HN, Malekjahani A, Osborne M, Li
VYC, et al. Diagnosing COVID-19: The Disease and Tools for Detection. ACS
Nano. 2020;14(4):3822–35.
44. Jacofsky D, Jacofsky EM, Jacofsky M. Understanding Antibody Testing for
COVID-19. J Arthroplasty [Internet]. 2020;35(7):S74–81. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.arth.2020.04.055
45. Instiaty, Sri Darmayani IGAAP, Marzuki JE, Angelia F, William, Siane A, et
al. Antiviral treatment of covid-19: A clinical pharmacology narrative review.
Med J Indones [Internet]. 2020;29(3):332–45. Available from:
http://dx.doi.org/10.13181/mji.rev.204652
46. Samanta J, Dhar J, Khaliq A, Kochhar R. 2019 Novel Coronavirus Infection:
Gastrointestinal Manifestations. J Dig Endosc. 2020;11(01):13–8.
47. Zhang X, Tang C, Tian D, Hou X, Yang Y. Management of Digestive
Disorders and Procedures Associated With COVID-19. Am J Gastroenterol.
2020;115(8):1153–5.
48. Sonkar C, Kashyap D, Varshney N, Baral B, Jha HC. Impact of
Gastrointestinal Symptoms in COVID-19 : a Molecular Approach. 2020;
49. Sharma R, Agarwal M, Gupta M, Somendra S, Saxena SK. Clinical
Characteristics and Differential Clinical Diagnosis of Novel Coronavirus
Disease 2019 (COVID-19). 2020;2019:55–70.
50. Villapol S. Gastrointestinal symptoms associated with COVID-19: impact on
the gut microbiome. Transl Res [Internet]. 2020;226:57–69. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.trsl.2020.08.004
51. Vinod N. Identifying patterns in COVID-19: Morbidity, recovery and the
aftermath. Int J Clin Virol. 2020;4(1):056–64.
52. Zeidler A, Karpinski TM. SARS-COV, MERS-COV, SARS-COV-2
comparison of three emerging coronaviruses. Jundishapur J Microbiol.
2020;13(6):1–8
43