Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

STUDI NASKAH TAFSIR

Tentang

TAFSIR SURAT AL-BAQARAH AYAT 3-5

Oleh Kelompok VIII :

Al-hilal Hamdi : 1815020055

Dasrul : 1815020065

Dosen Pengampu:

Mhd. Idris , S.Th.I, MA

PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR (IAT B)

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

IMAM BONJOL PADANG

1442H / 2021M
Iman kepada yang gaib

Kemudian ayat menjelaskan sifat-sifat dasar dari orang yang bertaqwa yaitu :

(Allazina yu’minuna bi al-ghaib wa yuqimuna al-shalata wa mimma

razaqnahum yunfiqun)

(Allazina yuminuna bil ghaib) maksudnya , mereka meyakini dan membenarkan setiap yang

disampaikan Allah Swt dari hal hal yang tidak tampak oleh mereka.

Ghaib secara bahasa : Setiap sesuatu yang tersembunyi dari manusia, karena manusia adalah

makhluq yang akalnya terbatas, kebenaran dan kenyataan tidak bisa diketahui semuanya

melalui akal dan pemahaman manusia. Walaupun demikian ada sumber lain yang lebih besar

dan lebih hebat dari akal manusia, yaitu khabar al shadiq dari Sang Khaliq yang maha agung.

Yang maha luas setiap IlmuNya, Dialah Allah Swt yang maha tahu hal gaib dan yang

tampak. Sebagaimana yang telah disebutkan pada kisah awal penciptaaan manusia dalam QS.

Al-Baqarah ;33. ("Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku

mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa

yang kamu sembunyikan?")

Alam gaib itu lebih banyak dan lebih luas daripada alam nyata yang nampak oleh indra

penglihatan. Bahkan manusia masih belum mengetahui banyak hal tentang unsur penyusun

dirinya berupa jasad dan ruh. Ruh yang akan tetap abadi dan menjadi bagian penting dalam

diri manusia justru tidak terlihat ( al-Isra’ 85: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh.

Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan

melainkan sedikit").

Iman kepada yang gaib secara syariat adalah: percaya terhadap setiap yang tersembunyi yang

dikhabarkan oleh Allah SWT. Tidak dapat diragukan lagi bahwa Allah adalah sumber yang
paling tsiqah untuk mengetahui kebenaran. Orang yang beriman kepada yang gaib tidak

cukup membangun keimanannya dengan sebatas dugaan, firasat, perkiraan, dan takhayyul.

Hal itu tidak dapat menjadi landasan untuk keimanan dan kepercayaan. Oleh karena itu,

Allah mencela orang yang membangun akidahnya hanya sebatas dari prasangka, dugaan, atau

hanya ikut orang lain dalam (QS. Yunus 66: Dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu

selain Allah, tidaklah mengikuti (suatu keyakinan). Mereka tidak mengikuti kecuali

prasangka belaka, dan mereka hanyalah menduga-duga) dan sebelumnya juga disebutkan

dalam ayat 36 (Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.

Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan).

Maka maksud dari Firman Allah Swt ( yu’minuna bil ghaib) yaitu orang yang diberikan

petunjuk sehingga mereka sampai merasakan yang gaib itu seperti hal yang nyata. Baik yang

ghaib itu ada dalilnya maupun yang tidak. Dan maksud dari ayat ini adalah pujian bagi orang

yang bertaqwa karena mereka beriman kepada yang gaib yang telah disebutkan dari dalil

kemudian mereka memikirkan, merenunginya, dan menjadikannya petunjuk sehingga

mereka beriman dengan nya. Beberapa contoh kategori gaib adalah ilmu tentang Allah dan

sifatNya, ilmu tentang akhirat, dan ilmu tentang kenabian.

Iman kepada yang gaib adalah pintu awal yang harus dilewati oleh manusia untuk menaikkan

derajatnya dari level hewan kepada level manusia. Hewan hanya bisa mengetahui apa yang

ditangkap oleh indranya saja. Sedangkan manusia dapat mengetahui wujud yang lebih luas

dan besar cakupannya dari pada dimensi yang hanya diketahui oleh indra. Ataupun oleh

anggota badan yang menjadi perluasan dari fungsi indra. Dan semua itu adalah langkah atau

pergerakan yang tidak mempunyai pengaruh yang signifikan dalam pembentukan hakikat

manusia. Baik bagi hakikat wajudnya secara keseluruhan, bagi hakikat wajudnya secara zat,

dan bagi hakikat potensi yang ada dalam bentuk wujudnya sekarang. Serta juga tidak
berpengaruh pada bentuk kehidupan di alam dan juga qudrat dan tadbir yang ada dibalik

alam. Sebagaimana dia juga tidak berpengaruh terhadap hidupnya di bumi. Dan tidaklah

sama orang yang hidup dalam ruang yang kecil yang hanya melihat dan menangkap dengan

panca indra dengan orang yang hidup di lingkungan dimensi yang besar yang melihat dan

merenung dengan kecerdasan dan pemikirannya.

Sungguh iman kepada yang gaib merupakan jalan khusus dalam melepaskan manusia dari

kungkungan alam hewan. Tetapi golongan materialisme di zaman sekarang sama dengan

golongan materialisme yang ada pada setiap zaman. Mereka ingin kembali kepada

kemunduran manusia kepada alam level hewan. Yang menganggap sesuatu itu ada hanya

jika itu tampak, dan mereka mengatakan ini adalah kemajuan. Itu adalah kemunduran dan

Allah menjaga orang yang beriman dari hal demikian. Kemudian dijadikan sifat mereka suatu

kelebihan yaitu sifat orang yang beriman kepada yang gaib.

dan maksud dari (yukminuna) adalah yushaddiquna (percaya). Tashdiq adalah makna

lughawi dari kata iman.

Ibnu Katsir berpendapat : Iman secara bahasa muthlaq maknanya adalah tashdiq.

Sebagaimana Firman Allah : (at-Taubah 61: ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-

orang mukmin)

Dan juga seperti perkataan saudara yusuf kepada bapak mereka: (Yusuf 17: dan kamu sekali-

kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar".)

Demikian juga jika dipakai bersandingan dengan amal ; (at-Tin 6: kecuali orang-orang yang

beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-

putusnya.)
Iman apabila digunakan secara mutlaq, maka iman yang dimaksud adalah kepercayan,

perkataan, dan perbuatan. Inilah pendapat kebanyakan para imam. Imam syafi’i dan imam

ahmad secara ijma’ mengatakan iman itu termanifestasikan dalam bentuk perkataan dan

perbuatan, dapat bertambah dan berkurang.

Abu su’ud al-Imadi berkata: iman dalam syariat tidak dapat tercapai tanpa percaya terhadap

ilmu yang dianggap pokok dari agama Nabi SAW, seperti tauhid kenabian, kebangkitan,

pembalasan, dan lainnya.

Dan apakah iman cukup dengan itu saja, ataukah harus dibarengi dengan kesaksian atau ikrar

untuk lebih menguatkannya.? :

Pertama: pendapat syeikh al-Asy’ari dan pengikutnya mengatakan bahwa ikrar itu faktor

utama bagi pelaksanaan hukum hukum.

Kedua: pendapat abu hanifah dan pengikutnya, dan ini yang benar, beliau menjadikan

keduanya dua bagian yang berbeda. Kecuali jika ikrar itu rukun yang akan jadi gugur dengan

sebuah udzur, seperti ketika ada paksaan.

Sedangkan bagi muhadditsin, mu’tazilah, dan khawarij dalam iman itu terdapat 3 perkara:

keprcayaan yang benar, berikrar dengannya, serta mengamalkan yang diwajibkan. Siapa yang

hanya percaya maka dia adalah munafiq, siapa yang hanya berikrar maka dia kafir, siapa

yang hanya beramal maka dia fasiq secara ittifaq, kafir menurut khawarij, keluar dari iman

tapi tidak masuk ke dalam kafir menurut mu’tazilah.

Dan iman kepada hal gaib yang disampaikan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an adalah sifat

orang bertaqwa yang menunjukkan kepercayaan kuat yang sempurna kepada Allah Swt

terhadap apa yang disampaikan kepada mereka. Dan juga menunjukkan atas penyerahan diri

dan ketundukan. Berpegang teguh atas agama dan syariatNya. Oleh karena itu Allah
menyebutkan ini sifat pertama orang yang bertaqwa karena iman kepada yang gaib adalah

landasan dan sumber sebuah ketaqwaan.

(Wa yuqimuna al-shalah) artinya: mereka melaksanakan shalat dengan cara yang lurus

seperti yang disyariatkan yang diamanahkan kepada mereka.

Shalat aslinya adalah doa, dan shalat apapun yang dilakukan seorang hamba tidak terlepas

dari doa. Shalat merupakan ibadah badaniyah yang paling agung yang menunjukkan

kesempurnaan penyerahan diri dan ketundukan kepada Allah Swt. karena itu, Allah khusus

menyebutkannya dalam ayat ini sebagaimana juga disebutkan dalam banyak ayat dalam surat

al-Baqarah dan surat yang lainnya.

(Wa mimma razaqnahum yunfiqun) artinya: dan dari harta yang diberikan Allah kepada

mereka, mereka menginfakkan dijalan yang disyariatkan.

Infak harta di jalan yang disyariatkan merupakan ibadah yang dapat mendekatkan seorang

hamba kepada Allah. Ibadah harta ini merupakan bukti penyerahan diri kepada Allah,

ketundukan kepada agama dan syariatNya.

Di banyak ayat dalam al-Quran Allah menyandingkan antara shalat dan infaq harta. Shalat

merupakan hak Allah dan ibadah kepadanya langsung yang meliputi mengesakan dan pujian

terhadap Allah, pengagungan serta permohonan kepadaNya, doa dan bertwakkal kepadaNya.

Sedangkan infaq adalah kebaikan untuk makhluk Allah dengan memberikan manfaat apa

yang dibutuhkan.

(Wallazina yu’minuna bima unzila ilaika wa ma unzila min qablika wa bi al-

akhirati hum yuqinun)

(Wallazina yu’minuna bima unzila ilaika) yaitu al-Qur’an al-Karim


(Wama unzila min qablika) seperti taurat, injil, dan zabur, dan kitab lainnya yang diturunkan

Allah kepada Nabi-Nabi yang sebelumnya.

Iman kepada kitab-kitab merupakan sifat yang tidak dapat dipisahkan dari risalah Islam yang

menjadi penutup risalah-risalah ketuhanan. Puncak dari sifat ini terlihat dari rasa persatuan

manusia, agama yang satu, serta kesamaan risalah yang dibawa oleh para rasul, yaitu risalah

Islam (berserah diri) hanya kepada Allah. Dan ini menjadi tema dasar surat ini seperti yang

telah kami jelaskan. Orang muslim wajib beriman kepada para nabi dan rasul semuanya yang

disebutkan dalam al-Qur’an serta tidak boleh membeda bedakan antara mereka.

Sebagaiamana yang disebutkan di akhir surat albaqarah ayat 285.

Iman kepada hari kiamat

(wa bi al-akhirati hum yuqinun) artinya : mereka percaya dengan sebenar-benarnya tanpa

ada keraguan terhadap hari akhirat> hari kiamat, kehidupan setelah mati, kebangkitan dari

kubur, berkumpul di padang masyar, hari perhitungan amal, hari pemabalasan apakah masuk

surga atau masuk neraka.

Yaqin : ilmu yang diawali dengan keraguan, karenanya Allah tidak disifati dengan yaqin.

Iman kepada hari akhir merupakan bentuk manifestasi dari iman kepada yang gaib. Karena

Allah menyampaikan kepada kita tentangnya. Maka iman kepada hari akhir murni dari

Khabar yang benar, dan itu termasuk diantara bentuk manifestasi iman yang besar karena

hubungannya yang erat dengan iman kepada Allah Swt. Manusia tidak akan tahu tujuan dan

hikmah penciptaannya di bumi jikalau tidak diberikan tugas yang akan dipertangguang

jawabkan di hari kiamat nanti di depat Penciptanya. Akan berbeda jalan antara orang yang

hidup dibalik balik tembok materi yang terkunci dan tak dapat melihat jauh kedepan

dibandingkan orang yang hidup pada alam wujud yang luas dan panjang. Dan siapa yang
merasakan hidupnya dibumi sebagai ujian yang akan mendapatkan balasannya. Dan

kehidupan sebenarnya adalah disana dibalik ruang kecil yang terbatas ini.

Inilah sifat-sifat dasar mulia bagi orang yang bertaqwa, dan ini merupakan ketinggian akidah,

ibadah dan syariat mereka. Karena itu, kalimat ayat selanjutnya kembali mengulangi

pernyataan berupa pujian terhadap orang yang disifati dengan itu semua dengan firman Allah:

(Ulaika ‘ala hudan min Rabbihim wa ulaika hum al-muflihun)

(Ulaika ala hudan min rabbihim) artinya: mereka yang disifati dengan sifat itu, yang

diistimewakan dibandingkan manusia lainnya, selalu diberikan petunjuk dari tuhan mereka.

Karena mereka selalu berpegang kepada pengajaran dari kitab yang diturunkan oleh tuhan

mereka. Yang disebutkan dalam ayat ( zalika al-kitabu la raiba fihi hudan lil muttaqin)

Dalam kalimat (‘ala hudan) terdapat faidah makna isti’la’ : kekokohan, ketetapan, dan

berpegang teguhnya mereka terhadap petunjuk. dikarenakan keadaan mereka yang sama

dengan keadaan orang yang dalam keadaan sesuatu dan konstan. Baik contohnya apakah dia

selalu dijalan yang benar atau dijalan yang bathil.

(Waulaika muflihun) artinya: yang selamat dan yang menang, selamat dari azab Allah ta’ala

dan menang atau beruntung dengan ridha dan surga Allah.

Kegunaan pengulangan ism isyarah dan memberikan sisipan dhamir fashl ditengah untuk

pengkhususan petunjuk dan kemenangan itu untuk orang yang bertqwa, jadi hanya mereka

yang diberikan petunjuk dan kemenangan.

 Tingkatan piramida orang yang ingkar dan berbuat kerusakan

sudah jelas bagi kita dari setiap sifat orang bertaqwa yang disebutkan dalam ayat,

mereka berserah diri kepada Allah dan tunduk secara ilmu dan amal, secara akidah

dan syariat.
Ayat mensyariatkan bagaimana berserah diri kepad Allah taala, terdapat keterangan

tentang orang-orang yang tidak disifati dengan sifat itu. mereka terbagi 3 golongan:

1. Kafir bagi yang mengingkari dan menentang keras.

2. Munafiq, mereka adalah bagian khusus dari golongan pertama(mengingkari).

3. Ahli kitab, mereka juga termasuk bagian dari golongan pertama

Para peneliti memperhatikan ayat yang mulia ini meringkas keadaan golongan yang

pertama, kemudian memisahkan sebagian dari kelompok satu menjadi keadaan

golongan yang kedua, kemudian memisahkan kelompok satu dan membahas secara

mendalam penjelasan tentang keadaan dan kedudukan kelompok ketiga, seakan akan

ayat ini menggambarkan sebuah piramida yang menduduki posisi puncaknya adalah

orang kafir kemudian ditengahnya orang munafiq, dan mengkhususkan pondasinya

untuk ahli kitab.

Anda mungkin juga menyukai