Anda di halaman 1dari 29

BAB III AQIDAH A. Konsepsi Aqidah 1.

Pengertian Aqidah
Secara etimologis, aqidah berarti berakar dari kata ‘aqada-ya’qidu- ‘aqidatan.
Aqdan berarti simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi
‘aqidah berarti keyakinan. Relevansi antara arti kata '‘aqdan dan '‘aqidah berarti
keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan
mengandung perjanjian. Secara terminologis, terdapat beberapa definisi ‘aqidah
antara lain:
Menurut Hassan al-Banna dalam kitab Majmu’ al-Rasail:
“Aqa’id (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib
diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa menjadi
keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan”.
Sedangkan menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy dalam kitab Aqidah al-
Mukmin :

“Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum


(aksioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. Kebenaran itu
dipatrikan di dalam hati serta diyakini kesalihan dan keberadannya secara pasti
dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu”.

Dari dua definisi diatas terdapat beberapa hal yang mesti diperhatikan secara
seksama agar mendapat pemahaman yang proporsional. Pertama, setiap manusia
memiliki fitrah mengakui kebenaran, indera untuk mencari kebenaran, akal
untuk menguji kebenaran dan wahyu untuk menjadi pedoman dalam
menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam beraqidah hendaknya
manusia menempatkan fungsi masing- masing instrumen tersebut pada posisi
yang sebenarnya.

Kedua, keyakinan yang kokoh itu mengandaikan terbebas dari segala


pecampuradukan dengan keragu-raguan walaupun sedikit. Keyakinan hendaknya
bulat dan penuh, tiada berbaur dengan syak dan kesamaran. Oleh karena itu
untuk sampai kepada keyakinan itu manusia harus memiliki ilmu; yakni sikap
menerima suatu kebenaran dengan sepenuh hati setelah meyakini dalil-dalil
kebenarannya.

Ketiga, aqidah tidak boleh tidak harus mampu mendatangkan ketentraman


jiwa kepada orang yang meyakininya. Dengan demikian, hal ini mensyaratkan
adanya keselarasan dan kesejajaran antara keyakinan yang bersifat lahiriyah dan
keyakinan yang bersifat bathiniyah. Sehingga tidak didapatkan padanya suatu
pertentangan antara sikap lahiriah dan bathiniyah.

Keempat, apabila seseorang telah meyakini suatu kebenaran,


konsekwensinya ia harus sanggup membuang jauh-jauh segala hal yang
bertentangan dengan kebenaran yang diyakininya itu.

Dalam bahasa Arab ada beberapa istilah lain yang semakna atau hampir
semakna dengan istilah aqidah, yaitu: iman dan tauhid. Sedangkan yang
semakna dengan ilmu aqidah adalah ushuluddin, ilmu kalam dan fikih akbar.

2. Ruang Lingkup Aqidah

Hassan al-Banna pernah membuat sistematika ruang lingkup pembahasan


aqidah, yaitu :

1) Ilahiyat : Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan


ilah (Allah), seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah,
perbuatanperbuatan (Af’al) Allah dan lain-lain.
2) Nubuwat : Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembicaraan mengenai Kitab-Kitab Allah,
Mukjizat, Keramat dan sebagainya.
3) Rukhaniyat : Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan alam metafisik seperti malaikat, jin iblis, setan, roh dan lain
sebagainya.
4) Sam’iyat : Yaitu pembahasan tentang segal sesuatu yang hanya bisa diketahui
lewat sam’i, yakni dalil naqli berupa Alquran dan al-Sunnah, seperti alam
barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga, neraka dan
seterusnya.
Disamping sistematika dia atas, pembahasan aqidah bisa juga mengikuti
sistematika arkanul iman yaitu : iman kepada Allah Swt., iman kepada malaikat,
iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada nabi dan rasul Allah, iman kepada
hari akhir dan iman kepada qadha dan qadar Allah.

a. Iman Kepada Allah Swt.

Iman kepada Allah adalah suatu keniscayaan. Inti dari iman kepada Allah
Swt. Adalah tauhid : mengesakan Allah baik dalam zat, sifat dan af’al-Nya.
Disamping itu Allah memiliki al-asma’ al-husna dan ash-shifah, nama-nama
dan sifat-sifat-Nya sebanyak 99 (sembilan puluh sembilan) macam, dan
semua ini menunjukkan kemahasempurnaan-Nya. Oleh karena itu di sini kita
mengenal ada dua metode untuk mengimani asma’ al-husna dan ash-shifah
Allah yaitu 1) metode itsbat; mengimani bahwa Allah memiliki nama-nama
dan sifat yang menunjukkan kemahasempurnaan-Nya, misalnya Allah Maha
Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, Maha Bijkasana dan lain-lain,
dan 2) metode nafy; menafikan atau menolak segala nama-nama dan sifat
yang menunjukkan ketidaksempurnaan-Nya, misal menafikan adanya
makhluk yang menyerupai Allah, menolak anggapan bahwa Allah memiliki
anak atau orang tua dan lain-lain.

Oleh karena itu Islam sangat menganjurkan kepada ummatnya agar


berdoa dan memohon kepada Allah dengan nama-nama dan sifat- sifat-Nya
yang agung (Q.S. Al-A’raf: 18). Dalam masalah ini pula kita mengetahui
adanya larangan untuk mentamsilkan atau mentasybihkan (menyerupakan)
Allah dengan sesuatu (Q.S. Asy-Syura: 11). Dengan usaha ini maka ummat
Islam akan beriman kepada Allah dengan semurni-murninya dan
seutuhutuhnya iman.
b. Iman Kepada Malaikat –Malaikat Allah

Makhluk Allah dapat dikelompokkan menjadi dua macam; makhluk ghaib


dan makhluk syahadah (nyata). Yang membedakan keduanya adalah dapat
dan tak dapat dijangkau oleh panca indera manusia.

Iman kepada malaikat termasuk salah satu perkara beriman kepada yang
ghaib. Untuk mengetahui dan mengimani makhluk yang ghaib ini ditempuh
dua cara: 1) melalui berita atau akhbar dari Rasulullah baik berupa wahyu
Alquran maupun sunnah dan 2) melalui bukti-bukti nyata di alam semesta,
seperti kematian adalah bukti nyata bahwa malaikat maut itu ada.

Malaikat merupakan makhluk ghaib yang diciptakan oleh Allah dari


cahaya (nur) dengan wujud dan sifat-sifat tertentu. Malaikat sangat taat
kepada Allah, tak pernah membangkang dan selalu melaksanakan apa yang
diperintahkan-Nya (Q.S. At-Tahrim: 6). Adapun beberapa malaikat yang
patut diketahui dna diimani beserta tugasnya antara lain:

1) Malaikat Jibril bertugas menyampaikan wahyu kepada para nabi dan rasul
(Q.S. Al-Baqarah: 97)

2) Malaikat Mikail bertugas mengatur hal-hal yang berhubungan dengan


alam (Q.S. Al-Baqarah: 98)

3) Malaikat Israfil bertugas meniup terompet di hari kiamat dan kebangkitan


(Q.S. Al-An’am: 73)

4) Malaikat Maut bertugas mencabut nyawa manusia dan makhluk hidup


(As-Sajada : 11)

5) Malaikat Raqib dan ‘Atid bertugas mencatat amal perbuatan manusia

(Q.S. Al-Infithar: 10-12)

6) Malaikat Munkar dan Nakir bertugas menayai mayat dalam kubur (Q.S.
Ibrahim: 27)

7) Malaikat Ridwan bertugas menjaga syurga (Q.S. Az-Zumar: 73)


8) Malaikat Malik bertuga menjaga neraka (Q.S. Az-Zumar: 71)

9) Malaikat pemikul Arasy (Q.S. Al-Mukminun: 7)

10) Malaikat penggerak hati manusia untuk berbuat kebaikan dan kebenaran;
Malaikat yang bertugas mendoakan orang-orang mukmin (Q.S. Al-
Mukminun: 7-9)

c. Iman Kepada Kitab – Kitab Allah.

Al-Kitab atau kitab Allah adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah
kepada para nabi dan rasul, meliputi kitab yang diturunkan kepada nabi
Muhammad saw. Maupun kitab-kitab yang diturunkan pada para nabi dan
rasul sebelumnya. Kitab-kitab yang patut diimani keberadaannya adalah kitab
Alquran sendiri (Q.S. Al-Baqarah: 2), Kitab Injil yang diturunkan kepada
Nabi Isa a.s. (Q.S. Al-Maidah: 27), Kitab Taurat yang diturunkan yang
diturunkan kepada Nabi Musa a.s. (Q.S. Al-Maidah: 44) dan kitab Zabur yang
turun kepada Nabi Daud a.s. (Q.S. An-Nisa: 163). Di samping kitab-kitab di
atas, dikenal juga dua buah shuhuf, yaitu shuhuf Nabi Ibrahim a.s., dan
shuhuf Nabi Musa a.s. (Q.S. Al-A’la: 18-19). Shuhuf ini hany berbentuk
lembaran-lembaran.

Alquran sebagai kitab Allah yang terakhir memiliki beberapa


keistimewaan yang tidak dipunyai kitab-kitab atau shuhuf-shuhuf lainnya,
antara lain; Kitab Alquran berlaku secara universal untuk seluruh umat
manusia hingga akhir zaman (Q.S. Al-Furqon: 1) Kitab Alquran masih
terpelihara secara utuh dan murni hingga sekarang (Q.S. Al-Hijr: 9). Ajaran
Alquran mencakup segala permasalahan dan aspek kehidupan (Q.S. Al-
An’am: 38). Alquran mudah untuk dipahami, dihapal dan diamalkan (Q.S.
Al-Qomar: 17). Alquran berfungsi sebagai nasikh (penghapus) lafadz dan
hukum dalam kitab-kitab sebelumnya, muhaimin (batu ujian) terhadap
kebenaran kitab-kitab sebelumnya dan mushaddiq (pembenar) atas kitab-kitab
terdahulu (Q.S. Al-Maidah: 48) dan Alquran menjadi mukjizat bagi Nabi
Muhammad saw.
Dalam Alquran secara eksplisit memang hanya disebutkan 4 nama kitab
suci dan 2 shuhuf. Namun demikian Alquran juga menerangkan bahwa
seorang muslim hendaknya tetap beriman kepada seluruh kitab suci Allah,
baik yang disebutkan nama dan penerimanya maupun yang tidak disebutkan
(Q.S. An-Nisa: 136).

Dalam masalah mengimani kitab-kitab Allah ini tentunya ada perbedaan


cara dan konsekuensi. Kepada kitab-kitab Allah sebelum Alquran seorang
muslim hanya diwajibkan mengimani keberadaan dan kebenarannya semata.
Sedangkan kepada Alquran disamping mengimani keberadaan dan
kebenarannya juga diwajibkan mempelajari, menghayati, mengamalkan serta
mendakwahkan atau mengajarkannya.

d. Iman Kepada Nabi dan Rasul

Pada hakekatnya nabi dan rasul adalah manusia biasa seperti umumnya.
Yang membedakannya adalah karena ia menerima wahyu dari Allah (Q.S.
AlKahfi: 110). Apabila ia tidak dibebani kewajiban untuk menyampaikan wahyu
itu maka disebut Nabi. Jika ia diikuti dengan tanggung jawab menyampaikan
wahyu maka ia disebut Rasul. Jadi Nabi belum tentu rasul, sedangkan rasul
sudah pasti nabi.

Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah nabi dan rasul secara keseluruhan.
Yang jelas setiap umat manusia dalam kurun waktu tertentu diutus seorang nabi
dan atau rasul (Q.S. Yunus: 47). Alquran hanya menyebutkan sejumlah 25 orang
saja dalam ayat-ayatnya. Nabi dan rasul itu tersebar di beberapa surat seperti: Al-
An’am: 83-86 sebanyak 18 orang, 7 orang lagi disebutkan di ayat yang terpisah;
Hud: 50, Hud: 84, Ali Imran: 33, Al-Anbiya’: 85, dan Al-Fath: 29. Sekalipun
secara pasti hanya tersebut 25 orang saja di dalam Alquran, umat Islam tetap
diwajibkan meyakini semua keberadaan nabi dan rasul yang diterangkan di
dalamnya, dan sebagian lagi dan ini yang terbanyak tidak diceritakan di dalamnya
(Q.S. Al-Mukmin: 78).
Seluruh rasul yang diutus pada tiap zaman dan tempat pada dasarnya
mengemban tugas berat yang sama, yakni menegakkan kalimah tauhid la ilaha
illa Allah (Q.S. Al-Anbiya: 25). Dalam mengemban tugas ini ternyata tidak
semua rasul memiliki kesabaran yang sangat tinggi, kecuali mereka yang diberi
gelar ulul azmi; para rasul yang sangat sabar, teguh hati dan tabah dalam
menjalankan misinya (Q.S. Al-Ahqof: 35). Mereka itu adalah Muhammad, Nuh,
Ibrahim, Musa dan Isa (Q.S. Al-Ahzab: 7).

Umat Islam yang hidup di zaman ini tentu wajib mengimani Rasulullah
Muhammad saw., sebagai rasul terakhir. Dia adalah utusan Allah untuk
menyempurnakan risalah-risalah yang pernah disampaikan oleh rasul-rasul
terdahulu. Risalah penyempurna itu adalah Islam (Q.S. Al- Maidah: 3). Maka
hanya Islamlah yang akan diterima sebagai agama yang diridhai di sisi Allah
(Q.S. Ali-Imran: 19). Oleh karena itu kecintaan dan ketaatan kepadanya harus
ditunjukkan bagi siapa saja yang ingin selamat di dunia dan akhirat (Q.S.
AliImran : 31, Al-Ahzab: 21).

e. Iman Kepada Hari Akhir

Hari akhir adalah kehidupan kekal dan abadi setelah kehidupan dunia
yang fana ini. Alquran menyebut hari akhir dengan berbagai sebutan; yaumul
qiyamah, berakhirnya seluruh kehidupan; Yaumul Ba’ats, kebangkitan
seluruh umat manusia dari alam kubur; Yaumul Hasyr, hari dikumpulkannya
umat manusia dipadang Mahsyar; Yaumul Hisab atau Yaumul Mizan, hari
perhitungan seluruh amal manusia selama hidup didunia; Yaumud din, hari
pembalasan bagi seluruh amal manusia dengan syurga dan neraka dan masih
banyak lagi sebutan untuk hari akhir ini.

Proses kehancuran dunia dan digantikan dengan alam akherat tentu saja
melalui masa transisi, yakni alam kubur. Alam kubur dikenal juga dengan
sebutan alam barzakh. Di alam inilah manusia akan menyaksikan kebenaran
adanya malaikat Munkar dan Nakir yang bertugas menanyai manusia. Di
alam ini juga manusia akan melihat bagaimana Allah kuasa untuk
membangkitkan kembali tubuh yang telah mati dan hancur sekalipun.
Kenikmatan dan kesengsaraan di alam kubur akan menjadi kenyataan (Q.S.
Ibrahim: 27, Al-Mukmin : 45-46).

Lalu kapan kiamat itu akan terjadi? Alquran menegaskan tak ada seorang
pun yang mengetahuinya, termasuk para nabi dan rasul, kecuali Allah semata
(Q.S. Al-A’raf: 187). Allah hanya memberikan tanda-tanda kiamat, baik kecil
maupun besar.

Ketika kiamat datang maka terjadilah kebinasaan total, kemudian dengan


tiupan kedua terompet Malaikat Israfil terjadilah kebangkitan (Q.S. AzZumar:
68). Setelah itu manusia dikumpulkan di Mahsyar untuk dihisab amalnya
melalui perhitungan dan penimbangan yang akan menentukan nasib manusia
di akhirat (Q.S. Al-Insyiqaq: 7-12), (Q.S. Al-Haaqah: 19-26). Di sini mereka
akan menemukan pembalasan yang setimpal atas perbuatannya sendiri (Q.S.
Al-Qoriah: 6-9) (Q.S. Al-Bayyinah: 6-8).

Beriman kepada hari akhir merupakan keimanan yang pokok, setelah


beriman kepada Allah Swt. (Q.S. Al-Baqarah: 62 dan 177). Sebab bila Allah
adalah tempat asal muasal segala makhluk, maka harus ada suatu masa tempat
perjumpaan dan kembali semua makhluk itu kepada asalnya. Dengan
demikian hari akhir merupakan bukti bagi kenyataan bahwa Allah adalah
Tuhan Yang Awal dan Yang Akhir. Hari akhir merupakan konsekuensi logis
dari perintah moral yang dibebankan kepada manusia di dunia, agar mereka
melihat bagaimana hasil pekerjaan mereka.

f. Iman Kepada Qadha dan Qadar Allah

Iman kepada qhada dan qadar Allah berarti meyakini akah kehendak,
ketetapan dan ketentuan Allah terhadap segala sesuatu. Allah Swt. berkuasa
untuk menentukan ukuran, susunan, aturan, undang-undang terhadap segala
sesuatu, termasuk hukum kausalitas yang berlaku bagi segala yang ada baik yang
hidup maupun yang mati (Q.S. Al-Ra’du :8) (Q.S. Al-Hijr : 21) (Q.S. Al-
Qamar : 49) (Q.S. Al-Hasyr : 3) Iman kepada qhada dan qadar meliputi empat
hal:

1) Al-Ilmu; Keyakinan bahwa Allah Swt. Maha Mengatahui atas segala


sesuatu. Dia mengetahui segala hal yang telah, sedang dan akan terjadi. Tak
ada sesuatupun yang luput dari ilmu-Nya (Q.S. Al-Hajj: 70) (Q.S. Al-Hasyr:
22) (Q.S. Al-An’am: 59).

2) Al-Kitabah; keyakinan bahwa Allah Swt. Telah menuliskan segala sesuatu di


Lauh Mahfudz tentang apa saja yang terjadi di masa lalu, sekarang dan akan
datang (Q.S. Al-Hajj : 70) (Q.S. Al-Hadid : 22).

3) Al-Masyi’ah; keyakinan bahwa Allah Swt. Memiliki kehendak penuh atas


segala sesuatu yang ada di alam semsta. Kehendak-Nya bersifat mutlak (Q.S.
Al-Insaan : 30) (Q.S. At-Takwir : 28-29).

4) Al-Khalq; Keyakinan bahwa Allah Swt. Telah menciptakan segala sesuatu.


Di luar Allah Yang Maha Pencipta adalah makhluk (Q.S. Az- Zumar: 62)
(Q.S. Al-Furqan: 2) (Q.S. Ash-Shaffat: 96).

2. KUIS
1. Secara etimologis, aqidah berarti berakar dari kata ‘aqada-ya’qidu- ‘aqidatan.
Aqdan berarti simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi
‘aqidah berarti keyakinan. Relevansi antara arti kata '‘aqdan dan '‘aqidah
berarti keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat
dan mengandung perjanjian. a. True
b. False
Jawaban = True
2. Hassan al-Banna pernah membuat sistematika ruang lingkup pembahasan
aqidah, yaitu Illahiyat, Nubuwat, Ruhaniyat, Aqidah

a. True

b. False

Jawaban = False
3. Iman kepada qada dan qadar meliputi 4 hal yaitu antara lain, al- ilmu,
alkitabah, Al-Masyi’ah dan Al – Khalq a. True
b. False
Jawaban = True
4. Hari akhir adalah kehidupan kekal dan abadi setelah kehidupan dunia yang
fana ini. Alquran menyebut hari akhir dengan berbagai sebutan; yaumul
qiyamah, berakhirnya seluruh kehidupan; Yaumul Ba’ats, kebangkitan seluruh
umat manusia dari alam kubur; Yaumul Hasyr, hari dikumpulkannya umat
manusia dipadang Mahsyar; Yaumud din atau, hari perhitungan seluruh amal
manusia selama hidup didunia; Yaumul Mizan Yaumud din, a. True
b. False
Jawaban = False

5. aqidah bisa juga mengikuti sistematika arkanul iman yaitu : iman kepada
Allah Swt., iman kepada malaikat, iman kepada kitab-kitab Allah, iman
kepada nabi dan rasul Allah, iman kepada hari akhir dan iman kepada qadha
dan qadar Allah.

a. True
b. False
Jawaban = False

PERTEMUAN KE 6

1. PENGANTAR PERTEMUAN
Assalamualaikum wr wb
Alhamdulillahirobil alamin. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT,
sehingga kita dapat bertemu lagi pada perkulihan kali ini.
Saudara mahasiswa yang saya banggakan, saat ini kita sudah menginjak pada
pertemuan sesienam. Semoga kita senantiasa dalam kondisi sehat, sehingga mampu
menuntaskan pertemuan sesi ke enam. Setelah mengikuti pembelajaran ini mahasiswa
diharapkan dapat memahami materi mengenai konsepsi tauhid berikut dibawah ini
materi saya lampirkan mohon dipelajari dengan benar
2. MATERI BAB
III AQIDAH
B. Konsepsi
Tauhid 1.
Tauhid sebagai
Poros Aqidah
Islam

Ajaran Islam tidak hanya memfokuskan iman kepada wujud Allah sebagai suatu
keharusan fitrah manusia, namun lebih dari itu memfokuskan aqidah tauhid yang
merupakan dasar aqidah dan jiwa keberadaan Islam. Islam datang di saat
kemusyrikan sedang merajalela di segala penjuru dunia.

Tak ada seorang pun yang menyembah Allah kecuali segelintir manusia dari
golongan hunafa’ (pengikut nabi Ibrahim a.s.) dan sisa-sisa penganut ahli kitab
yang selamat dari pengaruh tahayul animisme dan paganisme yang telah menodai
agama Allah. Sebagai contoh bangsa Arab jahiliyah telah tenggelam jauh ke
dalam paganisme, sehingga Ka’bah yang semula dibangun untuk menyembah
Allah telah dikelilingi oleh 360 berhala. Dan bahkan setiap rumah penduduk
Makkah ditemukan berhala sesembahan penghuninya.

Imam Bukhari sempat merekam suatu peristiwa yang ditelusurinya lewat

Abu Raja’ Al-Atharidy :

“Kami pernah menyembah batu, bila kami menemukan batu yang lebih baik
daripadanya, kami buang batu itu dan mengambil batu yang lain. Bila kami tidak
menemukan batu maka kami menumpukan debu kemudian mengambil seekor kambing
untuk diperas susunya di atas (tumpukan debu itu) kemudian kami thawaf
mengelilinginya”.
Oleh karena itu Alquran mencela paganisme maupun politheisme yang
merupakan simbol dari segmentasi masyarakat. Bahkan secara keseluruhan
risalahrisalah yang diturunkan Allah Swt. pada para nabi dan rasul pada dasarnya
memiliki kesatuan hidayah atau misi, the unity of guidance, yakni menyeru umat
manusia agar mengesakan Allah. Karenanya tauhid merupakan tugas utama para nabi
dan rasul untuk menegakkan dan menjunjung tinggi paham monotheisme. Hal ini
sudah tercermin dalam beberapa ayat yang merekam inti tugas para nabi tersebut.
Berikut adalah gambaran inti dakwah para nabidan rasul :

a. Inti Dakwah Nabi Nuh a.s. :

“Dan sesungguhnya kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata) :
“Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar
kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku khawatir kamu akan
ditimpa azab yang sangat menyedihkan. (Q.S. Hud: 25-26).

b. Inti Dakwah Nabi Hud a.s:

“Dan (kami telah mengutus) kepada kaum ‘Ad saudara mereka Hud. Ia berkata:
“hai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain- Nya.
Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” (Q.S. Al-A’raf: 65).

c. Inti Dakwah Nabi Yusuf a.s:

“kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah)

nama-nama kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah


tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu
hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui”. (Q.S. Yusuf : 40)

d. Inti Dakwah Nabi Shaleh a.s:

“Dan (kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Shaleh. Ia
berkata : “hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu
selain-nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari
Tuhanmu. Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia
makan dibumi dan janganlah kamu menganggunya dengan gangguan apapun,
(yang karenanya) kamu ditimpa siksaan yang pedih. Q.S. Al-A’raf : 73).

e. Inti Dakwah Nabi Syu’aib a.s:

“Dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka Syu’aib.
Ia berkata: hai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan selain- nya.
Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti nyata dari Tuhanmu. Maka
sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan janganlah kamu kurangkan bagi
manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhanmu memperbaikinya. Yang
demikian itu lebih baik bagi kamu jika kamu betul-betul orang yang beriman”.
Q.S. Al-A’raf: 85).

f. Inti Dakwah Nabi Ibrahim a.s:

“Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya: “Sembahlah


olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya. Yang demikian itu adalah lebih baik
bagimu, jika kamu mengetahui” (Q.S. Al-Ankabut: 16).

g. Inti Dakwah Nabi Isa a.s:

Sesungguhnya telah kafir orang yang mengatakan: “Sesungguhnya Allah ialah


Al-Masih putera Maryam”, padahal Al-Masih sendiri berkata: “hai Bani Israil,
sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya prang yang
mempersekutukan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya syurga,
dan tempatnya ialah neraka tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang
penolong pun. (Q.S. Al-Maidah: 72)

h. Inti dakwah nabi Muhammad saw :


Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”.
(Q.S. Ali Imran: 64).
Dari kedelapan ayat diatas semuanya mengarah pada penegakan poros tauhid
sebagai acuan utama kehidupan. Allah menciptakan manusia agar mereka
menyembah-Nya semata (Q.S. Adz-Dzariyat: 56) dan menghindarkan diri dari thagut
(Q.S. An-Nahl: 36). Hanya Allah yang patut disembah dan jangan sampai kita
menyekutukan Allah dengan sesuatu (Q.S. An-Nisa’: 36), karena menyekutukan
Allah adalah sesuatu yang diharamkan bagi manusia (Q.S. Al-An’am:151). Inilah
tauhid, merupakan perintah Allah yang tertinggi dan terpenting dibuktikan oleh
kenyataan adanya janji Allah untuk mengampuni dosa kecuali pelanggaran terhadap
tauhid, karena pelanggaran ini merupakan dosa besar (Q.S. an-Nisa’: 48). Oleh
karena itu tauhid menjadi pranata yang tertinggi dan menjadi penyebab kebaikan dan
pahala terbesar (Q.S. Al-An’am: 82).

2. Makna Kalimat Syahadat ,

Secara tradisional dan dalam ungkapan yang sederhana, tauhid adalah keyakinan dan
kesaksian bahwa “Tidak ada Tuhan selain Allah “, la ilaha illa Allah. Kalimat ini
merupakan lambang tauhid. Kalimah ini biasa disebut kalimah tauhid. Kalimat yang
agung ini terdiri dari dua makna yakni :

a. la ilah atau makna nafi (negasi) yang berarti peniadaan semua ketuhanan lain selain
Allah.

b. illa Allah atau makna itsbat (afirmasi) yang berarti pernyataan bahwa ketuhanan itu
semata-mata hanya untuk Allah. Dia-lah satu-satunya Tuhan yang sebenarnya
sedangkan Tuhan-tuhan lain yang disembah manusia adalah Tuhan-tuhan palsu dan
batil, yang diciptakan oleh kejahilan dan takhayul.

Kalimat ini dimulai dengan pengingkaran la ilaha (tiada Tuhan) dan disusul oleh illa
Allah (kecuali Allah). Pencari kebenaran akan menemui kebenaran itu apabila ia
berusaha menyingkirkan terlebih dahulu segala macam ide, teori dan data yang tidak
benar dari benaknya, persis seperti yang dilakukan oleh pengucap syahadah tersebut.

Kalimah tauhid disebut juga kalimah thayyibah atau kalimah ikhlas. Kalimah la ilah
illa Allah ini mencakup pengertian komprehensif sebagai berikut :

a. La Khaliqa illa Allah (tiada pencipta selain Allah).


b. La Raziqa illa Allah (tiada pemberi rizki selain Allah).

c. La Khafidza illa Allah (tiada pemelihara selain Allah).

d. La Mudabbira illa Allah (tiada pengatur selain Allah).

e. La Malika illa Allah (tiada penguasa selain Allah).

f. La Waliya illa Allah (tiada pemimpin kecuali Allah).

g. La Hakima illah Allah (tiada Hakim selain Allah)

h. La Ghayata illa Allah (tiada yang maha menjadi tujuan selain Allah).

i. La Ma’buda illa Allah (tiada yang maha disembah selain Allah)

Tauhid menjadi landasan dasar dan inti ajaran Islam, yang membedakan manusia
menjadi muslim atau kafir, musrik atau dahriyyin (orang yang tidak percaya adanya
Tuhan). Tetapi perbedaan antara yang percaya dan yang tidak percaya bukan hanya
terletak pada kalimah syahadah. Kekuatan sesungguhnya terletak pada penerimaan
secara sadar dan mutlak terhadap ajaran Islam dan penerapannya di dalam kehidupan
nyata. Tanpa itu manusia tidak akan dapat menyadari pentingnya ajaran Islam. Jika
manusia mengerti makna tauhid, maka akan membuat manusia dapat menghindari setiap
bentuk keingkaran, atheisme dan polytheisme.

Maka tauhid adalah merupakan pengetahuan, kesaksian, keyakinan dan keimanan


manusia terhadap ke-esaan Tuhan dengan segala sifat kesempurnaan dan ke-Esaan,
diikuti dengan keyakinan bahwa ia tidak berpasangan, sempurna tiada tara, penyandang
atribut ke-Tuhanan dan kekuasaan mutlak atas seluruh makhluk.

3. Tingkatan Tauhid

Tauhid menurut Islam ialah tauhid I’tiqad-‘ilmi (keyakinan teoritis) dan tauhid amali-
suluki (tingkah laku praktis). Dengan kata lain ketauhidan antara yang teoritis dan
praktis tak dapat dipisahkan satu dari yang lain; yakni tauhid dan bentuk makrifat
(pengetahuan). Itsbat (pernyataan), I’tiqad (keyakinan), qasd (tujuan) dan iradah
(kehendak). Dan ini semua tercermin dalam empat tingkatan atau tahapan tauhid.
a. Tauhid Rububiyah

Secara etimologis kata rububiyah berasal dari akar kata rabb. Kata rabb ini
sebenarnya mempunyai banyak arti antara lain menumbuhkan, mengembangkan,
mencipta, memelihara, memperbaiki, mengelola, memiliki dna lain-lain. Maka
secara terminologis Tauhid Rububiyah ialah keyakinan bahwa Allah Swt. adalah
Tuhan pencipta semua makhluk dan alam semesta. Dialah yang memelihara
makhluk-Nya dan memberikan serta mengendalikan segala urusan. Dialah yang
memberikan manfaat dan mafsadat, penganugerah kemuliaan dan kehinaan. Tauhid
Rububiyah ini tergambar dalam ayat-ayat Alquran antara lain:

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang- orang
sebelum kamu, agar kamu bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai
hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari
langit lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah- buahan sebagai rezeki
untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah
padahal kamu mengetahui” (Q.S. Al-Baqarah:21- 22).

“katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb manusia” (Q.S. an-Naas : 1).

b. Tauhid Mulkiyah

Kata mulkiyah berasal dari akar kata malaka. Isim failnya dapat dibaca dengan dua
macam cara 1) Malik dengan huruf mim dibaca panjang; berarti yang memiliki. 2)
Malik dengan huruf mim dibaca pendek; yang menguasai. Syekh Ahmad Mustafa
Al-Maraghi dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa kata malik dengan huruf
mim panjang berati yang memiliki adalah lebih sempit maknanya dari pada kata
malik dengan huruf mim pendek, berarti yang menguasai. Karena memiliki belum
tentu mengasai, sedangkan menguasai sudah barang tentu juga memiliki.

Maka secara terminologis Tauhid Mulkiyah adalah suatu keyakinan bahwa Allah
Swt. adalah satu-satunya Tuahn yang memliki dan menguasai seluruh makhluk dan
alam semesta. Oleh karena itu Allah disebut sebagai Raja alam semesta. Ia berhak
dan bebas melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya terhadap alam semesta
tersebut. Keyakinan Tauhid Mulkiyah terekam dalam ayat-ayat Alquran seperti
berikut ini :

“Yang menguasai hari pembalasan” (Q.S. Al-Fatihah: 4).

“Tidaklah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah


kepunyaan Allah? Dan bagimu selain Allah seorang pelindung maupun
seorang penolong” (Q.S. Al-Baqarah: 107).

“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di
dalamnya, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Q.S. Al-Maidah: 120).

Dan apabila manusia meyakini bahwa Allah sebagai pemilik dan Penguasa alam
semesta ini maka konsekuensinya ia harus menjadikan Allah sebagai Pemimpin
yang memiliki wewenang untuk menentukan sesuatu. Firman Allah :

“Allah Pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari


kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir
pemimpinya adalah taghut yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada
kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”
(Q.S. Al-Baqarah : 257).

At-Taghut dalam ayat di atas adalah segala sesuatu yang dipertuhan selain Allah
Swt. dan dia suka diperlakukan sebagai Tuhan tersebut. Sayyid Quthub dalam tafsir
Fi Dzilal Alquran menerangkan bahwa yang dimaksud dengan atTaghut adalah
segala sesuatu yang menentang kebenaran dan melanggar batas yang telah
digariskan oleh Allah Swt. untuk hamba-Nya. At-Taghut itu bisa berbentuk
pandangan hidup, peradaban dan lain-lain yang tidak berlandaskan ajaran Allah.

c. Tauhid Uluhiyah

Kata uluhiyah adalah mashdar dari kata alaha yang mempunyai arti tentram,
tenang, lindungan, cinta dan sembah. Namun makna yang paling mendasar adalah
‘abada, yang hamba sahaya (‘abdun), patuh dan tunduk (‘ibadah), yang mulia dan
agung (al-ma’bad), selalu mengikutinya (‘abada bih). Jadi seseorang yang
menghambankan diri kepada Allah maka ia harus mengikuti, mengagungkan,
memuliakan, mematuhi dan tunduk kepada- Nya serta bersedia untuk
mengorbankan kemerdekaannya. Dengan demikian Tauhid Uluhiyah merupakan
keyakinan bahwa Allah Swt. Adalah satu-satunya Tuhan yang patut dijadikan ilah
yang harus dipatuhi, ditaati, diagungkan dan dimuliakan. Hal ini tersurat dalam
ayat-ayat berikut ini :

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah
Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku” (Q.S. at- Thaha: 14).

“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan
mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi dosa orang-orang mukmin, laki-laki
dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat
tinggalmu” (Q.S. Muhammad: 19)

d. Tauhid Ubudiyah

Kata ubudiyah berasal dari akar kata ‘abada yang berarti menyembah, mengabdi,
menjadi hamba sahaya, taat, patuh, memuja, yang diagungkan (alma’bud). Dari
akar kata di atas maka diketahui bahwa Tauhid ubudiyah adalah suatu keyakinan
bahwasannya Allah Swt. merupakan Tuhan yang patut disembah, ditaati, dipatuhi,
dipuja manusia melainkan Allah semata. Dia adalah tempat semua makhluk
menghambakan diri dan beribadah kepada-Nya. Tauhid Ubudiyah ini tercermin
dalam ayat-ayat di bawah ini :

hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkau (pula)
kami mohon pertolongan” (Q.S. Al-Fatihah : 5).

“dan sesungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): “Sembahlah Allah dan jauhilah taghut itu, maka di antara umat
itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antara
orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di
muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang
mendustakan (Rasul-rasul)” (Q.S. an-Nahl : 36).

Kemudian untuk memahami keterkaitan keempat tingkatan tauhid di atas, maka


berlaku dua teori atau dalil : 1) Dalil at-Talazum; kemestian. Artinya bahwa seseorang
yang meyakini Tauhid Rububiyah semestinya ia meyakini Tauhid Mulkiyah, dan
meyakini Tauhid Mulkiyah sudah semestinya meyakini Tauhid Uluhiyah, dan
meyakini Tauhid Uluhiyah juga semestinya meyakini Tauhid Ubudiyah. Dengan kata
lain Tauhid Ubudiyah adalah konsekuensi dari Tauhid Uluhiyah, Tauhid Uluhiyah
adalah konsekuensi dari Tauhid Mulkiyah, dan Tauhid Mulkiyah adalah konsekuensi
dari Tauhid Rububiyah. 2) Dalil at-Tadhamun; ketercakupan. Maksudnya setiap orang
yang sudah sampai ke tingkat Tauhid Ubudiyah tentunya sudah melalui tiga tingkatan
sebelumnya. Mengapa ia beribadah kepada Allah semata? Karena Dia adalah ilah yang
patut diagungkan. Mengapa Dia adalah ilah yang patut diagungkan? Sebab Dia adalah
pemilik dan penguasa alam semesta yang harus ditaati dan dijadikan pimpinan? Tiada
lain karena Dia adalah Tuhan yang menciptakan dan memelihara alam semesta beserta
segala isinya.

Apabila kita menyimak ayat-ayat Alquran yang berhubungan dengan tauhid


selalu bergandengan dengan syirik yang merupakan kontradiksi dari tauhid. Hal ini
menandakan bahwa Alquran sendiri langsung turun tangan untuk membimbing umat
manusia agar menjauhi syirik ini sejauh-jauhnya. Jika daikatakan bahwa tauhid adalah
sumbu dalam menggapai ridha Allah, maka syirik merupakan pemicu keengganan
Allah meridhai hambanya. Hal lain yang dapat dipetik dari permasalahan tersebut
adalah bahwa jika kita membicarakan masalah tauhid maka kita secara reflek harus
menjauhkan dari sikap syirik ini. Itulah makanya gandengan itu menjadi sangat
penting dimunculkan.

4. Tauhid dan Pembebasan Diri

Huston Smith pernah menyinggung permasalahan bahwa keengganan manusia untuk


menerima kebenaran ialah antara lain karena sikap menutup diri yang timbul dari
refleks agnostik atau keengganan untuk tahu tentang kebenaran yang diperkirakan
justeru akan lebih tinggi nilainya daripada apa yang sudah ada pada kita. Padahal kalau
saja kita membuka diri untuk kebenaran itu maka mungkin kita akan memperoleh
kebaikan dan energi yang kita perlukan. Halangan kita menerima kebenaran ialah
keangkuhan kita sendiri dan belenggu yang kita ciptakan untuk diri kita sendiri.

Belenggu itu ialah apa yang kita kenal dengan sebutan “hawa nafsu” yang berarti
‘keinginan diri sendiri’. Inilah sumber pribadi untuk penolakan kebenaran,
kesombongan dan kecongkakan. Kita menghadapi hal-hal dari luar yang kita rasakan
tidak sejalan dengan kemauan atau pandangan kita sendiri, betapapun benarnya hal dari
luar itu. Hawa nafsu juga menjadi sumber pandangan-pandangan subyektif dan biased,
yang juga menghalangi kita dari kemungkinan melihat kebenaran. Gambaran ini
terlihat jelas pada redaksi ayat Alquran : “Pernahkah engkau (Muhammad) saksikan
orang yang menjadikan keinginan (hawa nafsu) nya sendiri sebagai Tuhannya,
kemudian Allah membuat mereka sesat secara sadar, lalu Dia tutup pendengaran dan
hatinya, dan dikenakan oleh-Nya penutup pada pandangannya?! Maka siapa yang
sanggup memberi petunjuk selain Allah? Apakah kamu tidak merenungkan hal itu?
(Q.S. Al- Jatsiyah: 23).

Seorang disebut menuhankan dirinya sendiri jika dia memutlakkan diri dan pandangan
atau pikirannya sendiri. Biasanya orang seperti itu mudah terseret kepada sikap-sikap
tertutup dan fanatik, yang amat cepat bereaksi negatif kepada sesuatu yang datang dari
luar, tanpa sempat bertanya atau mempertanyakan kemungkinan segi kebenarannya
dalam apa yang datang dari luar itu. Inilah salah satu bentuk kungkungan atau
perbudakan oleh tiranivested interest. Gambaran tentang ini dari masa lalu dapatkan
dalam firman Allah:

“..............Apakah setiap kali datang kepadamu sekalian seorang rasul (pembawa


kebenaran) dengan sesuatu yang tidak disukai oleh dirimu sendiri, kamu menjadi
congkak, sehingga sebagian (dari para rasul itu) kamu dustakan, dan sebagian lagi
kamu bunuh?! Mereka (yang menolak kebenaran) itu bertanya, “hati kami telah
tertutup (dengan ilmu)! Sebaliknya, Allah telah mengutuk mereka karena penolakan
mereka (terhadap kebenaran), maka sedikit saja mereka percaya” (Q.S. Al-Baqarah :
87).

Meskipun ayat suci itu menggambarkan kelakuan kalangan tertentu dari Bani Israil
(bangsa Yahudi), namun “the moral behind the story” jelas berlaku untuk semua
golongan. Pelajaran moral itu berada disekitar bahaya penolakan kebenaran (kufr)
karena kecongkakan (istikbar) dan sikap tertutup karena merasa telah penuh berilmu
(ghulf). Hanya dengan melawan itu semua melalui proses pembebasan diri (self
liberation) seseorang akan mampu menangkap kebenaran itu seseorang akan dapat
berproses untuk pembebasan dirinya. Inilah sesungguhnya salah satu makna esensial
kalimat syahadat yang bersusunan negasi-konfirmasi “la ilah illa Allah” itu dipandang
dari sudut efeknya kepada peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan pribadi
seseorang.

Pembebasan pribadi yang diperolehnya yang membuat seorang manusia merdeka


sejati, akan menghilangkan dari dirinya sendiri setiap halangan untuk melihat yang
benar adalah benar dan yang salah sebagai salah. Bentuk-bentuk subyektifisme, baik
yang positif ataupun negatif, yaitu perasaan senang ataupun benci kepada kepada
sesuatu atau seseorang, tidak akan menjadikan pandangannya kabur dan kehilangan
wawasan tentang apa yang sungguh-sungguh benar atau salah, dan yang baik atau
buruk. Orang yang serupa itu mampu mengalahkan kekuatan tiranik (taghut), terutama
kecenderungan tiranik diri sendiri pada saat ia menjadi sombong karena merasa tidak
perlu kepada orang lain (Q.S. Al-Alaq: 7). Orang yang terbebas itu juga selalu sanggup
kembali kepada yang benar, tanpa terlalu peduli dari mana datangnya kebenaran itu.
Maka ia termasuk yang mendapatkan “kabar gembira” (kebahagiaan) dan dinamakan
“Ulul Albab”, ‘mereka yang berakal pikiran’ atau kaum terpelajar

Konsep keesaan Tuhan atau tauhid di dalam Islam mempunyai kedudukan tersendiri
yang sangat penting. Ia mempunyai implikasi yang sangat luas terhadap konsep dan
ajaran Islam yang lain. Untuk dapat memahami hak ini, kita harus memahami
kedudukan Tuhan dalam Agama Islam, berdasarkan pada keterangan dari kitab
Alquran.
Paling tidak terdapat tiga pokok pikiran yang mendasar, sebagai landasan pijak dalam
memahami sentralisasi posisi Tuhan dalam ajaran Alquran. Pertama bahwa segala
sesuatu selain Tuhan, termasuk keseluruhan alam semesta dengan segala aspek
metafisis dan moral adalah tergantung kepada Tuhan. Tuhan adalah pangkal yang
sekaligus ujung dari keberadaan alam raya ini. Yang mencipta alam ini dengan firman-
Nya : “jadilah” (Q.S. 2: 117; 3: 47, 59; 6: 73; 16: 40; 19: 35; 36: 82; 40: 68). Dalam
menciptakan alam, Tuhan sudah menetapkan ukuran, qadar, dari masing-masing
ciptaannya. Yang dengan itu alam berjalan mengikuti aturan main tertentu yang sangat
rapi. Sehingga seringkali Alquran mengatakan bahwa alam semesta itu bersifat tunduk,
muslim kepada Tuhan (Q.S. 7: 206; 13: 15; 18: 55; 15: 16; 21:19; 49: 22; 57: 1; 59: 1;
61: 1). Keterangan alam yang seakan cacat itu juga tergantung kepada daya dan
kekuasaan Tuhan, tanpa pemeliharaan dari Tuhan alam semesta itu akan hancur
berantakan (13: 22; 34: 9; 50: 6; 51: 47, dan lain-lain).

Kedua, bahwa Tuhan Yang maha Kuasa dan Maha Pencipta tadi adalah Tuhan Yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ia memelihara alam ciptaannya dengan belas
kasihnya, sebab alam ini diciptakan dengan tujuan yang tertentu dan bukan sekedar
iseng atau main-main (Q.S. 3: 191; 38: 27), sebab : “Kami tidak menciptakan langit
dan bumi serta segala sesuatu yang ada diantaranya sebagai permainan; jika kami
menginginkan permainan maka kami dapat melakukannya sendiri (tanpa melalui
penciptaan kami) jika kami menghendaki” (Q.S. 21: 16-17).

Ketiga, bahwa aspek-aspek tersebut tentu saja mensyaratkan hubungan yang tepat
diantara Tuhan dan manusia, hubungan antara yang diper-Tuhan dengan hamba-Nya
dan sebagai konsekuensinya juga memerlukan hubungan yang tepat antara manusia
dengan sesamanya. Karena Tuhan yang menciptakan alam semesta sekaligus tempat
kembali, sedangkan alam semesta ini tunduk mutlak kepada Tuhan dan hanya manusia
yang mampu melawan hukum Tuhan -hukum alam bagi manusia bersifat imperatif-
maka manusia juga harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di hadapan
Tuhan.

”Apakah kalian berpikir bahwa kalian kami ciptakan dengan sia-sia dan bahwa kalian
tidak akan dikembalikan kepada kami? Maha Tinggi Allah” (Q.S. 25: 115).
“Apakah manusia mengira bahwa ia dibiarkan begitu saja (dengan sekehendak
hatinya)” (Q.S. 75 : 36).

Konsep tentang keesaan Tuhan ini, selanjutnya menurunkan konsep tentang kesatuan
ummat manusia sebagai sebuah komunitas yang tunggal. Berulang kali Alquran
menyebutkan bahwa manusia seluruhnya adalah berasal dari satu keturunan, yang tentu
saja mengisyaratkan bahwa seantero umat manusia sebenarnya adalah saudara. Umat
manusia itu pada hakekatnya adalah satu (Q.S. 2: 213), meskipun secara lahiriah
kondisi manusia sangat beragam. Perbedaan yang terdapat bukan saja antar individu,
melainkan juga antar suku, ras dan antar bangsa-bangsa. Namun segala macam
perbedaan tersebut bukanlah menjadi halangan bagi kesatuan umat manusia, justru,
menurut Alquran sendiri, merupakan salah satu tanda kekuasaan Tuhan yang harus
dijadikan sebagai jalan menuju persatuan (Q.S. 30: 22). Sebab, bagaimanapun juga
perbedaan yang ada hanyalah faktor luas, yang perkembangannya lebih banyak
disebabkan karena lingkungan yang ditempati.

Kesatuan dan persaudaraan ini kemudian mensyratkan adanya kesatuan hukum moral.
Karena manusia itu secara keseluruhan adalah satu, dan punya kedudukan primordial
yang sejajar di hadapan Tuhan maka ukuran-ukuran moral yang diberlakukan di
kalangan umat manusia, seharusnya adalah sama. Itulah sebabnya mengapa Islam
sangat menekankan kesamaan derajad antar umat manusia. Tidak ada orang yang
mempunyai derajad lebih tinggi dibanding yang lain di sisi Allah karena tingkat
ketaqwaannya. Kelebihan-kelebihan berupa wajah, harta, keturunan, kekuasaan dan
lain sebagainya tidak menjadikan hakekat kemanusiaan seseorang menjadi lebih baik.

Demikianlah, karena kedudukan Tuhan dalam Agama Islam adalah sentral, maka
doktrin tentang ke-Esaan Tuhan menjadi makna yang sangat mendasar.
Keseluruhan bangunan ajaran Islam menjadi ‘Tuhan sentris’, sebab tuhanlah yang
menjadi tempat asal segala sesuatu dan tempat kembalinya.

Konsekuensi logis dari ajaran Islam tersebut adalah segala bentuk penyimpangan
terhadap prinsip dasar ini adalah sebuah kesalahan yang mendasar.
Islam menyebut penyimpangan terhadap prinsip keesaaan keesaan Tuhan itu sebagai
syirik, yaitu menduakan terhadap Tuhan. Syirik bisa berbentuk tindakan langsung,
yaitu dengan mengakui adanya sesuatu yang mempunyai kedudukan, kekuasaan
ataupun peran sejajar dengan Tuhan. Namun bisa juga dalam wujud tindakan yang
tidak langsung, berupa segala macam penyimpangan terhadap aturan-aturan,
prinsiprinsip dan tatanan nilai yang merupakan rumus turunan konsep dasar tentang
keesaan
Tuhan. Dan Alquran menyatakan bahwa syirik adalah ‘unvorgiven sin’ (dosa yang tak
termaafkan).

5. Bentuk – Bentuk Syirik Kepada Allah dalam Alquran

Kalau dikaji ayat-ayat Alquran maka perbuatan syirik merupakan kontradiksi dari
ajaran tauhid (ke-Esaan Tuhan). Dalam Alquran kata syirik digunakan dalam arti
persekutuan Tuhan lain dari Allah, baik dalam dzat- Nya, sifat-Nya dan af’al-Nya,
maupun seluruh aspek kehidupan dan aktifitas yang dirujukkan selain daripada-Nya.
Alquran menerangkan bahwa syirik merupakan perbuatan dosa besar yang paling berat
sebagaimana dijelaskan dalam Alquran berikut ini :

Dan ingatlah tatkala Luqman berkata kepada putranya, dikala dia mengajarinya: Hai
anakku! janganlah mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah
adalah sebesar-besar aniaya”. (Q.S. Luqman : 13).

Dalam surat Luqman ayat 13 tersebut diterangkan bahwa dia telah diberi kemuliaan
oleh Tuhan berupa hikmah sehingga ia terlepas dari bahwa kesesatan. Bahwa ini
hikmah yang diberikan kepadanya disampaikan kepada anaknya sebagai pedoman
utama dalam kehidupan yaitu: ajaran tauhid (meng-Esakan Allah karena tidak ada
Tuhan selain Allah), karena selain Allah yang ada dalam alam ini semua ciptaan, dan
dalam penciptaan tersebut Tuhan tidak bekerjasama dengan apapun juga.

Diakhir ayat 13 Allah menerangkan, “sesungguhnya mempersekutukan itu adalah


aniaya yang sangat besar”. Memang aniaya yang sangat besar atas diri manusia, sebab
Tuhan mengajak manusia agar membebaskan dirinya dari segala sesuatu selain Allah.
Jiwa manusia adalah mulia. Manusia dijadikan Allah sebagai khalifah-Nya di muka
bumi, sebab itu hubungan manusia dengan Allah hendaklah langsung. Apabila jiwa
yang dipenuhi tauhid adalah jiwa merdeka. Apabila manusia mempertuhankan selain
Allah, maka manusia sendirilah yang menjadikan jiwanya sebagai budak. Di dalam
surat as-Sajadah: 9. Allah menerangkan bahwa roh/jiwa adalah Tuhan sendiri yang
punya, mengapa roh begitu mulia dapat ditundukan oleh selain Allah. Firman Allah:

“Kemudian Dia (Allah) menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuhnya) roh


(ciptaan-Nya) dan Dia menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi
sedikit sekali dari kamu yang bersyukur” (Q.S. as-Sajadah: 9).

Juga lihat firman Allah:

“Sesungguhnya Allah tidak memberi ampun bagi orang yang mempersekutukan-Nya.


Dan Dia akan memberi ampun selain yang demikian bagi siapa yang dikehendakiNya.
Dan barang siapa yang mempersekutukan Allah, sesungguhnya dia telah berbuat
dusta dan dosa yang besar” (Q.S. an-Nisa’ : 48).

Dosa-dosa yang bukan syirik dalam pernyataan Allah tersebut masih bisa diampuni
bagi yang dikehendaki-Nya. Biasanya seseorang mengerjakan dosa besar, karena syirik
telah bersarang dalam jiwanya. Nabi Muhammad saw. pernah mengisyaratakan dalam
sabdanya: “Tidaklah mencuri seorang pencuri, melainkan karena musyrik. Tidaklah
berzina seorang penzina, melainkan karena dia syirik”. Kenapa pencuri mencuri
penzina berzina, karena ingatannya tidak satu lagi kepada Allah, telah diduakannya
keinginannya yang jahat, sehingga hawa nafsunyalah yang memerintah dan larangan
Allah tiada berarti bagi dirinya, karena azab Tuhan tidak lagi berpengaruh lagi bagi
dirinya.

Walaupun demikian kalau benar-benar bertaubat, dosa syirik sekalipun dapat diampuni
oleh Allah, seperti yang terjadi pada para sahabat. Maka ayat ini memberi pengertian
bahwa perbuatan syirik terlebih dahulu harus disingkirkan, sebab apabila dosa syirik
telah hilang dan jiwa raga sepenuhnya tertuju kepada Allah, kebaikan, perintah-
perintah Allah akan terlaksana dan larangan-larangannya akan ditinggalkan dengan
sendirinya.
Apabila tauhid telah dipegang teguh maka terbukalah hati untuk menerima wahyu
Tuhan. Karena tauhid merupakan jalan kelepasan jiwa dari segala ikatan dan bebas
dari pengaruh alam, juga perhambaan secara total kepada Sang Pencipta Rabbul

‘Alamin. Sedangkan syirik merupakan pandangan yang mengakui adanya kekuasaan


selain Tuhan, jiwa budak. Maka setiap masa diutus para rasul untuk meluruskan tauhid
umat manusia agar terbebas dari dosa besar seperti Ibrahim menghadapi Namrudz,
Musa mengahdapi Fir’aun dan sebagainya.

Berbagai macam bentuk syirik yang diungkap oleh Alquran, bentuk penyembahan
berhala adalah yang paling dicela, disebabkan adanya kenyataan bahwa penyembahan
terhadap berhala adalah bentuk syirik yang paling mengerikan dan paling merajalela
pada waktu datangnya Islam. Berhala bukan hanya disembah juga dianggap bisa
mendatangkan kemalangan dan keuntungan. Firman Allah.

“Ingatlah hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik), dan
orangorang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak
menyembah mereka melainkan mereka supaya mendekatkan kami kepada Allah
sedekat-dekatnya”, “sesungguhnya Allah akan memutuskan diantara mereka tentang
apa yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
pendusta dan sangat ingkar”. (Q.S. az-Zumar: 3).

Pada zaman sekarang, sebagian kaum menyembah berhala modern juga


mengemukakan dalih seperti di atas, mereka berkata patung itu hanya digunakan untuk
memusatkan perhatian (konsentrasi). Artinya dengan menghadap patung itu ia dapat
memusatkan pikiran dalam tafakurnya kepada Tuhan. Di samping penyembahan
kepada berhala, Alquran juga melarang memberikan sesaji dengan anggapan bahwa
sesaji itu akan sampai kepada Tuhan, padahal sebenarnya tidak sampai, melainkan
hanya kepada berhala-berhala itu. Firman Allah :

“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang
telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan perkiraan mereka: “ini
untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. Maka sajian yang diperuntukkan
berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah dan sesajen yang disampaikan
kepada Allah, maka sajian itu hanya sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat
buruklah ketetapan mereka”. (Q.S. Al-An’am: 136).

Bentuk syirik yang lain juga diungkapkan dalam Alquran, ialah penyembahan
terhadap benda-benda alam. Firman Allah

“Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah ialah malam, siang, matahari dan
bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan bulan, tetapi bersujudlah kepada
Allah yang menciptakan-Nya, jika kamu hanya kepada- Nya saja menyembah” (Q.S.
Fushilat : 37).

Alquran melarang penyembahan terhadap matahari dan bulan, ini bukan saja berlaku
bagi benda-benda langit, melainkan bagi semua kekuatan alam yang sebenarnya sering
diungkapkan oleh Alquran untuk melayani kembutuhan manusia, sebagai khalifah di
bumi.

Bentuk syirik yang lain dikecam oleh Alquran ialah bahwa Allah mempunyai anak
laki-laki atau perempuan. Kaum Arab Jahiliyah mengaku bahwa Allah mempunyai
anak perempuan, sedang agama Nasrani mengajarkan bahwa Allah mempunyai anak
laki-laki . Seperti firman Allah :

“Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha suci Allah, sedang
untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak laki-laki)”
(Q.S. An-Nahl: 57).

Itulah sebabnya Alquran pada awalnya tidak memperkenalkan Tuhan kepada nabi
Muhammad saw. bukan sebagai Allah., tetapi sebagai Rabbuka. Hal ini untuk
menggaris bawahi wujud Tuhan Yang Maha Esa, yang dapat dibuktikan melalui
ciptaan atau perbuatan-Nya. Lebih jauh lagi, tidak digunakannya kata “Allah” pada
pada wahyu-wahyu pertama itu adalah dalam rangka meluruskan keyakinan kaum
musyrik, karena mereka juga menggunakan kata “Allah” untuk menunjuk kepada
Tuhan, namun keyakinan mereka tentang Allah berbeda dengan keyakinan yang
diajarkan oleh Islam.

Mereka misalnya beranggapan bahwa ada hubungan antara “Allah” dengan jin (Q.S.
Ash-Shafaat: 158), dan bahwa Allah memiliki anak-anak wanita (Q.S. Al-Isra’: 40)
serta manusia tidak mampu berhubungan dan berdialog dengan Allah, karena Dia
demikian tinggi dan suci, sehingga para malaikat dan berhala-berhala perlu disembah
sebagi perantara-perantara mereka dengan Allah (Q.S. Az-Zumar: 3)

3. DISKUSI
Setelah mempelajari materi pada pertemuan kali ini, untuk memperdalam
pemahaman saudara coba saudara jelaskan apa saja yang dapat saudara ambil hikmah
dari dakwah yang telah di sampaikan para nabi dan jelaskan empat tingkatan tauhid.

PERTEMUAN KE 7

1. PENGANTAR PERTEMUAN
Assalamualaikum wr wb
Alhamdulillahirobil alamin. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT,
sehingga kita dapat bertemu lagi pada perkulihan kali ini.
Saudara mahasiswa yang saya banggakan, saat ini kita sudah menginjak pada
pertemuan sesi tuju. Semoga kita senantiasa dalam kondisi sehat, sehingga mampu
menuntaskan pertemuan sesi tuju ini sebelum ujian tengah semester. Setelah
mengikuti pembelajaran ini mahasiswa diharapkan dapat memahami materi mengenai
syaria’ah, ibadah, dan Muammalah berikut dibawah ini materi saya lampirkan mohon
dipelajari dengan benar.

2. MATERI

BAB IV
SYARIA’AH, IBADAH, DAN MUAMMALAH

Anda mungkin juga menyukai