Anda di halaman 1dari 21

Aqidah

1.      Pengertian Aqidah

Secara etimologis, aqidah berarti berakar dari kata ‘aqada – ya’qidu –


‘aqidatan. Aqdan berarti simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi
‘aqidah berarti keyakinan. Relevansi antara arti kata '‘aqdan dan '‘aqidah berarti keyakinan
itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.

Secara terminologis, terdapat beberapa definisi ‘aqidah antara lain :

Menurut Hassan al-Banna dalam kitab Majmu’ al-Rasail :

“Aqa’id (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini
kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa menjadi keyakinan yang tidak
bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan”.

Sedangkan menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy dalam kitab Aqidah al-Mukmin :

Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (aksioma) oleh
manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan di dalam hati serta
diyakini kesalihan dan keberadannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang
bertentangan dengan kebenaran itu.

Dari dua definisi di atas terdapat beberapa hal yang mesti diperhatikan secara seksama
agar mendapat pemahaman yang proporsional.

Pertama, setiap manusia memiliki fitrah mengakui kebenaran, indera untuk mencari
kebenaran, akal untuk menguji kebenaran dan wahyu untuk menjadi pedoman dalam
menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam beraqidah hendaknya manusia
menempatkan fungsi masing-masing instrumen tersebut pada posisi yang sebenarnya.

Kedua, keyakinan yang kokoh itu mengandaikan terbebas dari segala pecampuradukan
dengan keragu-raguan walaupun sedikit. Keyakinan hendaknya bulat dan penuh, tiada
berbaur dengan syak dan kesamaran. Oleh karena itu untuk sampai kepada keyakinan itu
manusia harus memiliki ilmu; yakni sikap menerima suatu kebenaran dengan sepenuh hati
setelah meyakini dalil-dalil kebenarannya.

Ketiga, aqidah tidak boleh tidak harus mampu mendatangkan ketentraman jiwa kepada
orang yang meyakininya. Dengan demikian, hal ini mensyaratkan adanya keselarasan dan
kesejajaran antara keyakinan yang bersifat lahiriyah dan keyakinan yang bersifat
bathiniyah. Sehingga tidak didapatkan padanya suatu pertentangan antara sikap lahiriah
dan bathiniyah.

Keempat, apabila seseorang telah meyakini suatu kebenaran, konsekwensinya ia harus


sanggup membuang jauh-jauh segala hal yang bertentangan dengan kebenaran yang
diyakininya itu.
Dalam bahasa Arab ada beberapa istilah lain yang semakna atau hampir semakna dengan
istilah aqidah, yaitu : iman dan tauhid. Sedang kan yang semakna dengan ilmu aqidah
adalah ushuluddin, ilmu kalam dan fikih akbar.

2.      Ruang Lingkup Aqidah

Hassan al-Banna pernah membuat sistematika ruang lingkup pembahasan aqidah, yaitu :

1)     Ilahiyat: Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan


dengan ilah (Allah), seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, perbuatan-
perbuatan (Af’al) Allah dan lain-lain.

2)     Nubuwat: Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi
dan Rasul, termasuk pembicaraan mengenai Kitab-Kitab Allah, Mukjizat, Keramat dan
sebagainya.

3)     Rukhaniyat: Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan


alam metafisik seperti malaikat, jin iblis, setan, roh dan lain sebagainya.

4)     Sam’iyat: Yaitu pembahasan tentang segal sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat
sam’i, yakni dalil naqli berupa al-Qur’an dan al-Sunnah, seperti alam barzakh, akhirat, azab
kubur, tanda-tanda kiamat, surga, neraka dan seterusnya.

Di samping sistematika di atas, pembahasan aqidah bisa juga mengikuti sistematika


arkanul iman yaitu: iman kepada Allah SWT., iman kepada malaikat, iman kepada kitab-
kitab Allah, iman kepada nabi dan rasul Allah, iman kepada hari akhir dan iman kepada
qadha dan qadar Allah.

a.      Iman Kepada Allah Swt.

Iman kepada Allah adalah suatu keniscayaan. Inti dari iman kepada Allah Swt.
Adalah tauhid : mengesakan Allah baik dalam zat, sifat dan af’al-Nya. Disamping itu Allah
memiliki al-asma’ al-husna dan ash-shifah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya  sebanyak 99
(sembilan puluh sembilan) macam, dan semua ini menunjukkan kemaha sempurnaan-Nya.
Oleh karena itu, di sini kita mengenal ada dua metode untuk mengimani asma’ al-husna
dan ash-shifah Allah yaitu 1) metode itsbat; mengimani bahwa Allah memiliki nama-nama
dan sifat yang menunjukkan kemahasempurnaan-Nya, misalnya Allah maha mendengar,
maha melihat, maha mengetahui, maha bijkasana dll, dan 2) metode nafy; menafikan atau
menolak segala nama-nama dan sifat yang menunjukkan ketidaksempurnaan-Nya, misal
menafikan adanya makhluk yang menyerupai Allah, menolak anggapan bahwa Allah
memiliki anak atau orang tua dan lain-lain.

Oleh karena itu Islam sangat menganjurkan kepada ummatnya agar berdoa dan memohon
kepada Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang agung (Q.S. al-A’raf:18). Dalam
masalah ini pula kita mengetahui adanya larangan
untuk mentamsilkan atau mentasybihkan (menyerupakan) Allah dengan sesuatu (Q.S. asy-
Syura: 11). Dengan usaha ini maka ummat Islam akan beriman kepada Allah dengan
semurni-murninya dan sutuh-utuhnya iman.

b.      Iman kepada Malaikat-malaikat Allah.

Makhluk Allah dapat dikelompokkan menjadi dua macam; makhluk ghaib dan makhluk
syahadah (nyata). Yang membedakan keduanya adalah dapat dan tak dapat dijangkau oleh
panca indera manusia.

Iman kepada malaikat termasuk salah satu perkara beriman kepada yang ghaib. Untuk
mengetahui dan mengimani makhluk yang ghaib ini ditempuh dua cara: 1) melalui berita
atau akhbar dari Rasulullah baik berupa wahyu al-Qur’an maupun sunnah dan 2) melalui
bukti-bukti nyata  di alam semesta, seperti kematian adalah bukti nyata bahwa malaikat
maut itu ada.

Malaikat merupakan makhluk ghaib yang diciptakan oleh Allah dari cahaya (nur) dengan
wujud dan sifat-sifat tertentu. Malaikat sangat taat kepada Allah, tak pernah membangkang
dan selalu melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya (Q.S. at-Tahrim : 6). Adapun
beberapa malaikat yang patut diketahui dna diimani beserta tugasnya antara lain :

1)     Malaikat Jibril bertugas menyampaikan wahyu kepada para nabi dan rasul (Q.S. al-
Baqoroh : 97)

2)     Malaikat Mikail bertugas mengatur hal-hal yang berhubungan dengan alam (Q.S. al-
Baqoroh :98)

3)     Malaikat Israfil bertugas meniup terompet di hari kiamat dan kebangkitan (Q.S. al-
An’am :73)

4)     Malaikat Maut bertugas mencabut nyawa manusia dan makhluk hidup    (as-Sajada :
11)

5)     Malaikat Raqib dan ‘Atid bertugas mencatat amal perbuatan manusia (Q.S. al-Infithar :
10-12)

6)     Malaikat Munkar dan Nakir bertugas menayai mayat dalam kubur      (Q.S. Ibrahim :
27)

7)     Malaikat Ridwan bertugas menjaga syurga (Q.S. az-Zumar : 73)

8)     Malaikat Malik bertuga menjaga neraka (Q.S. az-Zumar : 71)

9)     Malaikat pemikul Arasy (Q.S. al-Mukminun : 7)


10)   Malaikat penggerak hati manusia untuk berbuat kebaikan dan kebenaran; Malaikat
yang bertugas mendoakan orang-orang mukmin (Q.S. al-Mukminun : 7 – 9)

c.      Iman Kepada Kitab-kitab Allah.

Al-Kitab atau kitab Allah adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah kepada para nabi dan
rasul, meliputi kitab yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Maupun kitab-kitab
yang diturunkan pada para nabi dan rasul sebelumnya. Kitab-kitab yang patut diimani
keberadaannya adalah kitab al-Qur’an sendiri  (Q.S. al-Baqoroh : 2), Kitab Injil yang
diturunkan kepada Nabi Isa as, (Q.S. al-Maidah : 27), Kitab Taurat yang diturunkan yang
diturunkan kepada Nabi Musa as. (Q.S. al-Maidah: 44) dan kitab Zabur yang turun kepada
Nabi Daud as. (Q.S. an-Nisa : 163). Di samping kitab-kitab di atas, dikenal juga dua buah
shuhuf, yaitu shuhuf Nabi Ibrahim as., dan shuhuf Nabi Musa as. (Q.S. al-A’la : 18-19).
Shuhuf ini hany berbentuk lembaran-lembaran.

Al-Qur’an sebagai kitab Allah yang terakhir memiliki beberapa keistimewaan yang tidak
dipunyai kitab-kitab atau shuhuf-shuhuf lainnya, antara lain; Kitab al-Qur’an berlaku secara
universal untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman (Q.S. al-Furqon:1) Kitab al-
Qur’an masih terpelihara secara utuh dan murni hingga sekarang (Q.S. al-Hijr : 9). Ajaran
al-Qur’an mencakup segala permasalahan dan aspek kehidupan (Q.S. al-An’am : 38). Al-
Qur’an mudah untuk dipahami, dihapal dan diamalkan (Q.S. al-Qomar: 17). Al- Qur’an
berfungsi sebagai nasikh (penghapus) lafadz dan hukum dalam kitab-kitab
sebelumnya, muhaimin (batu ujian) terhadap kebenaran kitab-kitab sebelumnya dan
mushaddiq (pembenar) atas kitab-kitab terdahulu (Q.S. al-Maidah : 48) dan al-Qur’an
menjadi mukjizat bagi Nabi Muhammad saw.

Dalam al-Qur’an secara eksplisit memang hanya disebutkan 4 nama kitab suci dan 2
shuhuf. Namun demikian al-Qur’an juga menerangkan bahwa seorang muslim hendaknya
tetap beriman kepada seluruh kitab suci Allah, baik yang disebutkan nama dan
penerimanya maupun yang tidak disebutkan (Q.S. an-Nisa : 136)

Dalam masalah mengimani kitab-kitab Allah ini tentunya ada perbedaan cara dan
konsekuensi. Kepada kitab-kitab Allah sebelum al-Qur’an seorang muslim hanya diwajibkan
mengimani keberadaan dan kebenarannya semata. Sedangkan kepada      al-Qur’an
disamping mengimani keberadaan dan kebenarannya juga diwajibkan mempelajari,
menghayati, mengamalkan serta mendakwahkan atau mengajarkannya.

d.      Iman Kepada Nabi dan Rasul

Pada hakekatnya nabi dan rasul adalah manusia biasa seperti umumnya.
Yang membedaknnya adalah karena ia menerima wahyu dari Allah (Q.S. al-Kahfi: 110).
Apabila ia tidak dibebani kewajiban untuk menyampaikan wahyu itu maka disebut Nabi.
Jika ia diikuti dengan tanggung jawab menyampaikan wahyu maka ia disebut Rasul. Jadi
Nabi belum tentu rasul, sedangkan rasul sudah pasti nabi.
Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah nabi dan rasul secara keseluruhan. Yang jelas
setiap umat manusia dalam kurun waktu tertentu diutus seorang nabi dan atau rasul (Q.S.
Yunus : 47). Al-Quran hanya menyebutkan sejumlah 25 orang saja dalam ayat-ayatnya.
Nabi dan rasul itu tersebar di beberapa surat seperti : al-An’am : 83-86 sebanyak 18 orang,
7 orang lagi disebutkan di ayat yang terpisah; Hud : 50, Hud : 84, Ali Imran : 33, al-Anbiya’ :
85, dan al-Fath : 29. Sekalipun secara pasti hanya tersebut 25 orang saja di dalam al-
Qur’an, umat Islam tetap diwajibkan meyakini semua keberadaan nabi dan rasul yang
diterangkan di dalamnya, dan sebagian lagi dan ini yang terbanyak tidak diceritakan di
dalamnya (Q.S. al-mukmin : 78)

Seluruh rasul yang diutus pada tiap zaman dan tempat pada dasarnya mengemban tugas
berat yang sama, yakni menegakkan kalimah tauhid la ilaha illa Allah (Q.S. al-Anbiya : 25).
Dalam mengemban tugas ini ternyata tidak semua rasul memiliki kesabaran yang sangat
tinggi, kecuali mereka yang diberi gelar ulul azmi; para rasul yang sangat sabar, teguh hati
dan tabah dalam menjalankan misinya (Q.S. al-Ahqof : 35).  Mereka itu adalah Muhammad,
Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa (Q.S. al-Ahzab : 7)

Umat Islam yang hidup di zaman ini tentu wajib mengimani Rasulullah Muhammad
Saw. sebagai rasul terakhir. Dia adalah utusan Allah untuk menyempurnakan risalah-risalah
yang pernah disampaikan oleh rasul-rasul terdahulu. Risalah penyempurna itu adalah Islam
(Q.S. al-Maidah : 3). Maka hanya Islamlah yang akan diterima sebagai agama yang diridhai
di sisi Allah (Q.S. ali-Imran : 19). Oleh karena itu kecintaan dan ketaatan kepadanya harus
ditunjukkan bagi siapa saja yang ingin selamat di dunia dan akhirat (Q.S. ali-Imran : 31, al-
Ahzab : 21).

e.      Iman Kepada Hari Akhir.

Hari akhir adalah kehidupan kekal dan abadi setelah kehidupan dunia yang fana ini. Al-
Quran menyebut hari akhir dengan berbagai sebutan; yaumul qiyamah, berakhirnya seluruh
kehidupan; Yaumul Ba’ats, kebangkitan seluruh umat manusia dari alam kubur; Yaumul
Hasyr, hari dikumpulkannya umat manusia dipadang Mahsyar; Yaumul Hisab atau Yaumul
Mizan, hari perhitungan seluruh amal manusia selama hidup didunia; Yaumud din, hari
pembalasan bagi seluruh amal manusia dengan syurga dan neraka dan masih banyak lagi
sebutan untuk hari akhir ini.

Proses kehancuran dunia dan digantikan dengan alam akherat tentu saja melalui masa
transisi, yakni alam kubur. Alam kubur dikenal juga dengan sebutan alam barzakh. Di alam
inilah manusia akan menyaksikan kebenaran adanya malaikat Munkar dan Nakir yang
bertugas menanyai manusia. Di alam ini juga manusia akan melihat bagaimana Allah kuasa
untuk membangkitkan kembali tubuh yang telah mati dan hancur sekalipun. Kenikmatan
dan kesengsaraan di alam kubur akan menjadi kenyataan (Q.S. Ibrahim : 27, al-Mukmin :
45-46).

Lalu kapan kiamat itu akan terjadi ? Al-Qur’an menegaskan tak ada seorang pun yang
mengetahuinya, termasuk para nabi dan rasul, kecuali Allah semata  (Q.S. al-A’raf :
187). Allah hanya memberikan tanda-tanda kiamat, baik kecil maupun besar.
Ketika kiamat datang maka terjadilah kebinasaan total, kemudian dengan tiupan kedua
terompet Malaikat Israfil terjadilah kebangkitan (Q.S. az-Zumar : 68). Setelah itu manusia
dikumpulkan di Mahsyar untuk dihisab amalnya melalui perhitungan dan penimbangan
yang akan menentukan nasib manusia di akhirat (Q.S. al-Insyiqaq : 7-12), (Q.S. al-Haaqah :
19-26). Di sini mereka akan menemukan pembalasan yang setimpal atas perbuatannya
sendiri (Q.S. al-Qoriah : 6-9) (Q.S. al-Bayyinah : 6-8).

Beriman kepada hari akhir merupakan keimanan yang pokok, setelah beriman kepada Allah
Swt. (Q.S. al-Baqarah : 62 dan 177). Sebab bila Allah adalah tempat asal muasal segala
makhluk, maka harus ada suatu masa tempat perjumpaan dan kembali semua makhluk itu
kepada asalnya. Dengan demikian hari akhir merupakan bukti bagi kenyataan bahwa Allah
adalah Tuhan Yang Awal dan Yang Akhir. Hari akhir merupakan konsekuenis logis dari
perintah moral yang dibebankan kepada manusia di dunia, agar mereka melihat bagaimana
hasil pekerjaan mereka.

f.       Iman Kepada Qadha dan Qadar Allah

Iman kepada qhada dan qadar Allah berarti meyakini akah kehendak, ketetapan dan
ketentuan Allah terhadap segala sesuatu. Allah Swt. berkuasa untuk menentukan ukuran,
susunan, aturan, undang-undang terhadap segala sesuatu, termasuk hukum kausalitas
yang berlaku bagi segala yang ada baik yang hidup maupun yang mati (Q.S. al-Ra’du :8)
(Q.S. al-Hijr : 21) (Q.S. al-Qamar : 49) (Q.S. al-Hasyr : 3) Iman kepada qhada dan qadar
meliputi empat hal :

1)     al-Ilmu; Keyakinan bahwa Allah Swt. Maha Mengatahui atas segala sesuatu. Dia
mengetahui segala hal yang telah, sedang dan akan terjadi. Tak ada sesuatupun yang luput
dari ilmu-Nya (Q.S. al-Hajj: 70) (Q.S. al-Hasyr : 22) (Q.S. al-An’am : 59).

2)     Al-Kitabah ; keyakinan bahwa Allah Swt. Telah menuliskan segala sesuatu di Lauh
Mahfudz  tentang apa saja yang terjadi di masa lalu, sekarang dan akan datang (Q.S. al-
Hajj : 70) (Q.S. al-Hadid : 22)

3)     Al-Masyi’ah ; keyakinan bahwa Allah Swt. Memiliki kehendak penuh atas segala


sesuatu yang ada di alam semsta. Kehendak-Nya bersifat mutlak (Q.S. al-Insaan : 30)
(Q.S.at-Takwir : 28-29)

4)     Al-Khalq ;  Keyakinan bahwa Allah Swt. Telah menciptakan segala sesuatu. Di luar
Allah  Yang Maha Pencipta adalah makhluk (Q.S. az-Zumar : 62) (Q.S. al-Furqan : 2) (Q.S.
ash-Shaffat : 96)

Ada dua hal yang harus dipahami kaitannya dengan keberadaan manusia dalam masalah
ini. Manusia adalah makhluk musayyar dan mukhayyar. Sebagai makhluk musayyar
manusia tidak mempunyai kebebasan untuk menolak atau menerima ketentuan Allah,
seperti tidak dapat menolak mengapa ia dilahirkan sebagai perempuan atau laki-laki, warna
kulit, kelahiran dan kematiannya. Dan sebagai makhluk mukhayyar manusia mempunyai
kebebasan untuk menolak dan menerima. Ia memiliki kekuatan untuk berbuat baik atau
buruk (Q.S. al-Baqarah : 222) (Q.S. at-Taubah : 46).

Kemudian  bagaimanakah dengan perbuatan baik dan buruk yang dilakukan manusia?
Apakah semua itu juga karena qhada dan qadar Allah? untuk menjawab pertanyaan ini
maka kita harus memahaminya dari keberadaan manusia sebagai makhluk musayyar dan
mukhayyar-nya sekaligus. Allah Swt. hanyalah menciptakan kecendrungan yang baik dan
buruk pada manusia (Q.S. asy-Syam : 8) dan sama sekali tidak menciptakan perbuatan
baik atau buruk tersebut. Adapun kecenderungan baik atau buruk itu akan terwujud sangat
tergantung pada kebebasan manusia untuk memilih melakukannya. Dengan demikian
manusia harus bertanggung jawab atas segala perbuatan yang telah dilakukannya karena
semua berdasarkan pilihannya. Dengan kata lain pertanggung jawaban yang diminta oleh
Allah adalah keberadannya sebagai makhluk mukhayyar. Dan Allah tidak meminta
pertanggung jawaban tentang keberadaannya sebagai makhluk musayyar.

Tauhid
KONSEPSI TAUHID
1.    Tauhid sebagai Poros Aqidah Islam

Ajaran Islam tidak hanya memfokuskan iman kepada wujud Allah sebagai suatu
keharusan fitrah manusia, namun lebih dari itu memfokuskan aqidah tauhid yang
merupakan dasar aqidah dan jiwa keberadaan Islam. Islam datang di saat kemusyrikan 
sedang merajalela di segala penjuru dunia. Tak ada seorangpun yang menyembah Allah
kecuali segelintir manusia dari golongan hunafa’ (pengikut nabi Ibrahim as.) dan sisa-sisa
penganut ahli kitab yang selamat dari pengaruh tahayul animisme dan paganisme yang
telah menodai agama Allah. Sebagai contoh bangsa Arab jahiliyah telah tenggelam jauh ke
dalam paganisme, sehingga Ka’bah yang semula dibangun untuk menyembah Allah telah
dikelilingi oleh 360 berhala. Dan bahkan setiap rumah penduduk Makkah ditemukan
berhala sesembahan penghuninya.

Imam Bukhari sempat merekam suatu peristiwa yang ditelusurinya lewat Abu Raja’ al-
Atharidy :

“Kami pernah menyembah batu, bila kami menemukan batu yang lebih baik daripadanya,
kami buang batu itu dan mengambil batu yang lain. Bila kami tidak menemukan batu maka
kami menumpukan debu kemudian mengambil seekor kambing untuk diperas susunya di
atas (tumpukan debu itu) kemudian kami thawaf mengelilinginya”.

Oleh karena itu, al-Qur’an mencela paganisme maupun politheisme yang


merupakan simbol dari segmentasi masyarakat. Bahkan secara keseluruhan risalah-risalah
yang diturunkan Allah Swt. pada para nabi dan rasul pada dasarnya memiliki kesatuan
hidayah atau misi, the unity of guidance, yakni menyeru umat manusia agar mengesakan
Allah. Karenanya tauhid merupakan tugas utama para nabi dan rasul untuk menegakkan
dan menjunjung tinggi paham monotheisme. Hal ini sudah tercermin dalam beberapa ayat
yang merekam inti tugas para nabi tersebut. Berikut adalah gambaran inti dakwah para
nabidan rasul :

a.      Inti dakwah nabi Nuh as :

 “Dan sesungguhnya kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata) :
“Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak
menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab yang
sangat menyedihkan. (Q.S. Hud : 25-26)

b.      Inti dakwah nabi Hud as :

“Dan (kami telah mengutus) kepada kaum ‘Ad saudara mereka Hud. Ia berkata : “hai
kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Maka mengapa
kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” (Q.S. al-A’raf : 65)

c.      Inti dakwah nabi Yusuf as. :

“kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama kamu
dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun
tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah
memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Q.S. Yusuf : 40)

d.      Inti dakwah nabi Shaleh as :

“Dan (kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Shaleh. Ia berkata :
“hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-nya.
Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu. Unta betina Allah
ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan dibumi dan janganlah kamu
menganggunya dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu ditimpa siksaan yang
pedih. Q.S. al-A’raf : 73)

e.      Inti dakwah nabi Syu’aib as :

“Dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka Syu’aib. Ia berkata
: hai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada tuhan selain-nya. Sesungguhnya telah
datang kepadamu bukti nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan
timbangan, dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan
timbangannya, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhanmu
memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagi kamu jika kamu betul-betul orang yang
beriman”. Q.S. Al-A’raf : 85)

f.       Inti dakwah nabi Ibrahim as :

“Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya: “Sembahlah olehmu Allah dan
bertakwalah kepada-Nya. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui”  (Q.S. al-Ankabut : 16)
g.      Inti dakwah nabi Isa as   :

Sesungguhnya telah kafir orang yang mengatakan: “Sesungguhnya Allah ialah al-Masih
putera Maryam”, padahal al-Masih sendiri berkata: “hai Bani Israil, sembahlah Allah
Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya prang yang mempersekutukan Allah , maka pasti
Allah mengharamkan kepadanya syurga, dan tempatnya ialah neraka tidaklah ada bagi
orang-orang zalim itu seorang penolong pun. (Q.S. al-Maidah : 72

h.      Inti dakwah nabi Muhammad SAW :

Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan


memurnikan  ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”.  (Q.S. ali Imran : 64)

Dari kedelapan ayat diatas semuanya mengarah pada penegakan poros tauhid sebagai
acuan utama kehidupan. Allah menciptakan manusia agar mereka menyembah-Nya
semata (Q.S. adz-Dzariyat : 56) dan menghindarkan diri dari thagut (Q.S. an-Nahl : 36).
Hanya Allah yang patut disembah dan jangan sampai kita menyekutukan Allah dengan
sesuatu (Q.S. an-Nisa’ : 36), karena menyekutukan Allah adalah sesuatu yang diharamkan
bagi manusia (Q.S. al-An’am: 151. Inilah tauhid, merupakan perintah Allah yang tertinggi
dan terpenting dibuktikan oleh kenyataan adanya janji Allah untuk mengampuni dosa
kecuali pelanggaran terhadap tauhid, karena pelanggaran ini merupakan dosa besar (Q.S.
an-Nisa’ : 48). Oleh karena itu tauhid menjadi pranata yang tertinggi dan menjadi penyebab
kebaikan dan pahala terbesar (Q.S. al-An’am : 82).

2.    Makna Kalimat Syahadat

Secara tradisional dan dalam ungkapan yang sederhana, tauhid adalah keyakinan dan
kesaksian bahwa “Tidak ada Tuhan selain Allah“, la ilaha illa Allah. Kalimat ini merupakan
lambang tauhid. Kalimah ini biasa disebut kalimah tauhid. Kalimat yang agung ini terdiri dari
dua makna yakni :

a.      la ilah atau makna nafi (negasi) yang berarti peniadaan semua ketuhanan lain selain
Allah.

b.      illa Allah atau makna itsbat (afirmasi) yang berarti pernyataan bahwa ketuhanan itu
semata-mata hanya untuk Allah. Dia-lah satu-satunya Tuhan yang sebenarnya sedangkan
tuhan-tuhan lain yang disembah manusia adalah tuhan-tuhan palsu dan batil, yang
diciptakan oleh kejahilan dan takhayul.

Kalimat ini dimulai dengan pengingkaran la ilaha (tiada tuhan) dan disusul oleh illa Allah 
(kecuali Allah). Pencari kebenaran akan menemui kebenaran itu apabila ia berusaha
menyingkirkan terlebih dahulu segala macam ide, teori dan data yang tidak benar dari
benaknya, persis seperti yang dilakukan oleh pengucap syahadah tersebut.
Kalimah tauhid disebut juga kalimah thayyibah atau kalimah ikhlas. Kalimah la ilah illa Allah
ini  mencakup pengertian komprehensif sebagai berikut :

a.      La Khaliqa illa Allah (tiada pencipta selain Allah).

b.      La Raziqa illa Allah (tiada pemberi rizki selain Allah).

c.      La  Khafidza illa Allah (tiada pemelihara selain Allah).

d.      La Mudabbira illa Allah (tiada pengatur selain Allah).

e.      La Malika illa Allah (tiada penguasa selain Allah).

f.       La Waliya illa Allah (tiada pemimpin kecuali Allah).

g.      La Hakima illah Allah (tiada Hakim selain Allah)

h.      La Ghayata illa Allah (tiada yang maha menjadi tujuan selain Allah).

i.       La Ma’buda illa Allah (tiada yang maha disembah selain Allah)

Tauhid menjadi landasan dasar dan inti ajaran Islam, yang membedakan manusia menjadi
muslim atau kafir, musrik atau dahriyyin (orang yang tidak percaya adanya tuhan). Tetapi
perbedaan antara yang percaya dan yang tidak percaya bukan hanya terletak pada kalimah
syahadah. Kekuatan sesungguhnya terletak pada penerimaan secara sadar dan mutlak
terhadap ajaran Islam dan penerapannya di dalam kehidupan nyata. Tanpa itu manusia
tidak akan dapat menyadari pentingnya ajaran Islam. Jika manusia mengerti makna tauhid,
maka akan membuat manusia dapat menghindari setiap bentuk keingkaran, atheisme dan
polytheisme.

Maka tauhid adalah merupakan pengetahuan, kesaksian, keyakinan dan keimanan


manusia terhadap ke-esaan tuhan dengan segala sifat kesempurnaan dan ke-Esaan, diikuti
dengan keyakinan bahwa ia tidak berpasangan, sempurna tiada tara, penyandang atribut
ke-Tuhanan dan kekuasaan mutlak atas seluruh makhluk.

3.    Tingkatan Tauhid

Tauhid menurut Islam ialah tauhid I’tiqad-‘ilmi (keyakinan teoritis) dan tauhid amali-


suluki (tingkah laku praktis). Dengan kata lain ketauhidan antara yang teoritis dan praktis
tak dapat dipisahkan satu dari yang lain; yakni tauhid dan bentuk makrifat (pengetahuan).
Itsbat (pernyataan), I’tiqad (keyakinan), qasd (tujuan) dan iradah (kehendak). Dan ini semua
tercermin dalam empat tingkatan atau tahapan tauhid.

a.      Tauhid Rububiyah.
Secara etimologis kata rububiyah berasal dari akar kata rabb. Kata rabb ini sebenarnya
mempunyai banyak arti antara lain menumbuhkan, mengembangkan, mencipta,
memelihara, memperbaiki, mengelola, memiliki dna lain-lain. Maka secara terminologis
Tauhid Rububiyah ialah keyakinan bahwa Allah Swt. adalah  Tuhan pencipta semua
makhluk dan alam semesta. Dialah yang memelihara makhluk-Nya dan memberikan serta
mengendalikan segala urusan. Dialah yang memberikan manfaat dan mafsadat,
penganugerah kemuliaan dan kehinaan. Tauhid Rububiyah ini tergambar dalam ayat-ayat
al-Qur’an antara lain:

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum
kamu, agar kamu bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan
langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit lalu Dia menghasilkan
dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu, karena itu janganlah kamu
mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui” (Q.S. al-Baqoroh :21-22)

“katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb manusia” (Q.S. an-Naas : 1)

coba perhatikan juga urat Luqman : 25 dan Fathir : 3 dan masih banyak yang lainnya.

b.      Tauhid Mulkiyah.

Kata mulkiyah berasal dari akar kata malaka. Isim failnya dapat dibaca dengan dua macam
cara 1) Malik dengan huruf mim dibaca panjang ;  berarti yang memiliki.  2) Malik dengan
huruf mim dibaca pendek; yang menguasai. Syekh Ahmad Mustafa al-Maraghi dalam kitab
tafsirnya menjelaskan bahwa kata malik dengan huruf mim panjang berati yang memiliki
adalah lebih sempit maknanya dari pada kata malik dengan huruf mim pendek, berarti yang
menguasai. Karena memiliki belum tentu mengasai, sedangkan menguasai sudah barang
tentu juga memiliki.

Maka secara terminologis Tauhid Mulkiyah adalah suatu keyakinan bahwa Allah Swt.
adalah satu-satunya Tuahn yang memliki dan menguasai seluruh makhluk dan alam
semesta. Oleh karena itu Allah disebut sebagai Raja alam semesta. Ia berhak dan bebas
melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya terhadap alam semsta tersebut. Keyakinan
Tauhid Mulkiyah terekam dalam ayat-ayat al-Qur’an seperti berikut ini :

“Yang mengauasai hari pembalasan” (Q.S. al-Fatihah : 4)

“Tidaklah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah ?
Dan bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong” (Q.S. al-Baqarah :
107).

 
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya, dan  Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu “ (Q.S. al-Maidah: 120).

Dan apabila manusia meyakini bahwa Allah sebagai pemilik  dan Penguasa alam semesta
ini maka konsekuensinya ia harus menjadikan Allah sebagai Pemimpin yang memiliki
wewenang untuk menentukan sesuatu. Firman Allah :

“ Allah Pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan
(kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir pemimpinya adalah taghut 
yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni
neraka, mereka kekal di dalamnya”.        (Q.S. al-Baqarah : 257).

At-Taghut dalam ayat di atas adalah segala sesuatu yang dipertuhan selain Allah Swt.  dan
dia suka diperlakukan sebagai Tuhan tersebut. Sayyid Quthub dalam tafsir      Fi Dzilal al-
Qur’an menerangkan bahwa yang dimaksud dengan at-Taghut adalah segala sesuatu yang
menentang kebenaran dan melanggar batas yang telah digariskan oleh Allah Swt. untuk
hamba-Nya. At-Taghut itu bisa berbentuk pandangan hidup, peradaban dan lain-lain yang
tidak berlandaskan ajaran Allah.

c.      Tauhid Uluhiya

Kata uluhiyah adalah mashdar dari kata alaha yang mempunyai  arti tentram, tenang,
lindungan, cinta dan sembah. Namun makna yang paling mendasar adalah ‘abada, yang
hamba sahaya (‘abdun), patuh dan tunduk (‘ibadah), yang mulia dan agung (al-ma’bad),
selalu mengikutinya (‘abada bih). Jadi seseorang yang menghambankan diri kepada Allah
maka ia harus mengikuti, mengagungkan, memuliakan, mematuhi dan tunduk kepada-Nya
serta bersedia untuk mengorbankan kemerdekaannya. Dengan demikian Tauhid Uluhiyah
merupakan keyakinan bahwa Allah Swt. adalah satu-satunya Tuhan yang patut dijadikan
ilah yang harus dipatuhi, ditaati, diagungkan dan dimuliakan. Hal ini tersurat dalam ayat-
ayat berikut ini :

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku
dan dirikanlah shalat untuk mengingatKu” (Q.S. at-Thaha : 14).

“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan mohonlah
ampunan bagi dosamu dan bagi dosa orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan
Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu’ (Q.S. Muhammad : 19)

d.      Tauhid Ubudiyah.
Kata ubudiyah berasal dari akar kata ‘abada yang berarti menyembah, mengabdi, menjadi
hamba sahaya, taat, patuh, memuja, yang diagungkan  (al-ma’bud). Dari akar kata di atas
maka diketahui bahwa Tauhid ubudiyah adalah suatu keyakinan bahwasannya Allah Swt.
merupakan Tuhan yang patut disembah, ditaati, dipatuhi, dipuja manusia melainkan Allah
semata. Dia adalah tempat semua makhluk menghambakan diri dan beribadah kepada-
Nya. Tauhid Ubudiyah ini tercermin dalam ayat-ayat di bawah ini :

“hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkau (pula) kami mohon
pertolongan” (Q.S. al-Fatihah : 5).

“dan sesungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat            (untuk
menyerukan): “Sembahlah Allah dan jauhilah taghut itu, maka di antara umat itu ada orang-
orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antara orang-orang yang telah pasti
kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang mendustakan (Rasul-rasul)’.                        (Q.S. an-Nahl :
36)

Kemudian untuk memahami keterkaitan keempat tingkatan tauhid di atas, maka berlaku
dua teori atau dalil : 1) Dalil at-Talazum; kemestian. Artinya bahwa seseorang yang
meyakini Tauhid Rububiyah semestinya ia meyakini Tauhid Mulkiyah, dan meyakini Tauhid 
Mulkiyah sudah semestinya meyakini Tauhid Uluhiyah, dan meyakini Tauhid Uluhiyah juga
semestinya meyakini Tauhid Ubudiyah. Dengan kata lain  Tauhid Ubudiyah adalah
konsekuensi dari Tauhid Uluhiyah, Tauhid Uluhiyah adalah konsekuensi dari Tauhid
Mulkiyah, dan Tauhid Mulkiyah adalah konsekuensi dari Tauhid Rububiyah. 2) Dalil at-
Tadhamun; ketercakupan. Maksudnya setiap orang yang sudah sampai ke tingkat Tauhid
Ubudiyah tentunya sudah melalui tiga tingkatan sebelumnya. Mengapa  ia beribadah
kepada Allah semata ? Karena Dia adalah ilah yang patut diagungkan. Mengapa Dia
adalah ilah yang patut diagungkan ? Sebab Dia adalah pemilik dan penguasa alam
semesta yang harus ditaati dan dijadikan pimpinan ? Tiada lain karena Dia adalah Tuhan
yang menciptakan dan memelihara alam semesta beserta segala isinya..

Apabila kita menyimak ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan tauhid selalu
bergandengan dengan syirik yang merupakan kontradiksi dari tauhid. Hal ini menandakan
bahwa al-Qur’an sendiri langsung turun tangan untuk membimbing umat manusia agar
menjauhi syirik ini sejauh-jauhnya. Jika daikatakan bahwa tauhid adalah sumbu dalam
menggapai ridha Allah, maka syirik merupakan pemicu keengganan Allah meridhai
hambanya. Hal lain yang dapat dipetik dari permasalahan tersebut adalah bahwa jika kita
membicarakan masalah tauhid maka kita secara reflek harus menjauhkan dari sikap syirik
ini. Itulah makanya gandengan itu menjadi sangat penting dimunculkan.

4.    Tauhid dan Pembebasan Diri


Huston Smith pernah menyinggung permasalahan bahwa keengganan manusia untuk
menerima kebenaran ialah antara lain karena sikap menutup diri yang timbul dari refleks
agnostik atau keengganan untuk tahu tentang kebenaran yang diperkirakan justeru akan
lebih tinggi nilainya daripada apa yang sudah ada pada kita. Padahal kalau saja kita
membuka diri untuk kebenaran itu maka mungkin kita akan memperoleh kebaikan dan
energi yang kita perlukan. Halangan  kita menerima kebenaran ialah keangkuhan kita
sendiri dan belenggu yang kita ciptakan untuk diri kita sendiri.

Belenggu itu ialah apa yang kita kenal dengan sebutan “hawa nafsu” yang berarti ‘keinginan
diri sendiri’. Inilah sumber pribadi untuk penolakan kebenaran, kesombongan dan
kecongkakan. Kita menghadapi hal-hal dari luar yang kita rasakan tidak sejalan dengan
kemauan atau pandangan kita sendiri, betapapun benarnya hal dari luar itu. Hawa nafsu
juga menjadi sumber pandangan-pandangan subyektif dan biased, yang juga menghalangi
kita dari kemungkinan melihat kebenaran. Gambaran ini terlihat jelas pada redaksi ayat al-
Qur’an : “Pernahkah engkau (Muahammad) saksikan orang yang menjadikan keinginan
(hawa nafsu) nya sendiri sebagai Tuhannya, kemudian Allah membuat mereka sesat
secara sadar, lalu Dia tutup pendengaran dan hatinya, dan dikenakan oleh-Nya penutup
pada pandangannya ?! Maka siapa yang sanggup memberi petunjuk selain Allah ? Apakah
kamu tidak merenungkan hal itu ?. (Q.S. al-Jatsiyah : 23).

Seorang disebut menuhankan dirinya sendiri jika dia memutlakkan diri dan pandangan atau
pikirannya sendiri. Biasanya orang seperti itu mudah terseret kepada sikap-sikap tertutup
dan fanatik, yang amat cepat bereaksi negatif kepada sesuatu yang datang dari luar, tanpa
sempat bertanya atau mempertanyakan kemungkinan segi kebenarannya dalam apa yang
datang dari luar itu. Inilah salah satu bentuk kungkungan atau perbudakan oleh tiranivested
interest. Gambaran tentang ini dari masa lalu dapatkan dalam firman Allah:“….Apakah 
setiap kali datang kepadamu sekalian seorang rasul (pembawa kebenaran) dengan
sesuatu yang tidak disukai oleh dirimu sendiri, kamu menjadi congkak, sehingga sebagian
(dari para rasul itu) kamu dustakan, dan sebagian lagi kamu bunuh ?! Mereka (yang
menolak kebenaran) itu bertanya, “hati kami telah tertutup (dengan ilmu) !. Sebaliknya,
Allah telah mengutuk mereka karena penolakan mereka (terhadap kebenaran), maka
sedikit saja mereka percaya”. (Q.S. al-Baqarah: 87).

Meskipun ayat suci itu menggambarkan kelakuan kalangan tertentu dari Bani Israil (bangsa
Yahudi), namun “the moral behind the story” jelas berlaku untuk semua golongan. Pelajaran
moral itu berada disekitar bahaya penolakan kebenaran (kufr) karena
kecongkakan (istikbar) dan sikap tertutup karena merasa telah penuh berilmu (ghulf).
Hanya dengan melawan itu semua melalui proses pembebasan diri (self liberation)
seseorang akan mampu menangkap kebenaran itu seseorang akan dapat berproses untuk
pembebasan dirinya. Inilah sesungguhnya salah satu makna esensial kalimat syahadat
yang bersusunan negasi-konfirmasi “la ilah illa Allah” itu dipandang dari sudut efeknya
kepada peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan pribadi seseorang.

Pembebasan pribadi yang diperolehnya yang membuat seorang manusia merdeka sejati,
akan menghilangkan dari dirinya sendiri setiap halangan untuk melihat yang benar adalah
benar dan yang salah sebagai salah. Bentuk-bentuk subyektifisme, baik yang positif
ataupun negatif, yaitu perasaan senang ataupun benci kepada kepada sesuatu atau
seseorang, tidak akan menjadikan pandangannya kabur dan kehilangan wawasan tentang
apa yang sungguh-sungguh benar atau salah, dan yang baik atau buruk. Orang yang
serupa itu mampu mengalahkan kekuatan tiranik (taghut), terutama kecenderungan tiranik
diri sendiri pada saat ia menjadi sombong karena merasa tidak perlu kepada orang lain
(Q.S. al-Alaq : 7). Orang yang terbebas itu juga selalu sanggup kembali kepada yang
benar, tanpa terlalu peduli dari mana datangnya kebenaran itu. Maka ia termasuk yang
mendapatkan “kabar gembira” (kebahagiaan) dan dinamakan ‘Ulul Albab”, ‘mereka yang
berakal pikiran’ atau kaum terpelajar  

Konsep keesaan tuhan atau tauhid di dalam Islam mempunyai kedudukan tersendiri yang
sangat penting. Ia mempunyai implikasi yang sangat luas terhadap konsep dan ajaran
Islam yang lain. Untuk dapat memahami hak ini, kita harus memahami kedudukan tuhan
dalam Agama Islam, berdasarkan pada keterangan dari kitab al-Qur’an.

Paling tidak terdapat tiga pokok pikiran yang mendasar, sebagai landasan pijak dalam
memahami sentralisasi posisi tuhan dalam ajaran al-Qur’an.

Pertama bahwa segala sesuatu selain tuhan, termasuk keseluruhan alam semesta dengan
segala aspek metafisis dan moral adalah tergantung kepada tuhan. Tuhan adalah pangkal
yang sekaligus ujung dari keberadaan alam raya ini. Yang mencipta alam ini dengan
firman-Nya : “jadilah” (Q.S. 2 : 117; 3 : 47, 59; 6 : 73; 16 : 40; 19 : 35; 36 : 82; 40 : 68).
Dalam menciptakan alam, tuhan sudah menetapkan ukuran, qadar, dari masing-masing
ciptaannya. Yang dengan itu alam berjalan mengikuti aturan main tertentu yang sangat rapi.
Sehingga seringkali al-Qur’an mengatakan bahwa alam semesta itu bersifat tunduk, muslim
kepada tuhan (Q.S. 7 : 206; 13 : 15; 18 : 55; 15 : 16; 21 : 19; 49 : 22; 57 : 1; 59 : 1; 61 : 1).
Keterangan alam yang seakan cacat itu juga tergantung kepada daya dan kekuasaan
tuhan, tanpa pemeliharaan dari tuhan alam semesta itu akan hancur berantakan (13 : 22;
34 : 9; 50 : 6; 51 : 47, dan lain-lain).

Kedua, bahwa tuhan Yang maha Kuasa dan Maha Pencipta tadi adalah Tuhan Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang. Ia memelihara alam ciptaannya dengan belas kasihnya,
sebab alam ini diciptakan dengan tujuan yang tertentu dan bukan sekedar iseng atau main-
main (Q.S. 3 : 191; 38 : 27), sebab : “Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta segala
sesuatu yang ada diantaranya sebagai permainan; jika kami menginginkan permainan
maka kami dapat melakukannya sendiri (tanpa memalui penciptaan kami)- jika kami
menghendaki (Q.S. 21 : 16 – 17).

Ketiga , bahwa aspek-aspek tersebut tentu saja mensyaratkan hubungan yang tepat
diantara tuhan dan manusia, hubungan antara yang diper-Tuhan dengan       hamba-Nya
dan sebagai konsekuensinya juga memerlukan hubungan yang tepat antara manusia
dengan sesamanya. Karena tuhan yang menciptakan alam semesta sekaligus tempat
kembali, sedangkan alam semesta ini tunduk mutlak kepada tuhan dan hanya manusia
yang mampu melawan hukum tuhan –hukum alam bagi manusia bersifat imperatif—maka
manusia juga harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di hadapan
tuhan.”Apakah kalian berpikir bahwa kalian kami ciptakan dengan sia-sia dan bahwa kalian
tidak akan dikembalikan kepada kami ? Maha Tinggi Allah” (Q.S. 25 : 115), juga “Apakah
manusia mengira bahwa ia dibiarkan begitu saja (dengan sekehendak hatinya)” (Q.S. 75 :
36).
Konsep tentang keesaan tuhan ini, selanjutnya menurunkan konsep tentang kesatuan
ummat manusia sebagai sebuah komunitas yang tunggal. Berulang kali       al-Qur’an
menyebutkan bahwa manusia seluruhnya adalah berasal dari satu keturunan, yang tentu
saja mengisyaratkan bahwa seantero umat manusia sebenarnya adalah saudara. Umat
manusia itu pada hakekatnya adalah satu (Q.S. 2 : 213), meskipun secara lahiriah kondisi
manusia sangat beragam. Perbedaan yang terdapat bukan saja antar individu, melainkan
juga antar suku, ras dan antar bangsa-bangsa. Namun segala macam perbedaan tersebut
bukanlah menjadi halangan bagi kesatuan umat manusia , justeru, menurut al-Qur’an
sendiri, merupakan salah satu tanda kekuasaan tuhan yang harus dijadikan sebagai jalan
menuju persatuan (Q.S. 30 : 22). Sebab , bagaimanapun juga perbedaan yang ada
hanyalah faktor luas, yang perkembangannya lebih banyak disebabkan karena lingkungan
yang ditempati.

Kesatuan dan persaudaraan  ini kemudian mensyratkan adanya kesatuan hukum moral.
Karena manusia itu secara keseluruhan adalah satu, dan punya kedudukan primordial yang
sejajar di hadapan tuhan maka ukuran-ukuran moral yang diberlakukan di kalangan umat
manusia, seharusnya adalah sama. Itulah sebabnya mengapa Islam sangat menekankan
kesamaan derajad antar umat manusia. Tidak ada orang yang mempunyai derajad lebih
tinggi dibanding yang lain di sisi Allah karena tingkat ketaqwaannya. Kelebihan-kelebihan
berupa wajah, harta, keturunan, kekuasaan dan lain sebagainya tidak menjadikan hakekat
kemanusiaan seseorang menjadi lebih baik.

Demikianlah, karena kedudukan tuhan dalam Agama Islam adalah sentral, maka doktrin
tentang keesaan tuhan menjadi makna yang sangat mendasar. Keseluruhan bangunan
ajaran Islam menjadi ‘Tuhan sentris’, sebab tuhanlah yang menjadi tempat asal segala
sesuatu dan tempat kembalinya.

Konsekuensi logis dari ajaran Islam tersebut adalah segala bentuk penyimpangan terhadap
prinsip dasar ini adalah sebuah kesalahan yang mendasar. Islam menyebut penyimpangan
terhadap prinsip keesaaan keesaan tuhan itu sebagai syirik, yaitu menduakan terhadap
tuhan. Syirik bisa berbentuk tindakan langsung, yaitu dengan mengakui adanya sesuatu
yang mempunyai kedudukan, kekuasaan ataupun peran sejajar dengan tuhan. Namun bisa
juga dalam wujud tindakan yang tidak langsung, berupa segala macam penyimpangan
terhadap aturan-aturan, prinsi-prinsip dan tatanan nilai yang merupakan rumus turunan
konsep dasar tentang keesaan tuhan. Dan al-Qur’an menyatakan bahwa syirik adalah
‘unvorgiven sin’ (dosa yang tak termaafkan).  

5.    Bentuk-Bentuk Syirik kepada Allah dalam al-Qur’an

kalau dikaji ayat-ayat al-Qur’an maka perbuatan syirik merupakan kontradiksi dari ajaran
tauhid (ke-Esaan Tuhan). Dalam al-Qur’an kata syirik digunakan dalam arti persekutuan
Tuhan lain dari Allah, baik dalam dzat-Nya, sifat-Nya dan af’al-Nya, maupun seluruh aspek
kehidupan dan aktifitas yang dirujukkan selain daripada-Nya. Al-Qur’an menerangkan
bahwa syirik merupakan perbuatan dosa besar yang paling berat sebagaimana dijelaskan
dalam al-Qur’an berikut ini :
 

“Dan ingatlah tatkala Luqman berkata kepada putranya, dikala dia mengajarinya : Hai
anakku ! janganlah mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan  Allah
adalah sebesar-besar aniaya”. (Q.S. Luqman : 13)

Dalam surat Luqman ayat 13 tersebut diterangkan bahwa dia telah diberi kemuliaan oleh
Tuhan berupa hikmah sehingga ia terlepas dari bahwa kesesatan. Bahwa ini hikmah yang
diberikan kepadanya disampaikan kepada anaknya sebagai pedoman utama dalam
kehidupan yaitu : ajaran tauhid (mengesakan Allah karena tidak ada tuhan selain Allah),
karena selain Allah yang ada dalam alam ini semua ciptaan, dan dalam penciptaan tersebut
tuhan tidak bekerjasama dengan apapun juga.

Diakhir ayat 13 Allah menerangkan, “sesungguhnya mempersekutukan itu adalah aniaya


yang sangat besar”. Memang aniaya yang sangat besar atas diri manusia, sebab tuhan
mengajak manusia agar membebaskan dirinya dari segala sesuatu selain Allah. Jiwa
manusia adalah mulia. Manusia dijadikan Allah sebagai khalifa-Nya di muka bumi, sebab itu
hubungan manusia dengan Allah hendaklah langsung. Apabila jiwa yang dipenuhi tauhid
adalah jiwa merdeka. Apabila manusia mempertuhankan selain Allah, maka manusia
sendirilah yang menjadikan jiwanya sebagai budak. Di dalam surat as-Sajadah : 9. Allah
menerangkan bahwa roh/jiwa adalah Tuhan sendiri yang punya, mengapa roh begitu mulia
dapat ditundukan oleh selain Allah. Firman Allah :“Kemudian Dia (Allah) menyempurnakan
dan meniupkan  ke dalam (tubuhnya) roh  (ciptaan-Nya) dan Dia menjadikan bagimu
pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi sedikit sekali dari kamu yang bersyukur”. (Q.S.
as-Sajadah : 9)

Juga lihat firman Allah :

“Sesungguhnya Allah tidak memberi ampun bagi orang yang mempersekutukan-Nya. Dan
Dia akan memberi ampun selain yang demikian bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
barang siapa yang mempersekutukan Allah, sesungguhnya dia telah berbuat dusta dan
dosa yang besar”. (Q.S. an-Nisa’ : 48)

Dosa-dosa yang bukan  syirik dalam pernyataan Allah tersebut masih bisa diampuni bagi
yang dikehendaki-Nya. Biasanya seseorang mengerjakan dosa besar, karena syirik telah
bersarang dalam jiwanya. Nabi Muhammad SAW. pernah mengisyaratakan dalam
sabdanya : “Tidaklah mencuri seorang pencuri, melainkan karena musyrik. Tidaklah
berzina seorang penzina, melainkan karena dia syirik”. Kenapa pencuri  mencuri penzina
berzina, karena ingatannya tidak satu lagi kepada Allah, telah diduakannya keinginannya
yang jahat, sehingga hawa nafsunyalah yang memerintah dan larangan Allah tiada berarti
bagi dirinya, karena azab Tuhan tidak lagi berpengaruh lagi bagi dirinya.

Walaupun demikian kalau benar-benar bertaubat, dosa syirik sekalipun dapat diampuni
oleh Allah, seperti yang terjadi pada para sahabat. Maka ayat ini memberi pengertian
bahwa perbuatan syirik terlebih dahulu harus disingkirkan, sebab apabila dosa syirik telah
hilang dan jiwa raga sepenuhnya tertuju kepada Allah, kebaikan, perintah-perintah Allah
akan terlaksana dan larangan-larangannya akan ditinggalkan dengan sendirinya.
Apabila tauhid telah dipegang teguh maka terbukalah hati untuk menerima wahyu tuhan.
Karena tauhid merupakan jalan kelepasan jiwa dari segala ikatan dan bebas dari pengaruh
alam, juga perhambaan secara total kepada sang pencipta Rabbul ‘Alamin. Sedangkan
syirik merupakan pandangan yang mengakui adanya kekuasaan selain tuhan, jiwa budak.
Maka setiap masa diutus para rasul untuk meluruskan tauhid umat manusia agar terbebas
dari dosa besar seperti Ibrahim menghadapi Namrudz, Musa mengahdapi Fir’aun dan
sebagainya.

Berbagai macam bentuk syirik yang diungkap oleh al-Qur’an, bentuk penyembahan
berhala  adalah yang paling dicela, disebabkan adanya kenyataan bahwa penyembahan
terhadap berhala adalah bentuk syirik yang paling mengerikan dan paling merajalela pada
waktu datangnya Islam. Berhala bukan hanya disembah juga dianggap bisa mendatangkan
kemalangan dan keuntungan. Firman Allah :

“Ingatlah hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik), dan orang-orang yang
mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan
mereka supaya mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya”, “sesungguhnya Allah
akan memutuskan diantara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta dan sangat ingkar”. (Q.S.
az-Zumar : 3)

Pada zaman sekarang, sebagian kaum menyembah berhala modern juga mengemukakan
dalih seperti di atas, mereka berkata patung itu hanya digunakan untuk memusatkan
perhatian (konsentrasi). Artinya dengan menghadap patung itu ia dapat memusatkan
pikiran dalam tafakurnya kepada Tuhan. Di samping penyembahan kepada berhala, al-
Qur’an juga melarang memberikan sesaji dengan anggapan bahwa sesaji itu akan sampai
kepada Tuhan, padahal sebenarnya tidak sampai, melainkan hanya kepada berhala-
berhala itu. Firman Allah :

“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah
diciptakan Alla, lalu mereka berkata sesuai dengan perkiraan mereka : “ini untuk Allah dan
ini untuk berhala-berhala kami”. Maka sajian yang diperuntukkan berhala-berhala mereka
tidak sampai kepada Allah dan sesajen yang disampaikan kepada Allah, maka sajian itu
hanya sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka”. (Q.S. al-
An’am : 136).

Bentuk syirik yang lain juga diungkapkan dalam al-Qur’an, ialah penyembahan terhadap
benda-benda alam. Firman Allah :

 
“Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah ialah malam, siang, matahari dan bulan.
Janganlah bersujud kepada matahari dan bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang
menciptakan-Nya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah”.  (Q.S. Fushilat : 37)

al-Qur’an melarang penyembahan terhadap matahari dan bulan, ini bukan saja berlaku bagi
benda-benda langit, melainkan bagi semua kekuatan alam yang sebenarnya sering
diungkapkan oleh al-Qur’an untuk melayani kembutuhan manusia, sebagai khalifah di bumi.

Bentuk syirik yang lain dikecam oleh al-Qur’an ialah bahwa Allah mempunyai anak laki-laki
atau perempuan. Kaum Arab Jahiliyah mengaku bahwa Allah mempunyai anak perempuan,
sedang agama Nasrani mengajarkan bahwa Allah mempunyai anak laki-laki . Seperti firman
Allah :

“Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha suci Allah, sedang
untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak laki-laki)’. (Q.S.
an-Nahl : 57).

Itulah sebabnya al-Qur’an pada  awalnya tidak memperkenalkan Tuhan kepada nabi
Muhammad Saw. bukan sebagai Allah., tetapi sebagai Rabbuka. Hal ini untuk menggaris
bawahi wujud Tuhan  Yang Maha Esa, yang dapat dibuktikan melalui ciptaan atau
perbuatan-Nya. Lebih jauh lagi, tidak digunakannya kata “Allah”  pada pada wahyu-wahyu
pertama itu adalah dalam rangka meluruskan keyakinan kaum musyrik, karena mereka juga
menggunakan kata “Allah” untuk menunjuk kepada Tuhan, namun keyakinan mereka
tentang Allah berbeda dengan keyakinan yang diajarkan oleh Islam.

Mereka misalnya beranggapan bahwa ada hubungan antara “Allah” dengan jin (Q.S. ash-
Shafaat : 158), dan bahwa Allah memiliki anak-anak wanita  (Q.S.al-Isra’ : 40) serta
manusia tidak mampu berhubungan dan berdialog dengan Allah, karena Dia demikian
tinggi dan  suci, sehingga para malaikat dan berhala-berhala perlu disembah sebagi
perantara-perantara mereka dengan Allah  (Q.S. az-Zumar : 3)   

   

6.    Hubungan Manusia dengan Tuhan

Al-Qur’an memiliki konsep dalam rangka untuk mencapai masyarakat, bangsa, manusia
dan dunia sejahtera menuru versi Islam adalah sejahtera lahiriyah bathiniyah, materiil dan
spirituil, manusia yang  utuh secara totalitas, sebagaimana firman Allah :

“Sesungguhnya bagi kaum Saba’’ ada tanda (kekuasaan  tuhan) di tempat kediaman
mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri (kepada mereka
dikatakan) : “Makanlah olehmu dari rizki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah
kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah tuhan Yang
Maha Pengampun” (Q.S. as-Saba’ : 15)
 

Pada surat al-Baqarah : 201 lebih ditegaskan lagi,

Dan diantara mereka ada yang berdo’a : Ya tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.

Dapat hidup damai, santai dan bebas dari rasa takut dan cemas, termasuk disinggung oleh
al-Qur’an sebagai unsur sejahtera yang harus diusahakan, sebagaimana firman Allah :

……Berjalanlah kamu dalam negara itu baik malam maupun siang dalam keadaan aman,
sentosa, bebas dari rasa takut dan dengan aman (Q.S. Saba’ : 18).

Bila kita kumpulkan unsur-unsur sejahtera menurut versi al-Qur’an diantaranya adalah
sebagai berikut :

a.      Ketentuan rohani karena cukup kesempatan (waktu, tempat, kebebasan) untuk bakti
kepada Allah (hablum Minallah) di jelaskan dalam surat az-Zumar : 23.

b.      Adanya kemampuan dan fasilitas untuk mengerjakan ibadah kepada tuhan termasuk
menunaikan ibadah haji dan zakat.

c.      Keserasian hubungan antar individu, antar keluarga, masyarakat  dan bangsa. Firman
Allah, “Ya Allah jadikanlah kehidupanku dengan isteriku/suamiku dan anak-anakku qurrata
a’yun (ketentraman mata, kesejukan pandangan dan suasana)”.

d.      Sehat jasmani dan rohani.

e.      Cukup sandang dan pangan. “Sungguh Allah melimpahkan rizkinya (pangan) yang
melimpah ruah (Q.S. Nuh: 11)

f.       Adanya jaminan hukum dan hak asasi, “Allah akan memantapkan landasan hukum
dalam kamu beragama dan hendaknya dibebaskan tiap-tiap manusia dari rasa takut dan
jaminan hukum sebebas-bebasnya  dalam ibadah kepada-Ku”. (Q.S. an-Nur : 55)

g.      Keleluasaan tersedianya fasilitas pendidikan dan adanya kesempatan kerja yang


seuai dengan bakatnya tanpa diskriminasi. “Sesungguhnya Allah memerintahkan
kepadamu memberikan amanat (kesempatan kerja kepada orang-orang yang berhak
(mampu) melaksanakannya) (Q.S. an-Nisa' :’58).
Norma-norma di atas bukanlah konseptual utopis, bukan khayalan, bukan juga barang yang
diharapkan jatuh dari langit, tetapi al-Qur’an memberikan syarat dalam usaha mencapai
target konsepsi masyarakat sejahtera tersebut melalui cara-cara  ilmiah rasional.

Anda mungkin juga menyukai