Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
Anestesia epidural dihasilkan dengan menyuntikkan obat anestesi local
kedalam ruang epidural. Blok saraf terjadi pada akar nervus spinalis yang berasal
dari medula spinalis dan melintasi ruang epidural. Tujuannya untuk memblok
serabut saraf spinalis (radix) dalam ruang epidural yang keluar dari dura menuju
foramen intervertebralis. Efek anestesi yang dihasilkan lebih lambat
dari anesthesia spinal dan terbentuk secara segmental.

Anestesi epidural dapat digunakan mulai dari analgesia dengan blok motorik
minimal sampai anesthesia dengan blok motorik penuh. Variasi ini dapat
dikontrol dengan pemilihan obat, konsentrasi dan dosis. Pengunaan analgesia
post operasi secara kontinu dengan narkotik atau local anestesi melalui kateter
epidural semakin popular saat ini.

1
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 Anatomi
Tulang belakang manusia terdiri dari tuang vertebral dan intervertbralis
fibrocartilagonous disk.terdiri dari ; 7 ruas vertebra servikalis, 12 ruas vertebra
thorakal, dan 5 ruas vertebra lumbal, sakrum adalah fusi dari 5 vertebra sakral dan
ada kecil rudimenter coccygeal. Tulang belakang secara keseluruhan memberikan
dukungan structural untuk tubuh dan perlindungan bagi sumsum tulang belakang
dan saraf, dan memungkinkan tingkat mobilitas dalam beberapa bidang spasial.
Ruang epidural adalah ruang antara duramater, ligamentum dan eriosteum dari
kanalis vertebra yang membantasng dari foramen magnum hingga membrane
sacrococygeus. Ruang epidural merupakan ruang potensial bertekanan negative
dengan komponen terdiri dari jaringan lemak, saluran limfatik, dan pembuluh
darah tanpa ada cairan bebas dalam ruang epidural.

Gambar 1. Anatomi vertebra


Diameter ruang epidural memiliki perbedaan pada tiap segmennya,
menurut beberapa literatur ukuran dari tiap segmen sesuai tabel 1.
Luas ruang epidural Tebal duramater
Servikal 1- 1,5 mm 1,5 – 2 mm
Thorakal atas 2,5- 3 mm 1 mm
Thorakal bawah 4 – 5 mm 1 mm
Lumbal 5 – 6 mm 0,33 – 0,88 mm
Tabel 2.1 Diameter ruang dan tebal duramater tiap segmen

2
Tekanan negatif tiap segmen juga memiliki perbedaan, tekanan negative
dari ruang epidural juga digunakan untuk menentukan apakah jarum epidural telah
memasuki ruangan epidural.
Tekanan negatif ruang epidural
Servikal 4cm h2o
Thorakal 1 – 3 cm h2o
Lumbal atas 1 cm h2o
Lumbal bawah 0,5 cm h2o

Tabel 2.2 Nilai tekanan negatif ruangan epidural.

2.2 Anestesia Epidural


Anestesi epidural merupakan salah satu bentuk teknik blok neuroaksial,
dimana penggunaannya lebih luas dari pada anestesia spinal. Epidural blok dapat
dilakukan melalui pendekatan lumbal, torak, servikal atau sacral (yang lazim
disebut blok caudal). Teknik epidural sangat luas penggunaannya pada anestesia
operatif, analgesia untuk kasus-kasus obstetri, analgesia post operatif dan untuk
penanggulangan nyeri kronis.5
Ruang epidural berada diuar selaput dura. Radiks saraf berjalan di dalam
ruang epidural ini setelah keluar dari bagian lateral medula spinalis, dan
selanjutnya menuju kearah luar.5
Onset dari epidural anestesia (10-20 menit) lebih lambat dibandingkan
dengan anestesi spinal. Dengan menggunakan konsentrasi obat anestesi lokal yang
relatif lebih encer dan dikombinasi dengan obat-obat golongan opioid, serat
simpatis dan serat motorik lebih sedikit diblok, sehingga menghasilkan analgesia
tanpa blok motorik. Hal ini banyak dimanfaatkan untuk analgesia pada persalinan
dan analgesia post operasi.5

2.2.1 Lumbal epidural

3
Lumbal epidural merupakan daerah anatomis yang paling sering menjadi
tempat insersi atau tempat memasukan epidural anestesia dan analgesia.
Pendekatan median atau paramedian dapat dikerjakan pada tempat ini. Anestesia
lumbal epidural dapat dikerjakan untuk tindakan-tindakan dibawah diafragma.
Oleh karena medula spinalis berakhir pada level L1, keamanan blok
epidural padadaerah lumbal dapat dikatan aman, terutama apabila secara tidak
sengaja sampai
menembus dura.

2.2.2 Torakal epidural


Secara teknik lebih sulit dibandingkan teknik lumbal epidural, demikian
juga risiko cedera pada medula spinalis lebih besar. Pendekatan median dan
paramedian dapat dipergunakan. Teknik torakal epidural lebih banyak digunakan
untuk intra atau post operatif analgesia.

2.2.3. Cervikal epidural


Teknik ini biasanya dikerjakan dengan posisi pasien duduk, leher ditekuk
dan menggunakan pendekatan median. Secara klinis digunakan terutama untuk
penanganan nyeri.
2.3 Teknik Anestesi Epidural
Pengenalan ruang epidural lebih sulit dibanding dengan ruang subarakhnoid.8
1. Posisi pasien saat tusukan seperti pada analgesia spinal.
2. Tusukan jarum epidural biasanya dilakukan pada ketinggian L3-4.
3. Jarum yang digunakan ada 2 macam, yaitu:
a) jarum ujung tajam (Crawford)
b) jarum ujung khusus (Touhy)

4
4. Untuk mengenal ruang epidural digunakan banyak teknik. Namun yang
paling populer adalah teknik “loss of resistance” dan “hanging drop”.

Gambar 3. Lokasi epidural anestesi

5
`Teknik “loss of resistance” lebih banyak dipilih oleh para klinisi. Jarum
epidural imasukkan menembus jaringan subkutan dengan stilet masih terpasang
sampai mencapai ligamentum interspinosum yang ditandai dengan meningkatnya
resistensi jaringan. Kemudian stilet atau introducer dilepaskan dan spuit gelas
yang terisi 2 cc cairan disambungkan ke jarum epidural tadi. Bila ujung jarum
masih berada pada ligamentum, suntikan secara lembut akan engalami hambatan
dan suntikan tidak bisa dilakukan. Jarum kemudian ditusukan secara perlahan,
milimeter demi milimeter sambil terus atau secara kontinyu melakukan suntikan.
Apabila ujung jarum telah mesuk ke ruang epidural, secara tiba-tiba akan terasa
adanya loss of resistance dan injeksi akan mudah dilakukan.
2.4 Aktifasi Epidural
Jumlah (volume dan konsentrasi) dari obat anestesi lokal yang dibutuhkan
untuk anestesi epidural relatif lebih banyak bila dibandingkan dengan anestesi
spinal. Keracunan akan terjadi bila jumlah obat sebesar itu masuk intratekal atau
intravaskuler. Untuk mencegah timbulnya hal tersebut, dilakukan tes dose
epidural. Hal ini dibenarkan dengan menggunakan jarum ataupun melalui kateter
epidural yang telah terpasang.
Test dose dilakukan untuk mendeteksi adanya kemungkinan injeksi ke
ruang subaraknoid atau intravaskuler. Test dose klasik dengan menggunakan
kombinasi obat anestesi lokal dan epineprin, 3 ml lidokain 1,5 % dengan 0,005
mg/mL epineprin 1:200.000. Apabila 45 mg lidokain disuntikan kedalam ruang

6
subaraknoid akan timbul anestesi spinal secara cepat. 15 mcg epineprin bila
disuntikan intravaskuler akan menimbulkan kenaikan nadi 20% atau lebih.
Beberapa menyarankan untuk menggunakan obat anestesi lokal yang lebih
sedikit suntikan 45 mg lidokain intratekal akan menimbulkan kesulitan
penanganan pada tempat tertentu, misalnya di ruang persalinan. Demikian juga,
epineprin sebagai marker injeksi intravena tidaklah ideal. False positif dapat
terjadi (kontraksi uterus sehingga menimbulkan nyeri yang berakibat
meningkatnya nadi) demikian juga false negatif (pada pasien yang mendapat B
bloker). Fentanil telah dianjurkan untuk digunakan sebagai test dose intravena,
yang mempunyai efek analgesia yang besar tanpa epineprin. Yang lain
menyarankan untuk melakukan tes aspirasi sebelum injeksi dapat dilakukan untuk
mencegah injeksi obat anestesi lokal secara intravena.

2.5 Penempatan Kateter


Kateter epidural digunakan untuk injeksi ulang anestesi local pada operasi yang
lama dan pemberian analgesia post operasi.
1. Kateter radiopaq ukuran 20 disusupkan melalui jarum epidural, ketika
bevel diposisikan kearah cephalad. Jika kateter berisi stylet kawat, harus
ditarik kembali1-2 cm untuk menurunkan insiden parestesia dan pungsi
dural atau vena.
2. Kateter dimasukkan 2-5 cm ke dalam ruang epidural. Pasien dapat
mengalami parasthesia yang tiba-tiba dan biasanya terjadi dalam waktu
yang singkat. Jika kateter tertahan, kateter harus direposisikan. Jika kateter
harus ditarik kembali, maka kateter dan jarum dikeluarkan bersama-sama.
3. Jarak dari permukaan belakang pasien diberi tanda pada pengukuran
kateter.
4. Jarum ditarik kembali secara hati-hati melalui kateter dan jarak dari bagian
belakang pasien yang diberi tanda pada kateter diukur lagi. Jika kateter
telah masuk, kateter ditarik kembali 2-3 cm dari ruang epidural.
5. Bila kateter sudah sesuai kemudian dihubungkan dengan spoit. Aspirasi
dapat dilakukan untuk mengecek adanya darah atau cairan serebrospinal,

7
dan kemudian kateter diplester dengan kuat pada bagian belakang pasien
dengan ukuran yang besar, bersih dan diperkuat dengan pembalutan.

2.6 Obat-obat anestesi epidural10


Anestetik lokal.
Pilihan obat anestetik lokal untuk anestesi epidural ditentukan oleh
lamanya prosedur operasi dan intensitas blok motoris yang dikehendaki.
kloroprokain adalah kerja singkat, mevipakain adalah kerja sedang, buvipakain
dan etidokain adalah kerja lama. Buvipakain konsentrasi rendah tidak cocok
digunakan pada prosedur yang membutuhkan blok motoris untuk setiap blok
sensorik dibandingkan dengan obat lainnya. Ada pun obat yang sering di pakai di
indonesia yaitu prokain, lidokain, bupivakain.
Obat Konsentrasi Lama onset
digabungkan epinefrin
Chloroprokain 2–3% 60 menit
Lidokain 1,5 % 60 – 90 menit
Mepivakain 1,5 % 90 – 120 menit
Bupivakain 0,5 % > 180 menit
Etidokain 1,0 % > 150 menit
Tabel 2.3 Konsentrasi obat dan onset

Epinefrin.
Penambahan epinefrin (5 mg/ml) kedalam anestesi lokal yang disuntikkan
kedalam ruang epidural tidak hanya memperpanjang efeknya dengan cara
menekan absorbsi, menurunkan konsentrasi obat dalam darah dan juga
mengurangi keracunan sitemik. Epinefrin juga mengurangi suatu kelainan akibat
penyuntikan intravaskuler. Sejumlah kecil epinefrin diabsorbsi dari ruang epidural
yang akan membentuk efek beta adrenergik, peningkatan tahanan pembuluh darah
sistemik dan peningkatan denyut jantung.

Dosis anestesi.
Penyebaran obat anestesi lokal dalam ruang epidural hanya tergantung
pada volume yang dinjeksikan . sedang konsentrasi anestesi lokal dalam larutan

8
hanya berpengaruh pada derajat dan densitas dari blok. Onset anestesi epidural
labih lambat walaupun ditambahkan sodium bikarbonat kedalam anestesi local
untuk mempercepat onsetnya. Volume larutan anestetik yang tepat untuk anestesi
epidural lumbal berkisar dari 15 – 25 ml. Studi pada sukarelawan muda
menunjukkan kebutuhan rata-rata adalah 1,6 ml per segemen spinal yang di
anestesi. Pada ruang epidural thorakal yang sempit kurang lebih dibutuhkan
setengahnya. Pasien yang tua, pasien hamil, dan pasien dengan tekanan intra
abdominal yang meningkat diperlukan volume anestesi lokal lebih sedikit untuk
mencapai distribusi yang diberikan. Penambahan anestetik local yang dibutuhkan
ditentukan oleh pilihan ahli anestesiologi pada observasi klinik. Bila anestesi
dihabiskan untuk dua dermatom , penambahan sepertiga sampai setengah dari
jumlah anestesi local semula akan diperoleh anestesi yang adekuat. Bilamana
menggunakan anestesi epidural dan anestesi umum bersama-sama, penambahan
dosis diberikan pada interval waktu yang sesuai dengan karakteristik obat anestesi
lokal.

2.7 Kegagalan Blok Epidural


Tidak seperti anestesi spinal, yang mana hasil akhirnya sangat jelas, dan
secara teknis tingkat keberhasilannya tinggi, anestesi epidural sangat tergantung
pada subyektifitas deteksi dari loss of resistance (atau hanging drop). Juga, lebih
bervariasinya anatomi dari ruang epidural dan kurang terprediksinya penyebaran
obat anestesi lokal, karenanya membuat anestesia epidural kurang dapat
diprediksi.
Kesalahan tempat penyuntikan obat anestesi lokal dapat terjadi dalam
sejumlah situasi. Pada beberapa dewasa muda, ligamentum spinalis lembut dan
perubahan resistensi yang baik tidak bisa dirasakan, dengan kata lain kekeliruan
dari loss of resistance tidak bisa dipungkiri. Demikian juga bila masuk ke
muskulus paraspinosus dapat menimbulkan kekeliruan loss of resistance.
Penyebab lain kegagalan anestesi epidural seperti injeksi intratekal, subdural,
daninjeksi intravena. Walaupun dengan konsentrasi dan volume yang adekuat dari

9
obat anestesi lokal telah dimasukkan kedalam ruang epidural, dan waktu yang
dibutuhkan telah mencukupi, beberapa blok epidural tidak berhasil.
Blok unilateral dapat terjadi bila obat diberikan lewat kateter yang keluar
dari ruang epidural. Bila blok unilateral terjadi, masalah tersebut dapat diatasi
dengan menarik kateter 1-2 cm dan disuntikan ulang dimana pasien diposisikan
dengan bagian yang belum terblok berada disisi bawah. Bisa juga pasien
mengeluh akibat nyeri viseral pada blok epidural yang bagus. Pada beberapa
kasus (tarikan pada ligamentum inguinale dan tarikan spermatic cord), yang
lainnya seperti tarikan peritoneum. Pada keadaan ini diperlukan pemberian
suplementasi opioid intravena. Serat aferen visceral yang berjalan bersama nervus
vagus mengakibatkan semua hal ini.

2.8 Indikasi anestesi epidural


2.8.1 Bedah daerah panggul dan lutut
Anestesi epidural untuk pembedahan daerah panggul dan lutut berhubungan
dengan rendahnya kejadian trombosis vena dalam. Perdarahan juga minimal
apabila dilakukan pembedahan dengan Teknik anestesi epidural.

2.8.2 Revaskularisasi ekstremitas bawah


Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pasien dengan penyakit
pembuluh darah perifer yang dioperasi dengan teknik anestesi epidural aliran
darah ke distal lebih besar dan oklusi pembuluh darah post operatif juga
menunjukkan angka yang lebih kecil dibandingkan dengan anestesi umum.

2.8.3 Persalinan
Pada proses persalinan yang sulit, apabila dilakukan dengan Teknik
epidural anestesi menyebabkan stress peripartum berkurang. Hal ini berhubungan
dengan menurunnya produksi katekolamin.

2.8.4 Post operatif manajemen

10
Pasien dengan gangguan cadangan paru, misalnya PPOK menunjukkan
maintenance fungsi paru lebih bagus dengan teknik epiduralanestesi dibandingkan
dengan general anestesi. Post operatif pun, pasien lebih kooperatif dan lebih cepat
dipindahkan dari recovery room

2.9 Kontra indikasi


Tabel 2.4 Kontra indikasi anestesi epidural
Kontra indikasi relatif Kontra indikasi absolut
1. Neuropati perifer Sepsis
2. “mini-dose” heparin Bakteremia
3. Demensia atau psikosis Infeksi kulit pada lokasi
injeksi
4. Aspirin atau pengobatan anti platelet Hipovolemia berat
lainnya
5. Penyakit demielisasi system Koagulopati
saraf pusat
6. Stenosis aorta Dalam pengobatan dengan
antikoagulan
7. Pasien tidak kooperatif Peningkatan tekanan intra
cranial
8. Pasien menolak
2.10 Komplikasi Anestesi Epidural
2.10.1 Intra operatif
a. Pungsi dural
Pungsi dural yang tidak disengaja terjadi pada 1 % injeksi epidural. Jika
hal ini terjadi, ahli anestesi mempunyai sejumlah pilihan tergantung pada
kasusnya. Perubahan keanestesi spinal dapat terjadi oleh injeksi sejumlah anestesi
kedalam aliran cairan serebrospinal. Kemudian anestesi spinal dapat dikerjakan
dengan menyuntikkan sejumlah anestesi lokal keruang subarachnoid melalui
jarum. Jika anestesi epidural diperlukan (misalnya untuk analgesia post-operasi),
kateter akan direposisikan kedalam interspace diatas pungsi dengan demikian
ujung dari kateter epidural berada jauh dari tempat pungsi dural. Kemungkinan
anestesi spinal dengan injeksi kateter epidural dapat dipertimbangkan.
b. Komplikasi kateter

11
1. Kegagalan pemasangan kateter epidural adalah kesulitan yang lazim, hal
ini lebih sering ditemukan apabila jarum epidural diinsersikan pada bagian
lateral dibandingkan apabila jarum diinsersikan pada median atau ketika
bevel dari jarum secara cepat ditusukkan kedalam ruang epidural. Hal
tersebut dapat juga terjadi apabila bevel dari jarum hanya sebagian yang
melewati ligamentum flavum sewaktu penurunan resistensi terjadi. Pada
kasus terakhir , pergerakan yang hati-hati dari jarum sejauh 1 mm kedalam
ruang epidural dapat memudahkan insersi kateter. Kateter dan jarum
sebaiknya ditarik dan direposisikan bersama-sama jika terjadi tahanan.

2. Kateter dapat terinsersi masuk kedalam pembuluh darah epidural sehingga


darah teraspirasi oleh kateter atau takikardia ditemukan dengan tes dosis.
Kateter seharusnya ditarik secara perlahan-lahan sampai darah tidak
ditemukan pada aspirasi dari pengetesan. Penarikan penting agar dapat
segera dipindahkan dan diinsersikan kembali.
3. Keteter dapat rusak atau menjadi terikat dalam ruang epidural. Jika tidak
terjadi infeksi, tetap memakai kateter tidak lebih banyak memberikan
reaksi dibandingkan dengan pembedahan. Pasien seharusnya
dinformasikan dan diterangkan mengenai masalah yang terjadi.
Komplikasi dari eksplorasi bedah serta pengeluaran kateter lebih besar
dibandingkan dengan komplikasi dari penanganan secara konservatif.

c. Injeksi subarachnoid yang tidak disengaja .


Injeksi dengan sejumlah besar volume anestesi lokal kedalam ruang
subarachnoid dapat menghasilkan anestesi spinal yang total.
d. Injeksi intravaskuler anestesi local kedalam vena epidural.
Menyebabkan toksisitas pada sistim saraf pusat dan kardiovaskuler
yang menyebabkan konvulsi dan cardiopulmonary arrest.
e. Overdosis anestesi lokal.

12
Toksisitas anestesi local secara sistemik kemungkinan disebabkan
oleh adanya penggunaan obat yang jumlahnya relatif basar pada
anestesi epidural.
f. Kerusakan spinal cord.
Dapat terjadi jika injeksi epidural diatas lumbal 2. Onset parestesia
unilateral menandakan insersi jarum secara lateral masuk kedalam ruang
epidural. Selanjutnya injeksi atau insersi kateter pada bagian ini dapat
menyebabkan trauma pada serabut saraf. Saluran kecil arteri pada arteri
spinal anterior juga masuk kedalam area ini dimana melewati celah pada
foramen intervertebral. Trauma pada arteri tersebut dapat menyebabkan
iskemia kornu anterior atau hematoma epidural.
g. Perdarahan perforasi pada vena oleh jarum
Dapat menyebabkan suatu perdarahan yang emergensi dan
mematikan. Jarum seharusnya dipindahkan dan direposisikan. Lebih baik
mereposisikan jarum pada ruang yang berbeda, dimana jika terdapat
perdarahan pada tempat itu maka dapat meyebabkan kesulitan dalam
penempatan jarum secara tepat.

2.10.2 Post-Operasi
a. Sakit kepala post pungsi dural.
Jika dural dipungsi dengan jarum epidural ukuran 17, menyebabkan
sebanyak 75 % dari pasien muda untuk menderita sakit kepala post pungsi
dural .
b. Infeksi Abses epidural
Suatu komplikasi yang sangat jarang timbul akibat anestesi epidural.
Sumber infeksi dari sebagian besar kasus berasal dari penyebaran secara
hematogen pada ruang epidural dari suatu infeksi pada bagian yang lain .
Infeksi dapat juga timbul dari kontaminasi sewaktu insersi, kontaminasi
kateter yang dipergunakan untuk pertolongan nyeri post-operasi atau
melalui suatu infeksi kulit pada tempat insersi. Pasien akan mengalami
demam, nyeri punggung yang hebat dan lemah punggung secara lokal.

13
Selanjutnya dapat terjadi nyeri serabut saraf dan paralisis. Pada awalnya
pemeriksaan laboratorium ditemukan suatu lekosit dari lumbal pungsi.
Diagnosa pasti ditegakkan dengan pemeriksaan Myelography atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI). Penanganan yang dianggap penting
adalah dekompresi laminektomi dan pemberian antibiotik. Penyembuhan
neurologik yang baik adalah berhubungan dengan cepatnya penegakan
diagnosis dan penanganan.
c. Hematoma epidural
suatu komplikasi yang sangat jarang dari anestesi epidural. Trauma pada
vena epidural menimbulkan coagulophaty yang dapat menyebabkan suatu
hematoma epidural yang besar. Pasien akan merasakan nyeri punggung yang
hebat dan defisit neurologi yang persisten setelah anestesi epidural. Diagnosis
dapat segera ditegakkan dengan computered tomography atau MRI. Dekompresi
laminektomi penting dilakukan untuk memelihara fungsi neurologi.
13

14
BAB III
KESIMPULAN

Penggunaan tehnik epidural anatesi baik untuk oengelolaan nyeri, post


operasi dan nyeri kronis merupakan pilihan ideal. Kateter mengalami
perkembangan yang pesat hampir memnuhi kebutuhan untuk membantu proses
manajemen nyeri. Ada pun beberapa komplikasi yang di timbulkan oleh tehnik ini
namun hal ini dapat di cegah dengan prosedur yang ketat, ataupun perawatan.
Persiapan untuk melakukan tindakan anatesi harus selalu mempersiapkan
perlengkapan dan obat untuk general anestesi. Penggunaan hemodinamik
monitoring dapat membantu mendeteksi dini komplikasi regional anestesi.
14

15

Anda mungkin juga menyukai