Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

KONSEP DASAR PROFESI (KDP)


“SENSORI, PERSEPSI DAN KOGNITIF”

OLEH :

YOSSY GUSMITA, S.Kep


2008149010114

Preseptor Akademik Preseptor Klinik

( ) ( )

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKes YARSI SUMBAR
BUKITTINGGI
2020/2021
1. Defenisi
Sensori adalah stimulus atau rangsangan yang datang dari dalam
maupun luar tubuh. Stimulus tersebut masuk ke dalam tubuh melalui organ
sensori (panca indera). Stimulus yang sempurna memungkinkan seseorang
untuk belajar berfungsi secara sehat dan berkembang dengan normal. Sensori
terdiri dari 4 komponen penting yaitu stimulus, reseptor,  konduksi,
dan persepsi. Proses sensorik adalah kemampuan untuk memproses atau
mengorganisasikan input sensorik yang diterima. Biasanya proses ini terjadi
secara otomatis, misalnya ketika mendengar suara kicauan burung, otak
langsung menterjemahkan sebagai bahasa atau suara binatang.
Persepsi (dari bahasa Latin perceptio, percipio) adalah tindakan
menyusun, mengenali, dan menafsirkan informasi sensoris guna memberikan
gambaran dan pemahaman tentang lingkungan. Persepsi meliputi semua sinyal
dalam sistem saraf, yang merupakan hasil dari stimulasi fisik atau kimia dari
organ pengindra. Seperti misalnya penglihatan yang merupakan cahaya yang
mengenai retina pada mata, pencium yang memakai media molekul bau
(aroma), dan pendengaran yang melibatkan gelombang suara. Persepsi
bukanlah penerimaan isyarat secara pasif, tetapi dibentuk oleh pembelajaran,
ingatan, harapan, dan perhatian.
Persepsi bergantung pada fungsi kompleks sistem saraf, tetapi tampak
tidak ada karena terjadi di luar kesadaran. Sejak ditemukannya psikologi
eksperimen pada abad ke-19, pemahaman psikologi terhadap persepsi telah
berkembang melalui penggabungan berbagai teknik. Dalam bidang psikofisika
telah dijelaskan secara kuantitatif hubungan antara sifat-sifat fisika dari suatu
rangsangan dan persepsi. Ilmu saraf sensoris mempelajari tentang mekanisme
otak yang mendasari persepsi. Sistem persepsi juga bisa dipelajari melalui
komputasi, dari informasi yang diproses oleh sistem tersebut. Persepsi
dalam filosofi adalah sejauh mana unsur-unsur sensori seperti suara, aroma,
atau warna ada dalam realitas objektif, bukan dalam pikiran perseptor.

2. Fisiologi
Proses sensori dibagi menjadi dua komponen yakni resepsi dan
persepsi. Sensori resepsi adalah proses menerima stimulus atau data, baik
eksternal atau internal dari tubuh. Stimulus eksternal termasuk visual
(penglihatan), auditori (pendengaran), olfactori (penghidu), tactile (perabaan)
dan gustatori (pengecap). Stimulus gustatory juga termasuk ke dalam stimulus
internal. Tipe lain dari stimulus internal adalah kinesthetic atau visceral.
Kinesthetic merujuk kepada kesadaran terhadap posisi dan pergerakan bagian
tubuh. Stereognosis adalah kesadaran terhadap ukuran objek, bentuk dan
teksture. Visceral  merujuk kepada organ-organ besar dalam tubuh.
        Persepsi adalah kemampuan untuk merasakan, mengenal,
mengorganisasikan, dan menginterpretasikan stimuli sensori. Persepsi sering
berhubungan dengan kognitif yaitu kemampuan intelektual untuk berpikir.
Proses organisasi dan interpretasi seseorang tergantung pada tingkat fungsi
intelektualnya. Kognitif termasuk elemen memori, penilaian dan orientasi.
Persepsi sensori adalah proses sadar terhadap seleksi, organisasi dan
mengartikan data dari indera ke informasi yang berarti atau kemampuan untuk
menerima kesan sensori, melalui asosiasi kortikal, menghubungkan stimuli ke
pengalaman masa lalu dan membentuk kesan dasar dari stimuli.. Macam-
macam indera antara lain: olfaktori (penghidu), visual (penglihatan), taktil
(perabaan), auditori (pendengaran), gustatori (pengecap), kinestetik
(merasakan posisi tubuh) dan viseral (merasakan organ-organ dalam tubuh).

3. Nilai – nilai normal


Resepsi dan persepsi sensori adalah dua komponen dari proses sensori,
yang keduanya dikontrol oleh sistem saraf. Normalnya sistem saraf dapat
menerima ratusan stimulus. Diawali oleh stimulus yang memacu receptor
sensori, stimulus kemudian akan diteruskan oleh neuron sensori I  kepada
sistem saraf pusat. Dari spinal cord atau batang otak, impuls kemudian
diteruskan oleh neuron sensori II kepada thalamus. Disini neuron sinaps
dengan neuron sensori III bertemu dan menghantarkan impuls dari thalamus
ke area somatosensori dari postcentral gyrus lobus parietal otak, yang juga
disebut dengan area sensori primer. Segera setelah itu, jaras sensori mulai
berproses dan meneruskan sensasi dari sisi yang berlawanan dari tubuh.
Biasanya proses tersebut terjadi pada tingkat neuron sensori II.
Kesadaran terhadap stimulus terletak pada korteks serebri, dimana
stimulus dipersepsikan dan diinterpretasikan. Untuk dapat menerima dan
menginterpretasikan stimulus, otak harus terjaga. Reticular activating system
(RAS) pada batang otak berperan dalam menyalurkan mekanisme
desakan (arousal). Tingkat aktivitas dari RAS tergantung dari besarnya
stimulus sensori yang diterima. Nyeri, dapat meningkatkan aktivitas RAS.
Setelah stimulus ditangkap oleh RAS kemudian diteruskan ke korteks serebri.
Peran dari korteks adalah memproses, menginterpresikan, menggunakan dan
menyimpan data yang masuk dan mengorganisasikannya. Peran dari thalamus
adalah pusat distribusi sinyal dan sinyal kembali dan selanjutnya diantara
korteks serebri dan thalamus.
Area lainnya yang dapat menggambarkan  aktivitas penting di otak
adalah reticular inhibitory area (RIA) yang berlokasi pada medulla. Area ini
dapat menurunkan jumlah sinyal nervus yang sedang turun pada spinal cord ke
otot dan menurunkan aktivitas yang lebih tinggi dari pusat otak. Otak
mempunyai kapasitas adaptasi terhadap stimulus sensori.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi


1. Usia
a. Bayi tidak mampu membedakan stimulus sensori. Jalur sarafnya masih
belum matang.
b. Remaja : perubahan gaya hidup dan cara-cara yang tidak baik dalam
gaya hidup akan menyumbangkan 40% kejadian miopi pada remaja.
c. Dewasa : pada usia 40 - 50 tahun Pengelihatan berubah selama usia
dewasa mencakup presbiopi  (ketidak mampuan memfokuskan pada
objek dekat). Dan pada usia 30 tahun indera pendengaran memasuki
tahap dimana mengalami penurunan ketajaman pendengaran, kejelasan
bicaram dan ambang pendeengaran
d. Lansia : mengalami  kesulitan membedakan konsonal (F,S,TH, CH).
Suara bicara bergetar, dan terdapat perpanjangan persepsi dan reaksi
bicra. Perubahan gustatori dan olfaktori mencakup penurunan dalam
jumlah ujung saraf pengecap dalam tahun terakhir dan penurunan
serabut saraf olfaktori pd usia 50. Penurunan diskriminasi rasa dan
sensifitas terhadapbau adalah umum. Proprioseptif berubah setelah usia
60 termasuk kesulitan dengan keseimbangan, orientasi mengenal
tempat, dan koordinasi. Lansia mengalami perubahan laktil, termasuk
perubahan sensitivitas terhadapnyeri, tekanan, dan suhu.
2. Medikasi
Beberapa anti biotika (misalnya : streptomosin dan gentamisin) adalah
ototoksik dan secara permanen dapat merusak saraf pendengaran ; 
kloramfenikol dapat mengiritasi saraf optik. Obat-obat analgesic narkotik,
sedative, dan anti depresan dapat mengubah persepsi stimulus.
3. Lingkungan
Stimulus lingkungan yang berlebihan (misalnya : peralatan yang
bisik dan percakapan staf didalam unit perawatan intensif ) dapat
menghasilkan beban sensori yanga berlebihan, ditandai dengan
kebingungan, disorientasi, dan ketidak mampuan membuat keputusan.
Stimulus lingkungan yang terbatas (misalnya : dengan isolasi) dapat
mengarah kepada deprivasi sensori. Kualitas lingkungan yang buruk
(misalnya penerangan yang buruk, lorong yang sempit, latar belakang yang
bising ) dapat memperburuk kerusakan sensori.
4. Tingkat Kenyamanan
Nyeri dan kelelahan mengubah cara seseorang berpersepsi dan bereaksi
terhadap stimulus.
5. Penyakit yang Ada Sebelumnya
Penyakit vascular perifer dapat menyebabkan penurunan sensasi
pada ektremitas dan kerusakan kognisi. Diabetes kronik dapat mengarah
pada penurunan pengelihatan, kebutaan atau neuropati perifer. Stroke
sering menimbulkan kehilangan kemampuan bicara. Beberapa kerusakn
neurologi dapat merusak fungsi motorik dan penerimaan sensori.
6. Merokok
Pengunaan tembakau yang kronik dapat menyebabkan atropi ujung-ujung
saraf pengecap, mengurang persepsi rasa. 
7. Tingkat  kebisingan (Pendengaran)
Pemaparan yang konstan pada tingkat kebisinagn yang tinggi (misalnya
pada lokasi pekerjaan konstruksi) dapat menyebabkan kehilangan
pendengaran.
8. Intubasi endotrakea
Kehilangan kemampuan bicara sementara akibat pemasukan selang
endotrakea melalui mulut atau hidung kedalam trakea.

5. Jenis gangguan/ Patofosiologis


Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada
persepsi seseorang salah satunya adanya penurunan kesadaran. Penurunan
kesadaran dapat disebabkan salah satunya karena adanya penurunan aliran
darah yang menuju keotak, saat itu otak akan menekan daerah hemisfer yang
berfungsi untuk mempersepsikan stimulus sehingga implus yang dihantarkan
tidak dapat sampai ke reseptor sehingga indra tidak dapat mempersepsikan
stimulus
A. Jenis gangguan sensori, persepsi, kognitif
1. Defisit Sensori.
Adalah suatu kerusakan dalam fungsi normal penerimaan dan persepsi
sensori. Individu tidak mampu menerima stimulus tertentu ( misalnya
kebutaan atau tuli ), atau stimulus menjadi distorsi ( misalnya
penglihatan kabur karena katarak ). Kehilangan sensori secara tiba-tiba
dapat menyebabkan ketakutan, marah, dan perasaan tidak berdaya.
Apabila indera rusak maka perasaan terhadap diri juga rusak . Pada
awalnya individu bersikap menarik diri dengan menghindari komunikasi
atau sosialisasi dengan orang lain dalam suatu usaha untuk mengatasi
kehilangan sensori. Klien yang mengalami deficit sensori dapat
mengubah perilaku dalam cara-cara yang adaptif atau maladaptif.
Sebagai contoh, seorang klien yang mengalami kerusakan pendengaran
dapat memutar telinga yang tidak terganggu kearah pembicara untuk
mendengar dengan lebih baik, sementara klien lain mungkin menghidar
dari orang lain untuk menghidari malu karena tidak mampu memahami
pembicaraan mereka.
Contoh defisit sensori umum :
a. Visual : presbiopi, katarak, glaukoma
b. Pendengaran : presbikusis, otitis eksternal
c.  Neurologis : stroke, neuropati perifer.
2. Deprivasi Sensori.
Sistem pengaktivasi reticular dalam batang otak menyebabkan
semua stimulus sensori ke korteks serebral, sehingga meskipun saat tidur
yang nyenyak, klien mampu menerima stimulus. Stimulasi sensori harus
cukup kualitas dan kuantitasnya untuk mempertahankan kesadaran
sesorang. Deprivasi sensori yang paling bermakna dialami klien yang
melaporkan kurangnya sentuhan manusiawi.  Jika seseorang mengalami
suatu stimulasi yang tidak adekuat kualitas dan kuantitasnya seperti
stimulus yang monoton atau tidak bermakna maka akan terjadi deprivasi
sensori.

Tiga jenis deprivasi sensori adalah :


a.       kurangnya input sensori ( karena kehilangan penglihatan dan
pendengaran )
b.      Eliminasi perintah atau makna dari input ( misal terpapar pada
lingkungan asing )
c.       Restriksi dari lingkungan ( misalnya tirah baring atau berkuranya
variasi lingkungan ) yang menyebabkan monoton dan kebosanan
Individu yang beresiko terjadi deprivasi sensori umumnya tinggal
di ruang terbatas pada perawatan dirumah. Meskipun panti
keperawatn berkualitas menawarkan stimulasii yang bermakna
melalui aktivitas kelompok, mengatur lingkungan, dan berkumpul
saat waktu makan, terdapat pengecualian. Lansia yang terbatas
dikursi roda, menderita dari pendengaran atau penglihatan yang
buruk, mengalami penurunan tenaga, dan menghindari kontak
dengan orang lain berada pada resiko yang bermakna untuk
depivasi sensori.

Efek dari deprivasi sensori adalah :


a.       Kognitif : Penurunan kapasitas belajar, ketidakmampuan
berpikir atau menyelesaikan masalah, penampilan tugas buruk,
disorientasi, berpikir aneh, regresi,
b.      Afektif : Kebosanan, kelelahan, peningkatan kecemasan,
kelabilan emosi, dan peningkatan kebutuhan untuk stimulasi
fisik.
c.       Persepsi : Disorganisasi persepsi terjadi pada koordinasi visual,
motorik, persepsi warna, pergerakan nyata, keakuratan taktil,
kemampuan untuk mempersepsikan ukiran dan bentuk,
penilaian mengenai ruang dan waktu

Tanda klinis deprivasi sensori :


a. Mengunyah dalam tidur
b. Perhatian menurun, sulit konsentrasi, penurunan dalam penyelesaian
masalah
c. Kerusakan memori
d. Periode disorientasi, kebingungan yang tiba-tiba atau menetap
e. Palpitasi
f.  Halusinasi atau delusi
g. Menangis, depresi, sensitif
h. Apatis, emosi labil.

3. Beban Sensori yang berlebihan.


Adalah suatu kondisi dimana individu menerima banyak stimulus
sensori dan tidak dapat secara perceptual tidak menghiraukan beberapa
stimulus. Pada kondisi ini stimulus sensori yang berlebihan  dapat
mencegah otak untuk berespon secara tepat atau mengabaikan stimulus
tertentu. Kerena banyak stimulus mengarah pada kelebihan sensori
sehingga individu tidak lagi mempersepsikan lingkungan secara rasional.
Kelebihan sensori mencegah respon yang bermakna oleh otak,
menyebabkan pikiran seseorang berpacu, perhatian bergerak pada
banyak arah dan menjadi lelah. Akibatnya, beban sensori yang
berlebihan menyebabkan suatu keadaan yang mirip dengan deprivasi
sensori. Akan tetapi kebalikan dari deprivasi , kelebihan sensori adalah
individual. Jumlah stimulus yang dibutuhkan untuk berfungsi sehat
bervariasi setiap individu. Toleransi seseorang pada beban sensori yang
berlebihan dapat bervariasi oleh tingkat kelelahan, sikap, dan kesehatan
emosional dan fisik.
Perubahan perilaku yang berhubungan dengan beban sensori yang
berlebihan dapat dengan mudah menjadi bingung atau disorientasi
sederhana. Perawat harus mencari gejala seperti pikiran yang terpacu,
perhatian yang terkotak-kotak, lelah dan cemas. Kien perawatan intensif
kadang-kadang berusaha memainkan selang dan balutan secara konstan.
Reorientasi yang konstan dan kontrol stimulus yang berlebihan menjadi
suatu bagian yang penting dari perawatan klien.
Beban sensori berlebihan terjadi karena tiga faktor :
a.     Peningkatan kualitas atau kuntitas stimulus internal, Contoh : nyeri,
dyspnea, cemas
b.    Peningkatan kualitas atau kuantitas stimulus eksternal, Contoh :
ruangan yang ribut terlalu ramai pengunjung
c.    Stimulus terabaikan secara selektif akibat kerusakan sistem saraf.

Tanda klinis beban sensori yang berlebihan


a.       Mengeluh lelah dan kurang tidur
b.      Mudah tersinggung dan kurang istirahat
c.       Disorientasi
d.      Kemampuan pemecahan masalah dan penampilan tugas berkurang
e.       Ketegangan otot meningkat
f.       Perhatian berubah

6. Pengkajian
1. Anamnesa
a.  Identitas diri
b. Riwayat penyakit dulu
c. Riwayat penyakit dari keluarga
d. Pengkajian fisik (head to toe)
e. Vital sign

2. 11 pola gordon


a. Pola persepsi dan manajemen kesehatan
b. Pola nutrisi
c. Pola eliminasi
d. Pola katifitas dan latihan
e. Pola persepsi dan konsep diri
f. Pola istirahat dan tidur
g. Pola peran dan hubungan
h. Pola seksual dan reproduksi
i. Pola stress dan koping
j. Pola nilai dan kepercayaan
k. Latihan

3. Pengajian indera persepsi sensori

7. Diagnosa yang mungkin muncul (SDKI)


a. Gangguan Persepsi Sensori
Tanda dan Gejala Mayor
1) Subjektif
a) Mendengar suara bisikan atau melihat bayangan
b) Merasakan sesuatu melalui indera perabaa, penciuman,
perabaan, atau pengecapan.
1) Objektif
a) Distorsi sensori
b) Respons tidak sesuai
c) Bersikap seolah melihat, mendengar, mengecap, meraba, atau
mencium sesuatu

Tanda Dan Gejala Minor


1) Subjektif
a) Menyatakan kesal
2) Objektif
a) Menyendiri
b) Melamun
c) Konsentrasi buruk
d) Disorientasi waktu, tempat, orang atau situasi
e) Curiga
f) Melihat ke satu arah
g) Mondar mandir
h) Bicara sendiri

b. Gangguan Memori
Tanda dan Gejala Mayor
1) Subjektif
a) Melaporkan pernah mengalami pengalaman lupa
b) Tidak mampu mempelajari keterampilan baru
c) Tidakmmapu mengingat informasi factual
d) Tidakmampu mengingat informasi tertentu yang pernah
dilakukan
e) Tidakmampu mengingat peristiwa
2) Objektif
a) Tidakmampu melakukan kemampuan yang dipelajari
sebelumnya

Tanda dan Gejala Minor


1) Subjektif
a) Lupa melakukan perilaku pada waktu yang telah dijadwalkan
b) Merasa mudah lupa
2) Objektif
c. Resiko Jatuh
Faktor Resiko
1) Usia ≥65 tahun (pada dewasa) atau ≤2 tahun (pada anak).
2) Riwayat jatuh
3) Anggota gerak bawah protesis (buatan)
4) Penggunaan alat bantu berjalan
5) Penurunan tingkat kesadaran
6) Perubahan fungsi kognitif
7) Lingkungan tidak aman (mis. Kicin, gelap, lingkungan asing)
8) Kondisi pasca operasi
9) Hipotensi ortostatik
10) Perubahan kadar glukosa darah
11) Anemia
12) Kekuatan otot menurun
13) Ganggua pendengaran
14) Gangguan keseimbangan
15) Gangguan penglihatan (mis. Glaucoma, katarak, ablasio retina, neuritis
optikus)
16) Neuropati
17) Efek agen farmakologis (mis. Sedasi, alcohol, anastesi umum)

8. Intervensi Keperawatan (SIKI SLKI)


NO Diagnosa SLKI SIKI

1. Gangguan Persepsi Sensori Luaran Utama Manajemen Halusinasi


Defenisi : Kriteria Hasil: Observasi
Perubahan persepsi terhadap
a. Verbalisasi a. Monitor perilaku
stimulus baik internal
mendengar yang
maupun eksternal yang
bisikan menurun mengidentifikasi
disertai dengan respon yang
b. Verbalisasi halusinasi
berkurang, berlebihan atau
melihat bayangan b. Monitor dan
terdistorsi.
menurun sesuaikan tingkat
Penyebab :
c. Verbalisasi aktivitas dan
a. Gangguan penglihatan merasakan stimulasi
b. Gangguan sesuatu melalui lingkungan
pendengaran indra perabaan c. Monitor isi
c. Gangguan penghiduan menurun halusinasi
d. Gangguan perabaan d. Verbalisasi (mis.kekerasan
e. Hipoksia serebral merasakan atau
f. Penyalahgunaan zat sesuatu melalui membahayakan)
g. Usia lanjut indra penciuman Terapeutik
h. Pemajanan toksin menurun
a. Pertahankan
lingkungan e. Verbalisasi
lingkungan yang
merasakan
aman
sesuatu melalui b. Lakukan tindakan
indra perabaan keselamatan
menurun ketika tidak dapat
f. Verbalisasi mengontrol
merasakan perilaku
sesuatu melaui (mis.limit setting,
indra pengecapan pembatasan
menurun wilayah,
g. Distorsi sensori pengekangan
menurun fisik, seklusi)
h. Perilaku Edukasi
halusinasi
a. Anjurkan
menurun
memonitor sendiri
i. Menarik diri
situasi terjadinya
menurun
halusinasi
j. Melamun
b. Anjurkan bicara
menurun
pada orang yang
k. Curiga menurun
dipercaya untuk
l. Mondar mandir
memberi
menurun
dukungan dan
m. Response sesuai
umpan balik
stimulus
korektif terhadap
membaik
halusinasi
n. Konsentrasi
c. Anjurkan
membaik
melakukan
o. Orientasi
distraksi
membaik
(mis.mendengarka
n music,
melakukan
aktifitas dan teknk
relaksasi
d. Ajarkan pasien
dan keluarga cara
mengontrol
halusinasi
Kolaborasi

a. Kolaborasi
pemberian obat
antipsikotik dan
antiansietas, jika
perlu

2. Gangguan Memori Luaran Utama Latihan Memori


Defenisi : Kriteria Hasil: Observasi
Ketidakmampuan mengingat
a. Verbalisasi a. Identifikasi
beberapa informasi atau
kemampuan masalah memori
perilaku
mempelajari hal yang dialami
Penyebab :
baru meningkat b. Identifikasi
a. Ketidakmampuan b. Verbalisasi kesalahan
stimulasi intelektual kemampuan terhadap orientasi
b. Gangguan sirkulasi ke mengingat c. Monitor perilaku
otak informasi factual dan perubahan
c. Gangguan volume meningkat memori selama
cairan dan/atau c. Verbalisasi terapi
elektrolit kemampuan
d. Proses penuaan mengingat Terapeutik
e. Hipoksia perilaku tertentu
a. Rencanakan
f. Gangguan neurologis yang pernah
metode mengajar
(mis. EEG positif, dilakukan
sesuai
cedera kepala, meningkat
kemampuan
gangguan kejang) d. Verbalisasi
pasien
g. Efek agen kemampuan
b. Stimulasi memori
farmakologis mengingat
dengan
h. Penyalahgunaan zat peristiwa
i. Faktor psikologis meningkat mengulang
(mis. Kecemasan, e. Melakukan pikiran yang
depresi, stress kemampuan yang terakhir kali di
berlebihan, berduka, dipelajari ucapkan, jika
gangguan tidur) meningkat perlu
j. Distraksi lingkungan f. Verbalisasi c. Koreksi kesalahan
pengalaman lupa orientasi
menurun d. Fasilitasi
g. Verbalisasi lupa mengingat
jadwal menurun kembali
h. Verbalisasi pengalaman masa
mudah lupa lalu, jika perlu
menurun e. Fasilitasi tugas
pembelajaran
(mis. Mengingat
informasi verbal
dan gambar)
f. Fasilitasi
kemampuan
konsentrasi (mis.
Bermain kartu
pasangan), jika
perlu
g. Stimulasi
menggunakan
memori pada
peristiwa yang
baru terjadi (mis.
Bertanya ke mana
saja ia pergi
akhir-akhir ini),
jika perlu

Edukasi
a. Jelaskan tujuan
dari prosedur
latihan
b. Ajarkan teknik
memori yang
tepat (mis.
Imajinasi visual,
perangkat
mnemonik,
permainan
memori, isyarat
memori, teknik
asosiasi, membuat
daftar, computer,
papan nama)
Kolaborasi

a. Rujuk pada terapi


okupasi, jika perlu

Orientasi Realita
Observasi

a. Monitor
perubahan
orientasi
b. Monitor
perubahan
kognitif dan
perilaku

Terapeutik

a. Perkenalkan nama
saat memulai
interaksi
b. Orientasikan
orang, temapt dan
waktu
c. Hadirkan realita
(mis. Beri
penjelasan
alternative dan
hindari
perdebatan)
d. Sediakan
lingkungan dan
rutinitas secara
konsisten
e. Atur stimulus
sensorik dan
lingkungan ( mis.
Kunjungan
pemandangan,
suara,
pencahayaan,
baud an sentuhan)
f. Gunakan symbol
dalam
mengorientasikan
lingkungan (mis.
Tanda, gambar,
warna)
g. Libatkan dalam
terapi kelompok
orientasi
h. Berikan waktu
istirahat dan tidur
yang sesuai
kebutuhan
i. Fasilitasi akses
informasi (mis.
Televise, surat
kabar, radio), jika
perlu

Edukasi

a. Anjurkan
perawatan diri
secara mandiri
b. Anjurkan
penggunaan alat
bantu (mis.
Kacamata,alat
bantu dnegar, gigi
palsu)
c. Ajarkan keluarga
dalam perawatan
orientasi realita
3. Resiko Jatuh Luaran Utama Pencegahan Jatuh
Defenisi : Kriteria Hasil: Observasi
Berisiko mengalami
a. Jatuh dari tempat a. Identifikasi faktor
kerusakan fisik dan gangguan
tidur menurun resiko jatuh (mis.
kesehatan akibat terjatuh.
b. Jatuh saat berdiri Usia >65 tahun,
menurun penurunan tingkat
Kondisi Klinis Terkait:
c. Jatuh saat duduk kesadaran, deficit
a. Osteoporosis menurun kognitif, hipotensi
b. Kejang d. Jatuh saat ortostatik,
c. Penyakit berjalan menurun gangguan
sebrovaskuler e. Jatuh saat kesimbangan,
d. Katarak dipindahkan gangguan
e. Glaucoma menurun penglihatan,
f. Demensia f. Jatuh saat naik neuropati)
g. Hipotensi tangga menurun b. Identifikasi resiko
h. Amputasi g. Jatuh saat di jatuh setidaknya
i. Intoksitasi kamar mandi sekali setiap shift
j. Preeklampsi menurun atau sesuai
h. Jatuh saat dengan kebijakan
membungkuk institusi
menurun c. Identifikasi faktor
lingkungan yang
meningkatkan
risiko jatuh (mis.
Lantai licin,
penerangan
kurang)
d. Hitung risiko
jatuh dengan
menggunakan
skala (mis. Fall
Morse Scale,
Humpty Dumpty
Scale), jika perlu
e. Monitor
kemampuan
berpindah dari
tempat tidur ke
kusi roda dan
sebaliknya

Terapeutik

a. Orientasikan
ruangan pada
pasien dan
keluarga
b. Pastikan roda
tempat tidur dan
kursi roda selalu
dalam kondisi
terkunci
c. Pasang handrall/
tempat tidur
d. Atur tempat tidur
mekanis pada
posisi terendah
e. Tempatkan pasien
berisiko tinggi
jatuh dekat
dengan pantauan
perawat dari
nurse station
f. Gunakan alat
bantu berjalan
(mis. Kursi roda,
walker)
g. Dekatkan bel
pemanggil dalam
jangkauan pasien

Edukasi

a. Anjurkan
memanggil
perawat jika
membutuhkan
bantuan untuk
berpindah
b. Anjurkan
menggunakan alas
kaki yang tidak
licin
c. Anjurkan
berkonsentrasi
untuk menjaga
keseimbangan
tubuh
d. Anjurkan
melebarkan jarak
kedua kaki
untukmeningkatk
an keseimbnagan
saat berdiri
a. Ajarkan cara
menggunakan bel
pemanggil untuk
memanggil
perawat

Manajemen
Keselamatan
Lingkungan
Observasi

a. Identifikasi
kebutuhan
keselamatan (mis.
Kondisi fisik,
fungsi kognitif
dan riwayat
perilaku)
b. Monitor
perubahan status
keselamtan
lingkungan
Terapeutik

a. Hilangkan bahaya
keselamatan
lingkungan (mis.
Fisik, biologi dan
kimia), jika perlu
b. Modifikasi
lingkungan untuk
meminimalkan
bahaya dan resiko
c. Sediakan alat
bantu keamanan
lingkungan (mis.
Commode chair
dan pegangan
tangan )
d. Gunakan
perangkat
pelindung (mis.
Pengekangan
fisik, rel samping,
pintu terkunci,
pagar)
e. Hubungi pihak
berwenang sesuai
masalah
komunitas (mis.
Puskesmas, polisi,
damkar)
f. Fasilitas relokasi
ke lingkungan
yang aman
g. Lakukan program
skrining bahaya
lingkungan (mis.
Timbal)

Edukasi

a. Ajarkan individu,
keluarga dan
kelompok risiko
tinggi bahaya
lingkungan

9. Daftar pustaka
Perry & Potter. 2006. Buku Ajar Fundal Mental Keperawatan Konsep,
Proses dan Praktik. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Tim pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standart intervensi keperawatan
indonesia edisi 1 cetakan II. Jakarta selatan: dewan pengurus pusat persatuan
perawat nasional indonesia.
Tim pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar luaran keperawatan
indonesia edisi 1 cetakan II. Jakarta selatan: dewan pengurus pusat persatuan
perawat nasional indonesia.
Tim pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar diagnosis keperawatan
indonesia. Jakarta selatan: dewan pengurus pusat persatuan perawat nasional
indonesia.

Anda mungkin juga menyukai