Anda di halaman 1dari 4

https://id.pinterest.

com/pin/550494754459252811/

https://id.pinterest.com/pin/13229392643336216/

https://id.pinterest.com/pin/800092690056743456/

https://id.pinterest.com/pin/803188914784956666/

https://id.pinterest.com/pin/282389839119312639/

TOXIC POSITIVITY

Alternatif Aksi Bagi dr. Jiemi, hal yang lebih utama ketika seseorang berhadapan dengan
kenalannya yang ditimpa kemalangan bukanlah serta-merta merespons dengan nasihat,
apalagi dorongan untuk segera berpikir positif. Mendengarkan orang yang mau berkeluh
kesah tanpa sikap menghakimi, atau memberinya kesempatan untuk mengekspresikan
setiap emosi sampai mereda adalah hal yang lebih penting dilakukan si lawan bicara.

Baca selengkapnya di artikel "Toxic Positivity: Saat Ucapan Penyemangat Malah Terasa
Menyengat", https://tirto.id/dhLM

Efek Negatif dari Toxic Positivity

Toxic positivity adalah kondisi yang terjadi saat seseorang selalu beranggapan


dengan berpikir positif, semua masalah dapat dilewati dengan baik. Orang ini
percaya jika dengan selalu positif dapat menjadi cara yang tepat untuk mengatasi
semua masalah. Pengidapnya kerap menolak perasaan emosi yang negatif dan
akhirnya dapat bertumpuk dan menimbulkan gangguan saat kesulitan untuk
dibendung.

Seseorang yang percaya pada toxic positivity akan terus berusaha menghindari


emosi negatif, padahal perasaan tersebut dihasilkan oleh otak untuk menandakan
bahaya. Jika terus dibiarkan, kamu akan kesulitan untuk menilai masalah yang
terjadi dan menganggap jika masalah yang terjadi akan terlewati dengan sendirinya.
Pasti kamu tidak ingin hal tersebut terjadi bukan?

Selain itu, kamu juga dapat menjadi sumber toxic positivity saat selalu memaksakan
orang lain melihat sisi baik ketika sesuatu yang buruk terjadi. Padahal, mungkin saja
temannya tersebut hanya ingin meluapkan perasaannya, bukan untuk mendapatkan
nasehat yang positif. Dengan begitu, dirinya tidak dapat mengekspresikan emosi
yang dipendamnya dan mungkin berdampak buruk juga pada akhirnya.

Contoh beberapa kata yang mengandung toxic positivity adalah:

"Jangan menyerah, kamu pasti bisa."


"Coba untuk melihat sisi positifnya, ..."

"Kamu harus bersyukur, coba lihat penderitaan orang lain."

"Kamu harus banyak bersyukur akan hal tersebut, ..." dan sebagainya.

Baca juga: Remaja Mudah Marah, Ini Penyebabnya

Penyangkalan demi penyangkalan terus dilakukan yang akhirnya dapat menjadi


pemicu stres dan gangguan psikis hingga fisik. Beberapa dampak buruk juga dapat
terjadi akibat toxic positivity. Berikut beberapa dampaknya:

1. Kebingungan pada Emosi Sendiri

Seseorang yang terus fokus pada toxic positivity pada akhirnya dapat mengalami


kebingungan oleh emosi yang timbul di dirinya. Gangguan tersebut dapat membuat
pengidapnya tidak berpikir secara realistis. Jika terus dibiarkan, rasa kebingungan
akan sesuatu yang dihadapi dapat timbul, sehingga sulit untuk mencari solusi dari
masalah tersebut. Pada akhirnya, rasa stres semakin bertambah dan menunggu
untuk meledak.

2. Sulit Menggambarkan Perasaan

Orang yang sangat percaya pada toxic positivity akan sulit menggambarkan


perasaan negatif pada dirinya. Sehingga, dia tidak dapat mengeluarkan rasa marah
dan kesal terhadap suatu hal. Hal tersebut mengakibatkan orang di sekitar tidak tahu
masalah yang dirasakan dan terus beranggapan jika semua baik-baik saja. Jika
sudah seperti ini, ada baiknya untuk mendapatkan penanganan dari psikolog.

 PENGERTIAN
Toxic positivity adalah kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau
orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif serta menolak emosi
negatif. 
 CIRI-CIRI

Menyembunyikan perasaan yang sebenarnya sedang dirasakan

Terkesan menghindari atau membiarkan masalah

Merasa bersalah ketika merasakan atau mengungkapkan emosi negatif

Mencoba memberikan semangat kepada orang lain, tapi sering disertai


dengan penyataan yang seolah meremehkan, misalnya mengucapkan
kalimat “jangan menyerah, begitu saja kok tidak bisa”
Sering mengucapkan kalimat yang membandingkan diri dengan orang lain,
contohnya, “kamu lebih beruntung, masih banyak orang yang lebih menderita
dari kamu”

Melontarkan kalimat yang menyalahkan orang yang tertimpa masalah,


misalnya ‘Coba, deh, lihat sisi positifnya. Lagi pula, ini salahmu juga, kan?”

Mungkin, mengucapkan kalimat positif dimaksudkan untuk menguatkan diri sendiri


atau sebagai rasa simpati terhadap masalah yang sedang dialami orang lain.
Namun, bukan berarti boleh terlalu positif hingga mengabaikan emosi negatif. Apa
pun yang berlebihan itu tidak baik, begitu pula dengan sikap dan pikiran positif.
Selain dari ucapan, media sosial juga dapat memicu toxic positivity. Secara tidak
sadar, media sosial membuat tiap orang berlomba-lomba untuk menunjukkan sisi
terbaik dari kehidupan masing-masing. Ketika melihat orang lain yang hidupnya
tampak lebih sempurna, mungkin kita akan menjadi lebih mudah sedih dan terpuruk.
Bahkan, ketika sedang merasa sangat sedih sekali pun, sebisa mungkin untuk
menutupinya dari media sosial. Hal ini membuat kita menolak segala emosi negatif
karena ingin selalu terlihat sempurna, seperti dunia yang ditampakkan di media
sosial.

 CARA MENGHINDARI
1.  Rasakan dan kelola emosi negatif
Emosi negatif yang sedang dirasakan bukanlah hal yang perlu disimpan atau
disangkal. Perasaan dan emosi, baik yang negatif maupun positif, merupakan
hal yang normal dirasakan oleh seseorang.
Untuk itu, kamu boleh meluapkan atau mengungkapkan perasaanmu agar
tidak menjadi toxic positivity. Cobalah bercerita dan ungkapkan keluh
kesahmu pada seseorang yang kamu percaya dan bisa memahami
perasaanmu. Bila kamu merasa tidak nyaman, kamu bisa menuliskannya
dalam buku harian.
2. Coba berusaha untuk memahami, bukan menghakimi
Perasaan negatif yang kamu atau orang lain rasakan bisa muncul karena
berbagai pencetus, mulai dari stres karena pekerjaan, masalah keluarga atau
finansial, hingga gejala gangguan mental tertentu, seperti gangguan mood.
Oleh karena itu, cobalah untuk memahami perasaan tersebut dan temukan
cara yang tepat untuk melepaskannya.
Jika hal ini terjadi pada temanmu, biarkan ia meluapkan emosi yang sedang
dirasakan. Setiap orang tentu tidak mau dihakimi, apalagi hanya semata-mata
karena ia jujur dengan perasaannya sendiri. Karena itu, daripada memberi
komentar yang terkesan judgemental, cobalah untuk berempati.
3. Hindari membanding-bandingkan masalah
Setiap orang memiliki tantangan dan masalahnya masing-masing. Apa yang
kamu anggap mudah dan sulit itu tentunya berbeda dengan orang lain. Bisa
saja kamu merasa hal tersebut mudah padahal bagi orang lain itu sangat
sulit, begitu pun sebaliknya.
Maka dari itu, tidak adil rasanya jika kamu membandingkan masalah yang
kamu alami dengan masalah orang lain. Alih-alih membandingkan diri sendiri
dengan orang lain, lebih baik berusaha memahami dan menghibur diri agar
kondisi dan perasaanmu kembali pulih.
4. Mengurangi penggunaan media sosial
Karena media sosial dapat memicu atau memperparah toxic positivity,
alangkah baiknya kamu coba kurangi penggunaannya. Kelola juga akun
sosial mediamu, singkirkan orang-orang yang selalu membuat postingan
kurang bermanfaat atau dapat memprovokasi emosimu.
Daripada menghabiskan waktu untuk scrolling media sosial, lebih baik buatlah
dirimu produktif dengan cara menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang
tertunda, mengasah kemampuan, melakukan me time, atau aktivitas lain yang
membuat kamu merasa bahagia.
Setelah mengetahui ciri-ciri dari toxic positivity, kini kamu tidak boleh
melakukan hal tersebut lagi, ya. Terapkan juga cara menghindari toxic
positivity yang telah dipaparkan di atas, agar kamu terhindar dari sikap ini dan
tidak menjadi sumber toxic positivity bagi orang lain.
Ingatlah bahwa tidak apa-apa untuk merasa tidak baik-baik saja. Tidak perlu
meyangkal kesedihan dan berpura-pura selalu bahagia. Kehidupan yang
dijalani setiap orang memiliki warna warninya tersendiri. Ada kalahnya kita
bisa merasa bahagia dan puas, ada kalanya juga kita bisa merasa sedih dan
kecewa.

 DAMPAK

Anda mungkin juga menyukai