Usulan Penelitian
diajukan Oleh :
Alwi Pratama AT
20170210029
Alwi Pratama AT
20170210029
Program Studi Agroteknologi
Pembimbing Utama
Pembimbing Pendamping
Mengetahui:
NIP. 1972101220004133050
i
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salak (Salacca zallaca) merupakan tanaman buah asli dari Indonesia. Buah ini
termasuk dalam keluarga Palmae yang diduga dari Pulau Jawa (Widyastuti, 1996).
Indonesia adalah negara tropis yang cocok ditumbuhi berbagai macam jenis salak seperti
yang dikatakan Santoso (1990) bahwa terdapat banyak varietas salak yang berkembang di
Indonesia, akan tetapi salak pondoh (Salacca edulis Reinw) yang paling banyak diminati
karena memiliki keunggulan seperti memiliki rasa manis, empuk dan tidak sepat pada saat
dipetik pada umur belum panen. Selain itu, salak pondoh memiliki kandungan air yang
cukup dan memiliki harga jual relatif lebih tinggi (Purnomo, 2001). Buah ini juga memiliki
kandungan gizi yang baik karena memiliki 77 Kalori, 0,4 gram Protein, 20,9 gram
Karbohidrat, 28 mg Kalsium, 18 mg Fosfor, 4,20 mg zat besi, 0,04 mg Vitamin B, 0,04 mg
Vitamin C, 2 mg Air (Rukmana,1999).
Departemen Pertanian menginformasikan bahwa total produksi salak pondoh
Indonesia sebesar 508.703 ton dengan jumlah produksi tersebut produksi belum memenuhi
kebutuhan dan permintaan pasar nasional dan internasional. Persentase pemenuhan untuk
pasar lokal sekitar 30%. Tercatat mulai dari tahun 2007 sampai 2012 produksi salak
berturut-turut yaitu 805.879, 862.465, 829.014, 749.876, 1.082.125, dan 1.035.407 ton
(Badan Pusat Statistik, 2014). Menurut Ardyan (2012), untuk kegiatan ekspor salak, Badan
Pusat Statistik mencatat selama 2007 hingga September tahun 2012, ekspor salak mencapai
949,5 ton, atau senilai USD 1,04 juta. Pencapaian tersebut meningkat 37,7% dibandingkan
periode tahun sebelumnya. Begitu juga dengan salak pondoh yang pada tahun 2012,
Pemerintah Sleman mengekspor salak pondoh sebanyak 320,79 ton dan pada tahun 2013
Sleman kembali mengekspor salak sebesar 199,96 ton (Slemankab, 2015).
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan semakin terkenal nya salak
pondoh, permintaan untuk salak pondoh semakin meningkat maka dari itu buah ini banyak
dibudidayakan dan dikembangkan di Indonesia sebagai salah satu komoditas buah yang
permintaannya tinggi dan bisa menghasilkan namun sebelum di pasarkan ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam menangani buah salak. Pada umumnya buah salak segar
hanya dapat bertahan disimpan selama ± 12 hari pada suhu kamar (Putra, 2011). Buah salak
cepat mengalami kerusakan jika tidak segera dimanfaatkan, didukung dengan iklim tropis
1
2
yang panas dan lembab sehingga daya simpan buah salak segar menjadi pendek. Kerusakan
yang terjadi pada buah salak dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu
faktor fisiologis, mekanis, kimiawi, dan mikrobiologi. Setelah dipanen buah salak masih
mengalami aktivitas fisiologis yaitu respirasi, transpirasi dan reaksi kimia lain yang
menyebabkan penurunan mutu pada buah salak.
Buah salak akan cepat mengalami kerusakan jika tidak segera dimanfaatkan dan
diberi penanganan pasca panen yang tepat. Berdasarkan permasalahan yang ada maka perlu
adanya teknologi penanganan buah salak segar untuk meningkatkan daya simpan dan
menghambat kerusakan. Oleh sebab itu pada penelitian ini dilakukan penyimpanan buah
salak pada suhu rendah yang bertujuan untuk meningkatkan daya simpan dari buah salak
tersebut karena pendinginan merupakan salah satu cara yang umum digunakan untuk
menghambat penurunan mutu produk (Pantastico, 1986). Penyimpanan dingin
dimaksudkan untuk menurunkan suhu produk sehingga akan memperlambat laju respirasi
sebelum dilakukan penanganan pasca panen lanjutan. Penyimpanan dengan suhu dibawah
suhu optimal dapat menyebabkan chilling injury, sehingga mutu turun. Sebaliknya
penyimpanan diatas suhu optimal dapat menurunkan masa simpan produk.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah perlakuan heat treatment berpengaruh dalam mencegah chilling injury buah
salak pondoh?
2. Perlakuan manakah yang paling efektif dalam mempertahankan kualitas pada buah
salak pondoh?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui pengaruh perlakuan heat treatment dalam mencegah chilling injury buah
salak pondoh.
2. Mengetahui perlakuan manakah yang paling efektif dalam mempertahankan kualitas
buah salak pondoh.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Salak
Salak (Salacca edulis) merupakan salah satu jenis buah yang berkembang dalam
kondisi iklim tropis salah satunya di Indonesia. Salak mempunyai rasa daging yang kelat
(sepat), asam, dan manis. Ada beberapa varietas salak yang sudah dikenal sebagian
masyarakat dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia salah satunya yaitu varietas salak
pondoh. Salak pondoh menjadi salah satu varietas yang populer diantara varietas salak
yang lain di Indonesia, maka dari itu buah salak pondoh ini memiliki peluang agribisnis
yang menguntungkan di masa mendatang sejalan dengan meningkatnya konsumsi buah-
buahan dalam negeri maupun permintaan luar negeri (Adirahmanto, 2013).
Salak (Salacca edulis) termasuk dalam keluarga Palmae yang diduga dari Pulau
Jawa. Tanaman salak ini tumbuh secara berumpun dan tinggi tanamannya dapat mencapai
7 m, tetapi rata-rata yang tumbuh tidak lebih dari 4,5 m. Tanaman ini merupakan tanaman
berumah dua yang dapat menghasilkan bunga jantan terpisah dengan tanaman yang
menghasilkan bunga betina. Batang berduri hampir tidak terlihat karena tertutup oleh
pelepah daun yang tumbuh rapat. Daun tersusun berbentuk roset seperti pedang dengan
panjang antara 2,5 – 7 m. Bunga jantan dan bunga betina merupakan bunga majemuk yang
masing-masing tersusun dalam bunga tongkol. Buah tersusun dalam tandan yang masing-
masing muncul dari ketiak daunnya. Buah yang dihasilkan biasanya berbentuk bulat atau
bulat telur terbalik dengan bagian pangkal meruncing. Kulit buah salak ini mempunyai
sisik dan tersusun rapih seperti genteng. Warna buah salak ini beragam dari kuning sampai
hitam. Tiap buah salak terdiri dari 3 septa daging buah. Rasanya bervariasi, ada yang
manis, asam, sepat atau kombinasi dari ketiganya (Widyastuti, 1996).
Ternyata tidak hanya di Indonesia, salak juga dapat tumbuh dan menyebar di
Malaysia, Filipina, Brunei, dan Thailand (Widyastuti, 1996). Tanaman salak dapat tumbuh
dengan produktif pada lingkungan yang ideal. Ketinggian tempat yang diinginkan berkisar
antara 1 – 400 m di atas permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 200 – 400 mm /bulan.
Suhu udara harian daerah antara 20℃ – 30℃ dan terkena sinar matahari antara 50 – 70%
menjadi tempat yang baik untuk pertumbuhannya. Jenis tanah yang ideal adalah tanah yang
gembur, mengandung bahan organik, dengan air tanah yang dangkal, dan mampu
menyimpan air tetapi tidak mudah tergenang (Widyastuti, 1996).
3
4
Salak yang sudah mencapai umur 6 – 7 bulan umumnya sudah dapat dipanen sejak
hari penyerbukan. Buah yang dipetik pada umur tersebut sudah masak, rasanya manis,
beraroma salak dan masir. Cara pemanenan buah salak biasanya dilakukan dengan
memotong tangkai tandannya menggunakan sabit. Buah salak dalam satu tandan memiliki
kematangan yang tidak seragam, maka dari itu dilakukan petik pilih dari tandannya
(Mandiri, 2010). Buah salak yang sudah matang ditandai dengan sisik yang jarang, warna
kulit buah merah kehitaman atau kuning tua dan bulu-bulunya telah hilang. Ujung kulit
buah (bagian buah yang meruncing) bila ditekan terasa lunak, warnanya mengkilat dan
mudah terlepas bila dipetik dari tandannya (Mandiri, 2010).
Buah salak bersifat mudah rusak jika tidak dilakukan penanganan yang tepat,
kerusakan salak ditandai dengan bau busuk dan daging buah berwarna kecoklatan serta
menjadi lembek. Setelah pemanenan, buah ini masih terus melakukan proses fisiologi
seperti perubahan warna, respirasi, proses biokimia ataupun perombakan fungsional akibat
pembusukan oleh mikroba. Dengan aktivitas fisiologis tersebut, secara berangsur mutu
buah akan menurun, kulit buah kering dan daging buah mulai layu, gejala infeksi patogen
mulai terlihat, hingga akhirnya buah akan menjadi busuk (Arbie, 2010). Diperlukan
penanganan pascapanen yang tepat untuk mempertahankan kualitas dan kesegarannya
serta memperpanjang masa simpannya (Ristek, 2009).
B. Heat Treatment
Teknik perlakuan panas (heat treatment) merupakan satu alternatif baru yang
digunakan dalam proses ekspor buah-buahan untuk proses disinfestasi hama dan
pengendalian penyakit. Perlakuan panas yang seringkali digunakan antara lain dengan
menggunakan air panas (hot water treatment, HWT), uap panas (vapor heat treatment,
VHT) dan udara panas (hot air treatment, HAT) (Lurie, 1998). Sebelum penerapan
teknologi perlakuan panas ini, biasanya buah-buahan dikenai perlakuan fumigasi
menggunakan etilen dibromida (EDB) atau metil bromida (MB). Penggunaan bahan kimia
tersebut cukup efektif untuk disinfestasi lalat buah, namun residu kimia pada buah-buahan
dikhawatirkan dapat membahayakan kesehatan konsumen. Kini penggunaan senyawa
kimia untuk fumigasi buah-buahan /sayuran telah dilarang oleh USDA sejak tahun 1984
(Kader, 1992).
5
Menurut Hasbullah (2002), metode pencelupan dengan air panas lebih efisien
sebagai wadah pemindah panas daripada udara panas atau semprotan air panas sebab dapat
menghantarkan panas dari air yang bersuhu tinggi ke seluruh bahan secara total bukan
hanya pada permukaan saja dengan waktu pencelupan dapat dilakukan 1 jam atau lebih
dengan suhu dibawah 50℃. Air panas merupakan medium penghantar panas yang paling
baik karena mudah diperoleh dan tidak adanya residu pada buah. Khusus untuk pencegahan
kebusukan akibat jamur dapat dilakukan dalam hitungan menit dan suhu diatas 50℃.
Menurut Padieu (2002), HWT menunjukkan beberapa dampak positif sanitasi terhadap
beberapa jenis penyakit, hama dan serangga (termasuk telurnya) yang biasanya muncul
pada bahan berkayu tanpa adanya perubahan pada susunan vegetatif tumbuhan. Uap panas
juga sebenarnya merupakan medium penghantar panas yang efisien, karena panas laten
akan diteruskan kepada komoditi saat air mengembun di permukaan, tetapi persoalan yang
muncul adalah pada pengaturan suhunya yang sangat sukar. Udara panas tidak bermanfaat
untuk kebanyakan hasil-hasil segar, karena dapat menimbulkan kehilangan air yang terlalu
banyak dari komoditi.
Menurut Soesanto (2006), kondisi kehangatan air berkisar antara 40-50◦C dengan
lama perendaman yang beragam antara 5-10 menit, disesuaikan dengan jenis dan ukuran
produk pascapanen yang diperlakukan. Pada perlakuan 12 perendaman dengan air panas,
dapat ditambahkan dengan beberapa bahan kimia, seperti fungisida dan sebelum
perendaman dilakukan, harus dipastikan terlebih dahulu bahwa bahan yang akan dikenai
perlakuan memiliki kondisi yang baik tanpa adanya luka di permukaan buah. Suhu
perendaman sebaiknya tidak melebihi batas ketentuan, karena hal ini dapat merusak
tampilan maupun kandungan produk tersebut. Ketika kondisi udara lebih lembab daripada
biasanya, maka suhu perendaman harus diturunkan karena kerentanan kulit buah lebih
rentan.
Menurut Schirra et al. (2000); Fallik (2004) dalam Zong et al. (2010), HWT
dilaporkan cukup efektif dalam mengontrol penyakit pasca panen pada buah-buahan.
Dalam penelitian sebelumnya, telah ditemukan bahwa perlakuan HWT selama 20 dan 40
menit secara signifikan mereduksi penyakit dan mengurangi diameter bercak penyakit pada
buah tomat yang disebabkan oleh Botrytis cinerea, sedangkan perlakuan selama 60 menit
secara signifikan hanya dapat mengurangi diameter bercak penyakit. Hal ini
6
C. Chilling Injury
Penyimpanan buah-buahan dan sayur-sayuran segar adalah untuk memperpanjang
daya gunanya dan dalam keadaan tertentu memperbaiki mutunya. Walaupun data
mengenai jumlah kerusakan pasca panen sayuran/buah-buahan di Indonesia belum
diketahui secara pasti, namun dari data yang berhasil dikumpulkan diperkirakan bahwa
kerusakan tersebut mencapai lebih dari 25%. Kerusakan tersebut terutama disebabkan
karena penanganan pasca panen (termasuk pengepakan dan pengangkutannya) yang
kurang baik, suhu rata-rata harian dan kelembaban udara di Indonesia yang cukup tinggi,
serta belum adanya sistem pengawetan yang memadai yang diterapkan untuk komoditas
tersebut (Anggibitho, 2010).
Umur simpan dapat diperpanjang dengan pengendalian suhu atau pendinginan,
karena sampai sekarang pendinginan merupakan satu-satunya cara yang ekonomis untuk
penyimpanan jangka panjang bagi buah-buahan segar (Pantastico,1989). Tujuan
penyimpanan suhu dingin (chilling storage) adalah untuk mencegah kerusakan tanpa
mengakibatkan pematangan abnormal atau perubahan yang tidak diinginkan sehingga
dapat mempertahankan komoditas dalam kondisi yang dapat diterima oleh konsumen
selama mungkin. Pendinginan pada suhu di bawah 10°C kecuali waktu yang sangat singkat
tidak mempunyai pengaruh yang menguntungkan bila komoditas itu peka terhadap cacat
suhu rendah (chilling injury) (Winarno, 1990).
Penyimpanan pada suhu rendah diperlukan karena dapat menekan aktivitas
respirasi dan metabolisme, mengurangi proses penuaan karena adanya proses pematangan,
menekan kehilangan air dan pelayuan, perubahan warna dan tekstur, menunda proses
pelunakan dan pembusukan, mencegah kerusakan karena aktivitas mikroba, serta
mengurangi proses pertumbuhan yang tidak dikehendaki. Suhu penyimpanan optimum
untuk masing-masing buah berbeda-beda (Wahyuningsih, 2010). Berbagai kerusakan
7
sayuran yang diakibatkan oleh mikroba dapat dihindari dengan menyimpan pada suhu
rendah, karena sebagian mikroba tidak dapat hidup pada suhu rendah. Proses pendinginan
sehari-hari umumnya menggunakan suhu antara 1 derajat – 4 derajat Celcius. Sedangkan
pendinginan beku menggunakan suhu di bawah 0 derajat Celcius sekitar –1,5 ± 0,2 derajat
Celcius, dapat digunakan untuk menyimpan bahan pangan antara 9 – 10 minggu.
Proses pendinginan ini biasanya disebut dengan Chilling. Selain suhu, kelembaban,
udara juga berpengaruh terhadap proses penyimpanan. Sehingga kombinasi keduanya
sangat diperlukan untuk mendapatkan daya simpan optimum yang dikehendaki (Dinas
Pertanian DIY, 2011). Sayuran dan buah-buahan tertentu dapat mengalami kerusakan pada
suhu rendah (0 - 10˚C). Pada suhu tersebut sayuran dan buah-buahan tertentu tidak dapat
melakukan proses metabolisme secara normal. Biasanya komoditas yang disimpan
kelihatan bagus jika baru dikeluarkan dari suhu dingin, tetapi setelah dibiarkan beberapa
waktu pada keadaan yang lebih hangat (di luar) mulai timbul beberapa kelainan misalnya
ada lekukan, cacat, bercak-bercak kecoklatan pada permukaan, penyimpangan warna di
bagian dalam, atau gagal matang (Muchtadi,1992).
Pada suhu rendah, aktifitas metabolisme termasuk pernafasan buah tersebut
menjadi lambat, sehingga proses pematangan buah juga menjadi lebih lambat. Oleh sebab
inilah mengapa sayuran atau buah-buahan yang disimpan di dalam lemari pendingin
(kulkas) menjadi tahan lama disimpan. Meskipun demikian, ternyata cara pendinginan
tidak dapat dilakukan terhadap semua jenis sayuran atau buah-buahan. Sering kita temukan
bahwa buah-buahan yang kita simpan di dalam lemari pendingin menjadi berbintik-bintik
cokelat dan rasanya pun menjadi tidak enak. Inilah yang dikenal sebagai ―kerusakan
dingin‖ (chilling injury), dan apabila hal ini berlanjut maka yang akan terjadi adalah
kebusukan.
Penyimpanan buah-buahan dan sayur-sayuran memerlukan temperatur yang
optimum untuk mempertahankan mutu dan kesegaran. Temperatur optimum dapat
menyebabkan kerusakan karena pendinginan (chilling injury). Pendinginan tidak
mempengaruhi kualitas rasa, kecuali bila buah didinginkan secara berlebihan sehingga
proses pematangan terhenti. Meskipun penyimpanan dingin direkomendasikan untuk
memperpanjang umur simpan dan kualitas salak, chilling injury selama penyimpanan harus
dipertimbangkan. Sudah dinyatakan secara universal bahwa cedera dingin adalah
8
gangguan fisiologis normal dari buah tropis dan subtropis yang disimpan pada suhu rendah.
Gejala paling umum dari cedera dingin yang terjadi di salak adalah kulit pitting dan warna
kulit hitam atau kecoklatan, dan daging menjadi coklat dan lunak (Dangcham, 1999;
Mahendra dan Janes, 1993).
D. HIPOTESIS
Diduga perlakuan Heat Treatment 50℃ selama 10 menit merupakan perlakuana yang
paling efektif untuk mencegah chilling injury dan mempertahankan umur simpan buah
salak utuh yang disimpan pada chiller (suhu 3-5℃, 7-10℃, 15 − 17℃).
III. TATA CARA PENELITIAN
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain buah salak pondoh segar yang
berjumlah 216 buah dan diperoleh dari kebun salak di Kabupaten Sleman, Buah salak
untuk percobaan ini adalah buah salak masak optimal dan layak petik (6 bulan setelah
bunga mekar), air aquadest.
C. Metode Penelitian
Metode penelitian disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) menggunakan
rancangan percobaan faktorial dengan Heat Treatment dan suhu penyimpanan. Perlakuan
yang diujikan meliputi:
P1: Heat Treatment 50◦c 5 menit pada suhu 3-5℃
P2: Heat Treatment 50◦c 5 menit pada suhu 7-10℃
P3: Heat Treatment 50◦c 5 menit pada suhu 15-17℃
P4: Heat Treatment 50◦c 10 menit pada suhu 3-5℃
P5: Heat Treatment 50◦c 10 menit pada suhu 7-10℃
P6: Heat Treatment 50◦c 10 menit pada suhu 15-17℃
P7: Heat Treatment 50◦c 15 menit pada suhu 3-5℃
P8: Heat Treatment 50◦c 15 menit pada suhu 7-10℃
P9: Heat Treatment 50◦c 15 menit pada suhu 15-17◦℃
Masing-masing perlakuan disimpan pada suhu yang berbeda selama 3 minggu dan
dilakukan ulangan sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 27 unit perlakuan. Setiap perlakuan
terdiri dari 8 Buah, sehingga total salak yang digunakan sebanyak 216 buah.
9
10
3. Heat Treatment
menyiapkan air untuk dipanaskan di dalam waterbath hingga mencapai suhu yang
dibutuhkan yaitu 50o C. kemudian buah salak di celupkan ke dalam air yang telah
dipanaskan selama 5 menit, 10 menit dan 15 menit. Pada tahap ini dibutuhkan
termometer air raksa untuk mengetahui dan mengatur suhu air agar sesuai dengan yang di
butuhkan dan timer untuk menghitung waktu yang sudah di tetapkan.
4. Pengamatan salak
Pengamatan buah salak diamati berdasarkan susut berat (%) dilakukan dengan
menggunakan alat timbangan, Gula Total (brix%) dilakukan menggunakan refractometer,
SEM merupakan elemen yang penting untuk mengetahui sifat edible film, kekerasan
(N/mm) menguji kekerasan menggunakan alat penetrometer fruit dan Indeks Browning
atau Pengukuran warna biasa dilakukan menggunakan alat chromameter.
11
Heat Treatment
Pengamatan salak
Untuk mengetahui pengaruh pengaplikasian heat treatment dan lilin terhadap salak
(Salacca edulis) maka dilakukan pengamatan dengan beberapa parameter yaitu:
3. SEM
Preparasi sampel lembaran edible film diawali dengan memotong lembaran dengan
lebar 1 x 1 cm dan ditempelkan pada set holder, kemudian dilapisi dengan logam emas
dalam keadaan vakum. Sampel dimasukkan pada tempat di dalam SEM, kemudian Gambar
topografi diamati dan dilakukan perbesaran 1000 kali, 5000 kali, 10.000 kali dan 20.000
kali. SEM berfungsi menentukan bentuk (morfologi) serta perubahan struktur dari suatu
bahan misalnya patahan, lekukan. Karakteristik mikrostruktur edible film dengan Scanning
Electron Microscopy (SEM) merupakan elemen yang penting untuk mengetahui sifat
edible film (Fatma et al., 2016).
13
4. Kekerasan (N/mm )
Pengamatan uji kekerasan buah salak pondoh pada awal dan akhir pengamatan.
Untuk menguji kekerasan menggunakan alat penetrometer fruit, dengan ukuran 3 mm yang
ditusukan ke buah salak pondoh seban yak 3 kali lalu merata-rata hasilnya, kekerasan
dinyatakan dalam satuan N/mm³ (Yongki, 2014)
5. Indeks Browning
Pengukuran warna dilakukan menggunakan alat chromameter. Pengukuran
meliputi atribut warna CIELAB (L, a, b, C, °H, ΔE). L menunjukkan kecerahan dengan
nilai 0 (gelap/hitam) hingga 100 (terang/putih), sedangkan a dan b adalah koordinat-
koordinat chromameter, dimana a untuk warna hijau (a negatif) sampai merah (a positif)
dan b untuk warna biru (b negatif) sampai kuning (b positif) (Hutchings,1999). Kecerahan
diukur berdasarkan intensitas warna dengan menggunakan Chromameter Minolta CR-400.
Pengamatan dilakukan pada hari ke- 0, ke- 3, ke-6, ke- 9, ke-12 dan ke-15. Total perubahan
warna (ΔE) selama penyimpanan diperoleh dengan menggunakan rumus :
ΔE = [(ΔL)² + (Δa)² + (Δb)²] ½
Keterangan:
ΔL* (L* sampel dikurangi L* standar) = perbedaan terang dan gelap (+ = lebih terang, – =
gelap)
Δa* (a* sampel minus a* standar) = perbedaan merah dan hijau (+ = merah, –= hijau)
Δb* (b* sampel dikurangi b* standar) = perbedaan kuning dan biru (+ = lebih kuning, – =
biru)
ΔE* = Total perbedaan warna
6. Uji Organoleptik
Skor hedonik yang digunakan dinilai berdasarkan tingkat kesukaan yang kemudian
dinyatakan dengan skala numerik, yaitu (1) sangat tidak suka, (2) tidak suka, (3) suka, (4)
sangat suka. Nilai yang diperoleh dari tiap tiap sampel yang disajikan dijumlahkan
kemudian dibagi jumlah panelis untuk menentukan skor akhir rata-rata. Pengujian
dilakukan pada hari ke- 0, ke- 3, ke- 6, ke- 9, ke- 12 dan ke-15.
% warna, rasa dan aroma = (𝚺 𝐬𝐤𝐨𝐫 𝐱 𝐧𝐢𝐥𝐚𝐢 𝐦𝐮𝐭𝐮 𝐩𝐚𝐧𝐞𝐥𝐢𝐬)
𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐚𝐧𝐞𝐥𝐢𝐬
F. Analisis data
Data pengamatan yang akan dianalisis menggunakan data sidik ragam (Analysis of
Variance), apabila ada beda nyata antara perlakuan, untuk mengetahui antar perlakuan
yang berbeda digunakan Uji Jarak Ganda Dunca atau Duncan Multiple Range Test
(DMRT) pada taraf 5%. Dan yang diperoleh disajikan dalam bentuk table, grafik, dan
sebagian dalam bentuk foto dan gambar.
15
G. Jadwal Penelitian
16
17
LayOut Penelitian
Keterangan :