Anda di halaman 1dari 48

BAGIAN I

DASAR-DASAR MANAJEMEN MUTU


BAB I

KONSEP-KONSEP MANAJEMEN MUTU

Sasaran

 Memperkenalkan konsep mutu dari perspektif manajer pelayanan kesehatan

 Menjelaskan secara umum istilah-istilah mutu yang dipergunakan

 Menjelaskan manajemen mutu yang dipergunakan dalam buku ini

 Menggambarkan kontinuum mutu bagi para manajer

Seorang ibu tiba di ruang praktek seorang dokter untuk melakukan cek-up

anaknya yang sehat yang berusia 6 bulan. Seperti dalam cek-up sebelumnya, dia tiba di

sana sepuluh menit lebih awal dan meminta menunggu di ruang tunggu khusus bagi anak

sehat agar anaknya tidak terkena infeksi dari anak-anak yg sakit yg menunggu di ruang

tunggu umum. Janji pemeriksaan yang sudah dijadwalkan pada 10:00 AM sudah lewat.

Tapi si ibu belum dipanggil juga. Jam telah menunjukkan pukul 10:30, kemudian 11:00,

kemudian 11:30. Perawat dengan sopan mengatakan bahwa tadi dokter mendapat

panggilan darurat dengan berkata, “Saya yakin anda pasti akan mengerti. Jika ini terjadi

pada anak anda, anda tentu ingin dokter segera memeriksa anak anda.” Meskipun si ibu

maklum akan keterlambatan tersebut, penjelasan perawat tidak meringankan hatinya

mengingat dia harus menjemput putranya di sekolah siang itu. Si ibu akhirnya menemui

perawat yg telah merusakkan harinya, yang selalu terlihat sedang menikmati makan

siangnya setiap kali dia melewati ruang perawat, untuk menanyakan apakah putrinya bisa

mendapatkan suntikan imunisasi yang diperlukan jika dia menjadwal-ulang pertemuan di

hari yang lain.


Kecewa dengan waktu yang terbuang sia-sia di ruang praktek dokter dan kecewa

karena harus datang lagi di lain waktu untuk melakukan cek-up, si ibu mendesak ingin tahu

apakah pada pemeriksaan nanti (yg sudah dijadwal-ulangkan) dokter akan mendapat

panggilan darurat lagi. Ketika si ibu dan anaknya tiba untuk pemeriksaan yang telah

dimundurkan, si ibu tidak pernah menjauh dari meja resepsionis sampai-sampai semua

staff tahu bahwa dia sedang menunggu dan siap untuk diperiksa. Para staff dengan segera

mengidentifikasi ibu ini sebagai “masalah”.

Karena si anak mendapat suntikan imunisasinya dan layanan kesehatan anak sehat

yang berlandaskan dengan pedoman-pedoman dari American Academy of Pediatries orang

bisa menyimpulkan bawa dia dan keluarganya telah mendapat layanan kesehatan medis

dengan kualitas tinggi. Meskipun intervensi-intervensi medis dilakukan secara menyeluruh

dan dilaksanakan menurut pada petunjuk klinis yang paling baik yang tersedia, tak adanya

manajemen mutu menjadi sebab munculnya ketidakpuasan keluarga ini dalam berinteraksi

dengan sistem layanan kesehatan. Dalam contoh ini, tidak adanya manajemen mutu

digambarkan melalui beberapa situasi: dokter ditugaskan untuk menangani pemeriksaan

anak sehat sekaligus menangani panggilan darurat pada hari yang sama, penjadwalan

pasien dan sistem antri yang tidak efektif, dan ruang praktek atau kantor yang tidak

memiliki mekanisme yang bagus dalam berkomunikasi dengan pasien dan dalam

menangani harapan dan menanggapi keinginan mereka. Isu-isu ini tidak ada kaitannya

dengan kualitas layanan kesehatan medis; semua ini berkenaan dengan kualitas pelayanan

pasien.

Contoh ini mengilustrasikan pertanyaan penting yang harus dijawab oleh manajer

yang ada di organisasi-organisasi layanan kesehatan: apakah yg dimaksud dengan

kualitas/mutu? Apakah yang dimaksud dengan Manajemen Mutu? Apakah peran manajer
dalam proses mutu? Bab ini akan mulai dengan membahas pertanyaan-pertanyaan tersebut

dengan menjelaskan apa itu manajemen, menggambarkan hubungan antara manajemen

dengan mutu, dan menjernihkan konsep-konsep umum dan term-term penjelas yang secara

khusus berhubungan dengan kata “kualitas” dan bagaimana semua itu digunakan dan

dipahami dalam suatu layanan kesehatan.

Mengapa Harus Fokus pada Manajemen?

Manajemen dalam konteks organisasi-organisasi layanan kesehatan merupakan fokus dari

buku ini. Dengan semakin banyaknya studi-studi yang menunjukkan gap dalam kualitas

layanan kesehatan di Amerika Serikat (lihat Gambar 1.1), apa pentingnya kita berfokus

pada manajemen? Alasannya adalah bahwa semua layanan kesehatan diberikan dalam

dan/atau antara organisasi. Scott (1998,10) menjelaskan organisasi sebagai “struktur sosial

yang dibentuk beberapa individu untuk mendukung kegiatan usaha bersama dalam

mencapai tujuan yang telah ditentukan.” Metode operasi dan karakteristik kelembagaan

dari suatu organisasi layanan kesehatan mungkin saja berbeda satu sama lain berdasarkan

pada perbedaan tujuan, fokus dan nilai yang dianut (Kelly 2002; Kaboolian 2000). Akan

tetapi, apakah tujuan dari suatu organisasi layanan kesehatan adalah pemberian layanan,

kesehatan publik, pendidikan atau sosialisasi kesehatan; apakah fokus dari suatu organisasi

layanan kesehatan adalah layanan kesehatan dasar, layanan kesehatan akut, layanan jangka

panjang, atau asuransi atau pengurusan pembayaran; dan apakah nilai kegiatan dari suatu

organisasi layanan kesehatan adalah perkotaan atau pedesaan, umum atau privat, non profit

atau mencari profit, dimiliki perseorangan atau lembaga pemerintah, semua organisasi

harus melakukan hal yang berikut ini (Scott 1988,10):

 Mendefinisikan dan mendefinisikan kembali tujuan


 Mendorong para partisipan untuk menyumbangkan kontribusi dalam memberikan
layanan
 Mengontrol dan mengordinasikan semua kontribusi ini
 Menginventarisir sumberdaya yang ada di lingkungan
 Menyebarluaskan produk dan layanan
 Memilih, melatih, dan mengganti para partisipan
 Menciptakan kerjasama dengan organisasi sekitar

Sementara memberikan layanan aktual (misalnya pelaksanaan pembedahan

jantung) dan membuat produk aktual (misalnya menyediakan air bersih) merupakan

fungsi-fungsi dari para profesional klinis dan teknis, tugas-tugas organisasional yang

disebutkan di atas merupakan fungsi-fungsi manajemen di berbagai level dalam suatu

organisasi. Ruang lingkup, fokus, perspektif, dan taktik bisa beragam tergantung dari level

manager (misalnya, administratif senior, manajemen menengah, supervisor garis depan);

akan tetapi, semua orang yang menjalankan peran manajemen atau mengemban tanggung

jawab manajemen dalam suatu organisasi diharuskan mencari cara untuk melaksanakan

tugas-tugas organisasional yang sudah digariskan.

 Pada 2003, pengeluaran layanan kesehatan AS mencapai $1.679 juta atau


setara 15% dari gross domestic product (GDP) (Biro Sensus AS 2005; OECD
2005)
 Pada 2003, Pemerintah Amerika Serikat membelanjakan lebih banyak pada
layanan kesehatan, seperti yang diukur melalui persentase GDP, daripada yang
dilakukan negara-negara lain di dunia; akan tetapi dari 30 negara OECD,
Amerika Serikat menempati urutan ke 22 dalam nilai ekspektasi hidup pria
dalam angka kelahiran, dan urutan ke 23 dalam ekspektasi hidup wanita dalam
angka kelahiran, dan urutan ke 26 dalam angka kematian bayi (OECD;2006)
 55% dari mereka yang disurvei merasa tidak puas dengan kualitas layanan
kesehatan di Amerika Serikat dan 40% menjawab bahwa dalam 5 tahun ke
belakang kualitas layanan kesehatan semakin memburuk (Kaiser Family
Foundation et al. 2004).
 Orang Amerika dewasa mencapai 54.9% yang menerima layanan kesehatan
preventif, akut dan kronis (McGlynn et al. 2003)
 Antara 44.000 sampai 98.000 kematian per tahun di Amerika Serikat disebut-
sebut sebagai akibat kesalahan medis yang bisa dihindarkan, membuat
kesalahan medis sebagai sebab kematian urutan ke delapan—lebih banyak
menyebabkan kematian dibanding kecelakaan kendaraan, kanker payudara,
atau AIDS (Kohn, Corrigan, dan Donaldson 1999).
 Biaya-biaya langsung (misalnya biaya layanan kesehatan) dan biaya-biaya tidak
langsung (misalnya, hilangnya pendapatan, merosotnya produktivitas, dan
ketaksanggupan), biaya kesalahan-kesalahan medis yang bisa dihindarkan yang
ditanggung pemerintah Amerika Serikat antara $17 juta sampai $29 juta per
tahun (Kohn, Corrigan, and Donaldson 1999).
 Pada 2003, lebih dari 45 juta warga Amerika, atau 15,6% dari 290 juta
penduduk AS sekarang ini, tidak memiliki asuransi kesehatan (Biro Sensus AS
2005).
 Di Amerika Serikat, orang yang berusia antara 45-64 tahun dengan tingkat
pendidikan terendah memiliki angka kematian 2,5 kali dari mereka yang
memiliki tingkat pendidikan tinggi. Kemiskinan menyumbang angka 6% pada
angka kematian AS. (McGinnis, Williams-Russo, and Knickman 2002).

Gambar 1.1 Kualitas Layanan Kesehatan


di Amerika Serikat: Ringkasan

Kualitas atau mutu bukanlah semata-mata tanggung jawab dari para pelaksana

mutu dari suatu organisasi; keselamatan pasien bukanlah semata-mata tanggung jawab

petugas keselamatan pasien. Para pelaksana yang menjalankan peran ini mungkin saja

sumber daya tenaga ahli dalam membantu para manajer dalam memahami permasalahan;

memilih; dan mengimplementasikan taktik, intervensi, dan metode. Akan tetapi, tanggung

jawab dalam memastikan mutu dan hasil-hasil yang aman bagi para pasien, konsumen,

stakeholder, dan para pegawai ada pada mereka yang punya peran dalam menentukan apa
dan bagaimana tujuan-tujuan organisasional dirumuskan dan ditetapkan; bagaimana

sumberdaya-sumberdaya manusia, fiskal, fisik dan intelektual dikukuhkan, dialokasikan,

digunakan dan dirawat atau dipelihara; dan bagaimana aktivitas-aktivitas dalam organisasi

dirancang, dilaksanakan, dikoordinasikan dan disempurnakan.

Tugas mencapai hasil-hasil yang berkualitas tinggi dari organisasi-organisasi

layanan kesehatan dengan segera menjadi tanggung jawab bersama dari para profesional

klinis dan para profesional manajemen. Seperti yang dinyatakan Griffith dan White (2005,

188), “sama halnya sekarang dengan obat-obatan yang mengikuti panduan-panduan dalam

perawatan; para manajer yang sukses akan menggunakan fakta-fakta dan proses-proses

yang dikembangkan dengan seksama dalam memandu pengambilan keputusan yang

mereka lakukan.” Pembahasan yang ditampilkan dalam buku ini dimaksudkan memberikan

kepada para manajer untuk membantu mereka dalam menyempurnakan proses-proses

pengambilan keputusan berkenaan dengan mutu dan keselamatan dalam organisasi layanan

kesehatan.

Persepsi Para Manajer Mengenai Mutu

Perspektif para periset layanan kesehatan mungkin akan mendominasi definisi dan

pendekatan pada mutu dalam banyak sudut pandang. Definisi mutu yang diterima dengan

luas adalah yang diberikan Institute of Medicine, adalah sebagai berikut: “derajat pada

mana layanan-layanan kesehatan bagi individu dan masyarakat meningkatkan

kemungkinan hasil kesehatan yang diinginkan dan konsisten (bersesuaian) dengan

pengetahuan profesional saat ini” (Lohr 1990,21).

Akan tetapi bagaimana para manajer dalam organisasi layanan kesehatan

mendefinisikan dan melakukan pendekatan terhadap mutu dalam konteks tanggung


jawabnya sehari-hari mungkin saja lebih dipengaruhi oleh latar belakang dan pengalaman

mereka sendiri. Misalnya, seorang dokter yang mengemban peran manajemen mutu

mungkin akan menekankan hasil-hasil klinis dan penerapan pengobatan-berdasarkan-

temuan atau berdasarkan panduan praktek klinis. Seorang ahli statistik dalam peran

tersebut akan menekankan mengendalian proses-proses statistik dan melakukan

pendekatan kuantitatif. Sebagai seorang manajer mutu, seorang profesional sumberdaya

akan menekankan kerja sama dan penilaian pelaksanaan kerja yang berdasarkan tim, dan

seorang epidemiolog akan menekankan analisis sebab-akar atau akar-masalah. Perawat

dalam peran ini mungkin akan menekankan pendekatan holistik pada mutu. Seperti itu

pula, fokus seorang manajer pendidikan yang nonklinis dapat mempengaruhi definisi dan

pendekatannya dalam menangani mutu. Seorang manajer yang dididik di sekolah bisnis

mungkin akan menekankan strategi, sementara dia yang dilatih sebagai seorang akuntan

mungkin akan menekankan bottom line (penghitungan total dari suatu akun). Manajer

dengan latar belakang administrasi layanan kesehatan mungkin akan menekankan

hubungan dan struktur organisasional, dan manjer yang dididik di kesehatan publik akan

menekankan program-program manajemen penyakit.

Semua ini hanyalah beberapa contoh yang menggambarkan aneka ragam

perspektif dan pilihan mengenai mutu di layanan kesehatan dan bermacam cara yang

mungkin terungkap dalam organisasi layanan kesehatan. Mengingat sifat mutu yang multi-

segi, hal ini mengedepankan beberapa pertanyaan tambahan bagi para manajer layanan

kesehatan: apa yang dimaksud dengan mutu dalam layanan kesehatan? Pendekatan yang

bagaimana yang terbaik? Bagaimana pendekatan-pendekatan itu saling berhubungan?

Menurut Dalrymple dan Drew (2000, 697), “mutu atau kualitas secara konseptual

adalah hal yang kompleks yang merupakan suatu sintesis dari ajaran, metode dan
pengetahuan dari bermacam disiplin ilmu.” Sebagai akibatnya, seorang manajer layanan

kesehatan dengan mudah menjadi terjebak dan kewalahan dalam kompleksitas dan oleh

banyaknya ragam pandangan dalam topik ini. Akan tetapi, jika manajer layanan kesehatan

memandang keberagaman perspektif ini sebagai suatu aset alih-alih sebagai suatu

hambatan, dia berkesempatan untuk mengambil manfaat dari samudra ajaran, metode, dan

pengetahuan tentang mutu.

Bersama dengan pelaksanaan manajemen, pokok bahasan mengenai mutu dalam

organisasi layanan kesehatan telah menjadi objek dari banyak tren, kecenderungan, dan

upaya-upaya perbaikan dan penyempurnaan. Karena departemen-departemen atau para

profesional yang memiliki tanggung jawab “kualitas” mungkin akan mengganti nama dari

pekerjaannya menurut tren terbaru, para manajer harus faham apa yang harus dilakukan

dalam mengedepankan mutu dalam suatu organisasi disamping bagaimana aktivitas-

aktivitas yang berkenaan dengan mutu diberi nama. Langkah pertama bagi para manajer

adalah mengembangkan pemahaman bersama mengenai terminologi mutu itu sendiri.

Definisi

Bagian ini akan menjelaskan perbedaan-perbedaan antara mutu medis, Jaminan

mutu/kualitas, perbaikan mutu yang kontinyu, mutu total dan manajemen mutu.

Mutu Medis

Sejak awal tahun 1970an, kerja Avedis Donabedian telah dipengaruhi oleh paradigma

medis yang berlaku pada masa itu dalam mendefinisikan dan mengukur mutu/kualitas.

Dalam tulisan-tulisan awalnya, Donabedian (1980) memperkenalkan dua ciri/sifat dari

mutu medis dengan mendeskripsikan komponen-komponen layanan kesehatan baik yang


teknis maupun interpersonal. Dia juga mengidentifikasi tiga cara dalam mengukur mutu—

struktur, proses, dan hasil—dan hubungan di antara ketiganya. Donabedian (1980,79,81-

83) mendeskripsikan pengukuran itu sebagai berikut :

Saya telah menyebutnya sebagai “proses” layanan … seperangkat kegiatan


yang berlangsung di antara para praktisi dan para pasien… elemen-elemen
proses layanan kesehatan tersebut tidak menandakan/menunjukkan kualitas
sampai pertalian mereka dalam status kesehatan yang dikehendaki terbangun
secara ajeg. Dengan “struktur”, yang saya maksudkan adalah karakteristik yang
relatif stabil dari penyedia layanan, alat-alat dan sumberdaya yang mereka
miliki, dan pengaturan (setting) fisik dan organisasional tempat mereka
bekerja… Karena itu struktur relevan dengan kualitas dalam arti ia
meningkatkan atau mengurangi kemungkinan tercapainya pelaksanaan kerja
yang baik… Saya akan menggunakan istilah “hasil” (outcome) yang
menunjukkan perubahan dalam kondisi dan status kesehatan pasien saat ini dan
di masa depan berkat layanan kesehatan yang diberikan sebelumnya.
Hubungan fungsional mendasar di antara ketiga elemen ini secara skematik
ditunjukkan sebagai berikut : Struktur Proses Hasil.

Misalnya, dalam suatu praktek pengobatan internal dengan banyak dokter, jumlah

dan kualifikasi dari para dokter, para asisten dokter, perawat dan staf kantor dipandang

sebagai pengukuran struktur. Persentase dari pasien usia lanjut yang sudah sewajarnya

mendapat vaksin influensa dipandang sebagai pengukuran proses, dan persentase pasien

usia lanjut yang didiagnosa dan dirawat karena influensa dipandang sebagai pengukuran

hasil dari praktek ini. Staf di kantor (struktur) akan mempengaruhi kemampuan praktek

tersebut dalam mengidentifikasi pasien yang layak mendapat vaksin juga mengatur secara

tepat ketersediaan vaksin (proses), yang pada gilirannya akan memengaruhi jumlah pasien

yang terkena influensa (hasil). Ingatlah bahwa pengukuran proses harus memiliki

keterhubungan yang jelas dengan hasil jika ingin pengukuran itu efektif dalam mengukur

mutu.
Jaminan Kualitas

Pendekatan jaminan kualitas (Quality Assurance, QA) meliputi kegiatan

menghilangkan cacat-cacat. Dalam kegiatan perakitan, cacat (defect) mengacu pada

kerusakan-kerusakan kasat mata yang ditemui dalam suatu produk; dalam industri jasa,

seperti layanan kesehatan, cacat mengacu pada para pelaksana yang melaksanakan suatu

tugas atau layanan dengan buruk. Misalnya, dalam departemen yang melakukan pra-

otorisasi asuransi, beberapa karyawan secara akurat dan cepat bisa melakukan lebih banyak

praotorisasi daripada karyawan lain dalam departemen tersebut. Sebaliknya, beberapa

karyawan, yang biasa disebut dengan “tukang melamun”, hanya bisa menyelesaikan

setengah praotorisasi yang dilakukan karyawan yang rajin. Sisanya kira-kira berada

diantaranya.

Departemen tersebut sebenarnya memiliki persyaratan atau standar produktivitas

tertentu bagi para karyawan dalam menyelesaikan jumlah praotorisasi perharinya. Manajer

menyadari bahwa angka produktivitas si tukang melamun berada di bawah, maka dia

menetapkan level produktivitas minimum harian bagi seluruh departemen. Setelah

beberapa upaya yang tak berhasil dalam memenuhi tujuan-tujuan produktivitas minimum,

para pekerja yang memiliki statistik produktivitas paling rendah akhirnya didepak. Setelah

para pelamun tidak ada, jumlah rata-rata praotorisasi per karyawan menjadi naik.

Gambar 1.2 menggambarkan pendekatan QA dari manajer ini. Kurva berbentuk

lonceng di sebelah kiri, yang menggambarkan distribusi (persebaran angka rata-rata)

normal, menunjukkan produktivitas gabungan dari semua karyawan dalam departemen;

kurva ini memperlihatkan hasil dari banyak karyawan dalam melakukan proses yang sama

secara berulang-ulang. Pengukuran kecenderungan sentral diperlihatkan dengan garis

vertikal di tengah kurva dan disebut sebagai mean (angka rata-rata dari praotorisasi per
karyawan), median, atau tren. Disamping itu pelaksanaan kerja (performans) bervariasi;

sejumlah data berada pada ujung “baik” dari kurva (karyawan tangkas) dan sejumlah data

ada di ujung “buruk” dari kurva tersebut (para pelamun). Variasi output para karyawan

ditunjukkan oleh lebar kurva atau jarak atau lebarnya jarak dari mean atau tingkat rata-rata

pelaksanaan kerja.

Sumber: dimuat atas seijin James, B.1989. Quality Management for Healthcare Delivery, 37.
Chicago: The Health Research and Educational Trust of the American Hospital Association.

Gambar 1.2 Contoh dari Pendekatan Jaminan Kualitas (QA)

Kurva berbentuk lonceng di sebelah kiri bisa dipandang sebagai tingkat

produktivitas sebelum dilakukan pemecatan terhadap para tukang melamun. Pendekatan

QA manajer ini adalah untuk menetapkan suatu ambang pelaksanaan kerja yang

digambarkan dengan garis vertikal pada ekor “buruk” dari kurva tersebut (yaitu, jumlah

minimum harian dari praotorisasi yang dikerjakan per karyawan). Ambang ini membuat

para pelamun menjadi menonjol. Ketika pelaksanaan kerja yang rendah dari kelompok ini

secara formal diidentifikasi dan dihilangkan, jumlah rata-rata praotorisasi per karyawan

menjadi naik, yang ditunjukkan dengan garis vertikal putus-putus di sebelah kiri garis

mean pada kurva lonceng yang ada di sebelah kanan.

Peningkatan Kualitas
Dihadapkan pada situasi yang sama, intervensi manajer akan sangat berbeda jika dia

menggunakan pendekatan peningkatan kualitas (quality improvement, QI), yang juga

disebut sebagai pendekatan peningkatan kualitas secara kontinyu (continuous quality

improvement, CQI). Pertanyaan pertama yang akan dilontarkan kepada dirinya adalah,

“kenapa terdapat karyawan yang benar-benar tangkas dan yang lain membutuhkan waktu

lebih banyak dalam menyelesaikan kerja mereka?” Pertama-tama dia bicara dengan dan

mengamati para karyawan yang tangkas dan kemudian dengan para pelamun untuk

memahami bagaimana dan kenapa mereka membutuhkan waktu yang berbeda dalam

mengerjakan kerja yang sama. Dia meminta pekerja tangkas berkumpul bersama,

menuliskan langkah-langkah yang mereka lakukan dalam menyelesaikan praotorisasi, dan

meminta memberikan saran-saran dalam menghemat waktu. Manajer kemudian

menyelenggarakan rapat pekerja agar semua karyawan bisa belajar bagaimana para

karyawan tangkas melakukan pekerjaannya. Pada rapat pekerja itu, departemen

memutuskan untuk mengadopsi pelaksanaan kerja tersebut sebagai prosedur standar yang

baru. Para pekerja tangkas diminta melatih karyawan lainnya yang ada dalam departemen

tersebut.

Gambar 1.3 memperlihatkan pendekatan QI dari manajer tersebut. Seperti pada

contoh QA, performansi (pelaksanaan kerja) digambarkan dengan kurva berbentuk lonceng

di sebelah kiri. Akan tetapi, cara tercapainya tingkat rata-rata pelaksanaan kerja yang lebih

tinggi itu sangat berbeda dari apa yang kita lihat pada gambar 1.2. Perbaikan atas proses

kerja menggeser seluruh kurva ke sebelah kiri, yang pada gilirannya meningkatkan tingkat

rata-rata dari performansi. Dengan melakukan standarisasi proses yang digunakan dalam

menyelesaikan suatu praotorisasi menurut pada apa yang dilakukan oleh para karyawan

tangkas, semua karyawan di kantor itu meningkatkan kemampuan mereka dalam


menyelesaikan praotorisasi secara lebih tepat waktu. Meskipun masih saja terdapat

karyawan yang lebih cepat atau lebih lamban, waktu rata-rata dalam menyelesaikan suatu

praotorisasi menjadi terkoreksi. Di samping itu, distribusi (persebaran data) jauh lebih

dekat pada angka rata-rata, yang digambarkan dengan menyempitnya bentuk kurva;

sekarang perbedaan produktivitas di antara para pekerja menjadi telah berkurang daripada

sebelumnya. Dalam QI, tujuannya bukan hanya untuk meningkatkan rata-rata pelaksanaan

kerja, tapi juga mengurangi variasi-variasi kerja yang tak penting dalam proses kerja

tersebut (James 1989; 1993). Dengan cara ini proses tersebut menghasilkan output atau

hasil dengan landasan yang lebih konsisten.

Sumber: Dimuat atas seijin James, B. 1989. Quality Management for Healthcare Delivery,
37. Chicago: The Health Research and Educational Trust of the American Hospital
Association.

Gambar 1.3 Contoh Pendekatan Peningkatan Kualitas

Kualitas Total

Karena istilah “kualitas total” (total quality, TQ), juga diacu sebagai manajemen

kualitas total atau TQM, seringkali dipakai untuk menyebutkan term “QI” dan “CQI”,

mahasiswa dan manajer kadang dibuat bingung oleh dua konsep yang berbeda namun

saling berhubungan ini. Definisi berikut menjernihkan perbedaan antara TQ dan CQI.

Kualitas total adalah “filosofi atau pendekatan dalam manajemen yang dapat
dikarakterisasi melalui prinsip, praktek dan tekniknya. Tiga prinsipnya adalah fokus

pada konsumen, perbaikan/peningkatan yang kontinyu serta kerja tim… masing-

masing prinsip diimplementasikan melalui serangkaian praktek… pada gilirannya,

prakteknya ditopang oleh berbagai macam teknik (yaitu, metode langkah demi

langkah yang spesifik yang ditujukan untuk membuat praktek yang dilakukan berjalan

efektif” (Dean dan Bowen 1994, 394).

Dari definisi ini, orang bisa melihat bahwa TQ dan CQI tidaklah sama; TQ

adalah konsep strategis, sementara CQI merupakan satu dari tiga prinsip yang

menopang suatu strategi TQ. Bermacam praktek dan teknik tersedia untuk digunakan

para manajer dalam menerapkan prinsip CQI pada level operasional dan taktis.

Manajemen Kualitas

Para manajer tidak hanya harus memahami perbedaan antara TQ dengan CQI, tapi

mereka juga harus memahami perbedaan antara teori kualitas dengan teori

manajemen. Kualitas total “telah berkembang dari suatu fokus sempit atas

pengontrolan proses statistik untuk mencakup beragam metode behaviorial dan teknis

dalam meningkatkan performansi organisasional. Teori manajemen adalah bidang

akademik multi-disipliner… barangkali perbedaan mendasar antara TQ dengan teori

manajemen adalah dari audiensnya. Sementara TQ ditujukan kepada para manajer,

teori manajemen diarahkan pada periset” (Dean dan Bowen 1994, 396-97).

Tumpang tindih dari dua mazhab pemikiran ini diacu sebagai “keefektifan

organisasional,” landasan teoritis yang membantu para manajer tidak hanya untuk

meningkatkan atau memperbaiki organisasi (teori kualitas total) tapi juga untuk
memperoleh pemahaman lebih baik dan menjelaskan tentang organisasi (teori

manajemen) (Dean dan Bowen 1994; Cole and Scott 2000).

Dalam buku ini, istilah “manajemen kualitas” mengacu pada peran dan

kontribusi manajer pada keefektifan organisasional. Buku ini banyak mengambil dari

teori manajemen, teori kualitas seperti yang diterapkan pada organisasi non layanan

kesehatan, dan teori kualitas yang diterapkan pada organisasi penyedia layanan

kesehatan untuk menyajikan ajaran-ajaran praktis bagi para manajer dan untuk

mengintegrasikan karakteristik unik dari pemberian layanan kesehatan serta konteks

yang berkaitan dengan kegiatan organisasi-organisasi pemberi layanan kesehatan.

Manajemen kualitas, untuk maksud kita, mengacu pada bagaimana para manajer

bekerja dalam berbagai jenis organisasi layanan kesehatan memahami, menjelaskan

dan secara kontinyu meningkatkan organisasi mereka yang memungkinkan mereka

memberikan layanan yang aman dan berkualitas kepada pasien, menciptakan hasil-

hasil organisasional yang berkualitas, dan meningkatkan kesehatan di lingkungan

sekitar.

Kontinum Kualitas bagi Para Manajer

Manajemen kualitas tidaklah terbentuk secara kebetulan; ia bisa dipahami

dalam suatu kontinum kematangan. Upaya-upaya awal atau tradisional dalam kualitas

menjadi salah satu ujung dari kontinum ini; pendekatan-pendekatan yang matang pada

kualitas menempati ujung yang lain. Perbedaan antara pendekatan awal dan matang

pada kualitas dalam organisasi layanan kesehatan bisa diilustrasikan dengan

memeriksa bagaimana rumah sakit mempersiapkan diri untuk direview oleh Joint

Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO, Komisi


Gabungan dalam Pemberian Akreditasi kepada Organisasi Layanan Kesehatan).

Berikut adalah ilustrasinya.

Rumah sakit A adalah pusat layanan medis akademis yang besar. Lebih dari

12 tahun yang lalu, CEOnya memperlihatkan supportnya atas kualitas dengan

merubah departemen QA menjadi departemen CQI dan mempekerjakan seorang

direktur CQI. Dua karyawan, kordinator JCAHO dan kordinator CQI, melapor kepada

direktur CQI. Tiga anggota staf memberikan laporan pada kordinator JCAHO;

tanggung jawab mereka adalah mempersiapkan akreditasi rumahsakit dan

mengumpulkan serta membuat laporan mengenai pengukuran-pengukuran performansi

yang disyaratkan oleh JCAHO. Lima anggota staf melapor kepada kordinator CQI;

mereka membantu semua tim yang ada di rumah sakit dengan memberikan projek-

projek perbaikan dengan memberikan fasilitasi, pelatihan tools untuk perbaikan, dan

mengumpulkan serta melaporkan data mengenai perbaikan-perbaikan yang ada.

Rumah sakit A direview JCAHO setiap tiga tahun, dan proses penyiapan

review itu tidak pernah mengalami perubahan. Sembilan bulan sebelum direview,

kordinator JCAHO membuat daftar kerja utama. Kordinator dan/atau stafnya rapat

dengan semua manajer departemen untuk memberikan penugasan-penugasan dan

jadwal-waktu pelaksanaan persiapan review. Dalam rapat bulanan manajer rumah

sakit, kordinator memberikan progress report dan mengabarkan sisa waktu yang

dipunyai sebelum pelaksanaan pertemuan dengan “Komisi Gabungan.” Tiga bulan

sebelum review dilaksanakan, staf kordinator bekerja 6 hari seminggu. Bulan terakhir

sebelum review, staf CQI bekerja 12 sehari, enam hari dalam seminggunya. Tingkat

stress dalam organisasi lambat laun meningkat selama 9 bulan persiapan review, dan

beberapa minggu sebelum pelaksanaan review, keadaan semakin menegangkan. Para


surveyor tiba. Review terlaksana dengan baik, bahkan rumah sakit menerima penilaian

yang tinggi untuk dua presentasi CQI yang telah dipersiapkan oleh kordinator CQI.

Rumah sakit B juga adalah pusat medis akademis yang besar. Sampai sepuluh

tahun yang lalu, pendekatan yang dilakukan rumah sakit B dalam pelaksanaan review

JHACO hampir mirip dengan yang dilakukan Rumah sakit A. pada waktu itu, diangkat

CEO yang baru, dan ketika dia masih dalam tahap perkenalan dengan seluruh manajer

yang ada di rumah sakit, dia melontarkan pertanyaan sederhana: “Apa yang akan

terjadi jika bekerja setiap hari seolah-olah sedang mempersiapkan pertemuan dengan

Komisi Gabungan”. Secara sistematis dia mulai menciptakan kultur organisasional

yang dia yakini akan menjadi jawaban atas pertanyaannya itu.

Rumah sakit B juga memiliki dua kelompok departemen kualitas yang

terpisah: kelompok yang satu berfokus pada akreditasi dan kelompok lain terlibat

dalam memfasilitasi projek-projek CQI. Hal yang pertama yang dilakukan CEO yang

baru ini adalah menyatukan dua kelompok ini dan menamai departemen tersebut

sebagai departemen sumberdaya kualitas. Alih-alih menjadikan departemen

sumberdaya kualitas sebagai badan yang melulu bertanggung jawab terhadap

aktivitas-aktivitas yang berkenaan dengan kualitas di rumah sakit, CEO merumuskan

ulang peran semua manajer yang ada di rumah sakit dengan memasukkan ekspektasi-

ekspektasi akan hasil-hasil dari pelaksanaan kerja (performansi), projek-projek

perbaikan/peningkatan mutu, dan akreditasi JCAHO. Tiap manajer yang ditunjuk

adalah konsultan kualitas yang berdedikasi tinggi dari departemen sumberdaya

kualitas yang akan berperan sebagai suatu sumberdaya dalam melakukan pengukuran;

pengumpulan dan analisis data; standar-standar JCAHO; dan penyiapan tools, metode
dan fasitilasi dalam peningkatan mutu.sebagian konsultan kualitas akan membantu

banyak unit-unit kecil, dan sebagian lain membantu unit-unit yang lebih besar.

CEO juga menetapkan ekspektasi baru bagi para petugas administrasi yang

rutin memberi laporan kepadanya. Bersama tim administrasif yang dia miliki, dia

mulai mereview laporan-laporan bulanan mengenai kepuasan pasien, kondisi finansial,

hasil-hasil klinis dan produktivitas. Sebagai kelompok, mereka mereview

kecenderungan (trends) dan mendiskusikan isu-isu yang terkait dengan performansi.

Setelah berjalan satu tahun, CEO meminta para pekerja administrasi untuk

menetapkan tujuan-tujuan performansi mereka sendiri berdasarkan pada kesempatan-

kesempatan (opportunities) yang muncul dari diskusi-diskusi bulanan tentang

performansi ini. Selanjutnya, para pekerja administasi bekerja dengan para manajer

yang memberikan laporan kepada mereka untuk menetapkan tujuan-tujuan di level

departemen yang segaris dengan tujuan-tujuan di level administatif. Seluruh manajer

departemen dilibatkan. Misalnya, manajer farmasi menetapkan tujuan dalam

meningkatkan efisiensi waktu dalam melayani obat-obatan bagi pasien rawat-jalan,

dan manajer keuangan menetapkan tujuan dalam merancang laporan keuangan yang

lebih mudah dipahami bagi para manajer.

CEO juga mendesain ulang newsletter rumah sakit dengan menyertakan

kolom “CEO Update” yang melaporkan performansi rumah sakit dan isu-isu bisnis

dan ekonomi yang mempengaruhi atau yang berkaitan dengan rumah sakit. Terakhir,

CEO menggali kepuasan karyawan melalui survei yang dilakukan beberapa tahun ke

belakang. Dia menelaah semua itu sebagai bagian dari kerjanya dalam menetapkan

tujuannya sendiri dalam menghilangkan sumber-sumber ketidakpuasan para karyawan.

Dia menganggap sebagai tanggung jawabnya untuk menciptakan kultur dan


menyiapkan lingkungan, sumberdaya, dan tools yang paling baik agar para karyawan

dapat memberikan layanan kesehatan berkualitas kepada para pasien.

Ketika pelaksanaan review JCAHO semakin dekat bagi Rumah sakit B,

pemberitahuan disebarkan dan detail-detail terakhir dibahas dalam rapat. Kunjungan

para surveyor diperlakukan tak lebih sebagai “kegiatan yang biasa dilakukan setiap

hari”. Survei tersebut berhasil dijalani tanpa menimbulkan banyak tekanan (stress).

Rumah sakit A mencontohkan pendekatan yang tradisional atau kurang

matang pada kualitas. Fokusnya adalah pada kegiatan memenuhi standar dan

menghapus cacat-cacat yang ada. Kualitas dianggap tugas dari para praktisi khusus,

sementara tugas-tugas baik bagi JCAHO dan perbaikan/peningkatan kontinyu

termasuk tanggung jawab departemen CQI. Kemajuan dalam kontinum tersebut

terlihat ketika rumah sakit mengadopsi teknik-teknik CQI dalam meningkatkan

proses-proses kerja. Hal ini ditunjukkan dengan projek-projek CQI yang dilakukan

oleh staf departemen CQI Rumah sakit A.

Rumah sakit B mencontohkan organisasi yang sedang melangkah pada

keadaan yang lebih matang dalam kontinum kualitas. Para pemimpin rumah sakit

memperlihatkan kualitas melalui aksi-aksi mereka dan melalui arahan-arahan yang

telah mereka tetapkan. Kualitas menjadi tanggung jawab bagi setiap orang yang ada

dalam organisasi daripada sebagai sesuatu yang didelegasikan kepada para petugas

yang ditunjuk secara khusus (spesialis). Kebutuhan-kebutuhan dari konsumen dan

stakeholder internal maupun eksternal diakui dan dilayani. Semua proses dalam

organisasi—baik proses layanan klinis kepada pasien maupun proses administatif

internal—ditetapkan targetnya demi munculnya perbaikan/peningkatan. Pengukuran-

pengukuran dan feedback yang terus dilakukan meningkatkan kesadaran akan


performansi di masa dulu dan sekarang yang akan menopang kemampuan organisasi

untuk terus menerus meningkatkan layanan bagi para pasien dan stakeholder lain.

Meskipun suatu organisasi layanan kesehatan bisa menempati suatu titik

dimanapun pada kontinum-matang ini, tujuan manajemen kualitas adalah untuk terus-

menerus berusaha untuk ada di titik terdepan dari kontinum kematangan ini. Gambar

1.4 memperlihatkan bagaimana bentuk kontinum ini dalam organisasi layanan

kesehatan.

Gambar 1.4 tidak disertakan dalam penerbitan elektronik buku ini.

Gambar 1.4 Kontinum Kualitas bagi


para Manajer Layanan Kesehatan

Kesimpulan

Dengan memahami bermacam perspektif tentang bagaimana istilah “kualitas”

didefinisikan dan konsep kontinum kualitas dalam organisasi layanan kesehatan, para

manajer bisa mulai memahami

 Bagaimana sebuah organisasi bisa berhasil dalam projek-projek kualitas tapi

tanpa memiliki kultul organisasional atas kualitas;

 Kenapa menetapkan panduan/pedoman praktek klinis tidaklah pada dirinya

sendiri menjamin adanya kualitas layanan kesehatan;

 Kenapa upaya-upaya pengembangan organisasional, bersifat independent dari

konteks klinis, tidak memberikan hasil yang diharapkan; dan


 Kenapa, tanpa keterlibatan pimpinan dalam membangun filosofi dan strategi

kualitas untuk seluruh organisasi, keunggulan yang terjadi dalam organisasi itu

tidaklah terpadu dan menyeluruh.

Selanjutnya Bagian I memberikan pembahasan yang lebih mendalam mengenai TQ,

diawali dengan tiga prinsip fokus konsumen, perbaikan/peningkatan kontinyu, dan

teamwork di Bab 2. Selebihnya dari buku ini akan berfokus pada manajemen kualitas

dengan menyajikan ajaran-ajaran praktis bagi para manajer layanan kesehatan dalam

membantu mereka melangkah di sepanjang kontinum kualitas.

Bahan Bacaan Pendamping

Brook, R., H. E. McGlynn, dan P.G. Shekell. 2000. “Defining and Measuring Quality

of Care: A Perspective from US Researchers.” International Journal for Quality

in Healthcare 12 (4): 281-95.

Center for Disease Control and Prevention. Health, United States, with Chartbook on

Trends in the Health of Americans. Hyattsville, MD: National Center for Health

Statistics. (Lihat terutama bagian Highlights dan Executive Summary)

Griffith, J.R., dan K.R. White, 2005. “The Revolution in Hospital Management.”

Journal of Healthcare Management 50 (3): 170-90.

Web Resources

Institute of Medicine Quality Initiative. Terbitan berikut tersedia di www.iom.edu:

• To Err Is Human: Building a Safer Health System


• Crossing the Quality Chasm: A New Health System for the 21st Century

• Envisioning the National Health Care Quality Report

• Keeping Patient’s Safe: Transforming the Work Environment of Nurses

• Quality Through Collaboration: The Future of Rural Health

Agency for Healthcare Research and Quality. Terbitan berikut tersedia di

www.qualitytools.ahrq.gov/:

• The National Healthcare Quality Report

• The National Healthcare Disparities Report

Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Health Statistics.

Tersedia di www.cdc.gov/nchs/hus.htm:

• Health, United States

U.S. Census Bureau. Dapat diakses di www.census.gov/statab/www:

• Statistical Abstract of the United States, 2006 Edition

Referensi

Cole, R. E., and W. R. Scott (ed.). 2000. The Quality Movement and Organization

Theory. Thousand Oaks, CA: Sage Publications.

Dalrymple, J., and E. Drew. 2000. “Quality: On the Threshold or the Brink?” Total

Quality Management 11 (4–6): 697–703.

Dean, J. W., and D. E. Bowen. 1994. “Management Theory and Total Quality:

Improving Research and Practice Through Theory Development.” Academy

of Management Review 19 (2): 392–418.


Donabedian, A. 1980. Explorations in Quality Assessment and Monitoring, Volume 1:

The Definition of Quality and Approaches to Its Assessment. Chicago: Health

Administration Press.

Griffith, J. R., and K. R. White. 2005. “The Revolution in Hospital Management.”

Journal of Healthcare Management 50 (3): 170–90.

James, B. 1989. Quality Management for Healthcare Delivery. Chicago: The Health

Research and Educational Trust of the American Hospital Association.

———. 1993. “Implementing Practice Guidelines Through Clinical Quality

Improvement.” Frontiers of Health Services Management 10 (1): 3–37.

Juran, J. M. 1989. Juran on Leadership for Quality: An Executive Handbook. New

York: The Free Press.

Kaboolian, L. 2000. “Quality Comes to the Public Sector.” In The Quality Movement

and Organizational Theory, diedit oleh R. E. Core and W. R. Scott, 131-53.

Thousand Oaks, CA: Sage Publications.

Kaiser Family Foundation, Agency for Healthcare Research and Quality, and Harvard

School of Public Health. 2004. National Survey on Consumers’ Experiences

with Patient Safety and Quality Information. Menlo Park, CA: Kaiser Family

Foundation.

Kelly, D. L. 2002. “Using the Baldrige Criteria for Improving Performance in Public

Health.” Disertasi Ph.D., University of North Carolina at Chapel Hill.

Kohn, L. T., J. M. Corrigan, and M. S. Donaldson (eds.), Committee on Quality of

Healthcare in America, Institute of Medicine. 1999. To Err Is Human:

Building a Safer Health System. Washington, DC: National Academies Press.

Lohr, K. N. (ed.). 1990. Medicare: A Strategy for Quality Assurance. Washington,

DC: National Academies Press.


McGinnis, J. M., P. Williams-Russo, and J. R. Knickman. 2002. “The Case for More

Active Policy Attention to Promotion.” Health Affairs 21 (2): 78–93.

McGlynn, E. A., S. M. Asch, J. Adams, J. Keesy, J. Hicks, A. DeCristofaro, and E. A.

Kerr. 2003. “The Quality of Health Care Delivered to Adults in the United

States.” New England Journal of Medicine 348 (26): 2635–45.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 2006. OECD

Factbook, 2006: Economic, Environmental and Social Statistics. [Online

information; retrieved 5/4/06.]

www.oecd.org/document/62/0,2340,en_21571361_34374092_34420734_1_1

_1_1,00.html.

———. 2005. OECD Health Data 2005: Statistics and Indicators for 30 Countries.

[Online information; retrieved 5/4/06.]

www.oecd.org/document/30/0,2340,en_2825_495642_12968734_1_1_1_1,0

0.html.

Scott, R. A. 1998. Organizations: Rational, Natural, and Open Systems, 4 th Edition.

Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.

U.S. Census Bureau. 2005. Statistical Abstract of the United States, 2004–2005.

[Online information; retrieved 10/24/05.]

www.census.gov/statab/www/vital.html.

Latihan

Latihan ini bisa juga diakses di website ache.org/QualityManagement2.

Tujuan: menjajagi bagaimana para manajer mempengaruhi kualitas produk, layanan

dan pengalaman konsumen.


Instruksi:

1. Bayangkan suatu pengalaman dimana anda mengalami atau menyaksikan

kualitas yang bagus. Anda bisa mengalaminya sebagai seorang konsumen,

seorang pasien, seorang pemberi pelayanan atau seorang karyawan. Jelaskan

faktor-faktor yang menghasilkan pengalaman hebat ini dan perasaan apa yang

timbul dalam diri anda akibat pengalaman ini. Dengan menggunakan daftar/list

fungsi-fungsi manajemen dalam bab ini sebagai panduan, masukkan deskripsi

mengenai pengaruh manajemen terhadap pengalaman anda itu. Lakukan hal

yang sama untuk situasi dimana anda mengalami kualitas yang rendah. Isikan

jawaban-jawaban anda dalam tabel di bawah.

Gambarkan Ceritakan Apa yang Peran dan


secara hal apa anda pengaruh
ringkas yang rasakan manajemen
pengalaman membuat sebagai apa sajakah
yang anda timbulnya akibat yang
alami pengalaman pengalaman menimbulkan
kualitas yang anda pengalaman
tinggi atau alami? tersebut?
rendah
Kualitas
Tinggi

Kualitas
Rendah

2. Berdasarkan pengamatan yang anda catat dalam tabel di atas, jelaskan kenapa

penting bagi manajer layanan kesehatan untuk mengerti tentang kualitas.


BAB 2

TIGA PRINSIP DARI MUTU TOTAL

Tujuan :

 Mendeskripsikan 3 prinsip dari mutu total: fokus konsumen, perbaikan kontinyu, dan

teamwork

 Mulai menggali bagaiman ketiga prinsip ini diungkapkan dalam peran manajerial

 Berlatih mengidentifikasi perilaku manajemen yang memperlihatkan tiga prinsip ini.

Setiap manajer layanan kesehatan akan mengatakan bahwa mutu layanan pasien, hasil

mutu, atau perbaikan/peningkatan kesehatan menjadi faktor yang menentukan dalam

memutuskan berkarir di layanan kesehatan. Akan tetapi, memindahkan komitmen terhadap

mutu ini menjadi tindakan-tindakan manajemen tetap sukar dipahami bagi mereka. Bab

sebelumnya mendefinisikan mutu total sebagai “filosofi atau pendekatan pada manajemen

yang dikarakteristikkan oleh prinsip, praktek dan tekniknya. Tiga prinsipnya adalah fokus

kepada konsumen, perbaikan kontinyu dan kerja tim” (Dean dan Bowen 1994, 394). Di

bab ini, anda akan mulai menggali bagaimana manajer secara strategis meintegrasikan

prinsip-prinsip MT (mutu total (TQ, Total Quality) ini ke dalam diri mereka dalam

menjalankan fungsi-fungsi manajerial.

Informasi yang disampaikan dalam bab ini tidak dimaksudkan untuk mengganti

pengetahuan dan skill manajemen di bidang-bidang seperti keungan, sumberdaya manusia,

strategi, atau marketing; tepatnya, informasi ini harus menjadi pelengkap bidang-bidang

tersebut. Dengan mengamati peran mereka melalui teropong MT, para manajer mungkin

meningkatkan kemampuan mereka dalam menggunakan pengetahuan yang mereka miliki.


Dengan begini, mereka akan lebih mampu mencapai hasil-hasil yang diinginkan yang ada

dalam cakupan tugas-tugas mereka, baik untuk organisasi secara keseluruhan, departemen

atau sebagai tim.

Prinsip pertama: fokus kepada konsumen

Prinsip fokus kepada konsumen akan lebih baik diterapkan jika manajer sadar akan sifat

berganda dari mutu medis dan dia mampu menjelaskan konsumen dan stakeholder dan

juga harapan dan keinginan mereka.

Sifat Berganda dari Mutu

Manajer harus ingat bahwa banyak praktisi layanan kesehatan klinis telah dididik dalam

suatu filosofi yang menjelaskan mutu berdasarkan pada ekspektasi sendiri daripada

dilandaskan pada keinginan dan ekspektasi pasien, konsumen dan stakeholder.dalam bab 1,

sifat ganda dari mutu medis, seperti yang digambarkan oleh Donabedian (komponen

layanan yang bersifat teknis dan interpersonal), diperkenalkan. Istilah “mutu isi” mengacu

pada kepakaran klinis dan aspek teknis dari layanan kesehatan (misalnya, memilih

intervensi yang pas bagi gejala-gejala yang dimiliki pasien atau melaksanakan prosedur

klinis sesuai yang digariskan). Sebagian besar pasien menganggap penyedia layanan

memiliki mutu teknis. Istilah “mutu pelaksanaan” dan “mutu layanan” menunjuk pada

komponen interpersonal dari layanan kesehatan (misalnya, empati dan komunikasi) dan

seberapa jauh keinginan dan ekspektasi pasien terpenuhi (misalnya, pengurusan

pembayaran yang tepat waktu) (James 1989).

Melaksanakan kegiatan manajemen dari suatu filosofi MT, para manajer pertama-tama

harus menentukan ruang lingkup mereka sendiri, sebagaimana yang dilakukan para

penyedia layanan dan karyawan lainnya, memahami dan menerima sifat ganda dari mutu.
Para manajer, sebagai pemimpin organisasional dan departemental, bertanggung jawab

dalam membangun lingkungan yang berfokus pada konsumen bagi para karyawannya.

Komentar seperti ini muncul dari seorang perawat yang memiliki keahlian—“Saya ingin

keluarga (pasien) dijauhkan agar saya bisa melakukan tugas-tugas saya”—menyarankan

suatu lingkungan kerja yang di dalamnya mutu isi dinilai dan diberi ganjaran lebih

daripada mutu layanan. Kebijakan dan prosedur, job description, ekspektasi dan evaluasi

atas performansi personel, dan pembentukan staf mungkin bisa dipandang sebagai tools

dalam membantu manajer menciptakan lingkungan yang berfokus pada konsumen. Dengan

memasukkan aspek-aspek mutu layanan ke dalam desain dari tools manajemen ini,

manajer bisa meningkatkan kemampuan mereka dalam menerapkan fokus baik pada mutu

isi maupun pada mutu layanan.

Melampaui Mutu Layanan: Memenuhi Keinginan Konsumen dan

Stakeholder

Konsumen adalah orang yang memiliki ekspektasi atas output dari suatu proses (James

1989). Konsumen eksternal adalah kelompok-kelompok di luar organisasi, dan konsumen

external yang utama untuk penyedia layanan kesehatan adalah pasien, keluarga, dan

kerabat dekat lainnya. Prinsip fokus-pada-konsumen mensyaratkan manajer yang bekerja

dari filosofi MT bersikap penuh perhatian tidak hanya kepada konsumen eksternal mereka

tapi juga pada konsumen dan stakeholder internal. Konsumen internal berasal dari

organisasi itu sendiri. Konsumen jenis ini bisa orang yang memiliki tanggung jawab

mengurusi kegiatan-kegiatan yang merupakan “hilir” dari yang orang lain lakukan.

Misalnya, dalam sebuah rumah sakit, ketika layanan pasien diserahkan dari satu pemberi

layanan ke pemberi layanan yang lain pada saat pergantian shift kerja, pemberi layanan

yang baru datang dipandang sebagai konsumen internal oleh pemberi layanan yang jam

kerjanya sudah habis. Membereskan tugas-tugas shift yang diperlukan tepat waktu,
menyampaikan informasi yang relevan, dan merapikan ruang kerja kembali

memperlihatkan pengakuan terhadap sesama karyawan sebagai konsumen internal.

Di masa lalu, manajemen mutu menjelaskan konsumen sebagai pengguna produk atau

layanan (yaitu, output-output dari suatu proses). Pandangan kontemporer dari manajemen

mutu meluaskan konsep “konsumen” meliputi stakeholder dan pasar tempat organisasi

berkegiatan. Istilah “stakeholder” dipakai untuk menunjuk pada “semua kelompok yang

dipengaruhi oleh tindakan, layanan dan kesuksesan organisasi” (National Institute for

Standards and Technology 2006, 75). Dalam organisasi layanan kesehatan, stakeholder

bisa meliputi “penyedia asuransi atau pembayar pihak ketiga, pemilik rumah sakit,

penyedia layanan kesehatan, kelompok pendamping pasien, Departemen Kesehatan, staf,

mitra, dewan pengurus, investor, para kontributor sukarela, suplayer, pembayar pajak,

pembuat keputusan/kebijakan, dan komunitas-komunitas lokal dan profesi.” (National

Institutes for Standards and Technology 2006, 75). Mendefinisikan konsumen dan

stakeholder adalah prasyarat dalam mengetahui keperluan-keperluan mereka miliki dan

pada gilirannya dalam mendesain proses-proses organisasional dalam memenuhi

keperluan-keperluan ini.

Disamping perilaku pada level interpersonal (seperti misalnya sopan santun),

melaksanakan kegiatan dari posisi yang fokus-pada-konsumen memerlukan suatu

pemahaman tidak hanya mengenai siapa yang menjadi konsumen tapi juga apa yang

diperlukan oleh konsumen; bagaimana keperluan bisa berbeda-beda diantara kelompok-

kelompok konsumen; bagaimana keperluan dan keinginan ini akan berubah seiring waktu;

dan bagaimana keperluan dan keinginan ini memandu pembentukan strategi, keputusan

dan aktivitas organisasional (National Institutes for Standards and Technology 2006).

Pasien sebagai kelompok konsumen bisa dikelompokkan berdasarkan kategori jenis

penyakit (misalnya, kangker, jantung, kandungan), umur, sifat dari penyakitnya (misalnya,
akut, kronis), lokasi perawatan (misalnya, rawat-inap, rawat-jalan, dan perawatan jangka

panjang), kesukuan, atau berdasarkan bahasa ibu. Diadakannya jam-jam pemeriksaan sore

hari bagi pasien rawat-jalan menggambarkan bagaimana keputusan-keputusan

organisasional mengenai jam-jam buka praktek telah berubah untuk mengimbangi jadwal

kerja yang dimiliki para pasien. Memasukkan pendekatan-pendekatan kultural dalam

pelayanan kesehatan pasien, menyediakan layanan informasi dalam bahasa ibu para pasien,

dan menyediakan bahan-bahan informatif bagi peningkatan pengetahuan para pasien dalam

beragam bahasa adalah contoh dari bagaimana organisasi telah menyesuaikan kegiatan

internalnya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan komunitas yang memiliki etnis yang

beragam.

Keinginan Mutu Stakeholder

Di tahun-tahun belakangan ini, stakeholder penjamin pasien dan pembuat kebijakan telah

semakin menuntut akan adanya peningkatan mutu dalam layanan kesehatan. Sejak 1996,

JCAHO telah mengambil sikap lebih preskriptif mengenai keselamatan pasien dalam

proses akreditasi. Pada 1996, JCAHO menerapkan kebijakan pengawasan; pada 2001,

JCAHO menambahkan standar-standar yang menjelaskan peran pemimpin organisasi

dalam keselamatan pasien; dan pada 2003, JCAHO telah memasukkan serangkaian syarat-

syarat keselamatan yang diformalkan untuk pertama kalinya yang mengatur kegiatan-

kegiatan perawatan para pasien (lihat www.jcaho.org; Devers, Pham, and Liu 2004).

Persyaratan-persyaratan ini, didasarkan atas studi-studi tentang praktek-praktek

keselamatan, disebut National Patient Safety Goals (NPSGs) yang telah dikembangkan

meliputi sembilan pengaturan pelayanan kesehatan, meliputi rumah sakit, perawatan di

rumah, pembedahan dalam ambulans, dan pembedahan di ruang operasi. Tabel 2.1

memperlihatkan NPSGs tahun 2004 dan 2006 untuk rumah sakit yang menggambarkan

perubahan yang terjadi dalam keinginan-keinginan para stakeholder kunci ini. NPSGs
memiliki implikasi bagi para manajer dalam membuat kebijakan mengenai capital

equipment (yaitu, pompa infusi), pemeliharaan preventif (yaitu, monitor untuk para

pasien), pengobatan (yaitu farmasi), dan pelatihan (yaitu, Centers for Disease Control and

Prevention [CDC] panduan mencuci tangan). NPSGs memiliki implikasi bagi para manajer

dalam memprioritaskan perbaikan/peningkatan (yaitu, program pengurangan kegagalan),

membangun sistem komunikasi antar departemen (yaitu, staf laboratorium dengan

penyedia perawatan), dan mengevaluasi perangkat dokumentasi (yaitu, singkatan-

singkatan kata “jangan digunakan” (JCAHO 2005)

2004 2006
Memperbaiki keakuratan identifikasi pasien. Memperbaiki keakuratan identifikasi pasien.
 Sedikitnya menggunakan dua pengidentifikasi  Sedikitnya menggunakan dua pengidentifikasi
pasien (selain nomor kamar pasien) kapan pun pasien (selain nomor kamar pasien) kapan pun
saat mengambil contoh darah atau dalam saat mengambil contoh darah atau dalam
melaksanakan pengobatan atau produk-produk melaksanakan pengobatan atau produk-produk
darah lainnya. darah lainnya dan dalam pengujian klinis atau
 Sebelum memulai prosedur pembedahan, lakukan dalam memberikan prosedur atau treatment yang
proses verifikasi final, seperti misalnya “time- lain.
out” untuk memastikan pasien yang benar,
prosedur dan lokasi operasi yang sesuai, dengan
menggunakan jalur-jalur komunikasi yang aktif
—bukan pasif.
Memperbaiki efektivitas komunikasi di antara Memperbaiki efektivitas komunikasi di antara
para perawat. para perawat.
 Menerapkan proses dalam menerima perintah-  Menerapkan proses dalam menerima perintah-
perintah baik verbal maupun per telepon atau perintah baik verbal maupun per telepon atau
hasil-hasil test kritis yang membutuhkan hasil-hasil test kritis yang membutuhkan
verifikasi “harus dibaca kembali” secara verifikasi “harus dibaca kembali” secara
keseluruhan perintah atau hasil test itu oleh orang keseluruhan perintah atau hasil test itu oleh orang
yang menerima perintah atau hasil test tersebut. yang menerima perintah atau hasil test tersebut.
 Standardisasi penyingkatan, akronim, simbol  Standardisasi penyingkatan, akronim, simbol
yang digunakan di seluruh area organisasi, yang digunakan di seluruh area organisasi,
termasuk daftar singkatan, akronim dan simbol- termasuk daftar singkatan, akronim dan simbol-
simbol “jangan digunakan”. simbol “jangan digunakan”.
 Mengukur, menilai, dan jika memungkinkan,
mengambil tindakan dalam meningkatkan
ketepatwaktuan pelaporan, dan penyerahan hasil
test.
 Menerapkan pendekatan terstandarisasi dalam
proses komunikasi, yang meliputi kesempatan
bertanya dan menjawab pada pertanyaan.
Memperbaiki keselamatan dalam menggunakan Memperbaiki keselamatan dalam menggunakan
obat-obatan yang beresiko. obat-obatan yang beresiko.
 Membuang elektrolit terkonsentasi (termasuk,  Standardisasi dan membatasi jumlah konsentrasi
tidak hanya terbatas pada, potasium klorida, obat yang tersedia di dalam organisasi.
potasium fosfat, sodium klorida >0,9%) dari unit-  Mengidentifikasi dan sedikitnya melakukan
unit perawatan pasien. review tahunan atas daftar obat yang mirip dari
 Melaksanakan standardisasi dan membatasi tampilan dan dari segi nama yang digunakan
jumlah konsentrasi obat yang tersedia di dalam dalam organisasi dan mengambil tingakan untuk
organisasi. mencegah tertukarnya obat-obat seperti ini.
 Memberi label semua obat-obatan, wadah obat-
obatan (misalnya suntikan, gelas tempat obat,
nampan)
Meminimalisir salah-pasien, salah-kamar, salah- Mengurangi resiko terjadinya infeksi selama
prosedur-operasi. masa perawatan.
 Membuat dan menggunakan proses perifikasi  Mengikuti panduan-panduan cuci tangan yang
pra-operasi seperti misalnya melakukan checklist, hyegienis yang diberlakukan CDC.
untuk memastikan dokumen yang sesuai (yaitu,  Melakukan pengawasan semua kasus yang
rekam medis) yang ada. diidentifikasi sebagai kasus kematian yang tak
 Menerapkan proses menandai ruang bedah dan terantisipasi atau disfungsi permanen yang
melibatkan pasien dalam melaksanakannya. berhubungan dengan infeksi yang terjadi selama
masa perawatan..
Meningkatkan keamanan dalam menggunakan Mencocokkan dan mengakurkan pengobatan
pompa infusi. secara akurat dan menyeluruh dalam kontinum
 Memastikan dipakainya pelindung anti-mampat perawatan.
pada semua pompa infus intravenous baik yang  Mengembangkan proses mendokumentasikan
umum maupun PCA (patient-controlled daftar obat-obatan yang diberikan pada pasien
analgesia). atas persetujuan dan keterlibatan pasiennya
sendiri. Proses ini meliputi pembandingan obat-
obatan yang diberikan organisasi.
 Seluruh daftar obat yang diberikan kepada pasien
dikomunikasikan kepada pemberi layanan
lanjutan ketika mentransfer pasien ke layanan,
situasi, dokter, atau level perawatan yang lain
baik di dalam maupun di luar organisasi.
Meningkatkan efektivitas sistem alarm klinis. Mengurangi resiko pasien cedera akibat terjatuh.
 Melakukan perawatan dan pengujian preventif  Menerapkan program pengurangan resiko jatuh
rutin terhadap sistem alarm. dan melakukan evaluasi akan efektivitas program
 Memastikan alarm aktif dengan pengaturan tersebut
tertentu dan bisa didengar terkait jarak dan suara-
suara lain yang ada di suatu ruangan.

Mengurangi resiko infeksi yang terjadi selama


masa perawatan.
 Mematuhi panduan mencuci tangan yang
dikeluarkan CDC.
 Melakukan pengawasan atas semua kasus
kematian tak terantisipasi dan disfungsi
permanen yang terkait dengan infeksi yang
terjadi selama masa perawatan

Tabel 2.1 National Patient Safety Goals JCAHO: perubahan dari 2004 ke 2006

Peran penjamin pasien sebagai stakeholder dalam agenda mutu juga di tahun-

tahun belakangan ini telah dilibatkan. Disamping perusahaan-perusahaan asuransi dan

program-program pemerintah, seperti misalnya Medicare, para majikan yang meyediakan

asuransi kesehatan bagi para karyawannya harus pula dipandang sebagai “penjamin”. The

Leapfrog Group adalah salah satu stakeholder jenis ini yang paling berpengaruh. The

Leapfrog Group merupakan “konsorsium yang terdiri dari 500 perusahaan dan para
penjamin layanan kesehatan lainnya yang bersifat publik maupun privat yang memberikan

penjaminan kesehatan kepada lebih dari 34 juta warga Amerika di 50 negara bagian…

dan… menghabiskan 10 juta dollar setiap tahunnya. Anggota Leapfrog setuju untuk

melandaskan pembelanjaan mereka pada pewaratan kesehatan atas prinsip yang akan

mendorong peningkatan kualitas pemberi layanan dan pelibatan konsumen didalamnya”

(The Leapfrog Group 2005).

Anggota Leapfrog telah mendukung praktek-praktek keselamatan tertentu sebagai

hal yang dinegosiasikan antara majikan dan paket-paket kesehatan. Gambar 2.1

menggambarkan praktek-praktek tersebut juga prinsip pemandu yang dipakai majikan

dalam belanja paket-paket kesehatan. Pada awal menyasar rumah sakit, keinginan dan

keperluan Leapfrog tidak dianggap remeh oleh para manajer di bidang penanaman modal

(yaitu, pengentrian tugas bagi dokter yang dikomputerisasi), manajemen sumberdaya

manusia (yaitu, pengintensifan), layanan serba guna sumber-sumber pendapatan (yaitu,

perujukkan rumah sakit berdasarkan temuan), dan transparansi kegiatan (yaitu, penilaian

isu keselamatan yang dilakukan Leapfrog).

Pemerintah negara bagian dan federal adalah contoh tambahan sebagai

stakeholder yang keperluan dan keinginannya terhadap organisasi-organisasi pemberi

layanan kesehatn mengalami perubahan, khususnya di wilayah pelaporan mutu. Topik

mengenai “transparansi” dan pelaporan mutu dibahas dengan lebih mendetail dalam bab 6

dan 10.

Prinsip 2 : Perbaikan yang Kontinyu

Prinsip perbaikan yang kontinyu bisa diungkapkan melalui kegiatan manajer sehari-hari

dan bagaimana mereka melaksanakan fungsi-fungsi manajerial yang dimilikinya.


Kegiatan sehari-hari

Bukanlah hal yang tidak biasa bagi manajer suatu departemen layanan lingkungan

yang ada di rumah sakit besar untuk memungut sesuatu di lorong jalan dan membuangnya

ke tempat sampah terdekat. Tindakan manajer seperti ini mencontohkan prinsip perbaikan

yang kontinyu. Sementara karyawan rumah sakit lain mungkin akan melangkahi sampah

itu, manajer layanan lingkungan sadar akan arti penting komitmen untuk melakukan

perbaikan kontinyu bagi departemennya dan bagi rumah sakit; jika kapan pun manajer

menemukan hal yang perlu dibenahi, ditingkatkan, atau dikoreksi, dia akan mengambil

inisiatif. Jika manajer ingin mencapai perbaikan kontinyu dalam organisasinya, mereka

harus memperlihatkan perbaikan kontinyu itu melalui kegiatan mereka sehari-hari.

Leapfrog Group telah mengidentifikasi dan memperbaiki kualitas dan


praktek-praktek keselamatan pasien 4 rumah sakit yang memfokuskan diri
pada pembandingan performansi penyedia perawatan kesehatan.
Berdasarkan temuan ilmiah independen, praktek-praktek mutu tersebut
adalah : computer physician order entry; perujukan rumah sakit berdasarkan
temuan pada pasien; penugasan dokter berpengalaman dalam pengobatan
dan perawatan kritis pada unit ICU; dan pemberian nilai atas praktek-
praktek keselamatan yang dilakukan Leapfrog, yang didasarkan pada the
NQF-endorsed safe practices.
 Computer Physician Order Entry (CPOE, Sistem Penugasan Dokter
Terkomputerisasi): melalui sistem CPOE, staf rumah sakit menerima
penugasan melalui komputer yang tersambung dengan software yang dapat
menghindarkan dia dari kesalahan dalam memberikan resep. CPOE telah
berhasil dalam mengurangi kesalahan memberikan resep lebih dari 50%.
 Evidence-based Hospital Refferal (HER, perujukan rumah sakit berdasarkan
temuan pada pasien): konsumen dan para penjamin (“pembeli”) layanan
kesehatan harus memilih rumahsakit yang berpengalaman dan yang
memberikan hasil terbaik bagi pembedahan yang beresiko tinggi. Dengan
merujuk pasien yang membutuhkan prosedur medis yang kompleks pada
rumah sakit memberikan kemungkinan kesembuhan yang paling baik
berdasarkan kriteria yang valid secara ilmiah—seperti misalnya berapa kali
dalam setahun satu rumah sakit melakukan prosedur-prosedur tertentu
beserta data mengenai hasilnya—yang menunjukkan resiko pasien
meninggal bisa diturunkan sebesar 40%.
 ICU Physician Staffing (IPS, Penugasan dokter di ICU): penugasan di ICU
dengan dokter yang telah menjalani pelatihan dalam perawatan kritis,
disebut “intensivis”, telah terbukti mampu mengurangi resiko kematian
pasien di ICU sebesar 40%.
 Pemberian nilai skor yang dilakukan Leapfrog mengenai praktek-praktek
keselamatan—27 Praktek Keselamatan dari National Quality Forum:
National Quality Forum mengesahkan 30 praktek keselamatan yang
meliputi bermacam praktek keselamatan yang, jika diterapkan, akan
mengurangi resiko kecelakaan dalam lingkungan, sistem dan proses
tertentu. Termasuk didalamnya 3 terobosan dari Leapfrog. Untuk terobosan
baru ini, ditambahkan pada April 2004, kemajuan rumah sakit dalam 27
praktek keselamatan lainnya akan dinilai.

Daftar ini didasarkan atas empat kriteria utama:


1. Terdapat temuan ilmiah bahwa terobosan keselamatan dan mutu ini secara
signifikan akan mengurangi kesalahan-kesalahan medis yang sebenarnya
dapat dihindarkan
2. Penerapannya oleh industri layanan kesehatan mungkin untuk dilakukan
tanpa menunggu waktu yang lama
3. Konsumen akan langsung mengapresiasi manfaatnya
4. Paket-paket kesehatan, para penjamin, atau konsumen bisa dengan mudah
mengetahui keberadaan atau ketidaadaanya dalam memilih diantara para
penyedia layanan kesehatan. Terobosan-terobosan ini merupakan langkah
praktis awal dalam menggunakan daya beli dalam meningkatkan mutu dan
keselamatan di rumah sakit.

Perusahaan-perusahaan anggota Leapfrog sepakat untuk mengikuti empat


prinsip berikut dalam mengakses layanan kesehatan:
1. Mendidik dan memberi informasi kepada para pendaftar asuransi mengenai
keselamatan, mutu, dan harga dari layanan kesehatan dan pentingnya
melakukan perbandingan segala yang diberikan oleh para penyedia layanan
kesehatan. Penekanan awal dilakukan pada praktek-praktek keselamatan dan
mutu yang dipunyai Leapfrog.
2. Mengenali dan memberi ganjaran kepada para penyedia layanan kesehatan
karena telah melakukan langkah-langkah maju dalam meningkatkan
keselamatan, mutu, dan ketersediaan layanan mereka.
3. Mempertahankan paket-paket kesehatan selaras dengan penerapan prinsip
belanja Leapfrog.
4. Mendapatkan dukungan dari para konsultan dan broker dalam menggunakan
prinsip belanja Leapfrog untuk klien mereka.

Gambar 2.1 Praktek Keselamatan Leapfrog Group

Fungsi Managerial

Prinsip perbaikan kontinyu mungkin bisa diungkapkan melalui pelaksanaan

fungsi-fungsi manajerial yang dimiliki manajer. Misalnya, manajer berdasarkan prinsip ini

menimbang sistem pengukuran performansi sebagai tool yang penting. Sistem ini akan
meliputi indikator-indikator yang dilaporkan dalam beragam interval waktu, tergantung

pada sifat dan jenis pekerjaan serta ruang lingkup tanggung jawab manajerial. Misalnya,

seorang supervisor shift untuk layanan transportasi pasien di rumah sakit dengan 800

bangsal mengawasi sistem lalulintas elektronik yang memperlihatkan update per menit

permintaan transportasi, indikator pasien yang sedang menuju tujuan, dan jumlah pasien

yang mengantri. Dengan memonitor sistem tersebut, si supervisor dengan segera tahu jika

muncul masalah dan, akibatnya, mampu dengan cepat mengambil tindakan untuk

mengatasi masalah tersebut. Jika jumlah permintaan meningkat dengan drastis, si

supervisor bisa menugaskan staf yang sedang istirahat untuk meminimalisir masalah.

Setiap hari, supervisor menampilkan jumlah pengantaran pasien yang telah

dilakukan di hari sebelumnya juga jumlah permintaan yang berhasil dipenuhi. Dengan cara

ini, para petugas pengantar pasien sadar akan statistik yang dilakukan departemen dan

statistik dari kinerja mereka masing-masing, dan ini membantu para pengantar pasien

bangga akan pekerjaannya yang biasanya diremehkan oleh pihak lain dalam organisasi.

Data performansi harian juga memampukan supervisor dengan cepat mengidentifikasi

komplain-komplain yang terdokumentasi dan menyelesaikannya dalam 24 jam, yang pada

gilirannya meningkatkan akuntabilitas karyawan dan meningkatkan hubungan dengan

konsumen. Secara bulanan, manajer departemen dan para supervisor shift mereview

jumlah permintaan pasien perjamnya setiap hari untuk menentukan apakah karyawan yang

ditugaskan telah mencukupi jumlah permintaan tersebut. Manajer juga melakukan review

statistik yang telah disusun oleh unit pasien (misalnya, unit perawat, departemen

radiology) untuk mengidentifikasi isu yang ada yang perlu secara langsung didalami.

Manajer mereview statistik bulanan dengan adminstraturnya, dan statistik tahunan yang

digunakan dalam proses penganggaran.


Pengukuran performansi dan sistem manajemen seperti ini membuat manajer

mampu secara terus menerus memonitor performansi; mengidentifikasi isu-isu terkait mutu

dan gap performansi yang ada dan mengambil tindakan terhadap semua itu; dan

menyediakan landasan bagi komunikasi yang terjadi, perencanaan dan akuntabilitas.

Prinsip 3: Teamwork

Dalam banyak organisasi, ketika istilah “teamwork” dan “mutu” dipakai bersamaan,

mereka biasanya merujuk pada tim projek yang multi disipliner dan lintas-fungsional.

Ketika memikirkan tentang prinsip teamwork dalam kaitannya dengan manajemen mutu,

manajer juga harus mempertimbangkan filosofi dan pendekatan yang digunakan dalam

menjalankan fungsi-fungsi yang inheren dalam peran manajerial.

Filosofi Organisasional

Di masa lalu, ketika dokter memasuki unit rumah sakit, perawat biasanya

menawarkan kursi mereka kepadanya karena perawat memiliki posisi yang lebih rendah

dalam hirarki profesi dan organisasional. Sisa-sisa tradisi ini (misalnya, mempersilahkan

lebih dulu kepada orang yang lebih tinggi dalam hirarki, menyuruh orang yang lebih

rendah dalam hirarki) masih bisa dilihat dalam organisasi-organisasi layanan kesehatan

yang dijalankan dalam landasan filosofi yang birokratis.

Suatu pusat medis akademik, misalnya, mungkin dijalankan berdasarkan filosofi

birokratis yang ditampilkan melalui hirarki yang paralel dan berganda. CEO dan tim

administratif menempati posisi atas dalam hirarki manajemen, dan supervisor garis depan

menempati posisi bawah. Kepala departemen berada di puncak hirarki staf medis, dan

dokter magang dan mahasiswa medis berada di bawah. Dokter, diikuti perawat, berada di

puncak hirarki profesi, sementara profesi lainnya (misalnya, pekerja sosial, terapis)
semuanya menduduki posisi lebih rendah dalam hirarki. Dokter dan perawat menduduki

posisi puncak dalam hirarki kerja, dan juga para karyawan manual yang dibayar perjam

(misalnya, karyawan layanan lingkungan dan layanan makanan) diposisikan di bagian

bawah.

Meskipun tiap kelompok menjalankan tugasnya masing-masing dengan benar,

tidak adanya kordinasi di antara kelompok tersebut dan tak adanya pendekatan perawatan

pasien yang seragam bisa segera dapat kita kenali. Misalnya, tim dokter biasanya

melakukan kunjungan pagi hari kepada para pasien sementara perawat sibuk membuat

laporan pergantian shift. Akibatnya, pelayan dan dokter yang merawat pasien yang sama

jarang bicara satu sama lain sepanjang masa perawatan pasien sehari-hari.

Rumah sakit bisa memperlihatkan banyak contoh mengenai projek-projek tim

CQI; akan tetapi, timnya cenderung memiliki sifat yang eksklusif (misalnya, tim dokter

atau tim perawat). Bahkan melalui departemen, seperti misalnya laboratorium, telah

berusaha dalam banyak kesempatan membuat perbaikan tim dengan melakukan campuran

penyedia layanan yang berbeda, mereka kurang berhasil dalam menjembatani batas-batas

yang kaku dari hirarki profesi dan hirarki kerja dalam organisasi. Meskipun rumah sakit

bisa mengidentifikasi banyak tim, hanya beberapa contoh teamwork dalam hirarki ini yang

bisa dilihat.

Cara filosofi dan sikap kepada hirarki dan teamwork mempengaruhi perawatan

pasien dan tim-tim perawatan sekarang ini memperoleh lebih banyak perhatian dalam

wacana keselamatan pasien. “Seorang dokter bedah saraf terkenal bersikukuh melakukan

operasi di bagian yang salah dari otak seorang wanita, mengabaikan gumaman protes dari

seorang yang menyadari kesalahan itu. Di ruang operasi rumah sakit lain, seorang ahli

bedah dan anesthesiolog menyelesaikan perbedaan pendapat mereka dengan bertukar tinju

sementara si pasien tergolek lemas di meja operasi” (Helmreich 1997, 67).


Situasi seperti itu telah mendorong para profesi pelayanan kesehatan berpaling ke

industri lain untuk mencari strategi dalam menciptakan teamwork dan komunikasi yang

lebih efektif. Instrument survei, program-program pelatihan (misalnya, Crew Resource

Management), dan intervensi operasional (misalnya, briefing harian) memberikan manajer

organisasi layanan kesehatan perangkat untuk lebih memahami dan meminimalisir

kecelakaan pada pasien sebagai akibat dari sejarah panjang hirarki profesi dalam layanan

kesehatan (Sexton, Thomas, dan Helmreich 2000; Thomas, Sherwood, dan Helmreich

2003; Miller 2005).

Fungsi-fungsi Manajerial

Cara dengan mana fungsi-fungsi manajemen diimplementasikan bisa mendorong

atau secara tidak sengaja menghambat teamwork dalam organisasi. Hubungan antara

teamwork dengan tiga fungsi manajerial—desain organisasional, alokasi sumberdaya, dan

komunikasi—akan didiskusikan dalam bagian ini.

Desain Organisasional

Desain organisasional telah diidentifikasi sebagai fungsi manajemen kritis dan

mencakup “bagaimana susunan bagian-bagian pembentuk organisasi (otoritas, tanggung

jawab, akuntabilitas, informasi, dan ganjaran) diatur dan diatur ulang untuk meningkatkan

efektivitas dan kemampuan adaptif” (Shortell dan Kaluzny 2000, 275). Prinsip teamwork

menyiratkan bahwa manajer harus secara proaktif dan secara sengaja mengatur bagian-

bagian pembentuk organisasi di semua level—posisi individu, kelompok kerja,

departemental, organisasional—dalam cara yang mendukung lahirnya teamwork.

Meskipun konsep performansi kerja tim yang tinggi tidaklah baru di wilayah

industri lain (Hackman and Oldman 1980), penerapan tiga ajaran ini dalam penyediaan

layanan kesehatan relatif baru dilakukan. Nelson dan kawan-kawan telah menelaah tim

klinis garis depan yang memiliki performansi tinggi dalam penyedia layanan kesehatan dan
menawarkan pandangan mengenai faktor keberhasilan dalam mendesain suatu mikrosistem

klinis dalam meningkatkan hasil mutu dan keselamatan pasien (Nelson et al. 2002; Mohr

and Batalden 2002). Mikrosistem klinis didefinisikan sebagai “sekelompok petugas klinis

dan staf yang bekerja bersama dengan tujuan klinis yang sama dalam memberikan

perawatan bagi para pasien” (Mohr, Batalden, dan Barach 2006). Mikrosistem

berperformansi tinggi dicirikan oleh “tujuan yang konstan, berinvestasi dalam perbaikan

dan peningkatan mutu, penyelarasan peran dan pelatihan demi efisiensi dan kepuasan staf,

saling kebergantungan di antara tim perawatan dalam memenuhi kebutuhan pasien,

integrasi informasi dan teknologi dalam alur kerja, pengukuran berkelanjutan atas hasil,

dukungan dari organisasi yang lebih besar, membina hubungan dengan komunitas dalam

rangka meningkatkan pelayanan kesehatan dan memperbesar pengaruh” (Mohr, Batalden,

dan Barach 2006). Dengan mengamati lebih dekat, orang dapat melihat bahwa

karakteristik ini dihasilkan dari desain tim dan peran yang disengaja.

Beberapa desain organisasional, seperti misalnya struktur matriks atau struktur

alur layanan, bisa melahirkan teamwork. Struktur matriks bercirikan oleh suatu sistem

otoritas ganda. Dalam struktur alur layanan, satu orang bertanggung jawab untuk semua

aspek dari sekumpulan layanan, biasanya didasarkan pada jenis pasien (misalnya,

pediatrik, layanan perempuan, oncologi, layanan transplant) (Shortell dan Kaluzny 2000).

Sebuah rumah sakit besar memakai gabungan dari dua struktur ini dalam

pendekatannya mendesain organisasinya. Tiap administrator bertanggung jawab untuk

bermacam departemen yang merawat pasien dengan kebutuhan yang sama. Misalnya,

adminstrator trauma bertanggung jawab menangani departemen emergensi, unit perawatan

intensif trauma, dan layanan transport udara. Meskipun keuangan, sumberdaya manusia

dan sumberdaya mutu bekerja dalam departemen yang tersendiri, masing-masing

administrator di rumah sakit diserahi tugas keuangan, sumberdaya manusia, dan


“konsultan” mutu. Teamwork antara para administrator dan konsultan staf meningkatkan

kemampuan staf dalam memberikan layanan responsif dan konsisten baik kepada

administrator maupun manajer.

Alokasi Sumberdaya

Mendorong terbentuknya saling kebergantungan yang efektif antara anggota tim

perawatan menyiratkan perlu adanya kepercayaan dan kesalingpahaman diantara anggota

tim. Sulit untuk membangun hubungan kerja dalam lingkungan yang mengalami

pergantian personel yang tinggi dan/atau pengangkatan staf melalui perekrutan karyawan

temporer. Sementara di waktu dulu, aktivitas seperti misalnya rekruitmen ada di bawah

tanggung jawab departemen sumberdaya manusia, para manajer sekarang ini harus sangat

peka mengenai bagaimana isu-isu sumberdaya manusia mempengaruhi kemampuan

mereka tidak hanya dalam memenuhi prinsip teamwork dari manajemen mutu, tapi juga

dalam membangun hasil mutu pasien dan efektivitas biaya.

Semakin banyak temuan-temuan yang mengaitkan dokter, perawat, dan para staf

farmasi dengan hasil-hasil pasien dalam pengaturan rumah sakit (Aiken et al. 2002); Bond,

Rachl, dan Frank 2001; Bond, Rachl, dan Dfrank 2002; Dimick 2005); Hall, Doran, dan

Pink 2004; Needleman et al. 2002; Newhouse et al. 2005; Pronovost et al. 2002;Whitman

et al. 2002). Misalnya level dan jenis penugasan perawat di rumah sakit telah dikaitkan

dengan angka kematian (Aiken et al. 2002), kesalahan pemberian obat, dan infeksi (Hall,

Doran, dan Pink 2004); lamanya menginap di rumah sakit, infeksi saluran kencing, dan

pneumonia (Needleman et al.2002); dan “gagal menyelamatkan” yang didefinisikan

sebagai “kematian akibat pneumonia, serangan jantung, pendarahan gastro-intestinal,

sepsis, atau pembekuan pembuluh darah”. (Aiken et al. 2002; Needleman et al. 2002).

Infeksi yang berhubungan dengan pembuluh darah, terjatuh, kesalahan obat, dan
penggunaan tali ikat dipandang sebagai hasil dari “yang terlalu bersifat perawat” (Whitman

et al. 2002).

Keputusan-keputusan dalam alokasi sumberdaya manusia bisa merugikan jika

dilihat dari hasil yang dirasakan pasien dan juga atas dasar kapan organisasi harus mengisi

kekosongan stafnya. Mengisi satu posisi yang kosong untuk perawat terdaftar bisa

memakan biaya antara $42,000 sampai $67,000 (Aiken et al. 2002; Jones 2005), dan biaya

pergantian organisasional diperkirakan mencapai antara 3.4 sampai 5.8 persen dari

anggaran setahun Pusat Medis Akademik yang besar (Waldman et al. 2004). Kalau orang

mempertimbangkan bahwa pada 2004, rata-rata lowongan di rumah sakit Amerika Serikat

adalah 8.1% untuk perawat terdaftar, 7.4% untuk petugas farmasi, 6.7% perawat praktek

yang berlisensi, 6.7% asisten perawat, 5.4% teknisi scan, dan 5% teknisi lab (American

Hospotal Association dan The Lewin Group 2005), manajer akan menghargai peran

penting dari alokasi sumberdaya secara efektif dalam suatu manajemen mutu.

Komunikasi

Meningkatkan/memperbaiki komunikasi antara para penyedia layanan klinis

merupakan tema di seluruh NPSGs yang dimiliki JCAHO seperti yang tertulis pada Tabel

2.1. mendesain dan menerapkan pengambilan keputusan, dokumentasi, dan proses

komunikasi (yang akan memastikan individu dan tim mendapat informasi yang mereka

perlukan, ketika mereka membutuhkannya, untuk membuat efektif dan tepat waktu segala

keputusan-keputusan organisasional dan klinis) mencerminkan pemahaman manajer atas

prinsip-prinsip manajemen mutu.

Sebagai contoh, dalam satu rumah sakit, manajer dari departemen manajemen

perlengkapan melakukan negosiasi dengan seorang suplayer untuk memperoleh angka

diskon untuk sarung tangan bedah, dibandingkan yang diberikan suplayer sekarang;

keputusan dibuat berdasarkan masukan dari vendor dan bagian finansial. Akan tetapi
ketika sarung tangan itu dipakai untuk pertama kali, sarung tangan itu robek pada saat

dokter memasukkan tangan kedalamnya. Jika manajer menguasai konsep teamwork dalam

pendekatannya dalam pengambilan keputusan, dia akan menggali informasi dan meminta

masukan dari tim perawatan pasien—orang yang benar-benar menggunakan produk

tersebut dan tahu akan kelebihan dan kekurangan dari berbagai merk sarung tangan yang

ada.

Kesimpulan

Bab ini dimulai dengan eksplorasi mengenai bagaimana tiga prinsip dari Mutu

Total—fokus pada konsumen, perbaikan kontinyu, dan teamwork—mempengaruhi cara

manajer menjalankan peran dan fungsinya. Meskipun contoh yang diberikan dalam bab ini

hanya sedikit menyebutkan implikasi-implikasi bagi manajer, contoh tersebut

meningkatkan kesadaran manajer bahwa keputusan dan tindakan mereka mempengaruhi

kemampuannya dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip ini di seluruh organisasi.

Pembaca didorong untuk terus bertanya bagaimana mereka bisa mengintegrasikan prinsip-

prinsip Mutu Total ke dalam pengambilan keputusan dan aktivitas-aktivitas yang inheren

dalam peran mereka sebagai manajer. Latihan di akhir bab dirancang untuk membantu

pembaca mengidentifikasi perilaku dan pendekatan manajemen tambahan dan yang

mengungkapkan tiga prinsip dari Mutu Total. Pembahasan mengenai tools yang biasa

dipakai dalam menerapkan prinsip perbaikan kontinyu akan dibahas dalam bab 3.

Bacaan Tambahan

Aiken, L. H., S. P. Clark, D. M. Sloane, J. Sochalski, and J. H. Silber. 2002. “Hospital


Nurse Staffing and Patient Mortality, Nurse Burnout, and Job Dissatisfaction.”
JAMA 288: 1987–93.
Dimick, J. B. 2005. “Organizational Characteristics and the Quality of Surgical Care.”
Current Opinion in Critical Care 11: 345–48
Sumber-sumber Web
Agency for Healthcare Research and Quality Patient Safety Network: A National Patient
Safety Resource: www.psnet.ahrq.gov/index.aspx
The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations:
www.jointcommission.org
The Joint Commission International Center for Patient Safety: www.jcipatientsafety.org
The Joint Commission National Patient Safety Goals:
www.jointcommission.org/PatientSafety/NationalPatientSafetyGoals
The Leapfrog Group: www.leapfroggroup.org
National Committee for Quality Assurance: www.ncqa.org
National Patient Safety Foundation: www.npsf.org
The National Quality Forum: www.qualityforum.org
The University of Texas Human Factors Research Project:
homepage.psy.utexas.edu/homepage/group/HelmreichLAB

Referensi
Aiken, L. H., S. P. Clark, D. M. Sloane, J. Sochalski, and J. H. Silber. 2002. “Hospital
Nurse Staffing and Patient Mortality, Nurse Burnout, and Job Dissatisfaction.”
JAMA 288: 1987–93.
American Hospital Association and the Lewin Group. 2005. The Costs of Caring: Sources
of Growth in Spending for Hospital Care. Chicago: American Hospital
Association.
Bond, C. A., C. L. Rachl, and T. Frank. 2001. “Medication Errors in United States
Hospitals.” Pharmacotherapy 21: 1023–36.
———. 2002. “Clinical Pharmacy Services, Hospital Pharmacy Staffing, and Medication
Errors in United States Hospitals.” Pharmacotherapy 22: 134–47.
Dean, J. W., and D. E. Bowen. 1994. “Management Theory and Total Quality: Improving
Research and Practice Through Theory Development.” Academy of Management
Review 19: 392–418.
Devers, K. J., H. H. Pham, and G. Liu. 2004. “What Is Driving Hospitals’ Patient Safety
Efforts?” Health Affairs 23 (2): 103–15.
Dimick, J. B. 2005. “Organizational Characteristics and the Quality of Surgical Care.”
Current Opinion in Critical Care 11: 345–48.
Hackman, J. R., and G. R. Oldman. 1980. Work Redesign. Reading, MA: Addison-Wesley
Publishing Company.
Hall, L. M., D. Doran, and G. H. Pink. 2004. “Nurse Staffing Models, Nursing Hours and
Patient Safety Outcomes.” Journal of Nursing Administration 34 (1): 41–45.
Helmreich, R. L. 1997. “Managing Human Error in Aviation.” Scientific American 276 (5):
62–67.
James, B. C. 1989. Quality Management for Healthcare Delivery. Chicago: The Health
Research and Educational Trust of the American Hospital Association.
Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations. 2004. “National Patient
Safety Goals, Hospitals.” [Online information; retrieved 10/14/05.]
www.jcipatientsafety.org/show.asp?durki=9738&site=164&return=9345.
———. 2005. “Facts About the 2005 National Patient Safety Goals.” [Online information;
retrieved 5/2/06.] www.jointcommission.org
/PatientSafety/NationalPatientSafetyGoals/06_npsg_facts.htm.
———. 2006. “National Patient Safety Goals, Critical Access Hospital.” [Online
information; retrieved 5/2/06.] www.jcipatientsafety.org/show.asp?durki=10289.
Jones, C. B. 2005. “The Costs of Nursing Turnover, Part 2: Application of the Nursing
Turnover Cost Calculation Methodology.” Journal of Nursing Administration 35
(1): 41–49.
The Leapfrog Group. 2005. “Factsheet.” [Online information; retrieved 10/14/05.]
www.leapfroggroup.org/about_us/leapfrog-factsheet.
Miller, L. A. 2005. “Patient Safety and Teamwork in Perinatal Care: Resources for
Clinicians.” Journal of Perinatal and Neonatal Nursing 19 (1): 46–51.
Mohr, J. J., and P. B. Batalden. 2002. “Improving Safety on the Frontlines: The Role of
Clinical Microsystems.” Quality and Safety in Health Care 11: 45–50.
Mohr, J. J., P. Batalden, and P. Barach. 2006. “Inquiring into the Quality and Safety of
Care in the Academic Clinical Microsystem.” Dalam Continuous Quality
Improvement in Health Care: Theory, Implementations, and Applications, 3rd
edition, edited by C. P. McLaughlin and A. D. Kaluzny, 281-96. Sudbury, MA:
Jones and Bartlett Publishers.
National Institute for Standards and Technology. 2006. Healthcare Criteria for
Performance Excellence. Washington, DC: National Institute for Standards and
Technology.
Needleman, J., P. Buerhaus, S. Mattke, M. Stewart, and K. Zelevinsky. 2002. “Nurse-
Staffing Levels and the Quality of Care in Hospitals.” New England Journal of
Medicine 346: 1715–22.
Nelson, E. C., P. B. Batalden, T. P. Huber, J. J. Mohr, M. M. Godfrey, L. A. Headrick, and
J. H. Wasson. 2002. “Microsystems in Healthcare: Part 1. Learning from High-
Performing Front-Line Clinical Units.” Joint Commission Journal on Quality
Improvement 28: 472–93.
Newhouse, R. P., M. Johantgen, P. J. Pronovost, and E. Johnson. 2005. “Perioperative
Nurses and Patient Outcomes—Mortality, Complications, and Length of Stay.”
Association of Operating Room Nurses Journal 81: 508–09, 513–22, 525–28.
Pronovost, P. J., D. C. Angus, T. Dorman, K. A. Robinson, T. T. Dremsizov, and T. L.
Young. 2002. “Physician Staffing Patterns and Clinical Outcomes in Critically Ill
Patients: A Systematic Review.” JAMA 288: 2151–62.
Sexton, J. B., E. J. Thomas, and R. L. Helmreich. 2000. “Error, Stress, and Teamwork in
Medicine and Aviation: Cross Sectional Surveys.” British Medical Journal 320:
745–49.
Shortell, S. M., and A. D. Kaluzny. 2000. Healthcare Management: Organization Design
and Behavior. Albany, NY: Delmar Thomson Learning.
Thomas, E. J., G. D. Sherwood, and R. L. Helmreich. 2003. “Lessons from Aviation:
Teamwork to Improve Patient Safety.” Nursing Economics 21 (5): 241–43.
Waldman, J. D., F. Kelly, S. Aurora, and H. L. Smith. 2004. “The Shocking Cost of
Turnover in Health Care.” Health Care Management Review 29 (1): 2–7.
Whitman, G. R., Y. Kim, L. J. Davidson, G. A. Wolf, and S. Wang. 2002. “The Impact of
Staffing on Patient Outcomes Across Specialty Units.” Journal of Nursing
Administration 32 (12): 633–39.

Latihan
Latihan ini bisa diakses di website penyerta buku di alamat ache.org/QualityManagement2.
Tujuan : melatih mengidentifikasi perilaku manajemen yang mengungkapkan tiga prinsip
Mutu Total: fokus pada konsumen, perbaikan kontinyu, dan teamwork.

Instruksi
1. Baca studi kasus berikut

2. Gambarkan sedikitnya satu contoh bagaimana manajement memperlihatkan prinsip

fokus pada konsumen dalam studi kasus ini

3. Gambarkan sedikitnya satu contoh bagaimana manajemen memperlihatkan prinsip

perbaikan kontinyu dalam studi kasus ini

4. Gambarkan sedikitnya satu contoh bagaimana manajemen memperlihatkan prinsip

teamwork dalam studi kasus ini.


Penerjemahan

Dari halaman 3-33 (30 halaman)

Anda mungkin juga menyukai