Anda di halaman 1dari 276

Prosiding Seminar Nasional

PENGELOLAAN BERKELANJUTAN LAHAN GAMBUT


TERDEGRADASI UNTUK MITIGASI EMISI GRK DAN
PENINGKATAN NILAI EKONOMI
Jakarta, 18-19Agustus 2014

PENANGGUNGJAWAB:
Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian

PENYUNTING:
A. Wihardjaka
Eni Maftu’ah
Salwati
Husnain
Fahmuddin Agus

REDAKSI PELAKSANA:
Widhya Adhy
Emo Tarma
Mega Yuni Hikmawati
Kartika Ratnawati
Widias Utari H.Z.
Yani Nurhayani

Diterbitkan tahun 2014 oleh :


Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Kementerian Pertanian
Jl. Tentara Pelajar No. 12, Kampus Penelitian Pertanian, Cimanggu, Bogor 16114
Telp (0251) 8323012, Fax (0251) 8311256
e-mail : bbsdlp@litbang.pertanian.go.id, website : bbsdlp.litbang.pertanian.go.id
Sumber dana: ICCTF Fase II TA 2012-2014
ISBN 978-602-8977-83-8
KATA PENGANTAR

Luas lahan gambut Indonesia saat ini sekitar 14,9 juta ha. Sebagian lahan
gambut tersebut sudah digunakan untuk pertanian dan sebagian terlantar atau
terdegradasi yang ditumbuhi semak belukar. Selain tidak produktif, lahan gambut
terlantar tersebut menjadi sumber emisi gas rumah kaca (GRK). Pengelolaan lahan
gambut harus memperhatikan karakteristik gambut, kondisi hidrologi, dan kedalaman
gambut. Pengaturan kedalaman muka air tanah, pemupukan dan ameliorasi lahan
gambut terdegradasi merupakan upaya untuk meningkatkan produktivitas gambut dan
menekan emisi GRK. Pengelolaan lahan gambut terlantar atau terdegradasi yang
ditutupi oleh semak belukar merubah lahan terlantar menjadi lahan produktif dan
berpotensi menurunkan emisi GRK nasional yang diamanatkan di dalam Peraturan
Presiden No. 61 tahun 2011.
Prosiding ini terdiri atas 25 makalah yang dipresentasikan dalam Seminar
Nasional Pengelolaan Lahan Gambut yang dilaksanakan pada tanggal 18-19 Agustus
2014 di Jakarta. Makalah dalam prosiding ini sudah melalui proses editing sebelum
dan sesudah pelaksanaan seminar.
Makalah yang dipresentasikan adalah hasil dari kegiatan penelitian kerjasama
Kementerian Pertanian dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dalam
pogram Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) Fase II, yang dilaksanakan
di lima provinsi yaitu Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Papua.
Kepada semua pihak yang berkontribusi dalam penelitian dan penyusunan
prosiding ini diucapkan terima kasih. Semoga prosiding ini bermanfaat bagi pengguna
yang memperhatikan kelestarian lahan gambut dalam antisipasi perubahan iklim dan
menambah wawasan dalam pengelolaan gambut terdegradasi secara berkelanjutan.

Jakarta, Oktober 2014


Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian

Dr. Ir. Haryono, MSc

i
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG PERTANIAN ................. vii
RUMUSAN ................................................................................................. ix
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi: Trade-off
Keuntungan Ekonomi dan Aspek Lingkungan
Fahmuddin Agus, Wahyunto, Hendri Sosiawan, I G.M. Subiksa, Prihasto
Setyanto, Ai Dariah, Maswar, Neneng L. Nurida, Mamat H.S., Irsal Las ....... 1
Respon Tanaman Karena Pengaruh Ameliorasi Tanah di Lahan Gambut:
Sintesis dari Empat Lokasi Penelitian
I G.M. Subiksa, I G.P. Wigena, Diah Setyorini, Salwati, Nurhayati, Tuti
Sugiarti, Anang Firmansyah ......................................................................... 25
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut dan Pemberian
Bahan Amelioran: Sintesis Lima Lokasi Penelitian
Prihasto Setyanto, Titi Sopiawati, Terry Ayu Adriani, Ali Pramono,
Anggri Hervani, Sri Wahyuni, A. Wihardjaka .............................................. 45
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi: Analisis
Sosial Ekonomi dan Lingkungan
Mamat H.S., Neneng L. Nurida, Irawan, Sukarman, Anny Mulyani, Meli
Fitriani, Arsil Saleh, Irsal Las....................................................................... 63
Indonesian Peatland Map : Method, Certainty, and Uses
Wahyunto, Kusumo Nugroho, Sofyan Ritung, Yiyi Sulaeman ...................... 81
Variasi Temporal dan Spasial Tinggi Muka Air Tanah Gambut Lokasi
Demplot ICCTF Jabiren, Kalimantan Tengah
Hendri Sosiawan, Budi Kartiwa, Wahyu Tri Nugroho, Haris Syahbuddin .. 97
Respon Tanaman Tumpangsari (Kelapa Sawit + Nenas) terhadap
Ameliorasi dan Pemupukan di Lahan Gambut Terdegradasi
Masganti, I G.M. Subiksa, Nurhayati, Winda Syafitri .................................. 117
Pengelolaan Kesuburan Tanah, Produktivitas dan Keuntungan Sistem
Tumpangsari (Kelapa Sawit + Nenas) di Lahan Gambut Provinsi Riau
Nurhayati, Suhendri Saputra, Aris Dwi P., Ida Nur Istina, Ali Jamil .......... 133
Respon Ameliorasi dan Inokulasi Mikroba Pelarut Fosfat terhadap
Pertumbuhan dan Emisi CO2 pada Pembibitan Kelapa Sawit di Lahan
Gambut
Ida Nur Istina , Benny Joy, Aisyah D. Suyono, Happy Widiastuti, Heri
Widianto ....................................................................................................... 147
Respon Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terhadap Berbagai
Amelioran (Studi Kasus Desa Arang-Arang Provinsi Jambi)
Salwati, R. Purnamayani, Firdaus, Endrizal ................................................ 161

iii
Aspek Agronomis dan Analisis Finansial Tanaman Karet dan Nenas
Terhadap Berbagai Perlakuan Amelioran di Lahan Gambut
M.S. Mokhtar, M.A. Firmansyah, W.A. Nugroho ......................................... 177
Respon Tanaman Jagung dan Analisis Finansial Penggunaan Beberapa
Jenis Amelioran di Lahan Gambut Terdegradasi Kalimantan Barat
Tuti Sugiarti, Jafri, Juliana C. Kilmanun .................................................. 185
Pengendalian Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros Linn.)
Menggunakan Perangkap Feromon pada Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis
Guineensis Jacq) di Lahan Gambut Provinsi Riau
Hery Widyanto, Suhendri Saputra, Suryati ................................................... 195
Dynamic of Methane and CO2 Fluxes from Sago Palm (Metroxylon sagu
Rottb.) Plantation in Papua Peat Land, Indonesia
Anggri Hervania, Randy Sanjaya, A. Wihardjaka, Prihasto Setyanto,
Maswar ......................................................................................................... 205
Emisi gas CO2 dari Pertanaman Jagung (Zea mays) dan Nenas (Ananas
comosus) di Lahan Gambut, Kalimantan Barat
Titi Sopiawati, A. Wihardjaka, Prihasto Setyanto, T. Sugiarti ..................... 215
Pengaruh Pemberian Amelioran pada Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan
Gambut Provinsi Jambi terhadap Emisi CO2
Terry Ayu Adriany, A. Wihardjaka, Prihasto Setyanto, Salwati ................... 225
Emisi Gas CO2 dari Tanah Gambut yang Ditanami Kelapa Sawit (Elaeis
guinensis) dan Nenas (Ananas comosus) dengan Beberapa Perlakuan
Amelioran
Sri Wahyuni, A. Wihardjaka, Prihasto Setyanto, Nurhayati, Hery Widianto .. 237
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dengan Ameliorasi pada Sistem
Tumpangsari Karet dan Nenas di Lahan Gambut Kalimantan Tengah
Ali Pramono, W.A. Nugraha, M.A. Firmansyah, A. Wihardjaka, Prihasto
Setyanto ........................................................................................................ 249
Emisi Gas Rumah Kaca dari Saluran Drainase di Lahan Gambut Jabiren,
Kalimantan Tengah
Prihasto Setyanto, A. Wihardjaka, Eni Yulianingsih, Fahmuddin Agus ...... 263
Emisi Gas CO2 pada Lahan Gambut yang Dibuka untuk Lahan Budidaya:
Studi Kasus di Provinsi Kalimantan Barat
Heri Wibowo, Tuti Sugiyarti, Setiari Marwanto, Fahmuddin Agus ............. 273
Variasi Temporal Emisi CO2 di Bawah Perkebunan Kelapa Sawit pada
Lahan Gambut di Riau
Hery Widyanto, Nurhayati, Ai Dariah, Ali Jamil ......................................... 285
Emisi CO2 dari Lahan Gambut Budidaya Kelapa Sawit (Elaeis guineensis)
dan Lahan Semak Belukar di Pelalawan, Riau
Sarmah, Nurhayati, Hery Widyanto, Ai Dariah ........................................... 295

iv
Dampak Ameliorasi Tanah Gambut Terhadap Cadangan Karbon Tanaman
Kelapa Sawit dan Karet
Ai Dariah,Erni Susanti ................................................................................. 307
Perubahan Penggunaan Semak Belukar pada Lahan Gambut Ditinjau dari
Aspek Dinamika Cadangan Karbon Tanaman
Erni Susanti, Ai Dariah ................................................................................ 319
Cadangan Karbon dan Laju Subsiden pada Beberapa Jenis Penggunaan
Lahan dan Lokasi Lahan Gambut Tropika Indonesia
Maswar, Fahmuddin Agus ........................................................................... 333
DAFTAR HADIR ...................................................................................... 345
DAFTAR ACARA ..................................................................................... 349

v
vi
SAMBUTAN

KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN


TEMU STAKEHOLDER (NETWORK MEETING) dan SEMINAR NASIONAL
PENGELOLAAN BERKELANJUTAN LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI
Jakarta, 18-19 Agustus 2014

Assalaamu’alaikum warohmatullaahi wabarakaatuh, Salam sejahtera untuk kita


semua.
Bapak-bapak, Ibu-ibu dan Saudara-saudara para hadirin yang saya hormati,
Saya mengapresiasi pelaksanaan acara yang akan membahas hasil kegiatan
kerjasama antara Badan Litbang Pertanian dengan Badan Perencanaan dan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS) serta dukungan Saudara-saudara para hadirin
sekalian. Rangkaian acara yang meliputi Temu Stakeholder berupa “Talk Show” dan
Seminar Nasional yang akan diselenggarakan hari ini dan besok serta Focus Group
Discussion (FGD) yang akan dilaksanakan pada tanggal 22 Agustus 2014 diharapkan
dapat merumuskan kebijakan pengelolaan berkelanjutan lahan gambut terdegradasi yang
didasarkan pada hasil penelitian ilmiah. Acara ini juga diharapkan dapat membangun
jejaring (networking) antara berbagai kalangan yang berkaitan dengan keilmuan dan
kebijakan penggunaan lahan gambut, sehingga lahan gambut terdegradasi dapat
dioptimalkan dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan.

Saudara-saudara para hadirin sekalian


Lahan gambut merupakan sumberdaya yang tergolong sebagai lahan sub-
optimal. Teknologi hidrologi dan pengelolaan tanah mampu meningkatkan peran ekonomi
lahan gambut sehingga dalam dua dekade terakhir lahan ini semakin berperan penting
sebagai lahan penghasil produk pertanian. Di samping peran penting dalam sektor
pertanian, lahan gambut juga mempunyai fungsi sangat strategis sebagai penghasil jasa
lingkungan. Akan tetapi seringkali pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan pertanian
menurunkan fungsi lingkungannya sehingga pengelolaan lahan gambut perlu dilakukan
dengan hati-hati untuk menjaga kelestariannya bagi generasi sekarang maupun generasi
mendatang.
Pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, juga
harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta
tata nilai masyarakat. Pengelolaan lahan gambut berkelanjutan sangat penting
mengingat pentingnya lahan gambut sebagai penyimpan karbon, pentingnya peran hutan
gambut sebagai peyimpan keanekaragaman hayati dan mengingat rapuhnya ekosistem
lahan gambut jika dikonversi ke penggunaan lain selain hutan.

vii
Kondisi aktual di lapangan saat ini memperlihatkan bahwa sudah cukup luas
terjadi deforestasi dan konversi lahan untuk kegiatan pertanian, perumahan dan
perkotaan. Dari sekitar 14,9 juta ha luas total lahan gambut, sekitar 8,3 juta ha berupa
hutan, baik hutan primer, maupun hutan sekunder. Sekitar 3 juta ha lahan gambut
dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Disamping cukup luasnya lahan yang produktif,
sekitar 4,2 juta ha lahan gambut merupakan lahan terdegradasi yang tidak produktif
yang ditumbuhi oleh semak belukar atau merupakan lahan terbuka. Lahan terdegradasi
ini selain tidak produktif juga merupakan sumber emisi gas rumah kaca.
Pada umumnya lahan terdegradasi tersebut berpotensi untuk dijadikan sebagai
lahan pertanian. Akan tetapi berbagai kendala teknis, sosial dan aturan perundang-
undangan menyebabkan lahan ini menjadi lahan terlantar. Untuk itu diperlukan berbagai
gagasan bagaimana agar lahan terdegradasi ini bisa berubah menjadi lahan yang
bermanfaat ekonomi dan sekaligus memperbaiki kondisi lingkungannya.
Emisi gas rumah kaca yang salah satunya bersumber dari lahan gambut yang
sudah dikonversi dan didrainase, merupakan masalah global dan nasional yang banyak
diperbincangkan. Secara nasional, lahan gambut merupakan salah satu tumpuan utama
penurunan emisi gas rumah kaca seperti dituangkan di dalam Peraturan Presiden No.
61/2011. Di dalam forum internasional lahan gambut tropis banyak diperbincangkan
karena pentingnya fungsi lingkungannya.

Saudara-saudara para hadirin yang saya hormati,


Dari rangkaian acara talk show, seminar dan Focus Group Discussion saya
berharap akan dihasilkan gagasan yang implementatif tentang pemanfaatan lahan gambut
terdegradasi. Dari seminar yang akan dilaksanakan hari ini dan besok, saya berharap akan
dapat ditampilkan data hasil penelitian yang menyumbangkan kepada ilmu pengetahuan
dan dapat ditampilkan pada berbagai media, termasuk publikasi pada jurnal nasional
maupun internasional. Seminar juga diharapkan akan memberikan arahan pengelolaan
lahan gambut untuk memaksimalkan manfaat ekonominya dan meminimalkan dampak
lingkungannya. Temu lapang yang akan dilaksanakan pada tanggal 20 Agustus di
Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat diharapkan menjadi media penyampaian hasil
penelitian serta media untuk mendapatkan umpan balik dari pengguna teknologi.
Dengan membacakan Bismillahirrahmanirrahim, rangkaian acara Talk show dan
seminar ini saya buka secara resmi. Selamat berdiskusi.

Wabillahittaufiq wal hidayah, Wassalamu’alaikum Warahmatullaahi


Wabarakaatuh.
Kepala Badan Litbang Pertanian

Dr. Ir. Haryono, MSc

viii
RUMUSAN

SEMINAR NASIONAL DAN NETWORK MEETING PENELITIAN


PENGELOLAAN BERKELANJUTAN LAHAN GAMBUT
TERDEGRADASI UNTUK MITIGASI EMISI GRK DAN
PENINGKATAN NILAI EKONOMI
Tema :
Peningkatan Manfaat Ekonomi dan Penurunan Dampak Lingkungan
Lahan Gambut Terdegradasi

Hotel Le Meridien, Jakarta 18-19 Agustus 2014

I. UMUM
Pemerintah Republik Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas
rumah kaca (GRK) hingga 26% secara unilateral dan 41% dengan dukungan internasional
pada tahun 2020, relatif terhadap emisi business as usual (BAU). Salah satu sasaran utama
aksi mitigasi nasional dari sektor berbasis lahan (pertanian dan kehutanan) adalah lahan
gambut.
Disadari bahwa tidak mudah mencegah emisi GRK dari lahan gambut, namun
melalui penerapan inovasi teknologi yang tepat maka tingkat emisi yang terjadi bisa
dikurangi. Program Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) Fase II bertujuan
untuk merakit berbagai teknologi yang dapat diaplikasikan untuk menekan emisi GRK
dari lahan gambut, sekaligus meningkatkan manfaat lahan tersebut.
Tujuan utama ICCTF Fase II adalah memetakan lahan gambut terdegradasi,
mengembangkan strategi dan kebijakan pengurangan emisi GRK pada lahan gambut,
meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia dan kapasitas lembaga dalam mengelola
dan memonitor lahan gambut dan membangun networking kelembagaan antara lembaga
penelitian nasional dan internasional, lembaga pemerintah dan lembaga swadaya
masyarakat (NGO). Untuk mencapai tujuan tersebut maka telah dilaksanakan serangkaian
penelitian mulai tahun 2012 sampai pertengahan 2014. Hasil penelitian dibahas dalam 1)
network meeting dan 2) Seminar Ilmiah pengelolaan lahan gambut.
Acara Seminar Nasional dan network meeting Penelitian Pengelolaan
Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi untuk Mitigasi Emisi GRK dan Peningkatan
Nilai Ekonomi dibuka oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Panelis dalam acara network meeting adalah Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Lingkungan dan Ketua Himpunan Gambut
Indonesia. Peserta lebih kurang 110 orang yang berasal dari Badan Meteorologi,

ix
Geofisika dan Klimatologi, Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT),
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Sekretariat Indonesia Climate Change Trust
Fund, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Perguruan Tinggi (UGM, IPB, Universitas
Jambi), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, PTPN, Biro Perencanaan
Kementerian Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, dan Balai Penelitian di
lingkup Badan Litbang Pertanian.

II. HASIL SEMINAR DAN TALKSHOW


Acara Talkshow dan seminar ilmiah menghasilkan rumusan sebagai berikut :
1. Mengingat kompleksnya masalah lahan gambut maka jejaring (networking) yang
sudah ada perlu lebih ditingkatkan dengan melibatkan stakeholder yang lebih luas,
termasuk stakeholder yang terlibat dalam peraturan dan perundang-undangan tata guna
lahan, sosial ekonomi pertanian dan kelembagaan.
2. Perkiraan luas lahan gambut yang berbeda-beda sering mendatangkan masalah, karena
akan menyulitkan dalam perencanaan penggunaan dan usaha penurunan dampak
lingkungan serta inventarisasi emisi gas rumah kaca (GRK) dari lahan gambut. Untuk
itu diperlukan penguatan one map policy.
3. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, memperkirakan luas lahan gambut
di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua sekitar 14,9 juta hektar. Peta tersebut
mempunyai tingkat ketelitian cukup tinggi (83,6%) untuk Sumatera dan Kalimantan.
Akan tetapi tingkat ketelitian lebih rendah untuk Papua kerena relatif rendahnya
jumlah dan sebaran data survei tanah di Papua. Untuk itu survei tanah gambut ke
depan perlu diprioritaskan di Provinsi Papua dan Papua Barat.
4. Sekitar 4,2 juta hektar lahan gambut di Indonesia merupakan lahan terdegradasi yang
ditumbuhi semak belukar atau lahan terbuka dan lahan bekas tambang. Lahan tersebut
selain tidak produktif juga merupakan sumber emisi GRK. Untuk itu perlu
direhabilitasi menjadi lahan yang bernilai ekonomi tanpa meningkatkan masalah
lingkungan, terutama emisi GRK.
5. Ada tiga alternatif pemanfaatan lahan gambut terdegradasi, yaitu: (a) direstorasi
menjadi hutan, (b) dibiarkan pulih (recover) secara alami atau (c) dimanfaatkan
sebagai lahan pertanian dan tujuan ekonomi lainnya sesuai dengan potensi dan
karakteristiknya. Berbagai analisis menunjukkan bahwa alternatif ketiga yaitu
merehabilitasi menjadi lahan pertanian merupakan alternatif yang paling prospektif.
6. Secara umum pengelolaan lahan gambut terdegradasi harus memperhatikan beberapa
aspek, yaitu: (a) hidrotopografi; (b) kondisi eksisting sosial masyarakat; (c)
ketersediaan tenaga kerja, (d) keadaan sosial ekonomi (e) dukungan regulasi yang
lebih mensinergikan berbagai kepentingan nasional, (f) dukungan infrastruktur, (g)
penguasaan lahan, (h) dukungan pendanaan dan (i) dukungan teknologi yang mudah
dan murah.

x
7. Status lahan seringkali menghambat pemanfaatan lahan gambut terdegradasi,
utamanya masih tumpang tindihnya status lahan dengan kehutanan yang tidak boleh
dikonversi. Salah satu pendekatan untuk mendorong pemanfaatan lahan terlantar
adalah melalui mekanisme tukar guling (land swap). Misalnya, hutan gambut pada
areal penggunaan lahan lain (APL) dijadikan sebagai kawasan lindung dan semak
belukar gambut di kawasan hutan dirubah statusnya menjadi APL. Mekanisme ini
memerlukan reformasi hukum dan kebijakan dalam sistem tata kelola dan peruntukan
lahan yang didasarkan pada reposisi dan sinkronisasi kebijakan lintas kementerian.
8. Hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian menyimpulkan
bahwa emisi GRK yang dihasilkan oleh lahan gambut yang ditanami untuk
komoditas pertanian tidak nyata berbeda dengan emisi dari lahan gambut
terdegradasi. Oleh karena itu pengembangan pertanian pada lahan gambut seharusnya
difokuskan pada lahan gambut terdegradasi sehingga hutan gambut dapat
dikonservasi.
9. Dalam menjawab berbagai isu lingkungan berkaitan dengan pengelolaan lahan
gambut, perlu dihasilkan scientific evidence yang didasarkan pada hasil penelitian
yang sahih dan dikomunikasikan dalam jurnal ilmiah internasional terakreditasi.
Selain itu, dalam pengelolaan lahan gambut seharusnya semua pihak (Kementerian
Pertanian, Kehutanan, Perdagangan, Lingkungan Hidup, Pekerjaan Umum,
pemerintah daerah dan swasta) mempunyai satu suara dan mengacu satu basis data.
10. Peraturan perundangan atau regulasi yang berhubungan dengan pemanfaatan gambut
untuk pengembangan pertanian perlu dievaluasi kembali, misalnya ketentuan yang
berkenaan dengan ketebalan gambut, jenis substratum dan kematangan gambut;
apakah faktor tersebut menentukan produktivitas dan dampak lingkungan. Dengan
kemajuan teknologi pengelolaan gambut, faktor-faktor tersebut tidak lagi menjadi
pembatas produksi pertanian. Hubungan faktor-faktor tersebut dengan dampak
lingkungan perlu dikaji lebih dalam.
11. Pemanfaatan lahan gambut terdegradasi untuk pengembangan pertanian perlu
dimonitor, diverifikasi dan dievaluasi secara terus menerus melalui pendekatan ilmiah
terutama dampaknya terhadap emisi GRK. Hal ini perlu dilakukan agar tujuan awal
pemanfaatan lahan gambut terdegradasi untuk mitigasi sesuai dengan sasaran.
12. Dalam pengelolaan lahan gambut aspek yang paling penting untuk diperhatikan
adalah pengelolaan air dan pengelolaan kesuburan tanah. Pengelolaan air harus
dirancang untuk satu satuan hidrologi (jangan hanya bersifat parsial). Namun untuk
mewujudkan hal ini diperlukan biaya yang relative mahal, sehingga perlu dirumuskan
pihak yang harus bertanggungjawab terhadap pembangunan infrastruktur untuk
mendukung pengelolaan air di lahan gambut, terutama untuk pertanian rakyat.

xi
Pengelolaan kesuburan tanah ditujukan untuk meningkatkan dan menyeimbangkan
ketersediaan hara terutama N, P, K, Mg serta hara mikro terutama Cu, Zn dan B.
13. ICCTF telah meninggalkan beberapa aset antara lain adalah sejumlah tenaga peneliti
dan teknisi terampil di BPTP dan di lingkup BBSDLP; lima sampai tujuh buah
subsidence stick pada setiap lokasi, dua set Infra Red Gas Analizer (IRGA), masing-
masing satu di BPTP Kalimantan Barat dan Riau; empat set Gas Chromatography
(GC), masing-masing satu set di BPTP Riau, Jambi, Kalimantan Barat, dan
Kalimantan Tengah, serta plot penelitian. Untuk itu kegiatan ini patut dilanjutkan
untuk menjawab beberapa research questions yang belum terjawab pada ICCTF Fase
2.
14. Hasil penelitian ICCTF perlu dipublikasi baik pada jurnal nasional maupun
internasional agar visibility dari hasil penelitian Badan Litbang Pertanian dapat
ditingkatkan dan hasil penelitian dapat lebih banyak diacu oleh berbagai kalangan
untuk mengembangkan model pengelolaan berkelanjutan lahan gambut terdegradasi
dan sebagai dasar pengambilan kebijakan dalam pengelolaan lahan gambut. Untuk itu
diperlukan dukungan Balitbang Pertanian dalam penyebaran hasil-hasil penelitian
melalui publikasi ilmiah, baik skala nasional maupun internasional.

Jakarta, 19 Agustus 2014


Tim Perumus:
1. Dr. Ir. Sukarman (Ketua)
2. Prof. Dr. Ir. Masganti (Anggota)
3. Dr. Ir. Saleh Mukhtar (Anggota)
4. Dr. Ir. Ai Dariah (Anggota)
5. Dr. Ir. Neneng L. Nurida (Anggota)
6. Dr. Ir. Salwati (Anggota)
7. Dr. Ir. A. Wihardjaka (Anggota)
8. Dr. Ir. Eni Maftu'ah (Anggota)

xii
1
PENGELOLAAN BERKELANJUTAN LAHAN GAMBUT
TERDEGRADASI : TRADE-OFF KEUNTUNGAN EKONOMI DAN
ASPEK LINGKUNGAN
SUSTAINABLE MANAGEMENT OF DEGRADED PEATLAND : TRADE-OFF
BETWEEN ECONOMIC AND ENVIRONMENTAL BENEFITS
Fahmuddin Agus1, Wahyunto2, Hendri Sosiawan3, I G.M. Subiksa1, Prihasto
Setyanto4, Ai Dariah1, Maswar1, Neneng L. Nurida1, Mamat H.S.2, Irsal Las2
1
Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No.12, Bogor 16114.
2
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No.12,
Bogor 16114
3
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi ,Jl. Tentara Pelajar No. 1A, Bogor 16111
4
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Raya Jakenan-Jaken Km. 05, Pati 59182

Abstrak. Lahan gambut terdegradasi menjadi sumber masalah lingkungan


karena merupakan sumber emisi gas rumah kaca (GRK) dan rentan
kebakaran. Lahan ini tidak produktif sementara kebutuhan untuk perluasan
lahan pertanian sangat tinggi. Penelitian Indonesian Climate Change Trust
Fund II dilakukan untuk mendelineasi lahan gambut terdegradasi,
mengembangkan metode pengelolaan, mempelajari dampak pengelolaan
terhadap hasil tanaman, tingkat keuntungan dan emisi GRK serta
menganalisis biaya penurunan emisi (opportunity cost). Penelitian
dilaksanakan dari bulan September 2012 sampai Agustus 2013 di Provinsi
Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Papua. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat sekitar 3,7 juta ha (26% dari 14,9
juta ha luas total) lahan gambut tergredasi yang ditumbuhi semak belukar
ditambah sekitar 0,6 juta ha lahan terdegradasi bekas tambang. Sebagian
lahan ini berpotensi untuk perluasan lahan pertanian. Selain meningkatkan
nilai ekonomi, rehabilitasi lahan gambut terdegradasi menjadi lahan
pertanian cenderung menurunkan emisi GRK. Lahan gambut terdegradasi
terdapat pada berbagai kawasan peruntukan, termasuk areal penggunaan
lain (APL), hutan lindung (HL), hutan produksi konversi (HPK) dan hutan
produksi (HP). Dibutuhkan suatu rasionalisasi peruntukkan kawasan dan
reposisi kebijakan agar lahan terdegradasi yang berada di dalam kawasan
hutan dapat direhabilitasi untuk pertanian dan lahan hutan gambut di areal
APL dapat dikonservasi untuk mempertahankan fungsi lingkungannya.
Kunci keberhasilan pertanian di lahan gambut adalah pengelolaan drainase
dan pemupukan N, P, K, Mg serta pupuk mikro Cu, Mn, dan B. Dengan
pengelolaan yang tepat pertanian di lahan gambut dapat memberikan hasil
dan keuntungan yang setara dengan pertanian di lahan mineral. Pemberian
amelioran seperti pupuk kandang dan pupuk gambut adakalanya
meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman, terutama bila sistem
pertanian cukup intensif atau tanah sangat miskin hara. Menelantarkan
lahan gambut terdegradasi berarti menghilangkan kesempatan bagi
pengelola lahan untuk mendapatkan keuntungan (opportunity cost) yang
berkisar antara 5,7 sampai Rp. 53 juta ha-1 tahun-1. Konservasi hutan

1
Fahmuddin Agus et al.

gambut yang tersisa sangat efektif untuk menurunkan jumlah emisi CO2,
namun biaya penurunan emisi sangat tinggi (≥US$5/t CO2); jauh melebihi
harga karbon yang berlaku di pasaran dunia yang hanya ≤ US$1/t CO2. Ini
berarti bahwa perdagangan karbon saja tidak dapat menjadi solusi
penurunan emisi, tetapi perlu diperkuat dengan insentif untuk menggunakan
lahan gambut terdegradasi dan disinsentif serta aturan untuk menghindari
konversi hutan gambut.
Kata kunci: Biaya penurunan emisi, drainase, gas rumah kaca, opportunity
cost, pemupukan, semak belukar

Abstract. Degraded peatlands is a source of environmental problems as


they are a source of greenhouse gas (GHG) emissions and fire prone. These
land are unproductive, while the need for the expansion of agricultural land
is very high. Research of the Indonesian Climate Change Trust Fund II was
carried out to delineate the degraded peatlands, developed methods of
management, evaluate the management impacts on crop yields, profitability
and GHG emission reduction as well as analyzing the cost (opportunity
cost) of emission reduction. The experiment was conducted from September
2012 to August 2013 in the provinces of Riau, Jambi, West Kalimantan,
Central Kalimantan and Papua. The results showed that there are about 3.7
million ha (26% of total area of 14.9 million ha) of degraded peatland
covered by shrubs plus about 0.6 million ha of bareland from open mining.
Most of these lands have the potential for expansion of agriculture. In
addition to increasing the economic value, the rehabilitation of degraded
peatlands to agriculture tends to reduce GHG emissions and
simultaneously improve the condition of the land. Degraded peatland are
distributed in various areas of land allotment including non forest
production area (APL), protection forest (HL), convertible production
forest (HPK) and forest production (HP) areas. It takes an allotment area
rationalization and repositioning policies that degraded land inside the
forest area can be rehabilitated for agriculture and forest land in the APL
can be conserved to maintain the environmental function. The key to the
success of agriculture is the management of peatland drainage and
fertilization of N, P, K, Mg and micro fertilizer Cu, Mn and B. With proper
management, peatland agriculture can generate crop yield and profits on
par with agriculture on the mineral land. Application of ameliorants like
Manure and Peat Fertilizer can sometimes enhance the growth and
production of crops, especially when the system is quite intensive and/or the
soil is very poor of nutrients. Squandering degraded peatlands entails
opportunity costs to landholders ranging between IDR 5.7 to 53 million ha-1
year-1. Conservation of remaining peat forests is very effective for reducing
the amount of CO2 emissions, but the emission reduction cost is very high
(≥US $ 5 / t CO2); far exceeding the prevailing carbon price in the world
market of only ≤US $ 1/t CO2. This means that carbon trading per se
cannot be a solution to emission reduction, but it needs to be strengthened
with incentives for the use of degraded peatlands and disincentives as well
and regulations to avoid conversion of peat forest.
Keywords: Cost of emission reduction, drainage, fertilization, greenhouse
gases, opportunity cost, shrubs.

2
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki lahan gambut terluas di negara-negara tropis, yaitu sekitar 14,9
juta ha (Ritung et al., 2011). Dalam keadaan alami, hutan gambut berfungsi sebagai
penyimpan, bahkan penambat (sequester) karbon (C) (Agus et al. 2013; Agus et al., 2012;
Husnain et al., 2014). Namun peningkatan kebutuhan terhadap sumberdaya lahan
menyebabkan tingginya tekanan untuk pemanfaatan lahan gambut sebagai penghasil
berbagai komoditas pertanian, sebagai lahan permukiman dan pertambangan (Gunarso et
al., 2013). Apabila hutan gambut dibuka dan didrainase maka fungsinya akan berubah
dari penyimpan menjadi sumber emisi gas rumah kaca (GRK) terutama karbon dioksida
(CO2) (Jauhiainen et al., 2012; Drösler et al., 2013). Emisi GRK merupakan masalah
global dan nasional yang banyak diperbincangkan. Selain mengemisi GRK, lahan gambut
juga mudah mengalami penurunan permukaan (subsidence) apabila hutan gambut
dikonversi dan didrainase. Subsidence menyebabkan lahan gambut kehilangan fungsi
sebagai penyimpan dan pengatur tata air serta memperpendek masa produktif untuk
pertanian (Volk 1973; Stephens and Stewart 1969; Hooijer et al., 2012; Aich et al., 2013;
Agus and Sarwani 2013; Wösten et al., 2008).
Program Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) Fase II bertujuan untuk:
(i) mendelineasi lahan gambut terdegradasi, (ii) menghasilkan rekomendasi kebijakan
berbasis riset, (iii) meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan untuk
pengelolaan dan pelaksanaan penelitian terkait dengan emisi GRK dan (iv) memperkuat
jejaring nasional dan internasional untuk diseminasi dan pertukaran informasi hasil
penelitian dan pengelolaan lahan gambut.

METODE PENELITIAN

Program penelitian ICCTF II ini dilaksanakan di lima provinsi yaitu Provinsi Riau,
Jambi, Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan Tengah (Kalteng), dan Papua. Masing-
masing lokasi mempunyai ciri komoditas yang dikembangkan, kematangan dan ketebalan
gambut (Tabel 1). Lokasi di Provinsi Riau mewakili lahan gambut sangat dalam (>3 m)
yang dominan digunakan untuk perkebunan kelapa sawit; lokasi di Provinsi Jambi
mewakili lahan gambut dangkal sampai dalam yang dominan digunakan untuk
perkebunan kelapa sawit; lokasi Provinsi Kalimantan Tengah mewakili lahan dengan
dominasi gambut sangat dalam untuk dievaluasi kelayakan dan keberlanjutannya untuk
perkebunan karet rakyat; Provinsi Kalimantan Barat dengan dominasi gambut
berkedalaman sedang sampai sangat dalam, dievaluasi untuk keberlanjutan tanaman
pangan dan hortikultura; dan Provinsi Papua dengan dominasi gambut dangkal dimonitor
emisi GRKnya dari perkebunan sagu tradisonal.
Lokasi pewakil seperti pada Tabel 1 diperuntukkan bagi pengamatan intensif plot
penelitian dan plot demonstrasi. Untuk lahan gambut nasional (Pulau Sumatera,

3
Fahmuddin Agus et al.

Kalimantan, dan Papua) dan untuk kabupaten dan lokasi penelitian terpilih dilakukan
kegiatan pemetaan dengan skala berturut-turut 1:250.000; 1:50.000 dan 1:5.000.

Tabel 1. Lokasi pewakil, komoditas yang dimonitor, kematangan dan ketebalan gambut
Kematangan dan
No. Kabupaten/ Provinsi Desa/ Kecamatan Komoditas
ketebalan gambut
1 Kab. Pelelawan, Telok ogong, Kelapa sawit Saprik-Hemik
Riau Kec. Bandar Sei Kijang 4-6 m
2 Kab. Muaro Jambi, Arang-arang Kelapa sawit Hemik- saprik
Jambi Kec. Kumpeh 1,5 - 450m
3 Kab. Pulang Pisau, Jabiren Karet Hemik- saprik
Kalimantan Tengah Kec. Jabiren 5-7 m
4 Kab. Kuburaya, Banjarsari, Rasau jaya II Palawija/ Saprik/hemik
Kalimantan Barat Kec Rasau jaya Sayuran 3-4m
5. Kab. Mimika Mioko lama, hutan sagu hemik-fibrik
Papua Distrik Naena Mukti 2-3 m

Program ini terdiri atas beberapa kegiatan yaitu:

1. Pemetaan dan rekomendasi pemanfaatan lahan gambut terdegradasi di Sumatera,


Kalimantan dan Papua; kabupaten terpilih dan lokasi penelitian pada berbagai skala.

2. Pengembangan model (plot demonstrasi dan penelitian) pengelolaan lahan gambut


berkelanjutan untuk mitigasi emisi GRK dan optimalisasi produksi tanaman.

3. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia melalui pelatihan dan sosialisasi.

4. Penyusunan rekomendasi kebijakan pengelolaan berkelanjutan lahan gambut


terdegradasi berdasarkan pertimbangan ekonomi dan lingkungan.

5. Publikasi dan pengembangan jejaring (networking) lembaga penelitian nasional dan


internasional, lembaga pemerintah dan NGO, perguruan tinggi dan kelompok tani
dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan.

Penelitian pengembangan model (plot demonstrasi, Kegiatan 2) menggunakan


rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan amelioran yang bervariasi antara satu
lokasi dengan lokasi lainnya. Amelioran yang digunakan adalah pugam (pupuk dan
amelioran khusus lahan gambut), pupuk kandang (pukan), kompos tandan kosong
kelapasawit (tankos) dan tanah mineral untuk lokasi Kalimantan Tengah serta perlakuan
pupuk dasar (kontrol). Tanaman indikator adalah kelapa sawit di Jambi dan Riau, karet di
Kalteng dan jagung di Kalbar. Di Kalbar dibandingkan juga dolomit (Ca Mg(CO3)2) dan

4
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi

campuran dolomit dengan pupuk kandang serta Trichoderma; suatu praktek yang biasa
diterapkan oleh petani setempat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pemetaan Lahan Gambut Terdegradasi

Sebaran luas lahan gambut di Sumatera, Kalimantan dan Papua berdasarkan


penggunaan dan tingkat degradasinya disajikan pada Tabel 2. Hutan rawa gambut alami
digunakan sebagai dasar acuan "lahan gambut tidak terdegradasi". Apabila kawasan hutan
gambut telah terganggu, ditandai dengan pengurangan kerapatan vegetasi hutan dan telah
didrainase, diasumsikan lahan tersebut telah mengalami proses degradasi.Lahan gambut
terdegradasi ini pada umumnya menjadi sumber emisi dari dekomposisi gambut,
walaupun secara agronomis lahannya bisa sangat produktif. Dengan demikian istilah
terdegradasi lebih dikaitkan dengan indikator lingkungan,walaupun indikator tersebut
sering tidak relevan dengan indikator agronomi, sosial dan ekonomi.
Dari 14,9 juta ha lahan gambut Indonesia, sekitar 8,3 juta ha (56%) ditutupi hutan,
baik hutan primer, maupun hutan sekunder. Lahan ini direkomendasikan untuk tetap
dipertahankan sebagai hutan. Sekitar 1,5 juta ha lahan digunakan untuk perkebunan,
terutama kelapa sawit dan karet dan 0,7 juta ha untuk tanaman pangan dan hortikultura.
Di samping lahan konservasi (hutan) dan lahan produkstif (pertanian) terdapat pula sekitar
4,4 juta ha lahan gambut terdegradasi, 3,7 juta ha di antaranya berupa lahan semak
belukar dan 0,7 juta ha berupa lahan terbuka dan lahan bekas tambang (Gambar 1). Lahan
pertanian eksisting di lahan gambut direkomendasikan untuk intensifikasi agar hasil
persatuan luas dapat ditingkatkan sehingga perluasan lahan pertanian ke lahan hutan dan
dampak lingkungan dapat diminimalkan.Lahan gambut yang ditumbuhi semak belukar
merupakan sumber emisi, namun tidak memberikan keuntungan ekonomi. Untuk itu lahan
ini diarahkan untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian produktif (Agus et al., 2012).
Di beberapa kabupaten yang menjadi lokasi penelitian atau pemetaan ICCTF
terlihat begitu dominan sumberdaya lahan gambut.Lahan ini sangat menentukan laju
pertumbuhan ekomi daerah, bahkan berkontribusi dalam pertembuhan ekonomi nasional.
Di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau; Kabupaten Kuburaya, Provinsi Kalimantan
Barat; dan Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, lebih dari 50% lahannya
merupakan lahan gambut. Dari luas total lahan gambut di Kabupaten Kuburaya dan
Kabupaten Pulang Pisau, lebih dari 50%nya berketebalan >3 m. Di Kabupaten Muaro
Jambi, luas lahan gambut 37% dari total luas lahan, namun 81% di antaranya berketebalan
>3 m (Tabel 2). Ini menunjukkan bahwa di provinsi dan kabupaten tersebut peluang
perluasan lahan pertanian ke depan lebih banyak pada lahan gambut, termasuk lahan
gambut yang berketebalan >3m.

5
Fahmuddin Agus et al.

Gambar 1. Sebaran luas tutupan lahan gambut (ha) di pulau Sumatera, Kalimantan dan
Papua (Sumber: Diolah dari Wahyunto et al., prosiding ini).

Tabel 2. Luas lahan gambut di beberapa kabupaten berdasarkan peta skala 1:50.000.
Luas Luas lahan Gambut Ketebalan Gambut
Kabupaten/Provinsi
Kabupaten (ha) (ha/%) <3m (ha; %) >3m (ha; %)
Pelalawan/ 1.392.494 700.639 213.060 487.579
Riau 54,1% 30% 70%
Muaro Jambi/ 544.655 200.112 38.417 161.695
Jambi 36,7% 19% 81%
Kubu Raya/ 698.520 523.404 273.436 249.968
Kalimantan Barat 75% 52% 48%
Pulang Pisau/ 975.180 616.231 295790 320.441
Kalimantan Tengah 63,2% 48% 52%
Mimika/ 1.782.528 237.954 237.954 -
Papua 13,3% 100,0%
Teluk Bintuni/ 1.959.453 125.312 125.312 -
Papua Barat 6,4% 100,0%

2. Pengelolaan Tanah Gambut

Sebagai ekosistem lahan rawa, keberadaan air pada lahan gambut, baik lahan
gambut berupa hutan maupun lahan pertanian sangat penting, terutama untuk menjaga
fluktuasi muka air yang optimal untuk budidaya tanaman.Untuk itu dievaluasi fuktuasi

6
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi

muka air lahan gambut secara temporal dan spasial melalui survei topografi, instalasi
piezometer di lahan dan rambu ukur di saluran drainase. Dinamika spasial elevasi muka
air pada piezometer diamati melalui pengamatan secara manual, sedangkan dinamika
temporal elevasi muka air pada saluran inlet dan outlet diamati secara otomatik
menggunakan automatic water logger.
Hasil penelitian di Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa secara temporal
elevasi muka air tanah di lahan gambut berfluktuasi mengikuti dinamika muka air sungai
dan saluran tersier. Kedalaman air tanah pada puncak musim kemarau mencapai 100 cm,
melebihi jangkauan perakaran tanaman karet yang optimal pada kisaran 50- 60 cm. Pada
puncak musim hujan (November) kedalaman muka air tanah <60 cm, dan bulan Mei yang
merepresentasikan akhir musim hujan kedalaman air tanah berkisar 65-80 cm.
Semakin jauh suatu titik dari saluran drainase, semakin dangkal muka air tanahnya
semakin dangkal membentuk pola seperti kubah di antara dua saluran drainase. Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa dinamika temporal elevasi muka air pada lahan
sangat dipengaruhi oleh pola perubahan elevasi muka air saluran inlet, dan tidak
dipengaruhi oleh pola perubahan elevasi muka air saluran outlet. Untuk mempertahankan
kedalaman air tanah pada kisaran optimal maka pintu air pada saluran tersier yang
berfungsi sebagai canal blocking harus difungsikan secara optimal sehingga ketinggian
muka air di saluran tersier tidak fluktuatif dan muka air tanah tetap stabil pada kisaran
yang dikehendaki.
Saluran sekunder adakalanya berfungsi sebagai sarana transportasi, seperti kasus di
lokasi Kalimantan Tengah.Untuk itu dipasang pintu tabat di bagian hilir terutama pada
malam hari sewaktu tidak ada lalu-lintas penggunaan saluran sekunder. Dengan demikian
durasi tinggi muka air optimal pada saluran akan bertahan lebih lama dan ini berpengaruh
positif pada pengurangan kedalaman muka air di lahan dan dan penurunan laju subsidence
(Wösten et al., 2008; Couwenberg and Hooijer 2013).

3. Produksi Tanaman Pada Lahan Gambut

Penggunaan pupuk dan amelioran diharapkan dapat meningkatkan produksi dan


keuntungan dan menurunkan emisi GRK. Stabilitas gambut akibat pemberian amelioran
sangat terkait dengan adanya proses kompleksasi asam-asam organik sehingga lebih tahan
terhadap degradasi dan mengurangi daya meracun asam fenolat. Amelioran pada dasarnya
digunakan untuk mengurangi cekaman lingkungan terhadap media perakaran tanaman
agar akar tanaman dapat tumbuh optimal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan amelioran bervariasi
antar lokasi. Di Jambi amelioran, terutama pupuk kandang, berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan maupun hasil tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, namun pada lokasi

7
Fahmuddin Agus et al.

lain, hasil tanaman tidak terpengaruh nyata oleh amelioran (Tabel 3). Tidak nyatanya
pengaruh perlakuan di lokasi penelitian Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah
disebabkan karena komposisi dan jumlah hara yang diberikan pada perlakuan Pupuk
Dasar (kontrol) merupakan dosis yang ideal untuk mendukung pertumbuhan tanaman
sehingga kekahatan hara pada lahan gambut sudah teratasi hanya dengan pemberian
pupuk dasar. Ini dibuktikan dengan hasil tanaman yang hampir setara dengan tingkat
produksi rata-rata nasional.
Di lokasi Riau, amelioran berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman. Di
lokasi Kalimantan Tengah (Kalteng), amelioran tidak berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan batang dan produksi getah karet. Di lokasi Kalimantan Barat, amelioran
tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan maupun hasil jagung. Hal ini disebabkan
karena ketersediaan hara, khususnya P dan K dari residu pupuk sebelumnya cukup tinggi,
ditambah dengan hara dari pupuk dasar.

Tabel 3. Rata-rata produksi tanaman di lokasi penelitian ICCTF


Hasil getah karet, Hasil jagung,
Hasil TBS, Jambi Hasil TBS, Riau
Kalteng umur 5 Kalbar
Perlakuan (sawit umur 6 tahun) (sawit umur 6 tahun) tahun (t/ha/musim)
(t/ha/th) (t/ha/th) (t/ha/5bulan)
Pupuk dasar
11,4 a 18,5 a 1,6 a 2,7 a
(Kontrol)
Pugam 17,4 ab 19,3 a 1,9 a 3,8 a
Pukan 18,8 b 19,6 a 1,8 a 3,0 a
1) 2)
Tankos/TM 17,7 a 20,1 a 1,2 a
Dolomit 3,5 a
Cara petani 3,4 a
1) 2)
Tankos; TM= tanah mineral; Pugam = pupuk gambut; Pukan = Pupuk kandang.

4. Analisis Finansial Aplikasi Pemupukan dan Amelioran pada Lahan Gambut


Terdegradasi

Respon tanaman tidak selalu memberikan gambaran apakah petani diuntungkan


atau tidak dengan penambahan input pertanian. Hasil analisis cost benefit usahatani
jagung di lokasi Kalbar menunjukkan bahwa aplikasi pupuk dasar berupa kombinasi dari
100 kg kiserit (MgSO4.H2O), 15 kg CuSO4, 300 kg urea, 200 kg SP-36 dan 150 kg KCl
memberikan keuntungan tertinggi dengan B/C rasio 1,66 dan keuntungan bersih Rp. 5,28
juta/ha (Tabel 4). Pemberian amelioran memberikan peningkatan hasil, namun
penambahan biaya untuk amelioran tidak sebanding dengan penambahan keuntungan
sehingga keuntungan bersih dan B/C rasio lebih rendah dengan pemberian amelioran.

8
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi

Penggunaan Pupuk Kandang pada lokasi ini memberikan keuntungan terendah karena
tingginya biaya pengadaan 5 t/ha pupuk kandang.
Untuk tanaman kelapa sawit di Jambi dan Riau diberikan pupuk dasar berupa 2 kg
Urea; 2 kg SP-36; 2,5 kg KCl; 1,2 kg Kieserit per pohon sekali dalam enam bulan dan
pupuk mikro 0,15 kg CuSO4; 0,15 kg ZnSO4 dan pupuk Boron dalam bentuk 0,30 kg
Borax (Na2B4O7·10H2O) untuk setiap pohon per tahun. Perlakuan Pugam tidak
menggunakan SP-36 dan pupuk mikro karena sudah dikandung di dalam Pugam.
Keuntungan tertinggi di Jambi dicapai dengan penggunaan pupuk kandang. Ini
menunjukkan bahwa penggunaan pupuk dasar saja tidak cukup dan bahkan hampir tidak
layak secara ekonomi karena hanya menghasilkan B/C rasio 1,02. Pemberian pugam dan
Tankos juga belum memberikan keuntungan yang memuaskan dengan B/C rasio
mendekati 1,0. Untuk lokasi Riau, semua perlakuan memberikan keuntungan yang
memuaskan, namun keuntungan tertinggi dicapai dengan menggunakan pugam.
Untuk tanaman karet di Kalteng diberikan pupuk dasar sebanyak 0,25 kg Urea,
0,20 kg SP-36 dan 0,25 kg KCl per pohon sekali dalam enam bulan. Perlakuan amelioran
terdiri dari 2 kg pugam, 4 kg pupuk kandang atau 6 kg tanah mineral sekali dalam enam
bulan. Secara umum budi daya karetpaling menguntungkandengan hanya pemberian
pupuk dasar. Pemberian pugam dan pukan meningkatkan hasil tanaman (Tabel 4) dan
keuntungan bersih (NPV), namun B/C rasio yang lebih rendah dibandingkan B/C rasio
pupuk dasar menunjukkan bahwa penambahan biaya untuk kedua jenis amelioran ini
tidak memperikan proporsi keuntungan yang lebih tinggi. Perlakuan tanah mineral
memberikan NPV dan B/C rasio paling rendah karena pengadaannya memerlukan biaya
transpor yang sangat tinggi.

9
Fahmuddin Agus et al.
10

Tabel 4. Nilai bersih terkini (NPV) atau keuntungan bersih usahatani sawit, karet dan jagung di lokasi penelitian ICCTF.
TBS Kelapa Sawit, TBS kelapa sawit,
Getah karet, Kalteng Jagung,Kalbar Perkebunan sagu3)
Jambi Riau
Perlakuan NPV NPV Keuntungan Keuntungan
NPV (juta
(juta B/C (juta B/C B/C (juta B/C (jutaRp/ha/musi B/C
Rp/ha/th)
Rp/ha/th) Rp/ha/th) Rp/ha/musim) m)
Pupuk dasar 2,19 1,02 22,17 1,15 58,16 1,98 5,28 1,66
Pugam 9,86 1,08 50,07 1,41 69,45 1,76 5,21 1,55
Pukan 22,11 1,21 25,86 1,17 67,33 1,46 0,76 1,07
Tankos/
8,85 1,06 18,09a1) 1,12 17,272) 1,19
TM
Dolomit+
Pukan+ 3,48 1,42
Trichoderma
Dolomit 4,19 1,49
Tanpa
5,73 1,4
perlakuan
Rata-rata 10,75 32,70 53,05 3,78 5,73
Semak
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
belukar4)
Hutan4) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1) 2)
Tankos; TM= tanah mineral; Pugam = pupuk gambut; Pukan = Pupuk kandang.; NPV = Net present value; TBS = Tandan buah segar; df = discount factor (suku bunga).
3)
Sumber:http://pphp.deptan.go.id/xplore/view.php?file=PENGOLAHAN-HASIL/PENGOLAHAN%20HASIL/8-
Profil%20Usaha/PROFIL%20INVESTASI%20BIOENERGI/PROFIL%20SAGU%20FINAL.doc (diunduh: 9 Agustus 2014).
4)
Tidak tersedia data dan diasumsi nilai ekonomi nol bagi petani walaupun ada kemungkinan petani mendapatkan hasil tertentu dari hutan dan belukar
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi

5. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Cadangan Karbon

Emisi GRK diukur dengan metode sungkup tertutup (closed chambers) dengan
menggunakan alat Gas Chromatography di kelima lokasi atau Infrared Gas Analyzer
(IRGA) di lokasi Riau dan Kalbar. Cadangan karbon pada biomas diukur dengan
gabungan metode tidak langsung melalui pengukuran lingkar batang pohon dan cara
langsung melalui penimbangan biomas tumbuhan dan necromass (jaringan tumbuhan
yang mati). Cadangan karbon tanah gambut diukur dengan cara langsung (direct
technique) melalui pengukuran berat isi dan kandungan C tanah gambut per lapisan mulai
dari lapisan permukaan sampai lapisan transisi antara tanah gambut dengan tanah mineral.

5.a. Emisi GRK berdasarkan pengukuran gas chromatography

Pada umumnya perlakuan pemupukan dan ameliorant tidak nyata mempengaruhi


jumlah emisi GRK, kecuali untuk perlakuan Tankos di Riau dan Jambi yang memberikan
jumlah emisi lebih rendah dari perlakuan lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
tingginya C/N rasio Tankos dan imobilisasi N dari tanah gambut ke dalam Tankos
sehingga emisi menurun.
Emisi dari hutan sagu di Papua ternyata tidak lebih rendah dibandingkan dengan
emisi di lokasi lainnya. Namun angka rata-rata tahunan sangat dipengaruhi oleh data pada
bulan April 2013 yang emisinya sangat tinggi (Gambar 2) disebabkan keadaan yang relatif
kering. Diduga bahwa jika pengamatan dilakukan secara lebih intensif (dua kali atau
sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan) jumlah perkiraan emisi tahunan akan jauh
lebih rendah dibandingkan angka yang terlihat pada Tabel 1.

11
Fahmuddin Agus et al.

Tabel 5. Emisi CO2-e (t/ha/tahun) yang diukur dengan gas chromatography (GC) di lima
lokasi penelitian ICCTF
Kalteng
Riau Papua
Jambi (Karet, umur 5 Kalbar
Perlakuan (sawit umur 6 (hutan
(sawit umur 6tahun) tahun (jagung)
tahun) sagu)
(t/ha/5bulan)
Pupuk dasar
(tanpa 15,8 a 28,4 a 20,4 a 20,8 a
ameliorant)
Pugam 19,0 a 30,7 a 18,7 a 26,6 a

Pukan 17,4 a 25,4 a 21,8 a 26,0 a

Tankos/TM 12,5 b1) 17,4 b1) 19,8 a2)

Dolomit 19,4 a

Cara petani 33.2 a 19,9 a


Tanpa pupuk
34,93)
dan amelioran
1)
Tankos; 2)TM= tanah mineral; 3)Tidak termasuk emisi CH4 sebanyak 10.0 t CO2e /ha/tahun;
Pugam = pupuk gambut; Pukan = Pupuk kandang.

Karbon Dioksida
40000
Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1)

35000
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0
11-Apr 17-Jul 22-Okt 7-Mar

Pengamatan

700 Metana
Fluks CH4 (mg m-2 hari-1 )

600

500

400

300

200
100

0
11-Apr 17-Jul 22-Okt 7-Mar

Pengamatan

Gambar 1. Fluks CO2 dan CH4 dari gambut di Timika Papua pada pertanaman sagu.

Selain dekomposisi gambut, emisi GRK juga bersumber dari biomas tumbuhan
akibat perubahan penggunaan lahan (Tabel 6). Pengukuran emisi dari dekomposisi
gambut menggunakan IRGA, membandingkan perbedaan antar perlakuan dan antara
lahan budidaya dengan lahan yang ditutupi oleh semak belukar. Data generic dari literatur

12
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi

juga dikutip untuk mendapatkan angka emisi dekomposisi gambut dan cadangan C hutan
gambut sekunder dan primer.
Sebagaimana hasil pengukuran dengan GC, data IRGA tidak memperlihatkan
perbedaan yang nyata antar perlakuan untuk lokasi Riau dan Kalbar (data Kalbar untuk
masing-masing perlakuan masih dalam proses). Emisi pada perkebunan kelapa sawit di
Riau lebih tinggi dibandingkan emisi dari hutan terdegradasi (semak belukar) (Tabel 6).
Semak belukar di lokasi penelitian Riau merupakan hutan terdegradasi dengan pohon
berketinggian maksimum 5 m. Untuk lokasi Kalbar, semak belukar didominasi oleh
tumbuhan paku resam, melastoma dan alang-alang dengan tinggi tumbuhan <1 m. Emisi
gambut dari semak belukar Kalbar ini setara bahkan sedikit lebih tinggi dari emisi pada
kebun nenas.
Untuk lokasi Jambi, Kalteng dan Papua, karena tidak ada pengukuran pada lahan
semak belukar maka untuk membandingkan emisi dari semak belukar, hutan primer dan
hutan sekunder dengan lahan budidaya digunakan data dari IPCC (2006 dan 2013). Tabel
6 juga menampilkan peningkatan (+) atau penurunan tingkat emisi dari dekomposisi
gambut bila semak belukar, hutan gambut sekunder atau hutan gambut primer dikonversi
menjadi lahan pertanian. Pada umumnya konversi lahan menyebabkan peningkatan emisi,
namun untuk lokasi Kalbar, konversi atau rehabilitasi belukar gambut menjadi lahan
budidaya nenas cenderung menyebabkan penurunan emisi dari dekomposisi gambut.
Untuk tanaman sagu, data IPCC (2006; 2013) juga mengindikasikan penurunan emisi dari
dekomposisi gambut bila semak belukar dirubah menjadi perkebunan sagu tradisional
(dengan drainase dangkal).

5.b. Emisi dari biomas tumbuhan karena perubahan penggunaan lahan (above ground
emission)

Seperti halnya emisi dari dekomposisi gambut, emisi dari kehilangan biomas
tumbuhan akibat perubahan penggunaan lahan juga lebih besar bila hutan primer
dikonversi menjadi lahan budidaya. Emisi terendah, bahkan ada kalanya negatif
didapatkan bila semak belukar dijadikan lahan perkebunan. Emisi gabungan dari kedua
sumber (dekomposisi gambut dan biomas), tertinggi bila hutan gambut dikonversi,
terutama hutan gambut primer dan terendah bila semak belukar dijadikan lahan pertanian
(Tabel 6).

13
Fahmuddin Agus et al.

Tabel 6. Emisi dari dekomposisi gambut, diukur dengan menggunakan Infrared Gas
Analyzer (IRGA), cadangan C (C stock) dan emisi dari perubahan penggunaan lahan
untuk lima lokasi ICCTF
Lokasi
Kalbar
Perlakuan Jambi (sawit Riau Kalteng (Karet,
(jagung- Papua,
umur 6 (sawit umur 6 umur 5 tahun
nenas) sagu
tahun) tahun (t/ha/5bulan)

Emisi CO2 dari dekomposisi gambut (t/ha/tahun)


Pupuk dasar (tanpa 60,73)
ameliorant)
Pugam 64,03) 62,8
Pukan 73,53) 67,1
Tankos/TM/Dolomit 61,73) 60,9
Dolomit 52.9
+Pukan+Tricoderma
Rata-rata 40,44) 65.03) 55,04) 47,03) 5,54)
4) 3) 4) 3)
Semak belukar 19,4 45,3 19,4 50,3 19,44)
Hutan gambut 19,44) 19,44) 19,44) 19,44) 19,44)
sekunder
Hutan gambut primer 05) 05) 05) 05) 05)
Penggunaan lahan Peningkatan emisi CO2dari dekomposisi gambut akibat perubahan penggunaan
awal lahan (t/ha/tahun)8)
Semak belukar 21,0 19,7 35,6 -3,3 -13,9
Hutan gambut
sekunder 21,0 45,6 35,6 27,6 -13,9
Hutan gambut primer 40,4 65,0 55,0 47,0 5,5

Lahan budidaya 406) 406) 636) 10 407)


6) 6)
Semak belukar 30 61 30 10 306)
6) 6) 6) 6)
Hutan gambut 155 155 155 155 1556)
sekunder
Hutan gambut primer 1966) 1966) 1966) 1966) 1966)
Penggunaan lahan
Emisi CO2 biomas dan necromas dari perubahan penggunaan lahan (t/ha/tahun)9)
awal
Semak belukar -1,5 3,1 -4,8 0,0 -1,5
Hutan gambut
16,9 16,9 13,5 21,3 16,9
sekunder
Hutan gambut primer 22,9 22,9 19,5 27,3 22,9
Net emisi dari biomas dan dekomposisi gambut (t CO2/ha/tahun)10)
-
Semak belukar 19,6 22,8 30,8 -3,3
15,4
Hutan rawa sekunder 37,9 62,5 49,1 48,9 3,0
Hutan rawa primer 63,3 87,9 74,5 74,3 28,4
1)
Tankos; TM= tanah mineral; Data IRGA; IPCC (2013); IPCC (2006); 6)Santosa at al. (2014); 7)Assumed
2) 3) 4) 5)

the same as oil palm plantation;8)Peningkatan emisi CO2 dari dekomposisi gambut akibat perubahan penggunaan
lahan = (emisi pada lahan budidaya-emisi penggunaan lahan awal);9)Emisi biomas dan nekromas dari perubahan
penggunaan lahan = (Cadangan C penggunaan lahan awal) – (Cadangan C pada lahan budidaya)*3.67;10)Net
emisi dari biomas dan dekomposisi gambut = (Peningkatan emisi CO2 dari dekomposisi gambut) + (Emisi CO2
biomas dan necromas dari perubahan penggunaan lahan; 11)Dolomit;
Pugam = pupuk gambut; Pukan = Pupuk kandang

14
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi

5.c. Cadangan karbon tanah gambut dan subsidence

Cadangan karbon pada tanah (below ground carbon stock) gambut sangat
ditentukan oleh ketebalan gambut, sedangkan kerapatan karbon (carbon density)
ditentukan oleh berat isi (BI) (Gambar 3). Tabel 7 memperlihatkan bahwa ketebalan
gambut sangat bervariasi antar lokasi penelitian. Gambut di Papu berketebalan rata-rata
<1 m, di lokasi Kalteng, Kalbar dan Riau >3 m, sedangkan di lokasi jambi antar 2-3 m.
Kerapatan karbon rata-rata berkisar antara 51-61 kg/cm3, kecuali Papua yang hanya
sekitar 38 kg/cm3. Sesuai dengan ketebalannya, cadangan C gambut tertinggi ditemukan
di lokasi Kalteng dan Riau dan terendah di lokasi Papua.

Tabel 7. Ketebalan gambut, cadangan karbon, dan kerapatan karbon pada berbagai
lokasi lahan gambut tropika Indonesia
Lokasi Ketebalan gambut (cm) Cadangan C (ton ha-1) Kerapatan C (kg m-3)
Papua 90 338 38
Kalteng 628 3614 58
Kalbar 379 2055 54
Riau 576 2930 51
Jambi 228 1451 61

Gambar 1. Keterkaitan hubungan antara bulk density (BD) dengan kerapatan karbon
gambut

15
Fahmuddin Agus et al.

Laju penurunan permukaan (subsidence) paling tinggi di lokasi Kalbar, sedangkan


antara lokasi Kalteng, Riau dan Jambi hampir sama. Di lokasi Papua sejauh ini belum
tercatat terjadinya subsidence (Tabel 8). Hal ini disebabkan dangkalnya saluran drainase
dan tanah berada dalam keadaan becek. Biasanya subsidence akan menurun dengan
semakin lamanya lahan didrainase.
Data laju subsidence berguna dalam menentukan berapa lama lahan dapat
digunakan (drainability). Semakin tinggi laju subsidence semakin pendek umur pakai
lahan gambut.

Tabel 8. Kecepatan penurunan permukaan tanah (subsidence rate) pada masing-masing


lokasi kegiatan ICCTF.
Penggunaan Subsidence (cm th-1)
Lokasi
Lahan Mak Min Rata-rata
Papua Hutan sagu 0 0 0
Kalteng Karet + Nenas 4,7 2,7 3,8
Kalbar Tanaman semusim 6,8 4,7 5,6
Riau Kelapa sawit + Nenas 4,0 2,5 3,3
Jambi Kelapa sawit + Nenas 4,5 2,0 2,7

6. Opportunity Cost
Ringkasan dari keuntungan bersih terkini (NPV), potensi net emisi dari perubahan
penggunaan lahan (gabungan emisi dari biomas dan dekomposisi gambut) serta
keuntungan yang hilang (opportunity cost) per unit masa CO2 yang berpotensi teremisi
disajikan pada Tabel 9. Opportunity cost (OC) sering digunakan sebagai acuan penetapan
biaya penurunan emisi GRK dalam perdagangan karbon. OC yang tinggi (kasus semak
belukar di Jambi, Riau dan Kalteng) dapat diterjemahkan sebagai besarnya kerugian
ekonomi bila lahan dipertahankan sebagai semak belukar sedangkan potensi penurunan
emisi sangat kecil. OC untuk mempertahankan hutan primer dan sekunder di Kalbar
paling rendah (USD 5 dan USD7/t CO2); menggambarkan bahwa harapan keuntungan
ekonomi konversi lahan tidak begitu besar, namun potensi emisi yang dapat dikurangi
cukup tinggi. Ini berarti bahwa usaha pencegahan deforestasi (avoided deforestation)
cukup menarik dan relatif lebih terjangkau oleh investor pasar karbon. Semakin tinggi
opportunity cost, semakin sulit (semakin tinggi biaya) konservasi hutan dan semakin besar
tekanan untuk konversi. Sebaliknya semakin rendah OC, semakin mudah
mempertahankan hutan untuk penurunan emisi CO2 asalkan ada imbalan kepada pemilik
lahan.
Untuk kasus Riau, OC penurunan emisihutan primer paling rendah rendah (USD
34/ t CO2) dan untuk mempertahankan semak belukar paling tinggi (USD 131/t CO 2). Ini

16
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi

disebabkan, karena jumlah emisi CO2 yang dapat dikurangi bila hutan dipertahankan,
paling tinggi. OC negatif mempunyai arti bahwa mempertahankan semak belukar dari
konversi menjadi pertanian jagung tidak layak secara ekonomi dan lingkungan karena
emisi pada lahan pertanian jagung-nenas lebih rendah dari semak belukar dan keuntungan
ekonominya juga cukup tinggi dibandingkan semak belukar. Mempertahankan semak
belukar di Kalbar atau sagu di Papua tidak hanya menghilangkan kesempatan
mendapatkan keuntungan ekonomi berturut-turut sebanyak Rp 3,78 juta dan 5,73 juta/ha/
tahun, tetapi juga menghilangkan kesempatan menurunkan emisi CO2 bertutut-turut
sebanyak 3,3 dan 15,4 ton CO2/ha/tahun.
OC paling rendah berdasarkan penelitian ini adalah USD 5/t CO2 (dari
konservasi hutan primer terhadap konversi menjadi pertanian jagung). Angka ini jauh
lebih tinggi dari harga karbon yang berlaku di pasaran dunia saat ini yang hanya <USD 1/t
CO2. Artinya, pasar karbon tidak mampu mengatasi masalah konversi hutan. Dengan
demikian untuk mempertahankan hutan diperlukan mekanisme lain di luar mekanisme
pasar, misalnya regulasi yang dikombinasikan dengan insentif bagi pemilik lahan.

Tabel 9. Nilai bersih terkini (NPV), net emisi biomas dan dekomposisi gambut serta
keuntungan yang hilang (opportunity cost) bila mempertahankan lahan semak belukar,
hutan sekunder atau hutan primer dari konversi menjadi lahan budidaya.

Kelapa Sawit, Kelapa sawit, Karet, Jagung-nenas,


Sagu,Papua
Jambi Riau Kalteng Kalbar
Penggunaan lahan
NPV atau keuntungan bersih (juta Rp./ha/tahun)

Lahan budidaya 10.75 32.7 53.05 3.78 5.73


Penggunaan Net emisi dari biomas dan dekomposisi gambut karena perubahan penggunaan
lahan awal lahan (t CO2/ha/tahun)

Semak belukar 19.6 22.8 30.8 -3.3 -15.4

Hutan gambut
37.9 62.5 49.1 48.9 3.0
sekunder
Hutan gambut
63.3 87.9 74.5 74.3 28.4
primer
Keuntungan yang hilang (opportunity cost) (USD/t CO2)
Semak belukar 50 131 157 -104 -34
Hutan gambut
26 48 98 7 175
sekunder
Hutan gambut 18
15 34 65 5
primer

7. Capacity building
Sampai saat inijumlah sumberdaya manusia dan kemampuan lembaga dalam
memonitor aspek lingkungan (khusunya emisi gas rumah kaca) dan mengelola

17
Fahmuddin Agus et al.

sumberdaya lahan gambut masih terbatas. Pelatihan tentang pengukuran emisi karbon dan
pengelolaan lahan gambut dan penguatan kapasitas lembaga dalam monitoring langsung
lahan gambut menjadi sangat penting.
Pelatihan peningkatan kemampuan sumberdaya manusia (capacity building) terdiri
dari kegiatan di kelas (teoritis) dan praktek di lapangan yang dilengkapi dengan
perhitungan, analisis dan interpretasi data dan presentasi hasil pelatihan, sedangkan nara
sumber pelatihan berasal dari Badan Litbang Pertanian. Materi pelatihan meliputi 1)
Pengelolaan lahan gambut berkelanjutan, 2) Perubahan Iklim, 3) Pengukuran cadangan
karbon pada tanah gambut dan tanaman, 4) Pengukuran GRK di lahan gambut dengan
GC, 5) Pengukuran GRK di lahan gambut dengan IRGA, 6) Penggunaan AWS/
pengukuran piezometer dan 7) Estimasi emisi GRK dari sektor pertanian dan perubahan
penggunaan lahan. Pelatihan telah dilaksanakan di lima provinsi yaitu Provinsi
Kalimantan Barat, Papua, Jambi, Riau, dan Kalimantan Tengah. Peserta pelatihan di tiap
provinsi sekitar 22-32 orang seperti yang dapat dilihat pada Tabel 10.

(a) (b)

(b) (b)

Gambar 2. Pelaksanaan pelatihan di kelas(a) dan di lapangan (b).

Pada umumnya peserta pelatihan di lima provinsi hanya sedikit memahami topik
pelatihan, bahkan terdapat peserta yang tidak memahami sama sekali topik pelatihan
(Gambar 4). Heterogenitas peserta pelatihan akan berdampak terhadap pemahaman
terhadap materi pelatihan baik teori maupun praktek di lapangan. Ketertarikan peserta
terhadap pendalaman materi pelatihan cukup besar, meskipun latar belakang masing-

18
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi

masing peserta cukup beragam (Gambar 5). Bila dikaitkan dengan keterkaitan dengan
tugas sehari-hari peserta pelatihan, sebagian kecil peserta di Kalimantan Barat dan Papua
menyatakan tidak ada keterkaitan dengan tugas mereka, namun peserta tetap berkeinginan
untuk mendalami materi pelatihan. Sedikit berbeda dengan peserta di Jambi, meskipun
tidak ada yang menyatakan ketidakterkaitan dengan tugas, namun <5% peserta
menyatakan tidak tertarik untuk mendalami materi pelatihan (Gambar 6). Fakta tersebut
menunjukkan bahwa penugasan untuk mengikuti pelatihan perlu mempertimbangkan
preferensi staf yang ditunjuk.

Gambar 3. Pemahaman dan ketertarikan peserta terhadap topik pelatihan sebelum


pelatihan dilakukan

Gambar 4. Pendapat peserta tentang manfaat pelatihan dan kesesuaian materi di 5


provinsi

19
Fahmuddin Agus et al.

Tabel 10. Peserta pelatihan peningkatan kemampuan sumberdaya manusia dan institusi
dalam pengelolaan lahan gambut di Provinsi Kalimantan Barat, Papua dan Jambi
No Kalimantan Barat Papua Jambi Riau Kalimantan Tengah
1 Badan Ketahanan Bapedalda Balitbangda BKPP Pelalawan BLH Provinsi
Pangan dan Prov Papua Provinsi
Penyuluhan
Provinsi
2 Balingtan Bappeda Sekdes Arang- BLM Prov. Riau BMKG
Provinsi Papua Arang
4 Bappeda Kubu Bappeda Kab. Ketahanan BP2KP Indragiri Hilir BP Kapet DAS
Raya Mimika Pangan Provinsi KAKAB
5 BLHD Provinsi BLH Kab. BPP. Kumde Ulu BPTP Prov. Riau BPDAS Kahayan)
Kalbar Mimika
6 BP3K BPTP Papua BPAKP Muaro Dinas Kehutanan Kab. BPTP Kalteng
Jambi Kampar
7 BP4K Kab. Kubu Dinas BPDAS Bt.Hari Dinas Perkebunan Disbun Provinsi
Raya Kehutanan Bangkinang
Kab. Mimika
8 BPTP Kalbar Dinas Bakorluh Dinas Pertanian dan Disbunhut Kab.
Peternakan Peternakan Kab. Pulang Pisau
Kampar
9 Dinas Pertanian Dinas Dinas kehutanan Dinas Pertanian Kab. Universitas
Provinsi Pertanian Tan dan Perkebunan Pelalawan Muhamadyah
Pangan dan Muaro Jambi
Perkebunan
10 Disbunhutan Kab. Kantor Dinas Pertanian Dinas Tan. Pangan, Universitas
Kubu Raya Ketahanan Provinsi Hortikultura Prov Riau Palangkaraya
Pangan
11 Distanak Kab. UNCEN Dinas Kehutanan Dinas THP Tembilahan, Universitas PGRI
Kubu Raya Provinsi Indragiri Hilir
12 Fak. Pertanian UNDP Fakultas Dishutbun Meranti
UNTAN Pertanian UNJA

13 Petani Yapeda (LSM) Dishutbun Muaro Faperta UIR


Jambi

14 WWF-ID Dinas Pertanian Faperta UNRI


Muaro Jambi

15 Dinas PTPN 3
Perkebunan
Provinsi
16 Bappeda Muaro UIN, SUSKA, Riau
Jambi

17 LH. Muaro Univ. Lancang Kuning


Jambi

18 BPTP Jambi UNSYIAH

Hampir 100% peserta menyatakan materi yang diberikan sesuai dengan harapan
mereka dan hanya <10% peserta di Provinsi Jambi dan Riau yang menyatakan kurang
sesuai dengan harapan mereka. Kekurangsesuaian materi yang dirasakan peserta
disebabkan karena latar belakang peserta yang tidak terkait dengan materi pelatihan

20
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi

sehingga harapan mereka sebelum pelatihan tidak terpenuhi dari materi pelatihan yang
diterima.

Praktek pengukuran karbon dalam tanah dan tanaman dianggap cukup sulit (37,0-
70,6% peserta). Rumitnya perhitungan karbon dalam tanaman mungkin menjadi salah
satu penyebab sulitnya materi tersebut dipahami peserta. Pemahaman peserta terhadap
materi yang diberikan sangat berkaitan erat dengan latar belakang peserta dan persepsi
peserta terhadap materi. Bagi peserta yang mempunyai latar belakang keterkaitan dengan
materi yang diberikan, tentu tidak sulit memahami materi yang diberikan, namun bagi
peserta yang latar belakangnya sangat tidak relevan dengan materi yang diberikan tentu
akan menganggap sulit dan kurang memahami materi yang diberikan. C-dalam tanaman

Beberapa poin penting yang perlu diperhatikan dalam pelatihan pengukuran karbon
dan emisi GRK ke depan adalah sebagai berikut: 1) Waktu penyelenggaraan yang lebih
lama agar dapat dipahami secara baik, 2) Perlu adanya standarisasi pengukuran dalam
pengukuran karbon dan GRK agar ada kesamaan interpretasi hasil analisis, 3) Waktu
praktek di lapangan dan interpretasinya perlu mendapat porsi waktu yang lebih banyak
sehingga peserta lebih terlatih, 4) Peserta pelatihan diprioritaskan bagi staf/instansi yang
akan terlibat langsung dalam pengukuran karbon dan emisi di masing-masing provinsi dan
5) Perlu dipertimbangkan ketersediaan instrumen pengukuran GRK di provinsi sehingga
materi pelatihan sinkron dengan kebutuhan setempat.

Kesimpulan Implikasi Kebijakan

Terdapat sekitar 3,7 juta ha lahan gambut terdegradasi ditambah sekitar 0,6 juta ha
lahan kosong dan lahan bekas tambang yang sebagian di antaranya berpotensi untuk
dikembangkan menjadi lahan pertanian. Akan tetapi lahan terlantar tersebut tersebar pada
berbagai peruntukan kawasan termasuk pada areal hutan lindung, hutan suaka alam dan
sebagainya yang tidak legal dikembangkan untuk pertanian. Dalam jangka pendek perlu
dipercepat langkah-langkah rehabitasi lahan gambut terlantar yang berada di kawasan
Areal Penggunaan Lain (APL). Dalam jangka menengah perlu dikaji pemanfaatan lahan
terlantar di luar kawasan APL, misalnya melalui mekanisme land swap (tukar guling);
hutan gambut pada areal penggunaan lahan lain (APL) dijadikan sebagai kawasan lindung
dan belukar gambut di kawasan hutan dirubah statusnya menjadi APL. Mekanisme ini
akan memerlukan reformasi hukum dan kebijakan dalam sistem tata kelola dan
peruntukan lahan.
Opportunity cost penurunan emisi dari lahan hutan dan hutan terdegradasi relatif
tinggi; minimal USD 5/t CO2. Nilai ini jauh melebihi harga karbon di pasar internasional
yang hanya kurang dari USD 1/t CO2. Ini berarti mekanisme pasar karbon semakin sulit

21
Fahmuddin Agus et al.

diharapkan untuk menurunkan emisi GRK dari lahan gambut. Untuk itu selain tetap
memperjuangkan aspek financing pada berbagai forum United Nations Framework
Conference on Climate Change (UNFCCC) di dalam negeri penurunan emisi dapat
ditempuh dalam kerangka adaptasi yang bersinergi dengan penurunan emisi.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F., A. Dariah, E. Runtunuwu dan E. Susanti. 2012. Emission reduction options for
peatlands in the Kubu Raya and Pontianak Districts, West Kalimantan,
Indonesia. Journal of Oil Palm Research 24: 1378–87. http://palmoilis.
mpob.gov.my/publications/joprv24aug2012-Fahmuddin.pdf.
Agus, F., P. Gunarso, B.H. Sahardjo, N. Harris, M. van Noordwijk, and T.J. Killeen.
2013. Historical CO2 emissions from land use and land use change from the oil
palm industry in Indonesia, malaysia and Papua New Guinea. In Reports from
the Technical Panels of RSPOs 2nd Greenhouse Gas Working Group. T. J.
Killeen and J. Goon (eds.). Roundtable on Sustainable Palm Oil, Kuala Lumpur,
Malaysia.pp. 65–88. http://www.rspo.org/file/GHGWG2/5_historical_CO2_
emissions_Agus_et_al.pdf.
Agus, F., and M. Sarwani. 2013. Review of emission factor and land use change analysis
used for the renewable fuel standard by USEPA. Dalam Prosiding seminar
nasional pengelolaan lahan gambut berkelanjutan, Bogor, 4 Mei 2012. Y.
Sulaeman, E. Husen, M. Anda, M. Noor, M.H. Swanda, Maswar, A. Fahmi (eds.)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Hal. 29–46.
Aich, S., C.W. McVoy, T.W. Dreschel, and F. Santamaria. 2013. Estimating soil
subsidence and carbon loss in the Everglades agricultural area, Florida using
geospatial techniques. Agriculture, Ecosystems & Environment, 171: 124–133.
doi:10.1016/j.agee.2013.03.017.
Couwenberg, J., and A. Hooijer. 2013. Towards robust subsidence-based soil carbon
emission factors for peat soils in South-East Asia, with Special Reference to Oil
Palm Plantations. Mires and Peat, 12: 1–13.
Gunarso, P., M.E. Hartoyo, F. Agus, and T.J. Killeen. 2013. Oil palm and land use change
in Indonesia, Malaysia and Papua New Guinea. In Reports from the Technical
Panels of RSPOs 2nd Greenhouse Gas Working Group, T.J. Killeen and J. Goon.
Roundtable on Sustainable Palm Oil, Kuala Lumpur, Malaysia. pp. 29–64.
http://www.rspo.org/file/GHGWG2/4_oil_palm_and_land_use_change_Gunarso
_et_al.pdf.
Hooijer, A., S. Page, J. Jauhiainen, W.A. Lee, X.X. Lu, A. Idris, and G. Anshari. 2012.
Subsidence and carbon loss in drained tropical peatlands. Biogeosciences 9 (3):
1053–1071. doi:10.5194/bg-9-1053-2012.
Husnain, H., I.G.P. Wigena, A. Dariah, S. Marwanto, P. Setyanto, and F. Agus. 2014.
CO2 emissions from tropical drained peat in Sumatra, Indonesia. Mitigation and

22
Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi

Adaptation Strategies for Global Change 19 (6): 845–862. doi:10.1007/s11027-


014-9550-y.
Jauhiainen, J., A. Hooijer, and S.E. Page. 2012. Carbon Dioxide emissions from an
Acacia plantation on peatland in Sumatra, Indonesia. Biogeosciences 9(2): 617–
630. doi:10.5194/bg-9-617-2012.
Drösler, M., L.V. Verchot, A. Freibauer, G. Pan, C. Wang C.D. Evans, R.A.
Bourbonniere, J.P. Alm, S. Page, F. Agus, K. Hergoualc’h, J. Couwenberg, J.i
Jauhiainen, S. Sabiham. 2013. “CHAPTER 2: Drained Inland Organic Soils.” In
2013 Supplement to the 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas
Inventories: Wetlands, IPCC, Geneva.
Ritung, S.. Wahyunto, K. Nugroho, Sukarman, Hikmatullah, Suparto, C. Tafakresnanto.
2011. Peta lahan gambut Indonesia skala 1:250.000. Kementerian Pertanian,
Jakarta.
Stephens, J.C., and E.H. Stewart. 1969. Effect of climate on organic soil subsidence..
Agricultural Research Service, U.S.D.A. Ft. Lauderdale, Florida, USA, 647–56.
Volk, B.G. (Deltares). 1973. “1973 Volk Subsidence_soil Tey_ Temperature_ Water
Depth Everglades.pdf”. Soil and Crop Science Society of Florida.
Wösten, J.H.M., E. Clymans, S.E. Page, J.O. Rieley, and S.H. Limin. 2008. Peat–water
interrelationships in a Tropical peatland ecosystem in Southeast Asia. Catena 73
(2): 212–224. doi:10.1016/j.catena.2007.07.010.

23
2
RESPON TANAMAN KARENA PENGARUH AMELIORASI
TANAH DI LAHAN GAMBUT : SINTESIS DARI EMPAT LOKASI
PENELITIAN
CROPS RESPONSES TO AMELIORATION ON PEAT SOIL : SYNTHESIS OF FOUR
ICCTF RESEARCH SITES

I G.M. Subiksa1, I G.P. Wigena1, Diah Setyorini1, Salwati2, Nurhayati3, Tuti Sugiarti4,
Anang Firmansyah5
1
Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No.12, Bogor 16114.
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Jl. Raya Jambi-Palembang, Km 16, Pondok Meja,
Mestong, Muaro Jambi.
3
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau, Jl. Kaharuddin Nasution No. 341, Km 10, Marpoyan,
Pekanbaru .
4
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat, Jl. Budi Utono No. 45, Siantan,
Pontianak.
5
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah, Jl. G. Obos Km 5, Palangkaraya.

Abstrak. Penelitian respon tanaman karena pengaruh ameliorasi tanah di


lahan gambut telah dilakukan tahun 2013-2014 di empat lokasi yaitu Jambi,
Riau, Kalteng dan Kalbar. Penelitian bertujuan untuk melakukan verifikasi
teknologi ameliorasi untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi
tanaman perkebunan dan jagung, serta melihat pengaruhnya terhadap
dinamika sifat kimia tanah. Penelitian menggunakan rancangan acak
kelompok dengan 4 perlakuan amelioran yang bervariasi antara satu lokasi
dengan lokasi lainnya. Amelioran yang digunakan adalah Pugam, Pukan,
Tankos, Tanah mineral dan kontrol. Tanaman indikator adalah kelapa sawit
di Jambi dan Riau, karet di Kalteng dan jagung di Kalbar. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan amelioran bervariasi antar lokasi.
Di Jambi amelioran berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan maupun
produksi TBS kelapa sawit. Di antara amelioran, Pukan lebih unggul
dibandingkan amelioran lainnya. Fluktuasi temporal produksi TBS
berkorelasi dengan kedalaman muka air tanah. Di Riau amelioran
berpengaruh nyata terhadap produksi TBS kelapa sawit dan Pugam lebih
unggul dibandingkan dengan amelioran lainnya. Di Kalteng, amelioran
tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan batang dan produksi getah
karet, namun ada kecendrungan penambahan lilit batang lebih tinggi
dengan amelioran. Di Kalbar, amelioran tidak berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan maupun produksi jagung, namun ada kecendeungan Pugam
memberikan hasil jagung lebih tinggi dibandingkan kontrol maupun
amelioran lainnya. Sementara itu perlakuan cara petani yang memberikan
input lebih banyak jenis amelioran dan dosis, menghasilkan biji jagung
yang lebih besar. Database sifat kimia tanah pada masing petak perlakuan
menunjukkan bahwa tingkat kemasaman tanah di empat lokasi tergolong

25
I G.M. Subiksa et al.

ekstrim masam. Status hara P dan K di Jambi dan Riau cukup tinggi tetapi
di Kalteng dan Kalbar rendah.
Kaca kunci: Amelioran, pugam, pukan, tankos, kelapa sawit, karet, jagung,
sifat kimia tanah
Abstract. Research on crops response due to ameliorant application on
peatland has been carried out in 2013 - 2014 at 4 locations namely Jambi,
Riau, Central Kalimantan and West Kalimantan. The objectives are to
verify the amelioration technologies to increase the growth and production
of oil palm, rubber and corn and to study their effect on the dynamics of
soil chemical properties. Research using randomized complete block design
with 4 kinds of ameliorant treatments which varies between one location to
another. Ameliorant studied were Pugam, Manure, EFB compost and
mineral soil and control. Crops indicator were oil palm at Jambi and Riau,
rubber at Central Kalimantan and corn at West Kalimantan. The results
revailed that the effects of ameliorant treatment vary between locations. In
Jambi ameliorant significantly affect the growth and production of oil palm
FFB. Among ameliorants, Manure is superior to the other. The temporal
FFB production fluctuation has correlation with the depth of water table.
In Riau ameliorant significant effect on the production of oil palm FFB and
Pugam superior compared to other ameliorants. In Central Kalimantan,
ameliorant no significantly effect on stem growth and latex production, but
there is a tendency that ameliorant affect the higher latex. In West
Kalimantan, ameliorant did not significantly affect the growth and
production of corn, but there is a tendency that Pugam gave a higher corn
yield than the control or other ameliorant treatments. Meanwhile the
conventional farmer practices that provide more input, both in terms of
types and doses, has greater size of corn grain. The database of soil
chemical properties in each treatment plot shows that the level of soil
acidity in 4 locations classified as extremely acid. P and K nutrient status
in Jambi and Riau quite high but low in Central Kalimantan and West
Kalimantan. The higher nutrient status of two first location were due to
fertilizer residue from the previous application.
Keyword: Ameliorant, pugam, pukan, tankos, palm oil, rubber, corn, soil
chemical properties

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Perluasan areal pertanian terkendala oleh terbatasnya lahan-lahan yang sesuai


sehingga terpaksa mengarah pada lahan-lahan sub optimal, termasuk lahan gambut.
Indonesia mempunyai lahan gambut tropis terluas didunia, yaitu sekitar 14.9 juta hektar
yang tersebar di Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Hasil karakterisasi lahan menunjukkan
sekitar 6 juta ha diantaranya cukup sesuai untuk pengembangan pertanian bila dilakukan

26
Respon Tanaman Karena Pengaruh Ameliorasi Tanah di Lahan Gambut

reklamasi yang terencana. Sampai saat ini sebagian lahan ini sudah dimanfaatkan untuk
pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan.

Dalam dua dekade terakhir pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian menjadi
polemik global. Pemanfaatan lahan gambut menjadi dilematis karena terjadi pertentangan
antara aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Dari aspek ekonomi, jelas bahwa
pemanfaatan lahan gambut telah menjadi sumber pendapatan bagi petani, perusahaan
perkebunan dan pemerintah. Namun dari aspek lingkungan, pemanfaatan lahan gambut
menjadi sumber emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab pemanasan global, berkurangnya
keragaman hayati dan fungsi hidrologi.

Secara inheren, gambut memiliki daya dukung rendah terhadap pertumbuhan


tanaman, baik dari aspek fisik, kimia maupun biologi tanahnya. Bulk density yang rendah
menyebabkan kapasitas sangga (bearing capacity) rendah sehingga tanaman mudah roboh
(Agus dan Subiksa, 2008). Sifatnya yang masam, miskin hara serta kandungan asam
organic fenolat yang tinggi menyebabkan perkembangan akar dan pertumbuhan tanaman
terganggu (Stevenson, 1994). Karena masam dan miskin hara, aktivitas biologi tanah juga
sangat terbatas baik jenis maupun populasinya. Resultante dari semua sifat tanah ini
menyebabkan gambut tergolong lahan marginal dan rapuh. Proses dekomposisi gambut
yang disebabkan oleh aktivitas biologi menyebabkan emisi karbon dari lahan gambut
tergolong tinggi (Page et al., 2011).

Upaya peningkatan daya dukung lahan gambut untuk pertanian telah dilakukan
melalui serangkaian penelitian, baik oleh lembaga penelitian maupun perguruan tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan air, ameliorasi dan pemupukan menjadi
kunci peningkatan produktivitas lahan (Subiksa, 2000). Drainase yang disesuaikan dengan
kebutuhan tanaman mampu mengurangi kondisi drainase berlebihan (over drained) yang
memicu emisi karbon. Pengalaman empiris, baik oleh petani maupun lembaga penelitian
menunjukkan bahwa pupuk kandang serta bahan amelioran yang kaya dengan kation
polivalen menjadi amelioran yang sangat efektif untuk meningkatkan produktivitas lahan
dan stabilitas gambut. Stabilitas gambut sangat terkait dengan adanya proses kompleksasi
asam-asam organik sehingga lebih tahan terhadap degradasi sehingga emisi karbon
berkurang. Kompleksasi asam-asam organic fenolat oleh kation polivalen mengurangi
sifat meracun asam-asam tersebut sehingga perkembangan akar tanaman tidak terganggu.
Pemupukan dengan pupuk makro dan mikro penting untuk memenuhi kebutuhan hara
tanaman. Ameliorasi dan pemupukan bersifat sinergis karena ameliorasi meningkatkan
efektivitas pemupukan.

Mengingat bahwa pemanfaatan lahan gambut adalah suatu yang dilematis, maka
pengelolaannya harus dilakukan secara terencana dan didukung oleh teknologi yang teruji dapat
menurunkan atau memperkecil emisi GRK, namun secara simultan dapat meningkatkan

27
I G.M. Subiksa et al.

produktivitas dan keuntungan usahatani. Pada tahun 2010-2011, Kementerian Pertanian


melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah melaksanakan suatu
penelitian pengelolaan lahan gambut berkelanjutan dengan dukungan dana dari Indonesia
Climate Change Trust Fund (ICCTF-BAPPENAS). Kegiatan dilakukan di empat lokasi di
Sumatra dan Kalimantan. Pada tahun 2013, kegiatan dilanjutkan untuk melihat dampak
penelitian dan perlakuan terhadap keberlanjutan produktivitas lahan dan mitigasi GRK.

Penelitian ini bertujuan melakukan verifikasi teknologi ameliorasi untuk


meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman pangan dan tanaman perkebunan, serta
pengaruhnya terhadap sifat kimia tanah gambut.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di empat Provinsi yaitu Jambi, Riau, Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Barat. Tiga lokasi pertama adalah kegiatan lanjutan dari kegiatan tahun 2011,
sedangkan lokasi terakhir adalah kegiatan baru. Kegiatan di Provinsi Jambi dilakukan di
Desa Arang-arang, Kecamatan Kumpeh Hulu, Kabupaten Muaro Jambi. Kegiatan di
Provinsi Riau dilakukan di Desa Teluk Ogong, Kecamatan Bandar Sei Kijang Kabupaten
Pelalawan. Kegiatan di Kalteng dilakukan di Desa Jabiren Kecamatan Jabiren Kabupaten
Pulang Pisau. Kegiatan di Kalbar dilakukan di Desa Rasau Jaya II Kecamatan Rasau Jaya
Kabupaten Kubu Raya. Tanah gambut di lokasi Jambi diklasifikasikan sebagai Typic
Haplosaprist, lokasi Riau Typic Haplohemist, lokasi Kalteng Typic Haplohemist dan
Kalbar Typic Haplohemist (Ritung et al., 2011).

1. Provinsi Jambi dan Riau

Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok lengkap (RCBD) dengan 4


perlakuan amelioran dan 4 ulangan. Tanaman utama sebagai indikator adalah kelapa sawit
umur 6 tahun. Perlakuan amelioran adalah Pugam, Pupuk Kandang (Pukan), Kompos
Tandan Kosong (Tankos) dan Kontrol. Komposisi dan dosis perlakuan ditampilkan pada
Tabel 1. Pupuk dasar diberikan untuk seluruh perlakuan, kecuali perlakuan Pugam tidak
diberikan lagi pupuk SP-36 dan unsur mikro.

Aplikasi perlakuan amelioran dilakukan dua kali setahun, awal musim hujan dan
akhir musim hujan. Pada aplikasi kedua dan seterusnya, dosis amelioran dikurangi antara
40 – 50%. Sebelum aplikasi, dilakukan pengambilan contoh tanah secara acak pada
beberapa piringan tanaman kelapa sawit dan ditandai pohon tempat pengambilan contoh
untuk pengambilan contoh tanah berikutnya. Piringan dibersihkan dengan radius 2 m dari

28
Respon Tanaman Karena Pengaruh Ameliorasi Tanah di Lahan Gambut

batang pokok dan batasi piringan dengan saluran dangkal. Amelioran dan pupuk
ditaburkan secara merata dalam piringan.

Tabel 1. Perlakuan amelioran pada demplot ICCTF di Jambi dan Riau


Pemberian Amelioran/Pupuk
Pertama: Kedua: Ketiga:
No
Perlakuan Sebelum 6 bulan sesudah 12 bulan sesudah
perlakuan pemberian pertama pemberian pertama
1. Kontrol* - - -
2. PUGAM A (tanpa SP 36 dan pupuk 5.0 kg/phn 3.0 kg/phn 3.0 kg/phn
mikro) (kg/phn)
3. Pupuk Kandang* (kg/phn) 10 6.0 6.0
4. Kompos Tandan Kosong sawit* 15 9.0 9.0
(kg/phn)
Pupuk Dasar:
1. Urea (kg/phn) 2 2 2
2. SP-36 (kg/phn) 2 2 2
3. KCl (kg/phn) 2.5 2.5 2.5
4. Kiserit (kg/phn) 1.2 - 1.2
5. Pupuk Mikro:
CuSO4 (kg/phn/th) 0,15 0,15
ZnSO4 (kg/phn/th) 0.15 0.15
Borax (kg/phn/th) 0.30 0.30
Keterangan: Perlakuan PUGAM tidak diberikan pupuk SP-36 dan pupuk mikro.

Pengamatan dilakukan terhadap :


1. Lebar lingkar tajuk dengan mengukur ujung tajuk terluar dari pangkal batang.
2. Jumlah pelepah daun yang sudah berkembang
3. Jumlah tandan buah
4. Tandan buah segar yang dipanen.

2. Provinsi Kalteng

Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok lengkap (RCBD) dengan empat


perlakuan amelioran dan empat ulangan. Tanaman indikator utama adalah tanaman karet
berumur lima tahun. Perlakuan amelioran adalah Pugam, Pupuk Kandang, Tanah Mineral
dan Kontrol. Komposisi dan dosis perlakuan ditampilkan pada Tabel 2. Pupuk dasar
diberikan untuk seluruh perlakuan, kecuali perlakuan Pugam tidak diberikan lagi pupuk
SP-36.

Aplikasi perlakuan dilakukan dua kali setahun awal musim hujan dan akhir musim
hujan. Sebelum aplikasi, dilakukan pengambilan contoh tanah secara acak pada beberapa
piringan tanaman karet dan tandai pohon tempat pengambilan contoh untuk pengambilan
contoh tanah berikutnya. Piringan tanaman karet radius 1 m dari batang pokok dan batasi
piringan dengan saluran dangkal. Amelioran dan pupuk ditaburkan secara merata dalam
piringan.

29
I G.M. Subiksa et al.

Tabel 2. Perlakuan amelioran pada demplot ICCTF di Kalteng


Dosis Amelioran/Pupuk
No. Perlakuan Pertama: Kedua: Ketiga:
Sebelum 6 bln setelah 12 bulan setelah
Perlakuan pemberian pertama pemberian pertama
1. Kontrol* - - -
2. PUGAM (kg/phn) 2.0 1.0 1.0
3. Pupuk Kandang 4.0 2.0 2.0
(kg/phn)
4. Tanah mineral 6.0 3.0 3.0
(kg/phn)
Pupuk Dasar:
1. Urea (kg/phn) 0.25 0.25 0.25
2. SP-36 (kg/phn) 0.20 0.20 0.20
3. KCl (kg/phn) 0.25 0.25 0.25
Keterangan: Perlakuan PUGAM tidak diberikan pupuk SP-36

Pengamatan dilakukan terhadap:


1. Lebar lingkar tajuk dengan mengukur ujung tajuk terluar dari pangkal batang.
2. Lingkar batang 0,5 m dari permukaan tanah.
3. Produksi getah/bulan

3. Provinsi Kalbar

Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok lengkap (RCBD) dengan 5


perlakuan dan 4 ulangan. Tanaman indikator adalah tanaman jagung dan Nenas. Perlakuan
amelioran adalah Pugam, Pupuk Kandang, Dolomit, Kontrol dan Cara Petani. Semua
perlakuan diberikan pupuk dasar berupa urea, SP-36 dan KCl, kecuali Pugam tidak
diberikan SP-36. Komposisi dan dosis perlakuan ditampilkan pada Tabel 4. Perlakuan
cara petani adalah cara-cara budidaya jagung oleh petani setempat (spt pembakaran
serasah, amelioran dolomit + pupuk kandang dan pupuk urea, SP-36 dan KCl.

Petak perlakuan dibatasi dengan saluran drainase dangkal lebar 30 cm dan dalam
30 cm. Lahan untuk bedengan tanaman jagung diratakan dan dibersihkan dari ranting dan
serasah tanaman. Pengambilan contoh tanah di setiap petakan dilakukan sebelum aplikasi
perlakuan dan pupuk. Lokasi pengabilan contoh juga menjadi tempat pengukuran emisi
GRK. Aplikasi perlakuan amelioran dilakukan sebelum tanam dan diaduk merata
sedangkan. Pupuk SP-36 dan sebagian urea dan KCl diberikan pada umur 2 minggu dan
sebagian urea dan KCl lainnya dilakukan saat tanaman berumur 40 hari sambil dilakukan
pembumbunan.

30
Respon Tanaman Karena Pengaruh Ameliorasi Tanah di Lahan Gambut

Tabel 3. Perlakuan amelioran pada demplot ICCTF dengan tanaman jagung dan Nanas
di Kalbar.
Dosis Amelioran/Pupuk
No Perlakuan
Musim-1 Musim-2 Musim-3
1 Cara Petani*
2. Kontrol (tanpa amelioran) - -
-1
3. PUGAM** (kg ha ) 1.000 500 500
4. Pupuk Kandang (kg ha-1) 5.000 2.500 2.500
5. Dolomit*** (kg ha-1) 1.000 500 500
Pupuk Dasar:
1. Urea (kg ha-1) 300 300 300
-1
2. SP-36 (kg ha ) 200 200 200
3. KCl (kg ha-1) 150 150 150
4. Kiserit (kg ha-1) 100 100 100
5. Pupuk Mikro:
CuSO4 (kg ha-1) 15 15 15
Keterangan: *) Cara petani setempat, ; **) Perlakuan PUGAM tidak diberikan pupuk SP-36 dan pupuk mikro;
***) penetapan dosis dilakukan dengan cara inkubasi sampai pH 5.0.

Pengamatan terhadap keragaan tanaman jagung dilakukan dari tanaman 21 hari


setelah tanam (HST) meliputi:
1. Tinggi tanaman dan jumlah daun pada umur 21. 28. 35. 42. 49. 56 HST.
2. Umur tanaman setelah 90% keluar bunga jantan.
3. Gejala defisiensi hara yang muncul
4. Berat kering biomas
5. Komponen produksi (jumlah tongkol, berat tongkol, panjang tongkol)
6. Produksi jagung pipilan kering.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Tanah

Beberapa parameter sifat kimia tanah telah dianalisis di Laboratorium sebagai data
kondisi tanah di awal penelitian. Hasil analisis tanah gambut yang diambil di piringan
tanaman sawit dari Jambi dan Riau ditampilkan pada Tabel 4 dan Tabel 5. Tanah gambut
dari Jambi pada umumnya sangat masam dengan kadar C-organik yang tinggi. Hasil
analisis menunjukkan bahwa kandungan hara tanah yang diambil dalam piringan pokok
kelapa sawit berkisar antara sedang sampai tinggi untuk hara P, sedangkan hara K
statusnya sedang. Hara P dan K yang siap tersedia juga tergolong tinggi. Hara kalsium dan

31
I G.M. Subiksa et al.

magnesium juga tergolong cukup baik. Hal ini menunjukkan ketersediaan hara untuk
kelapa sawit pada tanah di piringan pokok tanaman cukup besar.

Tabel 4. Karakteristik kimia tanah sebelum perlakuan di lokasi ICCTF Jambi


K-
P K P-Bray Morgan Ca Mg K Fe Al
Perlakuan
mg/100g mg/100g ppm ppm cmol/kg cmol/kg cmol/kg % %

Kontrol 30.5 19.5 109.3 189.5 12.58 3.10 0.37 0.03 0.11
Pugam 32.8 27.0 119.5 265.0 10.13 2.60 0.52 0.03 0.12
Pukan 57.0 29.3 153.1 286.3 10.93 2.73 0.56 0.03 0.14
Tankos 50.5 24.5 176.3 223.5 16.44 2.96 0.44 0.03 0.13

Tanah gambut dari Riau memiliki tingkat kemasaman dan kadar C-organik yang
hampir sama dengan tanah gambut Jambi. Hasil analisis tanah sebelum aplikasi perlakuan
disajikan dalam Tabel 3. Tingginya kemasaman tanah gambut antara lain disebabkan oleh
kondisi drainase yang buruk dan akumulasi asam-asam organik yang dihasilkan dari
proses degradasi bahan organik. Karena gambut di Jambi maupun Riau adalah gambut
kayuan, maka diperkirakan asam-asam organik fenolat kadarnya cukup tinggi sehingga
bisa mengganggu perkembangan akar tanaman (Stevenson, 1994). Contoh tanah gambut
yang diambil dari piringan kelapa sawit mengandung hara P dan K yang cukup tinggi
karena secara rutin diberikan pupuk. Walaupun daya simpan gambut sangat lemah
terhadap anion, namun residu pemupukan masih terlihat cukup besar. Namun residu hara
diperkirakan akan cepat menurun bila tidak ada penambahan baru karena terbatasnya
jumlah koloid anorganik dalam tanah (Stevenson, 1994; Tan, 1994).

Kadar basa-basa dalam tanah gambut juga menentukan kemampuan tanah gambut
menjerap P. Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar unsur-unsur basa dalam tanah gambut
tergolong rendah (Rachim, 1995). Hasil ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan oleh
Salampak (1999) dan Masganti (2003). Gambut yang oligotrofik biasanya miskin akan
unsur-unsur hara, termasuk basa-basa.

Tabel 5. Karakteristik kimia tanah sebelum perlakuan di lokasi ICCTF Riau

P K P-Bray K-Morgan Ca Mg K Fe Al
Perlakuan
mg/100g mg/100g ppm ppm cmol/kg cmol/kg cmol/kg % %

Kontrol 36.74 46.00 213.12 453.50 10.56 3.22 0.90 0.12 0.17
Pugam 38.61 31.70 212.05 308.75 10.86 2.71 0.61 0.07 0.17
Pukan 38.45 83.23 225.19 816.50 9.73 2.77 1.63 0.09 0.19
Tankos 45.62 36.28 231.79 349.75 9.60 3.52 0.69 0.08 0.17

32
Respon Tanaman Karena Pengaruh Ameliorasi Tanah di Lahan Gambut

Tanah gambut di lokasi Kalteng juga tergolong oligotropik dengan tingkat


kemasaman sangat tinggi. Kadar C-organik berkisar antara 28 – 46%, bervariasi diantara
perlakuan. Kadar P tergolong tinggi untuk perlakuan Pugam dan Pukan yang diperkirakan
merupakan residu pupuk dari musim sebelumnya. Sedangkan perlakuan kontrol dan tanah
mineral, kadar P tergolong sedang. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan
kemampuan tanah menahan P, dimana Pugam dan Pukan secara teoritis mampu
meningkatkan kapasitas sangga tanah terhadap P. Hara P yang mudah tersedia juga
tergolong tinggi sehingga tanaman tidak mengalami defisiensi unsur ini. Potensi kadar
hara K tergolong rendah, namun K tersedia tergolong tinggi. Hal ini berarti bahwa hara K
akan cepat terkuras akibat lemahnya jerapan K oleh muatan gambut. Kadar basa-basa,
khususnya Ca dan Mg, tergolong sedang, namun karena jerapannya lemah, Ca dan Mg
juga diperkirakan cepat terkuras karena tercuci.

Tabel 6. Karakteristik kimia tanah sebelum perlakuan di lokasi ICCTF Kalteng

P K P-Bray K-Morgan Ca Mg K Fe Al
Perlakuan cmol/ cmol/ cmol/
mg/100g mg/100g ppm ppm % %
kg kg kg
Kontrol 36.32 14.25 158.60 136.25 6.72 2.49 0.27 0.06 0.16
Pugam 47.40 12.25 163.84 115.75 5.95 2.12 0.22 0.08 0.17
Pukan 43.58 12.00 182.97 115.50 6.32 2.37 0.22 0.06 0.16
T. Mineral 28.96 13.50 126.73 130.00 5.79 2.48 0.26 0.06 0.18

Tabel 7. Karakteristik kimia tanah sebelum perlakuan di lokasi ICCTF Kalbar


P K P-Bray Ca Mg K
Perlakuan pH
mg/100g mg/100g ppm cmol/kg cmol/kg cmol/kg

T1 3.51 15.86 7.60 47.50 4.80 3.03 0.15


T2 3.45 28.21 13.83 79.68 10.37 3.39 0.29
T3 3.55 38.00 5.54 117.22 12.68 3.93 0.24
T4 3.49 27.72 5.57 62.71 10.86 3.65 0.26
T5 3.61 37.35 4.31 92.04 16.93 3.71 0.21

Karakteristik Amelioran

Tabel 8. Karakteristik amelioran


Parameter Unit Pugam Pukan Tanah mineral Kompos Tankos

pH H2O (1:5) 8,6 8.5 4,6 7.0


Kadar Air % 3,8 70.08 7,6 55.89
As. Humat % - 1.37 - 1.43

33
I G.M. Subiksa et al.

Parameter Unit Pugam Pukan Tanah mineral Kompos Tankos

As. Fulfat % - 1.60 - 2.42


Asam Humat % - 4.48 - 6.66
C-Organik % - 6.13 0,38 19.23
N-Organik % - 0.40 - 1.54

NH4 % - 0.06 - 0.15

NO3 % - 0.03 - 0.08

Total % - 0.49 0,05 1.77


C/N % - 12 7,6 11
P2O5 % 13,15 0.56 - 4.75
K2O % 0,08 0.49 - 0.45
Ca % 18,9 0.72 - 1.29
Mg % 6,53 0.33 - 0.80
S % 0,56 0.10 - 0.20

Fe ppm 87200 412 1890 td

Mn ppm 5608 47 1102 39

Cu ppm 1008 3 - 17

Zn ppm 1633 46 - 47

Al ppm 56100 td 1700 td

B ppm 686 40 - 3
Pb ppm 17,3 td - td
Cd ppm 1,6 td - td
As ppm td 0.7 - 0.8
Mo ppm Td td - td
Hg ppm td 0.1 - 0.0

Pertumbuhan Tanaman

Jambi

Parameter pertumbuhan tanaman kelapa sawit yang diukur antara lain adalah
jumlah penambahan pelepah dalam periode tertentu dan lebar tajuk. Kedua parameter ini
dijadikan indikator adanya respon tanaman kelapa sawit terhadap perlakuan yang
diberikan. Laju pertumbuhan kelapa sawit yang lebih cepat akan menghasilkan jumlah
pelepah lebih banyak dan lebar tajuk lebih besar.

34
Respon Tanaman Karena Pengaruh Ameliorasi Tanah di Lahan Gambut

Jumlah pelepah

Data pengamatan rata-rata penambahan jumlah pelepah selama periode


pengamatan 6 bulan ditampilkan pada Tabel 9. Pada perlakuan kontrol yang hanya
diberikan pupuk sesuai rekomendasi, jumlah penambahan pelepah daun yang mekar
sempurna ada 5,31 pelepah. Artinya hanya ada 1 tambahan pelepah daun yang telah
terbuka sempurna setiap bulan. Hal ini menunjukkan bahwa proses pertumbuhan tanaman
agak terhambat, karena normalnya pelepah daun akan terbuka setiap 12 – 15 hari sekali
atau sekitar 30 pelepah per tahun. Perlakuan amelioran berupa Pugam, Pukan dan
Kompos Tankos berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan kelapa sawit dan menunjukkan
terjadi peningkatan jumlah pelepah daun kelapa sawit dibandingkan dengan kontrol.
Pemberian amelioran Pukan 10 kg/pohon dan kompos tankos 15 kg/pohon menghasilkan
rata-rata 2 pelepah lebih banyak (41% dan 33%) dibandingkan perlakuan kontrol.
Pemberian amelioran Pugam 5 kg/pohon menghasilkan tambahan pelepah paling banyak
yaitu sekitar 4 pelepah lebih banyak dibandingkan kontrol (74%). Jumlah penambahan
pelepah daun sekitar 3 – 4 pelepah per 2 bulan adalah siklus yang mendekati normal
untuk tanaman kelapa sawit yang sehat. Hal ini merupakan indikasi bahwa budidaya
kelapa sawit di lahan gambut tidak cukup hanya memberikan pupuk untuk memperoleh
tanaman yang sehat, tetapi juga harus diberikan amelioran untuk mengurangi pengaruh
buruk asam-asam organik

Tabel 9. Rata-rata penambahan jumlah pelepah tanaman kelapa sawit selama periode
pengamatan 5 bulan
Perlakuan I II III IV Rata-2

Kontrol 5.50 5.00 5.50 5.25 5.31 c


Pugam 9.50 8.25 10.50 8.75 9.25 a
Pukan 8.25 7.00 6.75 8.00 7.50 b
Tankos 6.75 5.75 8.50 7.25 7.06 b

Lebar Tajuk

Lebar tajuk kelapa sawit merupakan ekspresi dari panjang pelepah daun. Data rata-
rata lebar tajuk kelapa sawit ditampilkan pada Tabel 10. Tanaman kelapa sawit yang
hanya diberikan pupuk lengkap makro dan mikro (kontrol) memiliki lebar tajuk rata-rata
392 cm. Dengan penambahan amelioran Pugam lebar tajuk meningkat nyata menjadi rata-
rata 446 cm. Sedangkan penambahan amelioran Pukan dan kompos Tankos masing-
masing 10 kg dan 15 kg/pohon sedikit meningkat namun tidak nyata. Hal ini juga
menunjukkan bahwa amelioran menjadi input produksi yang sangat diperlukan untuk

35
I G.M. Subiksa et al.

memperoleh pertumbuhan kelapa sawit yang optimal di lahan gambut. Dari 2 paramater
pertumbuhan ini. amelioran Pugam menunjukkan pengaruh yang paling………di antara 3
amelioran yang digunakan.

Tabel 10. Rata-rata lebar tajuk tanaman kelapa sawit


Lebar tajuk (cm)
Perlakuan
I II III IV Rata-rata

Kontrol 391.5 386.5 403.5 387.3 392.19 b


Pugam 440.3 401.5 501.8 448.8 448.06 a
Pukan 406.3 402.8 418.8 421.0 412.19 ab
Tankos 431.3 408.8 418.3 401.8 415.00 ab

Hasil TBS

Tandan buah segar (TBS) dipanen setelah dianggap cukup matang setiap 2 minggu
sekali panen. Data hasil panen kumulatif TBS selama 6 bulan pengamatan ditampilkan
pada Tabel 11. Hasil kumulatif TBS dari perlakuan kontrol totalnya 33.3 kg selama
periode 5 bulan atau 10 kali panen atau sekitar 11,4 ton /ha/tahun. Hasil panen ini masih
jauh dari hasil TBS tanaman normal. Pemberian amelioran dapat meningkatkan produksi
TBS, baik menggunakan amelioran Pugam, Pukan maupun kompos tankos. Peningkatan
produksi TBS paling tinggi diperoleh dari perlakuan pukan (pupuk kandang) yaitu 54.7
kg/5 bulan/pohon atau sekitar 18 ton/ha/tahun, dengan asumsi populasi tanaman 143
pohon/ha. Sementara dengan amelioran Pugam dan kompos Tankos potensi produksinya
bisa mencapai 17,4 ton dan 17,7 ton TBS/ha/tahun. Hal ini menunjukkan betapa
pentingnya melakukan perbaikan kondisi media perakaran tanaman. Selain meningkatkan
ketersediaan hara yang dibutuhkan, pemberian amelioran langsung di area perakaran akan
mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik beracun.

Tabel 11. Rata-rata hasil TBS selama periode 5 bulan


Total TBS selama 5 bulan (kg/pohon)
Perlakuan
I II III IV Rata-rata

Kontrol 33.9 37.3 34.4 27.8 33.3 b


Pugam 58.5 48.3 37.8 58.5 50.8 ab
Pukan 61.1 46.0 59.3 52.5 54.7 b
Tankos 41.5 52.0 53.8 58.5 51.4 ab

36
Respon Tanaman Karena Pengaruh Ameliorasi Tanah di Lahan Gambut

Tabel 12. Produksi TBS per tahun di lokasi ICCTF Jambi


Produksi TBS (ton/ha/th)
Perlakuan
I II III IV Rata-rata

Kontrol 11.6 12.8 11.8 9.5 11.4 b


Pugam 20.1 16.6 13.0 20.1 17.4 ab
Pukan 21.0 15.8 20.3 18.0 18.8 b
Tankos 14.3 17.8 18.4 20.1 17.7 ab

Gambar berikut menunjukkan bahwa produksi TBS kelapa sawit sangat


berfluktuasi setiap bulannya. Produksi tertinggi untuk semua perlakuan terjadi sekitar
bulan Oktober atau sekitar 2 bulan setelah aplikasi amelioran dan turun sampai titik
terendah pada bulan Februari 2014. Hal ini sangat berkaitan dengan kondisi cuaca dan
kedalaman muka air tanah. Hasil analisis regresi menunjukkan produksi TBS berkorelasi
dengan kedalaman muka air tanah, dimana produksi akan turun bila air tanah lebih dari 50
cm. Kelapa sawit tergolong tanaman yang memiliki kemampuan fiksasi karbon yang
besar. Oleh karenanya, untuk memproduksi karbohidrat yang besar maka dibutuhkan air
yang cukup. Disamping itu, penyebaran akar tanaman kelapa sawit di lahan gambut pada
umumnya sebagian besar di dalam kedalaman 0 – 50 cm.

Gambar 1. Variasi produksi tandan buah segar antar perlakuan amelioran

Gambar 2. Perkembangan produksi TBS bulanan periode September 2013 – Mei 2014

37
I G.M. Subiksa et al.

Gambar 3. Hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan produksi TBS kelapa
sawit umur 6 tahun

Propinsi Riau

Parameter pertumbuhan tanaman kelapa sawit yang diukur antara lain adalah
jumlah penambahan pelepah dalam periode tertentu dan lebar tajuk. Kedua parameter ini
dijadikan indikator adanya respon tanaman kelapa sawit terhadap perlakuan yang
diberikan. Laju pertumbuhan kelapa sawit yang lebih cepat akan menghasilkan jumlah
pelepah lebih banyak dan lebar tajuk lebih besar

Pertumbuhan Pelepah Daun

Data pengamatan rata-rata penambahan jumlah pelepah selama periode


pengamatan 7 bulan ditampilkan pada Tabel 13. Pada perlakuan kontrol yang hanya
diberikan pupuk sesuai rekomendasi, jumlah penambahan pelepah daun yang mekar
sempurna ada 18.4 pelepah. Artinya ada 2,6 tambahan pelepah daun yang telah terbuka
sempurna setiap bulan. Hal ini menunjukkan bahwa proses pertumbuhan tanaman relatif
normal, karena normalnya pelepah daun akan terbuka setiap 12 – 15 hari sekali atau
sekitar 30 pelepah per tahun. Perlakuan amelioran berupa Pugam, Pukan dan Kompos
Tankos tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan kelapa sawit dibandingkan dengan
kontrol. Pemberian amelioran Pugam 5 kg/pohon, Pukan 10 kg/pohon dan kompos tankos
15 kg/pohon menghasilkan rata-rata 18.9 pelepah, 18.4 pelepah dan 18.4 pelepah dalam
kurun waktu 7 bulan. Jumlah penambahan pelepah daun sekitar 2 - 3 pelepah per bulan
adalah siklus yang mendekati normal untuk tanaman kelapa sawit yang sehat. Hal ini
merupakan indikasi bahwa budidaya kelapa sawit di lahan gambut di Riau sudah cukup
dengan memberikan pupuk makro dan mikro untuk memperoleh tanaman yang sehat.
Namun demikian pemberian amelioran penting untuk mengurangi laju degradasi lahan
dan emisi GRK.

38
Respon Tanaman Karena Pengaruh Ameliorasi Tanah di Lahan Gambut

Tabel 13. Pengaruh ameliorasi terhadap pertambahan pelepah dan lebar tajuk kelapa
sawit yang ditumpangsari dengan nanas
Parameter

No. Perlakuan Pertambahan


Pelepah kumulatif 6 bulan Lebar tajuk (cm)
(helai)
1. Kontrol 19,2 a 439 a
2. Pugam 23,6 b 459 a
3. Pukan 22,1 b 472 a
4 Tankos 22,5 b 465 a
Keterangan : Angka-angka pada setiap parameter yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut
DMRT taraf 5%.
Sumber: Masganti et al., 2014.

Tabel 14. Pengaruh ameliorasi dan pemupukan terhadap total TBS dan produktivitas
kelapa sawit yang ditumpangsari dengan nanas
Parameter
No. Perlakuan
Total TBS
Produktivitas (kg/ha/bln)
(buah)
1. Kontrol 274 a 1.875,0 a
2. Pugam 322 b 2.196,0 b
3. Pukan 318 b 2.181,1 b
4 Tankos 315 b 2.138,3 b
Keterangan : Angka-angka pada setiap parameter yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut
DMRT taraf 5%.
Sumber: Masganti et al., 2014.

Kalimantan Tengah

Lilit Batang

Pertumbuhan tanaman karet ditandai dengan bertambah besarnya lilit batang


(keliling lingkaran batang). Lilit batang diukur pada ketinggian 0,5 m dari permukaan
tanah. Data hasil pengukuran lilit batang ditampilkan pada Tabel 15, dan rata-rata
pertambahan lilit batang ditampilkan pada Tabel 16. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa tanaman karet pada perlakuan Pugam paling besar diantara perlakuan lainnya dari
awal pengamatan sampai pengamatan bulan November. Pertambahan besar lilit batang
mengalami peningkatan dengan penambahan amelioran, baik pupuk kandang, tanah
mineral maupun Pugam. Penambahan lilit batang paling besar dihasilkan dari perlakuan
amelioran tanah mineral, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan amelioran lainnya.

39
I G.M. Subiksa et al.

Tabel 15. Besar lilit batang karet antar perlakuan amelioran di Kalteng
Lilit batang (cm)
No. Perlakuan
Juli September November
1 Kontrol 60.88 61.00 61.10
2 Pukan 60.18 60.42 60.70
3 T. Mineral 60.05 60.30 60.60
4 Pugam 62.08 62.38 62.53

Tabel 16. Pertambahan lilit batang karet antar perlakuan amelioran di Kalteng
Pertambahan lilit batang (cm)
No. Perlakuan
3 BSP 6 BSP
1 Kontrol 0.12 a 0.22 a
2 Pukan 0.24 a 0.52ab
3 T. Mineral 0.25 a 0.55 b
4 Pugam 0.30 a 0.45 ab

Produksi lump karet

Produksi lump (getah) merupakan parameter yang berkorelasi langsung dengan


pertumbuhan tanaman karet. Data produksi lump karet selama 3 bulan ditampilkan pada
Tabel 17.

Tabel 17. Produksi lum (getah) karet selama 5 bulan antar perlakuan amelioran di
Kalteng
Produksi Lump Mangkok Karet (kg/ha)
Perlakuan
Januari Pebruari Maret April Mei Total 5 bln
Kontrol 216,75 a 175,88 a 369,75 a 411,75 a 411,00 a 1585,13
Pukan 329,25 a 190,13 a 391,50 a 440,25 a 415,88 a 1767,01
Pugam 270,75 a 229,13 a 415,50 a 460, 13 a 493,50 a 1869,01
TM 262,50 a 122,63 a 283,50 a 269,25 a 251,63 a 1189,48
Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf nyata 5%.

Gambar 5. Produksi karet bulanan pada berbagai perlakuan amelioran

40
Respon Tanaman Karena Pengaruh Ameliorasi Tanah di Lahan Gambut

Kalimantan Barat

Pertumbuhan Tanaman Jagung

Perkembangan tinggi tanaman dari umur 21 HST sampai 49 HST (hari setelah
tanam) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata di antara perlakuan amelioran.
Perbedaan tinggi yang nyata terlihat pada pengamatan tinggi tanaman umur 56 HST
sampai saat panen. Pada umur 34 HST, tanaman jagung menunjukkan gejala defisiensi
hara, khususnya magnesium dan serangan beberapa jenis penyakit, sehingga pertumbuhan
tanaman kurang optimal. Hal ini terjadi karena pada stadia pertumbuhan awal terjadi
periode kering (kemarau) mulai dari umur 15 HST sampai 30 HST, sehingga kelarutan,
ketersediaan dan serapan hara oleh tanaman tidak optimal.

Tinggi tanaman menunjukkan perbedaan yang nyata di antara perlakuan


pemupukan amelioran, tetapi tidak berbeda nyata terhadap tinggi letak tongkol dan jumlah
tongkol panen (Tabel 18). Tanaman tertinggi diperoleh pada perlakuan Cara petani yaitu
155.44 cm, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan Pukan.

Tabel 18. Penampilan tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, jumlah tongkol panen, dan
tongkol steril jagung varietas jagung Sukmaraga kegiatan demplot ICCTF,
Rasau Jaya II, Kab. Kubu Raya, Kalbar, 2013.

Tinggi Jumlah tongkol Jumlah tongkol


Tinggi letak tongkol
Perlakuan tanaman panen /m2 steril*)
(cm)
(cm) (buah) (%)

Pugam 138.60 b 60.84 a 24.60 a 14.14 a


Pukan 152.88 a 64.84 a 25.60 a 18.28 a
Dolomit 135.20 b 57.56 a 24.40 a 10.56 a
Kontrol 135.76 b 61.52 a 25.00 a 16.99 a
Cara Petani 155.44 a 66.56 a 25.00 a 8.72 a
CV 6.73 9.54 18.42 26.10
Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji
0.05 DMRT.
*): analisis data ditransformasi dengan log X2.; Cara petani: amelioran: dolomit 1,6 t/ha, trichoderma 8 L/ha,
pupuk kandang kotoran ayam 1,25 t/ha, pupuk dasar urea 50 kg/ha, NPK Phonska 250 kg/ha, KCl 50 kg/ha.

Panjang tongkol, lingkaran tongkol dan jumlah baris biji tongkol tidak nyata
perbedaannya dengan perlakuan pemberian amelioran. Semua parameter yang diamati ini
ditentukan oleh ketersediaan dan serapan hara oleh tanaman jagung. Jumlah biji per baris
biji tongkol tertinggi diperoleh pada pemberian amelioran Pugam dan Pukan (26.48 butir)
namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan amelioran lainnya dan kontrol. Bobot biji
1000 butir tertinggi didapatkan pada perlakuan cara petani yaitu 308.32 g, tetapi tidak
nyata dengan perlakuan amelioran yang lainnya, kecuali dengan perlakuan kontrol.

41
I G.M. Subiksa et al.

Tabel 19. Penampilan panjang tongkol, lingkaran tongkol, jumlah baris biji, dan jumlah
biji/baris tongkol varietas jagung Sukmaraga kegiatan demplot ICCTF, Rasau
Jaya II, Kab. Kubu Raya, Kalbar, 2013.

Panjang tongkol Lingkaran tongkol Jumlah baris biji Jumlah biji/baris biji
Perlakuan
(cm) (cm) tongkol (buah) tongkol (butir)

Pugam 14.88 a 13.22 a 13.44 a 26.48 a


Pukan 14.72 a 12.84 a 12.80 a 26.48 a
Dolomit 14.46 a 13.21 a 12.64 a 26.40 a
Kontrol 14.04 a 12.51 a 12.56 a 25.12 a
Cara Petani 14.53 a 13.16 a 12.56 a 24.68 a
CV 7.14 5.06 6.98 10.05
Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji
0.05 DMRT.

Rendemen dan hasil biji kering tidak nyata perbedaannya di antara perlakuan
pemberian amelioran. Hal ini disebabkan karena ketersediaan hara, khususnya P dan K
saat dimulai penelitian sudah cukup tinggi yang diperkirakan merupakan residu dari
pemupukan sebelumnya. Namun demikian, ada kecenderungan perlakuan dengan
amelioran Pugam menunjukkan selisih yang cukup besar dengan perlakuan kontrol tanpa
amelioran yaitu 3.76 t ha-1.

Tabel 20. Variasi rendemen, bobot 1000 biji dan hasil biji pipilan kering jagung (ka.15%)
antar perlakuan amelioran di Kalbar

Perlakuan Rendemen (%) Bobot 1000 biji (g) Produksi (t ha-1)

Pugam 83.33 a 267.93 ab 3.76 a


Pukan 80.14 a 278.85 ab 3.03 a
Dolomit 81.65 a 278.99 ab 3.54 a
Kontrol 83.50 a 246.93 b 2.68 a
Cara Petani 82.53 a 308.32 a 3.37 a
CV (%) 4.59 13.48 29.97
Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji
0.05 DMRT.

42
Respon Tanaman Karena Pengaruh Ameliorasi Tanah di Lahan Gambut

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan, dapat disimpulkan beberapa hal


sebagai berikut:

1. Untuk mengurangi cekaman lingkungan media perakaran tanaman, tambahan


amelioran mutlak diperlukan agar akar tanaman dapat tumbuh optimal untuk
menyerap air dan hara.

2. Di lahan gambut provinsi Jambi, amelioran berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan


dan produksi kelapa sawit. Amelioran Pupuk kandang dan Pugam meningkatkan
pembentukan pelepah daun dan meningkatkan produksi tandan buah segar. Fluktuasi
produksi TBS sawit juga dipengaruhi oleh kedalaman muka air tanah.

3. Di lahan gambut propinsi Riau, amelioran berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan


dan produksi TBS sawit. Amelioran Pugam memberikan pengaruh paling besar,
namun tidakberbeda nyata dengan perlakuan amelioran lainnya.

4. Di lahan gambut Kalteng, pemberian amelioran secara umum tidak berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan maupun produksi lum karet, namun ada kecendrungan produksi
karet pada perlakuan Pugam lebih tinggi dibandingkan perlakuan kontrol maupun
amelioran lainnya.

5. Di lahan gambut Kalbar, perlakuan amelioran tidak berpengaruh nyata terhadap


pertumbuhan tanaman maupun produksi jagung.

Daftar Pustaka

Agus, F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek
Lingkungan. Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
Masganti. 2003. Kajian Upaya Meningkatkan Daya Penyediaan Fosfat dalam Gambut
Oligotrofik. Disertasi. Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta. 355 halaman.
Masganti, IGM. Subiksa, Nurhayati, dan W. Syafitri, 2014. Respon Tanaman
Tumpangsari (sawit + nenas) terhadap Ameliorasi dan Pemupukan di Lahan
Gambut Terdegradasi. Laporan Bidang Agronomi ICCTF, BPTP Riau.
Mukhtar, M.S., M.A. Firmansyah dan W.A. Nugroho, 2014. Aspek agronomis dan
analisis finansial tanaman karet dan nenas terhadap berbagai perlakuan
amelioran. Laporan Bidang Agronomi ICCTF, BPTP Kalimantan Tengah.
Page, S.E., R. Morrison, C. Malli, A. Hooijer, J.O. Rieley and J. Jauhiainen. 2011.
Review of peat surface greenhouse gas emissions from oil palm plantation in

43
I G.M. Subiksa et al.

South East Asia. White Paper No. 15. The International Council on Clean
Transportation, Washington, D.C.
Rachim, A. 1995. Penggunaan Kation-kation Polivalen dalam Kaitannya dengan
Ketersediaan Fosfat untuk Meningkatkan Produksi Jagung pada Tanah Gambut.
Disertasi. Program Pascasarjana IPB, Bogor. 268 halaman.
Salampak. 1999. Peningkatan Produktivitas Tanah Gambut yang Disawahkan dengan
Pemberian Bahan Amelioran Tanah Mineral Berkadar Besi Tinggi. Disertasi.
Program Pascasarjana IPB. Bogor. 171 halaman.
Salwati, R. Purnamayani, Firdaus dan Enrizal, 2014. Respon tanaman kelapa sawit di
lahan gambut terhadap berbagai amelioran: Studi kasus Desa Arang-arang Jambi.
Laporan Bidang Agronomi ICCTF, BPTP Jambi.
Stevenson, F. J. 1994. Humus Chemistry: Genesis, composition and reaction. Second
Edition. John Willey & Sons Inc., New York. 496 halaman.
Subiksa, I. G. M. 2000. Ameliorasi lahan gambut untuk usahatani yang berkelanjutan.
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan
Rawa. Puslitbangtan, Balitbangtan. Bogor. Halaman: 379-390.
Sugiarti, T., Jafry dan C. Kilmanun, 2014. Respon Agronomi Tanaman Jagung Terhadap
Beberapa Jenis Amelioran dan Aspek Ekonominya di Lahan Gambut
Terdegradasi Kalimantan Barat. Laporan Bidang Agronomi ICCTF, BPTP
Kalimantan Barat.
Tan, K. H. 1994. Environmental Soil Science. Marcel Dekker Inc., New York. 304
halaman.

44
3
EMISI GAS RUMAH KACA DARI PENGGUNAAN LAHAN
GAMBUT DAN PEMBERIAN BAHAN AMELIORAN: SINTESIS
LIMA LOKASI PENELITIAN
GREENHOUSE GASES EMISSIONS FROM PEAT LAND USE AND
AMELIORANT APPLICATION: SYNTHESIS OF FIVE RESEARCH SITES
Prihasto Setyanto, Titi Sopiawati, Terry Ayu Adriani, Ali Pramono, Anggri Hervani,
Sri Wahyuni, A. Wihardjaka

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Jl. Jakenan-Jaken Km 5, Jakenan, Pati 59182

Abstrak Konversi lahan gambut menjadi areal pertanian dapat menurunkan


kualitas gambut, produktivitas gambut, dan meningkatkan pelepasan gas
rumah kaca ke atmosfer. Ameliorasi gambut adalah salah satu cara untuk
memperbaiki kualitas gambut dan mengendalikan emisi gas rumah kaca.
Kegiatan percobaan lapang dilaksanakan di lima lokasi gambut, yaitu Riau,
Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Papua pada tahun 2013
dan 2014. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui emisi gas rumah kaca
dari pemberian bahan amelioran di lahan gambut. Percobaan menggunakan
rancangan acak kelompok dengan 4-5 ulangan dan perlakuan bahan
amelioran. Fluks gas rumah kaca diukur menggunakan alat kromatografi
gas. Amelioran tandan kosong sawit hanya efektif menurunkan emisi CO 2
dari lahan gambut Riau pada tanaman sela nenas. Amelioran tandan
kosong kelapa sawit paling efektif menurunkan emisi CO2 di gambut Jambi
yang digunakan untuk budidaya tumpangsari kelapa sawit dan nenas, yaitu
sebesar 35% di piringan dan 13% di tanaman sela nenas. Bahan amelioran
dolomit efektif menurunkan fluks CO2 pada tanaman nenas di lahan
gambut Kalimantan Barat sebesar 1,03 t CO2 ha-1 musim-1. Bahan
amelioran pupuk gambut efektif menurunkan fluk CO 2 sebesar 15% di
tanaman sela nenas yang ditumpangsarikan dengan karet di lahan gambut
Kalimantan Tengah. Emisi GRK dari gambut dengan pertanaman sagu di
Papua terpantau berkisar 4,5-25,5 g CO2-e m-2 hari-1 atau 16-93 t CO2-e
ha-1 tahun-1. Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan amelioran
tidak konsisten menurunkan emisi gas rumah kaca.

Kata kunci: Emisi, gas rumah kaca, gambut, amelioran, piringan, tanaman
sela

Abstract Peat land conversion to agricultural areas could reduce peat


quality and productivity, and increase atmospheric greenhouses gases
(GHG) emissions. Peat amelioration is one of efforts to improve peat
productivity and to mitigate greenhouse gases emissions. The field
experiment was conducted in five peat land areas (Riau, Jambi, West
Kalimantan, Central Kalimantan, Papua) during 2013-2014. The objective
of research was to determine greenhouse gases emission from peat land use
and ameliorant application. The experiment was arranged using

45
Prihasto Setyanto et al.

randomized block design with 4-5 replicates and some ameliorant


treatments. Gas sampling was taken using closed chamber method and
analysed with micro gas chromatography. The ameliorant of empty
bunches palm oil only reduced CO2 effectively on intercropping of
pinneaple from peat land in Riau. The ameliorant of oil palm bunches
decreased effectively CO2 emission in peat land in Jambi on multiple
cropping of oil palm and pinneaple as much as 35% in oil palm circular
and 13% in pinneaple intercrop.. In peat land of West Kalimantan,
dolomite ameliorant reduced effectively CO2 flux on pinneaple crop as
much as 1 t CO2 ha-1 season-1. The peat fertilizer decreased effectively
CO2 flux as much as 15% in multiple cropping of rubber plant and
pinneaple in peat land of Central Kalimantan. Greenhouse gases emission
from Papua peatland that be used for sago plantation ranged 4.5-25.5 g
CO2-e m-2 day-1 or 16-93 t CO2-e ha-1 year-1. This research demonstrates
that the use of ameliorants do not consistently reduce GHG emissions from
peat decomposition.

Keywords: emission, greenhouse gas, peat land, ameliorant, circular,


intercrop

PENDAHULUAN

Lahan gambut merupakan salah satu ekosistem spesifik yang terbentuk akibat laju
humifikasi lebih besar daripada laju dekomposisi bahan organik dari sisa-sisa tumbuhan
/vegetasi. Pada kondisi anaerob, dekomposisi bahan organik berjalan lambat sehingga
penumpukan bahan organik menjadi lebih tebal (Hikmatullah et al., 2013). Luas lahan
gambut di Indonesia adalah 14.905.574 ha yang sebagian besar terdapat di Sumatera,
Kalimantan, dan Papua (Balitbangtan, 2011). Dari luasan gambut tersebut sekitar 33,1%
dipertimbangkan layak untuk budidaya tanaman pertanian (Agus dan Subiksa, 2008).
Sebagian dari luasan gambut tersebut telah dimanfaatkan untuk budidaya pertanian
khususnya karet dan tanaman hortikultura (Subiksa, 2013).
Lahan gambut dapat menyimpan karbon sebesar 3.000 t ha -1. Keragaman simpanan
karbon dalam gambut ditentukan oleh kedalaman gambut, kematangan gambut, bobot isi,
kadar abu, dan vegetasi di atasnya (Dariah et al., 2013). Cadangan karbon dalam gambut
di Sumatera, Kalimantan, dan Papua masing-masing adalah 22,3 Gt; 11,3 Gt dan 3,6 Gt
(Subiksa, 2013). Simpanan karbon bersifat labil, maka konversi gambut alami menjadi
areal budidaya tanaman pertanian dapat menurunkan kualitas gambut permasalahan sifat
fisik dan kimia gambut, penurunan cadangan karbon, dan pelepasan gas-gas rumah kaca
ke atmosfer. Kehilangan karbon rata-rata dari oksidasi gambut secara hayati adalah 4,5 t
C ha-1 tahun-1 dari kebakaran gambut dan 7,9 t C ha-1 tahun-1 dari pembukaan hutan
(Hooijer et al., 2014). Laju konversi gambut meningkat cepat di beberapa provinsi dengan
areal gambut luas seperti di Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Misal di

46
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut

Riau sekitar 1,83 juta ha atau 57% dari luas total gambut 3,2 juta ha telah terkonversi pada
periode 1982-2007 (Agus dan Subiksa, 2008). Karena sifatnya yang rapuh, maka
pengelolaan gambut sebagai lahan pertanian yang produktif dan berkelanjutan harus
sesuai dengan karakteristik dan sifatnya mempertimbangkan kondisi hidrologinya.
Keberadaan asam-asam fenolik dalam gambut mengakibatkan kemasaman gambut
sangat tinggi (pH 3-4), produktivitas rendah, dan toksik bagi tanaman. Beberapa asam
organik hasil degradasi lignin yang terkandung dalam gambut adalah asam vanilat, ρ-
kumarat, ρ-hidroksibenzoat, salisilat, galat, sinapat, dan asam siringat (Tsutsuki dan
Kondo, 1995; Hartatik et al., 2004). Salah satu upaya memperbaiki kualitas dan
produktivitas gambut adalah melalui ameliorasi. Ameliorasi gambut bertujuan untuk
mengurangi dampak buruk asam-asam organik melalui pemberian bahan-bahan yang
mengandung kation polivalen seperti Fe, Cu, Al, Zn yang berfungsi sebagai pengkelat
asam-asam organik tersebut (Hartatik, 2013). Kelasi asam-asam organik dengan bahan
amelioran diduga dapat menekan pelepasan emisi gas rumah kaca (GRK) dari gambut.
Gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari lahan gambut adalah karbon dioksida
(CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O). Kontribusi gas CO2, CH4, N2O
terhadap pemanasan global masing-masing adalah 55%, 15%, 6%. Karbon dioksida
(CO2) terbentuk melalui proses respirasi tanaman dan respirasi akar oleh mikroorganisme.
CO2 merupakan bahan utama dalam proses fotosintesis, yaitu konversi CO2 menjadi
bahan organik dengan bantuan sinar matahari. Metana (CH4) terbentuk melalui proses
dekomposisi bahan organik secara anaerobik dalam tanah dan reduksi CO2 dan H2 yang
melibatkan mikroorganisme methanogen (Methanobacterium, Methanosarcina,
Methanobrevibacter, Methanoculleus, Methanogenium, Methanosaeta dan
Methanospirillum). Dinitrogen oksida (N2O) terbentuk melalui proses mikrobiologis
nitrifikasi dan denitrifikasi di dalam tanah.
Bahan organik yang telah mati dirombak menjadi CO2 dan H2O, dan sebagian hasil
perombakan bahan organik disimpan dalam bentuk C-organik dalam tanah dan
direspirasikan dalam bentuk CO2. Proses penyerapan CO2 dari atmosfer ke dalam tanah
secara biotik dan pelepasan CO2 dari tanah kembali ke atmosfer terjadi melalui proses
difusi dan dipengaruhi oleh perubahan suhu dan kadar air dalam tanah.
Stabilitas gambut dapat ditingkatkan dengan ameliorasi yang dapat menekan laju
dekomposisi gambut dan pembentukan gas rumah kaca. Menurut Subiksa (2013), bahan
amelioran berperan menurunkan emisi GRK melalui kompleksasi asam-asam organik
baik alifatik maupun aromatik. Emisi GRK sebagian besar berasal dari gugus C alifatik
akibat hancurnya ikatan karbon oleh aktivitas mikroba. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui emisi gas rumah kaca dari penggunaan lahan gambut yang diberi berbagai
bahan amelioran.

47
Prihasto Setyanto et al.

BAHAN DAN METODE

Kegiatan penelitian dilaksanakan di lahan gambut di lima provinsi (Riau, Jambi,


Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Papua) pada bulan April 2013-Juni 2014 (Tabel
1). Percobaan lapang disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan perlakuan
pemberian bahan amelioran, seperti terlihat dalam Tabel 2.

Tabel 1. Lokasi percobaan di lahan gambut terdegradasi di lima provinsi di Indonesia


Sifat/ketebalan
No. Kabupaten/ Provinsi Desa/ Kecamatan Koordinat
Gambut
o
1 Kab. Pelalawan, Riau Telok Ogong, Kec. Bandar 0,691137 LU Saprik-Hemik
Sei Kijang 102,34488oBT 4-6 m
2 Kab. Muaro Jambi, Arang-arang, Kec. Kumpeh 01o40’40,79”LS Hemik- Saprik 1,5 –
Jambi 97o48’48,56” 4m
3 Kab. Pulang Pisau, Jabiren, Kec. Jabiren 02o30’30”LS Hemik- Saprik
Kalimantan Tengah 114o09’30” 5-7 m
4 Kab. Kuburaya, Banjarsari,Rasau jaya II, Kec 00o14’27,0”LS Saprik/Hemik
Kalimantan Barat Rasau Jaya 109o24’44,7” BT 3-4m
5 Kab. Mimika, Papua Kampung Naena Muktipura 04o34,086’ LS Hemik-Fibrik
Distrik Kuala Kencana 136o43,737’ BT 3-4 m

Emisi GRK diukur secara langsung dari lahan gambut dengan metode close
chamber technique yang diadopsi dari IAEA (1993). Pengambilan contoh GRK dilakukan
secara manual di lapangan menggunakan sungkup yang terbuat dari kaca mika dengan
kaki-kaki yang terbuat dari aluminium. Untuk menghindari kebocoran sungkup dilengkapi
dengan penampang yang akan dipasang ditanah gambut. Sungkup juga dilengkapi dengan
fan dan termometer. Fan berfungsi untuk meng-homogenkan konsentrasi gas dalam
sungkup. Termometer dipasang pada lubang yang telah tersedia di bagian atas sungkup
digunakan untuk mengukur perubahan suhu di dalam sungkup.

Tabel 2. Perlakuan bahan amelioran di lokasi ICCTF Fase II


Uraian Riau Jambi Kalimantan Kalimantan Papua
Barat Tengah
Perlakuan  Kontrol  Pupuk gambut  Pupuk gambut  Kontrol -
bahan  Tandan kosong  Pupuk kandang  Pupuk kandang  Pupuk gambut
amelioran sawit dari kotoran dari kotoran  Pupuk kandang
 Pupuk gambut ayam ayam dari kotoran
 Pupuk kandang  Tandan kosong  Dolomit ayam
dari kotoran sapi sawit  Kontrol  Tanah mineral
 Cara petani  Kontrol  Cara petani
Jumlah
4 4 5 4 -
ulangan

Posisi pengambilan contoh gas disesuaikan dengan agroekologi masing-masing


lokasi ICCTF Fase II, yaitu di piringan tanaman utama, tanaman sela, dan di antara
tanaman utama. Contoh gas diambil pada pagi dan siang hari dengan menggunakan

48
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut

syringe berkatup volume 10 ml dan interval waktu pengambilan tiap 3 menit yaitu menit
ke-3, 6, 9, 12, 15, 18 dan 21 setelah pemasangan septum pada sungkup bagian atas (Tabel
3). Syringe dibungkus dengan kertas perak untuk menghindari terjadinya penurunan
konsentrasi gas karena pengaruh panas dan diberi label. Ujung syringe ditutup dengan
rubber grip setelah penggambilan contoh gas dan sebaiknya dipindahkan ke vial yang
vakum. Selama pengambilan contoh gas, perubahan suhu dalam sungkup dan head space
selalu dicatat.

Tabel 3. Pengambilan contoh gas di lima provinsi lokasi ICCTF Fase II


Lokasi Waktu sampling Interval waktu Posisi sampling Tanaman
Riau Pagi (06.00-08.00 3 menit Piringan dan Kelapa sawit (utama)
Siang (12.00-14.00) tanaman sela dan nenas (sela)

Jambi Pagi (06.00-08.00 3 menit Piringan dan Kelapa sawit (utama)


Siang (12.00-14.00) tanaman sela dan nenas (sela)

Kalimantan Pagi (06.00-08.00 3 menit Di antara Jagung dan nenas


Barat Siang (12.00-14.00) tanaman

Kalimantan Pagi (06.00-08.00 3 menit Piringan dan Karet (utama) dan


Tengah Siang (12.00-14.00) tanaman sela nenas (sela)

Papua Pagi (06.00-08.00 3 menit Piringan dan di Sagu


Siang (12.00-14.00) antara tanaman

Sebelum analisis gas, instrumen kromatografi gas (GC) dikalibrasi menggunakan


gas standar dengan konsentrasi mendekati konsentrasi GRK di atmosfer, yaitu 1,7 ppm
untuk CH4, dan 380 ppm untuk CO2. Contoh gas dalam syringe diinjeksikan ke dalam
Micro GC CP 4900 yang dilengkapi thermal conductivity detector (TCD). Portable micro
GC dapat dioperasikan secara langsung di lapangan. Area gas dari contoh gas yang
dianalisis akan keluar secara simultan. Gas pembawa (carrier gas) yang digunakan adalah
helium dengan kategori UHP (ultra high purity) dengan kemurnian gas 99,99%. Hasil
analisis berupa kromatograf yang menunjukkan konsentrasi gas (ppm). Laju perubahan
konsentrasi gas per satuan waktu tersebut digunakan dalam perhitungan besarnya fluks
GRK. Fluk CH4 dapat ditetapkan menggunakan alat kromatografi gas dengan flame
ionization detector (FID).
Perhitungan fluks CO2 dan CH4 mengikuti persamaan yang diadopsi dari IAEA
(1993) sebagai berikut:

Bm  Csp V 273........................................
2
E  x x x (1)
Vm t A T  273.2

49
Prihasto Setyanto et al.

Keterangan :
E = emisi CO2 atau CH4 (mg m-2 hari-1)
V = volume sungkup (m3)
A = luas dasar sungkup (m2)
T = suhu udara rata-rata di dalam sungkup (oC)
Csp/t = laju perubahan konsentrasi gas CH4 dan CO2 (ppm menit-1)
Bm = berat molekul gas CH4 dan CO2
Vm = volume gas pada kondisi stp (standard temperature and pressure)
yaitu 22,41 liter

Data dianalisis secara statistik menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan
analisis beda nyata terkecil taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Fluk CO2 dari Lahan Gambut di Riau

Gambar 1 terlihat bahwa fluk CO2 sebelum pemberian amelioran tertinggi pada
perlakuan praktis petani diikuti pupuk gambut (pugam), pupuk kandang (pukan), tandan
kosong kelapa sawit (tankos). Umumnya fluk CO2 pada petakan yang akan diberi bahan
amelioran adalah lebih tinggi daripada petakan tanpa bahan amelioran (kontrol). Fluk CO 2
di piringan tanaman kelapa sawit saat 2-3 minggu setelah pemberian bahan amelioran
tertinggi pada perlakuan cara petani, namun saat 2 bulan setelah pemberian amelioran
yang tertinggi adalah pada perlakuan pupuk gambut (pugam). Kurva fluk CO 2 setelah
pemberian bahan amelioran pertama (awal Agustus 2013) menurun hingga pengukuran
fluk tanggal 20 Januari 2014 dan meningkat pada pengukuran fluk tanggal 21 Februari
2014.

30000
PIRINGAN KELAPA SAWIT
Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1 )

Aplikasi Amelioran I
25000 Aplikasi Amelioran II

20000

15000

10000

5000

0
8-Jun 9-Jul 19-Agt 18-Sep 21-Okt 19-Nov 18-Des 20-Jan 21-Feb 20-Mar 17-Apr 20-Mei 19-Jun
2013 2014
Pengamatan
Pukan Pugam Tankos Kontrol Praktis petani

Gambar 1. Pola fluk CO2 pada piringan kelapa sawit di lahan gambut di Riau
(pukan=pupuk kandang, pugam= pupuk gambut, tankos=tandan kosong kelapa sawit)

50
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut

Fluk CO2 di tanaman sela pada pertanaman kelapa sawit sebelum pemberian
amelioran yang tertinggi adalah petakan tanpa bahan amelioran selama pengamatan tahun
2013 (Gambar 2), sedangkan selama pengamatan tahun 2014 pemberian amelioran cara
petani relatif menghasilkan fluk CO2 lebih tinggi daripada amelioran lainnya. Pengamatan
fluk GRK tahun 2014 menunjukkan bahwa pemberian bahan amelioran cenderung
menghasilkan fluk CO2 lebih tinggi daripada tanpa pemberian amelioran (kontrol).
Fluk CO2 pada gambut yang digunakan untuk budidaya kelapa sawit berkisar 6,7 –
26,2 g CO2 m-2 hari-1 atau 24 – 95 t CO2 ha-1 tahun-1 pada piringan kelapa sawit dan 4,5 –
14,4 g CO2 m-2 hari-1 atau 16 – 53 t CO2 ha-1 tahun-1 pada tanaman sela. Tingginya fluk
CO2 sebelum pemberian amelioran di piringan tanaman menunjukkan bahwa pelepasan
CO2 di piringan berasal dari hasil respirasi akar tanaman, respirasi mikroba dan
dekomposisi bahan organik.

30000 TANAMAN SELA


Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1 )

Aplikasi Amelioran I
25000 Aplikasi Amelioran II

20000

15000

10000

5000

0
8-Jun 9-Jul 19-Agt 18-Sep 21-Okt 19-Nov 18-Des 20-Jan 21-Feb 20-Mar 17-Apr 20-Mei 19-Jun
2013 2014
Pengamatan
Pukan Pugam Tankos Kontrol Praktis petani

Gambar 2. Pola fluk CO2 pada tanaman sela dari kelapa sawit di lahan gambut di Riau
(pukan=pupuk kandang, pugam= pupuk gambut, tankos=tandan kosong kelapa sawit)

Pemberian bahan amelioran ke dalam gambut dapat menurunkan pelepasan gas


rumah kaca terutama CO2. Fluk CO2 setelah pemberian amelioran berkisar 3,6 – 16,7 g
CO2 m-2 hari-1 pada piringan kelapa sawit dan 3,3 – 13,5 g CO2 m-2 hari-1 pada tanaman
sela nenas. Dibandingkan tanpa amelioran (kontrol), pemberian amelioran meningkatkan
fluk CO2 terutama pada piringan kelapa sawit, sebaliknya pada tanaman sela nenas fluk
CO2 turun dengan pemberian bahan amelioran terutama pupuk kandang dan tandan
kosong sawit (Tabel 4).
Bahan amelioran yang efektif menurunkan emisi CO2 di lahan gambut yang
digunakan untuk budidaya kelapa sawit adalah pupuk kandang dari kotoran ayam dan
tandan kosong kelapa sawit. Amelioran pupuk gambut justeru meningkatkan emisi CO 2

51
Prihasto Setyanto et al.

(Tabel 4). Demikian juga pemberian amelioran cara petani juga meningkatkan emisi CO 2.
Dibandingkan kontrol, pemberian amelioran pupuk kandang dan tandan kosong kelapa
sawit menurunkan emisi CO2 masing-masing sebesar 10,7 dan 39,3%.

Tabel 4. Fluk CO2 dari lahan gambut di Riau yang diberi perlakuan bahan amelioran
Perlakuan bahan Emisi CO2 (t CO2 ha-1 tahun-1)
amelioran Piringan Tanaman sela Piringan+sela1)
Kontrol 28± 6 28±12 28±9 (n=88)
Pupuk kandang 35±13 23± 8 25±9 (n=88)
Pupuk gambut 41±12 28± 8 31±7 (n=88)
Tandan kosong sawit 29± 4 27± 9 17±8 (n=88)
Cara petani 32± 5 33±14 33±9 (n=88)
1) Asumsi proporsi luasan piringan dan sela adalah 20 dan 80%, maka emisi CO 2 total = (0,2 x
emisi CO2 piringan) + (0,8 x emisi CO2 tanaman sela); n = jumlah pengukuran

Fluk CO2 dari Lahan Gambut di Jambi

Sebelum pemberian amelioran, fluk CO2 dari lahan gambut yang digunakan untuk
budidaya tanaman kelapa sawit berkisar 0,4-3,5 g CO2 m-2 hari-1 di piringan kelapa sawit
dan 0,6 – 3,6 g CO2 m-2 hari-1 di tanaman sela. Fluk CO2 di piringan meningkat setelah
pemberian amelioran dan besarnya fluk CO2 relatif lebih tinggi dibandingkan sebelum
pemberian amelioran (Gambar 3).
Pada Gambar 3 terlihat bahwa fluk CO2 piringan pada petakan tanpa amelioran
(kontrol) lebih tinggi daripada petakan yang diberi amelioran hingga pengukuran tanggal
2 Januari 2014. Pola fluk CO2 setelah pemberian amelioran ke-2 (Januari 2014) adalah
lebih tinggi dengan pemberian bahan amelioran dibandingkan tanpa amelioran (kontrol).
Amelioran pupuk gambut menyebabkan fluk CO2 lebih tinggi daripada amelioran pupuk
kandang atau tandan kosong kelapa sawit setelah pemberian amelioran yang kedua.
Pemberian bahan amelioran efektif menekan fluk CO2 selama ± 6 bulan, dan setelah 6
bulan fluk CO2 piringan yang diberi amelioran lebih rendah daripada kontrol.
Gambar 4 terlihat bahwa fluk CO2 pada tanaman sela sebelum diberi amelioran
adalah rendah yang berkisar 0,6-3,6 g CO2 m-2 hari-1. Fluk CO2 cenderung naik setelah
diberi amelioran dan tampak turun saat pengukuran 2 Januari 2014. Bahan amelioran
diberikan lagi setelah bulan Januari 2014 yang meningkatkan fluk CO 2 pada tanaman sela.
Fluk CO2 pada tanaman sela nenas di petakan yang diberi amelioran kedua lebih tinggi
daripada petakan kontrol.

52
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut

20000 PIRINGAN KELAPA SAWIT


Aplikasi Amelioran I Aplikasi Amelioran II
Fluk CO 2 (mg m-2 hari-1)

16000

12000

8000

4000

0
2-Jul 19-Jul 2-Sep 3-Okt 6-Nov 30-Nov 2-Jan 5-Feb 12-Mar 15-Apr 20-Mei 25-Jun
2013 2014
Pengamatan
Kontrol Pugam Tankos Pukan

Gambar 3. Pola fluk CO2 pada piringan kelapa sawit di lahan gambut di Jambi
(pugam=pupuk gambut, tankos=tandan kosong kelapa sawit, pukan=pupuk kandang)

20000 TANAMAN SELA


Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1)

Aplikasi Amelioran I
16000 Aplikasi Amelioran II

12000

8000

4000

0
2-Jul 19-Jul 2-Sep 3-Okt 6-Nov 30-Nov 2-Jan 5-Feb 12-Mar 15-Apr 20-Mei 25-Jun
2013 2014
Pengamatan
Kontrol Pugam Tankos Pukan

Gambar 4. Pola fluk CO2 pada tanaman sel dari kelapa sawit di lahan gambut di Jambi
(pugam=pupuk gambut, tankos=tandan kosong kelapa sawit, pukan=pupuk kandang)

Tabel 5 memperlihatkan bahwa pemberian amelioran di piringan kelapa sawit


nyata menurunkan emisi CO2 dari lahan gambut di Jambi (p<0,05), namun cenderung
meningkatkan emisi di tanaman sela nenas. Di piringan tanaman kelapa sawit, pemberian
bahan amelioran menurunkan emisi CO2. Amelioran tandan kosong kelapa sawit adalah
paling efektif menurunkan emisi CO2 sebesar 35% diikuti pupuk kandang yang
menurunkan emisi CO2 sebesar 29% (Tabel 5). Bahan amelioran dapat menurunkan fluk

53
Prihasto Setyanto et al.

CO2 melalui proses kompleksasi asam-asam organik, baik alifatik maupun aromatik.
Sebagian besar emisi karbon berasal dari gugus C alifatik karena hancurnya ikatan karbon
oleh aktivitas mikroba menghasilkan gas CO2 dan CH4. Bahan aktif pugam adalah kation
polivalen yaitu Fe, Al, Cu dan Zn yang bisa membentuk ikatan koordinasi dengan ligan
organik. Kation polivalen akan menjadi inti koordinasi dan mengikat beberapa asam
organik monomer membentuk senyawa komplek (Subiksa, 2013).
Pemberian amelioran tandan kosong kelapa sawit paling efektif menurunkan emisi
CO2 total di lahan gambut di Riau yaitu sebesar 25% dibandingkan tanpa amelioran
(Tabel 5). Kandungan kation polivalen dalam pupuk gambut mampu meningkatkan
stabilitas gambut yang memperkecil pelepasan CO2 ke atmosfer (Subiksa, 2013).
Pemberian amelioran pupuk kandang dan tandan kosong sawit cenderung meningkatkan
emisi CO2 di tanaman sela nenas.

Tabel 5. Fluk CO2 dari lahan gambut di Jambi yang diberi perlakuan bahan amelioran
Emisi CO2 (t CO2 ha-1 tahun-1)
Perlakuan bahan amelioran
Piringan Tanaman sela Piringan+sela1)
Kontrol 27±9 13± 2 16±1 (n=80)
Pupuk gambut 26±5 17± 6 19±4 (n=80)
Tandan kosong sawit 18±3 11± 2 12±1 (n=80)
Pupuk kandang 19±3 17±11 17±9 (n=80)
1) Asumsi proporsi luasan piringan dan sela adalah 20 dan 80%, maka emisi CO 2 total = (0,2 x
emisi CO2 piringan) + (0,8 x emisi CO2 tanaman sela); n = jumlah pengukuran

Fluk CO2 dari Lahan Gambut di Kalimantan Barat

Fluk CO2 dari lahan gambut di Kalimantan Barat pada akhir musim penghujan
berkisar 2,6-12,7 g CO2 m-2 hari-1 terutama sebelum diberi bahan amelioran. Pemberian
bahan amelioran menurunkan fluk CO2 selama pertumbuhan tanaman jagung dan fluk
meningkat setelah panen jagung (Gambar 5). Ini menunjukkan bahwa pemberian bahan
amelioran di gambut Kalimantan Barat perlu diberikan setiap musim tanam tanaman
pangan atau hortikultura. Pada Gambar 5 terlihat bahwa fluk CO 2 cenderung lebih tinggi
selama pertumbuhan nenas dibandingkan selama pertumbuhan tanaman jagung.
Pemberian bahan amelioran pugam terlihat menghasilkan fluk CO 2 tinggi terutama saat
bera dan selama pertumbuhan tanaman nenas.

54
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut

20000 JAGUNG BERA NANAS


Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1)

Aplikasi Amelioran II
16000 Aplikasi Amelioran I

12000

8000

4000

0
21-Mar 9-Apr 10-Jun 7-Jul 12-Agt 10-Sep 13-Nov 20-Nov 10-Des 12-Jan 10-Feb 8-Mar 5-Jun
2013 2014
Pengamatan
Pugam Pukan Dolomit Kontrol Cara Petani

Gambar 5. Pola fluk CO2 pada tanaman jagung dan nenas di lahan gambut di Kalimantan
Barat (pugam=pupuk gambut; pukan pupuk kandang)

Tabel 6 memperlihatkan bahwa pemberian amelioran ke dalam gambut di


Kalimantan Barat menurunkan emisi CO2. Pada tanaman jagung, fluk CO2 pada
pemberian bahan amelioran umumnya lebih tinggi daripada tanpa bahan amelioran
(kontrol). Emisi CO2 tertinggi pada tanaman jagung terjadi pada petakan yang diberi
bahan amelioran pupuk gambut.
Pada tanaman nenas, pemberian bahan amelioran berpengaruh positif maupun
negatif terhadap emisi CO2. Emisi CO2 pada petakan dengan pupuk kandang kotoran
ayam atau petakan dengan pupuk gambut lebih tinggi dibandingkan kontrol, sedangkan
pemberian dolomit atau praktis petani mengemisi CO 2 lebih rendah daripada kontrol
(Tabel 6). Bahan amelioran dolomit efektif menurunkan emisi CO2 pada tanaman nenas di
gambut sebesar 1 t CO2 ha-1 musim-1 dibandingkan tanpa pemberian bahan amelioran.

Tabel 6. Fluk CO2 dari lahan gambut di Kubu Raya, Kalimantan Barat diberi perlakuan
bahan amelioran
Perlakuan bahan amelioran Emisi CO2 (t CO2 ha-1 musim-1)
Jagung* Nenas*
Kontrol 2,2±0,6 11,9±5,0
Pupuk kandang 2,4±0,8 15,2±4,4
Pupuk gambut 2,7±1,0 15,3±6,4
Dolomit 2,4±0,5 10,8±1,9
Cara petani 2,2±0,7 11,3±1,9
* Umur panen jagung 3 bulan dan umur nenas 8 bulan

55
Prihasto Setyanto et al.

Fluk CO2 dari Lahan Gambut di Kalimantan Tengah

Gambut di Kalimantan Tengah melepaskan gas rumah kaca CO 2 ke atmosfer rata-


rata berkisar 8,9-15,9 g CO2 m-2 hari-1 atau 33-58 t CO2 ha-1 tahun-1. Pemberian bahan
amelioran menurunkan fluk CO2 hingga pengukuran fluk tanggal 23 November 2013,
namun cenderung meningkat setelah pemberian amelioran yang kedua (akhir bulan
November 2013) (Gambar 6 dan 7). Pada pengamatan Mei 2014, fluk CO 2 tertinggi di
piringan karet terjadi pada perlakuan pugam dan yang terendah pada perlakuan praktis
petani diikuti pupuk kandang. Sebaliknya pada pengamatan Mei 2014 di tanaman sela
nenas, pemberian amelioran tampak menurunkan fluk CO2.

24000 PIRINGAN KARET


Aplikasi Amelioran I
Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1)

20000 Aplikasi Amelioran II

16000

12000

8000

4000

0
11-Jun 31-Jul 11-Sep 23-Nov 4-Mar 2-Apr 15-Mei
2013 2014
Pengamatan
Kontrol Pugam Pukan Mineral Praktis petani

Gambar 6. Pola fluk CO2 pada piringan karet di lahan gambut di Kalimantan Tengah
(pugam=pupuk gambut; pukan=pupuk kandang)

24000 TANAMAN SELA


Aplikasi Amelioran I
Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1)

20000 Aplikasi Amelioran II

16000

12000

8000

4000

0
11-Jun 31-Jul 11-Sep 23-Nov 4-Mar 2-Apr 15-Mei
2013 2014
Pengamatan
Kontrol Pugam Pukan Mineral

Gambar 7. Pola fluk CO2 pada tanaman sela dari karet di lahan gambut di Kalimantan
Tengah (pugam=pupuk gambut; pukan=pupuk kandang)

56
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut

Tabel 7 memperlihatkan keragaman pengaruh pemberian bahan amelioran pada


gambut yang digunakan untuk budidaya tumpangsari karet dengan nenas. Pemberian
pupuk kandang dan pupuk gambut meningkatkan emisi CO 2 di piringan karet. Bahan
amelioran yang efektif menurunkan emisi CO2 pada tanaman sela nenas adalah pupuk
gambut dan tanah mineral. Amelioran pupuk gambut dan tanah mineral menurunkan
emisi CO2 masing-masing sebesar 15 dan 3%. Amelioran pupuk kandang meningkatkan
emisi CO2 di tanaman sela. Dibandingkan tanpa pemberian amelioran, pupuk gambut dan
tanah mineral efektif menurunkan emisi CO2 pada tumpangsari karet dan nenas di lahan
gambut di Jabiren, Kab. Pulang Pisau.

Tabel 7. Fluk CO2 dari lahan gambut di Jabiren Kalimantan Tengah yang diberi
perlakuan bahan amelioran
Emisi CO2 (t CO2 ha-1tahun-1)
Perlakuan bahan amelioran
Piringan Tanaman sela Piringan+sela1)
Kontrol 17±5 21±4 20±4 (n=56)
Pupuk kandang 21±3 22±5 22±5 (n=56)
Pupuk gambut 21±9 18±4 19±5 (n=56)
Tanah mineral 17±8 20±7 19±7 (n=56)
Cara petani 14±3
1) Asumsi proporsi luasan piringan dan sela adalah 20 dan 80%, maka emisi CO2 total = (0,2 x
emisi CO2 piringan) + (0,8 x emisi CO2 tanaman sela); n = jumlah pengukuran

Fluk CO2 dari Lahan Gambut di Papua

Gambar 8 memperlihatkan fluktuasi fluk CO2 yang diukur di piringan dan di antara
tanaman sagu di Gambut Mimika, Papua Barat. Pada Pengukuran April 2013, fluk CO 2
tinggi dan menurun pada tiga kali pengukuran berikutnya dengan interval 3 bulan. Fluk
CO2 pada titik ke-2, ke-3, dan ke-4 relatif lebih tinggi daripada titik-titik lainnya. Ini
menunjukkan bahwa lokasi gambut pada bagian pinggiran pertanaman sagu menghasilkan
fluk CO2 lebih tinggi daripada bagian yang lebih dalam dari perkebunan sagu. Demikian
juga fluk CH4, lokasi yang di daeah pinggiran perkebunan sagu menghasilkan fluk lebih
tinggi daripada lokasi yang lebih dalam dalam perkebunan sagu (Gambar 9).

57
Prihasto Setyanto et al.

40000 Lok.I
35000 Lok.II
Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1)

Lok.III
30000
Lok.IV
25000 Lok.V
20000 Lok.VI

15000
10000
5000
0
11-Apr-13 17-Jul-13 22-Okt-13 7-Mar-14

Pengamatan

Gambar 8. Fluktuasi fluk CO2 pada tanaman sagu di lahan gambut di Mimika, Papua

Fluk GRK baik CO2 dan CH4 yang diukur pada bulan April 2013 adalah tertinggi
dibandingkan pengukuran bulan Juli 2013, Oktober 2013, dan Maret 2014 (Gambar 10).
Awal pengukuran fluk GRK tentunya mengusik kondisi gambut, sehingga memacu
pelepasan CO2 dan CH4 lebih tinggi dibandingkan saat pengukuran fluk GRK berikutnya.

1000
Lok.I
900
Fluks CH4 (mg m-2 hari-1)

Lok.II
800
Lok.III
700 Lok.IV
600 Lok.V
500 Lok.VI
400
300
200
100
0
11-Apr-13 17-Jul-13 22-Okt-13 7-Mar-14

Pengamatan

Gambar 9. Fluktuasi fluk CH4 pada tanaman sagu di lahan gambut di Mimika, Papua

58
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut

Karbon Dioksida
30000

Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1)


25000

20000

15000

10000

5000

0
11-Apr-13 17-Jul-13 22-Okt-13 7-Mar-14

Pengamatan

400 Metana
350
Fluks CH4 (mg m-2 hari-1 )

300
250
200
150
100
50
0
11-Apr-13 17-Jul-13 22-Okt-13 7-Mar-14

Pengamatan

Gambar 10. Fluk CO2 dan CH4 di lahan gambut dengan tanaman sagu di Mimika, Papua

Tabel 8 memperlihatkan bahwa CO2 dan CH4 yang dilepaskan ke atmosfer dari
lahan gambut pada pertanaman sagu masing-masing berkisar 3,8-19,4 g CO2 m-2 hari-1
dan 35-287 g CH4 m-2 hari-1. Berdasarkan monitoring fluk GRK yang hanya dilakukan
empat kali pengukuran, emisi GRK dari gambut di Mimika Papua dapat dihitung yang
berkisar 4,5-25,5 g CO2-e m-2 hari-1 atau 16-93 t CO2-e ha-1 tahun-1.

Tabel 8. Pemantauan fluk CO2 dan CH4 dari lahan gambut di Mimika, Papua
Fluk CO2 (g CO2 m-2 hari-1) Fluk CH4 (mg CH4 m-2 hari-1)
Titik1)
Maksimum Minimum Maksimum Minimum
I 8,2 3,9 361 58
II 24,0 3,1 869 63
III 33,3 2,3 98 20
IV 33,9 6,1 226 18
V 10,4 3,4 134 19
VI 6,9 4,6 36 33
Rerata 19,4 3,8 287 35
1)
Jarak antar titik adalah 50 m

59
Prihasto Setyanto et al.

KESIMPULAN

1. Pemberian bahan amelioran di lahan gambut terhadap pelepasan gas rumah kaca
terutama CO2 ke atmosfer beragam yang bergantung pada faktor-faktor penentu
laju dekomposisi bahan organik, antara lain kemasaman tanah, substrat karbon
mudah terdegradasi, kelengasan tanah, dan keberadaan mikroba dalam gambut.
2. Ameliorasi gambut yang digunakan untuk budidaya kelapa sawit di Riau
cenderung meningkatkan emisi CO2 di piringan tetapi menurunkan emisi CO2 di
tanaman sela nenas terutama bahan amelioran tandan kosong kelapa sawit.
3. Ameliorasi gambut pada tanaman kelapa sawit di Jambi nyata menurunkan emisi
CO2 di piringan kelapa sawit. Amelioran tandan kosong kelapa sawit paling efektif
menurunkan emisi CO2 di gambut yang digunakan untuk budidaya tumpangsari
kelapa sawit nenas dengan laju penurunan sebesar 25%.
4. Bahan amelioran dolomit efektif menurunkan fluk CO2 sebesar 1,03 t
CO2/ha/musim pada tanaman nenas di gambut di Kalimantan Barat.
5. Bahan amelioran pupuk gambut dan tanah mineral efektif menurunkan fluk CO 2
pada tumpangsari karet dan nenas di lahan gambut Kalimantan Tengah, yaitu
masing-masing sebesar 9 dan 3%.
6. Emisi GRK dari gambut dengan pertanaman sagu di Papua terpantau berkisar 4,5-
25,5 g CO2-e m-2 hari-1 atau 16-93 t CO2-e ha-1 tahun-1.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bappenas yang bekerja sama dengan
Kementerian Pertanian dalam International Climate Change on Trust Funds (ICCTF) yang
telah menyediakan pendanaan. Ucapan terima kasih secara khusus disampaikan kepada
para peneliti dan teknisi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Provinsi Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah, Jambi, Riau, dan Papua.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F., dan I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek
Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF),
Bogor, Indonesia.
Agus, F., E. Runtunuwu, T. June, E. Susanti, H. Komara, H. Syahbuddin, I. Las, and M.
van Noodwijk. 2009. Carbon dioxide emission in land use transitions to
plantation. Jurnal Litbang Pertanian 28(4): 119-126.

60
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut

Balitbangtan. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000. Kementerian


Pertanian. Edisi Desember 2011.
Dariah, A., E. Susanti, A. Mulyani, dan F. Agus. 2013. Faktor penduga simpanan karbon
pada tanah gambut. Hal. 213-221 Dalam prosiding Seminar Nasional
Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Hartatik. W. 2013. Distribusi bentuk-bentuk Fe dan kelarutan ameliorant tanah mineral
dalam gambut. Hal. 261-273 Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan
Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Hartatik, W., K. Idris, S. Sabiham, S. Djuniwati, dan J. Sri Adiningsih. 2004. Peningkatan
ikatan P dalam kolom tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral
dan beberapa jenis fosfat alam. Jurnal Tanah dan Lingkungan 6(1): 22-30.
Herman, F. Agus, dan I. Las. 2009. Analisis finansial dan keuntungan yang hilang dari
pengurangan emisi karbon dioksida pada perkebunan kelapa sawit. Jurnal
Litbang Pertanian 28(4): 127-133.
Hikmatullah, H. Hidayat, dan U. Suryana. 2013. Pemetaan detail tanah gambut di demplot
Jabiren Kalimantan Tengah mendukung penelitian emisi karbon. Hal. 113-127
Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Hooijer, A. S. Page, P. Navratil, R. Vernimmen, M. Van der Vat, K. Tansey, K. Konecny,
F. Siegert, U. Ballhorn and N. Mawdsley. 2014. Carbon emissions from drained
and degraded peatland in Indonesia and emission factors for measurement,
reporting and verification (MRV) of peatland greenhouse gas emissions ‒ a
summary of KFCP research results for practitioners. IAFCP, Jakarta, Indonesia.
IAEA.1993. Manual on Measurement of Methane and Nitrous Oxide Emission from
Agriculture. Vienna: International Atomic Energy Agency (IAEA).
Subiksa, I.G.M. 2013. Peran pugam dalam penanggulangan kendala fisik lahan dan
mitigasi gas rumah kaca dalam system usahatani lahan gambut. Hal. 333-344
Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Tsutsuki, K., and R. Kondo. 1995. Lignin-derived phenolic compounds in different types
of peat profiles in Hokkaido. Japan Soil Sci. and Plant Nutr. 41(3): 515-527.

61
4
POTENSI USAHATANI BERKELANJUTAN DI LAHAN
GAMBUT TERDEGRADASI: ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN
LINGKUNGAN

FARMING SYSTEM POTENTIAL ON DEGRADED PEATLAND: SOCIAL ECONOMIC


AND ENVIRONMENTAL ANALYSES

Mamat H.S.1, Neneng L. Nurida2, Irawan2, Sukarman1, Anny Mulyani1, Meli Fitriani1,
Arsil Saleh1, Irsal Las1
1
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114.
2
Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114.
Abstrak. Saat ini terdapat 3,7 juta ha lahan gambut yang belum
dimanfaatkan dan dikategorikan sebagai lahan terdegradasi. Sebagian besar
dari lahan tersebut sesuai untuk penggunaan pertanian, tetapi harus dikelola
secara lestari dengan mempertimbangkan aspek lingkungan. Teknologi
ramah lingkungan yang layak secara sosial ekonomi perlu dikembangkan
sehingga lahan gambut tersebut tetap bermanfaat untuk generasi
mendatang. Analisis sosial ekonomi dan lingkungan dilakukan untuk
menilai kelayakan dan keberlanjutan dari aplikasi model usahatani seperti
yang dirakit oleh program Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF)
di lahan gambut terdegradasi. Metode penelitian melalui survei terstruktur
terhadap petani responden di Kalteng, Riau, Jambi, dan Kalbar, yang
bertujuan untuk mendapatkan data usahatani dan indeks keberlanjutan
model demplot ICCTF. Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa dalam
satu tahun pengamatan (2013), pendapatan bersih yang diperoleh dari
usahatani karet dan kelapa sawit ditambah tanaman sela nenas dan
pemberian amelioransekitar Rp. 9,4 juta/ha/th hingga minus Rp 500
ribu/ha/th. Biaya variabel yang diperlukan untuk menurunkan emisi 1 t
CO2/ha/th sangat bervariasi antara Rp 338.891–Rp 6.234.809. Nilai
opportunity cost semua model pengelolaan berkisar antara 12 sampai 332
$US/t CO2 yang berarti bahwa untuk setiap upaya penurunan emisi 1 ton
CO2 akan menghilangkan kesempatan untuk memperoleh pendapatan
sebesar US$ 12-332. Nilai tertinggi opportunity cost diperoleh dari pola
usahatani karet+nenas yang diberi Pugam di Kalimantan Tengah. Indeks
keberlanjutan model usahatani di Kalteng, Jambi, dan Kalbar tergolong
cukup yaitu masing-masing 66,69; 60,41; dan 57,40, sedangkan model
usahatani di Riau tergolong kurang berkelanjutan dengan nilai indeks
45,61. Berdasarkan analisis kepekaan (leverage analysis) diketahui bahwa
faktor yang sensitif terhadap keberlanjutan model usahatani adalah
intensitas penyuluhan, cara membuka lahan/mengolah tanah, potensi
penerapan teknologi kelestarian lingkungan, persepsi masyarakat terhadap
pengelolaan gambut, kebersamaan kelompok tani (dimensi sosial),
kestabilan harga hasil petani pada saat panen, usahatani yang berorientasi
profit, tingkat keuntungan usahatani (dimensi ekonomi), fluktuasi debit air

63
Mamat H.S. et al.

di lahan petani, dan perubahan tingkat dekomposisi gambut (dimensi


lingkungan/ekologi).
Kata kunci: Gambut, indeks berkelanjutan, opportunity cost, faktor sensitif

Abstract. Currently there is about 3.7 million ha of abandoned peatland


and is categorized as degraded land. Most of the lands are suitable for
agricultural uses. However, they must be managed in a sustainable manner
by taking into account the environmental aspect. It is required to develop
environmentally friendly technologies that are socio-economically feasible
so that the peatlands remain useful for the next generations. Socio-
economic and environmental analyses were conducted to assess the feasible
and sustainable application of degraded peatland farming models such as
those developed by the Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF)
programme. Research, through a structured survey on respondent farmers
in Central Kalimantan, Riau, Jambi, and West Kalimantan, was to obtain
data on farm activities and assess their sustainability indices. The analysis
indicated that in one year observation (2013), net income from farming of
rubber and oil palm, intercropped with pineapple and with ameliorants
application, ranged from around Rp9.4 million/ha/yr to minus Rp 500
thousand/ha/yr. Variable costs required to reduce emissions of 1 ton
CO2/ha/yr varied between Rp 338,891 to Rp6,234,809. The opportunity
costs of all management models ranged from US$ 12 to 332 per ton CO2
meaning that the forgone benefits for reduction of every 1 ton CO2 ranged
from US$ 12 to 332. The highest value of opportunity cost was obtained
from rubber intercropped with pineapple with ‘peat fertilizer’ application
in Central Kalimantan. Sustainability indices of farming models in Central
Kalimantan, Jambi, and West Kalimantan locations were ‘satisfactory’
with the values of 66.69, 60.41, and 57.40, respectively, while the farm
model in Riau location was unsatisfactory with the value of 45.61. Based on
the sensitivity analysis (leverage analysis), the sensitive factors to the
sustainability of the farm model were social dimension (i.e. extension
intensity, method of land clearing and tillage, the potential for
implementation of environmental management technologies, public
perception on peat management, togetherness of farmers’ groups),
economic dimension (i.e. price stability at harvest time, profit-oriented
farms, the level of farm profit), and environment/ecology dimension (i.e.
fluctuations of water discharge on farmers' fields, and changes in peat
decomposition rate).
Key words: Peatland, sustainability index, opportunity cost, sensitive factor

PENDAHULUAN

Pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya pertanian dikhawatirkan akan menimbulkan


dampak negatif, antara lain : mengganggu potensi karbon yang sangat tinggi tersimpan
dalam gambut, kemampuan gambut dalam menimbun karbon (carbon sink),

64
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi

keanekaragaman hayati gambut, serta adanya kekhawatiran bahwa perubahan penggunaan


lahan gambut tersebut akan mengemisikan gas rumah kaca (GRK) yang sangat besar.
Kondisi aktual di lapangan saat ini memperlihatkan bahwa deforestasi sudah cukup luas
terjadi dan selanjutnya dibuka untuk kegiatan pertanian. Sekitar 56 % (8,3 juta ha dari
14,9 juta ha) luas lahan gambut Indonesia masih tertutup oleh hutan alami dan primer, dan
15% (2,2 juta ha) lahan gambut sudah dimanfaatkan untuk pertanian, yakni untuk kelapa
sawit (1,5 juta ha) dan pertanian tanaman pangan dan hortikultura (0,7 juta ha). Lahan
gambut lainnya (seluas 3,7 juta ha atau 25 %) saat ini berupa lahan gambut terdegradasi
yang ditumbuhi semak belukar, dan 0,6 juta ha berupa lahan bekas tambang (Wahyunto et
al., 2014). Sebagian dari 3,7 juta ha lahan gambut terdegradasi masih terregistrasi sebagai
areal hutan walaupun saat ini hanya ditumbuhi semak belukar. Daripada dibiarkan
terlantar, pada umumnya lahan tersebut secara biofisik dapat digunakan untuk lahan
pertanian, yang dapat memberikan manfaat lebih baik. Namun demikian, pemanfaatan
lahan gambut terdegradasi untuk penggunaan pertanian harus memperhatikan kaidah-
kaidah kelestarian lingkungan mengingat lahan gambut bersifat sangat fragile (mudah
rusak). Hal inilah yang sering menimbulkan kontroversi pemanfaatan lahan gambut untuk
usaha pertanian di tingkat global.

Usahatani berkelanjutan di lahan gambut merupakan salah satu model pertanian


yang berbasis kelestarian lingkungan. Usahatani akan berkelanjutan jika (dalam jangka
panjang bahkan sampai generasi yang akan datang) menguntungkan (aspek ekonomi),
kondisi gambut lestari atau kualitasnya tidak menurun (aspek lingkungan), dan model
yang dikembangkan dapat diterima atau diadopsi oleh berbagai pihak (aspek sosial).
Keraf (2002) mengemukakan bahwa pengelolaan lahan akan berkelanjutan jika dalam
implementasinya mengintegrasikan dan memberikan bobot yang sama pada aspek
ekonomi, lingkungan, dan sosial.

Dengan mempertimbangan hal-hal tersebut di atas, maka sejak tahun 2010


BBSDLP telah mengaplikasikan model usahatani berkelanjutan pada lahan gambut
terdegradasi di 4 lokasi, yaitu Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Riau, dan Jambi.
Penelitian ini bertujuan: (1) melakukan analisis usahatani terhadap efisiensi aplikasi
ameliorasi dan opportunity cost, (2)mengetahui indeks dan faktor sensitif yang
mempengaruhi keberlanjutan model usahatani ICCTF, dan (3) menyusun implikasi
kebijakan.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di lokasi demplot ICCTF di Desa Jabireun, Kab. Pulangpisau,


Kalimantan Tengah; Desa Rasau Jaya 2, Kab. Kubu Raya, Kalimantan Barat; Desa Lubuk

65
Mamat H.S. et al.

Ogong, Kab. Pelalawan, Riau; dan Desa Arang-arang, Kab. Muara Jambi, Jambi pada
tahun 2012-2014. Data primer (mencakup dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan)
dikumpulkan melalui survei terstruktur yang dipandu dengan kuisioner. Data sosial
ekonomi dikumpulkan pada bulan Mei - Juni tahun 2013 (awal kegiatan ICCTF tahap 2)
dan pada bulan Mei – Juni 2014 (akhir kegiatan). Khusus data dimensi lingkungan,
sebagian besar diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran para peneliti bidang
terkait.

Jumlah responden sebanyak 30 orang petani yang terdiri atas petani kooperator dan
non-kooperator di masing-masing lokasi demplot ICCTF. Petani kooperator adalah petani
pemilik lahan yang dijadikan demplot ICCTF dan petani non-kooperator adalah petani di
sekitar lokasi demplot ICCTF yang berinteraksi/berkomunikasi dengan petani kooperator
atau petani yang berlokasi satu dusun/desa dengan lokasi demplot ICCTF.

Kerangka Analisis

Analisis usahatani mengkaji pendapatan usahatani jangka pendek, efisiensi biaya


aplikasi teknologi jangka pendek, dan nilai opportunity cost. Pendapatan bersih jangka
pendek dianalisis dengan cara menghitung input dan output selama periode 2013. Pada
analisis ini diasumsikan bahwa tipe penggunaan lahan awal berupa pola kebiasaan petani,
yakni tidak mengembangkan tanaman sela di antara tanaman pokok dan tidak
menggunakan bahan amelioran. Efisiensi biaya aplikasi teknologi dianalisis dengan cara
menghitung biaya variabel (unit cost) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) di
lokasi demplot pada periode 2013, yakni membandingkan biaya variable (setelah
dikurangi pendapatan bersih) dengan penurunan tingkat emisi CO2 setiap perlakuan pada
sebelum dan sesudah atau secara matematis dirumuskan sebagai berikut:
TVC – NB
Unit cost per satuan emisi = -------------
E1 – E2
dimana :

TVC = total variabel cost (Rp)

NB =net benefit (Rp)

E1 = tingkat emisi CO2 sebelum perlakuan (t CO2/ha/th)

E2 = tingkat emisi CO2 setelah perlakuan (t CO2/ha/th)

Opportunity cost (Herman et al., 2011) adalah suatu pendekatan untuk menilai
tingkat emisi yang terjadi akibat perubahan penggunaan lahan atau inovasi teknologi

66
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi

dibandingkan dengan pendapatan bersih jangka panjang (NPV), atau secara matematis
sebagai berikut:
n
Bt  Ct
NPV  
t 0 (1  i) t
dimana:

NPV = Net Present Value(US $/t CO2/ha/th),

Bt = benefit atau penerimaan pada tahun t (US$/ha/th)

Ct = biaya pada tahun t (US$/ha/th)

i = tingkat diskonto atau bunga bank yang berlaku (%),

n = umur ekonomis proyek tanaman (th)

Analisis keberlanjutan dilakukan dengan pendekatan multi dimentional scaling


(MDS) terhadap model usahatani demplot ICCTF. Data MDS diolah dengan software
rapfish (Fisheries Communication, 1999) untuk mendapatkan dua indikator penting, yaitu
nilai indeks keberlanjutan (Ikb) dan leverage analysis. Nilai Ikb (skala nilai 0–100) dibagi
menjadi 4 kelompok nilai : 0–25 = buruk, >25–50 = kurang, >50–75 = cukup, dan >75–
100 = baik. Leverage analysis menunjukkan atribut atau parameter yang sensitif dapat
mempengaruhi tingkat keberlanjutan atau adopsi model usahatani ICCTF.

Nilai indeks keberlanjutan (Ikb) merupakan fungsi dari dimensi ekonomi (DE),
dimensi sosial (DS), dan dimensi lingkungan (DL), dan secara sederhana dapat
diformulasi menjadi :

Ikb = f(DE, DS, DL)


Dimensi ekonomi berisi 11 atribut usahatani yang terdiri atas : 1. potensi tenaga
kerja, 2. kecukupan tenaga keluarga, 3. penguasaan lahan dan intensitas pengelolaan, 4.
minat berusahatani, 5. tujuan berusahatani, 6. keuntungan, 7. kestabilan harga hasil
produksi petani, 8. kemudahan pemasaran, 9. ketersediaan material lokal sebagai input,
10. kontribusi terhadap pendapatan petani total, dan 11. produktivitas lahan/keuntungan
finansial (R/C ratio). Dimensi sosial berisi 12 atribut usahatani yang terdiri atas : 1. status
lahan usaha, 2. pengetahuan dan pengalaman masyarakat tentang perubahan iklim dan
lahan gambut, 3. persepsi masyarakat terhadap pengelolaan gambut, 4. intensitas dan
efektivitas penyuluhan, 5. eksistensi kelompok tani, 6. kebersamaan kelompok tani, 7.
langkah petani yang berindikasi melestarikan gambut, 8. cara membuka lahan, 9.
potensial menerapkan teknologi melestarikan lahan gambut, 10. kearifan lokal terkait
dengan pertanian berkelanjutan, 11 kebijakan pemerintah dalam pengelolaan gambut, dan

67
Mamat H.S. et al.

12. keikutsertaan tenaga kerja wanita dalam pengelolaan usahatani. Dimensi lingkungan
berisi 11 atribut pada awal dan akhir observasi yang terdiri atas : 1. perkembangan tingkat
emisi GRK di lahan observasi, 2. tingkat subsiden lahan observasi, 3. cadangan karbon
lahan observasi, 4. elevasi muka air tanah, 5. fluktuasi debit air di lahan observasi, 6. pH
tanah lahan observasi, 7. pH air di lahan observasi, 8. perubahan tingkat dekomposisi, 9.
keberadaan tanaman cover crop di areal pertanaman, 10. kejadian kebakaran, dan 11.
dominasi vegetasi di lahan demplot. Data ini sebagian besar dikumpulkan dari hasil
kegiatan penelitian sebelum dan sesudah perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Usahatani

Model usahatani yang diaplikasikan di empat lokasi demplot adalah pengembangan


tanaman sela nenas di antara tanaman karet (Kalimantan Tengah), tanaman nenas di antara
tanaman kelapa sawit (Riau dan Jambi), dan usahatani tanaman semusim (Kalimantan
Barat) yang disertai aplikasi beberapa amelioran pada masing-masing lokasi. Amelioran
yang diaplikasikan adalah : pupuk gambut (Pugam), pupuk kandang (Pukan), tandan buah
kosong (Tankos) sawit, tanah mineral, dan dolomit.

Tabel 1 memperlihatkan bahwa pendapatan bersih usahatani kelapa sawit di Jambi


masih relatif rendah dan bahkan ada yang negatif/rugi (amelioran tankos) karena tanaman
kelapa sawit baru mulai berproduksi. Model usahatani di Kalimantan Tengah, Riau, dan
Kalimantan Barat memberikan pendapatan bersih relatif cukup besar, dan penggunaan
pugam pada lahan gambut di lokasi ICCTF Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat
memberikan pendapatan bersih usahatani yang cukup tinggi (> Rp 5 juta/ha). Fakta
tersebut menunjukkan bahwa penggunaan pugam pada lahan gambut bersifat spesifik
lokasi dan berkaitan dengan kondisi gambut dan jenis komoditas yang dikembangkan.
Penggunaan pukan sangat menguntungkan, terutama di lokasi ICCTF Riau (Rp 9,489
juta/ha) dan Kalimantan Tengah (Rp 5,756 juta/ha), namun penelitian di lokasi ICCTF
Jambi dan Kalimantan Barat menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Penggunaan
dolomit sebagai amelioran pada lahan gambut di Kalimantan Barat memberikan hasil
yang beragam atau masih belum stabil yang terlihat dari nilai simpangan baku (standard
deviation - SD). Penggunaan amelioran lainnya (seperti tankos) masih belum
memberikan hasil yang memuaskan di mana pendapatan bersih usahataninya masih
kurang dari Rp 1 juta/ha.

68
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi

Tabel 1. Pendapatan usahatani jangka pendek (Rp/ha) pada demplot ICCTF, tahun 2013
Kalimantan Tengah Riau Jambi Kalimantan Barat
Perlakuan
Rataan SD Rataan SD Rataan SD Rataan SD

------------------------------------------------- Rp / ha ---------------------------------------------

Pugam 6.332.252 619.865 3.418.429 884.140 677.572 123.617 5.210.797 1.937.486

Pukan 5.756.321 1.018.808 9.489.593 898.226 509.990 375.171 755.855 3.056.087

Tanah 401.648 - - - - - -
308.201
mineral
Tankos - - 513.414 507.302 (500.499) 209.341 - -

Dolomit - - - - - - 4.190.700 3.827.722

Kontrol
tanpa - - - - - - 5.280.730 2.091.886
dolomite
Kontrol - - - - - 3.487.269 3.491.110
-
cara petani
Kontrol 6.834.853 619.865 7.297.795 880.976 (1.720.27) 296.437 - -

SD = simpangan baku (standard deviation)

Efisiensi Aplikasi Teknologi Jangka Pendek

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa biaya yang diperlukan untuk menurunkan 1 ton
emisi CO2 bervariasi berkisar antara Rp. 338.891 sampai Rp. 6.234.809. Berdasarkan
data tersebut maka model yang paling efisien adalah pola usahatani kelapa sawit di Riau
dengan tanaman sela nenas dan aplikasi ameliorasi pupuk kandang. Sedangkan aplikasi
amelioran di Jambi ternyata tidak dapat menurunkan emisi CO2.
Tabel 2. Biaya variable yang diperlukan untuk menurunkan 1 ton CO2
Biaya yang diperlukan untuk menurunkan emisi pada setiap perlakuan

Lokasi Tanah Cara


Pugam Pukan Tankos Kontrol Dolomit
mineral petani

---------------------------------------------- Rp / ton CO2 ----------------------------------------------

Kalteng 761.102 843.005 - 624.502 195.296 - -


- Emisi naik - -
Riau 1.215.274 338.891 1.583.481 (32,04- 33,31)
Emisi naik Emisi naik Emisi naik - Emisi naik
Jambi
6,15-12,22 @) 6,15-19,35 @) 6,1517,83 @) 6,15– 6,06 @)
Kalbar 3.486.141 6.234.809 1.444.898 2.823.599 2.797.761
Keterangan : @) adalah emisi sebelum perlakuan dan setelah perlakuan di lokasi Jambi.

69
Mamat H.S. et al.

Opportunity Cost

Opportunity cost adalah kerugian atau kehilangan kesempatan mendapatkan


keuntungan ekonomi dari suatu lahan akibat petani terhambat oleh suatu ketentuan atau
peraturan. Opportunity cost didekati dengan perhitungan nilai bersih terkini (net present
value, NPV) atau dapat pula disajikan dalam kehilangan mendapatkan keuntungan per
penurunan emisi CO2-e. Hasil analisis opportunity cost untuk semua pola usahatani lokasi
demplot ICCTF yaitu berkisar antara 12 sampai 332 US$/ton CO2 (Tabel 3). Nilai
opportunity cost tersebut mengandung arti bahwa untuk setiap upaya penurunan emisi 1
ton CO2 akan menghilangkan kesempatan untuk memperoleh pendapatan sebesar US$ 12-
332. Semakin tinggi nilai opportunity cost maka semakin besar kehilangan kesempatan
pendapatan dari lahan gambut bila emisi diturunkan 1 tCO 2. Nilai opportunity cost
tertinggi diperoleh pada aplikasi Pugam pada usahatani karet+nenas di Kalimantan
Tengah (yaitu sebesar US$ 332 /ton CO2), sedangkan nilai terrendah diperoleh dari Jambi
pada usahatani kelapa sawit tanpa amelioran. Di Kalimantan Barat, usahatani tanaman
jagung memberikan nilai opportunity cost yang masih relatif tinggi, yaitu nilai 218 untuk
kontrol cara petani, 175 untuk ameliorasi pupuk gambut, dan 159 untuk pemberian
dolomit.

Tabel 3. Nilai Opportunity Cost pada demplot ICCTF di 4 provinsi


Net present value a) Emisi b) Nilai Opportunity cost
Lokasi Perlakuan
Rp 000/ha/th US$/ha/th t CO2/ha/th US$/t CO2
Pugam 69.452 6.314 19,0 332
Pukan 67.333 6.121 22,0 278
Kalteng
Tnh mineral 17.266 1.570 19,0 83
Kontrol 58.165 5.288 20,0 264
Pugam 50.069 4.552 31,0 147
Pukan 25.855 2.350 25,0 94
Riau
Tankos 18.092 1.645 17,0 97
Kontrol 22.166 2.015 28,0 72
Pugam 9.837 894 19,0 47
Pukan 22.106 2.010 17,0 118
Jambi
Tankos 8.885 808 12,0 67
Kontrol 2.193 199 16,0 12
Pugam 5.211 474 2,7 175
Pukan 756 69 2,4 29
Kalbar Dolomit 4.191 381 2,4 159
Kontrol 5.281 480 2,2 218
Cara petani 3.487 317 2,2 144
Sumber :a)diolah dari data primer; b)Setyanto et al. (2014)

70
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi

Faktor Sensitif yang Mempengaruhi Keberlanjutan

Dimensi Sosial

Hasil analisis sensitivitas (leverage analysis) di Kalimantan Tengah menunjukkan


bahwa intensitas penyuluhan kepada masyarakat mengenai pengelolaan gambut
merupakan faktor yang sangat sensitif mempengaruhi keberlanjutan model usahatani
demplot, yang ditunjukkan oleh skala > 5 pada Tabel 4. Selain itu cara pembukaan
lahan/pengolahan tanah dan langkah petani yang potensial melestarikan usahatani lahan
gambut tergolong atribut yang cukup sensitif (skala > 3). Sedangkan untuk Riau, hasil
leverage analysis menunjukkan bahwa cara membuka lahan atau mengolah tanah dan
potensi menerapkan teknologi untuk melestarikan lingkungan merupakan faktor yang
sangat sensitif (skala >5) mempengaruhi keberlanjutan model usahatani demplot.
Membuka lahan atau mengolah tanah dengan cara tidak membakar menjadi faktor penting
dalam menjaga kelestarian lahan gambut terdegradasi, terutama terkait dengan tingkat
emisi gas rumah kaca dan hilangnya biodiversitas akibat membakar lahan. Demikian juga
respon petani untuk mengadopsi teknologi yang diaplikasikan di demplot usahatani
ICCTF berpotensi terhadap keberlanjutan usahatani. Selain itu ada beberapa atribut yang
tergolong cukup sensitif (skala >3) mempengaruhi tingkat keberlanjutan model usahatani,
yakni kebersamaan kelompok tani, eksistensi kelompok tani, langkah petani yang
mengindikasikan melestarikan lahan gambut (kearifan lokal), persepsi masyarakat
terhadap pengelolaan lahan gambut, dan penyuluhan tentang pengelolaan lahan gambut
berkelanjutan.
Tabel 4. Hasil analisis sensitivitas dimensi sosial di 4 lokasi demplot ICCTF
No. Atribut Kalteng Riau Jambi Kalbar
Keikutsertaan tenaga kerja wanita dalam pengelolaan
1 2,20 1,67 0,51 0,98
usahatani
2 Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan gambut 2,64 1,80 1,68 0,62
3 Kearifan lokal terkait dengan pertanian berkelanjutan 2,89 2,54 1,84 0,42
4 Potensial menerapkan teknologi melestarikan gambut 1,37 5,67 0,38 0,23
5 Cara membuka lahan/mengolah tanah 3,11 6,49 0,70 2,33
Langkah petani yang berindikasi melestarikan
6 3,12 4,04 0,74 0,17
usahatani lahan gambut
7 Kebersamaan kelompok tani 2,28 4,42 2,44 0,05
8 Eksistensi kelompok tani 2,69 4,22 0,65 2,30
Intensitas dan efektifitas penyuluhan kepada
9 5,11 3,50 1,63 0,21
masyarakat tentang pengelolaan gambut
10 Persepsi masyarakat terhadap pengelolaan gambut 2,24 3,51 2,72 1,85
Pengetahuan dan pengalaman petani tentang
11 2,48 1,73 0,91 0,39
perubahan iklim
12 Status lahan usahatani 2,52 1,22 1,24 1,14

71
Mamat H.S. et al.

Hasil analisis sensitivitas (leverage analysis) di lokasi Jambi menunjukkan bahwa


tidak ada atribut atau faktor yang mempunyai nilai sensitifitas >5 dalam mempengaruhi
keberlanjutan model usahatani demplot, tetapi ada dua atribut yang paling sensitif (skala
nilai >2) yaitu persepsi masyarakat terhadap pengelolaan lahan dan kebersamaan
kelompok tani. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden ternyata persepsi
masyarakat terhadap pengelolaan lahan gambut sangat menentukan tingkat keberlanjutan
usahatani di lahan gambut terdegradasi. Persepsi dimaksud adalah pemahaman
masyarakat bahwa lahan gambut adalah satu-satunya andalan untuk bertani dan jika lahan
tersebut tidak dikelola dengan mengutamakan kelestarian lingkungan maka lahan tersebut
akan rusak dan tidak bisa menopang kehidupan untuk jangka panjang. Demikian juga
kebersamaan petani dalam kelompok tani menjadi penting dalam keberlanjutan usahatani,
mengingat lahan petani berada dalam satu hamparan atau satu kawasan sehingga
kebersamaan kelompok untuk menangani dan mengelola lahan gambut dapat lebih efektif
dan efisien. Kebersamaan petani dalam kelompok tani tersebut terutama terkait dengan
pemasaran hasil dan penyediaan input untuk usahatani, seperti pupuk yang didatangkan
dan dibeli bersama-sama dari luar wilayah akan lebih efisien daripada membeli pupuk
secara sendiri-sendiri.

Hasil analisis sensitivitas (leverage analysis) di lokasi Kalimantan Barat


menunjukkan bahwa tidak ada atribut atau faktor dimensi sosial yang bernilai > 5, namun
ada dua atribut yang paling dominan (dengan skala nilai >2) mempengaruhi keberlanjutan
model usahatani demplot, yaitu cara mengolah tanah tanpa bakar dan keberadaan
kelompok tani.

Dimensi Ekonomi

Hasil leverage analysis di lokasi Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa


kestabilan harga hasil produksi petani pada saat panen dan usahatani yang berorientasi
profit merupakan dua atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan usahatani (Tabel
5). Pengamatan di lapangan menunjukkan harga jual produk petani sangat fluktuatif dan
cenderung merugikan petani karena nilai tukarnya yang rendah terutama pada saat panen.
Selain itu, petani yang berorientasi profit (bukan subsisten) pada umumnya berpikir
bagaimana agar usahatani yang dilakukannya dapat menopang kehidupan keluarganya
untuk jauh ke depan dan tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan saat ini.

72
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi

Tabel 5. Hasil analisis sensitivitas dimensi ekonomi di 4 lokasi demplot ICCTF


No. Atribut Kalteng Riau Jambi Kalbar

1 Produktivitas lahan/keuntungan finansial (RC


1,52 1,36 3,01 3,22
ratio) usahatani
2 Kontribusi petani terhadap pendapatan total
2,32 1,24 1,51 2,38
petani
3 Ketersediaan material lokal sebagai input
3,58 3,27 2,43 1,19
usahatani
4 Kemudahan pemasaran hasil produksi usahatani 4,05 4,17 2,59 0,87
5 Kestabilan harga hasil produksi petani pada saat
7,37 1,39 8,58 0,79
periode panen
6 Keuntungan dari usahatani 2,73 5,85 4,63 2,71
7 Orientasi/tujuan berusahatani 6,43 4,04 2,74
8 Minat untuk berusahatani 4,22 1,56 2,75
9 Penguasaan lahan dan intensitas pengelolaan 3,67 3,55 2,31 2,84
10 Kecukupan tenaga kerja keluarga untuk
2,46 2,19
usahatani
11 Potensi tenaga kerja keluarga dalam usahatani 1,09 1,12 1,53 2,81

Untuk lokasi Riau, hasil analisis sensitifitas (leverage analysis) menunjukkan


bahwa faktor yang sangat sensitif (skala nilai >5) mempengaruhi keberlanjutan model
usahatani yaitu tingkat keuntungan usahatani. Tingkat keuntungan usahatani menjadi
faktor yang memotivasi petani untuk berkonsentarsi atau tidak dalam usahatani. Jika
tingkat keuntungan usahatani tinggi, maka petani cenderung lebih berkonsentrasi
memelihara lahan usahataninya secara intensif mengingat bertani adalah andalan
kehidupan untuk masa depan. Selain itu, terdapat beberapa atribut lain yang cukup sensitif
(skala nilai >3) mempengaruhi tingkat keberlanjutan model usahatani, yakni kemudahan
pemasaran hasil usahatani, orientasi berusahatani, penguasaan lahan dan intensitas
pengelolaan, dan ketersediaan material lokal sebagai input usahatani.

Hasil analisis sensitifitas (leverage analysis) di lokasi Jambi menunjukkan bahwa


kestabilan harga pada saat panen merupakan faktor yang sangat sensitif (skala nilai >5)
mempengaruhi keberlanjutan usahatani. Hasil wawancara dengan responden menjelaskan
bahwa kestabilan harga dan nilai tukar yang tinggi menjadi faktor penting yang
memotivasi petani untuk mengelola lahan gambut dengan intensif. Selama ini petani
bekerja juga pada perusahaan sawit yang menjadi perusahaan inti. Namun demikian,
harga hasil usahatani yang stabil dan nilai tukar petani yang tinggi akan dapat mendorong
petani agar lebih berkonsentrasi mengelola lahan usahataninya dibanding menjadi buruh
pada perusahaan inti.

Hasil analisis sensitifitas (leverage analysis) di Kalimantan Barat menunjukkan


bahwa tidak ada atribut atau faktor dimensi ekonomi yang berskala > 5, namun
ketersediaan alat mekanisasi untuk pertanian (skala nilai 4,31) merupakan faktor yang
paling peka di antara 11 atribut. Atribut tersebut sangat penting dalam dimensi ekonomi,

73
Mamat H.S. et al.

khususnya terkait dengan aspek intensitas pengelolaan lahan usahatani pada kondisi
tenaga kerja yang sangat terbatas. Oleh karena itu perlu dicari penanggulangan masalah
tenaga kerja yang terbatas tersebut melalui mekanisasi pertanian yang adaptif pada
kondisi gambut.

Dimensi Lingkungan

Berdasarkan hasil analisis sensitifitas (leverage analysis) di Kalimantan Tengah,


Riau, dan Kalimantan Barat terlihat bahwa fluktuasi debit air di lahan petani dan
perubahan tingkat dekomposisi sebagai dua atribut atau faktor yang sangat sensitif (skala
nilai >5) mempengaruhi keberlanjutan model usahatani (Tabel 6). Kedua faktor tersebut
sangat mempengaruhi kelestarian lingkungan, khsususnya terkait dengan emisi gas rumah
kaca. Selain itu, di Kalteng dan Riau masih terdapat beberapa atribut lain yang tergolong
cukup sensitif (skala nilai >3) mempengaruhi keberlanjutan model usahatani, yakni
cadangan karbon, keberadaan tanaman penutup tanah, dan elevasi muka air tanah.

Hasil analisis di lokasi Jambi menunjukkan bahwa tidak ada atribut atau faktor
yang sangat peka (skala nilai >5) mempengaruhi keberlanjutan usahatani. Akan tetapi
perubahan tingkat dekomposisi merupakan faktor yang paling sensitif (skala nilai > 4) di
antara 11 atribut yang dianalisis.
Tabel 6. Hasil analisis sensitivitas dimensi lingkungan di 4 lokasi demplot ICCTF
No Atribut Kalteng Riau Jambi Kalbar
1 Dominansi vegetasi 1,07 1,07 0,06 1,53
2 Kejadian kebakaran 2,74 2,74 1,36 2,24
Keberadaan cover crop di areal
3 4,08 4,08 2,92 4,01
pertanaman
4 Perubahan tingkat dekomposisi 6,27 6,27 4,18 5,19
pH air lahan observasi pada awal dan
5 0,04 0,04 0,69 0,64
akhir pengamatan
pH tanah lahan observasi pada awal
6 0,80 0,8 1,05 1,19
dan akhir pengamatan
Fluktuasi debit air lahan observasi
7 6,71 6,71 1,19 5,25
pada awal dan akhir pengamatan
Elevasi muka air tanah pada awal dan
8 3,75 3,75 1,10 1,31
akhir pengamatan
Cadangan karbon lahan observasi
9 4,22 4,22 0,84 3,7
pada awal dan akhir pengamatan
Tingkat subsiden lahan observasi pada
10 0,49 0,49 0,53 1,04
awal dan akhir pengamatan
Perkembangan tingkat emisi GRK
11 demplot E1-E2 pada sebelum dan 0,16 0,16 0,17 1,36
sesudah pengamatan

74
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi

Potensi Keberlanjutan

Analisis potensi keberlanjutan merupakan analisis tentang peluang apakah suatu


model usahatani yang dikembangkan akan berkelanjutan atau akan diadopsi oleh petani
sekitarnya, seberapa besar tingkat keberlanjutan dari model tersebut. Tingkat
keberlanjutan dimaksud dapat dijadikan indikator, apakah model usahatani yang
dikembangkan di lokasi demplot akan diadopsi oleh petani sekitarnya. Nilai indeks
keberlanjutan tersebut merupakan integrasi dari skala nilai dimensi sosial, ekonomi, dan
dimensi lingkungan/ekologi.

Hasil analisis multidimensi (menggunakan software rapfhis), yang terdiri atas


dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan dengan sebanyak 34 atribut atribut atau
parameternya, menghasilkan nilai indeks keberlanjutan 66,69 atau dalam skala nilai
(rapfhis) tergolong cukup berkelanjutan. Nilai keberlanjutan multidimensi tersebut
merupakan kontribusi dari tiga dimensi, yaitu dimensi sosial (72,65), dimensi ekonomi
(68,11), dan dimensi ekologi (57,25). Berdasarkan hasil analisis di atas, model usahatani
yang dikembangkan di lokasi Kalimantan Tengah berpeluang untuk diadopsi oleh petani
sekitar, dengan memperhatikan aspek lingkungan, ekonomi, dan aspek sosial (Tabel 7).
Tabel 7. Indeks Keberlanjutan Usahatani Setiap Dimensi
Indeks Keberlanjutan Usahatani
Lokasi Multi Dimensi
Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial Dimensi Lingkungan

Kalimantan Tengah 68,11 72,65 57,25 66,69

Riau 65,74 27,81 57,25 45,65

Jambi 80,36 54,27 53,71 60,41

Kalimantan Barat 72,17 53,49 54,94 57,40

Analisis multidimensi terhadap usahatani di lokasi Riau menghasilkan nilai indeks


keberlanjutan 45,61 atau tergolong kurang berkelanjutan. Kontribusi dimensi sosial,
dimensi ekonomi, dan dimensi ekologi terhadap nilai keberlanjutan multidimensi masing-
masing sebesar 27,81; 65,74; dan 57,25. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
keberlanjutan atau peluang petani sekitar untuk mengadopsi model usahatani yang
dikembangkan di lokasi Pelalawan Riau tergolong kurang, terutama kontribusi dimensi
sosial yang relatif paling rendah (yakni 27,81).

Hasil analisis multidimensi terhadap usahatani di lokasi Jambi menunjukkan bahwa


nilai indeks keberlanjutan sebesar 60,41 atau tergolong cukup berkelanjutan. Nilai
keberlanjutan multidimensi tersebut merupakan kontribusi dari dimensi sosial, dimensi
ekonomi, dan dimensi ekologi masing-masing sebesar 54,27; 80,36; dan 53,71. Dimensi
ekonomi memberikan kontribusi tertinggi (yakni sebesar 80,36) terhadap indeks
keberlanjutan model usahatani di Muaro Jambi.

75
Mamat H.S. et al.

Analisis multidimensi terhadap model usahatani yang dikembangkan di


Kalimantan Barat menghasilkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 57,40 atau tergolong
cukup berkelanjutan. Nilai keberlanjutan multidimensi tersebut merupakan kontribusi
dari dimensi sosial, dimensi ekonomi, dan dimensi ekologi masing-masing sebesar 53,49;
72,17; dan 54,94.

Implikasi Kebijakan

Luas lahan gambut di tiga pulau besar (Sumatera, Kalimantan dan Papua) sekitar
14,9 juta ha, di mana sekitar 8,3 juta ha masih berupa hutan primer dan hutan alami.
Sisanya seluas 6,6 juta ha merupakan lahan yang sudah dibuka dan terdiri atas 1,5 juta ha
sudah dimanfaatkan untuk perkebunan, 0,7 juta ha untuk pertanian tanaman pangan dan
hortikultura, 3,7 juta ha merupakan lahan gambut terdegradasi yang ditumbuhi semak
belukar, serta 0,6 juta ha lahan bekas tambang. Dengan kondisi lahan gambut seperti
tersebut di atas, perlu dibuat kebijakan untuk masing-masing penggunaan lahan. Lahan
gambut yang masih berupa hutan primer perlu dipertahankan sebagai hutan dimanapun
keberadaannya, baik di kawasan hutan maupun di kawasan non hutan (areal penggunaan
lain). Sebaliknya, lahan yang sudah terdegradasi berupa semak belukar dan secara biofisik
sesuai untuk pengembangan pertanian, dapat dimanfaatkan untuk pengembangan
pertanian di masa yang akan datang, dengan pengelolaan lahan yang berkelanjutan (Las,
2014). Terkait dengan hal tersebut, tim peneliti telah melakukan penelitian sosial ekonomi
dan lingkungan untuk melihat keberlanjutan dari kegiatan model usahatani ICCTF dalam
pemanfaatan lahan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah, Riau, Jambi, dan Kalimantan
Barat. Pendekatan multi dimentional scaling (MDS) digunakan untuk memperoleh
informasi tentang nilai keberlanjutan usahatani seperti disajikan pada Tabel 7, sedangkan
faktor yang paling berpengaruh terhadap tingkat keberlanjutan usahatani di lahan gambut
disajikan pada Tabel 8.

Hasil analisis menunjukkan bahwa urutan tingkat keberlanjutan usahatani dari


paling tinggi sampai terrendah adalah di lokasi Provinsi Kalimantan Tengah, diikuti oleh
Provinsi Jambi, Kalimantan Barat, dan Riau dengan nilai keberlanjutan berturut-turut
66,69; 60,41; 57,40; dan 45,65. Tingkat keberlanjutan model usahatani di Provinsi
Kalimantan Tengah dipengaruhi oleh dimensi sosial dan ekonomi di mana faktor yang
paling sensitif mempengaruhinya adalah intensitas penyuluhan dan stabilitas harga.
Artinya tingkat penyuluhan yang intensif serta adanya stabilitas harga untuk komoditas
yang diusahakan menjadi titik ungkit dalam keberlanjutan model usahatani dalam
pemanfaatan lahan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah. Sebaliknya Provinsi Riau dan
Kalbar mempunyai nilai keberlanjutan paling rendah yang dipengaruhi oleh dimensi
sosial, terutama kebiasaan petani membakar hutan dalam pembukaan lahan. Artinya,

76
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi

masyarakat di Provinsi Riau dan Kalimantan Barat sudah terbiasa membakar hutan untuk
pengembangan lahannya, padahal dari aspek lingkungan pembakaran hutan ini tidak
dikehendaki. Oleh karena itu, penyuluhan secara intensif sangat diperlukan untuk
mengubah kebiasaan petani dalam membuka lahan tanpa membakar hutan gambut.
Namun disadari, sampai saat ini belum ada cara membuka lahan yang paling praktis selain
dengan cara membakar, apalagi kedua provinsi tersebut mempunyai keterbatasan tenaga
kerja. Oleh karena itu, ke depan diperlukan inovasi teknologi dan alat mekanisasi
pertanian yang cocok untuk pembukaan lahan gambut, sehingga pembakaran hutan
gambut dapat dihindari.
Tabel 8. Faktor Sensitif yang Mempengaruhi Tingkat Keberlanjutan
Faktor yang paling sensitif mempengaruhi kelanjutan
Lokasi
Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial Dimensi Lingkungan

Kalimantan Tengah Stabilitas harga + Penyuluhan + Fluktuasi debit air +


Kebiasaan membakar
Riau Keuntungan usahatani + Fluktuasi debit air +
hutan -
Persepsi terhadap
Perubahan tingkat
Jambi Stabilitas harga + pengelolaan lahan
dekomposisi
gambut +
Kebiasaan membakar
Ketersediaan alat
Kalimantan Barat hutan & keberadaan
mekanisasi +
kelompok tani

Penggunaan Pugam pada lahan gambut, khususnya di lokasi ICCTF Kalimantan


Tengah dan Kalimantan Barat, memberikan pendapatan bersih usahatani dalam jangka
pendek dan nilai opportunity cost yang cukup tinggi, sedangkan di Riau dalam jangka
pendek nilai tertinggi diperoleh dari pemberian amelioran pupuk kandang dan opportunity
cost amelioran pugam, walaupun nilai tersebut jauh di bawah Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Barat. Fakta di atas menunjukkan bahwa penggunaan Pugam pada lahan
gambut bersifat spesifik lokasi, sesuai dengan kondisi tanah gambut dan jenis komoditas
yang dikembangkan.

Penggunaan pupuk kandang sebagai amelioran pada lahan gambut sangat


menguntungkan, terutama di lokasi ICCTF Riau dan Kalimantan Tengah. Sebaliknya
penggunaan pupuk kandang di lokasi ICCTF Jambi dan Kalimantan Barat tampak tidak
konsisten dengan nilai simpangan baku yang tinggi dan rata-rata pendapatan bersih
usahatani yang relatif rendah. Penggunaan dolomit sebagai amelioran pada lahan gambut
di Kalimantan Barat masih belum konsisten atau beragam dimana nilai standar deviasi
pendapatan bersih usahataninya mencapai 90% lebih tinggi daripada nilai rata-rata.
Penggunaan amelioran lainnya, seperti kompos tankos masih belum memberikan hasil
yang memuaskan di mana pendapatan bersih usahataninya kurang dari Rp 1 juta/ha.

77
Mamat H.S. et al.

Jika penggunaan amelioran dan pupuk kandang dalam jangka panjang dapat
menghasilkan nilai opportunity cost yang tinggi berarti amelioran tersebut memberikan
nilai pendapatan yang baik dibandingkan dengan emisi CO 2 yang terjadi. Untuk itu
teknologi ini perlu dikembangkan pada tingkat lokal agar dapat memperoleh bahan
tersebut dengan mudah dan murah. Untuk kebutuhan pupuk kandang disarankan
pengembangan peternakan ayam dan pelatihan pembuatan pupuk kandang. Untuk pupuk
gambut disarankan lisensor teknologi pupuk gambut tersebut mengembangkan pabrik
pembuatannya di sentra-sentra gambut.

KESIMPULAN

Analisis usahatani terkait aplikasi amelioran menunjukkan bahwa pupuk kandang


dan pupuk gambut merupakan amelioran dengan nilai pendapatan bersih tertinggi.Dalam
upaya menurunkan emisi ternyata semua aplikasi amelioran di Jambi tidak bisa
menurunkan emisi, bahkan emsisi CO2 menjadi naik.Sedangkan perlakuan amelioran di
Riau menunjukkan bahwa aplikasi pupuk kandang yang paling efisien menurunkan
emisi.Disamping itu aplikasi amelioran di Riau relatif baik dalam menurunkan emisi.Hasil
analisis opportunity cost untuk semua model pengelolaan berkisar antara 12-332$US/t
CO2. Nilai tertinggi (332) yaitu pola usahatani tanaman karet dengan tanaman sela di
Kalimantan Tengah pada perlakuan pupuk gambut, artinya setiap kenaikan emisi 1 ton
CO2 akan menghasilkan pendapatan sebesar 332$US, dan seterusnya diikuti oleh
perlakuan pupuk kandang. Demikian juga di lokasi lain menunjukkan hasil yang beragam
berdasarkan pola usahatani maupun aplikasi ameliorasi. Khusus untuk lokasi Kalimantan
Barat dengan mengusahakan tanaman musiman yaitu jagung menunjukkan bahwa
perubahan tingkat emisi sebelum dan sesudah perlakuan relatif kecil, yaitu dari sekitar
3,94 ton CO2/ha/th menjadi 2,18 – 2,71 ton CO2/ha/th. Dengan emisi yang relatif rendah
tersebut, maka menghasilkan nilai opportunity cost yang relatif tinggi, yaitu masing-
masing 218, 175, dan 159 untuk kontrol cara petani, ameliorasi pupuk gambut, dan
dolomit.

Potensi usahatani berkelanjutan di lahan gambut terdegradasi yang didasarkan pada


nilai indeks keberlanjutan MDS di lokasi demplot menunjukkan bahwa lokasi Kalteng
cukup berkelanjutan (nilai indeks 66,69) dengan kontribusi 72,65; 68,11; dan 57,25
masing-masing untuk dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan/ekologi. Lokasi Riau
kurang berkelanjutan (nilai indeks 45,61) dengan kontribusi 27,81;65,74; dan 57,25
masing-masing untuk dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Lokasi Jambi cukup
berkelanjutan (nilai indeks 60,41) dengan kontribusi 54,27;80,36; dan 53,71 masing-
masing untuk dimensi social, ekonomi, dan lingkungan/ekologi. Lokasi Kalbar cukup

78
Potensi Usahatani Berkelanjutan di Lahan Gambut Terdegradasi

berkelanjutan (nilai indeks 57,40) dengan kontribusi 53,49;72,17; dan 54,94 masing-
masing untuk dimensi social, ekonomi, dan lingkungan.

Di lokasi demplot Kalteng, terdapat beberapa faktor yang sensitif mempengaruhi


indeks keberlanjutan usahatani di lahan gambut terdegradasi, yaitu intensitas penyuluhan
(dimensi sosial), kestabilan harga hasil petani pada saat panen, usahatani yang berorientasi
profit (dimensi ekonomi), fluktuasi debit air di lahan petani, perubahan tingkat
dekomposisi (dimensi lingkungan/ekologi). Lokasi Riau : cara membuka lahan/mengolah
tanah, potensi menerapkan teknologi pelestarian (dimensi sosial), tingkat keuntungan
usahatani (dimensi ekonomi), fluktuasi debit air, perubahan tingkat dekomposisi (dimensi
lingkungan/ekologi).Sedangkan untuk lokasi Jambi adalah persepsi masyarakat terhadap
pengelolaan gambut, kebersamaan kelompok tani (dimensi sosial), kestabilan harga jual
hasil petani pada saat panen (ekonomi).Agar model demplot yang diaplikasikan di lokasi
ICCTF diadopsi oleh petani sekitar lokasi demplot, maka atribut atau faktor yang sensitif
mempengaruhi keberlanjutan usahatani di lahan gambut terdegradasi harus direspon
dengan upaya-upaya yang diperlukan.

Terdapat beberapa opsi untuk memanfaatkan lahan gambut terdegradasi, dengan


mempertimbangkan manfaat ekonomi, dampak lingkungan khususnya emisi GRK,
pengaruh terhadap keanekaragaman hayati, manfaat sosial, pengaruh terhadap terjadinya
kebakaran, biaya investasi yang diperlukan serta jangka waktu yang diperlukan untuk
setiap opsi tersebut. Salah satu opsi tersebutadalah mengembangkan lahan gambut
terdegradasi menjadi lahan pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

Herman, F. Agus, I G.M. Subiksa, E. Runtunuwu, dan I. Las.2011. Analisis Keragaan


Usahatani dan Opportunity Cost Emisi CO2 Pertanian Lahan Gambut Kabupaten
Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Keraf, A.S. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Las, I. 2014. Rekomendasi Kebijakan Umum Pemanfaatan Lahan Gambut Terdegradasi.


Laporan Kerjasama Balitbangtan – ICCTF (Unpublished).

Setyanto, P., A. Wihardjaka, T. Soepiawati, T.A. Adriyani, A. Pramono, A. Hervani, dan


S. Wahyuni. 2014. Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut dan
Pemberian Amelioran. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian.

Wahyunto dan K. Nugroho. 2014. Gambaran Umum Lahan Gambut di Indonesia.


Makalah Kebijakan ICCTF. BBSDLP, Bogor (Unpublished).

79
5
INDONESIAN PEATLAND MAP: METHOD, CERTAINTY, AND
USES

PETA LAHAN GAMBUT INDONESIA: METODE PEMBUATAN, TINGKAT


KEYAKINAN, DAN PENGGUNAAN
Wahyunto, Kusumo Nugroho, Sofyan Ritung, Yiyi Sulaeman
Indonesian Center for Agricultural Land Resources Research and Development, Jalan Tentara
Pelajar No.12, Cimanggu, Bogor 16114.

Abstract. Peatland map has a strategic significance in agricultural


development planning, land conservation and calculating green house gas
(GHG) emissions. This study aims to improve the accuracy of the
Indonesian peatland map at scale 1:250.000 through an overlay of old
version peatland map (Wahyunto et al. (2003, 2004, 2006) with legacy soil
data and current soilsurveys data. Approximately 2,409 site observations
equipped with recording of geographical positioning System (GPS)
including peat thickness and peat maturity observations used in this study.
The main land cover types on peatland (such as: forest, oil palm, shrubs-
bush, annual agricultural crops, horticulture crops, tree crops/fruits and
paddy fields) were also mapped. The results showed that the latest
Indonesian peatlands based on legacy soil data resulted from soil survey
up to the year of 2011 was approximately 14.9 Mha, mainly distributed into
3 islands namely Sumatra, Kalimantan and Papua. A lot of decreasing
areas from the original estimate total of 20.6 Mha previous peatland area
during 9-year period (2002's to 2011), peatlands of Sumatra and
Kalimantan islands successively reduced approximately 0.7Mha and 1
Mha. While in Papua island peatland estimated was reduced about 4.4
million ha from the old estimate of 8 million ha, because the previous
estimate mostly based on analysis of satellite images with limited ground
truth data. By the support of 2,409 observation points the level of
confidence is much higher compared to the previous version. From the total
peatland area, a 2011 landsat TM imagery analysis showed that 7.8 M ha
(50.1%) is covered by forests, 1.56 M ha (10.5%) oil palm plantation, 0.79
M ha (5.7%) annual agricultural crops and 0.3 M ha (2.3%) paddy field.
Keywords: Peatland, updating, spatial distribution, accuracy, ground truth

Abstrak. Peta lahan gambut mempunyai arti sangat strategis dalam


perencanaan pembangunan pertanian, konservasi lahan dan perhitungan
emisi gas rumah kaca (GRK). Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan
keakuratan peta lahan gambut nasional Indonesia melalui overlay peta
lahan gambut Wahyunto et al., (2003, 2004, 2006) dengan data survei
terkini. Sekitar 2.409 titik pengamatan yang dilengkapi dengan posisi
geografis (GPS) dengan jenis pengamatan ketebalan dan kematangan

81
Wahyunto et al.

gambut digunakan dalam penelitian ini. Tipe penutupan lahan utama


(hutan, kelapa sawit, semak belukar, pertanian tanaman semusim,
hortikultura/ kebun campuran dan sawah) juga dipetakan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa luas lahan gambut Indonesia berdasarkan hasil
kombinasi analisis landsat TM dan data survei tanah sampai dengan tahun
2011 adalah sekitar 14,9 juta ha, tersebar di Sumatera, Kalimantan dan
Papua. Luas ini turun drastis dari perkiraan semula seluas 20,6 juta ha.
Lahan gambut di Pulau Sumatera dan Kalimantan berkurang sekitar 700
ribu sampai 1 juta ha. Sedangkan di Papua luasnya berkurang sekitar 4,4
juta ha dari 8 juta ha karena estimasi luasan yang terdahulu hanya
didasarkan hasil analisis citra satelit dan sedikit data verifikasi lapang
(ground truth). Peta yang terbaru ini mempunyai tingkat keyakinan yang
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan peta versi sebelumnya karena
ditunjang oleh 2.409 titik pengamatan. Dari luas total lahan gambut ini,
analisis citra Landsat tahun 2011 menunjukkan bahwa sekitar 7,8 juta ha
(50,1%) lahan ditutupi oleh hutan, 1,56 juta ha (10,5%) kelapa sawit , 0,79
juta ha (5,7%) pertanian tanaman semusim dan 0,3 juta ha (2,3%) sawah.
Kata kunci: Lahan gambut, pemutakhiran, sebaran, akurasi, titik observasi

I. INTRODUCTION

Peatland has a multifunctionality including water retention function, a niche for


peatland-specific biodiversity, and production of agricultural and forest commodities. Peat
stores carbon between 30 to 70 kg C/m3 or equivalent to 300 – 700 t C /ha per one meter
depth (Agus et al., 2009). Peatland in Indonesia stocks an average of about 30-40 Giga
ton C/ha (Wahyunto et al., 2005). Under natural forest, peat sequesters carbon and grows
between 0.5 to 1.0 mm per year, while drained peat emits carbon and subsides at the rate
of 1.5 – 3.0 cm per year. About 50% of the subsidence is attributable to oxidation (Wosten
et al., 1997). Since the subsidence rate is 15-30 times the rate of growth under the drained,
deforested and drained peats become a major source of green house gas emissions (Agus
and Subiksa, 2008).

Reducing emissions from peatland has been one of the main focus of Indonesian
Reducing Emissions from Deforestation and Degradation Program (REDD+). The closest
estimate of peatland area to the existing and real condition is essential as it avoids „hot air‟
of greenhouse gas (GHG) emissions from peat. Spatial distribution of peatland area
estimate has varied from 14 to 26 million ha since 1952 until present (Subagjo H, 2002
and Wahyunto et al., 2005). The estimate of 20.8 million ha (Mha) is one of the most
widely referred wide since it provide a digital shapefile data (Shp) that can be used for the
analysis of land use change trajectories. This peatland map was generated mostly based on
satellite data analysis up until 2002 acquisition dates, with limited ground verification
and input data is known to vary in quality. Since then updated by a number of field

82
Indonesian Peatland Map: Method, Certainty, and Uses

validation (ground truth) have been conducted and the number of observation points of
what was considered as peatland as of 2.409 site. These have increased our confidence in
the estimate of peatland area and our current best estimate is 14.9 Million ha with overall
accuracy 87,9% followed by Kappa coeficient 0,68. The main reduction, reaching 28,3%
from the earlier Indonesia Peatland of 20,8 Mha to the current as amount of 14,9 Mha.The
eirlier estimates for Papua was 7,8 Mha, to the current estimate as amount of 3,7 Mha,
where past soil survey was hindered by location remoteness. We still lack ground truth
data in the remote peatland areas and thus further refinement will be made as more soil
survey data are accumulated. This current estimate implies that past GHG analyses have
been inflated and using this current more robust estimate will form a more logical basis
for GHG emission reduction as well as sustainable peatland management plans.

II. MATERIALS AND METHOD

2.1. Soil survey and peatland mapping in Indonesia

In Indonesia, soil resources inventories have been conducted since 1905 by


ICALRD for various purposes (e.g agricultural planning, erosion hazard assessment, and
soil fertility monitoring). This has resulted in numerous soil survey reports and soil maps.
Soil survey reports commonly store soil profile descriptions, i.e soil morfology, and
selected basic physico-chemical properties (Yiyi Sulaeman et al., 2012).The entire
Indonesian land has been covered by a Exploration Soil Map at scale of 1:000.000
(CSAR, 2000). This maps has about 180 soil mapping units with 44 great groups from 8
orders of US Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1975). As of 2014, all of Indonesian soil
is covered by a 1:250.000 map (ICALRD Personal communication, 2014).

Henceforth, Indonesia has voluminous legacy soil data in form of legacy soil
observations ( in the form of soil profile, soil minipit, and/or soil laboratory analysis data)
and poligon data including legacy soil map with legends. Legacy soil data based, soil
map and field observations data resulted from soil surveys up to now have been used to
assess and update peatland distribution for the whole country. Old estimate spatial data of
peatland (Wahyunto et al., 2003, 2004 and 2005) were mostly based on satellite images
interpretation supported with land unit and soil maps (Center for Soil and Agroclimate
Research and Developmnet, 1999), including Land system maps (RePPPRoT, 1999) with
very limited ground data/field observations. Especially for Papua, where past soil survey
still lack ground truth data, because lack of accessibility. Therefore, field assessments are
required to identify and reclassify any sites that may have been misclassified during the
desktop analysis. A large number representative soil sampling and ground truth can

83
Wahyunto et al.

provide better estimates of any tipe of peatland, however, collecting field data can be time
consuming and costly .

Newer estimate of peatland areas was validation of peatland old map based on
ground truth (soil survey data) including legacy soil data. Gap still exist on areas with low
accessibility, and these areas are subject to further verification. Updating ICALRD
peatland map (Ritung et al., 2011), conducted by using the combination the result of
more recent soil surveys, legacy soil data and auxiliary information (e.g digital elevation
model, geology map, agroclimate map). Overlaying among“existing soil observation
maps the result of soil surveys” with “old version of peatmap” and “latest satellite images
acquisitions dates” may help in priotizing next soil observations and soil samplings
strategy. The next soil (peat) observations can be directed to the site/area that low
reliability and no soil observations yet. If planned soil observations cannot be observed
due to several reasons, then soil observations may be selected based on priority level. The
high priority is site with low or lack information on peat characteristics. Spatial and
atribute data were used to generate and upadte peatland maps is presented in Figure 1 and
formula to evaluate accuracy assessment peatland mapping are as follows.

Figure 1. Flow chart for generating and updating peatland maps

84
Indonesian Peatland Map: Method, Certainty, and Uses

Formula for accuracy assessment of updating peatland map


Overall Accuracy = Xii/N
Where: Xii = total true classes of site sampel at diagonal of confussion matrix table
= total number of site samples in confusion matric

I I
Kappa Coef = N ∑ Xii - ∑ X i + Xi+i
i=1 i=1
____________________ ................................................................... (1)
I
N2- ∑ X i + Xi+i
I=1

Kappa Coefficient = 0,68


Where:

N = Total number of site samples in confusion matrix

Xii = Total true classes of site sample at diagonal of confussion matrix table

Xi+ = Total site sample in the row for all column

X+i = Total site sample in the column for all row

2.2. Updating peatland spatial distribution

Updated peatland mapping conducted by means a GIS methodology approach that


integrates: legacy soil data, satellite images data and field validation (ground truth)to
reach more accurately mapping of peatland. This task consisted of four activities: (1) desk
study on legacy soil data base and soil mapping (2) search and explore the information
from satellite images data, that having relation with spatial distribution of peatland; (3)
data integration of selected legacy soil data, existing peatland map, spatial based
information of satellite data (4) field validation/ground truth including field data
collection and (4) generate updating peatland map.

For practical application of the legacy soil profile observations could also be used
as a benchmark for soil properties monitoring and assessment purposes. Armed with
global positioning system (GPS) receiver, map and assisted by Google Map that informs
direction to location from a given landmark. Soil profile observations and soil samples
may re-taken at same location. Then, measured soil properties data can be compared with
previous one. As a result, the extent of existing peatland, soil properties change (peat
thickness, peat maturity etc) can be determined. This technique can be exercised for others

85
Wahyunto et al.

legacy soil profiles data. Hence, existing peatland and soil properties change can be
mapped easily by interpolation techniques.

III. RESULTS AND DISCUSSION

3.1. Current soil surveys and mappings and future directions

Up to now,conventionally soil surveys and mapping, including peatlands mapping,


conducted by exploring and observing of soil properties and the surrounding environment
is done with reference to the existing accessibility, where the observations were made
through the road that have been there, either by car, boat, bike or on foot. When necessary,
making transect along forested and/or bushed land to reach the representitive sampling
site for soil observations. Thus surveying and mapping peatlands, for areas that are
relatively close to the road assess or river, soil profile information (including peat
thickness and its peat maturity) will be available in more detail and a higher level of
reliability. In areas away from roads and rivers more over still a natural forest or bushe
shrub and there is no access, will be very limited information and low reliability, and
mostly based on the results of satellite image analysis and synthesis of ancilary data/maps
(ie. soil maps, geology maps, topographic maps, etc).

Firstly,soil survey and mapping including peatland inventory, conducted by ground


base method with grid system, which make observations of soil properties at each the
same distance in a point/particular site, it is called transect line. Mapping peatlands by
means ground base methods will take a long time, difficult and costly. However, until now
there is no an existing accurate technology yet, for inventory and verify distribution and
peatland area. Field observation data (resulted from ground observation) or data derived
from the soil profile and accumulated on legacy soil data is absolutely needed. More
intensive field observations (ground truth) will be more detailed/accurate information for
mapping. Field observation data (ground truth), although costly/expensive and exhausting,
do not have a replacement. Without soil observation and ground truth,will produce un-
certainly of peatland map with low accuracy.

The benefit of new and advances on remote sensing and GIS including geo-spatial
technologies by means physiographic approach, the intensity of the field observations
(ground truth) can be reduced, limited to representative areas, but it is still absolutely
necessary. Thus, the combination of digital technology, geo-spatial and land surveying
"ground-based method" is the way forward to be implemented for land resource inventory
includes peatland mapping. Center for Agricultural Land Resources Research and
Dvelopment (ICALRD) conducted peatland maps of Sumatra, Kalimantan and Papua

86
Indonesian Peatland Map: Method, Certainty, and Uses

islands by means of updating peatland maps issue by Wetland International Program


(Wahyunto et al., 2003, 2004 and 2005) by means of Remote sensing and GIS approaches
supported with ancillary spatial data. Spatial data were used to update spatial information
of peatland these are legacy soil data, soil maps results of previous survey and mapping
up to 2011. Proposed geo-information based for peatland mapping presented in Figure 2.

The results of the extent of peatland, including soil properties development is


presenting in the figure 3 and 4.

Figure 2. Flow chart on Peatland mapping In Indonesia.

87
Wahyunto et al.

Figure 3. Peatland change estimation in 2002-2011 resulted form updating peatland


mapping for Sumatera Island

Figure 4. Peatland change estimation in 2002-2011 resulted form updating peatland


mapping for Kalimantan Islands

88
Indonesian Peatland Map: Method, Certainty, and Uses

3.2. The Latest Spatial Data of Peatland in Indonesia

The latest spatial data of peatland in Indonesia was about of 14.9 M ha. The most
extensive peatland found in 3 islands, namely Sumatra, follo wed by Kalimantan, and
Papua (Irian Jaya). Spatial distribution of peatland is presented in Table 1 and Figure 5.
In Sumatra, the widest peat are developedalong east coast including Riau, South Sumatra,
Jambi and Aceh provinces. In the west coast of Sumatra peatland are situated in West
Sumatra province (Pesisir Selatan district) and Bengkulu province (Muko-muko district).

In Kalimantan wide spread peat situated along west coast West Kalimantan
province, especially in Pontianak/Kubu raya, Ketapang and Sambas District. Inland peat,
are found in a swampy area at the upper Kapuas River basin (Kapuas Hulu District). At
the south coastal area, peatland situated in the South Kalimantan and Central Kalimantan
provinces, there are a vast peat among Sebangau, Kahayan, Kapuas and Barito rivers. In
the East Kalimantan province, a quite wide peatland is situated in the backswamp of
upper Mahakam river basin, northwest of Samarinda). Most of the coastal plain in the
form of peat, spread over the coastal plain west of Tarakan, Bulungan/Nunukan district.

In Papua, peatland are widely found along the south coastal plain of Agats, Mappi,
Mimika and a part of Fak-fak districts and peatland also found at swampy areas of Nabire
and Paniai districts, coastal marshes and plains east of the city of Nabire, Paniai district.
Fresh water peatland are found at backswamp of the middle Mamberamo river basin with
altitude of about 100 m above sea level.
Table 1. The latest spatial data of peatland in Indonesia
Agreage
Province/ Island
Hectares Percentage
Aceh 215,704 3.35
North Sumatera 261,234 4.06
West Sumatera 100,687 1.56
Riau 3,867,413 60.08
Riau islands 8,186 0.13
Jambi 621,089 9.65
Bengkulu 8,052 0.13
South Sumatera 1,262,385 19.61
Bangka Belitung 42,568 0.66
Lampung 49,331 0.77
SUMATERA 6,436,649 100.00
West Kalimantan 1,680,135 35.16
Central Kalimantan 2,659,234 55.66
South Kalimantan 106,271 2.22
East kalimantan 332,265 6.96
KALIMANTAN 4,777,905 100.00
Papua 2,644,438 71,65

89
Wahyunto et al.

Agreage
Province/ Island
Hectares Percentage
West Papua 1,046,483 28,35
PAPUA 3,690,921 100,00
TOTAL 14,905,475 100,00
Source: Ritung et al., 2011 (Modified)

Figure 5. Peatland map of Indonesia (modified from Ritung et al., 2011)

3.3. Existing landuse/land cover on peatland

To explore the existing and present landuse/land cover on peatland was conducted
by overlaying both map at 1:250.000 scale of latest peatland map (Ritung et al., 2011)
and land use (also called land cover map) (Ministry of Forestry, 2011). Landuse map was
generated based on satellite images analysis of 2010-2011 acquistion dates. Landuse/on
peatland is presented in Table 2.

Peatland in three large islands of Indonesia which still covered by: (i) forested
areas (mangrove, swamp forest, and plantation forest ) as amounts of 7,7 Mha or 52% of
Indonesia peatland, (ii) amounts of 3,23 Mha (21.7%) covered by bushes,(iii) other
peatland has been used for agriculture and settlements. In Sumatra, which is still
dominated by peatland forest areas and bushes as amounts of 2,352,342 ha (32.6%) and
1,526,825 ha (23.7%) respectively. Peatland was used for plantation, annual crops and
vegetables farming, and paddy field are:as amounts of 1,26 Mha (19.6%); 0,499 Mha
(7.4%) and 0,212 Mha (3.3%). The other peatland was used for settlements as amounts of
40 199 ha (0.6%).

In Kalimantan, peatland which is still dominated forest areas (mangrove, peat


forest, forest plantation and bushes as amounts of 2,402,362 ha (49.9%) and 1,373,563 ha

90
Indonesian Peatland Map: Method, Certainty, and Uses

(28.6%) repectively. Mangrove forests, peat swamps are generally found on the west
coast, the south coast and the east coast (down stream of Mahakam and Sesayap rivers)
East Kalimantan. Peatland was used for agriculture these are: plantation, farmland (food
and horticulture crops) and paddy field are as amounts of 298 156ha (6.2%), 255 835 ha
(5.3%) and 127 781ha (2.7%) respectively. Peatland has been used for settlement as
amounts of 20,966 ha (0.6%).

In Papua peatlands are still dominated forest (mangrove and swampy forest) and
bushes as amounts of 2,98 Mha (81.5%) and 0,33 Mha (9.2%). Papua peatlands,
especially on the south coast of Papua and surrounding Mamberamo river basin been
used for farming, farmland (food and horticulture) and paddy field both mostly as
amounts of 26 933 ha (0.7%).
Tabel 2. Landuse/land cover on peatland for Sumatra, Kalimantan and Papua Islands, Indonesia
Landuse/ Sumatera Kalimantan Papua Grand Total
Land cover ha % ha % ha % ha %
Primary mangrove
1,147 0.0 1,801 0.0 229,206 6.3 232,154 1.6
Forest
Secondary mangrove
29,909 0.5 10,024 0.2 48,868 1.3 88,802 0.6
forest
Primary swamp forest 255,051 4.0 53,254 1.1 2,228,114 60.8 2,536,424 17.0
Secondary swamp forest 1,324,743 20.6 2,182,402 48.6 481,091 13.1 4,143,044 27.8
Forest plantation 741,499 11.5 148 0.0 453 0.0 742,113 5.0
Shurbs and bushes 233,282 3.6 80,566 1.7 88,496 2.4 402,349 2.7
Bushes 1,293,543 20.1 1,293,097 26.9 249,533 6.8 2,836,221 19.0
Plantation 1,262,530 19.6 298,156 6.2 1,723 0.0 1,562,436 10.5
Settlements 40,199 0.6 20,966 0.4 3,586 0.1 64,752 0.4
Bare lands 378,551 5.9 187,447 3.9 13,905 0.4 579,913 3.9
Mining - 0.0 2,065 0.0 495 0.0 2,560 0.0
Cloud cover 1,275 0.0 - - 2,882 0.1 4,157 0.0
Savana 89,143 1.4 2 - 66,921 1.8 156,068 1.0
Water body 5,043 0.1 5,466 0.1 73,205 2.0 83,714 0.6
Swampy areas 50.457 0.8 128,972 2.7 150,793 4.1 330,225 2.2
Annual Agric. Crops 237,937 3.7 81,045 1.7 4,481 0.1 323,469 2.2
Mixed graden (tree crops) 261,882 4.1 174,790 3.6 20,185 0.6 456,864 3.1
Paddy field 212,690 3.3 127,781 2.7 644 0.0 341,122 2.3
Fish pond 14,529 0.2 133 0.0 139 0.0 14,801 0.1
Air port/sea port 106 0.0 - - 94 0.0 201 0.0
Transmigration 147,920 2,3 2,253 0.0 2,129 0.1 4,383 0.0
GRAND TOTAL 6,551,557 100.0 4,687,075 100.0 3,666,946 100.0 14,905,872 100.0
Sources: Peatland map (Ritung et al., 2011); landusemap (Ministry of Forestry, 2011)

3.4. Accuracy assessment of peatland map and its landuse/land cover

Accuracy assessment of peatland map at scale of 1: 250,000 were evaluated to test


the accuracy of peatland spatial distribution and its existing land use/landcover. In

91
Wahyunto et al.

conjuction with it, test the accuracy of peatland map was s based on class type of
landuse/land cover on peatland. Focus accuracy testing performed on peatland areas with
class landuse/land cover these are: forested, shurbs and bushes, plantations, annual
agricultural crops, mixed garden/tree crops, and paddy fields.

The accuracy or uncertainties include some errors known and unknown, variation
or ambiguity in the database and decision-making rules. Dempster-Shaffer Theory (DST)
is designed to cope with varying degrees of accuracy in determining the information that
there are built using various assumptions. DST also take into account about the
"uncertainty" of the system to respond to the information that is less clear. Each source
(such as imagery, maps and field data/ground truth) is considered a proof (evidence) the
existence of a fact. Confusion matrix was made to compare the class that is considered
correct/right with the class the results super-imposed multiple layers of data and analysis
are automatically processed in a computer (digital analysis) (Also calculated by the
method of approach "discrete multivariate technique called "Kappa analysis" used in the
Kappa statistic to measure the suitability/accuracy (agreement) with the reference data are
considered true (Cohen, 1960; Curran 1986; Skidmore, 1999). If Kappa coefficient value
is 1orclose to 1it is assumed that the level of precision/accuracy is also high between
classes of data analysis results with benchmark/reference data (De Wit and Clever, 2004).
The data used for reference are considered true in this assessment is the result of field
observation data (ground truth).

Accuracy assessment of agricultural landuse/land cover detection was performed


using ground control points (GCP) of ground truth as a results of Global Positioning
System (GPS) measurements during field validations at the site of field validation for
each class of landuse/land cover on peatland. Two thousands four hundred and nine
(2.409) site observation (ground truth) well scattered validation GCP‟s were randomly
selected for validating the accuracy spatial distribution of any tipe landuse/land cover
classification on peatland.

Determination of overall accuracy using equation1, where the results of the


classification results of spatial data processing with the approach of GIS for each class
divided into two groups: the producer's accuracy and user‟s accuracy. Producer's accuracy
indicate show the training site of a classis classified. While user's accuracy indicates the
probability of a training site is classified into a particular class representing the existing
class in the field, in other words, is the difference between class results of GIS
classification and existing or actual class in the field (Lillesand et al., 2004). Besides the
producer's accuracy and user's accuracy, accuracy digital spatial data classification results
are also determined and declared by the Kappa Coefficient, whichit presented inequations

92
Indonesian Peatland Map: Method, Certainty, and Uses

1 and 2 (Jensen, 1966; Richard and Jia, 2006). Error Matrix showing percentage
correspondence of validation points with Geographic Information System (GIS) analysis
classified of 2011 peatland map and ground validation during 2012-2014 presented in
Table 3. Table 3 shows that estimated overall accuracy for peatland map (Ritung et al.,
2011) is 87,96% with Kappa Coefficient 0,68.

Table 3. Error Matrix showing percentage correspondence of validation points with Geographic
Information System (GIS) analysis classified of 2011 peatland map and ground validation during
2012-2013

Landuse/land cover field verification through Landuse/land cover on peat land Total total Overall Agree-
No. on peatland based 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 site Omission Accura- ment -1
on GIS analysis Rubber an.crop paddy f pineap Tree cr Oilplm Bush Setlm cconut Horti Frspltn Forest shurbs Site cy (%) (%)
1 Rubber 581 31 22 2 8 644 63 90,2
2 Annual crops 2 215 11 9 3 3 243 28 88,5
3 Paddy field 7 52 4 2 1 66 14 78,8
4 Pineapple 41 3 8 52 3 94,2
5 Bushes 11 3 1 363 42 2 2 424 61 85,6
6 Oilpalm 11 4 2 344 12 3 376 29 92,3
7 Tree crops (Fruits) 25 3 6 21 223 1 279 31 88,9
8 Settlements 2 10 86 1 99 13 86,9
9 Coconut 5 45 50 0 100,0
10 Horticulture 7 65 72 0 100,0
11 Forest plantation 8 8 0 100,0
12 Forested areas 42 42 0 100,0
13 Shurbs (Fen) 54 54 0 100,0
Total site 630 241 64 49 446 366 238 136 47 68 8 42 74 2409 242 87,9618
Total Comission (site) 24 19 12 8 78 22 15 50 2 3 0 0 0 233
Agreement-2 (%) 96,2 92,1 81,3 83,7 82,5 94,0 93,7 63,2 95,7 95,6 100,0 100,0 100,0

Note : Agreement-1 (%) = producer‟s accuracy:indicates how the training site of a classis

Classified :

Agreement-2 (%) = User‟s accuracy: indicates the probability of a training site is


classified into a particular class representing the actual class in the field

Overall Accuracy (%) = 581+215+52+41+363+344+223+86+45+65+8+42+54x 100% (1)


2409
= 87,96%
Kappa Coefficient =0,68

93
Wahyunto et al.

IV. CONCLUSIONS

By applying of remote sensing, GIS technogies and soil survey data up to the year
2011 as well as legacy data, we have updated the peatland map. The latest and most
reliable estimate of Indonesian peatland area is about of 14.85 Mha, mainly distributed in
Sumatra, Kalimantan and Papua. This is a dynamic the data, especially for the remote
areas of Papua where ground truth data are scanty. This newly produced maps have been
used for nationally/locally appropriate mitigation actions (RAN/RAD-GRK).

This research has shown the benefits of combining soil survey and remote sensing
satellite images in the GIS technique for generating and updating peatland maps.

Field verification (ground truthing) has no substitute in data accuracy while the
remote sensing technique increase the speed of mapping. The estimated overall accuracy
of our peatland map is about 88% with Kappa coeffisient of 0,68. Ground survey for areas
in Papua will increase the map accuracy.

REFERENCES

Agus F., I G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek
Lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Bogor.
Agus, F., E.Runtunuwu, T. June, E.Susanti, H. Komara, H. Syahabudin, I. Las and M.van
Noorwijk. 2009. Carbon budget in landuse transitions plantation. Indonesian
Agricultural Research and Development Development Journal. 29(4):119-126.
Center for Soil and Agroclimate Research. 2000. Indonesian Soil Exploration Maps at
scale 1:1.000.000 Maps. Center For Soil and Agroclimate Research. , AARD.
Bogor.
Cohen,J.1960. A Coefficient of Agreement nominal scales.Educational and psychological
measurement, 20 (1), 37-46.
Jensen, J.R.1966. Introductory to Digital Image Processing: An Introductory Perspective
(second edition). Prentice-Hall, Inc., Upper Saddle River. New Yersey.
Kementerian Kehutanan. 2011. Penutupan Lahan di Indonesia. Kementerian Kehutanan.
Jakarta.
Lillesand T.M. and R.W.Keifer and J. W. Chipman.2004. Remote Sensing and Image
Interpretation (Fifth Edition). John Willey and Sons. New York.
Center for Soil and Agroclimate Research and Development (CSARD). 2000. Atlas
Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, skala 1:1.000.000. Puslitbangtanak,
Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Richard, J.A. and Jia, X. 2006.Remote Sensing Digital Image Analysis: An Introduction
(Fourth Edition). Springer-Verleg.Berlin.

94
Indonesian Peatland Map: Method, Certainty, and Uses

Kementerian Kehutanan. 2011. Penutupan Lahan di Indonesia. Kementerian Kehutanan.


Jakarta.
LREP-I (Land Resources Evaluation and Planning Project). 1987-1991. Maps and
Explanatory Booklet of the Land Unit and Soil map. All Sheet of Sumatra.
Center For Soil Research, AARD. Bogor.
Regional Physical Planning Project for Transmigration (RePPPRoT). 1989. Land Unit and
Land Status Maps at Scale of 1:250.000. All Sheet of Indonesia. Direktorat Bina
Program Departemen Transmigrasi. Jakarta.
Ritung, S., Wahyunto, Nugroho, K., Sukarman, Hikmatullah, Suparto, Tafakresnanto, C.
2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000 (Indonesian peatland map
at the scale 1:250,000). Indonesian Center for Agricultural Land Resources
Research and Development, Bogor, Indonesia.
Skidmore,A.K. 1999. Accuracy Assessment of Spatial Information. In : A.Stein F., van
der Meer and B. Gorte (editors), Spatial Statistics for Remote sensing. Kluwer
Academic Publisher, Netherlands, 197-209.
Soil Survey Staff.1975. Key to Soil Taxonomy. United States Development of
Agriculture. Cornel University, USA.
Subagyo H..2002.Penyebaran dan potensi tanah gambut di Indonesia untuk
pengembangan pertanian. Prosiding Lokakarya : Kajian dan sebaran gambut di
Indonesia. Di Bogor 25 Oktober 2002. Wetland International Program. Bogor-
Indonesia hal 197 -227.
Wahyunto, Suparto, B. Heryanto, ad H. Bekti. 2006. Sebaran lahan gambut, luas dan
cadangan C bawah permukaan di Papua (Peatland distribution, area extent, and C
stock of peat in Papua). Wetland Int‟l – Indonesia Programme. Bogor, Indonesia.
Wahyunto, Sofyan Ritung, Suparto dan H. Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan
Kandungan karbon di Sumatera dan Kalimantan. Wetland International
Indonesian Programme. Jalan Ahmad Yani 53. Bogor.
Wahyunto, S. Ritung, Suparto, and H. Subagjo.2004. Map of peatland distribution and its
C content in Kalimantan. Wetland Int‟l – Indonesia Programme and Wildlife
Habitat Canada. Bogor, Indonesia.
Wahyunto, S. Ritung, Suparto, and H. Subagjo.2003. Map of peatland distribution and its
C content in Sumatera. Wetland Int‟l – Indonesia Programme and Wildlife
Habitat Canada. Bogor, Indonesia.
Wosten, J.H.M., Ismail, A.B., and van Wijk, A.L.M.1997. Peat subsidence and its
prcatical implications: a case study in Malaysia. Geoderma 78:25-36.
Yiyi Sulaeman, Any Mulyani, Wahyunto and Muhrizal Sarwani. 2012. Mapping Soil
Depth Characteristic Using Digital Soil mapping Technique to Monitor land
Degradation. Presented on the Scientific Workshop on Sustainable Management
to Enchance Food Production of APEC Members, Chiang mai, Taliand, 28-30
November 2012.

95
Wahyunto et al.

Curran, P.J. and Williamson, H.D. 1986. Sample size for ground and remotely sensed
data. Remote Sensing Environment, 20 :31-41.
De wit a.j. and Clevers JGPW. 2004. Efficiency and accuracy of per field classification
for operational crop mapping. International Journal of Remote Sensing 68 (11):
1155-1161.

96
6
VARIASI TEMPORAL DAN SPASIAL TINGGI MUKA AIR
TANAH GAMBUT LOKASI DEMPLOT ICCTF JABIREN,
KALIMANTAN TENGAH
TEMPORAL AND SPATIAL VARIATION OF PEAT WATER TABLE AT JABIREN
ICCTF DEMONSTRATION PLOT, CENTRAL KALIMANTAN
Hendri Sosiawan, Budi Kartiwa, Wahyu Tri Nugroho, Haris Syahbuddin
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Jl. Tentara Pelajar No.1A, PO Box 830, Bogor 16111.

Abstrak. Sebagai ekosistem lahan rawa, keberadaan air pada lahan gambut
sangat dipengaruhi oleh adanya hujan dan pasang surut sungai. Dengan
demikian peranan sungai dan atau saluran pada lahan gambut yang
dibudidayakan untuk pertanian menjadi sangat penting terutama untuk
menjaga fluktuasi muka air lahan gambut yang optimal untuk budidaya
tanaman. Demplot ICCTF di Kecamatan Jabiren, Kabupaten Pulang Pisau,
Provinsi Kalimantan Tengah merupakan lahan gambut yang dibudidayakan
masyarakat untuk tanaman karet yang terletak diantara Sungai Jabiren dan
saluran tersier. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fuktuasi muka air
lahan gambut baik secara temporal maupun spasial. Untuk mencapai tujuan
tersebut telah dilakukan serangkaian kegiatan meliputi: survei topografi,
instalasi alat pengamatan muka air lahan dan saluran berupa piezometer dan
rambu ukur, serta pengamatan elevasi muka. Survey topografi bertujuan
untuk memetakan elevasi lahan, posisi dan elevasi alat pengamatan muka
air lahan dan saluran, serta posisi bangunan air. Dinamika spasial elevasi
muka air pada piezometer diamati melalui pengamatan secara manual,
sedangkan dinamika temporal elevasi muka air pada saluran inlet dan outlet
diamati secara otomatik menggunakan logger. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa secara temporal elevasi muka air di lahan mempunyai
kecenderungan pergerakan fluktuasi muka air tanah yang relatif sama
mengikuti elevasi muka air sungai dan saluran tersier. Variasi spasial
elevasi muka air menunjukkan bahwa semakin jauh posisi piezometer dari
saluran, elevasi muka air tanah semakin tinggi. Hidrotopografi lahan
menunjukkan bahwa pola elevasi muka air tanah membentuk pola seperti
kubah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa lahan gambut demplot
penelitian ICCTF Jabiren yang mulai dibudidayakan untuk tanaman karet
pada tahun 2006 belum mengalami pengamblesan (subsidence) yang
signifikan. Hasil penelitian menunjukkan juga bahwa dinamika temporal
elevasi muka air pada lahan sangat dipengaruhi oleh pola perubahan elevasi
muka air saluran inlet, dan tidak dipengaruhi oleh pola perubahan elevasi
muka air saluran outlet. Untuk mempertahankan kedalaman air tanah pada
kisaran optimal maka pintu air pada saluran tersier harus difungsikan
dengan baik sehingga ketinggian muka air di saluran tersier tidak fluktuatif.
Demikian juga untuk saluran sekunder yang saat ini berfungsi juga sebagai
sarana transportasi diupayakan dipasang pintu tabat di bagian hilir terutama
pada malam hari sehingga durasi tinggi muka air optimal pada saluran akan

97
Hendri Sosiawan et al.

bertahan lebih lama dan pada akhirnya berpengaruh positif pada muka air di
lahan.
Kata kunci: Variasi temporal dan spasial, elevasi muka air tanah, lahan
gambut.
Abstract. As the swamp ecosystem, the presence of water in the peat is
strongly influenced by the characteristic of rain and river tide. Thus the
role of rivers and canals in cultivated peatlands is especially important to
maintain the optimal water level fluctuations for crops. Demplot ICCTF in
Jabiren, Pulang Pisau District, Central Kalimantan peat land was
cultivated for rubber plant community, located beetwen the river Jabiren
(secondary canal) and tertiary canal. The objective is to determine the
peatland water level fluctuations both temporally and spatially. To achieve
this objective, these activities have been implemented i.e: topographic
survey, installation of piezometer and staff gauge, and water level
observation. Topographic survey has been carried out to map land
elevation, position and elevation of water level observation device and
water infrastucture. Observation of the spatial dynamics of ground water
level was done manually, and the temporal dynamic of water level in canal
inlet and outlet observed automatically using loggers. Results shows that
the ground water level fluctuations have a simillar tendency with water
level of the river and tertiary canal. Spatial variation of ground water level
elevation showsthat the highest ground water level was the farthermost of
piezometer from the canal or river. Hydrotopograpy land shows that the
pattern of ground water level pattern like a dome. This indicates that the
peatland of Jabiren ICCTF research demonstration plot that began to be
cultivated for rubber plant in 2006 has not experienced subsidence
significantly. Result shows also that temporal fluctuation of ground water
level was strongly influenced by pattern fluctuation of water level
ofsecondary canal inlet but it was not influenced by secondary canal outlet.
The tertiary canals flapegates must be funtioned well in orer to maintain
the optimal depth of ground water as water level does not fluctuate. The
secondary channel as serves as a transport services must be temporary
installed by flapegate at downstream so that the duration of the water level
in the channel will last longer and ultimately affect positive on the water
level in the cultivated land.
Key words: Temporal and spatial variations, ground water surface
elevation, peatland

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 14,9
juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP,
2008). Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut,
kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal

98
Variasi Temporal dan Spasial Tinggi Muka Air Tanah Gambut

pertanian. Dari 18,3 juta ha lahan gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6
juta ha yang layak untuk pertanian.

Sebagian besar lahan gambut masih berupa tutupan hutan dan menjadi habitat bagi
berbagai spesies fauna dan tanaman langka. Lebih penting lagi, lahan gambut menyimpan
karbon (C) dalam jumlah besar. Gambut juga mempunyai daya menahan air yang tinggi
sehingga berfungsi sebagai penyangga hidrologi areal sekelilingnya. Konversi lahan
gambut akan mengganggu semua fungsi ekosistem lahan gambut tersebut.

Perluasan pemanfaatan lahan gambut meningkat pesat di beberapa propinsi yang


memiliki areal gambut luas, seperti Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Antara tahun 1982 sampai 2007 telah dikonversi seluas 1,83 juta ha atau 57% dari luas
total hutan gambut seluas 3,2 juta ha di Provinsi Riau. Laju konversi lahan gambut
cenderung meningkat dengan cepat, sedangkan untuk lahan non gambut peningkatannya
relatif lebih lambat (WWF, 2008).

Ekosistem lahan gambut sangat penting dalam sistem hidrologi kawasan hilir suatu
DAS karena mampu menyerap air sampai 13 kali lipat dari bobotnya. Selain itu, kawasan
gambut juga merupakan penyimpan cadangan karbon yang sangat besar, baik di atas
maupun di bawah permukaan tanah.

Selain kesuburan tanah yang rendah, tingkat kemasaman tanah yang tinggi dan
sifat gambut yang mengering tidak balik(irreversible) permasalahan lahan gambut yang
sangat penting adalah drainase yang buruk, sehingga pengelolaan air terutama untuk
menjaga fluktuasi muka air tanah menjadi sangat penting dilakukan pada lahan gambut
apabila digunakan untuk pertanian. MenurutGrayson et al. 2010; Faubert et al. 2010
dalam Runtunuwu 2013, ada tidaknya tanaman pada lahan menunjukkan pengaruh yang
berbeda terhadap respon tinggi muka air terhadap hujan.

Sebagai salah satu jenis lahan rawa, keberadaan air di lahan gambut sangat
dipengaruhi oleh adanya hujan dan pasang surut/luapan air sungai. Tingkah laku dari
keduanya akan berpengaruh terhadap tinggi dan lama genangan air di lahan gambut dan
pada akhirnya akan berpengaruh terhadap tingkat kesuburan lahan serta pola budidaya
tanaman yang akan diterapkan di atasnya.

Menurut Widjaja Adhi et al, pengelolaan air di lahan gambut lebih sulit dilakukan,
karena gambut memiliki konduktivitas hidrolik horizontal tinggi. Namun demikian
pengelolaan air harus tetap dilakukan manakala lahan gambut tersebut digunakan sebagai
lahan budidaya. Prinsip pengelolaan air di lahan gambut adalah mengatur permukaan air
tanah agar tanah tidak terlalu jenuh air dan tidak terlalu kering untuk menghindari gambut
mengering tidak balik. Berkaitan dengan hal tersebut fluktuasi tinggi muka air pada lahan
gambut perlu tetap dipertahankan secara optimal disesuaikan dengan jenis tanaman yang

99
Hendri Sosiawan et al.

dibudidayakan. Secara umum tinggi muka air pada lahan gambut sebaiknya untuk
budidaya tanaman pangan kecuali padi adalah berkisar 20 cm, sedangkan untuk tanaman
tahunan berkisar 40 - 60 cm dari permukaan tanah. Dengan menerapkan teknologi
pengelolaan air yang tepat terutama untuk menjaga fluktuasi tinggi muka air tanah yang
optimal maka dampak negatif pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dapat direduksi
seminimal mungkin. Tulisan ini membahas dinamika tinggi muka air lahan gambut
ditinjau dari keragaman antar tempat (spasial) dan keragaman antar waktu (temporal)
pada demplot penelitian ICCTF lokasi Jabiren, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan
Tengah.

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan mulai Januari 2013 sampai dengan Mei2014pada demplot


ICCTF Jabiren, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Lokasi tersebut dipilih
sebagai demplot penelitian karena merupakan representasi lahan gambut dalam dengan
tingkat kematangan hemik - saprik yang dibudidayakan untuk tanaman tahunan. Tanaman
yang dibudidayakan oleh masyarakat di lokasi penelitian adalah karet.

Bahan dan Peralatan

Data yang digunakan sebagai bahan analisis diperoleh dari data pengamatan tinggi
muka air tanah periode bulan Juni – Desember 2013 yang merepresentasikan kondisi
tinggi muka air tanah musim kemarau dan musim hujan. Bahan yang digunakan meliputi :
data iklim, data tinggi muka air saluran dan lahan, data topografi, data citra satelit, Peta
Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000.

Peralatan yang digunakan adalah Total Station (TS) untuk pemetaan topografi
lahan gambut terutama elevasi titik lokasi instalasi piezometer, inlet, outlet, dan referensi
lainya;GlobalPosition System (GPS) Geodetik untuk memetakan posisi geografis dan
beda tinggi secara global lokasi demplot dan sungai utama disekitar lokasi yang
mempengaruhi fluktuasi muka air tanah pada lahan gambut demplot penelitian; Water
Level Logger untuk mengukur dan mencatat secara otomatis fluktuasi muka air tanah
antara lahan, inlet dan outlet secara berkala (6 menitan); Piezometer untuk mengamati
fluktuasi muka air tanah yang diinstal membentuk pola 8 penjuru mata angin, pada poros
utama yang menghubungkan antara 2 saluaran tersier atau kuarter; Rambu ukur (staff
gauge) digunakan untuk mengukur flukstuasi tinggi muka air di sungai dan atau

100
Variasi Temporal dan Spasial Tinggi Muka Air Tanah Gambut

parit/saluran inlet dan outlet dan GPS Navigasi untuk menentukan posisi geografis
beberapa titik referensi yang diperlukan.

Survei Topografi

Survei topografi dilakukan untuk memetakan kontur/beda tinggi lahan dan


mengidentifikasi elevasi titik referensi yang diperlukan yaitu elevasi inlet saluran/parit
dan atau sungai, elevasi pintu air yang dinstal, elevasi rambu ukur, elevasi lahan, elevasi
piezometer, serta elevasi titik outlet saluran/parit. Untuk mendukung kegiatan tersebut
digunakan Total stationdan GPS Geodetik (Gambar 1).

Gambar 1. Pemetaan kontur lahan menggunakan Total Station dan GPS Geodetik

Pengamatan Dinamika Elevasi Muka Air

Pengamatan dinamika elevasi muka air antara lahan, titik inlet, titik oulet dan
lokasi lain yang mempengaruhi pergerakan muka air dilakukan dengan pemasangan piezo
meter dan rambu ukur yang diamati secara periodik dengan penyebaran mengikuti desain
pengamatan dinamika elevasi muka air yang mencerminkan karakteristik hidrologi dan
kondisi tata air mikro lahan setiap petak percobaan (Gambar 2). Pada petak percobaan
seluas 5 ha, dipasang sebanyak 28 piezometer terdiri dari 20 piezometer yang dipasang
membentuk pola 8 penjuru mata angin serta 8 piezometer dipasang pada setiap petak
perlakuan yang belum terwakili oleh 20 piezometer yang membentuk pola 8 penjuru mata
angin tersebut. Untuk piezometer yang membentuk pola 8 penjuru mata angin, pada poros
utama yang menghubungkan antara 2 saluaran tersier atau kuarter, terpasang 10 titik
piezometer dengan jarak antar piezometer sekitar 30 m. Dari titik pusat jalur utama
tersebut, dipasang masing-masing 2 piezometer untuk setiap jalur yang membentuk sudut
45 derajat.

101
Hendri Sosiawan et al.

Sungai/Saluran Primer/Sekunder

WATER LEVEL LOGGER

Rambu Ukur

Piezometer
INLET (Pola Mata Angin)

OUTLET

Piezometer
(Tambahan)

Batas Petak
Perlakuan

Gambar 2. Desain titik pengamatan dinamika elevasi muka air petak percobaan

Untuk memantau elevasi muka air di saluran digunakan rambu ukur (staff
gauge)yang dipasang pada tiang penyangga secara permanen pada beberapa titik
pengamatan. Sedangkan elevasi muka air lahan diidentifikasi berdasarkan pengukuran
kedalaman muka air pada piezometer dari titik permukaan tanah yang memiliki informasi
elevasi. Setiap rambu ukur yang terpasang mengacu pada ketinggian referensi yang sama.
Sistem pemantau elevasi muka air tersebut merupakan suatu prosedur untuk mendapatkan
seri data elevasi muka air pada beberapa titik pengamatan baik di lahan yang terukur pada
piezometer maupun elevasi muka air di saluran. Data rekaman elevasi muka air dapat
digunakan sebagai bahan masukan dalam merancang model pengelolaan air lahan
gambut.

Untuk memperoleh gambaran dinamika temporal elevasi muka air dengan interval
waktu yang pendek (6-60 menit), telah dilakukan pemasangan sistem pemantau otomatis
menggunakan water level loggert ipe Hobo U20-001-04 yang dipasang pada inlet dan
outlet saluran serta pada satu piezometer pewakil di lahan (Gambar 3).

102
Variasi Temporal dan Spasial Tinggi Muka Air Tanah Gambut

Gambar 3. Water level logger tipe Hobo U20-001-04


Kondisi dinamika elevasi muka air yang mencerminkan kondisi hidrologi lokasi
penelitian diamati dalam interval waktu pengamatan yang berbeda. Dinamika elevasi
muka air secara temporal pada lahan (1 piezometer pewakil) dan saluran/parit (inlet dan
outlet) diamati berdasarkan pemantauan water level logger dengan interval pengamatan
jam-jaman, sedangkan dinamika spasial kondisi hidrotopografi lahan diamati secara
manual melalui pengukuran elevasi muka air seluruh piezometer dengan interval
pengamatan 1 bulanan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Hidrologi

Sebagai ekosistem lahan rawa, keberadaan air pada lahan gambut sangat
dipengaruhi oleh adanya hujan dan pasang surut/luapan air sungai. Karakteristik
hidrologis DAS yang menjadi sumber pemasok debit pada lahan penelitian sangat
mempengaruhi karakterisitik fluktuasi elevasi muka air saluran dan elevasi muka air
lahan. Secara ideal data pengamatan tersebut diperoleh dari seri data pengamatan harian

103
Hendri Sosiawan et al.

pada beberapa tahun terutama yang menggambarkan fluktuasi harian sungai yang
mempengaruhi fluktuasi tinggi muka air lahan lokasi demplot. Namun demikian karena
keterbatasan data, gambaran fluktuasi harian debit sungai dapat menggunakan aplikasi
model. Wösten et al., (2008) dalam Runtunuwu, 2013 menggunakan pendekatan
pemodelan hydropedological untuk mengetahui dinamika tinggi muka air di lahan gambut
yang masih relatif utuh maupun yang telah terdegradasi dengan studi kasus di Kalimantan
Tengah. Informasi tersebut digunakan untuk memprediksi wilayah rawan banjir dan
kebakaran. Gambaran fluktuasi harian debit sungai yang yang mempengaruhi fluktuasi
tinggi muka air lahan gambut di lokasi demplot diilustrasikan berdasarkan hasil simulasi
debit bulanan GR2M (Genie’ Rural a deux Parametre Mensuel) yang dikembangkan oleh
Perrin, C. et al., 2003. Gambar 4 mengilustrasikan debit bulanan pada outlet DAS lokasi
demplotJabiren berdasarkan aplikasi model debit bulanan GR2M. Data hujan sebagai
input model diperoleh berdasarkan analisis data curah hujan bulanan Stasiun Mantaren
periode 1978-1996. Gambar 4 menunjukkan bahwa debit sungai di lokasi demplot
penelitian sangat dipengaruhi oleh kejadian hujan pada periode yang bersamaan, hal ini
terlihat pada saat kejadian hujan yang terakumulasi pada bulan Maret menyebabkan
sungai di lokasi Jabiren mencapai debit tertinggi sebesar 227.6 mm, atau setara dengan
rata-rata debit sebesar 2.54 m3/s, sedangkan debit terendah terjadi di bulan September
yaitu sebesar 71.86 mm atau setara dengan rata-rata debit sebesar 0.83 m3/s dimana
akumulasi hujan pada bulan Agustus sampai pertengahan September curah hujan terendah
dalam tahun tersebut.

DEBIT BULANAN DAS LOKASI DEMPLOT JABIREN


KALTENG
0
700
100
Debit (mm/bulan)

600 200
Curah Hujan (mm/bulan)

300
500 Curah Hujan Debit Simulasi
400
400
500

300 600

700
200
800
100
900

0 1000
January

June

August
February

July
April

September

November

December
May

October
March

Bulan

Gambar 4. Simulasi debit bulanan DAS Pemasok debit masuk demplot Jabiren,
Kalimantan Tengah

104
Variasi Temporal dan Spasial Tinggi Muka Air Tanah Gambut

Untuk mendapatkan data fluktuasi tinggi muka air di lokasi Jabiren telah dilakukan
pemasangan piezometer sejumlah 47 buah dan 2 rambu ukur di beberapa saluran. Variasi
elevasi titik piezometer Hasil rekam jejak pemetaan elevasi, titik pemasangan pizometer
dan rambu ukur di setiap demplot disajikan pada Gambar 5.

Gambar5. Peta pengamatan hidrologi demplot Jabiren, Kalimantan Tengah

Variasi Temporal Elevasi Muka Air Lahan dan Saluran

Dinamika elevasi muka air tanah, di lokasi Jabiren, Pulang Pisau diperoleh dari
data 47 piezometer yang diinstal dalam 5 baris dengan jarak antar titik pengamatan
sekitar 50 m. Gambar 6 menunjukkan fluktuasi elevasi muka air tanah yang sangat
dipengaruhi oleh kondisi curah hujan di lokasi penelitian yang ditunjukkan oleh
kecenderungan yang sama dari 47 titik pengamatan yang tersebar di lokasi penelitian.

105
Hendri Sosiawan et al.

Gambar1. Variasi elevasi muka air lahan periode Agustus- Desember 2013 pada petak
percobaan Jabiren, Kalimantan Tengah

Gambar 7. Variasi elevasi muka air lahan periode Januari - Mei 2014 pada petak
percobaan Jabiren, Kalimantan Tengah

Gambar 6 dan7 menunjukkan fluktuasi elevasi muka air tanah antar tempat dan
antar waktu yang merepresentasikan semua titik pengamatan yang ada di lokasi demplot
Jabiren. Pola yang ditunjukkan oleh grafik tersebut mempunyai kecenderungan
pergerakan fluktuasi muka air tanah yang relatif sama. Pada awal instalasi muka air tanah
pada ketiga titik tersebut pada posisi elevasi tertinggi dan menurun sampai pertengahan
bulan Oktober. Pergerakan muka air tanah tersebut naik kembali sampai puncaknya pada
awal Desember dan berfluktuasi dengan gradien yang relatif konstan sampai dengan akhir

106
Variasi Temporal dan Spasial Tinggi Muka Air Tanah Gambut

bulan Januari. Siklus fluktuasi muka air tanah tersebut terulang kembali pada bulan
Februari sampai akhir Mei 2014. Berdasarkan data piezometer no. 4 pada gambar 8 yang
merupakan representasibagian tengah, pada awal pengamatan elevasi air lahan pada
posisi 9,32 m kemudian naik pada tanggal 1 September dan 9 September masing masing
menjadi 9,81 m dan10,00 m, kemudian turun pada ketinggian 9,20 m pada tanggal 30
September dan mencapai elevasi muka air tanahterendah pada tanggal 28 Oktober yaitu
pada 8,92 m.Apabila dihubungkan dengan data curah harian, kenaikan muka air yang
terjadi pada periode 1 dan 9 September 2013 kemungkinan besar dipengaruhi oleh air
pasang dan tidak dipengaruhi oleh curah hujan, karena data hujan menunjukkan bahwa
pada periode 1 Agustus-9 September sebesar 58 cm yang tidak akan mampu
berkonstribusi menaikan tinggi muka air saluran dan lahan di lokasi penelitian.
Pengamatan yang dilakukan pada periode Januari – Mei 2014 menunjukkan bahwa tinggi
muka air tanah pada lahan yang diwakili oleh piezometer 4 cenderung naik sampai pada
level 9,43 m. Piezometer 12 yang berada di daerah Hilir mempunyai elevasi muka air
tanah lebih tinggi dibandingkan elevasi muka air yang ada di tengah lahan yaitu berkisar
9,16 m yaitu pada tanggal 28 Oktober sampai 9,67 m pada tanggal 18 Nopember.
Piezometer 47 sebagai representasi pencatat tinggi muka air tanah Hulu mempunyai
elevasi muka air tanah yang paling tinggi dibandingkan dengan kondisi muka air tanah di
lahan maupun di bagian hilir dengan variase elevasi muka air tanah berkisar 10 m pada
pengamatan tanggal 9 September dan pada posisi terendah pada tanggal 28 Oktober dan
berada pada level 9,24 m. Tingginya elevasi muka air tanah di bagian hulu tersebut lebih
disebabkan oleh pengaruh proses pasang dan surut tidak mencapai bagian hulu. Kondisi
pergerakan elevasi muka air tanah antar waktu tersebut lebih dipengaruhi oleh pasokan air
dari hujan yang jatuh pada rentang waktu antara minggu kedua bulan Oktober sampai
dengan awal Nopember yaitu sebesar 97,6 mm yang mampu menaikan elevasi muka air di
lahan baik di bagian hulu, tengah dan hilir. Hujan selanjutnya yang terjadi selama bulan
Nopember - Desember 2013 dan periode Januari – Mei 2014 mampu menjaga kestabilan
elevasi muka air di lahan sehingga fluktuasinya tidak terlalu tajam. Distribusi hujan harian
periode bulan Juli 2013- Mei 2014 dari stasiun hujan Pahandut, Palangkaraya disajikan
pada Gambar 8.

107
Hendri Sosiawan et al.

Gambar 8. Variasi elevasi muka air tanah bagian hilir, tengah dan hulu di demplot
ICCTF Jabiren, Kalimantan Tengah

Gambar 9. Distribusi huja nharian periode Juli 2013 – Mei 2014 dari stasiun hujan
Pahandut, Palangkaraya

Variasi Spasial Elevasi Muka Air Lahan dan Saluran

Transek elevasi muka air tanah yang merepresentasikan posisi antara saluran
sekunder, penyebaran di lahan dan saluran tersier menunjukkan bahwa semakin jauh
posisi piezometer dari saluran, elevasi muka air tanah semakin tinggi (Gambar10).
Berdasarkan data pengamatan antara 9 September dan 28 Oktober menunjukkan
penurunan muka air yang terjadi pada saluran sekunder (PS) cukup besar yaitu 120 cm.
Kondisi tersebut disebabkan saluran sekunder pada demplot ICCTF Jabiren selain
salurannya sangat dalam dengan gradien cukup tinggi juga berfungsi sebagai sarana
transportasi sehingga tidak memungkinkan dipasang pintu air sehingga pergerakan air

108
Variasi Temporal dan Spasial Tinggi Muka Air Tanah Gambut

sangat cepat yang menyebabkan penurunan muka air relatif cepat mengikuti pola fluktuasi
aliran bebas yang sangat berhubungan erat dengan pola fluktuasi curah hujan. Sedangkan
sensitivitas perubahan tinggi muka air saluran tersier dan lahan sangat rendah karena
selain kedalaman salurannya relatif dangkal tetapi juga tersekat oleh pintu tabat yang
memisahkannya dengan saluran sekunder, sehingga laju fluktuasi muka airnya hanya
mengikuti pergerakan air kedalam tanah secara vertikal dan lateral (infiltrasi dan
perkolasi) yang relatif lambat. Pengukuran elevasi muka air pada dua periode tersebut
menurunkan elevasi muka air sebesar 53 cm.

Gambar 10. Transek elevasi muka air antar saluran

Penurunan elevasi muka air pada saluran sekunder sebesar 120 cm pada dua
periode pengamatan berpengaruh nyata terhadap elevasi muka air yang ada di lahan
terutama pada piezometer yang mempunyai posisi paling dekat dengan
saluransekunder(P1) yaitu sebesar 84 cm, sedangkan pada piezometer yang berada
ditengah lahan (P4 dan P5) penurunannya sebesar 72 cm. Penurunan elevasi muka air
yang terjadi pada saluran tersier (PS) pada dua periode tersebut sebesar 53 cm. Gambar 11
menunjukkan bahwa kecenderungan fluktuasi elevasi muka air tanah pada transek
piezometer dan saluran secara temporal (Agustus 2013 – Mei 2014) membentuk pola
yang seragam mengikuti fluktuasi elevasi muka air saluran sekunder. Oleh karena elevasi
muka air saluran tersier selama periode pengamatan tersebut selalu lebih tinggi dari
elevasi muka air saluran sekunder, akibatnya air akan bergerak keluar dan berpotensi
menurunkan elevasi air lahan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa peran pengelolaan
elevasi muka air pada saluran tersier sangat penting dalam merencanakan pengelolaan air
di blok tersier .

109
Hendri Sosiawan et al.

Gambar 11. Variasi temporal elevasi muka air tanah saluran-lahan di demplot ICCTF
Jabiren, Kalimantan Tengah

Kedalaman air tanah pada 3 periode waktu pengamatan yang berbeda


menunjukkan bahwa ketika puncak musim kemarau yang diwakili oleh data pengamatan
tanggal September pada posisi lebih dalam dari 100 cm melebihi jangkauan perakaran
tanaman karet yang optimal pada kisaran 50-60 cm. Pengamatan yang sama pada puncak
musim hujan (November) posisi kedalaman air tanah di lahan rata-rata kurang dari 60 cm,
sedangkan pada bulan Mei yang mempresentasikan akhir musim hujan kedalaman air
tanah berkisar 65-80 cm (Tabel 1). Untuk mempertahankan kedalaman air tanah pada
kisaran optimal maka pintu air pada saluran tersier yang berfungsi sebagai canal blocking
harus difungsikan secara optimal sehingga ketinggian muka air di saluran tersier tidak
fluktuatif dan muka air tanah tetap stabil pada kisaran yang dikehendaki. Demikian juga
untuk saluran sekunder yang berfungsi juga sebagai saran transportasi diupayakan
dipasang pintu tabat di bagian hilir terutama pada malam hari dimana lalu lintas
penggunaan saluran sekunder hampir tidak ada, sehingga durasi tinggi muka air optimal
pada saluran akan bertahan lebih lama dan pada akhirnya berpengaruh positif pada muka
air di lahan. Menurut Agus dan Subiksa, 2008 tanaman tahunan memerlukan saluran
drainase dengan kedalaman berbeda-beda. Tanaman sagu dan nipah tidak memerlukan
drainase, tetapi tetap memerlukan sirkulasi air seperti halnya tanaman padi. tanaman karet
memerlukan saluran drainase mikro sedalam 20-40 cm, tanaman kelapa dan kelapa sawit
memerlukan saluran drainase sedalam 50-70 cm. Kondisi tersebut sangat efektif dalam
menjaga kestabilan air di lahan, sehingga laju proses dekomposisi dan pemadatan tanah
dapat dikurangi yang pada akhirya dapat mengurangi laju pengamblesan lahan( land
subsidence).

110
Variasi Temporal dan Spasial Tinggi Muka Air Tanah Gambut

Tabel 1. Kedalaman air tanah di lahan pada periode pengamatan puncak musim kemarau, periode
musim hujan dan pucak musim hujan

Kedalaman air tanah di lahan (centi meter)


Piezometer
September November Februari Mei

P1 143.00 72.00 86.00 86.68

P2 117.00 53.00 65.00 72.00

P3 122.00 59.00 73.00 80.00

P4 110.50 50.00 62.00 68.00

P5 116.00 54.00 65.50 72.00

P6 109.50 49.00 61.00 66.50

P7 113.00 54.00 65.00 71.50


P8 123.00 66.00 78.50 85.00

Hidrotopografi

Hidrotopografi lahan adalah perbandingan relatif antara elevasi lahan dengan


elevasi muka air sungai atau saluran di sekitarnya. Suryadi, 1996 dalam Ngudiantoro,
2010 menggunakan hidrotopografi lahan sebagai pertimbangan awal dalam menyusun
perencanaan pengelolaan air pada lahan pasang surut. Hidrotopografi lahan gambut
demplot penelitian ICCTF Jabiren direpresentasikan oleh pola sebaran spasial elevasi
muka air lahan yang diolah dari data hasil pengamatan pada 47 piezometer yang terpasang
di lokasi Jabiren, Kalimantan Tengah periode 30 September 2013 yang mewakili puncak
musim kemarau dan 18 Nopember yang mewakili musim hujan.Berdasarkan pengamatan
pola hidrotopografi pada tiga periode yang berbeda, yaitu periode yang dapat
merepresentasikan pertengahan musim kemarau, akhir musim kemarau dan awal musim
hujan, teridentifikasi bahwa kondisi terkering (akhir musim kemarau) menunjukkan pola
hidrotopografi relatif lebih seragam, tidak banyak terdapat titik-titik pusat kedalaman
seperti yang terjadi selama periode awal musim kemarau dan awal musim hujan. Pada
kondisi terkering, kedalaman air tanah rata-rata dibawah 100 cm.

Pada pengamatan transek piezometer arah Timur Laut – Barat Daya yang diwakili
oleh piezo meter 1 sampai 8 menunjukkan bawa pola elevasi muka air tanah membentuk
pola seperti kubah (dome), walaupun jarak antara saluran sekunder dengan saluran tersier
hanya 306,2 m. Hal tersebut mengindikasikan bahwa lahan gambut demplot penelitian
ICCTF Jabiren yang mulai dibudidayakan untuk tanaman karet pada tahun 2006 belum
mengalami pengamblesan (subsidence) yang signifikan, artinya saluran yang ada dari
aspek dimensi jarak masih mampu menjaga kestabilan muka air di lahan. Menurut

111
Hendri Sosiawan et al.

Novriani dan Abdul Madjid, 2010 lahan gambut yang belum mengalami pengamblesan
mempunyai bentuk seperti kubah yang mengindikasikan kondisi yang tergenang atau
jenuh seperti kondisi alamiahnya.

Gambar 12. Hidrotopografi periode 30 September (kiri) dan periode 18 Nopember


(kanan) transek TimurLaut –Barat Daya Lokasi Demplot ICCTF Jabiren Kalimantan
Tengah
Hidrotopografi yang mengilustrasikan penyebaran elevasi muka air pada musim
hujan menunjukkan bahwa pasokan air hujan yang terjadi pada periode 30 Oktober – 17
Nopember sebesar 244 memberkonstribusi dalam menaikkan elevasi muka air baik di
saluran dan lahan. Warna kuning pada Gambar 11 menunjukkan elevasi muka air lahan
yang lebih tinggi dari warna hijau tua, hijau muda dan biru. Apabila dibandingkan antara
musim hujan dengan musim kemarau penurunan elevasi muka air di lahan rata-rata
mencapai 34 cm. Pola hidrotopografi pada dua musim yang berbeda menunjukkan trend
penurunan elevasi muka air dari arah Barat menuju Timur, yang mengindikasikan arah
yang sama dengan arah aliran pada saluran sekunder. Kondisi tersebut memberikan
gambaran bahwa elevasi muka air pada saluran sekunder dan tersier harus tetap
dipertahankan pada posisi yang optimal sehingga elevasi muka air di lahan menjadi lebih
konstan.

Interaksi Elevasi Muka Air pada Saluran Inlet, Lahan dan Saluran Outlet

Gambar 13 menyajikan data fluktuasi elevasi tinggi muka air pada saluran inlet,
lahan dan saluran outlet hasil pengamatan water level logger dengan interval pengamatan
15 menitan selama periode 4-5 Oktober 2013. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
fluktuasi elevasi muka air pada saluran inlet relatif memiliki pola yang sama dengan
fluktuasi elevasi muka air lahan.

112
Variasi Temporal dan Spasial Tinggi Muka Air Tanah Gambut

Pola yang berbeda terjadi pada pengamatan elevasi muka air pada saluran outlet.
Elevasi muka air saluran outlet sangat dipengaruhi oleh pasang surut Sungai Kahayan,
yang menunjukkan pola sinusoidal yang kerap dengan amplitudo pasang surut yang
sangat jelas.

Gambar 13 menunjukan bahwa amplitudo perbedaan elevasi minimum dan


maksimum yang terjadi pada pengamatan elevasi muka air saluran inlet dan lahan hanya
beberapa centimeter sedangkan pada pengamatan fluktuasi elevasi muka air pada saluran
outlet menunjukkan nilai perbedaan beberapa puluh centimeter hingga mendekati 1 meter.
Hasil ini menegaskan bahwa dinamika elevasi muka air pada lahan sangat dipengaruhi
oleh pola perubahan elevasi muka air saluran inlet.

FLUKTUASI ELEVASI MUKA AIR


SALURAN INLET, LAHAN DAN SALURAN OUTLET
INTERVAL PENGAMATAN 15 MENITAN, PERIODE 4-5 OKTOBER 2013
8.90

Inlet Lahan Outlet


8.70

8.50
ELEVASI MUKA AIR (m)

8.30

8.10

7.90

7.70

7.50
10/4/2013 1:55
10/4/2013 2:52

10/4/2013 6:43
10/4/2013 7:40

10/5/2013 0:57
10/5/2013 1:55

10/5/2013 5:45

10/5/2013 9:36

10/6/2013 0:00
10/6/2013 0:57
10/4/2013 0:00
10/4/2013 0:57

10/4/2013 3:50
10/4/2013 4:48
10/4/2013 5:45

10/4/2013 8:38
10/4/2013 9:36

10/5/2013 0:00

10/5/2013 2:52
10/5/2013 3:50
10/5/2013 4:48
10/5/2013 6:43
10/5/2013 7:40
10/5/2013 8:38

10/6/2013 1:55
10/6/2013 2:52
10/3/2013 21:07
10/3/2013 22:04

10/4/2013 11:31

10/4/2013 15:21
10/4/2013 16:19

10/4/2013 20:09
10/4/2013 21:07

10/5/2013 10:33

10/5/2013 14:24
10/5/2013 15:21

10/5/2013 19:12
10/5/2013 20:09
10/3/2013 23:02

10/4/2013 10:33
10/4/2013 12:28
10/4/2013 13:26
10/4/2013 14:24

10/4/2013 17:16
10/4/2013 18:14
10/4/2013 19:12

10/4/2013 22:04
10/4/2013 23:02

10/5/2013 11:31
10/5/2013 12:28
10/5/2013 13:26

10/5/2013 16:19
10/5/2013 17:16
10/5/2013 18:14

10/5/2013 21:07
10/5/2013 22:04
10/5/2013 23:02

WAKTU

Gambar 13. Fluktuasi elevasi muka air saluran inlet, lahan dan saluran outlet petak
percobaan Jabiren, interval pengamatan 15 menitan periode 4-5 Oktober 2013

KESIMPULAN

1. Debit sungai di lokasi penelitian sangat dipengaruhi oleh kejadian hujan pada periode
yang bersamaan. Kejadian puncak hujan pada bulan Maret menyebabkan debit sungai
mencapai debit tertinggi sebesar 2.54 m3/s, sedangkan debit terendah terjadi pada
bulan September yaitu sebesar 0.83 m3/s.

2. Variasi temporal elevasi muka air di lahan yang direpresentasikan oleh semua
piezometer mempunyai kecenderungan pergerakan fluktuasi muka air tanah yang
relatif sama mengikuti elevasi muka air sungai dan saluran tersier.

3. Variasi spasial elevasi muka air menunjukkan bahwa semakin jauh posisi piezometer
dari saluran, elevasi muka air tanah semakin tinggi. Penurunan elevasi muka air pada

113
Hendri Sosiawan et al.

saluran sekunder sebesar 120 cm pada dua periode pengamatan berpengaruh nyata
terhadap elevasi muka air yang ada di lahan terutama pada piezometer yang
mempunyai posisi paling dekat dengan saluran sekunder.

4. Hidrotopografi lahan menunjukkan bahwa pola elevasi muka air tanah membentuk
pola seperti kubah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa lahan gambut demplot
penelitian ICCTF Jabiren yang mulai dibudidayakan untuk tanaman karet pada tahun
2006 belum mengalami pengamblesan (subsidence) yang signifikan.

5. Dinamika temporal elevasi muka air pada lahan sangat dipengaruhi oleh pola
perubahan elevasi muka air saluran inlet, dan tidak dipengaruhi oleh pola perubahan
elevasi muka air saluran outlet.

6. Untuk mempertahankan kedalaman air tanah pada kisaran optimal maka pintu air pada
saluran tersier yang berfungsi sebagai canal blocking harus difungsikan secara optimal
sehingga ketinggian muka air di saluran tersier tidak fluktuatif dan muka air tanah
tetap stabil pada kisaran yang dikehendaki.

7. Saluran sekunder yang berfungsi juga sebagai saran transportasi diupayakan dipasang
pintu tabat di bagian hilir terutama pada malam hari dimana lalu lintas penggunaan
saluran sekunder hampir tidak ada, sehingga durasi tinggi muka air optimal pada
saluran akan bertahan lebih lama dan pada akhirnya berpengaruh positif pada muka air
di lahan. Kondisi tersebut sangat efektif dalam menjaga kestabilan air di lahan,
sehingga laju proses dekomposisi dan pemadatan tanah dapat dikurangi yang pada
akhirya dapat mengurangi laju pengamblesan lahan (land subsidence).

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. dan I G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk pertanian dan aspek
lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAFT)
Bogor, Indonesia.
Llamas, J., 1993. Hydrologie Generale – Principes et Application. Gaetan Morin Editeur.
Boucherville. Quebec. Canada. 527p.
Ngudiantoro, 2010. Pemodelan Fluktuasi Muka Air Tanah Pada Lahan Pasang Surut Tipe
C/D: Kasus di Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Sains. Volume 13 No. 3 A.
13303. FMIPA. Universitas Sriwijaya.
Novriani dan Abdul Majid, 2010. Makalah Pengelolaan Kesuburan Tanah, Program Studi
Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas
Sriwijaya. Palembang, Propinsi Sumatera Selatan, Indonesia.
Perrin, C., Michel, C., Andréassian, V., 2003. Improvement of a parsimonious model for
streamflow simulation. Journal of Hydrology 279(1-4), 275-289.

114
Variasi Temporal dan Spasial Tinggi Muka Air Tanah Gambut

Runtunuwu, E. Et al., 2013.Pengembangan Sistem Pemantauan Elevasi Muka Air Lahan


Gambut untuk Pertanian di Kota Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan. Jurnal
Tanah dan Iklim. Vol 37. No.2
Strahler A. N., 1952. Hypsometric analysis of erosional topography.Bull. Geol. Soc. Am.,
63, 117-142
Verstappen, H.Th., 1983, Applied Geomorphology – Geomorphological Surveys for
Environmental Development, Elsevier Science Publishers B.V., Amsterdam.
Widjaya-Adhi et.al., 2000. Pengelolaan, pemanfaatan, danpengembangan lahan rawa.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 127-164.
Wetlands International-Indonesia Programme, 2005. Sistem Pengelolaan tata air di lahan
gambut untuk mendukung budidaya pertanian. www.wetlands.or.id/PDF/Flyers
Agri03.pdf

115
7
RESPON TANAMAN TUMPANGSARI (KELAPA
SAWIT+NENAS) TERHADAP AMELIORASI DAN
PEMUPUKAN DI LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI
THE RESPONSES OF INTERCROPPING PLANT (PALM + PINEAPPLE) TO
AMELIORATION AND FERTILIZATION ON DEGRADED PEATLANDS

Masganti1, I G.M. Subiksa2, Nurhayati1, Winda Syafitri1


1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau, Jl. Kaharudin Nasution No. 341, Padang Marpoyan,
Pekanbaru 10210.
2
Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No.12, Cimanggu, Bogor 16114.

Abstrak. Produktivitas kelapa sawit yang ditanam di lahan gambut masih


tergolong rendah antaranya karena tingkat kesuburan tanah yang rendah,
sehingga perlu dilakukan ameliorasi dan pemupukan. Penelitian
dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Langgam Kabupaten
Pelalawan, Riau. Penelitian bertujuan untuk menentukan pengaruh jenis
amelioran terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman tumpangsari kelapa
sawit + nenas di lahan gambut terdegradasi. Perlakuan yang diuji meliputi
(a) pemupukan menurut cara petani, (b) ameliorasi dengan pupuk gambut,
(c) ameliorasi dengan tandan kosong sawit, dan (d) ameliorasi dengan
pupuk kandang. Perlakuan ditata dalam rancangan acak kelompok dengan
empat ulangan. Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan kelapa sawit
meliputi pertambahan jumlah pelepah daun dan panjang daun, pertumbuhan
nenas meliputi pertambahan daun dan panjang daun yang diukur setiap 2
(dua) minggu, dan produksi kelapa sawit dan nenas. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ameliorasi berpengaruh terhadap pertambahan jumlah
pelepah daun dan lebar daun kelapa sawit, pertambahan jumlah daun dan
lebar daun nenas, dan produksi nenas, tetapi tidak berpengaruh terhadap
produksi sawit yang dibudidayakan di lahan gambut terdegradasi. Produksi
kelapa sawit tertinggi dihasilkan oleh perlakuan amelioran Tankos (20.057
kg/ha/tahun), sedang produksi nenas tertinggi dihasilkan oleh perlakuan
amelioran Pugam (11 buah/ha).
Kata kunci : Tumpangsari, sawit + nenas, ameliorasi, pemupukan, lahan
gambut
Abstract. The productivity of palm oil on peatlands are relatively low due
to low soil fertility, so it needs to be done amelioration and fertilization.
The experiment was conducted in Lubuk Ogong village, Langgam
Subdistric, Pelalawan District, Riau Province. The treatments included (a)
fertilization according to the farmers, (b) amelioration by Pugam, (c)
amelioration by empty fruit bunches of oil palm, and (d) amelioration by
manure. The treatments were arranged in a randomized block design with
four replications. The observations were made on the growth of oil palm
comprise number of leaves midrib and canopy width, and growth of

117
Masganti et al.

pineapple i.e : number of leaves, and leaf length which were measured
every two weeks, and production of oil palm and pineapple. The results
showed that amelioration affect the increasing of leaves midrib and leaf
canopy width of oil palm, the increase of the leaves number and leaf length
of pineapple, and pineapple production, but there was no effect on the
production of oil palms which are cultivated on the degraded peatlands.
The highest production of oil palm were produced by amelioration
treatment with empty fruit bunches of oil palm (20.057 kg /ha/year), while
the highest pineapple production were produced by amelioration treatment
with Pugam (11 units/ha).
Keywords: Intercropping, oil palm + pineapple, amelioration, fertilization,
peatland

PENDAHULUAN

Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi dengan luas tanaman kelapa sawit
yang terluas di Indonesia. Dari sekitar 7,71 juta hektar perkebunan sawit di Indonesia,
diperkirakan 24,55% atau 1,9 juta hektar terdapat di provinsi ini. Dari total luas
perkebunan kelapa sawit, sekitar 1,54 juta hektar atau 20% dibudidayakan di lahan
gambut (Indonesian Climate Change Trust Fund, 2012 dalam Wahyunto et al., 2013).
Sedangkan di Riau, tanaman sawit yang dibudidayakan di lahan gambut mencapai
788.491 ha atau sekitar 41,5% areal pertanaman.

Di Provinsi Riau, kelapa sawit merupakan komoditas unggulan. Menurut laporan


Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Riau (2013), perkebunan kelapa sawit yang telah
menghasilkan (TM) banyak diusahakan oleh perkebunan rakyat, yakni sekitar (53,35%),
diikuti perkebunan besar swasta (PBS), sekitar 42,55% dan sisanya dari perkebunan besar
negara (PBN). Lokasi terluas terdapat di Kabupaten Kampar (165.869 ha), Siak (163.380
ha), Rokan Hilir (145.769 ha), Rokan Hulu (140.135 ha), dan Pelalawan (111.568 ha).

Meskipun luas perkebunan sawit rakyat lebih dominan, akan tetapi rata-rata
produktivitas sawit yang diusahakan oleh rakyat lebih rendah 17,1% dari produktivitas
perkebunan besar negara, dan 21,4% dari perkebunan besar swasta. Hal ini antaralain
disebabkan terbatasnya modal petani dan belum optimalnya pemanfaatan teknologi
(Disbun Provinsi Riau, 2013).

Pengembangan kelapa sawit di lahan gambut yang diusahakan rakyat tidak lagi
diarahkan pada perluasan areal, tetapi ditekankan pada usaha peningkatan produktivitas.
Peningkatan produktivitas harus mempertimbangkan kelestarian usahatani, dan kualitas
lingkungan agar tidak menambah "daftar luas" lahan-lahan suboptimal yang terlantar
(Masganti, 2013). Selain itu, peningkatan produktivitas lahan gambut yang ditanami
kelapa sawit juga dapat dilakukan melalui tumpangsari dengan tanaman lain seperti nenas.

118
Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi

Kelapa sawit, khususnya pelepahnya berpotensi besar dimanfaatkan sebagai pakan


ternak sapi karena mengandung protein kasar sekitar 15% (Parulian, 2009). Kelapa sawit
dalam satu tahun dapat menghasilkan 22 pelepah, dimana satu pelepah beratnya sekitar 7
kg, sehingga jika dalam satu hektar terdapat 138 pohon kelapa sawit, maka dalam satu
tahun pelepah daun dapat menyediakan 2.152 kg pelepah atau setara dengan 2,95 ekor
sapi dengan berat badan 200 kg.

Ameliorasi atau pemberian zat pembenah tanah merupakan salah satu tindakan
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas tanaman di lahan gambut
(Masganti, 2013). Akan tetapi pengaruh amelioran terhadap pertumbuhan kelapa sawit
berbeda menurut sumber amelioran yang digunakan (Jamil et al., 2012). Pengaruh
amelioran terhadap pertumbuhan tanaman di lahan gambut juga ditentukan oleh
komposisi amelioran (Masganti, 2004a). Oleh karena itu perlu diuji pengaruh berbagai
amelioran dan pemupukan terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit +
nenas yang dibudidayakan di lahan gambut terdegradasi.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei. Kijang,


Kabupaten Pelalawan, Riau dari bulan Juni 2013 sampai Juni 2014 dengan posisi
geografis 00020'59,3"-00021'05,8" Lintang Utara dan 101041'15,6"-101041'22,9" Bujur
Timur. Penelitian dilaksanakan di lahan petani seluas 5,0 ha. Tanaman utama sebagai
indikator adalah kelapa sawit berumur sekitar 6 (enam) tahun. Tanaman nenas ditanam
sebagai tanaman sela diantara kelapa sawit.

Perlakuan yang diuji meliputi (a) pemupukan menurut cara petani, (b) ameliorasi
dengan pupuk gambut (Pugam), (c) ameliorasi dengan tandan kosong sawit (Tankos), dan
(d) ameliorasi dengan pupuk kandang (Pukan). Perlakuan ditata dalam rancangan acak
kelompok (RAK) dengan 4 (empat) ulangan.

Pemupukan cara petani per pohon menggunakan pupuk 2,0 kg urea; 2,0 kg SP-36;
2,5 kg KCl; 1,2 kg Kiserite; 0,15 kg CuSO4; 0,15 kg ZnSO4; dan 0,3 kg Borax. Dosis
amelioran dan pupuk anorganik untuk setiap perlakuan disajikan dalam Tabel 1 dan layout
perlakuan disajikan pada Gambar 1.

119
Masganti et al.

Tabel 1. Dosis amelioran dan pupuk anorganik untuk setiap perlakuan tanaman kelapa sawit
Dosis pupuk dan amelioran(kg/pohon)
Perlakuan
Pugam Pukan Tankos Urea SP-36 KCl Kiserite CuSO4 ZnSO4 Borax

Pugam 5 - - 2 - 2.5 1.2 - - -

Pukan - 10 - 2 2 2.5 1.2 0.15 0.15 0.3

Tankos - - 15 2 2 2.5 1.2 0.15 0.15 0.3

Kontrol - - - 2 2 2.5 1.2 0.15 0.15 0.3

 Saluran Drainase 

I Pugam Kontrol Pukan Tankos

u
J A L A N

l
II Kontrol Tankos Pugam Pukan
a
n
g
III Tankos Pukan Kontrol Pugam
a
n
IV Pukan Pugam Tankos Kontrol

*Keterangan: I, II, III, IV adalah ulangan


Gambar 1. Layout aplikasi perlakuan amelioran pada demplot ICCTF Riau
Bibit nenas ditanam pada gawangan/jalan mati tanaman kelapa sawit (bukan jalan
produksi) dengan jarak tanam 1,75 m x 1,50 m. Setiap plot tanaman nenas terdiri dari 2
(dua) baris dan setiap baris terdapat 4 (empat) tanaman, sehingga terdapat 8 (delapan)
tanaman per plot. Penanaman tanaman nenas dilakukan pada tanggal 23 September 2013.

Pemupukan tanaman nenas dilakukan satu bulan setelah tanam, hal ini dilakukan
karena akar tanaman nenas sudah berkembang di dalam tanah. Pemupukan dengan cara
tugal pada tiga lubang di sekitar lubang tanam, dengan membuat sebanyak tiga lubang
menggunakan tugal, pupuk dimasukkan ke dalam lubang dan ditutup dengan tanah.
Pemupukan dilakukan pada tanggal 26 Oktober 2013 dengan dosis seperti dalam tabel di
bawah ini :

120
Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi

Tabel 2. Dosis amelioran dan pupuk anorganik untuk setiap perlakuan tanaman nenas
Dosis pupuk dan amelioran (g/tanaman)
Perlakuan
Pugam Pukan Tankos Urea SP-36 KCl
Pugam 30 - - 10 - 10
Pukan - 120 - 10 10 10
Tankos - - 120 10 10 10
Kontrol - - - 10 10 10

Pengamatan yang dilakukan sebelum ameliorasi dan pemupukan adalah : sifat


kimia tanah sebelum pemupukan, sifat bahan amelioran yang digunakan, parameter
pertumbuhan kelapa sawit meliputi pertambahan jumlah pelepah, lebar tajuk,
pertumbuhan nenas meliputi jumlah daun dan panjang daun. Parameter produksi kelapa
sawit meliputi jumlah tandan, dan produktivitas. Sedangkan produksi nenas dihitung
melalui penjumlahan jumlah buah nenas yang dihasilkan. Pengamatan dilakukan 1 (satu)
bulan setelah pemupukan dan ameliorasi. Setiap petak pengamatan terdiri dari 4 (empat)
tanaman kelapa sawit dan 8 (delapan) tanaman nenas (Gambar 2).

Gambar 2. Plot pengamatan tanaman kelapa sawit dan nenas


Jumlah pelepah kelapa sawit dihitung berdasarkan jumlah pelepah yang sudah
sempurna, diukur setiap satu bulan sampai pengamatan terakhir. Selisih antara jumlah
pelepah pada pengukuran terakhir dan pertama disebut pertambahan jumlah pelepah.
Lebar tajuk diukur setiap satu bulan, diwakili oleh tiga pelepah daun yakni pelepah daun
dengan panjang paling pendek, menengah dan paling panjang (Gambar 3)

121
Masganti et al.

Gambar 3. Pengukuran lebar tajuk kelapa sawit

Selama satu tahun, setiap dua minggu pada setiap plot pengamatan dilakukan
panen tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, TBS dihitung dan ditimbang untuk
selanjutnya dikonversi menjadi rata-rata produktivitas (kg/ha/bln) dan total produksi
(kg/ha/thn) yang merupakan penjumlahan produktivitas selama satu tahun.

Pengamatan pertumbuhan nenas sebagai tanaman sela meliputi jumlah daun dan
panjang daun dilakukan setiap 2 (dua) minggu. Jumlah daun dihitung berdasarkan jumlah
daun (helai) setiap tanaman nenas. Daun yang telah dihitung dicat sebagai tanda untuk
pengamatan berikutnya.

Panjang daun (cm) diukur dengan cara mengukur daun tanaman nenas mulai dari
pangkal sampai ujung daun. Daun yang diukur kemudian ditandai dengan cat untuk
pengamatan berikutnya.

Pengamatan produksi nenas dilakukan melalui penghitungan jumlah buah nenas


yang dihasilkan per petak hingga Juli 2014.

Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis ragam menurut rancangan


acak kelompok. Jika hasil analisis memperlihatkan beda nyata, dilanjutkan dengan uji
beda nyata terkecil (LSD) menurut Gomez dan Gomez (1993).

122
Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Kimia Tanah

Hasil analisis sifat kimia tanah sebelum aplikasi amelioran dan pemupukan
disajikan dalam Tabel 3. Nilai pH tanah gambut menunjukkan tingkat kemasaman yang
tinggi. Media tumbuh dengan tingkat kemasaman demikian menjadi kendala dalam
pengembangan tanaman karena terbatasnya daya penyediaan hara. Angka tersebut sesuai
dengan hasil yang dilaporkan oleh Masganti (2003), Hartatik et al., (2011), dan Sabiham
dan Sukarman (2012).

Tingginya kemasaman tanah gambut antaralain disebabkan oleh kondisi drainase


yang jelek dan hidrolisis asam-asam organik. Asam-asam organik yang dihasilkan
biasanya didominasi oleh asam pulvat dan asam humat (Stevenson, 1994; Spark, 1995).

Hasil analisis kadar C-organik dalam tanah gambut berkisar antara 34,79% sampai
38,50%. Angka-angka tersebut sejalan dengan hasil yang dilaporkan Masganti (2003),
Hartatik et al. (2011), dan Sabiham dan Sukarman (2012). Berdasarkan kadar bahan
organik dan ketebalan lapisan bahan organiknya, maka tanah gambut Lubuk Ogong
tergolong ordo histosol (Soil Survey Staff, 2010).

Kadar N-total dalam tanah gambut Lubuk Ogong dengan tingkat dekomposisi
hemik lebih rendah dari nilai yang diperoleh Masganti (2003) dalam tanah gambut saprik,
tetapi lebih tinggi dari tanah gambut fibrik. Hal ini dapat dimengerti karena kadar N-total
dalam tanah gambut berkorelasi dengan tingkat dekomposisi (Sabiham, 2001). Semakin
tinggi tingkat dekomposisi tanah gambut, semakin tinggi kadar N dalam tanah gambut.

Tanah gambut dilaporkan mempunyai kemampuan yang rendah dalam menyimpan


P (Masganti, 2004a). Rendahnya daya simpan P tanah gambut diyakini sebagai penyebab
rendahnya daya penyediaan hara, khususnya P tanah gambut (Masganti, 2003; Wiratmoko
et al., 2008; Maftuah, 2012).

Terbatasnya jumlah koloid anorganik dalam tanah gambut dilaporkan sebagai salah
satu penyebab rendahnya daya simpan P (Stevenson, 1994; Tan, 1994). Keadaan ini
menyebabkan jumlah P yang dapat diikat atau disimpan oleh tanah gambut menjadi
terbatas. Hasil analisis dalam Tabel 3 memperlihatkan bahwa kadar basa dalam tanah
gambut tergolong rendah yang dicirikan oleh rendahnya kejenuhan basa (KB), sehingga
kemampuan tanah gambut menjerap P menjadi rendah.

Kadar basa-basa dalam tanah gambut juga menentukan kemampuan tanah gambut
menjerap P. Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar unsur-unsur basa dalam tanah gambut
tergolong rendah. Hasil ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan oleh Masganti (2003),

123
Masganti et al.

Hartatik et al., (2011), dan Sabiham dan Sukarman (2012). Gambut yang oligotrofik
biasanya miskin akan unsur-unsur hara, termasuk basa-basa.

Kapasitas tukar kation (KTK) tanah gambut umumnya lebih tinggi dari tanah
mineral. Hal ini disebabkan pada tanah gambut bahannya disusun oleh komponen yang
berukuran koloid, sehingga mempunyai kemampuan mempertukarkan kation lebih tinggi.
Hasil pengukuran KTK dalam penelitian ini tidak berbeda jauh dengan hasil yang
dilaporkan oleh Masganti (2003), Hartatik et al. (2011), dan Sabiham dan Sukarman
(2012).

Tabel 3 menunjukkan bahwa kejenuhan Al tanah gambut yang digunakan tergolong


rendah. Hasil ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan Nuryani (2010) dan Masganti
(2012). Kejenuhan Al dalam tanah gambut umumnya relatif rendah, kecuali tanah-tanah
gambut dangkal yang pada lapisan bawahnya terdapat tanah sulfat masam.

Hasil analisis dalam Tabel 3 juga menunjukkan bahwa H+ merupakan sumber


kemasaman yang dominan dalam tanah gambut. Pada setiap perlakuan selalu
menunjukkan nilai H+ selalu lebih besar dari nilai Al3+. Hasil ini sejalan dengan hasil
yang dilaporkan oleh Nuryani (2010) dan Masganti (2012). Dalam tanah gambut, banyak
gugus fungsional seperti karboksilat dan fenolat yang berfungsi sebagai sumber H+
(Stevenson, 1994; Tan, 1994).
Tabel 3. Hasil analisis sifat kimia tanah sebelum perlakuan pada kedalaman 0-20 cm
Hasil analisis setiap perlakuan
No. Sifat kimia tanah dan satuan
Pugam Tankos Pukan Kontrol

1. pH H2O 3,16 3,10 3,12 3,12


2. C-organik (%) 38,01 38,50 34,79 35,88
3. N-total (%) 1,37 1,80 1,31 1,42
4. C/N 27,7 21,4 26,6 25,3
5. P-tersedia (ppm) 174 185 133 234
6. Ca-tertukar [cmol(+).kg-1] 9,98 8,19 9,04 8,30
-1
7. Mg-tertukar [cmol(+).kg ] 2,52 2,86 2,52 2,64
-1
8. K-tertukar [cmol(+).kg ] 0,34 0,38 0,33 0,47
-1
9. Na-tertukar [cmol(+).kg ] 0,81 0,52 0,87 1,05
-1
10. KTK [cmol(+).kg ] 81,82 86,94 80,05 82,81
11. KB (%) 16,68 13,75 15,74 15,05
-1
12. Al-tertukar [cmol(+).kg ] 3,22 4,11 3,77 4,17
-1
13. H-tertukar [cmol(+).kg ] 4,70 5,10 4,76 4,91

124
Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi

Sifat Bahan Amelioran yang Digunakan

Tabel 4 menyajikan hasil analisis sifat kimia amelioran yang digunakan. Hasil
analisis menunjukkan bahwa Pugam mempunyai beberapa keunggulan karena kadar
haranya paling tinggi yakni kadar P-total, Ca, Mg, S, dan unsur mikro seperti Zn, Cu, B,
Pb, dan Cd, kadar abu tinggi dan kadar airnya rendah, tetapi kadar Al paling tinggi.
Sedangkan Tankos dan Pukan mempunyai kelebihan kadar K yang tinggi dan Al yang
rendah atau bahkan tidak terdeteksi. Tingginya kadar Al dalam Pugam dapat dipahami
karena salah satu komponen penyusun amelioran ini adalah terak baja yang mengandung
alumunium. Pugam merupakan amelioran yang formulanya dikembangkan untuk
pertanian di lahan gambut dengan berbagai keunggulan (Subiksa et al., 2009).
Tabel 4. Hasil analisis karakteristik bahan amelioran yang digunakan
Hasil analisis
No. Karakteristik dan satuan
Pugam Tankos Pukan
1. P-total (%) 13,15 4,75 0,56
2. K2O (%) 0,08 0,45 0,49
3. CaO (%) 26,52 1,29 0,72
4. MgO (%) 10,88 0,80 0,33
5. S (%) 0,56 0,20 0,10
6. Fe(%) 9,46 td 0,04
7. Al (%) 6,29 td td
8. Cu (ppm) 1.008 17 3
9. Zn (ppm) 1.633 47 46
10. B (ppm) 686 3 40
11. Pb (ppm) 54 td td
12. Cd (ppm) 14 td td
13. Hg (ppm) td 0,00 0,10
14. Kadar abu (%) 97,24 19,23 6,13
15. Kadar air (%) 3,07 55,89 70,08
Keterangan : td = tidak dideteksi

Dibandingkan dengan Pukan, Tankos mempunyai keunggulan diantaranya kadar


Ca, Mg, S dan kadar abu yang lebih tinggi, tetapi lebih rendah kandungan unsur B.
Perbedaan komponen penyusun amelioran akan menyebabkan perbedaan dalam
mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Subiksa, 2000; Hartatik dan Nugroho, 2001;
Masganti, 2003). Efektivitas amelioran dapat ditingkatkan melalui perbaikan formulasi
amelioran (Masganti et al., 2004a) dan mengatur waktu pemberian amelioran dan
pemupukan P (Masganti, 2004b). Perbedaan efektivitas penggunaan amelioran juga
dipengaruhi oleh daya netralisasi amelioran terhadap kemasaman (Masganti, 2003;
Maftuah, 2012).

125
Masganti et al.

Pertumbuhan dan Produksi Kelapa Sawit

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan amelioran dan pemupukan


berpengaruh nyata terhadap kemampuan kelapa sawit membentuk pelepah dan tajuk. Hal
ini dapat dimaklumi karena perbedaan kandungan dalam setiap amelioran seperti yang
diperlihatkan dalam Tabel 4 (Masganti, 2003; Subiksa et al., 2009; Jamil et al., 2012).

Perbedaan kandungan hara tersebut menyebabkan pertumbuhan yang berbeda,


diekspresikan dengan kemampuan membentuk pelepah dan lebar tajuk. Semakin baik
suplai hara terhadap perakaran tanaman, semakin tinggi kemampuan kelapa sawit
membentuk pelepah dan tajuk yang lebih lebar. Dalam penelitian ini terlihat bahwa kelapa
sawit yang diameliorasi dengan Pugam memperlihatkan kemampuan membentuk pelepah
lebih banyak dan tajuk yang lebih lebar (Tabel 5), meski secara statistik tidak berbeda
nyata dengan amelioran lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena Pugam mempunyai
kelebihan dalam kandungan Ca, Mg, S, unsur-unsur mikro, dan kadar abu. Hasil ini
sejalan dengan hasil yang dilaporkan Subiksa (2000), Hartatik dan Nugroho (2001), dan
Subiksa et al., (2009).
Tabel 5. Pengaruh ameliorasi dan pemupukan terhadap pertambahan jumlah pelepah, lebar tajuk,
produktivitas dan total produksi kelapa sawit yang ditumpangsari dengan nenas
Parameter
No. Perlakuan
Pertambahan Jumlah Lebar tajuk Produktivitas Total produksi
pelepah (helai) (cm) (kg/ha/bln) (kg/ha/thn)
1. Kontrol 22,4 a 95 a 1.543 a 18.513 a
2. Pugam 30,3 b 114 b 1.611 a 19.326 a
3. Pukan 27,7 b 110 b 1.634 a 19.613 a
4 Tankos 29,4 b 113 b 1.671 a 20.057 a

Keterangan : Angka-angka pada setiap parameter yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut
LSD taraf 5%.

Kelapa sawit yang diameliorasi dengan amelioran Tankos memperlihatkan


performa agronomi lebih baik dari yang diameliorasi dengan Pukan (Tabel 5). Perbedaan
ini disebabkan kandungan unsur Ca, Mg, dan S dalam amelioran Tankos lebih tinggi.
Amelioran yang mengandung kadar hara lebih tinggi menyebabkan pertumbuhan tanaman
lebih baik (Subiksa, 2000; Hartatik dan Nugroho, 2001; Subiksa et al., 2009). Tabel 5
memperlihatkan bahwa kecepatan pembentukan pelepah kelapa sawit yang diameliorasi
lebih cepat sekitar 7 (tujuh) helai per tahun. Kelebihan ini merupakan hal yang sangat
penting untuk mendukung integrasi sawit-sapi di lahan gambut. Tambahan pelepah
tersebut dapat memenuhi kebutuhan bahan pakan satu ekor sapi (Parulian, 2009).

Tabel 5 menginformasikan bahwa rata-rata produktivitas kelapa sawit berkisar


1,54-1,67 t/ha/bln. Angka ini lebih tinggi dari angka yang dihasilkan oleh perkebunan

126
Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi

rakyat di Provinsi Riau (Disbun Provinsi Riau, 2013). Hal ini membuktikan bahwa
pemberian amelioran ampuh meningkatkan produktivitas kelapa sawit (Masganti, 2009).
Bila rata-rata produktivitas cara petani (kontrol) dibandingkan dengan rata-rata
produktivitas perkebunan sawit rakyat di Riau, angka ini lebih tinggi. Hal ini diduga
karena dalam penelitian ini juga dilakukan pengaturan air konservasi. Pengaturan air
menjadi faktor penentu dalam pertumbuhan dan produksi sawit di lahan gambut karena
menentukan efisiensi dan efektivitas pemupukan (Masganti, 2013).

Pengaruh ameliorasi tidak menyebabkan perbedaan terhadap rata-rata produktivitas


dan total produksi, meski terdapat kecenderungan ameliorasi meningkat-kan kedua
parameter tersebut dibanding kontrol (Tabel 5). Hasil ini berbeda dengan hasil yang
dilaporkan Masganti (2009). Hal ini dapat disebabkan oleh dua hal yakni (1) kontrol yang
digunakan pada kedua penelitian tersebut tidak sama, (2) pupuk dasar yang digunakan
dalam penelitian ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman kelapa sawit,
dan (3) adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Menurut Widyanto et
al., (2014) pada awal penelitian sekitar 30% areal pertanaman kelapa sawit mengalami
serangan hama kumbang tanduk. Hama ini dilaporkan berpotensi menurunkan
produktivitas kelapa sawit.

Diantara ketiga perlakuan amelioran, plot percobaan yang diberi Tankos


menghasilkan total produksi paling tinggi, diikuti Pukan, dan terendah Pugam, meski
secara statistik tidak berbeda nyata. Namun demikian, disarankan untuk menggunakan
amelioran Tankos dengan beberapa pertimbangan. Pertama, nilai emisi CO2 yang
dihasilkan paling rendah. Produksi emisi CO2 menjadi pertimbangan penting dalam
menentukan teknologi yang digunakan dalam budidaya kelapa sawit di lahan gambut
terdegradasi (Las et al., 2012; Agus et al., 2013; Masganti, 2013). Menurut Wahyuni et
al., (2014) Diantara ketiga jenis amelioran yang digunakan jika dibandingkan dengan cara
petani, Tankos paling ampuh menurunkan emisi CO2, diikuti Pukan. Sebaliknya Pugam
justru meningkatkan nilai emisi CO2.

Pertimbangan kedua adalah ketersediaan bahan di lapangan. Salah satu masalah


sosial yang dihadapi dalam menerapkan teknologi ameliorasi adalah kurang atau tidak
tersedianya bahan amelioran di lapangan. Pugam merupakan amelioran yang paling tidak
tersedia di lapangan, sehingga tidak disarankan untuk digunakan. Sementara Pukan meski
tersedia, tetapi secara kuantitas tidak mampu memenuhi kebutuhan dan adanya biaya
tambahan transportasi dari sentra peternakan ke lokasi perkebunan. Sedangkan Tankos,
ketersediaannya melimpah karena produksi kelapa sawit yang tinggi. Hal yang perlu
dilakukan adalah melatih petani untuk menghasilkan kompos Tankos. Tapi hal ini harus
didukung oleh kebijakan peralatan yang memadai. Pertimbangan lainnya adalah biaya
input bahan. Menurut Nurhayati et al., (2014) diantara ketiga perlakuan amelioran,

127
Masganti et al.

Tankos memerlukan biaya input bahan paling rendah, diikuti Pugam dan paling tinggi
adalah Pukan.

Pertumbuhan dan Produksi Nenas

Kemampuan tanaman nenas membentuk daun dan panjang daun dipengaruhi oleh
pemberian amelioran, tetapi tidak dipengaruhi oleh jenis amelioran yang diberikan (Tabel
6). Berbeda dengan pertumbuhan kelapa sawit, tanaman nenas tumbuh lebih baik dalam
petak kelapa sawit yang pertumbuhannya tertekan (kontrol). Hal ini dapat dimaklumi
karena pertumbuhan kelapa sawit yang tertekan memungkinkan adanya ruang yang lebih
luas bagi nenas untuk memperoleh sinar matahari, sehingga proses fotosintesisnya
berlangsung lebih intensif. Persaingan antar tanaman yang dibudidayakan di lahan
gambut mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Najiyati et al., 2008; Lestari et al., 2013).
Tabel 6. Pengaruh ameliorasi dan pemupukan terhadap pertambahan jumlah daun,panjang daun,
dan produksi nenas yang ditumpangsari dengan kelapa sawit
Parameter
No. Perlakuan
Pertambahan Jumlah daun Panjang daun Produksi
(helai) (cm) (b)
1. Kontrol 34,0 b 49,1 b 6 ab
2. Pugam 25,0 a 42,4 a 11 c
3. Pukan 26,0 a 43,2 b 3a
4 Tankos 25,0 a 42,1 a 8 bc

Keterangan : Angka-angka pada setiap parameter yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut
LSD taraf 5%.

Umur tanaman nenas yang masih relatif muda menyebabkan produksi buah belum
maksimal. Akan tetapi dari hasil analisis ragam diketahui bahwa jumlah buah yang
dihasilkan dipengaruhi oleh perlakuan. Data dalam Tabel 6 memperlihatkan bahwa
produksi buah yang dihasilkan oleh nenas yang diberi amelioran Pugam paling banyak.
Hal ini disebabkan keunggulan komparatif amelioran ini yang dapat dimanfaatkan
tanaman secara baik. Pertumbuhan vegetatif yang lebih baik pada petak kontrol mungkin
menyebabkan energi hasil fotosintesis tidak banyak dimanfaatkan untuk pembentukan
buah. Pembentukan buah juga dipengaruhi oleh ketersediaan hara (Rankine dan Fairhust,
2000).

Hasil pengamatan lapang juga memperlihatkan bahwa kecepatan munculnya buah


nenas lebih cepat pada petak yang diameliorasi dengan Pugam. Rata-rata tanaman nenas
yang diberi Pugam, buahnya 7-10 hari muncul lebih awal. Hasil ini juga menjadi bukti
bahwa tanaman nenas mampu memanfaatkan kelebihan amelioran Pugam.

128
Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi

Meskipun produksi nenas yang dihasilkan dari plot percobaan yang diameliorasi
dengan Pugam paling tinggi, tetapi tidak berbeda nyata dengan plot yang diameliorasi
dengan Tankos. Hasil ini memperkuat alasan penggunaan amelioran Tankos di lahan
gambut terdegradasi. Oleh karena itu pemilihan inovasi teknologi tumpangsari
sawit+nenas di lahan gambut harus mempertimbangkan (1) emisi CO 2 yang dihasilkan
rendah, (2) bahannya mudah didapatkan atau diproduksi sendiri, (3) biaya input bahan
rendah, dan (4) produksi tanaman tumpangsari tinggi. Pertimbangan ini dapat
meningkatkan pendapatan petani dan menjaga kelestarian lingkungan hidup serta
menjamin keberlangsungan usahatani.

KESIMPULAN DAN SARAN

Pertumbuhan tumpangsari kelapa sawit + nenas dan produksi nenas di lahan


gambut terdegradasi dipengaruhi oleh perlakuan amelioran, tetapi produktivitas dan total
produksi tidak dipengaruhi. Produksi kelapa sawit tertinggi (20.057 kg/ha/thn) dihasilkan
oleh perlakuan amelioran Tankos, diikuti amelioran Pukan (19.613 kg/ha/thn), amelioran
Pugam (19.326 kg/ha/thn), dan terendah perlakuan kontrol (18.513 kg/ha/thn). Sedangkan
produksi nenas tertinggi diperoleh dari perlakuan Pugam (11 biji), diikuti Tankos (8 biji),
kontrol (6 biji), dan terendah Pukan (3 biji).

Peningkatkan pendapatan petani dan upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup


serta menjamin keberlangsungan usahatani tumpangsari sawit+nenas di lahan gambut
terdegradasi, disarankan untuk menggunakan amelioran Tankos disertai pelatihan petani
tentang cara memproduksi amelioran Tankos.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F., A. Dariah, dan A. Jamil. 2013. Kontroversi pengembangan perkebunan sawit
pada lahan gambut. Dalam Haryono et al., (Eds.). Politik Pengembangan
Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Kementrian Pertanian. IAARD, Jakarta. Halaman:454-473.
Disbun Provinsi Riau. 2013. Data Statistik Perkebunan Provinsi Riau. Dinas Perkebunan
Provinsi Riau. Pekanbaru. 172 halaman.
Gomez, K. A., dan A. A. Gomez. 1993. Statistical Procedures for Agricultural Research. 2
nd
Ed. John Willey & Sons, New York. 680 halaman.
Hartatik,W., dan K. Nugroho. 2001. Effect of different ameliorant sources to maize
growth in peat soil from Air Sugihan Kiri, South Sumatera. Dalam Rieley, J. O.,
dan S. E. Page (Eds.). Jakarta Symposium Halaman:103-108. Dalam Proceeding
on Peatlands for People: Natural Resources Functions and Sustainable
Management.

129
Masganti et al.

Hartatik, W, I.G.M. Subiksa, dan Ai Dariah. 2011. Sifat kimia dan fisika lahan gambut.
Dalam Neneng et al., (Eds.). Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai
Penelitian Tanah. Bogor. Halaman:45-56.
Jamil, A., Nurhayati, I.N. Istina, Yunizar, dan H. Widyanto. 2012. Penelitian dan
Pengembangan teknologi pengelolaan gambut berkelanjutan meningkatkan
sekuestrasi karbon dan mitigasi gas rumah kaca di Provinsi Riau. Balai
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Riau, Pekanbaru. 49
halaman.
Las, I., M. Sarwani, A. Mulyani, dan M.F. Saragih. 2012. Dilema dan rasionalisasi
kebijakan pemanfaatan lahan gambut untul areal pertanian. Dalam Husen et al.,
(Eds.). Halaman:17-29 Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan
Gambut Berkelanjutan. Badan Litbang Pertanian. Kementrian Pertanian..
Lestari, Y.,Y. Raihana, dan S. Saragih. 2013. Teknologi budidaya hortikultura di Lahan
Gambut. Dalam Noor et al., (Eds.). Lahan Gambut: Pemanfaatan dan
Pengembangannya untuk Pertanian. Kanisius, Yogyakarta. Halaman:117-148.
Maftuah, E. 2012. Ameliorasi Lahan Gambut Terdegradasi dan Pengaruhnya terhadap
Produksi Jagung Manis. Disertasi. Program Pascasarjana UGM. Yogjakarta. 251
halaman.
Masganti. 2003. Kajian Upaya Meningkatkan Daya Penyediaan Fosfat dalam Gambut
Oligotrofik. Disertasi. Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta. 355 halaman.
Masganti. 2004a. Pengaruh macam senyawa penjerap P dan sumber pupuk P terhadap
daya penyediaan hara bahan gambut. Dalam Ar-Riza et al., (Eds.). Halaman:347-
358. Dalam Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pengelolaan
Sumberdaya Lahan Rawa dan Pencemaran Lingkungan. Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Masganti. 2004b. Pengaruh waktu pemupukan P dan pemberian amelioran, formulasi dan
sumber pupuk P terhadap daya penyediaan P bahan gambut. J. AgriPeat 5(2):76-
85.
Masganti, T. Notohadikusumo, A. Maas, dan B. Radjagukguk. 2004. Pengaruh formulasi
amelioran terhadap daya penyimpanan dan penyediaan fosfat bahan gambut.
Dalam Kurnia et al., (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi
Sumberdaya Tanah dan Iklim. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Buku II. Halaman:179-186.
Masganti. 2009. Pemanfaatan limbah kelapa sawit dan produktivitas kelapa sawit di lahan
kering Kalimantan Tengah. Agripura 4(2):529-535.
Masganti. 2012. Sample preparation for peat material analysis. Dalam Husein et al.,
(Eds.). Halaman:179-184. Dalam Prosiding Workshop on Sustainable
Management Lowland for Rice Production.
Masganti. 2013. Teknologi inovatif pengelolaan lahan suboptimal gambut dan sulfat
masam untuk peningkatan produksi tanaman pangan. Pengembangan Inovasi
Pertanian 6(4):187-197.

130
Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi

Najiyati, S., L. Muslihat, dan I. N. N. Suryadiputra. 2008. Panduan Pengelolaan Lahan


Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forest, and
Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programe dan Wildlife
Habitat Canada. Bogor, Indonesia.
Nurhayati, S. Saputra, A. D. Putra, I. N. Istiana, dan A. Jamil. 2014. Pengelolaan
Kesuburan Tanah, Produktivitas dan Keuntungan Sistem Tumpangsari (Kelapa
Sawit+Nenas di Lahan Gambut Provinsi Riau. 14 halaman (belum diterbitkan).
Nuryani, S. H. U. 2010. Pemulihan Gambut Hidrofobik dengan Surfaktan dan
Ameliorant, serta Pengaruhnya terhadap Serapan P oleh Jagung. Disertasi.
Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta. 277 halaman.
Parulian, T. S, 2009. Efek Pelepah Daun Kelapa Sawit dan Limbah Industrinya Sebagai
Pakan terhadap Pertumbuhan Sapi Peranakan Ongole pada Fase Pertumbuhan.
(http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/7623). 3 April 2014.
Rankine, I. R., dan T. H. Fairhurst. 2000. Seri Tanaman Kelapa Sawit Volume 3. Pusat
Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Sabiham, S. 2001. Stability Condition and Processes of Destabilization of the Indonesian
Tropical Peats. Directorate Generale of Higher Education, Ministry of National
Education. 63 halaman.
Sabiham, S. dan Sukarman. 2012. Pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan kelapa
sawit. Hlm 1-17. Dalam Husen et al., (Eds.). Prosiding Seminar Nasional
Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Badan Litbang Pertanian. Kementrian
Pertanian. Bogor, 4 Mei 2012.
Spark, D. L. 1995. Enviromental Sil Chemistry. Academic Press Inc. San Diego,
Caifornia. 267 halaman.
Soil Survey Staff. 2010. Keys to Soil Taxonomy. Eleventh Edition. United States
Departement of Agriculture. Natural Resources Conservation Services. USDA.
Washington D. C. 869 halaman.
Stevenson, F. J. 1994. Humus Chemistry: Genesis, composition and reaction. Second
Edition. John Willey & Sons Inc., New York. 496 halaman.
Subiksa, I. G. M. 2000. Ameliorasi lahan gambut untuk usahatani yang berkelanjutan.
Halaman:379-390 Dakam Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan
Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Puslitbangtan, Balitbangtan. Bogor..
Subiksa, I. G. M., Husein Suganda dan Joko Purnomo. 2009. Pengembangan formula
pupuk untuk lahan gambut sebagai penyedia hara dan menekan emisi gas rumah
kaca (GRK). Laporan Penelitian Kerja Sama antara Balai Penelitian Tanah
dengan Departemen Pendidikan Nasional, 2009.
Tan, K. H. 1994. Environmental Soil Science. Marcel Dekker Inc., New York. 304
halaman.
Wahyuni, S., Nurhayati, H. Widyanto, A. Wihardjaka, dan P. Setyanto. 2014. Emisi Gas
CO2 dari Tanah Gambut yang Ditanami Kelapa Sawit (Elaeis guinensis) dan

131
Masganti et al.

nenas (Anenas cumocus) dengan beberapa Perlakuan Amelioran. 12 halaman


(belum diterbitkan).
Wahyunto, Ai Dariah, Pitono, D., dan M. Sarwani. 2013. Prospek pemanfaatan lahan
gambut untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Perspektif 12(1):11-22.
Widyanto, H., S. Saputra, dan Syuryati. 2014. Pengendalian Hama Kumbang Tanduk
pada Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Provinsi Riau. 12 halaman (belum
diterbitkan).
Wiratmoko, D. Winarna, S. Rahutomo dan H. Santoso. 2008. Karakteristik gambut
topogen dan ombrogen di Kabupaten Labuhan Batu Sumatera Utara untuk
budidaya tanaman kelapa sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 16(3):119-126.

132
8
PENGELOLAAN KESUBURAN TANAH, PRODUKTIVITAS,
DAN KEUNTUNGAN SISTEM TUMPANGSARI (KELAPA
SAWIT + NENAS) DI LAHAN GAMBUT PROVINSI RIAU
SOIL FERTILITY MANAGEMENT, PRODUCTIVITY, AND BENEFIT OF
PINEAPPLE-OIL PALM INTERCROPPING ON PEATLAND IN RIAU

Nurhayati1, Suhendri Saputra1, Aris Dwi Putra1, Ida Nur Istina1, Ali Jamil2
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau, Jl. Kaharudin Nasution No. 341, Km 10. Padang
Marpoyan, Pekanbaru 10210
2
Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No.12, Cimanggu, Bogor 16114

Abstrak. Luas lahan gambut di Provinsi Riau mencapai 3,9 juta hektar atau
sekitar 26% dari luas lahan gambut di Indonesia (14,9 juta hektar). Tingkat
kesuburan tanah umumnya rendah dan memiliki kandungan asam-asam
organik beracun, sehingga perlu dilakukan ameliorasi untuk meningkatkan
produktivitas lahan. Tujuan dari penelitian ini adalah pemberian amelioran
selain menguntungkan secara ekonomi untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat, juga tidak merusak lahan gambut itu sendiri. Penelitian
dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Langgam Kabupaten
Pelalawan, Provinsi Riau. Perlakuan yang diuji meliputi (a) pemupukan
menurut cara petani, (b) ameliorasi dengan Pugam, (c) ameliorasi dengan
tandan kosong sawit, dan (d) ameliorasi dengan pupuk kandang. Perlakuan
ditata dalam rancangan acak kelompok dengan empat ulangan. Pengamatan
dilakukan terhadap produktivitas dan produksi kelapa sawit serta produksi
buah nenas, dan analisis usahatani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ameliorasi berpengaruh terhadap produksi tanaman tumpangsari kelapa
sawit+nenas di lahan gambut terdegradasi. Produktivitas tertinggi
dihasilkan oleh perlakuan amelioran Tankos sebesar 20.057 kg/ha/th. Hasil
analisis usahatani, keuntungan terbesar diperoleh pada perlakuan Pugam
sebesar Rp. 17.383.475,-.
Kata kunci : Tumpangsari, sawit + nenas, ameliorasi, pemupukan, lahan
gambut, analisis usahatani

Abstract. Peatlands in Riau Province reached 3.9 million hectares or about


26% of total Indonesia's peatland area (14.9 million hectares). Generally
low levels of soil fertility and contains organic acids that are toxic, so
needs to improve the productivity with amelioration. The purpose of this
research was the ameliorant apart economically advantageous to increase
the income of the people, nor damage the peat itself. The experiment was
conducted in the village of Lubuk Ogong, Pelalawan, Riau. The treatment
include (a) fertilization by farmers, (b) amelioration with Pugam, (c)
amelioration with palm empty fruit bunches, and (d) amelioration with
manure. The treatments were arranged in a randomized block design with
four replications. Observations were made on the productivity and

133
Nurhayati et al.

production of oil palm and pineapple production, and analysis of farming.


The results show that the amelioration effect on the growth and yield of oil
palm+pineapple intercropping in degraded peatlands. The highest
productivity is Tankos with 20.057kg/ha/yr. For the analysis of farming,
highest profit is Pugam with Rp. 17.383.475,-.
Keywords: Intercropping, palm+pineapple, amelioration, fertilizer, peat,
analysis of farming

PENDAHULUAN

Luas lahan gambut di Provinsi Riau mencapai 3,9 juta hektar atau sekitar 26% luas
lahan gambut di Indonesia (14,9 juta hektar) (Wahyunto et al., 2005). Dalam keadaan
alami (belum diganggu), tanah gambut mengalami proses dekomposisi yang
menghasilkan gas CO2 secara perlahan, sehingga emisi gas CO2 relatif seimbang dengan
penyerapan CO2 oleh vegetasi alami, bahkan dapat berfungsi sebagai net stock (Agus et
al., 2009; Subiksa, 2012)

Pengelolaan lahan gambut untuk usaha pertanian harus memperhatikan sifat fisika
dan kimia tanah gambut. Kendala utama budidaya tanaman di lahan gambut adalah
tingkat kemasaman tanah yang tinggi apabila dikaitkan dengan asam-asam organik
beracun, rendahnya ketersediaan unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman
yang diusahakan, permasalahan kebakaran lahan gambut, dan pengaturan tata air (Agus et
al., 2008)

Mengatasi masalah kandungan asam-asam organik yang beracun di lahan gambut


biasanya dilakukan drainase dan penambahan bahan amelioran. Bahan amelioran (zat
pembenah tanah) adalah bahan yang mampu memperbaiki atau membenahi kondisi fisik
dan kesuburan tanah. Contoh bahan amelioran yang sering digunakan adalah kapur, tanah
mineral, pupuk kandang, kompos, dan abu (Subiksa et al., 1997; Mario, 2002; Salampak,
1999 dalam Subiksa 2011).

Lahan gambut apabila dibuka dan didrainase sebagai lahan budidaya, maka proses
dekomposisi bahan organik akan mengalami percepatan. Perbaikan drainase akan
menyebabkan air keluar dari gambut, kemudian oksigen masuk ke dalam bahan organik
dan meningkatkan aktifitas mikroorganisme. Akibatnya terjadi dekomposisi bahan
organik yang melepas CO2 ke udara dan gambut akan mengalami penyusutan
(subsidence) (Agus and Subiksa, 2008).

Pembukaaan lahan gambut untuk penanaman kelapa sawit tanpa memperhatikan


teknik konservasi dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya pelepasan karbon yang
berdampak pada pemanasan global penyebab terjadinya perubahan iklim. Oleh karena,

134
Pengelolaan Kesuburan Tanah, Produktivitas, dan Keuntungan Sistem Tumpangsari

pengelolaan kesuburan tanah gambut perlu dikelola dengan baik. Sistem tumpangsari
nenas dengan kelapa sawit yang mampu meningkatkan sekuestrasi karbon dan
menurunkan emisi GRK di lahan gambut serta meningkatkan pendapatan petani. Selain
itu, tumpangsari nenas dengan kelapa sawit dapat meningkatkan produktivitas dan
mengurangi input produksi.

Pemanfaatan lahan gambut diharapkan dapat menguntungkan secara ekonomi


untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan di satu sisi tidak merusak lahan gambut
itu sendiri. Lahan gambut sendiri dikenal rapuh (fragile) sehingga memerlukan teknologi
dan input yang tepat dengan dampak terhadap lahan gambut negatif yang minimal.
Pengembangan lahan gambut dihadapkan pada kendala biofisik lahan dan lingkungan
serta sosial ekonomi. Kesalahan dalam pengelolaan lahan gambut dapat mengakibatkan
degradasi lahan, penurunan produktivitas, dan hilangnya mata pencaharian petani (Noor,
2010).

Potensi pengembangan pertanian pada lahan gambut, disamping faktor kesuburan


alami gambut, juga sangat ditentukan oleh tingkat manajemen usahatani yang akan
diterapkan. Pengelolaan lahan gambut dengan tingkat manajemen yang berbeda akan
memberikan produktivitas berbeda pula. Biasanya tingkat pengelolaan lahan gambut pada
tingkat petani termasuk tingkat rendah (low input) sampai sedang (medium inputs).

Penelitian dan demonstrasi plot pengelolaan lahan gambut di Provinsi Riau


dilakukan untuk mengembangkan model pengelolaan lahan gambut berkelanjutan, pada
lahan gambut dalam (kedalaman > 5m) yang ditanami kelapa sawit sebagai tanaman
utama tumpangsari dengan nenas untuk meningkatkan produktivitas lahan gambut,
cadangan karbon, dan pendapatan petani.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei Kijang,


Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau dari bulan Juni 2013 sampai Juli 2014. Penelitian
dilaksanakan di lahan gambut seluas 5,0 ha. Tanaman utama sebagai indikator adalah
kelapa sawit berumur sekitar 6 (enam) tahun. Secara geografis lokasi penelitian terletak
pada 00o20’ 59,3’’ - 00o21’ 05,8’’ LU dan 101o41’ 15,6’’ – 101o 41’ 22,9’’ BT.

Penelitain menggunakan rancangan acak kelompok lengkap (RCBD) dengan 4


perlakuan dan 4 ulangan. Lay out perlakuan dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

135
Nurhayati et al.

 Saluran Drainage 

I Pugam Kontrol Pukan Tankos


J A L A N

II Kontrol Tankos Pugam Pukan

III Tankos Pukan Kontrol Pugam

IV Pukan Pugam Tankos Kontrol


Keterangan: I, II, III, IV adalah ulangan
Gambar 1. Layout aplikasi amelioran (pugam, tankos, dan pukan) pada demplot
Indonesian Climate Change Trus Fund (ICCTF) Riau.
Perlakuan yang diuji meliputi penggunaan 3 macam amelioran, yaitu : (a) pugam +
pupuk anorganik, (b) kompos tankos + pupuk anorganik, (c) pukan + pupuk anorganik,
dan (d) pemupukan menurut cara petani (kontrol). Dosis amelioran dan pupuk anorganik
untuk setiap perlakuan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Dosis amelioran dan pupuk anorganik untuk setiap perlakuan tanaman kelapa
sawit
Dosis Pupuk dan Amelioran (Kg/Pohon)
Perlakuan
Pugam Pukan Tankos Urea SP-36 KCl Kiserite CuSO4 ZnSO4 Borate

Pugam 5 - - 2 - 2.5 1.2 - - -


Pukan - 10 - 2 2 2.5 1.2 0.15 0.15 0.3
Tankos - - 15 2 2 2.5 1.2 0.15 0.15 0.3
Kontrol - - - 2 2 2.5 1.2 0.15 0.15 0.3

Penanaman tanaman nenas dilakukan pada gawangan dengan jarak tanam 1.5 m x
1.5 m. Setiap plot tanaman nenas terdiri dari 2 baris dan setiap baris terdapat sebanyak 4
tanaman (8 tanaman per plot). Penanaman tanaman nenas dilakukan dengan membuat
lubang tanam menggunakan dodos sekaligus untuk menggemburkan tanah dalam lubang
tanam tersebut, kemudian bibit nenas dimasukkan ke dalam lubang tanam yang telah
dibuat dan tanah disekitar tanaman dipadatkan dengan tangan. Pemupukan tanaman nenas
dilakukan satu bulan setelah tanam, hal ini dilakukan karena akar tanaman nenas sudah
berkembang di dalam tanah. Pemupukan dengan cara tugal pada tiga lobang di sekitar
lubang tanam dan ditutup dengan tanah. Dosis pupuk seperti pada Tabel 2 dibawah ini :

136
Pengelolaan Kesuburan Tanah, Produktivitas, dan Keuntungan Sistem Tumpangsari

Tabel 2. Dosis amelioran dan pupuk anorganik untuk setiap perlakuan tanaman kelapa
sawit
Dosis Pupuk dan Amelioran (g/tanaman)
Perlakuan
Pugam Pukan Tankos Urea SP-36 KCl
Pugam 30 - - 10 - 10
Pukan - 120 - 10 10 10
Tankos - - 120 10 10 10
Kontrol - - - 10 10 10

Pengamatan dilakukan terhadap sifat kimia tanah sebelum perlakuan, sifat


amelioran, parameter produksi kelapa sawit, produksi nenas, dan analisis usahatani.
Pengamatan dilakukan pada 16 plot pengamatan (4 perlakuan dan 4 ulangan). Pengamatan
produksi pada setiap plot dilakukan masing-masing pada 8 tanaman sawit dan nenas
sebagai tanaman sela. Lay out pengamatan tanaman sawit dan nenas pada setiap plot
perlakuan disajikan pada Gambar 2.

Tanaman Kelapa Sawit

Tanaman Nenas

Gambar 2. Lay out Pengamatan tanaman sawit dan nenas pada setiap plot perlakuan
Pengamatan produktivitas kelapa sawit dilakukan pada waktu pemanenan tandan
buah segar (TBS) kelapa sawit. Setiap tanaman dihitung jumlah dan berat TBS yang
dipanen. Pengamatan produktivitas (panen) dilakukan dua minggu sekali. Sedangkan
produksi nenas merupakan penjumlahan jumlah buah nenas yang dihasilkan.

Untuk mempelajari dinamika elevasi muka air tanah, di Lokasi Lubuk Ogong-
Riau, telah dilakukan pemasangan 40 piezometer di lahan. Piezometer dibuat dari pipa
paralon berdiameter 2.5 inch dan panjang 200 cm. Penetapan titik-titik pengamatan
elevasi muka air tanah dilakukan menyebar diseluruh lokasi penelitian dengan jarak antar
piezometer sekitar 25-50 m.

137
Nurhayati et al.

Analisis Input/Output

Potensi pengembangan pertanian pada lahan gambut, disamping faktor kesuburan


alami gambut juga sangat ditentukan oleh tingkat manajemen usahatani yang akan
diterapkan. Pengelolaan lahan gambut dengan tingkat manajemen yang berbeda akan
memberikan produktivitas berbeda pula. Biasanya tingkat pengelolaan lahan gambut pada
tingkat petani termasuk tingkat rendah (low inputs) sampai sedang (medium inputs).
Pengumpulan data analisis output /input dilakukan wawancara petani dan penghitungan
sarana produksi pendukung usaha tumpang sari sawit-nenas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Petani sekitar Demplot ICCTF

Hasil diskusi dengan beberapa orang petani di Desa Lubuk Ogong, varietas sawit
yang digunakan umumya varietas lokal, dengan harga Rp.1.000/kecambah, atau bibit leles
(cabutan sendiri dari perusahaan besar sekitar). Sebagai pembanding saat itu harga bibit
unggul Rp. 8.000/kecambah. Jarak tanam yang digunakan umumnya 8 m x 9 m.

Dosis pupuk yang biasa diberikan petani adalah Urea, TSP, KCl, Dolomit, dan
pupuk kandang dengan dosis berturut-turut 5 kg/pokok/tahun; 1 kg/pokok; 1,5 kg/pokok;
4 kg/pokok; dan 1 karung/pokok/tahun.

Perawatan yang dilakukan adalah pembersihan piringan sebelum pemupukan.


Pemupukan dilakukan dengan cara dibenamkan di piringan, dengan selang pemberian
pupuk satu minggu, bergantian Dolomit, Urea, TSP, dan KCl. Hasil wawancara dengan
petani diperoleh produksi sawit masyarakat seperti pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Produksi kelapa sawit eksisting di Desa Lubuk Gong Kec. Bandar Sei Kijang
No Umur Tanaman kelapa Sawit Produksi (kg/ha/th)
1 3-4 th 500
2 4-5 th 700
3 5-7 th 1000

Tanaman kelapa sawit menjadi pilihan baru dan berkembang sangat cepat baik
perkebunan rakyat maupun perkebunan besar.

Sumber-sumber pendapatan petani selain sawit adalah; usahatani tanaman pangan


seperti palawija, sayuran serta peternakan (sapi dan unggas) dalam skala kecil sehingga
tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

138
Pengelolaan Kesuburan Tanah, Produktivitas, dan Keuntungan Sistem Tumpangsari

Hasil Analisis Tanah Awal

Analisis tanah dilakukan pada setiap plot perlakuan (Gambar 1) pada kedalaman 0-
20 cm dari permukaan tanah. Hasil analisis tanah sebelum aplikasi perlakuan amelioran
dan pupuk anorganik disajikan dalam Tabel 4

Tabel 4. Hasil analisis tanah awal sebelum perlakuan amelioran dan pupuk anorganik di
lokasi Demplot ICCTF Riau
Hasil analisis setiap perlakuan
No. Sifat kimia tanah dan satuan
Pugam Tankos Pukan Kontrol
1. pH H2O 3,16 3,10 3,12 3,12
2. C-organik (%) 38,01 38,50 34,79 35,88
3. N-total (%) 1,37 1,80 1,31 1,42
4. C/N 27,7 21,4 26,6 2,53
5. P-tersedia (ppm) 174 185 133 234
-1
6. Ca-tertukar (cmol(+).kg ) 9,98 8,19 9,04 8,30
7. Mg-tertukar (cmol(+).kg-1) 2,52 2,86 2,52 2,64
-1
8. K-tertukar (cmol(+).kg ) 0,34 0,38 0,33 0,47
9. Na-tertukar (cmol(+).kg-1) 0,81 0,52 0,87 1,05
-1
10. KTK (cmol(+).kg ) 81,82 86,94 80,05 82,81
11. KB (%) 16,68 13,75 15,74 15,05
-1
12. Al-tertukar (cmol(+).kg ) 3,22 4,11 3,77 4,17
13. H-tertukar (cmol(+).kg-1) 4,70 5,10 4,76 4,91

Hasil analisis pH tanah di lokasi demplot berkisar 3,10-3,16. Nilai ini


menunjukkan tingkat kemasaman yang tinggi. Media tumbuh dengan tingkat kemasaman
demikian menjadi kendala dalam pengembangan tanaman karena terbatasnya daya
penyediaan hara tanah gambut. Tingginya kemasaman tanah gambut antara lain
disebabkan oleh kondisi drainase yang jelek dan hidrolisis asam-asam organik (Agus,
2008).

Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya


adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10
hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa,
lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya (Agus, 2008). Lahan gambut
umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan kisaran pH 3 – 5.
Tanah gambut juga mengandung unsur mikro yang sangat rendah dan diikat cukup kuat
(khelat) oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu adanya
kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi ke bentuk yang tidak

139
Nurhayati et al.

dapat diserap tanaman. Kandungan unsur mikro pada tanah gambut dapat ditingkatkan
dengan menambahkan tanah mineral atau menambahkan pupuk mikro (Agus, 2008).

Hasil Analisis Amelioran

Hasil analisis amelioran yang digunakan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil analisis beberapa amelioran di Lokasi Demplot ICCTF, Riau


Hasil analisis
No. Karakteristik dan satuan
Pugam Tankos Pukan
1. P-total (%) 13,15 4,75 0,56
2. K2O (%) 0,08 0,45 0,49
3. CaO (%) 26,52 1,29 0,72
4. MgO (%) 10,88 0,80 0,33
5. S (%) 0,56 0,20 0,10
6. Fe(%) 9,46 td 0,04
7. Al (%) 6,29 td td
8. Cu (ppm) 1.008 17 3
9. Zn (ppm) 1.633 47 46
10. B (ppm) 686 3 40
11. Pb (ppm) 54 td td
12. Cd (ppm) 14 td td
13. Hg (ppm) td 0,00 0,10
14. Kadar abu (%) 97,24 19,23 6,13
15. Kadar air (%) 3,07 70,08 70,08
Keterangan: *) Fe dan Al dalam bentuk oksida
Td= tidak terukur

Pugam adalah pupuk anorganik majemuk yang mengandung 13,15% P2O5, 25,6%
CaO dan 10,88 MgO. Kandungan unsur penting lainnya adalah Fe 9,46% dan Al 6,29%
yang menjadi sumber kation polivalen yang dibutuhkan tanah gambut untuk
meningkatkan stabilitasnya dan mengurangi degradasi gambut serta emisi gas rumah
kaca. Kandungan unsur mikro Zn, Cu dan B juga cukup tinggi untuk mensuplai
kebutuhan tanaman di tanah gambut.

Kompos tandan kosong sawit mempunyai keunggulan antaranya kadar Ca, Mg, S
dan kadar abu yang lebih tinggi, tetapi lebih rendah kandungan unsur B dibandingkan
dengan pupuk kandang. Lahan gambut bersifat sangat masam karena kadar asam-asam
organik sangat tinggi dari hasil pelapukan bahan organik. Sebagian dari asam-asam

140
Pengelolaan Kesuburan Tanah, Produktivitas, dan Keuntungan Sistem Tumpangsari

organik tersebut, khususnya golongan asam fenolat, bersifat racun dan menghambat
perkembangan akar tanaman, sehingga pertumbuhan tanaman sangat terganggu.
Ameliorasi diperlukan untuk mengatasi kendala reaksi tanah masam dan keberadaan asam
organik beracun, sehingga media perakaran tanaman menjadi lebih baik (Subiksa, 2011).
Hasil penelitian Maftuah 2011, menyebutkan amelioran yang direkomendasikan di lahan
gambut terdegradasi adalah amelioran yang terdiri dari campuran pupuk kandang ayam,
gulma pertanian in situ, purun tikus, tanah mineral dan dolomit. Jenis amelioran lain yang
berpotensi untuk memperbaiki sifat-sifat kimia gambut adalah abu terbang, abu serbuk
gergaji dan abu sekam. Ramadina (2003) mengatakan bahwa abu terbang mampu
memperbaiki sifat-sifat kimia tanah gambut yang ditunjukkan oleh meningkatnya pH, P-
tersedia dan KB.

Pada lahan gambut, peningkatan pH cukup sampai pH 5,0 karena gambut tidak
memiliki potensi Al yang beracun. Peningkatan pH terlalu tinggi justru berdampak buruk
karena laju dekomposisi gambut menjadi terlalu cepat (Subiksa, 2011).

Produksi Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit rata-rata menghasilkan buah 20-22 tandan/tahun. Waktu


yang diperlukan mulai dari penyerbukan sampai buah matang dan siap panen kurang lebih
5-6 bulan (Rankine dan Fairhurst. 2000). Hasil penelitian menunjukkan jumlah TBS/plot
perbulan bervariasi setiap bulannya disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Jumlah TBS setiap bulan pada lokasi demplot ICCTF Riau

Jika dihubungkan antara produksi TBS dengan tinggi muka air tanah, tidak terlihat
adanya pengaruh tinggi permukaan air tanah dengan produksi TBS. Gambar 4
menunjukkan bahwa penurunan produksi cendrung terjadi setelah dua bulan penurunan

141
Nurhayati et al.

permukaan air tanah. Ketersediaan air merupakan salah satu faktor pembatas utama
produksi kelapa sawit. Pada fase vegetatif kekeringan pada tanaman kelapa sawit ditandai
oleh kondisi daun tombak tidak membuka dan terhambatnya pertumbuhan pelepah. Pada
keadaan yang lebih parah kekurangan air menyebabkan kerusakan jaringan tanaman yang
dicerminkan oleh daun pucuk dan pelepah yang mudah patah. Pada fase generatif
kekeringan menyebabkan terjadinya penurunan produksi tanaman akibat terhambatnya
pembentukan bunga, meningkatnya jumlah bunga jantan, pembuahan terganggu, gugur
buah muda, bentuk buah kecil dan rendemen minyak buah rendah (Balitklimat, 2007).

Gambar 4. Variasi tinggi muka air tanah dibandungkan dengan produksi TBS kelapa
sawit pada lokasi demplot ICCTF Riau

Pengaruh amelioran belum menyebabkan perbedaan terhadap produksi TBS,


namun ada kecenderungan pemberian Tankos memberikan produksi TBS tertinggi
walaupun tidak berbeda nyata (Tabel 6).

Tabel 6. Pengaruh ameliorasi dan pemupukan terhadap produksi TBS kelapa sawit
No. Perlakuan Total produksi (kg/ha/thn)
1. Kontrol 18.513 a
2. Pugam 19.326 a
3. Pukan 19.613 a
4 Tankos 20.057 a
Keterangan: Angka-angka pada setiap parameter yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut
DMRT taraf 5%.

Produksi Nenas

Tanaman nenas membutuhkan tanah yang gembur dan kaya akan bahan organik,
sehingga sesuai ditanam di lahan gambut. Disamping itu, tanaman nenas juga

142
Pengelolaan Kesuburan Tanah, Produktivitas, dan Keuntungan Sistem Tumpangsari

membutuhkan curah hujan yang merata sepanjang tahun dengan suhu optimum 32°C
(Rukmana, 1996)

Pada lokasi demplot, umur tanaman nenas yang masih relatif muda menyebabkan
produksi buah belum maksimal. Tabel 7 memperlihatkan bahwa produksi buah yang
dihasilkan oleh nenas yang diberi Pugam lebih banyak. Hal ini disebabkan keunggulan
komparatif amelioran ini. Pugam memiliki kandungan P total (13,15%) yang lebih tinggi
dibandingkan amelioran Tankos (4,75%) maupun Pukan (0,56%). Hasil pengamatan
lapang juga memperlihatkan bahwa kecepatan munculnya buah nenas lebih cepat pada
plot perlakuan Pugam. Rata-rata tanaman nenas yang diberi Pugam, buahnya 7-10 hari
muncul lebih awal.

Tabel 7. Pengaruh ameliorasi dan pemupukan terhadap produksi buah nenasyang


ditumpangsari dengan kelapa sawit
No. Perlakuan Produksi buah (biji)
1. Kontrol 6b
2. Pugam 11c
3. Pukan 3a
4. Tankos 8bc
Keterangan : Angka-angka pada setiap parameter yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut
DMRT taraf 5%.

Hasil Analisis Usahatani Demplot ICCTF

Berdasarkan hasil analisis usahatani kegiatan Demplot ICCTF di Riau, dari empat
(4) perlakuan maka diperoleh hasil yang tertinggi pada perlakuan Pugam yaitu sebesar
Rp. 17.383.475,- seperti pada Tabel 8. Pada perlakuan amelioran Pugam, pupuk SP-36
dan beberapa unsur mikro tidak diberikan lagi, sehingga dapat meningkatkan pendapatan.
Walaupun pendapatan tertinggi, namun ketersediannya di lapangan masih terbatas.

Tabel 8. Hasil analisis usahatani di lokasi Demplot ICCTF Riau


Kontrol Pugam Pukan Tankos
Biaya usahatani:
a. Tenaga kerja (Rp.) 4.709.375 4.709.375 4.709.375 4.709.375
b. Sarana produksi (Rp.) 11.632.670 10.761.350 13.824.670 19.630.045
Total (Rp.) 16.342.045 15.470.725 18.534.045 19.630.045
Penerimaan:
Produksi (kg) 18.513 19.326 19.613 20.057
Penerimaan (Rp.) 31.471.777 32.854.200 33.342.100 34.096.900
Laba (Rp.) 15.129.732 17.383.475 14.808.055 14.466.855

143
Nurhayati et al.

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi TBS kelapa sawit tertinggi


dihasilkan pada amelioran Tankos yakni sebesar 20.057 kg/ha/th dan untuk nenas,
produksi tertinggi pada perlakuan amelioran Pugam yakni 11 (sebelas) buah.

Pada perlakuan amelioran Pugam, pupuk SP-36 dan beberapa unsur mikro tidak
diberikan lagi, sehingga tingkat pendapatan lebih tinggi dibandingkan amelioran lain.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. Dan I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut : Potensi untuk Pertanian dan Aspek
Lingkungan. Bogor: Balai Penelitian Tanah. 36p.
Agus, F., E. Runtunuwu, T. June, E. Susanti, H. Komara,H. Syahbuddin, I.Las & M. van
Noordwijk. 2009. Carbon budget in land use transitions to plantation. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 29: 119−126
Allorerung, D., M. Syakir, Z. Poeloengan, Syafaruddun, W. Rumini. 2010. Budidaya
Kelapa Sawit. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 73p.
Anonim. 2012. Budidaya Kelapa Sawit. Januari, 2, 2012.http://forester84.blogspot.com
Balitklimat (Balai Penelitian Klimatologi. Departemen Pertanian. 2007. Pengelolaan Air
untuk peningkatan ketersediaan air tanaman kelapa sawit di PTPN VIII
Cimulang. http://balitklimat.litbang.deptan.go.id
Berrydhiya. 2012. Tanaman Penutup Tanah (Cover Crop). Januari, 3, 2013.
http://berrydhiya.blogspot.com.
BPS Provinsi Riau. 2012. Berita Resmi Statistik : Berita Resmi Statistik Provinsi Riau
No. 58/12/14/Th. XIII, 3 Desember 2012
Dinas Perkebunan Provinsi Riau. 2009. Statistik Perkebunan Riau. Pekanbaru.
Hartatik, W. dan D.A. Suriadikarta. 2006. Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut :
Karakteristik dan pengelolaan Lahan Rawa hal 151 - 180.
Maftuah, E. 2012. Ameliorasi Lahan Gambut Terdegradasi dan Pengaruhnya Terhadap
Produksi Tanaman Jagung Manis. ABSTRAK. Januari, 3, 2013.
http://etd.ugm.ac.id
Noor, M. 2010. Lahan Gambut : Pengembangan, Konservasi, dan Perubahan Iklim.
Gadjah Mada Univ. Press. Yogyakarta. 212 Hlm.
Ramadina, E.F.R. 2003. Potensi Abu Terbang (Fly Ash) Sebagai Bahan Amelioran pada
Lahan Gambut dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Januari, 3, 2013.
http://repository.ipb.ac.id
Rankine, I. R dan T. H. Fairhurst. 2000. Buku Lapangan: Seri Tanaman Kelapa Sawit–
Tanaman Menghasilkan. E. S. Sutarta dan W. Darmosarkoro (Penerjemah). Pusat
Penelitian Kelapa Sawit. Bogor.106 hal. Terjemahan dari: Field handbook: Oil

144
Pengelolaan Kesuburan Tanah, Produktivitas, dan Keuntungan Sistem Tumpangsari

Palm Series–MatureRitung, S. dan Wahyunto. 2003. Kandungan karbon Tanah


Gambut di Pulau Sumatera. “Workshop on Wise Use and Sustainable Peatlands
Management Practices 13 – 14 October 2003”. Bogor.
Rukmana, R, 1996. Nenas : Budidaya dan Pascapanen. Kanisus, Yogyakarta. 60 hlm.
Subiksa, I.G.M., W.Hartatik dan F. Agus. 2011. Pengelolaan Lahan Gambut Secara
Berkelanjutan. Januari, 2, 2012. http://balittanah.litbang.deptan.go.id
Subiksa, I.G.M. 2012. Pugam: Pupuk rendah emisi GRK untuk lahan gambut. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 3. No. 2. 2012.
Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo. 2005. Peta Luas Sebaran Lahan Gambut dan
Kandungan Karbon di Pulau Sumatera, 1990 – 2002. Wetlands International -
Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC).
Wibowo, A. 2009. Peran Lahan Gambut dalam Perubahan Iklim Global. Jurnal Ttekno
Hutan Tanaman Vol. 2, No. 1 April 2009. 19-28.

145
9
RESPON AMELIORASI DAN INOKULASI MIKROBA PELARUT
FOSFAT TERHADAP PERTUMBUHAN DAN EMISI CO2 PADA
PEMBIBITAN KELAPA SAWIT DI LAHAN GAMBUT
AMELIORATION AND PHOSPHATE SOLUBILIZING MICROBE INOCULATION
EFFECT ON OIL PALM SEEDLING GROWTH AND CO2 EMISSION FROM PEAT
NURSERY

Ida Nur Istina1 , Benny Joy2, Aisyah D. Suyono2, Happy Widiastuti3, Heri Widianto4
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau, Jl. Kaharudin Nasution No.341, Km 10, Padang
Marpoyan, Pekanbaru.
2
Universitas Padjadjaran, Jl. Raya Bandung Sumedang Km. 21, Jatinangor, Bandung.
3
Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Jl. Taman Kencana, Bogor.
4
Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor.

Abstrak. Upaya peningkatan produksi kelapa sawit pada lahan gambut


dilakukan dengan teknik ameliorasi dan penggunaan mikroba potensial
yang mampu meningkatkan kandungan hara tanah dan performansi
pertumbuhan tanaman. Di sisi lain penggunaan amelioran dan aktifitas
mikroba potensial dapat memicu peningkatan emisi karbon yang apabila
melebihi batas dapat merugikan. Penelitian pot ini bertujuan untuk
mengevaluasi respon ameliorasi dan inokulasi mikroba pelarut fosfat
(MPF) terhadap pertumbuhan dan emisi CO2 pada pembibitan kelapa sawit
di lahan gambut yang dilakukan di Provinsi Riau. Penelitian menggunakan
Rancangan Acak Kelompok dengan tiga ulangan dan sepuluh perlakuan
yaitu a1 = 500 g kompos tandan kosong kelapa sawit/kg media ; a 2 = tanpa
amelioran; a3 = 500 g kompos tandan kosong kelapa sawit/kg media + 25 %
pupuk P; a4 = 500 g kompos tandan kosong kelapa sawit/kg media + 50 %
pupuk P; a5 = 500 g kompos tandan kosong kelapa sawit/kg media + 75 %
pupuk P; a6 = 500 g kompos tandan kosong kelapa sawit/kg media + 100 %
pupuk P; a7 = 25 % pupuk P; a8 = 50 % pupuk P; a9 = 75 % pupuk P dan a10
= 100 % sesuai dosis rekomendasi). Parameter pengamatan adalah
pertumbuhan bibit kelapa sawit (tinggi tanaman (cm), jumlah daun
(lembar), lingkar batang (cm) dan emisi CO2. Data yang terkumpul
dianalisis menggunakan perangkat lunak SPSS ver. 16. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ameliorasi menggunakan tandan kosong kelapa sawit
dan inokulasi MPF meningkatkan ketersediaan hara untuk pertumbuhan
bibit kelapa sawit yang diindikasikan oleh berat biomassa dan menurunkan
emisi CO2.
Kata Kunci : Emisi CO2, Gambut, Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit,
Mikroba pelarut fosfat, pertumbuhan bibit kelapa sawit,

147
Ida Nur Istina et al.

Abstract. Efforts to improve the palm oil production on peatlands is done


with amelioration techniques and use of the potential microbes that
improve soil nutrient content and plant growth performance. However, the
use of ameliorant may also trigger an increase in carbon emissions.
Research aimes are to evaluate the amelioration and phosphate
solubilizing microbial inoculation (MPF) response on oil palm growth and
CO2 emissions in the oil palm nursery at Riau. We used randomized block
design with three replications. Ten treatments were tested, namely a1 = 500
g empty oil palm fruit bunch compost/kg soil; a2 = without ameliorant; a3 =
500 g empty oil palm fruit bunch compost/kg soil + 25% P; a4 = 500 g
empty oil palm fruit bunch compost/kg soil + 50% P; a5 = 500 g empty oil
palm fruit bunch compost/kg soil + 75% P; a6 = 500 g empty oil palm fruit
bunch compost/kg soil + 100% P; a7 = 25% P; a8 = 50% P; a9 = 75% P
and a10 = 100% P, where 100% P is recomendation dosage of fertilizer.
Observations included growth of oil palm seedlings (plant height (cm), leaf
(sheets), trunk circumference (cm) and CO2 emissions. Data were analyzed
using SPSS software ver. 16th. The results showed that amelioration using
oil palm bunches compos (a1) and MPF inoculation increased the
availability of palm oil seedlings as indicated by the highamount of biomass
and relatively lowr CO2 emissions.
Keywords: Peat soil, oil palm empty bunches compost, phosphat
solubilizing microbe, the growth of oil palm seedlings, CO 2 Emissions

PENDAHULUAN
Lahan gambut merupakan lahan sub optimal yang berpotensi untuk penyediaan produk
pertanian ke depan mengingat lahan subur di Indonesia sudah menyempit. Luasan lahan
gambut Indonesia mencapai 14,9 juta hektar (Ritung, dkk, 2011) yang tersebar di
Indonesia, dimana 4.2 juta diantaranya berpotensi untuk pengembangan komoditas
pertanian termasuk komoditas perkebunan. Luasan perkebunan kelapa sawit Indonesia
pada tahun 2013 mencapai 10.59 juta hektar dan dengan laju pertumbuhan 2.49 % per
tahun 2014 luasan diprediksi akan mencapai 10.85 juta hektar (BPS, 2013). 1.539.579
juta hektar diantaranya tumbuh di lahan gambut (Wahyunto dkk., 2013) dan 40 %
diantaranya diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat.
Pengembangan pertanian di lahan gambut mengalami banyak kendala berkaitan
dengan sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang mengindikasikan tingkat kesuburan dan
kesehatan lahan. Pemanfaatan lahan gambut dengan pengelolaan yang baik mampu
berkontribusi dalam perekonomian masyarakat (Wahyunto et al., 2010); diantaranya
dengan pengaturan muka air tanah, ameliorasi dan asupan hara yang diperlukan tanaman.
Fosfat merupakan unsur hara terpenting setelah unsur hara N. Fosfat di lahan gambut
terkhelat oleh unsur Fe atau Al dalam bentuk fosfolipida dengan kisaran antara 0.17-0.33
mg g-1 (Berg, 2008) sehingga tidak tersedia, akibatnya hanya 30 % yang dapat diserap
tanaman. Kurangnya asupan unsur P menyebabkan tidak normalnya pertumbuhan dan
produksi tanaman (Sharma et al., 2013).

148
Respon Ameliorasi dan Inokulasi Mikroba Pelarut Fosfat

Penggunaan pupuk kimia dalam jumlah besar mahal dan tidak terjangkau
khususnya bagi petani. Penggunaannya secara terus menerus juga menyebabkan
terjadinya pencemaran lingkungan akibat adanya leaching dan kerusakan tanah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kompos tandan kosong kelapa sawit mengandung unsur
hara makro dan mikro yang diperlukan untuk tumbuh dan kembang tanaman
(Darnoko,2006), selain pemberian bahan organik itu dapat meningkatkan pH tanah
karena asam-asam organik hasil dekomposisi akan mengikat Al membentuk senyawa
komplek (khelat), sehingga Al-tidak terhidrolisis lagi (Suntoro, 2003).

Di alam mikroba tersedia secara melimpah baik dari jenis bakteri, fungi maupun
aktinomiset yang mempengaruhi kesehatan tanah. Proses mineralisasi yang dilakukan
oleh mikroba melalui mekanisme pengeluaran asam organik akan mengubah fosfat yang
sukar larut menjadi tersedia bagi tanaman. Aktivitas mikroba sangat ditentukan oleh pH,
temperatur dan kandungan C organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bacillus
subtilis, bacterium mycoides dan B. Mesentericus dapat melarutkan P organik (FePO4),
Ca3 (PO4)2, glicerofosfat, lesitin dan tepung tulang) secara in vitro berturut-turut 2-7, 3-9,
3-13, 5-21 dan 14 persen (Suriadikarta, 2006). Bacillus sp dan 2 galur B firmus mampu
melarutkan masing-masing 0.3, 0.9 dan 0.3 persen senyawa Ca3(PO4)2 tetapi tidak mampu
melarutkan AlPO4 dan FePO4. Hasil penelitian Banik dan Dey, (1982) menyebutkan
bahwa fungi mampu melarutkan P dalam bentuk AlPO4 pada tanah masam bahkan lebih
tinggi dibandingkan bakteri (Goenadi dan Saraswati, 1993) dengan kemampuan antara
12– 162 ppm di medium Pikovskaya yang mengandung sumber P AlPO 4 yang relatif lebih
sukar larut sebesar 27-47 % (Lestari dan Saraswati, 1997). Ketersediaan fosfat
mengakibatkan peningkatan pertumbuhan dan hasil tanaman (El-Yazeid, A.A and H.E.
Abou-Aly, 2011), mengurangi penggunaan pupuk (Singh and Reddy, 2011; Zaidi A.,
2009) bahkan beberapa mikroba pelarut fosfat mampu berperanan sebagai antagonis.

Pengembangan pertanian termasuk kelapa sawit di lahan gambut disinyalir


merupakan penyebab tingginya emisi gas rumah kaca terutama CO2 (Agus et al., 2010).
Karbondioksida (CO2) merupakan gas tidak berwarna terdiri dari 2 atom oksigen dan satu
atom karbon; yang dihasilkan oleh proses dekomposisi, respirasi termasuk organisma
aerobik, pembakaran fosil termasuk gambut dan aktivitas industri manusia. CO 2
mempunyai andil dalam siklus karbon pada tanaman, alga dan cyanobakteri yang dengan
bantuan energi matahari mengubah CO2 dan air menjadi fotosintat (Kaufman dan Cecilia,
1996). CO2 merupakan sumber utama karbon . Tanaman memerlukan CO2 untuk tumbuh
dan berkembang, namun jumlah CO2 yang tidak mencukupi atau kurang dapat
menyebabkan tanaman berhenti tumbuh (pada konsentrasi 100 x lebih tinggi),
meminimalisir perkembangan kupu dan laba-laba (konsentrasi 1 % atau lebih). Selain itu
CO2 dapat dimanfaatkan untuk mengontrol pH. Kandungan CO 2 meningkat seiring waktu

149
Ida Nur Istina et al.

dan suhu. Tingginya CO2 di udara diiringi adanya perubahan iklim seperti temperatur
tinggi, peningkatan precipitasi dan penurunan kandungan N dalam tanah menyebabkan
penurunan pertumbuhan tanaman (Shwartz, 2014).

Emisi dunia diperkirakan sekitar 78 juta ton dan Indonesia rangking ke 21. Sumber
emisi diantaranya berasal dari sektor kehutanan yang mampu menyumbang 850 Mt CO 2
(38 % total emisi Indonesia; deforestrasi hutan sebanyak 0.8 – 1 juta ha per tahun
memungkinkan 850 Mt emisi CO2 akan berlangsung hingga 2030). Lahan gambut
menyumbang 45 % dari total emisi Indonesia. Kegiatan pengeringan, oksidasi dan
penggundulan gambut yang dilakukan akan meningkatkan jumlah emisi hingga 1.2 Gt
pada 2030. Tingginya emisi dari lahan pertanian/gambut merupakan akibat adanya
drainase dan konversi karbon padat rawa gambut (Tribune, 2013). Jenis vegetasi
berkontribusi 35-57 %v terutama yang berasal dari respirasi akar, proses yang terjadi pada
rizosfir. Mineralisasi oleh eksudat akar menyumbang 14-53 μmol C-CO2/m2/hari
tergantung jenis vegetasi dan kelembaban. Vegetasi mempengaruhi lokasi C (Crow and R.
Kelman Wieder, 2005). Mengingat pentingnya pengelolaan gambut, maka penelitian yang
bertujuan untuk mengetahui respon ameliorasi dan inokulasi mikroba pelarut fosfat (MPF)
terhadap pertumbuhan dan emisi CO2 pada pembibitan kelapa sawit telah dilakukan di
lahan gambut

METODOLOGI

Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di kebun bibit petani di Provinsi Riau dari Oktober 2013-
Mei 2014,. Beberapa sifat kimia tanah disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Sifat kimia tanah gambut yang digunakan dalam penelitian


Sifat kimia tanah Nilai
pH 3
C 37.35
N (%) 1.83
C/N 20
P2O5 (Bray II) ppm 22.8
K tersedia 175.4
P2O5 HCl 25 % (mg 100 g-1) 59.22
K2O HCl 25 % (mg 100 g-1) 42.84
Mg tersedia cmol(+) kg-1 3.05

150
Respon Ameliorasi dan Inokulasi Mikroba Pelarut Fosfat

Penempatan Perlakuan dan inokulasi mikroba

Desain penelitian menggunakan Rancangan Acak kelompok dengan 3 kali ulangan


terdiri 10 perlakuan yaitu a1= gambut + kompos tankos, a2= gambut (kontrol), a3= gambut
+ kompos tankos+25%P, a4= gambut + kompos tankos+50%P, a5 = gambut + kompos
tankos + 75%, a6= gambut kompos tankos + 100% P, a7= gambut + 25% P, a8= gambut
+50% P, a9= gambut + 75% P, dan a10= gambut + 100% P.

Bahan tanaman yang digunakan adalah bibit kelapa sawit varietas AA DP TOPAS 3
umur 4 bulan setelah semai. Inokulan mikroba pelarut fosfat adalah mikroba yang
terindikasi sebagai mikroba pelarut fosfat yang diisolasi dari tanah gambut saprik Riau
menggunakan media selektif pikovskaya.

Media tanam yang digunakan adalah tanah gambut dangkal asal kabupaten
Pelalawan yang diambil pada kedalaman 0-20 cm dengan sifat seperti pada Tabel 1, di
keringanginkan dan disaring dengan diameter saringan 2 mm, tanah dicampur dengan
kompos tankos dengan perbandingan 1:1 sesuai perlakuan dan dimasukkan ke dalam
polibag ukuran 40 x 50 cm.

Penyiapan inokulan

Inokulum diperbanyak dengan menambahkan 10 ml NaCl fisiologis (0,85 %)


pada stok isolat murni pada permukaan agar miring sehingga menjadi suspensi mikroba
yang kemudian diinkubasikan pada suhu 30 o C hingga mencapai fase eksponensial yang
dipercepat. 10 % suspensi dikulturkan dalam 100 ml medium yang mengandung 10 m M
asam fitat pada suhu kamar stationer. Pada akhir inkubasi konsentrasi sel mikroba
dihitung kepadatannya.

Penanaman

Masing-masing bibit kelapa sawit umur 4 bulan ditanam pada polibag tidak
berlubang berisi media yang telah disiram hingga jenuh dan diberi lubang tanam dengan
diameter 14 cm. Sebelum bibit ditanam ke dalam lubang tanam diberikan pupuk dasar
0.569 g N/tan + 0.458 g P /tan + 0.276 K/tan + 0.201 g Mg/tan.

Pemupukan

Pemupukan bibit dilakukan 2 minggu setelah tanam menggunakan pupuk tunggal


secara tabur. Pupuk N diberikan dalam bentuk Urea, P diberikan dalam bentuk TSP, K
dalam bentuk KCl dan Mg dalam bentuk kiserit, sesuai dengan perlakuan Tabel 2.

151
Ida Nur Istina et al.

Inokulan diinokulasikan pada sore hari dengan tingkat kerapatan 10 9, sebanyak 15


ml/tanaman dengan menuangkan larutan ke dalam tanah sesuai dosis perlakuan.
Pemeliharaan meliputi penyiangan terhadap gulma yang tumbuh, penyemprotan pestisida
untuk mencegah serangan hama dan penyakit tanaman.

Tabel 2. Dosis pupuk anorganik dan waktu pemupukan


Dosis Pupuk (g/tan)
Minggu
P
ke N K Mg
100% 75% 50% 25% Kontrol
18 1,594 1,283 0,963 0,642 0,321 0 0,774 0,563
20 2,278 1,833 1,375 0,917 0,458 0 1,106 0,804
22 2,278 1,833 1,375 0,917 0,458 0 1,106 0,804
24 2,278 1,833 1,375 0,917 0,458 0 1,106 0,804
26 3,644 2,933 2,2 1,467 0,733 0 6,271 7,638
28 3,644 2,933 2,2 1,467 0,733 0 6,271 7,638
30 3,644 2,933 2,2 1,467 0,733 0 6,271 7,638
32 4,556 3,667 2,75 1,833 0,917 0 7,839 8,04
34 4,556 3,667 2,75 1,833 0,917 0 7,839 8,04
35 4,556 3,667 2,75 1,833 0,917 0 7,839 8,04

Pengukuran emisi CO2

Emisi CO2 diukur menggunakan perangkat Infra Red Gas Analyzer (IRGA) type
dengan metoda closed chamber. Chamber yang digunakan adalah dark chamber. Light
chamber juga digunakan diakhir penelitian. Pengukuran emisi CO 2 menggunakan dark
chamber dilakukan setiap bulan sekali sedangkan light chamber digunakansekali saja saat
pengamatan terakhir.

Parameter pengamatan meliputi: pertumbuhan tinggi tanaman 5 bulan setelah


tanam, jumlah daun, lingkar batang, bobot kering akar, batang dan emisi CO 2. 20 minggu
setelah perlakuan tanaman dicabut dengan hati-hati dibersihkan dari tanah dan dicuci agar
tanah yang menempel pada akar terlepas kemudian ditimbang bobot akar, batang dan
daun. Data yang terkumpul ditabulasikan dan dianalisis menggunakan perangkat lunak
SPSS versi 16.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan pertumbuhan bibit kelapa sawit

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan ameliorasi dan inokulasi
mikroba pelarut fosfat tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan

152
Respon Ameliorasi dan Inokulasi Mikroba Pelarut Fosfat

tinggi tanaman bibit kelapa sawit; hal ini kemungkinan disebabkan kebutuhan hara untuk
pertumbuhan optimal masih dapat dipenuhi oleh media gambut, namun menunjukkan
perbedaan yang nyata pada pertambahan jumlah daun dan lingkar batang. Pertumbuhan
vegetatif tanaman dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk diantaranya kecukupan hara
seperti unsur hara N sebagai penyusun sel yang merangsang pertumbuhan vegetatif yaitu
tinggi tanaman sedangkan unsur P berperan dalam pembelahan sel untuk membentuk
organ tanaman. Bibit kelapa sawit akan mengalami defisiensi yang menyebabkan
pertumbuhan tanaman tidak normal jika kandungan hara P dalam tanah kurang dari 15 mg
P/kg, K kurang dari 0,15 cmol/kg. Tinggi tanaman tertinggi terdapat pada perlakuan
inokulasi MPF pada Gambut+75 % P (73.74 cm) dan terendah pada inokulasi MPF pada
media gambut (70.72 cm). Artinya bahwa bahwa inokulasi MPF meningkatkan
pertumbuhan bibit kelapa sawit jika dikombinasikan dengan bahan anorganik. Asupan
hara P yang ditambahkan pada tanah gambut diperlukan mikroba untuk kegiatan
metabolismenya sehingga memacu pertumbuhan dan perkembangan mikroba untuk
menghasilkan asam organik yang berperanan dalam mengkhelat unsur P yang terlarut
sehingga tersedia bagi tanaman.

Pertambahan jumlah daun terbanyak terdapat pada perlakuan inokulasi MPF pada
gambut + 25 % P (11,22 lembar) tidak berbeda nyata dengan inokulasi mikroba pelarut P
pada gambut yang diberi amelioran tandan kosong kelapa sawit baik tanpa penambahan
pupuk P maupun dengan penambahan berbagai dosis pupuk P kecuali penambahan 75 %
P dan inokulasi mikroba pelarut P pada tanah gambut + 50 % P.

Tabel 3. Keragaan rata-rata pertumbuhan bibit kelapa sawit


Tinggi tanaman Σ daun Diameter
Perlakuan
(cm) (lbr) batang(cm)
Gambut + tankos 72.57 10.50 ab 4.83 b
Gambut 70.72 10.47 a 4.61 ab
Gambut+ tankos+25% P 72.86 10.64 ab 4.51 ab
Gambut+ tankos+50% P 73.40 10.53 ab 4.67 ab
Gambut+ tankos+75% P 71.38 10.36 a 4.53 ab
Gambut+ tankos+100%P 71.74 10.92 ab 4.48 a
Gambut+ 25 % P 73.54 11.22 b 4.45 a
Gambut+ 50 % P 73.07 10.64 ab 4.56 ab
Gambut+ 75 % P 73.74 10.44 a 4.45 a
Gambut+ 100 % P 72.24 10.47 a 4.44 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf
bedanyata 5 %

153
Ida Nur Istina et al.

Jumlah daun terendah pada inokulasi MPF pada media gambut+kompos


tankos+75% P (10,36 lembar) tidak berbeda nyata dengan kontrol. Pembentukan organ
baru ditentukan oleh unsur hara P . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa MPF bekerja
dengan baik pada tanah yang kandungan hara P nya rendah. Pada kondisi hara P tersedia
melimpah MPF tidak bekerja. Pada perlakuan dimana gambut memiliki kandungan P
tinggi tetapi tidak tersedia bagi tanaman sehingga MPF melakukan aktivitas pelarutan
dengan baik. Peranan MPF adalah menguraikan unsur hara P dan mencegah P yang
terurai dikhelat oleh koloid tanah sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik.

Pertambahan diameter batang terbesar terdapat pada perlakuan inokulasi MPF pada
tanah gambut (4.83 cm) dan terkecil pada perlakuan inokulasi MPF pada Gambut+100 %
P artinya bahwa penambahan P menghambat aktifitas MPF untuk melakukan aktifitas
pelarutan hara P, sementara dari 100 % P yang diaplikasikan 80-90% difiksasi komponen
tanah sehingga tidak tersedia bagi tanaman.

Berat Biomassa bibit kelapa sawit

Berat biomassa tanaman menggambarkan aplikasi MPF pada berbagai media


menunjukkan perbedaan yang nyata. Berat brangkasan bibit kelapa sawit tertinggi pada
media gambut +75% P, Gambut + 100 % P, Gambut + tankos +100% P dan Gambut +
tankos tetapi tidak berbeda nyata dengan aplikasi MPF pada media Gambut+ tankos+50%
P, Gambu t+ 75 % P, Gambut + 50 % P namun berbeda nyata dengan aplikasi MPF pada
tanah gambut, demikian juga pada berat brangkasan akar (Tabel 3). Hal ini menunjukkan
bahwa berat biomasa tanaman ditentukan oleh penambahan bahan anorganik baik dalam
bentuk pupuk kimia yang ditambahkan maupun yang berasal dari kompos tandan kosong
kelapa sawit yang merupakan bahan baku untuk proses fotosintesa dan proses
metabolisme tanaman lainnya. Hasil dari proses tersebut pada akhirnya didistribusikan
kembali pada seluruh bagian tanaman. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa MPF
berkontribusi dalam penyediaan hara P melalui mekanisme penguraian unsur P dari P
anorganik dan mencegah khelasi oleh asam organik gambut. Unsur hara P diperlukan
tanaman untuk pertumbuhan akar, proses fotosintesis dan metabolisme lainnya. Selain itu
inokulasi mikroba pelarut fosfat kan meningkatkan lapisan yang sesuai untuk
pertumbuhan dan produksi tanaman serta kelestarian kesehatan tanah (Sharma, 2013).

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa aplikasi MPF secara tunggal tidak
berpengaruh nyata terhadap keragaan berat kering batang (bagian atas tanaman), namun
pengaruhnya menjadi nyata pada berbagai media dengan kombinasi kompos tankos dan
pupuk P anorganik, meski tidak berbeda nyata pada bagian akar tanaman.

154
Respon Ameliorasi dan Inokulasi Mikroba Pelarut Fosfat

Tabel 4. Keragaan berat brangkasan dan berat kering tanaman


Brangkasan (g) Berat Kering (g)
Perlakuan
Batang Akar Batang Akar
Gambut+tankos 321.99 bc 100.61 abc 104.79 bc 21.64 a
Gambut 250.28 a 82.99 a 84.69 ab 18.76 a
Gambut+ tankos+25% P 279.60 ab 89.77 ab 90.19 abc 20.63 a
Gambut+ tankos+50% P 302.70 abc 103.97 bc 97.79 abc 21.75 a
Gambut+ tankos+75% P 281.30 ab 101.89 abc 83.61 a 18.97 a
Gambut+ tankos+100% P 339.71 bc 108.80 bc 106.23 c 23.30 a
Gambut+ 25 % P 290.17 abc 104.79 bc 90.41 abc 19.97 a
Gambut+ 50 % P 289.26 abc 107.54 bc 90.71 abc 19.13 a
Gambut+ 75 % P 348.62 c 108.92 bc 103.46 abc 20.15 a
Gambut+ 100 % P 322.18 bc 113.10 c 97.77 abc 21.00 a
Keterangan : - Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf
beda
Nyata 5 % - 25-100% P adalah persen pupuk P diaplikasikan dari total rekomendasi
pupuk P

Artinya bahwa hara didistribusikan secara merata baik pada bagian atas tanaman
maupun bagian bawah tanaman (akar). Berat brangkasan tertinggi terdapat pada perlakuan
gambut+ 75 % P tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan lain kecuali perlakuan
gambut menunjukkan bahwa kecukupan hara P yang diperlukan tanaman untuk proses
metabolisme yang diindikasikan dengan berat brangkasan berasal dari P yang diberikan
dan kandungan P asal tandan kosong kelapa sawit.

Kompos tandan kosong kelapa sawit yang digunakan dalam penelitian ini memiliki
pH 8.5, sehingga penggunaannya sebagai amelioran berpengaruh pada peningkatan pH
tanah yang berdampak baik pada pertumbuhan mikroba maupun ketersediaan hara P bagi
tanaman. Pada gambut yang tidak terameliorasi, kecukupan hara P selain dipengaruhi oleh
P yang diberikan juga dipengaruhi oleh adanya mikroba pelarut fosfat yang berperanan
dalam mencegah P terlarut diikat oleh aluminium tanah sehingga tersedia bagi tanaman.

Keragaan Emisi CO2 pada pembibitan kelapa sawit

Emisi CO2 dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya pH tanah, ketersediaan


hara, air, suhu dan faktor lingkungan lainnya. Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa
perlakuan ameliorasi dan inokulasi mikroba pelarut fosfat pada tanah gambut saprik
berpengaruh terhadap respirasi dan emisi CO2 pada 1 bulan setelah perlakuan, namun

155
Ida Nur Istina et al.

tidak berbeda nyata hingga 5 bulan setelah perlakuan dan memiliki kecenderungan
menurun (Tabel 5). Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan lahan gambut
menggunakan amelioran tandan kosong kelapa sawit dan inokulasi mikroba pelarut fosfat
untuk meningkatkan performansi pertumbuhan tanaman tidak berpengaruh terhadap emisi
CO2.

Tabel 5. Pengaruh amelioran terhadap emisi CO2


Nov Des Jan Peb Maret
Perlakuan Respirasi
Dark Light
Gambut+tankos 5.77 ab 16.07ab 38.23 a 23.43 a 28.62 a 20.91 a -4.54 a
Gambut 4.20 a 14.69ab 38.77 a 27.16 a 28.69 a 19.39 a 2.38 a
Gambut+ tankos+25%
5.38 ab 14.89ab 34.71 a 23.66 a 26.83 a 21.03 a -3.42 a
P
Gambut+ tankos+50%
5.30 ab 16.30ab 38.33 a 29.97 a 28.17 a 20.66 a -2.28 a
P
Gambut+ tankos+75%
5.80 ab 13.48a 36.67 a 26.56 a 25.95 a 21.98 a -11.17 a
P
Gambut+ tankos+100%
5.47 ab 17.84b 40.07 a 22.57 a 33.94 a 23.83 a -2.38 a
P
Gambut+ 25 % P 6.62 b 16.04ab 38.07 a 24.94 a 29.07 a 20.67 a -3.23 a
Gambut+ 50 % P 5.69 ab 14.96ab 40.26 a 26.97 a 28.95 a 21.23 a -13.47 a
Gambut+ 75 % P 5.13 ab 13.21a 34.52 a 26.56 a 30.01 a 25.30 a -1.15 a
Gambut+ 100 % P 4.56 ab 13.96ab 39.84 a 26.73 a 28.53 a 22.47 a -14.16 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf
beda nyata 5 %

Tabel 5 menunjukkan bahwa respirasi pada pemupukan 25 % menunjukkan


perbedaan yang nyata dengan kontrol meskipun tidak berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya. Penambahan pupuk pada kompos memberikan indikasi terjadinya respirasi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa amelioran. Penambahan pupuk P pada gambut
yang diameliorasi menunjukkan kecenderungan semakin tinggi dosis pupuk P yang
diberikan semakin tinggi respirasi, meskipun terjadi penurunan apabila dosis ditingkatkan
lebih dari 75 %.

Pada tanah gambut yang tidak diberi amelioran memiliki kecenderungan semakin
tinggi dosis pupuk P yang diberikan semakin rendah respirasi yang terjadi. Respirasi
terjadi pada penambahan dosis pupuk P sebesar 25 %. Hal ini kemungkinan diakibatkan
oleh aktifitas mikroba, dimana semakin tinggi dosis pupuk P mikroba pelarut fosfat tdak
dapat bekerja dengan baik dan kelebihan pupuk P yang bersifat mobil diikat oleh asam
organik tanah sehingga respirasinya berkurang. Sedangkan pada tanah gambut yang
diameliorasi kecenderungan respirasi meningkat hingga dosis penambahan pupuk P 75 %,
hal ini kemungkinan diakibatkan oleh perubahan kondisi tanah khususnya pH yang lebih
sesuai dengan pertumbuhan mikroba untuk beraktifitas menghambat kehilangan pupuk P
maupun aktifitas dekomposisi. Pada awal pengamatan penambahan pupuk P sebanyak 75

156
Respon Ameliorasi dan Inokulasi Mikroba Pelarut Fosfat

% pada tanah gambut yang diberi amelioran maupun tidak menunjukkan emisi CO 2 lebih
rendah berbeda nyata dengan ameliorasi tanah gambut + 100 % pupuk P. Hal ini
kemungkinan diakibatkan oleh penambahan unsur hara P diperlukan mikroba untuk
melakukan aktifitas dalam penyusunan sel dan enzim fosfatase yang berperan dalam
menstimulir pertumbuhan akar dan mikroba sehingga meningkatkan emisi CO2. Keragaan
emisi CO2 pada pembibitan kelapa sawit mengalami fluktuasi dengan kecenderungan
menurun setelah minggu ke sepuluh setelah perlakuan. Hal ini kemungkinan diakibatkan
oleh adanya kandungan Fe dalam kompos tandan kosong kelapa sawit yang berinteraksi
dengan asam-asam organik membentuk komplek organo Fe yang stabil (Nelvia, 2009)
dan sulit didekomposisikan oleh mikroorganisme yang berdampak pada terhambatnya
aktifitas dan mengurangi produksi CO2. Hasil analisis laboratorium terhadap kompos
kelapa sawit menunjukkan bahwa kandungan Fe pada kompos yang digunakan sebesar
1.22 ppm. Kemungkinan lain adalah adanya reduksi oleh kegiatan fotosintesa bibit kelapa
sawit untuk menghasilkan fotosintat bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman
(Kusumaningrum, 2008). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sekuestrasi emisi CO2
terjadi pada semua perlakuan kecuali pada perlakuan kontrol (gambut), hal ini
mengindikasikan bahwa ameliorasi dan inokulasi mikroba pelarut fosfat berpengaruh
positif terhadap gambut yaitu meningkatkan pH tanah, hara tanah dan menyediakan
suasana yang baik untuk mikroba potensial dan melakukan aktifitasnya.

KESIMPULAN

Ameliorasi tandan kosong kelapa sawit pada tanah gambut mampu meningkatkan
meningkatkan ketersediaan hara bibit untuk pembibitan kelapa sawit yang diindikasikan
pada berat biomassa. Kombinasi inokulasi mikroba pelaruf fosfat dan amelioran yang
diaplikasikan juga berpengaruh secara tidak langsung dalam menurunkan emisi CO2.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Badan Litbang Pertanian beserta
jajarannya yang sudah memberikan pendanaan dan bantuan sarana prasarana selama
penelitian. Bapak Prof. Fahmuddin Agus yang telah memberikan bantuan, saran dan
perbaikan. Ibu Nurhayati SP,MP; Jakoni SP.MP dan Aris yang membantu dalam
pelaksanaan eksplorasi, pelaksanaan dan pengamatan emisi CO2.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F., Wahyunto, A. Dariah, P. Setyanto, I.G.M. Subiksa, E. Runtunuwu, E. Susanti,


and W. Supriatna. 2010. Carbon budget and management strategies for
conserving carbon in peat land: Case study in Kubu Raya and Pontianak

157
Ida Nur Istina et al.

Districts, West Kalimantan, Indonesia. pp. 217-233. In, Chen, Z.S. and F. Agus
(eds.), Proceedings of Int’l Workshop on Evaluation and Sustainable
Management of Soil Carbon Sequestration on Asian Countries.
Badan Pusat Statistik, 2013. Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2013. www.bps.go.id/
publications/publikasi.php.
Banik, S. Dan B.K. Dey, 1982.Available fosfate content of an alluvial soil as influenced
by inoculation of some isolated fosfate solubilizing micro-organisms. Plant soil
69:353-364.
Berg Bjorn dan Charles Mc Claugherty, 2008. Plant litter. Decomposition Humus
Formation, Carbon Sequestration. Springer, Verlag Berlin Heisenberg.
Crow Susan E., and R. Kelman Wieder, 2005. Sources of CO2 Emission from A Northern
Peatland : Root Respiration, Exudation, and Decomposition. Esa Ecology
86:1825–1834. http://dx.doi.org/10.1890/04-1575.
Darnoko dan Ady S.S., 2006. Pabrik Kompos di Pabrik Kelapa Sawit. Tabloid Sinar Tani,
9 Agustus 2006. http://www.litbang.deptan.go.id/artikel/one/129/pdf/Pabrik%20
Kompos%20di%20Pabrik%20Sawit.pdf (4/5/12).
El-Yazeid and H.E.Abou-Aly, 2011. Enhanching Growth, Productivity and Qualit of
Tomato Plants Using Phosphat Solubilizing Microorganisms. Australian Journal
of Basic and Applied Sciences, 5(7):371-379.
Goenadi, D.H dan R. Saraswati, 1993. Kemampuan melarutkan fosfat dari beberapa isolat
fungi pelarut fosfat. Menara Perkebunan 61 (3): 61-66.
Hartono Yuafanda Kholfi, 2013. Indonesia turut menyumbang Emisi Karbon Dunia.
Tribune Sabtu 23 Pebruari 2013. www.tribunnews.com › Tribunners.
Kaufman Donald G.; Cecilia M. Franz (1996). Biosphere 2000: protecting our global
environment. Kendall/Hunt Pub. Co. ISBN 978-0-7872-0460-0. Retrieved 11
October 2011.
Kusumaningrum N, 2008. Potensi Tanaman Dalam Menyerap CO2 dan CO untuk
Mengurangi Dampak Pemanasan Global. Jurnal Pemukiman Vol. 3 No. 2 Juli
2008. Hal 96-105. http://www.pu.go.id/uploads/services/infopublik
20131119123830.pdf.
Lestari, Y. Dan R. Saraswati, 1997. Aktivitas enzim fosfatase jamur pelarut fosfat pada
tanah podzolik merah kuning. Dalam prosiding Seminar Pembangunan Pertanian
Berkelanjutan Menyongsong Era Globalisasi, Banjarmasin 13-14 Maret 1997
Nelvia, 2009. Kandungan Fosfor dan Emisi Karbon Tanah Gambut yang Diameliorasi. J.
Tanah Trop., Vol 14 No. 3 hal. 195-2004
Ritung, Wahyunto, Kusumo Nugroho, Sukarman, Hikmatullah, Suparo dan Chendy
Tafakresnanto, 2011. Peta lahan gambut Indonesia Skala 1 : 250.000. Edisi
desember 2011. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementrian Pertanian.
30 hal.

158
Respon Ameliorasi dan Inokulasi Mikroba Pelarut Fosfat

Sharma Seema B, Riyaz Z Sayyed, Mrugesh H.T. and Thivakaran A. Gobi, 2013.
Phosphate Solubilizing microbes: Sustainable approach for managing
phosphorus deficiency in Agricultural Soils. A Springer Open Journal. Springer
Plus. 2013,2:587 doi:10.1186/2193-1801-2-587. http://springerplus.com/content/
2/1/587
Singh, S.K. and Reddy, K.R. 2011. Regulation of photosynthesis, fluorescence, stomatal
conductance and water-use efficiency of cowpea (Vigna unguiculata [L.] Walp.)
under drought, Journal of Photochemistry and Photobiology B:Biology, 105:40-
50.
Shwartz Mark, Climate change surprise: High carbon dioxide levels can retard plant
growth, study reveals. Stanford News Service: (650) 7239296,
mshwartz@stanford.edu.
Suntoro, 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya
Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah
Universitas Sebelas Maret.
Suriadikarta, R.D.M dan Simanungkalit, D.A. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati.
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengem
bangan Pertanian. Bogor.
Wahyunto, Wahyu Supriatna, and Fahmuddin Agus. 2010. Landuse change and
Recommendation for Sustainable development of Peat for agriculture: Case
study at Kubu raya and pontianak Districts, West Kalimantan. Indonesian Journal
of Agricultiural Science. Vol.11, No.1, April 2010. Page. 32-40.
Wahyunto, Ai Dariah, Djoko Pitono dan Muhrizal Sarwani, 2013. Prospek Pemanfaatan
lahan gambut untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Perspektif Vol.12
No.1/Juni 2013. Halaman 11-22.
Zaidi A, Khan MS, Ahemad M, Oves M, Wani PA, 2009.Recent Advances in Plant
Growth Promotion by Phosphate-Solubilizing Microbes. In: Khan MS (ed)
Microbial Strategies for Crop Improvement, Berlin Heidelberg: Springer-Verlag.
pp 23-50.

159
10
RESPON TANAMAN KELAPA SAWIT DI LAHAN GAMBUT
TERHADAP BERBAGAI AMELIORAN (STUDI KASUS DESA
ARANG-ARANG PROVINSI JAMBI)
RESPONE OF OIL PALM PLANTED ON PEATLAND TO AMELIORANTS : A CASE
STUDY IN ARANG-ARANG, JAMBI

Salwati, R. Purnamayani, Firdaus, Endrizal


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Jl. Samarinda Paal V, Kotabaru, Jambi.

Abstak. Tanah gambut yang miskin hara mikro dan makro, selain
memerlukan pupuk dalam jumlah cukup tinggi juga memerlukan amelioran.
Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh amelioran terhadap
pertumbuhan dan produksi kelapa sawit di lahan gambut. Penelitian
dilaksanakan di di Desa Arang-Arang, Provinsi Jambi (1o 40’ 40.79” – 1o
41’ 00.85” LS dan 97o 48’ 48.56” – 97o 49’ 33.63’ BT), dilaksanakan dari
Oktober 2012 sampai Juni 2014. Ketebalan gambut dominan di demplot
200 – 250 cm, tingkat dekomposisi hemik sampai saprik, ditanami kelapa
sawit berumur 6 tahun. Penelitian dengan rancangan acak kelompok, 4
ulangan, dengan perlakuan yaitu : (a) pupuk gambut/pugam, (b) kompos
tankos, dan (c) pupuk kandang / pukan ayam. Pengukuran dilakukan
terhadap : Jumlah pelepah daun dengan menghitung jumlah penambahan
pelepah setiap bulan, panjang pelepah yang diukur dari pangkal sampai
ujung pelebah terpanjang, lingkar batang dengan mengukur keliling batang
pada ketinggian 1 – 1,5 m dari permukaan tanah, dan tandan buah segar
dihitung setiap panen 2 kali sebulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian pugam, pukan dan tankos berpengaruh tidak nyata terhadap
jumlah pelepah, lingkar batang dan panjang, namun berpengaruh nyata
terhadap Tandan Buah Segar (TBS) dibanding kontrol, masing-masing
terjadi peningkatan berturut-turut sebesar 35,3%, 34,9%, 33,9% dibanding
kontrol. TBS (kg/ha/tahun) kontrol 11,11 + 0,6, sedangkan pugam, pukan
dan tankos berturut-turut adalah 17,18 + 2,1 ; 17,09 + 1,8 dan 16,83 + 1,8.
Pemberian amelioran dapat meningkatkan produksi kelapa sawit. Aplikasi
pugam dan pupuk kimia sangat dibutuhkan untuk mendapatkan hasil sawit
yang optimal.
Kata kunci : Respon, Amelioran, Gambut, Sawit, Jambi
Abstract. Peatland has micro and macro nutrients indigent. It requires
fairly high amount of fertilizer and ameliorant added. This study aimed to
examine the effect of both ameliorant and fertilization on oil palm growth
and production in peatland. The experiment was conducted in Arang-arang
village, Jambi Province, from October 2012 to June 2014. Thickness of
peat is between 200 - 250 cm with a Hemik - Saprik maturity level. Oil palm
has planted over 6 years old. Study done with randomized complete block
design, 4 replications using 3 ameliorant + basic fertilizer treatments as

161
Salwati et al.

follows: (a) pugam, (b) tankos, (c) chicken manure. Observations and
measurements were made from: The number of completely leaf midrib
developed by counting it in each month, measured the longest stem from the
base to the tip frond, measured trunk cycle at a height of 1 - 1.5 m from soil
surface, and calculated fresh fruit bunches (TBS) harvested every twice a
month. The results showed that application of pugam, tankos and chicken
manure gave no significant effect on the number of midrib, the length of
stem and trunk cycled because ameliorant was scarcely affected oil palm
vegetative development phase. In contrast, treatments significant effect on
fresh fruit bunches (FFB) increased by 35.3% on pugam , 34,9% on
tangkos, and 33.9% on manure compared to controls. TBS (kg/ha/year) for
control was 11,11 + 0,6, while on pugam, manure and tankos were 17,18 +
2,1 ; 17,09 + 1,8 dan 16,83 + 1,8 respectively. Ameliorant application can
increase oil palm production. Application of both pugam and basic
fertilizer is needed to obtain optimal oil palm production in peatland.
Key words: Response, Ameliorant, Peatland, Oil Palm, Jambi.

PENDAHULUAN

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tanaman penghasil minyak


yang dikembangkan di berbagai negara tropis termasuk Indonesia. Kelapa sawit
merupakan tanaman yang bernilai ekonomi tinggi dan cocok diusahakan di iklim tropis
seperti Indonesia. Pengembangan perkebunan kelapa sawit terus dilakukan karena
merupakan komoditi penghasil minyak yang terdiri dari minyak mentah (CPO atau Crude
Palm Oil) dan inti atau kernel (Pahan 2008).

Indonesia sebagai salah satu negara agraris, berpeluang untuk mengembangkan


tanaman kelapa sawit secara lebih efektif. Terbukti pada tahun 2005 Indonesia menjadi
produsen kelapa sawit terbesar kedua dengan total produksi mencapai 39,18% di bawah
produksi Malaysia sekitar 50,68% dari 100% kebutuhan dunia. Padahal, Indonesia
memiliki luas lahan 5,16 juta ha lebih luas dibandingkan Malaysia sebagai pemasok CPO
terbesar dunia saat itu (LRPI 2007). Hal ini terjadi karena produktivitas tanaman kelapa
sawit di Indonesia yang masih rendah rata-rata 3,29 ton CPO/ha/tahun dibanding
Malaysia dengan produksi rata-rata 4,24 ton CPO/ha/tahun (Direktorat Tanaman Tahunan
2009).

Peningkatan produksi tanaman kelapa sawit dapat dilakukan melalui peningkatan


produktivitas dan/atau perluasan lahan. Salah satu upaya dalam peningkatan produktivitas
atau perluasan pembangunan perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan melalui
pemanfaatan lahan gambut (Gusmawartati dan Wardati 2012).

Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian menjadi polemik global dalam dua
dekade terakhir ini. Pemanfaatan lahan gambut menjadi dilematis karena terjadi

162
Respon Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terhadap Berbagai Amelioran

pertentangan antara aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Berdasarkan aspek ekonomi,
pemanfaatan lahan gambut telah menjadi sumber pendapatan bagi petani, perkebunan dan
pemerintah daerah (Sabiham dan Sukarman 2012). Namun berdasarkan aspek lingkungan,
pemanfaatan lahan gambut menjadi sumber emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab
pemanasan global. Lahan gambut selain menyimpan stok karbon terbesar juga
menghasilkan emisi GRK (Subiksa 2012).

Upaya peningkatan daya dukung lahan gambut untuk pertanian telah dilakukan
melalui serangkaian penelitian, baik oleh lembaga penelitian maupun perguruan tinggi
(Widyati 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan air, ameliorasi dan
pemupukan menjadi kunci peningkatan produktivitas lahan. Pengalaman empiris, baik
oleh petani maupun lembaga penelitian menunjukkan bahwa pupuk kandang serta bahan
amelioran yang kaya dengan kation polivalen menjadi amelioran yang sangat efektif
untuk meningkatkan produktivitas lahan dan stabilitas gambut (Agus et al., 2008).

Pemilihan jenis bahan amelioran dalam penelitian ini mengacu kepada hasil-hasil
penelitian dan pengalaman empiris serta kearifan lokal yang sudah dilakukan bertahun-
tahun dengan hasil agronomis yang nyata. Selain meningkatkan produktivitas lahan,
amelioran yang dipilih diharapkan mampu meminimalkan emisi karbon (Sabiham dan
Sukarman 2012).

Tujuan Penelitian untuk mempelajari pengaruh ameliorasi terhadap pertumbuhan


dan produksi tanaman kelapa sawit di lahan gambut.

METODOLOGI

Deskripsi lokasi Percobaan

Lokasi percobaan terletak pada demplot ICCTF (Indonesian Climate Change Trust
Fund) di Desa Arang-Arang, Kecamatan Kumpeh Ulu Kabupaten Muaro Jambi, berjarak
40 km dari Kota Jambi ibukota Provinsi Jambi. Secara geografis terletak antara 1o 40’
40.79” – 1o 41’ 00.85” LS dan 97o 48’ 48.56” – 97o 49’ 33.63’ BT. Lokasi percobaan
mempunyai tipe iklim basah dengan curah hujan antara 2.000 – 3.000 mm/tahun. Pola
curah hujan tergolong III C, yaitu daerah mempunyai curah hujan rata-rata tahunan 2.000
– 3.000 mm, dengan bulan kering (curah hujan rata-rata bulanan < 100/mm) kurang dari 4
bulan dan mempunyai bulan basah (curah hujan rata-rata bulanan lebih dari 200 mm)
antara 6 – 8 bulan dengan pola ganda. Sementara itu, berdasarkan zona agroklimat pulau
Sumatera (Oldeman 1978) lokasi demplot tergolong Zone Agroklimat B1 yaitu Zone
Agroklimat yang mempunyai bulan basah berturut-turut antara 7 – 9 bulan dan bulan
kering berturut-turut kurang dari 2 bulan.

163
Salwati et al.

Tanah gambut di lokasi demplot seluas 5 ha ini termasuk kedalam gambut


Oligotropik sampai Mesotrofik, dengan ketebalan 150 – 200 cm (1.08 ha atau 17,87% dari
luas demplot), ketebalan 200 – 250 cm (2,79 ha atau 49,80%), ketebalan 250 – 300 cm
(1,82 atau 32,34%). Tingkat dekomposisi gambut tergolong hemik sampai saprik dengan
nilai bobot isi antara 0,21 – 0,28 g/cm3, reaksi tanah sangat masam, kandungan hara
rendah, dan kadar abu rendah sampai sedang. Tanah gambut di lokasi demplot menurut
taxonomi tanah USDA (2010) termasuk kedalam Typic Haplosaprists, Hemik
Haplosaprists dan Fluvaquentic Haplosaprists. Kesesuaian lahan untuk tanaman kelapa
sawit tergolong sesuai marginal (S3) dengan faktor penghambat utama reaksi tanah sangat
masam dan kejenuhan basa sangat rendah. Oleh sebab itu, tindakan pemupukan dan
pengapuran sangat diperlukan untuk memperbaiki faktor-faktor tersebut.

Pelaksanaan Percobaan

Percobaan di lokasi demplot dimulai Oktober tahun 2012 sampai Juli tahun 2014.
Tanaman utama sebagai indikator adalah kelapa sawit umur 6 tahun pada tahun 2013.
Kebun kelapa sawit ini merupakan kebun plasma dari lokasi transmigrasi Arang-Arang,
Provinsi Jambi. Lokasi mulai dibuka untuk perkebunan kelapa sawit pada tahun 2005.
Daerah ini sebelumnya berupa hutan sekunder lahan gambut. Sebelum dilakukan
percobaan, pengelolaan sawit di lokasi ini belum optimal, saluran drainase yang ada
kurang terpelihara, sehingga permukaan air tanah terutama pada saat musim hujan sangat
tinggi (5 – 10 cm). Kondisi air tanah yang demikian sangat menganggu pertumbuhan
tanaman kelapa sawit.

Bahan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari: pugam (pupuk gambut),
pupuk kandang (pukan) ayam, kompos tandan kosong (tankos) kelapa sawit, pupuk dasar
(Urea, SP-36, KCl) dan herbisida (Round Up dan Gramozon). Alat yang digunakan terdiri
dari : gerobak dorong, arit, parang, dan cangkul.

Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap


(RAKL), 4 perlakuan dan 4 ulangan. Tiga perlakuan ameliora yaitu pugam, kompos
tankos, dan pukan ayam, serta kontrol (tanpa pemberian amelioran).

Pugam adalah pupuk organik yang rendah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) untuk
lahan gambut. Selain mampu menekan laju emisi khususnya karbon dioksida, dan
meningkatkan stabilitas gambut, pugam juga dapat meningkatkan produktivitas lahan dan
efisiensi pemupukan. Pukan adalah semua produk buangan dari binatang peliharaan yang
dapat digunakan untuk menambah hara, memperbaiki sifat fisik, dan biologi tanah. Pukan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pupuk yang berasal kotoran ayam. Kompos
tankos merupakan limbah padat hasil pabrik kelapa sawit yang didekomposisikan menjadi

164
Respon Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terhadap Berbagai Amelioran

pupuk organik. Pemberian kompos tankos ke tanah akan dapat mempengaruhi populasi
mikroba tanah yang secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi kualitas
tanah.

Hasil karakteristik pugam, pukan ayam, dan tankos yang digunakan di demplot
disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil karakteristik pugam, pukan, dan tankos yang digunakan pada lokasi
demplot.
Parameter Unit Pugam Pukan Kompos Tankos

pH H2O (1:5) 8,6 8.5 7.0


Kadar Air % 3,8 70.08 55.89
As. Humat % - 1.37 1.43
As. Fulfat % - 1.60 2.42
Asam Humat % - 4.48 6.66
C-Organik % - 6.13 19.23
Organik % - 0.40 1.54
NH4 % - 0.06 0.15
NO3 % - 0.03 0.08
Total % - 0.49 1.77
C/N % - 12 11
P2O5 % 13,15 0.56 4.75
K2O % 0,08 0.49 0.45
Ca % 18,9 0.72 1.29
Mg % 6,53 0.33 0.80
S % 0,56 0.10 0.20

Penempatan pugam, pukan, dan tankos pada demplot disesuai dengan rancangan
yang digunakan. Pemilihan tanaman sampel mengikuti keseragaman/homogenitas
tanaman sawit di lapangan. Empat sampel tanaman sawit digunakan untuk pengamatan
pertumbuhan tanaman selama penelitian berlangsung (Gambar 1).

165
Salwati et al.

Gambar 1. Denah pohon sampel di lokasi demplot


Komposisi dan dosis perlakuan amelioran dan pemberian pupuk dasar pada semua
perlakukan ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Perlakuan amelioran dan pemberian pupuk dasar pada demplot.


Dosis Amelioran dan Pupuk Dasar
Pertama (sesudah Kedua: Enam bulan Ketiga: Enam bulan
Perlakuan dua bulan pertama sesudah pemberian sesudah pemberian
pengamatan emisi pertama kedua
GRK)
1. A - -
2. Pugam (kg/phn) 5,0 3,0 3,0
Pupuk Kandang Ayam
3. 10 6,0 6,0
(kg/phn)
Kompos Tandan Kosong sawit
4. 15 9,0 9,0
(kg/phn)
Pupuk Dasar*)

1. Urea (kg/phn) 2 2 2
2. SP-36 (kg/phn) 2 2 2
3. KCl (kg/phn) 2,5 2,5 2,5
*) Pupuk dasar diberikan pada semua perlakuan (pugam, pukan, tankos, dan kontrol)

Sebelum aplikasi amelioran terlebih dahulu dilakukan pengambilan contoh tanah


secara acak pada piringan tanaman sampel dan ditandai pohon tempat pengambilan
contoh sebelumnya untuk pengambilan contoh tanah berikutnya. Aplikasi dilakukan 2 kali
setahun, yaitu pada awal musim hujan (bulan Agustus 2013) dan akhir musim hujan

166
Respon Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terhadap Berbagai Amelioran

(bulan Februari 2014). Piringan sekitar pohon sampel dibersihkan dengan radius 2 - 3 m
dari batang pokok dan dibatasi dengan saluran dangkal. Pugam, pukan, dan tankos serta
pupuk dasar ditaburkan secara larikan merata pada keliling piringan (Gambar 2).
Perlakukan pugam pupuk SP-36 tidak diberikan lagi.

Gambar 2. Aplikasi amelioran dan pupuk dasar di piringan dan diantara empat tanaman
sampel
Aplikasi amelioran dan pupuk dasar juga dilakukan diantara empat tanaman
sampel (Gambar 2). Aplikasi pugam, pukan, dan tankos diantara empat tanaman sampel
juga diberikan pada awal dan akhir musim hujan dengan dosis berturut-turut 750 kg/ha,
1500 kg/ha, dan 1500 kg/ha. Pupuk dasar diberikan dengan dosis Urea 2 kg/pohon, SP-36
2 kg/pohon, dan KCl 2,5 kg/pohon.

Analisis kimia tanah dilakukan untuk mendukung data pertumbuhan dan


perkembangan tanaman. Pengamatan dan pengukuran agronomi tanaman sawit dilakukan
setelah aplikasi amelioran dan pemberian pupuk dasar pertama dilakukan. Parameter
agronomi yang diamati adalah jumlah pelepah daun yang sudah berkembang, dengan
menghitung jumlah penambahan pelepah setiap bulannya, panjang pelepah tanaman
kelapa sawit, diukur dari pangkal sampai ujung pelebah yang terpanjang, lilit batang
tanaman kelapa sawit, dengan mengukur keliling batang ketinggian dari 1 – 1,5 m dari
permukaan tanah. Parameter produksi Tandan Buah Segar (TBS) tanaman sawit dihitung
setiap panen 2 kali sebulan pada pohon sampel. Selanjutnya, data pertumbuhan dan
produksi tanaman sawit dianalisis statistik dan perbedaan antar perlakuan berdasarkan
perbedaan standar deviasi.

167
Salwati et al.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sifat Kimia Lahan Gambut di Demplot Kegiatan

Karakteristik kimia tanah gambut di Indonesia sangat beragam dan ditentukan oleh
kandungan mineral, ketebalan, dan jenis tanaman penyusun gambut, jenis mineral pada
substratum (di dasar gambut), serta tingkat dekomposisi gambut. Karakteristik lahan
gambut akan sangat bervariasi baik antar lokasi, maupun antar areal dalam satu lokasi.

Kasus pada kegiatan ini, karakteristik lahan gambut sangat bervariasi antar areal di
dalam demplot. Hal ini karena sifat inherent tanah gambut yang terdiri dari senyawa-
senyawa organik, sehingga hasil analisis tanah pada demplot I sampai dengan IV
karakteristik kimia tanah gambutnya sangat bervariasi (Tabel 3).

Kandungan P potensial (P-HCl) pada demplot I lebih tinggi dibandingkan dengan


ketiga demplot lainnya, dimana pada demplot I dikategorikan sangat tinggi sedangkan di
lokasi lainnya berkisar sedang. Hal ini sejalan dengan P-tersedia (P-Bray) yaitu demplot I
miliki kandungan P tertinggi diikuti dengan demplot III Kandungan Ca dan Mg di
keempat demplot termasuk dalam kriteria ‘tinggi’, karena areal kebun tersebut sudah
sering mendapatkan aplikasi dolomit/kapur. Kandungan Al dan Fe tidak jauh berbeda di
masing-masing lokasi demplot. Secara keseluruhan, kesuburan tanah di demplot
penelitian termasuk kategori baik, karena demplot telah mendapatkan aplikasi amelioran
dan pupuk anorganik sesuai kebutuhan tanaman sawit, serta sesuai dosis dan waktu
pemberian.

Tabel 3. Hasil analisis sifat kimia tanah di lokasi demplot


Jenis Analisis Demplot I Demplot II Demplot III Demplot IV

P-HCl (me/100g) 71,25 31 39,5 29


K-HCl (me/100g) 25,25 17 25,25 32,75
P-Bray (ppm) 199,43 96,98 170,83 90,83
Ca (me/100g) 12,40 11,3 17,78 8,60
Mg (me/100g) 2,41 2,38 3,97 2,64
K (me/100g) 0,49 0,32 0,45 0,63
Al (%) 0,14 0,12 0,15 0,15
Fe (%) 0,03 0,02 0,03 0,03

168
Respon Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terhadap Berbagai Amelioran

Perbedaan kandungan unsur hara pada masing-masing demplot tergantung pada


susunan kimia dan tingkat kematangan gambut. Semakin lanjut tingkat kematangan
gambut, maka semakin banyak unsur hara yang dilepaskan dan tersedia bagi tanaman.

B. Keragaan Agronomis Tanaman Kelapa Sawit

1. Jumlah pelepah tanaman

Jumlah pelepah tanaman sawit merupakan salah satu penciri keragaan agronomis
tanaman kelapa sawit. Umumnya jumlah pelepah kelapa sawit bertambah 2 pelepah setiap
bulannya. Pada Gambar 3 terlihat bahwa setiap perlakuan memiliki kecenderungan
peningkatan jumlah pelepah yang sama. Di mana, pada 6 bulan pertama, peningkatan
jumlah pelepah cenderung landai, setelah 6 berikutnya terlihat meningkat cukup tajam.
Diduga hal ini terjadi karena pengaruh pupuk dasar maupun amelioran baru berpengaruh
pada saat 6 bulan setelah pemberian.

Kecenderungan peningkatan jumlah pelepah pada kontrol berbeda tidak nyata


dengan pemberian amelioran pugam, pukan maupun tankos. Hal ini terlihat dari standar
deviasi pada setiap perlakukan (Gambar 3). Fenomena ini memberi gambaran bahwa
pemberian pupuk anorganik lebih berpengaruh dibandingkan pemberian amelioran.
Menurut Pauli et al., (2014) pemberian pupuk anorganik sangat dibutuhkan untuk
pertumbuhan dan hasil tanaman sawit terutama yang tumbuh di lahan marjinal seperti
lahan gambut karena kemungkinan besar terjadi pencucian dan pengikatan oleh unsur
kimia beracun oleh tanaman.

Peningkatan yang cukup tajam jumlah pelepah kelapa sawit dari bulan Februari ke
bulan Maret diduga juga disebabkan oleh aplikasi pupuk kedua yang dilaksanakan pada
akhir awal Februari 2014. Kandungan unsur hara yang cepat tersedia dari pupuk
anorganik menyebabkan unsur hara tersebut cepat diserap tanaman dan berpengaruh
terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman, salah satunya adalah jumlah pelepah kelapa
sawit.

Perbandingan dengan tinggi muka air tanah pada bulan Maret, tinggi muka air
tanah berada di bawah 1 m. Kondisi ini diduga menyebabkan peningkatan jumlah pelepah
di bulan tersebut karena kondisi tanah yang mencapai kapasitas lapang untuk tanaman
sawit. Menurut Lim et al., (2012) muka air yang optimum untuk hasil panen kelapa sawit
di lahan gambut adalah 50 - 70 cm (saluran draenase) dan 40 – 60 cm (pembacaan
piezometer air tanah dari permukaan).

169
Salwati et al.

Kontrol Pugam

Pukan Tankos

Gambar 3. Jumlah pelepah tanaman kelapa sawit setelah aplikasi amelioran dan pupuk
dasar pemberian pertama dan kedua di Provinsi Jambi tahun 2013 dan tahun 2014.

2. Lingkar batang

Lingkar batang merupakan salah satu keragaan agronomis tanaman kelapa sawit
yang dapat menunjukkan tingkat pertumbuhan tanaman kelapa sawit (Paoli et al., 2013).
Kecenderungan pertumbuhan tanaman sawit yang diberi amelioran menujukkan
pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol. Berbeda dengan jumlah
pelepah kelapa sawit, lingkar batang pada perlakuan pemberian amelioran justru menurun
dari bulan Februari ke bulan Maret. Sedangkan pada kontrol terus meningkat dengan
kecenderungan yang landai. Hal ini mungkin terjadi kesalahan pengukuran pada lingkar
batang karena pengukuran dipengaruhi oleh tonjolan-tonjolan bekas potongan pelepah.

Kontrol Pugam

170
Respon Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terhadap Berbagai Amelioran

Pukan Tankos

Gambar 4. Lingkar batang tanaman kelapa sawit setelah aplikasi amelioran dan pupuk
dasar pertama dan kedua di Provinsi Jambi tahun 2013 dan tahun 2014.

3. Panjang pelepah

Panjang pelepah yang diukur adalah pelepah terpanjang pada tanaman contoh.
Dari Gambar 5 terlihat bahwa perlakuan tankos memiliki kecenderungan yang sama
dengan kontrol. Sedangkan perlakuan pugam memiliki kecenderungan yang sama dengan
pukan. Peningkatan panjang pelepah berbeda tidak nyata diantara semua perlakuan,
terlihat dari standar deviasi dalam grafik. Standar deviasi pada masing-masing
pengukuran sangat besar menunjukkan nilai-nilai yang sangat bervariasi. Penurunan
jumlah pelepah pada perlakuan pugam dan pukan diyakini karena terjadi pemotongan
pelepah sampel, sehingga pada bulan Maret hasil pengukuran menurun. Peningkatan
panjang pelepah tidak dipengaruhi perlakuan diduga karena kandungan dalam amelioran
tidak berpengaruh pada pertumbuhan vegetatif tanaman sawit.

Tankos memiliki kandungan unsur hara yang beragam, memiliki kandungan


Kalium yang lebih tinggi yaitu 2,05% dibandingkan dengan N (0,22%) dan P (1,20%)
(Purnamayani et al., 2011). Kalium lebih berperan terhadap pertumbuhan generatif
tanaman diantaranya adalah meningkatkan kualitas buah, meningkatkan kadar karbohidrat
dalam buah, dan membuat biji tanaman lebih berisi dan padat. Selain itu Kalium
berfungsi untuk memperkuat tegaknya batang, sehingga Kalium lebih berpengaruh
terhadap pertumbuhan generatif dari pada pertumbuhan vegetatif. Sedangkan pugam
lebih banyak mengandung unsur mikro yang berfungsi untuk pertumbuhan sel dan
jaringan tanaman. Unsur-unsur mikro dalam pugam dapat berfungsi untuk mengikat
asam-asam organik yang berbahaya di dalam tanah gambut. Akan tetapi, kelebihan
beberapa unsur mikro juga akan menghambat ketersediaan unsur hara makro yang dapat
mengganggu pertumbuhan tanaman.

171
Salwati et al.

Kasus pada tanaman kelapa sawit panjang pelepah tidak merupakan parameter
yang digunakan dalam pengukuran agronomis untuk tanaman menghasilkan (TM), tetapi
biasanya digunakan pada tanaman belum menghasilkan (TBM).

Gambar 5. Panjang pelepah tanaman kelapa sawit setelah aplikasi amelioran dan pupuk
dasar pertama dan kedua di Provinsi Jambi tahun 2013 dan 2014.

4. Tandan Buah Segar (TBS)

Tandan Buah Segar (TBS) merupakan parameter agronomi perkembangan


generatif yang menggambarkan produkvitas tanaman kelapa sawit. TBS pada tanaman
kelapa sawit umumnya dipanen setiap dua kali seminggu. Gambar 6 menunjukkan
keragaan produksi TBS per bulan dan dikaitkan dengan tinggi muka air tanah yang diukur
satu kali sebulan. Gambar 7 menunjukkan total produksi TBS sampai dengan waktu
pengamatan terakhir.

Produksi TBS kelapa sawit dipengaruhi oleh jenis klon dan faktor lingkungan
(Lumbangaol 2012). Produksi kelapa sawit antara kontrol dibandingkan perlakuan
amelioran sangat bervariasi, akan tetapi TBS pada perlakuan amelioran jumlahnya berada
di atas kontrol. Produksi TBS pada kontrol cenderung turun pada 6 bulan pertama dan
kemudian meningkat setelah aplikasi ke-2. Hal ini menunjukkan perlakuan amelioran
berpengaruh dalam peningkatan produksi TBS. Perlakuan pugam dan pukan memiliki
kecenderungan perkembangan yang sama.

172
Respon Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terhadap Berbagai Amelioran

(a)

(b)
Gambar 6. Tandan Buah Segar (kg/tanaman, dengan n=16) setelah aplikasi amelioran
dan pupuk dasar pertama dan kedua di Provinsi Jambi tahun 2013 dan 2014 (a) dikaitkan
dengan tinggi muka air tanah pada bulan yang sama (b).

173
Salwati et al.

Melihat trend produksi TBS diselaraskan dengan trend tinggi muka air tanah,
diduga tinggi muka air tanah berpengaruh terhadap produksi TBS. Mulai bulan Januari
sampai dengan Maret tinggi muka air mulai menurun, dan mulai bulan Februari produksi
TBS mulai meningkat walaupun tidak setinggi sebelumnya. Kondisi tanah akibat
penurunan tinggi muka air tanah menyebabkan tercapainya kondisi kapasitas sehingga
mengakibatkan terjadinya peningkatan produktivitas kelapa sawit.

Total produksi TBS selama pengamatan menunjukkan bahwa produksi TBS pada
perlakukan amelioran berpengaruh nyata terhadap kontrol masing-masing terjadi
peningkatan berturut-turut sebesar 35,3%, 34,9%, 33,9% dibanding kontrol, dan diantara
perlakuan pemberian amelioran berpengaruh tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa
kandungan unsur hara dalam pugam, pukan dan tankos mampu meningkatkan produksi
TBS tanaman kelapa sawit. Dari hasil pengukuran berat TBS (ton/ha/tahun) kelapa sawit
yang tertinggi adalah pugam sebesar 17,18 + 2,1 diikuti pukan sebesar 17,09 + 1,8 dan
tankos sebesar 16,83 + 1,8, serta yang terendah kontrol sebesar 11,11 + 0,6 (Gambar 7).

TBS (ton/ha/tahun)
ton/ha ton/ha ton/ha

Gambar 7. Produksi Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit (ton/ha/tahun)

Tankos memiliki kandungan bahan organik yang tinggi dan beberapa kandungan
unsur hara utama yang dibutuhkan oleh tanaman sawit (Darmosarkoro et al., 2007).
Pukan diketahui mengandung unsur-unsur organik yang dapat membantu mengikat asam
organik beracun dalam tanah. Sedangkan pugam memiliki kelengkapan unsur hara mikro
yang dapat mengikat asam organik berbahaya bagi tanaman pada lahan gambut, dapat
meningkatkan produktivitas lahan dan effisiensi pemupukan, menekan laju emisi gas
rumah kaca dan meningkatkan stabilitas gambut (Subiksa, 2012). Menurut Comte et al.,
(2013), pemberian pupuk organik dan inorganik yang dilakukan dalam jangka panjang

174
Respon Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terhadap Berbagai Amelioran

dan sesuai kebutuhan pertanaman kelapa sawit akan memberikan pengaruh yang baik
terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sawit maupun lingkungan tempat tumbuhnya.

KESIMPULAN

1. Pemberian pupuk gambut (pugam) dan pupuk dasar menunjukkan pertumbuhan dan
hasil tanaman sawit yang paling baik.

2. Pemberian amelioran berupa pugam, pukan dan tankos berpengaruh tidak nyata
terhadap jumlah pelepah, lingkar batang dan panjang pelepah tanaman kelapa sawit.

3. Pemberian amelioran berupa pugam, pukan dan tankos berpengaruh nyata jika
dibandingkan dengan kontrol terhadap produksi tandan buah segar. Perlakuan
amelioran Pugam memberikan hasil produksi sawit terbaik.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F., dan I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek
Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF),
Bogor, Indonesia. http://balittanah.litbang.deptan.go.id.
Balai Penelitian Tanah. 2012. Pugam-A, Pupuk Khusus Lahan Gambut.
http://www.litbang.depta.go.id/berita/one/1093/. Diakses tanggal 29 April 2014.
Comte, I., F.Colin, O. Grünberger, S. Follain, J.K. Whalen, and J.P. Caliman. 2013.
Landscape-scale assessment of soil response to long-term organic and mineral
fertilizer application in an industrial oil palm plantation, Indonesia. Agriculture,
Ecosystems and Environment: 169 (2013) 58– 68.
Darmosarkoro, W., S.S. Edy, dan Winarna. 2007. Lahan dan Pemupukan Kelapa Sawit.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Medan.
Direktorat Tanaman Tahunan. 2009. Pedoman umum sawit. Direktorat Jenderal
Perkebunan, Departemen Pertanian. Jakarta.
Gusmawartati, dan Wardati. 2012. Pemberian pupuk anorganik dan air pada tanah gambut
terhadap pertumbuhan kelapa sawit di pre-nursery. J. Agrotek. Trop. 1 (1): 23-
26 (2012).
Lim, KH., S.S. Lim, F. Parish, dan R. Suharto. 2012. Panduan RSPO untuk Praktik
Pengelolaan Terbaik (PPT) bagi Budidaya Kelapa Sawit Sedang Berjalan di
Lahan Gambut. RSPO, Kuala Lumpur.
Lumbangaol, P. 2012. Kunci sukses pemupukan kelapa sawit. R & D Departemen
Musim Mas Group. Medan.
[LRPI] Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. 2007. Warta Penelitian dan pengembangan
Pertanian. Vol (29) : 6-7.

175
Salwati et al.

Najiyati, L. Muslihat, dan I.N. Suryadiputra. 2005. Panduan pengelolaan lahan gambut
untuk pertanian berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in
Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat
Canada. Bogor. Indonesia.
Pahan, I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Penebar swadaya : Jakarta.
Pauli, N.C., T. Donough, J.Oberthür, R. Cock, Verdooren, G. Rahmadsyah, K.
Abdurrohim, A. Indrasuara, T. Lubis, J.M. Dolong, and Pasuquin. 2014.
Changes in soil quality indicators under oil palm plantations following
application of ‘best management practices’ in a four-year field trial.
Agriculture, Ecosystems and Environment 195 (2014); 98–111.
Paoli, G.D., P. Gillespie, P.L. Wells, L. Hovani, A.E. Sileuw, N. Franklin dan J.
Schweithelm. 2013. Sawit di Indonesia: Tata kelola, Pengambilan Keputusan
dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan. The Nature Conservancy,
Jakarta, Indonesia.
Purnamayani, R., J. Hendri, E. Salvia, dan D.S. Gusfarina. 2011. Laporan Akhir
Pengkajian Efektivitas Dekomposer dalam Dekomposisi Tandan Kosong Kelapa
Sawit sebagai Pupuk Organik. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi.
Jambi.
Sabiham, S. dan Sukarman. 2012. Pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan kelapa
sawit. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 6 No. 2, Desember 2012.
Subiksa, I.G.M. 2012. Pugam: Pupuk rendah emisi GRK untuk lahan gambut. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 3. No. 2. 2012.
Widyati, E. 2011. Kajian optimasi pengelolaan lahan gambut dan isu perubahan iklim.
Tekno Hutan Tanaman. Vol.4 No.2, Agustus 2011, 57 – 68.

176
11
ASPEK AGRONOMIS DAN ANALISIS FINANSIAL TANAMAN
KARET DAN NENAS TERHADAP BERBAGAI PERLAKUAN
AMELIORAN DI LAHAN GAMBUT
AGRONOMIC AND FINANCIAL ASPECTS OF RUBBER AND PINEAPPLE
RESPONSES TO AMELIORANTS ON PEATLAND

M.S. Mokhtar, M. A. Firmansyah, W.A. Nugroho


Balai Pengkajian Teknologi Kalimantan Tengah. Jl. G. Obos km 5, Palangkaraya.
Abstrak. Pengembangan karet di lahan gambut belum banyak dikaji.
Pemberian amelioran merupakan upaya pengelolaan lahan gambut yang
salah satunya bertujuan untuk meningkatkan keragaan tumpangsari
tanaman karet dan nenas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek
agronomis karet berupa lingkar batang serta produksi baik tanaman sela
maupun produksi getah karet berupa lump mangkok dari segi kelayakan
finansial usahatani.Perlakuan Pugam diberikan dengan dosis awal 2
kg/pohon, dan setelah 6 dan12 bulan diberikan lagi masing-masing 1
kg/pohon; Pukan diberikan dengan dosis awal 4 kg/pohon, dan setelah 6
dan 12 bulan diberikan lagi masing-masing 2 kg/pohon; tanaman
menghasilkan (TM) diberikan dengan dosis awal 6 kg/pohon, dan setelah 6
dan 12 bulan diberikan lagi masing-masing 3 kg/pohon; sedang kontrol
tanpa pemberian amelioran. Pupuk dasar yang diaplikasikan pada awal, 6
dan 12 bulan masing-masing untuk Urea 0,25 kg/pohon, SP-36 0,20
kg/pohon, dan KCl 0,25 kg/pohon. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan
Pukan, Pugam dan Tanah Mineral belum mampu memberikan pengaruh
nyata terhadap lingkar batang karet pada 3 bulan setelah aplikasi maupun
lump mangkok yang dihasilkan. Dari segi finansial usahatani, pencapaian
BEP untuk usahatani karet dan nenas terjadi pada tahun ke-8 yaitu pada
perlakuan kontrol (tanpa amelioran) dan perlakuan Pugam, dengan
pendapatan masing-masing sebesar Rp. 7.305.528 dan Rp. 1.130.662.
Sebaliknya untuk perlakuan Pukan Ayam dan Tanah Mineral pada tahun
ke-8 belum mencapai BEP dengan nilai pendapatan masing-masing Rp. -
2.770.620 dan Rp. -20.201.257. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
diperlukan lagi efisiensi bahan amelioran yang lebih murah dan lebih
efektif dalam memacu produksi dan keuntungan karet lebih tinggi.
Kata Kunci: Hevea brasiliensis, Anenas comosus, gambut, amelioran

Abstract. Rubber development in peatlands has not been much studied.


Ameliorant application is a management effort to improve rubber and
pineapple intercropping performance on peatland. This study aimed to
determine the agronomic aspects of growth and the production of latex
and intercropping plant viability. Peat Fertilizer was applied at an initial
dose of 2 kg/tree, and after 6 and 12 months, each at dose of 1 kg/tree.
Chicken Manure was applied at an initial dose of 4 kg/tree and after 6 and

177
M.S. Mokhtar et al.

12 months 2 kg/tree on each application. Mineral soil was applied at an


initial dose of 6 kg/tree and 3 kg/tree after 6 and 12 months. The control
plots did not received any ameliorant. Basic fertilizer was applied at at the
beginning, 6 and 12 months since this experiment begun, respectively urea,
SP-36, and KCl 0.25 kg/tree, 0.20 kg/ tree, and 0.25 kg/tree. Results
showed that Peat Fertilizer, Chicken Manure, and Mineral Soil treatments
did not significantly increase rubber girth, nor the rubber latex 3 months
after application. On financial aspect, the achievement of the Break Event
Point (BEP) for rubber and pineapple farming occurs starting in the 8th
year for the control treatment(without ameliorant) and treatment Pugam,
with the revenue amounting to Rp. 7,305,528 and Rp. 1,130,662,
respectively. In contrast, the treatments Chicken Manure and Mineral Soil
has not reach the BEP, with the revenues of Rp. -2,770,620 and Rp. -
20,201,257. These results indicate that effective and low cost ameliorants
are needed in spurring higher production and profitability of rubber.
Keywords: Hevea brasiliensis, Anenas comosus, peatland, ameliorant

PENDAHULUAN

Karet (Hevea brasiliensis) merupakan komoditas perkebunan yang cukup penting di


Provinsi Kalimantan Tengah. Pada tahun 2012 luas perkebunan karet di Provinsi
Kalimantan Tengah mencapai 456.272 ha dengan produksi sebesar 283.171 ton (BPS
Kalteng, 2013). Pengembangan perkebunan karet pada dekade akhir ini di Kalimantan
Tengah mulai banyak dilakukan di lahan-lahan gambut.

Upaya peningkatan produktivitas tanaman dan penurunan harga pokok perkebunan


karet dikelola secara baik dan efisien. Penerapan paket teknologi yang tepat disesuaikan
dengan kondisi agroekosistem baik pada daerah iklim basah maupun kering. Pada daerah
iklim basah: penyiapan lahan sebaiknya dilakukan secara sempurna, klon berpotensi
produksi tinggi dan tahan terhadap penyakit gugur daun, bahan tanaman yang digunakan
berkualitas baik, penyemprotan gulma dilakukan secara menyeluruh pada daerah endemik
penyakit gugur daun, pemenggalan tajuk pada umur tiga tahun di daerah jalur angin perlu
dilakukan untuk mengurangi kerusakan angin serta penerapan sistem eksploitasi yang
tepat termasuk penggunaan sistem sadap beritensitas rendah yang dikombinasikan dengan
etefon (Karyudi et al., 2001).

Lahan gambut sebagai salah satu tipologi di lahan rawa umumnya memiliki
produktivitas rendah, hal ini disebabkan oleh tingginya kemasaman tanah (pH rendah)
serta kelarutan Fe (besi), Al (aluminium), Mn (mangan), dan rendahnya ketersediaan
unsur hara P dan K serta rendahnya kejenuhan basa yang dapat mengganggu pertumbuhan
tanaman. Pemberian bahan amelioran dan pupuk N, P, K yang sesuai dengan status hara

178
Aspek Agronomis dan Analisis Finansial Tanaman Karet dan Nenas

dan kebutuhan tanaman dapat meningkatkan hasil tanaman secara signifikan (Nursyamsi
dan Alwi, 2012).

Hendratno (1990) hasil rekayasa usahatani karet rakyat seluas dua hektar layak
secara finansial dengan NPV (12%) = Rp. 2.873,056-sd-5.647.587, B/C= 1,364 s/d 1,725,
dan IRR=19% s/d 23.8%. Sedangkan tingkat kesesuaian lahan mempengaruhi besarnya
BEP harga karet pada perkebunan karet rakyat di Mandailing. Kelas kesesuaian lahan S1
BEP harga sebesar Rp 6.181-Rp.6.803 artinya pada tingkat harga tersebut karet masih
layak diusahakan. Kelas kesesuaian lahan S2 BEP harga sebesar Rp. 7.378-Rp.7.573 dan
pada S3 BEP harga sebesar Rp. 8.749-Rp. 8.856. Tingginya BEP harga terhadap Cup
Lump karena tenaga kerja, harga pupuk (Siregar et al., 2012).

Tujuan penulisan ini adalah mengetahui pengaruh berbagai perlakuan amelioran


dibandingkan kontrol terhadap paramater agronomis lingkar batang karet dan analisis
finansial usahatani tumpang sari karet dan nenas di lahan gambut terdegradasi di Demplot
ICCTF Desa Jabiren, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi
Kalimantan Tengah.

METODOLOGI

Lokasi penelitian terletak di Demplot ICCTF (Indonesian Climate Change Trus


Fund) di Desa Jabiren, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi
Kalimantan Tengah, Indonesia. Lokasi tersebut tepatnya terletak pada koordinat
2o30’53.0” LS dan 114o10’12.3” BT, atau berjarak 55 km dari Palangka Raya ibukota
Provinsi Kalimantan Tengah. Curah hujan rata-rata tahunan tahun 1997-2011 mencapai
1.821 mm, dengan bulan kering pada Agustus dan September.

Kegiatan penelitian di demplot Jabiren dimulai sejak tahun 2011 hingga tahun
2014. Penelitian tahun pertama pada demplot ICCTF dilakukan penanaman pola
intercropping atau tumpangsari tanaman pangan yaitu padi dan jagung di sela tanaman
karet yang ditanam dari seedling pada tahun 2006 dengan jarak tanam 3x5 m. Penelitian
tahun kedua tanaman sela yang ditanam adalah tanaman hortikultura yaitu nenas jenis
madu yang merupakan tanaman relatif tahan naungan. Pemilihan tanaman nenas sebagai
tanaman sela karena tajuk pohon karet sudah mulai menutup. Tanaman nenas ditanam
pada bagian 5 m diantara sela karet dengan sistim baris ganda 1x2 m.

Pengumpulan data dilakukan dalam dua bagian. Pengumpulan data pertama adalah
data agronomi akibat pengaruh perlakuan amelioran terhadap tanaman karet, dibatasi pada
tahun ke-4 (2014). Pengumpulan data kedua yaitu data analisis finansial, dimulai saat
kegiatan ICCTF dilakukan dari tahun kedua hingga tahun ke empat. Pengumpulan data

179
M.S. Mokhtar et al.

kedua juga menyangkut pola tumpang sari antara tanaman karet dan tanaman sela nenas
yang telah ditanam sejak tahun ke dua, sehingga terdapat pengumpulan data finansial dua
komoditas.

Penelitian dilakukan di kebun karet yang telah berumur 7 tahun. Tanaman karet
yang berasal dari biji ini ditanam di lahan gambut dengan kedalaman gambut 5-7 m.
Penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Juli 2013 sampai Juli 2014. Rancangan
penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) 4 perlakuan
dengan 4 ulangan, Perlakuan menggunakan 3 macam amelioran yaitu : Pugam (Pupuk
Gambut) + pupuk dasar, Pukan (Pupuk Kandang Ayam) + pupuk dasar, dan TM (Tanah
Mineral) + pupuk dasar, serta satu perlakuan sebagai Kontrol (Tanpa Pemberian
Amelioran). Waktu pemberian perlakuan dilakukan pada awal (Juli 2013), 6 bulan
kemudian (Februari 2014), dan 12 bulan kemudian (Juli 2014) Pemberian perlakuan
amelioran dan pupuk dasar disajikan pada Tabel 1. Guna melihat perbedaan nilai tengah
antar perlakuan parameter agronomis dan produksi digunakan Uji DMRT taraf 5%.

Setiap satuan percobaan maupun kontrol memiliki luasan 27 m x 50 m yang terdiri


dari 90 tanaman karet dengan jarak tanam 3 m x 5 m. Luasan total areal percobaan adalah
108 m x 200 m dengan jumlah pohon karet seluruhnya berjumlah 1.440 pohon.

Parameter agronomis yang diamati adalah lingkar batang pohon karet pada
ketinggian 50 cm dari permukaan tanah. Contoh tanaman yang diukur pada setiap satuan
percobaan adalah sebanyak 10 tanaman. Pengamatan lingkar batang pohon karet
dilakukan secara periodik setiap 3 bulan sekali setelah pemberian perlakuan amelioran.
Pengukuran lingkar batang pohon karet dilakukan sampai karet sudah mulai disadap.

Tabel 1. Perlakuan amelioran di tumpangsari karet dan nenas demplot


0 bulan 6 bulan 12 bulan
Perlakuan
(kg/ph) (kg/ph) (kg/ph)
Kontrol - - -
Pukan Ayam 4,0 2,0 2,0
Pugam 2,0 1,0 1,0
TM 6,0 3,0 3,0
Pupuk dasar
Urea 0,25 0,25 0,25
Sp 36 0,20 0,20 0,20
KCL 0,25 0,25 0,25

Paramater produksi diukur berdasarkan bobot lump mangkok dari pohon karet
tanaman contoh yang disadap. Penyadapan dilakukan dengan pola satu hari sadap satu
hari libur, data produksi tersebut dikumpulkan setiap bulan. Sebulan sebelum sadap,

180
Aspek Agronomis dan Analisis Finansial Tanaman Karet dan Nenas

petani mempunyai kebiasaan memberikan masa pembelajaran pohon karet untuk memacu
pengeluaran getah karet dengan menyayat kulit pohon karet terlebih dahulu.

Data analisis finansial dilakukan melalui pencatatan pengeluaran (C) dan


penerimaan (R) untuk menetapkan BEP (Break Event Point). Data analisis finansial ini
dikumpulkan selama pengelolaan kebun karet, yaitu selama delapan tahun hingga
berlangsungnya kegiatan ICCTF pada tiga tahun terakhir di Demplot ICCTF Kalimantan
Tengah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lingkar Batang Karet

Pertumbuhan karet yang direfleksikan dari lingkar batang yang diamati pada saat
sebelum perlakuan dan setelah 3 bulan perlakuan menunjukkan tidak ada perbedaan nyata
antar perlakuan (Tabel 2).

Tabel 2. Pengaruh perlakuan amelioran dan pupuk dasar (Kontrol) terhadap lingkar
batang karet di demplot ICCTF Kalimantan Tengah
Lingkar Batang Karet (cm)
Perlakuan
0 BSP 3 BSP
Kontrol 60,9 a 61,0 a
Pukan 60,2 a 60,4 a
Pugam 62,1 a 62,4 a
Tanah Mineral 60,1 a 60,3 a
BSP= Bulan Setelah Perlakuan pemberian Amelioran.
Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada taraf
nyata 5%.

Produksi Karet

Produksi karet pertama kali pada bulan Januari 2014 berupa lump mangkok
menunjukkan bahwa kontrol memiliki produksi terendah, namun pada bulan-bulan
berikutnya perlakuan TM memberikan hasil terendah (Tabel 3). Perlakuan Pugam
memberikan hasil tertinggi pada bulan sadap kedua hingga ke enam, sedangkan amelioran
TM terendah. Namun demikian jika dianalisis ragam ternyata perlakuan amelioran tidak
memiliki perbedaan secara nyata dengan kontrol.

181
M.S. Mokhtar et al.

Tabel 3. Pengaruh perlakuan amelioran dan pupuk dasar terhadap produksi lump
mangkok di demplot ICCTF Kalimantan Tengah Tahun 2014
Produksi Lump Mangkok Karet (kg/ha)
Perlakuan
Januari Pebruari Maret April Mei Juni
Kontrol 216,78a 175,92a 370,10a 411,8a 411,04a 408,54a
Pukan 329,33a 190,10a 391,86a 440,39a 416,04a 471,07a
Pugam 270,97a 229,28a 415,54a 460,23a 493,58a 556,11a
TM 262,63a 122,56a 283,48a 269,30a 251,79a 319,33a
Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada
taraf nyata 5%.

Analisis Finansial

Suatu teknologi yang diterapkan di tigkat petani umumnya harus memiliki


persyaratan layak secara finansial, teknis dan budaya. Jika kelayakan tersebut dimiliki
teknologi yang akan dikembangkan maka kemungkinan besar akan diadopsi oleh
masyarakat.

Investasi pengelolaan tanaman karet nampak hanya pengeluaran selama pohon


karet belum berproduksi. Tabel 4 menunjukkan bahwa pengeluaran dilakukan hingga pada
tahun ke enam, dengan pengeluaran terbesar pada tahun pertama, karena ada biaya
pembelian bibit dan penanaman, selain pemeliharaan lahan. Sedangkan pada tahun ke
tujuh dan ke depalan mulai ada pemasukan disebabkan karet mulai berproduksi. Rincian
analisis finansial sejak masuknya kegiatan ICCTF di kebun karet lahan gambut Jabiren
pada tahun 2011-2014 dapat dilihat pada Tabel 5 sampai 7.

Rincian pengeluaran dan pemasukan yang dilakukan dalam pengelolaan kebun


karet di lahan gambut selama usahatani sejak masuknya kegiatan ICCTF pada tahun ke
enam, tujuh, dan delapan. Berdasarkan kajian di atas nampak bahwa pada tahun ke tujuh
seluruh perlakuan dan kontrol belum mencapai BEP. Pada tahun ke delapan telah terjadi
pencapaian BEP untuk usahatani karet yaitu pada kontrol dan perlakuan Pugam, masing-
masing sebesar Rp. 7.305.528 dan Rp. 1.130.662. Hal itu menunjukkan bahwa pada tahun
ke delapan seluruh pembiayaan yang telah dikeluarkan selama investasi usahatani karet
telah impas bahkan telah memberikan kelebihan keuntungan. Sebaliknya untuk perlakuan
Pukan Ayam dan Tanah Mineral pada tahun ke delapan belum mencapai BEP dengan nilai
masing-masing Rp. -2.770.620 dan Rp. -20.201.257.

182
Aspek Agronomis dan Analisis Finansial Tanaman Karet dan Nenas

Tabel 4. Analisis finansial usahatani karet per hektar hingga tahun ke delapan di
demplot ICCTF Kalimantan Tengah
Amelioran
Uraian Kontrol Pukan Pugam TM
(Rp) (Rp) (Rp) (Rp)
Tahun-1 (2007)
Biaya (C) 6.100.000 6.100.000 6.100.000 6.100.000
Tenaga kerja 4.300.000 4.300.000 4.300.000 4.300.000
Sarana produksi 1.800.00 1.800.00 1.800.00 1.800.00
Penerimaan (R)
Lump karet - - - -
Tahun-2 (2008)
Biaya (C) 2.325.000 2.325.000 2.325.000 2.325.000
Tenaga kerja 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000
Sarana produksi 825.000 825.000 825.000 825.000
Penerimaan (R)
Lump karet - - - -
Tahun-3 (2009)
Biaya (C) 2.325.000 2.325.000 2.325.000 2.325.000
Tenaga kerja 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000
Sarana produksi 825.000 825.000 825.000 825.000
Penerimaan (R)
Lump karet - - - -
Tahun-4 (2010)
Biaya (C) 2.325.000 2.325.000 2.325.000 2.325.000
Tenaga kerja 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000
Sarana produksi 825.000 825.000 825.000 825.000
Penerimaan (R)
Lump karet - - - -
Tahun-5 (2011)
Biaya (C) 2.325.000 2.325.000 2.325.000 2.325.000
Tenaga kerja 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000
Sarana produksi 825.000 825.000 825.000 825.000
Penerimaan (R)
Lump karet - - - -
Tahun 6 (2012)
Biaya (C) 12.173.630 14.907.630 14.014.030 17.708.630
Tenaga kerja 6.300.000 7.700.000 7.700.000 8.500.000
Sarana produksi 5.873.630 7.207.630 6.314.030 9.208.630
Penerimaan (R) - - - -
Nenas - - - -
Lump karet - - - -
Tahun 7 (2013)
Biaya (C) 8.118.120 10.808.880 9.915.280 13.609.880
Tenaga kerja 4.200.000 5.600.000 5.600.000 6.400.000
Sarana produksi 3.874.880 5.208.800 4.315.280 7.209.880
Penerimaan (R) 11.193.000 11.193.000 11.193.000 11.193.000
Nenas 11.193.000 11.193.000 11.19.000 11.193.000
Lump karet - - - -
Keuntungan (B) 3.118.120 384.120 1.277.720 -2.416.880
Biaya Th1-7 35.691.750 41.116.510 39.329.310 46.718.510
Penerimaan Th
11.193.000 11.193.000 11.193.000 11.193.000
1-7

183
M.S. Mokhtar et al.

Amelioran
Uraian Kontrol Pukan Pugam TM
(Rp) (Rp) (Rp) (Rp)
BEP Th 1-7 -24.498.750 -29.923.510 -28.136.310 -35.525.510
Tahun 8 ( 2014)
Biaya (C) 8.736.050 15.538.050 15.938.250 19.139.050
Tenaga kerja 3.300.000 6.100.000 6.100.000 7.700.000
Sarana produksi 5.436.050 9.438.050 9.838.250 11.439.050
Penerimaan (R) 40.540.328 42.690.940 45.205.222 34.463.303
Nenas 9.594.000 9.594.000 9.594.000 9.594.000
Lump karet 30.946.328 33.096.940 35.611.222 24.869.303
Keuntungan (B) 31.804.278 27.152.890 29.266.972 15.324.253
Biaya Th 1-8 44.427.800 56.654.560 55.267.560 65.857.560
Penerimaan Th
51.733.328 53.883.940 56.398.222 45.656.303
1-8
BEP Th 1-8 7.305.528 -2.770.620 1.130.662 -20.201.257

KESIMPULAN

1. Perlakuan amelioran dan pupuk dasar tidak berpengaruh terhadap diameter pohon
karet pada 3 bulan setelah pemberian perlakuan, maupun produksi lump mangkok.

2. Analisis finansial usahatani pada tahun ke delapan telah terjadi pencapaian BEP pada
kontrol dan perlakuan Pugam, masing-masing sebesar Rp. 7.305.528 dan Rp.
1.130.662.

DAFTAR PUSTAKA

BPS Provinsi Kalimantan Tengah. 2011. Kalimantan Tengah dalam Angka 2011.
Palangka Raya.
Karyudi, Thomas, S. Pawirosoemardjo, dan H. Hadi. 2001. Teknologi dan pengelolaan
kebun karet berdasarkan agroekosistem. Dalam Pros. Lokakarya Nasional
Pemuliaan Karet. Pusat Penelitian Karet. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia.
Hendratno. 1990. Batas-batas kelayakan finansial usaha perkebunan karet rakyat di
Sumatera Selatan. Lateks. 5(2):34-44.
Nursyamsi, D. dan M. Alwi. 2012. Ameliorasi dan pemupukan di lahan rawa. Hal:687-
700 Dalam Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pemupukan dan Pemulihan
Lahan terdegradasi. Bogor, 29-30 Juni 2012. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. .
Siregar, H., S.R.P. Sitorus, dan A. Sutadi. 2102. Analisis potensi pengembangan
perkebunan karet rakyat di Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara. Forum
Pascasarjana. 35(1):1-13.

184
12
RESPON TANAMAN JAGUNG DAN ANALISIS FINANSIAL
PENGGUNAAN BEBERAPA JENIS AMELIORAN DI LAHAN
GAMBUT TERDEGRADASI KALIMANTAN BARAT
RESPONS OF CORN AND THE FINANCIAL ANALYS OF AMELIORANT
APPLICATIONS IN DEGRADED PEATLAND OF WEST KALIMANTAN

Tuti Sugiarti, Jafri, Juliana C. Kilmanun


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat, Jl. Budi Utono No. 45, Siantan, Pontianak
78241
Abstrak. Pengembangan lahan gambut terdegradasi sebagai lahan
pertanian memerlukan pengetahuan dan ketrampilan khusus dalam
pengelolaannya terutama penambahan input amelioran. Penelitian ini
bertujuan: 1) melihat respon tanaman jagung terhadap penggunaan jenis
amelioran; dan 2) melihat aspek sosial dan ekonomi petani di lahan gambut.
Penelitian ini dilaksanakan di lahan gambut terdegradasi desa Rasau Jaya II
Kec. Rasau Jaya, Kab. Kubu Raya Kalimantan Barat dari Mei sampai
Agustus 2013. Sebanyak 5 (lima) perlakuan amelioran disusun menurut
rancangan acak kelompok (RAK) dengan 5 ulangan. Benih jagung varietas
Sukmaraga ditanam secara tugal dalam plot berukuran 10 x 10 m dengan
jarak tanam 70 x 20 cm. Pengamatan dilakukan terhadap data agronomis,
komponen hasil dan hasil tanaman jagung, serta data analisa usahataninya.
Data agronomis dan hasil jagung dianalisis secara secara statistik dan data
analisa usahatani ditampilkan secara deskriptif. Hasil penelitian ini
menunjukkan, secara statistik pemberian beberapa amelioran tidak berbeda
nyata terhadap komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil jagung,
kecuali terhadap tinggi tanaman dan bobot 1000 biji. Penggunaan
amelioran dolomit dan cara petani memberikan keuntungan lebih tinggi
dibanding perlakuan lainnya, dengan nilai R/C ratio masing-masing adalah
1.44 dan 1.42.
Kata Kunci: Agronomi, jagung, amelioran, lahan gambut

Abstract. Development of degraded peatlands for agriculture requires


specialized knowledge and skills in management, especially the addition of
ameliorant input. The research was conducted in the village of degraded
peatlands Rasau Jaya district, Kubu Raya Region of West Kalimantan from
Mayl to August 2013. The objectives of research are: 1) to see the response
of maize plants to use ameliorant types; and 2) look at the economic
aspects in the peatland. A total of 5 (five) treatment ameliorant arranged
according to a randomized block design (RBD) with 5 replications. Seed
corn varieties (Sukmaraga) was grown drill in plots measuring 10 x 10 m
with a spacing of 70 x 20 cm. Data were collected for agronomic, yield
components and yield of corn, as well as farming analysis data. Maize
agronomic data and results were statistically analyzed and the data of
farming is displayed in a descriptive analysis. The results of this study

185
Tuti Sugiarti et al.

showed that administration of multiple ameliorant statistically not


significantly different from the components of growth, yield components
and yield of corn, except for plant height and weight of 1000 seeds. Use of
dolomite ameliorant and how farmers provide higher profits than other
treatments, with the value of the R / C ratio is respectively: 1:44 and 1:42.
Keywords: Agronomy, corn, ameliorant, peatland

PENDAHULUAN

Polemik pemanfaatan lahan gambut untuk usaha pertanian terus bergulir. Lembaga
swadaya masyarakat (LSM) lingkungan, baik dari dalam negeri maupun internasional
terus melakukan berbagai penolakan. Kontra makin kencang saat banyak pengusaha yang
mulai merambah lahan gambut untuk pengembangan usaha kebun sawit. Alasan utama
penolakan adalah karena pemanfaatan lahan gambut akan meningkatkan efek emisi gas
rumah kaca (GRK).

Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 14,9
juta ha terutama terdapat di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua (BBSDLP, 2011).
Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat (sequester) karbon
sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfer, walaupun proses
penambatan berjalan sangat lambat (0-3 mm gambut per tahun) atau setara dengan
penambatan 0-5,4 ton CO2/ha/tahun (Agus, 2009). Apabila hutan gambut ditebang dan
didrainase, maka karbon tersimpan pada gambut mudah teroksidasi menjadi gas CO2
(salah satu gas rumah kaca terpenting). Selain itu lahan gambut juga mudah mengalami
penurunan permukaan (subsidence) apabila hutan gambut terbuka. Oleh karena itu
diperlukan kehati-hatian dan perencanaan yang matang apabila akan mengkonversi lahan
gambut.

Pemanfaatan lahan gambut memang menjadi sebuah alternatif pengembangan


pertanian di Indonesia. Potensi lahan gambut di Indonesia sangat besar mencapai 14,9 juta
hektar (ha). Dari luasan tersebut, diperkirakan 33% atau sekitar 6 juta ha layak untuk
usaha pertanian yang tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BBSDLP, 2011).

Pengembangan pertanian khususnya jagung pada lahan gambut mengalami banyak


kendala, seperti kondisi fisik, kimia, biologi, dan sosial ekonomi masyarakatnya yang
kurang menguntungkan. Untuk itu, pengembangan pertanian pada lahan ini memerlukan
usaha konservasi lahan (perbaikan drainase, pemberian amelioran dan pemupukan
berimbang), pemilihan varietas yang cocok dan adaptif, dan sistem tanam yang tepat (Jafri
et al. 2006).

186
Respon Tanaman Jagung dan Analisis Finansial

Propinsi Kalimantan Barat merupakan provinsi terluas keempat setelah Papua,


Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah dengan luas wilayah 146.807 km2 atau setara
dengan luas 1,13 kali pulau Jawa. Provinsi Kalimantan Barat memiliki topografi datar
bergelombang,berbukit sampai bergunung. Jenis tanahnya sebagian besar adalah podsolik
merah kuning, diikuti oleh jenis tanah organosol, grey dan humus, serta jenis tanah
alluvial (BPS Kalimantan Barat, 2008).

Untuk meningkatkan kesuburan tanah di lahan gambut maka perlu ditambahkan


amelioran karena amelioran adalah bahan yang dapat meningkatkan kesuburan tanah
melalui perbaikan kondisi fisik dan kimia. Kriteria amelioran yang baik bagi lahan
gambut adalah memiliki kejenuhan basa (KB) yang tinggi, mampu meningkatkan derajat
pH secara nyata, mampu memperbaiki struktur tanah, memiliki kandungan unsure hara
yang lengkap, dan mampu mengusir senyawa beracun terutama asam-asam organik.
Amelioran dapat berupa bahan organik maupun anorganik.

Pemanfaatan lahan gambut bagi sebagian petani di desa Rasau Jaya bukan
merupakan pilihan namun merupakan tuntutan kehidupan karena mereka sudah hidup di
lahan gambut tersebut sejak turun temurun. Mereka menyadari bahwa mengolah lahan
gambut butuh biaya, pengetahuan dan ketrampilan yang memadai untuk meraih
keberhasilan. Untuk itu disadari bahwa pemilihan komoditas dan pengolahan lahan
gambut sangat berpengaruh dalam menentukan keberlanjutan dan keberhasilan.

Tulisan ini bertujuan untuk melihat respon tanaman jagung terhadap beberapa jenis
amelioran dan aspek sosial ekonomi petani di lahan gambut Rasau Jaya Kabupaten Kubu
Raya Kalimantan Barat.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di desa Rasau Jaya II, Kecamatan Rasau Jaya Kabupaten
Kubu Raya yang merupakan lokasi pelaksanaan kegiatan ICCTF fase II di Kalimantan
Barat yang di mulai dari bulan Mei sampai Agustus 2013. Penelitian menggunakan
tanaman jagung varietas Sukmaraga. Sebanyak 5 (lima) perlakuan amelioran diuji dengan
menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dan diulang sebanyak 5 kali. Petak
percobaan dibuat berukuran 10 x 10 meter dengan antar petak perlakuan dan ulangan
masing-masing berjarak 1 dan 2 meter.

Perlakuan amelioran yang digunakan adalah: (A). Amelioran: pugam 1 t/ha, pupuk
dasar Urea 300 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha; (B). Amelioran: pupuk kandang
kotoran ayam 5 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha,
kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha; (C). Amelioran: dolomit 1 t/ha, pupuk dasar Urea 300

187
Tuti Sugiarti et al.

kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha, CuSO 415 kg/ha; (D). Kontrol:
tanpa amelioran, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit
100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha; dan (E). Kontrol (cara petani): dolomit 1,6 t/ha, trichoderma
8 l/ha, pupuk kandang kotoran ayam 1,25 t/ha, pupuk dasar Urea 50 kg/ha, NPK Phonska
250 kg/ha, KCl 50 kg/ha.

Benih jagung varietas Sukmaraga ditanam secara tugal dengan jarak tanam 70 x 20
cm dan dimasukan 2 butir/lubang tanam. Sebelum ditanam, benih dicampur dahulu
dengan Metalaksil (Saromyl) sebanyak 5 g/kg benih guna untuk mencegah serangan
penyakit bulai. Untuk mencegah serangan lalat bibit dan ulat tanah, ke dalam lobang
benih diberikan Furadan 3G dengan takaran 18 kg/ha.

Pupuk dasar diberikan sama untuk semua perlakuan kecuali pada perlakuan
Pugam, pupuk SP-36 tidak diberikan lagi. Amelioran diberikan sebelum tanam dengan
cara menyebarkan secara merata dalam petak perlakuan. Pupuk dasar urea 40% dari dosis,
SP-36, dan KCl diberikan setelah tanaman tumbuh 3 daun (umur 10-15 hari) dengan cara
ditugal 5 cm dari tanaman. Pemupukan urea susulan dengan dosis 60% dari dosis yang
ditetapkan dilakukan saat tanaman jagung berumur 40-45 hari setelah tanam, sekaligus
dilakukan penyiangan dan pembumbunan.

Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman, tinggil letak tongkol, jumlah


tongkol panen, jumlah tongkol steril, panjang tongkol, data komponen hasil dan hasil biji
pipilan kering. tanaman, komponen hasil dan hasil tanaman jagung. Data hasil
pengamatan tersebut dianalisis dengan metode varian (anova) dan dilanjutkan dengan uji
DMRT pada taraf nyata 5%. Kemudian, juga dicatat dan dikumpulkan data output dan
input usahataninya yang bertujuan untuk mengetahui analisis usahatani dengan cara
menghitung R/C ratio.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Respon Tanaman Jagung terhadap Beberapa Amelioran di Lahan Gambut

Pemberian beberapa jenis amelioran menunjukkan perbedaan nyata terhadap tinggi


tanaman, tetapi tidak nyata terhadap tinggi letak tongkol, jumlah tongkol panen /m2 dan
prosentase tongkol steril (Tabel 2). Tanaman dan letak tongkol tertinggi diperoleh pada
perlakuan E (cara petani) dengan tinggi tanaman dan letak tongkolnya masing-masing
adalah 155.44 dan 66.56 cm. Akan tetapi, tidak nyata perbedaannya dengan perlakuan B
(amelioran pukan ayam). Tinggi tanaman dan letak tongkol terendah diperoleh pada
perlakuan C (tanpa amelioran), masing-masing 135.20 dan 57.56 cm. Jumlah tongkol
steril tertinggi diperoleh pada perlakuan D (pemberian pupuk dasar) yaitu 20.67% dan

188
Respon Tanaman Jagung dan Analisis Finansial

tidak nyata perbedaannya dengan perlakuan lainnya dan yang terendah dimiliki oleh
perlakuan E (cara petani) yaitu 8.72%.

Tabel 2. Penampilan tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, jumlah tongkol panen, dan
tongkol steril jagung varietas jagung Sukmaraga kegiatan demplot ICCTF,
Rasau Jaya II, Kab. Kubu Raya, Kalbar, 2013.
Tinggi Jumlah
Tinggi Jumlah
letak tongkol
Perlakuan tanaman tongkol
Tongkol panen/m2
(cm) Steril (%)
(cm) (buah)
A. Pugam+pupuk dasar 138.60 b 60.84 a 24.60 a 14.14 a
B. Pupuk kandang+pupuk dasar 152.88 a 64.84 a 25.60 a 18.28 a
C. Dolomit+pupuk dasar 135.20 b 57.56 a 24.40 a 10.56 a
D. Tanpa amelioran+pupuk dasar 135.76 b 61.52 a 25.00 a 16.99 a
E. Dolomit+pukan ayam+pupuk
dasar 155.44 a 66.56 a 25.00 a 8.72 a
CV 6.73 9.54 18.42 26.10
Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf uji 0.05 DMRT.
Keterangan:
A. Amelioran: PUGAM 1 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha;
B. Amelioran: pupuk kandang kotoran ayam 5 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha,
KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha;
C. Amelioran: dolomit 1 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha,
kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha;
D. Kontrol: tanpa amelioran, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha,
kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha;
E. Kontrol (cara petani): dolomit 1,6 t/ha, trichoderma 8 l/ha, pupuk kandang kotoran ayam 1,25
t/ha, pupuk dasar Urea 50 kg/ha, NPK Phonska 250 kg/ha, KCl 50 kg/ha.

Tinggi letak tongkol dari varietas Sukmaraga ini cukup ideal yaitu lebih kurang
dipertengahan atau lebih rendah dari tinggi tanaman. Menurut Subandi et al (1982),
bahwa posisi letak tongkol tanaman jagung yang ideal adalah dipertengahan atau lebih
rendah dari tinggi tanaman. Menurut Hosang et al. (2006), tinggi tanaman berkaitan erat
dengan kerebahan batang, semakin tinggi suatu individu makin besar peluang individu
tanaman tersebut mengalami kerebahan. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap
produktivitas tanaman terutama bila ditanam pada suatu daerah atau lokasi yang rentan
terhadap kecepatan angin.

Panjang tongkol, lingkaran tongkol, jumlah baris biji tongkol dan jumlah biji/baris
biji tongkol tidak nyata perbedaannya dengan pemberian beberapa jenis amelioran, tetapi
nyata terhadap bobot 1000 biji (Tabel 3). Bobot biji 1000 butir tertinggi didapatkan pada

189
Tuti Sugiarti et al.

perlakuan E (308.32 g) dan tidak nyata perbedaannya dengan perlakuan lainnya, kecuali
dengan perlakuan D (tanpa amelioran + pupuk dasar) dan merupakan yang terendah bobot
biji 1000 butirnya (246.93 g). Jumlah biji per baris biji tongkol tertinggi diperoleh pada
pemberian amelioran Pugam dan Kotoran Ayam (26.48 butir) dan yang terendah
perlakuan E (cara petani) yaitu 24.68 butir. Tidak adanya perberbedaan antara karakter
komponen hasil dari varetas Sukmaraga di antara perlakuan ameliorant ini disebabkan
oleh factor genetik dan sedikit dipengaruhi leh faktor lingkungan. Menurut Allard (1960),
penotipe suatu varietas ditentukan oleh adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan.

Tabel 3. Penampilan panjang tongkol, lingkaran tongkol, jumlah baris biji, jumlah
biji/baris tongkol dan bobot 1000 biji varietas jagung Sukmaraga kegiatan
demplot ICCTF, Rasau Jaya II, Kab. Kubu Raya, Kalbar, 2013.

Panjang Lingkaran Jumlah baris Jumlah biji/baris Bobot


Perlakuan tongkol tongkol biji tongkol biji tongkol 1000 biji
(cm) (cm) (buah) (butir) (g)

A. Pugam + pupuk dasar 14.88 a 13.22 a 13.44 a 26.48 a 267.93 ab


B. Pukan ayam + pupuk dasar 14.72 a 12.84 a 12.80 a 26.48 a 278.85 ab
C. Dolomit + pupuk dasar 14.46 a 13.21 a 12.64 a 26.40 a 278.99 ab
D. Tanpa amelioran + pupuk
dasar 14.04 a 12.51 a 12.56 a 25.12 a 246.93 b
E.Dolomit + pukan ayam +
pupuk dasar 14.53 a 13.16 a 12.56 a 24.68 a 308.32 a
CV 7.14 5.06 6.98 10.05 13.48

Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf uji 0.05 DNMRT.
Keterangan:
A. Amelioran: pugam 1 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha;
B. Amelioran: pupuk kandang kotoran ayam 5 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha,
KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha;
C. Amelioran: dolomit 1 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha,
kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha;
D. Kontrol: tanpa amelioran, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha,
kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha;
E. Kontrol (cara petani): dolomit 1,6 t/ha, trichoderma 8 l/ha, pupuk kandang kotoran ayam 1,25
t/ha, Pupuk dasar Urea 50 kg/ha, NPK Phonska 250 kg/ha, KCl 50 kg/ha

Rendemen dan hasil biji kering tidak nyata perbedaannya di antara perlakuan
pemberian beberapa jenis amelioran di lahan gambut Rasau Jaya Kalimantana Barat
(Tabel 4). Rendemen dan hasil tertinggi masing-masing diberikan oleh perlakuan D (tanpa
amelioran) dan perlakuan A (amelioran pugam) yaitu 83.50% dan 3.76 t/ha dengan
standar deviasi antara 0.69 sampai 1.02 (Tabel 5 dan Gambar 1). Walaupun secara statistik
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun pemberian amelioran pugam masih

190
Respon Tanaman Jagung dan Analisis Finansial

memberikan hasil biji tertinggi yaitu 3.76 t/ha dan yang terendah adalah perlakuan tanpa
amelioran yaitu 2.68 t/ha.

Hal tersebut menunjukkan, bahwa pemanfaatan lahan gambut terdegradasi untuk


tanaman pangan sangat diperlukan pemberian amelioran atau bahan organik. Hasil biji
pipilan kering varietas Sukmaraga pada penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan
dengan hasil penelitian di lahan gambut sebelumnya yang mencapai 4.5 sampai 5.0 t/ha
(Jafri, 2011).

Tabel 4. Penampilan rendemen dan hasil biji pipilan kering pada kadar air 15% varietas
jagung Sukmaraga kegiatan demplot ICCTF, Rasau Jaya II, Kab. Kubu Raya,
Kalbar, 2013.
Rendemen (%) Hasil (t/ha)
A. Pugam + pupuk dasar 83.33 a 3.76 a
B. Pukan ayam + pupuk dasar 80.14 a 3.03 a
C. Dolomit + pupuk dasar 81.65 a 3.54 a
D. Tanpa amelioran + pupuk dasar 83.50 a 2.68 a
E. Dolomit + pukan ayam + pupuk dasar 82.53 a 3.37 a
CV 4.59 29.97
Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf uji 0.05 DNMRT.
Keterangan:
A. Amelioran: PUGAM 1 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha;
B. Amelioran: pupuk kandang kotoran ayam 5 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha,
KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha;
C. Amelioran: dolomit 1 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha,
kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha;
D. Kontrol: tanpa amelioran, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha,
kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha;
E. Kontrol (cara petani): dolomit 1,6 t/ha, trichoderma 8 l/ha, pupuk kandang kotoran ayam 1,25
t/ha, pupuk dasar Urea 50 kg/ha, NPK Phonska 250 kg/ha, KCl 50 kg/ha.

Tabel 5. Respon tanaman jagung dan tanah terhadap beberapa perlakuan amelioran
pada tanah gambut di lokasi ICCTF Rasau Jaya II, Kec. Rasau Jaya, Kab.
Kubu Raya, Prov. Kalbar, 2013..
Hasil (t/ha)
Perlakuan
Mean + STDev
A. Pugam + pupuk dasar 3.76 + 0.83
B. Pukan ayam + pupuk dasar 3.03 + 0.85
C. Dolomit + pupuk dasar 3.54 + 1.06
D. Tanpa amelioran + pupuk dasar 2.68 + 0.69
E. Dolomit + pukan ayam + pupuk dasar 3.37 + 1.02

191
Tuti Sugiarti et al.

Gambar 1. Keragaan hasil jagung pada perlakuan pemberian amelioran di lahan


gambut Rasau Jaya, Kalbar 2013.

Aspek Sosial Ekonomi

Pada umumnya penduduk desa Rasau Jaya adalah peserta transmigrasi dari pulau
Jawa. Berdasarkan hasil wawancara dikatakan bahwa mengolah lahan gambut sangatlah
sulit untuk dilakukan karena selain belum berpengalaman, memerlukan biaya yang besar,
juga memerlukan pengetahuan dan ketrampilan. Namun demikian tetap mereka lakukan
karena kondisi alam dan tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga. Upaya keras dari petani
terus dilakukan, petani terus mencari berbagai informasi tentang pengetahuan untuk
mengolah lahan gambut dan menerapkannya, upaya inipun membuahkan hasil dimana
dengan menanam berbagai sayuran dan tanaman lainnya.

Tahun 2013 Badan Litbang pertanian bekerja sama dengan Bappenas melakukan
kegiatan ICCTF di desa Rasau Jaya. Kegiatan ini mendapat sambutan positif dari petani
setempat karena ini merupakan suatu hal baru, walaupun awalnya masih ada kritikan dari
beberapa petani tentang kegiatan ini. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah
membuat demontrasi plot untuk tanaman jagung. Pada demplot jagung diberikan
perlakuan dengan menggunakan amelioran berupa PUGAM, kotoran ayam dan dolomite
yang diharapkan dengan pemberian amelioran ini dapat meningkatkan produksi dan
pendapatan petani di lahan gambut Rasau Jaya.

Pemberian amelioran dolomit (perlakuan C) nilai R/C ratio dan keuntungan lebih
tinggi dibandingkan dengan perlakuan dan penggunaan amelioran lainnya. Kemudian
diikuti oleh perlakuan E (cara petani), perlakuan A (amelioran pugam) dan perlakuan D
(tanpa amelioran) dengan nilai R/C ratio berturut-turut adalah 1.44; 1.42; 1.22; dan 1.19,
Sedangkan, keuntungan dan nilai R/C ratio terendah diperoleh pada perlakuan B
(amelioran pukan ayam) yaitu 1.01 (Tabel 6).

192
Respon Tanaman Jagung dan Analisis Finansial

Dengan nilai R/C lebih dari satu maka dapat disimpulkan bahwa usahatani yang
dilakukan adalah layak artinya bahwa teknologi dengan menggunakan amelioran yang
dianjurkan dalam pelaksanaan demplot jagung pada kegiatan ICCTF berdampak positif
pada usahatani jagung yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan pendapatan
rumah tangga dari usahatani jagung di lahan gambut.

Tabel 6. Analisa usahatani per hektar demplot jagung kegiatan ICCTF di Kalbar 2013.
Perlakuan
No Uraian
A B C D E
1 Biaya sarana produksi (Rp) 6,425,000 6,091,667 4,165,000 3,425,000 3,840,667
2 Biaya upah tenaga kerja (Rp) 3,220,000 3,220,000 3,220,000 3,220,000 3,220,000
3 Biaya lain-lain (Rp) 1478750 1478750 1478750 1478750 1478750
4 Pendapatan (Rp) 13,550,400 10,915,200 12,751,200 9,662,400 12,124,800
5 Pengeluaran (Rp) 11,123,750 10,790,417 8,863,750 8,123,750 8,539,417
6 Keuntungan (Rp) 2,426,650 124,783 3,887,450 1,538,650 3,585,383
7 R/C Ratio 1.22 1.01 1.44 1.19 1.42
Keterangan :
A. Amelioran: PUGAM 1 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha;
B. Amelioran: pupuk kandang kotoran ayam 5 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha,
KCl 150 kg/ha, kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha;
C. Amelioran: dolomit 1 t/ha, pupuk dasar Urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha,
kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha;
D. Kontrol: tanpa amelioran, pupuk dasar urea 300 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 150 kg/ha,
kieserit 100 kg/ha, CuSO4 15 kg/ha;
E. Kontrol (cara petani): dolomit 1,6 t/ha, trichoderma 8 l/ha, pupuk kandang kotoran ayam 1,25
t/ha, pupuk dasar Urea 50 kg/ha, NPK Phonska 250 kg/ha, KCl 50 kg/ha.

KESIMPULAN

1. Lahan gambut terdegradasi berpotensi untuk pengembangan tanaman pangan, buah-


buahan dan sayuran dan sumber pendapatan utama bagi petani.

2. Pemberian beberapa jenis amelioran di lahan gambut berpengaruh nyata terhadap


tinggi tanaman dan bobot 1000 butir biji jagung varietas Sukmaraga, tidak nyata
perbedaannya terhadap hasil biji pipilan kering

3. Penggunaan amelioran dolomit dan cara petani memberikan keuntungan lebih tinggi
dibanding perlakuan lainnya dengan nilai R/C ratio masing-masing adalah 1.44 dan
1.42.

193
Tuti Sugiarti et al.

DAFTAR PUSTAKA

Allard,R.W. 1960. Principles of Plant Breeding. Jhon Wiley and Sonds,Inc. New York
485 p.
Agus, F. 2009. Cadangan karbon, emisi gas rumah kaca dan konservasi lahan gambut.
Dalam Prosiding seminar Dies Natalis Universitas Brawidjaya ke 46, 31 Januari
2009. Universitas Brawidjaya. Malang
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian–BBSDLP. 2011. Peta lahan gambut
indonesia skala 1:250.000 (Indonesian peatland map at the scale 1:250,000).
Indonesian Center for Agricultural Land Resources Research and Development,
Bogor, Indonesia.
Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. 2008. Kalimantan Barat Dalam Angka
2008. Badan Pusat Statistik Provinsi Kalbar,Pontianak.
Hosang E.Y., F. Kasim dan P. Bhuja. 2006. Karakteristik agronomi jagung lokal NTT.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional. Makassar, 29-30 September 2005.
Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. Hal. 196-205.
Jafri, S. S. Wibowo, M. Hattta dan T. M. Ibrahim. 2006. Pemanfaatan lahan gambut untuk
pengembangan jagung di Kalimantan Barat. Hal. 234-240 Dalam Prosiding
Seminar dan Lokakarya Nasional. Makassar, 29-30 September 2005. Puslitbang
Tanaman Pangan. Bogor..
Jafri. 2011. Tanggap pertumbuhan beberapa varietas jagung terhadap sistem tanam lurus
dan zigzag di lahan gambut Kalimantan Barat. Hal. 22-30 Dalam Prosiding
Seminar Nasional Serealia 2011..
Rina, Y., Norginayuwati dan M. Noor. 2007. Persepsi petani tentang lahan gambut dan
pengelolaannya. Badan Litbang Pertanian. Jakarta
http://balittra.litbang.deptan.go.id/ lokal/ Kearipan-8%20Yanti.pdf. diakses pada
tanggal 4 april2014.
Sinar Tani, Edisi 6-12 Maret 2011 No.3400 Tahun XLI. Ameliorasi tanah gambut
meningkatkan produksi padi dan menekan emisi gas rumah kaca.
Sinar Tani edisi 14-20 Agustus 2013. Optimalisasi lahan gambut.
Subandi, A. Sudjana and Sujitno. 1982. Yield measurement in maize yield tests. Contr.
CRIA. Bogor. 67: 11-18.

194
13
PENGENDALIAN HAMA KUMBANG TANDUK (ORYCTES
RHINOCEROS LINN.) MENGGUNAKAN PERANGKAP
FEROMON PADA TANAMAN KELAPA SAWIT (ELAEIS
GUINEENSIS JACQ.) DI LAHAN GAMBUT PROVINSI RIAU
CONTROL OF HORN BEETLE (ORYCTES RHINOCEROS LINN.) USING FEROMON
TRAPS FOR OIL PALM (ELAEIS GUINEENSIS JACQ.) ON PEATLAND IN RIAU
Hery Widyanto, Suhendri Saputra, Suryati
Balai Pengkajian Teknologi (BPTP) Riau. Jl. Kaharuddin Nasution Km. 10 No. 341,
Pekanbaru 10210

Abstrak. Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabidae) atau kumbang


tanduk merupakan salah satu hama penting pada tanaman kelapa sawit.
Hama ini dapat menurunkan produksi tandan buah segar (TBS) pada tahun
pertama menghasilkan hingga 69%, bahkan menyebabkan tanaman muda
mati mencapai 25%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari
model dan tinggi serta lamanya waktu aplikasi pemasangan perangkap
feromon yang efektif. Uuntuk mengendalikan kumbang tanduk. Penelitian
dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei Kijang,
Kabupaten Pelalawan, Riau dari bulan April 2014 sampai Juli 2014.
Penelitian meliputi 4 perlakuan dengan 3 ulangan, perlakuan yang diuji
yaitu: (a) perangkap dengan 4 sisi penahan dan tidak dicat, (b) perangkap
dengan 4 sisi penahan dan dicat kuning, (c) perangkap dengan 2 sisi
penahan dan tidak dicat, dan (d) perangkap dengan 2 sisi penahan dan dicat
kuning. Perlakuan tinggi pemasangan perangkap dilakukan pada ketinggian
4,5 m; 3 m; dan 1,5 meter dari permukaan tanah dengan 4 ulangan. Hasil
penelitian menunjukkan jumlah kumbang yang terbanyak terperangkap
didapatkan pada perlakuan A yaitu sebesar 4,3 ekor/bln, kemudian pada B,
D dan C sebesar 3,5 ekor/bln; 3,5 ekor/bln; dan 3,2 ekor/bln. Model
perangkap A dan B lebih baik dalam memerangkap kumbang tanduk
dibandingkan dengan perangkap C dan D (rata-rata 3,9 ekor/bln berbanding
3,35 ekor/bln) dikarenakan memiliki empat sisi penahan yang dapat
menahan datangnya kumbang tanduk dari segala arah. Perangkap dengan
tinggi 4,5 meter memerangkap kumbang tanduk terbanyak rata-rata 1,5
ekor/bln, diikuti dengan tinggi 1,5 meter dan 3 meter masing-masing 1 dan
0,5 ekor/bln. Hal ini dikarenakan pada ketinggian tersebut faktor
lingkungan seperti kecepatan angin dan suhu udara sesuai untuk
mempercepat penyebaran dan penguapan feromon yang dapat merangsang
kumbang tanduk untuk datang. Kemampuan perangkap feromon pada bulan
ketiga (Juni 2014) menurun secara signifikan yaitu 1 ekor/bln jika
dibandingkan pada bulan pertama dan kedua (April dan Mei 2014) yang
sebanyak 3,75 dan 3,5 ekor/bln. Penurunan ini disebabkan senyawa kimia
dari feromon yang mulai berkurang karena adanya penguapan dan
berangsur-angsur habis. Hasil ini menunjukkan model perangkap feromon
yang memiliki 4 sisi penahan dan dipasang pada ketinggian 4,5 meter

195
Hery Widyanto et al.

paling efektif untuk memerangkap hama kumbang tanduk dan lamanya


waktu yang efektif untuk pemasangan perangkap feromon adalah 3 bulan.

Kata kunci: Kumbang tanduk, feromon, kelapa sawit.

Abstract. Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabidae) or horn beetle is


one of the important oil palm pest. These pest can reduce 69% of fresh
fruit bunches (FFB) yield in the first year, even causing 25% death of
young plants. The purpose of this research are to study the model, height
position, and length of time of pheromone trapping application by which
effective in controlling horn beetle prevalence. The experiment was
conducted in the village of Lubuk Ogong, Sub District Bandar Sei Kijang,
District of Pelalawan, Riau from April 2014 to July 2014. Research trap
models includes 4 treatments with 3 replications, treatments were tested,
namely: (a) trap with 4 sides retaining and not painted, (b) trap with 4
sides retaining and yellow painting, (c) a trap with 2 side retaining and not
in paint, and (d) trap with 2 side retaining and painted with yellow. High
treatment trapping conducted at a high of 4.5 m; 3 m; and 1.5 meters from
the ground with 4 replications. The results showed that the highest number
of beetles found in A treatment was 4.3 beetles/month, then the B, D and C
at 3.5 beetles/month ; 3.5 beetles/month and 3.2 beetles/month. Models A
and B traps were better than the models C and D in trapping the horn
beetle (average value of 3.9 beetles/month versus 3.35 beetles/month) due
to having four side barriers that can withstand the arrival of beetle horns
from all directions. Traps with 4.5 meter high horn beetle trapeds the
highest average of 1.5 beetles/month, followed by 3 meters high and 1.5
respectively 1 and 0.5 beetles/month. This was because with that high,
environmental factors such as wind speed and air temperature were
deployment well and evaporation pheromone could stimulate the horn
beetle to come. The ability of pheromone traps in the third month (June
2014) significantly decreased by 1 beetle/month compared to the first and
second months (April and May 2014) that was about 3.75 and 3.5
beetle/month. The decrease was due to pheromone chemical compounds
which began to decrease because of evaporation and depleted gradually.
These results indicated that pheromone trap models which have 4 sides
retaining and mounted at a height of 4.5 meters was the most effective for
trapping beetle horns and the effective length of time for pheromone
trapping was 3 months.

Keywords: Horn beetle, pheromone, palm oil.

PENDAHULUAN

Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat pesat dalam


kurun waktu 20 tahun terakhir dari lahan seluas 1.126.677 ha pada tahun 1990 menjadi
4.158.077 ha pada tahun 2000, kemudian meningkat menjadi 7.824.623 ha pada tahun

196
Pengendalian Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros Linn.)

2010 (Ditjenbun, 2010). Dari total luas lahan kelapa sawit di atas, provinsi Riau memiliki
luas lahan kelapa sawit terbesar di Indonesia, yaitu sekitar 2.103.175 ha dengan produksi
CPO sebesar 6,2 juta ton (Disbun Prov Riau, 2011 dalam Syahza, 2012). Total produksi
CPO tersebut di atas, menjadikan kelapa sawit merupakan komoditas non migas yang
memiliki nilai ekspor tertinggi di Provinsi Riau, yaitu sekitar 66,6 % dari nilai total ekspor
non migas Riau periode Januari – September 2012 (BPS Provinsi Riau, 2012).

Tantangan dari peningkatan luas perkebunan kelapa sawit selain keterbatasan lahan
yang tersedia juga adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), khususnya
hama. Meningkatnya pemakaian lahan secara besar-besaran untuk penanaman kelapa
sawit di Indonesia menambah jumlah lahan monokultur yang menguntungkan bagi
perkembangan hama. Hal tersebut terjadi karena pakan terus menerus tersedia sehingga
menunjang keberlangsungan hidup hama (Siahaan, 2014). Kelapa sawit dapat diserang
oleh berbagai hama dan penyakit tanaman sejak di pembibitan hingga di kebun
pertanaman. Salah satu hama utama pada kelapa sawit adalah hama kumbang tanduk
(Oryctes rhinoceros).

Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabidae) atau kumbang tanduk merupakan


salah satu hama penting pada kelapa sawit dan dikenal sebagai hama pengerek pucuk
kelapa sawit. Daud (2007) menyatakan bahwa serangan hama ini dapat menyebabkan
kematian tanaman apabila menyerang titik tumbuh kelapa sawit. Hama kumbang tanduk
ini menyerang tanaman kelapa sawit yang ditanam di lapangan sampai umur 2,5 tahun
dengan merusak titik tumbuh sehingga terjadi kerusakan pada daun muda (Darmadi, 2008
dalam Herman, 2012). Kumbang tanduk pada umumnya menyerang tanaman kelapa sawit
muda dan menurunkan produksi tandan buah segar (TBS) pada tahun pertama
menghasilkan hingga 69%, bahkan menyebabkan 25% tanaman muda mati (PPKS,
2008).

Pengendalian kumbang tanduk dengan menggunakan perangkap feromon sebagai


insektisida alami, ramah lingkungan, dan lebih murah dibandingkan dengan pengendalian
secara konvensional. Feromon merupakan bahan yang mengantarkan serangga pada
pasangan seksualnya, sekaligus mangsa, tanaman inang, dan tempat berkembang biaknya.
Komponen utama feromon sintetis ini adalah etil-4 metil oktanoat. Penggunaan feromon
cukup murah karena biayanya hanya 20% dari biaya penggunaan insektisida (PPKS,
2008). Penggunaan perangkap feromon di perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu
alternatif yang sangat baik untuk mengendalikan kumbang tanduk.

Tujuan penelitian adalah mempelajari model bentuk dan tinggi pemasangan


perangkap feromon yang efektif serta lamanya waktu aplikasi perangkap feromon di
perkebunan kelapa sawit yang efektif dalam memerangkap kumbang tanduk.

197
Hery Widyanto et al.

BAHAN DAN METODE

Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei. Kijang,


Kabupaten Pelalawan, Riau dari bulan April 2014 sampai Juli 2014. Penelitian dilakukan
pada lahan petani menggunakan lahan petani yang ditanami kelapa sawit.

Perlakuan Model Perangkap

Perlakuan model perangkap yang diuji meliputi: (a) model perangkap yang
memiliki 4 sisi penahan dan tidak dicat, (b) model perangkap yang memiliki 4 sisi
penahan dan dicat kuning, (c) model perangkap yang memiliki 2 sisi penahan dan tidak di
cat, dan (d) model perangkap yang memiliki 2 sisi penahan dan dicat kuning (Gambar 1).

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 1. Model perangkap kumbang tanduk yang diuji pada tanaman kelapa sawit.

Penelitian dilakukan sebanyak 3 (tiga) ulangan, dimana setiap ulangan diuji


cobakan pada lahan seluas masing-masing 3 ha yang telah ditanami kelapa sawit. Tata
letak perlakuan dalam setiap ulangan dapat dilihat pada Gambar 2. Pemasangan

198
Pengendalian Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros Linn.)

perangkap dilakukan dengan cara digantungkan pada tiang yang lebih tinggi dari tajuk
tanaman kelapa sawit (Gambar 3).

Perlakuan Tinggi Perangkap

Perlakuan tinggi perangkap dilakukan sebanyak 3 (tiga) perlakuan dengan 4


ulangan. Perlakuan tinggi perangkap yang diuji yaitu: pemasangan perangkap feromon
dengan tinggi 4,5; 3; dan 1,5 meter dari permukaan tanah. Pengamatan dilakukan setiap
satu minggu sekali dengan cara menghitung jumlah kumbang yang terperangkap. Seluruh
kumbang yang terperangkap kemudian dimusnahkan agar tidak kembali menyerang
tanaman kelapa sawit di sekitarnya.

Gambar 2. Layout pemasangan perlakuan perangkap pada setiap ulangan.

199
Hery Widyanto et al.

Gambar 3. Pemasangan perangkap feromon pada ketinggian 4,5 meter.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perlakuan Model Perangkap

Hasil pengamatan kumbang tanduk yang terperangkap dapat dilihat pada Gambar
4. Dari pengamatan selama 2 bulan (April s.d. Mei 2014) menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata diantara keempat perlakuan yang diuji, jumlah kumbang terperangkap yang
terbanyak didapatkan pada perlakuan model perangkap A yaitu sebesar 4,3 ekor/bln,
kemudian secara berturut-turut jumlah kumbang yang terperangkap pada perangkap
model B, D dan C sebesar 3,5; 3,5 dan 3,2 ekor/bln.

Gambar 4. Jumlah kumbang yang terperangkap pada setiap perlakuan.

200
Pengendalian Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros Linn.)

Model perangkap A dan B yang memiliki empat sisi penahan (lempengan seng)
lebih baik dalam memerangkap hama kumbang tanduk dibandingkan dengan perangkap C
dan D yang memiliki dua sisi penahan (dengan nilai rata-rata 3,9 berbanding 3,35), hal
ini dikarenakan model perangkap yang memiliki empat sisi penahan dapat menahan
datangnya kumbang tanduk dari segala arah yang menuju ke dalam perangkap sehingga
kumbang yang datang akan membentur lempengan seng dan masuk ke dalam ember
penampung, sedangkan perangkap yang hanya memiliki dua sisi penghalang hanya dapat
menahan kumbang yang datang dari dua arah yaitu depan dan belakang sisi penghalang.
Pemberian warna pada perangkap tidak berpengaruh pada banyaknya kumbang yang
terperangkap, hal ini dapat dilihat pada perangkap yang memiliki bentuk yang sama (A
dengan B dan C dengan D), pada perangkap A yang tidak di beri warna jumlah kumbang
yang terperangkap lebih besar daripada perangkap B yang diberi warna kuning (4,3
berbanding 3,5) sedangkan pada bentuk perangkap yang kedua menunjukkan hasil yang
sebaliknya dimana perangkap C yang tidak di beri warna, jumlah kumbang yang
terperangkap lebih sedikit dari perangkap D yang diberi warna (3,2 berbanding 3,5). Hal
ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Santi, et al., (2008) yang menyatakan bahwa
warna perangkap tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil tangkapan dan sex ratio O.
rhinoceros. Selain itu, sifat dari kumbang yang aktif pada saat senja sampai malam hari
menyebabkan tidak ada pengaruhnya pemberian warna terhadap jumlah kumbang yang
terperangkap, dimana pada saat itu pantulan dari cahaya matahari sudah tidak efektif
dalam memancing kumbang tanduk untuk mendekat. Siahaan (2014) mengatakan
kumbang O. rhinoceros terbang dari tempat persembunyiannya menjelang senja sampai
agak malam (sampai dengan pkl. 21.00 WIB), dan jarang dijumpai pada waktu larut
malam.

Perlakuan Tinggi Perangkap

Perlakuan tinggi perangkap dilakukan pada bulan Juni 2014. Hasil pengamatan
menunjukkan pada perangkap dengan tinggi 4,5 meter dapat memerangkap kumbang
tanduk terbanyak rata-rata 1,5 ekor/bln, kemudian diikuti berturut-turut pemasangan
perangkap dengan tinggi 1,5 dan 3 meter masing-masing 1 dan 0,5 ekor kumbang tanduk
per bulan Gambar 5.

201
Hery Widyanto et al.

Gambar 5. Jumlah kumbang yang terperangkap pada setiap perlakuan tinggi perangkap.

Pemasangan perangkap pada ketinggian 4,5 meter lebih baik dibandingkan pada
ketinggian 1,5 dan 3 meter dikarenakan pada ketinggian tersebut didukung oleh faktor
lingkungan yang lebih sesuai seperti angin dan suhu udara. Kecepatan angin yang sesuai
dan temperatur yang tinggi lebih mempercepat penguapan feromon untuk menyebar
sehingga lebih cepat untuk merangsang kumbang tanduk untuk mencari asal sumber
feromon tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Herman (2012) yang
menyatakan hasil pengamatan pada tinggi perangkap 4 meter dapat memerangkap O.
rhinoceros terbanyak dibandingkan dengan tinggi perangkap 2 dan 3 meter, faktor
lingkungan pada tinggi perangkap 4 sebaran bau feromon lebih cepat diterima oleh O.
rhinoceros karena dibantu oleh angin dan temperatur yang tinggi dapat mempercepat
terjadinya penguapan feromon serta cepat tersebar, sehingga merangsang O. rhinoceros
untuk mencari asal sumber bau tersebut.

Efektifitas feromon dalam mengendalikan hama kumbang tanduk berdasarkan


lamanya waktu pemasangan perangkap dapat dilihat pada Gambar 6. di bawah ini.

202
Pengendalian Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros Linn.)

Gambar 6. Jumlah kumbang yang terperangkap pada setiap bulan pengamatan.

Jumlah kumbang yang dapat terperangkap oleh feromon semakin lama semakin
berkurang. Pada bulan April yang merupakan bulan pertama pemasangan perangkap
feromon dapat memerangkap dengan jumlah tertinggi yaitu 3,75 ekor/bln kemudian
diikuti pengamatan pada bulan Mei, Juni, dan Juli masing-masing sebesar 3,5; 1; dan
0,083 ekor/bln. Penurunan jumlah kumbang yang terperangkap dapat disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu dikarenakan populasi kumbang tanduk itu sendiri di areal
perkebunan yang sudah berkurang, sering terjadinya hujan pada malam hari yang
mengurangi aktivitas kumbang yang memang aktif pada malam hari dan senyawa kimia
dari feromon yang mulai berkurang karena adanya penguapan. Penurunan jumlah
kumbang yang terperangkap secara signifikan terjadi pada bulan Juni yang merupakan
bulan ketiga pengamatan yang mengindikasikan efektifitas aplikasi feromon di lapangan
mulai berkurang memasuki pada bulan ke tiga aplikasi, hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Rahutomo (2008) bahwa senyawa kimia Etil-4 metil oktanoat
(feromon agregasi) mampu bertahan selama 3 bulan di lapangan, jika disimpan terlalu
lama akan habis menguap.

KESIMPULAN

Pemasangan perangkap feromon dengan model perangkap A yang memiliki empat


sisi penghalang dan tidak diberi warna kuning memiliki kemampuan memerangkap hama
kumbang tanduk tertinggi. Pemasangan perangkap feromon pada ketinggian 4,5 meter
lebih baik dalam memerangkap kumbang tanduk (O. rhinoceros) di areal kebun kelapa

203
Hery Widyanto et al.

sawit. Efektifitas aplikasi perangkap feromon di lapangan dalam memerangkap kumbang


tanduk (O. rhinoceros) mulai berkurang memasuki bulan ke tiga setelah aplikasi
dikarenakan senyawa kimia dari feromon yang semakin berkurang karena adanya
penguapan.

DAFTAR PUSTAKA

BPS Provinsi Riau. 2012. Berita Resmi Statistik : Berita Resmi Statistik Provinsi Riau
No. 58/12/14/Th. XIII. diakses 3 Desember 2012 .
Daud, I.T. 2007. Sebaran Serangan Hama Kumbang Kelapa Oryctes rhinoceros
(Coleoptera: Scarabaeidae) di Kecamatan Mattirobulu Kabupaten Pinrang.
Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda
Sul-Sel: 306-318.
Ditjenbun. 2010. http: // ditjenbun.deptan.go.id. diakses 3 Desember 2012
Herman, J.H. Laoh, dan D. Salbiah. 2012. Uji Tingkat Ketinggian Perangkap Feromon
untuk Mengendalikan Kumbang Tanduk Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera:
Scarabaeidae) pada Tanaman Kelapa Sawit. Skripsi. Fakultas Pertanian
Universitas Riau.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2008. Teknologi Pengendalian Hama dan Penyakit pada
Kelapa Sawit: Siap Pakai dan Ramah Lingkungan. Diunduh dari
http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/wr271058.pdf. diakses 14 Juli 2014.
Rahutomo, S. 2008. Feromonas Ampuh Basmi Hama Kumbang Sawit. Indonesia,
mapiptek. E-megazin, edisi 17 April 2008. Jakarta. Diakses 6 Agustus 2014.
Santi, I. S. dan B. Sumaryo. 2008. Pengaruh Warna Perangkap Feromon Terhadap Hasil
Tangkapan Imago Oryctes rhinoceros Di Perkebunan Kelapa Sawit. Jurnal
Perlindungan Tanaman Indonesia. Vol.14 No. 2:76-79.
Siahaan, I.R.T.U dan Syahnen. 2014. Mengapa O. rhinoceros menjadi Hama pada
Tanaman Kelapa Sawit. ditjenbun.pertanian.go.id/.../berita-294-. diakses 6
Agustus 2014.
Syahza, A. 2012. Potensi Pengembangan Industri Kelapa sawit: Hasil penelitian MP3EI
tahun 2012 di Wilayah Riau. Pusat Pengkajian Koperasi dan Pemberdayaan
Ekonomi Masyarakat Universitas Riau.

204
14
DYNAMIC OF METHANE AND CO2 FLUXES FROM SAGO
PALM (METROXYLON SAGU ROTTB.) PLANTATION IN
PAPUA PEATLAND, INDONESIA
DINAMIKA FLUKS METANA DAN CO2 DARI PERKEBUNAN SAGU
(METROXYLON SAGU ROTTB.) DI LAHAN GAMBUT PAPUA, INDONESIA

Anggri Hervania1, Randy Sanjaya1, A. Wihardjaka1, Prihasto Setyanto1, Maswar2


1
Indonesian Agricultural Environment Research Institute. Jl. Jakenan-Jaken Km 5 Jakenan Pati
59182
2
Indonesian Soil Research Institute. JL. Tentara Pelajar, No.12, Bogor 16114

Abstract. Peatland use for sago palm plantation can emit greenhouse gases
(CH4, CO2, N2O) to the atmosphere. The aims of the study was to determine
the flux dynamics of CH4 and CO2 in sago palm. The study on the dynamic
of methane (CH4) and carbondioxide (CO2) fluxes from sago palm
plantation in Papua peat land was conducted using a closed chamber
technique. Fluxes of CH4 and CO2 were measured every three months,
beginning on April 2013 until March 2014. Results, showed annual CO2
emissions at 34,88 t CO2-e ha-1 yr-1 and CH4 emissions at 9,96 t CO2-e ha-1
yr-1. Temporal variation of the measured CO2 was very high suggesting the
need for a higher frequency measurement. CO2 and CH4 fluxes were neither
influenced by carbon stock nor peat thickness.
Keywords: Closed chamber, sago, emission, methane, carbondioxide, peat
land.

INTRODUCTION

Peat land as a hydrology and ecology function has the particularity that is as
biodiversity habitats and important carbon stock. Peat land can store carbon in the form of
organic matter accumulated over thousands of years. Indonesia peat land tangible in
mixed forest, secondary forest, scrub, and grassland marsh (Istomo, 2005). Extensive peat
in Indonesia reached 21 million hectares representing 10,8% Indonesia's land area, 35%
were in Sumatra, Kalimantan 32%, 30% and 3% in Papua and Sulawesi (Agus and
Subiksa, 2008). On the entire peat land area, 7,97 million hectares in Papua (Wahyunto et
al., 2006). The peat area approximately 33,07% considered feasible for cultivation of
agricultural crops (Agus and Subiksa, 2008).

Sago palm for several years assimilated carbondioxide from on a rainforest system,
this makes an important effect and good for environmental remediation. Sago forests as
carbon stocks are potentially to carbon sequestration so that greenhouse gas mitigation
should be done to reduce the effects of global warming (Flores, 2009). Carbondioxide be

205
Anggri Hervania et al.

used sago palm for photosyntesis and be stored in sago log as carbon biomass was
estimated at about 250 kg per log (Craun cit Sulaiman et al., 2008). Emissions from
different ecosystems are very dynamic, differences on peat land ecosystem, different
signicantly on flux. Cumulative greenhouse gas flux for forest, sago, and oil palm
ecosystem are 18,34 mg C m-2 yr-1; 179,54 mg C m-2 yr-1; -15,14 mg C m-2 yr-1,
respectively (Melling et al., 2005).

The aims of the study was to determine the dynamics flux of methane and
carbondioxide in sago palm on peat lands and its correlation with carbon stocks and peat
thickness as well as compare emissions from sago palm.

MATERIALS AND METHODS

Monitoring of the dynamics of fluxes on sago palm plantations carried out in peat
land in Mimika of Papua Province during 2013-2014. Greenhouse gas flux monitoring
was done four times, namely April 2013, July 2013, October 2013, and March 2014. Gas
samples were taken from six sites with a distance of 20 meters between sites (Figure 1.).
Coordinated site of gas sampling was represented in Table 1.

Gas samples were taken twice using a closed cylindrical chamber technique with
21 cm in diameter 30 cm in height, in the morning (07.00-09.00 am) and afternoon
(12.00-14.00 pm). Gas sample were taken every 3 minutes intervals at minute of 3rd, 6th,
9th, 12th, 15th, 18th, and 21th after closing rubber septum. Gas samples were taken using
syringe vol. 10 mL and immediately stored in vials. At the firts time sampling, the area
have been disturbed for first time. No water management at this area, growth of sago palm
is natural existing.

Figure 1. Scheme of sampling site on Timika Papua.

206
Dynamic of Methane and CO2 Fluxes from Sago Palm

Table 1. Coordinate site of gas sampling, stock carbon, and thickness peat land.
Sampling site S E
I 4˚ 34,084’ 136˚ 43,752’
II 4˚ 34,086’ 136˚ 43,737’
III 4˚ 34,075’ 136˚ 43,725’
IV 4˚ 34,078’ 136˚ 43,700’
V 4˚ 34,072’ 136˚ 43,687’
VI 4˚ 34,067’ 136˚ 43,663’

Gas samples were analyzed in Greenhouse Gases Laboratory of Indonesian


Agricultural Environment Research Institute in Central Java. The concentration of CH4
and CO2 was determined by a micro gas cromathography of GC CP 4900. Calculation
of CO2 and CH4 fluxes was adapted using equation from IAEA (1993):

Bm  Csp V 273.2
E  x x x
Vm t A T  273.2
....................................(1)

Information:

E = emissions CO2/CH4 (mg m-2 day-1)

V = volume of chamber(m3)

A = board base lid (m2)

T = average temperature in chamber (oC)

Csp/t = the change rate concentration of CH4 dan CO2 (ppm/minute)

Bm = gas molecular weight CH4 dan CO2

Vm = gas volume in stp (standard temperature of 25 oC and pressure of 1 atm): 22,41 L

Peat thickness and carbon stock were measured at the same site with gas sampling. Site
of peat thickness observation was presented in Figure 2.

207
Anggri Hervania et al.

Figure 2. Peat land thickness on sago palm in Papua (source: Balitanah, 2014).

RESULTS AND DISCUSSIONS

Papua Province has approximately 2.644.438 hectares of peat land dominated


shallow peat (50-100 cm) is about 1.506.913 hectares (56,98%) and peat medium (100-
200 cm) covering an area of 817.651 hectares (30,92%) and peat in (> 200 cm) covering
an area of 319.874 hectares (12,10%) (Ritung et al., 2013). Based on the peat land map in
Papua (Fig.2), sago palm in sampling area were on shallow until medium peat land
thickness.

Dynamic of Methane Flux


The methane (CH4) flux on April 2013 in sampling site at point 2 showed the
highest one (Fig.3) due to high methanogenic activity. Activity of methanogens in peat
lands can easily be detected because methanogenic metabolic activity is directly related to
the amount of CH4 produced in peat. The quantities of CH 4 emitted from peat lands are,
however, not always proportional to the activity of methanogens, since emission rates
represent the quantity of CH4 produced in anoxic layers minus the amount of CH4
oxidized by methanotrophs in aerobic layers. Methanogen activity is more precisely
correlated to potential methane production (Galand, 2004).
Average daily CH4 flux on sago land in Timika is equal to 328,56 mg CH4 m-² d-1
in April 2013, increasing to 67,28 mg CH4 m-² d-1 in July 2013 , 77,72 mg CH4 m-² d-1
in the October 2013, and 46,07 mg CH4 m-² d-1 in March 2014. The first sampling on
April 2013 showed the highest flux, early GHG flux measurement must disturb the turf
conditions, thus promoting the release of CO2 and CH4 is higher than when the next GHG
flux measurements. The deviation on first measuring CH4 fluxes on April 2013 is highest
(Fig.3.)

208
Dynamic of Methane and CO2 Fluxes from Sago Palm

Water saturated
Water
Water
unsaturate
unsaturat
d
ed

Figure 3. Dynamic of CH4 flux.

Dynamic of Carbondioxide Flux

The carbondioxide (CO2) flux on first sampling, showed the highest one (Fig.4).
Early GHG flux measurement must disturb the turf conditions, thus promoting the release
of CO2 is higher than when the next GHG flux measurements. Purwanto et al., (2005)
suggested that the organic matter accumulated was more aromatic in tropical peats than in
boreal peats, which may be derived from the differences in vegetation and rate of
decomposition of labile organic compounds and a cause of the small and less-varied CO2
flux.

Average daily CO2 fluxes on sago land in Timika is 21.100 mg of CO2 m-² d-1 in
April 2013 , declined to 5.240 mg CO2 m-² d-1 in July 2013, 7.503 mg CO2 m-² d-1 in
October 2013, and 4.380 mg CO2 m-² d-1 in March 2014. The deviation on first
measuring CO2 fluxes on April 2013 is highest (Fig.4.)

Water saturated
Water saturated
Water saturated

Figure 4. Dynamic of CO2 flux.

209
Anggri Hervania et al.

Emissions CO2 and CH4

Emissions at the first time sampling showed the high emissions compared with the
other time sampling (Table 2). Disturbed the location at the first time sampling have been
released CO2 and CH4 to the atmosphere.

Table 2. Emissions CO2 dan CH4 in Timika Papua.


CO2 CH4
Date
- -
Emission (t CO2-e ha ¹ yr ¹)
11-Apr 2013 77,02 25,18
17-Jul 2013 19,13 5,16
22-Okt 2013 27,39 5,96
05-Mar 2014 15,99 3,53
Mean 34,88 9,96

The annual CO2 emissons from sagu palm plantation in Papua showed 34,88 t ha-1
yr-1 and CH4 emissons is 9,96 t ha-1 yr-1. Total emissions from sago peat land in Papua is
44,84 t CO2-e ha-1 yr-1. The natural sago palm showed the high emissons, not significant
compared with oil palm emissions 46 ± 30 t ha-1 yr-1 in Jambi Province (Setiari and Agus,
2013) as well as Melling et al., (2007), found a peat emission rate of 41 t ha-1 yr-1 under a
five-year-old oil palm plantation in Sarawak, Malaysia. Water management need on
contributing natural ecosystem such as sago palm in Papua to reduce greenhouse gas
emissionis, Akira et al., (2009) said that maintaned ground water level at < -45 cm impact
on small CH4 fluxs.

No significant correlation between CO2 flux and peat land thickness as well as
stock carbon based on correlation person test, 0,018 and -0,018 respectively. CO2 was
positively correlated with the water table, in the ground water level higher CO 2 emissions,
whereas for methane valid otherwise, the difference due to the depth of water table
drainage effect on CO2 flux (Batubara 2009), (Handayani 2009), Moore and Dalva (1993).
According to research by Handayani (2009), the depth of ground water level due to
drainage determine the oxidation and reduction which is strongly associated with the rate
of decomposition and determine the value of the CO2 flux. The deeper of water table
correlate with that decomposition of organic matter and CO 2 flux high because CO2 is the
end product of the decomposition process. Detailed information is required to evaluate the
contribution of peat lands thickness and stock carbon to CO2 emission from sago palm.

210
Dynamic of Methane and CO2 Fluxes from Sago Palm

No significant correlation between CH4 flux and peat land thickness as well as
stock carbon based on correlation person test, -0,334 and 0,334, respectively. Melling et
al., (2005) suggested that in sago ecosystem, the seasonal variation in CH 4 flux was
positively correlated with rainfall due to the necessary retention of high water table for the
crop which increased its susceptibility to flooding (and anaerobic conditions). CH4
produced by biologically in anaerobic sites, methanogen activity and CH4 oxidixer, such
as temperature, reduction-oxidation potential, and the amount of easily decomposable
organic matter, as well as the type of vegetation are potential factor affecting temporal and
spatial variations in CH4 emissions from peat land (Blodau, 2002; Treat et al., 2007).

CONCLUSIONS

In Papua peat land used for sago palm cultivation, the annual CO2 emissions was
34,9 t CO2e ha-1 yr-1 and CH4 emissions was 10,0 t CO2e ha-1 yr-1. CO2 and CH4 fluxes
were not influenced by stock carbon and thickness peat land. The possibilities that CO2
and CH4 fluxes from sago palm plantation were influenced by groundwater and
biologycal activities.

ACKNOWLEDEMENT

This research was supported by ICCTF (Indonesian Climate Change Trust Fund).
We thank to Prof Fahmudin Agus for the assistance. We thank to Ali Pramono, Miranti
Ariani, Titi Sopiawati, Sri Wahyuni for excellent assistance in the laboratory, and also
thank to Jumari, Randy Sanjaya, Susanto for assistance in field. We also wish to thank Dr
Maswar Bahar on their assistance in stock carbon and thickness petland.

REFERENCE

Agus, F., dan I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek
Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF),
Bogor, Indonesia.
Akira Watanabe, B.H. Purwanto, H. Ando, K. Kakuda, and F. Jong. 2009. Methane and
CO2 fluxes from an Indonesian peat land used for sago palm (Metroxylon sagu
Rottb.) cultivation: Effects of fertilizer and groundwater level management.
Agriculture, Ecosystems and Environment 134: 14–18.
Batubara, S.F. 2009. Pendugaan Cadangan Karbon dan Emisi Gas Rumah Kaca pada
Tanah Gambut Di Hutan dan Semak Belukar yang Telah Didrainase. Tesis.
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian IPB.

211
Anggri Hervania et al.

Blodau, C. 2002. Carbon cycling in peat lands: A review of process and controls. Environ.
Rev. 10: 111-134.
Craun. 2000. In Sulaeman Hj Husaini; Ahmad Suib; Khalid Abdul Rahim; Abu Hasan
md. Isa. 2008. Willingness to Pay for Conservation of Sago Peat Swamp Forest
in Mukah , Sarawak. Working Paper Series No. 0801. Faculty of Economics and
Business, Universiti Malaysia Sarawak (UNIMAS) 94300 Kota
Samarahan,Sarawak.
Flores, D.M. 2009. The Green potential of sago palm and sago strach. Paper to be
presented at the National Biotech Week,Scientific Forum, theme
“Bioteknologiya parasa Kalikasan, Kalusugan,Kagandahan, Kabuhayan at
Kaunlaran”, at the Events Rm, Nido-Fortified Science Discovery Center, SM
Mall of Asia. November 24, 2009.
Galand, P.E. 2004. Methanogenic Archaea in boreal peat lands. Academic Dissertation in
General Microbiology. General Microbiology Department of Biological and
Environmental Sciences Faculty of Biosciences University of Helsinki
Academic.
Handayani, E.P. 2009. Emisi Karbondioksida (CO2) dan Metan (CH4) Pada Perkebunan
Kelapa Sawit Di Lahan Gambut yang Memiliki Keragaman Dalam Ketebalan
Gambut dan Umur Tanaman. Disertasi. Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian IPB.
IAEA. 1993. Manual on Measurement of Methane and Nitrous Oxide Emissions from
Agricultural. Vienna: International Atomic Energy Agency (IAEA).
Istomo. 2005. Keseimbangan Hara dan karbon dalam pemanfaatan lahan gambut
berkelanjutan di dalam: Noor YR, Sutaryo D, Hasudungan F, editor.
Pemanfaatan lahan gambut secara bijaksana untuk manfaat berkelanjutan. Seri
prosiding 08. Bogor: Wetlands International – Indonestian Programme. Hal 133-
141.
Melling, L., R. Hatano, and K.J. Goh. 2005. Methane fluxes from three ecosystem in
tropical peat land of Serawak, Malaysia. Soil Biology and Biochemistry 37:
1445-1453.
Melling, L., K.J. Goh, and C. Beauvais. 2007.Carbon flow and budget in a youngmature
oil palm agroecosystem on deep tropical peat. In: Rieley JO, Banks CJ,
Radjagukguk B (eds) Proceedings of the International Symposium and
Workshop on Tropical Peat land. Yogyakarta, Indonesia.
Moore, T.R and M. Dalva, 1993 The influence of suhue and water table position on
carbondioxide and methane emissions from laboratory columns of peat land
soils. J. Soil Science 44, Issue 4: 651–664.
Purwanto, B.H., Watanabe, A., Jong, F.S., Kakuda, K., Ando, H., 2005. Kinetic
parameters of gross N mineralization of peat soils as related to the composition
of soil organic matter. Soil Sci. Plant Nutr. 51: 109–115.
Ritung. S., Wahyunto, dan K. Nugroho. 2013. Karakeristik dan sebaran lahan gambut di
Sumatra, Kalimantan dan Papua. Hal. 47-61 dalam prosiding Seminar Nasional

212
Dynamic of Methane and CO2 Fluxes from Sago Palm

Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Besar Penelitian dan


Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Setiari Marwanto and Fahmuddin Agus. 2013. Is CO2 flux from oil palm plantations on
peat land controlled by soil moisture and/or soil and air temperatures. Mitig
Adapt Strateg Glob Change. Springer Science+Business Media Dordrecht 2013
Treat, C.C., J.L. Bubier, R.K. Varner, and P.M. Crill. 2007. Timescale dependence of
environmental and peat-mediate controls on CH4 flux in a temperate fen. J.
Geophys. Res. 112, G01014, doi:10.1029/2006JG000210.
Wahyunto, Bambang Heryanto, Hasyim Bekti dan Fitri Widiastuti. 2006. Peta-Peta
Sebaran Lahan Gambut, Luas dan Kandungan Karbon di Papua / Maps of Peat
land Distribution, Area and Carbon Content in Papua, 2000 - 2001. Wetlands
International - Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC).

213
15
EMISI GAS CO2 DARI PERTANAMAN JAGUNG (ZEA MAYS)
DAN NENAS (ANANAS COMOSUS) DI LAHAN GAMBUT,
KALIMANTAN BARAT
CO2 EMISSION FROM CROPPING OF MAIZE (ZEA MAYS) AND PINEAPPLE
(ANANAS COMOSUS) IN PEATLAND AT WEST KALIMANTAN

Titi Sopiawati1, A. Wihardjaka1, Prihasto Setyanto1, T. Sugiarti2


1
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Raya Jaken-Jaken Km 05 Pati 59182
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat, Jl. Budi Utono No. 45, Siantan,
Pontianak 78241

Abstrak. Pengelolaan lahan gambut dengan menggunakan bahan amelioran


efektif memperbaiki produktivitas tanaman dan menurunkan emisi gas CO 2.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi emisi gas CO2 dari
lahan gambut yang ditanami tanaman palawija dan hortikultura melalui
penggunaan bahan amelioran. Penelitian dilaksanakan di Rasau Jaya, Kab.
Kubu Raya, Kalimantan Barat pada tahun 2013-2014. Rancangan yang
digunakan adalah acak kelompok dengan lima ulangan dan lima perlakuan
yang terdiri atas pupuk gambut (pugam), pupuk kandang (pukan) dari
kotoran ayam, dolomit, kontrol (tanpa amelioran), cara petani. Hasil
penelitian menunjukan bahwa pengelolaan lahan gambut dengan pemberian
bahan amelioran dapat menekan emisi CO2 sebesar 34,9%. Pemberian
bahan amelioran dolomit menekan emisi CO2 sebesar 8,9% dan perlakuan
cara petani (kombinasi dolomit dengan pupuk kandang ayam) menekan
emisi CO2 sebesar 7,2 %. Penggunaan bahan amelioran berupa dolomit atau
kombinasi dolomit dengan pupuk kandang ayam efektif menurunkan emisi
CO2 dari lahan gambut terdegradasi di Kalimantan Barat.
Kata kunci: Bahan amelioran, emisi gas CO2, lahan gambut, jagung, nenas
Abstract. Peatland management with using ameliorant material is one of
effective efforts to improve plant productivity and could reduce greenhouse
gas emissions. This study aimed to obtain information of CO2 emissions
from cultivated peatland for corn and pineapple crops through ameliorant
materials application and to mitigate CO2 emission from peatland by using
ameliorant. Research was conducted at Rasau Jaya, Kubu Raya District,
West Kalimantan in 2013-2014. The experiment used a randomized block
design with five replications and five treatments of ameliorant application
that consisted of peat fertilizer (pugam), chicken manure, dolomite, control
or without ameliorant, and farmers practices. The results showed that
ameliorant application in peatland could decrease CO 2 emissions up to
34.9%. The dolomite ameliorant decreased CO2 emissions up to 8.9% and
the farmers practices (dolomite combined with chicken manure) decreased
CO2 emissions up to 7.2%. The use of dolomite or its combination with
chicken manure is effective to reduce CO2 emission from degradated
peatland.
Keywords: Ameliorant materials, carbon dioxide emission, peatland, corn,
pinneaple.

215
Titi Sopiawati et al.

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara keempat yang mempunyai lahan gambut terluas di


dunia sehingga merupakan salah satu cadangan karbon terbesar di dunia. Luas lahan
gambut di Indonesia adalah sekitar 14,9 juta hektar (Ritung et al., 2011). Upaya
pemanfaatan lahan gambut sering menimbulkan kontroversi karena tidak memperhatikan
karakteristik gambut sangat spesifik dan sifatnya yang fragile (mudah rusak) (Wahyunto
et al., 2004).

Tanah gambut secara alami mengalami proses dekomposisi yang berlangsung


secara perlahan dan menghasilkan gas rumah kaca (GRK), namun emisi yang
dihasilkannya relatif seimbang dengan penyerapan oleh vegetasi alami dalam bentuk CO 2
bahkan seringkali berperan sebagai sink karbon. Dalam tiga dekade terakhir, lahan gambut
telah digunakan secara intensif untuk aktivitas pertanian tanaman pangan, hortikultura,
dan perkebunan. Alih fungsi lahan gambut untuk budidaya tanaman pertanian akan
mengurangi stabilitas dan mempercepat proses dekomposisi. Selain itu, deforestasi dan
degradasi lahan gambut memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan emisi GRK
nasional.

Indonesia dituding sebagai salah satu emitor karbon terbesar di dunia, maka perlu
segera ditindaklanjuti melalui berbagai penelitian dan upaya adaptasi dan mitigasi.
Sebagai bentuk partisipasi aktif, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas
rumah kaca sebesar 26% yang telah disampaikan oleh Presiden Indonesia dalam
pertemuan G-20 di Copenhagen. Oleh karena itu perlu adanya upaya yang terintegrasi dan
sistematis untuk menghambat laju pemanasan global berdasarkan hasil penelitian emisi
gas rumah kaca (GRK) secara akurat dan ilmiah.

Pemberian bahan amelioran di lahan pertanian secara umum bertujuan untuk


meningkatkan ketersediaan unsur hara baik makro ataupun mikro, serta memperbaiki sifat
fisik, kimia, dan biologi tanah. Pemberian amelioran di lahan gambut mempunyai fungsi
lain untuk memperbaiki kemantapan gambut melalui khelasi asam-asam organik oleh
kation polivalen sehingga membentuk rantai karbon yang lebih panjang dengan berat
molekul yang lebih tinggi. Khelasi ini menyebabkan tanah gambut tidak mudah
terdegradasi sehingga emisi GRK juga dapat ditekan. Hal ini disebabkan karena ikatan
polivalen Fe atau Al dengan sisa asam organik sangat kuat sehingga tanah gambut stabil.

Bahan amelioran seperti pupuk gambut (pugam) efektif dalam meningkatkan hasil
tanaman jagung dan menurunkan emisi GRK di tanah gambut (Subiksa, 2009). Berbagai
penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa pemberian amelioran berupa tanah mineral,
terutama tanah bertekstur berat dan atau berkadar Fe tinggi (Ultisol dan Oxisol) juga
efektif meningkatkan produksi pertanian dan menurunkan emisi GRK di tanah gambut.

216
Emisi Gas CO2 dari Pertanaman Jagung

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi emisi karbondioksida


(CO2) dari lahan gambut yang ditanami tanaman palawija dan hortikultura (jagung dan
nenas) melalui penggunaan bahan amelioran.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di lahan gambut di Rasau Jaya II, Kec. Rasau Jaya, Kab.
Kubu Raya, Kalimantan Barat pada periode 2013-2014. Lokasi penelitian terletak pada
titik koordinat 00o14’27,0”LS dan 109o24’44,7” BT dengan kedalaman gambut + 379 cm.
Lokasi penelitian merupakan lahan gambut bekas terbakar yang sebagian kecil
dimanfaatkan oleh petani setempat untuk menanam palawija atau hortikultura seperti
tanaman jagung, ubi jalar, cabai, dan nenas. Di lokasi tersebut belum tersedia sistem
drainase yang baik dan di sekitarnya masih merupakan lahan terlantar dengan vegetasi
semak belukar.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan


lima ulangan dan lima perlakuan yang terdiri atas pupuk gambut (pugam), pupuk kandang
(pukan) kotoran ayam, dolomit, kontrol (tanpa amelioran), dan cara petani (kombinasi
dolomit dan pupuk kandang). Gambar 1 memperlihatkan tata letak perlakuan di lapangan.

Aplikasi bahan amelioran dilakukan dua kali yaitu pada tanggal 20 April 2013 dan
13 September 2013 dengan cara disebar merata. Dosis pemberian bahan amelioran yang
kedua hanya setengah dosis dari pemberian pertama (50% dari dosis amelioran).
Komoditas yang ditanam adalah tanaman jagung dan nenas. Bahan amelioran dan pupuk
dasar diaplikasikan dengan cara disebar, dosis amelioran dan pupuk tertera dalam Tabel 1.

E A
III C D A B
B D E
B D C V

II C A E C
E B D IV
C B A
I A E
D

Gambar 1. Tata letak unit percobaan bahan amelioran di Kubu Raya, Kalimantan Barat.
(A= Pugam, B= Pukan kotoran ayam C= Dolomit, D= Kontrol (tanpa amelioran),E=
Cara petani).

217
Titi Sopiawati et al.

Tabel 1. Dosis amelioran dan pupuk yang diberikan.


Pemberian amelioran I Pemberian amelioran II
(30 April 2013) pada (13 Sept. 2013) pada
Perlakuan tanaman jagung tanaman nenas
……………………. t/ha……………………..
A. Pupuk gambut (pugam) 1 0,5
B. Pupuk kandang (pukan)dari 5 2,5
kotoran ayam
C. Dolomit 1 0,5
D. Kontrol 0 0
E. Cara petani
- Dolomit 1,6 0,8
- Pupuk kandang ayam 1,25 0,6
- Tricoderma (liter) 8 4
- NPK 0,25 0,15
- SP-36 0,2 0,125
- Urea 0,05 0,05
Perlakuan (A, B, C, D)
- NPK 0,25 0,125
- SP-36 0,2 0,1
- Urea 0,3 0,15
- CuSO4 0,015 0,007
- Kiserit 0,1 0,05

Pengukuran emisi gas CO2 dilakukan pada bulan 21 Maret 2013 s/d 5 Juni 2014.
Pengambilan dan pengukuran gas CO2 dilakukan sebelum dan setelah aplikasi amelioran.
Pengambilan contoh gas dilakukan dengan metode sungkup tertutup (close chamber
technique) yang diadopsi dari IAEA (1993). Contoh gas diambil setiap bulan sekali pada
pagi hari (jam 06.00-08.00) dan siang hari (jam 12.00-14.00), masing-masing 7 contoh
gas dengan interval 3 menit yaitu menit ke-3, 6, 9, 12, 15, 18, dan 21 setelah pemasangan
septum.

Pengambilan contoh gas CO2 dilakukan secara manual di lapangan menggunakan


sungkup. Sungkup dilengkapi dengan termometer dipasang pada lubang yang telah
tersedia di bagian atas sungkup digunakan untuk mengukur setiap perubahan suhu di
dalam sungkup. Selain itu sungkup juga dilengkapi dengan penampang yang dipasang di
permukaan tanah yang fungsinya untuk mengurangi kebocoran saat pengambilan sampel.

Pengambilan contoh gas CO2 menggunakan syringe volume 10 ml. Syringe


dibungkus dengan kertas perak untuk menghindari terjadinya penurunan konsentrasi gas
karena pengaruh panas dan diberi label. Jumlah syringe yang harus disediakan adalah 7

218
Emisi Gas CO2 dari Pertanaman Jagung

buah setiap kali pengambilan contoh gas untuk masing-masing plot. Ujung syringe ditutup
dengan rubber grip. Pengukur waktu seperti stopwatch atau jam diperlukan untuk
mengetahui keakuratan waktu pengambilan contoh gas. Formulir pengamatan digunakan
untuk mencatat perubahan suhu dalam sungkup dan waktu sampling. Perubahan suhu
tersebut digunakan dalam proses perhitungan emisi.

Pengambilan contoh gas CO2 dilakukan diantara tanaman jagung atau nenas di
lahan gambut. Penampang sungkup dipasang paling lambat satu hari sebelum dilakukan
sampling. Ukuran penampang menyesuaikan dengan ukuran sungkup yang digunakan.
Sungkup diletakan pada penampang yang diletakan pada sela-sela tanaman jagung atau
nenas. Sungkup dipasang tegak lurus, untuk menghindari kebocoran bagain bawah bagian
atas penampang diisi dengan air. Termometer dipasang pada lubang yang telah tersedia
dan kipas dinyalakan. Biarkan sungkup terbuka selama beberapa saat, supaya kondisi
dalam sungkup menjadi normal kembali. Setelah sungkup siap, karet sebagai septum
ditutup dan waktu perhitungan dimulai. Contoh gas diambil menggunakan syringe
kemudian ujung syringe ditutup dengan septum sesegera mungkin untuk menghindari
kebocoran. Perubahan suhu dalam sungkup pada setiap interval pengambilan contoh gas
dicatat dan digunakan dalam perhitungan fluks. Contoh gas segera dianalisa
konsentrasinya.

Contoh gas dianalisis menggunakan Micro GC CP-4900 yang dilengkpai dengan


detektor TCD (thermal conductivity detector). Gas pembawa (carrier gas) yang
digunakan adalah Helium dengan kategori UHP (ultra high purity) dengan kemurnian gas
99,999%.

Gambar 2. Peralatan yang digunakan untuk mengukur fluks GRK dari lahan gambut.

219
Titi Sopiawati et al.

Hasil analisis berupa konsentrasi gas digunakan untuk menentukan laju perubahan
konsentrasi per satuan waktu (c/t). Fluks CO2 dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut yang diadopsi dari IAEA (1993).

Bm  Csp V 273.2
F  x x x
Vm t A T  273.2

dimana:
E = emisi CO2 (mg/m2/hari)
V = volume sungkup (m3)
A = luas dasar sungkup (m2)
T = suhu udara rata-rata di dalam sungkup (oC)
Csp/t = laju perubahan konsentrasi gas CO2 (ppm/menit)
Bm = berat molekul gas CO2 dalam kondisi standar (44 g)
Vm = volume gas pada kondisi stp (standard temperature and pressure) yaitu 22,41
liter

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Fluks CO2 dari Lahan Gambut

Gambar 3. menunjukkan bahwa perbedaan pola fluks CO2 antar perlakuan sampai
dengan pengamatan ke 13 (tanggal 1 Juli 2014). Fluk CO2 sebelum aplikasi bahan
amelioran digunakan sebagai baseline fluks CO2 menunjukkan bahwa pengukuran CO2
tanggal 21 Maret dan 9 April 2013 lebih tinggi dibandingkan dengan pengamatan tanggal
10 Juni 2013 s/d 1 Juli 2014. Pemberian amelioran dilakukan dua kali, yaitu satu kali
dosis pada pemberian pertama tanggal 30 April 2013 dan setengah dosis dari pemberian
pertama pada pemberian kedua tanggal 13 September 2013. Ameliorasi diperlukan untuk
mengatasi kendala reaksi tanah masam dan keberadaan asam organik beracun, sehingga
media perakaran tanaman menjadi lebih baik. Kapur, tanah mineral, pupuk kandang, dan
abu sisa pembakaran dapat diberikan sebagai bahan amelioran untuk meningkatkan pH
dan basa-basa tanah (Subiksa et al., 1997; Mario, 2002; Salampak, 1999). Lahan gambut
bersifat sangat masam karena kadar asam-asam organik sangat tinggi dari hasil pelapukan
bahan organik. Sebagian dari asam-asam organik tersebut, khususnya golongan asam
fenolat, bersifat racun dan menghambat perkembangan akar tanaman, sehingga
pertumbuhan tanaman sangat terganggu.

Fluks CO2 tampak turun setelah pemberian amelioran pertama (tanggal 10 Juni
2013) dan ada naik setelah pemberian kedua (tanggal 13 November 2013) meskipun nilai

220
Emisi Gas CO2 dari Pertanaman Jagung

fluksnya masih lebih rendah daripada nilai fluks baseline (Gambar 3) Hal ini
menunjukkan bahwa pengelolaan lahan gambut dengan cara pemberian bahan amelioran
mampu menurunkan emisi gas CO2.

Gambar 3. Pola fluks CO2 dari lahan gambut sebelum dan sesudah aplikasi amelioran,
Kubu Raya, Kalimantan Barat (pugam= pupuk gambut; pukan= pupuk kandang)

Total emisi gas CO2

Total emisi gas CO2 pada baseline (sebelum pemberian amelioran) lebih tinggi
dibandingkan setelah pemberian amelioran. Emisi gas CO2 dari perlakuan pupuk gambut
(pugam) dan pupuk kandang (pukan) ayam lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol
sedangkan pemberian dolomit dan cara petani menghasilkan emisi lebih rendah
dibandingkan dengan kontrol (Gambar 4).

Gambar 4. Total emisi gas CO2 dari lahan gambut, Kubu Raya, Kalimantan Barat
(pugam= pupuk gambut, pukan= pupuk kandang)

221
Titi Sopiawati et al.

Tabel 2. Total emisi gas CO2 pada vegetasi yang berbeda


Emisi CO2 (t/ha/tahun)
Perlakuan
Baseline* Jagung Bera Nenas
Pupuk gambut 22.75 + 18.2 13.47 + 6.3 8.49 + 3.0 22.10 + 6.1
Pupuk kandang ayam 28.51 + 25.1 11.37 + 9.6 8.32 + 3.0 21.50 + 11.1
Dolomit 21.37 + 16.1 8.07 + 2.2 11.14 + 2.1 15.48 + 6.5
Kontrol 22.98 + 18.2 9.69 + 1.8 7.97 + 2.3 17.85 + 5.5
Cara Petani 24.49 + 17.9 7.73 + 0.8 10.33 + 0.0 16.15 + 7.4

*Hasil pengukuran sebelum aplikasi amelioran

Perbedaan tanaman yang dibudidayakan memberikan emisi gas CO2 yang


bervariasi. Emisi gas CO2 sebelum aplikasi amelioran sebagai baseline adalah lebih tinggi
dibandingkan setelah ada aplikasi amelioran dan tanaman. Pada pertanaman jagung emisi
CO2 terendah dihasilkan dari perlakuan cara petani yaitu 7,73 + 0,8 t CO2/ha/tahun , dan
tertinggi dari perlakuan pugam yaitu 13.47 + 6.3 t CO2/ha/tahun (Tabel 2). Emisi CO2
terendah terendah pada kondisi bera (tanpa tanaman) dihasilkan dari perlakuan kontrol
(7.97 + 2.3 t CO2/ha/tahun ) dan tertinggi dari perlakuan pukan ayam (11.14 + 2.1 t
CO2/ha/tahun). Pada pertanaman nenas, emisi CO2 terendah dihasilkan dari perlakuan
dolomit (15.48 + 6.5 t CO2/ha/tahun ) dan tertinggi dari perlakuan pugam (22.10 + 6.1 t
CO2/ha/tahun) (Tabel 2). Dolomit (CaCO3.MgCO3 atau CaMg(CO3)2) adalah salah satu
bahan kapur yang mengandung 45,6% MgCO3 atau 21,9% MgO dan 54,3% CaCO3 atau
30,4% CaO. Bahan kapur tersebut umum digunakan di lahan marjinal untuk menurunkan
kemasaman tanah dan memperbaiki produktivitas tanah. Penurunan kemasaman tanah
meningkatkan aktivitas mikroba dalam tanah (Stevenson, 1994) yang dapat menurunkan
produksi gas rumah kaca (Dubey, 2006).

Tabel 3 menunjukan bahwa rata-rata emisi gas CO2 sebelum pemberian amelioran
lebih tinggi dibandingkan setelah pemberian amelioran, masing-masing sebesar 24,02 dan
15,63 t CO2/ha/tahun. Pemberian bahan amelioran dapat menurunkan emisi gas CO 2
sebesar 34,9%. Pemberian amelioran pugam dan pupuk kandang ayam meningkatkan
emisi gas CO2 masing-masing sebesar 23,9 % dan 18,7%, sedangkan pemberian
amelioran dolomit dan cara petani menurunkan emisi gas CO 2 masing-masing sebesar 8,9
% dan 7,2 %. Cara petani dengan mengkombinasikan dolomit dan pupuk kandang ayam
tampak efektif menurunkan emisi CO2 dari gambut yang terdegradasi. Hasil penelitian
Susilawati et al., (2009) di Balingtan menunjukan bahwa penggunaan dolomit pada
gambut yang disawahkan menurunkan emisi gas CO2 sebesar 23,3%.

222
Emisi Gas CO2 dari Pertanaman Jagung

Tabel 3. Penurunan emisi gas CO2 setelah aplikasi amelioran


Emisi CO2 (t/ha/tahun)
Perlakuan
Setelah aplikasi % Penurunan emisi (perlakuan
Baseline
amelioran terhadap kontrol)*
Pugam 22.75 18.39 + 7,8 -23.9
Pukan Ayam 28.51 17.62 + 11,0 -18.7
Dolomit 21.37 13.52 + 6,1 8.9
Kontrol 22.98 14.85 + 6,4 -
Cara Petani 24.49 13.78 + 6,9 7.2
Rata-rata 24.02 15.63

* % penurunan dihitung berdasarkan nilai emisi kontrol terhadap perlakuan

Fluks CO2 berdasarkan waktu sampling

Fluks CO2 pada siang hari tampak lebih tinggi dibandingkan pagi hari. Hal ini
menunjukkan bahwa fluks CO2 dipengaruhi oleh temperatur udara. Temperatur udara
pada siang hari lebih tinggi dibandingkan pagi hari sehingga fluks CO 2 pada siang hari
menjadi lebih tinggi (Gambar 5).

Gas CO2 yang dihasilkan dari dekomposisi bahan organik pada lahan gambut
dikendalikan oleh perubahan suhu, kondisi hidrologi, ketersediaan dan kualitas bahan
gambut. Selain itu, dekomposisi gambut juga tergantung pada faktor lingkungan, sifat
tanah, dan teknik budidaya pertanian. Pada suhu tinggi, gas CO 2 dan CH4 terbentuk dalam
jumlah banyak. Suhu dan kelembaban baik udara maupun tanah gambut di kawasan tropik
sangat dipengaruhi oleh jenis dan kerapatan vegetasi yang menutupinya. Suhu yang tinggi
pada keadaan terbuka akan merangsang aktifitas mikroorganisme sehingga perombakan
gambut lebih cepat (Noor, 2001 cit Yuniastuti, 2011).

Gambar 5. Fluks CO2 berdasarkan waktu pengambilan sampel.

223
Titi Sopiawati et al.

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukan bahwa pengelolaan lahan gambut dengan


pemberian bahan amelioran dapat menekan emisi CO2 yaitu sebesar 34,92%. Pemberian
bahan amelioran dolomit menekan emisi CO2 sebesar 8,9 % dan perlakuan cara petani
(kombinasi dolomit dan pupuk kandang ayam) menekan emisi CO2 sebesar 7,2 %. Untuk
menekan emisi gas CO2 pada lahan gambut dengan tanaman musiman disarankan untuk
menggunakan bahan amelioran dolomit atau kombinasi dolomit dengan pupuk kandang
ayam.

DAFTAR PUSTAKA

IAEA. 1993. Manual on Measurement of Methane and Nitrous Oxide Emission from
Agricultural Vienna: International Atomic Energy Agency (IAEA).
Dubey. 2006. Modelling Depletion Of Forestry Resources By Population And Population
Pressure Augmented Industrialization. J. Math. Biol. 36 pp 3003-3014
Mario, M.D. 2002. Peningkatan Produktivitas dan Stabilitas Tanah Gambut dengan
Pemberian Tanah Mineral yang Diperkaya oleh Bahan Berkadar Besi Tinggi.
Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Ritung, S., Wahyunto, K. Nugroho, Sukarman, Hikmatullah, Suparto dan C.
Tafakresmanto. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Edisi
Desember 2011. ISBN: 878-602-8977-16-6.
Salampak, 1999. Peningkatan Produktivitas Tanah Gambut yang Disawahkan dengan
Pemberian Bahan Amelioran Tanah Mineral Berkadar Besi Tinggi. Disertasi
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Stevenson, F. J. 1994. Humus Chemistry: Genesis, Composition, Reactions. 2 th ed. John
Wiley & Sons, Inc. New York.
Subiksa, I.G.M., K. Nugroho, Sholeh, and I.P.G. Widjaja Adhi, 1997. The effect of
ameliorants on the chemical properties and productivity of peat soil. pp:321-326.
In Rieley and Page (Eds.). Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands.
Samara Publishing Limited, UK.
Subiksa, I.G.M. 2010. Pengembangan Fomula Amelioran dan Pupuk "Pugam" Spesifik
Lahan Gambut Diperkaya Bahan Pengkhelat untuk Meningkatkan Serapan Hara
dan Produksi Tanaman > 50% dan Menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
>30%.http://km.ristek.go.id/index. php/klasifikasi/ detail/20885.
Wahyunto, S. Ritung, dan H. Subagjo. 2004. Peta Sebaran Lahan Gambut, Luas dan
Kandungan Karbon di Kalimantan / Map of Peatland Distribution Area and
Carbon Content in Kalimantan, 2000 – 2002.
Yuniastuti, P. 2011. Pengaruh Waktu dan Titik Pengukuran Terhadap Emisi
Karbondioksisa dan Metan di Lahan Gambut Kebun Kelapa Sawit PT.
Perkebunan Nusantara IV, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Skripsi Departemen
Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB.

224
16
PENGARUH PEMBERIAN AMELIORAN PADA PERKEBUNAN
KELAPA SAWIT DI LAHAN GAMBUT PROVINSI JAMBI
TERHADAP EMISI CO2
EFFECT OF AMELIORANT APPLICATION ON CO2 EMISSION FROM PEATLAND
UNDER OIL PALM PLANTATION IN JAMBI

Terry Ayu Adriany1, A. Wihardjaka1, Prihasto Setyanto1, Salwati2


1
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Jl. Jakenan-Jaken Km. 5 Jakenan, Pati 59182
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi. Jl. Samarinda Paal Lima Kotabaru Jambi

Abstrak. Pemberian amelioran di lahan gambut diharapkan dapat menekan


emisi GRK dan memperbaiki produktivitas tanah gambut. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian amelioran terhadap emisi
CO2 pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut di Provinsi Jambi.
Penelitian dilakukan di Arang-arang, Kecamatan Kumpeh Hulu, Kabupaten
Muara Jambi, Provinsi Jambi pada bulan Juli 2013 sampai Juni 2014.
Lokasi penelitian merupakan perkebunan rakyat yang ditanami tanaman
kelapa sawit dengan jarak tanam 9 m x 7 m dan umur tanaman 6 - 7 tahun.
Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 4
perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan amelioran yang diterapkan adalah (1)
pemberian pupuk dasar (kontrol), (2) pupuk gambut, (3) tandan kosong
kelapa sawit, dan (4) pupuk kandang. Pengambilan contoh gas CO2
dilakukan dengan metode sungkup tertutup setiap bulan sekali. Parameter
yang diamati adalah fluks CO2, suhu dan headspace dalam sungkup. Hasil
penelitian menunjukkan pemberian bahan amelioran pada perkebunan
kelapa sawit di lahan gambut di piringan tanaman kelapa sawit memberikan
pengaruh nyata terhadap penurunan emisi CO2. Emisi CO2 tertinggi sampai
terendah yang dihasilkan di piringan tanaman terturut-turut yaitu kontrol
(24,56 ton ha-1 tahun-1), pupuk gambut (22,51 ton ha-1 tahun-1), pupuk
kandang (17,58 ton ha-1 tahun-1), dan tandan kosong kelapa sawit (15,12 ton
ha-1 tahun-1). Pengaruh pemberian bahan amelioran di antara tanaman
kelapa sawit tidak nyata menurunkan emisi CO2. Pemberian amelioran
dapat digunakan sebagai usaha peningkatan produktivitas tanah gambut dan
dapat sebagai upaya mitigasi emisi CO2 pada perakaran tanaman kelapa
sawit.
Kata kunci: Emisi CO2, amelioran, lahan gambut, kelapa sawit.

Abstract. Ameliorant application on peatland is aimed to reduce


greenhouse gases (GHGs) emissions and to improve peat productivity. The
purpose of this study was to determine the effect of ameliorant application
on CO2 emissions in peatland planted of oil palm at Jambi province. The
experiment was conducted at Arang-arang, Kumpeh Hulu Sub-District,
Muara Jambi District, Jambi Province in July 2013 to June 2014. The
experiment used farmer's oil palm plantations which be planted with a

225
Terry Ayu Adriany et al.

spacing of 9 m x 7 m and plant age 6 - 7 years. The experiment used a


randomized block design (RBD) with 4 treatments and 4 replications. The
treatments were (1) base fertilizer application (control), (2) peat fertilizer
(pugam), (3) and oil palm empty fruit bunches (tankos) (4) farmyard
manure (pukan). Gas samples were taken using closed chamber technique
every month in the morning and afternoon. Parameters observed were CO2
flux, temperature and headspace in the chamber. The results showed that
ameliorant application on oil palm plantations in peatland significantly
reduce CO2 emissions. CO2 emissions sequence from the highest to the
lowest around the palm were for base fertilizer application (24.56 ton ha-1
year-1), pugam (22.51 ton ha-1 year-1), pukan (17.58 ton ha-1 year-1), and
tankos (15.12 ton ha-1 year-1). However, ameliorant application on area
between oil palms was not significantly decreased CO2 emissions.
Ameliorant application could be used to increase soil productivity and to
reduce CO2 emissions on peatlands.
Keywords: CO2 emissions, ameliorant, peatland, oil palm.

PENDAHULUAN

Keterbatasan lahan produktif, peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kebutuhan


pangan mendorong pemanfaatan lahan marjinal sebagai perluasan areal pertanian. Lahan
gambut merupakan salah satu lahan marjinal yang memiliki potensi untuk perluasan lahan
pertanian (ekstensifikasi). Luas lahan gambut di Indonesia yaitu 14,9 juta hektar (Ritung
et al., 2011). Pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan pertanian memiliki dilema yang
harus dihadapi. Kebutuhan akan pangan, pengembangan bioindustri dan pengembangan
ekonomi menyebabkan pembukaan lahan gambut. Di sisi lain pembukaan dan pengolahan
lahan gambut tanpa memperhatikan aspek lingkungan dapat memberikan ancaman lebih
besar terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) dari lahan tersebut. Lahan gambut pada
kondisi alami merupakan penyimpan (sink) karbon yang stabil dengan laju dekomposisi
yang menghasilkan GRK relatif seimbang dengan penyerapan oleh vegetasi alami dalam
bentuk CO2. Apabila kondisi alami pada lahan gambut terganggu akan mempercepat
proses dekomposisi, sehingga karbon yang tersimpan tersebut teremisi membentuk gas
rumah kaca (GRK) terutama CO2. Emisi GRK yang berhubungan dengan alih fungsi
lahan dan pengelolaan lahan gambut mendekati 50% dari emisi nasional Indonesia
(Hooijer et al., 2006). Tanah gambut merupakan penyumbang emisi CO 2 yang tinggi
(Langeveld et al., 1997).

Perkebunan kelapa sawit diyakini dapat meningkatkan emisi GRK dengan tingkat
emisi tertinggi di antara tanaman perkebunan lainnya. Hasil penelitian Marwanto dan
Agus (2014) menunjukkan bahwa emisi CO2 di lahan gambut dengan vegetasi tanaman
kelapa sawit di Jambi dengan menggunakan Infrared Gas Analyzer (IRGA) adalah 46 ±
30 ton ha-1 tahun-1. Oleh karena itu, diperlukan upaya mitigasi GRK di lahan gambut

226
Pengaruh Pemberian Amelioran pada Perkebunan Kelapa Sawit

untuk menekan emisi GRK yang dapat menelan laju pemanasan global. Salah satu upaya
mitigasi GRK di lahan gambut adalah dengan pemberian bahan amelioran. Bahan
amelioran merupakan bahan yang dapat ditambahkan ke dalam tanah sehingga dapat
meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan kondisi fisik, kimia tanah, dan biologi
tanah. Pemberian amelioran pada tanah gambut digunakan untuk menekan tingginya
kemasaman tanah dan rendahnya kesuburan tanah untuk meningkatkan produktivitas
lahan gambut (Barchia, 2006).
Beberapa jenis amelioran yang dapat menekan emisi GRK di lahan gambut adalah
pupuk gambut (pugam), pupuk kandang (pukan), hasil kompos tandan kosong kelapa
sawit (tankos), tanah mineral, dan dolomit. Beberapa bahan amelioran mengandung
kation polivalen seperti Fe3+, Cu2+, Al3+, Zn2+, dan Mg2+ yang dapat mengkhelat asam
organik dalam tanah gambut, sehingga laju dekomposisi gambut dikurangi dan pelepasan
gas rumah kaca dapat ditekan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
pemberian beberapa bahan amelioran terhadap penurunan emisi CO2 pada perkebunan
kelapa sawit di lahan gambut di Provinsi Jambi.

BAHAN DAN METODE

Deskripsi Lokasi dan Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian dilaksanakan di Desa Arang-arang Kecamatan Kumpeh Hulu,


Kabupaten Muara Jambi, Provinsi Jambi pada bulan Juli 2013 sampai Juni 2014. Lokasi
penelitian terletak pada titik kordinat S 01o40’55,1” dan E 103o49’07.3” yang merupakan
perkebunan rakyat kelapa sawit sejak tahun 2005 dan berasal dari konversi hutan gambut
sekunder menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Total luasan petak percobaan yang
diperlakukan amelioran adalah 2,4 ha. Gambut di lokasi penelitian mempunyai ketebalan
gambut ± 2,24 m dengan tipe kematangan gambut saprik. Tanaman kelapa sawit yang
digunakan dalam penelitian berumur 6 - 7 tahun dengan jarak tanam 9 m x 7 m. Di antara
tanaman kelapa sawit dilakukan penanaman nenas pada bulan Sepetember 2013 dengan
jarak tanam 1,5 m x 1,75 m.

Rancangan Percobaan dan Perlakuan

Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan empat perlakuan dan


empat ulangan. Perlakuan amelioran terdiri atas kontrol, pupuk gambut (pugam), tandan
kosong kelapa sawit (tankos) yang dikomposkan, dan pupuk kandang ayam (pukan).
Pemberian amelioran dilakukan dua kali yaitu tanggal 25 Juli 2013 dan 21-30 Januari
2014. Dosis pemberian amelioran dan pupuk pada lahan kelapa sawit disajikan pada Tabel
1.

227
Terry Ayu Adriany et al.

Tabel 1. Dosis amelioran dan pupuk yang digunakan dalam penelitian.


Dosis pemberian amelioran dan pupuk (kg pohon -1)
Perlakuan Pemberian I Pemberian II
(25 Juli 2013) (25-30 Januari 2014)
Amelioran
Kontrol - -
Pupuk gambut (pugam) 5 3
Pupuk kandang (pukan) 10 6
Tandan kosong kelapa sawit
15 9
(tankos)
Pupuk Dasar
Urea 2 2
SP36 2 2
KCl 2.5 2.5
Kieserit (MgSO4.H2O) 1.2 -
Pupuk Mikro
CuSO4 0.15 -
ZnSO4 0.15 -
Borax (Na2B4O7.10H2O) 0.30 -
Keterangan: Semua perlakuan diberi pupuk dasar SP-36 kecuali perlakuan pupuk gambut (pugam).

Pengukuran Gas Rumah Kaca (GRK)

Secara garis besar pengukuran GRK (CO 2) terdiri atas dua tahapan, yaitu
pengambilan contoh gas. Contoh gas dianalisis menggunakan Portabel Mikro GC Varian
CP-4900. Contoh gas diambil dengan metode sungkup tertutup (close chamber technique)
yang diadopsi dari IAEA (1993). Contoh gas diambil setiap bulan sekali pada pagi hari
(jam 06.00-09.00 WIB) dan siang hari (12.00-15.00 WIB) dengan interval pengambilan
contoh (3, 6, 9, 12, 15, 18, 21 menit). Sebelum peletakan sungkup, penampang sungkup
diletakkan secara permanen di lokasi yang akan diambil contoh gasnya. Sungkup yang
digunakan berukuran 50 cm x 50 cm x 30 cm untuk daerah piringan tanaman kelapa sawit
dan 50 cm x 15 cm x 30 cm untuk daerah antara tanaman kelapa sawit. Sungkup
dilengkapi oleh fan (kipas) untuk menghomogenkan udara, termometer untuk mengetahui
suhu di dalam sungkup, dan jarum suntik dengan ukuran 10 ml yang dibungkus dengan
kertas perak. Parameter yang diamati adalah fluks dan emisi CO2, suhu dan headspace di
dalam sungkup pada saat pengambilan sampel. Contoh gas dianalisis konsentrasinya
dengan alat kromatografi gas Portabel Mikro GC CP-4900 yang dilengkapi dengan
detektor TCD (thermal conductivity detector). Gas pembawa (carrier gas) yang
digunakan adalah Helium UHP (ultra high purity) degan kemurnian 99,99%. Fluks (F)

228
Pengaruh Pemberian Amelioran pada Perkebunan Kelapa Sawit

dari gas CO2 yang lepas dari satu luasan tanah gambut dihitung berdasarkan persamaan
yang diadopsi dari IAEA (1993) sebagai berikut:

dc Vch mW 273,2

F = x x x

dt Ach mV (273,2+T)

Keterangan :
F : Fluks gas CO2 (mg m-2 hari-1), emisi gas CO2 (ton ha-1 tahun-1)
dc/dt : Perbedaan konsentrasi CO2 per waktu (ppm menit-1)
Vch : Volume sungkup (m3)
Ach : Luas sungkup (m2)
mW : Berat molekul CO2 (g)
mV : Volume molekul CO2 (l)
T : Temperatur rata-rata di dalam sungkup saat pengambilan contoh gas (oC)

Analisis Data

Data emisi CO2 dianalisis statistik dengan sidik ragam untuk mengetahui pengaruh
perlakuan dan dilanjutkan dengan uji t-Test (LSD) dengan tingkat kepercayaan 95%.
Analisis data statistik menggunakan software SAS (system analysis statistic) versi 9.1.3
(SAS, 2005).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Fluks CO2 Harian di Piringan dan Antara Tanaman Kelapa Sawit

Gambar 1. memperlihatkan keragaman fluks CO2 antar perlakuan di piringan


tanaman dan antara tanaman kelapa sawit dan tinggi muka air pada saat pengambilan
contoh gas. Fluks CO2 di piringan tanaman kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan di
antara tanaman kelapa sawit yang ditanami nenas dengan tinggi muka air yang seragam
pada setiap pengamatan. Secara umum fluks CO2 akan meningkat seiring dengan
kedalaman tinggi muka air tanah. Namun, hasil penelitian Jauhiainen et al., (2008)
menyatakan bahwa hubungan antara kedalaman air dengan laju emisi tidak selalu linear.

229
Terry Ayu Adriany et al.

Gambar 1. Rata-rata fluks CO2 di piringan dan antara tanaman kelapa sawit (Pugam =
pupuk gambut, Tankos = tandan kosong kepala sawit, Pukan = pupuk kandang, Garis
terputus menunjukkan waktu pemberian amelioran).

Perbedaan fluks CO2 yang dihasilkan di piringan dan antara tanaman kelapa sawit
menunjukkan adanya perbedaan laju respirasi perakaran tanaman. Laju respirasi di
piringan kelapa sawit melepaskan CO2 lebih tinggi dibandingkan di antara tanaman
kelapa sawit. Dariah et al., (2013) melaporkan bahwa perbedaan distribusi perakaran
tanaman dan pemberian pupuk di sekitar tanaman mempengaruhi fluks CO 2 yang
dihasilkan. Semakin rapat distribusi perakaran tanaman dan pemberian pupuk di daerah
sekitar perakaran akan meningkatkan pelepasan CO2 dari hasil respirasi perakaran
tanaman dan aktivitas mikroba tanah.

Selain adanya pengaruh faktor tinggi muka air tanah dan laju respirasi perakaran
tanaman, ketersediaan bahan organik di dalam tanah juga akan mempengaruhi fluks CO2
yang dihasilkan. Rata-rata fluks CO2 pada pemberian amelioran I dan II tampak
mengalami peningkatan secara signifikan di piringan tanaman dan antara tanaman kelapa
sawit yang ditanami nenas. Pemberian bahan amelioran berperan sebagai bahan
pembenah tanah sekaligus sumber karbon atau energi bagi mikroorganisme dalam
melakukan aktivitasnya, serta dapat menambah ketersediaan unsur hara bagi pertumbuhan
tanaman (Tabel 2). Pemberian amelioran bertujuan untuk memperbaiki kesuburan tanah
gambut juga dapat memacu emisi karena ameliorasi akan menurunkan rasio C/N dan
memacu dekomposisi tanah gambut (Widyati, 2011). Kandungan bahan organik di dalam
tanah berkorelasi positif dengan emisi CO2 yang dihasilkan dari dalam tanah (Irawan &

230
Pengaruh Pemberian Amelioran pada Perkebunan Kelapa Sawit

June, 2011). Bahan organik merupakan sumber energi bagi mikroorganisme dalam proses
respirasi yang menghasilkan CO2. Selain kandungan bahan organik, peningkatan fluks
CO2 dipengaruhi oleh ketersediaan oksigen pada kondisi aerob di dalam tanah sebagai
hasil dari dekomposisi tanah gambut (Kechavarzi et al., 2007). Pembentukan gas CO2
terjadi dalam kondisi aerob, dimana mikroorganisme dekomposer seperti bakteri dan
jamur dapat beraktivitas secara optimal.

Tabel 2. Hasil analisis bahan amelioran yang digunakan dalam penelitian.


Parameter Unit Pugam Pukan Kompos Tankos
pH H2O (1:5) 8,6 8.5 7.0
Kadar Air % 3,8 70.08 55.89
As. Humat % - 1.37 1.43
As. Fulfat % - 1.60 2.42
C-Organik % - 6.13 19.23
NH4 % - 0.06 0.15

NO3 % - 0.03 0.08


C/N % - 12 11
P2O5 % 13,15 0.56 4.75
K2O % 0,08 0.49 0.45
Ca % 18,9 0.72 1.29
Mg % 6,53 0.33 0.80
S % 0,56 0.10 0.20
Sumber: BPTP Jambi

Fluks CO2 Harian pada Pagi dan Siang Hari

Rata-rata fluks CO2 pada pagi dan siang dari semua perlakuan terlihat pada
Gambar 2. Rata-rata fluks CO2 pada pagi hari lebih rendah dibandingkan siang hari. Suhu
rata-rata dalam sungkup pada siang hari berkisar 35 – 50oC dan lebih tinggi dibandingkan
pada pagi hari yang berkisar 20 – 30oC. Tingginya suhu dalam sungkup merupakan faktor
yang mempengaruhi konsentrasi CO2 yang dihasilkan. Makin tinggi suhu tanah
menyebabkan makin tinggi fluks CO2 yang dihasilkan. Suhu tanah berpengaruh terhadap
reaksi fisiologi mikroba tanah dan karakteristik fisika-kimia tanah, misalnya volume
tanah, tekanan, potensi reduksi-oksidasi, difusi, viscositas, struktur tanah, dan tekanan
permukaan. Suhu yang meningkat dapat menyebabkan terjadinya percepatan reaksi
metabolisme oleh mikroorganisme seperti aktivitas enzim. Suhu tanah memiliki korelasi
positif terhadap fluks CO2 pada tanaman kelapa sawit (Melling et al., 2013).

231
Terry Ayu Adriany et al.

Gambar 2. Rata-rata fluks CO2 pada pagi dan siang hari dengan pemberian amelioran
yang berbeda (Pugam = pupuk gambut, Tankos = tandan kosong kepala sawit, Pukan =
pupuk kandang).

Perlakuan tanpa pemberian amelioran (kontrol) menghasilkan rata-rata fluks CO2


tertinggi pada pagi hari yaitu 5.256 mg m-2 hari-1 dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Pemberian amelioran selain memperbaiki produktivitas gambut juga dapat menekan emisi
GRK. Kandungan kation polivalen dan unsur mikro yang terkandung dalam bahan
amelioran berfungsi untuk menetralisasi asam organik beracun dalam gambut. Kation
polivalen berfungsi dalam khelasi asam organik sehingga tanah gambut lebih stabil, laju
dekomposisi berkurang dan emisi GRK turun (Subiksa, 2010). Namun, berbeda dengan
rata-rata fluks CO2 pada siang hari yang tertinggi ditunjukkan pada perlakuan pupuk
gambut (pugam) yaitu 6.486 mg m-2 hari-1. Pugam merupakan bahan amelioran yang
banyak mengandung bahan organik serta unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan
bagi pertumbuhan tanaman. Pemberian pugam yang kaya akan unsur hara dan suhu yang
lebih tinggi pada siang hari meningkatkan aktivitas mikroba tanah dan meningkatkan rata-
rata fluks CO2. Pemberian amelioran tandan kosong kelapa sawit (tankos) menghasilkan
rata-rata fluks CO2 terendah baik pada pagi maupun siang hari dengan fluk masing-
masing sebesar 3.494 mg m-2 hari-1 dan 3.892 mg m-2 hari-1.

Total Emisi CO2

Emisi CO2 yang dihasilkan di piringan tanaman kelapa sawit lebih tinggi
dibandingkan di antara tanaman kelapa sawit pada semua perlakuan (Gambar 3).
Respirasi pada zona perakaran pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut
menghasilkan emisi CO2 lebih tinggi dibanding di luar zona perakaran, yaitu sekitar 38%

232
Pengaruh Pemberian Amelioran pada Perkebunan Kelapa Sawit

dari emisi gas CO2 merupakan hasil respirasi akar (Handayani, 2010). Semakin dekat
jarak pengukuran GRK dengan tanaman kelapa sawit, semakin tinggi fluks CO 2 yang
dihasilkan dari respirasi akar tanaman (Dariah et al., 2014). Emisi CO2 di piringan kelapa
sawit dari yang tertinggi sampai terendah secara berurutan adalah kontrol, pugam, pukan,
dan tankos, sedangkan di antara tanaman kelapa sawit yang ditanami nenas urutan emisi
tertinggi sampai terendah adalah pukan, pugam, kontrol, dan tankos.

Gambar 3. Emisi CO2 di piringan dan antara tanaman kelapa sawit (Pugam = pupuk
gambut, Tankos = tandan kosong kepala sawit, Pukan = pupuk kandang).

Pemberian bahan amelioran pada perkebunan kelapa sawit di piringan tanaman


memberikan pengaruh nyata terhadap emisi CO2. Sedangkan pemberian amelioran di
antara tanaman kelapa sawit menghasilkan emisi CO2 yang tidak berbeda nyata antara
perlakuan. Emisi CO2 dari tanah merupakan hasil intergrasi beberapa faktor antara lain
aktivitas respirasi mikroorganisme tanah dan hasil respirasi rizosfer tanaman (Ding et al.,
2007). Faktor lain yang mempengaruhi besarnya emisi CO 2 dari tanah adalah suhu tanah,
kelembaban tanah, kedalaman muka air tanah, pemupukkan, tipe vegetasi dan kualitas
tanah, aktivitas dan biomassa mikroba serta pengelolaan tanah.

Tabel 3. Persentase penurunan emisi CO2 dari pemberian bahan amelioran di lahan
gambut di Jambi.
Rata-rata Emisi CO2
% Penurunan Emisi CO2
(ton ha-1 tahun-1)
Perlakuan
Antara
Piringan Antara tanaman Piringan
tanaman
Kontrol 24,56 a 12,50 a - -
Pupuk gambut (pugam) 22,51 ab 16,88 a 8 -35
Tandan kosong kelapa sawit (tankos) 15,12 c 10,01 a 38 20
Pupuk kandang (pukan) 17,84 cb 15,84 a 27 -27

Angka dalam lajur sama diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%
menurut uji t-Test

233
Terry Ayu Adriany et al.

Tanpa pemberian amelioran (kontrol) menghasilkan emisi CO 2 tertinggi di piringan


tanaman yaitu sebesar 24,56 ton ha-1 tahun-1. Sedangkan di antara tanaman kelapa sawit
pemberian amelioran pupuk gambut (pugam) menghasilkan emisi CO2 tertinggi yang
sebesar 16,88 ton ha-1 tahun-1. Emisi CO2 terendah dihasilkan perlakuan amelioran tandan
kosong kelapa sawit (tankos) di piringan 15,12 ton ha -1 tahun-1 dengan persentase
penurunan emisi CO2 38% dan di antara tanaman kelapa sawit 10,01 ton ha-1 tahun-1
dengan persentase penurunan emisi CO2 20% (Tabel 3). Tankos merupakan bahan
amelioran berupa kompos dari tandan kosong kelapa sawit yang dicampur dengan pupuk
kandang dan dolomit dengan perbandingan 100 : 30 : 5 yang dikomposkan selama 3 bulan
(BPTP Jambi, 2013). Hasil penelitian yang terdahulu di lokasi yang sama dengan umur
tanaman kelapa sawit 3 - 5 tahun pada piringan tanaman menunjukkan bahwa pemberian
amelioran pukan mampu menurunkan emisi CO2 sebesar 26,6%, tanah mineral 13,5%,
tankos 6,5% dan pugam A 5,7% dari perlakuan kontrol (Susilowati et al., 2012).
Ketersediaan tandan kosong kelapa sawit yang melimpah di perkebunan sawit sebagai
limbah dapat dimanfaatkan secara optimal dengan membuat kompos tankos sebagai bahan
amelioran. Kombinasi tandan kosong kelapa sawit, pukan, dan dolomit menjadi kompos
tankos diyakini dapat menurunkan emisi CO2 di lahan gambut yang ditanami kelapa
sawit.

KESIMPULAN

Pemberian bahan amelioran pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut


Jambi nyata menurunkan emisi CO2 di piringan tanaman kelapa sawit. Pemberian
amelioran tandan kosong kelapa sawit menghasilkan emisi CO 2 terendah sebesar 15,12
ton ha-1 tahun-1 di piringan tanaman dan 10,01 ton ha-1 tahun-1 di antara tanaman kelapa
sawit. Penurunan emisi CO2 dari pemberian amelioran tankos adalah 38% di piringan
tanaman dan 20% di antara tanaman kelapa sawit dibandingkan dengan kontrol.
Pemberian bahan amelioran di antara tanaman kelapa sawit tidak memberikan pengaruh
nyata terhadap penurunan emisi CO2.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada ICCTF dalam kegiatan kerjasama


penelitian antara Badan Litbang Pertanian dengan BAPPENAS atas dukungan biaya
penelitian. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada tim kelompok peneliti
emisi dan absorbsi gas rumah kaca (EAGRK) Balai Penelitian Lingkungan Pertanian dan
tim pengukuran gas rumah kaca di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi atas
bantuannya dalam pelaksanaan penelitian ini.

234
Pengaruh Pemberian Amelioran pada Perkebunan Kelapa Sawit

DAFTAR PUSTAKA

Barchia, M.F. 2006. Gambut. Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press.
BPTP Jambi. 2013. Leaflet: Teknologi Pembuatan Kompos Tandan Kosong Kelapa
Sawit. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Jambi.
Dariah, A., F. Agus, E. Susanti, and Jubaedah. 2013. Relationship between distance
sampling and carbon dioxide emission under oil palm plantation. Journal Tropica
Soils. 18(2). ISSN: 0852-257X.
Dariah, A., S. Marwanto, and F. Agus. 2014. Root-and peat-based CO2 emissions from oil
palm plantations. Mitigation Adaptation Strategi Global Change 19: 831–843.
Ding, W., Lei Meng, Yunfeng Yin, Zucong Cai, and Xunhua Zheng. 2007. CO2 emission
in an intensively cultivated lLam as affected by long-term application of organic
manure and nitrogen fertilizer. Soil Biology and Biochemistry 3: 669-679.
Handayani, E. Meine V. Noowidwijk, K. Idris, S. Sabiham, and S. Djuniwati. 2010. The
Effet of various water table depth on CO2 emission at oil palm plantation on West
Aceh Peat. J. Trop. Soils. 15(3): 255-260.
Hooijer, A., M. Silvius, H. Wosten, and S. Page. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2
Emissions from Drained Peatlands in SE Asia, Delft Hydraulics report Q3943.
IAEA. 1993. Manual on Measurement of Methane and Nitrous Oxide Emission from
Agricultural Vienna: International Atomic Energy Agency (IAEA).
Irawan, A., dan T. June, 2011. Hubungan iklim mikro dan bahan organik tanah dengan
emisi CO2 dari pembukaan tanah di hutan alam Babahaleka Taman Nasional
Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Jurnal Agricultural Metelorogi 25(1): 1-8.
Jauhiainen, J., S. Limin, H. Silvennoinen, and H. Vasander. 2008. Carbon dioxide and
methane fluxes in drained tropical peat before and after hydrological restoration.
Ecology. 89(12): 3503-3514.
Kechavarzi, C., Q. Dawson, P.B. Leeds-Harrison, J. SzatyLowicz, and T. Gnatowski.
2007. Water-table management in lowland UK peat soils and its potential impact
on CO2 emission. Soil Use Management 23: 359-367.
Langeveld, CA., R. Segers, B.O.M. Dirks, A. Van den Pol-van Dasselar, G.L. Velthof,
and A. Hensen, 1997. Emissions of CO2, CH4, and N2O from pasture on drained
peat soils in the Netherlands. European Journal of Agronomy 7: 35-47.
Marwanto, S., dan F. Agus. 2014. Is CO2 flux from oil palm plantations on peatland
controlled by smil Moisture and/or soil and air temperatures?. Mitigation
Adaptation Strategi Global Change 19: 809–819.
Ritung, S., Wahyunto, K. Nugroho, Sukarman, Hikmatullah, Suparto, dan C.
Tafakresnanto. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1 : 250.000. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Edisi
Desember 2011. ISBN: 978-602-8977-16-6.

235
Terry Ayu Adriany et al.

SAS Institute Inc. 2005. SAS® 9.1.3 Language Reference: Consepts, Third Edition. Cary
NC. USA. SAS Institute Inc.
Subiksa, I G., Made, 2010. Pengembangan Formula Amelioran dan Pupuk “Pugam”
Spesifik Lahan Gambut Diperkaya Bahan Pengkhelat untuk Meningkatkan
Serapan Hara dan Produksi Tanaman >50% dan Menurunkan Emisi Gas Rumah
Kaca (GRK) >30%. http://km.ristek.go.id/index.php/klasifikasi/detail/20885.
Susilowati., H. L., J. Hendri, D. Nursyamsi, dan P. Setyanto. 2012. Pengaruh pemberian
bahan amelioran terhadap fluks CO2 pada pertanaman kelapa sawit tanah gambut
di perkebunan rakyat Kabupaten Muara Jambi Provinsi Jambi. Prosiding Seminar
Nasional: Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Bogor, 4 Mei 2012. ISBN:
978-602-8977-42-5.
Widyati, E. 2011. Kajian optimasi pengelolaan lahan gambut dan isu perubahan iklim.
Tekno Hutan Tanaman. 4(2) : 57 – 68.

236
17
EMISI GAS CO2 DARI TANAH GAMBUT YANG DITANAMI
KELAPA SAWIT (ELAEIS GUINEENSIS) DAN NENAS (ANANAS
COMUSUS) DENGAN BEBERAPA PERLAKUAN AMELIORAN
CO2 EMISSION FROM PEATLAND PLANTED MULTIPLE CROPPING OF OIL
PALM AND PINNEAPPLE WITH SOME AMELIORANT TREATMENTS

Sri Wahyuni1, A. Wihardjaka1, Prihasto Setyanto1, Nurhayati2, Hery Widianto3


1
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Raya Jakenan-Jaken Km 05 Pati,
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau. Jl. Kaharuddin Nasution No. 341, Km. 10 Marpoyan,
Pekanbaru
3
Balai Penelitian Tanah. Jl. Tentara Pelajar No.12, Cimanggu, Bogor 16114

Abstrak. Pemberian amelioran pada lahan gambut selain dapat


meningkatkan produktivitas tanaman, juga dapat menurunkan emisi gas
rumah kaca (GRK). Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui emisi gas
CO2 dari pemberian bahan amelioran di lahan gambut dengan tanaman
tumpangsari kelapa sawit dan nenas. Penelitian dilaksanakan di lahan
gambut di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei Kijang, Kabupaten
Pelalawan, Provinsi Riau pada periode Juni 2013 sampai Juni 2014.
Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan empat ulangan
dengan perlakuan (1) kontrol, (2) tandan kosong (tankos) kelapa sawit, (3)
pupuk gambut (pugam), (4) pupuk kandang (pukan) kotoran sapi, dan (5)
cara petani. Amelioran diberikan di bagian piringan tanaman kelapa sawit.
Contoh gas diambil dengan menggunakan sungkup tertutup berukuran 50
cm x 50 cm x 30 cm untuk yang di piringan kelapa sawit dan ukuran 20 cm
x 50 cm x 30 cm untuk yang di tanaman sela (nenas). Contoh gas dianalisis
dengan menggunakan gas kromatografi model Micro GC CP 4900 untuk
menetapkan konsentrasi gas CO2. Pengambilan contoh gas sekali dalam
satu bulan. Amelioran pukan efektif menurunkan emisi CO 2 pada tanaman
sela nenas sebesar 23% dibandingkan tanpa amelioran. Emisi CO2 dari
piringan kelapa sawit rata-rata adalah 35,9 ± 5,6 t CO2/ha/tahun dan dari
tanaman sela nenas adalah 27,7 ± 3,3 t CO2/ha/tahun. Pemberian amelioran
pada tanaman kelapa sawit cenderung meningkatkan emisi gas CO 2 sebesar
3% dengan pemberian tankos dan 46% dengan pemberian pugam jika
dibandingkan dengan tanpa pemberian amelioran (kontrol). Pemberian
amelioran di lahan gambut di Riau tidak efektif menurunkan emisi GRK.
Kata kunci: Emisi gas CO2, lahan gambut, amelioran, kelapa sawit, nenas.
Abstract. Beside improving plant productivity, ameliorant application in
peat land could reduce greenhouse gases (GHGs) emissions. The objective
of this research was to determine CO2 emission in peat land that was
planted with multiple cropping of oil palm and pineapple through applying
ameliorant materials. The research was conducted in peat land at Lubuk
Ogong, Bandar Sei Kijang subdistrict, Pelalawan district, Riau province

237
Sri Wahyuni et al.

during period of June 2013- June 2014. The research was arranged using
randomized block design with four replicates and five treatments (control,
oil palm empty bunches, farmyard manure from cattle, peat fertilizer, and
farmers practices). Ameliorant materials were applied in surrounding of oil
palm. Gas samples were taken using closed chamber with size of 50 cm x
50 cm x 30 cm for surrounding of oil palm and size of 20 cm x 50 cm x 30
cm for intercrop of pinneaple. Gas samples were taken once per month.
Gas samples were analyzed using gas chromatography of Micro GC CP
4900 model to determine CO2 concentration. Ameliorant of farmyard
manure reduce CO2 emission effectively in intercrop of pinneaple as much
as 23% than control. The average of CO2 emission from surrounding of oil
palm was 35.9 ± 5.6 t CO2/ha/year and from intercrop of pinneaple was
27.7 ± 3.3 t CO2/ha/year. The ameliorant application on oil palm
plantation tends increased CO2 emission as much as 3% with oil palm
empty bunches and 46% with peat fertilizer compared with control.
Ameliorant application in peatland at Riau did not reduce effectively GHGs
emissions.
Keywords: CO2 emissions, peatland , ameliorant, oil palm, pineapple.

PENDAHULUAN

Luas lahan gambut di Indonesia yaitu 14,9 juta hektar (Ritung et al., 2011) .
Lahan rawa gambut tersebut sebagian besar terdapat di tiga pulau besar, yaitu Sumatera
35%, Kalimantan 32%, Sulawesi 3%, Papua 30%, dan 3% lainnya tersebar secara parsial
pada areal yang sempit (Wahyunto et al., 2005). Luas lahan gambut di provinsi Riau
(termasuk tanah mineral bergambut) adalah 4.043.602 hektar dan tersebar di 12 wilayah
kabupaten. Urutan luas lahan gambut dimulai dari yang terluas yaitu kabupaten Indragiri
Hilir (983 ribu ha, atau 24,3%). Bengkalis (856 ribu ha, atau 21,2%), Pelalawan (680 ribu
ha, atau 16,8%), Siak (504 ribu ha, atau 12,5%), Rokan Hilir (454 ribu ha, atau 11,2%),
Indragiri Hulu (222 ribu, atau 5,5%), Dumai sekitar 3,95% dan Kepulauan Riau 0,04%
(Wahyunto et al., 2005).

Lahan gambut potensial dikembangkan untuk budidaya tanaman pertanian baik


untuk perkebunan maupun tanaman pangan dengan memperhatikan karakteristik dan
hidrologinya. Namun akhir-akhir ini sorotan terhadap pengembangan lahan gambut untuk
kegiatan tersebut begitu besar terutama dikaitkan dengan pembukaan lahan, pembakaran,
dan perambahan hutan yang menyebabkan emisi CO2 ke atmosfer. Simpanan karbon di
lahan gambut yang relatif tinggi menjadi indikator tingginya potensi ekosistem ini
menyumbang emisi gas rumah kaca, jika bahan organik yang tersimpan dalam bentuk
gambut mengalami dekomposisi atau kebakaran. Meskipun penggunaan bahan bakar fosil
di Indonesia relatif rendah dibanding dengan negara industri, namun emisi dari

238
Emisi Gas CO2 dari Tanah Gambut yang Ditanami Kelapa Sawit

deforestrasi dan penggunaan lahan gambut diperkirakan menyumbang >50% total emisi
di Indonesia.

Gas rumah kaca (GRK) utama yang diemisi dari lahan gambut adalah CO2, CH4,
dan N2O. Potensi emisi CO2 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CH4 yang
dikalikan nilai potensial pemanasan globalnya setinggi 25 kali CO2. Emisi CO2 terjadi
dalam kondisi aerob yang memungkinkan mikroorganisme dekomposer beraktivitas
secara optimal. Jumlah dan keragaman mikroorganisme pada kondisi aerob umumnya
tinggi (Dariah et al., 2011).

Pengunaan bahan amelioran merupakan salah satu upaya mitigasi penurunan emisi
GRK dari lahan gambut untuk minimalisasi dampak negatif dari perubahan iklim.
Pemberian amelioran di lahan gambut dapat mengkhelasi asam–asam organik oleh kation
polivalen yang berperan sebagai inti koordinasi dan mengikat beberapa asam organik
monomer membentuk senyawa kompleks (Subiksa, 2013). Khelasi ini menyebabkan
tanah gambut tidak mudah terdegradasi sehingga emisi GRK juga dapat ditekan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui emisi CO2 dari penggunaan lahan
gambut di Riau yang diberi berbagai bahan amelioran.

BAHAN DAN METODE

Kegiatan penelitian dilaksanakan di lahan gambut di Desa Lubuk Ogong,


Kecamatan Bandar Sei Kijang, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau pada bulan Juni 2013
– Juni 2014. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan empat ulangan
dan lima perlakuan amelioran. Kelima perlakuan amelioran tersebut adalah (1) kontrol,
(2) tandan, kosong kelapa sawit (tankos), (3) pupuk gambut (pugam), (4) pupuk kandang
(pukan) dari kotoran sapi, dan (5) cara petani. Ukuran demonstrasi plot (demplot) adalah
60 m x 50 m dengan tanaman indikator kelapa sawit umur 5 tahun dan nenas sebagai
tanaman sela .

Amelioran diberikan bersamaan dengan pemupukan dasar. Dosis amelioran dan


pupuk dasar terlihat dalam Tabel 1 untuk di piringan tanaman kelapa sawit dan Tabel 2.
untuk di tanaman sela nenas.

239
Sri Wahyuni et al.

Tabel 1. Dosis amelioran dan pupuk anorganik untuk setiap perlakuan tanaman kelapa
sawit.
Dosis Pupuk dan Amelioran (kg/Pohon)
Perlakuan
Pugam Pukan Tankos Urea SP-36 KCl Kiserit CUSO4 ZNSO4 H3BO3
Pupuk gambut
5 - - 2 - 2,5 1,2 - - -
(pugam)
Pupuk kandang
- 10 - 2 2 2,5 1,2 0,15 0,15 0,3
sapi (pukan)
Tandan kosong
kelapa sawit - - 15 2 2 2,5 1,2 0,15 0, 15 0,3
(tankos)
Kontrol - - - 2 2 2,5 1,2 0,15 0,15 0,3
Keterangan: untuk perlakuan cara petani diberikan dolomit = 1 kg/pohon .

Tabel 2. Dosis amelioran dan pupuk anorganik untuk setiap perlakuan tanaman nenas.
Dosis Pupuk dan Amelioran (g/tanaman)
Perlakuan
Pugam Pukan Tankos Urea SP-36 KCl
Pupuk gambut (pugam) 30 - - 10 - 10
Pupuk kandang sapi (pukan) - 120 - 10 10 10
Tandan kosong kelapa sawit (tankos) - - 120 10 10 10
Kontrol - - - 10 10 10

Kegiatan pengukuran GRK terdiri atas dua tahap yaitu pengambilan contoh gas di
lapangan dan analisis konsentrasi gas rumah kaca dengan menggunakan kromatografi gas.
Pengambilan contoh gas dilakukan dengan metode sungkup tertutup (close chamber
technique) yang diadopsi dari IAEA (1993). Pengambilan contoh gas dilakukan secara
manual di lapangan menggunakan sungkup yang terbuat dari kaca mika dengan kaki-kaki
yang terbuat dari aluminium. Untuk menghindari kebocoran sungkup dilengkapi dengan
penampang yang dipasang di tanah gambut. Sungkup ukuran 50 cm x 50 cm x 30 cm
digunakan untuk pengambilan contoh gas di piringan kelapa sawit dan ukuran 20 cm x 50
cm x 30 cm untuk pengambilan contoh gas di tanaman sela (nenas). Sungkup juga
dilengkapi dengan kipas dan termometer. Kipas dipasang di sungkup berukuran 50 cm x
50 cm x 30 cm yang berfungsi untuk menghomogenkan konsentrasi gas dalam sungkup.
Termometer dipasang pada bagian atas sungkup untuk mengukur perubahan suhu dalam
sungkup. Kaki sungkup dibenam sedalam 15 cm ke dalam tanah secara permanen. Bagian
kaki sungkup dihubungkan dengan bagian atas menggunakan penampang yang telah diisi
oleh air.

Pengambilan contoh gas dilakukan setiap satu bulan sekali pada pagi hari (jam
06.00 – 08.00) dan siang hari (jam 12.00 – 14.00). Pengambilan contoh gas menggunakan
syringe volume 10 ml melalui septum karet dengan interval waktu 3, 6, 9, 12, 15, 18, dan
21 menit setelah septum dipasang. Selama pengamatan, perubahan suhu dalam sungkup

240
Emisi Gas CO2 dari Tanah Gambut yang Ditanami Kelapa Sawit

dicatat. Syringe ditutup dengan karet untuk menghindari terjadinya penurunan konsentrasi
gas dan dibungkus dengan kertas aluminium (aluminum foil) untuk mengurangi flukstuasi
suhu di dalam tabung syringe, dan diberi label.

Contoh gas dianalisis konsentrasinya menggunakan Micro GC CP 4900 dengan


detektor TCD (thermal conductivity detector). Sebelum analisis gas, GC dikalibrasi
menggunakan gas standar dengan konsentrasi 10 ppm CH4 dan 600 ppm CO2. Gas
pembawa (carrier gas) yang digunakan adalah helium UHP (ultra high purity) dengan
kemurnian gas 99,99%. Hasil analisis berupa konsentrasi gas (ppm) yang digunakan
untuk menentukan laju perubahan konsentrasi gas per satuan waktu yang digunakan
dalam perhitungan besarnya fluks GRK. Hanya pengukuran dengan R2 > 0,7 untuk
hubungan konsentrasi CO2 dengan waktu digunakan nilai Csp/t (laju perubahan
konsentrasi gas CO2 (ppm/menit))-nya.

Perhitungan fluks CO2 mengikuti persamaan yang diadopsi dari IAEA (1993)
sebagai berikut:

Bm  Csp V 273.2
E  x x x
Vm t A T  273.2
........................................ (1)

Keterangan :

E = emisi CO2 (mg/m2/hari)

V = volume sungkup (m3)

A = luas dasar sungkup (m2)

T = suhu udara rata-rata di dalam sungkup (oC)

Csp/t = laju perubahan konsentrasi gas CO2 (ppm/menit)

Bm = berat molekul gas CO2 dalam kondisi standar = 44

Vm = volume gas pada kondisi stp (standard temperature and pressure)


yaitu 22.41 liter pada 23oK

HASIL PEMBAHASAN

Pola Fluks CO2 dari Lahan Gambut Riau

Gambar 1 menunjukkan keragaman pola fluks CO2 pada piringan kelapa sawit.
Rata - rata fluks CO2 pada perlakuan pemberian amelioran lebih tinggi dibandingkan
kontrol, terutama pada perlakuan pupuk gambut (pugam). Sebelum pemberian amelioran,

241
Sri Wahyuni et al.

fluks CO2 tertinggi tampak pada perlakuan cara petani diikuti perlakuan pugam, tankos,
pukan, dan yang terendah adalah kontrol. Setelah pemberian amelioran pertama (19
Agustus 2013 – 20 Maret 2014) rata–rata fluks CO2 tertinggi adalah perlakuan pugam
diikuti pukan, cara petani, kontrol, dan terendah pada perlakuan tankos. Setelah
pemberian amelioran kedua fluks CO2 pada perlakuan pukan, pugam, dan cara petani
mengalami peningkatan dibandingkan pada pemberian amelioran pertama. Fluks CO2
pada kontrol dan tankos terjadi penurunan dibandingkan setelah pemberian amelioran
pertama.

Gambar 1. Pola fluks CO2 berdasarkan perlakuan amelioran dari titik piringan Tanaman
Sawit (Pukan = pupuk kandang dari sapi ; tankos = tandan kosong kelapa sawit ; pugam
= pupuk gambut)

Gambar 2 menunjukkan keragaman pola fluks CO2 pada tanaman sela. Rata - rata
fluks CO2 pada perlakuan pemberian amelioran lebih rendah dibandingkan kontrol. Fluks
CO2 tertinggi pada tanaman sela nenas dari pengamatan tanggal 8 Juni 2013 – 19 Juni
2014 adalah perlakuan cara petani diikuti, kontrol, pugam, tankos, terendah adalah
perlakuan pukan. Sebelum pemberian amelioran, fluks CO2 tertinggi tampak pada kontrol
diikuti cara petani, pukan, pugam dan terendah adalah pada perlakuan tankos. Setelah
pemberian amelioran pertama (19 Agustus 2013 – 20 Maret 2014), fluks CO2 tertinggi
tampak pada perlakuan kontrol diikuti cara petani, pugam, tankos dan terendah adalah
pukan. Setelah pemberian amelioran kedua ( 17 April – 19 Juni 2014), fluks CO2 pada
kontrol adalah paling rendah, dan yang tertinggi adalah perlakuan cara petani diikuti pada
perlakuan pugam, pukan dan tankos.

242
Emisi Gas CO2 dari Tanah Gambut yang Ditanami Kelapa Sawit

Gambar 2. Pola fluks CO2 berdasarkan perlakuan amelioran dari titik Tanaman Sela
Nenas ((Pukan = pupuk kandang dari sapi ; tankos = tandan kosong kelapa sawit ;
pugam = pupuk gambut)

Fluks CO2 berdasarkan waktu pengambilan sampel

Gambar 3 memperlihatkan rata – rata fluks CO2 pada pagi hari lebih tinggi
dibandingkan siang hari. Pengamatan pagi hari dilakukan jam 07.00 – 10.00 dengan suhu
rata – rata dalam sungkup antara 26 – 38 0C. sedangkan pada pengamatan siang hari
dilakukan pada jam 13.00 – 16.00 dengan suhu rata – rata dalam sungkup 28 – 44 0C.
Rentang suhu antara pengamatan pagi hari dan siang hari tidak terlalu berbeda. Fluks CO2
pada pengamatan pagi hari berkisar 4.324 – 14.341 mg CO2/m2/hari sedangkan pada
pengamatan siang hari berkisar antara 4.701 – 10.986 mgCO2 /m2 /hari. Tinggi rendahnya
fluks CO2 dipengaruhi oleh suhu udara, kelembaban, jenis, dan kerapatan vegetasi yang
menutupi lahan gambut. Suhu yang tinggi pada keadaan terbuka akan merangsang
aktivitas mikroorganisme sehingga perombakan gambut lebih cepat (Noor, 2001 cit
Yuniastuti, 2011). Mc Inerney dan Bolger (2000); Mielnick dan Dugas (2000); Hui dan
Luo (2004) cit Susilowati et al., 2012 menyatakan bahwa terdapat hubungan antara suhu
tanah dengan fluks CO2 akan tetapi fluks CO2 tertinggi tidak selalu dihasilkan pada suhu
maksimum.

243
Sri Wahyuni et al.

Gambar 3. Fluks CO2 berdasarkan waktu pengambilan sampel.

Fluks CO2 pada pemberian amelioran pugam tampak lebih tinggi dibandingkan
pada pemberian amelioran pupuk kandang dan tandan kosong (tankos) kelapa sawit.
Pugam merupakan bahan amelioran yang banyak mengandung bahan organik serta unsur
hara makro dan mikro yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman (Subiksa et al., 2010).
Dengan demikian diduga pemberian pugam yang kaya akan unsur hara menyebabkan
peningkatan aktivitas mikroba tanah sehingga meningkatkan rata-rata fluks CO2.
Pemberian amelioran tandan kosong (tankos) kelapa sawit menghasilkan rata-rata fluks
CO2 terendah pada waktu pengamatan pagi dan siang hari yaitu sebesar 8.402 mg
CO2/m2/hari dan 7.128 mg CO2/m2/hari. Kandungan kation polivalen dan unsur mikro
yang terkandung di dalam bahan amelioran berfungsi untuk menetralisasi asam organik
beracun di dalam tanah. Kation polivalen berfungsi mengikat sisa asam organik menjadi
bentuk komplek dan reaksi khelat sehingga tanah gambut lebih stabil, laju dekomposisi
akan berkurang dan emisi GRK akan menurun (Subiksa, 2010).

Fluks CO2 berdasarkan letak pengambilan sampel

Fluks CO2 pada tanaman sela lebih rendah dibandingkan pada piringan kelapa
sawit (gambar 4). Fluks CO2 di piringan dan tanaman sela relatif sama pada kontrol.
Pemberian amelioran di piringan tanaman kelapa sawit tidak dapat menekan emisi gas
CO2 yang diduga disebabkan oleh pengaruh pemupukan. Selain itu, CO2 yang di piringan
kelapa sawit dilepaskan akibat respirasi akar tanaman kelapa sawit dan aktivitas
metabolisme mikroorganisme. Oleh karena itu fluks CO2 pada piringan lebih tinggi
dibandingkan tanaman sela nenas.

244
Emisi Gas CO2 dari Tanah Gambut yang Ditanami Kelapa Sawit

Emisi CO2 di bawah naungan sangat di pengaruhi oleh adanya respirasi akar pada
kelapa sawit dan aktivitas metabolisme dari mikroorganisme di dekat daerah perakaran.
Fenomena tersebut menyebabkan emisi CO2 lebih banyak pada daerah di bawah naungan.
Pada data juga menunjukkan bahwa jumlah CO2 yang dihasilkan oleh akar akan lebih
besar bila ada akar hidup pada tanah yang semakin dalam. Selain itu, akan ada
peningkatan jumlah mikroorganisme tanah yang memanfatkan eksudat akar sehingga
meningkatkan proses respirasi akar. (Melling et al., 2005 cit Yuniastuti, 2011).

Gambar 4. Fluks CO2 dari berdasarkan letak pengamatan.

Emisi CO2 pada pemberian amelioran

Berdasarkan hasil pengukuran emisi CO 2 sebanyak 13 kali, emisi CO2 pada


piringan lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman sela nenas (Tabel 3). Respirasi pada
zona perakaran pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut menghasilkan emisi CO2
lebih tinggi dibanding di luar zona perakaran, yaitu sekitar 38% dari emisi gas CO2
merupakan hasil respirasi akar (Handayani, 2010). Semakin dekat jarak pengukuran GRK
dengan tanaman kelapa sawit, semakin tinggi fluks CO2 yang dihasilkan dari respirasi
akar tanaman (Dariah et al., 2014). Pemberian amelioran pada piringan meningkatkan
emisi gas CO2 sebesar 46% (pugam), 18% (pukan), dan 3% (tankos) dibandingkan dengan
kontrol. Pemberian amelioran pada tanaman sela (nenas) menurunkan emisi CO2 sebesar
23% (pukan), 13% (tankos), dan 10% (pugam) dibandingkan dengan tanpa pemberian
amelioran (kontrol).

245
Sri Wahyuni et al.

Tabel 3. Emisi CO2 dari berbagai perlakuan amelioran pada piringan kelapa sawit dan tanaman
sela nenas.
Piringan kelapa sawit Tanaman sela nenas
Perlakuan pemberian amelioran
----------------Emisi (t CO2/ha/tahun)-------------
Pupuk kandang dari kotoran sapi
35,8+5,9 23,4+7,1
(pukan)
Pupuk gambut (pugam) 44,3+8,6 27,3+8,4
Tandan kosong kelapa sawit (tankos) 31,3+6,6 26,5+8,4
Kontrol 30,3+6,9 29,2+11,5
Cara Petani 37,9+12,6 32,3+11,0
Rata –rata 35,9+5,6 27,7+3,3

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengukuran emisi CO2 sebanyak 13 kali ( Juni 2013 – Juni 2014)
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

Fluks CO2 pada piringan kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan pada tanaman sela
nenas akibat pengaruh respirasi akar kelapa sawit dan aktivitas metabolisme
mikroorganisme di dekat daerah perakaran. Emisi CO2 pada piringan kelapa sawit
berkisar 35,9+5,6 t CO2 /ha/tahun dan pada tanaman sela nenas berkisar 27,7+3,3 t
CO2/ha/tahun.

Pemberian amelioran pada budidaya kelapa sawit cenderung meningkatkan emisi


CO2 di piringan tetapi menurunkan emisi CO 2 di tanaman sela nenas. Bahan amelioran
pupuk kandang (pukan) dari kotoran sapi menurunkan emisi CO 2 sebesar 23%.

Fluks CO2 pada pengamatan siang hari berkisar 4.701 – 10.986 mg CO2/m2/hari
sedangkan pada pengamatan pagi hari berkisar 4.324 – 14. 341 mg CO2/m2/hari.

DAFTAR PUSTAKA

Dariah, A., E. Susanti, dan F. Agus. 2011. Simpanan karbon dan Emisi CO 2 lahan
gambut. http://balittanah.litbang.deptan.go.id/ind/viewer.php?folder=
dokumentasi/lainnya&filename=ai%20dariah&ext=pdf.
Dariah, A., E. Susanti, A. Mulyani, dan F. Agus. 2013. Faktor penduga simpanan karbon
pada tanah gambut. Hal. 213-221 dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan
Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.

246
Emisi Gas CO2 dari Tanah Gambut yang Ditanami Kelapa Sawit

Dariah, A., S. Marwanto, and F. Agus. 2014. Root-and Peat-based CO2 Emissions from
Oil Palm Plantations. Mitigation Adaptation Strategi Global Change. 19: 831–
843.
Handayani, E. Meine V. Noowidwijk, K. Idris, S. Sabiham and S. Djuniwati. 2010. The
Effct of Various Water Table Depth on CO2 Emission at Oil Palm Plantation on
West Aceh Peat. J. Trop. Soils. 15,3: 255-260.
IAEA 1993. Manual on Measurement of Methane and Nitrous Oxide Emission from
Agricultural Vienna: International Atomic Energy Agency (IAEA).
Ritung, S., Wahyunto, K. Nugroho, Sukarman, Hikmatullah, Suparto dan C.
Tafakresnanto. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1 : 250.000. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Edisi
Desember 2011. ISBN: 978-602-8977-16-6.
Subiksa, I.G.M., Suganda, H., Punomo, J. 2010. Pengaruh formula pugam terhadap
serapan hara dan pertumbuhan tanaman jagung. http://balittanah.litbang.
deptan.go.id/ind/viewer.php?folder=dokumentasi/prosidingsemnas2010&filenam
e=igm%20subiksa&ext=pdf.
Subiksa, I.G.M. 2010. Pengembangan Formula Amelioran dan Pupuk “Pugam” Spesifik
Lahan Gambut Diperkaya Bahan Pengkhelat untuk Meningkatkan Serapan Hara
dan Produksi Tanaman >50% dan Menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
>30%. http://km.ristek.go.id/index.php/klasifikasi/detail/20885.
Subiksa, I.G.M. 2013. Peran pugam dalam penanggulangan kendala fisik lahan dan
mitigasi gas rumah kaca dalam system usahatani lahan gambut. Hal. 333-344
dalam prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Susilowati., H. L., J. Hendri, D. Nursyamsi, dan P. Setyanto. 2012. Pengaruh Pemberian
Bahan Amelioran Terhadap Fluks CO2 pada Pertanaman Kelapa Sawit Tanah
Gambut di Perkebunan Rakyat Kabupaten Muara Jambi Provinsi Jambi.
Prosiding Seminar Nasional: Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Bogor,
4 Mei 2012. ISBN: 978-602-8977-42-5.
Wahyunto, Sofyan Ritung, Suparto, dan H. Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan
Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan.Wetland International Indonesia
Programme. Bogor.
Yuniastuti, P. 2011. Pengaruh Waktu dan Titik Pengukuran Terhadap Emisi Karbon
Dioksisa dan Metan di Lahan Gambut Kebun Kelapa Sawit PT. Perkebunan
Nusantara IV, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Skripsi Departemen Ilmu Tanah
dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB.

247
18
PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DENGAN
AMELIORASI PADA SISTEM TUMPANGSARI KARET DAN
NENAS DI LAHAN GAMBUT KALIMANTAN TENGAH
REDUCTION OF GREEN HOUSE GAS EMISSION BY USING AMELIORANTS
UNDER RUBBER AND PINEAPPLE INTERCROPPING OF CENTRAL
KALIMANTAN PEATLAND

Ali Pramono1, W.A. Nugraha2, M.A. Firmansyah2, A. Wihardjaka1, Prihasto Setyanto1


1
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Jakenan-Jaken Km 5, Pati
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalteng. Jl. G. Obos 5, Palangkaraya

Abstrak. Lahan gambut merupakan lahan marjinal dan mudah terdegradasi.


Penggunaan lahan gambut harus memperhatikan aspek lingkungan karena
dapat menyebabkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar. Pemberian
amelioran pada lahan gambut, selain memperbaiki produktivitas, juga
berpotensi menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Penelitian ini bertujuan
untuk mendapatkan informasi emisi GRK melalui pengelolaan lahan gambut
berkelanjutan dengan sistem tumpangsari dan penggunaan ameliorant.
Penelitian dilaksanakan pada demplot seluas 5 hektar di Desa Jabiren,
Kalimantan Tengah periode Juni 2013 – Mei 2014. Sistem tumpangsari yang
digunakan adalah karet dan nenas. Percobaan menggunakan rancangan acak
kelompok dengan empat ulangan dan empat perlakuan bahan amelioran yang
meliputi kontrol, pupuk gambut, pupuk kandang ayam, dan bahan tanah
mineral. Pengambilan contoh gas menggunakan metode sungkup tertutup dan
contoh gas dianalisis dengan kromatografi gas model micro GC CP 4900.
Contoh gas diambil di piringan tanaman karet dan di sela tanaman nenas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ameliorasi pupuk kandang ayam dan
pupuk gambut menurunkan fluks CO2 di piringan tanaman karet, namun tidak
di sela tanaman nenas. Pemberian pupuk gambut paling efektif menurunkan
emisi CO2, sedangkan amelioran pupuk kandang ayam paling efektif
menurunkan emisi CH4. Pemberian amelioran di lahan gambut dapat
menurunkan emisi gas rumah kaca.
Kata kunci: Emisi, karbondioksida, metana gambut, tumpangsari karet, dan
nenas.

Abstract. Peat soils are one of marginal lands which is easily degraded due
to its fragile properties. The use of peatland should be estimate the
environmental aspect due to resulting green house gas emission in huge
amount. Peat amelioration increases the soil productivity and could reduce
green house gas (GHGs) emission. The research aimed to monitor GHGs
emission from peatland under intercropped rubber and pineapple. The
experiment was conducted at Jabiren Village, Central Kalimantan from June
2013 to May 2014. The experiment used the completely randomized block

249
Ali Pramono et al.

design with four replications and four treatments consisted of control, peat
fertilizer (pugam), chicken manure (pukan), and mineral soil. Gas samples
were taken using closed chamber technique and analyzed using a gas
chromatography micro GC CP 4900 model. Gas samples were taken around
rubber plants and between pineapple plants. The results showed that chicken
manure and peat fertilizer decreased CO2 flux effectively around rubber
plant, but not between pineapple plants. Peat fertilizer and chicken manure
were the most effective ameliorants for reducing CO2 and CH4 emission of up
to 7% and 30%, respectively relative to control treatment. Ameliorants
application on peatland could reduce the greenhouse gas emissions.
Keywords: Emissions, carbondioxide, methane peat, intercropping of rubber
and pineapple plants.

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang memiliki lahan gambut terluas di dunia, yang
luasannya mencapai sekitar 14,9 juta ha (Ritung et al., 2011). Meskipun lahan gambut di
Indonesia sangat luas, faktanya pemanfaatan sebagai area budidaya tanaman pertanian
masih terbatas karena mempertimbangkan sifat dan perilaku gambut. Bahkan ada
anggapan bahwa konversi gambut untuk budidaya pertanian atau perkebunan akan
berkontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK). Di sisi lain,
peningkatan populasi penduduk Indonesia yang telah mencapai 238 juta dengan laju
pertumbuhan 1,3% per tahun, sangat membutuhkan lahan pertanian yang lebih luas. Oleh
karena itu lahan gambut sebagai lahan marjinal mulai dilirik untuk lahan pertanian yang
tetap memperhatikan hidrologi dan kesesuaian lahan. Lahan gambut memiliki fungsi
lingkungan yang cukup penting, antara lain sebagai penyimpan C (karbon), penyangga
lingkungan dari kebanjiran dan kekeringan, dan kaya akan keanekaragaman hayati.
Indonesia mempunyai sekitar 14,9 juta ha lahan gambut (Ritung et al., 2011). Lahan
gambut mempunyai cadangan karbon di dalam tanah sekitar 37 Gt (Wahyunto et al.,
2004, 2005, 2006). Cadangan karbon tersebut sangat mudah teremisi menjadi CO2 apabila
hutan gambut dibuka dan didrainase.

Dalam keadaan alami, tanah gambut mengalami proses dekomposisi yang


menghasilkan gas rumah kaca (GRK) secara perlahan, sehingga emisi yang dihasilkannya
relatif seimbang dengan penyerapan oleh vegetasi alami dalam bentuk CO2 bahkan
kadang kala berperan sebagai sink karbon. Dalam tiga dekade terakhir, lahan gambut telah
digunakan secara intensif untuk aktivitas pertanian tanaman pangan, hortikultura, dan
perkebunan. Alih fungsi lahan gambut untuk budidaya tanaman pertanian akan
mengurangi stabilitas dan mempercepat proses dekomposisi. Selain itu, deforestasi dan
degradasi lahan gambut memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan emisi GRK
nasional.

250
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dengan Ameliorasi pada Sistem Tumpangsari

Lahan gambut dengan kedalaman satu meter dan luas lahan mencapai satu hektar
(ha), mengandung karbon 300-700 t C/ha, namun dengan perhitungan minimal rata-rata
simpanan karbon di lahan gambut seluas satu hektar bisa mencapai sekitar 600 t C/ha.
Aktivitas pertanian di lahan gambut menyebabkan subsidensi permukaan gambut dan
kehilangan karbon dalam bentuk emisi CO2 dan CH4. Emisi CO2 dari gambut yang
digunakan untuk pertanian di Indonesia diperkirakan mencapai 73 ton CO 2-e/ha/tahun
dari wilayah perkebunan, 27 ton CO2-e/ha/tahun dari gambut yang digunakan untuk
tanaman semusim, dan 55 ton CO2-e/ha/tahun dari gambut yang terbakar (BBSDLP,
2009). Berdasarkan standar IPCC Tier 2 dengan menggunakan data penggunaan dan
tutupan lahan dari tahun 2000-2006, rata-rata emisi gas rumah kaca emisi tahunan dari
oksidasi gambut Indonesia adalah 220 Mt CO2/tahun (BAPPENAS, 2009). Meskipun
emisi karbon dari gambut sangat besar potensinya, namun ketidakpastian perkiraan itu
sangat besar (Sabiham, 2010).

Seiring dengan komitmen Indonesia dalam Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011,
berbagai upaya perlu dilakukan untuk menghambat laju pemanasan global, antara lain
dengan penerapan teknologi ameliorasi. Penggunaan bahan amelioran atau bahan
pembenah tanah selain dapat memperbaiki struktur tanah gambut juga dapat menurunkan
emisi GRK. Tantangan sektor pertanian adalah bagaimana mengelola lahan gambut
sehingga bisa berproduksi dengan baik tanpa merusak lingkungan dengan menghasilkan
emisi serendah mungkin, dengan begitu lahan gambut bisa memberikan keuntungan
ekonomi yang memuaskan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bahan ameliorasi
yang efektif menurunkan emisi CO2 pada sistem tumpangsari tanaman karet dan nenas di
lahan gambut Kalimantan Tengah.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di area perkebunan karet seluas 5 ha di Desa Jabiren,


Kecamatan Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Tataguna lahan di petak demplot Jabiren,
Kalimantan Tengah adalah tumpangsari dengan tanaman karet sebagai tanaman pokok
dan nenas sebagai tanaman sela.

Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok, dengan perlakuan pemberian


amelioran terdiri atas 1 pupuk gambut (pugam), 2) pupuk kandang ayam (pukan), 3) tanah
mineral, dan 4) kontrol (tanpa amelioran). Sebagai pembanding juga dilakukan
pengambilan contoh gas dari petak petani (praktis petani). Masing-masing perlakuan
diulang 4 kali. Ukuran masing-masing plot 50 m x 27 m, dengan umur tanaman karet
kira-kira 7 tahun pada awal penelitian ini. Tata letak perlakuan seperti pada Gambar 1.

251
Ali Pramono et al.

Saluran Tersier

Pugam Kontrol Pukan Tanah Mineral


Saluran Sekunder

Kontrol Tanah Mineral Pugam Pukan

Tanah Mineral Pukan Kontrol Pugam

Pukan Pugam Tanah Mineral Kontrol

Praktis Petani

Gambar 1. Tata letak perlakuan amelioran pada penelitian emisi gas rumah kaca di
Jabiren, Kalimantan Tengah.
Pemberian amelioran pada plot perlakuan dilakukan sebanyak 2 kali dengan cara
disebar. Pemberian amelioran pertama dilakukan pada awal bulan Juli 2013 dan yang
kedua pada bulan Februari 2014 (Tabel 1). Pemupukan dilakukan sebanyak 2 kali dengan
cara tugal. Pemupukan I dilakukan pada pertengahan bulan September 2013. Pemupukan
II akan dilakukan pada bulan Juli 2014. Pada petak petani tidak dilakukan pemupukan N,
P, dan K.

Parameter yang diamati adalah fluks GRK (CO2 dan CH4). Pengambilan sampel
gas dari lahan gambut dilakukan sebanyak 7 kali dari bulan Juni 2013 hingga Mei 2014.
Pengambilan sampel gas pertama dilakukan pada awal Juni 2013 untuk mengetahui
baseline emisi GRK, sebulan kemudian dilakukan pemberian amelioran dan pengamatan
GRK.

Tabel 1. Pemberian amelioran dan pupuk pada penelitian emisi gas rumah kaca di
Jabiren, Kalimantan Tengah.
Ameliorasi I Pemupukan I Ameliorasi II Pemupukan II
No Uraian (Juli 2014)
(Juli 2013) (September 2013) (Pebruari 2014)
1 Kontrol - -
2 Pugam (kg/pohon) 2 1
3 Pukan (kg/pohon) 4 2
Tanah Mineral
4 6 3
(kg/pohon)
5 Pupuk Dasar (kg/pohon)
- Urea 0,25 0,25
- SP-36 0,2 0,2
- KCl 0,25 0,25

Pengambilan contoh gas pada masing-masing perlakuan dilakukan pada piringan


tanaman karet dan sela tanaman nenas (Gambar 2). Sampling gas juga dilakukan pada
petak petani, dimana petani tidak melakukan pemupukan pada petak tersebut.

252
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dengan Ameliorasi pada Sistem Tumpangsari

Pengambilan contoh gas dilakukan dengan menggunakan metode sungkup tertutup


(closed chamber technique). Ukuran sungkup untuk pengambilan gas pada piringan
adalah 50cm x 50cm x 30cm, sedangkan pada sela berukuran 50cm x 15cm x 30cm.
Interval waktu pengambilan contoh gas adalah 3, 6, 9, 12, 15, 18, dan 21 menit. Contoh
gas dianalisis dengan menggunakan kromatografi gas model micro GC CP 4900.

Piringan Sela tanaman

Gambar 2. Pengambilan sampel gas pada piringan tanaman karet dan sela tanaman
nenas pada penelitian emisi gas rumah kaca di Jabiren, Kalimantan Tengah.

Hasil analisis konsentrasi gas dengan interval waktu 3 menit tersebut akan
digunakan untuk menentukan laju perubahan/fluks CH4 dan CO2 (c/t). Perhitungan
fluks CO2 pada setiap perlakuan menggunakan persamaan yang diadopsi dari IAEA
(1993) sebagai berikut:

Bm  Csp V 273,2
E x x x
Vm t A T  273,2

Di mana:
E = emisi CO2 atau CH4 (mg/m2/hari)
V = volume sungkup (m3)
A = luas dasar sungkup (m2)
T = suhu udara rata-rata di dalam sungkup (oC)
Csp/t = laju perubahan konsentrasi gas CH4 atau CO2 (ppm/menit)
B = berat molekul gas CH4 atau CO2 dalam kondisi standar
Vm = volume gas pada kondisi stp (standard temperature and pressure) yaitu 22,41
liter pada 23oK

253
Ali Pramono et al.

Data fluks CO2 dan CH4 dianalisis statistik dengan sidik ragam (analysis of
variance) dan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil atau uji kisaran ganda Duncan
untuk mengetahui beda nyata antar perlakuan pada taraf 5%. Analisis data menggunakan
program SAS.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lokasi penelitian merupakan lahan milik petani setempat, dengan tanaman karet
sebagai tanaman pokok dan nenas sebagai tanaman sela. Tingkat kematangan gambut di
lahan tersebut termasuk golongan saprist, ketebalan gambut sekitar 4-5 meter dan pH
berkisar 3-4. Pemberian bahan ameliorasi dan pupuk bertujuan untuk mengurangi
kemasaman tanah dan meningkatkan ketersediaan hara yang rendah.

Amelioran yang digunakan dalam penelitian ini terlebih dahulu dianalisis


kimianya. Pupuk gambut (pugam) merupakan pupuk majemuk yang mengandung fosfat
(P), magnesium (Mg), dan silikat (Si). Ketiga unsur ini sangat penting bagi pertumbuhan
tanaman. Selain tiga unsur tersebut, pugam juga mengandung besi (Fe), aluminium (Al),
seng (Zn), dan tembaga (Cu), unsur yang selain dibutuhkan tanaman juga penting untuk
mengikat asam-asam organik beracun agar tidak mengganggu pertumbuhan akar tanaman.
Kelasi asam-asam organik oleh kation polivalen menyebabkan bahan organik lebih stabil
dan emisi karbonnya berkurang. Pupuk kandang (pukan) ayam mempunyai nisbah C/N
16%, P2O5 dan K2O sedikit lebih rendah daripada tanah mineral (Tabel 2). Pukan ayam
dan pugam merupakan sumber kation polivalen. Kation polivalen dapat menetralkan
asam-asam tersebut secara efektif, sehingga penambahan dalam dosis tepat dapat
meningkatkan produktivitas lahan gambut secara berkelanjutan. Pugam mengandung
kation polivalen dengan konsentrasi tinggi, sehingga takaran amelioran yang diperlukan
tidak terlalu besar yaitu hanya 750 kg ha-1 (Subiksa et al., 2009). Lahan gambut sangat
miskin hara makro maupun mikro, sehingga perlu ditambahkan apabila dimanfaatkan
untuk usahatani tanaman pangan maupun tanaman perkebunan.

254
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dengan Ameliorasi pada Sistem Tumpangsari

Tabel 2. Karakteristik bahan amelioran yang digunakan pada penelitian emisi gas rumah
kaca di Jabiren, Kalimantan Tengah.
Jenis Amelioran
Parameter
Pugam A Pukan Ayam Tanah Mineral
Kadar air (%) 4,78 - -
pH 8,0 8,6 3,9
C-organik(%) - 16 -
N-total (%) - 0,98 0,01
Nisbah C/N - 16 11
P2O5 (%) 13,7 0,47 2

K2O (%) 0,04 1,34 2


CaO (%) 28,27 - 0,27
MgO (%) 8,16 - 0,27
Fe (%) 0,33 0,07 1,08
Al (%) 0,53 - 4,62
Mn (ppm) 202 76 0,3
Cu (ppm) 905 2 0,1
Zn (ppm) 1503 46 0,1

Dinamika Fluks Gas Rumah Kaca

Pengamatan fluks GRK pertama dilakukan pada bulan Juni 2013 sebagai data awal
(baseline). Setelah itu, pengamatan dilakukan setiap 1-2 bulan sekali selama satu tahun.
Pada awal pengukuran, gambut yang belum diberi amelioran menghasilkan fluks CO 2
sebesar 9000-16000 mg/m2/hari (Gambar 3). Setelah dilakukan ameliorasi, fluks CO 2
menurun pada dua kali pengamatan (bulan September dan November 2013). Pemberian
amelioran II dilakukan pada bulan Februari 2014 dan pengamatan GRK baru mulai
dilakukan lagi pada bulan Maret. Ameliorasi gambut tampak menurunkan fluks pada
bulan pertama setelah dilakukan ameliorasi II, hal ini mungkin disebabkan karena dosis
ameliorannya lebih rendah dibandingkan pada ameliorasi I.

255
Ali Pramono et al.

Gambar 3. Rata-rata fluks CO2 selama pengamatan pada penelitian emisi gas rumah
kaca di Jabiren, Kalimantan Tengah.

Pemupukan pada bulan September meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang


berperan dalam dekomposisi gambut, sehingga amelioran tidak berpengaruh terhadap
peningkatan fluks CO2. Emisi CO2 heterotrofik dari gambut dipengaruhi oleh dinamika
populasi mikroba, kualitas, dan kuantitas bahan organik yang tersedia untuk dekomposisi
(limbah, gambut dan eksudat akar), yang pada gilirannya merupakan fungsi dari masa lalu
dan sekarang dari dinamika vegetasi, hubungan aktivitas mikroba dengan hidrologi
(kedalaman muka air tanah dan kelembaban tanah), suhu udara dan suhu gambut, dan
juga status hara gambut (Brady, 1997; Hirano et al., 2009; Yule dan Gomez, 2009).
Setelah 3 bulan pemupukan II, fluks CO2 makin meningkat pada semua perlakuan.

Kenaikan fluks CO2 terendah terjadi pada perlakuan pukan dibandingkan perlakuan
lainnya. Fluks CO2 dari petak petani menunjukkan nilai terendah hampir semua waktu
pengamatan. Rata-rata fluks CO2 dari pengukuran selama satu tahun akibat pemberian
amelioran pukan adalah sebesar 6.130 mg/m2/hari, pugam 6.114 mg/m2/hari, 6.412
mg/m2/hari dan kontrol 6.572 mg/m2/hari. Petak petani menghasilkan rata-rata fluks CO2
sebesar 3.038 mg/m2/hari.

Terdapat perbedaan fluks GRK pada piringan dan sela tanaman. Fluks tertinggi
dihasilkan dalam piringan tanaman karet. Hal ini disebabkan karena pada piringan
biasanya diberikan perlakuan pemupukan dan juga terjadi respirasi akar. Ameliorasi
pukan dan pugam pada gambut menurunkan fluks CO2 pada piringan tanaman karet,
dibandingkan dengan pada sela tanaman nenas (Gambar 4). Dari rata-rata fluks yang
dihasilkan masing-masing perlakuan, terlihat bahwa pemberian amelioran pukan ayam
dan pugam menyebabkan penurunan fluks CO2 pada siang hari. Meningkatnya suhu akan

256
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dengan Ameliorasi pada Sistem Tumpangsari

merangsang kegiatan mikroorganisme, mempercepat laju dekomposisi dan memperbesar


energi kinetik dan gas. Pada gambut terdrainasi, radiasi matahari yang mencapai
permukaan gambut akan meningkatkan suhu gambut, hal ini akan meningkatkan oksidasi
gambut (Jauhiainen et al., 2012). Peningkatan suhu gambut dapat menstimulasi kedua
proses metanogenesis dan metanotrofi, meskipun metanotrofi nampak lebih sensitif
terhadap suhu daripada metanogenesis dan lebih tergantung pada ketersediaan CH 4 (Le
Mer and Roger, 2001). Sementara itu, pemberian tanah mineral dan kontrol meningkatkan
fluks CO2 pada siang hari (Gambar 5).

Gambar 4. Fluks CO2 pada piringan dan sela tanaman dengan berbagai perlakuan
amelioran pada penelitian emisi gas rumah kaca di Jabiren, Kalimantan Tengah.

Gambar 5. Perbedaan fluks CO2 pada waktu pagi dan siang hari dengan berbagai
perlakuan amelioran pada penelitian emisi gas rumah kaca di Jabiren, Kalimantan
Tengah.

257
Ali Pramono et al.

Emisi Gas Rumah Kaca

Dari perhitungan emisi CO2, perlakuan pukan menghasilkan emisi CO2 sebesar
26,1 ton/ha/tahun, perlakuan pugam sebesar 26,0 ton/ha/tahun, perlakuan tanah mineral
27,3 ton/ha/tahun. Plot kontrol menghasilkan emisi CO 2 tertinggi, yaitu sebesar 28
ton/ha/tahun, sedangkan plot petani menghasilkan emisi CO2 terendah yaitu sebesar 12,9
ton/ha/tahun (Tabel 3). Persentase penurunan emisi CO2 secara berurutan dari yang
tertinggi yaitu ameliorasi pugam (7,1%), pukan (6,7%) dan tanah mineral (2,5%)
dibandingkan kontrol. Emisi CO2 dari petak petani paling rendah, yaitu sebesar 12,9
ton/ha/tahun, hal ini mungkin disebabkan karena pada petak tersebut tidak dilakukan
pemupukan N, P dan K. Hal yang sama diungkap oleh Maswar (2012) yang
menyimpulkan bahwa dengan aplikasi pupuk NPK pada lahan gambut yang telah
didrainase nyata meningkatkan kehilangan karbon dari gambut. Pemupukan pada lahan
gambut dapat mempengaruhi aktivitas biologi dalam tanah, termasuk aktivitas
mikroorganisme perombak sehingga dapat mempercepat kehilangan karbon. Etik (2009)
juga melaporkan bahwa penambahan dosis pupuk urea sampai dengan dosis 4 g.100 g-1
gambut nyata meningkatkan fluks CO2 pada berbagai tingkat kematangan gambut.

Tabel 3. Persentase penurunan emisi CO2 pada perlakuan amelioran pada penelitian
emisi gas rumah kaca di Jabiren, Kalimantan Tengah

Emisi CO2 n data n data %


Perlakuan CV (%)
(t/ha/tahun)*) fluks konsentrasi Penurunan

Pupuk kandang ayam


(pukan) 26,1+ 7,9a 30,3 96 672 6,7
Pupuk gambut (pugam) 26,0 + 15,2a 58,5 96 672 7,1
Kontrol 28,0 + 16,4a 58,6 96 672 -
Tanah Mineral 27,3 + 10,6a 38,8 96 672 2,5
Praktis Petani 12,9 + 6,6a 51,2 96 672 53,9
Angka dalam lajur sama diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji beda
nyata terkecil atau DMRT pada taraf 5%.

258
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dengan Ameliorasi pada Sistem Tumpangsari

Gambar 6. Emisi gas rumah kaca lahan gambut pada sistem tumpangsari karet dan
nenas di Jabiren, Kalimantan Tengah.

KESIMPULAN

Ameliorasi pupuk kandang ayam (pukan) dan pupuk gambut (pugam) pada
gambut menghasilkan fluks CO2 lebih rendah pada piringan tanaman karet dibandingkan
pada sela tanaman nenas. Penurunan emisi CO2 paling efektif dengan menggunakan
pugam, sedangkan penurunan emisi CH4 paling efektif dengan pukan ayam. Pemberian
amelioran pada lahan gambut dapat menurunkan emisi gas rumah kaca.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian ini merupakan kerjasama Badan Litbang Pertanian dan BAPPENAS


melalui Proyek Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF). Ucapan terimakasih
disampaikan kepada Sdr. Titi Sopiawati, SP; Sri Wahyuni, A.Md dan Sdr. Muhaimin yang
telah membantu dalam analisis GRK dan pengambilan contoh gas di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

BAPPENAS. 2009. Reducing Carbon Emission from Indonesia’s Peatlands. Interim


Report of Multi-Diciplinary Study. Bappenas, The Rebuplic of Indonesia.
BBSDLP, Agricultural Land Resource Institute. 2009. Policy brief: Kajian pemanfaatan
lahangambut untuk pengembangan perkebunan (Studies on the use of peatlands
for plantation development). Agricultural Research and Development Agency,
Ministry of Agriculture.

259
Ali Pramono et al.

Brady, M.A. 1997. Organic Matter Dynamics of Coastal Peat Deposits in Sumatra,
Indonesia. Doctoral dissertation. Retrieved from the University of British
Columbia Library.
Etik, P.H. 2009. Emisi karbondioksida (CO 2) dan metan (CH4) pada perkebunan kelapa
sawit di lahan gambut yang memiliki keragaman dalam ketebalan gambut dan
umur tanaman. Disertasi S3. Program Studi Ilmu Tanah, Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor. 158 hal.
Hirano, T., Segah, H., Harada, T., Limin, S., June, T., Hirata, R., & Osaki, M. (2007).
Carbondioxide balance of a tropical peat swamp forest in Kalimantan, Indonesia.
Global Change Biology 13: 412-425.
Hooijer, A., M. Silvius, H. Wösten, and S. Page. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2
emissions from drained peatlands in SE Asia, Delft Hydraulics report Q3943.
Inubushi, K., S. Otake, Y. Furukawa, N. Shibasaki, M. Ali, A.M. Itang, and H. Tsuruta.
2005. Factors influencing methane emission from peat soils: Comparison of
tropical and temperate wetlands. Nutrient Cycling in Agroecosystems 71: 93–99.
IAEA. 1993. Manual on Measurement of Methane and Nitrous Oxide Emissions from
Agricultural, Vienna, Austria. International Atomic Energy Agency.
Jauhiainen, J., A. Jaya, T. Inoue, J. Heikkinen, P. Martikainen, and H. Vasander . 2004.
Carbon balance in managed tropical peat in Central Kalimantan. In: Päivänen J
(ed.) Proceedings of the 12th International Peat Congress, Tampere 6 -
11.6.2004. pp. 653-659.
Jauhiainen J., A. Hooijer, and S. E. Page. 2012. Carbondioxide emissions from an Acacia
plantation on peatland in Sumatra, Indonesia. Biogeosciences 9: 617–630.
Lay DYF. 2009. Methane dynamics in northern peatlands: A review. Pedosphere 19: 409-
421.
Le Mer, J., and P. Roger. 2001. Production, oxidation, emission and consumption of
methane by soils: A review. Eur. J. Soil Biol. 37: 25–50.
Maswar. 2012. Pengaruh aplikasi pupuk NPK terhadap kehilangan karbon pada lahan
gambut yang didrainasi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pemupukan dan
Pemulihan Lahan Terdegradasi. Penyunting: Wigena et al., Bogor, 29-30 Juni
2012. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.
Hal. 171-178.
Ritung, S., Wahyunto, Nugroho, K., Sukarman, Hikmatullah, Suparto & Tafakresnanto,
C. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000 (Indonesian peat soil
map at the scale 1:250,000). Indonesian Center for Agricultural Land Resources
Research and Development, Bogor, Indonesia.
Sabiham S, 2010. Properties of Indonesian peat in relation to the chemistryof carbon
emission. Proc. of Int. Workshop on Evaluation and Sustainable Management of
Soil Carbon Sequestration in Asian Countries. Bogor, Indonesia Sept. 28-29,
2010.

260
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dengan Ameliorasi pada Sistem Tumpangsari

Subiksa, I.G.M., H. Suganda, dan J. Purnomo. 2009. Pengembangan Formula Pupuk


untuk Lahan Gambut sebagai Penyedia Hara dan Menekan Emisi Gas Rumah
Kaca (GRK). Laporan Penelitian Kerja Sama antara balai Penelitian tanah
dengan Departemen Pendidikan Nasional.
Subiksa, I.G.M., W. Hartatik, dan F. Agus. 2011. Pengelolaan lahan gambut secara
berkelanjutan. Buku Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Penelitian
Tanah. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang
Pertanian. Kementerian Pertanian. 2011.
Wahyunto, Ritung S., Suparto, Subagjo H. 2004. Map of Peatland Distribution Area and
Carbon Content in Kalimantan. Wetland International-Indonesia Program and
Wildlife Habitat Canada (WHC). Bogor–Indonesia.
Wahyunto, Ritung S., Suparto, and H. Subagjo. 2005. Peat Land Distribution and Carbon
Content in Sumatra and Kalimantan. Wetland International-Indonesia Program
and Wildlife Habitat Canada (WHC). Bogor –Indonesia.
Wahyunto, Suparto, B. Heryanto, dan H. Bekti. 2006. Sebaran Lahan Gambut, Luas dan
Cadangan Karbon Bawah Permukaan di Papua. Wetland International Indonesia
Programme. Bogor – Indonesia.
Yule, C.M., and L.N. Gomez. 2009. Leaf litter decomposition in a tropical peat swamp
forest in Peninsular Malaysia. Wetlands Ecology and Management 17, 231-241.

261
19
EMISI GAS RUMAH KACA DARI SALURAN DRAINASE DI
LAHAN GAMBUT JABIREN, KALIMANTAN TENGAH

GREEN HOUSE GAS EMISSIONS FROM DRAINAGE CANALS IN PEATLAND OF


JABIREN CENTRAL KALIMANTAN

Prihasto Setyanto1, A. Wihardjaka1, Eni Yulianingsih1, Fahmuddin Agus2


1
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Raya Jakenan-Jaken Km 05 Pati.
2
Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12,Cimanggu, Bogor 16114.

Abstrak. Salah satu sumber emisi gas rumah kaca (GRK) di lahan gambut
adalah saluran drainase. Informasi besarnya emisi GRK dari saluran
drainase penting dalam pengelolaan gambut keberlanjutan. Tujuan kegiatan
adalah untuk mengetahui besarnya pelepasan GRK dari saluran drainase di
lahan gambut yang digunakan untuk perkebunan karet tradisional.
Pengambilan contoh gas dilakukan di saluran drainase sekunder dan tersier
pada lima titik dengan menggunakan metode sungkup silinder tertutup.
Contoh gas dianalisis dengan alat kromatografi yang dilengkapi detektor
thermal conductivity detector (TCD) untuk penetapan CO2, flame ionization
detector (FID) untuk penetapan CH4, dan electron capture detector (ECD)
untuk penetapan N2O. Fluks GRK di saluran bagian utara dengan lebar 5m
umumnya lebih tinggi daripada di saluran bagian selatan demplot gambut
dengan lebar 3m. Emisi GRK di saluran drainase lebar 5 m adalah 854±58
kg CO2-e musim-1 selama musim penghujan dan 410±16 kg CO2-e musim-1
selama musim kering. Emisi GRK di saluran drainase lebar 3 m adalah
129±39 kg CO2-e musim-1 selama musim penghujan dan 140±12 kg CO2-e
musim-1 selama musim kering. Tingginya fluks GRK dari saluran air
dipengaruhi oleh rendahnya kemasaman air gambut dan tingginya debit air.
Kata kunci: Kabondioksida, metana, dinitrogen oksida, drainase, gambut,
emisi.
Abstract. Drainage canal is one of sources of greenhouse gases (GHGs)
emissions from peat land. Information of GHGs emissions from drainage
canal is important in sustainable peat land management. The objective of
this research was to determine GHGs emissions from drainage canal in
peat land in smallholder rubber plantation area. Gas samples were taken in
secondary (5 m wide) and tertiary (3 m wide) drainage canals at five
sampling points using closed cylindrical chamber method. Gas samples
were analyzed using gas chromatography equipped with thermal
conductivity detector (TCD), flame ionization detector (FID) electron
capture detector (ECD) to determine CO2, CH4, and N2O, respectively, in
2014. The GHGs fluxes at the secondary drainage canal was higher than at
the tertiary one. The GHGs fluxes in the secondary canal was 854±58 kg
CO2-e season-1 during the rainy season and 410±16 kg CO2-e season-1

263
Prihasto Setyanto et al.

during the dry season, respectively. The GHGs fluxes from the tertiary
canal was 129±39 kg CO2-e season-1 during the rainy season and 140±12
kg CO2-e season-1 during the dry season, respectively. The magnitude of
GHGs fluxes from drainage canal was affected by lower peat acidity and
higher water flow.
Keywords: Carbondioxide, methane, nitrous oxide, drainage canal, peat
land, emission.

PENDAHULUAN

Luas lahan gambut di Indonesia saat ini mencapai 14,9 juta hektar (Balitbangtan,
2011). Lahan gambut adalah lahan pertanian yang tergolong lahan marjinal, yang
prinsipnya lahan gambut tidak begitu cocok untuk pertanian karena tingkat kesuburannya
yang rendah dan daya simpan airnya yang tinggi. Oleh karena itu, untuk mengelola lahan
gambut agar menghasilkan produksi pertanian yang maksimal, perlu ditingkatkan
kesuburannya melalui pemupukan dan ameliorasi (Subiksa, 2013), dan ketinggian airnya
dikurangi melalui tata kelola air yang tepat. Tata kelola air yang tidak tepat seperti
pengeringan lebih dari 60 cm, dapat menyebabkan lahan gambut terbakar dan
meningkatkan emisi gas rumah kaca.

Emisi GRK dari lahan gambut diperkirakan mencapai 3 milyar ton per tahun.
Emisi GRK dari lahan gambut dipandang lebih besar daripada emisi dari sumber lain
seperti energi, industri, pertanian, dan limbah. Beberapa publikasi menyebutkan bahwa
emisi GRK dari lahan gambut rata-rata mencapai 95 t CO2 ha-1 tahun-1 (Hoeijer et al.,
2006), sedangkan hasil penelitian kerjasama antara Badan Litbang Pertanian dan
Bappenas melalui program ICCTF (Indonesia Climate Change Trust Fund) tahun 2012 di
provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Riau, dan Jambi menunjukkan
keragaman emisi CO2 yang berkisar 28-45 t CO2 ha-1 tahun-1. Emisi GRK yang dilaporkan
tersebut berasal dari dekomposisi bahan organik aerobik (emisi heterotropik) yang diukur
dari permukaan lahan gambut.

Beberapa publikasi menyebutkan bahwa salah satu sumber terbesar emisi GRK di
lahan gambut adalah dari saluran drainase gambut. IPCC (2013) menyebutkan bahwa
emisi gas metana (CH4) dari saluran drainase dapat mencapai 2259 kg CH 4 ha-1 tahun-1
atau setara dengan 47 ton CO2-e ha-1 tahun-1. Di sisi lain, hasil penelitian ICCTF (2012)
menyebutkan bahwa emisi gas CH4 dari permukaan gambut hanya sekitar 10-31 kg CH4
ha-1 tahun-1 atau 210-651 kg CO2-e ha-1 tahun-1) pada pertanaman karet dan kelapa sawit
di tiga provinsi (Kalimantan Tengah, Riau, dan Jambi).

Disparitas yang lebar antara emisi CH4 dari permukaan gambut dan dari saluran
drainase dapat menyebabkan miskalkulasi terhadap hitungan emisi GRK dari lahan

264
Emisi Gas Rumah Kaca dari Saluran Drainase di Lahan Gambut

gambut. Oleh karena itu, kegiatan penelitian dilakukan untuk memperoleh informasi emisi
gas rumah kaca dari saluran drainase di lahan gambut.

BAHAN DAN METODE

Contoh gas diambil di saluran-saluran drainase utama pada lokasi ICCTF di


Jabiren, Kab. Pulang Pisau, Prov. Kalimantan Tengah. Lokasi tersebut berada di sebelah
utara dan selatan demplot ICCTF. Saluran drainase di bagian utara demplot merupakan
saluran sekunder, sedangkan di bagian selatan demplot merupakan saluran tersier.

Contoh gas diambil pada 5 titik di masing-masing saluran dengan jarak antar titik
adalah 20-30 m. Koordinat titik pengambilan disajikan pada Tabel 1. Pengambilan contoh
gas dilakukan dengan metode sungkup tertutup. Sungkup terbuat dari paralon berdiameter
6 inci dengan ketinggian sekitar 60 cm. Sungkup diapit oleh gabus agar mengambang
dipermukaan air. Permukaan sungkup tertutup rapat dengan penutup paralon, dan
dipastikan tidak bocor. Pada tutup sungkup terdapat lubang untuk meletakan septum karet
(rubber stopper). Septum karet ini berfungsi untuk mengambil contoh gas dari dalam
sungkup.

Tabel 1. Titik-titik pengambilan contoh gas di saluran drainase di lahan gambut Jabiren,
Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Saluran
Titik I Titik II Titik III Titik IV Titik V
drainase
02o30,894’LS 02o 30,891’ LS 02o30,886’LS 02o30,882’LS 02o30,879’LS
Lebar 5 m
114o10,188’BT 114o10,199’BT 114o10,208’BT 114o10,219’BT 114o10,228’BT
02o31,045’LS 02o31,045’LS 02o31,044’LS 02o31,043’LS 02o31,043’LS
Lebar 3 m
114o10,199’BT 114o10,210’BT 114o10,228’ BT 114o10,231’BT 114o10,246’BT

Syringe berkatup dengan volume 10 ml digunakan untuk mengambil contoh gas.


Setelah contoh gas diambil, lalu contoh gas tersebut disimpan di dalam botol hampa udara
(vaccum container) bervolume 10 ml. Interval waktu yang digunakan untuk mengambil
contoh gas tersebut adalah 15, 30, 45, 60, dan 75 menit. Pada tutup sungkup juga terdapat
lubang untuk meletakan termometer. Termometer berfungsi untuk mengukur perubahan
suhu di dalam sungkup yang diukur setiap interval pengambilan contoh gas.

Pengukuran emisi GRK dari saluran drainase dilakukan selama 6 kali yaitu 3 kali
pada musim penghujan dan 3 kali pada musim kemarau. Pengambilan contoh gas
dilakukan pada pagi hari (07.00-09.00) dan siang hari (12.00-14.00). Untuk musim
penghujan, emisi GRK diukur pada bulan Maret dan April 2014 (minggu ke-2 dan ke-4

265
Prihasto Setyanto et al.

Maret, dan minggu ke-1 April) sedangkan untuk musim kemarau dilakukan pada bulan
Juni 2014 (minggu ke-4) – Juli 2014 (minggu ke-2 dan ke-3).

Contoh gas dianalisis menggunakan alat kromatografi gas yang dilengkapi dengan
thermal conductivity detector (TCD) untuk penetapan CO2, flame ionization detector
(FID) untuk penetapan CH4, dan electron capture detector (ECD) untuk penetapan N2O.
Perhitungan fluks CO2, CH4, dan N2O mengikuti persamaan yang diadopsi dari IAEA
(1993) sebagai berikut:

Bm  Csp V 273.2
E  x x x
Vm t A T  273.2
................................................................. (1)

Keterangan :
E = emisi CO2/CH4 /N2O (mg m-2 hari-1)
V = volume sungkup (m3)
A = luas dasar sungkup (m2)
T = suhu udara rata-rata di dalam sungkup (oC)
Csp/t = laju perubahan konsentrasi gas CH4, CO2, N2O (ppm menit-1)
Bm= berat molekul gas CH4, CO2, dan N2O
Vm= volume gas pada kondisi stp (standard temperature and pressure) yaitu 22,41 liter

Emisi GRK (CO2-e) dari saluran drainase dihitung dari penjumlahan fluks CO2 +
(25 x fluks CH4) + (310 x fluks N2O). Luas saluran drainase di demplot gambut di Jabiren
adalah 8% dari total luasan gambut dipertimbangkan untuk menghitung emisi GRK dari
saluran drainase setiap hektar gambut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Fluks Gas Rumah Kaca di Saluran Drainase Gambut

Fluks gas rumah kaca di saluran drainase bagian utara demplot kegiatan ICCTF di
Jabiren, Kalimantan Tengah umumnya lebih tinggi daripada di saluran drainase bagian
selatan, terutama karbondioksida (CO2) dan dinitrogen oksida (N2O) baik pada musim
penghujan maupun musim kering (Gambar 1). Lebar saluran drainase bagian utara adalah
5 m, sedangkan di saluran drainase bagian selatan adalah 3 m. Menjelang musim
penghujan berakhir, fluks CO2 tertinggi pada pengamatan ke-2 (17 Maret 2014). Fluks
CO2 pada musim kering relatif stabil. Fluks CO2 di saluran lebar 5 m berkisar 2,6 – 26,6 g
CO2 m-2 hari-1 di musim penghujan dan 0,6 – 7,5 g CO2 m-2 hari-1 di musim kering,
sedangkan di saluran lebar 3 m berkisar 1,0 – 3,3 g CO2 m-2 hari-1 di musim penghujan
dan 0,5 – 2,5 g CO2 m-2 hari-1 (Gambar 1).

266
Emisi Gas Rumah Kaca dari Saluran Drainase di Lahan Gambut

20
Musim Kering 2014

Fluk CO2 (g m -2 hari-1)


20
Musim Penghujan 2014 15
Fluk CO2 (g m -2 hari-1)

15
10
10
5
5
0
0
25-Jun 7-Jul 18-Jul
4-Mar 17-Mar 1-Apr
Pengamatan Pengamatan

Saluran lebar 5 m Saluran lebar 3 m Saluran lebar 5 m Saluran lebar 3 m

Gambar 1. Pola fluks CO2 dari saluran drainase di demplot ICCTF di Jabiren,
Kalimantan Tengah, tahun 2014.
Pola fluks metana pada musim penghujan 2014 di saluran drainase lebar 5 m
tampak turun selama tiga kali pengamatan, namun berbeda dengan yang di saluran
drainase lebar 3 m dengan pola meningkat. Fluks CH4 yang cenderung naik di saluran
lebar 3 m terjadi pula pada musim kering 2014 (Gambar 2). Fluks CH4 di saluran lebar 5
m berkisar 3,8 – 34,4 mg CH4 m-2 hari-1 di musim penghujan dan 4,5 – 24,1 mg CH4 m-2
hari-1 di musim kering, sedangkan di saluran lebar 3 m berkisar 1,3 – 43,5 mg CH4 m-2
hari-1 di musim penghujan dan 1,8 – 267,6 g CH4 m-2 hari-1 (Gambar 2).

140 140 Musim Kering 2014


Musim Penghujan 2014
120 120
(mg m -2 hari-1)
(mg m -2 hari-1)

100 100
Fluk CH4
Fluk CH4

80 80
60 60
40 40
20 20
0 0
4-Mar 17-Mar 1-Apr 25-Jun 7-Jul 18-Jul
Pengamatan
Saluran lebar 5 m Saluran lebar 3 m Saluran lebar 5 m Saluran lebar 3 m
Pengamatan

Gambar 2. Pola fluks CH4 dari saluran drainase di demplot ICCTF di Jabiren,
Kalimantan Tengah, tahun 2014.

Pola fluks N2O baik di saluran drainase lebar 5 m ataupun 3 m tampak turun
(Gambar 3). Fluks N2O di saluran drainase bagian utara (lebar 5 m) lebih tinggi daripada
di saluran drainase bagian selatan (lebar 3 m) pada musim penghujan. Kecenderungan
turun fluks N2O dari saluran lebar 5 m terjadi pada musim kering. Fluks N2O di saluran 5
m lebih rendah daripada di saluran 3 m pada musim kering. Fluks N2O di saluran lebar 5
m berkisar 0,1 – 7,7 mg N2O m-2 hari-1 di musim penghujan dan 0,1 – 0,9 mg N2O m-2

267
Prihasto Setyanto et al.

hari-1 di musim kering, sedangkan di saluran lebar 3 m berkisar 0,1 – 1,3 mg N2O m-2 hari-
1
di musim penghujan dan 0 – 1,8 mg N2O m-2 hari-1 (Gambar 3).

4 Musim Penghujan 2014 4 Musim Kering 2014


(mg m -2 hari-1)

3 3

(mg m -2 hari-1)
Fluk N2O

Fluk N2O
2
1
1
0
0 -125-Jun 7-Jul 18-Jul
4-Mar 17-Mar 1-Apr
-2
Pengamatan Pengamatan

Saluran lebar 5 m Saluran lebar 3 m Saluran lebar 5 m Saluran lebar 3 m

Gambar 3. Pola fluks N2O dari saluran drainase di demplot ICCTF di Jabiren,
Kalimantan Tengah, tahun 2014.

Fluks gas rumah kaca di saluran lebar 5 m lebih tinggi daripada di saluran lebar 3
m baik pada musim penghujan maupun pada musim kering. Namun pada pengamatan
ketiga di musim kering (18 Juli 2014), fluks GRK di saluran lebar 3 m sama dengan di
saluran 5 m, dan ada kecenderungan meningkat selama musim kering (Gambar 4). Fluks
GRK di saluran lebar 5 m berkisar 3,1 – 27,8 g CO2-e m-2 hari-1 di musim penghujan dan
0,8 – 7,9 g CO2-e m-2 hari-1 di musim kering, sedangkan di saluran lebar 3 m berkisar 1,5
– 3,8 g CO2-e m-2 hari-1 di musim penghujan dan 0,8 – 8,3 g CO2-e m-2 hari-1 (Gambar 4).

Musim Penghujan 2014 25


Musim Kering 2014
25
(g CO2-e m -2 hari-1)
(g CO2-e m -2 hari-1)

20 20
Fluk GRK
Fluk GRK

15 15

10 10
5 5
0 0
4-Mar 17-Mar 1-Apr 25-Jun
-5 7-Jul 18-Jul
Pengamatan
Pengamatan
Saluran lebar 5 m Saluran lebar 3 m Saluran lebar 5 m Saluran lebar 3 m

Gambar 4. Pola fluks gas rumah kaca di saluran drainase gambut di Jabiren, Pulang
Pisau, Kalimantan Tengah, tahun 2014.

268
Emisi Gas Rumah Kaca dari Saluran Drainase di Lahan Gambut

Emisi Gas Rumah Kaca dari Saluran Drainase

Fluks CO2 di saluran drainase gambut lebar 5 m pada musim penghujan adalah
lebih tinggi daripada di saluran drainase lebar 3 m, yaitu 6,7 g CO 2 m-2 hari-1 pada musim
penghujan dan 2,9 g CO2 m-2 hari-1 pada musim kering (Table 2).

Fluks CH4 di saluran drainase lebar 5 m (bagian utara demplot ICCTF) cenderung
lebih tinggi dibandingkan di saluran drainase lebar 3 m pada musim penghujan, yaitu 1,6
mg CH4 m-2 hari-1, namun di musim kering justru fluks CH4 di saluran drainase lebar 3 m
lebih tinggi daripada di saluran 5 m yaitu 38,2 mg CH4 m-2 hari-1 (Tabel 2).

Tabel 2. Fluks gas rumah kaca di saluran drainase gambut pada musim penghujan 2014
di Jabiren, Kalimantan Tengah.
Musim penghujan Musim kering
Fluks gas rumah
kaca Utara Selatan Utara Selatan
(lebar 5 m) (Lebar 3 m) (lebar 5 m) (Lebar 3 m)
CO2 (g m-2 hari-1) 8,6±5,8 1,9±0,4 4,1±1,7 1,2±0,4
CH4 (mg m-2 hari-1) 13,9±9,0 12,3±9,6 14,2±1,9 52,4±7,9
N2O (mg m-2 hari-1) 1,5±1,1 0,5±0,2 0,5±0,0 0,3±0,2
CO2-e (g m-2 hari-1) 9,4±6,4 2,4±0,7 4,5±1,8 2,6±2,2

Fluks N2O di saluran drainase lebar 5 m cenderung lebih tinggi daripada di saluran
drainase lebar 3 m, yaitu 1,0 mg N2O m-2 hari-1 di musim penghujan dan 0,2 mg N2O m-2
hari-1 di musim kering (Tabel 2). N2O terlarut tinggi dalam saluran yang lebih lebar
dimungkinkan oleh tingginya nitrat dalam saluran drainase yang terdenitrifikasi
menghasilkan N2O.

Emisi gas rumah kaca (GRK) di saluran drainase gambut lebar 5 m umumnya lebih
tinggi daripada di saluran drainase lebar 3 di lahan gambut dari Jabiren, Kalimantan
Tengah, yaitu lebih tinggi 7,0 g CO2-e m-2 hari-1 pada musim penghujan dan 1,9 g CO2-e
m-2 hari-1 (Tabel 2). Berdasarkan luasan saluran drainase dalam demplot di lahan gambut
Jabairen yang berkisar 8%, maka emisi GRK dari saluran drainase dalam satu tahun dapat
dihitung. Bilamana dalam satu hektar luasan gambut 8% digunakan untuk saluran
drainase, maka emisi GRK di saluran drainase lebar 5 m adalah 854±58 kg CO 2-e musim-1
selama musim penghujan dan 410±16 kg CO2-e musim-1 selama musim kering; sedangkan
emisi GRK di saluran drainase lebar 3 m adalah 129±39 kg CO 2-e musim-1 selama musim
penghujan dan 140±12 kg CO 2-e musim-1 selama musim kering. Emisi GRK dari saluran
drainase selama satu tahun adalah 1.263±371 kg CO2-e tahun-1 di saluran lebar 5 m dan
269±81 kg CO2-e tahun-1 di saluran lebar 3m.

Tingginya fluks GRK kemungkinan disebabkan oleh tingginya pH air gambut dan
debit air. Air di saluran drainase lebar 5 m mempunyai pH, kandungan hara kalium, dan

269
Prihasto Setyanto et al.

debit air lebih tinggi daripada di saluran drainase lebar 3 m (Tabel 3). Kemasaman tanah
rendah mengiatkan mikroba dalam menghasilkan gas rumah kaca. Aktivitas mikroba
metanogen dan nitrifikasi tinggi pada pH mendekati netral di tanah mineral (Neue, 1993;
Wang et al., 1993; Granli dan Bockman, 1994).

Tabel 3. Debit air dan beberapa sifat kimia air gambut di saluran drainase di lahan
gambut Jabiren, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Saluran Debit air K Ca Na Mg Fe
drainase pH
(cm3 detik-1) (ppm) (ppm) (ppm) (ppm) (ppm)
Lebar 5 m 608.974 4,15 0,86 1,20 1,26 0,22 0,54
Lebar 3 m 1.187 3,89 0,45 2,30 2,16 0,35 0,51

KESIMPULAN

Fluks gas rumah kaca (GRK) di saluran drainase gambut lebar 5 m relatif lebih
tinggi daripada di saluran drainase lebar 3 m di lahan gambut dari Jabiren, Kalimantan
Tengah. Saluran drainase dengan debit air tinggi dan kemasaman air lebih rendah
cenderung mengemisi gas rumah kaca lebih tinggi daripada saluran dengan debit air
rendah dan kemasaman air tinggi. Emisi GRK di saluran lebar 5 m adalah 1.263±371 kg
CO2-e tahun-1 dan 269±81 kg CO2-e tahun-1 dari saluran lebar 3 m.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Project ICCTF Fase II yang telah
menyediakan dana untuk kegiatan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga diberikan
kepada para teknisi dan analisis di laboratorium Emisi GRK, Balai Penelitian Lingkungan
Pertanian, dan peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah.

DAFTAR PUSTAKA

Balitbangtan. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000. Kementerian


Pertanian. Edisi Desember 2011.
Granli, T., & O.C. Bockman. 1994. Nitrous Oxide from Agriculture. Norwegian J. Agric.
Sci. Suppl. No. 12. p. 1-159.
Hooijer, A., M. Silvius, H. Wosten, and S. Page. 2006. Peat CO 2, Assessment of CO2
emission from drained peatlands in SE Asia. Wetland International and Delft
Hidraulic s Report Q3943.
IAEA.1993. Manual on Measurement of Methane and Nitrous Oxide Emission from
Agriculture. Vienna: International Atomic Energy Agency (IAEA).

270
Emisi Gas Rumah Kaca dari Saluran Drainase di Lahan Gambut

Neue, H.U. 1993. Methane Emission from Rice Field : Wetland Rice Fields May Make A
Major Contribution to Global Warming. BioScience 43(7) : 466-473.
Subiksa, I.G.M. 2013. Peran pugam dalam penanggulangan kendala fisik lahan dan
mitigasi gas rumah kaca dalam system usahatani lahan gambut. Hal. 333-344
dalam prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Wang, Z.P., R.D. DeLaune, P.H. Masscheleyn, and W.H. Patrick. 1993. Soil redox and
pH effects on methane production in a flooded rice soil. Journal Soil Science
Society America 57: 382-385.

271

Anda mungkin juga menyukai