Anda di halaman 1dari 128

Farid Hasan

PREVENTIF HIV/AIDS
MEMBANGUN KETAHANAN KELUARGA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

Editor

Endang Sriani

Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M)

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... 1
DAFTAR ISI.................................................................................................... 2
KATA PENGANTAR...................................................................................... 3

PROBLEMATIKA DAN PRINSIP PENCEGAHAN HIV AIDS


A. Teori, Sejarah, dan Perkembangan kasus HIV/AIDS……………….. 5
B. HIV/AIDS: Problem Medis dan Problem Sosial - Keagamaan…….. 13
C. Prinsip Penularan HIV/AIDS dan Fenomena Gunung Es…………... 19
D. Prinsip Pencegahan dan Upaya Penanggulangan HIV/AIDS………… 24
KELUARGA DALAM PERSPEKTIF ILMU SOSIAL DAN AL-QUR’AN
A. Keluarga dalam Perspektif Ilmu Sosial………………………………. 46
B. Keluarga dalam Perspektif al-Qur’an………………………………… 59
PREVENTIF HIV/AIDS: MEMBANGUN KETAHANAN KELUARGA
DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
A. Proses Pembentukan Ketahanan Keluarga Sebagai Basis Pencegahan
HIV/AIDS……………………………...……………......................... 95
B. Sistem Kepemimpinan dalam Keluarga sebagai Mekanisme Pencegahan
HIV/AIDS……………………………………………………………. 99
C. Pendidikan Karakter Keluarga sebagai Kerangka Pencegahan
HIV/AIDS..………………………………………………………….. 102
D. Paradigma Relasi Sosial Keluarga sebagai Paradigma
Pencegahan HIV/AIDS……………………………………………... 108
E. Etika Relasi Sosial Keluarga sebagai Upaya Pencegahan
HIV/AIDS…………………………………………………………… 115
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 125
INDEX..............................................................................................................128
TENTANG PENULIS……………………………………………………….. 129
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, Tuhan seluruh
agama, pencipta manusia, makhluk yang paling sempurna dari seluruh makhluk-
makhlukNya, dengan segala kesempurnaan Nya. Yang telah memberikan rahmat
dan hidayah Nya kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan
penulisan buku ini.
Tak lupa salawat serta salam hamba haturkan kepada Nabi besar
junjungan nabi Muhammad SAW, karena beliaulah sang penyampai wahyu,
sumber inspirasi dari buku ini.
Buku ini membahas preventif HIV/AIDS melalui ketahanan keluarga
berbasis al-Quran. Membangun sistem ketahanan keluarga sebagai benteng
pencegahan dari penyebaran virus HIV/AIDS. Objek material dalam buku ini
adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai keterkaitan tematik dengan
pencegahan HIV/AIDS, dan keluarga. Sementara objek formalnya adalah teori
sosial tentang keluarga.
Buku ini mencoba untuk mendeskripsikan dan menganalisis ayat-ayat
dalam Al-Qur’an yang mengetengahkan pembahasan relevansional dengan
pencegahan HIV/AIDS dengan menggunakan metode tafsir tematik. Sumber
yang digunakan dalam buku ini adalah berasal dari data primer (primary
resources) dan sekunder (secondary resources). Sumber primernya adalah Al-
Qur’an beserta kitab-kitab tafsir. Sedangkan data sekundernya buku-buku dan
artikel-artikel mengenai tema yang menjadi objek penelitian ini, yaitu
pencegahan HIV/AIDS secara umum, dan secara khusus dalam perspektif
pemikir Muslim, dan juga buku-buku serta artikel-artikel ilmiah yang terkait
dengan pembahasan masalah keluarga, relasi sosialnya dalam pandangan umum
sosiologis dan bidang Islamic studies.
Dalam konteks HIV/AIDS keluarga menjadi sebuah sistem pertahanan
(imunitas) yang mempunyai fungsi seperti yang dihadapi oleh sistem sosial yang
lain yaitu menjalankan tugas-tugas, ingin meraih tujuan yang dicita-citakan,
integrasi dan solidaritas sesama anggota, serta memelihara kesinambungan
keluarga dengan menjaga diri dan keluarga dari virus HIV/AIDS.
Terlepas dari hal itu, penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada
pihak-pihak terkait yang telah membantu proses penulisan buku ini. Ucapan
terimakasih penulis haturkan kepada istri tercinta yang selalu mensupport untuk
terus berkarya. Ucapan terima kasih juga tak lupa penulis haturkan kepada
ibunda dan kakak-kakak tercinta yang tak henti-hentinya memberikan doa,
support dan kasih sayangnya. Untuk Bilqis Kaylila Nirwasita dan Raka Bumi
Dzilchudhori, terima kasih telah hadir untuk mewarnai hari hari bahagia kami.
Kepada almarhum ayahanda Drs. Chudhori, M.Ag semoga selalu mendapatkan
limpahan rahmat, ampunan dan kasih sayangNya.
Ucapan terima kasih sebesar-sebesarnya penulis haturkan kepada LP2M
IAIN Salatiga yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menerbitkan karyanya. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada bapak Dr.
Benny Ridwan, M. Hum, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab, dan
Humaniora, dan Ibu Tri Wahyu Hidayati selaku Kaprodi IAT yang tak henti-
hentinya memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis untuk terus
berproses, sehingga buku ini dapat terbit dan hadir di tengah-tengah para
pembaca. Semoga hadirnya buku ini dapat menebar manfaat, khususnya bagi
penderita HIV/AIDS atau orang yang hidup bersama penderita.
Bagi penulis, buku ini merupakan hasil ijtihad intelektual yang tentunya
masih jauh dari kata “sempurna”. Oleh karena itu penulis sangat berharap
adanya masukan dan kritikan dari para pembaca dalam rangka memajukan
diskursus kelimuan Islam. Kepada Allah seluruh Ijtihad ditujukan dan
kepadaNya pula seluruh manusia dikembalikan. Wallahu a’lam Bisshawab.
BAGIAN I
PROBLEMATIKA DAN PRINSIP PENCEGAHAN HIV AIDS

A. Teori, Sejarah dan Perkembangan Kasus HIV/AIDS


HIV/AIDS merupakan sebuah fenomena luar biasa yang terjadi dalam
dunia modern. Penyakit yang menghancurkan sistem pertahanan tubuh manusia
dan kehidupan sosial seseorang. Bermula dari sebuah penyakit yang merebak di
kota besar Amerika pada akhir dasawarsa 1970-an, pengidap virus juga
mendapatkan stigma sosial dari masyarakat karena dianggap sebagai sebuah
penyakit yang berawal dari perilaku yang melanggar norma-norma sosial.
Sampai hari ini, stigma negatif tersebut masih melekat di tengah masyarakat
dikarenakan edukasi yang minim, hal tersebut membuat mereka yang tidak
berperilaku beresiko merasa aman dari ancaman virus yang mematikan ini.1
Berdasarkan data dari KPA Nasional, bahwa setiap menit empat orang
di dunia dalam rentang usia 15-24 tahun terinfeksi virus HIV. Berdasarkan skala
global pada tahun 2012 lebih dari 34 juta orang saat ini hidup dengan HIV/AIDS
dan terdapat 3,3 juta orang yang terpapar berada pada usia di bawah 15 tahun.2
Fenomena dramatik HIV/AIDS di atas tidak hanya berlaku dalam ruang
domestik Amerika atau Afrika saja, namun sudah mengglobal di hampir seluruh
penjuru dataran benua. Indonesia menjadi salah satu negara dengan penduduk
pengidap HIV/AIDS yang cukup banyak. Berbagai wacana penanggulangan
HIV/AIDS pun lahir dan bergulir dengan cepat di berbagai ajang perbincangan
ilmiah, bahkan dalam ranah kebijakan pemerintah. KPA sebagai lembaga
pemerintah pada akhirnya dibentuk sebagai langkah konkrit pemerintah
Indonesia, di bawah Kementerian Kesehatan RI, dalam melakukan program-
program penanggulangan HIV/AIDS. Solusi atas penanggulangan HIV AIDS

1
Alant Cantwell, MD., dkk., Bom Aids: Ancaman Senjata Biologi yang Tidak Disadari, terj.
Oleh Ahmad Said, (Semarang: Yayasan Nurani, 2008), hlm. vii.
2
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Rangkuman Eksekutif Upaya Penanggulangan
HIV/AIDS di Indonesia 2006-201; Laporan 5 Tahun Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden
No. 75/2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, (2011).
tentu tidak hanya selesai dengan pendekatan medis namun juga pendekatan
sosial, mengingat problem sosial ditimbulkan akibat HIV AIDS seperti stigma
dan diskriminasi di tengah masyarakat.
Sebagai salah satu penyakit yang hari ini belum ditemukan obatnya,
menjadikan HIV/AIDS sebagai salah satu ancaman besar umat manusia.
Pasalnya, berdasarkan data yang dirilis oleh WHO (World Health Organization)
tidak kurang jutaan manusia meninggal setiap tahunnya disebabkan oleh AIDS.
Fenomena ini menjadi ironi kemanusiaan yang berlebih manakala menilik secara
lebih mendalam akan asal-usul penyakit ini. Berbagai kontroersi dan antahan
bukti-bukti medis menambah kengerian dan polemik kehidupan manusia.
Urgensi penyelesaian masalah HIV AIDS menjadi hal yang tak terbantahkan.
Hingga kini para peneliti dan ilmuan tengah berlomba untuk menemukan cara
yang paling efektif menanggulangi masalah HIV AIDS. Pasalnya, sebagaimana
dikemukakan di awal bahwa hingga saat ini, para tenaga medis hanya mampu
mengandalkan sistem pencegahan (preventif) karena belum mampu
mengupayakan penyembuhan (kuratif).
Problem selain belum ditemukannya obat yang cocok untuk penyakit
AIDS ialah sifatnya yang sangat lambat dalam pertumbuhan dan
perkembangannya, menyebabkan kesusahan yang cukup berarti

1. Pengertian HIV/AIDS
HIV merupakan akronim dari Human Immunodeficiency Virus. Virus HIV
merupakan virus yang menyebabkan berbagai penyakit komplikasi yang
kemudian disebut sebagai AIDS (Acquired Immunodefiency Syndrome).3
Perbedaan di antara keduanya yaitu setiap orang yang berada dalam fase AIDS
bisa dipastikan yang bersangkutan terinfeksi virus HIV, namun tidak semua
orang dengan terinfeksi virus HIV menderita penyakit AIDS dikarenakan

3
Joel Gallant, 100 Tanya Jawab Mengenai HIV dan AIDS, (Jakarta: PT. Indeks, 2010), hlm. 16.
ketahanan tubuh atau imun manusia yang berbeda-beda.4 AIDS muncul berupa
berbagai penyakit komplikasi yang memberat dikarenakan system imun yang
lemah dikarenakan virus HIV telah menyerang sistem kekebalan tubuh manusia,
jika tidak diobati dengan menggunakan ARV atau peredam pergerakan virus
maka fase menuju AIDS kisaran lima hingga sepuluh tahun. Sistem kekebalan
tubuh seseorang bisa menjadi sangat lemah dengan tambahan sanksi sosial dari
masyarakat yang semakin memperburuk keadaan psikis dan kesehatan sang
penderita.5
HIV masuk ke dalam kategori retrovirus, sebuah virus yang memiliki
enzim (protein) yang mampu mengubah RNA (Ribonucleic Acid),6 materi
genetiknya menjadi DNA (Deoxyribonucleic Acid).7 Jenis ini disebut retrovirus
yang mampu mengubah urutan normal yaitu DNA diubah menjadi RNA. Pasca
menginfeksi RNA, virus HIV kemudian berubah menjadi DNA oleh enzim
reverse transcriptase. DNA tersebut kemudian mengalami infiltrasi ke sub-sub
bagian DNA sel-sel manusia secara bertahap. Proses ini terus mengalami
perkembangan hingga melahirkan jenis virus baru yang menginfeksi daya tahan
tubuh manusia. Sel-sel baru yang telah terinfeksi menjadi rentan akan serangan
berbagai penyakit. Meskipun tidak semuanya virus-virus tersebut menyebar,
pasalanya terdapat beberapa kasus yang menunjukkan bahwa virus-virus tersebut
dapat bersembunyi di dalam sel-sel CD4. Proses inilah yang menyebabkan virus
HIV sulit untuk dideteksi dan memiliki daya tahan yang luar biasa di dalam
sistem organisme sel manusia. Para tenaga ahli kesehatan di bidangnya telah
merekomendasikan para pengidap HIV untuk mengkonsumsi obat ARV
sepanjang hidupnya agar memperlambat pertumbuhan virus dalam tubuh. Jika
penderita tidak melakukan pengobatan infeksi HIV menyebabkan kerusakan
4
Ibid., hlm. 20.
5
Suzana Murni dkk, Hidup Dengan HIV AIDS (Jakarta Pusat; Yayasan Spiritia, 2016) hlm. 7
6
RNA (Ribonuleic Acid) adalah satu dari tiga makro molekul utama (bersama dengan DNA dan
protein) yang berperan penting dalam segala bentuk kehidupan. Ibid.
7
DNA (Deoxyribonucleic Acid) adalah sejenis asam nukleat yang tergolong biomolekul utama
penyusun berat kering setiap organisme, di dalam sel, DNA umumnya terdapat di dalam inti sel.
Ibid.
yang semakin parah dan semakin hebat terhadap sistem kekebalan tubuh,
sehingga menyebabkan penyakit semakin berkembang dan bisa berakibat fatal
seperti kematian.8
Sebagai virus yang merusak sistem kekebalan tubuh, HIV mampu
menginfeksi sel-sel manusia, yang menempatkan limfosit CD4 (juga dikenal
sebagai sel CD4, sel T-pembantu, atau sel pembantu) sebagai target paling utama
penyerangan. Hal ini disebabkan karena sel darah putih sebagai sistem
pertahanan manusia mengandung sel CD4 yang bekerja untuk melindungi tubuh
manusia dari serangan infeksi firus, bakteri, jamur, dan parasit serta beberapa
jenis kanker. Maka virus HIV menargetkan sel CD4 agar mampu merusak sel-sel
pertahanan tubuh manusia untuk dapat menginfeksi ke seluruh saluran sel-sel
lainnya. Pada periode waktu yang panjang, jumlah sel-sel CD4 menurun dan
mengakibatkan daya imunitas tubuh manusia melemah. Walaupun diperlukan
waktu bertahun-tahun, jumlah CD4 akhirnya menjadi sangat rendah sehingga
jumlah sel ini tidak memadai untuk melawan infeksi yang menyebabkan gejala
atau komplikasi muncul. Kecepatan penurunan jumlah CD4 bervariasi dari satu
orang ke orang yang lain, dan tergantung pada sejumlah faktor, termasuk ciri-ciri
genetik, ciri-ciri galur virus, dan jumlah virus dalam darah (jumlah virus).9
Di samping merusak sistem kekebalan tubuh, HIV dapat mempengaruhi
secara langsung kesehatan organ badan yang lain, seperti sistem syaraf dan
ginjal. HIV dapat juga menurunkan berat badan, berkeringat di malam hari, dan
diare. Ketika kematian karena AIDS banyak terjadi, sering dikatakan bahwa
orang tidak meninggal karena HIV itu sendiri, kerena salah satu dari
komplikasinya, seperti kanker atau infeksi. Walaupun pada umumnya mungkin
hal itu secara teknis sepenuhnya benar, infeksi HIV masih merupakan masalah

8
Ibid., hlm. 16.
9
Ibid., hlm. 19-20.
yang mendasari yang menyebabkan kematian akibat dari AIDS.10 Jadi AIDS
adalah penyakit tahap lanjut dari virus HIV.11

2. Teori Asal Usul HIV/AIDS


Ada beberapa teori tentang asal usul adanya HIV/AIDS, di ataranya
Teori Kera Hijau, Teori Chimpanse, Teori Pencemaran Vaksin, dan Teori
Penyakit Buatan Manusia.

Pertama, Teori Kera Hijau


Menurut Robert Gallo, seorang ilmuwan medis yang bergerak di bidang
penanganan AIDS di dunia, dan menjadi rujukan beberapa ahli ahli virus kanker
terpandang dan ahli edimologi pemerintah AS, menurutnya HIV bermula dari
kera hijau di Afrika. Secara resmi, virus kera tersebut dinyatakan telah
mengalami “lompatan spesies” dan masuk ke dalam tubuh bangsa kulit hitam
yang bermigrasi ke Haiti dan Manhattan. Pasca virus tersebut merebak di akhir
tahun 1970-an, ia secara singkat menyebar ke jutaan penduduk lainnya melalui
transfusi darah, jarum suntik serta hubungan seks bergantian dan luka kelamin
atau seperti yang dikatakan para ahli.12
Teori ini meskipun banyak diyakini oleh beberapa kalangan
masyarakat, namun disangsikan oleh para ahli biologi molekular Jepang. Mereka
menemukan bahwa tidak ada hubungan genetik secara pasti antara virus kera
hijau dengan HIV. Silang pendapat ini telah menyebabkan polemic yang cukup
serius bagi permasalahan HIV/AIDS hingga hari ini.13

Kedua, Teori Kera Chimpanse

10
Ibid.
11
Ibid., hlm. 21.
12
Cantwell, Bom Aids, hlm. 9-10.
13
Ibid., hlm. 11.
Teori kedua ini menyatakan bahwa sejarah munculnya HIV ditunjukkan
dengan HIV-1 sebagai bentuk HIV yang paling populer di dunia. Pertama kali
menginfeksi manusia di sub-Sahara Afrika pada kurun pertama abad ke-20.
Terjadi penularan Virus HIV dari simpanse ke manusia melalui darah simpanse
ketika melakukan pemburuan dan penyembelihan daging, yang menyebabkan
penularan melalui darah ke area kulit yang terbuka. Tidak terjadi penyebaran
HIV secara signifikan di wilayah Afrika selama bertahun-tahun disebabkan
sistem transportasi yang belum terbentuk dengan baik.14
Penemu teori ini adalah tim peneliti Universitas Alabama, diketuai oleh
Beatrice Hann. Mereka melakukan penelitian terhadap tiga simpanse di hutan
Afrika. Hasil penelitian tersebut dilaporkan oleh Lawrence K.Altman, seorang
dokter penulis di New York Times.15

Ketiga, Teori Pencemaran Vaksin


Teori ini mengatakan bahwa virus HIV berasal dari vaksin polio
terkontaminasi dengan virus binatang seperti kera dan simpanse, yang
disuntikkan kepada penduduk Afrika pada akhir dasawarsa 1950-an. Edward
Hooper menjelaskan dengan detail bagaimana vaksin polio dibuat dengan
menggunakan ginjal-ginjal kera (dan mungkin juga chimpanse) dan bagaimana
vius nenek moyang HIV dapat melakukan lompatan spesies (melalui vaksin
tersebut) yang menimbulkan AIDS untuk pertama kalinya di Afrika. Bahkan
beberapa peneliti berpendapat bahwa lebih besar kemungkinannya yang
bertanggung jawab atas timbulnya AIDS di Afrika di tahun 1980-an adalah
berbagai program vaksinasi (imunisasi) yang disponsori WHO, terutam program
vaksinasi cacar.16 Teori ketiga ini banyak dibantah oleh para dokter dan
perusahaan-perusahaan obat. Robert Gallo, sebagai penemu HIV menyatakan

14
Gallant, 100 Tanya Jawab Mengenai HIV, hlm. 18.
15
Cantwell, Bom Aids, hlm. 12.
16
Ibid., hlm. 16-19.
bahwa vaksin cacar dapat mengakibatkan bibit penyakit yang tidur seperti HIV
(virus AIDS).17

Keempat, Teori Penyakit Buatan Manusia


Pada bulan Oktober 2004, ahli biologi dan ekologi Wangari Mathai
mendapat Hadiah Nobel untuk perdamaian. Ia adalah wanita Afrika pertama
yang menerima penghargaan yang didambakan banyak orang itu. Pada acara
penerimaan hadiah, ia mengejutkan para wartawan dengan mengumumkan
bahwa dalam pandangannya, AIDS adalah sebuah penyakit ciptaan manusia.
“Sebagian orang berkata AIDS berasal dari kera, dan saya meragukan itu karena
kita berdampingan dengan kera sejak zaman kuno. Sebenarnya virus HIV
diciptakan oleh para ilmuwan untuk perang biologi,” katanya.18
Eksperimentasi-eksperimentasi dengan menggunakan manusia sebagai
kelinci percobaan adalah media pencemaran vaksin dan rekayasa genetika untuk
menciptakan virus-virus baru yang sangat berbahaya banyak sekali terjadi di
Amerika dan Barat.19
Teori senjata biologi ini banyak diupayakan untuk dirobohkan dengan
menuduhnya sebagai propoganda komunis dan tidak logis, hipotesis ini
dianggap sangat aneh dan tidak ilmiah. Kebanyakan dokter dan pakar
mikrobiologi mempertahankan teori kera hijau sebagai sumber AIDS.20

3. Sejarah dan Perkembangan Kasus HIV AIDS


Sejarah atau asal usul penyebaran HIV/AIDS dimulai pada tahun 1979
di Amerika Serikat yang diketahui ditemukan oleh dua orang lelaki dengan
keadaan mengalami Pneumocystis Carini dan Sarcoma Kaposi. Kemudian di

17
Ibid.
18
Ibid., hlm. 22-23.
19
Ibid., hlm. 23.
20
Ibid., hlm. 24.
tahun 1981 ditemukan seorang laki laki dengan kerusakan sistem imun atau
kekebalan tubuh.21
Di Inggris dan juga terjadi di Amerika Utara, epidemik pertama kali
merebak pada kelompok gay (homoseksual), selanjutnya penyebaran virus juga
terjadi terhadap pemakai narkoba yang memanfaatkan injeksi (jarum suntik)
non-steril yang digunakan secara bergantian. HIV juga menginfeksi kalangan
heteroseksual yang berganti-ganti pasangan. Perilaku seks bebas dengan tanpa
menggunakan alat kontrasepsi berupa kondom merupakan media utama
transmisi penularan virus HIV/AIDS. Hasil persentase prevalensi HIV dari
survey yang pernah dilakukan pada beberapa kategori, seperti, Pekerja Seks
Komersial mencapai 80-90%, 30% terjadi pada konsumen laki-laki, 30% lagi
pada kelompok berobat di klinik PMS (Penyakit Menular Seksual), sementara
pendonor darah mencapai 10%, dan 10% lainnya terjadi pada kelompok wanita
yang menjalani perawatan di klinik antenatal. Tercatat pada pertengahan tahun
2018 total pengidap HIV di seluruh dunia diperkirakan mencapai lebih dari 38
juta jiwa.22
Sementara itu, Men Sex Men (MSM) Report World Bank pada tahun
2011 merilis sebuah pernyataan bahwa budaya seks guy (antar laki-laki) menjadi
salah satu kelompok yang rentan terhadap penyebaran HIV, hubungan seks
bebas serta tidak aman menjadi pemicunya. Misalnya, pada tahun 2008, jumlah
penduduk Meksiko terinfeksi HIV mencapai angka 25,60%, Thailand 28,3%,
kemudian disusul oleh Jamaika 31,80%. Sementara penelitian lain menjelaskan
kasus yang terjadi seperti di Indonesia mencapai angka 4%, Banglades,
Srilangka dan Nepal mencapai angka 7,5%.23
Di Indonesia sendiri, kasus HIV untuk pertama kalinya diketahui sejak
April 1987 di Bali yang merupakan warga negara Belanda. Jumlah akumulasi
penderita HIV tercatat dari tahun 1987 hingga 2011 terjadi di beberapa provinsi
21
UNAIDS, World AIDS Day Report, 2011. Pdf diunduh dari www.unaid.org.
22
Ibid.
23
Ibid.
besar di Indonesia, yaitu 368 (73,9%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh (33)
provinsi di Indonesia. Jumlah ini menjadi catatan penting adanya lonjakan yang
cukup signifikan berdasarkan hasil laporan data kasus HIV/AIDS di Indonesia
yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.24
Jumlah penderita HIV/AIDS setiap tahunnya terus mengalami
peningkatan sangat signifikan antara tahun 2009 hingga 2010. Fenomena
lonjakan kurva ini tidak cukup mengherankan, pasalnya ini disebabkan oleh
perbaikan sistem pendataan yang dilakukan pemerintah menggunakan teknologi
mutakhir. Sistem pelaporannya pun menjadi sangat mudah, ketika ada seorang
warga yang terindikasi terinfeksi HIV/AIDS. Proses kerjasama antara
pemerintah dan masyarakat pun meningkat sehingga tingkat populasi kelompok
berisiko menjadi lebih mudah dijangkau dan dimonitor. Sementara itu, satu
tahun berikutnya, jumlah penderita HIV/AIDS mengalami penurunan kendati
tidak terlalu signfikan. Sebagaimana dilaporkan bahwa terjadinya penurunan
angka kasus HIV/AIDS ini dimotori oleh sebagian penderita yang telah
meninggal, serta efek positif dari system CUP (Condom Use 100 Persen) yang
mulai diperkenalkan oleh pemerintah dan beberapa komunitas relawan
HIV/AIDS.25
Kasus HIV/AIDS secara kumulatif sebagaimana dilaporkan hingga
2011 mencapai 76.879 kasus HIV dan 29.879 AIDS. Jumlah ini tersebar di
berbagai provinsi besar di Indonesia, menempati kasus HIV yang tertinggi
adalah DKI Jakarta dengan angka 19.899 kasus, disusul oleh Jawa Timur 9.950
kasus dan Papua 7.085 kasus. Di bawah itu ada Jawa Barat dengan 5.741 kasus
dan Sumatera Utara 5.027 kasus. Sementara itu, tidak berbeda jauh jumlah
positif AIDS tertinggi berada di wilayah DKI Jakarta dengan 5.177 pangidap,
Jawa Timur sebesar 4.598 kasus. Sementara Papua dengan 4.449 kasus, Jawa
Barat dan Bali keduanya secara berurutan 3.939 dan 2.428 kasus. Menariknya,
24
Statistik Kasus HIV/AIDS, Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI. File PDF diunduh dari
www.aidsindonesia.or.id dan www.bkkbn.go.id pada 20 Maret 2019.
25
Ibid.
secara prosentasi jumlah terkonfirmasi kasus AIDS kaum laki-laik jauh lebih
tinggi dengan angka 70,8% sementara perempuan hanya 28,2%. Kendati
tingginya angka terkonfirmasi positif HIV AIDS di Indonesia, namun data tahun
2011 menunjukkan bahwa angka kematian (Case Fatality Rate) turun hingga
2,4%. Sementara itu, kasus HIV pada 2013 tercatat 127.427 orang yang
teridentifikasi HIV dari seluruh Indonesia. Dan dari kelompok umur maka umur
25-49 merupakan umur yang paling produktif sekaligus paling rawan terinfeksi
HIV, dan yang paling memprihatinkan adalah jika dilihat dari pekerjaan orang
yang terinfeksi, bahwa yang tertinggi nomor dua adalah pekerjaan ibu rumah
tangga setelah pekerjaan pelaut.26

B. HIV/AIDS: Problem Medis dan Problem Sosial - Keagamaan


Terdapat sebuah adagium bahwa mencegah lebih baik daripada
mengobati. Petuah bijak ini menurut penulis sangat tepat digunakan dalam
konteks permasalahan HIV/AIDS. Tidak hanya disebabkan karena belum
adanya obat yang benar-benar bisa menyembuhkan penyakit virus HIV/AIDS.
Hingga saat ini dunia medis hanya menyediakan terapi ARV yang berfungsi
sebagai penghambat pertumbuhan virus sehingga manusia yang terpapar virus
HIV bisa menjaga ketahanan tubuhnya. Maka dari itu pencegahan virus HIV
menjadi hal yang sangat penting, terutama mengenai kasus stigma negatif
terhadap penderitanya. Selain menjadi permasalahan medis-kesehatan, HIV
telah menjadi permasalahan sosial-keagamaan.
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau kemudian lebih dikenal
dengan istilah AIDS merupakan jenis penyakit yang dipicu oleh infeksi virus
HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang menyerang system kekebalan
tubuh manusia.27 Cakupan atau sasaran virus ini sangat luas, bahkan hampir
Ibid.
26

27
Watts DH, “Human Immnunodeficiency Virus”, dalam: James DK, Steer PJ, Weiner CP,
Gonik B (editor), High Risk Pregnancy Management Options, edisi ke-3, (USA: Saunders
Elsevier; 2006), hlm. 620-35. Sweet RL, Minkoff H. “Maternal Infection, Human
Immunodeficiency Virus Infection, and Sexually Trasmitted Diseases in Pregnancy”, Reece
semua manusia berpotensi terserang virus ini, seperti wanita dan anak-anak.
Karena sifatnya yang sangat cepat menular (contagious) hingga menyebabkan
kematian tidak kurang dari 20 juta orang meninggal dunia setiap tahunnya.28
Kurang lebih 40 juta orang dewasa berusia 15-45 tahun secara kumulatif
hingga saat ini telah terinfeksi virus HIV. Contoh kasus yang cukup
mencengangkan ialah pada tahun 2003 setidaknya terdapat 700 ribu bayi baru
lahir telah terinfeksi virus HIV.29
Perhatian dunia kesehatan hari ini menempatkan permasalahan HIV
AIDS sebagai penyakit luar biasa yang membutuhkan penanganan ekstra.
Publik dunia terus berupaya dalam rangka menyelesaikan permasalahan HIV
AIDS dengan mengembangkan terapi antiretrovirus seperti highly active
antire-troviral therapy (HAART). Cara-cara semacam inilah yang hingga saat
ini diklaim paling efektif hingga ditemukan obat yang cocok untuk
menyembuhkan pasien dari penyakit AIDS.
Karena sifatnya yang meluas itulah, saat ini organisasi kesehatan
dunia (WHO) telah menetapkan penyakit HIV AIDS sebagai pandemi
(penyakit global). Tercatat sejak pertama kali ditemukan virus ini hingga
November 1996, tercatat sekitar 8.400.000 kasus ditemukan di seluruh dunia
yang terbagi atas orang dewasa (6,7%) dan anak-anak (1,7%). Sementara itu
di Indonesia sendiri sebagaimana dirilis oleh Diretorat Jenderal P2M dan PLP
Departemen Kesehatan RI bahwa total keseluruhan hingga 1 Mei 1998
mencapai 685 orang teridentifikasi telah terjangkit HIV AIDS yang tersebar di
23 provinsi Indonesia.30

EA, Hoobins JC (editor), Clinical Obstetrics the Fetus and Mother. Edisi ke-3,
(Massachusetts: Blackwell Publishing, 2007), hlm. 885-930.
28
Goering RV, Dockrell HM, Zuckerman M, Walekin D, Roitt IM, Mims C, et al. Medical
Microbiology. Edisi ke-4, (China: Mosby Elseiver, 2008), hlm. 261-86.
29
Tripathi R, Tyagi S, Chanchal, “HIV in Obstetrics and Gynaecology” dalam: Gandhi G, Metha
S, Batra S, (editor), Infection in Obstetrics and Gynaecology (India: Jaypee Brothers Medical
Publishers, 2006), hlm. 34-55.
30
Ibid.
Sementara, pada tahun 1987 jumlah penderita AIDS di Indonesia baru
ditemukan 5 kasus sebagaimana dilansir oleh Komisi Penanggulangan AIDS
(KPA) Nasional. Meskipun dalam rentang sepuluh tahun pertama hanya
bertambah menjadi 44 kasus, namun sejak 2007 jumlah terkonfirmasi AIDS
di Indonesia mengalami ledakan yang luar biasa menjadi 2.947 penderita. Hal
ini merupakan pencapaian yang sangat memprihatinkan. Bahkan dua tahun
kemudian jumlah kasus HIV AIDS di Indonesia telah mencapai angka 17.699
jiwa dan sebanyak 3.586 orang meninggal dunia.
Di Indonesia pada tahun 2014 terdapat 501.400 kasus HIV/AIDS.
Penderita HIV/AIDS sudah terdapat di 32 provinsi dan 300 kabupaten/kota.
Penderita ditemukan terbanyak pada usia produktif, yaitu 15-29 tahun.
Padahal, pengurangan kasus HIV/AIDS merupakan salah satu target
Millennium Development Goals (MDGs).31 Diperkirakan 40 ribu kasus baru
muncul tiap tahunnya, kasus ibu-ibu dan anak yang tertular dari keluarganya
dikarenakan suami melakukan perilaku beresiko menjadi kasus yang banyak
terjadi.
Data jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia pada dasarnya
bukanlah merupakan gambaran jumlah penderita yang sebenarnya. Pada
penyakit ini berlaku teori “Gunung Es“ di mana penderita yang kelihatan
hanya sebagian kecil dari yang sesungguhnya. Untuk itu WHO
mengestimasikan bahwa di balik 1 penderita yang terinfeksi telah terdapat
kurang lebih 100-200 penderita HIV yang belum diketahui.32
Keberadaan virus AIDS sendiri bisa ditemukan dalam cairan tubuh
manusia, paling banyak ditemukan pada darah, cairan sperma dan cairan
vagina. Pada cairan tubuh lain juga bisa ditemukan, misalnya cairan ASI,
tetapi jumlahnya sangat sedikit. Sementara, penularannya yaitu sejumlah 75-

31
Nurul Asfiyah, “Pencegahan Penularan HIV/AIDS melalui Penguatan Budaya”, dalam
“HUMANITY”, Volume 6, (Malang: UMM, Nomor 2, Maret 2011), hlm. 117.
32
Fizidah A. Siregar, Pengenalan dan Pencegahan AIDS (Medan: Fakultas Kesehatan
Masyarakat USU, digitized by USU Digital Library, 2004), hlm. 1.
85% penularan terjadi melalui hubungan seks 5-10% diantaranya melalui
hubungan homoseksual), 5-10% akibat alat suntik yang tercemar, terutama
pada pemakai narkotika suntik, 3-5% melalui transfusi darah yang tercemar.
Infeksi HIV sebagian besar (lebih dari 80%) diderita oleh kelompok usia
produktif (14-49 tahun) terutama laki-laki, tetapi proporsi penderita wanita
cenderung meningkat. Infeksi pada bayi dan anak, 90% terjadi dari ibu yang
mengidap HIV. Sekitar 25-35% bayi yang dilahirkan oleh Ibu pengidap HIV
akan menjadi pengidap HIV, melalui infeksi yang terjadi selama dalam
kandungan, selama proses persalinan dan melalui pemberian ASI. Dengan
pengobatan antiretroviral pada ibu hamil trimester terakhir, risiko penularan
dapat dikurangi menjadi hanya 8%.33
Salah satu cara penularan HIV AIDS disebabkan oleh hubungan seks
yang tidak aman, virus HIV akan menyebar terhadap mereka yang memiliki
perilaku beresiko. Hal ini memungkinkan terjadinya penyebaran virus kepada
anggota keluarga baik kepada istri atau suami melalui hubungan seksual, dan
sangat besar kemungkinan penularan bisa terjadi kepada bayi melalui ASI
dari ibu yang mengidap HIV. 34
Penjelasan di atas menegaskan bahwa sesungguhnya HIV/ AIDS
bukan sekadar problem medis-klinis, namun ia adalah problem sosiologis.
Dalam Undang-Undang no. 10 tahun 1992 tentang perkembangan
kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera, bahwa kebijakan
pembangunan keluarga sejahtera diarahkan terwujudnya kualitas keluarga
yang bercirikan kemandirian dan ketahanan keluraga sebagai potensi sumber
daya manusia dalam lingkungan hidup untuk mewujudkan pembangunan
yang berkelanjutan. Untuk mewujudkannya diperlukan pendewasaan usia
perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, serta
peningkatan kesejahteraan keluarga.35
33
Asfiyah, Pencegahan Penularan HIV/AIDS, hlm. 118.
34
Ibid
35
Ibid., hlm. 119.
Pembangunan keluarga sejahtera dalam pelaksanaannya harus mampu
menangkal segala tantangan baik bersifat fisik material maupun fisik
psikis  mental spiritual. Akibat dari kemajuan teknologi dan efek globalisasi
keluarga sering terjadi vakum moral, disorganisasi keluarga, sehingga terjadi
penyimpangan sosial, penyelewengan nilai-nilai luhur dan akibatnya virus
HIV/AIDS menyebar pada keluarga dari berbagai kelas sosial. Oleh karena
itu keluarga harus dapat meningkatkan ketahanan keluarga dan memberikan
dorongan agar dapat melaksanakan fungsi-fungsi keluarga secara utuh.
Ciri khas keluarga sejahtera ditunjukkan oleh kualitas keluarga yang
ditandai dengan kemandirian, ketahanan keluarga dan kemandirian keluarga.
Yaitu kondisi suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta
mengandung kemampuan fisik materiil, fisik psikis dan mental spiritual guna
hidup mandiri dan mengembangkan diri keluarganya untuk hidup harmonis
untuk meningkatkan kesejahteraan lahir dan kebahagian batin. Berbagai
fungsi keluarga adalah (a) fungsi keagamaan, (b) fungsi sosial budaya, (c)
fungsi kasih sayang, (d) fungsi perlindungan, (e) fungsi sosialisasi
pendidikan, dan (f) fungsi reproduksi, serta (g) fungsi ekonomi, dan (h) fungsi
pelestarian lingkungan. Dalam fungsi sosial budaya ini, masing-masing orang
mempunyai tanggung jawab terhadap orang lain, sebagai sesama anggota dari
sebuah komunitas (masyarakat).36
Banyak orang percaya bahwa penyakit AIDS lebih disebabkan faktor-
faktor humans behavior yaitu perilaku manusia itu sendiri. Perilaku berganti-
ganti pasangan dan jarum suntik narkoba menjadi pemicu utama HIV/AIDS.
Ini semua sangat dipengaruhi oleh hilangnya spiritualitas masyarakat pada
masa sekarang. Oleh karena itu, untuk pencegahan terhadap penyakit ini perlu
ditunjang oleh basis spiritual yang mengakar dalam suatu masyarakat. Kasus-
kasus HIV/AIDS di Indonesia, dengan mayoritas penduduknya adalah
Muslim, menjadi sangat relevan apabila basis sosiologi-keagamaan dijadikan

Ibid.,hlm 119.
36
sebagai kerangka berpikir tanpa menafikan peran agama lain dalam upaya
penaggulangan HIV AIDS di Indonesia.
Dr. Farid Esack seorang Muslim progresif asal Afrika Selatan,
memberikan beberapa argumen mengapa pendekatan agama terhadap masalah
HIV/AIDS ini menjadi sesuatu yang sangat penting. Menurutnya, pendekatan
agama terhadap masalah HIV/AIDS sangat penting karena empat alasan:
Pertama, agama akan selalu memainkan peranan penting di setiap bagian
masyarakat, khususnya di Indonesia sebagai negara yang memiliki basis kultural
agama yang kuat.
Kedua, masjid-masjid, para imam, dan komunitas-komunitas berbasis
agama masih dianggap sebagai rujukan umat yang paling bisa dipercaya oleh
masyarakat, tidak hanya dalam masalah spiritualitas, tetapi juga dalam segala
aspek kehidupan dan kemanusiaan.
Ketiga, Penyakit HIV/AIDS sekarang ini merupakan tantangan tersendiri
bagi agama ini. Agama sebagai basis kultural yang mewacanakan pencegahan
serta penanggulangan HIV/AIDS, mewacanakan kemanusiaan dan tidak
bersikap “diam” terhadap permasalahan sosial-masyarakat, semuanya ini
menjadi tugas dan tantangan agama yang belum selesai.
Keempat, khususnya bagi umat beragama yang rentan terhadap penyakit
ini, yang hidup dengan penyakit ini, atau bahkan yang sedang sekarat karena
penyakit ini, tentu saja pendekatan agama sangatlah dibutuhkan. 37
Berbicara tentang pendekatan agama tentunya berbicara tentang
penekanan akan fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk atau hudan (sumber solusi
dan jawaban atas problem). Al-Qur’an membicarakan tentang keluarga dan
relasi sosial dalam konteks etika dan norma yang terdapat dalam salah satu
ayatnya, surat at-Tahrim ayat 6:

37
Farid Esack, Islam, Muslims and AIDS : Between Scorn, Pity and Justice, (South Africa:
positive Muslims, 2006), hlm.11.
pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3‹Î=÷dr&ur #Y‘$tR$
$ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou‘$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#y‰Ï© žw
ƒtbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sã
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.

Dalam ayat lain surat al-Furqan ayat 74 Allah berfirman:


tûïÏ%©!$#ur šcqä9qà)tƒ $oY/u‘ ó=yd $oYs9 ô`ÏB $uZÅ_ºurø—r& $oYÏG»ƒÍh‘èŒur no§è%
)&úãüôãr& $oYù=yèô_$#ur šúüÉ)FßJù=Ï9 $·B$tBÎ
Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah
kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati
(kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.

Ayat di atas dan beberapa ayat lainnya yang mempunyai hubungan


tematik, tentu akan mempunyai signifikansi yang lebih luas dan kontekstual
apabila dijadikan mikroskop untuk meneropong kasus fenomena HIV/AIDS,
yaitu sebagai landasan legitimatif atas pencegahan HIV/AIDS dalam konteks
sosiologis kontemporer.

C. Prinsip Penularan HIV/AIDS dan Fenomena Gunung Es


1. Prinsip Penularan HIV/AIDS
Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun
hingga kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui dua macam
cara yang dikelompokkan ke dalam tranmisi seksual dan non seksual.38
Berikut ini penjelasannya:
a. Transmisi Seksual

Fizidah A. Siregar, Pengenalan dan Pencegahan AIDS (Medan: Fakultas Kesehatan


38

Masyarakat USU, digitized by USU Digital Library 2004), hlm. 3-4


Penularan melalui hubungan seksual, baik Homoseksual39 maupun
Heteroseksual40 merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi.
Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina. Infeksi dapat
ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko
penularan HIV tergantung pada tingkat keamanan dan jumlah pasangan
hubungan seks. Pada penelitian Darrow ditemukan risiko seropositive untuk zat
anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada
pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti
pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus
HIV.41
Menurut Joel Gallant, hanya sedikit cara HIV dapat menyebar. Ia
menjelaskan bahwa penularan seksual terjadi lewat air mani, cairan vagina, atau
darah dari orang yang sudah terinfeksi memasuki badan orang yang belum
terinfeksi. Hal ini biasanya terjadi lewat hubungan seksual vagina atau anus.
Seks oral juga bisa menjadi penyebab penularan HIV bila cairan mani atau
vagina orang yang terinfeksi masuk ke dalam mulut.42

b. Transmisi Non Seksual


Transmisi non seksual ini dibagi menjadi tiga, yaitu:
Pertama, transmisi parental. Transmisi ini akibat penggunaan jarum
suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya
pada penyalahgunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang

39
Di dunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita AIDS,
berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial. Cara hubungan seksual anogenetal
merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra
seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan
dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami pertukaran pada saat
berhubungan secara anogenital. Ibid., hlm. 3.
40
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada
promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun
wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti. Ibid.
41
Ibid.
42
Gallant, 100 Tanya Jawab Mengenai HIV, hlm. 24.
tercemar secara bersama-sama. Di samping dapat juga terjadi melaui jarum
suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu.
Risiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.43
Kedua, transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-
negara Barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur
ini di negara Barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum
ditransfusikan. Risiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari
90%.44
Ketiga, transmisi transplasental. Perempuan yang terinfeksi HIV dapat
menularkan HIV kepada bayinya saat melahirkan anak (biasanya saat
melahirkan atau beberapa saat sebelumnya) atau dengan menyusui.45 Penularan
dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai risiko sebesar 50%.
Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan risiko rendah.46 Jika
si ibu dirawat dengan baik, yaitu dengan diberikan jenis tertentu dari ARV pada
saat kehamilannya, secara signifikan potensi penularan HIV kepada bayinya bisa
direduksi hingga 6-7%.47

c. ODHA48 dan Fenomena Gunung Es


43
Siregar, Pengenalan dan Pencegahan AIDS, hlm.4.
44
Ibid.
45
Gallant, 100 Tanya Jawab Mengenai HIV, hlm. 25.
46
Siregar, Pengenalan dan Pencegahan AIDS, hlm.4.
47
Farid Esack, Islam, Muslim and AIDS : Between Scorn, Pity and Justice, South Africa: Positive
Muslim, 2006, hlm. 11.
48
ODHA adalah singkatan dari Orang Dengan HIV/AIDS. Menurut KPA gejala klinis ODHA
terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi).
Gejala mayor: Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan; Diare kronis yang
berlangsung lebih dari 1 bulan; Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan; Penurunan kesadaran
dan gangguan neurologis; dan Demensia/ HIV Ensefalopati. Gejala minor: Batuk menetap lebih
dari 1 bulan; Dermatitis generalisata; Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster
berulang; Kandidias orofaringeal; Herpes simpleks kronis progresif; Limfadenopati generalisata;
dan Retinitis virus Sitomegal. Lihat Ketentuan tentang KPA yaitu diatur dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Pedoman Umum Pembentukan Komisi
Penanggulangan AIDS Dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka Penanggulangan HIV dan
AIDS di Daerah. Sementara keterangan tentang gejala HIV merujuk pada buku Pedoman
Nasional Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu ke Anak (PPIA), edisi ke-2 (Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI, 2012).
Kasus HIV/AIDS di Indonesia dikatakan sebagai fenomena gunung es
(iceberg phenomenon). Maksudnya adalah jumlah penderita yang melapor
hanyalah sebagian kecil dari kasus sesungguhnya terjadi. Ada estimasi, kasus
HIV/AIDS di Indonesia sebenarnya sudah mencapai 270.000 penderita.
“Penderita yang melapor hanya 10%.49
Banyak yang menderita HIV tidak mau melapor karena masih merasa
sehat, kata Sekretaris KPA Nasional Nafsiah Mboi. Nafsiah menegaskan,
tingginya peningkatan kasus HIV/AIDS sebagian besar diakibatkan penularan
lewat hubungan seksual, selain suntikan, transfusi dan sebagian kecil tertular
karena kehamilan dan melalui pajanan saat bekerja.50 Selain itu, tingginya stigma
dan diskriminasi menyebabkan orang yang melakukan perilaku beresiko enggan
untuk melakukan test HIV secara rutin.
Pajanan adalah peristiwa yang menimbulkan risiko penularan. Pajanan
ada tiga macam, yaitu pajanan di tempat kerja, yang biasanya menimpa petugas
perawatan kesehatan. Peristiwa ini biasanya berupa kecelakaan akibat tertusuk
jarum suntik bekas pakai secara tidak sengaja pada petugas. Kedua, pajanan
akibat hubungan seks berisiko, misalnya bila kondom pecah atau lepas saat
ODHA berhubungan seks dengan pasangan HIV negatif. Ketiga, pajanan akibat
perkosaan. Dan bahkan menjadi sangat ironis, jika hubungan seks terjadi secara
paksa, yang sering disertai kekerasan, risikonya menjadi lebih tinggi.51
Virus AIDS ditemukan dalam cairan tubuh manusia, dan paling banyak
ditemukan pada darah, cairan sperma dan cairan vagina. Pada cairan tubuh lain
juga bisa ditemukan (seperti misalnya cairan ASI) tetapi jumlahnya sangat
sedikit. Sejumlah 75-85% penularan terjadi melalui hubungan seks (5-10%
diantaranya melalui hubungan homoseksual), 5-10% akibat alat suntik yang
tercemar (terutama pada pemakai narkotika suntik), 3-5% melalui transfusi darah

49
Nurul Asfiyah, Pencegahan Penularan HIV/AIDS melalui Penguatan Budaya, dalam
“HUMANITY”, Volume 6 (Malang: UMM, Nomor 2, Maret 2011), hlm. 118.
50
Ibid.
51
Ibid.
yang tercemar. Infeksi HIV sebagian besar (lebih dari 80%) diderita oleh
kelompok usia produktif (14-49 tahun) terutama laki-laki, tetapi proporsi
penderita wanita cenderung meningkat. Infeksi pada bayi dan anak, 90% terjadi
dari ibu yang mengidap HIV. Sekitar 25-35% bayi yang dilahirkan oleh Ibu
pengidap HIV akan menjadi pengidap HIV, melalui infeksi yang terjadi selama
dalam kandungan, selama proses persalinan dan melalui pemberian ASI. Dengan
pengobatan antiretroviral pada ibu hamil trimester terakhir, risiko penularan
dapat dikurangi menjadi hanya 8%.52
Menurut Carole Leach-Lemens, Fourth Stocktaking Report yang
diterbitkan oleh UNICEF bekerja sama UNAIDS, WHO dan UNFPA tercatat
bahwa dunia belum berada di jalur yang tepat untuk menuju sasaran pencegahan,
pengobatan dan dukungan. Para penderita ini akan lebih menderita lagi karena
mereka akan dikucilkan oleh lingkungan. Stigma masyarakat terhadap penderita
HIV/AIDS masih negatif. Hal ini juga yang mendorong banyak perempuan
penderita HIV/AIDS secara langsung menyingkir dari lingkungannya, sehingga
dibutuhkan kampanye lebih intensif dan besar-besaran yang menyadarkan
masyarakat agar tidak mengucilkan penderita HIV/AIDS.53 Direktur World
Population Foundation Perwakilan Indonesia, Sri Kusyuniati mengakui, trend
kasus HIV/AIDS di Indonesia akan terus meningkat.
Masyarakat yang berisiko tinggi terhadap HIV, sebenarnya mengetahui
perbuatannya akan berdampak terhadap potensi penularan HIV. Oleh karena itu,
perlu penegasan penanganan kasus HIV/AIDS secara nasional yang melibatkan
semua pihak, termasuk pemuka agama.54
Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan (Depkes) per bulan
Desember 2008, Jabar memiliki kasus AIDS tertinggi di Indonesia dengan 2.888
kasus. Sementara itu, untuk HIV mencapai 1.523 kasus. Diperkirakan, jumlah
orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Jabar mencapai 21.000 orang. Berdasarkan
52
Ibid.
53
Ibid.
54
Ibid.
data Dinas Kesehatan Jabar pada Agustus 2008, Kota Bandung menjadi daerah
terbanyak kasus HIV/AIDS di Jabar dengan 534 kasus untuk HIV positif dan
929 kasus untuk AIDS. Dari 929 kasus AIDS, 773 kasus diantaranya disebabkan
penggunaan jarum suntik secara bergantian. Selain itu, Kota Bekasi memiliki
298 kasus AIDS dan 143 kasus HIV positif. Disusul Kota Sukabumi dengan 109
kasus AIDS dan 148 HIV positif. Mayoritas penularan AIDS akibat penggunaan
jarum suntik.55
Selain itu, provinsi lainnya juga patut diwaspadai. Meskipun dari segi
jumlah kasus Papua di bawah Jabar, DKI Jakarta dan Jawa Timur, namun dari
segi penyebaran, Papua masih tertinggi. Jumlah penderita HIV/AIDS di
Kabupaten Mimika, Papua hingga akhir Juni 2009 mencapai 1.993 orang, yang
merupakan jumlah tertinggi di Papua. Persentase peningkatan jumlah ini
disebabkan faktor hubungan seks bebas yang mencapai 89% dan rendahnya
kesadaran dan pengetahuan tentang perilaku berisiko tinggi. Menurut KAPETA
Foundation, banyak orang tidak merasa berbeda setelah terinfeksi HIV, bahkan
banyak orang tidak merasa gejala apa-apa selama bertahun-tahun. Oleh karena
itu, tak sedikit orang yang tertular HIV tetapi tidak menyadarinya.56
Pada simpulnya, sesungguhnya ODHA pada fenomena gunung es yang
terpapar tidaklah tampak secara keseluruhan. Data yang tersajikan dalam banyak
laporan oleh pemerintah maupun LSM hanya sebagian kecil dari total prosentase
ODHA yang sesungguhnya. Teori gunung es bagi fenomena ODHA pada
gilirannya menggambarkan betapa HIV merupakan sesuatu yang harus diatasi
dari berbagai pihak dan elemen masyarakat.

D. Prinsip Pencegahan dan Upaya Penanggulangan HIV/AIDS


1. Perspektif Kesehatan, Pendidikan dan Sosial

Ibid., hlm. 119.


55

Ibid.
56
Pada dasarnya setiap orang berpotensi terinfeksi virus HIV. Oleh
karenanya perlu dilakukan upaya pencegahan. Menurut Anderson dalam
bukunya Gender Issues in the spread and impact of HIV and AIDS, sebagaimana
dikutip oleh buku “Panduan Penanggulangan AIDS Perspektif Nahdlatul
Ulama”, ada lima cara pencegahan HIV/AIDS yang disebut dengan istilah
langkah pencegahan ABCDE sebagai berikut:57
a. Abstinance: tidak melakukan seks (puasa seks). Abstinance ini diperuntukkan
bagi orang-orang yang masih sendiri/membujang, jauh dari pasangan, atau
berstatus janda/ duda.
b. Be faithful (saling setia pada pasangan): bagi yang sudah menikah, setialah
pada suami atau istri. Jangan sekali-kali berpikir untuk berselingkuh atau
berhubungan seksual dengan selain suami atau istri, baik dengan pekerja seks
maupun lainnya karena hal tersebut dapat meningkatkan risiko tertularnya
HIV dari sexual partner, baik dengan homoseksual maupun heteroseksual.
Kesetiaan itu harus dimiliki oleh suami maupun istri karena jika salah satu
pihak setia namun pihak lainnya tidak setia, maka pihak yang setia tetap
berisiko tertular HIV. Tingginya angka kasus AIDS pada Ibu Rumah Tangga
menunjukkan bahwa keluarga juga rentan terhadap penyebaran virus jika
imunitas keluarga tidak dibangun sejak dini.
c. Condom: penggunaan kondom adalah upaya efektif dalam mencegah
penularan HIV. Penggunaan kondom dapat mencegah interaksi cairan vagina
dan sperma dengan dinding sel yang terbuka akibat gesekan pada saat
penetrasi sehingga penularan virus dapat diminimalisasi. Penggunaan
kondom ini terutama bagi kelompok yang sangat beresiko menularkan dan
tertulari HIV/AIDS. Kondom diakui sangat efektif untuk mencegah HIV pada
hubungan seks berisiko. Jika seseorang tidak mempercayai efektifitas
kondom sebagai pencegah penularan HIV, maka percayalah hubungan seksual

Ibid., hlm. 22-25.


57
tanpa kondom sudah pasti memudahkan penularan HIV karena tidak adanya
penghalang sama sekali.
d. Don’t inject (jangan menyuntik): hindari menggunakan jarum suntik yang
tidak steril atau telah terinfeksi HIV. Jika seseorang betul-betul harus
melakukannya pastilah bahwa jarum suntik tersebut aman. Mengingat
umumnya orang dengan HIV tidak bisa dideteksi dengan kasat mata karena
terlihat sehat secara fisik, maka untuk lebih amannya gunakanlah jarum
suntik baru untuk keperluan kesehatan, kecantikan, dan kerapihan, maupun
penggunaan lainnya. Hindari penggunaan narkoba namun dalam kondisi tidak
bisa menghindari karena sudah kecanduan, maka hindari narkoba dengan
jarum suntik secara bersama-sama dan ikuti program pencegahan dengan cara
substitusi heroin/putaw dengan metadon pada pusat terapi rumatan metadon
(PTRM) yang sudah banyak tersedia layanan-layanan kesehatan atau ikuti
program LASS (layanan alat suntik steril) yang sudah banyak di PKM (pusat
kesehatan masyarakat).
e. Education (pendidikan): pendidikan seksual dan informasi yang tepat
mengenai HIV/AIDS sangat penting bagi masyakarat luas khususnya bagi
perempuan dan para remaja agar mereka tidak terjerumus dalam kehidupan
yang salah. Pengetahuan yang baik dapat mencegah remaja dari bertindak
tidak sepantasnya karena mereka tahu risiko yang sangat besar dari perbuatan
mereka tersebut. Perkembangan terakhir di mana angka tertinggi orang
dengan HIV/AIDS adalah ibu rumah tangga mengingatkan pada semua untuk
segera memberikan informasi yang memadai pada para ibu rumah tangga
yang kerap dianggap secara salah sebagai kelompok masyarakat yang aman
dari risiko HIV/AIDS.
2. Pencegahan HIV/AIDS dalam Perspektif Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai sumber utama agama Islam berisi ajaran-ajaran yang
berbentuk perintah, himbauan, larangan dan kisah. Begitu pula dalam
kaitannya dengan upaya pencegahan HIV/AIDS dalam konteks medis dan
sosial keagamaan. Apabila dalam pencegahan HIV/AIDS yang pertama
-berdasarkan ilmu kesehatan masyarakat, adalah dengan upaya penyampaian
informasi, maka pemberian informasi yang tepat kepada masyarakat dalam
konteks penyakit HIV&AIDS, baik sebab-sebabnya maupun bahayanya
adalah sesuatu yang dianjurkan. Sebagaimanayang difirmankan oleh Allah
SWT:
ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããô‰tƒ ’n<Î) Ύösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/`
tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$#

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeruh


kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali-
Imron:104).

Seruan kepada kebaikan dan yang ma’ruf mempunyai makna universal.


Karena ma’ruf mempunyai makna segala sesuatu yang dianggap sebagai baik
secara universal. Lawan dari ma’ruf adalah munkar. HIV/AIDS secara universal
dianggap sebagai penyakit yang membawa banyak dampak negatif. Suatu
penyakit yang membahayakan jiwa, maka ia bisa dimasukkan dalam kategori
sesuatu yang harus dicegah (munkar).
Pencegahan penyebaran virus HIV/AIDS dapat dilakukan melalui
sentuhan nilai-nilai universal dan kemanusiaan. Yaitu, dengan menyampaikan
pesan-pesan moral yang dalam al-Qur’an telah memberikan garis-garis besar
untuk perlindungan manusia termasuk didalamnya dari penyakit yang endemik
seperti HIV/AIDS.58
Al-Qur’an sebagaimana fungsinya yaitu petunjuk (hudan), telah
menyampaikan larangan berlaku negatif terhadap diri sendiri seseorang sebagai
upaya preventif (pencegahan) dari dampak destruktifnya, sebagaimana ayat
berikut:

Ibid., hlm.66-67.
58
ÏÿRr&ur ’Îû È@‹Î6y™ «!$# Ÿwur (#qà)ù=è? ö/ä3ƒÏ‰÷ƒr'Î/ ’n<Î) Ïps3è=ökJ9$# ¡)qà#(
(#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ¨bÎ) ©!$# =Ïtä† tûüÏZÅ¡ósßJø9$#
“Jangan ceburkanlah dirimu dalam kebinasaan, berbuat baiklah,
karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat
baik”. ( Al-Baqarah: 195).

Ayat yang berupa larangan tersebut oleh para ulama dirumuskan


sebagai sebuah misi Islam dalam sebuah kaedah dar’ul mafasid wa jalbul
mashalih atau mengantisipasi kerusakan dan mencari kebaikan.59 Kata
“tahlukah” atau kebinasaan pada ayat di atas, HIV/AIDS bisa tercakup di
dalamnya apabila menyaksikan fenomena dampak dari HIV/AIDS yang saat ini
sudah menjadi pandemi.
Adapun kalimat perintah yang dinyatakan oleh Al-Qur’an dalam
konteks pencegahan dari sesuatu yang negatif yang akan menimpa diri seseorang
maupun bahkan keluarganya yaitu:
× pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3‹Î=÷dr&ur #Y‘$tR$
“Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu semua dan
keluargamu dari kesengsaraan yang tiada tara”. (QS. Tahrim: 6).

Yang dimaksud “menjaga diri dan keluarga” pada ayat ini tidak dengan
cara menghindar dan mengisolasi diri dari berbagai ancaman eksternal, seperti
ancaman bahaya HIV/AIDS. Menurut Ibnu Katsir: “Imam Mujahid mengatakan
bahwa menjaga diri dan keluarga adalah dengan menanamkan nilai-nilai
ketaqwaan baik kepada diri sendiri maupun keluarganya”.60
Uraian di atas apabila ditarik ke dalam konteks pencegahan HIV/AIDS
secara khusus dengan framework Qur’anic Studies, maka hal itu dapat dijadikan
legitimasi moral-spiritual keislaman terhadap upaya pencegahan HIV/AIDS
secara medis yang telah disebutkan pada bagian terdahulu. Jika upaya mencegah
HIV/AIDS secara medis bisa dilakukan dengan rumus ABCDE (Abstinence, Be
Ibid., hlm. 67.
59

Ibid., hlm. 68.


60
faithful, Condom, Don’t Inject, dan Education), LASS, PTRM, dan VCT, maka
framework Qur’anic Studies yang mewarnai penjelasan penulis tentang
pencegahan HIV/AIDS pada bagian ini akan memberikan legitimasi keagamaan
dalam upaya pencegahan secara medis.

Abstinence dan Be faithful


Abstinence yaitu tidak melakukan hubungan seks, terutama bagi mereka
yang belum menikah dan Be faithful adalah saling setia dengan pasangannya.
Dua pendekatan pencegahan HIV/AIDS yang diterapkan secara medis tersebut
apabila dirunut dalam ajaran Islam maka keduanya merupakan doktrin yang
diperintahkan oleh Islam secara tegas. Dalam salah satu ayat Al-Qur’an, Allah
melarang hubungan seksual di luar nikah. Al-Qur’an menjelaskan bahwa zina
adalah cara hubungan seksual yang buruk dan dimurkai Allah.
™Ÿwur (#qç/tø)s? #’oTÌh“9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$y™ur Wx‹Î6y
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra’:
32).

Zina yang dinyatakan oleh Al-Qur’an sebagai suatu cara hubungan


seksual yang buruk (fahisyah) dan dimurkai oleh Allah itu menyiratkan
pengertian bahwa zina (baik bagi yang belum menikah dan yang sudah) adalah
sesuatu yang mempunyai dual effects; pertama, medis dan sosiologis, dan kedua
yaitu teologis.
Sebuah hadis tentang anjuran menikah bagi yang sudah mampu menjadi
jalan keluar bagi problematika seksual untuk tidak terjatuh pada perzinaan.
Rasulullah bersabda:
“Wahai para pemuda! Barang siapa diantara kalian mampu menikah,
menikahlah! Sebab hal itu lebih menenangkan pandangan serta
menjaga kemaluan mereka sementara bagi yang belum mampu
menikah, hendaknya ia berpuasa, sebab hal ini bisa menjadi tameng
(benteng) mereka.” (HR. Al-Bukhari-Muslim).61
Selain hadis tersebut, juga dijelaskan secara implikatif oleh hadits yang
diriwayatkan Ibnu Abi Addunya, bahwa Rasulullah SAW juga menegaskan:
“Tidak ada dosa yang lebih besar sesudah syirik kepada Allah selain
perbuatan seseorang yang menumpahkan sperma dalam rahim
perempuan yang bukan istrinya.” (HR. Ibnu Abi Ad-Dunya).62

Walaupun menjauhi perzinaan sebagai core value yang ditekankan Al-


Qur’an guna menjaga situasi medis, sosial dan teologi dari diri seorang, namun
pada kenyataanya virus HIV/AIDS tidak mengenal status perkawinan. Maka
berganti-ganti pasangan melalui kawin-cerai dan berganti-ganti pasangan karena
memiliki istri lebih dari satu akan tetap berisiko dalam penyebaran virus
HIV/AIDS. Hal itu berisiko lebih tinggi dari pada bersuami atau beristri satu dan
setia.
Selain melarang perilaku seks bebas (zina), Al-Qur’an juga melarang
perilaku berhubungan seksual dengan sesama jenis, baik yang dilakukan oleh
homoseksual maupun oleh heteroseksual. Perilaku seks bebas sangat berpotensi
besar dalam penyebaran IMS (infeksi menular seksual).63 Termasuk di dalamnya
yaitu HIV/AIDS sebagaimana uraian pada permulaan bab tentang penularan
HIV/AIDS. Firman Allah yang menjadi moral idea dari fenomena hubungan
seksual sesama jenis yaitu:
Ûqä9ur øŒÎ) tA$s% ÿ¾ÏmÏBöqs)Ï9 tbqè?ù's?r& spt±Ås»xÿø9$# $tB Nä3s)t7y™ $pkÍ5 ô`ÏB »$
7‰tnr& šÆÏiB tûüÏJn=»yèø9$# ÇÑÉÈ
Dalam ayat ini secara jelas disebutkan bahwa, perilaku fahisyah atau sayyi’ah
yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth yaitu melakukan hubungan seks dengan

61
Ibnu Hajar al-‘Asqalany, Fathul Bari; Syarhul Bukhary (Beirut: Dar ad-Diyan lit-Turats,
1986), Hadist No. 4778,hlm. 231.
62
Ibnu Katsir ad-Dimisyqiy, Tafsir Ibnu Katsir, Juz VI (Kairo: Dar at-Thibah, 2002), hlm. 126.
63
Ibid., hlm.72.
laki-laki, dan atau secara paksa (sodomi) terhadap laki-laki, padahal mereka
64
.sendiri sudah memiliki pasangan yang sah

öNà6¯RÎ) tbqè?ù'tGs9 tA$y_Ìh9$# Zouqöky `ÏiB Âcrߊ Ïä!$|¡ÏiY9$# 4 ö@t/ óOçFRr& ×Pöqs
% šcqèù̍ó¡•B ÇÑÊÈ
“Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (ingatlah)
tatkala dia berkata kepada mereka: “mengapa kamu mengerjakan
perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seseorang
pun (di dunia ini) sebelummu? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki
untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita,
malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Al- A’raf:
80-81).

Terlihat jelas bahwa dua ayat tersebut berbicara mengenai perilaku seks
yang menyimpang, yaitu perselingkuhan. Dalam kaidah bahasa arab kata al-
nisa’ dengan menggunakan alif lam adalah makrifat (sesuatu yang sudah jelas
dan tertentu). Maka dalam setiap pemahaman, seringkali dimaknai sebagai
pasangan yang sah atau istri. Oleh sebab itu kedua ayat di atas menunjukkan
perilaku kaum luth yang masih melakukan hubungan seksual dengan orang lain,
padahal ia masih memiliki hubungan yang sah dengan pasangannya.65
Benang merah uraian di atas, menyiratkan pengertian bahwa Al-
Qur’an melegalkan hubungan seksual hanya melalui institusi sakral yang disebut
pernikahan. Pada prinsipnya pernikahan dimaksudkan sebagai wahana
penyaluran hasrat seksual yang sah, sehat, aman, nyaman, dan bertanggung
jawab menurut agama, baik laki-laki maupun perempuan. 66 Walaupun
sesungguhnya tujuan dari syari’at pernikahan tidak sekadar jawaban atas
problem seksual, namun ia merupakan sesuatu yang luhur dan bermakna.

64
Arif Nur Safri, Memahami Keberagaman: Gender dan Seksualitas Sebuah Tafsir Kontekstual
Islam, (Sleman: Lintang, 2020), hlm. 133.
65
Scrott Siraj al-Haqq Kugle, Homosexuality in Islam: Critical Reflection on Gay, Lesbian, and
Transgender Muslim, (London: Oneworld, 2011), hlm. 53.
66
Ibid., hlm. 73.
Al-Qur’an memberikan tuntunan tentang hubungan seksual suami-istri
yang harus dilakukan oleh seseorang dengan istilah pergaulan yang baik
(ma’ruf). Sekali lagi, sebagaimana telah penulis jelaskan pada paragraf awal
bagian ini, bahwa ma’ruf itu mempunyai arti kebaikan yang universal,
spontanitas, dan yang mentradisi. Seorang suami harus menggauli istrinya
dengan kebaikan yang universal, meliputi cara dan niat. Apabila HIV/AIDS
adalah keburukan yang universal (mungkar) maka seorang suami yang terinfeksi
HIV/AIDS sudah semestinya tidak menggauli istrinya secara seksual atau
menggauli dengan cara yang terjamin keamanannya dengan melakukan
konsultasi terhadap pakar kesehatan, hal ini dilakukan untuk melakukan
pencegahan penularan terhadap istri dan keluarganya. Itulah implementasi dari
“mempergauli istri dengan baik” dalam konteks pencegahan HIV/AIDS.
Penjelasan tersebut sebagaimana dalam ayat berikut:
èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷d̍x. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s?`£
$\«ø‹x© Ÿ@yèøgs†ur ª!$# ÏmŠÏù #ZŽöyz #ZŽÏWŸ2
“Pergaulilah istrimu dengan baik. Apabila kalian membenci mereka,
maka siapa tahu Allah menjadikan pada apa yang kalian benci itu
kebaikan yang banyak.” (QS, An-Nisa’:19).

Pergaulan seksual yang baik adalah cara berumah tangga guna


mendapatkan ketentraman (sakinah), tentu berdasarkan hubungan yang
didasarkan pada cinta kasih (mawaddah wa rahmah).
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurø—r& (#þqãZä3ó¡tFÏj9
$ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômu‘ur 4 ¨bÎ) ’Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9
ƒtbr㍩3xÿtGt
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikannya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum: 21).
Perkawinan yang dilandasi oleh cinta kasih dan tanggung jawab, akan
menjadi fondasi yang kokoh bagi sebuah keluarga hingga dapat melindungi
anak-anak dari perilaku seks bebas, narkoba, yang merupakan kesenangan
sementara namun bisa berakibat panjang,67 seperti virus HIV AIDS.
Condom
Ketika suami atau istri atau dua-duanya terindikasi berisiko tertular
HIV, atau melalui tes telah positif HIV, maka hubungan seksual diharuskan
menggunakan kondom untuk meminimalisir penularan pada pasangan maupun
anak yang akan dilahirkan oleh istri. Hal ini apabila direlevansikan dengan Al-
Qur’an surat An-Nisa’ ayat 19, “Pergaulilah istrimu dengan baik …”yang
berbicara tentang nilai hubungan seksual suami terhadap istrinya yang harus
dijunjung tinggi, maka menggunakan kondom dalam kontenks suami ODHA
yang hendak menggauli istrinya adalah sesuatu yang wajib, sebagaimana
wajibnya berlaku ma’ruf dalam ayat tersebut yang bermakna universal,
sehingga kondom merupakan implementasinya.
Konteks bahaya yang ditimbulkan oleh suami yang ODHA namun tidak
menggunakan kondom dalam berhubungan dengan istrinya yang negatif dari
HIV adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan secara tegas dalam Islam.
sebagaimana Nabi Muhammad SAW menegaskan dalam hadistnya:
“Tidak (diperbolehkan) menyengsarakan diri sendiri dan tidak
(diperbolehkan) menimbulkan kesengsaraan terhadap orang lain.”
(HR. Ibnu Majah).68
Terlepas dari kontroverialnya kondom yang dianggap bak pisau bermata
ganda, ia di satu sisi menjadi media legitimatif seks bebas, namun di sisi lain
kondom adalah sebuah alat yang digunakan untuk mencegah penularan penyakit
seksual termasuk HIV/AIDS. Dalam kampanye kondom untuk rangka mencegah
penularan HIV/AIDS, kondom adalah alat paling efektif untuk mencegah

Ibid., hlm. 75.


67

68
Ibnu Rajab al-Hanbali, Jami’ al-Ulum wal Hikam (Kairo: Muassasah ar-Risalah, 2001), Hadist
No.32, hlm. 207.
penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual. Dan beberapa persen pun
efektivitas kondom sebagai alat mencegah adalah lebih baik dari pada tidak
menggunakan kondom karena tanpa kondom virus menjadi tidak mempunyai
penghalang sama sekali untuk ditularkan. 69
Don’t Inject
Program PTRM (Program Terapi Rumatan Metadon) merupakan bagian
dari upaya nasional untuk pengendalian dan mencegah infeksi HIV/AIDS, yang
dikenal sebagai strategi pengurangan dampak buruk atau Harm Heduction.
Metadon adalah jenis narkotik sintetis yang kuat, seperti heroin atau morfin
namun tidak menimbulkan efek sedatif yang kuat. Terapi metadon dinilai efektif
dalam menekan penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik narkoba.
Berdasarkan hasil uji coba PTRM di RS Sanglah (Bali) dan RSKO, diperoleh
hasil yang positif yaitu perbaikan kualitas hidup dari segi fisik, psikologi,
hubungan sosial dan lingkunagan, penurunan angka kriminalitas, penurunan
depresi dan perbaikan kembali ke aktivitas sebagai anggota masyarakat. Dengan
demikian PTRM merupakan upaya untuk menghilangkan bahaya yang lebih
besar dengan bahaya yang lebih ringan.70
Program lain dalam mengurangi dampak buruk dari narkoba yaitu
LASS (Layanan Alat Suntik Steril) yang diperkenalkan oleh lembaga swadaya
masyarakat di Bali tahun 1999.71 Pada intinya, program pencegahan HIV/AIDS
di atas terangkum dalam kerangka “jangan menyuntik” atau don’t inject.
Pengertiannya adalah jangan menggunakan jarum suntik yang tidak steril secara
bergantian, baik untuk alasan kesehatan (misal menyuntikkan obat pada pasien),
kecantikan dan kerapihan (seperti facial), penyalahgunaan narkoba (narkoba
suntik) dan lain-lainnya.72

69
Ibid., hlm.77-78.
70
Ibid., hlm. 81.
71
Ibid., hlm. 82.
72
Ibid., hlm. 78.
Islam menganjurkan hidup sehat dan bersih. Dalam Islam, kesehatan
adalah ketahanan jasmaniah-rohaniah dan sosial yang dimiliki sebagai karunia
Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan tuntunan-Nya dan memelihara
serta mengembangkannya. Ada tiga jenis kesehatan yaitu kesehatan fisik,
mental, dan kesehatan masyarakat. Nabi bersabda:
“Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu.” (HR.
Muslim).73
Hadis tersebut memberikan penjelasan terhadap Firman Allah:
ÏÿRr&ur ’Îû È@‹Î6y™ «!$# Ÿwur (#qà)ù=è? ö/ä3ƒÏ‰÷ƒr'Î/ ’n<Î) Ïps3è=ökJ9$# ¡)qà#(
(#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ¨bÎ) ©!$# =Ïtä† tûüÏZÅ¡ósßJø9$#
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan.” (QS.Al-Baqarah:195).

Nabi Muhammad SAW juga menegaskan:


“Tidak (diperbolehkan) menyengsarakan diri sendiri dan tidak
(diperbolehkan) menimbulkan kesengsaraan terhadap orang lain.”
(HR. Ibnu Majah).74

Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah:


“Dari Umi Salamah RA. Berkata: Rasulullah SAW melarang setiap zat
yang memabukkan dan menenangkan.” (HR. Abu Dawud).75

Secara tegas Islam memerintahkan untuk menjaga kesehatan diri dan


kesehatan reproduksi, pemeliharaan alat kelamin dari berbagai bahaya, virus,
bakteri, jamur, dan beraneka ragam penyakit yang kemungkinan akan
menimpanya.
Firman Allah:

73
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, “Bab Hak Badan dalam Puasa”, Hadist No.1874 (Mausu’ah
Hadist Kutub at-Tis’ah), hlm. 687.
74
Ibnu Rajab, Jami’ al-Ulum, Hadist No.32, hlm. 207.
75
Muhammad Syamsul Haq al-‘Adhimi, ‘Aun al-Ma’bud; Syarh Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar
al-Fikr, 1995), Hadist No. 3686, Kitabul ‘Asyribah, hlm. 121.
tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇÎÈ žwÎ) #’n?tã öNÎgÅ_ºurø—r& ÷rr& $tB
ôMs3n=tB öNåkß]»yJ÷ƒr& öNåk¨XÎ*sù çŽöxî šúüÏBqè=tB ÇÏÈ
“….dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri
mereka atau budak mereka miliki; maka sesungguhnya dalam hal ini tiada
tercela.” (QS. Al-Mukminun: 5-6).

Allah menekankan pentingnya pemeliharaan alat kelamin agar tidak


merusak diri sendiri maupun orang lain.
Firman Allah:
è% šúüÏZÏB÷sßJù=Ïj9 (#q‘Òäótƒ ô`ÏB ôMÏd̍»|Áö/r& (#qÝàxÿøts†ur óOßgy_rãèù 4@
ƒy7Ï9ºsŒ 4’s1ø—r& öNçlm; 3 ¨bÎ) ©!$# 7ŽÎ7yz $yJÎ/ tbqãèoYóÁt
“Katakanlah (hai Muhammad) kepada laki-laki yang beriman,
hendaklah megendalikan pandangan matanya dan menjaga organ
vitalnya (alat kemaluannya). Hal itu lebih suci bagi mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. (QS.
An-Nur: 30).

Education
Teori pencegahan HIV/AIDS yang terakhir yaitu memberikan
education atau informasi terkait HIV AIDS secara tepat kepada masyarakat.
Informasi dan pendidikan mengenai kesehatan reproduksi, penyakit infeksi
menular seksual, HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba yang tepat sebaiknya
diberikan kepada masyarakat khususnya para remaja. Karena remaja sangat
rentan terpengaruh budaya dan gaya hidup yang secara langsung dan tidak
langsung berpengaruh pada perkembangan pola pikir remaja. Pencegahan AIDS
adalah deteksi dini HIV dengan melakukan tes HIV melalui VCT. Tes HIV
ATAU VCT adalah gerbang untuk penanganan, konseling, perawatan, dan
prevensi yang baik. Keluarga juga dapat membantu menjelaskan pentingnya tes
HIV/AIDS sejak dini dan secara regular dengan mengajak anak-anaknya untuk
melakukan tes HIV sembari diberi penjelasan mengenai apa, bagaimana, dan
untuk apa hal tersebut dilakukan.76
Al-Qur’an sejak berabad-abad silam telah menyuratkan pentingnya
pendidikan dalam konteks keluarga. Al-Qur’an menghadirkan figur pemimpin
keluarga yang bisa menghadirkan pendidikan dalam ruang keluarga, yaitu
Luqmanul Hakim. Edukasi yang dimotori oleh kepala keluarga tercatat dalam
nasehat-nasehat Luqman yang tertera dalam ayat 12 – 19 surat Lukman sebagai
berikut:
“12. dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman,
Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah, dan barangsiapa yang bersyukur
(kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri;
dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
13. dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar".
14. dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan
lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu.
15. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan
aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka
janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di
dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku,
kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
16. (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu
perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau
di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya).
Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan
yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan

Ibid., hlm. 84-85.


76
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
18. dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena
sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri.
19. dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”

Pendidikan yang diberikan oleh Luqmanul Hakim diantaranya berupa


larangan mempersekutukan Allah, perintah beramal shaleh, perintah mendirikan
shalat, larangan bersikap sombong dan angkuh, perintah untuk bersikap
sederhana.
Mendasarkan pada Nasehat Luqmanul Hakim, maka dapat disimpulkan
tentang apa yang mencakup beberapa pokok tuntutan agama, yaitu aqidah,
syariat dan akhlaq. Bahkan memberi tuntutan kepada siapa pun yang ingin
menelusuri jalan kebajikan.77
Apabila nilai edukatif yang dibangun oleh Lukman tersebut
diimplementasikan dalam konteks pencegahan HIV/AIDS via pendidikan, maka
seorang suami dan istri yang tergabung dalam suatu unit keluarga melakukan
upaya pendidikan ketahanan keluarga sejak dini atas seluruh struktur
keluarganya. Pendidikan itu secara signifikan akan berpengaruh pada ranah
sosial. Ketika HIV/AIDS tidak sekadar penyakit medis semata, namun sudah
menjadi epidemi global atau penyakit sosial yang mengglobal, maka keluarga
harus mengupayakan pendidikan yang berkaitan dengan pencegahan HIV/AIDS
sehingga mampu menciptakan sistem imun sosial dalam kerangka ketahanan
keluarga. Hal ini mempunyai arti bahwa pendidikan sebagai kerangka nilai yang
mengkonstruk perilaku. Sebagaimana penyebaran HIV/AIDS lebih tersebabkan
oleh perilaku beresiko.

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan Kesan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera
77

Hati, 2003), hlm. 140.


3. Upaya Organisasi Islam terhadap Penanggulangan HIV/AIDS di
Indonesia.
a. Fatwa MUI Terhadap Permasalahan
HIV/AIDS di Indonesia
Pada Tahun 1995, Departemen Agama Republik Indonesia bersama
UNICEF dan MUI mengeluarkan beberapa butir fatwa terkait dengan
pencegahan AIDS di Indonesia, termasuk pendirian forum yang diberi nama
Mudzakarah Nasional Ulama Tentang Penanggulangan Penularan HIV/AIDS.
Secara keseluruhan, fatwa ini bernama Tadzkirah Bandung yang terdiri dari tiga
point utama. Pertama, mengenai dasar teologi HIV/AIDS yang dipahami oleh
MUI. Kedua, mengenai peran MUI untuk mendidik masyarakat sehubungan
dengan HIV/AIDS. Ketiga, beberapa rekomendasi MUI untuk komisi fatwa. 78
Secara singkat, fatwa MUI ditujukan bagi tiga kategori , (1) Penderita
HIV positif (ODHA); (2) Kelompok Resiko Tinggi (Risti) yang belum terinfeksi,
dan (3) Masyarakat Indonesia secara umum, beriku point-point fatwa dari MUI :
1. Fatwa Untuk Odha :
b. Odha yang belum menikah harus berhenti
melakukan kegiatan seks
c. ODHA yang sudah menikah harus
memberitahukan status positif nya kepada
pasangannya.
d. Bagi pasangan suami istri dalam keadaan darurat
agar mengenakan kondom dan alat perlindungan
lain untuk melindungi keluarga. 79

78
Ahmad Shams Madyan, AIDS dalam Islam, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009), hlm. 127.
79
MUI menyetujui penggunaan kondom hanya untuk pasangan yang sudah menikah. Pernyataan
ini dikeluarkan oleh K.H Hasan Basri, Ketua MUI pada 4 Agustus 1995, sehubungan dengan
penolakan MUI untuk pencegahan HIV/AIDS dengan kondom karena dianggap menyuburkan
seks bebas (Lihat Malik Badri. AIDS Crisis : A Natural Product of Modernity sexual Revolution,
Kuala Lumpur-Malaysia : Madeena Book, 2000 , hlm. 283)
e. Semua penderita HIV/AIDS dilarang menularkan
penyakitnya.
f. Semua penderita HIV/AIDS wajib
memberitahukan statusnya kepada siapapun yang
berkepentingan.
4. Fatwa Untuk Kelompok Resiko Tinggi :
a. Mereka harus mengecek status kesehatan.
b. Pasangan yang sudah menikah harus
menggunakan kondom.
c. Pasangan yang akan menikah harus mengecek
kesehatan.
5. Fatwa Untuk Masyarakat Indonesia secara Umum :
a. Mereka harus meningkatkan ibadah dan keimanan
mereka kepada Tuhan.
b. Ulama harus memperbarui metode dakwah untuk mendidik umat tentang
moralitas.
c. Ulama dan Pemerintah harus bekerja sama untuk meningkatkan
komunikasi, informasi, pendidikan, dan motivasi tentang HIV/AIDS dan
penderitanya. 80
b. Tanggapan NU (Nahdlatul Ulama) Terhadap Permasalahan
HIV/AIDS.
Sebagai Organisasi Islam berbasis massa terbesar di Indonesia, NU
membahas HIV/AIDS hanya dalam porsi yang sangat kecil. Pembahasan
yang dikemukakan oleh NU sendiri hanya dalam lingkup Fiqh, sehingga
masih sangat kurang sekali untuk bisa dijadikan acuan mengingat NU adalah
sebagai salah satu organisasi terbesar di Indonesia. Berikut point-point
penting fatwa NU mengenai permasalahan HIV/AIDS di Indonesia :

80
Ahmad Shams Madyan, AIDS Dalam Islam, hlm. 129
1. Bahwa status pernikahan ODHA tetap sah, tetapi tidak dianjurkan
(makruh)
2. Jenazah penderita HIV/AIDS harus diperlakukan seperti mayat biasa,
tetapi dengan panduan khusus dari dokter atau ahli kesehatan.
3. Eutanasia haram hukumnya, apapun alasannya. 81
Fatwa-fatwa NU ini didasarkan dari kitab-kitab Islam klasik, seperti
Asnal Mathalib, Mughni Al-Muhtaj, Al-Hawasyil Madaniyah, dan Al-
Mahally bi Hamisy Al-Qalyuby. 82
Semua kitab ini tidak memuat isu
kontemporer apa pun, padahal isu HIV masuk dalam wacana kontemporer.
Kitab-kitab tersebut juga hanya mewakili mazhab Syafi’i.

c. Tanggapan Muhammadiyah Terhadap Permasalahan HIV/AIDS.


Sebagai Organisasi Islam besar di Indonesia, Muhammadiyah juga
mengeluarkan beberapa tanggapan dan saran atas problematika HIV/AIDS di
Indonesia. Ada 4 point yang ditekankan oleh Muhammadiyah dalam upaya
penanggulangan HIV/AIDS :
1. AIDS sebagai masalah moralitas.
2. AIDS sebagai ujian dari Tuhan.
3. Penanganan AIDS dengan seruan kembali kepada iman, pertobatan,
dan amal saleh.
4. Seruan anti diskriminasi terhadap ODHA. 83
Muhammadiyah memandang permasalahan HIV/AIDS sebagai
permasalahan moralitas dan perilaku individu. Muhammadiyah sendiri

81
K.H A. Aziz Masyhuri. Masalah Keagamaan: Hasil Muktamar dan MUNAS Ulama NU
Kesatu 1926 s.d Ketigapuluh 2000. (Jakarta: PPRMI dan Qultum Media, 2004) hlm. 132.
82
K.H. Sahal Mahfudz, (Pendahuluan), Solusi Problematika Aktual Hukum Islam : Keputusan
Muktamar, MUNAS dan KOBES Nahdlatul Ulama (1926-1999). (Jakarta : LTN-NU dan
Dintama, 2004), hlm. 539.
83
Ahmad Shams Madyan, AIDS Dalam Islam, hlm. 135.
memandang permasalahan ini tidak serta merta sebagai hukuman dari Tuhan,
namun juga menyebut sebagai ujian dari Tuhan belaka, bukan hukuman. 84
d. Program Penanggulangan HIV/AIDS
Penanggulangan adalah upaya secara komprehensif, sementara itu
pencegahan merupakan bagian dari penanggulangan. Mempertimbangkan
kondisi epidemik HIV/AIDS yang dijelaskan sebelumnya sebagai fenomena
gunung es dalam konteks Indonesia, maka dalam rangka meningkatkan upaya
penanggulangan AIDS yang lebih intensif, menyeluruh, terpadu, dan
terkoordinasi, dibentuklah Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN)
(Peraturan Presiden/Perpres RI no.75 tahun 2006). Komisi Penanggulangan
AIDS Nasional ini berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.85
Dalam kerangka penanggulangan HIV/AIDS, KPAN menyusun suatu
Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) Penanggulangan HIV/AIDS 2010-
2014. Kerangka program SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS tersebut

84
Tabrani Syabirin, M.A. Menghindari AIDS : Kumpulan Khutbah Jumat, (Jakarta : USAID-
YASA-PP, Muhammadiyah, 2005) hlm 19
85
Ketentuan tentang KPA yaitu diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun
2007 Tentang Pedoman Umum Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS Dan Pemberdayaan
Masyarakat dalam Rangka Penanggulangan HIV dan AIDS.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional bertugas:
a. Menetapkan kebijakan dan rencana strategis nasional serta pedoman umum pencegahan,
pengendalian, dan penanggulangan AIDS.
b. Menetapkan langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan.
c. Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penyuluhan, pencegahan, pelayanan,
pemantauan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS.
d. Melakukan penyebarluasan informasi mengenai AIDS kepada berbagai media massa,
dalam kaitan dengan pemberitaan yang tepat dan tidak menimbulkan keresahan
masyarakat.
e. Melakukan kerjasama regional dan internasional dalam rangka pencegahan dan
penanggulangan AIDS.
f. Mengkoordinasikan pengelolaan data dan informasi yang terkait dengan masalah AIDS.
g. Mengendalikan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan pencegahan, pengendalian,
dan penanggulangan AIDS.

Memberikan arahan kepada Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam
rangka pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS.
terangkum dalam program penanggulangan tahun 2010-2014 yang terdiri atas
empat program pokok penanggulangan.86
a. Pencegahan. Pencegahan ini diimplemantasikan dalam beberapa kegiatan
pokok, seperti: pencegahan penularan HIV melalui transmisi seksual, melalui
alat suntik, pencegahan penularan di lembaga pemasyarakatan dan rumah
tahanan, pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi, pencegahan penularan
di kalangan pelanggan pekerja seks melalui tempat kerja, pencegahan
penularan HIV pada pelanggan di kalangan pekerja imigran dan orang muda
beresiko usia 15-24 tahun.
b. Perawatan, dukungan dan Pengobatan. Kegiatan pokok program
penanggulangan ini meliputi: penguatan dan pengembangan layanan
kesehatan serta koordinasi antar layanan, pencegahan dan pengobatan infeksi
oportunistik, pengobatan antiretroviral (ARV), dukungan psikologis dan
sosial, serta pendidikan dan pelatihan ODHA.
c. Program mitigasi dampak. Kegiatan pokoknya yaitu mitigasi dampak dari
HIV/AIDS.
d. Program peningkatan lingkungan yang kondusif. Kegiatan pokoknya yaitu
penguatan kelembagaan dan manajemen, manajemen program meliputi
kegiatan perencanaan, implementasi dan evaluasi program dengan memegang
prinsip keterbukaan informasi, peran serta dan partisipasi, sinkronisasi
kebijakan, pengembangan kebijakan baru dan mitigasi kebijakan.
Pemerintah dalam melakukan banyak program penanggulangan
HIV/AIDS di atas, dalam pengamatan penulis, biasanya dilakukan dengan
bekerjasama dengan sejumlah LSM (Lembaga Sosial Masyarakat) dan juga
organisasi internasional seperti WHO.
Sementara itu, secara praktis aplikatif, umumnya program-program di
atas direalisasikan dalam kegiatan-kegiatan penanggulangan seperti: Program
86
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014.
Dipresentasikan pada: Forum Jejaring Peduli AIDS Aula Puslitbang Depkes, Surabaya, 18 Maret
2010.
KIE (Knowledge, Information dan Education) = BCC (Behaviour Change
Communication) = KPP (Komunikasi Perubahan Perilaku), Program Kondom
100%, Program Klinik IMS (Infeksi Menular Seksual), Program Harm
Reduction, Program VCT (Voluntary Counselling & Testing), dan Program CST
(Care, Support & Treatment Nasional).87

87
Tim Penulis, Panduan Penanggulangan AIDS Perspektif Nahdlatul Ulama’ (Jakarta:
PP.Lembaga Kesehatan NU, 2013), hlm. 25-37.
BAGIAN II

KELUARGA DALAM PERSPEKTIF ILMU SOSIAL DAN AL-QUR’AN

Arti keluarga dalam ruang kehidupan sosial tampak begitu penting.


Sehingga tidak jarang dijumpai stigma atas suatu masyarakat apabila terdapat
satu keluarga yang memproduksi nilai tertentu dalam masyarakat tersebut, maka
yang berikutnya terjadi adalah masyarakat itu ditandai dengan nilai yang
dinuansakan oleh keluarga tadi. Meskipun nilai yang dimunculkan itu hanya
oleh satu atau minoritas keluarga, tapi sekian banyak keluarga yang tergabung
dalam masyarakat itu menjadi predikat yang disandang keluarga pembentuk nilai
tadi itu. Nilai di sini bisa berarti positif atau juga negatif. Misalkan saja, suatu
masyarakat atau desa dinamai desa religi, ketika di masyarakat atau desa tersebut
terdapat lembaga pendidikan Islam, walaupun sesungguhnya yang
menghidupkan dan meramaikannya bukan masyarakat setempat, tetapi
masyarakat terpisah atau dari luar daerah. Begitu pula, suatu masyarakat tertentu
dianggap masyarakat teroris, meskipun dari mereka yang melakukan terorisme
hanya satu atau dua orang saja, atau hanya satu keluarga. Hal itu menjadi logis,
karena eksistensi keluarga yang sesungguhnya membentuk eksistensi
masyarakat. Keluarga begitu penting dalam konteks sosial. Begitu ungkapan
tersirat dalam banyak doktrin agama-agama.
Pada bagian ini penulis merasa sangat perlu menuangkan arti penting
dari keluarga dalam ruang sosial, baik terkait dengan fungsinya bagi
problematika sosial maupun bagi dirinya sendiri, begitu pula relevansi-relevansi
keluarga dengan konsep kepemimpinan dan ruang publik. Pengertian-pengertian
tersebut akan penulis uraikan dengan dua kerangka; pertama, sosiologis, dan
kedua, tafsir (Qur’ānic Studies).
A. Perpektif Ilmu Sosial
1. Pengertian Keluarga
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan keluarga dalam
beberapa pengertian:
a. Keluarga terdiri dari ibu dan bapak beserta anak-anaknya
b. Orang yang seisi rumah yang menjadi tanggungan
c. Sanak saudara
d. Satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam kekerabatan.88
Sedangkan pengertian keluarga berdasarkan asal-usul kata yang
dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara,89 bahwa keluarga berasal dari bahasa
Jawa yang terbentuk dari dua kata yaitu kawula dan warga. Di dalam bahasa
Jawa kuno kawula berarti hamba dan warga artinya anggota, secara bebas dapat
diartikan bahwa keluarga adalah anggota hamba atau warga saya. Artinya setiap
anggota dari kawula merasakan sebagai satu kesatuan yang utuh sebagai
bagian dari dirinya dan dirinya juga merupakan bagian dari warga yang
lainnya secara keseluruhan.
Menurut sejumlah ahli yang lain, keluarga diartikan sebagai unit sosial-
ekonomi terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua
institusi, merupakan kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang
yang mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan
perkawinan, dan adopsi.90 Menurut U.S. Bureau of the Census Tahun 2000
keluarga terdiri atas orang-orang yang hidup dalam satu rumah tangga.91

88
Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3 (Jakarta:Balai
Pustaka, 2005), hlm. 536.
89
Abu Ahmadi & Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan (Jakarta: Rieneka Cipta, 2001), hlm. 176.
90
UU Nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10, Khairuddin, Sosiologi Keluarga (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1985); Nancy R. Vosler, New Approaches to Family Practice: Confronting
Economic Stress, (Thousand Oaks, Calif.: Sage Publications, 1996).
91
Baca David Newman and Liz Grauerholz, Sociology of Families(Thousand Oaks, Calif: Pine
Forge Press, 2002).
Keluarga juga seperti diamahkan oleh Undang-Undang Nomor 52
Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga:
Bab II: Bagian Ketiga Pasal 4 Ayat (2), bahwa pembangunan
keluarga bertujuan untuk meningkatkan kualitas keluarga agar dapat
timbul rasa aman, tenteram, dan harapan masa depan yang lebih baik
dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.

Menurut Mattessich dan Hill,92 keluarga merupakan suatu kelompok


yang berhubungan kekerabatan, tempat tinggal, atau hubungan emosional yang
sangat dekat yang memperlihatkan empat hal (yaitu interdepensi intim,
memelihara batas-batas yang terseleksi, mampu untuk beradaptasi dengan
perubahan dan memelihara identitas sepanjang waktu, dan melakukan tugas-
tugas keluarga).
Pengertian keluarga secara sosiologis juga disampaikan oleh Stephens.
Ia mendefiniskan keluarga sebagai suatu susunan sosial yang didasarkan pada
kontrak perkawinan termasuk dengan pengenalan hak-hak dan tugas orangtua;
tempat tinggal suami, istri dan anak-anak; dan kewajiban ekonomi yang bersifat
reciprocal antara suami dan istri.93
Menurut Soerjono, keluarga adalah sebagai lingkungan di mana
beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah dan bersatu. Keluarga
didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang tinggal dalam satu rumah yang
masih mempunyai hubungan kekerabatan atau hubungan darah karena
perkawinan, kelahiran, adopsi dan lain sebagainya. Keluarga yang terdiri dari
ayah, ibu dan anak-anak yang belum menikah disebut keluarga batih. Sebagai
unit pergaulan terkecil yang hidup dalam masyarakat, keluarga batih mempunyai
peranan-peranan tertentu, yaitu:94
a. Keluarga batih berperan sebagi pelindung bagi pribadi-pribadi yang menjadi
anggota, di mana ketentraman dan ketertiban diperoleh dalam wadah tersebut.
92
Marian F. Zeitlin, Strengthening the Family (United Nations University Press, 1995), hlm. 12.
93
Eshelman JR, Family, (Boston: Allyn and Bacon Inc.,1991), hlm. 17.
94
Soerjono, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hlm. 23.
b. Keluarga batih merupakan unit sosial-ekonomis yang secara materil
memenuhi kebutuhan anggotanya.
c. Keluarga batih menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan
hidup.
d. Keluarga batih merupakan wadah di mana manusia mengalami proses
sosialisasi awal, yakni suatu proses di mana manusia mempelajari dan
mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari
suatu hubungan seks yang tetap, untuk menyelenggarakan hal-hal yang
berkenaan dengan keorangtuaan dan pemeliharaan anak. Adapun ciri-ciri umum
keluarga yang dikemukakan oleh Mac Iver and Page, yaitu:95
a. Keluarga merupakan hubungan perkawinan.
b. Susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan perkawinan yang
sengaja dibentuk dan dipelihara.
c. Suatu sistim tata nama, termasuk perhitungan garis keturunan.
d. Ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggota kelompok
yang mempunyai ketentuan khusus terhadap kebutuhan-kebutuhan ekonomi
yang berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan
membesarkan anak. 
e. Merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga yang walau
bagaimanapun, tidak mungkin menjadi terpisah terhadap kelompok kelompok
keluarga.
Sementara menurut Burgest dan Locke,96 terdapat 4 (empat) ciri
keluarga yaitu:
a. Keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan
(pertalian antar suami dan istri), darah (hubungan antara orangtua dan anak)
atau adopsi.

Khairuddin, Sosiologi Keluarga, hlm. 12.


95

Ernest Watson Burgess dan Harvey James Locke, The Family, from Institution to
96

Companionship (New York: American Book Company, 1960), hlm.3-8.


b. Anggota-anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama di bawah satu atap
dan merupakan susunan satu rumah tangga. Tempat kos dan rumah
penginapan bisa saja menjadi rumah tangga, tetapi tidak akan dapat menjadi
keluarga, karena anggota-anggotanya tidak dihubungkan oleh darah,
perkawinan atau adopsi.
c. Keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan
berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan sosial bagi si suami dan
istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan perempuan, saudara laki-laki dan
saudara perempuan. Peranan-peranan tersebut diperkuat oleh kekuatan tradisi
dan sebagian lagi emosional yang menghasilkan pengalaman.
d. Keluarga adalah pemelihara suatu kebudayaan bersama yang diperoleh dari
kebudayaan umum.
2. Peran Keluarga dalam Masyarakat
Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki kewajiban
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anaknya yang meliputi agama, psikologi,
makan dan minum, dan sebagainya. Adapun tujuan membentuk keluarga adalah
untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anggota keluarganya. Keluarga yang
sejahtera diartikan sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan
yang sah, mampu memenuhi kebutuhan fisik dan mental yang layak, bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan
seimbang antar anggota keluarga, dan antar keluarga dengan masyarakat dan
lingkungannya.97
Ditambahkan oleh Pitts yang dikutip oleh Kingsbury dan Scanzoni 98
bahwa tujuan dari terbentuknya keluarga adalah sebagai suatu struktur yang
dapat memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis anggotanya dan untuk

97
Landis,Sociology: Concepts and Characteristics,edisi ke-7 (California: Wadsworth Inc,1989),
hlm. 7; dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional [BKKBN], Undang-undang
Republik Indonesia nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera (Jakarta: BKKBN, 1992).
98
Baca, Prolog buku Boss et al., Sourcebook of Family Theories and Methods: A Contextual
Approach, (New York: Plenum, 1993).
memelihara masyarakat yang lebih luas. Dalam mencapai tujuan keluarga,
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 menyebutkan adanya delapan
fungsi yang harus dijalankan oleh keluarga, meliputi fungsi pemenuhan
kebutuhan fisik dan non fisik yang terdiri atas fungsi keagamaan, sosial-budaya,
cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan
pembinaan lingkungan.99
Mattensich dan Hill100 menyebutkan bahwa fungsi keluarga terdiri atas
pemeliharaan fisik sosialisasi dan pendidikan, akuisisi anggota keluarga baru
melalui prokreasi atau adopsi, kontrol perilaku sosial dan seksual, pemeliharaan
moral keluarga dan pendewasaan anggota keluarga melalui pembentukan
pasangan seksual, dan melepaskan anggota keluarga dewasa. Sementara
Kingsbury dan Scanzoni101 dengan merujuk pendapat Pitts menjelaskan bahwa
tujuan dari terbentuknya keluarga adalah untuk mewujudkan suatu struktur yang
dapat memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis para anggotanya dan untuk
memelihara kebiasaan atau budaya masyarakat yang lebih luas.
Sejalan dengan itu, dalam konsep sosiologi dinyatakan bahwa tujuan
keluarga adalah mewujudkan kesejahteraan lahir (fisik, ekonomi) dan batin
(sosial, psikologi, spiritual, dan mental). Secara detil tujuan dan fungsi keluarga
dapat diuraikan sebagai berikut: Sebagai unit terkecil dalam masyarakat,
keluarga memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggota
keluarganya yang meliputi kebutuhan fisik (makan dan minum), psikologi
(disayangi, diperhatikan), spiritual agama, dan sebagainya. Adapun tujuan
membentuk keluarga adalah untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan
bagi anggota keluarganya, serta untuk melestarikan keturunan dan budaya suatu
bangsa. Keluarga yang sejahtera diartikan sebagai keluarga yang dibentuk
berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan fisik dan

99
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional [BKKBN], 1996, Situs Informasi Kesehatan
Seksual dan Sosial Remaja: Cerita Remaja Indonesia. www.bkkbn.go.id.
100
Zeitlin, Strengthening the Family, hlm. 63.
101
Boss et al., Sourcebook of Family Theories and Methods, hlm. 57.
mental yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki
hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota keluarga, dan antar
keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya.102
Dalam mencapai tujuan keluarga, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21
Tahun 1994 (BKKBN, 1996) menyebutkan adanya delapan fungsi yang harus
dijalankan oleh keluarga meliputi fungsi-fungsi pemenuhan kebutuhan fisik dan
nonfisik yang terdiri atas fungsi: (a) keagamaan, (b) sosial, (c) budaya, (d)
cinta kasih, (e) perlindungan, (f) reproduksi, (g) sosialisasi dan pendidikan, (h)
ekonomi, dan (1) pembinaan lingkungan.
Selanjutnya Rice dan Tucker103 menyatakan bahwa fungsi keluarga
meliputi fungsi ekspresif, yaitu fungsi untuk memenuhi kebutuhan emosi dan
perkembangan anak termasuk moral, loyalitas dan sosialisasi anak, dan fungsi
instrumental yaitu fungsi manajemen sumberdaya keluarga untuk mencapai
berbagai tujuan keluarga melalui prokreasi dan sosialisasi anak dan dukungan
serta pengembangan anggota keluarga.

3. Hubungan dalam Keluarga


Hubungan keluarga merupakan suatu ikatan dalam keluarga yang
terbentuk melalui masyarakat. Ada tiga jenis hubungan keluarga yang
dikemukakan oleh Robert R. Bell,104 yaitu:
a. Kerabat dekat (conventional kin) yaitu terdiri dari individu yang terikat
dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi dan atau perkawinan,
seperti suami istri, orang tua-anak, dan antar-saudara (siblings).
b. Kerabat jauh (discretionary kin) yaitu terdiri dari individu yang terikat dalam
keluarga melalui hubungan darah, adopsi dan atau perkawinan, tetapi ikatan
keluarganya lebih lemah daripada keluarga dekat. Anggota kerabat jauh

102
Landis 1989; dan BKKBN 1992.
103
Ann SmithRice dan SuzanneTucker, Family Life Management, edisi ke-6 (McMillan, New
York: 1986), hlm. 31-37.
104
Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, hlm. 91.
kadang-kadang tidak menyadari adanya hubungan keluarga tersebut.
Hubungan yang terjadi di antara mereka biasanya karena kepentingan pribadi
dan bukan karena adanya kewajiban sebagai anggota keluarga. Biasanya
mereka terdiri atas paman dan bibi, keponakan dan sepupu.
c. Orang yang dianggap kerabat dekat (fictive kin) yaitu seseorang dianggap
anggota kerabat karena ada hubungan yang khusus, misalnya hubungan antar
teman akrab.
Erat-tidaknya hubungan dengan anggota kerabat tergantung dari jenis
kerabatnya dan lebih lanjut dikatakan Adams, bahwa hubungan dengan anggota
kerabat juga dapat dibedakan menurut kelas sosial. 105 Hubungan dalam keluarga
bisa dilihat dari beberapa aspek:
Pertama, hubungan suami-istri. Hubungan antar suami-istri pada
keluarga yang institusional ditentukan oleh faktor-faktor di luar keluarga seperti:
adat, pendapat umum, dan hukum.
Kedua, hubungan orang tua-anak. Secara umum kehadiran anak dalam
keluarga dapat dilihat sebagai faktor yang menguntungkan orangtua dari segi
psikologis, ekonomis dan sosial. Secara psikologis orang tua akan bangga
dengan prestasi yang di miliki anaknya, secara ekonomis, orangtua menganggap
anak adalah masa depan bagi mereka, dan secara sosial mereka telah dapat
dikatakan sebagai orang tua.
Ketiga, hubungan antar-saudara (siblings). Hubungan antar-saudara bisa
dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, jumlah anggota keluarga, jarak kelahiran,
rasio saudara laki-laki terhadap saudara perempuan, umur orang tua pada saat
mempunyai anak pertama, dan umur anak pada saat mereka ke luar dari rumah.
4. Keluarga dalam Relasi Sosial
a. Pengertian Sosialisasi
Pada awalnya ada dugaan kuat bahwa anak yang dilahirkan didunia,
merupakan makhluk yang sama sekali bersih. Manusia yang ada sekitarnya akan

105
Ibid.,hlm. 99.
membentuk anak tadi seolah-olah bagaikan kertas putih bersih yang kemudian
ditulisi kata dan kalimat. Hal ini membuktikan bahwa individu yang lahir di
dunia pasti mengalami proses sosialisasi.
Secara luas sosialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses dimana
warga masyarakat di didik untuk mengenal, memahami, mentatati dan
menghargai norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.106
Menurut David A. Goslin, sosialisasi adalah proses belajar yang dialami
seseorang untuk memperoleh pengetahuan, ketrampilan, nilai-nilai dan norma-
norma agar ia dapat berpartisipasi sebagai anggota dalam kelompok
masyarakatnya.107
Menurut tahapannya sosialisasi dibedakan menjadi dua tahap, yakni:108
a. Sosialisasi primer, sebagai yang pertama dijalankan individu semasa kecil.
Dalam tahap ini proses sosialisasi primer membentuk kepribadian anak
kedalam dunia umum, dan keluargalah yang berperan sebagai agen
sosialisasi.
b. Sosialisasi sekunder, dalam tahap ini proses sosialisasi mengarah pada
terwujud sikap profesionalisme dan dalam hal ini yang menjadi agen
sosialisasi adalah lembaga pendidikan, peer-group, lembaga pekerjaan, dan
lingkungan yang lebih luas dari keluarga.
Sementara itu, George Hebert Mead menjelaskan bahwa perkembangan
manusia melalui tiga tahap yaitu:109
a. Play Stage: tahap di mana seorang anak mulai mengambil peranan-peranan
orang disekitarnya.
b. Game Stage: tahap di mana seorang anak mulai mengetahui peranan yang
harus dijalankan dan peranan yang dijalankan orang lain.

106
Soerjono, Sosiologi: Suatu Pengantar,hlm. 140.
107
Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, hlm.30.
108
Ibid.,hlm. 32.
109
Ibid.,hlm. 34.
c. Generalized Other: tahap di mana seseorang telah mampu mengambil
peranan-peranan yang dijalankan oleh orang lain.
b. Fungsi Sosialisasi Keluarga
Sosialisasi merupakan proses awal di mana kepribadian anak ditentukan
lewat interaksi sosial. Agen utama dalam hubungan ini adalah keluarga, dan
kontak pertama dari anak hampir hanya dengan anggota-anggota kelompok ini.
Tiap-tiap masyarakat seharusnya mengajarkan si anak untuk menjadi
anggota yang bertanggung jawab, dan yang paling utama adalah melalui
keluarga. Di sini anak belajar menerima norma-norma sosial, sikap-sikap, nilai-
nilai serta pola tingkah lakunya menjadi dapat diperkirakan oleh anggota
masyarakat lainnya.
Bahasa, pola-pola seks, kenyakinan agama, sopan santun dan peletakan
berbagai elemen-elemen kebudayaan juga ditangani lewat keluarga.110 Fungsi
sosialisasi keluarga menurut BKKBN ada delapan fungsi yaitu:
a) Fungsi agama
Sebagai sarana awal memperkenalkan nilai-nilai religius kepada anggota
keluarga baru. Dalam proses sosialisasi ini, interaksi antar anggota keluarga
berlangsung secara intens.
b) Fungsi sosial budaya
Fungsi ini ditanamkan bertujuan untuk memberikan identitas sosial kepada
keluarga itu, termasuk anggota keluarga baru. Budaya diwariskan awalnya
dalam institusi ini.
c) Fungsi cinta kasih
Dalam keluarga idealnya terdapat “kehangatan”.
d) Fungsi perlindungan
Sifat dasar dari setiap individu adalah bertahan terhadap segala gangguan dan
ancaman. Dalam hal ini keluarga berperan sebagai benteng terhadap seluruh
anggota keluarga dari gangguan fisik maupun psikis.

110
Talcot Parson dalam Khairuddin, Sosiologi Keluarga, hlm. 126.
e) Fungsi reproduksi
Keberlangsungan keluarga dilanjutkan melalui proses regeneratif, dalam hal
ini keluarga adalah wadah yang sah dalam melanjutkan proses regenerasi itu.
f) Fungsi pendidikan
Sebagai wadah sosialisasi primer, keluargalah yang mendidik dan
menanamkan nilai-nilai dasar. Ketika proses itu berjalan, perlahan-lahan
institusi lain (sekolah) akan mengambil peranan sebagai wadah sosialisasi
sekunder.
g) Fungsi ekonomi
Kesejahteraan keluarga akan tercapai dengan berfungsinya dengan baik
fungsi ekonomi ini. Keluargalah yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan
sehari-hari anggota keluarganya.
h) Fungsi lingkungan
Fungsi ini erat kaitannya dengan hubungan dengan lingkungan sekitar.
Lingkungan yang harmonis merupakan kondisi apabila dimana dalam
fungsinya setiap keluarga bisa meyakinkan anggota keluarganya untuk bisa
menjaga dan melihat lingkungan sekitarnya dengan baik.
c. Disfungsi Sosialisasi dalam Keluarga
Sebagai sebuah sistem, keluarga dapat terpecah apabila salah satu atau
lebih anggota keluarga tidak menjalankan tugas dan fungsinya dalam keluarga
hingga menyebabkan terjadinya keluarga disfungsi. Hal ini tentu akan
mempengaruhi keutuhan keluarga sebagai sebuah sistem. Disfungsi diartikan
sebagai tidak dapat berfungsi dengan normal sebagaimana mestinya.
Keluarga disfungsi dapat diartikan sebagai sebuah sistem sosial terkecil
dalam masyarakat di mana anggota-anggotanya tidak atau telah gagal
manjalankan fungsi-fungsi secara normal sebagaimana mestinya. Keluarga
disfungsi; hubungan yang terjalin di dalamnya tidak berjalan dengan harmonis,
seperti fungsi masing- masing anggota keluarga tidak jelas atau ikatan emosi
antar anggota keluarga kurang terjalin dengan baik.111
Keluarga yang mengalami disfungsi sangat berpengaruh pada
sosialisasinya dalam keluarga, disfungsi sosialisasi keluarga merupakan suatu
hal yang disebabkan gagalnya keluarga dalam menjalankan fungsi sosialisasi
yang seharusnya dilakukan oleh keluarga tetapi dijalankan oleh orang lain atau
lembaga lain.
5. Ekologi Keluarga
Konsep ekologi manusia menyangkut saling ketergantungan antara
manusia dengan lingkungan, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya buatan.
Pendekatan ekologi atau ekosistem menyangkut hubungan interdependensi
antara manusia dan lingkungan di sekitarnya sesuai dengan aturan norma
kultural yang dianut. Konsep ekologi manusia juga dikaitkan dengan
pembangunan. Keberhasilan pembangunan yang berkelanjutan sangat
bergantung pada faktor manusianya yaitu seluruh penduduk dan sumberdaya
alam yang dimiliki serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kaidah
ekologi menetapkan adanya ketahanan dan ketegaran (resilience) suatu sistem
yang dipengaruhi oleh dukungan yang serasi dari seluruh subsistem.112
Mengingat manusia adalah makhluk sosial, dan keluarga merupakan
lembaga sosial terkecil yang menyangkut hubungan antar pribadi dan hubungan
antara manusia dengan lingkungan di sekitarnya, maka keluarga tidak dapat
berdiri sendiri. Keluarga sangat tergantung dengan lingkungan di sekitarnya dan
keluarga juga mempengaruhi lingkungan di sekitarnya.
Beberapa peneliti memberikan contoh-contoh hubungan antara keluarga
dan lingkungan atau disebut sebagai ekologi keluarga. Dijelaskan bahwa saat ini
sedang terjadi perubahan-perubahan global baik dari segi sosial-ekonomi,

111
Siswanto, Psikologi Pengasuhan Anak , (Malang: UIN-Malang Press, 2007), hlm. 19.
112
Mohamad Soerjani, Perkembangan Kependudukan Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,
(Jakarta:Yayasan Institut Pendidikan & Pengembangan Lingkungan, 2000).
teknologi dan politik, serta perubahan sistem dunia 113 yang berdampak pada
perubahan dalam keluarga dan masyarakat, misalnya keluarga menjadi tidak
stabil dan berada dalam masa transisi menuju keseimbangan yang baru.114
Bronfenbrenner,115 Deacon dan Firebaugh (1988), Melson (1980),
Holman (1983), Klein dan White (1996) menyajikan model pandangan dari segi
ekologi keluarga dalam mengerti proses sosialisasi anak-anak. Model tersebut
menempatkan posisi anak atau keluarga inti pada pusat di dalam model yang
secara langsung dapat berinteraksi dengan lingkungan yang berada di sekitarnya,
yaitu lingkungan mikrosistem (the microsystem) yang merupakan lingkungan
terdekat dengan anak berada, meliputi keluarga, sekolah, teman sebaya, dan
tetangga. Lingkungan yang lebih luas disebut lingkungan mesosistem (the
mesosystem) yang berupa hubungan antara lingkungan mikrosistem satu dengan
mikrosistem yang lainnya, misalnya hubungan antara lingkungan keluarga
dengan sekolahnya, dan hubungan antara lingkungan keluarga dengan teman
sebayanya. Lingkungan yang lebih luas lagi disebut dengan lingkungan
exosystem yang merupakan lingkungan tempat anak tidak secara langsung
mempunyai peranan secara aktif, misalnya lingkungan keluarga besar (extended
family) atau lingkungan pemerintahan. Akhirnya lingkungan yang paling luas
adalah lingkungan makrosistem (the macrosystem) yang merupakan tingkatan
paling luas yang meliputi struktur sosial budaya suatu bangsa secara umum.
Model Bronfenbrenner menjelaskan mengenai pendekatan ekosistem
dalam menganalisis ekologi keluarga dalam sosialisasi anak yang dikenal
dengan Model Ekologi dari Bronfenbrenner.116 Model tersebut menyajikan
tahapan-tahapan pengaruh lingkungan pada sosialisasi anak yang tediri atas
lingkungan paling dekat yaitu lingkungan mikrosistem (the microsystem),

113
Khairuddin, Sosiologi Keluarga, hlm. 45.
114
Ibid.,hlm. 22.
115
Lihat, Bronfenbrenner, The Ecology of Human Behaviour (Harvard: Harvard University Press,
1981), hlm. 44; dan John W. Santrock, Steve R. Yussen, Child Development; An Introduction
(t.tt:Wm. C. Brown Publishers, 1989), hlm. 73.
116
Ibid.
lingkungan yang lebih luas disebut lingkungan mesosistem (the mesosystem),
kemudian lingkungan yang lebih luas lagi disebut dengan lingkungan
exosystem, dan akhirnya lingkungan yang paling luas yaitu lingkungan
makrosistem (the macrosystem).
Jelas sekali di sini bahwa pendekatan ekosistem dan keluarga
menyangkut hubungan interdependensi antara manusia yang berada dalam satu
unit keluarga inti dengan lingkungan sosial maupun fisik yang ada di sekitarnya
sesuai dengan aturan norma kultural yang dianut.
Menurut Holland bahwa perspektif ekosistem (sistem ekologi)
merupakan pendekatan teoretikal yang dominan dalam melihat perilaku manusia
untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang berhubungan dengan lingkungan
sosialnya (mulai dari tingkatan mikro ke makro). 117
Pendekatan lain dari Harris dan Liebert menjelaskan bahwa keluarga
dijabarkan sebagai suatu sistem yang diartikan sebagai suatu unit sosial dengan
keadaan yang menggambarkan individu secara intim terlibat untuk saling
berhubungan timbal balik dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya setiap
saat dengan dibatasi oleh aturan-aturan di dalam keluarga. Sistem ekologi juga
menganalisis keterkaitan antara keluarga dan lingkungan dalam melihat
perubahan budaya, seperti peran ganda ibu, tren perceraian, dan efek perceraian
dalam pengasuhan.118
Model tersebut menempatkan posisi anak atau keluarga inti pada pusat di
dalam model yang secara langsung dapat berinteraksi dengan lingkungan yang
berada di sekitarnya, yaitu lingkungan mikrosistem (the microsystem) yang
merupakan lingkungan terdekat dengan anak berada, meliputi keluarga, sekolah,
teman sebaya, dan tetangga. Model ini juga dapat diterapkan berdasarkan
perspektif gender, yaitu lingkungan yang dapat mendorong/menghambat

117
Kilpatrick, A. C., & Holland, T. P., Working with Families: An Integrative Model by Level of
Need, Edisi ke-3 (Boston: Allyn & Bacon, 2003), hlm. 65.
118
Judith Rich Harris dan Robert M. Liebert, The Nature of Assumption: Why Children Turn Out
the Why They Do, (t.p., 1992).
interaksi lingkungan dengan kaum laki-laki atau perempuan, mulai dari masa
bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa sampai lanjut usia.

B. Keluarga dalam Perspektif Al-Qur’an


Al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan sakral agama Islam tidak jarang
menyinggung secara eksplisit maupun implisit keberadaan satu entitas sosial
yang disebut dengan keluarga. Konsep tentang keluarga cukup banyak diuraikan
oleh para pakar dalam ruang Islamic Studies. Mengetengahkannya kembali
dalam penelitian ini, tidak lain adalah dalam kerangka informasi kritis.
Penjelasan mengenai keluarga dalam perspektif tafsir pada bagian ini, yaitu
berawal dari keterangan pengertian keluarga, proses terbentuknya keluarga,
kepemimpinan dalam keluarga, pendidikan karakter keluarga dalam bingkai
ketahanan keluarga, dan keluarga dalam konteks relevansinya dengan sosial,
yang seluruhnya merupakan analisis atas teks Al-Qur’an dengan hadist maupun
dengan logika sosiologis (tafsir) dalam kaitannya dengan peran keluarga bagi
kehidupan sosial kemasyarakatan.

1. Pengertian Keluarga
Pengertian keluarga menjadi sangat penting, karena keluarga merupakan
suatu keharusan eksistensi yang diwajibkan oleh Islam. Dasar pengertian itu
diantaranya tertera pada Al-Qur’an sebagaimana berikut:
a) Surat At-Tahrim Ayat 6:
pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3‹Î=÷dr&ur #Y‘$tR$
$ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou‘$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB
ƒÔâŸxÏî ׊#y‰Ï© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sã
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
b) Surat Al-Furqon : Ayat 74
tûïÏ%©!$#ur šcqä9qà)tƒ $oY/u‘ ó=yd $oYs9 ô`ÏB $uZÅ_ºurø—r& $oYÏG»ƒÍh‘èŒur no§è%
)&úãüôãr& $oYù=yèô_$#ur šúüÉ)FßJù=Ï9 $·B$tBÎ
“Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah
kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati
(kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”.

Adapun berkenaan dengan pengertian keluarga adalah persekutuan hidup


berdasarkan perkawinan yang sah dari suami dan istri yang juga selaku orang tua
dari anak-anaknya yang dilahirkan. Dalam Al-Qur’ān kata “keluarga” disebutkan
Allah dengan lafadh, antara lain ‫ عش^^يرة‬- ‫ ف^^ربى‬- ‫أه^^ل‬.119 Setiap lafadh tersebut
mempunyai makna sebagai berikut :
1. ‫أهل‬/Ahlun
Al-Raghib120 menyebutkan ada dua Ahlun: ahlu al-Rajul dan ahlu al-
Islam. Ahlur rajul adalah keluarga yang senasab seketurunan, mereka berkumpul
dalam satu tempat tinggal, ditunjukan dengan ayat:
pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3‹Î=÷dr&ur #Y‘$tR$
$ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou‘$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#y‰Ï© žw
ƒtbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sã
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.”

119
Al-Raghib al-Asfahani, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2010),
hlm.146.
120
Ibid.,hlm. 37.
Terhadap ayat itu Shawi121 menyebutkan “Ahli” tersebut adalah istri dan
anak-anak serta yang dikaitkan dengan keduanya, dan Ahlul Islam adalah
keluarga yang seagama, ditunjukan dengan ayat :

Ó¨Lym #sŒÎ) uä!%y` $tRâöDr& u‘$sùur â‘q‘ZF9$# $oYù=è% ö@ÏH÷q$# $pkŽÏù `ÏB 9e@à2#
Èû÷üy`÷ry— Èû÷üuZøO$# šn=÷dr&ur žwÎ) `tB t,t7y™ Ïmø‹n=tã ãAöqs)ø9$# ô`tBur
)40 :‫ (هود‬%z`tB#uä 4 !$tBur z`tB#uä ÿ¼çmyètB žwÎ) ×@‹Î=s
“Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan
air, Kami berfirman: "Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-
masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali
orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula)
orang-orang yang beriman." dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu
kecuali sedikit.”

Terhadap ayat tersebut Shawi122 menjelaskannya, keluarga yang dimaksud


ialah seorang istrinya yang iman “bernama Aminah” dan anak anaknya yang
iman, sementara seorang istrinya lagi yang kafir dan anaknya yang kafir yaitu
“Kan’an” tidak termasuk keluarga, berdasarkan ayat:
)46 :‫يا نوح إنه ليس من أهلك إنه عمل غير صالح (هود‬
2. ‫قربى‬/Qurbaa
Shawi123 menyebutkan bahwa qurba adalah keluarga yang ada hubungan
kekerabatan baik yang termasuk ahli waris maupun yang tidak termasuk, yang
tidak mendapat waris, tapi termasuk keluarga kekerabatan seperti pada ayat, an-
Nisa: 7, dan keluarga kerabat yang bersifat umum, yang ada hubungan kerabat
dengan ibu dan bapak, seperti pada ayat:
.

121
Ibid.,hlm. 290.
122
Ibid.,hlm. 268.
123
Ibid.,hlm.65.
ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£
JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur
Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uŽèYx.
)7 :‫ (النساء‬4 $Y7ŠÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan.”

3. ‫ عشيرة‬/ ‘Asyirah
Al-Raghib124 menyebutkan, ‘asyirah adalah keluarga seketurunan yang
berjumlah banyak. Hal itu berasal dari kata ‫عشرة‬dan kata itu menunjukan pada
bilangan yang banyak, seperti pada ayat:
ö@è% bÎ) tb%x. öNä.ät!$t/#uä öNà2ät!$oYö/r&ur öNä3çRºuq÷zÎ)ur ö/ä3ã_ºurø—r&ur óOä3è?
)24 :‫ (التوبة‬uŽÏ±tãur
Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-
isteri, kaum keluargamu”

2. Proses terbentuknya Keluarga


Islam menggariskan konsep tentang keluarga. Pada dasarnya keluarga
terbentuk oleh adanya sistem kekerabatan, namun sistem kekerabatan tersebut
disakralkan oleh Islam dengan istilah pernikahan. Islam menolak dengan keras
pembentukan keluarga yang tidak didasari atas pernikahan secara sah. Sehingga,
pernikahan adalah awal terbentuknya sebuah keluarga baru dalam Islam, yang
didambakan akan membawa pasangan suami isteri untuk mengarungi
kebahagiaan, cinta dan kasih sayang.125
Perkawinan merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang
memberikan banyak nilai yang signifikan bagi kehidupan individu maupun
sosial, diantaranya sebagai berikut:

Ibid.,hlm. 375.
124

Umar M.Dja’far, Indahnya Keluarga Sakinah: dalam Naungan Al-Qur’an dan


125

Sunnah(Jakarta:Zakia Press, 2004), hlm. 7.


Pembentukan sebuah keluarga yang di dalamnya seseorang dapat
menemukan kedamaian pikiran. Orang yang tidak menikah bagaikan seekor
burung tanpa sarang, sehingga sulit untuk melepaskan diri dari penyimpangan
perilaku individu yang otomatis berdampak secara sosial. Pernikahan merupakan
perlindungan bagi seseorang yang merasa seolah-olah hilang di belantara
kehidupan. Orang dapat menemukan pasangan hidup yang akan berbagi
kesenangan dan penderitaan.
Gairah seksual merupakan keinginan yang kuat dan juga penting. Setiap
orang harus mempunyai pasangan untuk memenuhi kebutuhan seksualnya dalam
lingkungan yang aman dan tenang. Orang harus menikmati kepuasan seksual
dengan cara yang benar dan wajar dalam konteks syari’at. Orang-orang yang
tidak mau menikah seringkali menderita ketidakteraturan, baik secara fisik
maupun psikologis. Ketidakteraturannya semacam itu dan juga persoalan-
persoalan tertentu merupakan akibat langsung dari ketidaksiapan terhadap
pernikahan.
Melalui pernikahan, perkembangbiakan manusia akan berlanjut. Anak-
anak adalah hasil dari pernikahan dan merupakan faktor-faktor penting dalam
memantapkan pondasi keluarga dan juga merupakan sumber kebahagiaan sejati
bagi orangtua mereka.
Tujuan pernikahan harus dicari dalam konteks spiritual. Tujuan sebuah
pernikahan bagi orang beragama harus merupakan suatu alat untuk
menghindarkan diri dari perbuatan jelek dan menjauhkan diri dari dosa. Dalam
konteks inilah pasangan yang baik dan cocok memegang peranan penting.126
Dalam upaya menjaga status keluarga yang istimewa dan menjaga
kelestariannya serta memaksimalkan tujuan-tujuannya, maka dibutuhkan
sejumlah syarat dan rukun. Dalam Islam syarat dan hukum perkawinan pada
hakekatnya bertujuan agar terjamin keutuhan ikatan lahir dan batin tersebut dan

Ibrahim Amini, Bimbingan Islam untuk Kehidupan Suami-Isteri, (Bandung: Al-Bayan, 1996),
126

hlm. 33.
pada akhirnya agar tercapai kehidupan yang tentram damai dan penuh cinta dan
kasih sayang sebagai tujuan pernikahan.127
Ditinjau dari segi kesehatan jiwa, pasangan suami isteri yang terikat
dalam suatu pernikahan tidak akan pernah menemukan kebahagiaan apabila
hanya didasari atas pemenuhan kebutuhan biologis dan atau materi, tanpa
adanya kebutuhan afeksional atau kasih sayang sebagai unsur penting bagi
pembinaan pernikahan yang sehat dan bahagia yang pada akhirnya akan
mewujudkan keluarga sakinah.128
Al-Qur’an mengajarkan bahwa keluarga harus dibangun melalui
pernikahan yang sah sebagai akad (perjanjian luhur).129 Adapun tujuan
pernikahan dalam Islam adalah untuk membangun keluarga yang tenang,
tentram, sejahtera, diliputi oleh cinta dan kasih sayang. Dengan kata lain,
pernikahan dalam Islam adalah untuk menuju keluarga sakinah. 130Oleh
karenanya, pernikahan adalah satu-satunya mekanisme pembentukan keluarga
yang dilegitimasikan oleh syari’at secara sah.
3. Peran Keluarga dalam Masyarakat
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, bahwa perkawinan adalah satu-
satunya mekanisme legal terbentuknya sebuah keluarga, maka tujuan dan fungsi
dari pernikahan menjadi sangat penting sehingga eksistensi suatu keluarga
menemukan signifikansinya.
Islam memberikan perhatian besar pada penataan keluarga, terbukti
bahwa seperempat bagian fikih yang dikenal dengan Rub’ al-Munakahah
adalah mengenai penataan keluarga, mulai dari persiapan, pembentukan sampai
pada pengertian hak dan kewajiban setiap unsur dalam keluarga kesemuanya

127
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, (Yogyakarta: Academia & Tazzafa,2005), hlm.
36.
128
Departemen Agama RI, Korps Penasehat Perkawinan dan Keluarga Sakinah, (Jakarta:
Ditrjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004), hlm. 59.
129
Maten Miharso, Pendidikan Keluarga Qur’ani, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004),
hlm. 39.
130
Zaitunah Subhan, Membina Keluarga Sakinah, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), hlm.
38.
dimaksudkan supaya pembentukan keluarga mencapai tujuannya seperti
disebutkan dalam Al-Qur’ān.131
Ketika menyeru dan memberi gambaran tentang indahnya keluarga,
Islam memperlihatkan berbagai fungsi serta menunjukkan buah manisnya
kehidupan keluarga yang akan memiliki implikasi terhadap kehidupan individu
dan masyarakat. Itulah di antara nikmat Allah SWT dan sebagai dari tanda-tanda
kekuasaan-Nya yang dipersiapkan dan dipulihkan untuk hamba-Nya agar
kehidupannya bisa berjalan dengan baik dan sisi keluhnya bisa dijernihkan.132
Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’ān surah Ar-Rum Ayat 21:
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurø—r& (#þqãZä3ó¡tFÏj9
$ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B
ƒºpyJômu‘ur 4 ¨bÎ) ’Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGt
“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan
untukmu isteri/pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa
kasih dan sayang, sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS: Ar-Rum: 21).133

Keluarga adalah unit sosial terkecil yang terdiri dari individu-individu,


yang mempunyai keterkaitan batin, dimana setiap anggota memiliki rasa
tanggung jawab untuk memelihara kelangsungan hidup keluarga. Suami
bertanggung jawab terhadap isteri dan anak-anaknya, begitu pula dengan
seorang isteri mempunyai tanggung jawab berbakti kepada suami sebagai timbal
balik, dan anak, sebagai penerus generasi, harus menghormati orang tuanya yang
telah membesarkan dan mendidiknya. Dari sinilah titik awal terbentuknya
masyarakat yang baik.134Keseimbangan sistem dalam struktur yang dibarengi
dengan fungsinya tersebut akan mengaktifkan fungsi dari keluarga.

131
Ahmadie Thaha, “Keluarga”, dalam Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru), hlm. 73.
132
Mustafa Abdul Wahid, Manajemen Keluarga Sakinah, (Yogyakarta: Diva Press, 2004), hlm.
29.
133
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Alquran, 1971), hlm. 644.
134
Zaid H. Alhamid, Rumah Tangga Muslim, (Semarang: Mujahidin, 1981), hlm. 9-10.
Ada beberapa ayat yang berbicara tentang tujuan berkeluarga dalam al-
Qur’ān antara lain; al-Baqarah : 187, 223; al-Maarij: 29-31; al-Mu’minun: 5-7;
asy-Syura: 11; an-Nahl: 72; ar-Rum: 21; an-Nisa: 19; an-Nur: 33 yang secara
kronologis turunnya ayat sesuai dengan konsep makiyah-madaniyah versi
Noldeke135 yang dijabarkan sebagai berikut:
a. Al-Ma’arij: 29-31:
tûïÏ%©!$#ur ö/ãf öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇËÒÈ žwÎ) #’n?tã óOÎgÅ_ºurø—r& ÷rr& $tB
ôMs3n=tB öNåkß]»yJ÷ƒr& öNåk¨XÎ*sù çŽöxî tûüÏBqè=tB ÇÌÉÈ Ç`yJsù 4ÓxötGö/$# uä!#u‘ur
y7Ï9ºsŒ y7Í´¯»s9'ré'sù ç/èf tbrߊ$yèø9$# ÇÌÊÈ
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap
istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barang siapa mencari
yang di balik itu, maka mereka itulah yang melampaui batas”

Ayat tersebut di atas pada periode Makkah awal ini berisi tentang
perintah untuk menjaga kehormatan dengan menjaga kemaluan dengan hanya
melakukan hubungan badan dengan istri-istri yang sah saja, dan masih
diperbolehkan untuk menggauli budak-budak perempuan milik pribadi serta
larangan di luar dari itu.

b. An-Nahl: 72:
“Allah memberikan istri-istri dari jenismu sendiri dan menjadikan
dari mereka anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rezeki dari
yang baik-baik”

c. Ar-Rum: 21:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan
merasa tentram kepadanya dan dijadikanNya di antara kamu rasa
kasih sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum berpikir”
135
Taufiq Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah Al-Qur’ān(t.tt: Forum Kajian Agama dan Budaya,
2001), hlm. 85
d. As-Syura: 11:
“Dia pencipta langit dan bumi, dan menjadikan bagimu pasangan-
pasangan dari jenismu sendiri dan binatang ternak berpasang-
pasangan pula, dijadikannya kamu berkembang biak dengan jalan
itu, tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang
Maha Mendengar lagi Maha Melihat”

Masuk pada periode Makkah akhir ini lebih banyak lagi dibicarakan
tentang sistem sosial terkecil yang disebut dengan keluarga (berpasang-pasang),
dalam surat an-Nahl 71 berbicara masalah regenerasi (anak-anak) yang
merupakan bagian penting dalam entitas rumah tangga dan aspek ekonomi
sebagai persoalan yang penting untuk dilandaskan. Ar-Rum 21 berbicara
masalah fungsi afeksi dari keluarga dengan makna ketenteraman dan kedamaian
yang akan didapatkan dalam keluarga. As-Syura 11 berbicara tentang masalah
reproduksi sebagai salah satu tujuan dari membentuk keluarga. Dari sini Allah
mulai menjelaskan arti penting sebuah keluarga yaitu melestarikan keturunan
dan hidup tentram melalui keluarga.
e. Al-Baqarah: 187
“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan
istri-istrimu, mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak
menahan nafsumu, karena ityu Allah mengampunimu dan memberi
maaf kepadamu. Istri-istrimu seperti tanah tempatmu bercocok
tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam itu
bagaimana saja kamu menghendaki”

f. An-Nisa: 1
“Hai sekalian manusia! Bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakanmu dari seorang diir, dan dari padanya Allah
menciptakan istrinya, dan dari pada keduanya Allah
mengembangbiakkan banyak laki-laki dan perempuan” 9 “Dan
hendaklah takut kepada Allahorang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah”

g. An-Nur: 33:
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga
kesuciannya, sehingga Allah memampukan mereka dengan
karuniaNya…dan Janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu
untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan
kesucian…”

Pada periode Madaniyah al-Baqarah 187 dan 223 berbicara bahwa


perkawinan sebagai awal pembentukan keluarga juga berfungsi sebagai wadah
pemenuhan hasrat seksual dengan perintah untuk menggauli istri-istri secara
layak. Artinya keluarga merupakan benteng ketahanan seksual. Ia berfungsi
sebagai sistem kontrol sosial dalam masyarakat. Elemen yang terdiri dari suami
istri harus mengupayakan fungsi seksual dari keluarganya dengan semestinya.
An-Nisa 1 dan 9 berbicara tentang kewajiban orang tua terhadap kehidupan
anak-anaknya dan larangan menelantarkannya. Pengertian secara lebih
komprehensif menyangkut fungsi keluarga (orang tua) bagi anggotanya (anak)
meliputi pendidikan, ekonomi, lingkungan, sosial keagamaan, dan
seterusnya.An-Nur 33 berbicara tentang masalah jika seseorang tidak mampu
membangun keluarga (menikah) maka dia diharuskan menahan diri dan
menjauhi pelacuran.Karena berkeluarga tentu dengan tujuannya yang mulia,
akan menjadi negatif ketika faktor kemampuan untuk menjalaninya tidak
dipersiapkan sehingga dikatakan mampu. Pada gilirannya akan berakibat pada
disfungsi keluarga sebagai wadah pembentukan masyarakat yang ideal.
Memperhatikan kronologi ayat-ayat di atas, terlihat keberanjakan yang
cukup jelas pada periode ini yaitu seperti ayat-ayat sebelumnya yang seolah
menjadi istri hanya sebagai objek saja pada periode ini tampak sekali bahwa
Allah menganjurkan hubungan yang seimbang antara suami dan istri layaknya
partner dalam bekerja dan kepada keduanya juga diserahi tugas untuk
bertanggung jawab terhadap masa depan anak-anak mereka. Artinya co-
eksistensi elemen pembentuk keluarga menjadi syarat mutlak untuk mewujudkan
keluarga yang ideal. Pada ayat terakhir Allah memberikan suatu kelonggaran
bagi manusia bagi mereka yang tidak mampu untuk kawin untuk bersabar dan
menahan diri serta berusaha menjaga kesucian diri dari melakukan hubungan
seksual dengan mereka yang tidak sah.
Berdasarkan uraian tentang ayat-ayat tentang keluarga di atas dapat
dipetakan secara jelas mengenai tahapan konseptualnya. Islam menempatkan
keluarga di dalam satu unit sosial melalui pernikahan yang merupakan “janji
setia yang teguh” dan menggambarkan perpaduan seluruh pihak (suami-istri-
anak) sebagaimana perpaduan persekongkolan di atas landasan satu hati, satu
rasa dan satu jiwa. Di samping itu, dinyatakan pula sebagai dasar menyambung
keturunan anak dan cucu dan sebagai unsur pertama dalam pembentukan
keluarga. Maka dari sini timbullah cabang, dahan dan ranting berbentuk bangsa
dan suku-suku untuk saling berkenalan, bekerjasama dan saling bantu
membantu.136 Dalam bahasa sosiologisnya, berangkat dari sistem keluarga,
lahirlah sistem sosial yang merupakan gabungan dari berbagai keluarga yang
didalamnya terdapat individu-individu.
Adapun jalinan perekat bagi bangunan keluarga adalah hak dan
kewajiban yang disyariatkan Allah terhadap ayah, ibu, suami dan istri serta anak-
anak. Semua kewajiban itu tujuannya adalah untuk menciptakan suasana aman,
bahagia dan sejahtera bagi seluruh masyarakat bangsa.137
Keluarga adalah jiwa masyarakat dan tulang punggungnya.
Kesejahteraan lahir dan batin yang dinikmati oleh suatu bangsa, atau sebaliknya,
kebodohan dan keterbelakangannya adalah cerminan dari keadaan keluarga-
keluarga yang hidup pada masyarakat bangsa tersebut.138

136
Ibid., hlm. 85
137
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung:Mizan, 2001), hlm.255.
138
Ibid., hlm. 253.
Pengertian-pengertian tentang fungsi keluarga di atas berimplikasi pada
adanya peran dari sebuah entitas keluarga, yang secara tegas bermuara pada
terciptanya stabilitas sistem keluarga yang termaktub dengan istilah “Sakinah,
Mawwadah, Wa rahmah”. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menafsirkan pengertian
istilah tersebut sebagai berikut:
a. Sakinah adalah ketenangan, kehebatan (percaya diri) dan kedamaian.
b. Mawaddah adalah kelembutan tindakan, kelembutan hati, kecerahan wajah,
tawadhuk, kejernihan pikiran, kasih saying, empati, kesenangan, dan
kemesraan.
c. Rahmah adalah kerelaan berkorban, keikhlasan memberi, memelihara,
kesediaan saling memahami, saling mengerti, kemauan untuk saling menjaga
perasaan, sabar, jauh dari kemarahan, jauh dari keras hati dank eras kepala,
jauh dari kekerasan fisik dan kekerasan mental.139
Benang merah yang terpapar di atas adalah betapa keluarga adalah unit
sistem sosial terkecil yang sangat penting sekali keberadaanya dalam sistem
sosial makro. Ia menjadi tulang punggung bagi masyarakat, sehingga apabila
dalam sturktur sosial ada yang disfungsi, sudah barang tentu hal tersebut
bersumber dari unit keluarga. Begitu juga, apabila yang terjadi adalah
keharmonisan sistem keluarga, maka implikasinya pada sistem sosial
kemasyarakatan secara makro. Sakinah mawaddah wa rahmah dalam keluarga
akan berdampak secara langsung pada sakinah mawaddah wa rahmah dalam
masyarakat. Begitu pula sebalikanya. Demikian keberadaan kelurga menjadi
saham terbesar bagi terciptanya situasi sosial masyarakat.

4. Sistem Ketahanan Keluarga


a. Kepemimpinan

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Raudlatul Muhibbin wa Nuzhatul Muastaqin, Terj. Tim Penerbit
139

Darul Falah (Bandung: Darul Falah, 2007), hlm. 35.


Sistem kepemimpinan dalam keluarga seringkali diidentikan oleh
kepemimpinan lelaki atas perempuan sebagaimana yang termaktub dalam surah
al-Nisa (4) ayat 34, “Kaum laki-laki itu memimpin kaum perempuan”.  
Ayat tersebut bukanlah bermakna dominasi, pemaksaan atau pemerasan
lelaki terhadap perempuan, melainkan sebagaimana yang dikatakan oleh para
ahli linguistik dan juga kebanyakan para penafsir bahwa kata qawwâm di sini
bermakna pengayom, penyelenggara dan penjaga. Karena keluarga merupakan
sebuah institusi kecil masyarakat, wajar apabila ia juga menuntut kehadiran
seorang pemimpin dan pengayom tunggal sebagaimana halnya masyarakat besar.
Begitu juga karena karakteristik-karakteristik berikut terdapat dalam
diri pria, seperti: 1. Kekuatan rasional lelaki lebih dominan dari perasaan dan
kasih sayangnya, 2. Lelaki memiliki stamina dan kekuatan fisik yang lebih besar
untuk membela kehormatan keluarga, dan 3. Memiliki komitmen keuangan atas
para wanita dan anak-anak dalam memenuhi kebutuhan dan biaya hidup, oleh
karena itulah sehingga tanggung jawab kepemimpinan ini diletakkan di atas
pundak kaum lelaki. Perspektif Al-Qur’an, qawwâmiyat (kepemimpinan) hanya
diperbolehkan ketika berada dalam lingkaran keadilan dan keridhaan-Nya, dan
harus senantiasa diingat bahwa yang menjadi tolok ukur kelebihan dan
keutamaan di sisi Tuhan hanyalah taqwa, dan bukan gender.
Pada budaya Qur’ān, makna kepemimpinan yang dimiliki oleh lelaki
sama sekali bukan merupakan lahan untuk pendominasian, pengekangan dan
penindasan atas kaum perempuan. Sangkaan yang mengatakan bahwa ayat di
atas telah memberi peluang bagi kaum lelaki untuk menindas dan mendominasi
perempuan mungkin saja terjadi karena ketiadaan penjelasan makna qawwâm
dalam analisa dan penelitian al-Qur’ān. Oleh karena itu, sebelum memasuki
masalah utama mengenai makna qawwâmiyat, perlu diungkapkan beberapa poin
penting guna menjelaskan kedudukan dan posisi perempuan dalam perspektif
agama Islam.
Perempuan sebagai separuh penduduk dunia dan anggota aktif dalam
lembaga besar masyarakat manusia, juga merupakan salah satu dari dua pilar
pencipta fondasi keluarga, dan sejarah telah mencatat berbagai penilaian
mengenainya. Pandangan sejarah sepintas menunjukkan bahwa perempuan
dalam mayoritas komunitas masyarakat menghadapi bentuk-bentuk diskriminasi
yang menyiksa. Meskipun dalam berbagai budaya dan masyarakat sepanjang
sejarah, perbedaan dan ikhtilaf ini memiliki intensitas yang berbeda-beda, akan
tetapi kontinuitas dan melebarnya masalah ini tak dapat dipungkiri. Dari mulai
masa jahiliyyah di mana gadis-gadis dikubur dalam keadaan hidup-hidup, para
perempuan dibunuh oleh kaum lelaki dalam masyarakat Sumeria atau mereka
dipergunakan sebagai alat transaksi untuk membayar hutang, 140 merupakan
contoh-contoh penindasan tak kepalang tanggung yang dihadapi oleh kaum
perempuan. Kesengsaraan-kesengsaraan yang telah diderita oleh kaum
perempuan selama berabad-abad yang lalu bahkan hingga kini masih tetap
mereka rasakan, baik pada mereka yang meyakini patriarkal pria dan
menuhankan lelaki di dalam rumah, maupun pada peristiwa-peristiwa keras dan
radikal yang berpikir tentang kebebasan mutlak perempuan.
Dengan kemunculan agama Islam di bumi Arab, dan bantuan ajaran-
ajaran Islam serta sunnah nabawi, kaum perempuan akhirnya memiliki
kedudukan dan martabat yang sesuai dengan statusnya dan memperoleh kembali
kedudukannya yang hakiki.
Dalam kaitannya dengan masalah ini, Imam Khomeini, pendiri
Republik Islam Iran mengatakan, Islam telah menyelamatkan kaum perempuan
dari apa yang mereka alami pada masa jahiliyyah, dan apa yang dilakukan oleh
Islam untuk melayani kaum perempuan ini tidak sebanding dengan apa yang
dilakukannya terhadap kaum lelaki.141 Islam menempatkan kaum perempuan
sejajar dengan lelaki, tentunya terdapat satu hukum tertentu yang sesuai untuk

140
Ahmad Hamrani,Al-Mar’ah fi al-Târikh wa al-Syariah, hlm. 20.
141
Ibid., hlm. 82.
lelaki dan satu hukum tertentu lainnya yang khusus dan sesuai untuk perempuan,
dan ini bukan berarti bahwa Islam telah membedakan antara lelaki dan
perempuan.142
Kesetaraan dalam penciptaan, al-Quran al-Karim memandang
perempuan dan lelaki sebagai dua kelompok manusia yang diciptakan dari esensi
dan jiwa yang tunggal. Dalam ajaran-ajaran al-Quran, kemanusiaan merupakan
satu bentuk di mana lelaki dan perempuan masing-masing memiliki kedudukan
yang sama dan sejajar, sebagaimana tersirat dalam salah satu ayat-Nya, “Kalian
telah diciptakan dari satu jiwa, kemudian diciptakanlah istrinya dari jiwa
tersebut.”143
Pada ayat lain berfirman, “Dia-lah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu
dan darinya Dia menciptakan istrinya.”144
Demikian juga, dilihat dari sisi terpenting manusia yaitu rasionalitas
dan kecerdasan yang dimilikinya, lelaki dan perempuan memiliki saham dan
manfaat yang setara pula, sebagaimana firman-Nya, “Katakanlah, “Dia-lah
Yang menciptakan kalian dan menjadikan bagi kalian pendengaran,
penglihatan, dan hati. (Tetapi) amat sedikit kalian bersyukur.” 145 Para mufassir
dan cendekiawan Muslim mengartikan af-idah (hati) pada ayat di atas sebagai
daya pikir dan rasio manusia yang berbeda dari binatang.146
Ketiadaan diskriminasi hak-hak perempuan dan laki-laki dalam
kehidupan suami istri: dalam al-Quran, dominasi dan keutamaan yang
menguntungkan bagi perempuan ditempatkan secara sejajar dengan apa yang
menguntungkan bagi lelaki, meskipun bisa jadi terdapat perbedaan dalam
beberapa kasus, seperti hak dalam masalah nafkah dan tunjangan hidup yang
meniscayakan lelaki untuk memberikan perhatian atasnya, hak kepengikutan
142
Ibid.
143
Qs. Az-Zumar (39): 6.
144
Qs. Al-A’raf (7): 189.
145
Qs. Al-Mulk (67): 23.
146
Ibnu Khaldun, Muqadimah Ibnu Khaldun, jilid. 2, hlm. 860; Charles Issawi, M. A.,Filsafat
Islam Tentang Sejarah, Pilihan dari Muqaddimah Karangan Ibn Chaldun dari Tunis (1332-
1406). (disalin dalam bahasa Indonesia oleh Dr. A. Mukti Ali), (Jakarta: Tintamas, 1962).
perempuan dalam masalah tempat tinggal, dan lain sebagainya, karena dalam
salah satu ayat-Nya Allah swt berfirman, “Dan para wanita mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf”, 147 dan ini
sebagaimana halnya hak yang dimiliki oleh kaum lelaki; dan para mufassir
menggunakan ayat ini sebagai sandaran atas kesejajaran dan kesetaraan hak
antara laki-laki dan perempuan.148
Pada kenyataannya di dalam Al-Qur’an tidak terdapat sebuah persoalan
yang dengan jelas memperlihatkan pemberian kelebihan hak atau keutamaan
tertentu yang keluar dari kehendak dan kewenangan manusia yang kemudian
diinterpretasikan dengan kata "derajat", melainkan kata "derajat" atau “derajat-
derajat” mengisyaratkan pada maqam dan kedudukan duniawi atau ukhrawi
yang diciptakan oleh kehendak tindakan manusia itu sendiri,149 sebagaimana
salah satu ayat-Nya menyatakan, “Dan masing-masing orang memperoleh
derajat-derajat lantaran apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah
dari apa yang mereka kerjakan.”
Qawwâm, dalam pandangan ahli linguistik diartikan sebagai
pengayom, pelindung dan penjaga. Sedangkan qayyam kadangkala bermakna
perlindungan dan reformasi atau perbaharuan, dan di antara firman-firman

147
Qs. Al-Baqarah (2): 228.
148
Dalam tafsir Al-Mizan, Allamah Thabathabai berkata, “Yang diniscayakan dalam keadilan
ilahi dan mengintepretasikan makna kesetaraan adalah bahwa setiap individu pemilik hak yang
berada dalam masyarakat akan sampai pada haknya, setiap orang juga akan berkembang sesuai
dengan kemajuannya dan tidak lebih. Jadi, kesetaraan antara manusia satu dengan yang lainnya,
dan antara tingkatan-tingkatan sosial yang ada hanyalah supaya setiap pemilik hak memperoleh
hak khususnya, tanpa mengganggu hak selainnya, tanpa dimotivasi oleh rasa permusuhan,
pemaksaan atau setiap motivasi lainnya yang tidak jelas atau batil, dan ini tak lain sebagaimana
yang tersirat dalam kalimat,   “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkat
kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Baqarah
[2]: 228), dengan penjelasan di atas, mengisyaratkan bahwa kalimat di atas selain menerima
perbedaan alami antara lelaki dan perempuan, juga menegaskan tentang masalah kesetaraan hak
antara keduanya.” (Al-Mizân, jilid. 2, hlm. 415). Untuk mengetahui lebih jauh mengenai
pandangan-pandangan para mufassir Ahli Sunnah dalam masalah ini, rujuklah: Ibnu Katsir,
Tafsir al-Qurân al-‘Azhim, jilid. 3, hlm. 506; Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manâr, jilid. 2, hlm. 268-
297.  
149
Qs. Al-Nisa (4): 34.
Tuhan yang bermakna seperti ini adalah, "Ar-rijalu qawwâmnuna ‘ala an-
nisa”,150yaitu lelaki merupakan pemimpin atas para perempuan,151 sementara itu
dalam kitab Aqrâbul Mawârid dikatakan, “Yang dimaksud dengan
kepemimpinan lelaki atas perempuan adalah ia (lelaki) menjaga perempuan dan
menangani urusan-urusannya.”152
Mayoritas para mufassir al-Quran membahas nukilan perspektif yang
setara dengan para ahli linguistik, dan menyimpulkan bahwa “qawwâm” dalam
ayat “Ar-rijalu qawwâmuna ‘ala an-nisa” bermakna sebagai pengayom,
pelindung dan penyelenggara. Di sini penulis akan mengisyaratkan dua kasus
sebagai contoh, pertama: “qawwâm merupakan nama untuk seseorang yang
melaksanakan sebuah pekerjaan dengan serius. Ketika dikatakan “ini pengayom
perempuan”, maka yang dimaksudkan di sini adalah seseorang yang menangani
pekerjaan perempuan dan memberikan perhatian terhadap penjagaannya”,153
kedua: “kata qayyim bermakna seseorang yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan persoalan pribadi selainnya, sedangkan kata qawwâm dan qiyâm
merupakan hiperbol dari makna ini.”154
Dengan memperhatikan posisi dan status perempuan dalam agama
Islam dan makna yang telah dijelaskan untuk kata qawwâm, maka dari ayat “Ar-
rijalu qawwâmuna ‘ala an-nisa” bisa diambil kesimpulan bahwa ayat ini berada
dalam posisinya menjelaskan kepemimpinan dan kepengayoman tunggal dan
teratur dalam keluarga dengan memperhatikan tanggung jawabnya, bukan dalam
posisinya mensyariatkan dan memperbolehkan adanya tirani, dominasi dan
pemerasan terhadap perempuan.155
Karena keluarga merupakan sebuah komunitas kecil masyarakat, maka
wajar apabila ia sebagaimana komunitas masyarakat besar, juga membutuhkan

150
Qs. Al-An’am (6): 132.
151
Lihat Ibnu Mandzur, Lisânul ‘Arab, jil.id 11, pada klausul “qaum”.
152
Lihat Said al-Khaqari, Aqrâbul Mawârid, pada klausul “qaum”
153
Fakhrur-razi, Tafsir Kabir, jilid. 10, hlm. 88.
154
Muhammad Husain Thabathabai, , Tafsir Al-Mizân, jilid. 4, hlm. 542.
155
Lihat Ayatullah al-Uzma Nasir Makarim Shirazi, Tafsir Namuneh, jilid. 3, hlm. 411-416.
seorang pemimpin dan pengayom tunggal. Dan karena di dalam diri para lelaki
terdapat karakteristik-karakteristik, seperti kekuatan rasional yang lebih dominan
dari kekuatan perasaan dan kasih sayangnya, keberadaan stamina yang tinggi
dan kekuatan jasmani yang lebih besar dalam menjaga kehormatan keluarga dan
adanya komitmen keuangan terhadap istri dan anak-anaknya dalam memenuhi
biaya hidup, maka tanggung jawab kepemimpinan ini diletakkan di atas pundak
kaum lelaki.
Tentunya tidak tertutup kemungkinan sejumlah perempuan juga
memiliki kelebihan dalam masalah-masalah di atas dari lelaki, akan tetapi
hukum tidak memandang pada persoalan-persoalan yang partikular, melainkan
memandang jenis dan universalitasnya, dan tidak ragu lagi secara universal
lelaki memiliki kesiapan yang lebih besar untuk mengayomi dan melindungi
keluarga.
Telah ditanyakan kepada Rasulullah mengenai kelebihan lelaki atas
perempuan, dan dalam menjawab pertanyaan ini beliau bersabda,
“Keutamaan lelaki atas perempuan sebagaimana keutamaan air
terhadap bumi di mana bumi hidup dengan air, kehidupan perempuan
akan ceria dan gembira dengan keberadaan lelaki. Kemudian
Rasulullah Saw membacakan ayat“Ar-rijalu qawwâmuna ‘ala an-
nisa.”156

Mengenai hal ini Imam Shadiq bersabda, “Kepemimpinan lelaki atas


keluarganya merupakan salah satu tanda kebahagiaan seorang lelaki.”157
Berdasarkan kedua riwayat ini, jika tanggung jawab kepemimpinan
dilaksanakan dalam lingkungan keluarga dengan sukarela dan persahabatan,
maka hal ini akan menciptakan keceriaan, kebahagiaan dan keselamatan hidup.
Dalam persoalan kepemimpinan lelaki atas perempuan terdapat dua
perspektif yang berbeda:

156
Feidhi Kasyani,Tafsir Shâfi, jilid. 1, hal. 448.
157
Wasâil al-Syiah, jilid. 15, hlm. 251.
a. Pandangan yang mempercayai bahwa kepemimpinan lelaki atas perempuan
dalam lingkup dan batasan rumah dikarenakan peran yang terdapat dalam
gender lelaki, yaitu supaya kehidupan bisa dijalankan dan dikelola dengan
baik dan efisien. Maka perlulah setiap laki-laki dan perempuan menjalankan
dan memikul kewajibannya  masing-masing sesuai dengan potensi yang
dimilikinya. Pada dasarnya dari sinilah kemudian lelaki memegang
kepemimpinan atas perempuan, demikian juga, peran pengayom dalam
keluarga dipegang oleh lelaki.158
Artinya, Tuhan menciptakan manusia dengan potensi, bakat dan kondisi yang
berbeda-beda, dan andai seluruh manusia diciptakan dalam tingkatan potensi
dan kekuatan yang sama, maka sistem keberadaan ini mengalami
ketidakharmonisan sejak semula. Karena aktivitas-aktivitas dunia sangat
variatif, dan keragaman ini tentu saja membutuhkan bakat-bakat dan potensi
yang beragam pula, dengan demikian perbedaan merupakan sebuah
keharusan. Perbedaan antara lelaki dan perempuan juga berasal dari titik poin
ini. Tentunya perbedaan ini tidak menjadi tolok ukur keutamaan dan
keunggulan bagi kelompok yang manapun. Ketika perempuan diperhadapkan
dengan lelaki dan lelaki diperhadapkan dengan perempuan sebagai dua
kelompok, maka di sini lelaki tidak akan pernah disebut sebagai qayyim dan
pengayom perempuan, dan perempuan juga tidak pernah berada di bawah
dominasi lelaki. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan perbedaan di sini
bukanlah sebuah perbedaan yang akan menjadi sumber kelebihan dan
keutamaan, dan apa yang menjadi titik poin kelebihan dan keutamaan di sini
juga tidak bersumber dari perbedaan. Jadi berdasarkan perspektif ini, berarti
ayat ke 34 surah al-Nisa berada dalam kedudukannya menjelaskan sebuah
kewajiban yang diletakkan di atas pundak kaum lelaki, bukan menjelaskan
tolok ukur dan parameter keunggulan maupun keutamaan.159

158
Nasir,Tafsir Namuneh, jilid. 3, hlm. 370-371.
159
Abdullah Jawadi Amuli, Jalâl wa Jamâl, hlm. 364-369.
b. Perspektif lain sehubungan dengan topik ini adalah kelompok lelaki memiliki
kepemimpinan atas kelompok perempuan, dan kepemimpinan ini bukan
hanya terbatas dalam ruang lingkup suami istri saja, melainkan sebuah hukum
yang telah dikeluarkan untuk kaum lelaki atas kaum perempuan, tentu saja
hukum pada dimensi umum, yaitu pada kasus-kasus dimana biasanya kaum
lelaki memiliki peran memimpin dan mengayomi kaum perempuan, seperti
dalam masalah pemerintahan dan peradilan di mana kehidupan masyarakat
bergantung pada mereka. Kepemimpinan pada kedua tanggungjawab ini
terletak pada kekuatan penalaran dan rasional di mana secara alami kekuatan
ini ditemukan lebih besar dan lebih kuat dalam diri lelaki daripada
perempuan.160 Tentu saja, menurut pandangan ini, kepemimpinan lelaki atas
perempuan bukanlah bermakna menegasikan kebebasan dan kemandirian
perempuan dalam mempertahankan hak-hak individu maupun sosial.
Pengertian utama dari semua uraian di atas, bahwa kepemimpinan kaum
lelaki merupakan sebuah bentuk dari bentuk-bentuk pengelolaan dan
manajemenisasi kehidupan suami istri beserta anak-anak dalam sebuah sistem
rumah tangga dimana lelaki menjadi manager bagi perempuan dan anak-
anaknya. Lelaki memiliki tanggung jawab materi atas keluarganya karena
adanya beberapa karakteristik-karakteristik yang lebih unggul dari perempuan
dan karena adanya kekuatan lelaki yang lebih besar dalam menghadapi berbagai
kondisi.
Dipercayakannya tugas dan tanggung jawab ini kepada lelaki bukanlah
karena alasan superioritas ataupun keutamaan lelaki atas perempuan dan hal ini
pun tidak akan menyebabkan keunggulan mereka dalam masalah ukhrawi,
karena dalam Islam, perjalanan kesempurnaan manusia sama sekali tidak
membedakan antara lelaki dan perempuan, melainkan perjalanan di atas lintasan
kesempurnaan dan sampainya pada maqam qurbatan ilallah ini hanya akan

Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir Al-Mizân, jilid 4, terkait ayat 34 surah al-Nisa, hlm.
160

343-347.
diterima dengan adanya penalaran, taqwa dan amal shaleh, dan satu-satunya
yang menjadi tolak ukur, parameter dan keutamaan di sisi-Nya hanyalah taqwa,
bukan gender dan jenis kelamin.
Oleh karena itu, dalam budaya al-Quran, kepemimpinan lelaki sedikit
pun tidak memberikan peluang bagi mereka untuk mendominasi, menindas,
mengekang  dan menguasai perempuan. Dan sangkaan yang menyatakan bahwa
ayat di atas akan menyebabkan kaum lelaki mendominasi kaum perempuan,
mungkin dikarenakan ketiadaan penjelasan mengenai makna qawwâm dalam
analisa dan penelitian al-Qur’an. Karena sesungguhnya kepemimpinan yang
dimaksudkan adalah pengayoman dan penjagaan laki-laki (suami) atas seluruh
elemen dalam struktur keluarga.
b. Pendidikan Karakter
Kata karakter (Inggris: character) secara etimologis berasal dari bahasa
Yunani, yaitu charassein yang berarti “to engrave”. 161 Kata “to engrave” bisa
diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan. 162 Dalam
Kamus Bahasa Indonesia kata karakterdiartikan dengan tabiat, sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang
lain, dan watak. Karakter juga bisa berarti huruf, angka, ruang, simbul khusus
yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan ketik.163 Orang berkarakter
berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak.
Dengan makna seperti itu berarti karakter identik dengan akhlak.
Secara terminologis karakter adalah “A reliable inner disposition to
respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya Lickona
menambahkan, “Character so conceived has three interrelated parts: moral

161
Ryan Kevin and Bohlin Karen E., Building Character in Schools: Practical Ways to Bring
Moral Instruction to Life, (San Fransisco: Jossey-Bass, 1999), hlm. 5.
162
John Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm.
214.
163
Dedy Sugono, dkk, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2008), hlm.
682.
knowing, moral feeling, and moral behavior”.164 Menurut Lickona, karakter
mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan (moral
khowing), lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan (moral feeling),
dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan (moral behavior).
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan
akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal
yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan
Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan
lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan
adat istiadat. Dari konsep karakter ini muncul konsep pendidikan karakter
(character education). Ahmad Amin menjadikan kehendak (niat) sebagai awal
terjadinya akhlak (karakter) pada diri seseorang, jika kehendak itu diwujudkan
dalam bentuk pembiasaan sikap dan perilaku.165
Melalui buku-bukunya, Thomas Lickona menyadarkan dunia Barat
akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter menurut Lickona
mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good),
mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the
good).166 Frye mendefinisikan pendidikan karakter sebagai, “A national
movement creating schools that foster ethical, responsible, and caring young
people by modeling and teaching good character through an emphasis on
universal values that we all share”.167
Jadi, pendidikan karakter harus menjadi gerakan nasional yang
menjadikan unit keluarga sebagai agen untuk membangun karakter anggota
keluarga melalui pembelajaran dan pemodelan. Melalui pendidikan karakter,
pemimpin keluarga harus berpretensi untuk membawa anggotanya memiliki
164
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and
Responsibility(New York: Bantam Books, 1991), hlm. 51.
165
Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 62.
166
Lickona, Educating for Character,hlm. 51.
167
Northon Frye, The Educated Imagination (Toronto: House of Anansi Press, 2002), hlm. 2.
nilai-nilai karakter mulia seperti hormat dan peduli pada orang lain, tanggung
jawab, memiliki integritas, dan disiplin. Di sisi lain pendidikan karakter juga
harus mampu menjauhkan anggota keluarga dari sikap dan perilaku yang tercela
dan dilarang.
Mengkaji dan mendalami konsep akhlak bukanlah yang terpenting,
tetapi merupakan sarana yang dapat mengantarkan seseorang bersikap dan
berperilaku mulia seperti yang dipesankan oleh Nabi saw. Dengan pemahaman
yang jelas dan benar tentang konsep akhlak, seseorang akan memiliki pijakan
dan pedoman untuk mengarahkannya pada tingkah laku sehari-hari, sehingga
dapat dipahami apakah yang dilakukannya benar atau tidak, termasuk karakter
mulia (akhlaq mahmudah) atau karakter tercela (akhlaq madzmumah).
Dalam al-Qur’an ditemukan banyak sekali pokok-pokok keutamaan
karakter atau akhlak yang dapat digunakan untuk membedakan perilaku seorang
Muslim, seperti perintah berbuat kebaikan (ihsan) dan kebajikan (al-birr),
menepati janji (al-wafa), sabar, jujur, takut pada Allah Swt., bersedekah di jalan
Allah, berbuat adil, dan pemaaf (QS. al-Qashash [28]: 77; QS. al-Baqarah [2]:
177; QS. al-Muminun (23): 1–11; QS. al-Nur [24]: 37; QS. al-Furqan [25]: 35–
37; QS. al-Fath [48]: 39; dan QS. Ali ‘Imran [3]: 134). Ayat-ayat ini merupakan
ketentuan yang mewajibkan pada setiap Muslim melaksanakan nilai karakter
mulia dalam berbagai aktivitasnya.
Keharusan menjunjung tinggi karakter mulia (akhlaq karimah) lebih
dipertegas lagi oleh Nabi SAW dengan pernyataan yang menghubungkan akhlak
dengan kualitas keimanan. Hal ini sesuai dengan bimbingan dari Rasulullah,
beliau bersabda:
‫أَ ْك َم ُل ْال ُم ْؤ ِمنِ ْينَ إِ ْي َمانًا أَحْ َسنُهُ ْم ُخلُقًا َو ِخيَا ُر ُك ْم ِخيَا ُر ُك ْم لِنِ َسائِ ِه ْم ُخلُقًا‬
“Orang yang imannya paling sempurna diantara kaum mukminin
adalah orang yang paling bagus akhlaknya di antara mereka, dan
sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-
istrinya.” 168
168
HR At-Thirmidzi, No.1162, Ibnu Majah No.1987 (Maktabah Syamilah)
Dalil di atas menunjukkan bahwa karakter dalam perspektif Islam
bukan hanya hasil pemikiran dan tidak berarti lepas dari realitas hidup,
melainkan merupakan persoalan yang terkait dengan akal, ruh, hati, jiwa,
realitas, dan tujuan yang digariskan oleh Akhlaq Qur’aniah.169 Dengan demikian,
karakter mulia merupakan sistem perilaku yang diwajibkan dalam agama Islam
melalui nash al-Quran dan hadis.
Al-Qur’an sudah berabad-abad silam menyebutkan dan memberikan
contoh yang sempurna dalam bentuk pendidikan karakter keluarga. Dalam Al-
Quran ada satu surat bernama Surat Luqman, dijelaskan di dalamnya prioritas
yang harus diberikan untuk pendidikan anggota keluarga. Seperti diketahui,
Luqmanul Hakim, adalah seorang ahli hikmah zaman dahulu, yang telah berhasil
mendidik anak-anaknya sehingga Allah SWT melestarikan hal itu menjadi
contoh tauladan.
Dari sini juga terdapat nasehat Luqmanul Hakim yang tertera pada ayat
12-19 diantaranya: larangan mempersekutukan Allah, perintah beramal shaleh,
perintah mendirikan shalat, larangan bersikap sombong dan angkuh, perintah
untuk bersikap sederhana.
Mendasarkan pada nasihat Luqmanul Hakim, maka dapat disimpulkan
tentang apa yang mencakup beberapa pokok tuntutan agama, yaitu aqidah,
syariat dan akhlaq. Bahkan memberi tuntutan kepada siapa pun yang ingin
menelusuri jalan kebajikan.170
Pertama, aspek ‘Aqidah, yaitu yang menyangkut masalah keimanan
kepada Allah, ketika disebut iman kepada Allah, hal ini sudah tercakup iman
kepada malaikat, kitab-kitab-Nya, para Nabi, hari kiamat, qada dan qadar Allah.
Aspek Aqidah ini termaktub dalam QS. Luqman: ayat 12, 13, 16.

169
Ali Khalil Abu Ainain, Falsafah al-Tarbiyah fi al-Quran al-Karim, (T.tp.: Dar al-Fikr
al-‘Arabiy, 1985), hlm. 186.
170
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan Kesan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati,
2003), hlm. 140.
Kedua, aspek Syari’ah, yakni suatu sistem Ilahi yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan
hubungan manusia dengan alam, aspek syari’ah ini termaktub dalam ayat 14, 15,
dan 17.
Ketiga, aspek Akhlaq, secara etimologis, akhlaq adalah perbuatan yang
mempunyai sangkut paut dengan khaliq, aspek ini termaktub dalam ayat 14, 15,
18, dan 19.171

5. Keluarga dalam Relasi Sosial


a. Relasi Sosial
Relasi Sosial mempunyai pengertian satu cara seseorang untuk
bersosialisasi dengan lingkungannya. Kalau dalam hal ini relasi sosial yang
dimaksudkan adalah keluarga, maka relasi sosial suatu keluarga dengan
lingkungannya. Relasi dalam bentuk interaksi atau pergaulan dengan
orang/kelompok keluarga lain menjadi satu kebutuhan yang sangat mendasar,
bahkan bisa dikatakan wajib bagi setiap manusia yang “masih hidup” di dunia
ini. Sungguh menjadi sesuatu yang aneh atau bahkan sangat langka, jika ada
orang atau keluarga yang mampu hidup sendiri. Karena memang begitulah fitrah
manusia. Seperti halnya di ungkapkan dalam QS.Al-Hujurat, yaitu:
pkš‰r'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur$
$\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu‘$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& y‰YÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4
¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang


laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat:13)

171
Nurwadjah, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Bandung: Marja, 2007), hlm. 170.
Munculnya istilah pergaulan bebas adalah seiring dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi dalam peradaban umat
manusia, manusia patut bersyukur dan bangga terhadap hasil cipta karya
manusia, karena dapat membawa perubahan yang positif bagi
perkembangan/kemajuan industri masyarakat.
Tetapi perlu disadari bahwa tidak selamanya perkembangan membawa
kepada kemajuan, mungkin bisa saja kemajuan itu dapat membawa kepada
kemunduran. Dalam hal ini adalah dampak negatif yang diakibatkan oleh
perkembangan IPTEK, salah satunya adalah budaya pergaulan bebas tanpa
batas.
Dilihat dari segi katanya dapat ditafsirkan dan dimengerti apa maksud
dari istilah pergaulan bebas. Dari segi bahasa pergaulan artinya proses bergaul,
sedangkan bebas artinya terlepas dari ikatan. Jadi pergaulan bebas artinya proses
interaksi sosial dengan orang/kelompok lain terlepas dari ikatan yang mengatur
pergaulan.
Islam telah mengatur bagaimana cara bergaul dengan lawan jenis. Hal
ini telah tercantum dalam surat An-Nur ayat 30-31. Telah dijelaskan bahwa
hendaknya Muslim menjaga pandangan mata dalam bergaul. Lalu bagaimana
dengan yang terjadi dalam pergaulan bebas. Tentunya banyak hal yang bertolak
belakang dengan aturan-aturan yang telah Allah tetapkan dalam etika pergaulan
(interaksi sosial). Karena pergaulan bebas itu tidak dapat menjamin harga diri
seseorang.
1) Landasan Perlunya Interaksi Sosial
Tidak ada makhluk yang sama seratus persen di dunia ini. Semuanya
diciptakan Allah berbeda-beda. Meskipun ada persamaan, tetapi tetap semuanya
berbeda. Begitu halnya dengan manusia. Lima milyar lebih manusia di dunia ini
memiliki ciri, sifat, karakter, dan bentuk khas. Karena perbedaan itulah, maka
sangat wajar ketika nantinya dalam berinteraksi sesama manusia akan terjadi
banyak perbedaan sifat, karakter, maupun tingkah laku. Allah mencipatakan kita
dengan segala perbedaannya sebagai wujud keagungan dan Kekuasaan-Nya.

Oleh karena itu, janganlah perbedaan menjadi penghalang untuk bergaul


atau bersosialisasi dengan lingkungan sekitar kita. Anggaplah itu merupakan hal
yang wajar, sehingga kita dapat menyikapi perbedaan tersebut dengan sikap
yang wajar dan adil. Karena bisa jadi sesuatu yang tadinya kecil, tetapi karena
salah menyikapi, akan menjadi hal yang besar. Itulah perbedaan.
Perbedaan bangsa, suku, bahasa, adat, dan kebiasaan menjadi satu paket
ketika Allah menciptakan manusia, sehingga manusia dapat saling mengenal satu
sama lainnya. Sekali lagi tak ada yang dapat membedakan kecuali
ketakwaannya.
2) Paradigma dalam Relasi Sosial
a. Ta’aruf (Saling mengenal)
 Apa jadinya ketika seseorang tidak mengenal orang lain? Mungkinkah
mereka akan saling menyapa? Mungkinkah mereka akan saling menolong,
membantu, atau memperhatikan?  Begitulah, ternyata ta’aruf atau saling
mengenal menjadi suatu yang wajib ketika kita akan melangkah keluar untuk
bersosialisasi dengan orang lain. Dengan ta’aruf dapat membedakan sifat,
kesukuan, agama, kegemaran, karakter, dan semua ciri khas pada diri seseorang
atau satuan keluarga. Berkenaan dengan paradigma ta’aruf ini, terdapat satu ayat
dalam Al-Qur’an yang menyinggungnya secara tegas. Paradigma saling
mengenal ini, di dalamnya terkandung konteks sosiologis dan antropologis.
Sehingga mengenal berarti juga memahami secara komprehensif atas suatu
satuan entitas sosial.
pkš‰r'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur$
$\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu‘$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& y‰YÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4
¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat:13)

Memahami, merupakan langkah kedua yang harus dilakukan ketika


bergaul dengan orang atau kelompok keluarga lain. Setelah mengenalinya,
pastikan ia juga tahu semua menjadi bagian-bagian penting dalam eksistensinya.
Inilah bagian terpenting dalam interaksi sosial. Dengan memahami orang dapat
memilah dan memilih apa dan siapa yang harus menjadi rekaninteraksi sosial
dan apa/siapa yang harus didudukkan sebagai yang berbeda dalam milleu.
Sebab, eksistensi seseorang akan sangat ditentukan oleh eksistensi orang atau
kelompok (keluarga, suku, bangsa) yang terdekat. Tidak dapat dipungkiri, ketika
bergaul bersama dengan kelompok yang baik sedikit banyak akan membawa
menuju kepada kebaikan pula. Begitu juga sebaliknya, ketika seseorang
berinteraksi dengan orang yang perangainya buruk, pasti akan membawa kepada
keburukan perangai.
b. Ta’awun (Saling menolong)
Setelah mengenal dan memahami, rasanya ada yang kurang jika belum
tumbuh sikap ta’awun (saling menolong). Karena inilah sesungguhnya yang
akan menumbuhkan rasa cinta pada diri seseorang kepada kita. Bahkan Islam
sangat menganjurkan kepada ummatnya untuk saling menolong dalam kebaikan
dan takwa. Rasullullah SAW telah mengatakan bahwa bukan termasuk umatnya
orang yang tidak peduli dengan urusan umat Islam yang lain. Secara sosiologis,
sebuah keluarga harus menjadi bagian problem solver bagi problem keluarga
lainnya yang merupakan unsur masyarakat.Dalam adat istiadat yang merupakan
budaya adiluhung disebut dengan gotong royong.
Terdapat satu ayat dalam Al-Qur’ān yang menjadi dasar keharusan bagi
setiap manusia, dalam konteks sosiologinya, untuk melakukan tindakan saling
tolong menolong. Tolong menolong yang dianjurkannya pun dalam koridor
“kebaikan” yang berdampak bagi sosial kemasyarakatan.
G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? ’n?tã ÉOøOM}$#)qçRur$yès?ur ’n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3“uqø#(¢
( #$!© Èbºurô‰ãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur
bÎ) ©!$# ߉ƒÏ‰x© É>$s)Ïèø9$# ÇËȨ

“Saling tolong menolonglah kalian dalam hal kebaikan, dan janganlah


kalian saling tolong menolong dalam hal dosa dan permusuhan”.(Q.S
al-Maidah : 2)

Dalam tulisannya Esack memberikan sebuah Statement yang


mengajurkan konsep ini :
“…. Alasan kita menolong bukan hanya karena para ODHA itu sudah
terlihat seperti lalat-lalat sekarat dan kita mungkin bisa jadi korban
berikutnya. Namun alasan kasih sayang kita adalah karena kita telah
menyaksikan orang-orang yang dipaksa menjalani hidup yang
sebenarnya tidak mereka kehendaki. Sebagai manusia ini adalah tugas
kita berusaha mengubah….”172

c. Tawashi (Saling memberikan nasihat)


Paradigma relasi sosial yang selanjutnya, setelah terjadi saling
meneganal, memahami dan terjalin ikatan kerjasama, maka ada yang mendasar
yang harus dijadikan paradigma dalam ikatan kerjasama tersebut, yaitu upaya
saling memberikan informasi dan arahan terhadap sesuatu yang baik dan
benar(tawashi). Pengertian “tawashi” ini mempunyai arah pada terciptanya
sistem sosial berupa control and balancing. Artinya setiap entitas dalam suatu
masyarakat harus memainkan peran saling mengarahkan terhadap sesuatu yang
benar (haqq), sehingga stabilitas sosial menjadi terwujud.
Farid Esack, Islam, Muslim and AIDS : Between Scorn, Pity and Justice, South Africa:
172

Positive Muslims, 2004, hlm 72.


Aktivasi paradigma ini harus dimulai dari individu kemudian beranjak
pada ranah unit sosial yang disebut keluarga, selanjutnya antar keluarga yang
membentuk suatu masyarakat.
Al-Qur’an menegaskan pentingnya “tawashi” tersebut dalam surat Al-
Ashr:
ΎóÇyèø9$#ur ÇÊÈ ¨bÎ) z`»|¡SM}$# ’Å"s9 AŽô£
äz ÇËÈ žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä
(#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#öq|¹#uqs?ur Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur Ύö9¢Á9$$Î/ ÇÌÈ

“Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian. Kecuali mereka


yang beriman dan mengamalkan amal shalih, dan saling memberikan
wasiat atas sesuatu yang haq dan kesabaran”.(Q.S Al-Ashr: 1-3

d. Tarahum (Saling mengasihi)


Makna dari tarahum di sini adalah saling mengasihi dalam konteks
kemanusiaan. Paradigma interaksi sosial yang keempat ini adalah pondasi utama
dalam setiap bentuk interaksi sosial. Setelah tejadi upaya saling mengenal,
memahami, kerjasama, saling melakukan kontrol sosial, maka kesemuanya itu
harus didasari oleh ruh yang menuansai, yaitu saling mengasihi. Karena setiap
hubungan yang didasarkan atas kasih sayang, segala problematika yang
menerpanya pun akan menjadi mudah diupayakan berbagai solusinya.
Tarahum ini merupakan prinsip dasar dari syariat Islam, sebagaimana
Allah menegaskan diutusnya seorang Rasullah dengan Syari’atullah tidak lain
adalah untuk merahmati alam semesta ini, yang di dalamnya terkandung
manusia dengan berbagai struktur sosialnya. Pengertian saling mengasihi ini
harus menjadi bagian yang integral dalam interaksi yang dilakukan oleh individu
maupun keluarga dalam konteks relasi sosial yang dibangunnya.
Menurut pandangan Farid Esack tentang Islam dalam konteks
HIV/AIDS membawanya pada sebuah keyakinan bahwa Islam adalah agama
yang sebenarnya berbasis pada rasa belas kasih, tanggung jawab, dan perjuangan
demi keadilan. Islam, menurutnya harus bisa lebih berempati dalam
mengemukakan responnya terhadap masalah-masalah HIV-AIDS, karena hal ini
sangat terkait sensitivitas ODHA, sebagai manusia yang dipinggirkan
masyarakat selama ini. Dengan landasan berfikir seperti inilah Esack kemudian
mengajukan sebuah model pemahaman tentang Islam dalam konteks AIDS yang
beliau istilahkan dengan Theology of Compassion (Teologi Kasih Sayang). 173

3) Etika Relasi Sosial


a) Etika Subjektivikasi Indrawi
Terdapat dua ayat dalam Al-Qur’an yang menyinggung etika indrawi
dalam relasi sosial sebuah entitas manusia berkenaan dengan konteks indrawi.
Bagaimana perilaku mukmin/mukminah dalam bentuk individu maupun
keluarga membangun relasi sosialnya. Berikut kedua ayat yang dimaksudkan:
è% šúüÏZÏB÷sßJù=Ïj9 (#q‘Òäótƒ ô`ÏB ôMÏd̍»|Áö/r& (#qÝàxÿøts†ur óOßgy_rãèù 4@
y7Ï9ºsŒ 4’s1ø—r& öNçlm; 3 ¨bÎ
ƒ7ŽÎ7yz $yJÎ/ tbqãèoYóÁt #$!© )

“Katakan kepada laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan


pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih
suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat.”. (QS.An-Nur: 30)

Objek yang dibicarakan dalam aya tersebut adalah laki-laki.


Sedangkan relevansi yang ingin disampaikan oleh ayat tersebut adalah laki-laki
dengan seksualitas. Seorang laki-laki, baik sebagai seorang suami ataupun
pribadi single harus mempunyai tanggung jawab moral etis atas seksualitanya.
Begitu pula, mereka perlu memperhatikan pengetahuan tentang seksualitas
173
Lihat “Positive Muslims Mission Statement” dalam HIV, AIDS, and Islam : Reflection Based
on Compassion, Responsibility and Justice, South Africa: Positive Muslims, 2004. Hlm 4.
dalam kerangka untuk menjaga kesucian (kesehatan) raga (kelamin) dan jiwa
(nalar dan hati) mereka dari berbagai hal yang akan mengkontaminasi.
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dari
padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,
dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami
mereka, ayah mereka, atau ayah suami mereka,atau putra-putra
mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-
laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putra-putra saudara-saudara perempuan mereka, atau wanita islam
atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki
yang yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-
anak yang belum mengerti aurat wanita. Dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”(QS.An Nur : 31)

Pada ayat ini, selain himbauan dan perintah sebagaimana atas laki-laki
pada ayat sebelumnya, bagi para wanita mereka diperintahkan untuk tidak
berlaku ekhibisionis. Kenyataan sosiologinya, perilaku ekhibisionis dari wanita
tidak jarang menjadikan stabilitas moral etika sosial menjadi tereduksi secara
sistemik.
b) Etika Objektifikasi Indrawi
Terdapat beberapa ayat dan hadist yang melarang orang
mukmin/mukminah untuk mengobjektifikasikan fisiknya kepada orang lain.
pkš‰r'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurø—X{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$#$
šúüÏRô‰ãƒ £`ÍköŽn=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4 y7Ï9ºsŒ #’oT÷Šr& br& z`øùt÷èムŸxsù
‘§tûøïsŒ÷sム3 šc%x.ur ª!$# #Y‘qàÿxî $VJŠÏm

”Hai nabi, katakan kepada istri-istrimu dan anak-anak perempuanmu


dan istri-istri orang-orang mukmin hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya keseluruh tubuh mereka, yang demikian itu agar mereka lebih
mudah untuk dikenal, hingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha
Pengampun lahi Maha Penyanyang.”(QS.Al-Ahzab:59)

Pada suatu hadist juga terdapat larangan akan perilaku seksual yang
dilakukan oleh sesama jenis, walaupun itu dalam batasan tertentu.
“Dari Abu Sa’id Radiallahuanhu, bahwasanya Rasulullah Salallahu
Alaihi Wa Salam bersabda : seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat
sesama laki-laki, begitu pula seorang perempuan tidak boleh melihat
aurat perempuan. Seorang laki-laki tidak boleh bersentuhan kulit
sesama lelaki dalam satu selimut, begitu pula seorang perempuan tidak
boleh bersentuhan kulit dengan sesama perempuan dalam satu
selimut.”(HR.Muslim).174

c) Etika Komunikasi
Bagi wanita diperintahkan untuk tidak berlembut-lembut suara di
hadapan laki-laki yang bukan mahram. Hal ini mungkin akan berdampak bagi
relasi sosial yang tidak stabil diantara elemen masyarakat berupa keluarga.
uä!$|¡ÏY»tƒ ÄcÓÉ<¨Z9$# ¨ûäøó¡s9 7‰tnr'Ÿ2 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4 ÈbÎ) ¨ûäøø‹s)¨?$# Ÿxsù
z`÷èŸÒøƒrB ÉAöqs)ø9$$Î/ yìyJôÜuŠsù “Ï%©!$# ’Îû ¾ÏmÎ7ù=s% ÖÚttB z`ù=è%ur Zwöqs%
$]ùrã÷è¨B ÇÌËÈ

“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang


lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam
berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam
hatinya dan ucapkanlah perkataan yang bail. (Al-Ahzab: 32)

d) Etika Interaksi
Dilarang berdua-duaan antara pria dan wanita di tempat yang sepi.
Karena secara sosiologis, hal itu akan memunculkan “persepsi” sosial.
Keterangan itu direferensikan dari Hadist:
Dari Ibn Abbas, Ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW
berkhutbah: Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang
174
Mausu’ah Syamilah, Syarh Riyadus Shalihin, Hadist No.1627.
perempuan kecuali bersama mereka ada mahramnya. Dan jangan pula
musafir seorang perempuan kecuali disertai mahramnya. Seorang
sahabat berdiri lalu berkata: Ya Rasulullah, istri saya keluar untuk
melaksanakan haji, sementara saya telah mendaftarkan diri untuk
berperang. Nabi bersabda: Berangkatlah bersama istrimu untuk
melaksanakan haji.175

e) Etika Seksual
Islam menganjurkan menikah dalam usia muda bagi yang mampu dan
puasa bagi yang tidak mampu.
“Wahai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu yang mampu
nikah, maka nikahlah, sesungguhnya nikah itu bagimu dapat
menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, naka jika kamu
belum sanggup berpuasalah, sesunggunya puasa itu sebagai
perisai”(HR.Muttafaaqun Alaihi).176

175
Ibnu Hajar al-Ashqalani, Bulughul Maram : min Adillati al-Ahkam, (Riyadh: Dar ‘Alim al-
Kutub, 1996), hlm. 151.
176
Ibnu Daqiq al-‘Abd, Ihkamul Ahkam, juz II (Beirut: Darul Jil, 1995), hlm. 552
BAGIAN III

PREVENTIF HIV/AIDS: MEMBANGUN KETAHANAN KELUARGA


DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

Preventif atau Pencegahan HIV/AIDS yang banyak mengudara di alam


wacana dan bahkan praktiknya, tidak lepas dari kerangka yang disebut ABCDE.
A berarti Abstinance, B yaitu Be faithfull, C adalah Condom, D berarti Don’t
inject dan E adalah Education. Kerangka tersebut tentu akan sangat strategis dan
efektif dalam prakteknya ketika diupayakan apa yang disebut dengan
implementasi.
Sebagaimana diuraikan pada penelitian ini, penulis menguraikan makna
keluarga sebagai unit terkecil dari struktur sosial, dan bahwa keluarga adalah
tulang punggung masyarakat, maka ketika HIV/AIDS dinyatakan sebagai
penyakit dengan penyebaran secara sosiologis, maka langkah pencegahannya
pun tidak cukup hanya mengandalkan perangkat pendekatan medis klinis,
namun mengharuskan pendekatan sosiologis. Family atau keluarga adalah
pendekatan sosiologis struktural fungsional yang dalam gagasan penulis-
merupakan konsep pencegahan HIV/AIDS yang sangat signifikan, sehingga
konsep pencegahan ABCDE akan menjadi sempurna dengan ditambahkannya F
(Family). Family sebagai titik simpul yang merangkum konsep pencegahan
ABCDE menjadi ABCD dan F.
Family atau keluarga, meskipun ia hanya sekadar sebagai unit terkecil
dalam sosial, namun keberadaannya merupakan tulang punggung sosial yang
sungguh memiliki peranan penting dalam suatu sistem sosial. Sehingga, ketika
HIV/AIDS tidak lagi hanya sekadar problematika kesehatan klinis medis, namun
sudah menjadi problematika sosial, maka penanganannya pun mengharuskan
upaya-upaya dengan pendekatan sosial. Keluarga sebagaimana posisi dan
peranannya dalam sistem sosial yang begitu penting, pada gilirannya menjadi
sangat relevan untuk menyoal problematika HIV/AIDS yang sudah menjadi
penyakit yang telah memasyarakat.
Al-Qur’an sebagai kitab referensional yang diperuntukkan bagi manusia,
mengetengahkan pembahasan mengenai keluarga beserta perannya dalam sosial.
Apabila pembahasan mengenai keluarga tersebut direlevansikan dengan
problematika HIV/AIDS dalam konteks pencegahannya, maka melalui sebuah
analisis kritis kategoris, penulis memformulasikan imunitas keluarga berbasis
Al-Qur’an dalam kaitannya dengan pencegahan HIV/AIDS.

A. Proses Pembentukan Ketahanan (Imunitas) Keluarga sebagai Basis


Pencegahan HIV/AIDS
Pernikahan adalah awal terbentuknya sebuah keluarga baru dalam
Islam, yang didambakan akan membawa pasangan suami istri untuk mengarungi
kebahagiaan, cinta dan kasih sayang.177 Demikian fungsi afeksi keluarga menjadi
penting.
Pernikahan adalah sebagai mekanisme satu-satunya yang sah dalam
membentuk kelurga. Keluarga salah satu fungsinya adalah fungsi regenerasi, di
mana kebutuhan seksual dan regenerasi seseorang bisa terakomodir dengan
aman dan sah. Kualitas anak akhirnya menjadi tumpuan kepentingan regenerasi
keluarga.

177
Umar M. Dja’far, Indahnya Keluarga Sakinah, (Jakarta: Zakia Press, 2004), hlm. 7.
Perintah menikah sebagai basis pembentukan keluarga tersebut sangat
ditekankan dalam Al-Qur’an, bahkan karena pernikahan sebagai sesuatu yang
penting dalam menjaga stabilitas keimanan seorang yang beriman (Muslim)
maka pernikahan bagi mereka yang tidak mampu pun tetap dianjurkan dengan
mempetimbangkan kepatutan. Sebagaimana ayat berikut ini yang menganjurkan
menikah bagi lelaki yang tidak mampu dengan budak namun yang beriman.
tBur öN©9 ôìÏÜtGó¡o„ öNä3ZÏB »wöqsÛ br& yxÅ6Ztƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$#`
`ÏJsù $¨B ôMs3n=tB Nä3ãZ»yJ÷ƒr& `ÏiB ãNä3ÏG»uŠtGsù ÏM»oYÏB÷sßJø9$# 4 ª!$#ur
ãNn=ôãr& Nä3ÏZ»yJƒÎ*Î/ 4 Nä3àÒ÷èt/ .`ÏiB <Ù÷èt/ 4 £`èdqßsÅ3R$$sù ÈbøŒÎ*Î/
£`ÎgÎ=÷dr&  Æèdqè?#uäur £`èdu‘qã_é& Å$rá÷èyJø9$$Î/ BM»oY|ÁøtèC uŽöxî ;M»ysÏÿ»|
¡ãB Ÿwur ÅVºx‹Ï‚GãB 5b#y‰÷{r& 4 !#sŒÎ*sù £`ÅÁômé& ÷bÎ*sù šú÷üs?r& 7pt±Ås»xÿÎ/
£`ÍköŽn=yèsù ß#óÁÏR $tB ’n?tã ÏM»oY|ÁósßJø9$# šÆÏB É>#x‹yèø9$# 4 y7Ï9ºsŒ ô`yJÏ9 }‘
‘§Ï±yz |MuZyèø9$# öNä3ZÏB 4 br&ur (#rçŽÉ9óÁs? ׎öyz öNä3©9 3 ª!$#ur ֑qàÿxî ÒO‹Ïm

“Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup


perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia
boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu
miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari
sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan
mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang
merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan
bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai
piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin,
kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas
mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang
bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang
yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di
antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu.dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. (An-Nisa’: 25).

Ayat yang lain juga menegaskan pernikahan sebagai benteng keimanan


seseorang dalam ruang sosiologis yang disebut keluarga.
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurø—r& (#þqãZä3ó¡tFÏj9
$ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômu‘ur 4 ¨bÎ) ’Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9
ƒtbr㍩3xÿtGt

”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan


istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikannya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum: 21).

Perkawinan yang dilandasi oleh cinta kasih dan tanggung jawab, akan
menjadi fondasi yang kokoh bagi sebuah keluarga hingga dapat melindungi
anak-anak dari perilaku seks bebas, narkoba, dan kesenangan-kesenangan
duniawi yang bersifat sementara namun berakibat bisa berakibat panjang, 178
seperti HIV/AIDS.
Kedua ayat di atas ditegaskan oleh Hadis yang menyerukan secara
spesifik tentang menikah bagi para pemuda.
“Wahai para pemuda! Barang siapa di antara kalian mampu menikah,
menikahlah! Sebab hal itu lebih menenangkan pandangan serta
menjaga kemaluan mereka sementara bagi yang belum mampu
menikah, hendaknya ia berpuasa, sebab hal ini bisa menjadi tameng
(benteng) mereka.” (HR. Al-Bukhari-Muslim).179

HIV/AIDS berdasarkan data yang ada, banyak disebabkan oleh


hubungan seksual beresiko di luar pernikahan yang tidak sesuai dengan norma
sosial dan ajaran agama. Upaya pencegahannya adalah dengan menjadikan
pernikahan dengan pengertian-pengertian yang melingkupinya sebagai
pengetahuan yang harus disosialisasikan oleh setiap keluarga kepada seluruh
anggotanya, begitu pula kepada seluruh elemen masyarakat.
Ibid., hlm. 75.
178

179
Ibnu Hajar al-‘Asqalany, Fathul Bari; Syarhul Bukhary (Beirut: Dar ad-Diyan lit-Turats,
1986), Hadist No. 4778,hlm. 231.
Pencegahan tersebut disebut Abstinence, yaitu tidak melakukan
hubungan seks sebelum menikah. Apabila menginginkan hubungan seks, maka
menikah adalah syarat mutlak untuk bisa membentengi diri dari penyebaran
virus HIV. Abstinance harus diketengahkan secara informatif didalam unit-unit
keluarga, sehingga upaya education pun menjadi suatu keharusan yang harus
diinternalisasikan di dalam keluarga, khususnya education tentang pernikahan,
keluarga dan HIV/AIDS. Basis teologisnya berupa ayat dalam Al-Qur’an, yaitu:
™Ÿwur (#qç/tø)s? #’oTÌh“9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$y™ur Wx‹Î6y
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra’:
32).

Proses pembentukan keluarga belum tersebut belum dikatakan cukup


dalam konteks pencegahan HIV/AIDS, perlu apa yang disebut Be faithful atau
saling setia dengan pasangan dalam suatu pernikahan. Be faithfull adalah
langkah yang harus ditempuh oleh mereka yang sudah berkeluarga. Mengingat
HIV/AIDS tidak bisa dilepaskan dari faktor ketidaksetiaan antara pasangan
pernikahan, yang berupa ganti-ganti pasangan ataupun perselingkuhan.
Demikianlah, sehingga apa yang disebut dengan proses pembentukan
keluarga atau pernikahan bisa dimaknai sebagai basis pencegahan HIV/AIDS.
Karena di dalamnya tersirat nilai ketentraman jiwa seseorang (keimanan) yang
berunjung pada stabilitas dan harmonitas individu dalam struktur keluarga.
Sejalan dengan Fiman Allah bahwa menikah itu “supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya diantaramu rasa kasih dan
sayang.” Dalam pencegahn HIV/AIDS dinamakan dengan konsep AB
(Abstinance dan Be faithfull).

B. Sistem Kepemimpinan dalam Keluarga sebagai Mekanisme Pencegahan


HIV/AIDS
Sebagai sebuah sistem, keluarga dapat terpecah apabila salah satu atau
lebih anggota keluarga tidak menjalankan tugas dan fungsinya dalam keluarga
hingga menyebabkan terjadinya keluarga disfungsi. Hal ini tentu akan
mempengaruhi keutuhan keluarga sebagai sebuah sistem. Disfungsi diartikan
sebagai tidak dapat berfungsinya sebuah sturktur dalam suatu sistem dengan
normal sebagaimana mestinya.
Keluarga disfungsi dapat diartikan sebagai sebuah sistem sosial terkecil
dalam masyarakat di mana anggota-anggotanya tidak atau telah gagal
manjalankan fungsi-fungsi secara normal sebagaimana mestinya. Keluarga
disfungsi; hubungan yang terjalin di dalamnya tidak berjalan dengan harmonis,
seperti fungsi masing- masing anggota keluarga tidak jelas atau ikatan emosi
antar anggota keluarga kurang terjalin dengan baik.180
Keluarga yang mengalami disfungsi sangat berpengaruh pada
sosialisasinya dalam keluarga. Disfungsi sosialisasi keluarga merupakan suatu
hal yang disebabkan gagalnya keluarga dalam menjalankan fungsi sosialisasi
yang seharusnya dilakukan oleh keluarga tetapi dijalankan oleh orang lain atau
lembaga lain.
Terjadinya penyakit sosial tidak lain disebabkan oleh penyakit dalam
suatu unit keluarga. Terjadinya penyakit dalam satu unit kelurga tidak lain
disebabkan oleh tidak berjalannya sistem dalam kelurga yang berupa struktur
dan fungsinya.
Untuk menjalankan struktur dalam sistem kelurga maka meniscayakan
adanya sistem kepemimpinan di dalamnya. Sistem kepemimpinan inilah yang
bertanggung jawab atas perjalanan suata kelurga dengan anggota yang termasuk
didalamnya.
HIV/AIDS, apabila dikatakan sebabnya adalah problem seksual, maka
persoalan yang mendasarinya sesungguhnya adalah longgarnya dan tidak
berjalannya sistem kepemimpinan kelurga. Sistem kepemimpinan keluarga bagi

180
Siswanto, Psikologi Pengasuhan Anak (Malang: UIN-Malang Press, 2007), hlm. 19.
seorang pemimpin sudah semestinya mempunyai pengetahuan tentang fungsi
keluarga sebagai fungsi agama, kesehatan, dan lingkungan.
Sistem kepemimpinan dalam keluarga seringkali diidentikan oleh
kepemimpinan lelaki atas perempuan sebagaimana yang termaktub dalam surah
al-Nisa (4) ayat 34, “Kaum laki-laki itu memimpin kaum perempuan”.  
Ayat tersebut bukanlah bermakna dominasi, pemaksaan atau pemerasan
lelaki terhadap perempuan, melainkan sebagaimana yang dikatakan oleh para
ahli linguistik dan juga kebanyakan para penafsir bahwa kata “qawwâm” di sini
bermakna pengayom, penyelenggara dan penjaga. Karena keluarga merupakan
sebuah institusi kecil masyarakat, wajar apabila ia juga menuntut kehadiran
seorang pemimpin dan pengayom tunggal sebagaimana halnya masyarakat besar.
Apabila pada kasus HIV/AIDS yang berupa penularan dari suami ke
istri (termasuk kasus terbanyak dalam HIV/AIDS), artinya suami tersebut dalam
konteks kempemimpinan tidak menjalankannya dengan baik dan semestinya.
Karena sesungguhnya kepemimpinan itu berupa pengayoman dan perlindungan
kepada seluruh elemen anggotannya. Seharusnya seorang suami (ODHA) tidak
egois dalam berhubungan seks, yaitu dengan cara menggunakan condom atau
mungkin abstinance (berpuasa dari tidak melakukan hubungan seks).
Dalam Al-Qur’an, ditegaskan bahwa perintah untuk melindungi istri
berupa dengan mengibaratkan mereka sebagai ladang.
öNä.ät!$|¡ÎS Ó^öym öNä3©9 (#qè?ù'sù öNä3rOöym 4’¯Tr& ÷Läê÷¥Ï© ( (#qãBÏd‰s%ur
ö/ä3Å¡àÿRL{ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur Nà6¯Rr& çnqà)»n=•B 3 ̍Ïe±o0ur
šúüÏZÏB÷sßJø9$#
“Istri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam,
Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja
kamu kehendaki.dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”
(Al-Baqarah ayat: 223).
Ayat ini dipahami secara tidak bertanggung jawab sebagai kebolehan
suami mengeksploitasi secara seksual pada istri, termasuk di dalamnya
menggauli istri dengan tanpa condom sementara sang suami adalah ODHA. Hal
ini bertentangan perintah Allah untuk memperlakukan istri dalam hubungan
seksual. Pengibaratan istri sebagai ladang adalah perintah kepada para suami
untuk menjaga kesehatan istri agar tetap sehat lahir batin sehingga bisa
melahirkan anak-anak yang berkualitas sebagaimana mereka menjaga ladang
mereka agar subur dan siap menumbuhkan biji-biji menjadi tanaman yang segar.
Pesan yang tersirat adalah larangan bercocok tanam di ladang lain atau
berhubungan seksual (zina) yang bisa merusak dirimu, ladangmu dan
tanamanmu (Abstinance and be faithfull). Hal ini juga dinyatakan dengan tegas
oleh Al-Qur’an:
tûïÏ%©!$#ur ö/ãf öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇËÒÈ žwÎ) #’n?tã óOÎgÅ_ºurø—r& ÷rr& $tB
ôMs3n=tB öNåkß]»yJ÷ƒr& öNåk¨XÎ*sù çŽöxî tûüÏBqè=tB
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap “
istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barang siapa
mencari yang di balik itu, maka mereka itulah yang melampaui batas.”
(Al-Ma’arij: 29-30)

Dalam konteks HIV/AIDS peran seorang ayah dan ibu menjadi hal
yang sangat vital terhadap pendidikan anak-anaknya. Al-Qur’an memberikan
penekanan terhadap fungsi keluarga dengan sistem kepemimpinan yang ideal.
sebagaimana fungsinya diantaranya sebagai fungsi kesehatan, agama, dan sosial
budaya. Melalui kepemimpinan ini pula, fungsi sosialisasi keluarga atas norma-
norma positif akan efektif diwujudkan.

C. Pendidikan Karakter dalam Keluarga sebagai Kerangka Pencegahan


HIV/AIDS
Fungsi pendidikan kelurga menjadi sangat penting sekali bagi
terbentuknya kelurga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Terjangkitnya virus
HIV/AIDS dalam suatu kelurga tentu akan menggoyang kondisi stabilitas
keluarga tersebut.
Pendidikan karakter yang menitikberatkan pada perilaku hidup (akhlak)
tentu akan berimplikasi secara praktis pada seluruh anggota kelurga dalam
menghadapi berbagai macam problematika sosial, seperti diantaranya adalah
HIV/AIDS. Pendidikan karakter ini dalam konteks pencegahan terhadap
HIV/AIDS akan menjadi kerangka yang memberikan acuan bagi suatu kelurga
sehingga mereka tidak memasuki sebab-sebab seseorang bisa tertular ataupun
menulari HIV/AIDS. Karena pendidikan karakter akan menjadikan seseorang
mempunyai kerangka berfikir dan bertindak sesuai dengan tuntunan norma yang
diyakininya. Dalam hal ini adalah norma Islam yang bersumber dari Al-Qur’an
dan Hadist.
Pendidikan yang difigurkan oleh Al-Qur’an adalah pendidikan yang
berbasis pada keluarga. Ayat-ayat Al-Qur’an tentang pendidikan menyiratkan
bahwa keluarga adalah lingkup terpenting dalam proses pendidikan itu. Sehingga
terdapat satu surat yang mengangkat nilai-nilai pendidikan melalui figur
bernama Lukman, yaitu surat Luqman.
Dalam surat Lukman tersebut dijelaskan prioritas yang harus diberikan
untuk pendidikan anggota keluarga. Luqmanul Hakim, adalah seorang ahli
hikmah yang telah berhasil mendidik anak-anaknya sehingga Allah SWT
melestarikan hal itu menjadi contoh tauladan. Dari sini juga terdapat nasehat
Luqmanul Hakim yang tertera pada ayat 12-19 diantaranya: larangan
mempersekutukan Allah, perintah beramal shaleh, perintah mendirikan shalat,
larangan bersikap sombong dan angkuh, perintah untuk bersikap sederhana.
Berikut bunyi ayat tersebut:
ô‰s)s9ur $oY÷s?#uä z`»yJø)ä9 spyJõ3Ïtø:$# Èbr& öä3ô©$# ¬! 4 `tBur öà6ô±tƒ
$yJ¯RÎ*sù ãä3ô±o„ ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur txÿx. ¨bÎ*sù ©!$# ;ÓÍ_xî Ӊ‹ÏJym ÇÊËÈ øŒÎ)ur
tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏètƒ ¢Óo_ç6»tƒ Ÿw õ8Ύô³è@ «!$$Î/ ( žcÎ)
x8÷ŽÅe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOŠÏàtã ÇÊÌÈ $uZøŠ¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷ƒy‰Ï9ºuqÎ/
çm÷Fn=uHxq ¼çm•Bé& $·Z÷dur 4’n?tã 9`÷dur ¼çmè=»|ÁÏùur ’Îû Èû÷ütB%tæ Èbr&
öà6ô©$# ’Í< y7÷ƒy‰Ï9ºuqÎ9ur ¥’n<Î) 玍ÅÁyJø9$# ÇÊÍÈ bÎ)ur š‚#y‰yg»y_ #’n?tã br&
š‚͍ô±è@ ’Î1 $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ ÖNù=Ïæ Ÿxsù $yJßg÷èÏÜè? ( $yJßgö6Ïm$|¹ur ’Îû
$u‹÷R‘‰9$# $]ùrã÷ètB ( ôìÎ7¨?$#ur Ÿ@‹Î6y™ ô`tB z>$tRr& ¥’n<Î) 4 ¢OèO ¥’n<Î)
öNä3ãèÅ_ötB Nà6ã¥Îm;tRé'sù $yJÎ/ óOçFZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÊÎÈ ¢Óo_ç6»tƒ !$pk¨XÎ) bÎ)
à7s? tA$s)÷WÏB 7p¬6ym ô`ÏiB 5AyŠöyz `ä3tFsù ’Îû >ot÷‚|¹ ÷rr& ’Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$#
÷rr& ’Îû ÇÚö‘F{$# ÏNù'tƒ $pkÍ5 ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# ì#‹ÏÜs9 ׎Î7yz ÇÊÏÈ ¢Óo_ç6»tƒ ÉOÏ
%r& no4qn=¢Á9$# öãBù&ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ tm÷R$#ur Ç`tã ̍s3ZßJø9$# ÷ŽÉ9ô¹$#ur
4’n?tã !$tB y7t/$|¹r& ( ¨bÎ) y7Ï9ºsŒ ô`ÏB ÇP÷“tã ͑qãBW{$# ÇÊÐÈ Ÿwur öÏiè|Áè? š‚£‰s{
Ĩ$¨Z=Ï9 Ÿwur Ä·ôJs? ’Îû ÇÚö‘F{$# $·mttB ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä† ¨@ä. 5A$tFøƒèC 9‘qã‚sù
ÇÊÑÈ ô‰ÅÁø%$#ur ’Îû šÍ‹ô±tB ôÙàÒøî$#ur `ÏB y7Ï?öq|¹ 4 ¨bÎ) ts3Rr& ÏNºuqô¹F{$#
ßNöq|Ás9 ΎÏJptø:$# ÇÊÒÈ

“12. dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman,


Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur
(kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri;
dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka Sesungguhnya Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji". 13. Dan (ingatlah) ketika Luqman
berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya:
"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
14. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu. 15. Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah
keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka
Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. 16. (Luqman
berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan)
seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam
bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya).
Sesungguhnya Allah Maha Haluslagi Maha mengetahui. 17. Hai
anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). 18. Dan
janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)
dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri. 19. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan
lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara
keledai.”

Mendasarkan pada Nasehat Luqmanul Hakim pada ayat di atas, maka


dapat kita lihat mengenai beberapa pokok tuntutan agama, yaitu aqidah, syariat
dan akhlaq. Bahkan memberi tuntutan kepada siapapun yang ingin menelusuri
jalan kebajikan.181 Sehingga apabila dikorelasikan dengan pencegahan
HIV/AIDS, pendidikan karakter dalam kelurga khususnya berkenaan dengan
HIV/AIDS menjadi sangat signifikan sekali. Mengingat dalam kaitannya dengan
problematika yang melatarbelakangi HIV/AIDS diantaranya adalah masalah
akhlak dan moralitas, yaitu pergaulan seks beresiko, pernikahan yang tidak
sehat, dan tidak adanya pengetahuan tentang sesuatu yang ma’ruf dan mungkar
bagi diri dan keluarga, termasuk didalamnya pengetahuan seputar seksualitas
dan HIV/AIDS.
Pertama, aspek ‘Aqidah, yaitu yang menyangkut masalah keimanan
kepada Allah, ketika disebut iman kepada Allah, hal ini sudah tercakup iman
kepada malaikat, kitab-kitab-Nya, para Nabi, hari kiamat, qadla’ dan qadar
Allah. Aspek Aqidah ini termaktub dalam QS. Luqman: ayat 12, 13, 16.
Pemahaman tentang akidah ini dalam keluarga akan berimplikasi secara spirituil
yang menjadikan seseorang dalam suatu keluarga akan mendasari perilakunya
pada nilai-nilai ketuhanan, sehingga perilaku-perilaku yang bisa menyebabkan
pada terkena HIV/AIDS (seks bebas dan berganti-ganti pasangan) maupun

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan dan Kesan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentera
181

Hati, 2003) , hlm.  140


penularan HIV/AIDS oleh ODHA (tidak memakai condom dalam hubungan seks
bagi ODHA dengan negatif HIV) bisa terhindarkan.
Kedua, aspek syari’ah, yakni suatu sistem Ilahi yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan
hubungan manusia dengan alam, aspek syari’ah ini termaktub dalam ayat 14, 15,
dan 17. Aspek ini dalam konteks pencegahan HIV/AIDS bermakna bahwa
anggota keluarga harus diberikan pengetahuan tentang aturan-aturan normatif
berinteraksi sosial, kesehatan reproduksi dan hubungan seksual, dan sosial
kemasyarakatan.
Dalam konteks pencegahan HIV/AIDS dengan don’t inject, pendidikan
dalam Islam menyiratkan makna implikatif atas penjagaan terhadap tiga jenis
kesehatan yaitu kesehatan fisik, mental, dan kesehatan masyarakat. Nabi
bersabda:
“Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu.” (HR.
Muslim).182
Hadis tersebut memberikan penjelasan terhadap Firman Allah:
ÏÿRr&ur ’Îû È@‹Î6y™ «!$# Ÿwur (#qà)ù=è? ö/ä3ƒÏ‰÷ƒr'Î/ ’n<Î) Ïps3è=ökJ9$# ¡)qà#(
(#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ¨bÎ) ©!$# =Ïtä† tûüÏZÅ¡ósßJø9$#
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan.” (QS.Al-Baqarah:195).

Nabi Muhammad SAW juga menegaskan:


“Tidak (diperbolehkan) menyengsarakan diri sendiri dan tidak
(diperbolehkan) menimbulkan kesengsaraan terhadap orang lain.”
(HR. Ibnu Majah).183
Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah:

182
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, “Bab Hak Badan dalam Puasa”, Hadist No.1874 (Mausu’ah
Hadist Kutub at-Tis’ah), hlm. 687.
183
Ibnu Rajab al-Hanbali, Jami’ al-Ulum wal Hikam (Kairo: Muassasah ar-Risalah, 2001), Hadist
No.32, hlm. 207.
“Dari Umi Salamah RA. Berkata: Rasulullah SAW melarang setiap zat
yang memabukkan dan menenangkan.” (HR. Abu Dawud).184

Ketiga, aspek Akhlaq, secara etimologis, akhlaq adalah perbuatan yang


mempunyai sangkut paut dengan khaliq, aspek ini termaktub dalam ayat 14, 15,
18, dan 19.185 Aspek pendidikan akhlak ini akan membangun perilaku keluarga
sehingga tidak berperilaku seperti seharusnya manusia yang bertuhan. Dalam
konteks HIV/AIDS, manusia yang bertuhan tidak akan melanggar aturan-aturan
sang Khaliq, seperti berzina, berganti-ganti pasangan, melakukan homoseksual
dan menularkan (menyakiti) HIV/AIDS kepada orang lain.
Allah menekankan pentingnya pemeliharaan alat kelamin agar tidak
merusak diri sendiri maupun orang lain, dalam kasus HIV/AIDS relevan dengan
hubungan seksual ODHA.
Firman Allah :
è% šúüÏZÏB÷sßJù=Ïj9 (#q‘Òäótƒ ô`ÏB ôMÏd̍»|Áö/r& (#qÝàxÿøts†ur óOßgy_rãèù 4@
y7Ï9ºsŒ 4’s1ø—r& öNçlm; 3 ¨bÎ) ©!$# 7ŽÎ7yz $yJÎ/ tbqãèoYóÁtƒ ÇÌÉÈ @è%ur
ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøótƒ ô`ÏB £̀Ïd̍»|Áö/r& z`ôàxÿøts†ur £`ßgy_rãèù

“Katakanlah (hai Muhammad) kepada laki-laki yang beriman,


hendaklah megendalikan pandangan matanya dan menjaga organ
vitalnya (alat kemaluannya). Hal itu lebih suci bagi mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan
katakanlah kepada perempuan-perempuan beriman, hendaklah mereka
mengendalikan pandangan matanya dan menjaga organ vitalnya.” (QS.
An-Nur: 30-31).

Secara tegas Islam memerintahkan untuk menjaga kesehatan diri dan


kesehatan reproduksi, pemeliharaan alat kelamin dari berbagai bahaya, virus,

184
Muhammad Syamsul Haq al-‘Adhimi, ‘Aun al-Ma’bud; Syarh Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar
al-Fikr, 1995), Hadist No. 3686, Kitabul ‘Asyribah, hlm. 121.
185
Nurwadjah, Tafsir Ayat-AyatPendidikan (Bandung: Marja, 2007), hlm. 170
bakteri, jamur, dan beranekaragam penyakit yang kemungkinan akan
menimpanya. HIV/AIDS merupakan bagian dari pengertian itu.
tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇÎÈ žwÎ) #’n?tã öNÎgÅ_ºurø—r& ÷rr& $tB
ôMs3n=tB öNåkß]»yJ÷ƒr& öNåk¨XÎ*sù çŽöxî šúüÏBqè=tB ÇÏÈ

“….dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap


istri-istri mereka atau budak mereka miliki; maka sesungguhnya dalam
hal ini tiada tercela.” (QS. Al-Mukminun: 5-6).

D. Paradigma Relasi Sosial Keluarga sebagai Paradigma Pencegahan


HIV/AIDS
Relasi sosial dalam Al-Qur’an merupakan asas terpenting untuk
dijadikan paradigma oleh setiap manusia dalam melakukan interaksi sosial.
Dalam konteks pencegahan HIV/AIDS, paradigma relasi sosial; salaing
mengenal, memahami, membantu, menasehati, dan mengasihi, akan dapat
direalisasikan dalam bentuk semisal layanan konseling bagi ODHA, saling
membantu dalam spirit menyayangi atas ODHA, dan lain sebaginya sesuai
dengan konteks pencegahan yang diharapkan secara praktis tekhnis. Penjelasan
secara relevansional paradigma relasi sosial dengan upaya pencegahan
HIV/AIDS melalui peran sosial keluarga adalah sebagaimana berikut:
1. Ta’aruf
Pengertian ta’aruf adalah saling mengenal. Keluarga sudah semestinya
menjadi wadah untuk melakukan upaya saling mengenal satu sama lain dalam
anggota keluarga itu. Mengenal berarti tidak sekadar mengetehui, namun
merupakan upaya pemahaman terhadap objek yang dimaksudkan.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat:13)
Saling mengenal dan memahami apabila direlevansikan dengan
pencegahan HIV/AIDS oleh peran keluarga berarti keluarga harus menjadi pusat
informasi untuk saling mengenali satu sama lainnya dalam keluarga itu dan
terhadap masyarakatnya. Sehingga mereka dapat ikut berpartisipasi dalam
menyikapi permasalahan HIV/AIDS dengan bijak.
Berinteraksi dengan ODHA dalam pengertian saling mengenali satu
sama lain, bagaimana ODHA juga harus disapa dan diajak berinteraksi aktif
layaknya umumnya manusia dalam masyarakat. Memanusiakan ODHA dengan
“mengenalinya secara baik” (ta’aruf), mengerti apa itu HIV/AIDS, bagaimana
penularannya, dan siapa saja yang bisa tertular. Bahkan ODHA banyak yang
merupakan korban jika kita benar-benar mengenal dan mengerti. Point penting
dari ta’aruf di sini adalah sejauh mana wawasan kita dan mau mengenal, agar
kita dapat terhindar dari Stigma dan diskriminasi terhadap saudara kita yang
tertular HIV.
Memanusiakan manusia adalah inti dari ajaran agama islam, mereka
yang terinfeksi bukan berarti menjadi manusia yang terkutuk atau lebih rendah
kadar keimanannya, kita harus memandang mereka layaknya manusia dengan
melakukan hubungan sosial yang baik, serta melindungi mereka dan berbagai
stigma yang muncul dikarenakan minimnya informasi terkait HIV AIDS.

2. Ta’awun
Setelah mengenal dan memahami, akan menjadi lebih sempurna jika
ditambahkan sikap ta’awun (saling menolong). Karena inilah sesungguhnya
yang akan menumbuhkan rasa cinta pada diri seseorang kepada kita. Bahkan
Islam sangat menganjurkan kepada ummatnya untuk saling menolong dalam
kebaikan dan takwa. Secara sosiologis, sebuah keluarga harus menjadi bagian
problem solver bagi problem internal anggotanya dan keluarga lainnya yang
merupakan unsur masyarakat. Dalam adat istiadat yang merupakan budaya
adiluhung kita disebut dengan gotong royong.
Terdapat satu ayat dalam Al-Qur’an yang menjadi dasar keharusan bagi
setiap manusia, dalam konteks sosiologinya, untuk melakukan tindakan saling
tolong menolong. Tolong menolong yang dianjurkannya pun dalam koridor
“kebaikan” yang berdampak bagi sosial kemasyarakatan.
G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? ’n?tã ÉOøOM}$#)qçRur$yès?ur ’n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3“uqø#(
Èbºurô‰ãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߉ƒÏ‰x© É>$s)Ïèø9$#

“Saling tolong menolonglah kalian dalam hal kebaikan, dan janganlah


kalian saling tolong menolong dalam hal dosa dan permusuhan.” (Al-
Ma’idah: 2)

Upaya pencegahan HIV/AIDS harus dilakukan oleh semua pihak,


keluarga sebagai tulang punggung masyarakat harus berperan aktif dan berada
pada garis terdepan. Upaya tersebut dilakukan dengan jalan saling tolong
menolong, khususnya bagi mereka dengan HIV/AIDS. ODHA harus
mendapatkan penanganan secara khusus yang sinergis dilakukan oleh seluruh
kelurga dan masyarakat yang di dalamnya terdapat ODHA. Pertolongan secara
sinergis itu sesuai dengan kapasitasnya, seperti konseling psikologis dan
keagamaan. Untuk menjadikan ODHA tidak merasa terdisorganisasi secara
komunal keluarga maupun sosial. Memberi perhatian yang lebih terhadap
ODHA juga mampu meningkatkan imun psikis yang tentu berdampak positif
terhadap kesehatan mereka.
Mengutip pernyataan Farid Esack yang menganalogikan penularan
HIV/AIDS sebagai kecelakaan mobil dan menawarkan respon ideal seorang
mukmin terhadap krisis HIV/AIDS yang dilandasi teologi kasih sayang, beliau
menuturkan :
Pada suatu malam yang gelap tiba-tiba terjadi sebuah kecelakaan
mobil. Korbannya adalah seorang pria, sang sopir, dan seorang
wanita yang duduk disebelahnya. Setelah didatangi anda pun yakin
bahwa sang sopir jelas mabuk karena bau minuman keras yang
tercium dari mulutnya, tetapi anda tidak bisa memastikan tentang si
wanita. Orang-orang pun berkerumun dan ambulans pun dipanggil
untuk membawa korbn ke rumah sakit terdekat. Pertanyaannya
adalah, apakah yang benar-benar menjadi masalah kita disini dan
apa sebenarnya tanggung jawab kita jika dihadapkan dengan
skenario ini. Menyelamatkan nyawa yang masih terluka dan cepat-
cepat menuntun mereka bertobat agar setidaknya mereka bisa
meninggal dalam keadaan tobat dan mendapatkan kehidupan yang
lebih baik nantinya, atau kita acuhkan dan pergi saja, kita berfikir
wajar saja mereka mendapat kecelakaan seperti itu karena mereka
memintanya sendiri, karena mereka mabuk akibat minuman keras.
Atau kita bedakan saja antara korban yang bersalah dan yang tidak
bersalah. Kita tolong si wanita karena dia tidak mabuk, sedangkan
si sopir kita biarkan saja tergelepar di jalan karena memang dia
yang bersalah dan mabuk. Sayangnya tidak semua orang yang
keluar rumah dan merespons tragedy kecelakaan itu punya niatan
yang bagus dan tulus untuk benar-benar menolong. Sebagian besar
orang yang katanya mau menolong itu lebih terobsesi menuduh dan
menghakimi, bukan untuk kepentingan korban yang menderita. 186

Esack mengajak kita untuk beranjak dari ranah penghakiman-


penghakiman dan mengajak kita untuk melihat faktor-faktor lain seperti
kemiskinan, keadilan gender, dan masalah-masalah sosial lainnya. Dengan
analogi dan penjelasannya Esack berharap umat Islam bisa lebih bijak dalam
merespon permasalahan ini dan mengkedepankan sikap saling tolong-menolong
antar sesama sebagai solusi penanggulangan HIV/AIDS.

3. Tawashi
Paradigma relasi sosial yang selanjutnya, setelah terjadi saling
mengenal, memahami dan terjalin ikatan kerjasama, dalam melakukan upaya
pencegahan HIV/AIDS, maka ada yang mendasar yang harus dijadikan

Farid Esack, Islam, Muslim and AIDS: Between Scorn, Pity, and Justice, (South Africa:
186

Positive Muslims, 2006), hlm 18.


paradigma dalam ikatan kerjasama tersebut, yaitu upaya saling memberikan
informasi dan arahan terhadap sesuatu yang baik dan benar (tawashi), atau bisa
dikatakan sebagai education dalam konteks pencegahan HIV/AIDS umumnya.
Dalam konteks pencegahan HIV/AIDS, setiap entitas dalam suatu keluarga atau
masyarakat yang di dalamnya terdapat ODHA harus memainkan peran saling
mengarahkan terhadap sesuatu yang benar (haqq), sehingga stabilitas sosial
menjadi terwujud. Misalnya mengarahkan mereka untuk tidak melakukan
aktivitas-aktivitas yang menularkan HIV/AIDS mereka kepada orang lain,
seperti istri dan anak.
Paradigma saling memberikan arahan positif ini harus dimulai dari
individu kemudian beranjak pada ranah unit sosial yang disebut keluarga,
selanjutnya antar keluarga yang membentuk suatu masyarakat.
Dasar pentingnya saling berwasiat positif di atas adalah ayat Al-Qur’an
dalam surat Al-Ashr:
ΎóÇyèø9$#ur ÇÊÈ ¨bÎ) z`»|¡SM}$# ’Å"s9 AŽô£
äz ÇËÈ žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä
(#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#öq|¹#uqs?ur Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur Ύö9¢Á9$$Î/ ÇÌÈ

“Demi Masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian. Kecuali mereka


yang beriman dan mengamalkan amal shalih, dan saling memberikan
wasiat atas sesuatu yang haq dan kesabaran”

Wasiat kebaikan bisa berupa ajakan kebaikan untuk terus melindungi diri
dan keluarga dari perbuatan yang mungkar, juga ajakan untuk melindungi
saudara atau manusia yang terinfeksi HIV dari berbagai perlakuan diskriminatif.
Wasiat ini jika dibangun dalam proses pendidikan keluarga akan menguatkan
imunitas dan membentuk ketahanan keluarga yang baik sebagai tameng dari
berbagai penyakit salah satunya adalah penyakit HIV AIDS.

4. Tarahum
Makna dari tarahum adalah saling mengasihi dalam konteks
kemanusiaan. Paradigma interaksi sosial yang keempat ini adalah pondasi utama
dalam setiap bentuk interaksi sosial. Setelah tejadi upaya saling mengenal,
memahami, kerjasama, saling melakukan kontrol sosial, dalam mencegah
HIV/AIDS, maka kesemuanya itu harus didasari oleh ruh saling mengasihi.
Karena setiap hubungan antar individu dalam keluarga maupun masyarakat yang
didasarkan atas kasih sayang, akan mengindahkan kondisi dan menuai solusi
atas permasalahan yang diderita, dalam hal ini ODHA.
Tarahum ini merupakan prinsip dasar dari syariat Islam, sebagaimana
Allah menegaskan diutusnya seorang Rasullah dengan Syari’at tidak lain adalah
untuk merahmati alam semesta ini, yang di dalamnya terkandung manusia
dengan berbagai struktur sosialnya. Tarahum ini pada konteks ODHA dan
HIV/AIDS harus dijadikan paradigma untuk berinteraksi dengan ODHA secara
penuh kasih sayang, tanpa mendeskriditkan dan menstigmakan mereka. Karena
dijumpai juga kasus penularan HIV/AIDS oleh ODHA karena mereka merasa
terhukum oleh stigma sosial yang menurutnya tidak adil, sehingga mereka
mencoba menularkan HIV/AIDS kepada individu-individu lain sebagai bentuk
pelampiasan kemarahannya.
Sebagaimana dalam model pemahaman Farid Esack mengenai
Theology of Compassion (Teologi kasih sayang) yang merekomendasikan bagi
setiap Muslim untuk memahami dulu semua aspek tentang HIV/AIDS sebelum
bereaksi dan mengemukaan respon terhadapnya, sehingga Islam tidak salah
dalam merespon atau tidak bersikap adil karena hanya bisa menghakimi
semata.187
Mengutip pernyataan Esack tentang sikap kasih sayang sebagai salah
satu solusi dari permasalahan HIV/AIDS, beliau berkata :
“…. Permasalahannya juga tidak hanya terkait tentang bagaimana
kita melihat orang yang positif HIV sebagai “orang lain” yang
187
Lihat “Positive Muslims Mission Statement” dalam HIV, AIDS, and Islam : Reflection Based
on Compassion, Responsibility and Justice, South Africa: Positive Muslims, 2004), hlm 4.
patut dikasihani, tetapi kita juga perlu melihat orang yang positif
HIV (ODHA) sebagai bagian dari kita. Sikap kasih sayang
(compassion) itu secara harfiah harus kita terjemahkan sebagai
satu perasaan jika salah satu bagian tubuh kita sakit, maka semua
tubuh kita juga ikut merasakan deritanya. Kesadaran seperti ini
harus terus dipupuk sebagaimana pemenuhan kita akan hak-hak
orang yang terinfeksi itu….”

Pengertian saling mengasihi ini harus menjadi bagian yang integral


dalam interaksi yang dilakukan oleh individu dalam keluarga dan dalam konteks
relasi sosial yang dibangun guna pencegahan HIV/AIDS. Kehadiran agama
diharapkan mampu membawa nilai spiritualitas yang mengajak pengikutnya
untuk menyelami ruh dan jiwa agama. Menghidupkan agama melalui
kemanusiaan dengan tidak menyalahkan atau menghakimi orang lain. Itulah
spiritualitas tertinggi dalam agama Islam.188

E. Etika Relasi Sosial Keluarga sebagai Etika Pencegahan HIV/AIDS


Terjadinya penyebaran HIV/AIDS tergambarkan dengan istilah
fenomena gunung es, kenyataan yang terlihat hanyalah bagian kecil dari fakta
yang sesungguhnya. Faktor penyebab penyebaran tersebut yaitu didominasi oleh
permasalahan seksualitas. Dalam Al-Qur’an, hubungan seks dan segala sesuatu
yang terkait dengannya, seperti penggunaan indrawi dan tubuh seutuhnya
mendapatkan perhatian yang cukup serius. Hal ini, seringkali disebutkan dalam
bentuk acuan tegas tentang larangan penggunaan indra tertentu untuk hal-hal
yang tidak diperbolehkan oleh Tuhan.
Etika yang terungkap dalam Al-Qur’an terkait dengan berinteraksi
dalam sosial tertentu, menjadi sangat relevan bagi dibentuknya etika pencegahan
HIV/AIDS. Penjelasan etika relasi sosial dalam Al-Qur’an tersebut sebagai etika
pencegahan HIV/AIDS sebagai berikut:

Hazrat Inayat Khan. Kesatuan Ideal Agama-Agama. Terj. Yulian Aris Fauzi. (Yogyakarta:
188

Putra Langit. 2003), hlm 10-11


1. Etika Pandangan dan Menjaga Kemaluan
Terdapat ayat dalam Al-Qur’an yang menyinggung etika indrawi dalam
relasi sosial sebuah entitas manusia berkenaan dengan konteks indrawi.
Bagaimana perilaku individu atau keluarga dalam membangun relasi sosialnya
yang berasaskan pada etika. Berikut ayat yang dimaksudkan:
è% šúüÏZÏB÷sßJù=Ïj9 (#q‘Òäótƒ ô`ÏB ôMÏd̍»|Áö/r& (#qÝàxÿøts†ur óOßgy_rãèù 4@
ƒy7Ï9ºsŒ 4’s1ø—r& öNçlm; 3 ¨bÎ) ©!$# 7ŽÎ7yz $yJÎ/ tbqãèoYóÁt

“Katakan kepada laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan


pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih
suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat.”(QS.An-Nur: 30)

Objek yang dibicarakan dalam ayat tersebut adalah laki-laki. Sedangkan


relevansi yang ingin disampaikan oleh ayat tersebut adalah laki-laki dengan
seksualitas. Seorang laki-laki, baik sebagai seorang suami ataupun pribadi single
harus mempunyai tanggung jawab moral etis atas seksualitasnya. Menahan
pandangan mempunyai makna simbolik tentang bagaimana pandangan
merupakan faktor penyebab utama bagi terjadinya hubungan seksual, sebagai
lanjutan ayat tersebut berupa anjuran untuk menjaga kemaluan. Sehingga
menjaga pandangan menjadi sangat penting bagi upaya menjaga kemaluan.
Salah satu penyebab transmisi HIV/AIDS adalah transmisi seksual.
Penularan melalui transmisi seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual
merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Oleh karena itu,
perlu memperhatikan pengetahuan (education) tentang seksualitas dalam
kerangka untuk menjaga kesucian (kesehatan) raga (kelamin) dan jiwa (nalar dan
hati) dari kemungkinan terkena penularan HIV/AIDS. Tanggung jawab
penggunaan indra penglihatan dan kemaluan adalah dalam rangka mensucikan
manusia dari berbagai jenis penyakit baik lahir maupun batin, termasuk di
dalamnya adalah HIV/AIDS.
è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøótƒ ô`ÏB £`Ïd̍»|Áö/r& z`ôàxÿøts†ur £`ßgy_rãèù Ÿwur@
šúïωö7ム£`ßgtFt^ƒÎ— žwÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóΎôØu‹ø9ur £`Ïd̍ßJ胿2 4’n?tã
£`ÍkÍ5qãŠã_ ( Ÿwur šúïωö7ム£`ßgtFt^ƒÎ— žwÎ)  ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9 ÷rr&  ÆÎgͬ!$t/#uä
÷rr& Ïä!$t/#uä  ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr&  ÆÎgͬ!$oYö/r& ÷rr& Ïä!$oYö/r&  ÆÎgÏGs9qãèç/
÷rr& £`ÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/  ÆÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ £`ÎgÏ?ºuqyzr& ÷rr&
£`Îgͬ!$|¡ÎS ÷rr& $tB ôMs3n=tB £`ßgãZ»yJ÷ƒr& Írr& šúüÏèÎ7»F9$# Ύöxî ’Í<'ré&
Ïpt/ö‘M}$# z`ÏB ÉA%y`Ìh9$# Írr& È@øÿÏeÜ9$# šúïÏ%©!$# óOs9 (#rãygôàtƒ 4’n?tã
ÏNºu‘öqtã Ïä!$|¡ÏiY9$# ( Ÿwur tûøóΎôØo„ £`ÎgÎ=ã_ö‘r'Î/ zNn=÷èã‹Ï9 $tB tûüÏÿøƒä† `ÏB
£`ÎgÏFt^ƒÎ— 4 (#þqç/qè?ur ’n<Î) «!$# $·èŠÏHsd tm•ƒr& šcqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9
?šcqßsÎ=øÿè

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka


menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dari
padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,
dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami
mereka, ayah mereka, atau ayah suami mereka,atau putra-putra
mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-
laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putra-putra saudara-saudara perempuan mereka, atau wanita islam
atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki
yang yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-
anak yang belum mengerti aurat wanita. Dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”(QS.An Nur : 31).

Pada ayat di atas, selain himbauan dan perintah sebagaimana atas laki-
laki pada ayat sebelumnya, bagi para wanita mereka juga diperintahkan untuk
tidak berlaku ekhibisionis. Mengumbar organ seksualnya kepada orang-orang
yang tidak diperkenankan. Kenyataan sosiologinya, perilaku ekhibisionis dari
wanita tidak jarang menjadikan stabilitas moral etika sosial menjadi tereduksi
secara sistemik. Contoh konkritnya adalah patologi sosial yang disebabkan oleh
pornografi.
Apabila probem laki-laki adalah mengobjektifikasikan perempuan
secara seksual, maka problem perempuan adalah mengobjektifikasikan dirinya
sendiri dalam seksualitas. Hal ini merupakan faktor yang melatarbelakangi
patologi sosial seperti terjadinya hubungan seksual di luar koridor syari’at, yang
selanjutnya berdampak pada penyebaran HIV/AIDS.
Selain yang tersebutkan pada paragraf sebelumnya, terdapat ayat lain
yang melarang orang mukmin/mukminah untuk mengobjektifikasikan fisiknya
kepada orang lain.
pkš‰r'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurø—X{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$#$
šúüÏRô‰ãƒ £̀ÍköŽn=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4 y7Ï9ºsŒ #’oT÷Šr& br& z`øùt÷èムŸxsù
tûøïsŒ÷sム3 šc%x.ur ª!$# #Y‘qàÿxî $VJŠÏm§‘ ÇÎÒÈ

“Hai nabi, katakan kepada istri-istrimu dan anak-anak perempuanmu


dan istri-istri orang-orang mukmin hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya keseluruh tubuh mereka, yang demikian itu agar mereka lebih
mudah untuk dikenal, hingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha
Pengampun lahi Maha Penyanyang.”(QS.Al-Ahzab:59).

Pernikahan yang sah disertai dengan kemampuan memenuhi kewajiban


antara masing-masing pihak sehingga tersusun sistem dengan struktur dan fungsi
suatu keluarga adalah anjuran solutif bagi pencegahan pergaulan bebas yang
tidak mengindahkan kesucian diri (kelamin) lahir dan batin. Oleh karena itu,
Islam menganjurkan menikah dalam usia muda bagi yang mampu dan puasa
bagi yang tidak mampu.
“Wahai sekalin pemuda, barang siapa diantara kamu yang mampu
nikah, maka nikahlah, sesungguhnya nikah itu bagimu dapat
menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, naka jika kamu
belum sanggup berpuasalah, sesunggunya puasa itu sebagai
perisai”(HR.Muttafaaqun Alaihi).189
189
Ibnu Hajar, Fathul Bari, hlm. 231.
2. Etika Pasangan dan Hubungan Seksual
Pada hadist di bawah ini, tersurat dengan jelas larangan akan perilaku
seksual yang dilakukan oleh sesama jenis, walaupun itu dalam batasan tertentu.
“Dari Abu Sa’id Radiallahuanhu, bahwasanya Rasulullah Salallahu
Alaihi Wa Salam bersabda : seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat
sesama laki-laki, begitu pula seorang perempuan tidak boleh melihat
aurat perempuan. Seorang laki-laki tidak boleh bersentuhan kulit
sesama lelaki dalam satu selimut, begitu pula seorang perempuan tidak
boleh bersentuhan kulit dengan sesama perempuan dalam satu
selimut.”(HR.Muslim).190

Hadist di atas berfungsi sebagai mubayyin dan mufasshil atas ayat


pergaulan seksual sesama jenis yang diceritakan Allah dalam Al-Qur’an tentang
umat Nabi Luth AS, yaitu pada surat Al-‘Araf ayat 80-81:
Ûqä9ur øŒÎ) tA$s% ÿ¾ÏmÏBöqs)Ï9 tbqè?ù's?r& spt±Ås»xÿø9$# $tB Nä3s)t7y™ $pkÍ5 ô`ÏB»$
7‰tnr& šÆÏiB tûüÏJn=»yèø9$# ÇÑÉÈ öNà6¯RÎ) tbqè?ù'tGs9 tA$y_Ìh9$# Zouqöky `ÏiB
Âcrߊ Ïä!$|¡ÏiY9$# 4 ö@t/ óOçFRr& ×Pöqs% šcqèù̍ó¡•B ÇÑÊÈ

“Dan Kami telah mengutus Luth kepada kaumnya. Ingatlah ketika ia


mengucapkan kepada kaumnya “mengapa kalian ini mengerjakan
perbuatan fahisyah yang belum pernah dilakukan oleh seorangpun
didunia ini sebelummu?” Sesungguhnya kamu telah mendatangi laki-
laki untuk melepaskan nafsumu kepada mereka, bukan kepada wanita.
Kamu ini adalah kaum yang melampui batas.”

Fakta menyebutkan bahwa salah satu penyebab utama HIV/AIDS


adalah transmisi seksual secara bebas. Terdapat pengertian bebas di sini adalah
tanpa ada tanggung jawab didalamnya. Sebuah pendekatan Islam dalam hal

Ibnu Abdur Rahim al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi, Juz VIII
190

(Beirut: Darul Kutub al-‘Alamiyyah, t.th), Hadist No. 2793, hlm. 135.
pencegahan HIV/AIDS seharusnya juga bisa memasukkan strategi-strategi baru
yang bermula dari pandangan Islam sebagai suatu jalan dan falsafah kehidupan.
191

Oleh karena itu, upaya pencegahan HIV/AIDS salah satunya adalah


dengan memperhatikan perintah dan himbauan dari Al-Qur’an berupa etika
pasangan seksual yang setia pada pasangan dan tidak berganti-ganti pasangan.

3. Etika Hubungan Seksual


Selain etika pasangan seksual, terdapat ayat-ayat Al-Qur’an yang
berhubungan dengan etika hubungan seksual. Penjelasan relevansinya dengan
pencegahan HIV/AIDS misalnya larangan berhubungan seksual selama istri haid
(Al-Baqarah ayat: 222).
štRqè=t«ó¡o„ur Ç`tã ÇيÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd “]Œr& (#qä9͔tIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# ’Îû
ÇيÅsyJø9$# ( Ÿwur £̀èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ ( #sŒÎ*sù tbö£gsÜs?  Æèdqè?ù'sù ô`ÏB
ß]ø‹ym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä† tûüÎ/º§qG9$# =Ïtä†ur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$#
ÇËËËÈ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu


adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan
diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

Haid adalah peristiwa luruhnya sel telur yang menempel di dinding


rahim ketika tidak bertemu dengan sel sperma. Larangan tersebut bertujuan
melindungi perempuan dari bertambahnya rasa sakit dan melindungi keduanya
dari penularan penyakit seksual melalui darah.
Pengertian terhadap kondisi pasangan dengan tidak memaksakan
kehendak merupakan hal yang wajib dipahami dan dilakukan, karena seksualitas
191
Ahmad Shams Madyan, AIDS dalam Islam, Krisis Moral atau Krisis Kemanusiaan. hlm, 87.
menjadi hal yang sangat penting dalam kondisi dan kehidupan manusia,
khususnya dalam kehidupan berumah tangga.192
Selain itu, memerintahkan relasi seksual yang setara dengan menyebut
istri sebagai pekaian suami dan suami sebagai pakaian istri (Al-Baqarah: 187).
Ïmé& öNà6s9 s's#ø‹s9 ÏQ$uŠÅ_Á9$# ß]sù§9$# 4’n<Î) öNä3ͬ!$|¡ÎS 4 £̀èd Ó¨$t6Ï9 @¨
öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3 zNÎ=tæ ª!$# öNà6¯Rr& óOçGYä. šcqçR$tFøƒrB öNà6|
¡àÿRr& z>$tGsù öNä3ø‹n=tæ $xÿtãur öNä3Ytã ( z`»t«ø9$$sù £`èdrçŽÅ³»t/ (#qäótFö/$#ur
$tB |=tFŸ2 ª!$# öNä3s9 4 (#qè=ä.ur (#qç/uŽõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ ãNä3s9 äÝø‹sƒø:
$# âÙu‹ö/F{$# z`ÏB ÅÝø‹sƒø:$# ϊuqó™F{$# z`ÏB ̍ôfxÿø9$# ( ¢OèO (#q‘JÏ?r& tP$u‹Å_Á9$#
’n<Î) È@øŠ©9$# 4 Ÿwur  ÆèdrçŽÅ³»t7è? óOçFRr&ur tbqàÿÅ3»t㠒Îû ωÉf»|¡yJø9$# 3
y7ù=Ï? ߊr߉ãn «!$# Ÿxsù $ydqç/tø)s? 3 y7Ï9ºx‹x. ÚúÎiüt6ムª!$# ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9
óOßg¯=yès9 šcqà)Gtƒ ÇÊÑÐÈ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu
pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu
tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan
memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan
ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan
minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu
fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,
(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf
dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada
manusia, supaya mereka bertakwa.”

Fungsi pakaian adalah menutupi aurat pemakaiannya yang tidak pantas


dilihat orang lain sekaligus melindungi pemakaiannya dari apa pun yang tidak
menyenangkan, seperti sengatan panas, dingin, dan atau kotornya debu. Suami
istri wajib saling melindungi satu sama lain dari hal-hal yang tidak
menyenangkan atau membahayakan seperti penyakit menular seksual, seperti
HIV/AIDS.

192
Ali, Kecia, and Oliver Leaman. Islam the Key Concepts. (London and Newyork Roudledge
Francise Library, 2008), hlm 119
Begitu pula, Al-Qur’an memerintahkan pergaulan suami istri dilakukan
secara ma’ruf, yaitu:
èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £̀èdqßJçF÷d̍x. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s?`£
$\«ø‹x© Ÿ@yèøgs†ur ª!$# ÏmŠÏù #ZŽöyz #ZŽÏWŸ2

“Pergaulilah istrimu dengan baik. Apabila kalian membenci mereka,


maka siapa tahu Allah menjadikan pada apa yang kalian benci itu
kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’:19).

Cara-cara yang ma’ruf itu dalam berhubungan seksual antara lain


adalah tidak mengandung pemaksaan dan kekerasan, serta tidak mengakibatkan
suami istri tertular penyakit apa pun seperti penyakit menular HIV&AIDS.
Karena apabila istri tertular, bisa berakibat pada terinfeksinya anak yang akan
dilahirkan.
Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri jika masyarakat belum mendapatkan
pengetahuan yang utuh tentang seksualitas, pembahasan seksualitas menjadi hal
yang sangat tabu, dan masih terbatas kepada kelompok atau golongan yang
berperan di bidang seksualitas dan memiliki kepentingan terhadapnya. Padahal
pemahaman mengenai seksualitas akan menjadi hal yang sangat positif terutama
untuk membangun keluarga yang harmonis.193

4. Etika Komunikasi dan Interaksi


Bagi wanita diperintahkan untuk tidak berlembut-lembut suara di
hadapan laki-laki yang bukan mahram. Hal ini mungkin akan berdampak bagi
relasi sosial yang tidak stabil di antara elemen masyarakat berupa keluarga.
uä!$|¡ÏY»tƒ ÄcÓÉ<¨Z9$# ¨ûäøó¡s9 7‰tnr'Ÿ2 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4 ÈbÎ) ¨ûäøø‹s)¨?$# Ÿxsù
z`÷èŸÒøƒrB ÉAöqs)ø9$$Î/ yìyJôÜuŠsù “Ï%©!$# ’Îû ¾ÏmÎ7ù=s% ÖÚttB z`ù=è%ur Zwöqs%
$]ùrã÷è¨B

Musdah Mulia. Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi. (Yogyakarta:
193

Naufan Pustaka, 2010), hlm 285


“Hai istri-istri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita lain, jika
kamu bertakwa, maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara,
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik.”(QS. Al-Ahzab: 32).

Ayat di atas menegaskan bahwa Islam sangat berhati-hati dalam


menjaga etika manusia ketika berinteraksi dengan lawan jenis, usaha tersebut
bukan lain dan bukan tidak agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Hal
ini secara tidak langsung masuk ke dalam upaya pencegahan virus HIV/AIDS.
Yaitu menjaga etika dan perilaku kita ketika berinteraksi dengan lawan jenis.
Karena ketika semua hal atau perilaku seksual yang bebas dan menyimpang
masuk ke dalam batas kewajaran, maka penularan HIV/AIDS pun juga akan
menjadi hal yang lumrah.
Himbauan yang lain, yaitu dilarangnya berdua-duaan antara pria dan
wanita di tempat yang sepi. Karena secara sosiologis, hal itu akan memunculkan
“persepsi” sosial yang konotatif, secara psikologis akan mengikis ketahanan
seksual. Tentu pada pengertian yang wajar dalam membidik makna berdua-
duaan dalam sebuah situasi. Keterangan itu direferensikan dari Hadist:
Dari Ibn Abbas, Ia berkata:“Saya mendengar Rasulullah SAW
berkhutbah: Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang
perempuan kecuali bersama mereka ada mahramnya. Dan jangan pula
musafir seorang perempuan kecuali disertai mahramnya. Seorang
sahabat berdiri lalu berkata: Ya Rasulullah, istri saya keluar untuk
melaksanakan haji, sementara saya telah mendaftarkan diri untuk
berperang. Nabi bersabda: Berangkatlah bersama istrimu untuk
melaksanakan haji.194

Pembentukan imunitas keluarga dapat dibentuk melalui pendidikan


karakter, kepemimpinan, dan menanamkan nilai spiritualitas kepada anggota
keluarga. Hal tersebut sesuai dengan yang diajarkan oleh Al-Quran dan Hadis

Ibnu Hajar al-Ashqalani, Bulughul Maram: Min Adillati al-Ahkam, (Riyadh: Dar ‘Alim al-
194

Kutub, 1996), hlm. 151.


mengenai sistem imunitas keluarga. Ketahanan Keluarga merupakan ujung
tombak sekaligus benteng dari kelompok sosial terkecil, hal tersebut bisa kita
implementasikan dengan berusaha menjaga diri dan membangun nilai-nilai
spiritualitas, intelektualitas, moralitas dan etika yang dibangun demi menjaga
diri dan keluarga dari ancaman virus HIV/AIDS yang saat ini sudah secara nyata
menjadi persoalan bersama.195
Persoalan penafsiran selalu berkaitan dengan konteks sosio-historis,
untuk merespon persoalan HIV AIDS perlu dilakukan dengan pendekatan
sosiologis-historis, pengabaian aspek tersebut menurut Nasr akan
mengakibatkan pembekuan makna pesan dan nilai ideal moral.196 Sejatinya,
pencegahan HIV/AIDS bisa dilakukan jika seluruh masyarakat mempunyai
kesadaran yang tinggi untuk menjaga keluarganya dengan mengambil nilai ideal
moral yang ada dalam al-Qur’an. Membangun spiritulitas dalam keluarga berarti
membangun nilai-nilai kemanusiaan. Hal tersebut diharapkan menjadi benteng
sekaligus imunitas bagi keluarga, nusa bangsa dan agama.

DAFTAR PUSTAKA

195
M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm.92.
196
Farid Hasan dan Siti Robikah, Model Pembacaan Kontekstual Nasr Hamid Abu Zayd
Terhadap Teks Suci Keagamaan (al-Qur’an), Jurnal Citra Ilmu STAINU Temanggung, Edisi 13,
Vol XVI, April 2020, hlm. 20
Amirul, Abu. 2013. Terapi Hati. Salangor: Grup Buku Karangkraf.

Abdullah, M. Amin. 2006. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan


Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Al-Azizi, Furqan. 2014. Sukses Dunia Akhirat dengan Kedahsyatan Basmalah.


Yogyakarta: Sabil.

Al-Haqq Kugle, Scrott Siraj. 2011. Homosexuality in Islam: Critical Reflection


on Gay, Lesbian, and Transgender Muslim, London: Oneworld.

Almanfaluthi, Riza. 2014. Amalan Sederhana Pembuka Pintu Kemudahan:


Kisah-Kisah Nyata Bertabur Hikmah. Yogyakarta: Bunyan.

Aqil, Ali Akbar bin dan M. Abdullah Charis. 2016. Lima Amalan Penyuci Hati.
Jakarta: Qultum Media.

Assegaf, Mohammad Ali Toha. 2013. Sehat Ala Nabi. Jakarta: Noura Books.

Adz-Dzakiey, Hamdan Bakran. 2007. Psikologi Kenabian: Menghidupkan


Potensi dan Kepribadian Kenabian dalam Diri. Yogyakarta: Pustaka
Al-FurQan.

Dora, Mohd Toib dan Hamdan Abd Kadir. 2006. Mengurus Stres. Salangor: PTS.
Professonal.

El-Hamdy, Ubaidurrahim. 2014. The Miracle of Puasa Senin Kamis. Jakarta:


PT. Wahyu Qalbu.

El-Qudsy, Hasan. 2012. Rahasia Gerakan dan Bacaan Shalat. Surakarta:


Shahih.

Fadholi, Ahmad. 2014. Tumpas Stres Seketika. Yogyakarta: Diva Press.

Ghaffar, Karim Abdul. 2011. Seni Bergembira: Cara Nabi Meredam Gelisah
Hati. Jakarta: Serambi.
Hasan, Farid. Siti Robikah. “Model Pembacaan Kontekstual Nasr Hamid Abu
Zayd Terhadap Teks Suci Keagamaan (al-Qur’an)”, Jurnal Citra
Ilmu STAINU Temanggung, Edisi 13, Vol XVI, April 2020.

Hasan, Ibrahim M. 2012. Dahsyatnya Doa untuk Kesembuhan. Surakarta: Ziyad.

Hs, Lasa. 2009. Surga Ikhlas. Yogyakarta: Great Publiser.

Khalid, ‘Amru. 2005. Terapi Hati. Jakarta: Republika.

Losyk, Bob. 2007. Kendalikan Stres Anda. Jakarta: Gramedia.

Maksum, M. Syukron dan Fathoni El- Kaysi. 2009. Rahasia Sehat Berkah
Shalawat: Terapi Ampuh Mencegah dan Menyembuhkan Penyakit.
Yogyakarta: Best Publiser.

Mualliafah. 2016. Keajaiban Shalat Tahajjud. Jakarta: PT. Buku Kita.

Mulia, Musdah. 2010. Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi.
Yogyakarta: Naufan Pustaka.

Najmuddin, Hairunnaja. 2007. Psikologi Ketenangan Hati. Kuala Lumpur: PTS.


Mellennia SDN. BHD.

Oliver Leaman. Ali, and Kecia. 2008. Islam the Key Concepts. London and
Newyork Roudledge Francise Library.

Pedak, Mustamir. 2009. Metode Supernol Menaklukkan Stres. Jakarta: Hikmah.

Putra, Yovan P. Rahasia di balik Hipotesis Ricksonian. Jakarta: PT Elex Media


Komputindo.

Rasmun. 2004. Stres, Koping dan Adaptasi. Jakarta: Sagung Seto.

Rojaya, M. 2009. Zikir-Zikir Pembersih dan Penentram Hati. Bandung: Dari


Mizan.

Safri, Arif Nur. 2020. Memahami Keberagaman: Gender dan Seksualitas


Sebuah Tafsir Kontekstual Islam. Sleman: Lintang.
Sanyoto, Siswo. 2008. Membuka Tabir Pintu Langit. Bandung: Mizan.

Semiun, Yustinus OFM. 2006. Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalis Freud.
Yogyakarta: Kanisius.

Syarbini, Amirullah dan Sumantri Jamhari. 2012. Kedahsyatan Menbaca Al-


Qur’an. Jakarta: Ruang Kata.

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting: Khasiat,
Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.

Wirakusuma, Emma Pandi. 2010. Sehat Cara Al-Qur’an dan Hadist Jakarta:
Hikmah.

INDEX

A 39, 40, 41, 42, 43, 44, 88, 90, 94, 95, 97,
98, 99, 100, 102, 105, 106, 107, 108,
Agama, 1, 17, 39, 65, 66, 67, 114, 129
109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116,
AIDS, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13,
117, 119, 120, 122, 123, 124
14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24,
25, 26, 27, 28, 29, 30, 32, 33, 34, 36, 38,
Allah, 3, 4, 18, 26, 27, 29, 30, 32, 35, 36, M
37, 38, 60, 61, 66, 67, 68, 69, 70, 75, 82,
Manusia, 8, 10, 53, 123, 126
83, 84, 85, 86, 87, 90, 91, 92, 96, 98,
Medis, 2, 13
101, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109,
113, 115, 117, 118, 119, 120, 121, 122 O
Al-Qur’an, 3, 18, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32,
33, 37, 38, 59, 60, 63, 65, 66, 70, 72, 75, ODHA, 21, 22, 23, 24, 33, 39, 41, 43, 88,
83, 86, 89, 90, 95, 98, 100, 101, 103, 90, 100, 101, 106, 107, 108, 109, 110,
105, 108, 110, 112, 115, 119, 120, 122, 112, 113, 114
126, 129
Ayat, 19, 27, 46, 47, 60, 66, 67, 72, 82, 84, P
96, 100, 101, 103, 107, 123, 129 Pencegahan, 2, 14, 15, 19, 20, 21, 24, 26,
27, 43, 94, 95, 98, 99, 102, 108, 115
E Pendidikan, 2, 24, 38, 46, 57, 65, 80, 81,
Education, 26, 28, 36, 44, 94 84, 102, 103
Etika, 2, 81, 90, 92, 93, 115, 118, 120, 123 Penyebaran, 13
evaluasi, 129 Pernikahan, 63, 95, 118

H S

Heteroseksual, 19, 116 Sosial, 2, 13, 24, 44, 46, 50, 53, 84, 86, 90,
HIV, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 108, 115
14, 15, 16, 17, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25,
26, 27, 28, 29, 30, 32, 33, 34, 36, 38, 39,
40, 41, 42, 43, 90, 94, 95, 97, 98, 99,
100, 102, 105, 106, 107, 108, 109, 110,
112, 113, 114, 115, 116, 117, 119, 120,
122, 123, 124
Homoseksual, 19, 116

I
Imunitas, 3, 95
Islam, 1, 4, 18, 21, 26, 27, 29, 31, 33, 35,
36, 39, 40, 41, 45, 59, 60, 61, 63, 64, 65,
70, 72, 73, 74, 76, 80, 83, 85, 88, 90, 93,
95, 103, 106, 107, 109, 111, 113, 114,
118, 120, 121, 123, 125, 126, 129

K
Karakter, 2, 80, 102
Keluarga, 2, 37, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 52,
53, 54, 56, 57, 59, 60, 63, 65, 66, 70, 71,
84, 94, 95, 99, 102, 108, 115, 124
Kesehatan, 5, 12, 14, 15, 19, 21, 23, 24, 44,
50
TENTANG PENULIS

Farid Hasan, lahir pada tanggal 30 Oktober 1985, di Semarang. Sekarang tinggal
di Salatiga. Menempuh pendidikan di SD Mangunsari 03, MTs Al-Mukmin, dan
MA Keagamaan Negeri (MAKN) MAN 1 Yogyakarta, melanjutkan studi S1 di
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta mengambil Jurusan
Tafsir Hadis, dan Studi S2 Program Studi Agama dan Filsafat Konsentrasi Studi
al-Qur’an dan Hadis Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Publikasi Jurnal ilmiah: Telaah Kritis Atas Pemikiran Zakaria
Ouzon, Kisah Nabi Yusuf dalam Perspektif Bible dan al-Qur’an. Model
Pembacaan Kontekstual Nasr Hamid Abu Zayd Terhadap Teks Suci Keagamaan
(Al-Qur’an), Mistikisme dan Alquran: Makna Simbolik Penyembuhan
Kesurupan pada Kesenian Kubrosiswo Bintang Mudo. Buku: Makna Ayat-Ayat
al-Quran dalam Fenomena Penyembuhan Kesurupan ( Studi Living Qur’an pada
Kesenian Kubrosiswo Bintang Mudo di Pringsurat Temanggung), Membaca
Tafsir al Misbah dari Ragam Tema (Pandangan Anak Muda Terhadap Pemikiran
M.Quraish Shihab). Saat ini menjadi Dosen di Program Studi Ilmu al-Quran dan
Tafsir Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora IAIN Salatiga.

Anda mungkin juga menyukai