PREVENTIF HIV/AIDS
MEMBANGUN KETAHANAN KELUARGA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Editor
Endang Sriani
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, Tuhan seluruh
agama, pencipta manusia, makhluk yang paling sempurna dari seluruh makhluk-
makhlukNya, dengan segala kesempurnaan Nya. Yang telah memberikan rahmat
dan hidayah Nya kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan
penulisan buku ini.
Tak lupa salawat serta salam hamba haturkan kepada Nabi besar
junjungan nabi Muhammad SAW, karena beliaulah sang penyampai wahyu,
sumber inspirasi dari buku ini.
Buku ini membahas preventif HIV/AIDS melalui ketahanan keluarga
berbasis al-Quran. Membangun sistem ketahanan keluarga sebagai benteng
pencegahan dari penyebaran virus HIV/AIDS. Objek material dalam buku ini
adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai keterkaitan tematik dengan
pencegahan HIV/AIDS, dan keluarga. Sementara objek formalnya adalah teori
sosial tentang keluarga.
Buku ini mencoba untuk mendeskripsikan dan menganalisis ayat-ayat
dalam Al-Qur’an yang mengetengahkan pembahasan relevansional dengan
pencegahan HIV/AIDS dengan menggunakan metode tafsir tematik. Sumber
yang digunakan dalam buku ini adalah berasal dari data primer (primary
resources) dan sekunder (secondary resources). Sumber primernya adalah Al-
Qur’an beserta kitab-kitab tafsir. Sedangkan data sekundernya buku-buku dan
artikel-artikel mengenai tema yang menjadi objek penelitian ini, yaitu
pencegahan HIV/AIDS secara umum, dan secara khusus dalam perspektif
pemikir Muslim, dan juga buku-buku serta artikel-artikel ilmiah yang terkait
dengan pembahasan masalah keluarga, relasi sosialnya dalam pandangan umum
sosiologis dan bidang Islamic studies.
Dalam konteks HIV/AIDS keluarga menjadi sebuah sistem pertahanan
(imunitas) yang mempunyai fungsi seperti yang dihadapi oleh sistem sosial yang
lain yaitu menjalankan tugas-tugas, ingin meraih tujuan yang dicita-citakan,
integrasi dan solidaritas sesama anggota, serta memelihara kesinambungan
keluarga dengan menjaga diri dan keluarga dari virus HIV/AIDS.
Terlepas dari hal itu, penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada
pihak-pihak terkait yang telah membantu proses penulisan buku ini. Ucapan
terimakasih penulis haturkan kepada istri tercinta yang selalu mensupport untuk
terus berkarya. Ucapan terima kasih juga tak lupa penulis haturkan kepada
ibunda dan kakak-kakak tercinta yang tak henti-hentinya memberikan doa,
support dan kasih sayangnya. Untuk Bilqis Kaylila Nirwasita dan Raka Bumi
Dzilchudhori, terima kasih telah hadir untuk mewarnai hari hari bahagia kami.
Kepada almarhum ayahanda Drs. Chudhori, M.Ag semoga selalu mendapatkan
limpahan rahmat, ampunan dan kasih sayangNya.
Ucapan terima kasih sebesar-sebesarnya penulis haturkan kepada LP2M
IAIN Salatiga yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menerbitkan karyanya. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada bapak Dr.
Benny Ridwan, M. Hum, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab, dan
Humaniora, dan Ibu Tri Wahyu Hidayati selaku Kaprodi IAT yang tak henti-
hentinya memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis untuk terus
berproses, sehingga buku ini dapat terbit dan hadir di tengah-tengah para
pembaca. Semoga hadirnya buku ini dapat menebar manfaat, khususnya bagi
penderita HIV/AIDS atau orang yang hidup bersama penderita.
Bagi penulis, buku ini merupakan hasil ijtihad intelektual yang tentunya
masih jauh dari kata “sempurna”. Oleh karena itu penulis sangat berharap
adanya masukan dan kritikan dari para pembaca dalam rangka memajukan
diskursus kelimuan Islam. Kepada Allah seluruh Ijtihad ditujukan dan
kepadaNya pula seluruh manusia dikembalikan. Wallahu a’lam Bisshawab.
BAGIAN I
PROBLEMATIKA DAN PRINSIP PENCEGAHAN HIV AIDS
1
Alant Cantwell, MD., dkk., Bom Aids: Ancaman Senjata Biologi yang Tidak Disadari, terj.
Oleh Ahmad Said, (Semarang: Yayasan Nurani, 2008), hlm. vii.
2
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Rangkuman Eksekutif Upaya Penanggulangan
HIV/AIDS di Indonesia 2006-201; Laporan 5 Tahun Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden
No. 75/2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, (2011).
tentu tidak hanya selesai dengan pendekatan medis namun juga pendekatan
sosial, mengingat problem sosial ditimbulkan akibat HIV AIDS seperti stigma
dan diskriminasi di tengah masyarakat.
Sebagai salah satu penyakit yang hari ini belum ditemukan obatnya,
menjadikan HIV/AIDS sebagai salah satu ancaman besar umat manusia.
Pasalnya, berdasarkan data yang dirilis oleh WHO (World Health Organization)
tidak kurang jutaan manusia meninggal setiap tahunnya disebabkan oleh AIDS.
Fenomena ini menjadi ironi kemanusiaan yang berlebih manakala menilik secara
lebih mendalam akan asal-usul penyakit ini. Berbagai kontroersi dan antahan
bukti-bukti medis menambah kengerian dan polemik kehidupan manusia.
Urgensi penyelesaian masalah HIV AIDS menjadi hal yang tak terbantahkan.
Hingga kini para peneliti dan ilmuan tengah berlomba untuk menemukan cara
yang paling efektif menanggulangi masalah HIV AIDS. Pasalnya, sebagaimana
dikemukakan di awal bahwa hingga saat ini, para tenaga medis hanya mampu
mengandalkan sistem pencegahan (preventif) karena belum mampu
mengupayakan penyembuhan (kuratif).
Problem selain belum ditemukannya obat yang cocok untuk penyakit
AIDS ialah sifatnya yang sangat lambat dalam pertumbuhan dan
perkembangannya, menyebabkan kesusahan yang cukup berarti
1. Pengertian HIV/AIDS
HIV merupakan akronim dari Human Immunodeficiency Virus. Virus HIV
merupakan virus yang menyebabkan berbagai penyakit komplikasi yang
kemudian disebut sebagai AIDS (Acquired Immunodefiency Syndrome).3
Perbedaan di antara keduanya yaitu setiap orang yang berada dalam fase AIDS
bisa dipastikan yang bersangkutan terinfeksi virus HIV, namun tidak semua
orang dengan terinfeksi virus HIV menderita penyakit AIDS dikarenakan
3
Joel Gallant, 100 Tanya Jawab Mengenai HIV dan AIDS, (Jakarta: PT. Indeks, 2010), hlm. 16.
ketahanan tubuh atau imun manusia yang berbeda-beda.4 AIDS muncul berupa
berbagai penyakit komplikasi yang memberat dikarenakan system imun yang
lemah dikarenakan virus HIV telah menyerang sistem kekebalan tubuh manusia,
jika tidak diobati dengan menggunakan ARV atau peredam pergerakan virus
maka fase menuju AIDS kisaran lima hingga sepuluh tahun. Sistem kekebalan
tubuh seseorang bisa menjadi sangat lemah dengan tambahan sanksi sosial dari
masyarakat yang semakin memperburuk keadaan psikis dan kesehatan sang
penderita.5
HIV masuk ke dalam kategori retrovirus, sebuah virus yang memiliki
enzim (protein) yang mampu mengubah RNA (Ribonucleic Acid),6 materi
genetiknya menjadi DNA (Deoxyribonucleic Acid).7 Jenis ini disebut retrovirus
yang mampu mengubah urutan normal yaitu DNA diubah menjadi RNA. Pasca
menginfeksi RNA, virus HIV kemudian berubah menjadi DNA oleh enzim
reverse transcriptase. DNA tersebut kemudian mengalami infiltrasi ke sub-sub
bagian DNA sel-sel manusia secara bertahap. Proses ini terus mengalami
perkembangan hingga melahirkan jenis virus baru yang menginfeksi daya tahan
tubuh manusia. Sel-sel baru yang telah terinfeksi menjadi rentan akan serangan
berbagai penyakit. Meskipun tidak semuanya virus-virus tersebut menyebar,
pasalanya terdapat beberapa kasus yang menunjukkan bahwa virus-virus tersebut
dapat bersembunyi di dalam sel-sel CD4. Proses inilah yang menyebabkan virus
HIV sulit untuk dideteksi dan memiliki daya tahan yang luar biasa di dalam
sistem organisme sel manusia. Para tenaga ahli kesehatan di bidangnya telah
merekomendasikan para pengidap HIV untuk mengkonsumsi obat ARV
sepanjang hidupnya agar memperlambat pertumbuhan virus dalam tubuh. Jika
penderita tidak melakukan pengobatan infeksi HIV menyebabkan kerusakan
4
Ibid., hlm. 20.
5
Suzana Murni dkk, Hidup Dengan HIV AIDS (Jakarta Pusat; Yayasan Spiritia, 2016) hlm. 7
6
RNA (Ribonuleic Acid) adalah satu dari tiga makro molekul utama (bersama dengan DNA dan
protein) yang berperan penting dalam segala bentuk kehidupan. Ibid.
7
DNA (Deoxyribonucleic Acid) adalah sejenis asam nukleat yang tergolong biomolekul utama
penyusun berat kering setiap organisme, di dalam sel, DNA umumnya terdapat di dalam inti sel.
Ibid.
yang semakin parah dan semakin hebat terhadap sistem kekebalan tubuh,
sehingga menyebabkan penyakit semakin berkembang dan bisa berakibat fatal
seperti kematian.8
Sebagai virus yang merusak sistem kekebalan tubuh, HIV mampu
menginfeksi sel-sel manusia, yang menempatkan limfosit CD4 (juga dikenal
sebagai sel CD4, sel T-pembantu, atau sel pembantu) sebagai target paling utama
penyerangan. Hal ini disebabkan karena sel darah putih sebagai sistem
pertahanan manusia mengandung sel CD4 yang bekerja untuk melindungi tubuh
manusia dari serangan infeksi firus, bakteri, jamur, dan parasit serta beberapa
jenis kanker. Maka virus HIV menargetkan sel CD4 agar mampu merusak sel-sel
pertahanan tubuh manusia untuk dapat menginfeksi ke seluruh saluran sel-sel
lainnya. Pada periode waktu yang panjang, jumlah sel-sel CD4 menurun dan
mengakibatkan daya imunitas tubuh manusia melemah. Walaupun diperlukan
waktu bertahun-tahun, jumlah CD4 akhirnya menjadi sangat rendah sehingga
jumlah sel ini tidak memadai untuk melawan infeksi yang menyebabkan gejala
atau komplikasi muncul. Kecepatan penurunan jumlah CD4 bervariasi dari satu
orang ke orang yang lain, dan tergantung pada sejumlah faktor, termasuk ciri-ciri
genetik, ciri-ciri galur virus, dan jumlah virus dalam darah (jumlah virus).9
Di samping merusak sistem kekebalan tubuh, HIV dapat mempengaruhi
secara langsung kesehatan organ badan yang lain, seperti sistem syaraf dan
ginjal. HIV dapat juga menurunkan berat badan, berkeringat di malam hari, dan
diare. Ketika kematian karena AIDS banyak terjadi, sering dikatakan bahwa
orang tidak meninggal karena HIV itu sendiri, kerena salah satu dari
komplikasinya, seperti kanker atau infeksi. Walaupun pada umumnya mungkin
hal itu secara teknis sepenuhnya benar, infeksi HIV masih merupakan masalah
8
Ibid., hlm. 16.
9
Ibid., hlm. 19-20.
yang mendasari yang menyebabkan kematian akibat dari AIDS.10 Jadi AIDS
adalah penyakit tahap lanjut dari virus HIV.11
10
Ibid.
11
Ibid., hlm. 21.
12
Cantwell, Bom Aids, hlm. 9-10.
13
Ibid., hlm. 11.
Teori kedua ini menyatakan bahwa sejarah munculnya HIV ditunjukkan
dengan HIV-1 sebagai bentuk HIV yang paling populer di dunia. Pertama kali
menginfeksi manusia di sub-Sahara Afrika pada kurun pertama abad ke-20.
Terjadi penularan Virus HIV dari simpanse ke manusia melalui darah simpanse
ketika melakukan pemburuan dan penyembelihan daging, yang menyebabkan
penularan melalui darah ke area kulit yang terbuka. Tidak terjadi penyebaran
HIV secara signifikan di wilayah Afrika selama bertahun-tahun disebabkan
sistem transportasi yang belum terbentuk dengan baik.14
Penemu teori ini adalah tim peneliti Universitas Alabama, diketuai oleh
Beatrice Hann. Mereka melakukan penelitian terhadap tiga simpanse di hutan
Afrika. Hasil penelitian tersebut dilaporkan oleh Lawrence K.Altman, seorang
dokter penulis di New York Times.15
14
Gallant, 100 Tanya Jawab Mengenai HIV, hlm. 18.
15
Cantwell, Bom Aids, hlm. 12.
16
Ibid., hlm. 16-19.
bahwa vaksin cacar dapat mengakibatkan bibit penyakit yang tidur seperti HIV
(virus AIDS).17
17
Ibid.
18
Ibid., hlm. 22-23.
19
Ibid., hlm. 23.
20
Ibid., hlm. 24.
tahun 1981 ditemukan seorang laki laki dengan kerusakan sistem imun atau
kekebalan tubuh.21
Di Inggris dan juga terjadi di Amerika Utara, epidemik pertama kali
merebak pada kelompok gay (homoseksual), selanjutnya penyebaran virus juga
terjadi terhadap pemakai narkoba yang memanfaatkan injeksi (jarum suntik)
non-steril yang digunakan secara bergantian. HIV juga menginfeksi kalangan
heteroseksual yang berganti-ganti pasangan. Perilaku seks bebas dengan tanpa
menggunakan alat kontrasepsi berupa kondom merupakan media utama
transmisi penularan virus HIV/AIDS. Hasil persentase prevalensi HIV dari
survey yang pernah dilakukan pada beberapa kategori, seperti, Pekerja Seks
Komersial mencapai 80-90%, 30% terjadi pada konsumen laki-laki, 30% lagi
pada kelompok berobat di klinik PMS (Penyakit Menular Seksual), sementara
pendonor darah mencapai 10%, dan 10% lainnya terjadi pada kelompok wanita
yang menjalani perawatan di klinik antenatal. Tercatat pada pertengahan tahun
2018 total pengidap HIV di seluruh dunia diperkirakan mencapai lebih dari 38
juta jiwa.22
Sementara itu, Men Sex Men (MSM) Report World Bank pada tahun
2011 merilis sebuah pernyataan bahwa budaya seks guy (antar laki-laki) menjadi
salah satu kelompok yang rentan terhadap penyebaran HIV, hubungan seks
bebas serta tidak aman menjadi pemicunya. Misalnya, pada tahun 2008, jumlah
penduduk Meksiko terinfeksi HIV mencapai angka 25,60%, Thailand 28,3%,
kemudian disusul oleh Jamaika 31,80%. Sementara penelitian lain menjelaskan
kasus yang terjadi seperti di Indonesia mencapai angka 4%, Banglades,
Srilangka dan Nepal mencapai angka 7,5%.23
Di Indonesia sendiri, kasus HIV untuk pertama kalinya diketahui sejak
April 1987 di Bali yang merupakan warga negara Belanda. Jumlah akumulasi
penderita HIV tercatat dari tahun 1987 hingga 2011 terjadi di beberapa provinsi
21
UNAIDS, World AIDS Day Report, 2011. Pdf diunduh dari www.unaid.org.
22
Ibid.
23
Ibid.
besar di Indonesia, yaitu 368 (73,9%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh (33)
provinsi di Indonesia. Jumlah ini menjadi catatan penting adanya lonjakan yang
cukup signifikan berdasarkan hasil laporan data kasus HIV/AIDS di Indonesia
yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.24
Jumlah penderita HIV/AIDS setiap tahunnya terus mengalami
peningkatan sangat signifikan antara tahun 2009 hingga 2010. Fenomena
lonjakan kurva ini tidak cukup mengherankan, pasalnya ini disebabkan oleh
perbaikan sistem pendataan yang dilakukan pemerintah menggunakan teknologi
mutakhir. Sistem pelaporannya pun menjadi sangat mudah, ketika ada seorang
warga yang terindikasi terinfeksi HIV/AIDS. Proses kerjasama antara
pemerintah dan masyarakat pun meningkat sehingga tingkat populasi kelompok
berisiko menjadi lebih mudah dijangkau dan dimonitor. Sementara itu, satu
tahun berikutnya, jumlah penderita HIV/AIDS mengalami penurunan kendati
tidak terlalu signfikan. Sebagaimana dilaporkan bahwa terjadinya penurunan
angka kasus HIV/AIDS ini dimotori oleh sebagian penderita yang telah
meninggal, serta efek positif dari system CUP (Condom Use 100 Persen) yang
mulai diperkenalkan oleh pemerintah dan beberapa komunitas relawan
HIV/AIDS.25
Kasus HIV/AIDS secara kumulatif sebagaimana dilaporkan hingga
2011 mencapai 76.879 kasus HIV dan 29.879 AIDS. Jumlah ini tersebar di
berbagai provinsi besar di Indonesia, menempati kasus HIV yang tertinggi
adalah DKI Jakarta dengan angka 19.899 kasus, disusul oleh Jawa Timur 9.950
kasus dan Papua 7.085 kasus. Di bawah itu ada Jawa Barat dengan 5.741 kasus
dan Sumatera Utara 5.027 kasus. Sementara itu, tidak berbeda jauh jumlah
positif AIDS tertinggi berada di wilayah DKI Jakarta dengan 5.177 pangidap,
Jawa Timur sebesar 4.598 kasus. Sementara Papua dengan 4.449 kasus, Jawa
Barat dan Bali keduanya secara berurutan 3.939 dan 2.428 kasus. Menariknya,
24
Statistik Kasus HIV/AIDS, Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI. File PDF diunduh dari
www.aidsindonesia.or.id dan www.bkkbn.go.id pada 20 Maret 2019.
25
Ibid.
secara prosentasi jumlah terkonfirmasi kasus AIDS kaum laki-laik jauh lebih
tinggi dengan angka 70,8% sementara perempuan hanya 28,2%. Kendati
tingginya angka terkonfirmasi positif HIV AIDS di Indonesia, namun data tahun
2011 menunjukkan bahwa angka kematian (Case Fatality Rate) turun hingga
2,4%. Sementara itu, kasus HIV pada 2013 tercatat 127.427 orang yang
teridentifikasi HIV dari seluruh Indonesia. Dan dari kelompok umur maka umur
25-49 merupakan umur yang paling produktif sekaligus paling rawan terinfeksi
HIV, dan yang paling memprihatinkan adalah jika dilihat dari pekerjaan orang
yang terinfeksi, bahwa yang tertinggi nomor dua adalah pekerjaan ibu rumah
tangga setelah pekerjaan pelaut.26
27
Watts DH, “Human Immnunodeficiency Virus”, dalam: James DK, Steer PJ, Weiner CP,
Gonik B (editor), High Risk Pregnancy Management Options, edisi ke-3, (USA: Saunders
Elsevier; 2006), hlm. 620-35. Sweet RL, Minkoff H. “Maternal Infection, Human
Immunodeficiency Virus Infection, and Sexually Trasmitted Diseases in Pregnancy”, Reece
semua manusia berpotensi terserang virus ini, seperti wanita dan anak-anak.
Karena sifatnya yang sangat cepat menular (contagious) hingga menyebabkan
kematian tidak kurang dari 20 juta orang meninggal dunia setiap tahunnya.28
Kurang lebih 40 juta orang dewasa berusia 15-45 tahun secara kumulatif
hingga saat ini telah terinfeksi virus HIV. Contoh kasus yang cukup
mencengangkan ialah pada tahun 2003 setidaknya terdapat 700 ribu bayi baru
lahir telah terinfeksi virus HIV.29
Perhatian dunia kesehatan hari ini menempatkan permasalahan HIV
AIDS sebagai penyakit luar biasa yang membutuhkan penanganan ekstra.
Publik dunia terus berupaya dalam rangka menyelesaikan permasalahan HIV
AIDS dengan mengembangkan terapi antiretrovirus seperti highly active
antire-troviral therapy (HAART). Cara-cara semacam inilah yang hingga saat
ini diklaim paling efektif hingga ditemukan obat yang cocok untuk
menyembuhkan pasien dari penyakit AIDS.
Karena sifatnya yang meluas itulah, saat ini organisasi kesehatan
dunia (WHO) telah menetapkan penyakit HIV AIDS sebagai pandemi
(penyakit global). Tercatat sejak pertama kali ditemukan virus ini hingga
November 1996, tercatat sekitar 8.400.000 kasus ditemukan di seluruh dunia
yang terbagi atas orang dewasa (6,7%) dan anak-anak (1,7%). Sementara itu
di Indonesia sendiri sebagaimana dirilis oleh Diretorat Jenderal P2M dan PLP
Departemen Kesehatan RI bahwa total keseluruhan hingga 1 Mei 1998
mencapai 685 orang teridentifikasi telah terjangkit HIV AIDS yang tersebar di
23 provinsi Indonesia.30
EA, Hoobins JC (editor), Clinical Obstetrics the Fetus and Mother. Edisi ke-3,
(Massachusetts: Blackwell Publishing, 2007), hlm. 885-930.
28
Goering RV, Dockrell HM, Zuckerman M, Walekin D, Roitt IM, Mims C, et al. Medical
Microbiology. Edisi ke-4, (China: Mosby Elseiver, 2008), hlm. 261-86.
29
Tripathi R, Tyagi S, Chanchal, “HIV in Obstetrics and Gynaecology” dalam: Gandhi G, Metha
S, Batra S, (editor), Infection in Obstetrics and Gynaecology (India: Jaypee Brothers Medical
Publishers, 2006), hlm. 34-55.
30
Ibid.
Sementara, pada tahun 1987 jumlah penderita AIDS di Indonesia baru
ditemukan 5 kasus sebagaimana dilansir oleh Komisi Penanggulangan AIDS
(KPA) Nasional. Meskipun dalam rentang sepuluh tahun pertama hanya
bertambah menjadi 44 kasus, namun sejak 2007 jumlah terkonfirmasi AIDS
di Indonesia mengalami ledakan yang luar biasa menjadi 2.947 penderita. Hal
ini merupakan pencapaian yang sangat memprihatinkan. Bahkan dua tahun
kemudian jumlah kasus HIV AIDS di Indonesia telah mencapai angka 17.699
jiwa dan sebanyak 3.586 orang meninggal dunia.
Di Indonesia pada tahun 2014 terdapat 501.400 kasus HIV/AIDS.
Penderita HIV/AIDS sudah terdapat di 32 provinsi dan 300 kabupaten/kota.
Penderita ditemukan terbanyak pada usia produktif, yaitu 15-29 tahun.
Padahal, pengurangan kasus HIV/AIDS merupakan salah satu target
Millennium Development Goals (MDGs).31 Diperkirakan 40 ribu kasus baru
muncul tiap tahunnya, kasus ibu-ibu dan anak yang tertular dari keluarganya
dikarenakan suami melakukan perilaku beresiko menjadi kasus yang banyak
terjadi.
Data jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia pada dasarnya
bukanlah merupakan gambaran jumlah penderita yang sebenarnya. Pada
penyakit ini berlaku teori “Gunung Es“ di mana penderita yang kelihatan
hanya sebagian kecil dari yang sesungguhnya. Untuk itu WHO
mengestimasikan bahwa di balik 1 penderita yang terinfeksi telah terdapat
kurang lebih 100-200 penderita HIV yang belum diketahui.32
Keberadaan virus AIDS sendiri bisa ditemukan dalam cairan tubuh
manusia, paling banyak ditemukan pada darah, cairan sperma dan cairan
vagina. Pada cairan tubuh lain juga bisa ditemukan, misalnya cairan ASI,
tetapi jumlahnya sangat sedikit. Sementara, penularannya yaitu sejumlah 75-
31
Nurul Asfiyah, “Pencegahan Penularan HIV/AIDS melalui Penguatan Budaya”, dalam
“HUMANITY”, Volume 6, (Malang: UMM, Nomor 2, Maret 2011), hlm. 117.
32
Fizidah A. Siregar, Pengenalan dan Pencegahan AIDS (Medan: Fakultas Kesehatan
Masyarakat USU, digitized by USU Digital Library, 2004), hlm. 1.
85% penularan terjadi melalui hubungan seks 5-10% diantaranya melalui
hubungan homoseksual), 5-10% akibat alat suntik yang tercemar, terutama
pada pemakai narkotika suntik, 3-5% melalui transfusi darah yang tercemar.
Infeksi HIV sebagian besar (lebih dari 80%) diderita oleh kelompok usia
produktif (14-49 tahun) terutama laki-laki, tetapi proporsi penderita wanita
cenderung meningkat. Infeksi pada bayi dan anak, 90% terjadi dari ibu yang
mengidap HIV. Sekitar 25-35% bayi yang dilahirkan oleh Ibu pengidap HIV
akan menjadi pengidap HIV, melalui infeksi yang terjadi selama dalam
kandungan, selama proses persalinan dan melalui pemberian ASI. Dengan
pengobatan antiretroviral pada ibu hamil trimester terakhir, risiko penularan
dapat dikurangi menjadi hanya 8%.33
Salah satu cara penularan HIV AIDS disebabkan oleh hubungan seks
yang tidak aman, virus HIV akan menyebar terhadap mereka yang memiliki
perilaku beresiko. Hal ini memungkinkan terjadinya penyebaran virus kepada
anggota keluarga baik kepada istri atau suami melalui hubungan seksual, dan
sangat besar kemungkinan penularan bisa terjadi kepada bayi melalui ASI
dari ibu yang mengidap HIV. 34
Penjelasan di atas menegaskan bahwa sesungguhnya HIV/ AIDS
bukan sekadar problem medis-klinis, namun ia adalah problem sosiologis.
Dalam Undang-Undang no. 10 tahun 1992 tentang perkembangan
kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera, bahwa kebijakan
pembangunan keluarga sejahtera diarahkan terwujudnya kualitas keluarga
yang bercirikan kemandirian dan ketahanan keluraga sebagai potensi sumber
daya manusia dalam lingkungan hidup untuk mewujudkan pembangunan
yang berkelanjutan. Untuk mewujudkannya diperlukan pendewasaan usia
perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, serta
peningkatan kesejahteraan keluarga.35
33
Asfiyah, Pencegahan Penularan HIV/AIDS, hlm. 118.
34
Ibid
35
Ibid., hlm. 119.
Pembangunan keluarga sejahtera dalam pelaksanaannya harus mampu
menangkal segala tantangan baik bersifat fisik material maupun fisik
psikis mental spiritual. Akibat dari kemajuan teknologi dan efek globalisasi
keluarga sering terjadi vakum moral, disorganisasi keluarga, sehingga terjadi
penyimpangan sosial, penyelewengan nilai-nilai luhur dan akibatnya virus
HIV/AIDS menyebar pada keluarga dari berbagai kelas sosial. Oleh karena
itu keluarga harus dapat meningkatkan ketahanan keluarga dan memberikan
dorongan agar dapat melaksanakan fungsi-fungsi keluarga secara utuh.
Ciri khas keluarga sejahtera ditunjukkan oleh kualitas keluarga yang
ditandai dengan kemandirian, ketahanan keluarga dan kemandirian keluarga.
Yaitu kondisi suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta
mengandung kemampuan fisik materiil, fisik psikis dan mental spiritual guna
hidup mandiri dan mengembangkan diri keluarganya untuk hidup harmonis
untuk meningkatkan kesejahteraan lahir dan kebahagian batin. Berbagai
fungsi keluarga adalah (a) fungsi keagamaan, (b) fungsi sosial budaya, (c)
fungsi kasih sayang, (d) fungsi perlindungan, (e) fungsi sosialisasi
pendidikan, dan (f) fungsi reproduksi, serta (g) fungsi ekonomi, dan (h) fungsi
pelestarian lingkungan. Dalam fungsi sosial budaya ini, masing-masing orang
mempunyai tanggung jawab terhadap orang lain, sebagai sesama anggota dari
sebuah komunitas (masyarakat).36
Banyak orang percaya bahwa penyakit AIDS lebih disebabkan faktor-
faktor humans behavior yaitu perilaku manusia itu sendiri. Perilaku berganti-
ganti pasangan dan jarum suntik narkoba menjadi pemicu utama HIV/AIDS.
Ini semua sangat dipengaruhi oleh hilangnya spiritualitas masyarakat pada
masa sekarang. Oleh karena itu, untuk pencegahan terhadap penyakit ini perlu
ditunjang oleh basis spiritual yang mengakar dalam suatu masyarakat. Kasus-
kasus HIV/AIDS di Indonesia, dengan mayoritas penduduknya adalah
Muslim, menjadi sangat relevan apabila basis sosiologi-keagamaan dijadikan
Ibid.,hlm 119.
36
sebagai kerangka berpikir tanpa menafikan peran agama lain dalam upaya
penaggulangan HIV AIDS di Indonesia.
Dr. Farid Esack seorang Muslim progresif asal Afrika Selatan,
memberikan beberapa argumen mengapa pendekatan agama terhadap masalah
HIV/AIDS ini menjadi sesuatu yang sangat penting. Menurutnya, pendekatan
agama terhadap masalah HIV/AIDS sangat penting karena empat alasan:
Pertama, agama akan selalu memainkan peranan penting di setiap bagian
masyarakat, khususnya di Indonesia sebagai negara yang memiliki basis kultural
agama yang kuat.
Kedua, masjid-masjid, para imam, dan komunitas-komunitas berbasis
agama masih dianggap sebagai rujukan umat yang paling bisa dipercaya oleh
masyarakat, tidak hanya dalam masalah spiritualitas, tetapi juga dalam segala
aspek kehidupan dan kemanusiaan.
Ketiga, Penyakit HIV/AIDS sekarang ini merupakan tantangan tersendiri
bagi agama ini. Agama sebagai basis kultural yang mewacanakan pencegahan
serta penanggulangan HIV/AIDS, mewacanakan kemanusiaan dan tidak
bersikap “diam” terhadap permasalahan sosial-masyarakat, semuanya ini
menjadi tugas dan tantangan agama yang belum selesai.
Keempat, khususnya bagi umat beragama yang rentan terhadap penyakit
ini, yang hidup dengan penyakit ini, atau bahkan yang sedang sekarat karena
penyakit ini, tentu saja pendekatan agama sangatlah dibutuhkan. 37
Berbicara tentang pendekatan agama tentunya berbicara tentang
penekanan akan fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk atau hudan (sumber solusi
dan jawaban atas problem). Al-Qur’an membicarakan tentang keluarga dan
relasi sosial dalam konteks etika dan norma yang terdapat dalam salah satu
ayatnya, surat at-Tahrim ayat 6:
37
Farid Esack, Islam, Muslims and AIDS : Between Scorn, Pity and Justice, (South Africa:
positive Muslims, 2006), hlm.11.
pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR$
$ydßqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pkön=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâxÏî ×#yÏ© w
tbqÝÁ÷èt ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtur $tB tbrâsD÷sã
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.
39
Di dunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita AIDS,
berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial. Cara hubungan seksual anogenetal
merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra
seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan
dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami pertukaran pada saat
berhubungan secara anogenital. Ibid., hlm. 3.
40
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada
promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun
wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti. Ibid.
41
Ibid.
42
Gallant, 100 Tanya Jawab Mengenai HIV, hlm. 24.
tercemar secara bersama-sama. Di samping dapat juga terjadi melaui jarum
suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu.
Risiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.43
Kedua, transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-
negara Barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur
ini di negara Barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum
ditransfusikan. Risiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari
90%.44
Ketiga, transmisi transplasental. Perempuan yang terinfeksi HIV dapat
menularkan HIV kepada bayinya saat melahirkan anak (biasanya saat
melahirkan atau beberapa saat sebelumnya) atau dengan menyusui.45 Penularan
dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai risiko sebesar 50%.
Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan risiko rendah.46 Jika
si ibu dirawat dengan baik, yaitu dengan diberikan jenis tertentu dari ARV pada
saat kehamilannya, secara signifikan potensi penularan HIV kepada bayinya bisa
direduksi hingga 6-7%.47
49
Nurul Asfiyah, Pencegahan Penularan HIV/AIDS melalui Penguatan Budaya, dalam
“HUMANITY”, Volume 6 (Malang: UMM, Nomor 2, Maret 2011), hlm. 118.
50
Ibid.
51
Ibid.
yang tercemar. Infeksi HIV sebagian besar (lebih dari 80%) diderita oleh
kelompok usia produktif (14-49 tahun) terutama laki-laki, tetapi proporsi
penderita wanita cenderung meningkat. Infeksi pada bayi dan anak, 90% terjadi
dari ibu yang mengidap HIV. Sekitar 25-35% bayi yang dilahirkan oleh Ibu
pengidap HIV akan menjadi pengidap HIV, melalui infeksi yang terjadi selama
dalam kandungan, selama proses persalinan dan melalui pemberian ASI. Dengan
pengobatan antiretroviral pada ibu hamil trimester terakhir, risiko penularan
dapat dikurangi menjadi hanya 8%.52
Menurut Carole Leach-Lemens, Fourth Stocktaking Report yang
diterbitkan oleh UNICEF bekerja sama UNAIDS, WHO dan UNFPA tercatat
bahwa dunia belum berada di jalur yang tepat untuk menuju sasaran pencegahan,
pengobatan dan dukungan. Para penderita ini akan lebih menderita lagi karena
mereka akan dikucilkan oleh lingkungan. Stigma masyarakat terhadap penderita
HIV/AIDS masih negatif. Hal ini juga yang mendorong banyak perempuan
penderita HIV/AIDS secara langsung menyingkir dari lingkungannya, sehingga
dibutuhkan kampanye lebih intensif dan besar-besaran yang menyadarkan
masyarakat agar tidak mengucilkan penderita HIV/AIDS.53 Direktur World
Population Foundation Perwakilan Indonesia, Sri Kusyuniati mengakui, trend
kasus HIV/AIDS di Indonesia akan terus meningkat.
Masyarakat yang berisiko tinggi terhadap HIV, sebenarnya mengetahui
perbuatannya akan berdampak terhadap potensi penularan HIV. Oleh karena itu,
perlu penegasan penanganan kasus HIV/AIDS secara nasional yang melibatkan
semua pihak, termasuk pemuka agama.54
Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan (Depkes) per bulan
Desember 2008, Jabar memiliki kasus AIDS tertinggi di Indonesia dengan 2.888
kasus. Sementara itu, untuk HIV mencapai 1.523 kasus. Diperkirakan, jumlah
orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Jabar mencapai 21.000 orang. Berdasarkan
52
Ibid.
53
Ibid.
54
Ibid.
data Dinas Kesehatan Jabar pada Agustus 2008, Kota Bandung menjadi daerah
terbanyak kasus HIV/AIDS di Jabar dengan 534 kasus untuk HIV positif dan
929 kasus untuk AIDS. Dari 929 kasus AIDS, 773 kasus diantaranya disebabkan
penggunaan jarum suntik secara bergantian. Selain itu, Kota Bekasi memiliki
298 kasus AIDS dan 143 kasus HIV positif. Disusul Kota Sukabumi dengan 109
kasus AIDS dan 148 HIV positif. Mayoritas penularan AIDS akibat penggunaan
jarum suntik.55
Selain itu, provinsi lainnya juga patut diwaspadai. Meskipun dari segi
jumlah kasus Papua di bawah Jabar, DKI Jakarta dan Jawa Timur, namun dari
segi penyebaran, Papua masih tertinggi. Jumlah penderita HIV/AIDS di
Kabupaten Mimika, Papua hingga akhir Juni 2009 mencapai 1.993 orang, yang
merupakan jumlah tertinggi di Papua. Persentase peningkatan jumlah ini
disebabkan faktor hubungan seks bebas yang mencapai 89% dan rendahnya
kesadaran dan pengetahuan tentang perilaku berisiko tinggi. Menurut KAPETA
Foundation, banyak orang tidak merasa berbeda setelah terinfeksi HIV, bahkan
banyak orang tidak merasa gejala apa-apa selama bertahun-tahun. Oleh karena
itu, tak sedikit orang yang tertular HIV tetapi tidak menyadarinya.56
Pada simpulnya, sesungguhnya ODHA pada fenomena gunung es yang
terpapar tidaklah tampak secara keseluruhan. Data yang tersajikan dalam banyak
laporan oleh pemerintah maupun LSM hanya sebagian kecil dari total prosentase
ODHA yang sesungguhnya. Teori gunung es bagi fenomena ODHA pada
gilirannya menggambarkan betapa HIV merupakan sesuatu yang harus diatasi
dari berbagai pihak dan elemen masyarakat.
Ibid.
56
Pada dasarnya setiap orang berpotensi terinfeksi virus HIV. Oleh
karenanya perlu dilakukan upaya pencegahan. Menurut Anderson dalam
bukunya Gender Issues in the spread and impact of HIV and AIDS, sebagaimana
dikutip oleh buku “Panduan Penanggulangan AIDS Perspektif Nahdlatul
Ulama”, ada lima cara pencegahan HIV/AIDS yang disebut dengan istilah
langkah pencegahan ABCDE sebagai berikut:57
a. Abstinance: tidak melakukan seks (puasa seks). Abstinance ini diperuntukkan
bagi orang-orang yang masih sendiri/membujang, jauh dari pasangan, atau
berstatus janda/ duda.
b. Be faithful (saling setia pada pasangan): bagi yang sudah menikah, setialah
pada suami atau istri. Jangan sekali-kali berpikir untuk berselingkuh atau
berhubungan seksual dengan selain suami atau istri, baik dengan pekerja seks
maupun lainnya karena hal tersebut dapat meningkatkan risiko tertularnya
HIV dari sexual partner, baik dengan homoseksual maupun heteroseksual.
Kesetiaan itu harus dimiliki oleh suami maupun istri karena jika salah satu
pihak setia namun pihak lainnya tidak setia, maka pihak yang setia tetap
berisiko tertular HIV. Tingginya angka kasus AIDS pada Ibu Rumah Tangga
menunjukkan bahwa keluarga juga rentan terhadap penyebaran virus jika
imunitas keluarga tidak dibangun sejak dini.
c. Condom: penggunaan kondom adalah upaya efektif dalam mencegah
penularan HIV. Penggunaan kondom dapat mencegah interaksi cairan vagina
dan sperma dengan dinding sel yang terbuka akibat gesekan pada saat
penetrasi sehingga penularan virus dapat diminimalisasi. Penggunaan
kondom ini terutama bagi kelompok yang sangat beresiko menularkan dan
tertulari HIV/AIDS. Kondom diakui sangat efektif untuk mencegah HIV pada
hubungan seks berisiko. Jika seseorang tidak mempercayai efektifitas
kondom sebagai pencegah penularan HIV, maka percayalah hubungan seksual
Ibid., hlm.66-67.
58
ÏÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# wur (#qà)ù=è? ö/ä3Ï÷r'Î/ n<Î) Ïps3è=ökJ9$# ¡)qà#(
(#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏZÅ¡ósßJø9$#
“Jangan ceburkanlah dirimu dalam kebinasaan, berbuat baiklah,
karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat
baik”. ( Al-Baqarah: 195).
Yang dimaksud “menjaga diri dan keluarga” pada ayat ini tidak dengan
cara menghindar dan mengisolasi diri dari berbagai ancaman eksternal, seperti
ancaman bahaya HIV/AIDS. Menurut Ibnu Katsir: “Imam Mujahid mengatakan
bahwa menjaga diri dan keluarga adalah dengan menanamkan nilai-nilai
ketaqwaan baik kepada diri sendiri maupun keluarganya”.60
Uraian di atas apabila ditarik ke dalam konteks pencegahan HIV/AIDS
secara khusus dengan framework Qur’anic Studies, maka hal itu dapat dijadikan
legitimasi moral-spiritual keislaman terhadap upaya pencegahan HIV/AIDS
secara medis yang telah disebutkan pada bagian terdahulu. Jika upaya mencegah
HIV/AIDS secara medis bisa dilakukan dengan rumus ABCDE (Abstinence, Be
Ibid., hlm. 67.
59
61
Ibnu Hajar al-‘Asqalany, Fathul Bari; Syarhul Bukhary (Beirut: Dar ad-Diyan lit-Turats,
1986), Hadist No. 4778,hlm. 231.
62
Ibnu Katsir ad-Dimisyqiy, Tafsir Ibnu Katsir, Juz VI (Kairo: Dar at-Thibah, 2002), hlm. 126.
63
Ibid., hlm.72.
laki-laki, dan atau secara paksa (sodomi) terhadap laki-laki, padahal mereka
64
.sendiri sudah memiliki pasangan yang sah
öNà6¯RÎ) tbqè?ù'tGs9 tA$y_Ìh9$# Zouqöky `ÏiB Âcrß Ïä!$|¡ÏiY9$# 4 ö@t/ óOçFRr& ×Pöqs
% cqèùÌó¡B ÇÑÊÈ
“Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (ingatlah)
tatkala dia berkata kepada mereka: “mengapa kamu mengerjakan
perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seseorang
pun (di dunia ini) sebelummu? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki
untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita,
malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Al- A’raf:
80-81).
Terlihat jelas bahwa dua ayat tersebut berbicara mengenai perilaku seks
yang menyimpang, yaitu perselingkuhan. Dalam kaidah bahasa arab kata al-
nisa’ dengan menggunakan alif lam adalah makrifat (sesuatu yang sudah jelas
dan tertentu). Maka dalam setiap pemahaman, seringkali dimaknai sebagai
pasangan yang sah atau istri. Oleh sebab itu kedua ayat di atas menunjukkan
perilaku kaum luth yang masih melakukan hubungan seksual dengan orang lain,
padahal ia masih memiliki hubungan yang sah dengan pasangannya.65
Benang merah uraian di atas, menyiratkan pengertian bahwa Al-
Qur’an melegalkan hubungan seksual hanya melalui institusi sakral yang disebut
pernikahan. Pada prinsipnya pernikahan dimaksudkan sebagai wahana
penyaluran hasrat seksual yang sah, sehat, aman, nyaman, dan bertanggung
jawab menurut agama, baik laki-laki maupun perempuan. 66 Walaupun
sesungguhnya tujuan dari syari’at pernikahan tidak sekadar jawaban atas
problem seksual, namun ia merupakan sesuatu yang luhur dan bermakna.
64
Arif Nur Safri, Memahami Keberagaman: Gender dan Seksualitas Sebuah Tafsir Kontekstual
Islam, (Sleman: Lintang, 2020), hlm. 133.
65
Scrott Siraj al-Haqq Kugle, Homosexuality in Islam: Critical Reflection on Gay, Lesbian, and
Transgender Muslim, (London: Oneworld, 2011), hlm. 53.
66
Ibid., hlm. 73.
Al-Qur’an memberikan tuntunan tentang hubungan seksual suami-istri
yang harus dilakukan oleh seseorang dengan istilah pergaulan yang baik
(ma’ruf). Sekali lagi, sebagaimana telah penulis jelaskan pada paragraf awal
bagian ini, bahwa ma’ruf itu mempunyai arti kebaikan yang universal,
spontanitas, dan yang mentradisi. Seorang suami harus menggauli istrinya
dengan kebaikan yang universal, meliputi cara dan niat. Apabila HIV/AIDS
adalah keburukan yang universal (mungkar) maka seorang suami yang terinfeksi
HIV/AIDS sudah semestinya tidak menggauli istrinya secara seksual atau
menggauli dengan cara yang terjamin keamanannya dengan melakukan
konsultasi terhadap pakar kesehatan, hal ini dilakukan untuk melakukan
pencegahan penularan terhadap istri dan keluarganya. Itulah implementasi dari
“mempergauli istri dengan baik” dalam konteks pencegahan HIV/AIDS.
Penjelasan tersebut sebagaimana dalam ayat berikut:
èdrçÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷dÌx. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s?`£
$\«øx© @yèøgsur ª!$# ÏmÏù #Zöyz #ZÏW2
“Pergaulilah istrimu dengan baik. Apabila kalian membenci mereka,
maka siapa tahu Allah menjadikan pada apa yang kalian benci itu
kebaikan yang banyak.” (QS, An-Nisa’:19).
68
Ibnu Rajab al-Hanbali, Jami’ al-Ulum wal Hikam (Kairo: Muassasah ar-Risalah, 2001), Hadist
No.32, hlm. 207.
penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual. Dan beberapa persen pun
efektivitas kondom sebagai alat mencegah adalah lebih baik dari pada tidak
menggunakan kondom karena tanpa kondom virus menjadi tidak mempunyai
penghalang sama sekali untuk ditularkan. 69
Don’t Inject
Program PTRM (Program Terapi Rumatan Metadon) merupakan bagian
dari upaya nasional untuk pengendalian dan mencegah infeksi HIV/AIDS, yang
dikenal sebagai strategi pengurangan dampak buruk atau Harm Heduction.
Metadon adalah jenis narkotik sintetis yang kuat, seperti heroin atau morfin
namun tidak menimbulkan efek sedatif yang kuat. Terapi metadon dinilai efektif
dalam menekan penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik narkoba.
Berdasarkan hasil uji coba PTRM di RS Sanglah (Bali) dan RSKO, diperoleh
hasil yang positif yaitu perbaikan kualitas hidup dari segi fisik, psikologi,
hubungan sosial dan lingkunagan, penurunan angka kriminalitas, penurunan
depresi dan perbaikan kembali ke aktivitas sebagai anggota masyarakat. Dengan
demikian PTRM merupakan upaya untuk menghilangkan bahaya yang lebih
besar dengan bahaya yang lebih ringan.70
Program lain dalam mengurangi dampak buruk dari narkoba yaitu
LASS (Layanan Alat Suntik Steril) yang diperkenalkan oleh lembaga swadaya
masyarakat di Bali tahun 1999.71 Pada intinya, program pencegahan HIV/AIDS
di atas terangkum dalam kerangka “jangan menyuntik” atau don’t inject.
Pengertiannya adalah jangan menggunakan jarum suntik yang tidak steril secara
bergantian, baik untuk alasan kesehatan (misal menyuntikkan obat pada pasien),
kecantikan dan kerapihan (seperti facial), penyalahgunaan narkoba (narkoba
suntik) dan lain-lainnya.72
69
Ibid., hlm.77-78.
70
Ibid., hlm. 81.
71
Ibid., hlm. 82.
72
Ibid., hlm. 78.
Islam menganjurkan hidup sehat dan bersih. Dalam Islam, kesehatan
adalah ketahanan jasmaniah-rohaniah dan sosial yang dimiliki sebagai karunia
Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan tuntunan-Nya dan memelihara
serta mengembangkannya. Ada tiga jenis kesehatan yaitu kesehatan fisik,
mental, dan kesehatan masyarakat. Nabi bersabda:
“Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu.” (HR.
Muslim).73
Hadis tersebut memberikan penjelasan terhadap Firman Allah:
ÏÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# wur (#qà)ù=è? ö/ä3Ï÷r'Î/ n<Î) Ïps3è=ökJ9$# ¡)qà#(
(#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏZÅ¡ósßJø9$#
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan.” (QS.Al-Baqarah:195).
73
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, “Bab Hak Badan dalam Puasa”, Hadist No.1874 (Mausu’ah
Hadist Kutub at-Tis’ah), hlm. 687.
74
Ibnu Rajab, Jami’ al-Ulum, Hadist No.32, hlm. 207.
75
Muhammad Syamsul Haq al-‘Adhimi, ‘Aun al-Ma’bud; Syarh Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar
al-Fikr, 1995), Hadist No. 3686, Kitabul ‘Asyribah, hlm. 121.
tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇÎÈ wÎ) #n?tã öNÎgÅ_ºurør& ÷rr& $tB
ôMs3n=tB öNåkß]»yJ÷r& öNåk¨XÎ*sù çöxî úüÏBqè=tB ÇÏÈ
“….dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri
mereka atau budak mereka miliki; maka sesungguhnya dalam hal ini tiada
tercela.” (QS. Al-Mukminun: 5-6).
Education
Teori pencegahan HIV/AIDS yang terakhir yaitu memberikan
education atau informasi terkait HIV AIDS secara tepat kepada masyarakat.
Informasi dan pendidikan mengenai kesehatan reproduksi, penyakit infeksi
menular seksual, HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba yang tepat sebaiknya
diberikan kepada masyarakat khususnya para remaja. Karena remaja sangat
rentan terpengaruh budaya dan gaya hidup yang secara langsung dan tidak
langsung berpengaruh pada perkembangan pola pikir remaja. Pencegahan AIDS
adalah deteksi dini HIV dengan melakukan tes HIV melalui VCT. Tes HIV
ATAU VCT adalah gerbang untuk penanganan, konseling, perawatan, dan
prevensi yang baik. Keluarga juga dapat membantu menjelaskan pentingnya tes
HIV/AIDS sejak dini dan secara regular dengan mengajak anak-anaknya untuk
melakukan tes HIV sembari diberi penjelasan mengenai apa, bagaimana, dan
untuk apa hal tersebut dilakukan.76
Al-Qur’an sejak berabad-abad silam telah menyuratkan pentingnya
pendidikan dalam konteks keluarga. Al-Qur’an menghadirkan figur pemimpin
keluarga yang bisa menghadirkan pendidikan dalam ruang keluarga, yaitu
Luqmanul Hakim. Edukasi yang dimotori oleh kepala keluarga tercatat dalam
nasehat-nasehat Luqman yang tertera dalam ayat 12 – 19 surat Lukman sebagai
berikut:
“12. dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman,
Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah, dan barangsiapa yang bersyukur
(kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri;
dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
13. dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar".
14. dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan
lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu.
15. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan
aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka
janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di
dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku,
kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
16. (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu
perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau
di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya).
Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan
yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan Kesan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera
77
78
Ahmad Shams Madyan, AIDS dalam Islam, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009), hlm. 127.
79
MUI menyetujui penggunaan kondom hanya untuk pasangan yang sudah menikah. Pernyataan
ini dikeluarkan oleh K.H Hasan Basri, Ketua MUI pada 4 Agustus 1995, sehubungan dengan
penolakan MUI untuk pencegahan HIV/AIDS dengan kondom karena dianggap menyuburkan
seks bebas (Lihat Malik Badri. AIDS Crisis : A Natural Product of Modernity sexual Revolution,
Kuala Lumpur-Malaysia : Madeena Book, 2000 , hlm. 283)
e. Semua penderita HIV/AIDS dilarang menularkan
penyakitnya.
f. Semua penderita HIV/AIDS wajib
memberitahukan statusnya kepada siapapun yang
berkepentingan.
4. Fatwa Untuk Kelompok Resiko Tinggi :
a. Mereka harus mengecek status kesehatan.
b. Pasangan yang sudah menikah harus
menggunakan kondom.
c. Pasangan yang akan menikah harus mengecek
kesehatan.
5. Fatwa Untuk Masyarakat Indonesia secara Umum :
a. Mereka harus meningkatkan ibadah dan keimanan
mereka kepada Tuhan.
b. Ulama harus memperbarui metode dakwah untuk mendidik umat tentang
moralitas.
c. Ulama dan Pemerintah harus bekerja sama untuk meningkatkan
komunikasi, informasi, pendidikan, dan motivasi tentang HIV/AIDS dan
penderitanya. 80
b. Tanggapan NU (Nahdlatul Ulama) Terhadap Permasalahan
HIV/AIDS.
Sebagai Organisasi Islam berbasis massa terbesar di Indonesia, NU
membahas HIV/AIDS hanya dalam porsi yang sangat kecil. Pembahasan
yang dikemukakan oleh NU sendiri hanya dalam lingkup Fiqh, sehingga
masih sangat kurang sekali untuk bisa dijadikan acuan mengingat NU adalah
sebagai salah satu organisasi terbesar di Indonesia. Berikut point-point
penting fatwa NU mengenai permasalahan HIV/AIDS di Indonesia :
80
Ahmad Shams Madyan, AIDS Dalam Islam, hlm. 129
1. Bahwa status pernikahan ODHA tetap sah, tetapi tidak dianjurkan
(makruh)
2. Jenazah penderita HIV/AIDS harus diperlakukan seperti mayat biasa,
tetapi dengan panduan khusus dari dokter atau ahli kesehatan.
3. Eutanasia haram hukumnya, apapun alasannya. 81
Fatwa-fatwa NU ini didasarkan dari kitab-kitab Islam klasik, seperti
Asnal Mathalib, Mughni Al-Muhtaj, Al-Hawasyil Madaniyah, dan Al-
Mahally bi Hamisy Al-Qalyuby. 82
Semua kitab ini tidak memuat isu
kontemporer apa pun, padahal isu HIV masuk dalam wacana kontemporer.
Kitab-kitab tersebut juga hanya mewakili mazhab Syafi’i.
81
K.H A. Aziz Masyhuri. Masalah Keagamaan: Hasil Muktamar dan MUNAS Ulama NU
Kesatu 1926 s.d Ketigapuluh 2000. (Jakarta: PPRMI dan Qultum Media, 2004) hlm. 132.
82
K.H. Sahal Mahfudz, (Pendahuluan), Solusi Problematika Aktual Hukum Islam : Keputusan
Muktamar, MUNAS dan KOBES Nahdlatul Ulama (1926-1999). (Jakarta : LTN-NU dan
Dintama, 2004), hlm. 539.
83
Ahmad Shams Madyan, AIDS Dalam Islam, hlm. 135.
memandang permasalahan ini tidak serta merta sebagai hukuman dari Tuhan,
namun juga menyebut sebagai ujian dari Tuhan belaka, bukan hukuman. 84
d. Program Penanggulangan HIV/AIDS
Penanggulangan adalah upaya secara komprehensif, sementara itu
pencegahan merupakan bagian dari penanggulangan. Mempertimbangkan
kondisi epidemik HIV/AIDS yang dijelaskan sebelumnya sebagai fenomena
gunung es dalam konteks Indonesia, maka dalam rangka meningkatkan upaya
penanggulangan AIDS yang lebih intensif, menyeluruh, terpadu, dan
terkoordinasi, dibentuklah Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN)
(Peraturan Presiden/Perpres RI no.75 tahun 2006). Komisi Penanggulangan
AIDS Nasional ini berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.85
Dalam kerangka penanggulangan HIV/AIDS, KPAN menyusun suatu
Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) Penanggulangan HIV/AIDS 2010-
2014. Kerangka program SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS tersebut
84
Tabrani Syabirin, M.A. Menghindari AIDS : Kumpulan Khutbah Jumat, (Jakarta : USAID-
YASA-PP, Muhammadiyah, 2005) hlm 19
85
Ketentuan tentang KPA yaitu diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun
2007 Tentang Pedoman Umum Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS Dan Pemberdayaan
Masyarakat dalam Rangka Penanggulangan HIV dan AIDS.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional bertugas:
a. Menetapkan kebijakan dan rencana strategis nasional serta pedoman umum pencegahan,
pengendalian, dan penanggulangan AIDS.
b. Menetapkan langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan.
c. Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penyuluhan, pencegahan, pelayanan,
pemantauan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS.
d. Melakukan penyebarluasan informasi mengenai AIDS kepada berbagai media massa,
dalam kaitan dengan pemberitaan yang tepat dan tidak menimbulkan keresahan
masyarakat.
e. Melakukan kerjasama regional dan internasional dalam rangka pencegahan dan
penanggulangan AIDS.
f. Mengkoordinasikan pengelolaan data dan informasi yang terkait dengan masalah AIDS.
g. Mengendalikan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan pencegahan, pengendalian,
dan penanggulangan AIDS.
Memberikan arahan kepada Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam
rangka pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS.
terangkum dalam program penanggulangan tahun 2010-2014 yang terdiri atas
empat program pokok penanggulangan.86
a. Pencegahan. Pencegahan ini diimplemantasikan dalam beberapa kegiatan
pokok, seperti: pencegahan penularan HIV melalui transmisi seksual, melalui
alat suntik, pencegahan penularan di lembaga pemasyarakatan dan rumah
tahanan, pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi, pencegahan penularan
di kalangan pelanggan pekerja seks melalui tempat kerja, pencegahan
penularan HIV pada pelanggan di kalangan pekerja imigran dan orang muda
beresiko usia 15-24 tahun.
b. Perawatan, dukungan dan Pengobatan. Kegiatan pokok program
penanggulangan ini meliputi: penguatan dan pengembangan layanan
kesehatan serta koordinasi antar layanan, pencegahan dan pengobatan infeksi
oportunistik, pengobatan antiretroviral (ARV), dukungan psikologis dan
sosial, serta pendidikan dan pelatihan ODHA.
c. Program mitigasi dampak. Kegiatan pokoknya yaitu mitigasi dampak dari
HIV/AIDS.
d. Program peningkatan lingkungan yang kondusif. Kegiatan pokoknya yaitu
penguatan kelembagaan dan manajemen, manajemen program meliputi
kegiatan perencanaan, implementasi dan evaluasi program dengan memegang
prinsip keterbukaan informasi, peran serta dan partisipasi, sinkronisasi
kebijakan, pengembangan kebijakan baru dan mitigasi kebijakan.
Pemerintah dalam melakukan banyak program penanggulangan
HIV/AIDS di atas, dalam pengamatan penulis, biasanya dilakukan dengan
bekerjasama dengan sejumlah LSM (Lembaga Sosial Masyarakat) dan juga
organisasi internasional seperti WHO.
Sementara itu, secara praktis aplikatif, umumnya program-program di
atas direalisasikan dalam kegiatan-kegiatan penanggulangan seperti: Program
86
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014.
Dipresentasikan pada: Forum Jejaring Peduli AIDS Aula Puslitbang Depkes, Surabaya, 18 Maret
2010.
KIE (Knowledge, Information dan Education) = BCC (Behaviour Change
Communication) = KPP (Komunikasi Perubahan Perilaku), Program Kondom
100%, Program Klinik IMS (Infeksi Menular Seksual), Program Harm
Reduction, Program VCT (Voluntary Counselling & Testing), dan Program CST
(Care, Support & Treatment Nasional).87
87
Tim Penulis, Panduan Penanggulangan AIDS Perspektif Nahdlatul Ulama’ (Jakarta:
PP.Lembaga Kesehatan NU, 2013), hlm. 25-37.
BAGIAN II
88
Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3 (Jakarta:Balai
Pustaka, 2005), hlm. 536.
89
Abu Ahmadi & Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan (Jakarta: Rieneka Cipta, 2001), hlm. 176.
90
UU Nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10, Khairuddin, Sosiologi Keluarga (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1985); Nancy R. Vosler, New Approaches to Family Practice: Confronting
Economic Stress, (Thousand Oaks, Calif.: Sage Publications, 1996).
91
Baca David Newman and Liz Grauerholz, Sociology of Families(Thousand Oaks, Calif: Pine
Forge Press, 2002).
Keluarga juga seperti diamahkan oleh Undang-Undang Nomor 52
Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga:
Bab II: Bagian Ketiga Pasal 4 Ayat (2), bahwa pembangunan
keluarga bertujuan untuk meningkatkan kualitas keluarga agar dapat
timbul rasa aman, tenteram, dan harapan masa depan yang lebih baik
dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.
Ernest Watson Burgess dan Harvey James Locke, The Family, from Institution to
96
97
Landis,Sociology: Concepts and Characteristics,edisi ke-7 (California: Wadsworth Inc,1989),
hlm. 7; dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional [BKKBN], Undang-undang
Republik Indonesia nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera (Jakarta: BKKBN, 1992).
98
Baca, Prolog buku Boss et al., Sourcebook of Family Theories and Methods: A Contextual
Approach, (New York: Plenum, 1993).
memelihara masyarakat yang lebih luas. Dalam mencapai tujuan keluarga,
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 menyebutkan adanya delapan
fungsi yang harus dijalankan oleh keluarga, meliputi fungsi pemenuhan
kebutuhan fisik dan non fisik yang terdiri atas fungsi keagamaan, sosial-budaya,
cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan
pembinaan lingkungan.99
Mattensich dan Hill100 menyebutkan bahwa fungsi keluarga terdiri atas
pemeliharaan fisik sosialisasi dan pendidikan, akuisisi anggota keluarga baru
melalui prokreasi atau adopsi, kontrol perilaku sosial dan seksual, pemeliharaan
moral keluarga dan pendewasaan anggota keluarga melalui pembentukan
pasangan seksual, dan melepaskan anggota keluarga dewasa. Sementara
Kingsbury dan Scanzoni101 dengan merujuk pendapat Pitts menjelaskan bahwa
tujuan dari terbentuknya keluarga adalah untuk mewujudkan suatu struktur yang
dapat memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis para anggotanya dan untuk
memelihara kebiasaan atau budaya masyarakat yang lebih luas.
Sejalan dengan itu, dalam konsep sosiologi dinyatakan bahwa tujuan
keluarga adalah mewujudkan kesejahteraan lahir (fisik, ekonomi) dan batin
(sosial, psikologi, spiritual, dan mental). Secara detil tujuan dan fungsi keluarga
dapat diuraikan sebagai berikut: Sebagai unit terkecil dalam masyarakat,
keluarga memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggota
keluarganya yang meliputi kebutuhan fisik (makan dan minum), psikologi
(disayangi, diperhatikan), spiritual agama, dan sebagainya. Adapun tujuan
membentuk keluarga adalah untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan
bagi anggota keluarganya, serta untuk melestarikan keturunan dan budaya suatu
bangsa. Keluarga yang sejahtera diartikan sebagai keluarga yang dibentuk
berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan fisik dan
99
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional [BKKBN], 1996, Situs Informasi Kesehatan
Seksual dan Sosial Remaja: Cerita Remaja Indonesia. www.bkkbn.go.id.
100
Zeitlin, Strengthening the Family, hlm. 63.
101
Boss et al., Sourcebook of Family Theories and Methods, hlm. 57.
mental yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki
hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota keluarga, dan antar
keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya.102
Dalam mencapai tujuan keluarga, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21
Tahun 1994 (BKKBN, 1996) menyebutkan adanya delapan fungsi yang harus
dijalankan oleh keluarga meliputi fungsi-fungsi pemenuhan kebutuhan fisik dan
nonfisik yang terdiri atas fungsi: (a) keagamaan, (b) sosial, (c) budaya, (d)
cinta kasih, (e) perlindungan, (f) reproduksi, (g) sosialisasi dan pendidikan, (h)
ekonomi, dan (1) pembinaan lingkungan.
Selanjutnya Rice dan Tucker103 menyatakan bahwa fungsi keluarga
meliputi fungsi ekspresif, yaitu fungsi untuk memenuhi kebutuhan emosi dan
perkembangan anak termasuk moral, loyalitas dan sosialisasi anak, dan fungsi
instrumental yaitu fungsi manajemen sumberdaya keluarga untuk mencapai
berbagai tujuan keluarga melalui prokreasi dan sosialisasi anak dan dukungan
serta pengembangan anggota keluarga.
102
Landis 1989; dan BKKBN 1992.
103
Ann SmithRice dan SuzanneTucker, Family Life Management, edisi ke-6 (McMillan, New
York: 1986), hlm. 31-37.
104
Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, hlm. 91.
kadang-kadang tidak menyadari adanya hubungan keluarga tersebut.
Hubungan yang terjadi di antara mereka biasanya karena kepentingan pribadi
dan bukan karena adanya kewajiban sebagai anggota keluarga. Biasanya
mereka terdiri atas paman dan bibi, keponakan dan sepupu.
c. Orang yang dianggap kerabat dekat (fictive kin) yaitu seseorang dianggap
anggota kerabat karena ada hubungan yang khusus, misalnya hubungan antar
teman akrab.
Erat-tidaknya hubungan dengan anggota kerabat tergantung dari jenis
kerabatnya dan lebih lanjut dikatakan Adams, bahwa hubungan dengan anggota
kerabat juga dapat dibedakan menurut kelas sosial. 105 Hubungan dalam keluarga
bisa dilihat dari beberapa aspek:
Pertama, hubungan suami-istri. Hubungan antar suami-istri pada
keluarga yang institusional ditentukan oleh faktor-faktor di luar keluarga seperti:
adat, pendapat umum, dan hukum.
Kedua, hubungan orang tua-anak. Secara umum kehadiran anak dalam
keluarga dapat dilihat sebagai faktor yang menguntungkan orangtua dari segi
psikologis, ekonomis dan sosial. Secara psikologis orang tua akan bangga
dengan prestasi yang di miliki anaknya, secara ekonomis, orangtua menganggap
anak adalah masa depan bagi mereka, dan secara sosial mereka telah dapat
dikatakan sebagai orang tua.
Ketiga, hubungan antar-saudara (siblings). Hubungan antar-saudara bisa
dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, jumlah anggota keluarga, jarak kelahiran,
rasio saudara laki-laki terhadap saudara perempuan, umur orang tua pada saat
mempunyai anak pertama, dan umur anak pada saat mereka ke luar dari rumah.
4. Keluarga dalam Relasi Sosial
a. Pengertian Sosialisasi
Pada awalnya ada dugaan kuat bahwa anak yang dilahirkan didunia,
merupakan makhluk yang sama sekali bersih. Manusia yang ada sekitarnya akan
105
Ibid.,hlm. 99.
membentuk anak tadi seolah-olah bagaikan kertas putih bersih yang kemudian
ditulisi kata dan kalimat. Hal ini membuktikan bahwa individu yang lahir di
dunia pasti mengalami proses sosialisasi.
Secara luas sosialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses dimana
warga masyarakat di didik untuk mengenal, memahami, mentatati dan
menghargai norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.106
Menurut David A. Goslin, sosialisasi adalah proses belajar yang dialami
seseorang untuk memperoleh pengetahuan, ketrampilan, nilai-nilai dan norma-
norma agar ia dapat berpartisipasi sebagai anggota dalam kelompok
masyarakatnya.107
Menurut tahapannya sosialisasi dibedakan menjadi dua tahap, yakni:108
a. Sosialisasi primer, sebagai yang pertama dijalankan individu semasa kecil.
Dalam tahap ini proses sosialisasi primer membentuk kepribadian anak
kedalam dunia umum, dan keluargalah yang berperan sebagai agen
sosialisasi.
b. Sosialisasi sekunder, dalam tahap ini proses sosialisasi mengarah pada
terwujud sikap profesionalisme dan dalam hal ini yang menjadi agen
sosialisasi adalah lembaga pendidikan, peer-group, lembaga pekerjaan, dan
lingkungan yang lebih luas dari keluarga.
Sementara itu, George Hebert Mead menjelaskan bahwa perkembangan
manusia melalui tiga tahap yaitu:109
a. Play Stage: tahap di mana seorang anak mulai mengambil peranan-peranan
orang disekitarnya.
b. Game Stage: tahap di mana seorang anak mulai mengetahui peranan yang
harus dijalankan dan peranan yang dijalankan orang lain.
106
Soerjono, Sosiologi: Suatu Pengantar,hlm. 140.
107
Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, hlm.30.
108
Ibid.,hlm. 32.
109
Ibid.,hlm. 34.
c. Generalized Other: tahap di mana seseorang telah mampu mengambil
peranan-peranan yang dijalankan oleh orang lain.
b. Fungsi Sosialisasi Keluarga
Sosialisasi merupakan proses awal di mana kepribadian anak ditentukan
lewat interaksi sosial. Agen utama dalam hubungan ini adalah keluarga, dan
kontak pertama dari anak hampir hanya dengan anggota-anggota kelompok ini.
Tiap-tiap masyarakat seharusnya mengajarkan si anak untuk menjadi
anggota yang bertanggung jawab, dan yang paling utama adalah melalui
keluarga. Di sini anak belajar menerima norma-norma sosial, sikap-sikap, nilai-
nilai serta pola tingkah lakunya menjadi dapat diperkirakan oleh anggota
masyarakat lainnya.
Bahasa, pola-pola seks, kenyakinan agama, sopan santun dan peletakan
berbagai elemen-elemen kebudayaan juga ditangani lewat keluarga.110 Fungsi
sosialisasi keluarga menurut BKKBN ada delapan fungsi yaitu:
a) Fungsi agama
Sebagai sarana awal memperkenalkan nilai-nilai religius kepada anggota
keluarga baru. Dalam proses sosialisasi ini, interaksi antar anggota keluarga
berlangsung secara intens.
b) Fungsi sosial budaya
Fungsi ini ditanamkan bertujuan untuk memberikan identitas sosial kepada
keluarga itu, termasuk anggota keluarga baru. Budaya diwariskan awalnya
dalam institusi ini.
c) Fungsi cinta kasih
Dalam keluarga idealnya terdapat “kehangatan”.
d) Fungsi perlindungan
Sifat dasar dari setiap individu adalah bertahan terhadap segala gangguan dan
ancaman. Dalam hal ini keluarga berperan sebagai benteng terhadap seluruh
anggota keluarga dari gangguan fisik maupun psikis.
110
Talcot Parson dalam Khairuddin, Sosiologi Keluarga, hlm. 126.
e) Fungsi reproduksi
Keberlangsungan keluarga dilanjutkan melalui proses regeneratif, dalam hal
ini keluarga adalah wadah yang sah dalam melanjutkan proses regenerasi itu.
f) Fungsi pendidikan
Sebagai wadah sosialisasi primer, keluargalah yang mendidik dan
menanamkan nilai-nilai dasar. Ketika proses itu berjalan, perlahan-lahan
institusi lain (sekolah) akan mengambil peranan sebagai wadah sosialisasi
sekunder.
g) Fungsi ekonomi
Kesejahteraan keluarga akan tercapai dengan berfungsinya dengan baik
fungsi ekonomi ini. Keluargalah yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan
sehari-hari anggota keluarganya.
h) Fungsi lingkungan
Fungsi ini erat kaitannya dengan hubungan dengan lingkungan sekitar.
Lingkungan yang harmonis merupakan kondisi apabila dimana dalam
fungsinya setiap keluarga bisa meyakinkan anggota keluarganya untuk bisa
menjaga dan melihat lingkungan sekitarnya dengan baik.
c. Disfungsi Sosialisasi dalam Keluarga
Sebagai sebuah sistem, keluarga dapat terpecah apabila salah satu atau
lebih anggota keluarga tidak menjalankan tugas dan fungsinya dalam keluarga
hingga menyebabkan terjadinya keluarga disfungsi. Hal ini tentu akan
mempengaruhi keutuhan keluarga sebagai sebuah sistem. Disfungsi diartikan
sebagai tidak dapat berfungsi dengan normal sebagaimana mestinya.
Keluarga disfungsi dapat diartikan sebagai sebuah sistem sosial terkecil
dalam masyarakat di mana anggota-anggotanya tidak atau telah gagal
manjalankan fungsi-fungsi secara normal sebagaimana mestinya. Keluarga
disfungsi; hubungan yang terjalin di dalamnya tidak berjalan dengan harmonis,
seperti fungsi masing- masing anggota keluarga tidak jelas atau ikatan emosi
antar anggota keluarga kurang terjalin dengan baik.111
Keluarga yang mengalami disfungsi sangat berpengaruh pada
sosialisasinya dalam keluarga, disfungsi sosialisasi keluarga merupakan suatu
hal yang disebabkan gagalnya keluarga dalam menjalankan fungsi sosialisasi
yang seharusnya dilakukan oleh keluarga tetapi dijalankan oleh orang lain atau
lembaga lain.
5. Ekologi Keluarga
Konsep ekologi manusia menyangkut saling ketergantungan antara
manusia dengan lingkungan, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya buatan.
Pendekatan ekologi atau ekosistem menyangkut hubungan interdependensi
antara manusia dan lingkungan di sekitarnya sesuai dengan aturan norma
kultural yang dianut. Konsep ekologi manusia juga dikaitkan dengan
pembangunan. Keberhasilan pembangunan yang berkelanjutan sangat
bergantung pada faktor manusianya yaitu seluruh penduduk dan sumberdaya
alam yang dimiliki serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kaidah
ekologi menetapkan adanya ketahanan dan ketegaran (resilience) suatu sistem
yang dipengaruhi oleh dukungan yang serasi dari seluruh subsistem.112
Mengingat manusia adalah makhluk sosial, dan keluarga merupakan
lembaga sosial terkecil yang menyangkut hubungan antar pribadi dan hubungan
antara manusia dengan lingkungan di sekitarnya, maka keluarga tidak dapat
berdiri sendiri. Keluarga sangat tergantung dengan lingkungan di sekitarnya dan
keluarga juga mempengaruhi lingkungan di sekitarnya.
Beberapa peneliti memberikan contoh-contoh hubungan antara keluarga
dan lingkungan atau disebut sebagai ekologi keluarga. Dijelaskan bahwa saat ini
sedang terjadi perubahan-perubahan global baik dari segi sosial-ekonomi,
111
Siswanto, Psikologi Pengasuhan Anak , (Malang: UIN-Malang Press, 2007), hlm. 19.
112
Mohamad Soerjani, Perkembangan Kependudukan Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,
(Jakarta:Yayasan Institut Pendidikan & Pengembangan Lingkungan, 2000).
teknologi dan politik, serta perubahan sistem dunia 113 yang berdampak pada
perubahan dalam keluarga dan masyarakat, misalnya keluarga menjadi tidak
stabil dan berada dalam masa transisi menuju keseimbangan yang baru.114
Bronfenbrenner,115 Deacon dan Firebaugh (1988), Melson (1980),
Holman (1983), Klein dan White (1996) menyajikan model pandangan dari segi
ekologi keluarga dalam mengerti proses sosialisasi anak-anak. Model tersebut
menempatkan posisi anak atau keluarga inti pada pusat di dalam model yang
secara langsung dapat berinteraksi dengan lingkungan yang berada di sekitarnya,
yaitu lingkungan mikrosistem (the microsystem) yang merupakan lingkungan
terdekat dengan anak berada, meliputi keluarga, sekolah, teman sebaya, dan
tetangga. Lingkungan yang lebih luas disebut lingkungan mesosistem (the
mesosystem) yang berupa hubungan antara lingkungan mikrosistem satu dengan
mikrosistem yang lainnya, misalnya hubungan antara lingkungan keluarga
dengan sekolahnya, dan hubungan antara lingkungan keluarga dengan teman
sebayanya. Lingkungan yang lebih luas lagi disebut dengan lingkungan
exosystem yang merupakan lingkungan tempat anak tidak secara langsung
mempunyai peranan secara aktif, misalnya lingkungan keluarga besar (extended
family) atau lingkungan pemerintahan. Akhirnya lingkungan yang paling luas
adalah lingkungan makrosistem (the macrosystem) yang merupakan tingkatan
paling luas yang meliputi struktur sosial budaya suatu bangsa secara umum.
Model Bronfenbrenner menjelaskan mengenai pendekatan ekosistem
dalam menganalisis ekologi keluarga dalam sosialisasi anak yang dikenal
dengan Model Ekologi dari Bronfenbrenner.116 Model tersebut menyajikan
tahapan-tahapan pengaruh lingkungan pada sosialisasi anak yang tediri atas
lingkungan paling dekat yaitu lingkungan mikrosistem (the microsystem),
113
Khairuddin, Sosiologi Keluarga, hlm. 45.
114
Ibid.,hlm. 22.
115
Lihat, Bronfenbrenner, The Ecology of Human Behaviour (Harvard: Harvard University Press,
1981), hlm. 44; dan John W. Santrock, Steve R. Yussen, Child Development; An Introduction
(t.tt:Wm. C. Brown Publishers, 1989), hlm. 73.
116
Ibid.
lingkungan yang lebih luas disebut lingkungan mesosistem (the mesosystem),
kemudian lingkungan yang lebih luas lagi disebut dengan lingkungan
exosystem, dan akhirnya lingkungan yang paling luas yaitu lingkungan
makrosistem (the macrosystem).
Jelas sekali di sini bahwa pendekatan ekosistem dan keluarga
menyangkut hubungan interdependensi antara manusia yang berada dalam satu
unit keluarga inti dengan lingkungan sosial maupun fisik yang ada di sekitarnya
sesuai dengan aturan norma kultural yang dianut.
Menurut Holland bahwa perspektif ekosistem (sistem ekologi)
merupakan pendekatan teoretikal yang dominan dalam melihat perilaku manusia
untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang berhubungan dengan lingkungan
sosialnya (mulai dari tingkatan mikro ke makro). 117
Pendekatan lain dari Harris dan Liebert menjelaskan bahwa keluarga
dijabarkan sebagai suatu sistem yang diartikan sebagai suatu unit sosial dengan
keadaan yang menggambarkan individu secara intim terlibat untuk saling
berhubungan timbal balik dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya setiap
saat dengan dibatasi oleh aturan-aturan di dalam keluarga. Sistem ekologi juga
menganalisis keterkaitan antara keluarga dan lingkungan dalam melihat
perubahan budaya, seperti peran ganda ibu, tren perceraian, dan efek perceraian
dalam pengasuhan.118
Model tersebut menempatkan posisi anak atau keluarga inti pada pusat di
dalam model yang secara langsung dapat berinteraksi dengan lingkungan yang
berada di sekitarnya, yaitu lingkungan mikrosistem (the microsystem) yang
merupakan lingkungan terdekat dengan anak berada, meliputi keluarga, sekolah,
teman sebaya, dan tetangga. Model ini juga dapat diterapkan berdasarkan
perspektif gender, yaitu lingkungan yang dapat mendorong/menghambat
117
Kilpatrick, A. C., & Holland, T. P., Working with Families: An Integrative Model by Level of
Need, Edisi ke-3 (Boston: Allyn & Bacon, 2003), hlm. 65.
118
Judith Rich Harris dan Robert M. Liebert, The Nature of Assumption: Why Children Turn Out
the Why They Do, (t.p., 1992).
interaksi lingkungan dengan kaum laki-laki atau perempuan, mulai dari masa
bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa sampai lanjut usia.
1. Pengertian Keluarga
Pengertian keluarga menjadi sangat penting, karena keluarga merupakan
suatu keharusan eksistensi yang diwajibkan oleh Islam. Dasar pengertian itu
diantaranya tertera pada Al-Qur’an sebagaimana berikut:
a) Surat At-Tahrim Ayat 6:
pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR$
$ydßqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pkön=tæ îps3Í´¯»n=tB
ÔâxÏî ×#yÏ© w tbqÝÁ÷èt ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtur $tB tbrâsD÷sã
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
b) Surat Al-Furqon : Ayat 74
tûïÏ%©!$#ur cqä9qà)t $oY/u ó=yd $oYs9 ô`ÏB $uZÅ_ºurør& $oYÏG»Íhèur no§è%
)&úãüôãr& $oYù=yèô_$#ur úüÉ)FßJù=Ï9 $·B$tBÎ
“Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah
kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati
(kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”.
119
Al-Raghib al-Asfahani, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2010),
hlm.146.
120
Ibid.,hlm. 37.
Terhadap ayat itu Shawi121 menyebutkan “Ahli” tersebut adalah istri dan
anak-anak serta yang dikaitkan dengan keduanya, dan Ahlul Islam adalah
keluarga yang seagama, ditunjukan dengan ayat :
Ó¨Lym #sÎ) uä!%y` $tRâöDr& u$sùur âqZF9$# $oYù=è% ö@ÏH÷q$# $pkÏù `ÏB 9e@à2#
Èû÷üy`÷ry Èû÷üuZøO$# n=÷dr&ur wÎ) `tB t,t7y Ïmøn=tã ãAöqs)ø9$# ô`tBur
)40 : (هود%z`tB#uä 4 !$tBur z`tB#uä ÿ¼çmyètB wÎ) ×@Î=s
“Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan
air, Kami berfirman: "Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-
masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali
orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula)
orang-orang yang beriman." dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu
kecuali sedikit.”
121
Ibid.,hlm. 290.
122
Ibid.,hlm. 268.
123
Ibid.,hlm.65.
ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ÅÁtR $£
JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur
Ò=ÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# cqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uèYx.
)7 : (النساء4 $Y7ÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan.”
3. عشيرة/ ‘Asyirah
Al-Raghib124 menyebutkan, ‘asyirah adalah keluarga seketurunan yang
berjumlah banyak. Hal itu berasal dari kata عشرةdan kata itu menunjukan pada
bilangan yang banyak, seperti pada ayat:
ö@è% bÎ) tb%x. öNä.ät!$t/#uä öNà2ät!$oYö/r&ur öNä3çRºuq÷zÎ)ur ö/ä3ã_ºurør&ur óOä3è?
)24 : (التوبةuϱtãur
Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-
isteri, kaum keluargamu”
Ibid.,hlm. 375.
124
Ibrahim Amini, Bimbingan Islam untuk Kehidupan Suami-Isteri, (Bandung: Al-Bayan, 1996),
126
hlm. 33.
pada akhirnya agar tercapai kehidupan yang tentram damai dan penuh cinta dan
kasih sayang sebagai tujuan pernikahan.127
Ditinjau dari segi kesehatan jiwa, pasangan suami isteri yang terikat
dalam suatu pernikahan tidak akan pernah menemukan kebahagiaan apabila
hanya didasari atas pemenuhan kebutuhan biologis dan atau materi, tanpa
adanya kebutuhan afeksional atau kasih sayang sebagai unsur penting bagi
pembinaan pernikahan yang sehat dan bahagia yang pada akhirnya akan
mewujudkan keluarga sakinah.128
Al-Qur’an mengajarkan bahwa keluarga harus dibangun melalui
pernikahan yang sah sebagai akad (perjanjian luhur).129 Adapun tujuan
pernikahan dalam Islam adalah untuk membangun keluarga yang tenang,
tentram, sejahtera, diliputi oleh cinta dan kasih sayang. Dengan kata lain,
pernikahan dalam Islam adalah untuk menuju keluarga sakinah. 130Oleh
karenanya, pernikahan adalah satu-satunya mekanisme pembentukan keluarga
yang dilegitimasikan oleh syari’at secara sah.
3. Peran Keluarga dalam Masyarakat
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, bahwa perkawinan adalah satu-
satunya mekanisme legal terbentuknya sebuah keluarga, maka tujuan dan fungsi
dari pernikahan menjadi sangat penting sehingga eksistensi suatu keluarga
menemukan signifikansinya.
Islam memberikan perhatian besar pada penataan keluarga, terbukti
bahwa seperempat bagian fikih yang dikenal dengan Rub’ al-Munakahah
adalah mengenai penataan keluarga, mulai dari persiapan, pembentukan sampai
pada pengertian hak dan kewajiban setiap unsur dalam keluarga kesemuanya
127
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, (Yogyakarta: Academia & Tazzafa,2005), hlm.
36.
128
Departemen Agama RI, Korps Penasehat Perkawinan dan Keluarga Sakinah, (Jakarta:
Ditrjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004), hlm. 59.
129
Maten Miharso, Pendidikan Keluarga Qur’ani, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004),
hlm. 39.
130
Zaitunah Subhan, Membina Keluarga Sakinah, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), hlm.
38.
dimaksudkan supaya pembentukan keluarga mencapai tujuannya seperti
disebutkan dalam Al-Qur’ān.131
Ketika menyeru dan memberi gambaran tentang indahnya keluarga,
Islam memperlihatkan berbagai fungsi serta menunjukkan buah manisnya
kehidupan keluarga yang akan memiliki implikasi terhadap kehidupan individu
dan masyarakat. Itulah di antara nikmat Allah SWT dan sebagai dari tanda-tanda
kekuasaan-Nya yang dipersiapkan dan dipulihkan untuk hamba-Nya agar
kehidupannya bisa berjalan dengan baik dan sisi keluhnya bisa dijernihkan.132
Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’ān surah Ar-Rum Ayat 21:
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9
$ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B
ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt
“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan
untukmu isteri/pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa
kasih dan sayang, sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS: Ar-Rum: 21).133
131
Ahmadie Thaha, “Keluarga”, dalam Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru), hlm. 73.
132
Mustafa Abdul Wahid, Manajemen Keluarga Sakinah, (Yogyakarta: Diva Press, 2004), hlm.
29.
133
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Alquran, 1971), hlm. 644.
134
Zaid H. Alhamid, Rumah Tangga Muslim, (Semarang: Mujahidin, 1981), hlm. 9-10.
Ada beberapa ayat yang berbicara tentang tujuan berkeluarga dalam al-
Qur’ān antara lain; al-Baqarah : 187, 223; al-Maarij: 29-31; al-Mu’minun: 5-7;
asy-Syura: 11; an-Nahl: 72; ar-Rum: 21; an-Nisa: 19; an-Nur: 33 yang secara
kronologis turunnya ayat sesuai dengan konsep makiyah-madaniyah versi
Noldeke135 yang dijabarkan sebagai berikut:
a. Al-Ma’arij: 29-31:
tûïÏ%©!$#ur ö/ãf öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇËÒÈ wÎ) #n?tã óOÎgÅ_ºurør& ÷rr& $tB
ôMs3n=tB öNåkß]»yJ÷r& öNåk¨XÎ*sù çöxî tûüÏBqè=tB ÇÌÉÈ Ç`yJsù 4ÓxötGö/$# uä!#uur
y7Ï9ºs y7Í´¯»s9'ré'sù ç/èf tbrß$yèø9$# ÇÌÊÈ
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap
istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barang siapa mencari
yang di balik itu, maka mereka itulah yang melampaui batas”
Ayat tersebut di atas pada periode Makkah awal ini berisi tentang
perintah untuk menjaga kehormatan dengan menjaga kemaluan dengan hanya
melakukan hubungan badan dengan istri-istri yang sah saja, dan masih
diperbolehkan untuk menggauli budak-budak perempuan milik pribadi serta
larangan di luar dari itu.
b. An-Nahl: 72:
“Allah memberikan istri-istri dari jenismu sendiri dan menjadikan
dari mereka anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rezeki dari
yang baik-baik”
c. Ar-Rum: 21:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan
merasa tentram kepadanya dan dijadikanNya di antara kamu rasa
kasih sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum berpikir”
135
Taufiq Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah Al-Qur’ān(t.tt: Forum Kajian Agama dan Budaya,
2001), hlm. 85
d. As-Syura: 11:
“Dia pencipta langit dan bumi, dan menjadikan bagimu pasangan-
pasangan dari jenismu sendiri dan binatang ternak berpasang-
pasangan pula, dijadikannya kamu berkembang biak dengan jalan
itu, tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang
Maha Mendengar lagi Maha Melihat”
Masuk pada periode Makkah akhir ini lebih banyak lagi dibicarakan
tentang sistem sosial terkecil yang disebut dengan keluarga (berpasang-pasang),
dalam surat an-Nahl 71 berbicara masalah regenerasi (anak-anak) yang
merupakan bagian penting dalam entitas rumah tangga dan aspek ekonomi
sebagai persoalan yang penting untuk dilandaskan. Ar-Rum 21 berbicara
masalah fungsi afeksi dari keluarga dengan makna ketenteraman dan kedamaian
yang akan didapatkan dalam keluarga. As-Syura 11 berbicara tentang masalah
reproduksi sebagai salah satu tujuan dari membentuk keluarga. Dari sini Allah
mulai menjelaskan arti penting sebuah keluarga yaitu melestarikan keturunan
dan hidup tentram melalui keluarga.
e. Al-Baqarah: 187
“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan
istri-istrimu, mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak
menahan nafsumu, karena ityu Allah mengampunimu dan memberi
maaf kepadamu. Istri-istrimu seperti tanah tempatmu bercocok
tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam itu
bagaimana saja kamu menghendaki”
f. An-Nisa: 1
“Hai sekalian manusia! Bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakanmu dari seorang diir, dan dari padanya Allah
menciptakan istrinya, dan dari pada keduanya Allah
mengembangbiakkan banyak laki-laki dan perempuan” 9 “Dan
hendaklah takut kepada Allahorang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah”
g. An-Nur: 33:
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga
kesuciannya, sehingga Allah memampukan mereka dengan
karuniaNya…dan Janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu
untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan
kesucian…”
136
Ibid., hlm. 85
137
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung:Mizan, 2001), hlm.255.
138
Ibid., hlm. 253.
Pengertian-pengertian tentang fungsi keluarga di atas berimplikasi pada
adanya peran dari sebuah entitas keluarga, yang secara tegas bermuara pada
terciptanya stabilitas sistem keluarga yang termaktub dengan istilah “Sakinah,
Mawwadah, Wa rahmah”. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menafsirkan pengertian
istilah tersebut sebagai berikut:
a. Sakinah adalah ketenangan, kehebatan (percaya diri) dan kedamaian.
b. Mawaddah adalah kelembutan tindakan, kelembutan hati, kecerahan wajah,
tawadhuk, kejernihan pikiran, kasih saying, empati, kesenangan, dan
kemesraan.
c. Rahmah adalah kerelaan berkorban, keikhlasan memberi, memelihara,
kesediaan saling memahami, saling mengerti, kemauan untuk saling menjaga
perasaan, sabar, jauh dari kemarahan, jauh dari keras hati dank eras kepala,
jauh dari kekerasan fisik dan kekerasan mental.139
Benang merah yang terpapar di atas adalah betapa keluarga adalah unit
sistem sosial terkecil yang sangat penting sekali keberadaanya dalam sistem
sosial makro. Ia menjadi tulang punggung bagi masyarakat, sehingga apabila
dalam sturktur sosial ada yang disfungsi, sudah barang tentu hal tersebut
bersumber dari unit keluarga. Begitu juga, apabila yang terjadi adalah
keharmonisan sistem keluarga, maka implikasinya pada sistem sosial
kemasyarakatan secara makro. Sakinah mawaddah wa rahmah dalam keluarga
akan berdampak secara langsung pada sakinah mawaddah wa rahmah dalam
masyarakat. Begitu pula sebalikanya. Demikian keberadaan kelurga menjadi
saham terbesar bagi terciptanya situasi sosial masyarakat.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Raudlatul Muhibbin wa Nuzhatul Muastaqin, Terj. Tim Penerbit
139
140
Ahmad Hamrani,Al-Mar’ah fi al-Târikh wa al-Syariah, hlm. 20.
141
Ibid., hlm. 82.
lelaki dan satu hukum tertentu lainnya yang khusus dan sesuai untuk perempuan,
dan ini bukan berarti bahwa Islam telah membedakan antara lelaki dan
perempuan.142
Kesetaraan dalam penciptaan, al-Quran al-Karim memandang
perempuan dan lelaki sebagai dua kelompok manusia yang diciptakan dari esensi
dan jiwa yang tunggal. Dalam ajaran-ajaran al-Quran, kemanusiaan merupakan
satu bentuk di mana lelaki dan perempuan masing-masing memiliki kedudukan
yang sama dan sejajar, sebagaimana tersirat dalam salah satu ayat-Nya, “Kalian
telah diciptakan dari satu jiwa, kemudian diciptakanlah istrinya dari jiwa
tersebut.”143
Pada ayat lain berfirman, “Dia-lah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu
dan darinya Dia menciptakan istrinya.”144
Demikian juga, dilihat dari sisi terpenting manusia yaitu rasionalitas
dan kecerdasan yang dimilikinya, lelaki dan perempuan memiliki saham dan
manfaat yang setara pula, sebagaimana firman-Nya, “Katakanlah, “Dia-lah
Yang menciptakan kalian dan menjadikan bagi kalian pendengaran,
penglihatan, dan hati. (Tetapi) amat sedikit kalian bersyukur.” 145 Para mufassir
dan cendekiawan Muslim mengartikan af-idah (hati) pada ayat di atas sebagai
daya pikir dan rasio manusia yang berbeda dari binatang.146
Ketiadaan diskriminasi hak-hak perempuan dan laki-laki dalam
kehidupan suami istri: dalam al-Quran, dominasi dan keutamaan yang
menguntungkan bagi perempuan ditempatkan secara sejajar dengan apa yang
menguntungkan bagi lelaki, meskipun bisa jadi terdapat perbedaan dalam
beberapa kasus, seperti hak dalam masalah nafkah dan tunjangan hidup yang
meniscayakan lelaki untuk memberikan perhatian atasnya, hak kepengikutan
142
Ibid.
143
Qs. Az-Zumar (39): 6.
144
Qs. Al-A’raf (7): 189.
145
Qs. Al-Mulk (67): 23.
146
Ibnu Khaldun, Muqadimah Ibnu Khaldun, jilid. 2, hlm. 860; Charles Issawi, M. A.,Filsafat
Islam Tentang Sejarah, Pilihan dari Muqaddimah Karangan Ibn Chaldun dari Tunis (1332-
1406). (disalin dalam bahasa Indonesia oleh Dr. A. Mukti Ali), (Jakarta: Tintamas, 1962).
perempuan dalam masalah tempat tinggal, dan lain sebagainya, karena dalam
salah satu ayat-Nya Allah swt berfirman, “Dan para wanita mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf”, 147 dan ini
sebagaimana halnya hak yang dimiliki oleh kaum lelaki; dan para mufassir
menggunakan ayat ini sebagai sandaran atas kesejajaran dan kesetaraan hak
antara laki-laki dan perempuan.148
Pada kenyataannya di dalam Al-Qur’an tidak terdapat sebuah persoalan
yang dengan jelas memperlihatkan pemberian kelebihan hak atau keutamaan
tertentu yang keluar dari kehendak dan kewenangan manusia yang kemudian
diinterpretasikan dengan kata "derajat", melainkan kata "derajat" atau “derajat-
derajat” mengisyaratkan pada maqam dan kedudukan duniawi atau ukhrawi
yang diciptakan oleh kehendak tindakan manusia itu sendiri,149 sebagaimana
salah satu ayat-Nya menyatakan, “Dan masing-masing orang memperoleh
derajat-derajat lantaran apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah
dari apa yang mereka kerjakan.”
Qawwâm, dalam pandangan ahli linguistik diartikan sebagai
pengayom, pelindung dan penjaga. Sedangkan qayyam kadangkala bermakna
perlindungan dan reformasi atau perbaharuan, dan di antara firman-firman
147
Qs. Al-Baqarah (2): 228.
148
Dalam tafsir Al-Mizan, Allamah Thabathabai berkata, “Yang diniscayakan dalam keadilan
ilahi dan mengintepretasikan makna kesetaraan adalah bahwa setiap individu pemilik hak yang
berada dalam masyarakat akan sampai pada haknya, setiap orang juga akan berkembang sesuai
dengan kemajuannya dan tidak lebih. Jadi, kesetaraan antara manusia satu dengan yang lainnya,
dan antara tingkatan-tingkatan sosial yang ada hanyalah supaya setiap pemilik hak memperoleh
hak khususnya, tanpa mengganggu hak selainnya, tanpa dimotivasi oleh rasa permusuhan,
pemaksaan atau setiap motivasi lainnya yang tidak jelas atau batil, dan ini tak lain sebagaimana
yang tersirat dalam kalimat, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkat
kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Baqarah
[2]: 228), dengan penjelasan di atas, mengisyaratkan bahwa kalimat di atas selain menerima
perbedaan alami antara lelaki dan perempuan, juga menegaskan tentang masalah kesetaraan hak
antara keduanya.” (Al-Mizân, jilid. 2, hlm. 415). Untuk mengetahui lebih jauh mengenai
pandangan-pandangan para mufassir Ahli Sunnah dalam masalah ini, rujuklah: Ibnu Katsir,
Tafsir al-Qurân al-‘Azhim, jilid. 3, hlm. 506; Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manâr, jilid. 2, hlm. 268-
297.
149
Qs. Al-Nisa (4): 34.
Tuhan yang bermakna seperti ini adalah, "Ar-rijalu qawwâmnuna ‘ala an-
nisa”,150yaitu lelaki merupakan pemimpin atas para perempuan,151 sementara itu
dalam kitab Aqrâbul Mawârid dikatakan, “Yang dimaksud dengan
kepemimpinan lelaki atas perempuan adalah ia (lelaki) menjaga perempuan dan
menangani urusan-urusannya.”152
Mayoritas para mufassir al-Quran membahas nukilan perspektif yang
setara dengan para ahli linguistik, dan menyimpulkan bahwa “qawwâm” dalam
ayat “Ar-rijalu qawwâmuna ‘ala an-nisa” bermakna sebagai pengayom,
pelindung dan penyelenggara. Di sini penulis akan mengisyaratkan dua kasus
sebagai contoh, pertama: “qawwâm merupakan nama untuk seseorang yang
melaksanakan sebuah pekerjaan dengan serius. Ketika dikatakan “ini pengayom
perempuan”, maka yang dimaksudkan di sini adalah seseorang yang menangani
pekerjaan perempuan dan memberikan perhatian terhadap penjagaannya”,153
kedua: “kata qayyim bermakna seseorang yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan persoalan pribadi selainnya, sedangkan kata qawwâm dan qiyâm
merupakan hiperbol dari makna ini.”154
Dengan memperhatikan posisi dan status perempuan dalam agama
Islam dan makna yang telah dijelaskan untuk kata qawwâm, maka dari ayat “Ar-
rijalu qawwâmuna ‘ala an-nisa” bisa diambil kesimpulan bahwa ayat ini berada
dalam posisinya menjelaskan kepemimpinan dan kepengayoman tunggal dan
teratur dalam keluarga dengan memperhatikan tanggung jawabnya, bukan dalam
posisinya mensyariatkan dan memperbolehkan adanya tirani, dominasi dan
pemerasan terhadap perempuan.155
Karena keluarga merupakan sebuah komunitas kecil masyarakat, maka
wajar apabila ia sebagaimana komunitas masyarakat besar, juga membutuhkan
150
Qs. Al-An’am (6): 132.
151
Lihat Ibnu Mandzur, Lisânul ‘Arab, jil.id 11, pada klausul “qaum”.
152
Lihat Said al-Khaqari, Aqrâbul Mawârid, pada klausul “qaum”
153
Fakhrur-razi, Tafsir Kabir, jilid. 10, hlm. 88.
154
Muhammad Husain Thabathabai, , Tafsir Al-Mizân, jilid. 4, hlm. 542.
155
Lihat Ayatullah al-Uzma Nasir Makarim Shirazi, Tafsir Namuneh, jilid. 3, hlm. 411-416.
seorang pemimpin dan pengayom tunggal. Dan karena di dalam diri para lelaki
terdapat karakteristik-karakteristik, seperti kekuatan rasional yang lebih dominan
dari kekuatan perasaan dan kasih sayangnya, keberadaan stamina yang tinggi
dan kekuatan jasmani yang lebih besar dalam menjaga kehormatan keluarga dan
adanya komitmen keuangan terhadap istri dan anak-anaknya dalam memenuhi
biaya hidup, maka tanggung jawab kepemimpinan ini diletakkan di atas pundak
kaum lelaki.
Tentunya tidak tertutup kemungkinan sejumlah perempuan juga
memiliki kelebihan dalam masalah-masalah di atas dari lelaki, akan tetapi
hukum tidak memandang pada persoalan-persoalan yang partikular, melainkan
memandang jenis dan universalitasnya, dan tidak ragu lagi secara universal
lelaki memiliki kesiapan yang lebih besar untuk mengayomi dan melindungi
keluarga.
Telah ditanyakan kepada Rasulullah mengenai kelebihan lelaki atas
perempuan, dan dalam menjawab pertanyaan ini beliau bersabda,
“Keutamaan lelaki atas perempuan sebagaimana keutamaan air
terhadap bumi di mana bumi hidup dengan air, kehidupan perempuan
akan ceria dan gembira dengan keberadaan lelaki. Kemudian
Rasulullah Saw membacakan ayat“Ar-rijalu qawwâmuna ‘ala an-
nisa.”156
156
Feidhi Kasyani,Tafsir Shâfi, jilid. 1, hal. 448.
157
Wasâil al-Syiah, jilid. 15, hlm. 251.
a. Pandangan yang mempercayai bahwa kepemimpinan lelaki atas perempuan
dalam lingkup dan batasan rumah dikarenakan peran yang terdapat dalam
gender lelaki, yaitu supaya kehidupan bisa dijalankan dan dikelola dengan
baik dan efisien. Maka perlulah setiap laki-laki dan perempuan menjalankan
dan memikul kewajibannya masing-masing sesuai dengan potensi yang
dimilikinya. Pada dasarnya dari sinilah kemudian lelaki memegang
kepemimpinan atas perempuan, demikian juga, peran pengayom dalam
keluarga dipegang oleh lelaki.158
Artinya, Tuhan menciptakan manusia dengan potensi, bakat dan kondisi yang
berbeda-beda, dan andai seluruh manusia diciptakan dalam tingkatan potensi
dan kekuatan yang sama, maka sistem keberadaan ini mengalami
ketidakharmonisan sejak semula. Karena aktivitas-aktivitas dunia sangat
variatif, dan keragaman ini tentu saja membutuhkan bakat-bakat dan potensi
yang beragam pula, dengan demikian perbedaan merupakan sebuah
keharusan. Perbedaan antara lelaki dan perempuan juga berasal dari titik poin
ini. Tentunya perbedaan ini tidak menjadi tolok ukur keutamaan dan
keunggulan bagi kelompok yang manapun. Ketika perempuan diperhadapkan
dengan lelaki dan lelaki diperhadapkan dengan perempuan sebagai dua
kelompok, maka di sini lelaki tidak akan pernah disebut sebagai qayyim dan
pengayom perempuan, dan perempuan juga tidak pernah berada di bawah
dominasi lelaki. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan perbedaan di sini
bukanlah sebuah perbedaan yang akan menjadi sumber kelebihan dan
keutamaan, dan apa yang menjadi titik poin kelebihan dan keutamaan di sini
juga tidak bersumber dari perbedaan. Jadi berdasarkan perspektif ini, berarti
ayat ke 34 surah al-Nisa berada dalam kedudukannya menjelaskan sebuah
kewajiban yang diletakkan di atas pundak kaum lelaki, bukan menjelaskan
tolok ukur dan parameter keunggulan maupun keutamaan.159
158
Nasir,Tafsir Namuneh, jilid. 3, hlm. 370-371.
159
Abdullah Jawadi Amuli, Jalâl wa Jamâl, hlm. 364-369.
b. Perspektif lain sehubungan dengan topik ini adalah kelompok lelaki memiliki
kepemimpinan atas kelompok perempuan, dan kepemimpinan ini bukan
hanya terbatas dalam ruang lingkup suami istri saja, melainkan sebuah hukum
yang telah dikeluarkan untuk kaum lelaki atas kaum perempuan, tentu saja
hukum pada dimensi umum, yaitu pada kasus-kasus dimana biasanya kaum
lelaki memiliki peran memimpin dan mengayomi kaum perempuan, seperti
dalam masalah pemerintahan dan peradilan di mana kehidupan masyarakat
bergantung pada mereka. Kepemimpinan pada kedua tanggungjawab ini
terletak pada kekuatan penalaran dan rasional di mana secara alami kekuatan
ini ditemukan lebih besar dan lebih kuat dalam diri lelaki daripada
perempuan.160 Tentu saja, menurut pandangan ini, kepemimpinan lelaki atas
perempuan bukanlah bermakna menegasikan kebebasan dan kemandirian
perempuan dalam mempertahankan hak-hak individu maupun sosial.
Pengertian utama dari semua uraian di atas, bahwa kepemimpinan kaum
lelaki merupakan sebuah bentuk dari bentuk-bentuk pengelolaan dan
manajemenisasi kehidupan suami istri beserta anak-anak dalam sebuah sistem
rumah tangga dimana lelaki menjadi manager bagi perempuan dan anak-
anaknya. Lelaki memiliki tanggung jawab materi atas keluarganya karena
adanya beberapa karakteristik-karakteristik yang lebih unggul dari perempuan
dan karena adanya kekuatan lelaki yang lebih besar dalam menghadapi berbagai
kondisi.
Dipercayakannya tugas dan tanggung jawab ini kepada lelaki bukanlah
karena alasan superioritas ataupun keutamaan lelaki atas perempuan dan hal ini
pun tidak akan menyebabkan keunggulan mereka dalam masalah ukhrawi,
karena dalam Islam, perjalanan kesempurnaan manusia sama sekali tidak
membedakan antara lelaki dan perempuan, melainkan perjalanan di atas lintasan
kesempurnaan dan sampainya pada maqam qurbatan ilallah ini hanya akan
Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir Al-Mizân, jilid 4, terkait ayat 34 surah al-Nisa, hlm.
160
343-347.
diterima dengan adanya penalaran, taqwa dan amal shaleh, dan satu-satunya
yang menjadi tolak ukur, parameter dan keutamaan di sisi-Nya hanyalah taqwa,
bukan gender dan jenis kelamin.
Oleh karena itu, dalam budaya al-Quran, kepemimpinan lelaki sedikit
pun tidak memberikan peluang bagi mereka untuk mendominasi, menindas,
mengekang dan menguasai perempuan. Dan sangkaan yang menyatakan bahwa
ayat di atas akan menyebabkan kaum lelaki mendominasi kaum perempuan,
mungkin dikarenakan ketiadaan penjelasan mengenai makna qawwâm dalam
analisa dan penelitian al-Qur’an. Karena sesungguhnya kepemimpinan yang
dimaksudkan adalah pengayoman dan penjagaan laki-laki (suami) atas seluruh
elemen dalam struktur keluarga.
b. Pendidikan Karakter
Kata karakter (Inggris: character) secara etimologis berasal dari bahasa
Yunani, yaitu charassein yang berarti “to engrave”. 161 Kata “to engrave” bisa
diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan. 162 Dalam
Kamus Bahasa Indonesia kata karakterdiartikan dengan tabiat, sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang
lain, dan watak. Karakter juga bisa berarti huruf, angka, ruang, simbul khusus
yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan ketik.163 Orang berkarakter
berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak.
Dengan makna seperti itu berarti karakter identik dengan akhlak.
Secara terminologis karakter adalah “A reliable inner disposition to
respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya Lickona
menambahkan, “Character so conceived has three interrelated parts: moral
161
Ryan Kevin and Bohlin Karen E., Building Character in Schools: Practical Ways to Bring
Moral Instruction to Life, (San Fransisco: Jossey-Bass, 1999), hlm. 5.
162
John Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm.
214.
163
Dedy Sugono, dkk, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2008), hlm.
682.
knowing, moral feeling, and moral behavior”.164 Menurut Lickona, karakter
mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan (moral
khowing), lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan (moral feeling),
dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan (moral behavior).
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan
akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal
yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan
Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan
lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan
adat istiadat. Dari konsep karakter ini muncul konsep pendidikan karakter
(character education). Ahmad Amin menjadikan kehendak (niat) sebagai awal
terjadinya akhlak (karakter) pada diri seseorang, jika kehendak itu diwujudkan
dalam bentuk pembiasaan sikap dan perilaku.165
Melalui buku-bukunya, Thomas Lickona menyadarkan dunia Barat
akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter menurut Lickona
mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good),
mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the
good).166 Frye mendefinisikan pendidikan karakter sebagai, “A national
movement creating schools that foster ethical, responsible, and caring young
people by modeling and teaching good character through an emphasis on
universal values that we all share”.167
Jadi, pendidikan karakter harus menjadi gerakan nasional yang
menjadikan unit keluarga sebagai agen untuk membangun karakter anggota
keluarga melalui pembelajaran dan pemodelan. Melalui pendidikan karakter,
pemimpin keluarga harus berpretensi untuk membawa anggotanya memiliki
164
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and
Responsibility(New York: Bantam Books, 1991), hlm. 51.
165
Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 62.
166
Lickona, Educating for Character,hlm. 51.
167
Northon Frye, The Educated Imagination (Toronto: House of Anansi Press, 2002), hlm. 2.
nilai-nilai karakter mulia seperti hormat dan peduli pada orang lain, tanggung
jawab, memiliki integritas, dan disiplin. Di sisi lain pendidikan karakter juga
harus mampu menjauhkan anggota keluarga dari sikap dan perilaku yang tercela
dan dilarang.
Mengkaji dan mendalami konsep akhlak bukanlah yang terpenting,
tetapi merupakan sarana yang dapat mengantarkan seseorang bersikap dan
berperilaku mulia seperti yang dipesankan oleh Nabi saw. Dengan pemahaman
yang jelas dan benar tentang konsep akhlak, seseorang akan memiliki pijakan
dan pedoman untuk mengarahkannya pada tingkah laku sehari-hari, sehingga
dapat dipahami apakah yang dilakukannya benar atau tidak, termasuk karakter
mulia (akhlaq mahmudah) atau karakter tercela (akhlaq madzmumah).
Dalam al-Qur’an ditemukan banyak sekali pokok-pokok keutamaan
karakter atau akhlak yang dapat digunakan untuk membedakan perilaku seorang
Muslim, seperti perintah berbuat kebaikan (ihsan) dan kebajikan (al-birr),
menepati janji (al-wafa), sabar, jujur, takut pada Allah Swt., bersedekah di jalan
Allah, berbuat adil, dan pemaaf (QS. al-Qashash [28]: 77; QS. al-Baqarah [2]:
177; QS. al-Muminun (23): 1–11; QS. al-Nur [24]: 37; QS. al-Furqan [25]: 35–
37; QS. al-Fath [48]: 39; dan QS. Ali ‘Imran [3]: 134). Ayat-ayat ini merupakan
ketentuan yang mewajibkan pada setiap Muslim melaksanakan nilai karakter
mulia dalam berbagai aktivitasnya.
Keharusan menjunjung tinggi karakter mulia (akhlaq karimah) lebih
dipertegas lagi oleh Nabi SAW dengan pernyataan yang menghubungkan akhlak
dengan kualitas keimanan. Hal ini sesuai dengan bimbingan dari Rasulullah,
beliau bersabda:
أَ ْك َم ُل ْال ُم ْؤ ِمنِ ْينَ إِ ْي َمانًا أَحْ َسنُهُ ْم ُخلُقًا َو ِخيَا ُر ُك ْم ِخيَا ُر ُك ْم لِنِ َسائِ ِه ْم ُخلُقًا
“Orang yang imannya paling sempurna diantara kaum mukminin
adalah orang yang paling bagus akhlaknya di antara mereka, dan
sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-
istrinya.” 168
168
HR At-Thirmidzi, No.1162, Ibnu Majah No.1987 (Maktabah Syamilah)
Dalil di atas menunjukkan bahwa karakter dalam perspektif Islam
bukan hanya hasil pemikiran dan tidak berarti lepas dari realitas hidup,
melainkan merupakan persoalan yang terkait dengan akal, ruh, hati, jiwa,
realitas, dan tujuan yang digariskan oleh Akhlaq Qur’aniah.169 Dengan demikian,
karakter mulia merupakan sistem perilaku yang diwajibkan dalam agama Islam
melalui nash al-Quran dan hadis.
Al-Qur’an sudah berabad-abad silam menyebutkan dan memberikan
contoh yang sempurna dalam bentuk pendidikan karakter keluarga. Dalam Al-
Quran ada satu surat bernama Surat Luqman, dijelaskan di dalamnya prioritas
yang harus diberikan untuk pendidikan anggota keluarga. Seperti diketahui,
Luqmanul Hakim, adalah seorang ahli hikmah zaman dahulu, yang telah berhasil
mendidik anak-anaknya sehingga Allah SWT melestarikan hal itu menjadi
contoh tauladan.
Dari sini juga terdapat nasehat Luqmanul Hakim yang tertera pada ayat
12-19 diantaranya: larangan mempersekutukan Allah, perintah beramal shaleh,
perintah mendirikan shalat, larangan bersikap sombong dan angkuh, perintah
untuk bersikap sederhana.
Mendasarkan pada nasihat Luqmanul Hakim, maka dapat disimpulkan
tentang apa yang mencakup beberapa pokok tuntutan agama, yaitu aqidah,
syariat dan akhlaq. Bahkan memberi tuntutan kepada siapa pun yang ingin
menelusuri jalan kebajikan.170
Pertama, aspek ‘Aqidah, yaitu yang menyangkut masalah keimanan
kepada Allah, ketika disebut iman kepada Allah, hal ini sudah tercakup iman
kepada malaikat, kitab-kitab-Nya, para Nabi, hari kiamat, qada dan qadar Allah.
Aspek Aqidah ini termaktub dalam QS. Luqman: ayat 12, 13, 16.
169
Ali Khalil Abu Ainain, Falsafah al-Tarbiyah fi al-Quran al-Karim, (T.tp.: Dar al-Fikr
al-‘Arabiy, 1985), hlm. 186.
170
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan Kesan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati,
2003), hlm. 140.
Kedua, aspek Syari’ah, yakni suatu sistem Ilahi yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan
hubungan manusia dengan alam, aspek syari’ah ini termaktub dalam ayat 14, 15,
dan 17.
Ketiga, aspek Akhlaq, secara etimologis, akhlaq adalah perbuatan yang
mempunyai sangkut paut dengan khaliq, aspek ini termaktub dalam ayat 14, 15,
18, dan 19.171
171
Nurwadjah, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Bandung: Marja, 2007), hlm. 170.
Munculnya istilah pergaulan bebas adalah seiring dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi dalam peradaban umat
manusia, manusia patut bersyukur dan bangga terhadap hasil cipta karya
manusia, karena dapat membawa perubahan yang positif bagi
perkembangan/kemajuan industri masyarakat.
Tetapi perlu disadari bahwa tidak selamanya perkembangan membawa
kepada kemajuan, mungkin bisa saja kemajuan itu dapat membawa kepada
kemunduran. Dalam hal ini adalah dampak negatif yang diakibatkan oleh
perkembangan IPTEK, salah satunya adalah budaya pergaulan bebas tanpa
batas.
Dilihat dari segi katanya dapat ditafsirkan dan dimengerti apa maksud
dari istilah pergaulan bebas. Dari segi bahasa pergaulan artinya proses bergaul,
sedangkan bebas artinya terlepas dari ikatan. Jadi pergaulan bebas artinya proses
interaksi sosial dengan orang/kelompok lain terlepas dari ikatan yang mengatur
pergaulan.
Islam telah mengatur bagaimana cara bergaul dengan lawan jenis. Hal
ini telah tercantum dalam surat An-Nur ayat 30-31. Telah dijelaskan bahwa
hendaknya Muslim menjaga pandangan mata dalam bergaul. Lalu bagaimana
dengan yang terjadi dalam pergaulan bebas. Tentunya banyak hal yang bertolak
belakang dengan aturan-aturan yang telah Allah tetapkan dalam etika pergaulan
(interaksi sosial). Karena pergaulan bebas itu tidak dapat menjamin harga diri
seseorang.
1) Landasan Perlunya Interaksi Sosial
Tidak ada makhluk yang sama seratus persen di dunia ini. Semuanya
diciptakan Allah berbeda-beda. Meskipun ada persamaan, tetapi tetap semuanya
berbeda. Begitu halnya dengan manusia. Lima milyar lebih manusia di dunia ini
memiliki ciri, sifat, karakter, dan bentuk khas. Karena perbedaan itulah, maka
sangat wajar ketika nantinya dalam berinteraksi sesama manusia akan terjadi
banyak perbedaan sifat, karakter, maupun tingkah laku. Allah mencipatakan kita
dengan segala perbedaannya sebagai wujud keagungan dan Kekuasaan-Nya.
Pada ayat ini, selain himbauan dan perintah sebagaimana atas laki-laki
pada ayat sebelumnya, bagi para wanita mereka diperintahkan untuk tidak
berlaku ekhibisionis. Kenyataan sosiologinya, perilaku ekhibisionis dari wanita
tidak jarang menjadikan stabilitas moral etika sosial menjadi tereduksi secara
sistemik.
b) Etika Objektifikasi Indrawi
Terdapat beberapa ayat dan hadist yang melarang orang
mukmin/mukminah untuk mengobjektifikasikan fisiknya kepada orang lain.
pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$#$
úüÏRôã £`Íkön=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4 y7Ï9ºs #oT÷r& br& z`øùt÷èã xsù
§tûøïs÷sã 3 c%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJÏm
Pada suatu hadist juga terdapat larangan akan perilaku seksual yang
dilakukan oleh sesama jenis, walaupun itu dalam batasan tertentu.
“Dari Abu Sa’id Radiallahuanhu, bahwasanya Rasulullah Salallahu
Alaihi Wa Salam bersabda : seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat
sesama laki-laki, begitu pula seorang perempuan tidak boleh melihat
aurat perempuan. Seorang laki-laki tidak boleh bersentuhan kulit
sesama lelaki dalam satu selimut, begitu pula seorang perempuan tidak
boleh bersentuhan kulit dengan sesama perempuan dalam satu
selimut.”(HR.Muslim).174
c) Etika Komunikasi
Bagi wanita diperintahkan untuk tidak berlembut-lembut suara di
hadapan laki-laki yang bukan mahram. Hal ini mungkin akan berdampak bagi
relasi sosial yang tidak stabil diantara elemen masyarakat berupa keluarga.
uä!$|¡ÏY»t ÄcÓÉ<¨Z9$# ¨ûäøó¡s9 7tnr'2 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4 ÈbÎ) ¨ûäøøs)¨?$# xsù
z`÷èÒørB ÉAöqs)ø9$$Î/ yìyJôÜusù Ï%©!$# Îû ¾ÏmÎ7ù=s% ÖÚttB z`ù=è%ur Zwöqs%
$]ùrã÷è¨B ÇÌËÈ
d) Etika Interaksi
Dilarang berdua-duaan antara pria dan wanita di tempat yang sepi.
Karena secara sosiologis, hal itu akan memunculkan “persepsi” sosial.
Keterangan itu direferensikan dari Hadist:
Dari Ibn Abbas, Ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW
berkhutbah: Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang
174
Mausu’ah Syamilah, Syarh Riyadus Shalihin, Hadist No.1627.
perempuan kecuali bersama mereka ada mahramnya. Dan jangan pula
musafir seorang perempuan kecuali disertai mahramnya. Seorang
sahabat berdiri lalu berkata: Ya Rasulullah, istri saya keluar untuk
melaksanakan haji, sementara saya telah mendaftarkan diri untuk
berperang. Nabi bersabda: Berangkatlah bersama istrimu untuk
melaksanakan haji.175
e) Etika Seksual
Islam menganjurkan menikah dalam usia muda bagi yang mampu dan
puasa bagi yang tidak mampu.
“Wahai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu yang mampu
nikah, maka nikahlah, sesungguhnya nikah itu bagimu dapat
menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, naka jika kamu
belum sanggup berpuasalah, sesunggunya puasa itu sebagai
perisai”(HR.Muttafaaqun Alaihi).176
175
Ibnu Hajar al-Ashqalani, Bulughul Maram : min Adillati al-Ahkam, (Riyadh: Dar ‘Alim al-
Kutub, 1996), hlm. 151.
176
Ibnu Daqiq al-‘Abd, Ihkamul Ahkam, juz II (Beirut: Darul Jil, 1995), hlm. 552
BAGIAN III
177
Umar M. Dja’far, Indahnya Keluarga Sakinah, (Jakarta: Zakia Press, 2004), hlm. 7.
Perintah menikah sebagai basis pembentukan keluarga tersebut sangat
ditekankan dalam Al-Qur’an, bahkan karena pernikahan sebagai sesuatu yang
penting dalam menjaga stabilitas keimanan seorang yang beriman (Muslim)
maka pernikahan bagi mereka yang tidak mampu pun tetap dianjurkan dengan
mempetimbangkan kepatutan. Sebagaimana ayat berikut ini yang menganjurkan
menikah bagi lelaki yang tidak mampu dengan budak namun yang beriman.
tBur öN©9 ôìÏÜtGó¡o öNä3ZÏB »wöqsÛ br& yxÅ6Zt ÏM»oY|ÁósßJø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$#`
`ÏJsù $¨B ôMs3n=tB Nä3ãZ»yJ÷r& `ÏiB ãNä3ÏG»utGsù ÏM»oYÏB÷sßJø9$# 4 ª!$#ur
ãNn=ôãr& Nä3ÏZ»yJÎ*Î/ 4 Nä3àÒ÷èt/ .`ÏiB <Ù÷èt/ 4 £`èdqßsÅ3R$$sù ÈbøÎ*Î/
£`ÎgÎ=÷dr& Æèdqè?#uäur £`èduqã_é& Å$rá÷èyJø9$$Î/ BM»oY|ÁøtèC uöxî ;M»ysÏÿ»|
¡ãB wur ÅVºxÏGãB 5b#y÷{r& 4 !#sÎ*sù £`ÅÁômé& ÷bÎ*sù ú÷üs?r& 7pt±Ås»xÿÎ/
£`Íkön=yèsù ß#óÁÏR $tB n?tã ÏM»oY|ÁósßJø9$# ÆÏB É>#xyèø9$# 4 y7Ï9ºs ô`yJÏ9 }
§Ï±yz |MuZyèø9$# öNä3ZÏB 4 br&ur (#rçÉ9óÁs? ×öyz öNä3©9 3 ª!$#ur Öqàÿxî ÒOÏm
Perkawinan yang dilandasi oleh cinta kasih dan tanggung jawab, akan
menjadi fondasi yang kokoh bagi sebuah keluarga hingga dapat melindungi
anak-anak dari perilaku seks bebas, narkoba, dan kesenangan-kesenangan
duniawi yang bersifat sementara namun berakibat bisa berakibat panjang, 178
seperti HIV/AIDS.
Kedua ayat di atas ditegaskan oleh Hadis yang menyerukan secara
spesifik tentang menikah bagi para pemuda.
“Wahai para pemuda! Barang siapa di antara kalian mampu menikah,
menikahlah! Sebab hal itu lebih menenangkan pandangan serta
menjaga kemaluan mereka sementara bagi yang belum mampu
menikah, hendaknya ia berpuasa, sebab hal ini bisa menjadi tameng
(benteng) mereka.” (HR. Al-Bukhari-Muslim).179
179
Ibnu Hajar al-‘Asqalany, Fathul Bari; Syarhul Bukhary (Beirut: Dar ad-Diyan lit-Turats,
1986), Hadist No. 4778,hlm. 231.
Pencegahan tersebut disebut Abstinence, yaitu tidak melakukan
hubungan seks sebelum menikah. Apabila menginginkan hubungan seks, maka
menikah adalah syarat mutlak untuk bisa membentengi diri dari penyebaran
virus HIV. Abstinance harus diketengahkan secara informatif didalam unit-unit
keluarga, sehingga upaya education pun menjadi suatu keharusan yang harus
diinternalisasikan di dalam keluarga, khususnya education tentang pernikahan,
keluarga dan HIV/AIDS. Basis teologisnya berupa ayat dalam Al-Qur’an, yaitu:
wur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra’:
32).
180
Siswanto, Psikologi Pengasuhan Anak (Malang: UIN-Malang Press, 2007), hlm. 19.
seorang pemimpin sudah semestinya mempunyai pengetahuan tentang fungsi
keluarga sebagai fungsi agama, kesehatan, dan lingkungan.
Sistem kepemimpinan dalam keluarga seringkali diidentikan oleh
kepemimpinan lelaki atas perempuan sebagaimana yang termaktub dalam surah
al-Nisa (4) ayat 34, “Kaum laki-laki itu memimpin kaum perempuan”.
Ayat tersebut bukanlah bermakna dominasi, pemaksaan atau pemerasan
lelaki terhadap perempuan, melainkan sebagaimana yang dikatakan oleh para
ahli linguistik dan juga kebanyakan para penafsir bahwa kata “qawwâm” di sini
bermakna pengayom, penyelenggara dan penjaga. Karena keluarga merupakan
sebuah institusi kecil masyarakat, wajar apabila ia juga menuntut kehadiran
seorang pemimpin dan pengayom tunggal sebagaimana halnya masyarakat besar.
Apabila pada kasus HIV/AIDS yang berupa penularan dari suami ke
istri (termasuk kasus terbanyak dalam HIV/AIDS), artinya suami tersebut dalam
konteks kempemimpinan tidak menjalankannya dengan baik dan semestinya.
Karena sesungguhnya kepemimpinan itu berupa pengayoman dan perlindungan
kepada seluruh elemen anggotannya. Seharusnya seorang suami (ODHA) tidak
egois dalam berhubungan seks, yaitu dengan cara menggunakan condom atau
mungkin abstinance (berpuasa dari tidak melakukan hubungan seks).
Dalam Al-Qur’an, ditegaskan bahwa perintah untuk melindungi istri
berupa dengan mengibaratkan mereka sebagai ladang.
öNä.ät!$|¡ÎS Ó^öym öNä3©9 (#qè?ù'sù öNä3rOöym 4¯Tr& ÷Läê÷¥Ï© ( (#qãBÏds%ur
ö/ä3Å¡àÿRL{ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur Nà6¯Rr& çnqà)»n=B 3 ÌÏe±o0ur
úüÏZÏB÷sßJø9$#
“Istri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam,
Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja
kamu kehendaki.dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”
(Al-Baqarah ayat: 223).
Ayat ini dipahami secara tidak bertanggung jawab sebagai kebolehan
suami mengeksploitasi secara seksual pada istri, termasuk di dalamnya
menggauli istri dengan tanpa condom sementara sang suami adalah ODHA. Hal
ini bertentangan perintah Allah untuk memperlakukan istri dalam hubungan
seksual. Pengibaratan istri sebagai ladang adalah perintah kepada para suami
untuk menjaga kesehatan istri agar tetap sehat lahir batin sehingga bisa
melahirkan anak-anak yang berkualitas sebagaimana mereka menjaga ladang
mereka agar subur dan siap menumbuhkan biji-biji menjadi tanaman yang segar.
Pesan yang tersirat adalah larangan bercocok tanam di ladang lain atau
berhubungan seksual (zina) yang bisa merusak dirimu, ladangmu dan
tanamanmu (Abstinance and be faithfull). Hal ini juga dinyatakan dengan tegas
oleh Al-Qur’an:
tûïÏ%©!$#ur ö/ãf öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇËÒÈ wÎ) #n?tã óOÎgÅ_ºurør& ÷rr& $tB
ôMs3n=tB öNåkß]»yJ÷r& öNåk¨XÎ*sù çöxî tûüÏBqè=tB
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap “
istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barang siapa
mencari yang di balik itu, maka mereka itulah yang melampaui batas.”
(Al-Ma’arij: 29-30)
Dalam konteks HIV/AIDS peran seorang ayah dan ibu menjadi hal
yang sangat vital terhadap pendidikan anak-anaknya. Al-Qur’an memberikan
penekanan terhadap fungsi keluarga dengan sistem kepemimpinan yang ideal.
sebagaimana fungsinya diantaranya sebagai fungsi kesehatan, agama, dan sosial
budaya. Melalui kepemimpinan ini pula, fungsi sosialisasi keluarga atas norma-
norma positif akan efektif diwujudkan.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan dan Kesan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentera
181
182
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, “Bab Hak Badan dalam Puasa”, Hadist No.1874 (Mausu’ah
Hadist Kutub at-Tis’ah), hlm. 687.
183
Ibnu Rajab al-Hanbali, Jami’ al-Ulum wal Hikam (Kairo: Muassasah ar-Risalah, 2001), Hadist
No.32, hlm. 207.
“Dari Umi Salamah RA. Berkata: Rasulullah SAW melarang setiap zat
yang memabukkan dan menenangkan.” (HR. Abu Dawud).184
184
Muhammad Syamsul Haq al-‘Adhimi, ‘Aun al-Ma’bud; Syarh Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar
al-Fikr, 1995), Hadist No. 3686, Kitabul ‘Asyribah, hlm. 121.
185
Nurwadjah, Tafsir Ayat-AyatPendidikan (Bandung: Marja, 2007), hlm. 170
bakteri, jamur, dan beranekaragam penyakit yang kemungkinan akan
menimpanya. HIV/AIDS merupakan bagian dari pengertian itu.
tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇÎÈ wÎ) #n?tã öNÎgÅ_ºurør& ÷rr& $tB
ôMs3n=tB öNåkß]»yJ÷r& öNåk¨XÎ*sù çöxî úüÏBqè=tB ÇÏÈ
2. Ta’awun
Setelah mengenal dan memahami, akan menjadi lebih sempurna jika
ditambahkan sikap ta’awun (saling menolong). Karena inilah sesungguhnya
yang akan menumbuhkan rasa cinta pada diri seseorang kepada kita. Bahkan
Islam sangat menganjurkan kepada ummatnya untuk saling menolong dalam
kebaikan dan takwa. Secara sosiologis, sebuah keluarga harus menjadi bagian
problem solver bagi problem internal anggotanya dan keluarga lainnya yang
merupakan unsur masyarakat. Dalam adat istiadat yang merupakan budaya
adiluhung kita disebut dengan gotong royong.
Terdapat satu ayat dalam Al-Qur’an yang menjadi dasar keharusan bagi
setiap manusia, dalam konteks sosiologinya, untuk melakukan tindakan saling
tolong menolong. Tolong menolong yang dianjurkannya pun dalam koridor
“kebaikan” yang berdampak bagi sosial kemasyarakatan.
G9$#ur ( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$#)qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø#(
Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$#
3. Tawashi
Paradigma relasi sosial yang selanjutnya, setelah terjadi saling
mengenal, memahami dan terjalin ikatan kerjasama, dalam melakukan upaya
pencegahan HIV/AIDS, maka ada yang mendasar yang harus dijadikan
Farid Esack, Islam, Muslim and AIDS: Between Scorn, Pity, and Justice, (South Africa:
186
Wasiat kebaikan bisa berupa ajakan kebaikan untuk terus melindungi diri
dan keluarga dari perbuatan yang mungkar, juga ajakan untuk melindungi
saudara atau manusia yang terinfeksi HIV dari berbagai perlakuan diskriminatif.
Wasiat ini jika dibangun dalam proses pendidikan keluarga akan menguatkan
imunitas dan membentuk ketahanan keluarga yang baik sebagai tameng dari
berbagai penyakit salah satunya adalah penyakit HIV AIDS.
4. Tarahum
Makna dari tarahum adalah saling mengasihi dalam konteks
kemanusiaan. Paradigma interaksi sosial yang keempat ini adalah pondasi utama
dalam setiap bentuk interaksi sosial. Setelah tejadi upaya saling mengenal,
memahami, kerjasama, saling melakukan kontrol sosial, dalam mencegah
HIV/AIDS, maka kesemuanya itu harus didasari oleh ruh saling mengasihi.
Karena setiap hubungan antar individu dalam keluarga maupun masyarakat yang
didasarkan atas kasih sayang, akan mengindahkan kondisi dan menuai solusi
atas permasalahan yang diderita, dalam hal ini ODHA.
Tarahum ini merupakan prinsip dasar dari syariat Islam, sebagaimana
Allah menegaskan diutusnya seorang Rasullah dengan Syari’at tidak lain adalah
untuk merahmati alam semesta ini, yang di dalamnya terkandung manusia
dengan berbagai struktur sosialnya. Tarahum ini pada konteks ODHA dan
HIV/AIDS harus dijadikan paradigma untuk berinteraksi dengan ODHA secara
penuh kasih sayang, tanpa mendeskriditkan dan menstigmakan mereka. Karena
dijumpai juga kasus penularan HIV/AIDS oleh ODHA karena mereka merasa
terhukum oleh stigma sosial yang menurutnya tidak adil, sehingga mereka
mencoba menularkan HIV/AIDS kepada individu-individu lain sebagai bentuk
pelampiasan kemarahannya.
Sebagaimana dalam model pemahaman Farid Esack mengenai
Theology of Compassion (Teologi kasih sayang) yang merekomendasikan bagi
setiap Muslim untuk memahami dulu semua aspek tentang HIV/AIDS sebelum
bereaksi dan mengemukaan respon terhadapnya, sehingga Islam tidak salah
dalam merespon atau tidak bersikap adil karena hanya bisa menghakimi
semata.187
Mengutip pernyataan Esack tentang sikap kasih sayang sebagai salah
satu solusi dari permasalahan HIV/AIDS, beliau berkata :
“…. Permasalahannya juga tidak hanya terkait tentang bagaimana
kita melihat orang yang positif HIV sebagai “orang lain” yang
187
Lihat “Positive Muslims Mission Statement” dalam HIV, AIDS, and Islam : Reflection Based
on Compassion, Responsibility and Justice, South Africa: Positive Muslims, 2004), hlm 4.
patut dikasihani, tetapi kita juga perlu melihat orang yang positif
HIV (ODHA) sebagai bagian dari kita. Sikap kasih sayang
(compassion) itu secara harfiah harus kita terjemahkan sebagai
satu perasaan jika salah satu bagian tubuh kita sakit, maka semua
tubuh kita juga ikut merasakan deritanya. Kesadaran seperti ini
harus terus dipupuk sebagaimana pemenuhan kita akan hak-hak
orang yang terinfeksi itu….”
Hazrat Inayat Khan. Kesatuan Ideal Agama-Agama. Terj. Yulian Aris Fauzi. (Yogyakarta:
188
Pada ayat di atas, selain himbauan dan perintah sebagaimana atas laki-
laki pada ayat sebelumnya, bagi para wanita mereka juga diperintahkan untuk
tidak berlaku ekhibisionis. Mengumbar organ seksualnya kepada orang-orang
yang tidak diperkenankan. Kenyataan sosiologinya, perilaku ekhibisionis dari
wanita tidak jarang menjadikan stabilitas moral etika sosial menjadi tereduksi
secara sistemik. Contoh konkritnya adalah patologi sosial yang disebabkan oleh
pornografi.
Apabila probem laki-laki adalah mengobjektifikasikan perempuan
secara seksual, maka problem perempuan adalah mengobjektifikasikan dirinya
sendiri dalam seksualitas. Hal ini merupakan faktor yang melatarbelakangi
patologi sosial seperti terjadinya hubungan seksual di luar koridor syari’at, yang
selanjutnya berdampak pada penyebaran HIV/AIDS.
Selain yang tersebutkan pada paragraf sebelumnya, terdapat ayat lain
yang melarang orang mukmin/mukminah untuk mengobjektifikasikan fisiknya
kepada orang lain.
pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$#$
úüÏRôã £̀Íkön=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4 y7Ï9ºs #oT÷r& br& z`øùt÷èã xsù
tûøïs÷sã 3 c%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÎÒÈ
Ibnu Abdur Rahim al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi, Juz VIII
190
(Beirut: Darul Kutub al-‘Alamiyyah, t.th), Hadist No. 2793, hlm. 135.
pencegahan HIV/AIDS seharusnya juga bisa memasukkan strategi-strategi baru
yang bermula dari pandangan Islam sebagai suatu jalan dan falsafah kehidupan.
191
192
Ali, Kecia, and Oliver Leaman. Islam the Key Concepts. (London and Newyork Roudledge
Francise Library, 2008), hlm 119
Begitu pula, Al-Qur’an memerintahkan pergaulan suami istri dilakukan
secara ma’ruf, yaitu:
èdrçÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £̀èdqßJçF÷dÌx. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s?`£
$\«øx© @yèøgsur ª!$# ÏmÏù #Zöyz #ZÏW2
Musdah Mulia. Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi. (Yogyakarta:
193
Ibnu Hajar al-Ashqalani, Bulughul Maram: Min Adillati al-Ahkam, (Riyadh: Dar ‘Alim al-
194
DAFTAR PUSTAKA
195
M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm.92.
196
Farid Hasan dan Siti Robikah, Model Pembacaan Kontekstual Nasr Hamid Abu Zayd
Terhadap Teks Suci Keagamaan (al-Qur’an), Jurnal Citra Ilmu STAINU Temanggung, Edisi 13,
Vol XVI, April 2020, hlm. 20
Amirul, Abu. 2013. Terapi Hati. Salangor: Grup Buku Karangkraf.
Aqil, Ali Akbar bin dan M. Abdullah Charis. 2016. Lima Amalan Penyuci Hati.
Jakarta: Qultum Media.
Assegaf, Mohammad Ali Toha. 2013. Sehat Ala Nabi. Jakarta: Noura Books.
Dora, Mohd Toib dan Hamdan Abd Kadir. 2006. Mengurus Stres. Salangor: PTS.
Professonal.
Ghaffar, Karim Abdul. 2011. Seni Bergembira: Cara Nabi Meredam Gelisah
Hati. Jakarta: Serambi.
Hasan, Farid. Siti Robikah. “Model Pembacaan Kontekstual Nasr Hamid Abu
Zayd Terhadap Teks Suci Keagamaan (al-Qur’an)”, Jurnal Citra
Ilmu STAINU Temanggung, Edisi 13, Vol XVI, April 2020.
Maksum, M. Syukron dan Fathoni El- Kaysi. 2009. Rahasia Sehat Berkah
Shalawat: Terapi Ampuh Mencegah dan Menyembuhkan Penyakit.
Yogyakarta: Best Publiser.
Mulia, Musdah. 2010. Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi.
Yogyakarta: Naufan Pustaka.
Oliver Leaman. Ali, and Kecia. 2008. Islam the Key Concepts. London and
Newyork Roudledge Francise Library.
Semiun, Yustinus OFM. 2006. Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalis Freud.
Yogyakarta: Kanisius.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting: Khasiat,
Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
Wirakusuma, Emma Pandi. 2010. Sehat Cara Al-Qur’an dan Hadist Jakarta:
Hikmah.
INDEX
A 39, 40, 41, 42, 43, 44, 88, 90, 94, 95, 97,
98, 99, 100, 102, 105, 106, 107, 108,
Agama, 1, 17, 39, 65, 66, 67, 114, 129
109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116,
AIDS, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13,
117, 119, 120, 122, 123, 124
14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24,
25, 26, 27, 28, 29, 30, 32, 33, 34, 36, 38,
Allah, 3, 4, 18, 26, 27, 29, 30, 32, 35, 36, M
37, 38, 60, 61, 66, 67, 68, 69, 70, 75, 82,
Manusia, 8, 10, 53, 123, 126
83, 84, 85, 86, 87, 90, 91, 92, 96, 98,
Medis, 2, 13
101, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109,
113, 115, 117, 118, 119, 120, 121, 122 O
Al-Qur’an, 3, 18, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32,
33, 37, 38, 59, 60, 63, 65, 66, 70, 72, 75, ODHA, 21, 22, 23, 24, 33, 39, 41, 43, 88,
83, 86, 89, 90, 95, 98, 100, 101, 103, 90, 100, 101, 106, 107, 108, 109, 110,
105, 108, 110, 112, 115, 119, 120, 122, 112, 113, 114
126, 129
Ayat, 19, 27, 46, 47, 60, 66, 67, 72, 82, 84, P
96, 100, 101, 103, 107, 123, 129 Pencegahan, 2, 14, 15, 19, 20, 21, 24, 26,
27, 43, 94, 95, 98, 99, 102, 108, 115
E Pendidikan, 2, 24, 38, 46, 57, 65, 80, 81,
Education, 26, 28, 36, 44, 94 84, 102, 103
Etika, 2, 81, 90, 92, 93, 115, 118, 120, 123 Penyebaran, 13
evaluasi, 129 Pernikahan, 63, 95, 118
H S
Heteroseksual, 19, 116 Sosial, 2, 13, 24, 44, 46, 50, 53, 84, 86, 90,
HIV, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 108, 115
14, 15, 16, 17, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25,
26, 27, 28, 29, 30, 32, 33, 34, 36, 38, 39,
40, 41, 42, 43, 90, 94, 95, 97, 98, 99,
100, 102, 105, 106, 107, 108, 109, 110,
112, 113, 114, 115, 116, 117, 119, 120,
122, 123, 124
Homoseksual, 19, 116
I
Imunitas, 3, 95
Islam, 1, 4, 18, 21, 26, 27, 29, 31, 33, 35,
36, 39, 40, 41, 45, 59, 60, 61, 63, 64, 65,
70, 72, 73, 74, 76, 80, 83, 85, 88, 90, 93,
95, 103, 106, 107, 109, 111, 113, 114,
118, 120, 121, 123, 125, 126, 129
K
Karakter, 2, 80, 102
Keluarga, 2, 37, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 52,
53, 54, 56, 57, 59, 60, 63, 65, 66, 70, 71,
84, 94, 95, 99, 102, 108, 115, 124
Kesehatan, 5, 12, 14, 15, 19, 21, 23, 24, 44,
50
TENTANG PENULIS
Farid Hasan, lahir pada tanggal 30 Oktober 1985, di Semarang. Sekarang tinggal
di Salatiga. Menempuh pendidikan di SD Mangunsari 03, MTs Al-Mukmin, dan
MA Keagamaan Negeri (MAKN) MAN 1 Yogyakarta, melanjutkan studi S1 di
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta mengambil Jurusan
Tafsir Hadis, dan Studi S2 Program Studi Agama dan Filsafat Konsentrasi Studi
al-Qur’an dan Hadis Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Publikasi Jurnal ilmiah: Telaah Kritis Atas Pemikiran Zakaria
Ouzon, Kisah Nabi Yusuf dalam Perspektif Bible dan al-Qur’an. Model
Pembacaan Kontekstual Nasr Hamid Abu Zayd Terhadap Teks Suci Keagamaan
(Al-Qur’an), Mistikisme dan Alquran: Makna Simbolik Penyembuhan
Kesurupan pada Kesenian Kubrosiswo Bintang Mudo. Buku: Makna Ayat-Ayat
al-Quran dalam Fenomena Penyembuhan Kesurupan ( Studi Living Qur’an pada
Kesenian Kubrosiswo Bintang Mudo di Pringsurat Temanggung), Membaca
Tafsir al Misbah dari Ragam Tema (Pandangan Anak Muda Terhadap Pemikiran
M.Quraish Shihab). Saat ini menjadi Dosen di Program Studi Ilmu al-Quran dan
Tafsir Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora IAIN Salatiga.