Kelompok 7
Penyusun
i
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk sosial yang artinya makhluk yang tidak mampu
hidup sendiri atau selalu membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Dalam
norma, kelompok sosial, lapisan masyarakat, proses sosial, perubahan sosial dan
kebudayaan. Tidak semua gejala sosial tersebut berjalan secara normal, kadang-
kadang-kadang timbul gejala sosial yang tidak dikehendaki yang kemudian sering
immoral, berlawanan dengan hukum serta bersifat merusak. Sebab itu masalah-
ukuran masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap
bersangkut paut dengan hubungan antar manusia dan di dalam kerangka bagian-
bagian kebudayaan yang normatif. Hal ini dinamakan masalah sosial karena
dalam masyarakat.
lingkungan hidup. Masalah sosial-masalah sosial yang sedang marak terjadi saat
ini adalah pergaulan bebas remaja dan pelacuran yang berujung pada terinfeksinya
1
2
penyakit tersebut dapat dicegah. Hal inilah yang mendasari penulis dalam
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui isu-isu HIV/AIDS terkini
2. Untuk mengetahui isu-isu seks remaja terkini
3. Untuk mengetahui isu-isu kanker serviks terkini
BAB II
PEMBAHASAN
3
4
Stigma terhadap ODHA telah melekat sejak pertama kali virus ini ditemukan
dan menyebar luas. Penyakit ini sering dikaitkan dengan penggunaan obat-obatan
terlarang, perilaku seks bebas, serta hubungan seksual sesama jenis
(homoseksual). Karena kaitan tersebut, ODHA pun mendapat cap yang negatif
dalam masyarakat.
Padahal, HIV/AIDS bisa ditularkan pada siapa saja. Termasuk orang yang
tidak pernah menggunakan narkoba, tidak pernah menggunakan jasa pekerja seks
komersial (PSK), dan tidak pernah berhubungan seks sesama jenis. Meski
demikian, alasan-alasan di bawah ini membuat stigma terhadap ODHA masih sulit
diberantas dan diluruskan.
1. Kurangnya pengetahuan dan kesalahan informasi tentang HIV/AIDS
Di kalangan masyarakat, masih banyak yang beranggapan bahwa
ODHA identik dengan seseorang yang sering menggunakan obat terlarang,
berhubungan seks dengan pekerja seks komersial, dan lain sebagainya.
Selain itu, masih ada masyarakat yang beranggapan bahwa HIV bisa
ditularkan hanya dengan kontak fisik atau berdekatan dengan ODHA.
Pemberian informasi tentang HIV/AIDS yang benar di kalangan
masyarakat bisa membantu upaya pemerintah dalam mengurangi stigma
dan diskriminasi pada ODHA.
2. Takut bersentuhan dengan ODHA
Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS dan
kesalahan informasi tentang HIV/AIDS akan berdampak pada munculnya
ketakutan masyarakat untuk melakukan kontak fisik dengan ODHA. Mulai
dari berjabat tangan, duduk berdekatan, makan bersama, dan lainnya.
Padahal, HIV hanya bisa ditularkan melalui hubungan seksual yang
berisiko, penggunaan jarum suntik yang terkontaminasi virus HIV, dan
melalui ibu yang positif HIV ke bayi yang dilahirkannya.
Bersentuhan kulit, berjabat tangan, berpelukan, atau makan
bersama seorang ODHA tidak akan menularkan penyakit ini. Berada di
dekat ODHA juga tidak akan membuat Anda tertular karena virus ini tak
bisa berpindah lewat udara.
6
Stigma pada ODHA tidak hanya berakibat buruk pada ODHA, tapi juga
pada upaya pemerintah dalam menanggulangi HIV/AIDS di Indonesia. Ini dia
beberapa dampak negatif pemberian stigma terhadap ODHA.
a. Melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)
Perlakuan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA melanggar hak-hak dasar
ODHA. Di antaranya adalah hak untuk hidup, mendapatkan perawatan,
memiliki pekerjaan, dan lain-lain. Tidak ada seorang pun yang berhak
merenggut hak-hak mendasar ini dari hidup ODHA.
b. Menutup kesempatan bagi ODHA untuk mengembangkan diri
Stigma bisa membuat ODHA kehilangan pekerjaan, pasangan, dan keluarga.
Banyak juga anak-anak dengan HIV/AIDS yang terpaksa putus sekolah
karena mendapatkan perlakuan yang tidak adil di sekolah.
Padahal, seperti orang-orang pada umumnya, ODHA bisa memberikan
kontribusi bagi lingkungan di sekitarnya. Baik itu untuk keluarganya,
lingkungan kerjanya, bahkan masyarakat secara umum.
c. Membuat ODHA mengasingkan diri
Diskriminasi terhadap ODHA bisa membuat mereka menutupi identitasnya,
menarik diri, atau mengasingkan diri dari masyarakat. Hal tersebut dapat
berakibat buruk terhadap kesehatan ODHA. Mereka bisa jadi malu untuk
7
berjumlah 7.747 yang terdiri atas 5.290 HIV dan 2.457 AIDS. Jumlah ini
menempatkan Sumbar pada peringkat 8 secara nasional dalam jumlah kasus
kumulatif HIV/AIDS.
Perlu dipertegas bahwa yang meningkat bukan penderita AIDS, tapi
jumlah kasus HIV/AIDS yang baru terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga dan bayi
yang mereka lahirkan. Suami ibu-ibu rumah tangga itu tertular HIV: (1) melalui
hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan
perempuan yang berganti-ganti di Sumbar dan di luar Sumbar, (2) melalui
hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering
berganti-ganti pasangan seperti pekerja seks komersial (PSK) di Sumbar dan di
luar Sumbar.
Ada dua tipe atau kriteria PSK, yaitu: (a) PSK langsung yaitu PSK yang
kasat mata, seperti PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dan tempat
lain. (b) PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek
pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon plus-plus,
cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG, ‘cewek
kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.
Berdasarkan pemetaan perilaku berisiko di Sumbar di Padang ada 861
LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki), 133 waria, dan 389 PSK yang tersebar di 203
hotspot (tempat-tempat yang dijadikan ajang transaksi seks). Di Kota Bukittiggi
ada 432 LSL di 51 hotspot, dan di Kota Solok 522 LSL di 19 hotspot. Sayang,
dalam berita tidak dijelaskan kriteria 389 PSK itu, apakah mereka PSK langsung
atau PSK tidak langsung. Kalau mereka PSK tidak langsung itu artinya ada
persoalan besar yang menjadi faktor utama pendorong penyebaran HIV/AIDS di
tiga kota itu khususnya dan di Sumbar umumnya.
Masalahnya adalah pemerintah tidak bisa melakukan intervensi terhadap
laki-laki agar memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan
PSK karena PSK tidak langsung ‘praktek’ di sembarang tempat dan sembarang
waktu. Kalau 389 itu PSK langsung maka di Sumbar ada lokasi atau lokalisasi
pelacuran. Jika ini yang terjadi patut dipertanyakan mengapa pemerintah daerah di
sana tidak menjalankan intervensi berupa mewajibkan laki-laki memakai kondom
setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.
9
LSL itu merupakan masalah yang juga besar karena tidak bisa diintervensi
dan ‘praktek’ mereka pun tidak terjadi di tempat-tempat yang bisa diamati. LSL
ini melakukan hubungan seksual dengan seks anal sehingga tingkat risiko tertular
HIV sangat tinggi. Begitu juga waria yang melayani laki-laki melakukan seks oral
dan seks anal merupakan bagian dari penyebaran HIV/AIDS di Sumber. Yang jadi
masalah besar adalah laki-laki dewasa yang melakukan seks anal dengan waria
umumnya laki-laki beristri. Dan, studi di Jawa Timur menunjukkan laki-laki
beristri memilih jadi ‘perempuan’ (dianal oleh waria yang mereka sebut
ditempong dan waria yang menganal atau menempong). Itu artinya laki-laki jadi
jembatan penyebaran HIV/AIDS dari kalangan waria ke masyarakat, dalam hal ini
istri-istri mereka.
Sampai saat ini belum ada kasus kematian pengidap HIV/AIDS karena
HIV atau AIDS. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi karena penyakit-
penyakit lain pada masa AIDS (secara statistik terjadi setelah tertular HIV antara
5-15 tahun), seperti diare, TBC, dll. Dalam berita yang dipersoalkan hanya
pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA). Pertanyaannya adalah:
Apakah di kabupaten dan kota yang sudah ada KPA ada langkah-langkah yang
konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru? Tidak ada! Maka, yang
diperlukan bukan KPA, tapi program pemerintah lokal untuk menurunkan insiden
infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.
Program untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru hanya bisa
dijalankan kalau praktek PSK dilokalisir sehingga intervensi bisa dijalankan
dengan efektif. Celakanya, di Sumbar praktek PSK tidak dilokalisir sehingga
terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Tanpa langkah yang konkret,
maka insiden infeksi HIV baru akan terjadi terjadi yang pada gilirannya akan
mendorong penyebaran HIV, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di
dalam dan di luar nikah, yang kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’.
disini tidak semata-mata berarti bebas penyakit atau bebas dari kecacatan namun
juga sehat secara mental serta sosial kultural
Program kesehatan reproduksi remaja mulai menjadi perhatian pada
beberapa tahun terakhir ini karena beberapa alasan:
1. Ancaman HIV/AIDS menyebabkan perilaku seksual dan kesehatan
reproduksi remaja muncul ke permukaan. Diperkirakan 20-25% dari semua
infeksi HIV di dunia terjadi pada remaja. Demikian pula halnya dengan
kejadian IMS yang tertinggi di remaja, khususnya remaja perempuan, pada
kelompok usia 15-29.3
2. Walaupun angka kelahiran pada perempuan berusia di bawah 20 tahun
menurun, jumlah kelahiran pada remaja meningkat karena pendidikan seksual
atau kesehatan reproduksi serta pelayanan yang dibutuhkan.
3. Bila pengetahuan mengenai KB dan metode kontrasepsi meningkat pada
pasangan usia subur yang sudah menikah, tidak ada bukti yang menyatakan
hal serupa terjadi pada populasi remaja.
4. Pengetahuan dan praktik pada tahap remaja akan menjadi dasar perilaku yang
sehat pada tahapan selanjutnya dalam kehidupan. Sehingga, investasi pada
program kesehatan reproduksi remaja akan bermanfaat selama hidupnya.
5. Kelompok populasi remaja sangat besar; saat ini lebih dari separuh populasi
dunia berusia di bawah 25 tahun dan 29% berusia antara 10-25 tahun.
6. Menanggapi hal itu, maka Konferensi Internasinal Kependudukan dan
Pembangunan di Kairo tahun 1994 menyarankan bahwa respon masyarakat
terhadap kebutuhan kesehatan reproduksi remaja haruslah berdasarkan
informasi yang membantu mereka menjadi dewasa yang dibutuhkan untuk
membuat keputusan yang bertanggung jawab.
Pada remaja dikota besar yang mempunyai tipe ”Early sexual experience,
late marriage”, maka hal inilah yang menunjang tejadinya masalah aborsi
biasanya terjadi di kota besar. Disinyalir bahwa saat ini di Indonesia terjadi 2,6
juta aborsi setiap tahunnya. Sebanyak 700.000 diantaranya pelakunya adalah
remaja. Data mengenai aborsi di Indonesia seringkali tidak begitu pasti karena
dalam pelaksanaan kasus aborsi baik si pelaku yang diaborsi maupun yang
melakukan indakan aborsi tidak pernah melaporkan kejadian tersebut, bahkan
seringkali dilakukan secara sembunyi sembunyi.
Pada pertemuan Konferensi Internasional Kependudukan dan
Pembangunan (ICPD) di Kairo tahun 1994, telah dikemukakan mengenai hak
hak wanita dalam mendapatkan pelayanan Kesehatan Reproduksi yang baik,
diantaranya bahwa mereka mempunyai hak mendapatkan pelayanan Aborsi
yang aman (safe abortion), hal ini dimaksudkan untuk menurunkan angka
kematian maternal yang hal inilah yang mungkin merupakan salah satu
“hambatan” dalam upaya menyelenggarakan pelayanan aborsi yang aman.
Keadaan yang secara umum dapat terjadi pada proses seksual yang tidak
aman adalah: kehamilan yang tidak diinginkan yang akan menjurus ke aborsi
atau kehamilan remaja yang beresiko, terinfeksi penyakit menular
seksual,termasuk didalamnya HIV/AIDS. Upaya pencegahan yang dianjurkan
adalah: tidak melakukan hubungan seksual. Jika sudah berhubungan dianjurkan
untuk memakai alat kontrasepsi terutama kondom (pencegahan Infeksi
Menular Seksual) atau alat kontrasepsi lain untuk mencegah kehamilan yang
tidak diinginkan, dan dianjurkan untuk mempunyai pasangan yang sehat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Haberland, Nicole dkk. "Case Finding and Case Management of Chlamydia and
Gonorrhea Infections Among Women: What We Do and Do Not Know"
dalam the Robert H. Ebert Program on Critical Issues in Reproductive
Health. New York: Population Council, 1999.
Buzsa, Joanna. Reproductive Tract Infections: A Set of Factsheet. Bangkok:
Population Council, 1999.
Tsui, Amy. O., Judith N. Wasserheit, dan John G. Hagaa (eds). Reproductive
Health in Developing Countries: Expanding Dimensions, Building
Solutions. Washington, D.C.: National Academy Press, 1997
United Nations. Summary of the Programme of Action of the International
Conference on Population and Development. New York: United Nations,
1995.
http://www.kesrepro.info/?q=node/299
http://grey.litbang.depkes.go.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jkpkbppk--
familyheal-4430