Anda di halaman 1dari 27

23:

TINJAUAN ETIKOMEDIKOLEGAL DAN ISLAM TERHADAP


KEMATIAN DAN EUTHANASIA
Dosen : dr. Dirwan Suryo, Sp.F
Editor : HN

I. CONTOH KASUS EUTHANASIA


A. Contoh 1
 Pemberian obat analgetik kepada pasien penderita kanker ganas pada tahap akhir
(metastase) yang tidak dapat disembuhkan lagi dengan obat apapun, dengan
tujuan agar pasien tidak terlalu berat menderita sakit akibat kanker.
 Tindakan ini seringkali disebut sebagai euthanasia tidak langsung. Disebut
euthanasia karena dengan memberikan pil – pil analgetik semacam itu sedikitnya
dapat mempercepat datangnya kematian. Disebut tidak langsung karena kematian
pasien sebenarnya tidak dikehendaki tenaga medis yang memberikan pil itu.
Pemberian pil itu tetap dikategorikan sebagai usaha perawatan dan pengobatan
yang terbaik, yang sesuai dengan perikemanusiaan.

B. Contoh 2
 Penghentian atau pencegahan penggunaan cara – cara perawatan atau
pengobatan yang “luar biasa”. Misalnya : pasien yang menderita kerusakan ginjal
menolak usaha tenaga medis untuk mencuci darah atau menerima ginjal baru,
karena ia yakin bahwa cara “luar biasa” itu akan membawa beban finansial yang
terlalu berat bagi keluarganya. Dalam hal ini, tenaga medis harus menghormati
keputusan pasien, walaupun hal itu akan mengakibatkan kematian pasien.
 Karena dulu belum ada BPJS

C. Contoh 3
 Bayi B lahir premature di RS Daerah dan ibunya di rawat di Ruang Kelas III.
Keadaan bayi B sangat buruk mengalami Respiratory Distress Syndrom (RDS)
dengan frekuensi nafas yang tidak teratur dan memerlukan tindakan bantuan
nafas yang terus – menerus serta observasi ketat.
 Bayi B telah 2 hari dirawat di ruang NICU (Neonatus Intensive Care Unit) dan
memerlukan biaya perawatan yang besar. Orangtua bayi tidak mampu, bahkan
obat – obatan yang dibutuhkan selama proses perawatan juga sering tidak dapat
tersedia karena tidak ada biaya.

124
23:
 Pada saat bayi memerlukan pemeriksaan diagnostic yang segera, ternyata
biayanya juga cukup besar. Orangtua bayi tidak sanggup menyediakan biaya
pemeriksaan dengan segera. Perawat memberi saran agar orangtua bayi B
membuat pernyataan bahwa biaya pemeriksaan dan perawatan akan dibayar
kemudian.
 Pada era pandemi, meskipun kasus ini sudah ditanggung BPJS problemnya adalah
gangguan pernafasan akibat pneumonia berat akibat infeksi covid. Selain itu juga
jumlah ventilator sedikit sekali.

D. Contoh 4
 Tn. A (55) dirawat di ruang ICU dengan perdarahan otak. Kesadaran koma,
dipasang ventilator karena mengalami respiratory failure, juga dipasang infus dan
NGT. Setelah satu minggu, keluarganya menanyakan keadaan Tn.A yang menurut
pengamatannya belum ada perubahan membaik.
 Dr. B hanya menjawab bahwa ventilator, infus, dan NGT sangat diperlukan oleh
Tn.A dan keadaannya sulit untuk disembuhkan hanya tinggal menunggu mukjizat.
Atas jawaban dr. B, tampak keluarga pasien terdiam dan pasrah. Kemudian dr. B
menulis instruksi di status pasien : DNR (do not resuscitation) dan secara lisan
berpesan pada penanggungjawab shift dan perawat yang bertugas merawat Tn.A
untuk menurunkan modul ventilator setiap harinya.
 Oleh karena tidak ada perawat yang tega untuk menurunkan modul ventilator,
maka Tuan X salah satu keluarganya yang kebetulan dokter yang melakukannya
dan denyut jantung Tn.A mulai menurun. Keesokan harinya penurunan modul
ventilator dilanjutkan. Pada saat shift sore Tn.A meninggal, tetapi sebelumnya
tetap dilakukan resusitasi. Peristiwa tersebut di atas disebut “tindakan
kedokteran defensif” seperti yang juga dilakukan di negara lain.
 Dalam kasus ini apakah terjadi euthanasia pasif? Apakah tindakan Tuan X dapat
dibenarkan menurut pandangan etik dan hukum, bukankah di satu sisi ia
melaksanakan instruksi dokter (menurunkan ventilator), pada sisi lain melanggar
instruksi dokter (DNR). Siapakah yang bertanggungjawab atas kematian Tn.A?

E. Contoh 5
 Tn.X (65th) pasien dr.NK dirawat di ICU dengan diagnose COPD asthma
bronchiale. Pasien sudah berulang kali di rawat dengan penyakit yang sama.
Selama 3 hari perawatan di ICCU tersebut, kondisi pasien sakit berat. Napas
sangat sesak, sangat gelisah dan sulit tidur, sehingga pasien merasa lebih nyaman
dalam posisi duduk sambil memeluk bantal.

125
23:
 Dari hasil pemantauan, pasien hanya dapat tidur sekitar 1 – 2 jam/hari dengan
posisi duduk dengan infus terpasang Dextrose 5% + 1 ampul Aminophylin 10 – 12
tetes/menit. Untuk mengurangi sesak nafasnya, pasien diberi terapi uap
(nebulizer) dan obat untuk mengurangi sesak 3 kali sehari dan jika perlu dengan
extra nebulizer.
 Pada shift sore hari ke-4, Tn.P, perawat senior yang bertugas merawat Tn.X
menghubungi dr. NK karena nafas pasien sangat sesak, sangat gelisah, dan
kadang – kadang berteriak – teriak. Instruksi dari dr. NK adalah menaikkan
tetesan infus dan melakukan nebulizer.
 Setelah 1 jam dilakukan tindakan dan observasi ternyata tidak menolong dan
tidak ada perubahan, sehingga Tn.P kembali menghubungi dr. NK dan dr. NK
mengatakan akan datang. Setelah tiba di rumah sakit, dr. NK didampingi Tn.P
menjelaskan kepada istri dan anak Tn.X bahwa penyakit Tn.X tidak akan sembuh
dan pemberian obat – obatan serta terapi uap tidak dapat menolong.
Diberitahukan pula oleh dr. NK bahwa pasien akan diberi obat agar dapat tidur.
 Respon dari keluarga pasien ternyata menerima dan pasrah, jika suami/ayah
mereka meninggal. Kemudian, dr.NK menginstruksikan kepada Tn.P untuk
memberikan Diazepam 10 mg (1 ampul) intravena pelan – pelan. Tn.P menyadari
bahwa efek samping pemberian diazepam adalah depresi pusat pernafasan,
mengakibatkan henti nafas, dan meninggal. Akan tetapi sesuai instrulsi dr, Tn.P
melaksanakannya, dan 15 menit kemudian pasien tampak tidak berdaya dan
pasien dibaringkan dalam posisi terlentang. Kurang lebih 30 menit berikutnya
pernapasan pasien lambat, denyut jantung menurun, pasien mengalami
penurunan kesadaran.
 Dalam kondisi seperti ini, Tn.P beserta perawat lain melakukan tindakan bantuan
hidup dasar sebagai “FORMALITAS” agar keluarga pasien tidak curiga atau
complain dengan tindakan valium yang diberikan, akhirnya pasien meninggal
dunia.

II. PANDANGAN MEDIKOLEGAL TENTANG MATI


A. Syariah Islam
- Realitas kematian menurut syariah adalah pemisahan jiwa dari badan.
- Realitas pemisahan jiwa dari tubuh sedemikian rupa sehingga jiwa tidak tinggal di
bagian tubuh manapun, dan karenanya tidak ada bagian tubuh yang hanya berisi
kehidupan.

Dr. Bakr Abu Zaid’s (1) Fiqh an-Nawazil (2) (Vol. 1 pp.215-236, Article No. 4, printed by
Maktabah ar-Rushd, Riyad, 1407).

126
23:

 Konsep Kematian dalam Islam

Artinya : “Tiap – tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari
kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu
tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS.Ali Imran:185)
 Kematian dalam islam adalah suatu keharusan

Artinya : “Mahasuci Allah yang ditangan-Nya segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa
atas segala sesuatu. Yang menjadikan Mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu siapa
diantara kamu yang lebih baik amalnya, dan Dia Maha Kuasa lagi Maha Pengampun.”
(QS. Al-Mulk:1-2)
 Kata yang berarti “mati” dalam Al-Quran disebut dalam lk 177 ayat.
 Al-Quran menggunakan beberapa istilah untuk merujuk mengenai kematian
(seperti gharg, halaaq, mawt, wafat, firaaq).  varian kata masing masing
punya makna yang berbeda.
 Semua manusia akan berakhir dengan kematian (hatmiyat al mawt, shumuliyat al
mawt) (QS: 3:154, 168, 185; 4:78, 10; 21:35; 23:15; 29:57; 39:30; 55:26).
 Tanpa kecuali, apakah sekarang atau lain waktu di hari yang akan datang. Bahkan
Nabi pun harus menemui kematian (QS: 3:114; 19:15,33; 21:34; 34:14; 39:30;
3:168,185; 4:78,10; 21:35; 23:15; 29:57; 55:26).
 Semua kematian adalah karena seijin Allah (QS: 3:145).

127
23:
Kematian dalam keadaan dan kondisi apapun sudah menjadi kehendak Allah. Namun yang
harus hati-hati adalah proses kematian itu merupakan kehendak yang diridhoi Allah atau
kehendak Allah yang menyimpang dari keridhoan Allah.

B. KEMATIAN ASPEK MEDIK


Mati dalam pengertian agama adalah pisahnya jiwa dan raga ketika diterjemahkan ke
dalam profesi medis kematiannya harus ditentukan versi yang mana, agama atau versi
klinis, otak tahap mana, keseluruhan, biologis, atau seluler.
 Bukan satu titik, tetapi suatu proses melalui tahapan :
- Mati klinis
Dapat diresusitasi
- Mati otak
Tahap : serebral, serebelum, batang otak
- Mati biologis
- Mati seluler
 Hukum umumnya mengikuti pendapat kedokteran

ASPEK MEDIK MATI


 Sejak dikembangkannya teknik resusitasi jantung – paru – otak, maka terjadi perubahan
definisi mati dengan berbagai istilah sebagai berikut :
a. Mati klinis (clinical death)  keadaan henti nafas atau tidak ada pernafasan
spontan dan henti jantung yang menghentikan seluruh aktivitas serebral, tetapi
bersifat tidak irreversible.
b. Mati cerebral (cerebral death, cortical death)  kerusakan irreversible dari
serebrum, terutama neokorteks dan struktur supratentorial lainnya, tetapi medulla
tetap baik.
c. Mati otak (brain death)  kematian serebral yang disertai nekrosis keseluruhan
otak termasuk serebrum, mid brain, dan batang otak.
d. Mati batang otak (brain stem death)  kematian dari batang otak yang berfungsi
mengatur fungsi vital, terutama pernafasan.

Kepentingan kita mengetahui definisi mati  menginformasikan kepada keluarga bahwa


pasien sudah meninggal. Kemudian kita harus merawat jenazahnya. Hal lain adalah jika
pasien sudah meninggal, maka alat medis yang menepel di tubuh pasien harus dilepas,
sehingga keputusan kita mencabut alat itu bisa sangat bermakna bagi keselamatan pasien
berikutnya yang sudah mengantri alat jika alatnya terbatas.

128
23:
 Mati secara biologis (biological death, panorganic death) :
- Keadaan kematian yang tidak dapat dielakkan setelah suatu kematian klinis bila
tidak dilakukan resusitasi jantung – paru – otak atau bila usaha resusitasi telah
menyerah.
- Merupakan proses autolitik pada semua jaringan yang dimulai dari sel neuron
yang menjadi nekrotik dalam waktu satu jam tanpa adanya sirkulasi diikuti
dengan jantung, ginjal, paru, dan liver yang menjadi nekrotik dalam waktu dua
jam setelah tidak adanya sirkulasi dan terakhir kulit menjadi nekrotik dalam
beberapa jam atau hari.
 Social death
Suatu PVS (persistent vegetative state) yang menunjukkan kerusakan otak irreversible
yang berat pada pasien yang tidak sadar dan tidak responsive, tetapi masih ada aktivitas
EEG, beberapa reflex, dan mampu untuk bernafas spontan.
 Selain itu ada beberapa kasus yang sering kita temui bisa dibilang dengan pasien
yang sudah mati social. Contohnya : post stroke yang kesekian, hanya bisa buka
mata, masih hidup, barangkali masih ada kemauan dan keinginan hanya tidak bisa
mengomunikasikan.
 Penghentian resusitasi sebagai bantuan medis adalah bila pasien dalam keadaan mati
otak (brain death). Jadi pada keadaan ini pasien sudah dianggap mati.
 Kapan kita harus menghentikan resusitasi?
Secara umum, saat ini medis mengatakan pasien memang harus dihentikan
resusitasi dan dianggap sudah final meninggal adalah definisi ketika mati batang
otak (brain death). Ternyata orang mati batang otak belum tentu jantungnya
berhenti, hal ini kadang menimbulkan konflik antara dokter dan keluarga.

MACAM DEFINISI MATI


a. Mati Klinis
 Henti nafas + jantung – sirkulasi dengan berhentinya aktivitas otak, tetapi tidak
ireversibel.
 Pada kematian klinis dapat dilakukan resusitasi jantung paru dan dapat diikuti
dengan pemulihan semua fungsi.
b. Mati Serebral dan mati otak
 Mati serebral = kerusakan ireversibel serebrum, terutama neokorteks
- EEG tenang
 Mati otak = mati serebral + nekrosis sisa bagian otak lain, termasuk serebelum,
otak tengah dan batang otak
- Semua reflex saraf otak negative
- Usaha nafas spontan negatif

129
23:
c. Mati Sosial
 Status vegetative yang menetap (persistent vegetative state), sindroma apalika
 Kerusakan otak berat ireversibel
 Tetap tidak sadar dan tidak responsive, tetapi EEG aktif dan beberapa reflex
positif
 Mungkin terdapat daur sadar - tidur
d. Mati biologis
 Selalu mengikuti mati klinis bila tidak ada resusitasi jantung paru.
 Kematian jaringan berbeda pada berbagai organ, dengan urutan :
- Otak
- Jantung
- Ginjal
- Paru
- Hati

III. MASALAH ETIKOMEDIKOLEGAL KEMATIAN


A. Kapankah seseorang dapat dinyatakan meninggal?
B. Apakah kriterianya?
C. Bagaimanakah prosedur/Uji penentuannya?

KEGAGALAN MENENTUKAN WAKTU KEMATIAN, TINDAKAN


MEDIK DAPAT BERSIFAT “MEMBUNUH” ATAU SIA – SIA”

Contohnya ketika menyampaikan berita kematian : mohon maaf, akhirnya meninggal dengan
bukti….. ketika bicara kriteria secara sadar atau tidak sadar tentu harus melakukan prosedur
uji penetuannya, contoh di UGD tes reflek pupil, reflek cahaya, pasang lead jantung, dll.
Kalau kita terlalu cepat menentukan pasien meninggal padahal belum meninggal maka
dokter akan secara tidak sengaja adalah membunuh.
Kalau kita tidak berani mengatakan meninggal padahal sudah meninggal maka upaya
pengobatan adalah sia – sia.

PB IDI :
Di Indonesia pernyataan IDI tentang mati (Lampiran Surat Keputusan PB IDI No :
231/PB/A.4/07/90 merumuskan, bahwa seseorang dinyatakan mati jika :
- Fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau irreversible atau
- Bila terbukti telah terjadi kematian batang otak.

130
23:
PP No 18 TAHUN 1981
Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang
bahwa fungsi otak, pernafasan dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti.

Bagaimana bila pasien dalam dukungan peralatan penunjang kehidupan?


 Problemnya adalah belum menjawab pernyataan IDI bahwa batang otak rusak
permanen maka itu adalah definisi meninggal, karna batang otak rusak permanen tapi
detak jantung masih ada, MAP masih bagus, masih memberikan sinyal listrik, detak
jantung masih jalan, jika saat itu bantuan ventilator dipasang, nafas masih jalan, proses
oksigenasi alveoli masih jalan, dengan detak jantung jalan maka peredaran darah masih
jalan. Dengan demikian oksihemoglobin dari paru yang dibawa keliling pembuluh darah
didukung detak jantung masih kuat kesannya orang masih hidup. Inilah yang sering
menjadi krusial. Padahal sesungguhnya jika berpacu pada batang otak ya sudah
meninggal. Pada saat seperti inilah jika pasien itu sudah merelakan atau sudah membuat
wasiat seperti donor organ, pada saat – saat inilah salah satu proses donor organ mati
dari pasien yang meninggal yang bisa ditransfer ke orang hidup.

KRITERIA MATI
 Berhentinya sistem pernafasan dan kardiovaskuler yang irreversible
- Bukti henti nafas selama minimal 20 menit
 Inilah kadang – kadang yang bisa menjadi ukuran kita ketika melakukan RJP.
Selain itu juga berdasarkan kekuatan penolong. Jika penolong banyak dan
mampu maka waktu menjadi batasan, diasumsikan jika lebih dari 20 menit/
30 menit pasien mengalami kerusakan otak permanen.
- Bukti henti jantung dan sirkulasi
 Perlukah bukti irreversibilitas dengan melakukan CPR?
 Matinya batang otak
- Pada kasus pembuktian cara pertama tidak dapat dilakukan
- Bukti fungsi batang otak
 Reflex, nafas spontan, dll

DIAGNOSIS MATI BATANG OTAK


 Prasyarat
- Pasien koma dengan ventilator
- Diagnosis + kerusakan structural otak yang menyebabkan koma
- Eksklusi :
 Ec obat – obatan
 Hipotermia

131
23:
 Gangguan metabolic
 Tes : reflex batang otak negative

TES BATANG OTAK


 Tak Boleh ada : postur abnormal (deserebrasi, dekortikasi), tidak ada reflex okulo –
sefal atau kejang
 Tes reflex batang otak
- Tak ada respons cahaya
- Tak ada reflex kornea
- Tak ada reflex vestibule – okuler
- Tak ada respons motor dalam distribusi saraf kranial terhadap rangsang adekuat
pada area somatik
- Tak ada reflex muntah, reflex batuk
 Tes Henti Nafas :
- Preoksigenisasi dengan 100% O2 selama 10 menit
- Beri 5% CO2 dalam 95% O2 selama 5 menit berikutnya untuk menjamin PaCO2
awal : 53 kPa (40Torr)
- Lepaskan pasien dari ventilator
- Insuflasikan trakea dengan 100% O2: 6L/menit melalui kateter intratrakeal lewat
karina
- Lepas dari ventilator selama 10 menit
- Periksa paCO2 akhir

D. PANDANGAN PROFESI SAAT INI?


Masihkah kita menyepakati definisi mati batang otak dan menganutnya sebagai saat
kematian yang tepat (setelah memperoleh pengalaman selama ini)?
a. Pengertian?
b. Tata cara pengujian?
c. Penolakan Profesi?
d. Penolakan masyarakat?

IV. EUTHANASIA = KEPUTUSASAAN?


A. Pengertian euthanasia
 Euthanatos (Yunani)  “eu” + “thanatos”
 Harfiah :
- Good death atau easy death atau mercy killing
- Membiarkan seseorang mati dengan baik
 Tindakan mengakhiri hidup seseorang atas dasar kasihan karena menderita penyakit,

132
23:
kecideraan atau ketidakberdayaan yang tidak mempunyai harapan lagi untuk
sembuh.
- The mercy killing of the hoplessly ill, injured or incapacitated
 Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu = “baik” dan Thanatos =
“kematian” (Utomo, 2003:177).
 Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut
 Menurut istilah kedokteran, Euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau
penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti
mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat
menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145).
 Euthanasi adalah bagaimana membiarkan seseorang mati dengan baik dan
diharapkan meninggal yang terhormat.

B. Beberapa rumusan lain tentang euthanasia, antara lain sebagai berikut :


 Philo : “euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik.”
 Suetonis : “euthanasia berarti mati cepat tanpa derita”
 Hilma : “euthanasia berarti pembunuhan tanpa penderitaan (mercy killing)”
 Gezondheidsraad Belanda : Euthanasia adalah perbuatan yang dengan sengaja
memperpendek hidup tanpa ataupun dengan sengaja tidak berbuat untuk
memperpanjang hidup demi kepentingan pasien oleh seorang dokter atau
bawahannya yang bertanggungjawab kepadanya.

C. Esensi Euthanasia :
 Tindakan tersebut baik positive act maupun negative act mengakibatkan kematian
 Dilakukan pada saat yang bersangkutan masih dalam keadaan hidup
 Penyakitnya tidak ada harapan lagi untuk disembuhkan dan sudah berada dalam
stadium terminal
 Motifnya karena yang melakukan merasa kasihan melihat penderitaan yang
berkepanjangan
 Tujuannya untuk mengakhiri penderitaan

 Apakah melakukan sesuatu yang menyebabkan meninggal atau hanya


membiarkan orang itu tidak mendapatkan yang semestinya sehingga orang itu
meninggal dan itu dilakukan pada saat masih hidup dan dilakukan terutama karna
penyakit pasien tidak ada harapan untuk disembuhkan secara teori madis atau
sudah terminal.

133
23:
Euthanasia  Sengaja melakukan tindakan yang mengakibatkan kematian untuk
menghentikan penderitaan. Akan ada pembanding dengan istilah “PAS (Physician – Assited
Suicdie)” yaitu bunuh diri yang dibantu oleh pihak – pihak tertentu.
Contoh kasus Michele Jackson konon katanya adalah kasus “PAS” yaitu dia masih bisa
aktivitas harian tapi karena depresi luar biasa dia minta tolong kepada dokternya untuk
diberi obat tidur agar dokter menyediakan infus set dipasang di rumahnya, pasien yang
mengendalikan mau tidur sedalam apa sampai kematian atau tidak. Kontrol tetesan
dipegangkan pada pasien tetapi injeksi obat tetap oleh dokter.

D. ASPEK ETIKA EUTHANASIA


a. Menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia, istilah euthanasia digunakan dalam tiga
arti, yaitu :
 Berpindahnya kea lam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, untuk
yang beriman dengan nama Allah dibibir.
 Ketika hidup berakhir, penderitaan si sakit yang diringankan dengan memberikan
obat penenang.  misalnya pasien kanker, sekedar untuk menghilangkan
symptom penderitaannya tetapi tidak untuk membunuh dan mempercepat
kematiannya.
 Mengakhiri penderitaan dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas
permintaannya sendiri dan keluarganya.  sengaja itu membiarkan atau aktif
melakukan?
b. Pro dan kontra terhadap pelaksanaan euthanasia, yaitu :
 Pihak yang tidak setuju, berpendapat bahwa euthanasia adalah pembunuhan
terselubung dan bertentangan dengan sumpah dokter untuk selalu memelihara
kehidupan manusia.
 Pihak yang setuju, berpendapat bahwa euthanasia boleh dilakukan atas
persetujuan pasien dan bertujuan untuk meringankan penderitaan pasien.
c. Hal ini harus didasarkan perasaan kasihan terhadap mereka yang sakit berat dan
secara medis tidak mempunyai harapan untuk pulih, serta adanya rasa hormat
terhadap manusia dengan adanya suatu pilihan yang bebas sebagai hak asasi
manusia. Kecuali apabila pasien dalam keadaan tidak sadar, maka sekurang –
kurangnya dokter harus meminta persetujuan dari keluarga pasien.
d. Dengan demikian kita akan sampai pada permasalahan lain yaitu tentang saat
kematian, atau kapan pasien dianggap sudah meninggal, dan kapan semua bantuan
medis dapat dihentikan.
 Ketika pasien belum meninggal kemudian kita menghentikan bantuan medis
secara tidak sengaja masuk ke dalam euthanasia pasif.

134
23:
E. MACAM – MACAM EUTHANASIA
 Berdasarkan cara melakukan :
- Euthanasia aktif
- Euthanasia pasif
 Berdasarkan orang yang membuat keputusan untuk mati :
- Voluntary euthanasia
- Involuntary euthanasia
 Physician – Assited Suicdie  bantuan bunuh diri oleh dokter atau tenaga kesehatan
lain

F. TIPE EUTHANASIA
1. Euthanasia Aktif
Adalah suatu tindakan secara sengaja yang
dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan
lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri
hidup seorang pasien. Euthanasia agresif dapat
dilakukan dengan pemberian suatu senyawa
yang mematikan, baik secara oral maupun
melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa
mematikan tersebut adalah tablet sianida.
2. Euthanasia Pasif
Euthanasia pasif dilakukan dengan
memberhentikan pemberian bantuan medis
yang dapat memperpanjang hidup pasien
secara sengaja. Beberapa contohnya adalah :
a. Tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam
pernapasan.
b. Tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat.
c. Meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup
pasien.
d. Pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan
mengakibatkan kematian.

EUTHANASIA AKTIF VS PASIF


 Aktif berarti sengaja melakukan tindakan “Positif” untuk menghentikan kehidupan.
 Pasif berarti tidak melakukan tindakan positif untuk menghentikan kehidupan,
sedangkan kematian terjadi karena penyakitnya/ alamiah.

WITHHOLDING AND WITHDRAWING LIFE-SUPPORT


135
23:

G. EUTHANASIA DITINJAU DARI SUDUT PEMBERIAN IZIN


 Euthanasia di luar kemauan pasien : yaitu suatu tindakan euthanasia yang
bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan euthanasia
semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
 Euthanasia secara tidak sukarela : Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak
berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya
statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo).
Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku
memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
 Euthanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, tetapi
hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.

VOLUNTER VS INVOLUNTER
 Volunter berarti pasien dengan “BEBAS” memberikan persetujuan atau memintanya.
 Involunter berarti tidak secara bebas memberikan persetujuan, atau tidak dapat
memberikan persetujuan tapi diduga menyetujuinya (misalnya pada kasus T.Schiavo).

DILEMATIK? HUMAN RIGHT?


Menurut Deklarasi Lisabon 1981, Euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan.

ISU ETIK PENTING


 Keadaan penyakit dan penderitaannya
- Incurable, no hope or relief
- Severe suffering
 Volunter
- Kompetensi pasien dan “Well – informed”
- Advance directive
Terdapat dua kemungkinan :
1. Menyatakan apa yang dikehendakinya apabila suatu saat ia kehilangan
kompetensinya
2. Menunjuk Surrogate Decision Maker apabila suatu saat ia kehilangan
kompetensinya.
- Pernyataan serius, berulang
 Aktif? Pasif?

136
23:
- Tindakan positif hentikan kehidupan?
- Penghentian tindakan/terapi:
 Ordinary/ extraordinary treatment?
 Cure or care

ORDINARY VS EXTRAORDINARY?
 Menghentikan semua tindakan medis yang extraordinary tanpa menghentikan
tindakan yang ordinary masih dianggap sebagai tindakan yang pasif.
 Tindakan yang extraordinary adalah semua tindakan medis, bedah atau obat – obatan
yang tidak dapat diperoleh atau dilakukan tanpa biaya berlebih, susah payah, atau
ketidaknyamanan atau yang apabila dilakukan tidak menawarkan harapan “perbaikan
keadaan” yang wajar.

Jika euthanasia kemudian menimbulkan dampak etik, ketika harus membuat keputusan
medis jangan dilupakan bagaimana keputusan etisnya. Bagaimana asas etik menjadi
pertimbangkan menghentikan pengobatan atau tidak, apakah permintaan pasien kita penuhi
atau tidak.

V. TEORI/METODOLOGI ETIKA
 Kaidah Dasar Moral oleh Childres dan Beauchamp
- Principles – Based Ethics/ Principlism/ Common – morality ethics.
- Ada 4 asas yang berposisi sentral dalam kasus etika medik (biomedik)
1. Beneficence
2. Nonmaleficence
3. Autonomy
4. Justice
137
23:
- Keseimbangan ke-4 asas tersebut dalam pengambilan keputusan klinis
- Pustaka : Beaucamph & Childress, Principles of Biomedical Ethics, 2001, ed-5, Oxford

KDB 1 (BENEFICENCE)

Kriteria Ada Tidak ada

1.Menolong

2.Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia

3.Memandang pasien/keluarga dan sesuatu tak sejauh -


menguntung dokter

4.Mengusakan agar kebaikan/manfaatnya lebih banyak


dibandingkan dengan keburukannya.

5.Paternalisme bertanggung jawab/ kasih sayang

6.Menjamin kehidupan baik minimal manusia

7.Pembatasan Goal-Based

8.Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasein

138
23:
9.Minimalisasi akibat buruk.

10.Kewajiban menolong pasien gawat darurat

Kriteria Ada Tidak ada

11. Menghargai

12. Tidak menarik honorarium

13.Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keselurushan

14.Mengembangkan profesi secara terus-menerus.

15. Memberikan obat berkhasiat namun murah

16. Menerapkan Golden Rule Principle

KDB 2 (NON-MALEFICENCE)

139
23:

KDB 3 (AUTONOMI)

KDB 4 (JUSTICE)

140
23:

Contoh Kasus Dilema Etika


 Kasus 1 :
- Seorang lansia yang tidak mau dibawa ke RS untuk dirawat oleh karena kondisinya
semakin menurun.
 Kasus 2 :
- Laki – laki 12 tahun dengan perdarahan epidural (gegar otak) yang harus
dioperasi, tapi orang tua tidak memiliki biaya operasi.
 Dokter yang belum banyak, biaya tidak murah, waktu yang digunakan untuk
memutuskan tidak boleh lebih dari 3 jam. Dilemanya kalau tidak mengoperasi
apakah termasuk euthanasia pasif, kalau operasi tapi keluarganya juga belum
pasti.

MORAL DILEMA (KASUS EUTHANASIA)


 Otonomi vs Beneficence/ Nonmaleficence
- Hak untuk tidak diresusitasi
- Hak memilih terapi minimal
- Hak untuk mati bermartabat
 Beneficence vs Nonmaleficence
- Dosis penghilang nyeri dapat menekan pusat nafas
- Withhold dan withdraw karena alasan finansial (right to die or duty to die?)

141
23:
 Metodologi Etika klinik oleh Jonsen dan Siegler
- Clinical ethics/ clinical analysis – based ethics/ A Practical Approach to Ethical
Decisions in Clinical Medicine
- Pada kasus klinik apapun, ada 4 topik yang essensial diperhatikan :
1. Indikasi medik oleh dokter
2. Preferensi pasien
3. Mutu hidup
4. Fitur – fitur kontekstrual yang ada kaitannya dengan kasus
 Aspek keluarga, social, ekonomi, budaya, hukum, agama, administrasi
- Pustaka : Jonsen, A.R, Siegler, M., Winslade, W.J., 2002, Clinical Ethics, A Practical
Approach to Ethical Dicision in Clinical Medicine, McGraw-Hill.

VI. HUKUM EUTHANASIA DI INDONESIA


Berdasarkan hukum di Indonesia euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang
melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang – undangan yang ada pada
pasal 344, 338, 340, 345, dan 359 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana. Dari ketentuan
tersebut, ketentuan yang berkaitan langsung dengan euthanasia aktif dengan permintaan
terdapat pada pasal 344 KUHP.
Pada pasal 344 KUHP dinyatakan : ”Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh – sungguh,
dihukum penjara selama – lamanya dua belas tahun.”

142
23:
Jadi ternyata tidak boleh menghilangkan jiwa orang lain meskipun atas permintaan orang itu
sendiri. Jika pasien memintanya, kita mencoba untuk menenangkan pasien tapi jangan
dieksekusi.

Pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan :
 Pasal 338 KUHP
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa seseorang lain, dihukum karena
makar mati, dengan penjara selama – lamanya lima belas tahun.”
 Pasal 340 KUHP
“Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa
orang lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman
mati atau penjara selama – lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama –
lamanya dua puluh tahun.”
 Pasal 359 KUHP
“Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara
selama – lamanya lima tahun atau kurungan selama – lamanya satu tahun.”

ASPEK LEGAL EUTHANASIA


 Menurut Hukum di Indonesia
- Pasal 344 KUHP
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,
yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh – sungguh dihukum penjara
selama – lamanya dua belas tahun.
- Pasal 345 KUHP
Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh
diri, dihukum penjara selama – lamanya empat tahun.
 Pasal 344 KUHP
Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun.
 Jadi, euthanasia aktif adalah pidana, meskipun volunter

EUTHANASIA DALAM KODE ETIK KEDOKTERAN


Kode Etik Kedokteran yang ditetapkan Menteri Kesehatan Nomor :
434/Men.Kes./SK/X/1983. Pada pasal 10 disebutkan : Setiap dokter harus senantiasa
mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani.

143
23:
Dokter harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani, berarti
bahwa baik menurut agama dan undang – undang Negara, maupun menurut Etika
Kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan :
A. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus)
B. Mengakhiri hidup seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak
mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Sehingga….
 Menurut aspek hukum, Euthanasia baik aktif maupun pasif adalah perbuatan
melawan hukum dan dapat dilihat pada peraturan perundang – undangan pasal 344,
338, 340, 345, dan 359 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana.
 Menurut aspek etik, prinsip etik yang mendasar adalah kita harus menghormati
kehidupan manusia. Perbuatan euthanasia adalah merupakan perampasan hak hidup
orang lain, dan ini bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28 A dan Pasal 28 ayat 1.

NEGARA YANG MELEGALKAN EUTHANASIA


1. Belanda
Negara pertama di dunia yang melegalkan praktik suntik mati adalah Belanda. Terhitung
sejak 2002, Negeri Kincir Angin telah mengadopsi konsep euthanasia ke dalam kitab
hukumnya. Namun ada batasan usianya, yakni minimal 12 tahun dan orangtua pasien
tetap diposisikan sebagai pengambil keputusan akhir.
2. Luksemburg
Luksemburg ikut menerapkan kebijakan yang sama untuk meringankan beban penderita
penyakit kronis yang tak lagi punya harapan hidup itu pada 2009. Meski begitu, proses
pelegalan suntik mati di negara terkecil Eropa ini memakan proses yang panjang.
3. Belgia
Selama 10 tahun terakhir dari 2003 dan 2013, jumlah pasien yang disuntik mati di Belgia
meningkat hingga delapan kali lipat. Dari sebelumnya hanya 1.000 orang menjadi 8.752
kasus. Praktik suntik mati di negara beribukotakan Brussels ini telah dimulai sejak 2014.
4. Swiss
Banyak orang datang ke Swiss untuk mengakhiri hidupnya. Fenomena ini bisa terjadi
karena negara tersebut memang membolehkan orang melakukan bunuh diri dengan
pendampingan. Hukum ini berlaku sejak 1914.
5. Jerman
Negara selanjutnya yang memberi hak mati pada pasiennya adalah Jerman. Caranya
adalah dengan dibiarkan meninggal tanpa perawatan atau menandatangani surat
pernyataan yang berisi penolakan terhadap perawatan dari dokter. Sementara praktik
bunuh diri dengan pendampingan dan euthanasia yang diniatkan untuk mengakhiri
nyawa pasien sifatnya masih ilegal.

144
23:
6. Amerika Serikat
Suntik mati pasif atau dibiarkan meninggal oleh dokter tanpa perawatan diperbolehkan
di AS. Dalam hal ini, pasien menandatangani persetujuan surat kematiannya.

7. Jepang
Jepang termasuk negara yang berada di wilayah abu-abu soal euthanasia. Negeri Sakura
tidak memiliki hukum tertulis soal itu, tetapi ada kebijakan yang mengizinkan euthanasia
menjadi legal.

VII. KASUS EUTHANASIA


1. Wanita 21th (New Jersey AS) Overdosis – Koma
Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal
21 April 1975 dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat bantu pernapasan
karena kehilangan kesadaran akibat pemakaian alkohol dan zat psikotropika secara
berlebihan.
Oleh karena tidak tega melihat penderitaan sang anak, maka orang tuanya meminta
agar dokter menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan tersebut. Kasus
permohonan ini kemudian dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama
permohonan orang tua pasien ditolak, namun pada pengadilan banding permohonan
dikabulkan sehingga alat bantu pun dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976.
Pasca penghentian penggunaan alat bantu tersebut, pasien dapat bernapas spontan
walaupun masih dalam keadaan koma. Dan baru sembilan tahun kemudian, tepatnya
tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut meninggal akibat infeksi paru-paru (pneumonia).

2. Terri Schiavo (Florida AS) Gagal Jantung – Koma


Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di negara bagian Florida, 13 hari
setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makanan (feeding tube)
yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini masih dapat hidup. Komanya
mulai pada tahun 1990 saat Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya,
Michael Schiavo, dalam keadaan gagal jantung.
Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma, maka pada bulan
Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo mengajukan permohonan ke
pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada istrinya bisa dicabut agar istrinya dapat
meninggal dengan tenang, namun orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary
Schindler menyatakan keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang niat
menantu mereka tersebut.

3. Wanita 68th(Korea) Sirosis Hati

145
23:
Pada tahun 2002, ada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang terdiagnosa
menderita penyakit sirosis hati (liver cirrhosis). Tiga bulan setelah dirawat, seorang
dokter bermarga Park umur 30 tahun, telah mencabut alat bantu pernapasan
(respirator) atas permintaan anak perempuan si pasien. Pada Desember 2002, anak
lelaki almarhum tersebut meminta polisi untuk memeriksa kakak perempuannya beserta
dua orang dokter atas tuduhan melakukan pembunuhan.
Seorang dokter yang bernama dr. Park mengatakan bahwa si pasien sebelumnya
telah meminta untuk tidak dipasangi alat bantu pernapasan tersebut. 1 minggu sebelum
meninggalnya, si pasien amat menderita oleh penyakit sirosis hati yang telah mencapai
stadium akhir, dan dokter mengatakan bahwa walaupun respirator tidak dicabutpun,
kemungkinan hanya dapat bertahan hidup selama 24 jam saja.

4. Agian Isna N 33th (Jakarta, Indonesia)Operasi Caesar – Koma


Sebuah permohonan untuk melakukan euthanasia pada tanggal 22 Oktober 2004
telah diajukanoleh seorang suami bernama Panca Satria Hasan Kusuma karena tidak
tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma
selama 3 bulan pasca operasi Caesar dan disamping itu ketidakmampuan untuk
menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula.
Permohonan untuk melakukan euthanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk euthanasia yang diluar keinginan
pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan
setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah
mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.

5. Siti Zulaekha 23th (Jakarta, Indonesia) Operasi – Koma


Koma selama 3,5 bulan setelah menjalani operasi di RSUD Pasar Rebo pada bulan
Oktober 2004 dengan diagnosa hamil di luar kandungan. Namun setelah dioperasi
ternyata hanya ada cairan di sekitar rahim. Setelah diangkat, operasi tersebut
mengakibatkan Siti Zulaeha, 23 tahun mengalami koma dengan tingkat kesadaran di
bawah level binatang. Sang suami, Rudi Hartono25 mengajukan permohonan euthanasia
ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tangggal 21 Februari 2005. Permohonan yang
ditandatangani oleh suami, orang tua serta kakak dan adik Siti Zulaeha.

146
23:

Do we have the right to die?

VIII. TINJAUAN ISLAM TERHADAP EUTHANASIA


 Hak hidup

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang siapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan
karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-
olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang
kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas,
kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam
berbuat kerusakan di muka bumi. (QS-Al Maidah: 32)

 Hak Hukum Mati

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-
orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan
wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi

147
23:
maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (QS. AL-Baqarah : 178)

 Euthanasia Aktif dan atau di luar kehendak

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan
dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara dzalim, maka
sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli
waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat
pertolongan. (QS. Al-Isra: 33)

Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang – orang kafir (orang – orang
munafik) itu, yang mengatakan kepada saudara – saudara mereka apabila mereka
mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang: “Kalau mereka tetap
bersama – sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh.” Akibat (dari perkataan
dan keyakinan mereka) yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat
di dalam hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan. Dan Allah melihat apa yang
kamu kerjakan. (QS Ali Imran: 156)

A. Euthanasia Aktif
Syariah islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori
pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan
penderitaan pasien. Hukumannya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri
atau keluarganya. Dalil – dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil – dalil yang
mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri
sendiri.

Dalil tentang diharamkannya Euthanasia Aktif :


• “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
• “Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)

148
23:
• “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).

B. Euthanasia Pasif
Hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk
aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti
menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien setelah
matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi
setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan
berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum,
1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
 Euthanasia Sukarela

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa: 29).
 Al-Quran
- “Dan janganlah membunuh jiwa yang diharamkan Allah melainkan dengan suatu
(alasan) yang benar” (QS Al Isra, 17:33).
- “Janganlah membunuh dirimu sendiri, karena sesungguhnya Allah Maha
Penyayang kepadamu” (QS Al-Nisa, 4:29).
- “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya”
(QS Al-Baqarah, 2:286).

PANDANGAN PEMUKA ETIKA KEDOKTERAN ISLAM


 Tidak ada alasan untuk pembunuhan yang dapat dibenarkan atas orang yang sakit
parah, baik melalui eutanasia aktif sukarela atau bunuh diri yang dibantu oleh dokter
dalam Islam.

149
23:
 Hukum Islam tidak melarang penarikan pengobatan yang sia-sia dan tidak
proporsional atas dasar persetujuan anggota keluarga dekat yang bertindak atas
nasehat profesional dari dokter yang bertanggung jawab atas kasus tersebut.
 Kaidah hukum Islam “la dharar wa la dhirar” membenarkan pembiaran kematian
secara alamiah.
 Walaupun petugas medis wajib menyediakan pelayanan medis sepanjang waktu,
tetapi tindakan medis dapat dihentikan jika menurut pendapatnya tipis atau nihil
harapan bagi pasien untuk sembuh.
 Organization of the Islamic Conference’s Islamic Fiqh Academy: Resolutions and
Recommendations (1406-1409H / 1985-1989 M).

ISLAMIC MEDICAL ASSOCIATION


 Ketika pengobatan menjadi sia-sia, itu tidak lagi wajib
 Hak asasi manusia dasar hidrasi, nutrisi, perawatan, pereda nyeri tidak dapat ditahan.

Bagaimana dengan Artificial Nutrition and Hydration?

ISLAMIC CODE OF MEDICAL ETHICS (Kuwait, 1981)


 Pembunuhan dengan belas kasihan, seperti bunuh diri, tidak mendapat dukungan
kecuali dalam cara berpikir ateis yang percaya bahwa kehidupan kita di bumi ini diikuti
oleh kehampaan.
 Klaim membunuh untuk penyakit tanpa harapan yang menyakitkan juga dibantah,
karena tidak ada rasa sakit manusia yang sebagian besar tidak dapat ditaklukkan dengan
pengobatan atau bedah saraf yang sesuai.

150

Anda mungkin juga menyukai