Anda di halaman 1dari 35

REFLEKSI KASUS

MANAJEMEN ANESTESI DENGAN PENYULIT HIPERTENSI


Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti
Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif
RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh:
Winda Alviranisa
20204010293

Pembimbing:
dr. Dedy hartono, Sp.An

SMF ANESTESIOLOGI DAN TEAPI INTENSIF


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
2022

1
HALAMAN PENGESAHAN

MANAJEMEN ANESTESI DENGAN PENYULIT HIPERTENSI

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti


Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif
RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh:
Winda Alviranisa
20204010293

Telah disetujui dan diprsentasikan pada tanggal:


17 Juni 2022

Oleh:
Dokter Pembimbing

dr. Dedy Hartono, Sp.An.

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan
karunia yang telah senantiasa dilimpahkan oleh-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas Refleksi Kasus yang berjudul “Manajemen Anestesi dengan
Penyulit Hipertensi” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian akhir di bagian
Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif dan juga untuk memberikan informasi kepada
masyarakat.
Penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa tugas Refleksi Kasus ini sangat
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala hormat dan kerendahan
hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
penelitian ke depannya.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya
kepada:
1. Allah SWT yang senantiasa telah memberikan nikmat tak terhingga kepada
penulis sehingga bisa menyelesaikan tugas Refleksi Kasus ini.
2. dr. Dedy Hartono, Sp. An selaku dokter pembimbing dalam menyelesaikan
tugas Refleksi Kasus ini.
3. Teman-teman koass seperjuangan di RSUD Panembahan Senopati Bantul.
Akhir kata dari penulis. Penulis sangat berharap semoga Allah SWT pahala
yang setimpal atas segala kebaikan apapun yang penulis dapatkan dari pihak-pihak
di atas. Aamiin Aamiin Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin. Penulis juga sangat
berharap semoga tugas Laporan Kasus ini bisa bermanfaat bagi para pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Bantul, 14 Juni 2022

Penulis

Winda Alviranisa

2
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... 1


KATA PENGANTAR ........................................................................................... 2
DAFTAR ISI .......................................................................................................... 3
BAB I LAPORAN KASUS .................................................................................. 4
A. Identitas Pasien ......................................................................................... 4

B. Anamnesis ................................................................................................. 4

C. Pemeriksaan Fisik ..................................................................................... 6

1. Keadaan Umum dan Kesadaran ......................................................... 6


2. Tanda Vital ........................................................................................ 6
3. Pemeriksaan Khusus .......................................................................... 6
4. Status Generalisata ............................................................................. 6
D. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................ 8

E. Diagnosis Kerja ......................................................................................... 9

F. Tatalaksana ............................................................................................. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 13


ANALISIS ..................................................................................................... 13

PEMBAHASAN TEORI ............................................................................... 13

A. DEFINISI ................................................................................................ 13

B. EPIDEMIOLOGI .................................................................................... 13

C. FAKTOR RISIKO .................................................................................. 14

D. KLASIFIKASI ........................................................................................ 16

E. PATOFISIOLOGI................................................................................... 16

F. DIAGNOSIS ........................................................................................... 19

G. TATALAKSANA ................................................................................... 22

H. MANAJEMEN OPERATIF PADA HIPERTENSI................................ 24

BAB III ANALISIS KASUS .............................................................................. 32


BAB IV KESIMPULAN ..................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 34

3
BAB I
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. R
No. RM : 12-34-20
Usia : 53 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kretek, Bantul
Status Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir : SD
Agama : Islam
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Masuk Rumah Sakit : 9 Juni 2022
Melalui : Poli Orthopedi

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Rencana lepas implant
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang pasien wanita usia 53 tahun datang ke Poli Ortopedi RSUD
Panembahan Senopati pada tanggal 9 Juni 2022 pukul 10.34 untuk kontrol
post operasi dan rencana melepas implant. 6 bulan yang lalu pasien masuk
RS pasien mengalami patah tulang pergelangan tangan kiri dan dilakukan
pemasangan implant pada pergelangan tangan kirinya. Keluhan lain berupa
pusing, mual, muntah disangkal, BAB dan BAK tidak ada keluhan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat alergi (+) Antibiotik Amoxicillin
 Riwaat Asma (-)
 Riwayat Diabetes Mellitus (+)
 Riwayat Penyakit Hipertensi (+)

4
 Riwayat Penyakit Ginjal (-)
 Riwayat Maag (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat alergi (-)
 Riwayat Diabetes Mellitus (-)
 Riwayat Hipertensi (-)
 Riwayat Penyakit Jantung (-)
 Riwayat Penyakit Ginjal (-)
5. Riwayat Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama suami,
anak, dan cucunya.
6. Evaluasi Pre Anestesi
Tabel 1. Hasil evaluasi pre-anestesi.
Ya Tidak
Hilang gigi V
Masalah mobilisasi leher V
Leher pendek V
Batuk V
Sesak napas V
Nyeri dada V
Denyut jantung tidak normal V
Kejang V
Merokok V
Alergi V
Stroke V
Pungsan V
Muntah V
Susah kencing V
Sedang hamil
Obesitas V
Hipertensi V

5
Gigi palsu V
Diabetes Melitus V
Instruksi pre-anestesi:
a. Terapi rutin Hipertensi dan DM lanjut (Amlodipin 1x5 mg dan Metformin
2x500 mg)
b. Cek GDS pagi hari target 100 sd. 200
c. Melengkapi lembar informed consent anestesi
d. Puasa 8 jam sebelum operasi
e. Pasang IV line dan 3 way, pastikan tetesan lancar

C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum dan Kesadaran
a. Keadaan Umum : Baik
b. Kesadaran : Compos Mentis (CM)
2. Tanda Vital
a. TD : 144/80 mmHg
b. RR : 20x/menit
c. Suhu : 36,1ºC
d. HR : 84x/menit
e. SpO2 : 99 %
f. VAS : 1-2
3. Pemeriksaan Khusus
Berat Badan : 56 kg
Tinggi Badan : 152 cm
Jarak Thyromental : > 6,5 cm
Buka Mulut : 3 jari
Mallampati : II
Gerakan Leher : Bebas
4. Status Generalisata
Pemeriksaan Kepala
 Kepala : Simetris, rambut hitam, dan pertumbuhan merata
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

6
 Hidung : Deviasi (-), discharge (-), perdarahan (-)
 Telinga : Simetris, serumen (-), nyeri (-)
 Mulut : Sianosis (-), mukosa bibir lembab (+)
tonsil T1-T1
Pemeriksaan Leher:
 Kelenjar Getah bening : Teraba membesar (-), Nyeri tekan (-)
Pemeriksaan Thoraks
Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis teraba di SIC V 1 jari medial garis
midklavikula sinistra
 Perkusi :
- Batas kanan atas jantung di SIC II garis parasternal dekstra
- Batas kiri atas jantung di SIC II garis parasternal sinistra Batas kanan
bawah jantung di SIC IV midklavikula sinistra
- Batas kiri bawah jantung di SIC V midklavikula sinistra
 Auskultasi : Bunyi jantung S1-S2 reguler
Paru-paru
 Inspeksi : Simetris saat inspirasi dan ekspirasi, retraksi (-)
 Palpasi : Vokal fremitus simetris kanan dan kiri
 Perkusi : Sonor (+/+)
 Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Pemeriksaan Abdomen:
 Inspeksi : Deformitas (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Palpasi : Supel (+), nyeri tekan (-)
 Perkusi : Timpani
Pemeriksaan Ekstremitas:
 Ekstermitas Atas Dextra : Akral hangat (+/+), nadi kuat, capillary
refill time <2 detik, edema (-/-)

7
 Ekstermitas Atas Sinistra: Akral hangat (+/+), nadi kuat, capillary refill
time <2 detik, edema (-/-), tampak bekas luka operasi

 Ekstermitas Bawah : Akral hangat (+/+), nadi kuat, capillary


refill time <2 detik, edema (-/-)

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium tanggal 9 Juni 2022
Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13.8 12.0 - 16.0 g/dl
Lekosit 8.25 4.00 - 11.00 10^3/uL
Eritrosit 4.81 4.00 - 5.00 10^6/uL
Trombosit 247 150 – 450 10^3/uL
Hematokrit 41.6 36.0 - 46.0 vol%
HITUNG JENIS
Eosinofil 2 2-4 %
Basofil 0 0-1 %
Batang 0 2-5 %
Segmen 66 51-67 %
Limfosit 27 20-35 %
Monosit 5 4-8 %
HEMOSTASIS
PTT 12.1 12.0-16.0 detik
APTT 28.9 28.0-38.0 detik
Control PTT 13.3 11.0-16.0 detik
Control APTT 30.5 28.0-38.5 detik
GOL. DARAH
Golongan Darah O
LED 1 jam 39 0-20 mm/jam
FUNGSI GINJAL
Ureum 18 17-43 mg/dl
Creatinin 0.72 0.60-1.10 mg/dl
DIABETES
Glukosa Darah Sewaktu 137 80-200 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 141.7 137.0 – 145.0 mmol/I
Kalium 3.64 3.50-5.10 mmol/I
Klorida 107.0 98.0-107.0 mmol/I
SERO-IMUNOLOGI
HbsAg Negatif Negatif
Antigen SARS Cov-2 Negatif Negatif

8
2. Radiologi
Foto Polos Thorax PA Dewasa

Gambar 1. Foto Polos Thorax PA Dewasa tanggal 9 Juni 2022


Kesan: Pulmo dan Cor normal

E. Diagnosis Kerja
 Post ORIF Distal Radius Sinistra
 American Sosciety of Anesthesiologist (ASA) II, Plan TIVA

9
F. Tatalaksana
 Medikamentosa
a) TS Ortopedi (pre-op)
- Removal Implan
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Anbacym 1 gram
b) Instruksi Pre Anestesi
 Terapi rutin Hipertensi dan DM lanjut (Amlodipin 1x5 mg dan
Metformin 2x500 mg)
 Cek GDS pagi hari target 100 sd. 200
 Melengkapi lembar informed consent anestesi
 Puasa 8 jam sebelum operasi
 Pasang IV line dan 3 way, pastikan tetesan lancar

Anestesi
 Diagnosa pra bedah : Post ORIF Radius Distal Sinistra
Diagnosa pasca beda : Post ROI Radius Distal Sinistra
Jenis Pembedahan : ROI
Premedikasi :
- Midazolam 2,5mg IV
- Fentanyl 100 mcg IV
Induksi : Propofol 100 mg IV
Jenis anestesi : General Anestesia
Teknik anestesi : TIVA
Posisi Pemasangan : Supine
Daerah Pemasangan : -
Obat :-
Pemeliharaan : Oksigen
Pernapasan : Spontan
Obat-obat :
- Injeksi Ondancetron 4 mg
- Injeksi Paracetamol 1000mg

10
Maintenance Operasi (MO) : 2 cc x BB = 2 x 56 kg = 112 cc
Lama Pengganti Puasa (PP) : 11 jam puasa x 112 = 1232 cc 
terpasang IV
Stress Operasi (SO) : 4 x 56 kg = 224 cc (operasi ringan)
Kebutuhan cairan I : ½( MO + SO) = 1/2(112+224) =
168 cc
Perdarahan : ±10 cc
Urin output :-
Total kebutuhan cairan : 168 cc + 10 cc = 178 cc
Jumlah pemberian cairan :
- Infus RL 500 cc (1 kali)
Sisa kebutuhan : 500 cc – 178 cc = 322 cc
Estimation Blood Volume (EBV) : 65 x BB = 65 x 56 kg= 3640 cc
Allowable Blood Loss (ABL) : 20% x 3640 cc= 720 cc
Lama operasi : 25 menit
 Monitoring Intraoperatif
Mulai anestesi : 09.05
Mulai operasi : 09.10
Selesai operasi : 09.25
Selesai anestesi : 09.30
Durasi operasi : 25 menit
Tabel 3. Laporan Pemantauan selama Anestesi.
Menit ke Sistole Diastole Pulse SpO2 Obat yang diberikan
0 (09.05) 173 89 92 98% Injeksi Midazolam 2,5mg
5 (09.10) 145 87 90 98% Injeksi Ondansetron 4 mg
Injeksi Paracetamol 1000 mg
10 (09.15) 142 82 84 99%
15 (09.20) 148 84 94 100%
20 (09.35) 140 78 97 100%

 Post Anestesi
a. Pemantauan di ruang PACU/RR

11
1) Tanda Vital
Tekanan Darah : 135/74 mmhg
Frekuensi nadi : 87x/menit
Frekuensi napas : 18x/menit
Saturasi O2 : 100%
VAS :0
2) Oksigenasi :-
3) Score Aldrete pasien
Tabel 4. Skor Aldrete pada pasien.

Skor Aldrete Jam I Jam II Jam III Jam IV

Kesadaran 2 2

Sirkulasi 2 2

Pernapasan 2 2

Aktivitas 1 1

Warna kulit 2 2

Total 9 9

Keterangan: pasien boleh pindah ke bangsal jika skor Aldrete > 8

 Instruksi pasca operasi


o Posisi : Supine head up 30°
o Infus : Ringer Laktat 20 tpm
o Analgetik :
 Injeksi Paracetamol 500 mg/6 jam/IV mulai jam 15.00 WIB
o Anti muntah: Injeksi Ondansetron 4 mg/8 jam/IV mulai jam 17.00 WIB
o Lain-lain : Awasi keadaan umum dan vital sign pasien, jika sadar
penuh, peristaltik (+), mual (-), muntah (-), coba minum dan makan
perlahan.

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS
Bagaimana manajemen preoperative, durante operative, dan pasca operatif pada
pasien ini?

PEMBAHASAN TEORI
A. DEFINISI
Menurut ESC-ESH Hypertension Guideline, diagnosis hipertensi
ditegakkan bila TDS ≥ 140 mmHg dan/atau TDD ≥90 mmHg pada pengukuran
di klinik atau fasilitas layanan kesehatan. Hipertensi adalah suatu peningkatan
abnormal tekanan darah dalam pembuluh darah arteri seca terus menerus lebih
dari suatu periode. Hipertensi dipengarui oleh faktor risiko ganda, baik yang
bersifat endogen seperti usia, jenis kelamin dan genetic/keturunan, maupun
yang bersifat eksogen seperti obsesitas, konsumsi garam, rokok, dan kopi.1
Menurut AHA dalam Kemenkes (2018), hipertensi merupakan silent killer
dimana gejalanya sangat bermacam-macam pada setiap individu dan hampir
sama dengan penyakit lain. Gejala-gejala tersebut adalah sakit kepala atau rasa
berat di tengkuk, vertigo, jantung berdear-debar, mudah lelah, penglihatan
kabur, telinga berdenging atau tinnitus, dan mimisan.2

B. EPIDEMIOLOGI
Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai. Diperkirakan dsatu dari
empat populasi dewasa di Amerika atau sekitar 60 juta individu dan hampir 1
milyar penduduk dunia menderita hipertensi, dengan mayoritas dari populasi
ini mempunyai risiko tinggi untuk mendapatkan komplikasi kardiovaskular.
Data yang tertinggi ditemukan pada populasi bukan kulit putih.2
Prevalensi Hipertensi nasional berdasarkan Riskesdas 2018 sebesar 34,1%.
Tertinggi di Sulawesi Utara (13,2%), sedangkan terendah di Papua sebesar
(4,4%). Berdasarkan data tersebut dari 34,1% orang yang mengalami hipertensi
hanya 1/3 yang terdiagnosis, sisanya 2/3 tidak terdiagnosis. Data menunjukkan

13
hanya 13,5% orang yang terdiagnosis tekanan darah tinggi minum obat
Hipertensi. Prevalensi hipertensi pada penduduk umur lebih dari sama dengan
18 tahun menurut karakteristiknya, semakin bertambah usia, maka semakin
tinggi prevalensinya (Riskesdas 2018, Kemenkes RI)2

C. FAKTOR RISIKO
Fakto-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetic, umur,
jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi
stress, obesitas, dan nutrisi.3,4
a. Usia
Usia mempengaruhi faktor risiko terkena hipertensi. Tekanan darah
cenderung meningkat pada usia lebih dari 45 tahun sedangkan pada
wanita meningkat pada usia lebih dari 55 tahun.
b. Riwayat Keluarga
Seorang yang memiliki keluarga seperti ayah, ibu, kakak
kandung/saudara kandung, kakek dan nenek dengan hipertensi lebih
berisiko untuk terkena hipertensi.
c. Jenis Kelamin
Dewasa ini hipertensi banyak ditemukan pada pria daripada wanita.
d. Ras/etnik
Hipertensi menyerang segala ras dan etnik namun di luar negeri
hipertensi banyak ditemukan pada ras Afrika Amerika daripada
Kaukasia atau Amerika Hispanik.
Kebiasaan atau gaya hidup tidak sehat dapat meningkatkan risiko
hipertensi, antara lain:
a. Merokok
Merokok meurpakan salah satu faktor penyebab hipertensi karena dalam
rokok terdapat kandungan nikotin. Nikotin terserap oleh pembuluh
darah kecil dalam paru-paru dan diedarkan ke otak. Di dalam otak,
nikotin memberiksan sinyal pada kelenjar adrenaluntuk melepaskan
epinefrin atau adrenalin yang akan menyempitkan pembuluh darah dan

14
memaksa jantung bekerja lebih berat karena tekanan darah yang lebih
tinggi.
b. Kurang aktivitas fisik
Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot
rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Kurangnya aktivitas fisik
merupakan faktor risiko independen pda penyakit kronis dan
diperkirakan menyebabkan kematian secara global.
c. Konsumsi Alkohol
Alkohol memiliki efek yang hampir sama dengan karbon monoksida,
yaitu dapat meningkatkan keasaman darah. Darah menjadi lebih kental
dan jantung dipaksa memompa darah lebih kuat lagi agar darah sampai
ke jaringan mencukupi. Maka dapat disimpulkan bahwa konsumsi
alkohol dapat meningkatkan tekanan darah
d. Kebiasaan minum kopi
Kopi seringkali dikaitkan dengan penyakit jantung koroner, termasuk
peningkatan tekanan darah dan kadar kolesterol darah karena kopi
mempunyai kandungan polifenol, kalium, dan kafein. Salah satu zat
yang dikatakan meningkatkan tekanan darah adalah kafein. Kafein
didalam tubuh manusia bekerja dengan cara memicu produksi hormon
adrenalin yang berasal dari reseptor adinosa didalam sel saraf yang
mengakibatkan peningkatan tekanan darah, pengaruh dari konsumsi
kafein dapat dirasakan dalam 5-30 menit dan bertahan hingga 12 jam.
e. Kebiasan konsumsi makanan banyak mengandung garam
Garam merupakan bumbu dapur yang biasa digunakan untuk
memasak. Konsumsi garam secara berlebih dapat meningkatkan
tekanan darah. Natrium merupakan kation utama dalam cairan
ekstraseluler tubuh yang berfungsi menjaga keseimbangan cairan.
Natrium yang berlebih dapat mengganggu keseimbangan cairan tubuh
sehingga menyebabkan edema atau asites, dan hipertensi.
f. Kebiasan konsumsi makanan lemak
Lemak di dalam makanan atau hidangan memberikan kecenderungan
meningkatkan kholesterol darah, terutama lemak hewani yang

15
mengandung lemak jenuh. Kolesterol yang tinggi berhubungan dengan
peningkatan prevalensi penyakit hipertensi.

D. KLASIFIKASI
Tabel 5. Klasifikasi Tekanan Darah Klinik

Sumber: ESC/ESH Hypertension Guidelines 2018


Berdasarkan penyebabnya, hipertensi terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Hipertensi Primer/Esensial
Hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik), walaupun
dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak
(inaktivitas) dan pola makan. Faktor ini terjadi sekitar 90% pada penderita
hipertensi.
b. Hipertensi Sekunder/Hipertensi Non Esensial
Hipertensi ini diketahui penyebabnya. Penderita hipertensi yang disebabkan
oleh penyakit ginjal yaitu 5-10 %, sedangkan 1-2 % penderita hipertensi ini
disebabkan oleh kelainan hormonal atau pemakainan obat tertentu.

E. PATOFISIOLOGI
Pada dasarnya hipertensi merupakan penyakit multifaktorial yang timbul akibat
berbagai interaksi faktor-faktor resiko tertentu. Faktor-faktor resiko yang
mendorong timbulnya kenaikan.3
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak
di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras
saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari
kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan
pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui

16
saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan
asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah
kapiler, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi
pembuluh darah kapiler.3

Gambar 1. Patofisiologi Hipertensi


Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon
pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan hipertensi
sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas
mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis
merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga
terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal
mengsekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal
mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapt memperkuat respon
vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan
aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang
pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu
vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh
korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus

17
ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut
cenderung mencetus keadaan hipertensi. Perubahan struktural dan fungsional
pada sistem pembuluh darah perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan
darah yang terjadi pada lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis,
hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos
pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan
daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang
kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung
(volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan
tahanan perifer.3
Pada dasarnya, tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tekanan
perifer. Berbagai faktor yang mempengaruhi curah jantung dan tekanan perifer akan
mempengaruhi tekanan darah seperti asupan garam yang tinggi, faktor genetik,
stres, obesitas, faktor endotel. Selain curah jantung dan tahanan perifer
sebenarnya tekanan darah dipengaruhi juga oleh tebalnya atrium kanan, tetapi
tidak mempunyai banyak pengaruh. Dalam tubuh terdapat sistem yang berfungsi
mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan
sirkulasi yang berusaha untuk mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam
jangka panjang. Sistem pengendalian tekanan darah sangat kompleks.
Pengendalian dimulai dari sistem yang bereaksi dengan cepat misalnya reflek
kardiovaskuler melalui sistem saraf, reflek kemoreseptor, respon iskemia, susunan
saraf pusat yang berasal dari atrium, arteri pulmonalis otot polos. Dari sistem
pengendalian yang bereaksi sangat cepat diikuti oleh sistem pengendalian yang
bereaksi kurang cepat, misalnya perpindahan cairan antara sirkulasi kapiler dan
rongga intertisial yang dikontrol hormon angiotensin dan vasopresin. Kemudian
dilanjutkan sistem yang poten dan berlangsung dalam jangka panjang misalnya
kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang dipertahankan oleh sistem yang
mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ. Peningkatan
tekanan darah pada hipertensi primer dipengaruhi oleh beberapa faktor genetik
yang menimbulkan perubahan pada ginjal dan membran sel, aktivitas saraf
simpatis dan renin, angiotensin yang mempengaruhi keadaan hemodinamik,
asupan natrium dan metabolisme natrium dalam ginjal serta obesitas dan faktor

18
endotel. Akibat yang ditimbulkan dari penyakit hipertensi antara lain penyempitan
arteri yang membawa darah dan oksigen ke otak, hal ini disebabkan karena
jaringan otak kekurangan oksigen akibat penyumbatan atau pecahnya pembuluh
darah otak dan akan mengakibatkan kematian pada bagian otak yang
kemudian dapat menimbulkan stroke. Komplikasi lain yaitu rasa sakit ketika
berjalan kerusakan pada ginjal dan kerusakan pada organ mata yang dapat
mengakibatkan kebutaan, sakit kepala, Jantung berdebar-debar, sulit bernafas
setelah bekerja keras atau mengangkat beban kerja, mudah lelah, penglihatan
kabur, wajah memerah, hidung berdarah, sering buang air kecil terutama di
malam hari telingga berdering (tinnitus) dan dunia terasa berputar.3

F. DIAGNOSIS
Berdasarkan anamnesis, sebagian besar pasien hipertensi bersifat
asimptomatik. Beberapa pasien mengalami keluhan berupa sakit kepala, rasa
seperti berputar, atau penglihatan kabur. Hal yang dapat menunjang kecurigaan ke
arah hipertensi sekunder antara lain penggunaan obat-obatan seperti kontrasepsi
hormonal, kortikosteroid, dekongestan maupun NSAID, sakit kepala paroksismal,
berkeringat atau takikardi serta adanya riwayat penyakit ginjal sebelumnya. Pada
anamnesis dapat pula digali mengenai faktor resiko kardiovaskular seperti merokok,
obesitas, aktivitas fisik yang kurang, dislipidemia, diabetes milletus,
mikroalbuminuria, penurunan laju GFR, dan riwayat keluarga.6
Berdasarkan pemeriksaan fisik, nilai tekanan darah pasien diambil rerata
dua kali pengukuran pada setiap kali kunjungan ke dokter. Apabila tekanan darah
≥ 140/90 mmHg pada dua atau lebih kunjungan maka hipertensi dapat ditegakkan.
Pemeriksaaan tekanan darah harus dilakukan dengan alat yang baik, ukuran dan
posisi manset yang tepat (setingkat dengan jantung) serta teknik yang benar.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memeriksa komplikasi yang telah atau
sedang terjadi seperti pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, kadar
ureum, kreatinin, gula darah, elektrolit, kalsium, asam urat dan urinalisis.
Pemeriksaan lain berupa pemeriksaan fungsi jantung berupa elektrokardiografi,
funduskopi, USG ginjal, foto thoraks dan ekokardiografi. Pada kasus dengan
kecurigaan hipertensi sekunder dapat dilakukan pemeriksaan sesuai indikasi dan

19
diagnosis banding yang dibuat. Pada hiper atau hipotiroidisme dapat dilakukan
fungsi tiroid (TSH, FT4, FT3), hiperparatiroidisme (kadar PTH, Ca2+),
hiperaldosteronisme primer berupa kadar aldosteron plasma, renin plasma, CT scan
abdomen, peningkatan kadar serum Na, penurunan K, peningkatan eksresi K dalam
urin ditemukan alkalosis metabolik. Pada feokromositoma, dilakukan kadar
metanefrin, CT scan/MRI abdomen. Pada sindrom cushing, dilakukan kadar
kortisol urin 24 jam. Pada hipertensi renovaskular, dapat dilakukan CT angiografi
arteri renalis, USG ginjal, Doppler Sonografi.6
Gambar. Algoritma Diagnosis

Sumber: Canadian Hypertension Education Program: The Canadian


Recommendation for The Management of Hypertension 2014

Mengukur tekanan darah secara benar sangatlah penting untuk


mendiagnosis adanya hipertensi dan mengevaluasi respons pengobatan
antihipertensi.
Pengukuran tekanan darah dapat menggunakan sfigmomanometer air raksa
maupun sfigmomanometer digital. Alat-alat tersebut harus divalidasi sesuai

20
protokol standar dan keakuratannya harus dikalibrasi secara berkala. Petunjuk cara
pengukuran tekanan darah dengan benar, yaitu:
 Mempersilahkan pasien untuk duduk selama 3-5 menit sebelum dilakukan
pengukuran TD. Sebaiknya sebelum dilakukan pemeriksaan pastikan
kandung kemih kosong dan hindari konsumsi kopi, alkohol dan rokok,
karena semua hal tersebut akan meningkatkan TD dari nilai sebenarnya.
 Melakukan pengukuran TD sebanyak 2 kali pada posisi duduk, beri jeda 1-
2 menit, serta pengukuran tambahan dapat dilakukan jika pengukuran kedua
memiliki hasil yang sangat berbeda. Dapat dipertimbangkan pula rerata TD
jika dianggap lebih tepat.
 Pengukuran TD secara berulang dapat dilakukan pada pasien dengan aritmia
untuk meningkatkan akurasi.
 Menggunakan manset standar, atau manset yang lebih besar atau kecil
sesuai dengan ukuran lengan.
 Pada metode auskultasi, gunakan (hilangnya) suara Korotkoff fase I dan V
untuk mengidentifikasi TD sistolik dan diastolik.
 Pada kunjungan pertama: mengukur TD pada kedua lengan untuk
mendeteksi adanya kemungkinan perbedaan. Pada pengukuran selanjutnya
menggunakan sisi lengan dengan pengukuran tertinggi sebagai referensi.
 Pada kunjungan pertama: pada subjek lansia, pasien diabetes, dan kondisi
lain dengan kemungkinan sering atau curiga hipotensi ortotastik dilakukan
pula pengukuran TD 1-3 menit setelah posisi berdiri
 Sebaiknya dilakukan pengukuran frekuensi nadi menggunakan palpasi nadi
(minimal 30 detik) setelah pengukuran TD.

21
G. TATALAKSANA
a. Modifikasi Gaya Hidup Hipertensi
Tabel 6. Modifikasi Gaya Hidup Hipertensi

Modifikasi Rekomendasi Perkiraan Penurunan


TDS (Skala)
Menurunkan Berat Badan Memelihara Berat Badan 5-20 mmHg/10 kg
Normal (Indeks Massa penurunan Berat Badan
Tubuh 18.5–24.9 kg/m2).
Melakukan pola diet Mengkonsumsi makanan 8-14 mmHg
berdasarkan DASH yang kaya dengan buah-
buahan, sayuran, produk
makanan yang rendah
lemak, dengan kadar lemak
total dan saturasi yang
rendah.
Diet Rendah Natrium Menurunkan asupan Garam 2-8 mmHg
sebesar tidak lebih dari 100
mmol per-hari (2.4 gr
Natrium atau 6 gr garam).
Olahraga Melakukan Kegiatan 4-9 mmHg
Aerobik fisik secara teratur,
seperti jalan cepat (paling
tidak 30 menit per-hari,
setiap hari dalam
seminggu).
Membatasi Penggunaan Membatasi konsumsi 2-4 mmH
Alkohol alkohol tidak lebih dari 2
gelas ( 1 oz atau 30 ml
ethanol; misalnya 24 oz bir,
10 oz anggur, atau 3 0z 80
whiski) per-hari pada
sebagian besar laki-laki dan
tidak lebih dari 1 gelas per-
hari pada wanita dan laki-
laki yang lebih kurus.
Sumber: Perhimpunan Dokter Hipertensi Seluruh Indonesia 2015
b. Terapi Farmakologi
Jenis obat antihipertensi:4
1. Diuretik
Obat-obatan jenis diuretic bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh
(lewat kencing), sehingga volume cairan tubuh berkurang
mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan dan berefek
pada turunnya tekanan darah. Contoh obat-obatan ini adalah:

22
Bendroflumethiazide, chlorthizlidone, hydrochlorothiazide, dan
indapamide.
2. ACE-Inhibitor
Kerja obat golongan ini menghambat pembentukan zat angiotensin II
(zat yang dapat meningkatkan tekanan darah). Efek samping yang
sering timbul adalah batuk kering, pusing sakit kepala dan lemas.
Contoh obat yang tergolong jenis ini adalah Catopril, enalapril, dan
lisinopril.
3. Calsium channel blocker
Golongan obat ini berkerja menurunkan menurunkan daya pompa
jantung dengan menghambat kontraksi otot jantung (kontraktilitas).
Contoh obat yang tergolong jenis obat ini adalah amlodipine,
diltiazem dan nitrendipine.
4. ARB
Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat
angiotensin II pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya
pompa jantung. Obat-obatan yang termasuk golongan ini adalah
eprosartan, candesartan, dan losartan.
5. Beta blocker
Mekanisme obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya
pompa jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang
telah diketahui mengidap gangguan pernafasan seperti asma
bronchial. Contoh obat yang tergolong ke dalam beta blocker adalah
atenolol, bisoprolol, dan beta metoprolol.

23
Gambar 2. Faktor Risiko dan Pemberian Obat Berdasarkan Derajat
Hipertensi

H. MANAJEMEN OPERATIF PADA HIPERTENSI


1. Manajemen pre-operatif7
Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang
akan menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang
harus dicari, yaitu:
 Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi
hipertensinya
 Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ
yangtelah terjadi

24
 Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh
penderita
 Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik
hipotensi, untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik
hipotensi.
Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis
riwayat perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin
dan prosedur diagnostik lainnya. Penilaian status volume cairan tubuh
adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang
sebenarnya ataukah suatu relatif hipovolemia (berkaitan dengan
penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu penggunaan
diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia dan
hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya
aritmia. Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat
membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko
iskemia miokardial akibat ketidak seimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin
dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat
kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal kronis,
maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu
diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke
atau TIA dan adanya retinopati hipertensi perlu dicatat.
Pertimbangan anestesia penderita hipertensi sampai saat ini belum ada
protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang paling tinggi yang
sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan anestesia dan
operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115
adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia
atau operasi kecuali operasi emergensi. Kenapa TD diastolik (TDD) yang
dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan
meningkat seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini
lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik dibandingkan patologik.
Namun beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar

25
risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan
hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil studi
menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat
menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang
berumur tua. Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada
penderita hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke sampai
35%- 40%, infark jantung sampai 20-25% dan angka kegagalan jantung
diturunkan sampai lebih dari 50%. 2,12 Menunda operasi hanya untuk
tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada
pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun
pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan
hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping
yang lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit
hipertensinya itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila
ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ sehingga evaluasi
lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi. The American Heart
Association /American College of Cardiology (AHA/ACC)
mengeluarkan acuan bahwa TDS ≤ 180 mmHg dan/atau TDD ≤ 110
mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali
operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD
dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa jam dengan
pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting. Perlu dipahami
bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon TD yang
berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi
pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi. Contoh
yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan respons
hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperatif
yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai
hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol
dengan baik.
2. Manajemen Operatif7
a. Premedikasi

26
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita
hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang
mungkin bisa menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepin
atau midazolam. Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada
hari pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit air non
partikel. Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor
dengan alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.
b. Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan
goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering
terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi.
Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan
kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting
dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi.
Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi
karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang
sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan
angiotensin receptor blocker. Hipertensi yang terjadi biasanya
diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi
endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat
menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat
tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%.
Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15detik dapat
membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik.
Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan
laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi:
 Dalamkan anestesia dengan menggunakan gasvolatile yang
poten selama 5-10 menit
 Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-
25 mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25-0,5 mikrogram/kgbb, atau
ramifentanil 0,5-1 mikro-gram/kgbb)
 Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atauintratrakea

27
 Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-
1,5 mg/kgbb, propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg)
 Menggunakan anestesia topikal pada airway.
Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah
bervariasi untuk masing-masing klinisi. Propofol, barbiturate,
benzodiazepine dan etomidat tingkat keamanannya adalah sama untuk
induksi padapenderita hipertensi. Untuk pemilihan pelumpuh otot
vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan atrakurium
atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai
obat induksi secara inhalasi.

b. Pemeliharaan Anestesi
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama
pemeliharaan anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi
TD yang terlalu lebar. Mempertahankan kestabilan hemodinamik
selama periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan
pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif. Pada hipertensi
kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan autoregulasi dari
serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah
terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD
diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat
antihipertensi akan menggeser kembali kurva autregulasi kekiri
kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur
autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya
diperhatikan, yaitu:
 Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang
maksimal yang dianjurkan untuk penderita hipertensi
 Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya
gejala hipoperfusi otak
 Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan
angka kejadian stroke
 Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal,

28
kurang lebih sama dengan yang terjadi pada serebral.
c. Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi
dengan memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan.
Anestesia dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan
N2O), anestesia imbang (balance anesthesia) dengan opioid + N2O +
pelumpuh otot, atau anestesia total intravena bisa digunakan untuk
pemeliharaan anestesia.
d. Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia,
namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan
hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien
dengan keadaan hipovolemia. Jika hipertensi tidak berespon terhadap
obat-obatan yang direkomendasikan, penyebab yang lain harus
dipertimbangkan seperti phaeochromacytoma, carcinoid syndrome
dan tyroid storm. Kebanyakan penderita hipertensi yang menjalani
tindakan operasi tidak memerlukan monitoring yang khusus.
Monitoring intra-arterial secara langsung diperlukan terutama untuk
jenis operasi yang menyebabkan perubahanp reload dan afterload yang
mendadak. EKG diperlukan untuk mendeteksi terjadinya iskemia
jantung. Produksi urine diperlukan terutama untuk penderita yang
mengalami masalah dengan ginjal, dengan pemasangan kateter urine,
untuk operasi-operasi yang lebih dari 2jam. Kateter vena sentral
diperlukan terutama untuk memonitoring status cairan pada penderita
yang mempunyai disfungsi ventrikel kiri atau adanya kerusakan end
organ yang lain.
e. Hipertensi intraoperatif
Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga
pada periode anestesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi
intraoperatif yang tidak berespon dengan didalamkannya anestesia
dapat diatasi dengan antihipertensi secara parenteral, namun faktor
penyebab bersifat reversibel atau bisa diatasi sepertianestesia yang
kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea harus disingkirkan
terlebih dahulu.

29
Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau
kronik, penyebab hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan
ada tidaknya penyaki tbronkospastik pulmoner dan juga tergantung
dari tujuan dari pengobatannya atau efek yang diinginkan dari
pemberian obat tersebut. Berikut ini ada beberapa contoh sebagai
dasar pemilihan obat yangakan digunakan:
 Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan
pada pasien dengan fungsi ventrikule ryang masih baik dan
dikontraindikasikan pada bronkospastik
 Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit
bronkospastik
 Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual
sering dihubungkan dengan iskemia miokard dan antihipertensi
yang mempunyai onset yang lambat
 Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif
pada hipertensi sedang sampai berat
 Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan
sebagai terapi atau pencegahan iskemia miokard
 Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau
menjaga fungsi ginjal
 Hydralazine: bisa menjaga kestabilan TD, namu nobat ini
juga punya onset yang lambat sehingga menyebabkan
timbulnya respon takikardia

3. Manajemen Pasca Operatif

30
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada
pasien yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan
kebutuhan oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia
miokard, disritmia jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga
menyebabkan stroke dan perdarahan ulangl uka operasi akibat terjadinya
disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi menyebabkan hematoma pada
daerahluka operasi sehingga menghambat penyembuhan lukaoperasi.
Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping
secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan
baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, overload
cairan atau distensi dari kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk
memberikan obat-obatanti hipertensi, penyebab-penyebab sekunder
tersebut harus dikoreksi dahulu. Nyeri merupakan salah satu faktor yang
paling berkonstribusi menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga
untuk pasien yang berisiko, nyeri sebaiknya ditangani secara adekuat,
misalnya dengan morfin epidural secara infus kontinyu.
4. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka
intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu dingat
bahwa meskipun pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien yang
prabedahnya sudah mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat
antihipertensi pasca bedah tetap diberikan. Hipertensi pasca operasi
sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi secara parenteral misalnya
dengan beta-blocker yang terutama digunakan untuk mengatasi hipertensi
dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena overload cairan,
bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila hipertensinya disertai
dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan
iskemia miokard yang aktif secara langsung maupun tidak langsung dapat
diberikan nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk
hipertensi berat sebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside. Apabila
penderita sudah bisa makan dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi
secara oral segera dimulai.

31
BAB III
ANALISIS KASUS

Pasien Ny. R berusia 53 tahun datang ke Poliklinik Ortopedi RSUD


Panembahan Senopati dengan tujuan untuk melepas implan di tangan. Pasien akan
dilakukan tindakan ROI dengan diagnosis Post ORIF Radius Distal Sinistra 6 bulan
yang lalu. Saat dilakukan evaluasi pre operatif, didapatkan pasien saat ini menderita
hipertensi dan diabetes terkontrol sehingga pasien dimasukkan ke dalam kriteria
ASA II yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa
keterbatasan aktivitas sehari-hari dengan tingkat motalitas 0,27- 0,4%. Pada pasien
ini persiapan pra anestesi dilakukan seperti informed consent dan puasa selama 8
jam. Untuk teknik anestesi yang digunakan yaitu Anestesi General dengan metode
TIVA (Total Intravenous Anesthesia).
Dari hasil pemeriksaan tanda–tanda vital, didapatkan tekanan darah pasien
yaitu 144/80 mmHg saat dibangsal. Sebelum dilakukan operasi pasien diberikan
terapi anti hipertensi golongan CCB sebagai terapi rutin farmakologi hipertensi
yaitu Amlodipin tablet 5 mg per oral. Saat persiapan pre operatif didapatkan
tekanan darah pasien yaitu 173/89 mmHg, hal ini dapat disebabkan oleh riwayat
hipertensi pada pasien. Selain itu faktor psikologis pasien berupa kecemasan
sebelum dilakukan tindakan operatf juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan
darah. Kemudian pada pasien ini diberikan pre-medikasi Midazolam 2,5 mg IV
lalu 5 menit kemudian dilakukan pemeriksaan tekanan darah ulang didapatkan hasil
145/87 mmHg, dengan hasil tersebut maka dapat melanjutkan dilakukannya
tindakan anestesi dan operasi.
Pada pasien-pasien dengan hipertensi yang akan melakukan pembedahan
direkomendasikan pemberian obat- obatan penenang atau untuk mengurangi
kecemasan pasien seperti obat golongan benzodiazepine atau midazolam.
Midazolam atau midazolam hydrochloride adalah golongan obat short-acting
benzodiazepine yang memiliki efek amnestik, hipnotik, sedatif dan antikonvulsan.
Midazolam diindikasikan untuk induksi anestesi umum, agen sedasi prosedural,
obat sedasi pasien dalam perawatan kritikal, dan obat untuk menghentikan kejang
pada epilepsi.

32
BAB IV
KESIMPULAN

Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai, dengan angka penderita


yang cukup tinggi. Hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor yang bisa
menyebabkan terjadinya komplikasi seperti penyakit- penyakit jantung, serebral,
ginjal dan vaskuler. Mengingat tingginya angka kejadian dan komplikasi yang: bisa
ditimbulkan oleh penyakit hipertensi ini, maka perlu adanya pemahaman dalam
manajemen sclama periode perioperatif. Manajemen perioperatif dimulai sejak
evaluasi prabedah, selama operasi dan dilanjutkan sampai periode pasca bedah.

Evaluasi prabedah sekaligus optimalisasi keadaan penderita sangat penting


dilakukan untuk meminimalkan terjadinya komplikasi, baik yang terjadi selama
intraoperatif maupun yang terjadi pada pasca pembedahan. Goncangan
hemodinamik mudah terjadi, baik berupa hipertensi maupun berupa hipotensi, yang
bisa menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi. Hal ini harus diantisipasi
dengan perlunya pemahaman tentang teknik anestesia yang benar, manajemen
cairan perioperatif, pengetahuan farmakologi obat-obat yang digunakan, baik obat-
obatan antihipertensi maupun obat-obatan anestesia serta penanganan nycri akut
yang adekuat. Dengan manajemen perioperatif yang benar terhadap penderita-
penderita hipertensi yang akan menjalani pembedahan, diharapkan bisa
menurunkan atau meminimalkan angka morbiditas maupun mortalitas.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. New ACC/AHA High Blood Pressure Guidelines Lower Definition of


Hypertension. American College of Cardiology. Accessed May 19, 2022.
2. Kemenkes 2018. Hasil Utama Riskesdas 2018. Jakarta
3. The Eight Joint National Commitee. Evidence based guideline for the management
of high blood pressure in adults-Report from the panel members appointed to the
eight joint national commitee. 2014.
4. ESH and ESC. 2018. ESH/ESC Guidelines For the Management Of Arterial
Hypertension. Journal Of hypertension 2018, vol 31, 1281-1357.
5. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition page 1653. The McGraw –
Hill Companies. 2005
6. Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (InaSH) 2015. ABC Hipertensi:
Diagnosis dan Tatalaksana Hipertensi. Jakarta
7. Made Wiyarna. 2008. Manajemen Perioperatif Pada Hipertensi. FK Udayana. Bali
8. Canadian Hypertension Education Program: The Canadian Recommendation for
The Management of Hypertension 2014

34

Anda mungkin juga menyukai