Disusun oleh:
Winda Alviranisa
20204010293
Pembimbing:
dr. Dedy hartono, Sp.An
1
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun oleh:
Winda Alviranisa
20204010293
Oleh:
Dokter Pembimbing
1
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan
karunia yang telah senantiasa dilimpahkan oleh-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas Refleksi Kasus yang berjudul “Manajemen Anestesi dengan
Penyulit Hipertensi” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian akhir di bagian
Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif dan juga untuk memberikan informasi kepada
masyarakat.
Penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa tugas Refleksi Kasus ini sangat
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala hormat dan kerendahan
hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
penelitian ke depannya.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya
kepada:
1. Allah SWT yang senantiasa telah memberikan nikmat tak terhingga kepada
penulis sehingga bisa menyelesaikan tugas Refleksi Kasus ini.
2. dr. Dedy Hartono, Sp. An selaku dokter pembimbing dalam menyelesaikan
tugas Refleksi Kasus ini.
3. Teman-teman koass seperjuangan di RSUD Panembahan Senopati Bantul.
Akhir kata dari penulis. Penulis sangat berharap semoga Allah SWT pahala
yang setimpal atas segala kebaikan apapun yang penulis dapatkan dari pihak-pihak
di atas. Aamiin Aamiin Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin. Penulis juga sangat
berharap semoga tugas Laporan Kasus ini bisa bermanfaat bagi para pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Bantul, 14 Juni 2022
Penulis
Winda Alviranisa
2
DAFTAR ISI
B. Anamnesis ................................................................................................. 4
F. Tatalaksana ............................................................................................. 10
A. DEFINISI ................................................................................................ 13
B. EPIDEMIOLOGI .................................................................................... 13
D. KLASIFIKASI ........................................................................................ 16
E. PATOFISIOLOGI................................................................................... 16
F. DIAGNOSIS ........................................................................................... 19
G. TATALAKSANA ................................................................................... 22
3
BAB I
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. R
No. RM : 12-34-20
Usia : 53 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kretek, Bantul
Status Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir : SD
Agama : Islam
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Masuk Rumah Sakit : 9 Juni 2022
Melalui : Poli Orthopedi
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Rencana lepas implant
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang pasien wanita usia 53 tahun datang ke Poli Ortopedi RSUD
Panembahan Senopati pada tanggal 9 Juni 2022 pukul 10.34 untuk kontrol
post operasi dan rencana melepas implant. 6 bulan yang lalu pasien masuk
RS pasien mengalami patah tulang pergelangan tangan kiri dan dilakukan
pemasangan implant pada pergelangan tangan kirinya. Keluhan lain berupa
pusing, mual, muntah disangkal, BAB dan BAK tidak ada keluhan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi (+) Antibiotik Amoxicillin
Riwaat Asma (-)
Riwayat Diabetes Mellitus (+)
Riwayat Penyakit Hipertensi (+)
4
Riwayat Penyakit Ginjal (-)
Riwayat Maag (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat alergi (-)
Riwayat Diabetes Mellitus (-)
Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat Penyakit Jantung (-)
Riwayat Penyakit Ginjal (-)
5. Riwayat Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama suami,
anak, dan cucunya.
6. Evaluasi Pre Anestesi
Tabel 1. Hasil evaluasi pre-anestesi.
Ya Tidak
Hilang gigi V
Masalah mobilisasi leher V
Leher pendek V
Batuk V
Sesak napas V
Nyeri dada V
Denyut jantung tidak normal V
Kejang V
Merokok V
Alergi V
Stroke V
Pungsan V
Muntah V
Susah kencing V
Sedang hamil
Obesitas V
Hipertensi V
5
Gigi palsu V
Diabetes Melitus V
Instruksi pre-anestesi:
a. Terapi rutin Hipertensi dan DM lanjut (Amlodipin 1x5 mg dan Metformin
2x500 mg)
b. Cek GDS pagi hari target 100 sd. 200
c. Melengkapi lembar informed consent anestesi
d. Puasa 8 jam sebelum operasi
e. Pasang IV line dan 3 way, pastikan tetesan lancar
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum dan Kesadaran
a. Keadaan Umum : Baik
b. Kesadaran : Compos Mentis (CM)
2. Tanda Vital
a. TD : 144/80 mmHg
b. RR : 20x/menit
c. Suhu : 36,1ºC
d. HR : 84x/menit
e. SpO2 : 99 %
f. VAS : 1-2
3. Pemeriksaan Khusus
Berat Badan : 56 kg
Tinggi Badan : 152 cm
Jarak Thyromental : > 6,5 cm
Buka Mulut : 3 jari
Mallampati : II
Gerakan Leher : Bebas
4. Status Generalisata
Pemeriksaan Kepala
Kepala : Simetris, rambut hitam, dan pertumbuhan merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
6
Hidung : Deviasi (-), discharge (-), perdarahan (-)
Telinga : Simetris, serumen (-), nyeri (-)
Mulut : Sianosis (-), mukosa bibir lembab (+)
tonsil T1-T1
Pemeriksaan Leher:
Kelenjar Getah bening : Teraba membesar (-), Nyeri tekan (-)
Pemeriksaan Thoraks
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di SIC V 1 jari medial garis
midklavikula sinistra
Perkusi :
- Batas kanan atas jantung di SIC II garis parasternal dekstra
- Batas kiri atas jantung di SIC II garis parasternal sinistra Batas kanan
bawah jantung di SIC IV midklavikula sinistra
- Batas kiri bawah jantung di SIC V midklavikula sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung S1-S2 reguler
Paru-paru
Inspeksi : Simetris saat inspirasi dan ekspirasi, retraksi (-)
Palpasi : Vokal fremitus simetris kanan dan kiri
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Pemeriksaan Abdomen:
Inspeksi : Deformitas (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel (+), nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Pemeriksaan Ekstremitas:
Ekstermitas Atas Dextra : Akral hangat (+/+), nadi kuat, capillary
refill time <2 detik, edema (-/-)
7
Ekstermitas Atas Sinistra: Akral hangat (+/+), nadi kuat, capillary refill
time <2 detik, edema (-/-), tampak bekas luka operasi
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium tanggal 9 Juni 2022
Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13.8 12.0 - 16.0 g/dl
Lekosit 8.25 4.00 - 11.00 10^3/uL
Eritrosit 4.81 4.00 - 5.00 10^6/uL
Trombosit 247 150 – 450 10^3/uL
Hematokrit 41.6 36.0 - 46.0 vol%
HITUNG JENIS
Eosinofil 2 2-4 %
Basofil 0 0-1 %
Batang 0 2-5 %
Segmen 66 51-67 %
Limfosit 27 20-35 %
Monosit 5 4-8 %
HEMOSTASIS
PTT 12.1 12.0-16.0 detik
APTT 28.9 28.0-38.0 detik
Control PTT 13.3 11.0-16.0 detik
Control APTT 30.5 28.0-38.5 detik
GOL. DARAH
Golongan Darah O
LED 1 jam 39 0-20 mm/jam
FUNGSI GINJAL
Ureum 18 17-43 mg/dl
Creatinin 0.72 0.60-1.10 mg/dl
DIABETES
Glukosa Darah Sewaktu 137 80-200 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 141.7 137.0 – 145.0 mmol/I
Kalium 3.64 3.50-5.10 mmol/I
Klorida 107.0 98.0-107.0 mmol/I
SERO-IMUNOLOGI
HbsAg Negatif Negatif
Antigen SARS Cov-2 Negatif Negatif
8
2. Radiologi
Foto Polos Thorax PA Dewasa
E. Diagnosis Kerja
Post ORIF Distal Radius Sinistra
American Sosciety of Anesthesiologist (ASA) II, Plan TIVA
9
F. Tatalaksana
Medikamentosa
a) TS Ortopedi (pre-op)
- Removal Implan
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Anbacym 1 gram
b) Instruksi Pre Anestesi
Terapi rutin Hipertensi dan DM lanjut (Amlodipin 1x5 mg dan
Metformin 2x500 mg)
Cek GDS pagi hari target 100 sd. 200
Melengkapi lembar informed consent anestesi
Puasa 8 jam sebelum operasi
Pasang IV line dan 3 way, pastikan tetesan lancar
Anestesi
Diagnosa pra bedah : Post ORIF Radius Distal Sinistra
Diagnosa pasca beda : Post ROI Radius Distal Sinistra
Jenis Pembedahan : ROI
Premedikasi :
- Midazolam 2,5mg IV
- Fentanyl 100 mcg IV
Induksi : Propofol 100 mg IV
Jenis anestesi : General Anestesia
Teknik anestesi : TIVA
Posisi Pemasangan : Supine
Daerah Pemasangan : -
Obat :-
Pemeliharaan : Oksigen
Pernapasan : Spontan
Obat-obat :
- Injeksi Ondancetron 4 mg
- Injeksi Paracetamol 1000mg
10
Maintenance Operasi (MO) : 2 cc x BB = 2 x 56 kg = 112 cc
Lama Pengganti Puasa (PP) : 11 jam puasa x 112 = 1232 cc
terpasang IV
Stress Operasi (SO) : 4 x 56 kg = 224 cc (operasi ringan)
Kebutuhan cairan I : ½( MO + SO) = 1/2(112+224) =
168 cc
Perdarahan : ±10 cc
Urin output :-
Total kebutuhan cairan : 168 cc + 10 cc = 178 cc
Jumlah pemberian cairan :
- Infus RL 500 cc (1 kali)
Sisa kebutuhan : 500 cc – 178 cc = 322 cc
Estimation Blood Volume (EBV) : 65 x BB = 65 x 56 kg= 3640 cc
Allowable Blood Loss (ABL) : 20% x 3640 cc= 720 cc
Lama operasi : 25 menit
Monitoring Intraoperatif
Mulai anestesi : 09.05
Mulai operasi : 09.10
Selesai operasi : 09.25
Selesai anestesi : 09.30
Durasi operasi : 25 menit
Tabel 3. Laporan Pemantauan selama Anestesi.
Menit ke Sistole Diastole Pulse SpO2 Obat yang diberikan
0 (09.05) 173 89 92 98% Injeksi Midazolam 2,5mg
5 (09.10) 145 87 90 98% Injeksi Ondansetron 4 mg
Injeksi Paracetamol 1000 mg
10 (09.15) 142 82 84 99%
15 (09.20) 148 84 94 100%
20 (09.35) 140 78 97 100%
Post Anestesi
a. Pemantauan di ruang PACU/RR
11
1) Tanda Vital
Tekanan Darah : 135/74 mmhg
Frekuensi nadi : 87x/menit
Frekuensi napas : 18x/menit
Saturasi O2 : 100%
VAS :0
2) Oksigenasi :-
3) Score Aldrete pasien
Tabel 4. Skor Aldrete pada pasien.
Kesadaran 2 2
Sirkulasi 2 2
Pernapasan 2 2
Aktivitas 1 1
Warna kulit 2 2
Total 9 9
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANALISIS
Bagaimana manajemen preoperative, durante operative, dan pasca operatif pada
pasien ini?
PEMBAHASAN TEORI
A. DEFINISI
Menurut ESC-ESH Hypertension Guideline, diagnosis hipertensi
ditegakkan bila TDS ≥ 140 mmHg dan/atau TDD ≥90 mmHg pada pengukuran
di klinik atau fasilitas layanan kesehatan. Hipertensi adalah suatu peningkatan
abnormal tekanan darah dalam pembuluh darah arteri seca terus menerus lebih
dari suatu periode. Hipertensi dipengarui oleh faktor risiko ganda, baik yang
bersifat endogen seperti usia, jenis kelamin dan genetic/keturunan, maupun
yang bersifat eksogen seperti obsesitas, konsumsi garam, rokok, dan kopi.1
Menurut AHA dalam Kemenkes (2018), hipertensi merupakan silent killer
dimana gejalanya sangat bermacam-macam pada setiap individu dan hampir
sama dengan penyakit lain. Gejala-gejala tersebut adalah sakit kepala atau rasa
berat di tengkuk, vertigo, jantung berdear-debar, mudah lelah, penglihatan
kabur, telinga berdenging atau tinnitus, dan mimisan.2
B. EPIDEMIOLOGI
Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai. Diperkirakan dsatu dari
empat populasi dewasa di Amerika atau sekitar 60 juta individu dan hampir 1
milyar penduduk dunia menderita hipertensi, dengan mayoritas dari populasi
ini mempunyai risiko tinggi untuk mendapatkan komplikasi kardiovaskular.
Data yang tertinggi ditemukan pada populasi bukan kulit putih.2
Prevalensi Hipertensi nasional berdasarkan Riskesdas 2018 sebesar 34,1%.
Tertinggi di Sulawesi Utara (13,2%), sedangkan terendah di Papua sebesar
(4,4%). Berdasarkan data tersebut dari 34,1% orang yang mengalami hipertensi
hanya 1/3 yang terdiagnosis, sisanya 2/3 tidak terdiagnosis. Data menunjukkan
13
hanya 13,5% orang yang terdiagnosis tekanan darah tinggi minum obat
Hipertensi. Prevalensi hipertensi pada penduduk umur lebih dari sama dengan
18 tahun menurut karakteristiknya, semakin bertambah usia, maka semakin
tinggi prevalensinya (Riskesdas 2018, Kemenkes RI)2
C. FAKTOR RISIKO
Fakto-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetic, umur,
jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi
stress, obesitas, dan nutrisi.3,4
a. Usia
Usia mempengaruhi faktor risiko terkena hipertensi. Tekanan darah
cenderung meningkat pada usia lebih dari 45 tahun sedangkan pada
wanita meningkat pada usia lebih dari 55 tahun.
b. Riwayat Keluarga
Seorang yang memiliki keluarga seperti ayah, ibu, kakak
kandung/saudara kandung, kakek dan nenek dengan hipertensi lebih
berisiko untuk terkena hipertensi.
c. Jenis Kelamin
Dewasa ini hipertensi banyak ditemukan pada pria daripada wanita.
d. Ras/etnik
Hipertensi menyerang segala ras dan etnik namun di luar negeri
hipertensi banyak ditemukan pada ras Afrika Amerika daripada
Kaukasia atau Amerika Hispanik.
Kebiasaan atau gaya hidup tidak sehat dapat meningkatkan risiko
hipertensi, antara lain:
a. Merokok
Merokok meurpakan salah satu faktor penyebab hipertensi karena dalam
rokok terdapat kandungan nikotin. Nikotin terserap oleh pembuluh
darah kecil dalam paru-paru dan diedarkan ke otak. Di dalam otak,
nikotin memberiksan sinyal pada kelenjar adrenaluntuk melepaskan
epinefrin atau adrenalin yang akan menyempitkan pembuluh darah dan
14
memaksa jantung bekerja lebih berat karena tekanan darah yang lebih
tinggi.
b. Kurang aktivitas fisik
Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot
rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Kurangnya aktivitas fisik
merupakan faktor risiko independen pda penyakit kronis dan
diperkirakan menyebabkan kematian secara global.
c. Konsumsi Alkohol
Alkohol memiliki efek yang hampir sama dengan karbon monoksida,
yaitu dapat meningkatkan keasaman darah. Darah menjadi lebih kental
dan jantung dipaksa memompa darah lebih kuat lagi agar darah sampai
ke jaringan mencukupi. Maka dapat disimpulkan bahwa konsumsi
alkohol dapat meningkatkan tekanan darah
d. Kebiasaan minum kopi
Kopi seringkali dikaitkan dengan penyakit jantung koroner, termasuk
peningkatan tekanan darah dan kadar kolesterol darah karena kopi
mempunyai kandungan polifenol, kalium, dan kafein. Salah satu zat
yang dikatakan meningkatkan tekanan darah adalah kafein. Kafein
didalam tubuh manusia bekerja dengan cara memicu produksi hormon
adrenalin yang berasal dari reseptor adinosa didalam sel saraf yang
mengakibatkan peningkatan tekanan darah, pengaruh dari konsumsi
kafein dapat dirasakan dalam 5-30 menit dan bertahan hingga 12 jam.
e. Kebiasan konsumsi makanan banyak mengandung garam
Garam merupakan bumbu dapur yang biasa digunakan untuk
memasak. Konsumsi garam secara berlebih dapat meningkatkan
tekanan darah. Natrium merupakan kation utama dalam cairan
ekstraseluler tubuh yang berfungsi menjaga keseimbangan cairan.
Natrium yang berlebih dapat mengganggu keseimbangan cairan tubuh
sehingga menyebabkan edema atau asites, dan hipertensi.
f. Kebiasan konsumsi makanan lemak
Lemak di dalam makanan atau hidangan memberikan kecenderungan
meningkatkan kholesterol darah, terutama lemak hewani yang
15
mengandung lemak jenuh. Kolesterol yang tinggi berhubungan dengan
peningkatan prevalensi penyakit hipertensi.
D. KLASIFIKASI
Tabel 5. Klasifikasi Tekanan Darah Klinik
E. PATOFISIOLOGI
Pada dasarnya hipertensi merupakan penyakit multifaktorial yang timbul akibat
berbagai interaksi faktor-faktor resiko tertentu. Faktor-faktor resiko yang
mendorong timbulnya kenaikan.3
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak
di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras
saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari
kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan
pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui
16
saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan
asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah
kapiler, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi
pembuluh darah kapiler.3
17
ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut
cenderung mencetus keadaan hipertensi. Perubahan struktural dan fungsional
pada sistem pembuluh darah perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan
darah yang terjadi pada lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis,
hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos
pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan
daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang
kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung
(volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan
tahanan perifer.3
Pada dasarnya, tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tekanan
perifer. Berbagai faktor yang mempengaruhi curah jantung dan tekanan perifer akan
mempengaruhi tekanan darah seperti asupan garam yang tinggi, faktor genetik,
stres, obesitas, faktor endotel. Selain curah jantung dan tahanan perifer
sebenarnya tekanan darah dipengaruhi juga oleh tebalnya atrium kanan, tetapi
tidak mempunyai banyak pengaruh. Dalam tubuh terdapat sistem yang berfungsi
mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan
sirkulasi yang berusaha untuk mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam
jangka panjang. Sistem pengendalian tekanan darah sangat kompleks.
Pengendalian dimulai dari sistem yang bereaksi dengan cepat misalnya reflek
kardiovaskuler melalui sistem saraf, reflek kemoreseptor, respon iskemia, susunan
saraf pusat yang berasal dari atrium, arteri pulmonalis otot polos. Dari sistem
pengendalian yang bereaksi sangat cepat diikuti oleh sistem pengendalian yang
bereaksi kurang cepat, misalnya perpindahan cairan antara sirkulasi kapiler dan
rongga intertisial yang dikontrol hormon angiotensin dan vasopresin. Kemudian
dilanjutkan sistem yang poten dan berlangsung dalam jangka panjang misalnya
kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang dipertahankan oleh sistem yang
mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ. Peningkatan
tekanan darah pada hipertensi primer dipengaruhi oleh beberapa faktor genetik
yang menimbulkan perubahan pada ginjal dan membran sel, aktivitas saraf
simpatis dan renin, angiotensin yang mempengaruhi keadaan hemodinamik,
asupan natrium dan metabolisme natrium dalam ginjal serta obesitas dan faktor
18
endotel. Akibat yang ditimbulkan dari penyakit hipertensi antara lain penyempitan
arteri yang membawa darah dan oksigen ke otak, hal ini disebabkan karena
jaringan otak kekurangan oksigen akibat penyumbatan atau pecahnya pembuluh
darah otak dan akan mengakibatkan kematian pada bagian otak yang
kemudian dapat menimbulkan stroke. Komplikasi lain yaitu rasa sakit ketika
berjalan kerusakan pada ginjal dan kerusakan pada organ mata yang dapat
mengakibatkan kebutaan, sakit kepala, Jantung berdebar-debar, sulit bernafas
setelah bekerja keras atau mengangkat beban kerja, mudah lelah, penglihatan
kabur, wajah memerah, hidung berdarah, sering buang air kecil terutama di
malam hari telingga berdering (tinnitus) dan dunia terasa berputar.3
F. DIAGNOSIS
Berdasarkan anamnesis, sebagian besar pasien hipertensi bersifat
asimptomatik. Beberapa pasien mengalami keluhan berupa sakit kepala, rasa
seperti berputar, atau penglihatan kabur. Hal yang dapat menunjang kecurigaan ke
arah hipertensi sekunder antara lain penggunaan obat-obatan seperti kontrasepsi
hormonal, kortikosteroid, dekongestan maupun NSAID, sakit kepala paroksismal,
berkeringat atau takikardi serta adanya riwayat penyakit ginjal sebelumnya. Pada
anamnesis dapat pula digali mengenai faktor resiko kardiovaskular seperti merokok,
obesitas, aktivitas fisik yang kurang, dislipidemia, diabetes milletus,
mikroalbuminuria, penurunan laju GFR, dan riwayat keluarga.6
Berdasarkan pemeriksaan fisik, nilai tekanan darah pasien diambil rerata
dua kali pengukuran pada setiap kali kunjungan ke dokter. Apabila tekanan darah
≥ 140/90 mmHg pada dua atau lebih kunjungan maka hipertensi dapat ditegakkan.
Pemeriksaaan tekanan darah harus dilakukan dengan alat yang baik, ukuran dan
posisi manset yang tepat (setingkat dengan jantung) serta teknik yang benar.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memeriksa komplikasi yang telah atau
sedang terjadi seperti pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, kadar
ureum, kreatinin, gula darah, elektrolit, kalsium, asam urat dan urinalisis.
Pemeriksaan lain berupa pemeriksaan fungsi jantung berupa elektrokardiografi,
funduskopi, USG ginjal, foto thoraks dan ekokardiografi. Pada kasus dengan
kecurigaan hipertensi sekunder dapat dilakukan pemeriksaan sesuai indikasi dan
19
diagnosis banding yang dibuat. Pada hiper atau hipotiroidisme dapat dilakukan
fungsi tiroid (TSH, FT4, FT3), hiperparatiroidisme (kadar PTH, Ca2+),
hiperaldosteronisme primer berupa kadar aldosteron plasma, renin plasma, CT scan
abdomen, peningkatan kadar serum Na, penurunan K, peningkatan eksresi K dalam
urin ditemukan alkalosis metabolik. Pada feokromositoma, dilakukan kadar
metanefrin, CT scan/MRI abdomen. Pada sindrom cushing, dilakukan kadar
kortisol urin 24 jam. Pada hipertensi renovaskular, dapat dilakukan CT angiografi
arteri renalis, USG ginjal, Doppler Sonografi.6
Gambar. Algoritma Diagnosis
20
protokol standar dan keakuratannya harus dikalibrasi secara berkala. Petunjuk cara
pengukuran tekanan darah dengan benar, yaitu:
Mempersilahkan pasien untuk duduk selama 3-5 menit sebelum dilakukan
pengukuran TD. Sebaiknya sebelum dilakukan pemeriksaan pastikan
kandung kemih kosong dan hindari konsumsi kopi, alkohol dan rokok,
karena semua hal tersebut akan meningkatkan TD dari nilai sebenarnya.
Melakukan pengukuran TD sebanyak 2 kali pada posisi duduk, beri jeda 1-
2 menit, serta pengukuran tambahan dapat dilakukan jika pengukuran kedua
memiliki hasil yang sangat berbeda. Dapat dipertimbangkan pula rerata TD
jika dianggap lebih tepat.
Pengukuran TD secara berulang dapat dilakukan pada pasien dengan aritmia
untuk meningkatkan akurasi.
Menggunakan manset standar, atau manset yang lebih besar atau kecil
sesuai dengan ukuran lengan.
Pada metode auskultasi, gunakan (hilangnya) suara Korotkoff fase I dan V
untuk mengidentifikasi TD sistolik dan diastolik.
Pada kunjungan pertama: mengukur TD pada kedua lengan untuk
mendeteksi adanya kemungkinan perbedaan. Pada pengukuran selanjutnya
menggunakan sisi lengan dengan pengukuran tertinggi sebagai referensi.
Pada kunjungan pertama: pada subjek lansia, pasien diabetes, dan kondisi
lain dengan kemungkinan sering atau curiga hipotensi ortotastik dilakukan
pula pengukuran TD 1-3 menit setelah posisi berdiri
Sebaiknya dilakukan pengukuran frekuensi nadi menggunakan palpasi nadi
(minimal 30 detik) setelah pengukuran TD.
21
G. TATALAKSANA
a. Modifikasi Gaya Hidup Hipertensi
Tabel 6. Modifikasi Gaya Hidup Hipertensi
22
Bendroflumethiazide, chlorthizlidone, hydrochlorothiazide, dan
indapamide.
2. ACE-Inhibitor
Kerja obat golongan ini menghambat pembentukan zat angiotensin II
(zat yang dapat meningkatkan tekanan darah). Efek samping yang
sering timbul adalah batuk kering, pusing sakit kepala dan lemas.
Contoh obat yang tergolong jenis ini adalah Catopril, enalapril, dan
lisinopril.
3. Calsium channel blocker
Golongan obat ini berkerja menurunkan menurunkan daya pompa
jantung dengan menghambat kontraksi otot jantung (kontraktilitas).
Contoh obat yang tergolong jenis obat ini adalah amlodipine,
diltiazem dan nitrendipine.
4. ARB
Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat
angiotensin II pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya
pompa jantung. Obat-obatan yang termasuk golongan ini adalah
eprosartan, candesartan, dan losartan.
5. Beta blocker
Mekanisme obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya
pompa jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang
telah diketahui mengidap gangguan pernafasan seperti asma
bronchial. Contoh obat yang tergolong ke dalam beta blocker adalah
atenolol, bisoprolol, dan beta metoprolol.
23
Gambar 2. Faktor Risiko dan Pemberian Obat Berdasarkan Derajat
Hipertensi
24
Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh
penderita
Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik
hipotensi, untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik
hipotensi.
Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis
riwayat perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin
dan prosedur diagnostik lainnya. Penilaian status volume cairan tubuh
adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang
sebenarnya ataukah suatu relatif hipovolemia (berkaitan dengan
penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu penggunaan
diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia dan
hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya
aritmia. Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat
membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko
iskemia miokardial akibat ketidak seimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin
dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat
kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal kronis,
maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu
diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke
atau TIA dan adanya retinopati hipertensi perlu dicatat.
Pertimbangan anestesia penderita hipertensi sampai saat ini belum ada
protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang paling tinggi yang
sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan anestesia dan
operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115
adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia
atau operasi kecuali operasi emergensi. Kenapa TD diastolik (TDD) yang
dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan
meningkat seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini
lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik dibandingkan patologik.
Namun beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar
25
risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan
hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil studi
menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat
menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang
berumur tua. Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada
penderita hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke sampai
35%- 40%, infark jantung sampai 20-25% dan angka kegagalan jantung
diturunkan sampai lebih dari 50%. 2,12 Menunda operasi hanya untuk
tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada
pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun
pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan
hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping
yang lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit
hipertensinya itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila
ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ sehingga evaluasi
lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi. The American Heart
Association /American College of Cardiology (AHA/ACC)
mengeluarkan acuan bahwa TDS ≤ 180 mmHg dan/atau TDD ≤ 110
mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali
operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD
dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa jam dengan
pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting. Perlu dipahami
bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon TD yang
berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi
pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi. Contoh
yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan respons
hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperatif
yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai
hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol
dengan baik.
2. Manajemen Operatif7
a. Premedikasi
26
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita
hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang
mungkin bisa menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepin
atau midazolam. Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada
hari pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit air non
partikel. Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor
dengan alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.
b. Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan
goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering
terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi.
Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan
kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting
dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi.
Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi
karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang
sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan
angiotensin receptor blocker. Hipertensi yang terjadi biasanya
diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi
endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat
menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat
tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%.
Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15detik dapat
membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik.
Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan
laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi:
Dalamkan anestesia dengan menggunakan gasvolatile yang
poten selama 5-10 menit
Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-
25 mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25-0,5 mikrogram/kgbb, atau
ramifentanil 0,5-1 mikro-gram/kgbb)
Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atauintratrakea
27
Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-
1,5 mg/kgbb, propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg)
Menggunakan anestesia topikal pada airway.
Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah
bervariasi untuk masing-masing klinisi. Propofol, barbiturate,
benzodiazepine dan etomidat tingkat keamanannya adalah sama untuk
induksi padapenderita hipertensi. Untuk pemilihan pelumpuh otot
vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan atrakurium
atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai
obat induksi secara inhalasi.
b. Pemeliharaan Anestesi
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama
pemeliharaan anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi
TD yang terlalu lebar. Mempertahankan kestabilan hemodinamik
selama periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan
pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif. Pada hipertensi
kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan autoregulasi dari
serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah
terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD
diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat
antihipertensi akan menggeser kembali kurva autregulasi kekiri
kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur
autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya
diperhatikan, yaitu:
Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang
maksimal yang dianjurkan untuk penderita hipertensi
Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya
gejala hipoperfusi otak
Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan
angka kejadian stroke
Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal,
28
kurang lebih sama dengan yang terjadi pada serebral.
c. Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi
dengan memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan.
Anestesia dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan
N2O), anestesia imbang (balance anesthesia) dengan opioid + N2O +
pelumpuh otot, atau anestesia total intravena bisa digunakan untuk
pemeliharaan anestesia.
d. Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia,
namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan
hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien
dengan keadaan hipovolemia. Jika hipertensi tidak berespon terhadap
obat-obatan yang direkomendasikan, penyebab yang lain harus
dipertimbangkan seperti phaeochromacytoma, carcinoid syndrome
dan tyroid storm. Kebanyakan penderita hipertensi yang menjalani
tindakan operasi tidak memerlukan monitoring yang khusus.
Monitoring intra-arterial secara langsung diperlukan terutama untuk
jenis operasi yang menyebabkan perubahanp reload dan afterload yang
mendadak. EKG diperlukan untuk mendeteksi terjadinya iskemia
jantung. Produksi urine diperlukan terutama untuk penderita yang
mengalami masalah dengan ginjal, dengan pemasangan kateter urine,
untuk operasi-operasi yang lebih dari 2jam. Kateter vena sentral
diperlukan terutama untuk memonitoring status cairan pada penderita
yang mempunyai disfungsi ventrikel kiri atau adanya kerusakan end
organ yang lain.
e. Hipertensi intraoperatif
Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga
pada periode anestesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi
intraoperatif yang tidak berespon dengan didalamkannya anestesia
dapat diatasi dengan antihipertensi secara parenteral, namun faktor
penyebab bersifat reversibel atau bisa diatasi sepertianestesia yang
kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea harus disingkirkan
terlebih dahulu.
29
Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau
kronik, penyebab hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan
ada tidaknya penyaki tbronkospastik pulmoner dan juga tergantung
dari tujuan dari pengobatannya atau efek yang diinginkan dari
pemberian obat tersebut. Berikut ini ada beberapa contoh sebagai
dasar pemilihan obat yangakan digunakan:
Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan
pada pasien dengan fungsi ventrikule ryang masih baik dan
dikontraindikasikan pada bronkospastik
Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit
bronkospastik
Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual
sering dihubungkan dengan iskemia miokard dan antihipertensi
yang mempunyai onset yang lambat
Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif
pada hipertensi sedang sampai berat
Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan
sebagai terapi atau pencegahan iskemia miokard
Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau
menjaga fungsi ginjal
Hydralazine: bisa menjaga kestabilan TD, namu nobat ini
juga punya onset yang lambat sehingga menyebabkan
timbulnya respon takikardia
30
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada
pasien yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan
kebutuhan oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia
miokard, disritmia jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga
menyebabkan stroke dan perdarahan ulangl uka operasi akibat terjadinya
disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi menyebabkan hematoma pada
daerahluka operasi sehingga menghambat penyembuhan lukaoperasi.
Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping
secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan
baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, overload
cairan atau distensi dari kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk
memberikan obat-obatanti hipertensi, penyebab-penyebab sekunder
tersebut harus dikoreksi dahulu. Nyeri merupakan salah satu faktor yang
paling berkonstribusi menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga
untuk pasien yang berisiko, nyeri sebaiknya ditangani secara adekuat,
misalnya dengan morfin epidural secara infus kontinyu.
4. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka
intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu dingat
bahwa meskipun pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien yang
prabedahnya sudah mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat
antihipertensi pasca bedah tetap diberikan. Hipertensi pasca operasi
sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi secara parenteral misalnya
dengan beta-blocker yang terutama digunakan untuk mengatasi hipertensi
dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena overload cairan,
bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila hipertensinya disertai
dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan
iskemia miokard yang aktif secara langsung maupun tidak langsung dapat
diberikan nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk
hipertensi berat sebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside. Apabila
penderita sudah bisa makan dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi
secara oral segera dimulai.
31
BAB III
ANALISIS KASUS
32
BAB IV
KESIMPULAN
33
DAFTAR PUSTAKA
34