Anda di halaman 1dari 34

CRITICAL JURNAL REVIEW

ILMU ALAMIAH DASAR

DISUSUN OLEH :
IRMA PURBA
2173142015

DOSEN PEMBIMBING :
ADRYANA YD, S.Pd, M.Pd

PENDIDIKAN SENI MUSIK


UNIVERSITAS NEGRI MEDAN
2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala


rahmatNYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai .
Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik materi maupun pikirannya.

    Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah


pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke
depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.

    Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami,


Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh
karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

                                                                                      

Medan, 4 Oktober 2018

                                                                                              

Penyusun
PENDAHULUAN

Ilmu alamiah dasar atau sering disebut ilmu pengetahuan alam (natural science)
merupakan ilmu pengetahuan yang menjelaskan tentang gejala-gejala dalam alam
semesta, termasuk di muka bumi ini, sehingga terbentuk konsep dan prinsip. IAD hanya
mengkaji konsep-konsep dan prinsip-prinsip dasar yang esensial saja dan ilmu yang
hanya berbicara tentang bagaimna metode-metode ilmu kealaman dalam menjelaskan
gejala-gejala alam lebih secara filosofi. IAD merumuskan pemikiran yang selalu di
landasi oleh realisme, karena ilmu sains ini berbicara tentang metode-metode alamiah
dan gejala-gejala alamiah sehingga tidak dapat lepas dari realitas objek-objek materi
yang dapat dilihat oleh indra.
Sedangkan ilmu alamiah dasar menurut Abdulah Aly dan Eny Rahma (2006: V) “Ilmu
Alamiah Dasar” merupakan kumpulan pengetahuan tentang konsep-konsep dasar dalam
bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Teknologi”.

Jadi, pengertian ilmu alamiah yang saya ketahui itu adalah pengetahuan dasar yang
mempelajari alam semesta,dan dapat dikatakan sebagai konsep awal terbentuknya ilmu
pengetahuan alam. Yang dapat dipelajarinya dengan cara metode-metode atau prinsip-
prinsip yang tidak dapat lepas dari kenyataan (realitas).

Ilmu alamiah dasar yang mempelajari dasar-dasar alamiah secara universal atau
keselururan tapi yang mencakup dasar-dasarnya saja. Ilmu alamiah selalu merumuskan
masalahnya dari gejala-gejala yang realitas sehingga metode yang dapat digunakan
dalam ilmu alamiah dasar adalah metode-metode yang tidak lepas dari objek-objek
materi yang dapat dilihat dan dirasa oleh panca indra. Metode-metode yang digunakan
dalam menapsirkan Ilmu Alamiah Dasar adalah metode-metode alamiah yang dapat di
lihat oleh indra sehingga,tidak dapat dengan mudah untuk mengambil keputusan untuk
membuat prinsip mengenai ilmu alamiah dasar jika tidak ada realitanya.
JUDUL Kemampuan kognisi, kerja ilmiah dan sikap mahasiswa
Non ipa melalui pembelajaran inkuiri berbantuan multimedia

Makna Kultural Mitos dalam Budaya Masyarakat Banten

Ilmu alamiah dasar


JURNAL Pengajar, Universitas Islam Nusantara-Bandung, mahasiswa S3 Universitas
Pendidikan Indonesia 2Guru besar pasca sarjana Universitas Pendidikan
Indonesia-Bandung 3Widyaiswara P4TK Bandung Jawa Barat
Akuntansi ( ekonomi ) universitas swadaya gunung jati (unswagati) 2015/2016

Institut agama islam negeri antasari fakultas ushuluddin dan humaniora jurusan
ilmu al-qur'an dan tafsir
ISSN 2085-0018
0216-2385
1411-5735
VOLUME DAN HALAMAN Vol 1 dan hal 236
Vol 17, No 2 page. 65-72
Vol 5 dan hal 15
TAHUN Maret 2017
Juli 2016
Febuari 2015
PENULIS R. Cahyani1*, N. Y. Rustaman2, M. Arifin2, Y. Hendriani

Vevy ayu Damayanti

Hartono, Muhammad fauzi, Muhammad marzuki


REVIEWER Irma Purba
TANGGAL 4 Oktober 2018
TOPIK RINGKASAN ISI JURNAL
SUBJEK PENELITIAN 1. Berdasarkan SKL dalam kurikulum 2013, keterampilan proses yang dimaksud
adalah: Mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyaji, menalar dan mencipta,
sedangkan keterampilan abstraknya membaca, menulis, menghitung, menggambar
dan mengarang (Kemendikbud, 2012). Hal tersebut selaras dengan pembelajaran
inkuiri yang menekankan pada kerja ilmiah yaitu: mengumpulkan informasi,
merumuskan masalah, membuat hipotesis, merumuskan variabel, memprediksi,
menghitung, membuat tabel, grafik, menyimpulkan, mengkomunikasikan.
Banyak faktor agar tujuan pembelajaran dapat dicapai sesuai kompetensi inti salah
satunya media pembelajaran. Media pembelajaran memiliki andil untuk menjelaskan
hal-hal yang abstrak maupun yang tersembunyi, ketidakjelasan atau kerumitan bahan
ajar dapat dibantu dengan menghadirkan media sebagai perantara (Rusman, 2011).
Dalam pembelajaran Ilmu Alamiah Dasar (IAD) terdapat beberapa konsep
pembelajaran yang membutuhkan media untuk menjelaskan kerumitan bahan ajar
maupun fenomena alam seperti tsunami, banjir, penurunan air tanah. Hal tersebut
tidak bisa dibawa ke dalam kelas saat pembelajaran berlangsung, oleh sebab itu
diperlukan multimedia untuk memahaminya. Pembelajaran menggunakan
multimedia dapat dirancang pada perkuliahan IAD bagi mahasiswa S1 non eksakta di
fakultas keguruan. Jika diterapkan pada perkuliahan IAD diharapkan akan menarik
minat mahasiswa, membangkitkan gairah maupun motivasi mahasiswa, sehingga
mam pu mengembangkan ability inkuiri yaitu bekerja ilmiah, pemahaman
pengetahuan dan mengembangkan sikap ilmiah.

2. Banten sebagai provinsi ketiga puluh di Indonesia yang terletak di bagian


paling barat Pulau Jawa, sejak dahulu dikenal sebagai daerah
yang religious dengan Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas
masyarakat Banten. Selain dikenal dengan sikapnya yang religius, masyarakat
Banten, sebagaimana yang ditulis dalam laporan-laporan kolonial Belanda, juga
dinyatakan sebagai masyarakat Muslim paling fanatik kedua di Nusantara setelah
masyarakat Aceh. Pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20, masyarakat Banten
juga dikenal sebagai masyarakat yang paling memberontak terhadap kolonial
Belanda. Dari tahun 1813−1890, tidak kurang dari 80 pemberontakan dan
kerusuhan terjadi di daerah Banten (Ali 2007: 1). Dua pemberontakan besar paling
dikenal dan dianggap sebagai kerusuhan di Banten yang paling mengerikan oleh
Belanda adalah pertama, pemberontakan petani tahun 1888 (Kartodirdjo 1966).
Kedua, pemberontakan komunis pada tahun 1926 (Williams 1982). Kyai (ulama),
jawara,  dan para pengikutnya banyak terlibat dan menjadi penggerak dalam dua
kerusuhan besar tersebut.
Dalam berbagai catatan sejarah baik yang ditulis oleh penulis lokal, nasional,
maupun penulis asing, pada abad ke-16 sampai permulaan abad ke-18, Banten
selalu disebut-sebut sebagai salah satu kesultanan Islam paling besar dan kuat di
Nusantara. Banyak karya, baik yang ditulis oleh penulis Indonesia maupun penulis
asing, juga sering menyebut Banten sebagai salah satu pusat perdagangan
internasional terbesar dan berkembang di Asia Tenggara pada masa tersebut.
Willem Lodewyscksz, seorang berkebangsaan Belanda yang pernah mengunjungi
Banten pada tahun 1596, menyebutkan kota pelabuhan Banten sebagai salah
satu pusat perdagangan paling maju di Asia Tenggara karena para pedagang dari
berbagai bangsa melakukan bisnis di kota pelabuhan Banten tersebut (Brill 2006:
96).
Jatuhnya Maluku, sebagai salah satu pusat perdagangan internasional paling
besar di Nusantara ke tangan Portugis pada tahun 1511 (Ricklefs 2001: 90-93)
dan kesuksesan kesultanan Banten merebut Sunda Kelapa (sekarang Jakarta)
pada tahun 1579, sebagai pelabuhan utama kedua kerajaan Pajajaran, telah
memberikan keuntungan luar biasa bagi perekonomian Banten. Perluasan daerah
kekuasaan Banten hingga ke Sumatera Selatan dan Lampung sebagai daerah
penghasil lada pada masa Sultan Hasanuddin (1552-1570), dan daerah Landak
(Kalimantan Barat) sebagai daerah jajahan penghasil berlian pada tahun 1661
(masa Sultan Ageng Tirtayasa. 1651-1683) (Brill 2006: 143), akhirnya membawa
Banten pada puncak kejayaan dan kemakmuran. Namun, masa kemakmuran
Banten, menurut Johan Talens, hanya berlangsung selama dua abad, yakni abad
ke-16 dan ke-17 hingga tahun 1750 (Talens 1999: 32).
Banten sejak dahulu dikenal sebagai daerah yang dengan masyarakat yang
religious. Masyarakat Banten disebut dalam catatan Snouck Hugronje sebagai
masyarakat Muslim yang lebih sadar diri dan lebih taat dalam menjalankan ajaran
agama dibandingkan dengan daerah lainnya di Pulau Jawa. Bahkan, pada akhir
abad ke-19, orang-orang Banten sangat menonjol di antara orang-orang Asia
Tenggara yang menetap di Mekkah, baik sebagai guru maupun murid (Bruinessen
1995: 217).
Citra positif yang melekat pada masyarakat Banten tentu tidak lepas dari peran
para penguasa (Sultan) Banten saat itu yang tidak hanya memperhatikan dalam
bidang politik dan ekonomi, tetapi juga memberikan perhatian lebih dalam bidang
keagamaan. Dalam catatan Martin van Bruinessen, dikatakan bahwa untuk
memperkuat dan mengembangkan bidang keagamaan, Sultan Banten
mengundang para ulama nusantara dan ulama dari Timur Tengah, khususnya
Mekkah, untuk datang dan menetap selama jangka waktu tertentu di Banten dan
mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat (Bruinessen 1995: 223).
Hubungan baik yang terjalin antara Kesultanan Banten dengan Mekkah sebagai
pusat dan kiblat keIslaman dunia turut membangun peradaban Islam yang cukup
kuat di Banten. Bahkan untuk memperoleh legitimasi keagamaan, beberapa
Sultan Banten meminta gelar “Sultan” kepada Syarif di Mekkah. Gelar inilah yang
menjadikan para Sultan Banten dipandang bukan hanya sebagai penguasa
negeri, tetapi juga secara absah dianggap sebagai pemimpin agama (ulama atau
wali). Oleh karena kecintaan dan perhatian yang besar dari para sultan kepada
ilmu agama, penghargaan dan penghormatan tinggi terhadap para ulama, dalam
beberapa catatan orang Eropa yang pernah berkunjung ke kesultanan Banten
pada abad ke-16 dan 17, tercatat bahwa  kesultanan Banten pada saat itu menjadi
pusat kegiatan keilmuan Islam di nusantara.

3. Ilmu pengetahuan alam bermula dari rasa ingin tahu, yang merupakan suatu ciri
khas manusia. Manusia mempunyai rasa ingin tahu tentang benda-benda di alam
sekitarnya, bulan, bintang, matahari, bahkan ingin tahu tentang dirinya sendiri
(antroposentris). Rasa ingin tahu tidak dimiliki oleh makhluk lain, seperti batu, tanah,
sungai, dan angin. Air dan udara memang bergerak dari satu tempat ketempat lain,
namun gerakannya itu bukanlah atas dasar kehendaknya sendiri, tetapi akibat dari
pengaruh ilmiah yang bersifat kekal.
Bagaimana halnya dengan makhluk-makhluk hidup seperti tumbuhan-tumbuhan dan
binatang ? Sebatang pohon misalnya, menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan atau
gerakan, namun gerakan itu terbatas pada upayanya untuk mempertahankan
kelestarian hidupnya yang bersifat tetap. Misalnya, daun-daun yang cenderung
mencari sinar matahari atau akar yang cenderung mencari air yang kaya mineral
untuk pertumbuhan hidupnya. Kecenderungan semacam ini terus berlangsung
sepanjang zaman.
Bagaimana halnya dengan binatang yang juga menunjukkan adanya kehendak untuk
berpindah dari satu tempat ke tempat lain? Contohnya ubur-ubur. Binatang ini
berpindah tidak atas kehendaknya sendiri. Namun, bagaimana halnya dengan
binatang tingkat lebih tinggi yang nyata-nyata mempunyai kemampuan untuk
mengadakan eksplorasi terhadap alam sekitarnya? Misalnya, ikan, burung, harimau,
ataupun binatang yang sangat dekat dengan manusia. Tentunya burung-burung
bergerak dari satu tempat ke tempat lain didorong oleh suatu keinginan, diantaranya,
rasa ingin tahu. Ingin tahu apakah disana ada cukup makanan untuknya sendiri atau
bersama orang lain. Ingin tahu apakah suatu tempat cukup aman untuk membuat
sarang? Setelah mengadakan eksplorasi, tentu mereka jadi tahu. Itulah pengetahuan
dari burung tadi. Burung juga memilki pengetahuan untuk membuat sarang diatas
pohon.
Burung manyar atau burung tempua pandai mengayam sarangnya diatas pohon yang
begitu indah bergantungan pada daun kelapa.
ASSESMENT DATA Kemampuan Kerja ilmiah Mahasiswa berlangsung. Mahasiswa sebelumnya
memperoleh informasi materi melalui penayangan multimedia. Adapun data
kemampuan kerja ilmiah mahasiswa per aspek ditunjukkan pada Diagram 2.
Berdasarkan data pada diagram tersebut, menunjukkan bahwa rerata nilai kerja
ilmiah mahasiswa dari yang terendah (42,38) hingga tertinggi (59,53) adalah:
Merumuskan masalah (42,38),merumuskan variabel (43,10), membuat grafik
(49,29), merumuskan hipotesis (50,95), memprediksi (55,24),mengumpulkan
data (56,19), menghitung (56,43), menyimpulkan (59,05) dan
mengkomunikasikan (59,53). Aspek kerja ilmiah merumuskan masalah dan
merumuskan variabel merupakan aspek kerja ilmiah yang dianggap sulit oleh
mahasiswa, kesulitan ini karena pemahaman mahasiswa mengenai
merumuskan masalah dan merumuskan variabel masih rendah. Sebagian
mahasiswa kesulitan untuk membuat pertanyaan rumusan masalah,
menentukan variabel ukur dan aspek kelogisan antara variabel ukur tersebut.

METODE PENELITIAN Metode penelitian menggunakan Research and Design (R&D).

Kualitatif dengan pendekatan deskriptif

Kualitatif dengan pendekatan deskriptif


HASIL PENELITIAN Diagram 1. Rerata Nilai Kognisi Mahasiswa

Tabel 1 maupun Diagram 1, menunjukkan bahwa, rerata nilai pretest 51,67 dan
rerata nilai postest 66,85 sehingga rerata nilai gainnya sebesar 15,18 dan nilai gain
ternormalisasi sebesar 0,31 dengan katagori cukup /sedang (Arikunto, 1998). Hal ini
menunjukkan bahwa kegiatan uji coba terbatas pembelajaran inkuiri berbantuan
multimedia, cukup mampu meningkatkan kemampuan kognisi mahasiswa .
Untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan antara rerata nilai pretest dan
postest , maka dilakukan uji perbedaan dua rerata secara statistik.
Ujinya sebagai berikut:
Ho: µ1 = µ2. Tidak terdapat perbedaan rerata nilai antara pretest dan postest
H1: µ1 ≠ µ2. Terdapat perbedaan rerata nilai antara pretest dan postest.
Ktiteria uji: terima Ho jika nilai Sig ≥ a

Hasil uji nonparametrik 2 sampel berpasangan Wilcoxon menunjukkan, bahwa nilai


Sig = 0,00 < 0,05, hal ini menunjukkan bahwa Ho ditolak, artinya terdapat perbedaan
kemampuan pengetahuan (kognisi) mahasiswa yang signifikan antara nilai pretest
dan nilai postest.

Manusia dilahirkan dimuka bumi langsung berhubungan dengan alam, hubungan ini
menjadikan sebuah pengalaman. Manusia mendapatkan rangsangan dari alam
melalui panca indera. Jadi, diantara hubungan itu ada alat komunikasi antara alam
dengan manusia dan inilah yang menjadikan sebuah pengalaman.
Dalam kehidupan manusia dewasa ini tidak terlepas dari Ilmu Alamiah dan
terapannya berupa teknologi dalam berbagai bidang.
Misalnya sejak dalam kandungan manusia mendapat perawatan secara medis melalui
pemeriksaan berkala di B.K.I.A (Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak) atau puskesmas.
Setelah lahir mendapat vaksinasi untuk memperoleh kekebalan terhadap berbagai
macam penyakit, bila sakit mendapat pemeriksaan dokter dan mendapatkan obat,
dan sebagainya. Ilmu kedokteran dan Ilmu Farmasi (obat-obatan) adalah merupakan
cabang dari Biologi sebagai ilmu terapan. Pakaian, jam tangan, ball point atau pulpen
yang kita pakai adalah hasil dari teknologi.

KEKUATAN PENELITIAN Kekuatan penelitian ini berdasarkan sumber yang dapat di percaya. Memiliki
kumpulan nilai, informasi, pembahasan dan gambaran metode yang jelas
sehingga menguatkan hasil penelitiann ini.
KELEMAHAN PENELITIAN Sedikitnya kosa kata dalam jurnal tersebut
KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisi penelitian menunjukkan bahwa:
1).Terdapat perbedaan kemampuan kognisi mahasiswa yang signifikan antara nilai
pretest dan postest. Pembelajaran inkuiri berbantuan multimedia, cukup mampu
meningkatkan kemampuan kognisi mahasiswa (N Gain 0,31).
2).Kemampuan kerja ilmiah mahasiswa berdasarkan rerata nilai dari yang terendah
(42,38) hingga tertinggi (59,53) adalah: Merumuskan masalah
(42,38),merumuskan variabel (43,10), membuat grafik (49,29), merumuskan
hipotesis (50,95), memprediksi (55,24),mengumpulkan data (56,19),
menghitung (56,43), menyimpulkan (59,05) dan mengkomunikasikan (59,53).
3). Demonstrasi sikap yang doninan teramati selama pembelajaran berlangsung
berturut-turut adalah: Rasa ingin tahu, mengemukakan pendapat, kerja sama,
tekun, tanggung jawab, terbuka, kreatifitas, jujur dan peduli terhadap
lingkungan.

Ilmu Alamiah merupakan Ilmu Pengetahuan yang mengkaji tentang gejala-


gejala dalam Alam semesta, termasuk dimuka bumi ini, sehingga terbentuk
konsep dan prinsip. Ilmu Alamiah Dasar (Basic Natural Science) hanya
mengkaji konsep-konsep dan prinsip-prinsip dasar yang esensial saja.

Manusia dilahirkan dimuka bumi langsung berhubungan dengan alam, hubungan


ini menjadikan sebuah pengalaman. Manusia mendapatkan rangsangan dari alam
melalui panca indera. Jadi, diantara hubungan itu ada alat komunikasi antara
alam dengan manusia dan inilah yang menjadikan sebuah pengalaman.
Dalam kehidupan manusia dewasa ini tidak terlepas dari Ilmu Alamiah dan
terapannya berupa teknologi dalam berbagai bidang.
Misalnya sejak dalam kandungan manusia mendapat perawatan secara medis
melalui pemeriksaan berkala di B.K.I.A (Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak) atau
puskesmas. Setelah lahir mendapat vaksinasi untuk memperoleh kekebalan
terhadap berbagai macam penyakit, bila sakit mendapat pemeriksaan dokter dan
mendapatkan obat, dan sebagainya. Ilmu kedokteran dan Ilmu Farmasi (obat-
obatan) adalah merupakan cabang dari Biologi sebagai ilmu terapan. Pakaian,
jam tangan, ball point atau pulpen yang kita pakai adalah hasil dari teknologi.
RINGKASAN JURNAL 1
JPII 3 (1) (2014) 1-4

Jurnal Pendidikan IPA Indonesia


http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jpii

KEMAMPUAN KOGNISI, KERJA ILMIAH DAN SIKAP MAHASISWA


NON IPA MELALUI PEMBELAJARAN INKUIRI BERBANTUAN
MULTIMEDIA

R. Cahyani1*, N. Y. Rustaman2, M. Arifin2, Y. Hendriani3


1
Pengajar, Universitas Islam Nusantara-Bandung, mahasiswa S3 Universitas Pendidikan Indonesia
2
Guru besar pasca sarjana Universitas Pendidikan Indonesia-Bandung 3Widyaiswara
P4TK Bandung Jawa Barat

Diterima: Januari 2014. Disetujui: Februari 2014. Dipublikasikan: April 2014

ABSTRAK

Dalam kurikulum 2013 tujuan Pendidikan Nasional dikemas dalam 3 aspek sebagai SKL (Standar Kompetensi Lulusan) yaitu aspek
sikap, aspek keterampilan dan aspek pengetahuan. Dalam pembelajaran IPA sedapat mungkin guru/dosen melaksanakan proses
pembelajaran secara Inkuiri Ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan bekerja ilmiah, bersikap ilmiah dan dapat
mengkomunikasikannya sebagai komponen penting dalam kecakapan hidup (BNSP,2006). Pembelajaran inkuiri memberi kontribusi
terhadap ketiga aspek SKL pada mahasiswa , kenyataannya dosen kurang
membelajarkan IPA melalui inkuiri kepada para mahasiswanya. Telah dilakukan
penelitian uji coba terhadap mahasiswa non IPA yang memperoleh mata kuliah Ilmu
Alamiah Dasar di semester tiga sebanyak 28 orang. Metode penelitian menggunakan
Research and Design (R&D). Komponen yang diteliti dan diamati adalah: kemampuan
kognisi, kemampuan kerja ilmiah dan sikap mahasiswa. Kemampuan kognisi dijaring
melalui pretest dan postest yang bersifat close question. Kemampuan kerja ilmiah
dijaring melalui Lembar Kerja Mahasiswa dengan pembelajaran inkuiri berbantuan
multimedia, sedangkan sikap ilmiah mahasiswa diamati pada saat proses pembelajaran
berlangsung. Hasil analisis penelitian menunjukkan: (1) Terdapat perbedaan
kemampuan kognisi mahasiswa yang signifikan pada hasil pretest dan postest. Rerata N
gain terhadap kemampuan kognisi mahasiswa adalah 0,31 (sedang) dan rerata gain
sebesar 15,18. (2) Kemampuan kerja ilmiah mahasiswa berdasarkan rerata nilai dari
yang terendah (42,38) hingga tertinggi (59,53) adalah: Merumuskan masalah (42,38),
merumuskan variabel (43,10), membuat grafik (49,29), merumuskan hipotesis (50,95),
memprediksi (55,24),mengumpulkan data (56,19), menghitung (56,43), menyimpulkan
(59,05) dan mengkomunikasikan (59,53). (3) Sikap yang teramati secara dominan
berturut-turut adalah: Rasa ingin tahu, mengemukakan pendapat, kerja sama, tekun,
tanggung jawab, terbuka, kreatifitas, jujur dan peduli terhadap lingkungan.
ABSTRACT

In 2013 the curriculum goals of the National Education packaged in 3 aspects as SKL
(Competency Standards) which aspects of attitudes, skills and knowledge aspect aspect.
In learning science wherever possible teachers / lecturers carry out the process of
scientific inquiry learning capabilities to foster scientific work, scientific attitude and
can communicate as critical components in life skills (BNSP, 2006). Inquiry learning
contributes to the three aspects of SKL on students, lecturers fact less membelajarkan
science through inquiry to his students. Has conducted research trials to non-science
students who obtain a Basic Natural Science courses in three semesters as many as 28
people. Using research methods Research and Design (R & D). Components are
researched and observed are: cognitive ability, scientific ability and attitude of student
work. The ability of cognition pretest and posttest captured through nature close
question. The ability of the scientific work captured through the Student Worksheet with
multimedia-assisted inquiry learning, while the scientific attitude of students observed
during the learning process takes place. The results of analysis showed that: (1) There
are differences in cognitive abilities of students were significant at pretest and posttest
results. The mean N gain against the cognitive ability of students is 0.31 (medium) and a
mean gain of 15.18. (2) The ability of the scientific work of students based on the mean
value of the lowest (42.38) to the highest (59.53) is: Formulate the problem (42.38),
formulating variables (43.10), make a chart (49.29) , formulate hypotheses (50.95),
predict (55.24), collecting data (56.19), calculate (56.43), concluded (59.05) and
communicate (59.53). (3) Attitude is observed predominantly in a row are: curiosity,
expression, cooperation, diligence, responsibility, open, creative, honest, and caring for
the environment.
PENDAHULUAN
Tujuan Pendidikan Nasional menurut UU Nomor 20 tahun 2003 Pasal 3 adalah untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam kurikulum 2013 tujuan tersebut
dikemas dalam 3 aspek sebagai SKL (Standar Kompetensi Lulusan) yaitu aspek sikap, aspek
keterampilan dan aspek pengetahuan.
Sementara itu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP, 2006) menyampaikan bahwa dalam
pembelajaran IPA sedapat mungkin guru melaksanakan proses pembelajaran secara Inkuiri
Ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan bekerja ilmiah, bersikap ilmiah dan dapat
mengkomunikasikannya sebagai komponen penting dalam kecakapan hidup. Pentingnya
memberi kesempatan pada guru untuk belajar sains melalui inkuiri, dijelaskan dalam National
Research Council NRC (1996) sebagai standar A bagi calon guru. Apa yang diharapkan oleh
BSNP dan distandarkan oleh NRC sangat mendukung ketiaga aspek dalam kurikulum 2013.
Pembel ajaran IPA/sains dewasa ini masih kurang memberi wawasan berpikir dan
mengembangkan kemampuan kerja ilmiah mahasiswa. Oleh sebab itu semestinya mahasiswa
diberi kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan obyek belajar, mengamati,
mengembangkan pertanyaan, menghubungkan fakta dengan sumber pengetahuan, mengambil
kesimpulan dan mengkomunikasikan alternatif solusi untuk perbaikannya (Rustaman N, 2005).
Mereka semestinya diberi kesemp atan berinkuiri untuk mengembangkan keterampilan,
pengetahuan dan sikap saat pembelajaran berlangsung di dalam kelas maupun di luar kelas.
Berdasarkan SKL dalam kurikulum 2013, keterampilan proses yang dimaksud adalah:
Mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyaji, menalar dan mencipta, sedangkan
keterampilan abstraknya membaca, menulis, menghitung, menggambar dan mengarang
(Kemendikbud, 2012). Hal tersebut selaras dengan pembelajaran inkuiri yang menekankan pada
kerja ilmiah yaitu: mengumpulkan informasi, merumuskan masalah, membuat hipotesis,
merumuskan variabel, memprediksi, menghitung, membuat tabel, grafik, menyimpulkan,
mengkomunikasikan.
Banyak faktor agar tujuan pembelajaran dapat dicapai sesuai kompetensi inti salah satunya
media pembelajaran. Media pembelajaran memiliki andil untuk menjelaskan hal-hal yang
abstrak maupun yang tersembunyi, ketidakjelasan atau kerumitan bahan ajar dapat dibantu
dengan menghadirkan media sebagai perantara (Rusman, 2011). Dalam pembelajaran Ilmu
Alamiah Dasar (IAD) terdapat beberapa konsep pembelajaran yang membutuhkan media untuk
menjelaskan kerumitan bahan ajar maupun fenomena alam seperti tsunami, banjir, penurunan air
tanah. Hal tersebut tidak bisa dibawa ke dalam kelas saat pembelajaran berlangsung, oleh sebab
itu diperlukan multimedia untuk memahaminya. Pembelajaran menggunakan multimedia dapat
dirancang pada perkuliahan IAD bagi mahasiswa S1 non eksakta di fakultas keguruan. Jika
diterapkan pada perkuliahan IAD diharapkan akan menarik minat mahasiswa, membangkitkan
gairah maupun motivasi mahasiswa, sehingga mam pu mengembangkan ability inkuiri yaitu
bekerja ilmiah, pemahaman pengetahuan dan mengembangkan sikap ilmiah.

METODE
Metode penelitian menggunakan Research and Design (R&D). Tujuan penelitian adalah
mengetahui kemampuan kognisi mahasiswa, kemampuan kerja ilmiah mahasiswa, dan
demonstrasi sikap mahasiswa saat pembelajaran berlangsung. Komponen yang diteliti meliputi:
(1) kemampuan kognisi mahasiswa, (2) kemampuan kerja ilmia, (3) sikap ilmiah mahasiswa.
Kemampuan kognisi dijaring melalui pretest dan postest materi kuliah. Kemampuan kerja ilmiah
dijaring melalui Lembar Kerja Mahasiswa (LKM) dengan pembelajaran inkuiri berbantuan
multimedia. Kemampuan kerja ilmiah yang diamati adalah: mengumpulkan data, merumuskan
masalah, merumuskan variabel, merumuskan hipotesis, menghitung, membuat grafik,
memprediksi, membuat kesimpulan dan mengkomunikasikan. Demonstrasi sikap yang diamati
yaitu: rasa ingin tahu, mengemukakan pendapat, kerja sama, tekun, jujur, tanggung jawab,
kreatifitas, terbuka dan peduli terhadap lingkungan. Penelitian uji coba dilakukan pada
mahasiswa non IPA semester 3 yang mengambil mata kuliah Ilmu Alamiah Dasar sebanyak 28
orang di FKIP Universitas Swasta di kota Bandung.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kemampuan Kognisi Mahasiswa
Kemampuan pengetahuan (kognisi) mahasiswa di peroleh melalui pretest dan postest materi
perkuliahan IAD. Adapun hasilnya sebagai berikut :

Nilai pretest Nilai possestGain N gain


51,67 6685
, 1518
, 0,31
Keterangan: Nilai maksimum: 100

Berikut diagramnya :

Diagram 2.
Rerata Nilai Keterampilan
Kerja Il-
miah Mahasiswa Saat Pembelajaran

Data keterampilan kerja ilmiah diperoleh


melalui penugasan LKM selama pembelajaran

Tabel 1. Rerata Nilai Pretest, Postest, Gain dan


N Gain Uji Coba Terbatas
Diagram 1. Rerata Nilai Kognisi Mahasiswa

Tabel 1 maupun Diagram 1, menunjukkan bahwa, rerata nilai pretest 51,67 dan rerata nilai
postest 66,85 sehingga rerata nilai gainnya sebesar 15,18 dan nilai gain ternormalisasi sebesar
0,31 dengan katagori cukup /sedang (Arikunto, 1998). Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan uji
coba terbatas pembelajaran inkuiri berbantuan multimedia, cukup mampu meningkatkan
kemampuan kognisi mahasiswa .
Untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan antara rerata nilai pretest dan postest , maka
dilakukan uji perbedaan dua rerata secara statistik.
Ujinya sebagai berikut:
Ho: µ1 = µ2. Tidak terdapat perbedaan rerata nilai antara pretest dan postest
H1: µ1 ≠ µ2. Terdapat perbedaan rerata nilai antara pretest dan postest.
Ktiteria uji: terima Ho jika nilai Sig ≥ a

Hasil uji nonparametrik 2 sampel berpasangan Wilcoxon menunjukkan, bahwa nilai Sig = 0,00 <
0,05, hal ini menunjukkan bahwa Ho ditolak, artinya terdapat perbedaan kemampuan
pengetahuan (kognisi) mahasiswa yang signifi-
3

kan antara nilai pretest dan nilai postest.


Kemampuan Kerja ilmiah Mahasiswa berlangsung. Mahasiswa sebelumnya memperoleh

informasi materi melalui penayangan multimedia. Adapun data kemampuan kerja ilmiah

mahasiswa per aspek ditunjukkan pada Diagram 2. Berdasarkan data pada diagram tersebut,

menunjukkan bahwa rerata nilai kerja ilmiah mahasiswa dari yang terendah (42,38) hingga

tertinggi (59,53) adalah: Merumuskan masalah (42,38),merumuskan variabel (43,10), membuat

grafik (49,29), merumuskan hipotesis (50,95), memprediksi (55,24),mengumpulkan data

(56,19), menghitung (56,43), menyimpulkan (59,05) dan mengkomunikasikan (59,53). Aspek

kerja ilmiah merumuskan masalah dan merumuskan variabel merupakan aspek kerja ilmiah yang

dianggap sulit oleh mahasiswa, kesulitan ini karena pemahaman mahasiswa mengenai

merumuskan masalah dan merumuskan variabel masih rendah. Sebagian mahasiswa kesulitan

untuk membuat pertanyaan rumusan masalah, menentukan variabel ukur dan aspek kelogisan

antara variabel ukur tersebut.

Demonstrasi sikap mahasiswa


Data demonstrasi sikap mahasiswa ditunjukkan pada Diagram 3. Demonstrasi sikap mahasiswa
diamati secara kelompok pada saat pembelajaran berlangsung.
4

Tabel 2. Uji statistik non parametrik Wilcoxon untuk perbedaan rerata pretest
dan postest
Sumber Skor
Keterangan Kesimpulan
Z -6.511
Asymp. Sig. (2-tailed)0,000 Ho ditolak Terdapat perbedaan

Keterangan: Nilai maksimum 4

Diagram 3. Rerata Nilai Demonstrasi Sikap Mahasiswa Saat Pembelajaran

Diagram tersebut. menunjukkan bahwa demonstrasi sikap ilmiah mahasiswa yang dominan
teramati berturut-turut yaitu: rasa ingin tahu, mengemukakan pendapat, kerja sama, tekun,
tanggung jawab, terbuka, kreatifitas, jujur dan peduli terhadap lingkungan. Sikap rasa ingin tahu
(3,8) dan mengemukakan pendapat (3,4) merupakan sikap yang paling dominan di
demonstrasikan mahasiswa. Hal tersebut terjadi karena pembelajaran inkuiri menciptakan
kemampuan bertanya secara bebas dan menyampaikan ide-ide kreatifnya dalam menemukan
solusi permasalahan, sedangkan sikap peduli terhadap lingkungan merupakan sikap yang paling
rendah didemostrasikan mahasiswa.Hal ini karena rendahnya rasa tanggung jawab terhadap
lingkungan di sekitarnya. Maka sikap ini perlu dibina secara terus menerus.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisi penelitian menunjukkan bahwa:
1).Terdapat perbedaan kemampuan kognisi mahasiswa yang signifikan antara nilai pretest dan
postest. Pembelajaran inkuiri berbantuan multimedia, cukup mampu meningkatkan
kemampuan kognisi mahasiswa (N Gain 0,31).
2).Kemampuan kerja ilmiah mahasiswa berdasarkan rerata nilai dari yang terendah (42,38)
hingga tertinggi (59,53) adalah: Merumuskan masalah (42,38),merumuskan variabel (43,10),
membuat grafik (49,29), merumuskan hipotesis (50,95), memprediksi
(55,24),mengumpulkan data (56,19), menghitung (56,43), menyimpulkan (59,05) dan
mengkomunikasikan (59,53).
3). Demonstrasi sikap yang doninan teramati selama pembelajaran berlangsung berturut-turut
adalah: Rasa ingin tahu, mengemukakan pendapat, kerja sama, tekun, tanggung jawab,
terbuka, kreatifitas, jujur dan peduli terhadap lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto,S (2010). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta:P.T. Bumi Aksara.
BSNP. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan
Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP.
Kemendikbud. (2012). Bahan Uji Publik Kurikulum 2013.
National Research Council. (1996). Inquiry and the National Science Education Standard.
Washington DC: National Academis Press.
Rusman, (2011). Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jakarta: Rajawali
Press.
Rustaman, Y. (2005). “Kemampuan Dasar Bekerja Ilmiah dalam Pendidikan Sains dan
Asesmennya” Proceeding of The First International Seminar on Science Educational.
RINGKASAN JURNAL 2
Tugas mata kuliah Ilmu Alamiah Dasar(IAD): Mencari Jurnal tentang Mitos
NAMA         :  VEVY AYU DAMAYANTI
NPM             : 115040262
KELAS         : AKUNTANSI- I
PRODI          : AKUNTANSI
FAKULTAS  : EKONOMI
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI (UNSWAGATI) 2015/2016
Tugas mata kuliah Ilmu Alamiah Dasar(IAD) 
 Mencari Jurnal tentang Mitos
Dikutip dari link:journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/download/2461/1890

Makna Kultural Mitos dalam Budaya Masyarakat Banten


Ayatullah Humaeni, MA[1]
IAIN Sultan Maulana Hassanudin Banten
Abstrak
Artikel ini mengkaji tentang berbagai jenis mitos yang tersebar di beberapa daerah di
Banten. Masyarakat Banten memahami dan meyakini mitos-mitos yang tersebar dan masih
ditradisikan dari generasi ke generasi serta peran dan fungsi mitos bagi masyarakat Banten
menjadi fokus utama dalam artikel ini. Artikel ini merupakan hasil penelitian lapangan
menggunakan metode etnografi dengan pendekatan antropologis. Dalam menganalisis data,
peneliti menggunakan pendekatan fungsional-struktural. Teknik yang digunakan untuk
mengumpulkan data adalah kajian pustaka, pengamatan terlibat, dan wawancara mendalam.
Mitos merupakan salah satu bagian dari cerita rakyat yang hampir selalu muncul dalam budaya
masyarakat dimana pun, terutama budaya masyarakat tradisional atau masyarakat pre-literate.
Berbagai penelitian, terutama yang dilakukan oleh orang-orang Barat, menunjukan betapa
mitos muncul dalam berbagai aktivitas sosial keagamaan masyarakat. Mitos juga dianggap
mengandung pesan-pesan moral bagi masyarakat yang meyakininya. Keberadaan mitos pada
masyarakat Banten, sedikit banyak, berpengaruh terhadap kehidupan sosial keagamaan
masyarakat Banten. Mitos, dalam beberapa hal, juga memiliki fungsi dan peran yang cukup
signifikan bagi masyarakat Banten seperti untuk mengukuhkan sesuatu, menjaga identitas
kultural dan solidaritas masyarakat, serta mempertahankan prestise dan status sosial.
Kata kunci: mitos, makna kultural, Banten
Abstract
This article discusses various myths spread in several areas of Banten. How Bantenese
society understands and believes in myths that have spread and are still maintained from
generations to generations and how the roles and functions of myths for Bantenese society
constitute the main focus of this article. This article is  field research using ethnographical
methods based on in anthropological perspective. To analyze the data, the researcher uses a
structuralfunctional approach. Library research, participant-observation, and depth-interview
are methods used to collect the data. Myth is a part of folklore that appear in almost every
culture of the world, especially in traditional or pre-literate cultures. Various researches,
especially conducted by Western scholars, show how myths appear in various socio-religious
activities of the society. Myths are also considered have moral values for the society that
believes in them. The existence of myths in Bantenese society has influenced, more or less, the
socio-religious life of the Bantenese. Myths, in some cases, also play significant roles and
functions for Bantenese society such as strengthening something, maintaing cultural identity and
solidarity of the society, and keeping prestige and social status.
Key-words: myth, cultural meaning, Banten

Pendahuluan
Mitos merupakan suatu cerita suci yang hampir selalu ada dalam setiap budaya masyarakat
dimana pun. Berbagai penelitian, terutama yang dilakukan oleh orang-orang Barat, menunjukan
bahwa mitos selalu muncul dalam berbagai aktivitas sosial keagamaan  masyarakat, terutama
pada masyarakat tradisional atau masyarakat pre-literate.  Sebagian besar masyarakat dilingkupi
dengan mitos-mitos yang mempunyai nilai sakral bagi penganutnya. Baik masyarakat tradisional
(masyarakat preliterate) maupun masyarakat modern2 , selalu
2 Dalam beberapa buku Antropologi klasik, istilah masyarakat tradisional atau masyarakat pre-
literate sering disebut dengan masyarakat primitif. Sebagai contoh, Bronislaw Malinowski
dalam karyanya Magic, Science, and Religion and Other Essays  (Malinowski 1955: 17),
menggunakan istilah “primitive man” dalam salah satu sub-judul dalam karyanya. Pada paragraf
awal Ia menjelaskan “there are no peoples however primitive withoutreligion and magic.”;
Marcell Mauss dalam karyanya A General Theory of Magic. (Mauss 1972: 16), juga menyebut
istilah yang sama. Dalam sebuah kalimat Ia menjelaskan “magic is, therefore, the foundationof
the whole mystical and scientific universe of primitive man”. Selanjutnya, S.J. George Frazer,
dalamThe Golden Bough: A Study in Magic and Religion, (London: Macmillan, 1933: x), juga
menggunakan istilah primirif. Pada kalimat awal dalam kata pengantar Ia menyatakan “for some
time I have been preparing a general work on primitive superstition and religion”. Emile
Durkheim dalam karyanyaThe Elementary Forms of Religious Life, (Durkheim 1995: 1), juga
sering menggunakan istilah primitif dalam karyanya. Ia berpendapat dalam sebuah footnote
tentang alasan Ia menggunakan istilah ini. Menurutnya “I will call those societies and the men of
those societies primitive in the same sense. This term certainly lacks precision, but it is hard to
avoid; if care is take to specify its meaning, however, it can safely be used”. Selanjutnya, Edward
B. Taylor, Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy,
Religion, Language, Art, and Custom, 2nd ed., (Taylor 1873), juga menggunakan istilah primitif
untuk menyebut masyarakat tradisional. Selanjutnya, Raymond Firth dalam karyanya Human
Types, an Introduction to Social Anthropology. (Rev.ed.,), (Firth 1958: 7) pada kata pengantar ia
menjelaskan alasan penggunaan istilah ini dalam karyanya. Menurutnya, “For convenience I
have used the terms ‘primitive’ and ‘primitive societies’ freely throughout the book. This does
not mean to imply that there is a unitary character in such societies all over the world, but
merely that they present certain broad differences of technology, social structure, and
organization from the types of societies which we ordinarily think of as ‘civilized’.” Dalam hal
ini, penulis lebih suka menggunakan istilah ‘masyarakat tradisional’ atau ‘masyarakat  pre-
literate’ sebagai pengganti istilah primitif karena istilah yang terakhir seringkali bermakna bias
dan Barat sentris. Bahkan beberapa antropolog kontemporer sudah meninggalkan istilah ini, dan
menggantinya dengan istilah ‘pre-literate societies’ atau ‘traditional societies’.  Sementara itu,
Koentjaraningrat lebih suka menggunakan istilah ‘suku bangsa’ untuk menggantikan istilah
‘masyarakat primitif’. Baca Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Koentjaraningrat
2010). Istilah masyarakat tradisional dalam KBBI diartikan sebagai ‘masyarakat yang lebih
banyak dikuasai oleh adat istiadat yang lama’, sedangkan masyarakat modern adalah
‘masyarakat yang perekonomiannya berdasarkan pasar secara luas, spesialisasi di bidang
industri, dan pemakaian teknologi canggih,’ (Tim Penyusun 1998: 635). Istilah ‘masyarakat
tradisional’ digunakan oleh Michael V. Angrosino (2004) dalam karyanya The Culture of the
Sacred. Exploring the Anthropology of Religion.. Sedangkan istilah masyarakat pre-literate yang
penulis maksud adalah masyarakat yang belum mengenal baca-tulis. Istilah ini sering digunakan
oleh Brian Morris (2007) dalam karyanya “Antropologi Agama. Kritik Teori-Teori Agama
Kontemporer.
menggunakan mitos-mitos yang mempunyai nilai sakral bagi penganutnya. menggunakan mitos-
mitos yang disakralkan sebagai simbol pengukuhan dan otoritas. Dalam melakukan beragam
aktivitas sosial keagamaan, bahkan aktivitas ekonomi dan politik, selalu ada mitos yang
dimunculkan untuk membuat masyarakat yakin bahwa yang dimitoskan mempunyai nilai
sakralitas yang tidak boleh diremehkan apalagi diruntuhkan dan dihancurkan.
Banyak ahli berpendapat bahwa manusia, baik sebagai individual maupun sebagai kelompok,
tidak dapat hidup tanpa mitos atau mitologi. Artinya bahwa keberadaan mitos
sangat vital dan penting bagi eksistensi hidup manusia, terutama dalam hal yang berkaitan
dengan mitologi yang bersifat keyakinan dan keagamaan. Para ilmuan sosial, terutama para
antropolog, mencoba menjelaskan dan mengembangkan berbagai pengertian, makna dan fungsi
mitos. Menurut mereka, mitos dipandang sebagai sesuatu yang diperlukan manusia untuk
mencari kejelasan tentang alam lingkungannya, juga sejarah masa lampaunya. Dalam pengertian
ini, ‘mitos’ menurut Nurcholis Madjid menjadi semacam ‘pelukisan’ atas kenyataan-kenyataan
(yang tak terjangkau, baik relative ataupun mutlak) dalam format yang disederhanakan sehingga
terpahami dan tertangkap oleh orang banyak. Sebab hanya melalui suatu keterangan yang
terpahami itu, seseorang atau masyarakat dapat mempunyai gambaran tentang letak dirinya
dalam susunan kosmis, kemudian berdasarkan gambaran itu pun ia menjalani hidup dan
melakukan kegiatan-kegiatan (Madjid 2000: 176).
Mitos, menurut Tihami adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu,
yang mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa itu sendiri
serta mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib (Ismanto 2006: 36). Dari
penafsiran ini, kita bisa menganggap bahwa mitos itu berupa cerita-cerita rakyat yang dianggap
sakral dan punya nilai magis. Dari penafsiran ini kita juga bisa menyimpulkan bahwa asal-usul
suatu masyarakat bahkan mungkin suatu bangsa bisa diungkapkan melalui cerita-cerita mitos
yang ada dalam masyarakat tersebut. Kita bisa mengetahui sejarah suatu masyarakat tertentu dari
cerita-cerita mitos tersebut, walaupun tentunya cerita mitos akan menghasilkan fakta sejarah
yang berbeda dengan fakta sejarah yang terungkap berdasarkan data-data bernilai ilmiah dari
penelitian sejarah. Hal ini dikarenakan cerita-cerita mitos pada umumnya diungkapkan secara
lisan dan serigkali diungkapkan dengan cara atau halhal yang berbau magis, sehingga kandungan
ceritanya pun tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dalam hal ini Hunter, seperti
dikutip oleh Tihami, berpendapat bahwa mitos adalah “a sacred narrative explaining how the
World and people came to be in their present form” (Ismanto 2006: 36). Pengertian yang
diungkapkan oleh Hunter ini pada intinya hampir mirip dengan penafsiran Tihami di atas, yang
menekankan bahwa mitos merupakan cerita-cerita rakyat yang sakral tentang dunia dan
masyarakat sampai pada bentuknya yang sekarang.
Antara satu daerah dengan daerah lainnya tentu saja memiliki mitos dengan karakteristik dan
keunikan tersendiri. Di Minangkabau mempunyai mitos tentang Malin Kundang, di Jawa Barat
mempunyai mitos tentang Sangkuriang, di Banten mempunyai mitos Nyi Buyut Rintik dan
Dampu Awang nya. Beragam mitos lokal itu jika diteliti secara ilmiah akan menghasilkan
khazanah kebudayaan yang lebih komplit tentang mitos-mitos di seluruh nusantara. Mitos-mitos
Indonesia tidak akan pernah ada tanpa eksplorasi tentang mitos-mitos lokal dari berbagai daerah.
Jika kita menganalisis beberapa penafsiran tentang mitos dari berbagai daerah, kita dapat
melihat pemaknaan mitos oleh masyarakat sebagai sesuatu yang sakral dan seringkali
mengandung pesan atau nilai moral yang harus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat.
Tujuannya agar dapat mengontrol tindakan dan sikap mereka sesuai dengan budaya dan moral
masyarakat setempat.
Berdasarkan penjelasan di atas, berbicara tentang mitos dalam budaya Banten menjadi subjek
yang menarik untuk dikaji karena beberapa alasan. Pertama, Banten sebagai sebuah daerah
multikultural, mayoritas penduduknya berbahasa Sunda dan Jawa Banten, tentu memilki
keanekaragaman mitos. Kedua, banyak mitos yang tersebar dalam budaya masyarakat Banten
hanya tersimpan sebagai memori orangorang tua yang usianya sudah lanjut.  Dengan kondisi ini
mitos dikhawatirkan akan punah oleh arus modernisasi yang lebih dominan. Budaya lisan jika
tidak segera ditulis dan didokumentasikan niscaya akan hilang dan tidak berbekas. Ketiga,
beragam mitos kadangkala diungkapkan dalam bentuk nyanyian, pantun atau lirik, hal ini bisa
digunakan sebagai karya sastra lokal Banten untuk bisa dikenang, dipelajari, dan dipahami oleh
generasi-generasi Banten yang akan datang.
Artikel ini bertujuan mendiskusikan beberapa masalah, yakni: mitos apa saja yang
berkembang dalam budaya Banten? Apa makna dan fungsi mitos bagi masyarakat Banten? Dan
apa pengaruh mitos dalam aktivitas sosial keagamaan masyarakat Banten?
Deskripsi tentang Masyarakat Banten
Banten sebagai provinsi ketiga puluh di Indonesia yang terletak di bagian paling barat Pulau
Jawa, sejak dahulu dikenal sebagai daerah yang religious dengan Islam adalah agama yang
dianut oleh mayoritas masyarakat Banten. Selain dikenal dengan sikapnya yang religius,
masyarakat Banten, sebagaimana yang ditulis dalam laporan-laporan kolonial Belanda, juga
dinyatakan sebagai masyarakat Muslim paling fanatik kedua di Nusantara setelah masyarakat
Aceh. Pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20, masyarakat Banten juga dikenal sebagai
masyarakat yang paling memberontak terhadap kolonial Belanda. Dari tahun 1813−1890, tidak
kurang dari 80 pemberontakan dan kerusuhan terjadi di daerah Banten (Ali 2007: 1). Dua
pemberontakan besar paling dikenal dan dianggap sebagai kerusuhan di Banten yang paling
mengerikan oleh Belanda adalah pertama, pemberontakan petani tahun 1888 (Kartodirdjo 1966).
Kedua, pemberontakan komunis pada tahun 1926 (Williams 1982). Kyai (ulama), jawara,  dan
para pengikutnya banyak terlibat dan menjadi penggerak dalam dua kerusuhan besar tersebut.
Dalam berbagai catatan sejarah baik yang ditulis oleh penulis lokal, nasional, maupun penulis
asing, pada abad ke-16 sampai permulaan abad ke-18, Banten selalu disebut-sebut sebagai salah
satu kesultanan Islam paling besar dan kuat di Nusantara. Banyak karya, baik yang ditulis oleh
penulis Indonesia maupun penulis asing, juga sering menyebut Banten sebagai salah satu pusat
perdagangan internasional terbesar dan berkembang di Asia Tenggara pada masa tersebut.
Willem Lodewyscksz, seorang berkebangsaan Belanda yang pernah mengunjungi Banten pada
tahun 1596, menyebutkan kota pelabuhan Banten sebagai salah satu pusat perdagangan paling
maju di Asia Tenggara karena para pedagang dari berbagai bangsa melakukan bisnis di kota
pelabuhan Banten tersebut (Brill 2006: 96).
Jatuhnya Maluku, sebagai salah satu pusat perdagangan internasional paling besar di
Nusantara ke tangan Portugis pada tahun 1511 (Ricklefs 2001: 90-93) dan kesuksesan kesultanan
Banten merebut Sunda Kelapa (sekarang Jakarta) pada tahun 1579, sebagai pelabuhan utama
kedua kerajaan Pajajaran, telah memberikan keuntungan luar biasa bagi perekonomian Banten.
Perluasan daerah kekuasaan Banten hingga ke Sumatera Selatan dan Lampung sebagai daerah
penghasil lada pada masa Sultan Hasanuddin (1552-1570), dan daerah Landak (Kalimantan
Barat) sebagai daerah jajahan penghasil berlian pada tahun 1661 (masa Sultan Ageng Tirtayasa.
1651-1683) (Brill 2006: 143), akhirnya membawa Banten pada puncak kejayaan dan
kemakmuran. Namun, masa kemakmuran Banten, menurut Johan Talens, hanya berlangsung
selama dua abad, yakni abad ke-16 dan ke-17 hingga tahun 1750 (Talens 1999: 32).
Banten sejak dahulu dikenal sebagai daerah yang dengan masyarakat yang religious.
Masyarakat Banten disebut dalam catatan Snouck Hugronje sebagai masyarakat Muslim yang
lebih sadar diri dan lebih taat dalam menjalankan ajaran agama dibandingkan dengan daerah
lainnya di Pulau Jawa. Bahkan, pada akhir abad ke-19, orang-orang Banten sangat menonjol di
antara orang-orang Asia Tenggara yang menetap di Mekkah, baik sebagai guru maupun murid
(Bruinessen 1995: 217).
Citra positif yang melekat pada masyarakat Banten tentu tidak lepas dari peran para penguasa
(Sultan) Banten saat itu yang tidak hanya memperhatikan dalam bidang politik dan ekonomi,
tetapi juga memberikan perhatian lebih dalam bidang keagamaan. Dalam catatan Martin van
Bruinessen, dikatakan bahwa untuk memperkuat dan mengembangkan bidang keagamaan,
Sultan Banten mengundang para ulama nusantara dan ulama dari Timur Tengah, khususnya
Mekkah, untuk datang dan menetap selama jangka waktu tertentu di Banten dan mengajarkan
ilmu-ilmu agama kepada masyarakat (Bruinessen 1995: 223). Hubungan baik yang terjalin antara
Kesultanan Banten dengan Mekkah sebagai pusat dan kiblat keIslaman dunia turut membangun
peradaban Islam yang cukup kuat di Banten. Bahkan untuk memperoleh legitimasi keagamaan,
beberapa Sultan Banten meminta gelar “Sultan” kepada Syarif di Mekkah. Gelar inilah yang
menjadikan para Sultan Banten dipandang bukan hanya sebagai penguasa negeri, tetapi juga
secara absah dianggap sebagai pemimpin agama (ulama atau wali). Oleh karena kecintaan dan
perhatian yang besar dari para sultan kepada ilmu agama, penghargaan dan penghormatan tinggi
terhadap para ulama, dalam beberapa catatan orang Eropa yang pernah berkunjung ke kesultanan
Banten pada abad ke-16 dan 17, tercatat bahwa  kesultanan Banten pada saat itu menjadi pusat
kegiatan keilmuan Islam di nusantara.
Selain dengan Mekkah, hubungan baik juga terjalin antara kesultanan Banten dengan
beberapa kesultanan Islam di daerah lain di Nusantara, seperti: Ternate (Maluku Utara), Ambon
(Maluku), Bugis (Sulawesi Selatan), Makassar, Gowa, Malaka, Aceh, Palembang dan lain
sebagainya. Hubungan yang terjalin antara Banten dan daerah yang disebutkan di atas bukan
hanya sekedar hubungan bisnis dan perdaganngan, tetapi juga hubungan keagamaan (Islam).
Dijadikannya Syeikh Yusuf al-Makassari yang berasal dari Gowa-Makasar sebagai patih
sekaligus penasihat dan orang kepercayaan Sultan (Sultan Ageng Tirtayasa), menjadi bukti kuat
akan hubungan yang terjalin antara Banten dengan beberapa daerah di Nusantara. Oleh karena
hubungan-hubungan yang terjalin tersebut, migrasi orang-orang Banten ke daerah-daerah
tersebut atau sebaliknya dikatakan cukup tinggi (Michrob dan A. Mudjahid 2011; Brill 2006)
sampai terbentuk komunitas tersendiri.
Meskipun Islam menjadi simbol peradaban baru bagi masyarakat Banten saat itu, namun para
Sultan Banten tidak serta merta menghapus jejak tradisi dan budaya lokal Banten yang sudah ada
jauh sebelum Islam masuk dan berkembang. Indikasi bahwa penguasa Banten saat itu masih
menghargai dan menghormati tradisi dan budaya lokal adalah cerita dalam ‘Sadjarah Banten’
yang menyatakan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa, sejak belia dan masih menjabat sebagai Sultan
Muda, dikenal sebagai putra bangsawan yang sangat menyukai kebudayaan; bahkan Ia seringkali
terlibat aktif dalam beberapa tradisi permainan rakyat Banten, seperti:
permainan raket(semacam wayang wong), dedewaan, sasaptoan, dan berbagai tradisi lokal
lainnya (Tjandrasasmita 2011: 29). Hal ini mengindikasikan bahwa Sultan Banten yang dianggap
sebagai pemimpin agama, ulama, bahkan wali, tidak pernah berusaha menghapus jejak tradisi
dan budaya lokal yang dianggap tidak merusak aqidah umat Islam. Artinya bahwa bagi
masyarakat Banten, ketaatan dalam beragama (Islam) tidak harus menghapus identitas kultural
masyarakat Banten.
Sikap akomodatif dan toleransi para penguasa Banten pada masa itu terhadap keberadaan
tradisi dan budaya lokal masyarakat Banten, seperti tradisi kepercayaan terhadap mitos, magis,
tabu dan lain sebagainya, menjadi salah satu alasan Islam dapat diterima secara luas oleh
masyarakat Banten dan berkembang cukup pesat pada masa itu. Apresiasi penguasa Banten
terhadap keragaman kebudayaan lah yang juga menjadi starting point bagi masyarakat dunia
untuk ikut serta meramaikan perniagaan di Banten dan berbaur dengan masyarakat lokal. Sikap
toleran penguasa serta masyarakat Banten terhadap keragaman budaya dunia terindikasi melalui
bangunanbangunan yang masih terlihat bukti fisiknya hingga kini di area sekitar Surosowan
(Banten Lama), juga beberapa daerah yang dijadikan pemukiman warga asing, serta beragam
budaya dan tradisi asing yang saat ini masih bisa kita saksikan dalam setiap upacara keagamaan
dan tradisi kepercayaan mereka. Tradisi serta budaya lokal dan asing yang terus diwariskan
kepada generasi berikutnya hingga saat ini tentu turut memperkaya khazanah tradisi dan
kebudayaan masyarakat Banten. Begitu juga kepercayaan terhadap mitos masyarakat Banten
juga masih terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Hingga saat ini, setelah 12 tahun Banten menjadi Provinsi sejak tanggal 4 Oktober 2000
berdasarkan Undang-Undang No.23
tahun 2000 (Lubis 2003), nilai-nilai religiusitas masyarakat Banten masih terpelihara dan
dilaksanakan oleh masyarakat Banten, baik secara individual maupun kolektif. Hal ini terindikasi
dari masih berjalannya rutinitas pengajian, baik pengajian al-Qur’an maupun kitab kuning, yang
dilakukan dirumah-rumah penduduk maupun di majlis ta’lim, madrasah, dan pesantren. Acara
ceramah keagamaan, kegiatan merayakan hari besar Islam, kegiatan MTQ tingkat kecamatan,
kabupaten, provinsi, dan nasional juga masih rutin dilaksanakan setiap tahun. Hal ini dilakukan
karena kesadaran masyarakat Banten akan pentingnya menjaga dan memelihara serta
mengajarkan tradisi dan nilai-nilai keagamaan kepada generasi muda Banten. Keseriusan
pemerintah dalam memelihara ajaran dan nilai keagamaan juga terlihat dari keterlibatan mereka
yang cukup intens dalam berbagai kegiatan keagamaan masyarakat Banten. Perhatian mereka
terhadap ulama, pesantren, dan madrasah juga memilki peran penting dalam menjaga identitas
religius yang selama ini melekat pada masyarakat Banten.
Perhatian pemerintah dan masyarakat Banten terhadap budaya dan tradisi lokal juga cukup
intens. Berbagai kegiatan terkait dengan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan warisan
kebudayaan Banten juga sudah sering dilakukan oleh masyarakat Banten dan didukung oleh
Pemerintah Provinsi Banten melalui Dinas Budaya dan Pariwisata. Sebagai salah satu bukti
keseriusan Pemerintah Provinsi Banten dalam upaya pelestarian kebudayaan Banten adalah
dengan membentuk tim ahli dari Laboratorium Bantenologi IAIN “SMH” Banten untuk
membuat Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah (RIPKD) Provinsi Banten pada tahun
2012 (Tihami, dkk 2012). Salah satu strategi dan rencana aksi yang akan dilakukan dalam tahun
pertama setelah RIPKD ini disahkan adalah penelusuran database tradisi lisan, termasuk
didalamnya tentang mitos dan folklor.
Konsep Teoritis Mitos
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mitos diartikan sebagai “cerita suatu bangsa tentang
dewa dan pahlawan zaman dahulu yang mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam,
manusia, dan bangsa itu sendiri yang mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara
gaib” (Tim Penyusun 1998: 660-661). Definisi ini senada dengan definisi yang dijelaskan dalam
Dictionary of Religious,
dalam kamus ini mitos didefinisikan sebagai,
“Narrative, usually traditional, in which, events are described as deeds of god, heroes, or other
superhuman beings; i.e. events in the realm of nature or history are attributed to causes not
acceptable in current scientific or historical explanation” (Hinnells 1984: 225) (cerita-cerita
yang bersifat tradisional dimana kejadian-kejadian dijelaskan sebagai perbuatan-perbuatan dewa,
pahlawan, ataupun manusia-manusia hebat lainnya; yakni kejadian-kejadian dalam realmalam
atau sejarah dihubungkan dengan sebab-sebab yang tidak bisa diterima dalam penjelasan ilmiah
maupun penjelasan sejarah).
Salomon Reinach dalam Orpheus: A History of Religions juga mendefinisikan mitos dalam
nada serupa, yaitu kumpulan cerita yang tidak ditemukan secara tepat, tetapi dikombinasikan
oleh aktor-aktor yang hasilnya tidak dapat dipastikan kebenarannya sebagai bagian dari sejarah
(Reinach 2001: 1).
Dari penjelasan tentang mitos di atas, dapat disimpulkan bahwa mitos adalah cerita-cerita
tentang dewa, alam, orang atau objek-objek tertentu yang tidak bisa dipastikan kebenarannya
secara ilmiah, dan tidak bisa diterima kebenarannya untuk menguji sejarah suatu bangsa. Mitos
terdiri dari cerita-cerita fiksi yang seringkali mengandung hal-hal gaib, sakral dan sulit dipahami
oleh nalar logis.
Beberapa literatur yang menjelaskan tentang mitos seringkali memberikan pendapat bahwa
mitos adalah suatu cerita yang merujuk pada masa pra-sejarah dengan penulis atau penciptanya
disebut anonim, dan sangat umum terjadi pada masyarakat tradisional. Mitos juga seringkali
dihubungkan dengan sesuatu yang sakral, dan berbau magis (supernatural), dan berbagai ritual
yang dilakukan oleh masyarakat tradisional (masyarakat pre-literate). Padahal sebenarnya, mitos
bukan hanya terjadi dan dipercayai oleh masyarakat tradisional saja, masyarakat modern pun,
terutama masyarakat yang tinggal di desa, masih mempercayai akan adanya mitos-mitos di
lingkungan mereka. Meskipun kebenaran fakta dari mitos ini sulit untuk dianalisis dan
diobservasi secara ilmiah, sebagian masyarakat masih meyakini keberadaan dan kesakralan
mitos tersebut. Untuk lebih memperjelas beberapa definisi tentang mitos akan saya kutip dari
beberapa ahli dan berbagai sumber agar definisi dan makna mitos yang lebih detail and
comprehensive bisa saya sajikan dalam artikel ini.
Kata mitos yang dalam bahasa Inggris myth berasal dari bahasa Latin mythus atau dari bahasa
Yunani kuno mythos atau muthos yang bermakna cerita atau fabel (dongeng). Istilah mitos ini
dalam bahasa kita sehari-hari mengandung makna kepalsuan atau sesuatu yang bersifat khayali.
Menurut Nurcholis Madjid, penyebutan tentang sesuatu hal yang dianggap sebagai mitos akan
mengisyaratkan perendahan nilainya sehingga tidak perlu dipertahankan. Dalam pengertian ini,
mitos menurutnya semakna dengan takhayul (dari bahasa Arab takhayul, yang berarti
pengkhayalan), dongeng atau superstisi (Madjid 2000: 174). Akan tetapi, mitos bukan hanya
sekedar jenis cerita dongeng, tetapi cerita yang melibatkan perbuatan dewa-dewa,  nenek
moyang (leluhur) atau roh atau makhluk-makhluk religius lainnya. Mitos, singkatnya, adalah
cerita-cerita mengenai aktivitas-aktivitas dan petualanganpetualangan dari makhluk-makhluk
tersebut. Dalam hal ini, deskripsi tentang mitos yang dijelaskan oleh Mircea Eliade seperti
dikutip oleh Jack David Eller dapat menjadi salah satu rujukan tentang definisi mitos. Mircea
Eliade menjelaskan mitos sebagai berikut:
“Mitos menceritakan sebuah sejarah yang sakral; menghubungkan suatu kejadian yang terjadi di
masa purba, zaman permulaan. Dengan kata lain, mitos menceritakan bagaimana, melalui
perbuatanperbuatan makhluk supernatural, sebuah realitas menjadi ada, menjadikannnya seluruh
realitas,  Kosmos, atau hanya suatu fragmen dari realitas- sebuah pulau, suatu spesies tumbuhan,
jenis tertentu dari perilaku manusia, sebagai sebuah institusi. Mitos selalu berupa suatu cerita
tentang ‘penciptaan’; berkaitan dengan bagaimana sesuatu dibuat atau diciptakan, mulai ada.
Mitos hanya menjelaskan dari apa yang betul-betul terjadi, yang memanifestasikan dirinya
sendiri secara komplit. Aktor-aktor dalam mitos adalah makhluk-makhluk supernatural […]
mitos oleh karenanya menyingkap aktivitas kreatifnya dan mengungkapkan atau menampakan
kesakralan (atau sederhananya kesupernaturalan) dari pekerjaan mereka” (Eller 2007: 83).
Berbeda dengan pendapat beberapa ahli yang menyatakan bahwa pencipta atau pembuat mitos
itu anonim, menurut Eliade, mitos seringkali merupakan cerita-cerita tentang penciptaan atau
asal-usul dengan mahlukmahluk spiritual dan supernatural merupakan penciptanya dan
pemulanya (the originators). Mitos menceritakan bahwa sesuatu yang terjadi ‘pada permulaan’-
tidak selalu atau tidak perlu pada permulaan masa atau zaman, tetapi pada permulaan dari suatu
fakta atau fenomena khusus, alam atau sosial. Dengan demikian, mitos diperlakukan  sebagai
cerita ‘benar’, suatu cerita akurat tentang kejadian-kejadian oleh orang-orang yang
menceritakannya.
Ada kesepakatan umum di antara para ahli etnologi bahwa mitos berhubungan dengan
lingkungan supernatural dan super-indera dari realitas dan merujuk pada suatu masa prasejarah.
Berdasarkan asumsi tersebut, mitos didefinisikan oleh Gayley dalam karyanya The Classic
Myths in English Literature and in Art yang dikutip oleh David Bidney sebagai “ceritacerita
yang asal-usulnya anonim, yang lazim diantara orang-orang primitif dan oleh mereka diterima
sebagai sesuatu yang ‘benar’, berkaitan dengan makhluk-makhluk dan kejadiankejadian
supernatural, atau makhluk-makhluk dan kejadian-kejadian alam yang dipengaruhi oleh agen-
agen supernatural’ (Bidney 1976: 1). Konsepsi ini, jika dianalisis, menghubungkan mitos dengan
suatu cerita yang memiliki nilai magis dan supersensuous yang dipercayai ‘benar’ dan dianggap
lazim pada masyarakat tradisional.
Banyak sekali kita temukan berbagai cerita rakyat yang tersebar, baik pada masyarakat
tradisional maupun pada masyarakat modern. Beberapa ahli menganggap bahwa ceritacerita
rakyat tersebut, seperti: folk tales, mitos, legenda, alegori dan lain sebagainya adalah sama.
Dalam hal ini, Muller, seorang ahli linguistik, menganggap mitos sebagai sebuah cerita yang
berkaitan dengan dewa-dewa, dan percaya bahwa semua dongeng rakyat dan cerita dongeng
(dongeng peri) asalnya adalah mitos-mitos yang memiliki makna yang sudah kabur karena
perubahan-perubahan bahasa. Jadi, Ia memandang tidak perlu memisahkan mitos dari cerita atau
dongeng-dongeng lain, kecuali terdapat suatu fakta bahwa mitos berusia jauh lebih tua (Malefijt
1968: 173).
 Akan tetapi beberapa ahli yang lain menganggap jenis-jenis cerita rakyat tersebut di atas
sebagai suatu hal berbeda karena masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Boas,
seorang antropolog, menemukan kesulitan untuk mendefinisikan batasan mitos. Boas
menyatakan bahwa cerita rakyat (folk tales) diklasifikasikan sebagai mitos, jika menceritakan
asal-usul dunia dan sudah terjadi dalam suatu periode mitos yang berbeda dengan periode
sekarang ini. Perbedaan itu dikenali oleh banyak suku, seperti: suku North American Indians,
penduduk Andaman, dan penduduk asli Australia (Bidney 1976: 290). Akan tetapi, masalah
muncul ketika seseorang mencoba membedakan antara mitos dan cerita rakyat karena cerita atau
plot (alur cerita) yang sama muncul pada keduanya.
Untuk mengatasi kebingungannya dalam membedakan dua kategori ini, yakni mitos dan folk
tales, selanjutnya Boas berusaha mendefinisikan ‘mythological concepts’ untuk dapat
membedakan keduanya. Menurut Boas, cara menemukan definisi mythological concepts jauh
lebih mudah dibandingkan dengan definisi tentang mythological tales itu sendiri. Mythological
concepts adalah pandanganpandangan dasar tentang konstitusi dunia dan asal-usulnya.
Pandangan-pandangan ini masuk ke dalam cerita-cerita atau dongeng-dongeng yang merujuk
kepada suatu perbuatan luar biasa (supernatural behaviour) dan penderitaan-penderitaan zaman
saat ini, yang seringkali diketahui oleh individu-individu. Dalam semua legenda, mythological
concepts muncul sebagai bagian hakiki dari dongeng-dongeng tersebut (Bidney 1976: 290).
Dari pendapat Boas di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara mitos dan folk tales
adalah bahwa mythical tales (cerita mitos) diterima atau digunakan secara serius oleh masyarakat
yang meyakininya, sedangkan folk tales tidak ditanggapi secara serius dan dianggap hanya
sekedar untuk hiburan semata atau dongeng pengantar tidur saja.
Kriteria supernatural untuk membedakan mitos dan cerita rakyat lainnya jelas-jelas tidak
cukup. Cerita tentang “sleeping beauty” menjelaskan tujuh makhluk supernatural tentang sebuah
cermin kebenaran (truth mirror), dan tentang bangun dari kematian. Tetapi, Orang Kate
bukanlah orang yang sakral, cermin bukanlah benda yang suci, dan bangunnya gadis yang cantik
bukan berarti menaikkanya pada status dewa. Cerita dongeng (fairy tale) berkaitan dengan
semua jenis makhluk supernatural, yang baik maupun yang jahat, tetapi cerita-cerita semacam itu
tidaklah dianggap sakral atau keramat karena tidak dipercayai ‘benar’ oleh orang-orang dewasa.
Aspek kepercayaanlah yang memberi mitos kekuatan. Tanpa kepercayaan, mitos tidak dapat
berfungsi sebagai a ‘charter of social reality’, tidak juga memperkuat atau menegakkan nilai-
nilai moral atau memotivasi perilaku manusia. Kepercayaan membuat mitos menjadi sakral dan
menghubungkannya secara langsung dengan dogma. Dogma menarik mitos untuk menjelaskan
dan menyucikan atau mengkuduskan kebenarankebenarannya, serta semua cerita yang bukan
berakar dari dogma bukanlah mitos (Malefijt 1968: 186).
Akan tetapi, mitos bukan hanya sekedar deskripsi simbolik dari dogma, tidak juga semua
sistem kepercayaan diungkapkan dalam bentuk mitos. Mitos seringkali didefinisikan oleh
beragam referensi merujuk kepada sistemsistem kepercayaan dengan makna kultural dan
kemampuannya menjustifikasi institusiinstitusi sosial yang dominan. Folktales (cerita rakyat)
seringkali memiliki pesan moral, tetapi tidak membangun prinsip-prinsip nilai masyarakat,
meskipun dapat merefleksikan hal semacam itu.
Menurut Seznec, seperti yang dikutip oleh Malefijt, relativitas penyebaran mitos dari satu
budaya bisa menjadi folktale (cerita rakyat) dari budaya lain. Sebagai contoh, warisan mitologis
dari zaman Yunani kuno dapat bertahan sampai saat ini dalam budaya Barat. Mitos-mitos itu
diturunkan dari generasi ke generasi, lama setelah mitos itu kehilangan makna religiusnya.
Dalam proses transmisi, mitos itu memelihara nilai seni dan literatur Eropa, serta terus
melakukan fungsinya, kecuali kesakralan (Malefijt 1968: 186).
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa suatu cerita dikatakan mitos apabila ada unsur atau nilai
kesakralan dalam cerita itu, dan diyakini atau dianggap benar oleh masyarakat atau dianggap
pernah terjadi di masa lampau. Artinya bahwa cerita-cerita yang tidak memiliki atau tidak
mengandung nilai sakral, dan masyarakat menganggapnya hanya sekedar dongeng atau cerita
hiburan saja, tidak lagi dianggap sebagai mitos, tetapi barangkali hanya dianggap sebagai cerita
rakyat (folklore), folktales, atau hanya sekedar legenda. Dari penjelasan di atas, juga bisa
disimpulkan bahwa pada suatu masa, suatu cerita dapat dianggap mitos oleh masyarakat tertentu
karena masih mengandung nilai sakral dan diyakini benar oleh masyarakat tersebut. Di masa
yang lain atau pada kebudayaan lain, cerita itu tidak lagi dianggap mitos karena nilai
kesakralannya sudah memudar atau tidak ada sama sekali dan masyarakat tidak meyakini
kebenaran cerita itu, atau paling tidak masyarakat hanya menganggap cerita itu sekedar fiktif
untuk tujuan hiburan pengantar tidur saja.
Makna dan Kegunaan Mitos
Mitos terdiri dari bahasa; mitos muncul dalam bentuk sebuah naratif dengan sebuah alur cerita
(plot); memiliki style, indah; mitos memiliki sejarah dan pendistribusian antar budaya (cross-
cultural distribution); mitos merupakan institusi kultural dan memiliki fungsi religius, fungsi
sosial dan fungsi psikologi. Selanjutnya, seorang linguistbiasanya akan menganalisis bahasa
mitos, folklorist tertarik membahas tema dan alur-ceritanya,  kritik sastra fokus pada style dan
nilai estetiknya, psikolog mencari kandungan emosionalnya, ahli teologi menguji hubungannya
dengan kebenaran agama dan ilmuan sosial memusatkan pada fungsi dan makna sosialnya
(Malefijt 1968: 172).
Banyak ahli berpendapat bahwa manusia, baik sebagai individual maupun sebagai kelompok,
tidak dapat hidup tanpa mitos atau mitologi. Artinya bahwa keberadaan mitos sangat vital dan
penting bagi eksistensi hidup manusia, terutama dalam hal yang berkaitan dengan mitologi yang
bersifat keyakinan dan keagamaan. Para ilmuwan sosial, terutama antropolog, mencoba
menjelaskan dan mengembangkan berbagai pengertian, makna, dan fungsi mitos. Menurut
mereka, mitos dipandang sebagai sesuatu yang diperlukan manusia untuk mencari kejelasan
tentang alam lingkungannya, juga sejarah masa lalunya. Dalam pengertian ini, ‘mitos’ menurut
Nurcholis Madjid menjadi semacam ‘pelukisan’ atas kenyataan-kenyataan (yang tak terjangkau,
baik relatif ataupun mutlak) dalam format yang disederhanakan sehingga terpahami dan
tertangkap oleh orang banyak. Melalui suatu keterangan yang terpahami itu, seseorang atau
masyarakat dapat mempunyai gambaran tentang letak dirinya dalam susunan kosmis, kemudian
berdasarkan gambaran itu pun Ia menjalani hidup dan melakukan kegiatan-kegiatan (Madjid
2000:
176).
Mitos, menurut Malefijt,  berguna untuk membentuk opini atau identitas publik dan
memperkuat solidaritas sosial. Malefijt mengungkapkan bahwa mitos adalah cerita sastra yang
indah dan mempunyai gaya tersendiri, mengandung sejarah dan berperan besar dalam lintas
budaya, mengandung institusi budaya, dan mempunyai fungsi serta makna psikologis, sosial dan
religius, sehingga menarik perhatian ahli linguistic, psikologi, teologi dan ilmuwan sosial
(Malefijt 1968: 177).
Pada sebagian masyarakat yang masih mempercayai nilai sakral dari mitos, mitos berfungsi
sebagai alat untuk mengontrol moral dan perilaku masyarakat. Berbagai contoh mitos di
Indonesia dapat dijadikan contoh seberapa besar fungsi mitos atas tingkah laku, sikap, dan nilai
moral yang terkandung di dalamnya. Mitos Malin Kundang yang berasal dari Sumatra Barat,
dalam cerita ini, terdapat pesan moral yang ingin disampaikan oleh si pembuat mitos kepada
masyarakatnya secara khusus, dan juga kepada semua manusia secara umum, bahwa manusia
harus menghormati dan menyayangi orang tuanya, terutama ibunya. Penyimpangan atau
pelanggaran dari nilai moral yang  terkandung dari mitos tersebut di atas akan membawa
konsekuensi berat yang harus ditanggung oleh orang yang melukai hati seorang ibu, dalam cerita
ini orang tersebut dikutuk menjadi batu. Mitos-mitos lain yang isinya mengandung pesan moral
bagi manusia tersebar di berbagai wilayah di dunia. Berkaitan dengan ini, dapat dikutip pendapat
Malinowski yang melakukan penelitian di Melanesia tentang fungsi mitos berdasarkan hasil
analisisnya tentang opini, tradisi, dan tingkah laku serta karakter budaya dari masyarakatnya.
Dalam paragraf pertama dari bukunya yang membahas tentang Myth in Primitive Psychology, Ia
menyatakan “I propose how deeply the sacred tradition, the myth, enters into their pursuits, and
how strongly it controls their moral and social behavior’ (Malinowski 1955: 96).
Mitos memainkan peran penting dalam kehidupan sosial. Mitos dapat membangun solidaritas
sosial masyarakat yang bersangkutan. Dengan adanya mitos yang mereka percayai memiliki
sakralitas dan mengandung pesan moral yang diwariskan dari leluhur-leluhur mereka, seseorang
yang keluar dari daerahnya untuk merantau atau pindah menetap di daerah lain akan tetap
memelihara nilai sakral dan nilai moral mitos tersbut, yang kemudian akan diwariskan kepada
anak-anak mereka sebagai generasi berikutnya. Sehingga ketika terdapat suatu ritual yang harus
dijalani berdasarkan mitos yang diperoleh dari daerah asalnya, Ia akan mempraktikannya di
tempat Ia tinggal sekarang. 
Selanjutnya, cerita yang ada dalam mitos juga dapat menjelaskan kondisi ekonomi dan
kehidupan sosial sebuah suku serta dapat mengungkap beragam bahaya, ketidakberuntungan,
serta penyakit yang disebabkan oleh hal-hal gaib. Sehingga, ketika ada suatu ritual yang harus
dijalani oleh masyarakat yang bersangkutan untuk menghindari bahaya dan penyakit yang
dijelaskan dalam mitos tersebut, mereka akan menjalaninya secara kolektif dengan kesadaran
bersama untuk melindungi masyarakatnya dari bahaya-bahaya gaib tersebut. Berkaitan dengan
ini, Kluckhon, seperti dikutip oleh Bustanudin yang melakukan penelitian tentang suku Pueblo
dan Navajo di kalangan orang Indian, selain menemukan penjelasan tentang ekonomi dan
kehidupan sosial pada suku tersebut, juga mengungkap bahaya-bahaya gaib, seperti penyakit
yang dipandang sebagai hukuman. Mereka melakukan ritual penting untuk melindungi diri dari
penyakit. Ritual itu juga berfungsi untuk mengungkap solidaritas dan respons bersama terhadap
bahaya tersebut. Dengan demikian, mitos adalah suatu kekuatan yang membantu melestarikan
wujud masyarakat (Bustanudin t.t: 91).
Barangkali, pendapat Malinowski dalam sebuah paragraf berikut ini dapat menjelaskan secara
komprehensif tentang fungsi dan peran mitos bagi masyarakat. Menurutnya Malinowski:
“Studied alive, myth, as we shall see, is not symbolic, but a direct expression of its subject
matter; it is not an explanation  in subject matter; it is not an explanation  in satisfaction of a
scientific interest, but a narrative resurrection of a primeval reality, told in satisfaction of deep
religious wants, moral cravings, social submissions, assertions, even practical requirements.
Myth fulfills in primitive culture an indispensable function: it expresses, enhances, and codifies
belief; it safeguards and enforces morality; it vouches for the efficiency of ritual and contains
practical rules for the guidance of man. Myth is thus a vital ingredient of human civilization; it
is not an idle tale, but a hard worked active force; it is not an intellectual explanation or an
artistic imagery, but a pragmatic charter of primitive faith and moral wisdom.”  3
Berdasarkan pandangan Malinowski di atas, jelas bahwa mitos bukan hanya kisah yang
diceritakan, tetapi sebuah realitas yang hidup. Itu bukanlah sifat dasar fiksi, seperti pada novel
saat ini, tetapi mitos adalah realitas yang hidup, yang dipercayai pernah terjadi pada zaman purba
serta terus berlanjut untuk memengaruhi dunia dan nasib manusia. Selanjutnya Malinowski
menyimpulkan bahwa mitos tidak seharusnya diperlakukan sebagai penjelasan, atau sebagai
simbol, tetapi cara mitos memotivasi orang-orang dan membentuk kehidupan dan realitas mereka
daripada dianggap sebagai suatu deskripsi faktual. Mitos adalah sebuah rencana, sebuah model (a
‘model for’ dalam istilah Geertz), atau dalam istilah Malinowski sendiri sebagai
‘charter (piagam)’ atau petunjuk hidup (Eller 2007: 84-85).
RINGKASAN JURNAL 3
ILMU ALAMIAH DASAR
LINK DOWNLOAD
ILMU ALAMIAH DASAR
Dosen Pengajar : HAFIZ
MUBARAK S.Th.I, M.Pd.I Disusun
oleh :
Kelompok 1
HARTONO (1601452285)
MUHAMMAD FAUZI (1601422215)
MUHAMMAD MARZUKI (1601422217)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
JURUSAN ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR
BANJARMASIN
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Metode ilmiah tidak dapat memberikan nilai atau moral suatu keputusan. Manusia pemakai Ilmu
Alamiah lah yang menilai apakah hasil Ilmu Alamiah itu baik atau sebaliknya. Ilmuwan yang
bekerja dalam penemuan energi nuklir,zat antibiotika dan lain-lain tidak dapat menyatakan
apakah penemuannya baik atau jelek. Tiap orang harus menentukan sendiri. Jika seorang
ilmuwan berbicara tentang moral energi nuklir memiliki bobot yang lebih daripada orang umum,
karena dia lebih tahu banyak akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh energi nuklir apabila
dipakai perang. Tetapi pendapat itu adalah pendapat pribadi yang dimiliki bersumber dari agama
atau lainnya. Ilmu Alamiah tidak dapat menilai hal lain, misalnya tentang cinta, keindahan,
kejahatan, kebahagiaan, kebaikan, kebebasan, harta benda, yang merupakan nilai kemanusiaan
yang tidak dapat dijangkau oleh Ilmu Alamiah. Penelitian tentang cinta dan pengaruh cinta
terhadap manusia mungkin dapat dilakukan, tetapi tidak menemukan bahwa cinta itu indah, dan
tidak dapat menilai tentang baik buruknya apa yang dilakukan manusia, bila dapat menilai itu
bukan merupakan penelitian ilmiah.
Selanjutnya juga kita tidak dapat mengharapkan semua kehidupan ini bersifat ilmiah, karena
manusia memiliki banyak segi. Tetapi masih mungkin bila mengharapkan orang-orang berpikir
secara ilmiah dalam menghadapi masalah-masalah yang empiris. Sekali lagi hendaknya diyakini
bahwa Ilmu Alamiah tidak dapat memberikan pedoman menentukan nilai atau moral dalam
hidup ini.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk memberikan pemahaman Ilmu
Alamiah Dasar.
B. RUMUSAN MASALAH
1.Apa pengertian Ilmu Alamiah Dasar ?
2.Apa latar belakang lahirnya Ilmu Alamiah Dasar ?
3.Apa saja ruang lingkup Ilmu Alamiah Dasar ?
4.Apa arti penting Ilmu Alamiah Dasar dalam kehidupan bermasyarakat?
C. TUJUAN
1.Untuk mengetahui pengertian Ilmu Alamiah Dasar
2.Untuk mengetahui latar belakang lahirnya Ilmu Alamiah Dasar
3.Untuk mengetahui ruang lingkup Ilmu Alamiah Dasar
4.Untuk menjelaskan peranan Ilmu Alamiah Dasar dalam kehidupan bermasyarakat.
D. KEGUNAAN
Makalah ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang Ilmu Alamiah Dasar dan ilmu
terapannya supaya dapat mengembangkan ilmu pengetahuan teknologi. Penggunaan metode
ilmiah terbukti dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang besar sekali
manfaatnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Alamiah Dasar
Ilmu Alamiah atau sering disebut Ilmu Pengetahuan Alam dan akhir-akhir ini ada juga yang
menyebut Ilmu Kealaman, yang dalam bahasa inggris disebut Natural Science atau disingkat
Science dan dalam bahasa Indonesia sudah lazim digunakan istilah Sains .
Ilmu Alamiah merupakan Ilmu Pengetahuan yang mengkaji tentang gejala-gejala dalam Alam
semesta, termasuk dimuka bumi ini, sehingga terbentuk konsep dan prinsip. Ilmu Alamiah Dasar
(Basic Natural Science) hanya mengkaji konsep-konsep dan prinsip-prinsip dasar yang esensial
saja.
Ilmu pengetahuan alam bermula dari rasa ingin tahu, yang merupakan suatu ciri khas manusia.
Manusia mempunyai rasa ingin tahu tentang benda-benda di alam sekitarnya, bulan, bintang,
matahari, bahkan ingin tahu tentang dirinya sendiri (antroposentris). Rasa ingin tahu tidak
dimiliki oleh makhluk lain, seperti batu, tanah, sungai, dan angin. Air dan udara memang
bergerak dari satu tempat ketempat lain, namun gerakannya itu bukanlah atas dasar kehendaknya
sendiri, tetapi akibat dari pengaruh ilmiah yang bersifat kekal.
Bagaimana halnya dengan makhluk-makhluk hidup seperti tumbuhan-tumbuhan dan binatang ?
Sebatang pohon misalnya, menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan atau gerakan, namun gerakan
itu terbatas pada upayanya untuk mempertahankan kelestarian hidupnya yang bersifat tetap.
Misalnya, daun-daun yang cenderung mencari sinar matahari atau akar yang cenderung mencari
air yang kaya mineral untuk pertumbuhan hidupnya. Kecenderungan semacam ini terus
berlangsung sepanjang zaman.
Bagaimana halnya dengan binatang yang juga menunjukkan adanya kehendak untuk berpindah
dari satu tempat ke tempat lain? Contohnya ubur-ubur. Binatang ini berpindah tidak atas
kehendaknya sendiri. Namun, bagaimana halnya dengan binatang tingkat lebih tinggi yang
nyata-nyata mempunyai kemampuan untuk mengadakan eksplorasi terhadap alam sekitarnya?
Misalnya, ikan, burung, harimau, ataupun binatang yang sangat dekat dengan manusia. Tentunya
burung-burung bergerak dari satu tempat ke tempat lain didorong oleh suatu keinginan,
diantaranya, rasa ingin tahu. Ingin tahu apakah disana ada cukup makanan untuknya sendiri atau
bersama orang lain. Ingin tahu apakah suatu tempat cukup aman untuk membuat sarang? Setelah
mengadakan eksplorasi, tentu mereka jadi tahu. Itulah pengetahuan dari burung tadi. Burung
juga memilki pengetahuan untuk membuat sarang diatas pohon.
Burung manyar atau burung tempua pandai mengayam sarangnya diatas pohon yang begitu
indah bergantungan pada daun kelapa.
Namun, pengetahuannya itu ternyata tidak berubah dari zaman ke zaman.
Bagaimana halnya dengan monyet yang begitu pandai? Apabila diperhatikan baik-baik saja,
kehendak mereka untuk mengekspresikan alam sekitar didorong oleh rasa ingin tahu yang tetap
sepanjang zaman atau yang oleh Asimov (1972) disebut sebagai idle curiousity, atau dibuku lain
disebut insting. Insting itu bekerja pada satu hal saja, yaitu mempertahankan kelestarian
hidupnya. Untuk itu, mereka perlu makan, melindungi, dan berkembang biak. Bagaimana halnya
dengan manusia? Manusia juga memiliki insting seperti yang dimiliki oleh hewan dan tumbuh-
tumbuhan. Namun, manusia memiliki kelebihan, yaitu adanya kemampuan berpikir. Dengan kata
lain, curiousity-nya tidak idle, tidak tetap sepanjang zaman. Manusia memiliki rasa ingin tahu
yang berkembang, atau kemampuan berpikir. Setelah tahu tentang apa-nya mereka juga ingin
tahu bagaimana dan mengapa begitu. Manusia mampu menggunakan pengetahuannya yang
terdahulu untuk dikombinasikan dengan pengetahuannya yang baru sehingga menjadi suatu
akumulasi pengetahuan. Sebagai ilustrasi, bayangkan saja manusia purba zaman dahulu yang
hidup di gua-gua atau diatas pohon karena kemampuan berpikirnya tidak semata-mata didorong
oleh mempertahankan kelestarian hidupnya, tetapi juga untuk membuat hidupnya lebih
menyenangkan, mereka mampu membuat rumah diatas tiang-tiang kayu yang kokoh. Bahkan,
sekarang mampu membuat istana maupun gedung-gedung pencakar langit. Bandingkan dengan
burung tempua dengan sarangnya yang indah tak mengalami perubahan sepanjang masa.
Demikian juga harimau yang hidupnya dalam gua atau monyet yang juga tidak mengalami
perubahan sepanjang zaman.
Rasa ingin tahu manusia yang terus berkembang dan seolah-olah tanpa batas itu menimbulkan
perbendaharaan pengetahuan pada manusia itu sendiri. Hal ini tidak saja meliputi kebutuhan-
kebutuhan praktis untuk hidupnya sehari-hari, seperti bercocok tanam atau membuat panah atau
lembing untuk berburu, tetapi juga berkembang sampai pada hal-hal yang menyangkut
keindahan.
B. Latar belakang lahirnya Ilmu Alamiah Dasar
Manusia dilahirkan dimuka bumi langsung berhubungan dengan alam, hubungan ini menjadikan
sebuah pengalaman. Manusia mendapatkan rangsangan dari alam melalui panca indera. Jadi,
diantara hubungan itu ada alat komunikasi antara alam dengan manusia dan inilah yang
menjadikan sebuah pengalaman. Bila dibandingkan dengan makhluk lain, terutama hewan, maka
tubuh manusia lemah, sedang rohaninya yaitu akal-budi dan kemauannya sangat kuat. Manusia
tidak dapat terbang seperti burung, tidak dapat berenang secepat buaya, tidak mampu
mengangkat benda berat seperti gajah dan sebagainya, tapi dengan akal budi dan kemauannya,
manusia dapat menjadi makhluk yang lebih dari makhluk lain. Kelebihan manusia itu tidak lain
adalah sifat yang unik yaitu memiliki akal budi dan kemauan yang keras, sehingga dapat
mengendalikan tubuh jasmaninya.
Dari pengalaman ini membuat sedikit demi sedikit semakin bertambah, karena keingin tahuan
manusia ingin mendapatkan jawaban yang real seperti: apa, bagaimana, dan mengapa baik atas
kehadirannya didunia. Ataupun semua benda yang selalu berinteraksi dengan dirinya baik
sengaja ataupun tidak. Fakta-fakta semakin bertambah selama manusia masih berada dibumi dan
selalu mencoba menurun-temurun kan fakta-fakta itu kegenerasi seterusnya. Pertambahan dan
pengetahuan ini terjadi atas dua dorongan, yaitu:
1. Bersifat praktis, yaitu manusia adalah makhluk yang berpikir, berbudi, dan berperasaan
yang selalu berusaha mebuat hidupnyalebih aman dan lebih tinggi derajatnya dibandingkan yang
lain.
2. Bersifat non praktis (teoritis), yaitu memiliki sifat keingin tahuan yang dalam dan
mengerti dalam hal apapun, dorongan inilahyang menumbuhkan pengetahuan.
Menurut Prof. Dr. M.J. Langerveid guru besar di Rijk University di Utrecht (Belanda) ilmu
pengetahuan mengenai suatu hal tertentu, yang merupakan kesatuan sistematis, dan memberikan
penjelasan yang sistematis yang dapat dipertanggungjawabkan dengan sebab-sebab suatu
kejadian. Ilmu pengetahuan memiliki ciri yang dapat dibedakan dengan yang lainnya, misalnya:
obyektif, metodik, sistematik, dan berlaku umum. Dengan sifat tersebut, maka orang yang
langsung terjun kelapangan atau selalu berhubungan dengan pengetahuan akan terbimbing
hingga padanya terkembangkan suatu sikap yang disebut sikap ilmiah. Objek penelaah ilmiah
yaitu seluruh segi kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera. Ilmu membatasi diri pada suatu
kejadian yang bersifat empiris atau berdasarkan pengalaman, objek dibedakan menjadi 2 yaitu :
1.Material, yaitu objek yang dilihat secara keseluruhan
2.Formal, yaitu objek yang dapat dilihat dari aspek tertentu saja.
C. Ruang Lingkup Ilmu Alamiah Dasar
1.
Kelahiran
alam
semesta
a.
Mengenal
alam
semesta
Alam semesta ini pada mulanya dalam keadaan satu kesatuan yang padat, kemudian meledak
melemparkan gumpalan besar dan melayang dari tempatnya mengembang bergerak menjauh.
Maka terbentuklah galaksi, sebagian memadat menjadi planet-planet. Bila jarak antara galaksi
dapat ditentukan, maka umur jagat raya atau alam semesta ini dapat ditentukan, yaitu dengan
jalan membagi jarak dengan kecepatan mengembangnya. Menurut perhitungan, umur alam
semesta ini berkisar antara sepuluh sampai lima belas milyar tahun.
b. Teori terbentuknya alam semesta
1)Teori ledakan
Teori ledakan ini bertolak dan adanya suatu massa dan berat jenis yang sangat besar, meledak
dengan hebat karena adanya reaksi ini.
Massa itu kemudian berserakan mengembang dengan sangat cepatnya menjauhi pusat ledakan.
2)Teori ekspansi dan kontraksi teori
Teori ini berlandaskan pikiran bahwa ada suatu siklus dan alam semesta, yaitu ?masa ekspansi?
dan ?masa kontraksi? diduga bahwa siklus ini berlangsung dalam waktu 30.000 juta tahun.
2. Tata surya
Surya adalah kata lain dari matahari. Tata surya berarti adanya suatu organisasi yang teratur
pada matahari. Matahari adalah suatu bola gas pijar yang merupakan sumber sinar dan sumber
panas (energi) utama bagi bumi. Minyak bumi dan batubara itu sebenarnya juga berasal dari
energi matahari yang pada zaman dahulu diserap oleh tumbuhan atau binatang. Matahari
mengontrol stabilitas peredaran bumi yang berarti mengontrol terjadinya siang dan malam,
bulan, tahun serta juga mengontrol peredaran planet lain. 3. Bumi
Teori
tentang
kejadian
bumi: a.
Teori Kant
Laplace
Dialam raya sudah ada alam yang telah berputar makin lama makin mendingin. Perputaran ini
mengakibatkan pendataran dibagian kutub-kutubnya dan menimbun materi dibagian
khatulistiwanya yang merupakan daerah paling tidak stabil sewaktu perputaran semakin cepat,
bagian tersebut akan terlepas materi dan massa asal. Kemudian mengambil kondensasi
akhirnya, menjadi padat berputar mengelilingi massa asal. Maka asal tersebut menjadi matahari
dan bagian terlepas setelah padat manjadi planet. b. Teori Chamberlain dan Maulton
Mereka mengemukakan suatu teori tentang matahari dan bumi, teorinya
terkenal dengan teori plenetesimal. c. Teori Jean dan Jefreys
Bintang besar yang jauh lebih besar dari matahari memiliki gaya tarik yang sangat kuat terhadap
matahari, akibatnya akan terjadi gelombang pasang pada permukaan matahari yang menyerupai
gunung yang sanat tinggi dan menyerupai lidah raksasa yang berupa gas sangat panas
selanjutnya mengalami pemadatan kemudian pecah menjadi benda-benda tersendiri yang disebut
planet.
D. Peranan Ilmu Alamiah Dasar dalam kehidupan bermasyarakat
Dalam kehidupan manusia dewasa ini tidak terlepas dari Ilmu Alamiah dan terapannya berupa
teknologi dalam berbagai bidang.
Misalnya sejak dalam kandungan manusia mendapat perawatan secara medis melalui
pemeriksaan berkala di B.K.I.A (Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak) atau puskesmas. Setelah
lahir mendapat vaksinasi untuk memperoleh kekebalan terhadap berbagai macam penyakit, bila
sakit mendapat pemeriksaan dokter dan mendapatkan obat, dan sebagainya. Ilmu kedokteran dan
Ilmu Farmasi (obat-obatan) adalah merupakan cabang dari Biologi sebagai ilmu terapan.
Pakaian, jam tangan, ball point atau pulpen yang kita pakai adalah hasil dari teknologi. Ilmu
alamiah murni memang tidak langsung mempunyai peranan dalam kehidupan manusia secara
langsung, tapi antara ilmu murni dan ilmu terapan (teknologi) mempunyai hubungan erat. Dari
konsep atau prinsip ilmu murni dapat dikembangkan dalam ilmu terapan, sebaliknya teknologi
atau ilmu terapan memberikan sumbangan dari penemuan-penemuan kepada prinsip atau hukum-
hukum baru dan seterusnya.
Memang, pada mulanya antara Ilmu Alamiah dan teknologi itu tidak selalu mempunyai kaitan.
Misalnya, dahulu manusia membuat perahu untuk memenuhi kebutuhannya belum mengenal
teknologi membuat perahu. Tapi dalam zaman modern ini, dalam membuat kapal orang harus
menguasai ilmu murni, tentang hukum Archimides, agar kapal tidak tenggelam, konstruksi baja
dan seterusnya. BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ilmu Alamiah merupakan Ilmu Pengetahuan yang mengkaji tentang gejala-gejala dalam Alam
semesta, termasuk dimuka bumi ini, sehingga terbentuk konsep dan prinsip. Ilmu Alamiah Dasar
(Basic Natural Science) hanya mengkaji konsep-konsep dan prinsip-prinsip dasar yang esensial
saja.
Manusia dilahirkan dimuka bumi langsung berhubungan dengan alam, hubungan ini menjadikan
sebuah pengalaman. Manusia mendapatkan rangsangan dari alam melalui panca indera. Jadi,
diantara hubungan itu ada alat komunikasi antara alam dengan manusia dan inilah yang
menjadikan sebuah pengalaman.
Dalam kehidupan manusia dewasa ini tidak terlepas dari Ilmu Alamiah dan terapannya berupa
teknologi dalam berbagai bidang.
Misalnya sejak dalam kandungan manusia mendapat perawatan secara medis melalui
pemeriksaan berkala di B.K.I.A (Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak) atau puskesmas. Setelah
lahir mendapat vaksinasi untuk memperoleh kekebalan terhadap berbagai macam penyakit, bila
sakit mendapat pemeriksaan dokter dan mendapatkan obat, dan sebagainya. Ilmu kedokteran dan
Ilmu Farmasi (obat-obatan) adalah merupakan cabang dari Biologi sebagai ilmu terapan.
Pakaian, jam tangan, ball point atau pulpen yang kita pakai adalah hasil dari teknologi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi dan Supatmo, Ilmu Alamiah Dasar, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991 Asep,?
Pengertian dan Ruang Lingkup Ilmu Alamiah Dasar?
http://asep250277.blogspot.co.id/2014/09/pengrtian-dan-ruang-lingkup-iad- ibd-
dan.html, diakses pada 14 september 2016
Jasin, Maskoeri, Ilmu Alamiah Dasar, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987
Jasin, Maskoeri, Ilmu Alamiah Dasar, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1989
Jasin, Maskoeri, Ilmu Alamiah Dasar, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998
Gulo, Marls ?Ilmu Alamiah Dasar? http://marls-gulo.blogspot.co.id/2010/10/ilmu- alamiah-
dasar_24.html, diakses pada 14 september 2016
Mawardi dan Nur Hidayati, Ilmu Alamiah Dasar-Ilmu Sosial Dasar-Ilmu Budaya Dasar,
Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009 Pandoyo, Sumbawi Ranu, Ilmu Alamiah Dasar,
Surabaya: Usaha Nasional, 1987 Wahidah, ?konsep IAD dalam kehidupan
bermasyarakat?
http://wahidah97.blogspot.co.id/2014/11/konsep-iad-dalam-kehidupan-bermasyarakat.html
diakses pada 14 september 2016

Anda mungkin juga menyukai