Anda di halaman 1dari 89

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN

OLEH : DODDY TRIWIJAYA

NIM : 030520423

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

INSTITUT MEDIKA Drg. SUHERMAN CIKARANG

TAHUN AJARAN 2020/2021


PERILAKU KEKERASAN

A. PENGERTIAN
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakaan secara fisik baik terhadap diri
sendiri, orang lain maupun lingkunganya (Fitria, 2009).
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditunjukan untuk
melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya
tingkahlaku tersebut (Purba dkk, 2008).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku
seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan.Perilaku
kekerasan pada diri sendiri dapat berbentuk melukai diri untuk bunuh diri atau
membiarkan diri dalam bentuk penelantaran diri. Perilaku kekerasan pada orang
adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai atau membunuh orang lain.
Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat berupa perilaku merusak lingkungan,
melempar kaca, genting, dan semua yang ada di lingkungan.Pasien yang dibawa
ke rumah sakit jiwa sebagian besar akibat melakukan kekerasan di
rumah.Perawat harus jeli dalam melakukan pengkajian untuk menggali penyebab
perilaku kekerasan yang dilakukan selama di rumah.
B. Penyebab
1. Faktor predisposisi
a) Faktor fisiologis
Pysiconalytical Theory : teori ini mendukung bahwa perilaku
agresif merupakan akibat dari instructural drives. Feud
berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua
insting, yang pertama insting hidup yang di deskrifsikan dengan
seksualitas, yang kedua insting krmatian yang di dekskrifsikan
dengan agresifitas.
b) Faktor sosial budaya
Ini mengemukakan bahwa agresif tidak berbeda dengan respon-
respon yang lain. Agresif dapat dipelajari melalui observasi atau
imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka
semakin besar kemungkinan terjadi.

c) Faktor biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agresof
mempunyai dasar biologis, penelitian neurobiologist mendapatkan
bahwa adanya pemberian stimulus elektris ringan pada
hipotalamus ( yang bebeda ditengah sistem limbic).
C. Rentang respons marah

Keterangan :
Asertif : kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain.
Frustasi : kegagalan mencapai tujuan, tidak realitas/ terhambat.
Pasif : respon lanjutan yang pasien tidak mampu mengungkapkan
perasaan.
Agresip : perilaku destruktif tapi masih terkontrol
Amuk : perilaku destruktif yang tidak terkontrol

Table Perbandingan perilaku pasif, asertif dan agresif


Karakteristik Pasif Asertif Amuk
Nada Bicara  Negatif  Positif  Berlebihan
 Menghina  Menghargai diri  Menghina
diri sendiri orang lain
 Dapatkah  Saya dapat/akan  Anda
saya lakukan?  Lakukan selalu/tidak
 Dapatkah ia  pernah?
lakukan?
Nada suara  Diam  Diatur  Tinggi
 Lemah  Menuntut
 Merengek
Sikap tubuh  Melorot  Tegak  Tegang
 Menundukan  Relaks  Bersandar ke
kepala depan
Personal space  Orang lain  Menjaga jarak  Memiliki
dapat yang teritorial
 Masuk pada  menyenangkan orang lain
territorial  Mempertahankan
pribadinya hak
tempat/teritorial
Gerakan  Minimal  Memperlihatkan  Mengancam,
 Lemah  gerakan yang ekspansi
 Resah sesuai gerakan
Kontak mata  Sedikit/tidak  Sekali-sekali  Melotot
ada  (intermiten)
sesuai dengan
kebutuhan
interaksi

D. Tanda dan gejala


Yosep 2009 mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan sebagai
berikut :
1. Fisik
a) Muka merah dan tegang
b) Mata melott/pandangan tajam
c) Tangan mengepal
d) Rahang mengatup
e) Postur tubuh kaku
f) Jalan mondar-mandir
2. Verbal
a) Bicara kasar
b) Suara tinggi membentak, berteriak
c) Mengancam scara verbal atau fisik
d) Mengumpat dengan kata-kata kotor
e) Suara keras
f) Ketus
3. Perilaku
a) Melempara atau memukul benda/ orang lain
b) Menyerang orang lain
c) Melukai diri sendiri/ orang lain
d) Merusak lingkungan
e) Amuk/agresif
4. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, inngin berkelahi,
menyalahkan dan menuntut.
5. Intelektual
Mendominasi, crewet, berdebat, meremehkan, sarkasme.
6. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
7. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
8. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
E. Pohon masalah
Resiko tinggi mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

F. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji


Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan perilaku
kekerasan yaitu :
1. Perilaku kekerasan
2. Resik mencederai diri sendiri dan orang lain serta lingkungan
3. Perubahan prsepsi sensori : halusinasi
4. Harga diri rendah kronis
5. Isolasi sosial
6. Berduka disfungsional
7. Penatalaksanaan regimen teraupetik inefektif
8. Koping keluarga inefektif
Sedangkan data yang perlu dikaji pada masalah keperawatan
perilaku kekerasan adalah :
1. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
Data subyektif
a) Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang
b) Klien suka membentak dan menyerang orang yang
mengusiknya jika sedang kesal atau marah
c) Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainya.
Data obyektif :
a) Mata merah, wajah agak merah
b) Nada suara tinggi dank eras, bicara mengusai : berteriak,
menjerit, memukul diri sendiri dan rang lain.
c) Ekspresi marah saat membicarakan orang , pandangan
tajam
2. Perilaku kekerasan / amuk
Data subyektif :
a) Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang
b) Klien suka membentak dan menyerang orang yang
mengusiknya jika sedang kesal atau marah
c) Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainya.
Data objekktif :
a) Mata merah, wajah agak merah
b) Nada suara tinggi dank eras, bicara mengusai : berteriak,
menjerit, memukul diri sendiri dan rang lain.
c) Ekspresi marah saat membicarakan orang , pandangan
tajam
d) Merusak dan melempar barang-barang
3. Gangguan harga diri : harga diri rendah
Data subyektif :
a) Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu
apa-apa bododh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan
rasa malu terhadap diri sendiri
Data obyektif
a) Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh
memilih alternative tindakan, ingin menciderai dirir/ ingin
mengakhiri hidup.
G. Diagnosa keperawatan
a) Perilaku kekerasan
b) Risiko mencderai diri sendiri orang lain berhubungan dengan perilaku
c) Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah
H. Rencana tindakan keperawatan
Dignnosa keperawatan : perilaku kekerasan
a) Tujuan umum
Klien tidak melakukan tindakan kekerasan baik pada diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan.
b) Tujuan khusus
1. Klien mampu membina hubungan saling percaya
klriteria evaluasi
 Klien mau membalas salam
 Klien mau berjabat tangan
 Klien mau menyebut nama
 Klien mau tersenyum
 Klien ada kontak mata
 Klien mau mengetahui nama perawat
 Klien mau menyediakan waktu untuk perawat
Intervensi keperawatan :
 Beri salam dn panggil nama klien
 Sebut nama perawat sambil berjabat tangan
 Jelaskan maksud hubungan interaksi
 Jelaskan kontrak yang dibuat
 Beri rasa aman dan tunjukan sipat empati
 Lakukan kontak singkat tapi sering
Rasionalisasi :
 Hubungan saling percaya merupakan dasaar untuk
hubungan selanjutnya.
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
Criteria evaluasi :
 Klien mengungkapkan perasaanya
 Klien dapat mengungkapkan penyebab perasaan marah,
jengkel/ kesal terhadap diri sendir, orang lain dan
lingkungan
Intervensi keperawatan
 Berikan kesempatan klien untuk mengungkapkan
perasaanya
 Bantu klien untuk mengungkapkan penyebab perasaan
marah, jengkel/ kesal
Rasionalisasi
 Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaanya
dapat membantu mengurangi strees dan penyebab marah,
jengkel/ kesal dapat diketahui.
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda perilaku kekerasan
Kriteri evaluasi :
 Klien dapat mengungkapkan tanda-tanda marah,
jengkel/kesal
 Klien dapat menimpulkan tanda-tanda maraj, jengkel/
kesal yang dialami
Intervensi keperawatan
 Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami soal marah,
jengkel/kesal
 Bservasi tanda perilaku kekerasan pada klien
 Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel, kesal yang
dialami klien
Rasionalisasi
 Untuk mengetahui hal yang dialami dan dirasakan saat
jengkel
 Untuk mengetahui tanda-tanda klien jengkel/kesal
 Menarik kesimpulan bersama klien supaya
klienmengetahuisecara garis besar tanda-tanda
marah/kesal
4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan
kriteria evaluasi :
 Klien dapat mengungkapkan perilaku yang biasa
dilakukan klien
 Klien dapat bermain peran dengan perilaku kekerasan
yang biasa dilakukan
 Klien mengetahu cara yang biasa dapat menyelesaikan
masalah/tidak
Intervensi keperawatan
 Anjurkan klien untuk mengumpulkan perilaku kekerasan
yang biasa dlakukan klien
 Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku
kekerasan yang biasa dilakukan
 Bcarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien
lakukan masalahnya selesai
Rasionalisai
 Mengfeksplorasi perasaan klien terhadap perilaku
kekerasan yang biasa dilakukan
 Untuk mengetahui perilaku kekerasa yang biasa klien
lakukan dan dengan bantuan perawat bisa membedakan
perilaku konstruktif dengan destruktif
 Dapat membantu klien, dapat menggunakan cara yang
dapat menyelesaikan masalah

5. Klien dapat mengidentifkasi akibat perilaku kekerasan


Kriteria evaluasi :
 Klien dapat menjelaskan akibat dari cara yang digunakan
klien
Intervensi keperawatan :
 Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang telah dilakukan
klien
 Bersama klien simpulkan akibat cara yang digunakan oleh
klien
 Tanyakan pada klien apakah ia ingin mempelajari cara
baru yang sehat
Rasionalisasi :
 Membantu klien menilai perilaku kekeasan yang
dilakukan
 Dengan mengetahui akibat perilaku kekerasan diharapkan
klien dapat mengubah perilaku desttruktif menjadi
knstruktif
 Agar klien mempelajari perilaku konstruktif yang lain
6. Klien dapat mengidentifikasi cara knstruktif dalam berespon
terhadap kemarahan
Kriteria evaluasi :
 Klien dapat melakukan cara berespon terhadap kemarahan
secara konstruktifn
Intervesi
 Tanyakan pada klien apakah ia ingin mempelajari cara
baru yang sehat
 Berika pujian bila klien mengetahui cara lain yang sehat
 Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat
 Secara fisik ; tarik nafas dalam saat kesal,
memukul kasur atau bantal, olahraga, melakukan
pekerjaan yang penuh tenaga.
 Secara verbal : katakana kepada perawat atau orang
lain
 Secara sosial : latihan asertif, manajemen PK
 Secara spiritual : anjurkan klien sembahyang,
berdoa, ibadah lain.

Rasionalisasi
 Dengan mengidentifikasi cara yang konstruktif dalam
bersepon terhadap kemarahan dapat membantu klien
menemukan cara yang baik untuk mengurangi
kekesalanya sehingga klien tidak stress lagi.
 Reinforcement positif dapat memotifasi klien dan
meningkatkan harga dirinya
 Berdiskusi dengan klien untuk memilih cara yang lain dan
sesuai dengan kemampuan klien
7. Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku
kekerasan
Kriteria evaluasi ;
 Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku
kekerasan.
 Fisik :tarik nafas dalam, olahraga, menyiram
tanama n
 Verbal : mengatakan langsung dengan tidak
menyakiti
 Spiritual : sembahyang, berdoa , ibadah lain
Intervensi keperawatan
 Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien
 Bantu klien mengidentifikasi manfaat cara yang dipilih
 Bantu klien menstimulasi cara tersebut ( role play)
 Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien
menstimulasi cara tersebut
 Anjurkan klien menggunakan cara yang telah dipelajari
saat marah.
Rasionalisasi
 Memberikan stimulasi kepad aklien untuk menilai respon
perilaku kekerasaan secara tepat
 Membantu klien dalam membuat keputuasan untuk cara
yang telah dipilihnya dengan menilai manpaat
 Agar klien mengetahui cara marah yang konstruktif
 Pujian dapat meninhkatkan motifasi dan harga diri klien
 Agar klien dapat melaksanakan cara yang telah dipilihnya
jika sedang kesal.
8. Klien mendapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol
perilaku kekerasan.
Kriteria evaluasi:
 Keluarga klien dapat ;
 Menyebutkan cara merawat klien yang berperilaku
kekerasan
 Mengungkapkan rasa puas dalam merawat klien \
Intervensi keperawatan
 Indentifikasi kemampuan keluarga klien dari sikap apa
yang telah dilakukan keluarga terhadap klien selama ini
 Jelaska peran serta keluarga dalam merawat klien
 Jelaskan cara-cara merawat klien
 Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat klien
 Bantu keluarga mengungkapkan perasaanya melakukan
demnstrasi
Rasionalisasi
 Kemampuan keluarga dalam mengidentifkasi akan
memungkinkan keluarga melakukan penilaian terhadap
perilaku kekerasan
 Meningkatkan pengetahuan keluarga tentang cara merawat
klien sehingga keluarga terlibat dalam perawatan klien
 Agar keluarga mengetahui cara merawat klien melalui
demonstrasi yang dilihat keluarga secara langsung
9. Klien dapat menggunakan oabat dengan benar
Kriteria evaluasi
 Klien dapat menyebutkan obat-obatan yang diminum dan
kegunaanu (jenis, waktu, dosis, dan efek)
 Klien dapat meminum obat sesuai terafi

Intervensi keperawatan
 Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum klien ( pada klien
dan keluarga )
 Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian jika
berhenti minum obat tanpa seijin dokter
 Jelaskan prinsip benar minum obat (nama, dosis, waktu,
cara minum)
 Anjurkan klien minum bat tepat waktu
Rasionalisasi
 Klien dan keluarga dapat mengetahui mana-mana obat
yang diminum oleh klien
 Klien dan keluarga dapat mengetahui kegunaan obat yang
dikonsumsi oleh klien
 Klien dan keluarga dapat mengetahui prinsip benar agar
tidak terjadi kesalahan mengkonsumsi obat
 Klien dapat memiliki kesadaran pentingnya minum obat
dan bersedia minum obat dengan kesadaran sendiri
DAFTAR PUSTAKA

1. Keliat, B . A. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. (Edisi


2). Jakarta: EGC.
2. Stuart & sudart. 2007 . Buku Saku Keperawatan Jiwa. (Edisi 5).
Alih Bahasa: Ramona P, Kapoh. Jakarta: EGC
3. Yoseph, Iyus. 2010. Keperawatan Jiwa,(Edisi Revisi). Bandung:
Revika Aditama.
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN HARGA DIRI RENDAH

OLEH : DODDY TRIWIJAYA

NIM : 030520423
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

INSTITUT MEDIKA Drg. SUHERMAN CIKARANG

TAHUN AJARAN 2020/2021

I. KASUS ATAU MASALAH UTAMA


Gangguan konsep diri: harga diri rendah
II. Proses terjadinya masalah
A. Definisi
Perkembangan kebudayaan masyarakat banyak membawa perubahan dalam segi
kehidupan manusia. Setiap perubahan situasi kehidupan baik positif maupun
negatif dapat mempengaruhi keseimbangan fisik, mental, dan psikososial seperti
bencana dan konflik yang dialami sehingga berdampak sangat besar terhadap
kesehatan jiwa seseorang yang berarti akan meningkatkan jumlah pasien
gangguan jiwa (keliat, 2011).
Menurut (Herman, 2011), gangguan jiwa ialah terganggunya kondisi
mental atau psikologi seseorang yang dapat dipengaruhi dari faktor diri sendiri
dan lingkungan. Hal-hal yang dapat mempengangaruhi perilaku manusia ialah
keturunan dan konstitusi, umur, dan sex, keadaan badaniah, keadaan psikologik,
keluarga, adat-istiadat, kebudayaan dan kepercayaan, pekerjaan, pernikahan dan
kehamilan, kehilangan dan kematian orang yang di cintai, rasa permusuhan,
hubungan antara manusia.
B. Tanda dan gejala
 Mengejek dan mengkritik diri.
 Merasa bersalah dan khawatir, menghukum atau menolak diri sendiri.
 Mengalami gejala fisik, misal: tekanan darah tinggi, gangguan
penggunaan zat.
 Menunda keputusan.
 Sulit bergaul.
 Menghindari kesenangan yang dapat memberi rasa puas.
 Menarik diri dari realitas, cemas, panic, cemburu, curiga dan halusinasi.
 Merusak diri: harga diri rendah menyokong klieb untuk mengakhiri
hidup.
 Merusak atau melukai orang lain.
 Perasaan tidak mampu.
 Pandangan hidup yang pesimitis.
 Tidak menerima pujian.
 Penurunan produktivitas.
 Penolakan tehadap kemampuan diri.
 Kurang memperhatikan perawatan diri.
 Berpakaian tidak rapi.
 Berkurang selera makan.
 Tidak berani menatap lawan bicara.
 Lebih banyak menunduk.
 Bicara lambat dengan nada suara lemah.
C. Predisposisi
1) Faktor yang mempengaruhi harga diri Meliputi penolakan orang tua,
harapan orang tua tidak realistis, kegagalan yang berulang, kurang
mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain
dan ideal diri yang tidak realistis.
2) Faktor yang mempengaruhi peran. Dimasyarakat umunya peran
seseorang disesuai dengan jenis kelaminnya. Misalnya seseorang wanita
dianggap kurang mampu, kurang mandiri, kurang obyektif dan rasional
sedangkan pria dianggap kurang sensitive, kurang hangat, kurang
ekspresif dibandingkan wanita. Sesuai dengan standar tersebut, jika
wanita atau pria berperan tidak sesuai lazimnya maka dapat menimbulkan
konflik diri maupun hubungan sosial.
3) Faktor yang mempengaruhi identitas diri. Meliputi ketidak percayaan,
tekanan dari teman sebaya dan perubahan struktur sosial. Orang tua yang
selalu curiga pada anak akan menyebabkan anak menjadi kurang percaya
diri, ragu dalam mengambil keputusan dan dihantui rasa bersalah ketika
akan melakukan sesuatu. Control orang yang berat pada anak remaja akan
menimbulkan perasaan benci kepada orang tua. Teman sebaya merupakan
faktor lain yang berpengaruh pada identitas. Remaja ingin diterima,
dibutuhkan dan diakui oleh kelompoknya.
4) Faktor biologis Adanya kondisi sakit fisik yang dapat mempengaruhi
kerja hormon secara umum, yang dapat pula berdampak pada
keseimbangan neurotransmitter di otak, contoh kadar serotonin yang
menurun dapat mengakibatkan klien mengalami depresi dan pada pasien
depresi kecenderungan harga diri dikuasai oleh pikiran-pikiran negatif
dan tidak berdaya.
D. Persipitasi
Masalah kususs tentang konsep diri disebebkan leh setiap situasi yang dihadapi
individu dan ia tidak mampu menyesuaikan. Stresor yang dapat mempengaruhi
gambaran diri adalah hilangnya bagian tubuh, tindakan operasi, perses patologi
penyakit, perubahan struktur dan fungsi tubuh, peruses tumbuh kembang dan
perosedur tindakan pengobatan. Sedangkan stressr yang dapat mempengaruhi
harga diri dan ideal diri adalah penlakan dan kurang penghargaan diri dari orang
tua dan orang yang berarti, pola asuh yang tidak tepat, misalnya selalu dituntut,
dituruti, persaingan dengan saudara, kesalahan dan kegagalan berulang, cita-cita
tidak terpenuhi dan kegagalan bertanggung jawab sendiri. Stressor pencetus
dapat berasal dari internal dan eksternal.
1) Trauma seperti penganiyaan seksudal dan psikologis atau menyaksikan
peristiwa yang mengancam hidup.
2) Ketegangan peran hubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan
dan individu mengalaminya sebagai frustais
E. Rentang respon

Keterangan
1) Aktualisasi diri adalah pernyataan diri positif tentang latar belakang
pengalaman nyata yang sukses diterima.
2) Konsep diri positif adalah individu mempunyai pengalaman yang positif
dalam beraktualisasi.
3) Harga diri rendah adalah transisi antara respon diri adaptif dengan
konsep diri maladaptif.
4) Kerancuan identitas adalah kegagalan individu dalam kemalangan aspek
psikososial dan kepribadian dewasa yang harmonis.
5) Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistis terhadap diri sendiri
yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat
membedakan dirinya dengan orang lain.

F. Pohon masalah
Pohon masalah yang muncul menurut Fajriyah (2012):

G. Diagnose keperawatan
1) Gangguan citra tubuh
2) Kesiapan meningkatkan konsep diri
3) Harga diri rendah (kronis, situasional dan resiko situasinal)
4) Ketidakefektifan performa peran
5) Gangguan identitas pribadi
H. Mekanisme koping
Mekanisme koping menurut Deden (2013):
Jangka pendek
 Kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis : pemakaian
obat-obatan, kerja keras, nonoton tv terus menerus.
 Kegiatan mengganti identitas sementara : ikut kelompok sosial,
keagamaan, politik.
 Kegiatan yang memberi dukungan sementara : kompetisi olah raga kontes
popularitas.
 Kegiatan mencoba menghilangkan anti identitas sementara :
penyalahgunaan obat-obatan.
Jangka panjang
 Menutup identitas : terlalu cepat mengadopsi identitas yang disenangi
dari orang-orang yang berarti, tanpa mengindahkan hasrat, aspirasi atau
potensi diri sendiri.
 Identitas negatif : asumsi yang pertentangan dengan nilai dan harapan
masyarakat.
I. Strategi pelaksanaan
 SP-1 pasien harga diri rendah pertemuan Ke1: mendiskusikan
kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien, membantu pasien
menilai kemampuan yang masih dapat digunakan, membantu pasien
memilih atau menetapkan kemampuan yang akan dilatih, melatih
kemampuan yang telah dilatih dalam rencana harian.
 SP-2 Pasien : Harga diri rendah pertemuan ke2: melatih pasien
melakukan kegiatan lain yang sesuai dengan kemampuan klien.
 SP-3 keluarga : harga diri rendah pertemuan ke1: mendiskusikan masalah
yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien dirumah, menjelaskan
tentang pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah, menjelaskan cara
merawat pasien dengan harga diri rendah dan memberi kesempatan
kepada keluarga untuk memperaktekan cara merawat.
 SP_4 keluarga: harga diri rendah pertemuan ke2: melatih keluarga
memperaktikan cara merawat pasien dengan masalah harga diri rendah
langsung kepada klien

DAFTAR PUSTAKA

Stuart, W. Gail. (2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa. Singapore: Elsevier

Yusuf, Ah, Rizky Fitryasari PK dan Hanik Endang Nihayati. (2015). Buku
Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika

Yusuf, Ah, Rizky Fitryasari PK dan Hanik Endang Nihayati. (2015). Buku
Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika

Keliat, Budi Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas:


CMHN(Basic Course). Jakarta: EGC

Mulyono, Andri,.2013. Asuhan Keperawatan dengan HArgaDiri Rendah


diakses dari http://eprints.ums.ac.id/25936/11/NASKAH_PUBLIKASI.pdf
Pada 12 Juni 2018

Halifah, Nur Eka,.2016. Bab II Tinjauan Teori diakses dari


http://repository.ump.ac.id/1076/3/EKA%20NUR%20HALIFAH%20BAB%2
0II.pdf pada 12 Juni 2018

Elinia, Sury,.2016. Tinjauan Tero dan Konsep Harga Diri Rendah diakses
dari http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/167/jtptunimus-gdl-eliniasury-
8333-2-babii.pdf pada 12 Juni 2018
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN ISOLASI SOSIAL

OLEH : DODDY TRIWIJAYA

NIM : 030520423

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

INSTITUT MEDIKA Drg. SUHERMAN CIKARANG

TAHUN AJARAN 2020/2021


A. Konsep dasar teori
1.1 Definisi
Isolasi sosial merupakan kondisi ketika individu atau kelompk mengalami,
atau merasakan kebutuhan, atau keinginan untuk lebih terlibat dalam
aktivitras bersama rang lain, tetapi tidak mampu mewujudkanya (Carpenit,
2009)
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang
lain disekitarnya. Individu mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian,
dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Stuart
& Sundeen, 2006).
1.2 Rentang respon sosial
Adapun rentang sosial dari adaptif sampai terjadi respon yang maladaptif
(Stuart & Sundeen, 2006), yaitu :

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Menyendiri Merasa sendiri Manipulasi

Otonomi Menarik diri Impulsif

Bekerjasama Tergantung Narcissisme

Saling tergantung

Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan dengan cara yang
dapat diterima oleh norma-norma masyarakat. Menurut Sujono & Teguh (2009)
respon adaptif meliputi :

a. Solitude atau menyendiri


Respon yang dilakukan individu untuk merenungkan apa yang telah terjadi
atau dilakukan dan suatu cara mengevaluasi diri dalam menentukan rencana-
rencana.

b. Autonomy atau otonomi


Kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide, pikiran,
perasaan dalam hubungan sosial. Individu mampu menetapkan untuk
interdependen dan pengaturan diri.
c. Mutuality atau kebersamaan
Kemampuan individu untuk saling pengertian, saling memberi, dan menerima
dalam hubungan interpersonal.
d. Interdependen atau saling ketergantungan
Suatu hubungan saling ketergantungan saling tergantung antar individu dengan
orang lain dalam membina hubungan interpersonal.
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah
dengan cara-cara yang bertentangan dengan norma-norma agama dan
masyarakat. Menurut Sujono & Teguh (2009) respon maladaptif tersebut
adalah :
a. Manipulasi
Gangguan sosial dimana individu memperlakukan orang lain sebagai
obyek, hubungan terpusat pada masalah mengendalikan orang lain dan
individu cenderung berorientasi pada diri sendiri. Tingkah laku mengontrol
digunakan sebagai pertahanan terhadap kegagalan atau frustasi dan dapat
menjadi alat untuk berkuasa pada orang lain.
b. Impulsif
Respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai subyek yang tidak
dapat diduga, tidak dapat dipercaya, tidak mampu merencanakan, tidak mampu
untuk belajar dari pengalaman dan miskin penilaian.
c. Narkisisme
Respon sosial ditandai dengan individu memiliki tingkah laku egosentris,
harga diri yang rapuh, terus menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan
mudah marah jika tidak mendapat dukungan dari orang lain.
Sedangkan gangguan hubungan sosial yang sering terjadi pada rentang
respon maladaptif (Stuart & Sundeen, 2006), yaitu :
a. Menarik diri ; individu menemukan kesulitan dalam membina hubungan
dengan orang lain.
b. Tergantung (dependen) ; individu sangat tergantung dengan orang lain,
individu gagal mengembangkan rasa percaya diri.
c. Manipulasi ; Individu tidak dapat dekat dengan orang lain, orang lain hanya
sebagai objek.
d. Curiga ; tertanam rasa tidak percaya terhadap orang lain dan lingkungan.
1.3 Tanda dan gejala
Observasi yang ditemukan pada klien dengan perilaku menarik diri akan
ditemukan (data objektif), yaitu apatis, ekspresi sedih, afeks tumpul, menghindari
dari orang lain (menyendiri), klien tampak memisahkan diri dari orang lain,
misalnya pada saat makan, komunikasi kurang/tidak ada, klien tidak tampak
bercakap-cakap dengan klien atau perawat, tidak ada kontak mata, klien lebih suka
menunduk, berdiam diri di kamar/tempat terpisah, klien kurang mobilitas, menolak
berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan atau pergi jika
diajak bercakap-cakap, tidak melakukan kegiatan sehari-hari, artinya perawatan
diri dan kegiatan rumah tangga sehari-hari tidak dilakukan, posisi janin pada saat
tidur. Data subjektif sukar didapat jika klien menolak berkomunikasi. Beberapa
data subjektif adalah menjawab dengan kata-kata singkat dengan kata-kata “tidak”,
“ya”, atau “tidak tahu”.

Menurut buku panduan diagnosa keperawatan NANDA (2005) isolasi


sosial memiliki batasan karakteristik meliputi:

Data Obyektif :

1) Tidak ada dukungan dari orang yang penting (keluarga, teman, kelompok)
2) Perilaku permusuhan
3) Menarik diri
4) Tidak komunikatif
5) Menunjukan perilaku tidak diterima oleh kelompok kultural dominant
6) Mencari kesendirian atau merasa diakui di dalam sub kultur
7) Senang dengan pikirannya sendiri
8) Aktivitas berulang atau aktivitas yang kurang berarti
9) Kontak mata tidak ada
10) Aktivitas tidak sesuai dengan umur perkembangan
11) Keterbatasan mental/fisik/perubahan keadaan sejahtera
12) Sedih, afek tumpul

Data Subyektif:

1) Mengekpresikan perasaan kesendirian


2) Mengekpresikan perasaan penolakan
3) Minat tidak sesuai dengan umur perkembangan
4) Tujuan hidup tidak ada atau tidak adekuat
5) Tidak mampu memenuhi harapan orang lain
6) Ekspresi nilai sesuai dengan sub kultur tetapi tidak sesuai dengan kelompok
kultur dominant
7) Ekspresi peminatan tidak sesuai dengan umur perkembangan
8) Mengekpresikan perasaan berbeda dari orang lain
9) Tidak merasa aman di masyarakat
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa Klien Dengan
Menarik Diri
Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang
melibatkan hubungan kerjasama antara perawat dengan klien, keluarga atau
masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal.
1. Pengkajian
a. Identitas klien
1) Perawat yang merawat melakukan kontak dengan klien tentang : nama
klien, nama panggilan klien, nama perawat, panggilan perawat, tujuan,
waktu, tempat pertemuan, topik pembicaraan.
2) Usia
3) Nomor rekam medik
4) Perawat menuliskan sumber data yang didapat
b. Keluhan utama/alasan masuk
Menanyakan pada klien atau keluarga penyebab klien datang ke rumah sakit
saat ini dan bagaimana koping keluarga yang sudah dilakukan untuk
mengatasi masalah ini dan bagaimana hasilnya.
c. Faktor predisposisi
Tanyakan pada klien / keluarga, apakah klien pernah mengalami gangguan
jiwa di masa lalu, pernah melakukan, mengalami, menyaksikan penganiayaan
fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan
tindakan kriminal, baik itu yang dilakukan, dialami , disaksikan oleh orang
lain, apakah ada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa,
pengalaman yang tidak menyenangkan.
d. Aspek fisik
Meliputi pengukuran tanda vital, tinggi badan, berat badan dan adanya
keluhan fisik, misalnya tampak lemah, letih dan sebagainya.
e. Aspek psikososial
1). Membuat genogram yang memuat minimal 3 generasi yang
menggambarkan hubungan klien dengan keluarganya yang terkait dengan
komunikasi, pengambilan keputusan, pola asuh, pertumbuhan individu
dan keluarga.
2). Konsep diri, meliputi :
Kaji lebih dalam secara bertahap dengan komunikasi yang sering dan
singkat, meliputi :
a). Citra tubuh
Tanyakan dan observasi persepsi pasien terhadap tubuhnya, bagian
tubuh yang disukai dan tidak disukai.
b). Identitas diri
Tanyakan dan observasi tentang status dan posisi klien sebelum
dirawat, kepuasan klien terhadap status dan posisinya (sekolah,
tempat kerja, kelompok), kepuasan klien sebagai perempuan atau
laki-laki.
c). Peran
Tanyakan tentang tugas / peran yang diemban dalam
keluarga/kelompok, kemampuan klien dalam melaksanakan tugas /
peran.
d). Ideal diri
Tanyakan tentang harapan terhadap tubuh; posisi, status, tugas/peran
dan harapan klien terhadap lingkungan (keluarga, sekolah, tempat
kerja, masyarakat).
e). Harga diri.
Tanyakan dan nilai melalui observasi lingkungan hubungan klien
dengan orang lain sesuai dengan kondisi no. 2). (a), (b), (c) dan
penilaian/penghargaan orang lain terhadap diri dan kehidupannya.
3). Hubungan sosial (di rumah dan di rumah sakit)
a). Tanyakan pada klien / keluarga siapa orang yang paling berarti dalam
kehidupannya, tempat mengadu, tempat bicara, minta bantuan atau
sokongan.
b). Tanyakan pada klien / keluarga, kelompok apa saja yang diikuti
dalam masyarakat.
c). Tanyakan pada klien / keluarga pada klien sejauh mana klien terlibat
dalam kelompok di masyarakat.
4). Spiritual, meliputi pandangan, nilai dan keyakinan klien terhadap
gangguan jiwa sesuai dengan agama yang dianut, kegiatan ibadah yang
biasa dilakukan di rumah.
f. Status mental
Nilai aspek-aspek meliputi :
1). Penampilan (rapi / tidak) , penggunaan dan cara berpakaian.
2). Pembicaraan; cepat, keras, gagap, membisu, apatis, lambat, inkoheren,
atau tidak dapat memulai pembicaraan.
3). Aktifitas motorik; tampak adanya kelesuan, ketegangan, kegelisahan,
agitasi, tik (gerakan involunter pada otot), grimasen (gerakan otot muka
yang berubah-ubah yang tidak dapat dikontrol klien), tremor atau
kompulsif.
4). Alam perasaan; sedih, gembira, putus asa, ketakutan, atau khawatir.
5). Afek; datar, tumpul, labil, tidak sesuai.
6). Interaksi selama wawancara; bermusuhan, tidak kooperatif, kontak mata
kurang, defensif, curiga atau mudah tersinggung.
7). Persepsi; menentukan adanya halusinasi dan jenisnya.
8). Proses pikir; sirkumstansial (pembicaraan berbelit-belit, tapi sampai
pada tujuan pembicaraan), tangensial (pembicaraan berbelit-belit tidak
sampai pada tujuan pembicaraan), kehilangan asosiasi (pembicaraan yang
tidak ada hubungan satu dengan yang lainnya), flight of ideas
(pembicaraan yang meloncat-loncat), blocking (pembicaraan terhenti
sejenak tanpa gangguan eksternal, kemudian dilanjutkan kembali),
perseverasi (pembicaraan yang diulang berkali-kali).
9). Isi pikir; obsesi (pikiran yang selalu muncul walaupun klien berusaha
menghilangkannya), phobia (ketakutan patologis pada objek / situasi
tertentu), hipokondria (keyakinan terhadap adanya gangguan organ di
dalam tubuh yang sebenarnya tidak ada), depersonalisasi (merasa asing
terhadap diri sendiri, orang lain atau lingkungan), ide yang terkait
(keyakinan klien terhadap kejadian yang banyak di lingkungan yang
bermakna dan terkait pada dirinya), pikiran magis dan waham.
10). Tingkat kesadaran; bingung, sedasi, stupor, orientasi waktu, tempat dan
orang.
11). Memori; adanya gangguan daya ingat jangka panjang, gangguan daya
ingat jangka pendek, gangguan daya ingat saat ini, konfabulasi.
12). Tingkat konsentrasi dan berhitung; perhatian klien yang mudah
dialihkan, tidak mampu memperbaiki, tidak mampu berhitung.
13). Kemampuan penilaian; gangguan penilaian ringan dan gangguan
kemampuan penilaian bermakna.
14). Daya tilik diri; pengingkaran terhadap penyakit yang diderita,
menyalahkan hal-hal di luar dirinya.
g. Kebutuhan persiapan pulang
Observasi kemampuan klien akan; makan, BAB/BAK, mandi, berpakaian,
istirahat dan tidur, penggunaan obat, pemeliharaan kesehatan, aktifitas di
dalam dan di luar rumah
h. Mekanisme koping
Kaji koping adaptif ataupun maladaptif yang biasa digunakan klien dengan
menarik diri, seperti regresi (kemunduran ke tingkat perkembangan yang lebih
rendah dengan respon yang kurang matang), represi (koping yang menekan
keadaan yang tidak menyenangkan ke alam bawah sadar), isolasi (respon
memisahkan diri dari lingkungan sosial).
i. Aspek medik
Jenis obat-obatan klien saat ini, baik obat fisik, psikofarmaka dan terapi
lainnya. Data yang didapat dapat dikelompokkan menjadi 2 macam, yaitu data
objektif dan subjektif. Data objektif ditemukan secara nyata dan didapatkan
melalui observasi atau pemeriksaan langsung, sedangkan data subjektif
merupakan data yang disampaikan oleh klien secara lisan dan keluarga yang
didapat melalui wawancara perawat kepada klien dan keluarga.
2. Pohon Masalah
Pohon masalah pada klien dengan Isolasi sosial : menarik diri, yaitu:

Resiko perilaku Akibat


kekerasan terhadap
diri sendiri

Ketidakefektifan Gangguan Gangguan


penatalaksanaan sensori/persepsi: pemeliharaan
program terapeutik halusinasi pendengaran kesehatan

Isolasi sosial: menarik diri Defisit perawatan


diri: Mandi dan
Masalah utama berhias

Ketidakefektifan Gangguan konsep diri:


koping keluarga:
ketidakmampuan Harga diri rendah kronis
Penyebab
keluarga merawat klien
di rumah

C. Diagnosa keperawatan
Keliat, B. A. (2005) merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan
gangguan isolasi sosial : menarik diri, sebagai berikut :

a. Isolasi sosial
b. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
c. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
d. Koping individu tidak efektif
e. Defisit perawatan diri
f. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
D. Intervensi keperawatan
Menurut (Workshop Standar Asuhan & Bimbingan Keperawatan Jiwa RSJ Prof.
Dr. Soeroyo Magelang, 2007) strategi pelaksanaan tindakan keperawatan
menggunakan SP, yaitu :
 Pasien
SP 1 (Pasien)
 Membina hubungan saling percaya
 Mengidentifikasi penyebab isolasi sosia pasien.
 Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi dengan
orang lain.
 Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang.
 Menganjurkan pasien memasukan kegiatan latihan berbincang-
bincang dengan orang lain dalam kegiatan harian.
 SP 2 (Pasien)
 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
 Memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekan cara
berkenalan dengan dua orang.
 Membantu pasien memasukan kegiatan berbincang-bincang
dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian.
 SP 3 (Pasien)
 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
 Memberikan kesempatan kepada pasien berkenalan dengan dua
orang atau lebih.
 Menganjurkan pasien memasukan dalam jadwal kegiatan harian.
 Keluarga
SP 1 (Keluarga)
 Mendisukusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien
 Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial yang
dialami pasien beserta proses terjadinya.
 Menjelaskan cara-cara merawat pasien isolasi sosial.
 SP 2 (Keluarga)
 Melatih keluarga memperaktikan cara merawat pasien isolasi
sosial
 Melatih keluarga cara merawat langsung kepada pasien isolasi
sosial

E. Diagnosa 2. Perubahan konsep diri : harga diri rendah


Tujuan:
 Pasien
SP 1 (pasien )
 Mengidenfikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien.
 Membantu pasien menilai kemampuan pasien yang masih dapat
digunakan.
 Membantu pasien memilih kegiatan yang akan dilatih sesuai dengan
kemampuan pasien.
 Melatih pasien kegiatan yang dipilih sesuai kemampuan.
 Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
 Keluarga
SP 1 (keluarga)
 Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien
 Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah yang
dialami pasien beserta proses terjadinya.
 Menjelaskan cara-cara merawat pasien harga diri rendah
 SP 2 (Keluarga)
 Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan
harga diri rendah
 Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien
harga diri rendah
 SP 3 (Keluarga)
 Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk
minum obat
 Menjelaskan follow up setelah pulang

F. Diagnosa 3. Perubahan prsepsi sensori : halusinasi


Tujuan :
Pasien
 SP 1 (Pasien)
 Mengidentifikasi jenis halusinasi pasien
 Mengidentifikasi isi halusinasi pasien
 Mengidentifikasi waktu halusinasi pasien
 Mengidentifikasi frekuensi halusinasi pasien
 Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan halusinasi
 Melatih pasien cara control halusinasi dengan meghardik
 Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
 SP 2 (Pasien)
 Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya
 Melatih pasien cara control halusinasi dengan berbincang dengan
orang lain
 ,membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
 Sp 3 (Pasien)
 Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya
 Melatih pasien cara control halusinasi dengan kegiatan yang biasa
dilakukan pasien
 Membimbing pasien mamasukan kejadwal kegiatan harian
 SP 4 (Pasien)
 Memvalidasi masalah latihan sebelumnya
 Menjelaskan cara control halusinasi dengan teratur minum obat (
prinsip 5 benar minum obat)
 SP 5 (Pasien)
 Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya
 Menjelaskan cara kntrol PK dengan minum obat (prinsip 5 benar
minum obat )
 Membimbing pasien memasukan dalam jadwal kegiatan harian
 Keluarga
SP 1 (Keluarga )
 Mendiskusikan masalah yang disarankan keluarga dalam
merawat pasien
 Menjelaskan pengertian PK, tanda gejala, serta proses
terjadinya PK
 Menjelaskan cara merawat pasien dengan
DAFTAR PUSTAKA

Sher, L. (2006). Alcohol consumption and suicide. Q J Med. 99, 57-61.


doi:10.1093/qjmed/hci146

Stanley, B., Brown, G., Brent, D., Wells, K., Poling, K., Curry, J., Kennard, B. D.,
et al (2009). Cognitive Behavior Therapy for Suicide Prevention (CBT-
SP): Treatment Model, Feasibility and Acceptability. J Am Acad Child
Adolesc Psychiatry. 48(10): 1005–1013.
doi:10.1097/CHI.0b013e3181b5dbfe.

Stuart, G. W. (2013), Principles and practice of psychiatric nursing.10 th edition.

St Louis,Missouri: Elsevier mosby

U.S. Surgeon General and of the National Action Alliance for Suicide Prevention.
(2012). 2012 National Strategy for Suicide Prevention: Goals and
Objectives for Action: A Report of the U.S. Surgeon General and of the
National Action Alliance for Suicide Prevention. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK109922/
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN RESIKO BUNUH DIRI

OLEH : DODDY TRIWIJAYA

NIM : 030520423

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

INSTITUT MEDIKA Drg. SUHERMAN CIKARANG

TAHUN AJARAN 2020/2021

RISIKO BUNUH DIRI


A. DEFINISI
Risiko bunuh diri merupakan keadaan dimana seseorang berisiko membunuh
dirinya sendiri. Risiko bunuh diri jelas menandakan seorang individu pada risiko
tinggi dan membutuhkan perlindungan (Carpenito & Moyet, 2006). Diseluruh
dunia, paling sedikit 1000 kejadian bunuh diri setiap hari (Stuart, 2013).
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) setiap tahun, lebih dari
800.000 orang meninggal karena bunuh diri. Pada tahun 2012, bunuh diri
merupakan penyebab utama kedua kematian pada usia 15-29 dan setiap 4 detik
terjadi kematian akibat bunuh diri (WHO, 2014). Dalam Masango et al, (2008)
dijelaskan bahwa bunuh diri merupakan kematian diri sendiri secara segaja
dengan bukti bahwa orang tersebut memang bermaksud untuk mati. Definisi lain
disebutkan bahwa bunuh diri merupakan kematian yang ditimbulkan oleh cedera,
keracunan, atau sesak nafas dimana terbukti bahwa orang yang meninggal
memang bermaksud untuk membunuh dirinya sendiri (Stuart, 2013).

B. JENIS-JENIS RESIKO BUNUH DIRI

Menurut Keliat, Akemat, Helena, & Nurhaeni (2014) perilaku bunuh diri terdiri
dari tiga jenis yaitu:
1. Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak langsung
ingin bunuh diri, misalnya: dengan mengatakan “Tolong jaga anak-anak
karena saya akan pergi jauh” atau “Segala seseuatu akan lebih baik tanpa
saya”. Pada kondisi ini pasien mungkin sudah memiliki ide untuk
mengakhiri hidupnya, namun tidak disertai dengan ancaman dan
percobaan bunuh diri. Pasien umumnya mengungkapkan perasaan seperti
rasa bersalah/sedih/marah/ putus asa/tidak berdaya. Pasien juga
mengungkapkan hal-hal negatif tentang diri sendiri yang menggambarkan
harga diri rendah.
2. Ancaman bunuh diri
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh pasien. Berisi keinginan
untuk mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan dan
persiapan alat
untuk melaksanakan rencana tersebut. Secara aktif pasien telah
memikirkan rencana bunuh diri, namun tidak disertai dengan percobaan
bunuh diri. Walaupun dalam kondisi ini pasien belum mencoba bunuh
diri, pengawasan ketat harus dilakukan. Kesempatan sedikit saja dapat
dimanfaatkan pasien untuk melaksanakan rencana bunuh dirinya.

3. Percobaan bunuuh diri

Percobaan bunuh diri adalah tindakan pasien mencederai atau melukai


diri untuk mengakhiri kehidupannya. Pada kondisi ini, pasien aktif
mencoba bunuh diri dengan cara gantung diri, minum racun, memotong
urat nadi, atau menjatuhkan diri dari tempat yang tinggi. Berdasarkan
jenis-jenis bunuh diri ini dapat dilihat data-data yang harus dikaji pada
setiap jenisnya. Setelah melakukan pengkajian, anda dapat merumuskan
diagnosa keperawatan berdasarkan tingkat resiko dilakukannya bunuh
diri.

C. PENYEBAB

1. Predisposisi

BIOLOGI
a. Genetik

Studi dari Centre for Addiction and Mental Health telah menemukan bukti
bahwa gen tertentu terkait dengan perilaku bunuh diri. Zai et al (2013)
menyatakan bahwa terdapat keterlibatan brain-derived neurotrophic factor
(BDNF). Dari studi bedah mayat ditemukan adanya penurunan tingkat
BDNF pada hipokampus dan korteks prefrontal baik pada orang yang
mengalami gangguan kejiwaan maupun tidak.
Penelitian yang telah dilakukan pada anak kembar dilakukan sebagai
penelitian penting pada tahun 1991 menunjukkan kesesuaian monozigot dari
11,3 dan kesesuaian dizigot dari 1,8 risiko bunuh diri delapan kali lebih
besar pada keturunan pertama pasien psikiatri pada kelompok kontrol dan
empat kali lebih besar pada ketutunan pertama keluarga pasien yang
melakukan bunuh diri. Pada keluarga dengan faktor genetik berat untuk
gangguan mood tingkat bunuh dirinya lebih tinggi. Faktor genetik untuk
bunuh diri mungkin atau bawaan genetik dari gangguan jiwa (Masango,
2008).
b. Neurokimia

Penelitian dilakukan pada hubungan antara tryptophan hydroxylase dan


sejarah hidup beberapa orang yang melakukan upaya bunuh diri
mengungkapkan bahwa kemungkinan ada faktor genetik impulsif.
Apolymorphism pada manusia dengan dengan dua alel telah ditemukan
terkait dengan kelainan pada sistem kontrol dari serotonin. Hal ini
didasarkan pada bukti meningkatnya kadar reseptor 5-HT2A setelah
kematian (Dwivedi, 2012). Teori lain menyatakan penurunan kadar
serotonin menyebabkan penurunan 5-hydroxyindolacetic acid (5HIAA) pada
cairan serebrospinal (CSF). Hal ini ditemukan pada pasien depresi yang
melakukan percobaan bunuh diri. Penelitian telah membuktikan bahwa ada
hubungan antara penurunan serotonin pada pusat sistem serotonin dengan
buruknya impuls kontrol (Masango, 2008).
c. Status Nutrisi

Kekurangan vitamin D didefinisikan sebagai tingkat 25 (OH) D di bawah 20


ng / ml (Holick et al, 2011).. Vitamin D dapat mempengaruhi fungsi otak,
transkripsi lebih dari 1.000 gen diketahui berada di bawah kendali vitamin
D, yang berpotensi memberikan kontribusi untuk neurotropik dan efek saraf
yang dapat mempengaruhi perilaku bunuh diri (McCann & Ames, 2008).
Kekurangan vitamin D dinilai dapat meningkatkan risiko bunuh diri. Umhau
et al, (2013) dalam penelitiannya terhadap tentara militer amerika
menemukan lebih dari 30% dari semua subjek penelitian memiliki 25 (OH)
D nilai di bawah 20 ng / mL namun tidak terdapat berbedaan dengan
kelompok kontrol. Hal tersebut dimungkinkan karena pada kelompok
kontrol pengambilan darah dilakukan pada musim semi ketika 25 (OH) D
paling rendah dan kasus bunuh diri dilakukan pengambilan ampel darah
pada musim gugur ketika ketika 25 (OH) D tertinggi, sehingga perlu
penyesuan musim untuk analisis yang lebih tepat.

d. Alkohol dan Penyalahgunaan Zat

Penyalahgunaan zat paling banyak dilakukan pada penyalahgunaan alkohol.


Alkohol dapat menyebabkan perilaku impulsif dan agesif yang sangat
berkaitan dengan bunuh diri. Aktivitas serotonin yang rendah tekait dengan
peningkatan agresi/impulsif yang jika ditambah dengan ketergantungan
alkohol dapat meningkatkan perilaku bunuh diri (Sher, 2006). Selain
pelilaku impulsif dan agresif, kejadian bunuh diri karena penggunaan
alkohol juga dipengaruhi oleh genetik yang berhubungan dengan perantara
fenotif, adanya hubungan timbal balik dari gangguan psikiatrik termasuk
psikosis, gangguan mood dan gangguan kecemasan serta kerentana terhadap
stres dapat meningkatkan risiko bunuh diri (Pompili, Innamorati, Dominici,
Ferracuti, Kotzalidis, Serra, D. Et al., 2010).

PSIKOLOGI

a. Intelegensi

Menurut Kusumawardhani (2007) Lesi pada korteks prefrontal terutama


pada korteks orbito frontal pada masa kanak kanak dapat bermanifestasi
menjadi disinhibisi perilaku anti social dan perilaku agresif (melukai diri
sendiri dan orang lain) dikehidupan selanjutnya.
b. Keterampilan verbal

Menurut Humsona (2004) hasil penelitian mengungkapkan bahwa


sebagian besar pelaku bunuh diri adalah orang yang pendiam dan tidak
mudah terbuka tentang apa yang dialaminya kepada orang lain, hal ini
selkaras dengan teori dalam ilmu psikiatri bahwa orang yang diam adalah
individu yang sulit dimengerti karena dalam diamnya justru banyak hal –
hal yang tidak terungkap dan pada orang –orang pendiam, amarah dan
emosinya sulit untuk dibaca.

c. Moral

Durkeim menyatakan bahwa salah satu penyebab bunuh diri adalah adanya
tekanan moral yang dialami individu, jenis bunuh diri yang
diklasifikasikan durkeim terkait moral adalah:
1) Bunuh diri egoistic yaitu bunuh diri yang dihasilkan dari tekanan
budaya dan tekanan individualisme contohnya : penelitian yang
menyatakan orang yang tidak menikah memiliki kecendrungan bunuh
diri lebih tinggi daripada orang yang menikah
2) Bunuh diri anomik yaitu bunuh diri yang disebabkan oleh tidak
adanya pengaturan bagi tujuan yang mengatur individu yangdijamin
oleh norma dan prinsip moral (Humsona,2004).
d. Kepribadian
Tipe kepribadian memiliki peranan dalam kejadian bunuh diri, Blum et al,
(2013) membuktikan bahwa terdapat hubungan kepribadian neurotitisme
dan keterbukaan terhadap kejadian buuh diri sementara extraversion dan
kesadaran yang berbanding terbalik dengan perilaku yang berhubungan
dengan bunuh diri. Ciri kepribadian neurotisme, dikaitkan dengan
efektivitas negatif dan strategi coping maladaptif dan secara konsisten telah
ditemukan terkait dengan peningkatan bunuh diri. Extraversion
digambarkan sebagai kecenderungan ke arah berdampak positif dan
rendahnya tingkat extraversion terkait dengan keputusasaan dan pandangan
negatif pada kehidupan. Ide bunuh diri pada tipe kepribadian keterbukaan
dialami oleh lansia, keterbukaan dapat meningkatkan kemungkinan
pelaporan ide bunuh diri yang diukur dengan instrumen laporan diri dan di
sisi lain dapat menurunkan risiko dari kematian karena bunuh diri, mungkin
dengan meningkatkan kesempatan intervensi klinis melalui pelaporan yang
tepat waktu dari bunuh diri. Tingginya kadar keterbukaan juga telah
dikaitkan dengan distorsi kognitif, kurangnya wawasan, dan impulsif, yang
juga dapat menjelaskan hubungan dengan perilaku yang berhubungan
dengan bunuh diri.

STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN


A. Proses Keperawatan

1. Kondisi Klien :

Ibu A, Umur 32 tahun, status sudah menikah, punya seorang anak usia 2
tahun, tampak murung dan tidak bersemangat. Ibu A di bawa ke RS oleh
keluarganya sejak sehari yang lalu karena berusaha bunuh diri dengan cara
minum Baygon. Menurut informasi dari keluarga, hal tersebut dilakukan
karena suaminya mempunyai WIL (wanita idaman lain).
2. DiagnosaKeperawatan :

Resiko Bunuh Diri

3. Tujuan: Pasien tetap aman dan selamat

4. Tindakan Keperawatan:

Melindungi pasien. Untuk melindungi pasien yang akan mengancam atau


mencoba bunuh diri, maka anda dapat melakukan tindakan berikut:
a. Menemani klien terus menerus sampai ia dapat dipindahkan ketempat
yang aman
b. Menjauhkan semua benda yang berbahaya (misalnya: pisau, silet,
gelas, tali yang aman)
c. Memeriksa apakah pasien benar-benar telah minum obatnya, jika
pasien mendapatkan obat
d. Menjelaskan pada pasien bahwa anda akan melindungi pasien sampai
tidak ada keinginan bunuh diri
B. Strategi Komunikasi

ORIENTASI

1. Salam Terapeutik :

P: “Selamat pagi ibu, perkenalkan nama saya Ners Marice, suka


dipanggil Ners Ice yang bertugas di ruangan ini, saya bertugas dari
jam 8 pagi sampai jam 2 siang nanti”.
P: “Nama ibu siapa, senangnya dipanggil siapa?

2. Evaluasi / validasi :
P: “Bagaimana perasaan ibu A hari ini?

3. Kontrak :(Topik, Waktu dan Tempat)

P: “ Ibu A tahu saat ini berada dimana? Apa yang ibu A lakukan
hingga ibu A bisa sampai disini? Siapa yang mengantar ibu A?
“Bagaimana kalau kita berbincang bincang tentang apa yang ibu A
alami dan rasakan selama ini,
P: Dimana dan berapa lama kita berbincang-bincang. Baik…..sekitar
45 menit ya”
KERJA :

Faktor Predisposisi:

 Biologis

P: “Ibu masih ingat, ibu lahir dimana? Bagaimana kondisi saat lahir?

Apakah ibu lahir secara normal?

P: Apakah dari sejak kecil sampai sekarang ibu pernah cidera/jatuh?


P: Apakah ibu memiliki sakit fisik?
P: Apakah ibu pernah menggunakan obat-obatan terlarang atau minum
minuman beralkohol?
P: Bagaimana pola makan ibu?

P: Apakah di dalam keluarga ibu ada yang pernah mengalamai hal


yang sama seperti yang ibu alami saat ini? (sambil membuat
genogram, ttv dan ukur TB dan BB)
P:”Baiklah ibu kesimpulan yang saya dapat adalah… (jelaskan

sesuai kondisi klien terkait diagnose yang didapat)

 Sosial

P: “Ibu tinggal dengan siapa saja dirumah?

P: “Ibu tamatan sekolah apa? SD,SMP,SMA nya dimana? Sampai


tamat atau tidak? Apakah ada permasalahan selama ibu masih
sekolah?
P: “Sekarang ibu kerja dimana? Sebagai apa? Apakah ada masalah
dengan pekerjaan ibu? Kalau boleh tahu, gajinya berapa? Apakah
gaji tersebut mencukupi untuk keperluan ibu, termasuk keperluan
untuk ke yankes? Apakah ibu mempunyai asuransi kesehatan?
P: “Ibu sudah menikah? Sudah berapa lama menikah? Anaknya ada
berapa? Bagaimana hubungan ibu dengan suami dan anak-anak
ibu? Apakah ada masalah terkait hubungan rumah tangga?
P: “Bagaimana lingkungan tempat tinggal ibu? Apakah ibu ada
mengikuti kegiatan social?
P: “Bagaimana menurut ibu pendapat masyarakat tentang ibu? Apakah
ada permasalahan di masyarakat?
P: “Baik ibu, kesimpulan yang saya dapat adalah .............. (jelaskan

sesuai kondisi klien terkait diagnosa yang didapat)”


 Psikologis

P: “apakah ibu memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan ? coba


ibu ceritakan kepada saya?
P: “Suami ibu berselingkuh, sejak kapan? 3 bulan yang lalu.

P: “Selain masalah ini, ada tidak pengalaman lain yang tidak


menyenangkan yang pernah ibu A alami?”
P: “Suami ibu sering marah-marah?” sejak kapan?”
P: “Sejak 4 bulan yang lalu.” “Apa penyebabnya?”
P: “Jadi suami ibu mengatakan ibu istri yang tidak berguna, tidak
pandai mengurus suami, ibu yang tidak becus mengurus anak?”
P: “Baiklah ibu setelah kita berbincang- bincang, saya menyimpulkan
bahwa saat ini ibu sedang mengalami masalah
……………..(jelaskan sesuai kondisi klien terkait diagnosa yang
didapat).

Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi yang didapatkan adalah (sudah ditanyakan ketika


mengkaji faktor predisposisi):
 Ibu A mengatakan ia ingin mengakhiri hidupnya sehari yang lalu
dengan cara minum Baygon.

 Suami ibu A mempunyai WIL (wanita idaman lain), sejak 3 bulan


yang lalu.
Penilaian terhadap Stressor
P: “Baik, menurut ibu akhir-akhir ini ibu sedang mengalami masalah
dengan suami ibu. Terkait hal ini, apa yang ibu pikirkan? Menurut ibu,
mengapa hal itu bisa terjadi?
P: “Apa yang ibu rasakan?

P: “Apakah hal tersebut mempengaruhi kondisi fisik ibu? Tidurnya


bagaimana? Adakah perubahan nafsu makan ibu? Merasa pusing?
Leher tegang?
P: “Apa yang ibu lakukan dengan kondisi tersebut? Kapan ibu
melakukannya? Berapa kali ibu melakukan hal tersebut?
P: “Apakah menurut ibu cara tersebut efektif?

P: “Apakah masalah ini mempengaruhi pergaulan dan kegiatan sosial


ibu A?
P: “Jadi menurut ibu, masalah rumah tangga yang sementara ibu alami
ini terjadi karena kurangnya perhatian ibu terhadap suami dan juga
karena tidak adanya komunikasi yang baik antara ibu dan suami.
Kejadian ini membuat ibu merasa malu, tidak berharga dan tidak
berguna yang akhirnya membuat ibu susah tidur, malas makan, pusing,
sakit kepala. Ibu juga merasa malu pada teman-teman ibu juga para
tetangga. Ibu juga tidak lagi menjalani aktivitas yang biasanya ibu
lakukan sebelumnya, dan bahkan ibu mengambil keputusan untuk
mengakhiri hidup ibu.
Sumber Koping

Personal Ability

P : “Baik, Ibu A saya ingin tanya dulu, dari masalah-masalah yang tadi
kita sebutkan, apa yang ibu A sudah lakukan untuk mengatasinya?”

Social Support
P : “Bapak N, siapa saja keluarga yang sering menjenguk?”
P : “Siapa orang yang paling dekat dengan ibu?”
P : “Baik, ibunya ya? Apa yang ibu atau keluarga sudah lakukan terkait
dengan masalah Ibu A sekarang?”
P : “Baik, belum pernah ya, kalau begitu nanti saya juga akan bertemu dan
ngobrol-ngobrol sama keluarga ya. Ibu A punya teman tidak? atau
kelompok yang dekat dengan ibu A?”. “Jadi tidak punya teman ya
ibu?”
P : Kalau kader kesehatan? Apakah di tinggal ibu A ada kader kesehatan
yang biasanya memberikan penyuluhan kesehatan atau kegiatan
lainnya dari puskesmas?”
P: “Apakah ibu percaya ibu bisa sembuh? (observasi pula data-data
objektif yang muncul saat wawancara).
Material Asset

Financial dan asuransi kesehatan sudah ditanyakan di sosial budaya.


P : Apakah ada puskesmas di sekitar tempat tinggal ibu A?
P : Oo, ada puskesmas yang dekat dengan rumah dan ibu sering berobat
kesana kalau lagi flu atau demam ya?

Positive Belief

P : Apakah ibu A percaya pada diri ibu kalau ibu bisa mengatasi masalah
yang ibu alami sekarang?
P : Apakah ibu A percaya kalau Ners ... bisa bantu ibu A untuk mengatasi
masalah ibu A saat ini?
TERMINASI

1. Evaluasi Respon

P: “Bagaimana perasaan ibu A setelah kita berbincang-bincang?’

2. Rencana Tindak Lanjut

P: “Baiklah nanti setelah ini, ibu A tolong ingat-ingat tentang aspek


positif apa yang ibu A miliki.
3. Kontrak yang Akan Datang

P: “Bagaimana jika kita berbincang-bincang lagi besok tentangmasalah


yang ibu alami dan bagaimana cara untuk mengatasinya?
P: “Selamat pagi ibu A”

\
DAFTAR PUSTAKA

Aspche, J. A., Bass, C. K., & DiMeo, L. (2010). Mode Deactivation Therapy (MDT)
Comprehensive Meta-Analysis. JOBA-OVTP 2(3). 171-182.

Blüml, V., Kapusta, N. D., Doering, S., Brähler, E., Wagner, B., & Kersting, A. (2013).
Personality Factors and Suicide Risk in a Representative Sample of the German
General Population. DOI: 10.1371/journal.pone.0076646

Carpenito, L. J. & Moyet. (2006). Handbook of nursing diagnosis 11th edition.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Centers for Disesase Control and Prevention. (2012).Suicide Fact at a glance. CDC.
Retrieved from http://www.cdc.gov/violenceprevention/pdf/Suicide- DataSheet-
a.pdf

Dwivedi, Y. (2012). The neurobiological of suicide. Boca Raton: Taylor & Francis
Group

Ebrahimi, H., Kazmi, A. H., Khoshknab, M. F., & Modabber, R. (2014). The Effect of
Spiritual and Religious Group Psychotherapy on Suicidal Ideation in Depressed
Patients: A Randomized Clinical Trial. Journal of Caring Sciences, 3(2), 131-140
doi:10.5681/jcs.2014.014

Esposito-Smythers, C., Spirito, A., Kahler, C. W., Hunt, J., & Monti, P. (2011).
Treatment of Co-Occurring Substance Abuse and Suicidality Among Adolescents:
A Randomized Trial. J Consult Clin Psychol. 79(6) 728–739.
doi:10.1037/a0026074
LAPORAN PENDAHULUAN DEFISIT WAHAM

OLEH : DODDY TRIWIJAYA

NIM : 030520423

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

INSTITUT MEDIKA Drg. SUHERMAN CIKARANG

TAHUN AJARAN 2020/2021


A. Defiinisi waham

Waham adalah suatu keyakinan yang dipertahankan secara kuat terus-menerus, tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan. (Budi Anna Keliat, 2006) Waham adalah keyakinan
seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah. Keyakinan klien tidak
konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya klien (Aziz R, 2003).

Ramdi (2000) menyatakan bahwa itu merupakan suatu keyakinan tentang isi pikiran
yang tidak sesuai dengan kenyataan atau tidak cocok dengan intelegensia dan latar
belakang kebudayaannya, keyakinan tersebut dipertahankan secara kokoh dan tidak
dapat diubah-ubah.

B. Proses terjadinya waham

1. Fase lack of human need

Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhn-kebutuhan klien baik secara fisik


maupun psikis. Secar fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-orang
dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat miskin
dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang salah. Ada juga klien yang
secara sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi kesenjangan antara Reality dengan
selft ideal sangat tinggi. Misalnya ia seorang sarjana tetapi menginginkan
dipandang sebagai seorang dianggap sangat cerdas, sangat berpengalaman dn
diperhitungkan dalam kelompoknya. Waham terjadi karena sangat pentingnya
pengakuan bahwa ia eksis di dunia ini. Dapat dipengaruhi juga oleh rendahnya
penghargaan saat tumbuh kembang ( life span history ).

2. Fase lack of self esteem

Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara
self ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan
kebutuhan yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui
kemampuannya. Misalnya, saat lingkungan sudah banyak yang kaya,
menggunakan teknologi komunikasi yang canggih, berpendidikan tinggi serta
memiliki kekuasaan yang luas, seseorang tetap memasang self ideal yang
melebihi lingkungan tersebut. Padahal self reality-nya sangat jauh. Dari aspek
pendidikan klien, materi, pengalaman, pengaruh, support system semuanya
sangat rendah.

3. Fase control internal extemal


Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang ia
katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan
kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu yang sangat
berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan
diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan
tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien
mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak
benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi dan
keinginan menjaga perasaan. Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi
tidak mau konfrontatif berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak
merugikan orang lain.

4. Fase environment support


Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya
menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu
yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang.
Dari sinilah mulai terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya
norma ( Super Ego ) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat
berbohong.

5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap
bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya.
Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien menyendiri dari
lingkungannya. Selanjutnya klien lebih sering menyendiri dan menghindar
interaksi sosial ( Isolasi sosial ).
6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu
keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul
sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang
tidak terpenuhi ( rantai yang hilang ). Waham bersifat menetap dan sulit untuk
dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain. Penting
sekali untuk mengguncang keyakinan klien dengan cara konfrontatif serta
memperkaya keyakinan relegiusnya bahwa apa-apa yang dilakukan menimbulkan
dosa besar serta ada konsekuensi sosial.
Penyebab
Berbagai kehilangan dapat terjadi pada pasca bencana, baik kehilangan harta
benda, keluarga maupun orang yang bermakna. Kehilangan ini menyebabkan
stress bagi mereka yang mengalaminga. Jika stress ini berkepanjangan dapat
Akibat
Akibat dari waham klien dapat mengalami kerusakan komunikas verbal yang
ditandai dengan pikiran tidak realistic, flight of ideas, kehilangan asosiasi,
pengulangan kata-kata yang didengar dan kntak mata kurang. Akibat yang lain
yang ditimbulkannya adalah beresik mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
C. Faktor predisposisi waham
1. Genetis : diturunkan adanya abnormalitas perkembangan sistem saraf yang
berhubungan dengan respon bilogis yang maladftif
2. Neurobiologis : adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks limbic
3. Virus : paparan virus influenza pada trimester III
4. Psiklogis : ibu pencemas, terlalu melindungi, ayah tidak peduli
D. Faktor presipitasi WAHAM
1. Peruses penglahan informasi yang berlebihan
2. Mekanisme penghantaran listrik abnormal
3. Adanya gejala pemicu
Rentang respon neurobiology

E. Manifestasi klinis WAHAM


1. Gangguan fungsi kognitif (perubahan daya ingat)
Cara berpikir magis dan primitif, perhatian, isi pikir, bentuk dan
pengorganisasian bicara (tangensial, neologisme, sirkumtansial)
2. Fungsi persepsi
Depersonalisasi dan halusinasi
3. Fungsi emosi
Afek tumpul à kurang respon emosional, afek datar, afek tidak sesuai, reaksi
berlebihan, ambivalen
4. Fungsi motorik
Imfulsif à gerakan tiba-tiba dan spontan, manerisme, stereotopik à gerakan yang
diulang-ulang, tidak bertujuan, tidak dipengaruhi stimulus yang jelas, katatonia.
5. Fungsi sosial : kesepian
Isolasi sosial, menarik diri dan harga diri rendah.
6. Dalam tatanan keperawatan jiwa respon neurobiologis yang sering muncul adalah
gangguan isi pikir : waham dan gangguan persepsi sensori : halusinasi.

F. Klasifikasi waham
Tanda dan gejala waham berdasarkan jenisnya meliputi
1. Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau
kekuasaan khusus yang diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Misalnya, “Saya ini pejabat di separtemen kesehatan lho!” atau, “Saya punya
tambang emas.”
2. Waham curiga: individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang
berusaha merugikan / mencederai dirinya dan diucapkan berulang kali, tetapi
tidak sesuai kenyataan. Contoh, “Saya tidak tahu seluruh saudara saya ingin
menghancurkan hidup saya karena mereka iri dengan kesuksesan saya.”
3. Waham agama: individu memiliki keyakinan terhadap terhadap suatu agama
secara berlebihan dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Contoh, “Kalau saya mau masuk surga, saya harus menggunakan pakaian putih
setiap hari.”
4. Waham somatic: individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu
atau terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan. Misalnya, “Saya sakit kanker.” (Kenyataannya pada pemeriksaan
laboratorium tidak ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi pasien terus mengatakan
bahwa ia sakit kanker).
5. Waham sisip pikir : keyakinan klien bahwa ada pikiran orang lain yang
disisipkan ke dalam pikirannya.
6. Waham siar pikir : keyakinan klien bahwa orang lain mengetahui apa yang dia
pikirkan walaupun ia tidak pernah menyatakan pikirannya kepada orang tersebut.
7. Waham kontrol pikir : keyakinan klien bahwa pikirannya dikontrol oleh kekuatan
di luar dirinya.

Kategori waham
1. Waham sistematis: konsisten, berdasarkan pemikiran mungkin terjadi
walaupun hanya secara teoritis
2. Waham nonsistematis: tidak konsisten, yang secara logis dan teoritis tidak
mungkin
G. Penatalaksanaan waham
1. Psikofarmaklogi
2. Pasien hiperaktif/ agitasi anti psikotik low potensial
3. Penarikan diri high potensial
4. ECT tipe katatnik
5. Psikoterapi
6. Perilaku, terapi kelompok, terapi keluarga, terapi supportif
H. Pohon masalah WAHAM

I. Asuhan keperawatan WAHAM


1. Data yang perlu dikaji
a. Resiko tinggi mencederai diri, rang lain dan lingkungan
 Data subjektip
Klien memberi kata-kata ancaman, mengatakan benci dan kesal pada
seseorang, klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya
jika sedang kesal, atau marah, melukai / merusak barang-barang dan tidak
mampu mengendalikan diri.
 Data objektif
Mata merah, wajah agak merah, nada suara tinggi dank eras, bicara
menguasai, ekspresi marah, pandangan tajam, merusak dan melempar
barang-barang.
b. Keruskan komunikasi
 Data subjektif
Klien mengungkapkan sesuatu yang tidak realistic
 Data bjektif
Flight of ideas, kehilangan asosiasi, pengulangan kata-kata yang didengar
dan kontak mata kurang
c. Perubahan isi pikir waham
1). Data subjektif :
Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya ( tentang agama,
kebesaran, kecurigaan, keadaan dirinya) berulang kali secara berlebihan
tetapi tidak sesuai kenyataan.
Pertanyaan yang dapat digunakan untuk mengkaji waham :
a) Apakah pasien memiliki pikiran/isi pikir yang berulang-ulang
diungkapkan dan menetap?
b) Apakah pasien takut terhadap objek atau situasi tertentu, atau apakah
pasien cemas secara berlebihan tentang tubuh atau kesehatannya?
c) Apakah pasien pernah merasakan bahwa benda-benda disekitarnya
aneh dan tidak nyata?
d) Apakah pasien pernah merasakan bahwa ia berada diluar tubuhnya?
e) Apakah pasien pernah merasa diawasi atau dibicarakan oleh orang
lain?
f) Apakah pasien berpikir bahwa pikiran atau tindakannya dikontrol
oleh orang lain atau kekuatan dari luar?
g) Apakah pasien menyatakan bahwa ia memiliki kekuatan fisik atau
kekuatan lainnya atau yakin bahwa orang lain dapat membaca
pikirannya?
2). Data objektif :
Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan, merusak
(diri, orang lain, lingkungan), takut, kadang panik, sangat waspada, tidak
tepat menilai lingkungan / realitas, ekspresi wajah klien tegang, mudah
tersinggung
d. Gangguan harga diri rendah
1). Data subjektif
Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa,
bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap
diri sendiri
2). Data objektif
Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif
tindakan, ingin mencedaerai diri/ ingin mengakhiri hidup.
J. Masalah keperawatan WAHAM yang mungkin muncul
a.Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b.Kerusakan komunikasi : verbal
c.Perubahan isi pikir : waham
K. Rencana keperawatan WAHAM
Diagnosa Keperawatan 1: kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan
waham
1. Tujuan umum
Klien tidak terjadi kerusakan komunikasi verbal
Tujuan khusus
a.Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
Tindakan
Bina hubungan. saling percaya: salam terapeutik, perkenalkan diri, jelaskan tujuan
interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak yang jelas topik, waktu,
tempat).
Jangan membantah dan mendukung waham klien: katakan perawat menerima
keyakinan klien “saya menerima keyakinan anda” disertai ekspresi menerima,
katakan perawat tidak mendukung disertai ekspresi ragu dan empati, tidak
membicarakan isi waham klien.
Yakinkan klien berada dalam keadaan aman dan terlindungi: katakan perawat akan
menemani klien dan klien berada di tempat yang aman, gunakan keterbukaan dan
kejujuran jangan tinggalkan klien sendirian. Observasi apakah wahamnya
mengganggu aktivitas harian dan perawatan diri.
b.Klien dapat mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki
Tindakan :
Beri pujian pada penampilan dan kemampuan klien yang realistis. Diskusikan
bersama klien kemampuan yang dimiliki pada waktu lalu dan saat ini yang
realistis. Tanyakan apa yang biasa dilakukan kemudian anjurkan untuk
melakukannya saat ini (kaitkan dengan aktivitas sehari hari dan perawatan diri).
Jika klien selalu bicara tentang wahamnya, dengarkan sampai kebutuhan waham
tidak ada. Perlihatkan kepada klien bahwa klien sangat penting. Klien dapat
mengidentifikasi kebutuhan yang tidak terpenuhi
Tindakan :
Observasi kebutuhan klien sehari-hari. Diskusikan kebutuhan klien yang tidak
terpenuhi baik selama di rumah maupun di rumah sakit (rasa sakit, cemas, marah)
Hubungkan kebutuhan yang tidak terpenuhi dan timbulnya waham. Tingkatkan
aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan klien dan memerlukan waktu dan tenaga
(buat jadwal jika mungkin). Atur situasi agar klien tidak mempunyai waktu untuk
menggunakan wahamnya.Klien dapat.
c.mengidentifikasikan kebutuhan yang tidak terpenuhi
Tindakan :
Observasi kebutuhan klien sehari-hari. Diskusikan kebutuhan klien yang tidak
terpenuhi baik selama di rumah maupun di rumah sakit (rasa sakit, cemas, marah)
Hubungkan kebutuhan yang tidak terpenuhi dan timbulnya waham. Tingkatkan
aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan klien dan memerlukan waktu dan tenaga
(buat jadwal jika mungkin). Atur situasi agar klien tidak mempunyai waktu untuk
menggunakan wahamnya.
d.Klien dapat berhubungan dengan realitas
Tindakan
Berbicara dengan klien dalam konteks realitas (diri, orang lain, tempat dan waktu).
Sertakan klien dalam terapi aktivitas kelompok : orientasi realitas. Berikan pujian
pada tiap kegiatan positif yang dilakukan klien
e. klien dapat menggunakan obat dengan benar
tindakan
Diskusikan dengan kiten tentang nama obat, dosis, frekuensi, efek dan efek
samping minum obat Bantu klien menggunakan obat dengan priinsip 5 benar (nama
pasien, obat, dosis, cara dan waktu). Anjurkan klien membicarakan efek dan efek
samping obat yang dirasakan Beri reinforcement bila klien minum obat yang benar.
f. klien dapat dukungan dari keluarga
Diskusikan dengan keluarga melalui pertemuan keluarga tentang: gejala waham,
cara merawat klien, lingkungan keluarga dan follow up obat Beri reinforcement
atas keterlibatan keluarga.
Diagnosa Keperawatan 2: Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
berhubungan dengan waham
1. Tujuan Umum:
Klien terhindar dari mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
2. Tujuan Khusus:
a) Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
· Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama perawat dan jelaskan
tujuan interaksi.
· Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
· Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
· Beri perhatian dan penghargaan : teman klien walau tidak menjawab.
b) Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Tindakan:
· Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
· Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel / kesal.
· Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien dengan sikap tenang.
c) Klien dapat mengidentifikasi tanda tanda perilaku kekerasan.
Tindakan :
· Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat jengkel/kesal.
· Observasi tanda perilaku kekerasan.
· Simpulkan bersama klien tanda tanda jengkel / kesal yang dialami klien.
d) Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Tindakan:
· Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
· Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
· Tanyakan “apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya selesai?”
e) Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Tindakan:
· Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.
· Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.
· Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.
f) Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon terhadap kemarahan.
Tindakan :
· Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.
· Diskusikan cara lain yang sehat.Secara fisik : tarik nafas dalam jika sedang kesal, berolah raga,
memukul bantal / kasur.
· Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal / tersinggung
· Secara spiritual : berdo’a, sembahyang, memohon kepada Tuhan untuk diberi kesabaran.
g) Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku kekerasan.
Tindakan:
· Bantu memilih cara yang paling tepat.
· Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
· Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.
· Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam simulasi.
· Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel / marah.
h) Klien mendapat dukungan dari keluarga.
Tindakan :
· Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melalui pertemuan keluarga.
· Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.
i) Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program).
Tindakan:
· Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, frekuensi, efek dan efek samping)
· Bantu klien mengunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama klien, obat, dosis, cara dan waktu).
· Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.

Diagnosa Keperawatan 3: Perubahan isi pikir : waham ( …….. ) berhubungan dengan


harga diri rendah
1. Tujuan umum :
Klien tidak terjadi gangguan konsep diri : harga diri rendah/klien akan meningkat harga dirinya.
2. Tujuan khusus :
a) Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan :
· Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, perkenalan diri, jelaskan tujuan interaksi,
ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak yang jelas (waktu, tempat dan topik pembicaraan)
· Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya
· Sediakan waktu untuk mendengarkan klien
· Katakan kepada klien bahwa dirinya adalah seseorang yang berharga dan bertanggung jawab
serta mampu menolong dirinya sendiri
b) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
Tindakan :
· Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
· Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien, utamakan memberi pujian yang
realistis
· Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
c) Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
Tindakan :
· Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
· Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang ke rumah
d) Klien dapat menetapkan / merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
Tindakan :
· Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan
· Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
· Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan
e) Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan
Tindakan :
· Beri kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan
· Beri pujian atas keberhasilan klien
· Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
f) Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang adA
Tindakan :
· Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien
· Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat
· Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah
Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga
DAFTAR PUSTAKA

· Keliat, Budi Anna. (2006). Kumpulan Proses Keperawatan Masalah Jiwa.


Jakarta : FIK, Universitas Indonesia
· Aziz R, dkk. Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang: RSJD Dr. Amino Gondoutomo.
2003
· Tim Direktorat Keswa, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1, Bandung, RSJP Bandung,
2000
· Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta : Salemba Medika
· Stuart dan Sundeen . 2005 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .
LAPORAN PENDAHULUAN DEFISIT PERAWATAN DIRI

OLEH : DODDY TRIWIJAYA

NIM : 030520423

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

INSTITUT MEDIKA Drg. SUHERMAN CIKARANG

TAHUN AJARAN 2020/2021


I. MASALAH UTAMA
Defisit perawatan diri
II. PROSES TERJADINYA
A. Definisi
Perawatan Diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi
kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan
sesuai dengan kondisi kesehatannya. (Depkes, 2000 dalam Wibowo, 2009).
Poter, Perry (2005), dalam Anonim (2009), mengemukakan bahwa Personal
Higiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan
seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Wahit Iqbal Mubarak (2007), juga
mengemukakan bahwa higiene personal atau kebersihan diri adalah upaya
seseorang dalam memelihara kebersihan dan kesehatan dirinya untuk memperolah
kesejahteraan fisik dan psikologis.
Seseorang yang tidak dapat melakukan perawatan diri dinyatakan mengalami
defisit perawatan diri. Nurjannah (2004), dalam Wibowo (2009), mengemukakan
bahwa Defisit Perawatan Diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting).
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2000), dalam Anonim(2009), Kurang
Perawatan Diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan
perawatan kebersihan untuk dirinya.
Pasien yang mengalami gangguan jiwa kronik seringkali tidak memperdulikan
perawatan diri. Hal ini menyebabkan pasien dikucilkan dalam keluarga dan
masyarakat (Keliat, 2009).
Klien dengan gangguan jiwa hampir semuanya mengalami defisit perawatan
diri. Hal ini disebabkan karena ketidaktahuan dan ketidakberdayaan yang
berhubungan dengan keadaannya sehingga terjadilah defisit perawatan diri
(Muslim, 2010).
B. Jenis-jenis defisit perawatan diri
Menurut Nanda (2012), jenis perawatan diri terdiri dari:
a. Defisit perawatan diri: mandi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
mandi/beraktivitas perawatan diri untuk diri sendiri.
b. Defisit perawatan diri : berpakaian
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
aktivitas berpakaian dan berhias untuk diri sendiri
c. Defisit perawatan diri : makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas makan
secara mandiri
d. Defisit perawatan diri : eliminasi/toileting
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
eliminasi sendiri.

C. Tanda dan Gejala


Menurut Depkes (2000), dalam Anonim (2009), tanda dan gejala klien dengan
defisit perawatan diri yaitu:
1. Fisik
a. Badan bau, pakaian kotor
b. Rambut dan kulit kotor
c. Kuku panjang dan kotor
d. Gigi kotor disertai mulut bau
e. Penampilan tidak rapi
2. Psikologi
a. Malas, tidak ada inisiatif
b. Menarik diri, isolasi diri
c. Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina
3. Sosial
a. Interaksi kurang
b. Kegiatan kurang
c. Tidak mampu berperilaku sesuai norma
d. Cara makan tidak teratur
e. Buang Air Besar (BAB) dan Buang Air Kecil (BAK) di sembarang tempat
f. Gosok gigi dan mandi tidak mampu mandiri
Selain itu, tanda dan gejala tampak pada pasien yang mengalami Defisit
Perawatan Diri adalah sebagai berikut:
a. Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit
berdaki dan bau, serta kuku panjang dan kotor
b. Ketidakmampuan berhias/berpakaian, ditandai dengan rambut acakacakan,
pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien laki-laki
tidak bercukur, pada pasien perempuan tidak berdandan
c. Ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai oleh kemampuan
mengambil makan sendiri, makan berceceran dan makan tidak pada
tempatnya
d. Ketidak mampuan eliminasi secara mandiri, ditandai dengan BAB/BAK
tidak pada tempatnya, dan tidak membersihkan diri dengan baik setelah
BAB/BAK (Keliat, 2009).
Apabila kondisi ini dibiarkan berlanjut, maka akhirnya dapat juga
menimbulkan penyakit fisik seperti kelaparan dan kurang gizi, sakit infeksi
saluran pencernaan dan pernafasan serta adanya penyakit kulit, atau timbul
penyakit yang lainnya (Harist, 2011).

D. Predisposisi
a. Perkembangan Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu
b. Biologis Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri
c. Kemampuan realitas turun Klien gangguan jiwa dengan kemampuan realitas
yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk
perawatan diri
d. Sosial Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam
perawatan diri
E. Presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi defisit perawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang
dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan
perawatan diri. (Depkes, 2000, dalam Anonim, 2009) Sedangkan Tarwoto dan
Wartonah (2000), dalam Anonim(2009), meyatakan bahwa kurangnya perawatan
diri disebabkan oleh :
a. Kelelahan fisik
b. Penurunan kesadaran
c. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Pola perawatan Kadang perawatan diri Tidak melakukan


diri seimbang tidak seimbang perawatan diri

d. Pohon Masalah

Resiko Tinggi Isolasi Sosial Effect

Defisit Perawatan Diri Core Problem

Harga Diri Rendah Causa

Pohon Masalah Defisit perawatan Diri ( Fitria.2009)


F. Mekanisme Koping
Mekanisme koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor meliputi status sosialekonomi, keluarga, jaringan interpersonal, organisasi
yang dinaungi oleh lingkungan sosial yang lebih luas, juga menggunakan
kreativitas untuk mengekspresikan stress interpersonal seperti kesenian, musik,
atau tulisan (Stuart and Sundeen, 1998 dalam Lili Kadir, 2018).
III. STRATEGI PELAKSANAAN
1. SP-1 Pasien: Defisit Perawatan Diri Pertemuan Ke-1
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Klien
Ny. H terlihat duduk di salah satu sudut ruangan sambil menggaruk-garuk
kepala yang terlihat kotor, rambut sebahu dan tidak tertata rapi. Pakaian
yang digunakan Ny. H tidak terpasang dengan benar dan terlihat banyak
robekan. Kuku jari tangan terlihat hitam dan panjang. Gigi Ny.H terlihat
kotor dan mulut Ny. H mengeluarkan bau.
2. Diagnosa Keperawatan: Defisit Perawatan Diri
3. Tujuan Khusus :
a. Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
b. Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
c. Pasien mampu melakukan makan dengan baik
d. Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
4. Tindakan Keperawatan
a. Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri
b. Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri
c. Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
d. Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
e. Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri
B. Strategi Komunikasi dalam Pelaksanaan Tindakan Keperawatan
1. Orientasi
a. Salam terapeutik
“Selamat pagi, perkenalkan nama saya perawat Sinta. Saya adalah
Mahasiswa Keperawatan UPH yang sedang praktek disini. Saya praktek
disini selama 4 hari. Nama kamu siapa ya? Senangnya dipanggil apa? Oh
jadi anda senangnya dipanggil Ny. M saja”.
b. Evaluasi/Validasi
“Saya lihat dari tadi Ny. M menggaruk-garuk kepala, gatal ya?”
c. Kontrak
Topik: “Bagaimana kalau kita berbincang-bincang tentang kebersihan
diri?”
Waktu:“Mau berapa lama kira-kira kita ngobrolnya?
Oke, jadi Ny. M
maunya kita ngobrol-ngobrolnya selama 20 menit ya”.Tempat:“Baiklah
mau dimana kita ngobrolnya Ny. M? Oh jadi kita ngobrolnya diruang ini
saja ya”.
2. Kerja (langkah- langkah tindakan keperawatan)
a. “Berapa kali Ny. M mandi dalam sehari? Apakah Ny. M sudah mandi hari
ini? Menurut Ny. M apa kegunaannya mandi? Apa alasan Ny. M sehingga
tidak bisa merawat diri? Menurut Ny. M apa manfaatnya kalau kita
menjaga kebersihan diri? Kira-kira tanda-tanda orang yang tidak merawat
diri dengan baik seperti apa ya? badan gatal, mulut bau, apa lagi?
Kalau kita tidak teratur menjaga kebersihan diri masalah apa menurut Ny.
M yang bisa muncul ? Betul ada kudis, kutu, dsb”
b. “Menurut Ny. M mandi itu seperti apa? Sebelum mandi apa yang
biasanya Ny. M persiapkan? Benar sekali, Ny. M perlu menyiapkan pakai
an ganti yang bersih, handuk kering, sikat gigi, odol, shampo dan sabun
mandi”
c. “Menurut Ny. M tempat mandi dimana? Benar sekali kita mandi di kamar
mandi, bagaimana kalau kita ke kamar mandi sekarang? Saya akan bantu
melakukannya. Pertama kita gosok gigi dulu dengan sikat gigi, ambil sikat
gigi yang sudah di kasih odol kemudian sikat gigi dengan gerakan
memutar dari atas ke bawah kemudian Ny. M berkumur-kumur dengan
air bersih. Bagus sekali, sekarang Ny. M buka pakaian, siram seluruh
tubuh Ny. M dengan air termasuk rambut dan kepala lalu ambil shampoo
sedikit dan gosokkan ke atas kepala Ny. M sampai berbusa lalu bilas
sampai bersih. Bagus sekali Ny. M, sekarang ambil sabun dan gosokan
keseluruh tubuh Ny. M secara merata dan di mulai dari bagian sebelah
kanan lalu siram dengan air sampai bersih, pastikan bersih tidak ada sisa
sabun yang menempel. Setelah selesai di siram dengan air sampai bersih,
keringkan tubuh Ny. M dengan handuk kering yang sudah disiapkan.
Bagus sekali Ny. M melakukannya. Selanjutnya Ny. M
menggunakan pakaian bersih yang sudah di siapkan”.
3. Terminasi
a. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
1. Evaluasi klien/subjektif
“Bagaimana perasaan Ny. M setelah mandi dan mengganti pakaian? Coba
Ny. M sebutkan lagi apa saja cara-cara mandi yang baik yang sudah Ny.
M lakukan tadi? Bagus sekali sekarang Ny. M sudah tahu manfaat dan
cara mandi yang baik”.
2. Evaluasi perawat/ objektif
“Ternyata Ny. M masih memiliki kemampuan yang baik dalam menjaga
kebersihan diri. Nah, kemampuan ini dapat dilakukan juga di rumah
setelah pulang ya Ny. M”.
b. Rencana lanjut klien
“Sekarang, mari kita masukkan pada jadwal harian. Ny. M Mau berapa
kali sehari mandi dan sikat gigi? Bagus, dua kali yaitu pagi dan sore.
Kalau pagi jam berapa? kalau sore jam berapa? Beri tanda M (mandiri)
kalau dilakukan tanpa disuruh, B (bantuan) kalau diingatkan baru
dilakukan dan T (tidak) tidak melakukan”
c. Kontrak yang akan datang
Topik: “Baik besok kita akan bertemu kembali untuk latihan berdandan”
Waktu: “Kalau begitu kita akan latihan berdandan besok jam 9 pagi setelah
Ny. M melakukan kegiatan mandi”
Tempat : “Ny. M mau kita ketemu dimana? Kita ketemu di dalam kamar Ny.
M besok bagaimana?”
2. SP-2 Pasien : Defisit Perawatan Diri Pertemuan Ke-2
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Klien
Ny. M terlihat duduk disalah satu sudut ruangan sambil memegang rambut
yang basah. Klien terlihat menggunakan pakaian dengan kancing baju
yang tidak terpasang. Klien mengatakan merasa segar setelah mendi.
2. Diagnosa Keperawatan: Defisit Perawatan Diri
3. Tujuan Khusus:
a. Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
b. Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
c. Pasien mampu melakukan makan dengan baik
d. Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
4. Tindakan Keperawatan
Membantu klien latihan berhias
a. Berpakaian
b. Menyisir rambut
c. Berhias
B. Strategi Komunikasi dalam Pelaksanaan Tindakan Keperawatan
1. Orientasi
a. Salam Terapeutik
“ Selamat pagi, masih ingat dengan saya Ny. M?
b. Evaluasi/Validasi
“Saya lihat dari tadi Ny. M memegang kepala, kenapa Ny. M?
Bagaimana perasaan Ny. M setelah melakukan kegiatan mandi?”
c. Kontrak
Topik: “Bagaimana kalau kita berbincang-bincang tentang berhias
diri?”
Waktu: “Mau berapa lama kira-kira kita ngobrolnya? Oke, jadi Ny. M
mau kita ngobrolnya 20 menit saja ya”.
Tempat: “Baiklah mau dimana kita ngobrolnya Ny. M? Oh jadi kita
ngobrolnya diruang ini saja ya”.
2. Kerja (langkah-langkah tindakan keperawatan)
a. “Bagaimana perasaan Ny. M setelah mandi? Apa yang Ny. M lakukan
setelah mandi? Baiklah sekarang kita akan melakukan latihan
berdandan”
b. “Apa Ny. M sudah mengganti baju? Untuk pakaian pilihlah yang
bersih dan kering. Berganti pakaian yang bersih 2 kali sehari. Sekarang
coba Ny. M lakukan menggangti pakaian. Bagus sekali Ny. M kerja
yang bagus. Sekarang setelah menggunakan pakaian yang baik kita
akan latihan berdandan supaya Ny. M tampak rapi dan cantik”
c. “Kira-kira apa alat yang Ny. M butuhkan untuk berdandan? Bagus
sekali Ny. M alat yang digunakan adalah sisir, bedak dan kaca”
d. “Setelah Ny. M memasang pakaian dengan baik sekarang sisir rambut
yang rapi. Bagus Ny. M, sekarang ambil bedak dan bedaki muka Ny.
M rata dan tipis. Bagus sekali Ny. M bisa melakukan nya dengan
baik”.
3. Terminasi
a. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
1. Evaluasi klien/subjektif
“Bagaimana perasaan Ny. M setelah latihan berdandan?”
2. Evaluasi perawat/objektif
“Ny. M terlihat segar dan cantik”
b. Tindakan lanjut klien
“Sekarang, mari kita masukkan pada jadwal harian. Ny. M sehabis Ny.
M melakukan kegiatan mandi kemudian melakukan cara berdandan
yang baik dan benar sesuai dengan latihan kita hari ini. Beri tanda M
(Mandiri) kalau dilakukan tanpa disuruh, B (Bantuan) kalau diingatkan
dan T (Tidak) tidak melakukan”.
c. Kontrak yang akan datang
Topik: “Baik nanti siang kita akan bertemu kembali untuk latihan cara
makan yang baik dan benar”
Waktu: “Kalau begitu kita akan latihan cara makan nanti siang atau
sesuai jadwal makan Ny. M”
Tempat: “Siang nanti kita latihan makan yang baik diruang makan,
bagaimana menurut Ny. M?”

3. SP-3 Pasien : Defisit Perawatan Diri Pertemuan Ke-3


A. Proses Keperawatan
1. Kondisi klien
Ny. M terlihat duduk disalah satu kursi di dekat meja makan. Ny. M
terlihat rapi dengan rambut yang disisir.
2. Diagnosis Keperawatan: Defisit Keperawatan Diri
3. Tujuan Khusus:
a. Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
b. Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
c. Pasien mampu melakukan makan dengan baik
d. Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
4. Tindakan Keperawatan
a. Menjelaskan cara persiapkan makanan
b. Menjelaskan cara makan yang tertib
c. Menjelaskan cara merapikan peralatam makan setelah makan
B. Strategi Komunikasi dalam Pelaksanaan Tindakan Keperawatan
1. Orientasi
a. Salam Terapeutik
“Selamat siang Ny. M? bagus sekali Ny. M terlihat rapi siang ini”
b. Evaluasi/Validasi
“Bagaimana perasaan Ny. M siang hari ini?”
c. Kontrak
Topik: “Bagaimana kalau kita latihan cara makan yang baik?”
Waktu: “Mau berapa lama kira-kira kita ngobrolnya? Oke, jadi kita
ngobrolnya 25 menit saja ya”
Tempat: “kita akan latihan cara makan yang baik langsung diruang
makan saja ya, bagaiman menurut Ny. M?”
2. Kerja (langkah-langkah tindakan keperawatan)
a. “Bagaimana menurut Ny. M cara makan yang baik? Bagus Ny. M
sebelum kita makan, kita cuci tangan dengan air sabun dulu ya”
b. “Sebelum mencuci tangan dengan air dan sabun, Ny. M bisa
mengambil makanan di atas meja dengan menggunakan piring”
c. “Sebelum makan Ny. M dapat berdoa. Bagus sekarang, Ny. M bisa
berdoa sebelum makan. Suap makanan dengan pelan-pelan, ya
bagus Ny. M sekarang sudah bisa melakukan menyuap makanan
dengan abik dan benar”
d. “Setelah makan Ny. M harus membereskan piring dan gelas yang
kotor, setelah dibereskan sekarang Ny. M dapat mencuci tangan
dengan sapu tangan yang bersih”
3. Terminasi
a. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
1. Evaluasi klien/subjektif
“Bagaimana perasaan Ny. M setelah latihan cara makan yang
baik?”
2. Evaluasi perawat/objektif
“Ny. M terlihat rapid an bersih”
b. Rencana tindak lanjut klien
“Sekarang, mari kita masukkan pada jadwal harian. Ny. M sehabis
melakukan mandi kemudian melakukan cara berdandan dan makan
yang baik dan benar sesuai dengan latihan kita hari ini. Beri tanda M
(Mandiri) kalau dilakukan tanpa disuruh, B (Bantuan) kalau diingatkan
dan T (Tidak) tidak melakukan”.
c. Kontrak yang akan datang
Topik: “Baik besok kita akan bertemu kembali untuk latihan cara
BAK/BAB yang baik ya Ny. M?”
Waktu: “Kalau begitu kita akan latihan cara BAK/BAB besok jam
10 pagi atau sesuai jadwal kapan Ny. M merasa ingin BAB/BAK”
Tempat: “Besok kita latihan cara BAB/BAK dengan baik
diruangan ini ya Ny. M?”
4. SP-4 Pasien : Defisit Perawatan Diri Pertemuan Ke-4
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi klien
Ny. M terlihat duduk di salah satu sisi kamar. Ny. M terlihat rapi
dengan rambut yang di sisir.
2. Diagnosis Keperawatan: Defisit Perawatan Diri
3. Tujuan Khusus:
a. Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
b. Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
c. Pasien mampu melakukan makan dengan baik
d. Pasien mampu melakukan membersihkan tempat BAB/BAK
B. Strategi Komunikas dalam Pelaksanaan Tindakan Keperawatan
1. Orientasi
a. Salam Terapeutik
“Selamat siang Ny. M? Sudah dilakukan jadwal harian yang telah
kita lakukan kemarin? Bagus sekali Ny. M dapat melakukan secara
mandiri semua latihan yang telah kita lakukan”
b. Evaluasi/Validasi
“Bagaimana perasaan Ny. M siang hari ini?”
c. Kontrak
Topik: “Bagaimana kalau kita latihan cara BAK/BAB yang baik?”
Waktu: “Kita akan membutuhkan waktu sekitar 30 menit,
bagaimana menurut Ny. M?”
Tempat: “Kita akan latihan cara BAB/BAK yang baik jadi kita
latihan langsung di tempat BAB/BAK”
2. Kerja (langkah-langkah tindakan keperawatan)
a. “Menurut Ny. M dimana kita BAB/BAB yang benar? Benar Ny. M
kita BAB/BAK di ruang tertutup dan ada saluran pembuangan
kotoran. Jadi kita tidak boleh BAB/BAK di sembarang tempat”
b. “Sekarang coba Ny. M sebutkan bagaimana cara
membersihkan/cebok? Bagus Ny. M cebok itu adalah cara
membersihkan bokong atau tempat keluar BAB/BAK dengan air
yang bersih dan jernih. Setelah Ny. M cebok pastikan juga tidak
ada BAB/BAK yang tersisa di WC dengan cara menyirami WC
dengan air bersih. Setelah di pastikan bokong dan WC bersih baru
Ny. M mencuci tangan dengan air bersih dan sabun”
3. Terminasi
a. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
1. Evaluasi klien/subjektif
“Bagaimana perasaan Ny. M setelah cara BAB/BAK yang baik”
2. Evaluasi perawat/objektif
“Ny. M terlihat tersenyum dan wajah yang segar”
b. Tindak lanjut klien
“Sekarang, mari kita masukkan pada jadwal harian. Ny. M sehabis
Ny. M melakukan mandi kemudian melakukan cara berdandan dan
cara makan yang baik dan benar. Jika Ny. M merasakan keinginan
BAB/BAK Ny. M dapat melakukan latihan yang telah kita
lakukan. Beri tanda M (Mandiri) kalau dilakukan tanpa disuruh, B
(Bantuan) kalau diingatkan dan T (Tidak) tidak melakukan”.
c. Kontrak yang akan datang
Topik: “Baiklah Ny. M sekarang kita akhiri pertemuan ini, kalau
Ny. M masih ada yang ingin ditanyakan atau ada masalah yang
ingin dibicarakan boleh kepada perawat lain yang dinas diruangan
ini. Saya permisi dulu ya Ny. M. Selamat siang”.
DAFTAR PUSTAKA
Stuart, W. Gail. (2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa. Singapore: Elsevier

Yusuf, Ah, Rizky Fitryasari PK dan Hanik Endang Nihayati. (2015). Buku Ajar
Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika

Keliat, Budi Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN(Basic


Course). Jakarta: EGC

Fitria Nita.2009.Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan Dan


Srategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan(LP dan SP).Jakarta:Salemba Medika.

Damaiyanti Mukhripah,dkk.2012.Asuhan Keperawatan Jiwa.Bandung: PT Refika


Aditama

Hoesny, Rezkiyah,.2011. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Defisit Perawatan


Diri diakses dari http://repositori.uin-alauddin.ac.id/3358/1/Rezkiyah%20Hoesny.pdf
pada 14 Juni 2018

Neri, Silvia,.2018. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan diakses dari


https://www.academia.edu/6822348/STRATEGI_PELAKSANAAN_TINDAKAN_K
EPERAWATAN_SP-1_Pasien_Defisit_Perawatan_Diri_Pertemuan_Ke-1 pada 14
Juni 2018

Shinzu, Bekti,.2018. Defisit Perawatan Diri LP SP diakses dari


https://www.academia.edu/35135428/Defisit_Perawatan_Diri_LP_SP pada 14 Juni
2018
LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI

OLEH : DODDY TRIWIJAYA

NIM : 030520423

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

INSTITUT MEDIKA Drg. SUHERMAN CIKARANG

TAHUN AJARAN 2020/2021


A. Konsep Dasar
1. Pengertian Halusinasi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, parabaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetul-betulnya
tidak ada (Damaiyanti, 2012).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan
internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau
pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai
contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara
(Direja, 2011).
Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun pada panca indera
seorang pasien, yang terjadi dalam keadaan sadar/bangun, dasarnya mungkin organik,
fungsional, psikotik ataupun histerik (Trimelia, 2011).
2. Jenis Halusinasi
Ada beberapa jenis halusinasi. Yosep (2007), membagi halusinasi menjadi 8 jenis yaitu :
a. Halusinasi Pendengaran (Auditif, Akustik)\
Paling sering dijumpai dapat berupa bunyi mendering atau suara bising yang tidak
mempunyai arti, tetapi lebih sering terdengar sebagai sebuah kata atau kalimat yang
bermakna. Biasanya suara tersebut ditujukan kepada penderita sehingga tidak jarang
penderita bertengkar atau berdebat dengan suara-suara tersebut.
b. Halusinasi Penglihatan (Visual, Optik)
Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (penyakit organik). Biasanya sering
muncul bersamaan dengan penurunan kesadaran, menimbulkan rasa takut akibat
gambaran-gambaran yang mengerikan
c. Halusinasi Penciuman (Olfaktorik)
Halusinasi ini biasanya berupa mencium sesuatu bau tertentu dan dirasakan tidak
enak, melambangkan rasa bersalah pada penderita. Bau dilambangkan sebagai
pengalaman yang dianggap penderita sebagai kombinasi moral
d. Halusinasi Pengecapan (Gustatorik)
Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi penciuman. Penderita
merasa mengecap sesuatu.
e. Halusinasi Perabaan (Taktil)
Merasa diraba, disentuh, ditiup atau seperti ada ulat yang bergerak di bawah kulit.
f. Halusinasi Seksual, ini termasuk halusinasi raba
Penderita merasa diraba dan diperkosa sering pada skizofrenia dengan waham
kebesaran terutama mengenai organ-organ.
g. Halusinasi kinesthetik
Penderita merasa badannya bergerak-gerak dalam suatu ruang atau anggota badannya
bergerak-gerak. Misalna “phantom phenomenom” atau tungkai yang diamputasi
selalu bergerak-gerak (phantom limb).
h. Halusinasi visceral
Timbulnya perasaan tertentu di dalam tubuhnya
1) Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa pribadinya sudah tidak
seperti biasanya lagi serta tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
2) Direalisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungannya yang tidak sesuai
dengan kenyataan. Misalnya perasaan segala sesuatu yang dialaminya seperti
impian.
3. Fase-Fase Halusinasi
Halusinasi yang dialami oleh klien, bisa berbeda intensitasnya dan keparahannya. Stuart
dan Laraia (2001) membagi fase halusinasi dalam 4 fase berdasarkan tingkat ansietasnya
yang dialami dan kemampuan klien mengendalikan dirinya. Semakin berat fase
halusinasinya, klien semakin berat mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh
halusinasinya.
a. Fase 1 : Comforting : Ansietas Sedang : halusinasi menyenangkan.
Karakteristik : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian,
rasah bersalah, takut, dan mencoba untuk berfokus pada pikiran menyenangkan untuk
meredakan ansietas. Individu mengenali bahwa pikiran-pikiran dan pengalaman
sensori berada dalam kendali kesadaran jika ansietas dapat ditangani.
Perilaku klien :
1) Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai
2) Menggerakkan bibir tanpa suara.
3) Pergerakan mata yang cepat.
4) Respon verbal yang lambat jika sedang asyik.
5) Diam dan asyik sendiri.
b. Fase II : Condemning : Ansietas Berat : Halusinasi menjadi menjijikkan.
Karakteristik : Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas
kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang
dipersepsikan. Klien mungkin mengalami dipermalukan oleh pengalaman sensori dan
menarik diri dari orang lain.
Perilaku Klien :
1) Meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom akibat ansietas otonom akibat
ansietas seperti peningkatan denyut jantung, pernafasan, dan tekanan darah.
2) Rentang perhatian menyempit.
3) Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan membedakan
halusinasi dan realita.
c. Fase III : Controlling : Ansietas berat : Pengalaman sensori menjadi berkuasa
Karakteristik : Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan
menyerah pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi menjadi menarik. Klien mungkin
mengalami pengalaman kesepian jika sensori halusinasi berhenti.
Perilaku Klien :
1) Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti.
2) Kesukaran berhubungan dengan orang lain.
3) Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit.
4) Adanya tanda-tanda fisik ansietas berat : berkeringat, tremor, tidak mampu
mematuhi perintah.
d. Fase IV : Conquering : Panik : Umumnya menjadi melebur dalam halusinasi.
Karakteristik : pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti
perintah halusinasi. Halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak ada
intervensi terapeutik.
Perilaku Klien :
1) Perilaku teror akibat panik.
2) Potensi kuat suicide (bunuh diri) atau homicide (membunuh orang lain)
3) Aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku kekerasan, agitasi,
menarik diri, atau katatonia.
4) Tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks.
5) Tidak mampu berespon lebih dari satu orang.
4. Etiologi
Faktor-faktor penyebab halusinasi dibagi dua (Yosep, 2010) yaitu :
a. Faktor predisposisi
1) Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah
frustasi, hilangnya kepercayaan diri dan lebih rentan terhadap stress.
2) Faktor sosiokultural
Seseorang yang tidak diterima oleh lingkungannya sejak bayi akan merasa
disingkirkan, kesepian dan tidak percaya pada lingkungannya.
3) Faktor biokimia
Stress yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan
suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan
Dimetytranferse (DMP). Akibat stress berkepanjangan menyebabkan
terakitvasinya neurotrasmitter otak. Misalnya tejadi ketidakseimbangan
acetylcholin dan dopamin.
4) Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien
dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih
memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
5) Faktor genetik dan pola asuh
Anak sehat yang di asuh oleh orang tua yang mengalami gangguan jiwa
cenderung mangalami gangguan jiwa dan faktor keluarga menunjukan hubungan
yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
b. Faktor presipitasi
1) Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang
luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol
dan kesulitan dalam waktu lama.
2) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusinasi terjadi. Isi dari halusinai dapat berupa
perintah memaksa dan menakutkan.
3) Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi
akan memperlihatkan penurunan fungsi ego seseorang yang pada awalnya
halusinasi merupakan usaha dari ego itu sendiri untuk melawan impuls yang
menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang
dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua
perilaku klien
4) Dimensi sosial
Dalam dimensi sosial ini klien mengalami gangguan interaksi sosial dan
menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan.
5) Dimensi spiritual
Secara spiritual klien dengan halusinasi dimulai dengan kehampaan hidup,
rutinitas tidak bermakna, hilangnya keinginan untuk beribadah dan jarang
berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri. Klien sering memaki takdir
tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan dan orang
lain yang menyebabkan memburuk.
5. Akibat
Akibat dari halusinasi adalah risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Ini
diakibatkan karena klien berada di bawah halusinasinya yang meminta dia untuk
melakukan sesuatu hal di luar kesadarannya
6. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada pasien dengan Halusinasi adalah sebagai berikut :
a. Bicara sendiri, senyum sendiri, ketawa sendiri
b. Menggerakkan bibir tanpa suara
c. Pergerakan mata yang cepat
d. Menarik diri dari orang lain
e. Berusaha untuk menghindari orang lain
f. Perilaku panik
g. Curiga dan bermusuhan
h. Ekspresi muka tegang
i. Tampak tremor dan berkeringat
j. Mudah tersinggung, jengkel dan marah
k. Pehatian dengan lingkungan yang kurang
l. Tidak dapat membedakan realita dan tidak
m. Bertindak merusak diri, lingkungan dan orang lain
n. Diam
o. Rentang perhatianhanya beberapa detik atau menit

Adapun Tanda dan gejala halusinasi menurt Direja, 2011 sebagai berikut :
a. Halusinasi Pendengaran
Data Objektif : Bicara atau ketawa sendiri, marah-marah tanpa sebab, mengarahkan
telinga ke arah tertentu, menutup telinga.
Data Subjektif : mendengar suara atau kegaduhan, mendengarkan suara yang
mengajak bercakap-cakap, mendengarkan suara yang menyuruh melakukan sesuatu
yang berbahaya.
b. Halusinasi Penglihatan
Data Objektif : menunjuk-nunjuk kearah tertentu, ketakutan pada sesuatu yang tidak
jelas.
Data Subjektif : melihat bayangan, sinar bentuk geometris, bentuk kartoon, melihat
hantu atau monster.
c. Halusinasi Penghidungan
Data Objektif : menghidu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu, menutup
hidung.
Data Subjektif : membaui bau-bauan seperti bau darah, urine, feses, kadang-kadang
bau itu menyenangkan.
d. Halusinasi Pengecapan
Data Objektif : Sering meludah, muntah.
Data Subjektif : merasakan rasa seperti darah, urine atau feses.
e. Halusinasi Perabaan
Data Objektif :Menggaruk- garuk permukaan kulit.
Data Subjektif : menyatakan ada serangga di permukaan kulit, merasa tersengat
listrik.
7. Penatalaksanaan
a. Psikofarmakoterapi
Gejala halusinasi sebagai salah satu gejala psikotik/ skizofrenia biasanya diatasi
dengan menggunakan obat-obatan anti psikotik antara lain :
1) Golongan butirefenon : Haldol, Serenace, Ludomer. Pada kondisi akut biasanya
diberikan dalam bentuk injeksi 3x5 mg, im. Pemberian injeksi biasanya cukup
3x24 jam. Setelahnya klien bisa diberikan obat per oral 3x1,5 mg atau 3x5 mg.
2) Golongan Fenotiazine :Chlorpramizine/ Largactile/ Promactile. Biasanya
diberikan per oral. Kondisi akut biasanya diberikan 3x 100mg. Apabila kondisi
sudah stabil dosis dapat dikurangi 1x100 mg pada malam hari saja (Yosep,2011).
b. Psikoterapi
Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang grandmall secara
artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang dipasang pada satu
atau dua temples, terapi kejang listrik dapat diberikan pada skizoprenia yang tidak
mempan dengan terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5
joule/detik.
c. Terapi Aktivitas Kelompok
Terapi Aktivitas Kelompok yang diberikan pada pasien dengan Halusinasi yaitu
(Keliat, 2010):
1) Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Kognitif/Persepsi
Klien dilatih mempersepsikan stimulus yang disediakan atau stimulus yang
pernah dialami. Kemampuan persepsi klien dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap
sessi. Dengan proses ini, diharapkan respon klien terhadap berbagai
stimulus dalam kehidupan menjadi adatif. Aktivitas berupa stimulus dan persepsi.
Stimulus yang disediakan : baca artikel/majalah/buku/puisi, menonton acara TV
(ini merupakan stimulus yang disediakan), stimulus dari pengalaman masa lalu
yang menghasilkan proses persepsi klien yang maladaptive atau distruktif,
misalnya kemarahan, kebencian, putus hubungan, pandangan negative pada
orang lain dan halusinasi. Kemudian dilatih persepsi klien terhadap stimulus.
2) Terapi Aktivitas Kelompok Stimulus Sensori
Aktivitas digunakan sebagai stimulus pada sensori klien. Kemudian diobservasi
reaksi sensori klien terhadap stimulus yang disediakan, berupa ekspresi perasaan
secara nonverbal (ekspresi wajah, gerakan tubuh). Biasanya klien yang tidak mau
mengungkapkan komunikasi verbal akan testimulasi emosi dan perasaannya,
serta menampilkan respons. Aktivitas yang digunakan sebagai stimulus adalah :
musik, seni menyanyi, menari. Jika hobby klien diketahui sebelumnya, dapat
dipakai sebagai stimulus, misalnya lagu kesukaan klien, dapat digunakan sebagai
stimulus.
d. Rehabilitasi
Terapi kerja baik untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang lain,
penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak mengasingkan diri lagi
karena bila menarik diri dia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik.
Dianjurkan penderita untuk mengadakan permainan atau pelatihan bersama
(Maramis, 2005).
8. Pohon Masalah
Resiko perilaku kekerasan

Gangguan persepsi
sensori : halusinasi

Isolasi sosial: menarik diri


B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Masalah dan Data yang Perlu Dikaji
Masalah keperawatan jiwa yang mungkin muncul pada pasien dengan halusinasi,
diantaranya yaitu:
a. Risiko perilaku kekerasan
b. Gangguan persepsi sensori : halusinasi
c. Isolasi sosial: menarik diri
d. Gangguan konsep diri: harga diri rendah
Sedangkan data yang perlu dikaji pada pasien dengan halusinasi, yaitu diantaranya:
a. Data Subjektif:
1) Klien mengatakan mendengar sesuatu
2) Klien mengatakan melihat bayangan putih
3) Klien mengatak dirinya seperti disengat listrik
4) Klien mencium bau-bauan yang tidak sedap, seperti feses.
5) Klien mengatakan kepalanya melayang di udara
6) Klien mengatakan dirinya merasakan ada sesuatu yang berebda pada dirinya
b. Data Objektif:
1) Klien terlihat bicara atau tertawa sendiri saat dikaji
2) Bersikap seperti mendengarkan sesuatu
3) Berhenti bicara di tengah- tengah kalimat unutk menfengarkan sesuatu
4) Disorientasi
5) Kosentrasi rendah
6) Pikiran cepat berubah-ubah
7) Kekacauan alur pikiran

2. Diagnosa Keperawatan
Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi

3. Perencanaan Keperawatan
a. Tujuan Keperawatan Jiwa pada Pasien:
1) Pasien mampu mengidentifikasi jenis halusinasi
2) Pasien mampu mengidentifikasi isi halusinasi
3) Pasien mampu mengidentifikasi waktu halusinasi
4) Pasien mampu mengidentifikasi frekuensi halusinasi
5) Pasien mampu mengidentifikasi siruasi yang menimbulkan halusinasi
6) Pasien mampu mengidentifikasi respon terhadap halusinasi
7) Pasien mampu mengontrol halusinasi (menghardik, berbincang dengan orang
lain, melakukan kegiatan yang terjadwal, minum obat secara teratur) dan
memasukkannya kedalam jadwal kegiatan harian
b. Tujuan Keperawatan Jiwa pada Keluarga:
1) Keluarga mampu mengungkapkan masalah yang dirasakan dalam merawat pasien
2) Keluarga mampu menjelaskan pengertian, tanda dan gejala halusinasi, jenis
halusinasi yang dialami pasien beserta proses terjadinya halusinasi
3) Keluarga mampu menjelaskan dan mempraktekkan cara merawat pasien
halusinasi
4) Keluarga mampu membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat
(discharge planning)
b. Tindakan Keperawatan Jiwa pada Pasien:
1) Identifikasi jenis halusinasi pasien
2) Identifikasi isi halusinasi pasien
3) Identifikasi waktu halusinasi pasien
4) Identifikasi frekuensi halusinasi pasien
5) Identifikasi siruasi yang menimbulkan halusinasi
6) Identifikasi respon pasien terhadap halusinasi
1) Latih pasien cara kontrol halusinasi dengan cara menghardik, berbincang dengan
orang lain, melakukan kegiatan yang terjadwal, minum obat secara teratur, dan
bimbing untuk memasukkannya kedalam jadwal kegiatan harian.
c. Tindakan Keperawatan Jiwa pada Keluarga:
1) Diskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2) Jelaskan pengertian, tanda dan gejala halusinasi, jenis halusinasi yang dialami
pasien beserta proses terjadinya perilaku kekerasan
3) Jelaskan dan praktekkan cara merawat pasien dengan halusinasi
4) Bantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat
(discharge planning)
5) Jelaskan follow up pasien sesudah pulang
DAFTAR PUSTAKA

Direja, A. Herman., 2011, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa, Yogyakarta : Nuha Medika

Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta : Salemba Medika.

Keliat, B.A. 2010. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Maramis, W.f. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed. 9 Surabaya: Airlangga University
Press.

Yosep, I., 2009, Keperawatan Jiwa, Bandung : Refika Aditama

Anda mungkin juga menyukai