NIM : 030520423
A. PENGERTIAN
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakaan secara fisik baik terhadap diri
sendiri, orang lain maupun lingkunganya (Fitria, 2009).
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditunjukan untuk
melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya
tingkahlaku tersebut (Purba dkk, 2008).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku
seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan.Perilaku
kekerasan pada diri sendiri dapat berbentuk melukai diri untuk bunuh diri atau
membiarkan diri dalam bentuk penelantaran diri. Perilaku kekerasan pada orang
adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai atau membunuh orang lain.
Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat berupa perilaku merusak lingkungan,
melempar kaca, genting, dan semua yang ada di lingkungan.Pasien yang dibawa
ke rumah sakit jiwa sebagian besar akibat melakukan kekerasan di
rumah.Perawat harus jeli dalam melakukan pengkajian untuk menggali penyebab
perilaku kekerasan yang dilakukan selama di rumah.
B. Penyebab
1. Faktor predisposisi
a) Faktor fisiologis
Pysiconalytical Theory : teori ini mendukung bahwa perilaku
agresif merupakan akibat dari instructural drives. Feud
berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua
insting, yang pertama insting hidup yang di deskrifsikan dengan
seksualitas, yang kedua insting krmatian yang di dekskrifsikan
dengan agresifitas.
b) Faktor sosial budaya
Ini mengemukakan bahwa agresif tidak berbeda dengan respon-
respon yang lain. Agresif dapat dipelajari melalui observasi atau
imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka
semakin besar kemungkinan terjadi.
c) Faktor biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agresof
mempunyai dasar biologis, penelitian neurobiologist mendapatkan
bahwa adanya pemberian stimulus elektris ringan pada
hipotalamus ( yang bebeda ditengah sistem limbic).
C. Rentang respons marah
Keterangan :
Asertif : kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain.
Frustasi : kegagalan mencapai tujuan, tidak realitas/ terhambat.
Pasif : respon lanjutan yang pasien tidak mampu mengungkapkan
perasaan.
Agresip : perilaku destruktif tapi masih terkontrol
Amuk : perilaku destruktif yang tidak terkontrol
Rasionalisasi
Dengan mengidentifikasi cara yang konstruktif dalam
bersepon terhadap kemarahan dapat membantu klien
menemukan cara yang baik untuk mengurangi
kekesalanya sehingga klien tidak stress lagi.
Reinforcement positif dapat memotifasi klien dan
meningkatkan harga dirinya
Berdiskusi dengan klien untuk memilih cara yang lain dan
sesuai dengan kemampuan klien
7. Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku
kekerasan
Kriteria evaluasi ;
Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku
kekerasan.
Fisik :tarik nafas dalam, olahraga, menyiram
tanama n
Verbal : mengatakan langsung dengan tidak
menyakiti
Spiritual : sembahyang, berdoa , ibadah lain
Intervensi keperawatan
Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien
Bantu klien mengidentifikasi manfaat cara yang dipilih
Bantu klien menstimulasi cara tersebut ( role play)
Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien
menstimulasi cara tersebut
Anjurkan klien menggunakan cara yang telah dipelajari
saat marah.
Rasionalisasi
Memberikan stimulasi kepad aklien untuk menilai respon
perilaku kekerasaan secara tepat
Membantu klien dalam membuat keputuasan untuk cara
yang telah dipilihnya dengan menilai manpaat
Agar klien mengetahui cara marah yang konstruktif
Pujian dapat meninhkatkan motifasi dan harga diri klien
Agar klien dapat melaksanakan cara yang telah dipilihnya
jika sedang kesal.
8. Klien mendapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol
perilaku kekerasan.
Kriteria evaluasi:
Keluarga klien dapat ;
Menyebutkan cara merawat klien yang berperilaku
kekerasan
Mengungkapkan rasa puas dalam merawat klien \
Intervensi keperawatan
Indentifikasi kemampuan keluarga klien dari sikap apa
yang telah dilakukan keluarga terhadap klien selama ini
Jelaska peran serta keluarga dalam merawat klien
Jelaskan cara-cara merawat klien
Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat klien
Bantu keluarga mengungkapkan perasaanya melakukan
demnstrasi
Rasionalisasi
Kemampuan keluarga dalam mengidentifkasi akan
memungkinkan keluarga melakukan penilaian terhadap
perilaku kekerasan
Meningkatkan pengetahuan keluarga tentang cara merawat
klien sehingga keluarga terlibat dalam perawatan klien
Agar keluarga mengetahui cara merawat klien melalui
demonstrasi yang dilihat keluarga secara langsung
9. Klien dapat menggunakan oabat dengan benar
Kriteria evaluasi
Klien dapat menyebutkan obat-obatan yang diminum dan
kegunaanu (jenis, waktu, dosis, dan efek)
Klien dapat meminum obat sesuai terafi
Intervensi keperawatan
Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum klien ( pada klien
dan keluarga )
Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian jika
berhenti minum obat tanpa seijin dokter
Jelaskan prinsip benar minum obat (nama, dosis, waktu,
cara minum)
Anjurkan klien minum bat tepat waktu
Rasionalisasi
Klien dan keluarga dapat mengetahui mana-mana obat
yang diminum oleh klien
Klien dan keluarga dapat mengetahui kegunaan obat yang
dikonsumsi oleh klien
Klien dan keluarga dapat mengetahui prinsip benar agar
tidak terjadi kesalahan mengkonsumsi obat
Klien dapat memiliki kesadaran pentingnya minum obat
dan bersedia minum obat dengan kesadaran sendiri
DAFTAR PUSTAKA
NIM : 030520423
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS
Keterangan
1) Aktualisasi diri adalah pernyataan diri positif tentang latar belakang
pengalaman nyata yang sukses diterima.
2) Konsep diri positif adalah individu mempunyai pengalaman yang positif
dalam beraktualisasi.
3) Harga diri rendah adalah transisi antara respon diri adaptif dengan
konsep diri maladaptif.
4) Kerancuan identitas adalah kegagalan individu dalam kemalangan aspek
psikososial dan kepribadian dewasa yang harmonis.
5) Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistis terhadap diri sendiri
yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat
membedakan dirinya dengan orang lain.
F. Pohon masalah
Pohon masalah yang muncul menurut Fajriyah (2012):
G. Diagnose keperawatan
1) Gangguan citra tubuh
2) Kesiapan meningkatkan konsep diri
3) Harga diri rendah (kronis, situasional dan resiko situasinal)
4) Ketidakefektifan performa peran
5) Gangguan identitas pribadi
H. Mekanisme koping
Mekanisme koping menurut Deden (2013):
Jangka pendek
Kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis : pemakaian
obat-obatan, kerja keras, nonoton tv terus menerus.
Kegiatan mengganti identitas sementara : ikut kelompok sosial,
keagamaan, politik.
Kegiatan yang memberi dukungan sementara : kompetisi olah raga kontes
popularitas.
Kegiatan mencoba menghilangkan anti identitas sementara :
penyalahgunaan obat-obatan.
Jangka panjang
Menutup identitas : terlalu cepat mengadopsi identitas yang disenangi
dari orang-orang yang berarti, tanpa mengindahkan hasrat, aspirasi atau
potensi diri sendiri.
Identitas negatif : asumsi yang pertentangan dengan nilai dan harapan
masyarakat.
I. Strategi pelaksanaan
SP-1 pasien harga diri rendah pertemuan Ke1: mendiskusikan
kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien, membantu pasien
menilai kemampuan yang masih dapat digunakan, membantu pasien
memilih atau menetapkan kemampuan yang akan dilatih, melatih
kemampuan yang telah dilatih dalam rencana harian.
SP-2 Pasien : Harga diri rendah pertemuan ke2: melatih pasien
melakukan kegiatan lain yang sesuai dengan kemampuan klien.
SP-3 keluarga : harga diri rendah pertemuan ke1: mendiskusikan masalah
yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien dirumah, menjelaskan
tentang pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah, menjelaskan cara
merawat pasien dengan harga diri rendah dan memberi kesempatan
kepada keluarga untuk memperaktekan cara merawat.
SP_4 keluarga: harga diri rendah pertemuan ke2: melatih keluarga
memperaktikan cara merawat pasien dengan masalah harga diri rendah
langsung kepada klien
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf, Ah, Rizky Fitryasari PK dan Hanik Endang Nihayati. (2015). Buku
Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
Yusuf, Ah, Rizky Fitryasari PK dan Hanik Endang Nihayati. (2015). Buku
Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
Elinia, Sury,.2016. Tinjauan Tero dan Konsep Harga Diri Rendah diakses
dari http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/167/jtptunimus-gdl-eliniasury-
8333-2-babii.pdf pada 12 Juni 2018
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN ISOLASI SOSIAL
NIM : 030520423
Saling tergantung
Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan dengan cara yang
dapat diterima oleh norma-norma masyarakat. Menurut Sujono & Teguh (2009)
respon adaptif meliputi :
Data Obyektif :
1) Tidak ada dukungan dari orang yang penting (keluarga, teman, kelompok)
2) Perilaku permusuhan
3) Menarik diri
4) Tidak komunikatif
5) Menunjukan perilaku tidak diterima oleh kelompok kultural dominant
6) Mencari kesendirian atau merasa diakui di dalam sub kultur
7) Senang dengan pikirannya sendiri
8) Aktivitas berulang atau aktivitas yang kurang berarti
9) Kontak mata tidak ada
10) Aktivitas tidak sesuai dengan umur perkembangan
11) Keterbatasan mental/fisik/perubahan keadaan sejahtera
12) Sedih, afek tumpul
Data Subyektif:
C. Diagnosa keperawatan
Keliat, B. A. (2005) merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan
gangguan isolasi sosial : menarik diri, sebagai berikut :
a. Isolasi sosial
b. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
c. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
d. Koping individu tidak efektif
e. Defisit perawatan diri
f. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
D. Intervensi keperawatan
Menurut (Workshop Standar Asuhan & Bimbingan Keperawatan Jiwa RSJ Prof.
Dr. Soeroyo Magelang, 2007) strategi pelaksanaan tindakan keperawatan
menggunakan SP, yaitu :
Pasien
SP 1 (Pasien)
Membina hubungan saling percaya
Mengidentifikasi penyebab isolasi sosia pasien.
Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi dengan
orang lain.
Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang.
Menganjurkan pasien memasukan kegiatan latihan berbincang-
bincang dengan orang lain dalam kegiatan harian.
SP 2 (Pasien)
Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
Memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekan cara
berkenalan dengan dua orang.
Membantu pasien memasukan kegiatan berbincang-bincang
dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian.
SP 3 (Pasien)
Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
Memberikan kesempatan kepada pasien berkenalan dengan dua
orang atau lebih.
Menganjurkan pasien memasukan dalam jadwal kegiatan harian.
Keluarga
SP 1 (Keluarga)
Mendisukusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien
Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial yang
dialami pasien beserta proses terjadinya.
Menjelaskan cara-cara merawat pasien isolasi sosial.
SP 2 (Keluarga)
Melatih keluarga memperaktikan cara merawat pasien isolasi
sosial
Melatih keluarga cara merawat langsung kepada pasien isolasi
sosial
Stanley, B., Brown, G., Brent, D., Wells, K., Poling, K., Curry, J., Kennard, B. D.,
et al (2009). Cognitive Behavior Therapy for Suicide Prevention (CBT-
SP): Treatment Model, Feasibility and Acceptability. J Am Acad Child
Adolesc Psychiatry. 48(10): 1005–1013.
doi:10.1097/CHI.0b013e3181b5dbfe.
U.S. Surgeon General and of the National Action Alliance for Suicide Prevention.
(2012). 2012 National Strategy for Suicide Prevention: Goals and
Objectives for Action: A Report of the U.S. Surgeon General and of the
National Action Alliance for Suicide Prevention. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK109922/
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN RESIKO BUNUH DIRI
NIM : 030520423
Menurut Keliat, Akemat, Helena, & Nurhaeni (2014) perilaku bunuh diri terdiri
dari tiga jenis yaitu:
1. Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak langsung
ingin bunuh diri, misalnya: dengan mengatakan “Tolong jaga anak-anak
karena saya akan pergi jauh” atau “Segala seseuatu akan lebih baik tanpa
saya”. Pada kondisi ini pasien mungkin sudah memiliki ide untuk
mengakhiri hidupnya, namun tidak disertai dengan ancaman dan
percobaan bunuh diri. Pasien umumnya mengungkapkan perasaan seperti
rasa bersalah/sedih/marah/ putus asa/tidak berdaya. Pasien juga
mengungkapkan hal-hal negatif tentang diri sendiri yang menggambarkan
harga diri rendah.
2. Ancaman bunuh diri
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh pasien. Berisi keinginan
untuk mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan dan
persiapan alat
untuk melaksanakan rencana tersebut. Secara aktif pasien telah
memikirkan rencana bunuh diri, namun tidak disertai dengan percobaan
bunuh diri. Walaupun dalam kondisi ini pasien belum mencoba bunuh
diri, pengawasan ketat harus dilakukan. Kesempatan sedikit saja dapat
dimanfaatkan pasien untuk melaksanakan rencana bunuh dirinya.
C. PENYEBAB
1. Predisposisi
BIOLOGI
a. Genetik
Studi dari Centre for Addiction and Mental Health telah menemukan bukti
bahwa gen tertentu terkait dengan perilaku bunuh diri. Zai et al (2013)
menyatakan bahwa terdapat keterlibatan brain-derived neurotrophic factor
(BDNF). Dari studi bedah mayat ditemukan adanya penurunan tingkat
BDNF pada hipokampus dan korteks prefrontal baik pada orang yang
mengalami gangguan kejiwaan maupun tidak.
Penelitian yang telah dilakukan pada anak kembar dilakukan sebagai
penelitian penting pada tahun 1991 menunjukkan kesesuaian monozigot dari
11,3 dan kesesuaian dizigot dari 1,8 risiko bunuh diri delapan kali lebih
besar pada keturunan pertama pasien psikiatri pada kelompok kontrol dan
empat kali lebih besar pada ketutunan pertama keluarga pasien yang
melakukan bunuh diri. Pada keluarga dengan faktor genetik berat untuk
gangguan mood tingkat bunuh dirinya lebih tinggi. Faktor genetik untuk
bunuh diri mungkin atau bawaan genetik dari gangguan jiwa (Masango,
2008).
b. Neurokimia
PSIKOLOGI
a. Intelegensi
c. Moral
Durkeim menyatakan bahwa salah satu penyebab bunuh diri adalah adanya
tekanan moral yang dialami individu, jenis bunuh diri yang
diklasifikasikan durkeim terkait moral adalah:
1) Bunuh diri egoistic yaitu bunuh diri yang dihasilkan dari tekanan
budaya dan tekanan individualisme contohnya : penelitian yang
menyatakan orang yang tidak menikah memiliki kecendrungan bunuh
diri lebih tinggi daripada orang yang menikah
2) Bunuh diri anomik yaitu bunuh diri yang disebabkan oleh tidak
adanya pengaturan bagi tujuan yang mengatur individu yangdijamin
oleh norma dan prinsip moral (Humsona,2004).
d. Kepribadian
Tipe kepribadian memiliki peranan dalam kejadian bunuh diri, Blum et al,
(2013) membuktikan bahwa terdapat hubungan kepribadian neurotitisme
dan keterbukaan terhadap kejadian buuh diri sementara extraversion dan
kesadaran yang berbanding terbalik dengan perilaku yang berhubungan
dengan bunuh diri. Ciri kepribadian neurotisme, dikaitkan dengan
efektivitas negatif dan strategi coping maladaptif dan secara konsisten telah
ditemukan terkait dengan peningkatan bunuh diri. Extraversion
digambarkan sebagai kecenderungan ke arah berdampak positif dan
rendahnya tingkat extraversion terkait dengan keputusasaan dan pandangan
negatif pada kehidupan. Ide bunuh diri pada tipe kepribadian keterbukaan
dialami oleh lansia, keterbukaan dapat meningkatkan kemungkinan
pelaporan ide bunuh diri yang diukur dengan instrumen laporan diri dan di
sisi lain dapat menurunkan risiko dari kematian karena bunuh diri, mungkin
dengan meningkatkan kesempatan intervensi klinis melalui pelaporan yang
tepat waktu dari bunuh diri. Tingginya kadar keterbukaan juga telah
dikaitkan dengan distorsi kognitif, kurangnya wawasan, dan impulsif, yang
juga dapat menjelaskan hubungan dengan perilaku yang berhubungan
dengan bunuh diri.
1. Kondisi Klien :
Ibu A, Umur 32 tahun, status sudah menikah, punya seorang anak usia 2
tahun, tampak murung dan tidak bersemangat. Ibu A di bawa ke RS oleh
keluarganya sejak sehari yang lalu karena berusaha bunuh diri dengan cara
minum Baygon. Menurut informasi dari keluarga, hal tersebut dilakukan
karena suaminya mempunyai WIL (wanita idaman lain).
2. DiagnosaKeperawatan :
4. Tindakan Keperawatan:
ORIENTASI
1. Salam Terapeutik :
2. Evaluasi / validasi :
P: “Bagaimana perasaan ibu A hari ini?
P: “ Ibu A tahu saat ini berada dimana? Apa yang ibu A lakukan
hingga ibu A bisa sampai disini? Siapa yang mengantar ibu A?
“Bagaimana kalau kita berbincang bincang tentang apa yang ibu A
alami dan rasakan selama ini,
P: Dimana dan berapa lama kita berbincang-bincang. Baik…..sekitar
45 menit ya”
KERJA :
Faktor Predisposisi:
Biologis
P: “Ibu masih ingat, ibu lahir dimana? Bagaimana kondisi saat lahir?
Sosial
Faktor Presipitasi
Personal Ability
P : “Baik, Ibu A saya ingin tanya dulu, dari masalah-masalah yang tadi
kita sebutkan, apa yang ibu A sudah lakukan untuk mengatasinya?”
Social Support
P : “Bapak N, siapa saja keluarga yang sering menjenguk?”
P : “Siapa orang yang paling dekat dengan ibu?”
P : “Baik, ibunya ya? Apa yang ibu atau keluarga sudah lakukan terkait
dengan masalah Ibu A sekarang?”
P : “Baik, belum pernah ya, kalau begitu nanti saya juga akan bertemu dan
ngobrol-ngobrol sama keluarga ya. Ibu A punya teman tidak? atau
kelompok yang dekat dengan ibu A?”. “Jadi tidak punya teman ya
ibu?”
P : Kalau kader kesehatan? Apakah di tinggal ibu A ada kader kesehatan
yang biasanya memberikan penyuluhan kesehatan atau kegiatan
lainnya dari puskesmas?”
P: “Apakah ibu percaya ibu bisa sembuh? (observasi pula data-data
objektif yang muncul saat wawancara).
Material Asset
Positive Belief
P : Apakah ibu A percaya pada diri ibu kalau ibu bisa mengatasi masalah
yang ibu alami sekarang?
P : Apakah ibu A percaya kalau Ners ... bisa bantu ibu A untuk mengatasi
masalah ibu A saat ini?
TERMINASI
1. Evaluasi Respon
\
DAFTAR PUSTAKA
Aspche, J. A., Bass, C. K., & DiMeo, L. (2010). Mode Deactivation Therapy (MDT)
Comprehensive Meta-Analysis. JOBA-OVTP 2(3). 171-182.
Blüml, V., Kapusta, N. D., Doering, S., Brähler, E., Wagner, B., & Kersting, A. (2013).
Personality Factors and Suicide Risk in a Representative Sample of the German
General Population. DOI: 10.1371/journal.pone.0076646
Centers for Disesase Control and Prevention. (2012).Suicide Fact at a glance. CDC.
Retrieved from http://www.cdc.gov/violenceprevention/pdf/Suicide- DataSheet-
a.pdf
Dwivedi, Y. (2012). The neurobiological of suicide. Boca Raton: Taylor & Francis
Group
Ebrahimi, H., Kazmi, A. H., Khoshknab, M. F., & Modabber, R. (2014). The Effect of
Spiritual and Religious Group Psychotherapy on Suicidal Ideation in Depressed
Patients: A Randomized Clinical Trial. Journal of Caring Sciences, 3(2), 131-140
doi:10.5681/jcs.2014.014
Esposito-Smythers, C., Spirito, A., Kahler, C. W., Hunt, J., & Monti, P. (2011).
Treatment of Co-Occurring Substance Abuse and Suicidality Among Adolescents:
A Randomized Trial. J Consult Clin Psychol. 79(6) 728–739.
doi:10.1037/a0026074
LAPORAN PENDAHULUAN DEFISIT WAHAM
NIM : 030520423
Waham adalah suatu keyakinan yang dipertahankan secara kuat terus-menerus, tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan. (Budi Anna Keliat, 2006) Waham adalah keyakinan
seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah. Keyakinan klien tidak
konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya klien (Aziz R, 2003).
Ramdi (2000) menyatakan bahwa itu merupakan suatu keyakinan tentang isi pikiran
yang tidak sesuai dengan kenyataan atau tidak cocok dengan intelegensia dan latar
belakang kebudayaannya, keyakinan tersebut dipertahankan secara kokoh dan tidak
dapat diubah-ubah.
Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara
self ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan
kebutuhan yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui
kemampuannya. Misalnya, saat lingkungan sudah banyak yang kaya,
menggunakan teknologi komunikasi yang canggih, berpendidikan tinggi serta
memiliki kekuasaan yang luas, seseorang tetap memasang self ideal yang
melebihi lingkungan tersebut. Padahal self reality-nya sangat jauh. Dari aspek
pendidikan klien, materi, pengalaman, pengaruh, support system semuanya
sangat rendah.
5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap
bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya.
Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien menyendiri dari
lingkungannya. Selanjutnya klien lebih sering menyendiri dan menghindar
interaksi sosial ( Isolasi sosial ).
6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu
keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul
sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang
tidak terpenuhi ( rantai yang hilang ). Waham bersifat menetap dan sulit untuk
dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain. Penting
sekali untuk mengguncang keyakinan klien dengan cara konfrontatif serta
memperkaya keyakinan relegiusnya bahwa apa-apa yang dilakukan menimbulkan
dosa besar serta ada konsekuensi sosial.
Penyebab
Berbagai kehilangan dapat terjadi pada pasca bencana, baik kehilangan harta
benda, keluarga maupun orang yang bermakna. Kehilangan ini menyebabkan
stress bagi mereka yang mengalaminga. Jika stress ini berkepanjangan dapat
Akibat
Akibat dari waham klien dapat mengalami kerusakan komunikas verbal yang
ditandai dengan pikiran tidak realistic, flight of ideas, kehilangan asosiasi,
pengulangan kata-kata yang didengar dan kntak mata kurang. Akibat yang lain
yang ditimbulkannya adalah beresik mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
C. Faktor predisposisi waham
1. Genetis : diturunkan adanya abnormalitas perkembangan sistem saraf yang
berhubungan dengan respon bilogis yang maladftif
2. Neurobiologis : adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks limbic
3. Virus : paparan virus influenza pada trimester III
4. Psiklogis : ibu pencemas, terlalu melindungi, ayah tidak peduli
D. Faktor presipitasi WAHAM
1. Peruses penglahan informasi yang berlebihan
2. Mekanisme penghantaran listrik abnormal
3. Adanya gejala pemicu
Rentang respon neurobiology
F. Klasifikasi waham
Tanda dan gejala waham berdasarkan jenisnya meliputi
1. Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau
kekuasaan khusus yang diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Misalnya, “Saya ini pejabat di separtemen kesehatan lho!” atau, “Saya punya
tambang emas.”
2. Waham curiga: individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang
berusaha merugikan / mencederai dirinya dan diucapkan berulang kali, tetapi
tidak sesuai kenyataan. Contoh, “Saya tidak tahu seluruh saudara saya ingin
menghancurkan hidup saya karena mereka iri dengan kesuksesan saya.”
3. Waham agama: individu memiliki keyakinan terhadap terhadap suatu agama
secara berlebihan dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Contoh, “Kalau saya mau masuk surga, saya harus menggunakan pakaian putih
setiap hari.”
4. Waham somatic: individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu
atau terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan. Misalnya, “Saya sakit kanker.” (Kenyataannya pada pemeriksaan
laboratorium tidak ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi pasien terus mengatakan
bahwa ia sakit kanker).
5. Waham sisip pikir : keyakinan klien bahwa ada pikiran orang lain yang
disisipkan ke dalam pikirannya.
6. Waham siar pikir : keyakinan klien bahwa orang lain mengetahui apa yang dia
pikirkan walaupun ia tidak pernah menyatakan pikirannya kepada orang tersebut.
7. Waham kontrol pikir : keyakinan klien bahwa pikirannya dikontrol oleh kekuatan
di luar dirinya.
Kategori waham
1. Waham sistematis: konsisten, berdasarkan pemikiran mungkin terjadi
walaupun hanya secara teoritis
2. Waham nonsistematis: tidak konsisten, yang secara logis dan teoritis tidak
mungkin
G. Penatalaksanaan waham
1. Psikofarmaklogi
2. Pasien hiperaktif/ agitasi anti psikotik low potensial
3. Penarikan diri high potensial
4. ECT tipe katatnik
5. Psikoterapi
6. Perilaku, terapi kelompok, terapi keluarga, terapi supportif
H. Pohon masalah WAHAM
NIM : 030520423
D. Predisposisi
a. Perkembangan Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu
b. Biologis Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri
c. Kemampuan realitas turun Klien gangguan jiwa dengan kemampuan realitas
yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk
perawatan diri
d. Sosial Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam
perawatan diri
E. Presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi defisit perawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang
dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan
perawatan diri. (Depkes, 2000, dalam Anonim, 2009) Sedangkan Tarwoto dan
Wartonah (2000), dalam Anonim(2009), meyatakan bahwa kurangnya perawatan
diri disebabkan oleh :
a. Kelelahan fisik
b. Penurunan kesadaran
c. Rentang Respon
d. Pohon Masalah
Yusuf, Ah, Rizky Fitryasari PK dan Hanik Endang Nihayati. (2015). Buku Ajar
Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
NIM : 030520423
Adapun Tanda dan gejala halusinasi menurt Direja, 2011 sebagai berikut :
a. Halusinasi Pendengaran
Data Objektif : Bicara atau ketawa sendiri, marah-marah tanpa sebab, mengarahkan
telinga ke arah tertentu, menutup telinga.
Data Subjektif : mendengar suara atau kegaduhan, mendengarkan suara yang
mengajak bercakap-cakap, mendengarkan suara yang menyuruh melakukan sesuatu
yang berbahaya.
b. Halusinasi Penglihatan
Data Objektif : menunjuk-nunjuk kearah tertentu, ketakutan pada sesuatu yang tidak
jelas.
Data Subjektif : melihat bayangan, sinar bentuk geometris, bentuk kartoon, melihat
hantu atau monster.
c. Halusinasi Penghidungan
Data Objektif : menghidu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu, menutup
hidung.
Data Subjektif : membaui bau-bauan seperti bau darah, urine, feses, kadang-kadang
bau itu menyenangkan.
d. Halusinasi Pengecapan
Data Objektif : Sering meludah, muntah.
Data Subjektif : merasakan rasa seperti darah, urine atau feses.
e. Halusinasi Perabaan
Data Objektif :Menggaruk- garuk permukaan kulit.
Data Subjektif : menyatakan ada serangga di permukaan kulit, merasa tersengat
listrik.
7. Penatalaksanaan
a. Psikofarmakoterapi
Gejala halusinasi sebagai salah satu gejala psikotik/ skizofrenia biasanya diatasi
dengan menggunakan obat-obatan anti psikotik antara lain :
1) Golongan butirefenon : Haldol, Serenace, Ludomer. Pada kondisi akut biasanya
diberikan dalam bentuk injeksi 3x5 mg, im. Pemberian injeksi biasanya cukup
3x24 jam. Setelahnya klien bisa diberikan obat per oral 3x1,5 mg atau 3x5 mg.
2) Golongan Fenotiazine :Chlorpramizine/ Largactile/ Promactile. Biasanya
diberikan per oral. Kondisi akut biasanya diberikan 3x 100mg. Apabila kondisi
sudah stabil dosis dapat dikurangi 1x100 mg pada malam hari saja (Yosep,2011).
b. Psikoterapi
Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang grandmall secara
artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang dipasang pada satu
atau dua temples, terapi kejang listrik dapat diberikan pada skizoprenia yang tidak
mempan dengan terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5
joule/detik.
c. Terapi Aktivitas Kelompok
Terapi Aktivitas Kelompok yang diberikan pada pasien dengan Halusinasi yaitu
(Keliat, 2010):
1) Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Kognitif/Persepsi
Klien dilatih mempersepsikan stimulus yang disediakan atau stimulus yang
pernah dialami. Kemampuan persepsi klien dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap
sessi. Dengan proses ini, diharapkan respon klien terhadap berbagai
stimulus dalam kehidupan menjadi adatif. Aktivitas berupa stimulus dan persepsi.
Stimulus yang disediakan : baca artikel/majalah/buku/puisi, menonton acara TV
(ini merupakan stimulus yang disediakan), stimulus dari pengalaman masa lalu
yang menghasilkan proses persepsi klien yang maladaptive atau distruktif,
misalnya kemarahan, kebencian, putus hubungan, pandangan negative pada
orang lain dan halusinasi. Kemudian dilatih persepsi klien terhadap stimulus.
2) Terapi Aktivitas Kelompok Stimulus Sensori
Aktivitas digunakan sebagai stimulus pada sensori klien. Kemudian diobservasi
reaksi sensori klien terhadap stimulus yang disediakan, berupa ekspresi perasaan
secara nonverbal (ekspresi wajah, gerakan tubuh). Biasanya klien yang tidak mau
mengungkapkan komunikasi verbal akan testimulasi emosi dan perasaannya,
serta menampilkan respons. Aktivitas yang digunakan sebagai stimulus adalah :
musik, seni menyanyi, menari. Jika hobby klien diketahui sebelumnya, dapat
dipakai sebagai stimulus, misalnya lagu kesukaan klien, dapat digunakan sebagai
stimulus.
d. Rehabilitasi
Terapi kerja baik untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang lain,
penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak mengasingkan diri lagi
karena bila menarik diri dia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik.
Dianjurkan penderita untuk mengadakan permainan atau pelatihan bersama
(Maramis, 2005).
8. Pohon Masalah
Resiko perilaku kekerasan
Gangguan persepsi
sensori : halusinasi
2. Diagnosa Keperawatan
Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi
3. Perencanaan Keperawatan
a. Tujuan Keperawatan Jiwa pada Pasien:
1) Pasien mampu mengidentifikasi jenis halusinasi
2) Pasien mampu mengidentifikasi isi halusinasi
3) Pasien mampu mengidentifikasi waktu halusinasi
4) Pasien mampu mengidentifikasi frekuensi halusinasi
5) Pasien mampu mengidentifikasi siruasi yang menimbulkan halusinasi
6) Pasien mampu mengidentifikasi respon terhadap halusinasi
7) Pasien mampu mengontrol halusinasi (menghardik, berbincang dengan orang
lain, melakukan kegiatan yang terjadwal, minum obat secara teratur) dan
memasukkannya kedalam jadwal kegiatan harian
b. Tujuan Keperawatan Jiwa pada Keluarga:
1) Keluarga mampu mengungkapkan masalah yang dirasakan dalam merawat pasien
2) Keluarga mampu menjelaskan pengertian, tanda dan gejala halusinasi, jenis
halusinasi yang dialami pasien beserta proses terjadinya halusinasi
3) Keluarga mampu menjelaskan dan mempraktekkan cara merawat pasien
halusinasi
4) Keluarga mampu membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat
(discharge planning)
b. Tindakan Keperawatan Jiwa pada Pasien:
1) Identifikasi jenis halusinasi pasien
2) Identifikasi isi halusinasi pasien
3) Identifikasi waktu halusinasi pasien
4) Identifikasi frekuensi halusinasi pasien
5) Identifikasi siruasi yang menimbulkan halusinasi
6) Identifikasi respon pasien terhadap halusinasi
1) Latih pasien cara kontrol halusinasi dengan cara menghardik, berbincang dengan
orang lain, melakukan kegiatan yang terjadwal, minum obat secara teratur, dan
bimbing untuk memasukkannya kedalam jadwal kegiatan harian.
c. Tindakan Keperawatan Jiwa pada Keluarga:
1) Diskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2) Jelaskan pengertian, tanda dan gejala halusinasi, jenis halusinasi yang dialami
pasien beserta proses terjadinya perilaku kekerasan
3) Jelaskan dan praktekkan cara merawat pasien dengan halusinasi
4) Bantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat
(discharge planning)
5) Jelaskan follow up pasien sesudah pulang
DAFTAR PUSTAKA
Direja, A. Herman., 2011, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa, Yogyakarta : Nuha Medika
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta : Salemba Medika.
Maramis, W.f. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed. 9 Surabaya: Airlangga University
Press.