LAPORAN PENDAHULUAN
RISIKO PERILAKU KEKERASAN
Karakteris
Pasif Asertif Amuk
tik
Nada Negatif Positif Berlebihan
Bicara Menghina diri Menghargai diri Menghina
Dapatkah saya sendiri orang lain
lakukan? Saya dapat/akan Anda
Dapatkah ia lakukan selalu/tidak
lakukan? pernah?
Nada Diam Diatur Tinggi
suara Lemah Menuntut
Merengek
Sikap Melorot Tegak Tegang
tubuh Menundukan Relaks Bersandar ke
kepala depan
Personal Orang lain Menjaga jarak Memiliki
space dapat yang teritorial orang
Masuk pada menyenangkan lain
territorial Mempertahankan
pribadinya hak
tempat/teritorial
Gerakan Minimal Memperlihatkan Mengancam,
Lemah gerakan yang ekspansi
Resah sesuai gerakan
Kontak Sedikit/tidak Sekali-sekali Melotot
mata ada (intermiten) sesuai
dengan kebutuhan
interaksi
Gambar..Konsep Marah (Beck, Rawlins, Williams, 1986: 447 dikutip oleh Keliat
dan Sinaga, 1991:8)
5. Proses Terjadinya Amuk
Amuk merupakan respons kemarahan yang paling maladaptif yang ditandai
dengan perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilangnya kontrol,
yang individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, atau lingkungan (Keliat,
1991).Amuk adalah respons marah terhadap adanya stres, rasa cemas, harga diri
rendah, rasa bersalah, putus asa, dan ketidakberdayaan.
Respons marah dapat diekspresikan secara internal atau eksternal.Secara
internal dapat berupa perilaku yang tidak asertif dan merusak diri, sedangkan
secara eksternal dapat berupa perilaku destruktif agresif. Respons marah dapat
diungkapkan melalui tiga cara yaitu (1) mengungkapkan secara verbal, (2)
menekan, dan (3) menantang.
Mengekspresikan rasa marah dengan perilaku konstruktif dengan
menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti
orang lain akan memberikan kelegaan pada individu. Apabila perasaan marah
diekspresikan dengan perilaku agresif dan menentang, biasanya dilakukan karena
ia merasa kuat. Cara ini menimbulkan masalah yang berkepanjangan dan dapat
menimbulkan tingkah laku yang destruktif dan amuk.
6. Pengkajian Keperawatan
Faktor predisposisi
a) Psikoanalisis
Teori ini menyatakan bahwa perilaku agresif adalah merupakan hasil dari
dorongan insting (instinctual drives).
b) Psikologis
Berdasarkan teori frustasi-agresif, agresivitas timbul sebagai hasil dari
peningkatan frustasi.Tujuan yang tidak tercapai dapat menyebabkan frustasi
berkepanjangan.
c) Biologis
Bagian-bagian otak yang berhubungan dengan terjadinya agresivitas sebagai
berikut.
(1) Sistem limbik
Merupakan organ yang mengatur dorongan dasar dan ekspresi emosi serta
perilaku seperti makan, agresif, dan respons seksual.Selain itu, mengatur
sistem informasi dan memori.
(2) Lobus temporal
Organ yang berfungsi sebagai penyimpan memori dan melakukan
interpretasi pendengaran.
(3) Lobus frontal
Organ yang berfungsi sebagai bagian pemikiran yang logis, serta
pengelolaan emosi dan alasan berpikir.
(4) Neurotransmiter
Beberapa neurotransmiter yang berdampak pada agresivitas adalah
serotonin (5-HT), Dopamin, Norepineprin, Acetylcholine, dan GABA.
d) Perilaku(behavioral)
(1) Kerusakan organ otak, retardasi mental, dan gangguan belajar
mengakibatkan kegagalan kemampuan dalam berespons positif terhadap
frustasi.
(2) Penekanan emosi berlebihan (over rejection) pada anak-anak atau godaan
(seduction) orang tua memengaruhi kepercayaan (trust) dan percaya diri
(self esteem) individu.
(3) Perikaku kekerasan di usia muda, baik korban kekerasan pada anak (child
abuse) atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga memengaruhi
penggunaan kekerasan sebagai koping.
Teori belajar sosial mengatakan bahwa perilaku kekerasan adalah hasil
belajar dari proses sosialisasi dari internal dan eksternal, yakni sebagai
berikut.
a. Internal : penguatan yang diterima ketika melakukan kekerasan.
b. Eksternal : observasi panutan (role model), seperti orang tua,
kelompok, saudara, figur olahragawan atau artis, serta media
elektronik (berita kekerasan, perang, olahraga keras).
e) Sosial kultural
(1) Norma
Norma merupakan kontrol masyarakat pada kekerasan. Hal ini
mendefinisikan ekspresi perilaku kekerasan yang diterima atau tidak
diterima akan menimbulkan sanksi. Kadang kontrol sosial yang sangat
ketat (strict) dapat menghambat ekspresi marah yang sehat dan
menyebabkan individu memilih cara yang maladaptif lainnya.
(2) Budaya asertif di masyarakat membantu individu untuk berespons
terhadap marah yang sehat.
Faktor sosial yang dapat menyebabkan timbulnya agresivitas atau perilaku
kekerasan yang maladaptif antara lain sebagai berikut.
a. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup.
b. Status dalam perkawinan.
c. Hasil dari orang tua tunggal (single parent).
d. Pengangguran.
e. Ketidakmampuan mempertahankan hubungan interpersonal dan struktur
keluarga dalam sosial kultural.
Faktor presipitasi
Semua faktor ancaman antara lain sebagai berikut.
a) Internal
(1) Kelemahan.
(2) Rasa percaya menurun.
(3) Takut sakit.
(4) Hilang kontrol.
b) Eksternal
(1) Penganiayaan fisik.
(2) Kehilangan orang yang dicintai.
(3) Kritik.
7. Diagnosis Keperawatan
Pohon Masalah
Diagnosis Keperawatan
a) Risiko mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan berhubungan
dengan perilaku
b) kekerasan.
c) Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.
8. Intervensi Keperawatan
Risiko perilaku
Tindakan keperawatan untuk pasien
a) Tujuan
(1) Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
(2) Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
(3) Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya.
(4) Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukannya.
(5) Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/mengontrol perilaku
kekerasannya.
(6) Pasien dapat mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik,
spiritual, sosial, dan dengan terapi psikofarmaka.
b) Tindakan
a. Bina hubungan saling percaya.
(1) Mengucapkan salam terapeutik.
(2) Berjabat tangan.
(3) Menjelaskan tujuan interaksi.
(4) Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu
pasien.
b. Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini dan
masa lalu.
c. Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan.
(1) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik.
(2) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara psikologis.
(3) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial.
(4) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual.
(5) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara intelektual.
d. Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
pada saat marah secara:
(1) verbal,
(2) terhadap orang lain,
(3) terhadap diri sendiri,
(4) terhadap lingkungan.
e. Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya.
f. Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara:
(1) fisik, misalnya pukul kasur dan batal, tarik napas dalam;
(2) obat;
(3) sosial/verbal, misalnya menyatakan secara asertif rasa marahnya;
(4) spiritual, misalnya sholat atau berdoa sesuai keyakinan pasien.
g. Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik, yaitu latihan
napas dalam dan pukul kasur/bantal, secara sosial/verbal, secara
spiritual, dan patuh minum obat.
h. Ikut sertakan pasien dalam terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi
mengontrol perilaku kekerasan.
Tindakan keperawatan untuk keluarga
a) Tujuan
Keluarga dapat merawat pasien dirumah
b) Tindakan keperawatan
a. Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien.
b. Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan (penyebab,
tanda dan gejala, serta perilaku yang muncul dan akibat dari perilaku
tersebut).
c. Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi pasien yang perlu segera
dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau memukul benda/orang
lain.
d. Latih keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan.
(1) Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien melakukan tindakan
yang telah diajarkan oleh perawat.
(2) Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada pasien bila pasien
dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat.
(3) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan bila
pasien menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan.
e. Buat perencanaan pulang bersama keluarga.
9. Strategi Penahanan
1. Definisi
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana
pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu
penerapan panca indra tanda ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan
yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren :
persepsi palsu. (Prabowo, 2014 : 129).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsnagan eksternal (dunia luar).Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata.Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara
padahal tidak ada orang yang berbicara. (Kusumawati & Hartono, 2012:102).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana klien
mengalamai perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa
suara, penglihatan, pengecapan, perabaaan atau penghiduan.Klien merasakan
stimulus yang sebetulnya tidak ada. (Damaiyanti, 2012: 53)
2. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
1) Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan pasien terganggu mislnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan pasien tidak mampu mandiri sejak
kecil, mudah frustasi, hilangnya percaya diri dan lebih rentan terhadap
stress.
2) Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima di lingkungannya sejak bayi akan
merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
3) Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress
yang berlebih dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan zat
yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stress
berkepanjangan menyebabakan teraktivasinya neutransmitter otak.
4) Faktor Psikologi
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus
padapenyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan pasien dalam mengambil keputusan yang tepat demi
masa depannya. Pasien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari
alam nyata menuju alam hayal.
5) Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwaanak sehat yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung mengalamai skizofrenia.Hasil studi menunjukkan
bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh
padapenyakit ini. (Prabowo, 2014: 132-133).
b. Faktor Presipitasi
1) Biologis
Gangguan dalam momunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam
otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterprestasikan.
2) Stress Lingkungan
Ambang toleransi terhadap tress yang berinteraksi terhadap stresosor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3) Sumber Koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menamggapi stress.
(Prabowo, 2014 : 133)
4) Perilaku
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
perasaan tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku menarik diri, kurang
perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat
membedakan nyata dan tidak.
a) Dimensi fisik
Halusianasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga
delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalamwaktu
yang lama.
b) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi, isi dari halusinasi
dapat berupa peritah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup
lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien
berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
c) Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan
halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada
awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan
impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak
jarang akan mengotrol semua perilaku klien.
d) Dimensi sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam
nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan dengan
halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak
didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan kontrol oleh
individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasiberupa ancaman,
dirinya atau orang lain individu cenderung keperawatan klien dengan
mengupayakan suatu proses interkasi yang menimbulkan pengalaman
interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan klien tidak
menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya
dan halusinasi tidak berlangsung.
e) Dimensi spiritual
Secara spiritualklien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup,
rutinitas, tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang
berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri, irama sirkardiannya
terganggu.(Damaiyanti, 2012 : 57-58).
3. Klasifikasi Halusinasi
Haluinasi terdiri dari beberapa jenis, dengan karakteristik tertentu,
diantaranya:
a. Halusinasi Pendengaran ( akustik, audiotorik)
Gangguan stimulus dimana pasien mendengar suara-suara terutama suara-
suara orang, biasanya pasien mendengar suara orang yang sedang
membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk
melakukan sesuatu.
b. Halusinasi Pengihatan (visual)
Stimulus visual dalam bentuk beragam seperti bentuk pencaran cahaya,
gambaraan geometrik, gambar kartun dan/ atau panorama yang luas dan
komplesk. Bayangan bias bisa menyenangkan atau menakutkan.
c. Halusinasi Penghidu (Olfaktori)
Gangguan stimulus pada penghidu, yamg ditandai dengan adanya bau
busuk, amis, dan bau yang menjijikan seperti : darah, urine atau feses.
Kadang-kadang terhidu bau harum.Biasnya berhubungan dengan stroke,
tumor, kejang dan dementia.
d. Halusinasi Peraba (Taktil, Kinaestatik)
Gangguan stimulus yang ditandai dengan adanya sara sakit atau tidak enak
tanpa stimulus yang terlihat. Contoh merasakan sensasi listrik datang dari
tanah, benda mati atau orang lain.
e. Halusinasi Pengecap (Gustatorik)
Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk,
amis, dan menjijikkan.
f. Halusinasi sinestetik
Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti
darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau
pembentukan urine. (Yosep Iyus, 2007: 130)
g. Halusinasi Viseral
Timbulnya perasaan tertentu di dalam tubuhnya.
1) Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa pribadinya
sudah tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai dengan kenyataan
yang ada. Sering pada skizofrenia dan sindrom obus parietalis. Misalnya
sering merasa diringa terpecah dua.
2) Derelisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungan yang tidak
sesuai dengan kenyataan. Misalnya perasaan segala suatu yang
dialaminya seperti dalam mimpi. (Damaiyanti, 2012 : 55-56)
4. Rentang Respon
Persepsi mengacu pada identifikasi dan interprestasi awal dari suatu
stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra. Respon
neurobiologis sepanjang rentang sehat sakit berkisar dari adaptif pikiran logis,
persepsi akurat, emosi konsisten, dan perilaku sesuai sampai dengan respon
maladaptif yang meliputi delusi, halusinasi, dan isolasi sosial. Rentang respon
dapat digambarkan sebagai berikut
Rentang Respon
1. Respon adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma social budaya
yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut. Respon
adaptif :
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman ahli.
4) Perilaku social adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran.
5) Hubungan social adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan
2. Respon psikosossial
Meliputi :
1) Proses piker terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan
gangguan
2) Ilusi adalah miss interprestasi atau penilaian yang salah tentang
penerapan yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan
panca indra.
3) Emosi berlebih atau berkurang
4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi
batas kewajaran
5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan
orang lain.
3. Respon maladapttif
Respon maladaptive adalah respon individu dalam menyelesaikan
masalah yang menyimpang dari norma-norma social budaya dan lingkungan,
ada pun respon maladaptive antara lain :
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakin ioleh orang lain dan bertentangan dengan
kenyataan social.
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal
yang tidak realita atau tidak ada.
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati.
4) Perilaku tidak terorganisi rmerupakan sesuatu yang tidak teratur
5) Isolasi sosisal adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan
diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan
yang negative mengancam.(Damaiyanti,2012: 54)
5. Proses Terjadinya Masalah
Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase dan setiap fase
memiliki karakteristik yang berdeda yaitu:
a. Fase I
Pasien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa
bersalah dan takut serta mencoba berfokus pada pikiran yang
menyenangkan untuk meredakan ansietas.Di sini pasien tersenyum atau
tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan
mata yang cepat, diam dan asyik sendiri.
b. Fase II
Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan.Pasien mulai lepas kendali
dan mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumberdipersepsikan.
Disini terjadi peningkatan tandatanda sistem saraf otonom akibat ansietas
seperti peningkatan tanda-tanda vital ( denyut jantung, pernapasan, dan
tekanan darah), asyik dengna pengalaman sensori dan kehilangan
kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan reaita.
c. Fase III
Pasien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan
menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini pasien sukar berhubungan
dengan orang ain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah
dari orang ain dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan
terutamajika akan berhubungan dengan orang lain.
d. Fase IV
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika pasien mengikuti perintah
halusinasi.Di sni terjadi perikalu kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak
mampu berespon terhadap perintah yang komplek dan tidak mampu
berespon lebih dari 1 orang.Kondisi pasien sangan membahayakan.
( Prabowo, 2014: 130131)
6. Manifestasi Klinis
Perilaku paisen yang berkaitan dengan halusinasi adalah sebagai
berikut:
a. Bicara, senyum, dan ketawa sendiri
b. Menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata cepat, dan respon verba
lambat
c. Menarik diri dari orang lain,dan berusaha untuk menghindari diri dari
orang ain
d. Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan keadaan yang tidak
nyata
e. Terjadi peningkatan denyut ajntung, pernapasan dan tekanan darah
f. Perhatian dengan lingkunganyang kurang atau hanya beberapa detik dan
berkonsentrasi dengan pengalaman sensorinya.
g. Curiga, bermusuhan,merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya)
dan takut
h. Sulit berhubungan dengan orang lain
i. Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung,jengkel dan marah
j. Tidak mampu mengikuti perintah
k. Tampak tremor dan berkeringat, perilaku panik, agitasi dan kataton.
(Prabowo, 2014: 133-134)
7. Akibat
Akibat dari hausinasi adalah resiko mencederai diri, orang lain dan
ingkungan. Ini diakibatkan karena pasien berada di bawah halusinasinya yang
meminta dia untuk melakuka sesuatu hal diluar kesadarannya.( Prabowo,
2014: 134)
8. Mekanisme Koping
a. Regresi : menjadi malas beraktivitas sehari-hari
b. Proyeksi : menjeslaskan perubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk
mengaliskan tanggung jawab kepada orang lain
c. Menarik diri : sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimuus
internal. (Prabowo, 2014 :134)
9. Penatalaksanaan
Pengobatan harus secepat mungkin harus diberikan, disini peran keluarga
sangat penting karena setelah mendapatkan perawatan di RSJ pasien
dinyatakan boleh pulang sehingga keluarga mempunyai peranan yang sangat
penting didalam hal merawat pasien, menciptakan lingkungan keluarga yang
kondusif dan sebagai pengawas minum obat
a. Farmakoterapi
Neuroleptika dengan dosis efektif bermanfaat pada penderita
skizofrenia yang menahun,hasilnyalebih banyak jika mulai diberi dalam dua
tahun penyakit.Neuroleptika dengan dosis efek tiftinggi bermanfaat pada
penderita psikomotorik yang meningkat.
KELAS KIMIA NAMA GENERIK DOSIS HARIAN
(DAGANG)
Fenotiazin Asetofenazin (Tidal) 60-120 mg
Klopromazin 30-800 mg
(Thorazine) 1-40 mg
Flufenazine
(Prolixine, Permit) 30-400 mg
Mesoridazin 12-64 mg
( Serentil) Perfenazin 15-150 mg
(Trialon) 40-1200 mg
Prokloperazin 150-800 mg
(Compazine) 2-40 mg
Promazine (Sparine) 60-150 mg
Tiodazin (Mellani)
Trifluopromazine
(Stelazine)
Trifluopromazine
(Vesprin)
Toksanten Kloproktisen 75-600 mg
(Tarctan) Tioktiksen 8-30 mg
(Navane)
Butirofenon Haloperidol (Haldol) 1-100 mg
Dibenzondiazepin Klozapin (Clorazil) 300-900 mg
Dibenzokasazepin Loksapin (Loxitane) 20-150 mg
Didraindolon Molindone (Moban) 225-225
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko perilaku mencederai diri berhubungan dengan halusinasi pendengaran
2. Gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran berhubungan dengan menarik
diri
3. Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
TINDAKAN KEPERAWATAN
a. Tindakan keperawatan pada pasien
1. Tujuan keperawatan
a) Pasien dapat mengenali halusinasi yang dialaminya
b) Pasien dapat mengontrol halusinasi
c) Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal
2. Tindakan keperawatan
a) Bantu pasien menganli halusinasi
b) Melatih pasien mengontrol halusinasi
c) Menghardik halusinasi
d) Bercaka-cakap dengan orang lain
e) Melakukan aktivitas yang terjadwal
f) Minum obat secara teratur
SP PASIEN
SP 1 Pasien: membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara mengontrol
halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan menghardik.
SP 2 Pasien: Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap dengan
orang lain
SP 3 Pasien: Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan Melakukan aktivitas yang
terjadwal
SP 4 Pasien: melatih pasien minumobat secara teratur
b. Tindakan keperawatan pada keluarga
1. Tujuan keperawatan
a) Keluarga dapat terlibat dalam perawatan pasien, baik dirumah maupun di RS
b) Keluarga dapat menjadi sistem pendukung yang efektif untuk pasien
2. Tindakan keperawatan
a) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien
b) Berikan pendidikan kesehatan tentang pengertian, jenis halusinasi yang
dialami, tanda gejala, proses terjadinya dan cara merawat pasien halusinasi.
c) Berikan kesempatan kepada keluarga untuk memeragakan cara merawat
pasien
d) Buat perencanaan pulang dengan keluarga
SP 1 Keluarga: memberikan pendidikan kesehatan tentang pengertian, jenis
halusinasi yang dialami, tanda gejala, proses terjadinya dan cara merawat pasien
halusinasi.
SP 2 Keluarga: melatih keluarga praktik merawat pasien langsung duhadapan pasien.
SP 3 Keluarga: membuat perencanaan pulang bersama keluarga
Tg No Dx RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN Perencanaan
l Dx Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
KLIEN DENGAN PERUBAHAN SENSORI PERSEPSI : HALUSINASI
Gangguan TUM :
Nama Klien :Persepsi Sensori Klien tidak 1. EkspresiNo. CM :1. Bina hubungan saling percaya dengan
wajah
:: halusinasi mencederai bersahabat
DX. Medis Ruangan : mengungkapkan prinsip komunikasi
orang lain menunjukan rasa terapentik.
Tuk 1 : senang ada kontak a. Sapa klien dengan ramah baik verbal
Klien dapat mata. Mau berjabat maupun non verbal
membina tangan, mau b. Perkenalkan diri dengan sopan
hubungan menyebutkan nama, c. Tanyakan nama lengkap klien dan
saling mau menjawab nama panggilan yang disukai klien
percaya salam, klien mau d. Jelaskan tujuan pertemuan
duduk e. Jujur dan menepati janji
berdampingan f. Tunjukan sikp simpati dan menerima
dengan perawat, apa adanya
mau g. Beri perhatian pada kebutuhan dasar
mengungkapkan klien
masalah yang
dihadapi.
6. Diagnosis Keperawatan
1. Risiko kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan waham.
2. Perubahan proses pikir: waham berhubungan dengan harga diri rendah.
7. RENCANA INTERVENSI
Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1. Tujuan
a. Pasien dapat berorientasi kepada realitas secara bertahap.
b. Pasien dapat memenuhi kebutuhan dasar.
c. Pasien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan.
d. Pasien menggunakan obat dengan prinsip lima benar.
2. Tindakan
A. Bina hubungan saling percaya.
a. Mengucapkan salam terapeutik.
b. Berjabat tangan.
c. Menjelaskan tujuan interaksi.
d. Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu pasien.
B. Bantu orientasi realitas.
a. Tidak mendukung atau membantah waham pasien.
b. Yakinkan pasien berada dalam keadaan aman.
c. Observasi pengaruh waham terhadap aktivitas sehari-hari.
d. Jika pasien terus-menerus membicarakan wahamnya, dengarkan
tanpa memberikan dukungan atau menyangkal sampai pasien
berhenti membicarakannya.
e. Berikan pujian bila penampilan dan orientasi pasien sesuai
dengan realitas.
3. FAKTOR RESIKO
3.1 Faktor Perilaku
1. Ketidakpatuhan
Ketidakpatuhan biasanya dikaitkan dengan program pengobatan yang
dilakukan (pemberian obat). Pasien dengan keinginan bunuh diri memilih
untuk tidak memperhatikan dirinya.
2. Pencederaan diri
Cedera diri adalah sebagai suatu tindakan membahayakan diri sendiri yang
dilakukan dengan sengaja. Pencederaan diri dilakukan terhadap diri
sendiri, tanpa bantuan orang lain, dan cedera tersebut cukup parah untuk
melukai tubuh.
3. Perilaku bunuh diri
Biasanya dibagi menjadi tiga kategori, yaitu sebagai berikut:
a. Ancaman bunuh diri, yaitu peringatan verbal dan nonverbal bahwa
orang tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang tersebut
mungkin menunjukkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di
sekitar kita lebih lama lagi atau mungkin juga mengomunikasikan
secara nonverbal melalui pemberian hadiah, merevisi wasiatnya, dan
sebagainya.
b. Upaya bunuh diri, yaitu semua tindakan yang diarahkan pada diri
sendiri yang dilakukan oleh individu yang dapat mengarahkan pada
kematian jika tidak dicegah.
c. Bunuh diri mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau
terabaikan. Orang yang melakukan upaya bunuh diri dan yang tidak
benar-benar ingin mati mungkin akan mati jika tanda-tanda tersebut
tidak diketahui tepat pada waktunya.
3.2 Faktor Lain
Faktor lain yang perlu diperhatikan dalam pengkajian pasien destruktif diri
(bunuh diri) adalah sebagai berikut (Stuart dan Sundeen, 1995).
1. Pengkajian lingkungan upaya bunuh diri.
a. Presipitasi peristiwa kehidupan yang menghina/menyakitkan.
b.Tindakan persiapan/metode yang dibutuhkan, mengatur rencana,
membicarakan tentang bunuh diri, memberikan barang berharga sebagai
hadiah, catatan untuk bunuh diri.
c. Penggunaan cara kekerasan atau obat/racun yang lebih mematikan.
d. Pemahaman letalitas dari metode yang dipilih.
e. Kewaspadaan yang dilakukan agar tidak diketahui.
2. Petunjuk gejala
a. Keputusasaan.
b. Celaan terhadap diri sendiri, perasaan gagal, dan tidak berharga.
c. Alam perasaan depresi.
d. Agitasi dan gelisah.
e. Insomnia yang menetap.
f. Penurunan berat badan.
g. Berbicara lamban, keletihan, menarik diri dari lingkungan sosial.
3. Penyakit psikiatrik
a. Upaya bunuh diri sebelumnya.
b. Kelainan afektif.
c. Alkoholisme dan atau penyalahgunaan obat.
d. Kelainan tindakan dan depresi pada remaja.
e. Demensia dini dan status kekacauan mental pada lansia.
f. Kombinasi dari kondisi di atas.
4. Riwayat psikososial
a. Baru berpisah, bercerai, atau kehilangan.
b. Hidup sendiri.
c. Tidak bekerja, perubahan, atau kehilangan pekerjaan yang baru dialami.
d. Stres kehidupan ganda (pindah, kehilangan, putus hubungan yang
berarti, masalah sekolah, ancaman terhadap krisis disiplin).
e. Penyakit medis kronis.
f. Minum yang berlebihan dan penyalahgunaan zat.
5. Faktor-faktor kepribadian
a. Impulsif, agresif, rasa bermusuhan.
b. Kekakuan kognitif dan negatif.
c. Keputusasaan.
d. Harga diri rendah.
e. Batasan atau gangguan kepribadian antisosial.
6. Riwayat keluarga
a. Riwayat keluarga berperilaku bunuh diri.
b. Riwayat keluarga gangguan afektif, alkoholisme, atau keduanya.
3.3 Faktor Predisposisi
Mengapa individu terdorong untuk melakukan bunuh diri? Banyak pendapat
tentang penyebab dan atau alasan termasuk hal-hal berikut:
1. Kegagalan atau adaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stres.
2. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal
atau gagal melakukan hubungan yang berarti.
3. Perasaan marah atau bermusuhan. Bunuh diri dapat merupakan hukuman
pada diri sendiri.
4. Cara untuk mengakhiri keputusasaan.
5. Tangisan minta tolong.
Lima domain faktor risiko menunjang pada pemahaman perilaku destruktif
diri sepanjang siklus kehidupan, yaitu sebagai berikut:
1. Diagnosis psikiatri
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh
diri mempunyai hubungan dengan penyakit jiwa. Tiga gangguan jiwa yang
dapat membuat individu berisiko untuk bunuh diri yaitu gangguan afektif,
skizofrenia, dan penyalahgunaan zat.
2. Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya risiko bunuh
diri adalah rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.
3. Lingkungan psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian, kehilangan yang
dini, dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang
berhubungan dengan bunuh diri.
4. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor
risiko penting untuk perilaku destruktif.
5. Faktor biokimia
Data menunjukkan bahwa secara serotonegik, opiatergik, dan
dopaminergik menjadi media proses yang dapat menimbulkan perilaku
merusak diri.
3.4 Faktor Presipitasi
1. Psikososial dan klinik
a. Keputusasaan
b. Ras kulit putih
c. Jenis kelamin laki-laki
d. Usia lebih tua
e. Hidup sendiri
2. Riwayat
a. Pernah mencoba bunuh diri.
b. Riwayat keluarga tentang percobaan bunuh diri.
c. Riwayat keluarga tentang penyalahgunaan zat.
3. Diagnostis
a. Penyakit medis umum
b. Psikosis
c. Penyalahgunaan zat
4. SUMBER KOPING
Tingkah laku bunuh diri biasanya berhubungan dengan faktor sosial dan
kultural. Durkheim membuat urutan tentang tingkah laku bunuh diri. Ada tiga
subkategori bunuh diri berdasarkan motivasi seseorang, yaitu sebagai berikut:
1. Bunuh diri egoistik
Akibat seseorang yang mempunyai hubungan sosial yang buruk.
2. Bunuh diri altruistic
Akibat kepatuhan pada adat dan kebiasaan.
3. Bunuh diri anomik
Akibat lingkungan tidak dapat memberikan kenyamanan bagi individu.
5. MEKANISME KOPING
Mekanisme pertahanan ego yang berhubungan dengan perilaku
pengerusakan diri tak langsung adalah pengingkaran (denial). Sementara,
mekanisme koping yang paling menonjoladalah rasionalisasi,
intelektualisasi, dan regresi.
6. POHON MASALAH
Risiko bunuh diri
7. DIAGNOSIS
1. Risiko bunuh diri berhubungan dengan harga diri rendah.
8. RENCANA INTERVENSI
Ancaman/percobaan bunuh diri dengan diagnosis keperawatan risiko bunuh diri.
8.1 Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1. Tujuan
Pasien tetap aman dan selamat.
2. Tindakan
Untuk melindungi pasien yang mengancam atau mencoba bunuh diri,
maka Anda dapat melakukan tindakan berikut :
a. Menemani pasien terus-menerus sampai dia dapat dipindahkan ke
tempat yang aman.
b. Menjauhkan semua benda yang berbahaya, misalnya pisau, silet, gelas,
tali pinggang.
c. Memeriksa apakah pasien benar-benar telah meminum obatnya, jika
pasienmendapatkan obat.
d. Menjelaskan dengan lembut pada pasien bahwa Anda akan melindungi
pasien sampai tidak ada keinginan bunuh diri.
8.2 Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
1. Tujuan
Keluarga berperan serta melindungi anggota keluarga yang mengancam
atau mencoba bunuh diri.
2. Tindakan
a. Menganjurkan keluarga untuk ikut mengawasi pasien serta jangan
pernahmeninggalkan pasien sendirian.
b. Menganjurkan keluarga untuk membantu perawat menjauhi barang-
barang berbahaya di sekitar pasien.
c. Mendiskusikan dengan keluarga ja untuk tidak sering melamun sendiri.
d. Menjelaskan kepada keluarga pentingnya pasien minum obat secara
teratur.
8.3 Tindakan Keperawatan untuk Pasien isyarat Bunuh Diri
1. Tujuan
a. Pasien mendapat perlindungan dari lingkungannya.
b. Pasien dapat mengungkapkan perasaanya.
c. Pasien dapat meningkatkan harga dirinya.
d. Pasien dapat menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik.
2. Tindakan
a. Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu
dengan meminta bantuan dari keluarga atau teman.
b. Meningkatkan harga diri pasien dengan cara berikut.
1) Memberi kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya.
2) Berikan pujian bila pasien dapat mengatakan perasaan yang positif.
3) Meyakinkan pasien bahwa dirinya penting.
4) Membicarakan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh
pasien.
5) Merencanakan aktivitas yang dapat pasien lakukan.
c. Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dengan cara berikut:
1) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalahnya.
2) Mendiskusikan dengan pasien efektivitas masing-masing cara
penyelesaian masalah.
3) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah yang
lebih baik.
8.4 Tindakan Keperawatan untuk Keluarga dengan Pasien isyarat Bunuh Diri
1. Tujuan
Keluarga mampu merawat pasien dengan risiko bunuh diri.
2. Tindakan
a. Mengajarkan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh diri.
1) Menanyakan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh diri yang
pernah muncul pada pasien.
2) Mendiskusikan tentang tanda dan gejala yang umumnya muncul
pada pasien berisiko bunuh diri.
b. Mengajarkan keluarga cara melindungi pasien dari perilaku bunuh diri.
1) Mendiskusikan tentang cara yang dapat dilakukan keluarga bila
pasien memperlihatkan tanda dan gejala bunuh diri.
2) Menjelaskan tentang cara-cara melindungi pasien, antara lain sebagai
berikut :
a) Memberikan tempat yang aman. Menempatkan pasien di tempat
yang mudah diawasi. Jangan biarkan pasien mengunci diri di
kamarnya atau meninggalkan pasien sendirian di rumah.
b) Menjauhkan barang-barang yang bisa digunakan untuk bunuh diri.
Jauhkan pasien dari barang-barang yang bisa digunakan untuk
bunuh diri, seperti tali, bahan bakar minyak/bensin, api, pisau
atau benda tajam lainnya, serta zat yang berbahaya seperti obat
nyamuk atau racun serangga.
c) Selalu mengadakan dan meningkatkan pengawasan apabila tanda
dan gejala bunuh diri meningkat. Jangan pernah melonggarkan
pengawasan, walaupun pasien tidak menunjukkan tanda dan
gejala untuk bunuh diri.
3) Menganjurkan keluarga untuk melaksanakan cara tersebut di atas.
Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Risiko Perilaku Kekerasan
Mengajarkan keluarga tentang hal-hal yang dapat dilakukan apabila
pasien melakukan percobaan bunuh diri, antara lain sebagai berikut.
1) Mencari bantuan pada tetangga sekitar atau pemuka masyarakat
untuk menghentikan upaya bunuh diri tersebut.
2) Segera membawa pasien ke rumah sakit atau puskesmas
mendapatkan bantuan medis.
d. Membantu keluarga mencari rujukan fasilitas kesehatan yang tersedia bagi
pasien.
1) Memberikan informasi tentang nomor telepon darurat tenaga kesehatan.
2) Menganjurkan keluarga untuk mengantarkan pasien berobat/kontrol
secara teratur untuk mengatasi masalah bunuh dirinya.
3) Menganjurkan keluarga untuk membantu pasien minum obat sesuai
prinsip lima benar yaitu benar orangnya, benar obatnya, benar dosisnya,
benar cara penggunakannya, dan benar waktu penggunaannya.
9. EVALUASI
1. Untuk pasien yang memberikan ancaman atau melakukan percobaan bunuh
diri, keberhasilan asuhan keperawatan ditandai dengan keadaan pasien yang
tetap aman dan selamat.
2. Untuk keluarga pasien yang memberikan ancaman atau melakukan percobaan
bunuh diri, keberhasilan asuhan keperawatan ditandai dengan kemampuan
keluarga berperan serta dalam melindungi anggota keluarga yang mengancam
atau mencoba bunuh diri.
3. Untuk pasien yang memberikan isyarat bunuh diri, keberhasilan asuhan
keperawatan ditandai dengan hal berikut :
a. Pasien mampu mengungkapkan perasaanya.
b. Pasien mampu meningkatkan harga dirinya.
c. Pasien mampu menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik.
4. Untuk keluarga pasien yang memberikan isyarat bunuh diri, keberhasilan
asuhan keperawatan ditandai dengan kemampuan keluarga dalam merawat
pasien dengan risiko bunuh diri, sehingga keluarga mampu melakukan hal
berikut.
a. Keluarga mampu menyebutkan kembali tanda dan gejala bunuh diri.
b. Keluarga mampu memperagakan kembali cara-cara melindungi anggota
keluarga yang berisiko bunuh diri.
c. Keluarga mampu menggunakan fasilitas kesehatan yang tersedia dalam
merawat anggota keluarga yeng berisiko bunuh diri.
6. LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI
A. Pengertian
Defisit perawatan diri adalah suatu keadaan seseorang mengalai
kelainan dalam kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
kehidupan sehari hari secara mandiri. Tidak ada keinginan untuk mandi
secara teratur, tidak menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau napas,
dan penampilan tidak rapi.
Defisit perawatan diri adalah ketidakmampuan dalam : kebersihan
diri, makan, berpakaian, berhias diri, makan sendiri, buang air besar atau
kecil sendiri (toileting) (Keliat B. A, dkk, 2011).
Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah timbul pada
pasien gangguan jiwa. Pasien gangguan iwa kronis sering mengalami
ketidakpedulian merawat diri. Keadaan ini merupakan gejala perilaku
negatif dan menyebabkan pasien dikucilkan baik dalam keluarga maupun
masyarakat (Yusuf, Rizky & Hanik,2015:154)
Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang
mengalami kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas
perawatan diri secara mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian atau berhias,
makan, dan BAB atau BAK (toileting) (Fitria, 2009).
Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi
akibat adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan
aktivitas perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri tampak dari
ketidakmampuan merawat kebersihan diri diantaranya mandi, makan dan minum
secara mandiri, berhias secara mandiri, dan toileting.
B. Proses Terjadinya Masalah
a. Faktor Predisposisi.
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kurang perawatan diri adalah,
Perkembangan. Dalam perkembangan, keluarga yang terlalu melindungi dan
memanjakan klien dapat menimbulkan perkembangan inisiatif dan
keterampilan. Lalu faktor predisposisi selanjutnya adalah Faktor Biologis,
beberapa penyakit kronis dapat menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri secara mandiri. Faktor selanjutnya adalah kemampuan realitas
yang menurun. Klien dengan gangguan jiwa mempunyai kemampuan realitas
yang kurang, sehingga menyebabkan ketidak pedulian dirinya terhadap
lingkungan termasuk perawatan diri. Selanjutnya adalah faktor Sosial,
kurang dukungan serta latihan kemampuan dari lingkungannya, menyebabkan
klien merasa malu.
b. Faktor Presipitasi.
Yang merupakan factor presipitasi defisit perawatan diri adalah
kurangnya atau penurunan motivasi, kerusakan kognisi, atau perseptual,
cemas, lelah / lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu
kurang mampu melakukan perawatan diri. Sedangkan menurut Depkes tahun
2000 faktor yang mempengaruhi personal hygiene adalah body Image,
praktik social, status sosial ekonomi, pengetahuan, budaya, kebiasaan dan
kondisi fisik.
Berikut penjabarannya. gambaran individu terhadap dirinya sangat
mempengaruhi kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik
sehingga individu tidak perduli dengan dirinya. Pada anak anak selalu
dimanja dalam kebersihan diri maka,kemungkinan akan terjadi perubahan
pola personal hygiene.
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan, seperti sabun, sikat gigi,
shampoo dan alat mandi lainnya yang membutuhkan uang untuk
menyediakannya.
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang
baik dapat meningkatkan kesehatan, misalnya pada pasien penderita DM
yang harus menjaga kebersihan kakinya. Pada factor Budaya, terdapat budaya
di sebagian masyarakat tertentu jika individu sakit tidak boleh dimandikan.
Ada pula kebiasaan seseorang yang enggan menggunakan produk tertentu
dalam perawatan diri, missal sabun, shampoo, dll.
Sedangkan, untuk factor kondisi fisik, pada keadaan tertentu / sakit
kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk
melakukan nya.
C. Jenis-Jenis Defisit Perawatan Diri
Menurut Nanda (2012),jenis perawatan diri terdiri dari :
1. Defisit perawatan diri : mandi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
mandi/beraktivitas perawatan diri untuk diri sendiri.
2. Defisit perawatan diri : berpakaian
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
berpakaian dan berhias untuk diri sendiri
3. Defisit perawatan diri : makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas makan
secara mandiri
4. Defisit perawatan diri : eliminasi / toileting
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
eliminasi sendiri.
D. Tanda dan Gejala
Adapun tanda dan gejala defisit perawatan diri menurut Fitria (2009) adalah
sebagai berikut :
1) Mandi/Hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan,memperoleh
atau mendapatkan sumber air,mengatur suhu atau aliran air
mandi,mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk
dan keluar kamar mandi
2) Berpakaian/berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potongan
pakaian ,menanggalkan pakaian,serta memperoleh atau menukar
pakaian.Klien juga memiliki ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian
dalam,memilih pakaian,mengambil pakaian dan mengenakan sepatu
3) Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,mempersiapkan
makanan,melengkapi makanan,mencerna makanan menurut cara yang
diterima masyarakat,serta mencerna cukup makanan dengan aman
4) Eliminasi
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan
jamban atau kamar kecil,duduk atau bangkit dari jamban,memanipulasi
pakaian untuk toileting,membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan
tepat,dan menyiram toilet atau kamar kecil.
E. Rentang Respon
Adaptif Maladaptif
1. Citra Tubuh
Citra tubuh adalah kumpulan sikap individu baik yang disadari
maupun tidak terhadap tubuhnya, termasuk persepsi masa lalu atau sekarang
mengenai ukuran, fungsi, keterbatasan, makna, dan objek yang kontak
secara terus-menerus (anting, make up, pakaian, kursi roda, dan sebagainya)
baik masa lalu maupun sekarang. Citra tubuh merupakan hal pokok dalam
konsep diri. Citra tubuh harus realistis karena semakin seseorang dapat
menerima dan menyukai tubuhnya ia akan lebih bebas dan merasa aman
dari kecemasan sehingga harga dirinya akan meningkat. Sikap individu
terhadap tubuhnya mencerminkan aspek penting dalam dirinya misalnya
perasaan menarik atau tidak, gemuk atau tidak, dan sebagainya.
2. Ideal Diri
`Persepsi individu tentang seharusnya berperilaku berdasarkan
standar, aspirasi, tujuan, atau nilai yang diyakininya. Penetapan ideal diri
dipengaruhi oleh kebudayaan, keluarga, ambisi, keinginan, dan kemampuan
individu dalam menyesuaikan diri dengan norma serta prestasi masyarakat
setempat. Individu cenderung menyusun tujuan yang sesuai dengan
kemampuannya, kultur, realita, menghindari kegagalan dan rasa cemas,
serta inferiority. Ideal diri harus cukup tinggi supaya mendukung respek
terhadap diri tetapi tidak terlalu tinggi, terlalu menuntut, serta samar-samar
atau kabur. Ideal diri akan melahirkan harapan individu terhadap dirinya
saat berada di tengah masyarakat dengan norma tertentu. Ideal diri berperan
sebagai pengatur internal dan membantu individu mempertahankan
kemampuannya menghadapi konflik atau kondisi yang membuat bingung.
Ideal diri penting untuk mempertahankan kesehatan dan keseimbangan
mental.
3. Harga Diri
Penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dan menganalisis
seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri. Harga diri diperoleh dari diri
sendiri dan orang lain. Individu akan merasa harga dirinya tinggi bila sering
mengalami keberhasilan. Sebaliknya, individu akan merasa harga dirinya
rendah bila sering mengalami kegagalan, tidak dicintai, atau tidak diterima
lingkungan. Harga diri dibentuk sejak kecil dari adanya penerimaan dan
perhatian. Harga diri akan meningkat sesuai meningkatnya usia dan sangat
terancam pada masa pubertas. Coopersmith dalam buku Stuart dan Sundeen
(2002) menyatakan bahwa ada empat hal yang dapat meningkatkan harga
diri anak, yaitu:
memberi kesempatan untuk berhasil,
menanamkan idealisme,
mendukung aspirasi/ide,
membantu membentuk koping.
4. Peran
Serangkaian pola sikap, perilaku, nilai, dan tujuan yang diharapkan
oleh masyarakat sesuai posisinya di masyarakat/kelompok sosialnya. Peran
memberikan sarana untuk berperan serta dalam kehidupan sosial dan
merupakan cara untuk menguji identitas dengan memvalidasi pada orang
yang berarti. Hal-hal yang memengaruhi penyesuaian individu terhadap
peran antara lain sebagai berikut :
Kejelasan perilaku yang sesuai dengan peran dan pengetahuannya
tentang peran yang diharapkan.
Respons/tanggapan yang konsisten dari orang yang berarti terhadap
perannya.
Kesesuaian norma budaya dan harapannya dengan perannya.
Perbedaan situasi yang dapat menimbulkan penampilan peran yang tidak
sesuai.
5. Identitas Diri
Identitas adalah kesadaran tentang “diri sendiri” yang dapat diperoleh
individu dari observasi dan penilaian terhadap dirinya, serta menyadari
individu bahwa dirinya berbeda dengan orang lain. Pengertian identitas
adalah organisasi, sintesis dari semua gambaran utuh dirinya, serta tidak
dipengaruhi oleh pencapaian tujuan, atribut/jabatan, dan peran. Dalam
identitas diri ada otonomi yaitu mengerti dan percaya diri, hormat terhadap
diri, mampu menguasai diri, mengatur diri, dan menerima diri.
Ciri individu dengan identitas diri yang positif adalah sebagai berikut.
Mengenal diri sebagai individu yang utuh terpisah dari orang lain.
Mengakui jenis kelamin sendiri.
Memandang berbagai aspek diri sebagai suatu keselarasan.
Menilai diri sesuai penilaian masyarakat.
Menyadari hubungan masa lalu, sekarang dan yang akan datang.
Mempunyai tujuan dan nilai yang disadari.
Ciri individu yang berkepribadian sehat antara lain sebagai berikut.
Citra tubuh positif dan sesuai.
Ideal diri realistis.
Harga diri tinggi.
Penampilan peran memuaskan.
Identitas jelas.
D. PENGKAJIAN
1) Faktor Predisposisi
Citra tubuh
Kehilangan/kerusakan bagian tubuh (anatomi dan fungsi).
Perubahan ukuran, bentuk, dan penampilan tubuh (akibat tumbuh kembang
atau penyakit). Proses penyakit dan dampaknya terhadap struktur dan fungsi
tubuh. Proses pengobatan, seperti radiasi dan kemoterapi.
Harga diri
Penolakan.
Kurang penghargaan.
Pola asuh overprotektif, otoriter, tidak konsisten, terlalu dituruti, terlalu
dituntut.
Persaingan antara keluarga.
Kesalahan dan kegagalan berulang.
Tidak mampu mencapai standar.
Ideal diri
Cita-cita yang terlalu tinggi.
Harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Ideal diri samar atau tidak jelas.
Peran
Stereotipe peran seks.
Tuntutan peran kerja.
Harapan peran kultural.
Identitas diri
Ketidakpercayaan orang tua.
Tekanan dari teman sebaya.
Perubahan struktur sosial.
2) Faktor Presipitasi
Trauma.
Ketegangan peran.
Transisi peran perkembangan.
Transisi peran situasi.
Transisi peran sehat-sakit.
3) Perilaku
Citra tubuh
Menolak menyentuh atau melihat bagian tubuh tertentu.
Menolak bercermin.
Tidak mau mendiskusikan keterbatasan atau cacat tubuh.
Menolak usaha rehabilitasi.
Usaha pengobatan mandiri yang tidak tepat.
Menyangkal cacat tubuh.
Harga diri rendah
Mengkritik diri sendiri/orang lain.
Produktivitas menurun.
Gangguan berhubungan.
Merasa diri paling penting.
Destruktif pada orang lain.
Merasa tidak mampu.
Merasa bersalah dan khawatir.
Mudah tersinggung/marah.
Perasaan negatif terhadap tubuh.
Ketegangan peran.
Pesimis menghadapi hidup.
Keluhan fisik.
Penolakan kemampuan diri.
Pandangan hidup bertentangan.
Destruktif terhadap diri.
Menarik diri secara sosial.
Penyalahgunaan zat.
Menarik diri dari realitas.
Kerancuan identitas
Tidak ada kode moral.
Kepribadian yang bertentangan.
Hubungan interpersonal yang eksploitatif.
Perasaan hampa.
Perasaan mengambang tentang diri.
Kerancuan gender.
Tingkat ansietas tinggi.
Tidak mampu empati terhadap orang lain.
Masalah estimasi.
Depersonalisasi
4) Mekanisme Koping
Pertahanan jangka pendek
Aktivitas yang dapat memberikan pelarian sementara dari krisis, seperti
kerja keras, nonton, dan lain-lain.
Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti sementara, seperti
ikut kegiatan sosial, politik, agama, dan lain-lain.
Aktivitas yang sementara dapat menguatkan perasaan diri, seperti
kompetisi pencapaian akademik.
Aktivitas yang mewakili upaya jarak pendek untuk membuat masalah
identitas menjadi kurang berarti dalam kehidupan, seperti
penyalahgunaan obat.
Pertahanan jangka panjang
Penutupan identitas
Adopsi identitas prematur yang diinginkan oleh orang yang penting
bagi individu tanpa memperhatikan keinginan, aspirasi, dan potensi diri
individu.
Identitas negatif
Asumsi identitas yang tidak wajar untuk dapat diterima oleh nilai-
nilai harapan masyarakat.
Mekanisme pertahanan ego
Fantasi
Disosiasi
Isolasi
Proyeksi
Displacement
Marah/amuk pada diri sendiri
E. DIAGNOSIS
Pohon Masalah
Daftar Diagnosis
Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
Risiko perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.
Gangguan konsep diri: citra tubuh berhubungan dengan koping keluarga
inefektif.
Gangguan konsep diri: identitas personal berhubungan dengan perubahan
penampilan peran.
F. RENCANA INTERVENSI
Rencana intervensi keperawatan disesuaikan dengan diagnosis yang
ditemukan. Pada rencana intervensi berikut memberikan gambaran pada
gangguan konsep diri, yaitu harga diri rendah.
1. Tindakan Keperawatan pada Pasien
Tujuan
Pasien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki.
Pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.
Pasien dapat menetapkan/memilih kegiatan yang sesuai kemampuan.
Pasien dapat melatih kegiatan yang sudah dipilih, sesuai kemampuan.
Pasien dapat merencanakan kegiatan yang sudah dilatihnya.
Tindakan keperawatan
o Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki
pasien.
Mendiskusikan bahwa pasien masih memiliki sejumlah kemampuan
dan aspek positif seperti kegiatan pasien di rumah, serta adanya
keluarga dan lingkungan terdekat pasien.
Beri pujian yang realistik/nyata dan hindarkan setiap kali bertemu
dengan pasien penilaian yang negatif.
o Membantu pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.
Mendiskusikan dengan pasien kemampuan yang masih dapat
digunakan saat ini setelah mengalami bencana.
Bantu pasien menyebutkannya dan memberi penguatan terhadap
kemampuan diri yang diungkapkan pasien.
Perlihatkan respons yang kondusif dan menjadi pendengar yang aktif.
o Membantu pasien dapat memilih/menetapkan kegiatan sesuai dengan
kemampuan.
Mendiskusikan dengan pasien beberapa aktivitas yang dapat
dilakukan dan dipilih sebagai kegiatan yang akan pasien lakukan
sehari-hari.
Bantu pasien menetapkan aktivitas yang dapat pasien lakukan secara
mandiri, aktivitas yang memerlukan bantuan minimal dari keluarga,
dan aktivitas yang perlu bantuan penuh dari keluarga atau lingkungan
terdekat pasien. Berikan contoh cara pelaksanaan aktivitas yang dapat
dilakukan pasien. Susun bersama pasien dan buat daftar aktivitas atau
kegiatan sehari-hari pasien.
o Melatih kegiatan pasien yang sudah dipilih sesuai kemampuan.
Mendiskusikan dengan pasien untuk menetapkan urutan kegiatan
(yang sudah dipilih pasien) yang akan dilatihkan.
Bersama pasien dan keluarga memperagakan beberapa kegiatan yang
akan dilakukan pasien.
Berikan dukungan dan pujian yang nyata setiap kemajuan yang
diperlihatkan pasien.
o Membantu pasien dapat merencanakan kegiatan sesuai kemampuannya.
Memberi kesempatan pada pasien untuk mencoba kegiatan yang telah
dilatihkan.
Beri pujian atas aktivitas/kegiatan yang dapat dilakukan pasien setiap
hari.
Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan perubahan
setiap aktivitas.
Susun daftar aktivitas yang sudah dilatihkan bersama pasien dan
keluarga.
Berikan kesempatan mengungkapkan perasaanya setelah pelaksanaan
kegiatan.
Yakinkan bahwa keluarga mendukung setiap aktivitas yang dilakukan
pasien.
2. Tindakan Keperawatan pada Keluarga
Tujuan
Keluarga dapat membantu pasien mengidentifikasi kemampuan yang
dimiliki.
Keluarga memfasilitasi aktivitas pasien yang sesuai kemampuan.
Keluarga memotivasi pasien untuk melakukan kegiatan sesuai dengan
latihan yang dilakukan.
Keluarga mampu menilai perkembangan perubahan kemampuan pasien.
Tindakan keperawatan
Diskusi dengan keluarga kemampuan yang dimiliki pasien.
Anjurkan memotivasi pasien agar menunjukkan kemampuan yang
dimiliki.
Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien dalam melakukan kegiatan
yang sudah dilatihkan pasien dengan perawat.
Ajarkan keluarga cara mengamati perkembangan perubahan perilaku
pasien.
G. EVALUASI
Kemampuan yang diharapkan dari pasien.
Pasien dapat mengungkapkan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
pasien.
Pasien dapat membuat rencana kegiatan harian.
Pasien dapat melakukan kegiatan sesuai kemampuan yang dimiliki.
Kemampuan yang diharapkan dari keluarga.
Keluarga membantu pasien dalam melakukan aktivitas.
Keluarga memberikan pujian pada pasien terhadap kemampuannya
melakukan aktivitas.
DAFTAR PUSTAKA