Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PELAYANAN KEPERAWATAN JIWA DALAM SITUASI BENCANA

Makalah ini diajukan untuk memenuhi sebagian dari tugas mata kuliah
Keperawatan Jiwa 1 pada Semester Ganjil
Tahun Akademik 2018/2019

Oleh:
Kelompok 3
Yori Dilariyadi 1420116002
Nopia Dewi 1420116010
Lulu Asri Septiani 1420116011
Amelia Joshefinna S 1420116016
Kristina Natalia 1420116021
Martha Liendy Rangkoly 1420116024
Angelita Herlinawati 1420116033
Natalia Magdalena 1420116039
Yosina Weya 1420116045
Tania Lorenza 1420116050
Yohana Susanti Amasio 1420116056

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN IMMANUEL
BANDUNG
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses bencana alam seringkali tidak terduga. Bencana alam memakan jiwa
yang jumlahnya tidak sedikit, sehingga banyak yang tidak siap dan tanggap
dalam memperkirakan bencana alam yang datang tiba-tiba. Profesi
keperawatan bersifat luwes dan mencakup segala kondisi, dimana perawat
tidak hanya terbatas pada pemberian asuhan dirumah sakit saja melainkan juga
dituntut mampu bekerja dalam kondisi siaga tanggap bencana. Situasi
penanganan antara keadaan siaga dan keadaan normal memang sangat berbeda,
sehingga perawat harus mampu secara skill dan teknik dalam menghadapi
kondisi seperti ini.
Kegiatan pertolongan medis dan perawatan dalam keadaan siaga bencana dapat
dilakukan oleh proesi keperawatan. Berbekal pengetahuan dan kemampuan
yang dimiliki seorang perawat bisa melakukan pertolongan siaga bencana
dalam berbagai bentuk.
Aspek Psikologis erat kaitannya dengan proses kehilangan, tidak hanya fisik:
kehilangan barang milik, kehilangan orang yang dikasihi tetapi juga sosial:
kehilangan aktivitas, kehilangan ikatan kekeluargaaan dan lain-sebagainya.
Mengingat dampak psikologis bencana sangat besar dalam arti jumlah mereka
yang mengalami dampak besar namun jumlah profesional kesehatan mental
terbatas (jumlah psikolog klinis dan psikiater sedikit). Belum lagi proses
penanganan aspek psikologis bencana tidak singkat melainkan merupakan
proses yang relatif panjang. Sehingga perlu dirancang sebuah strategi
penanganan bencana untuk mengatasi masalah psikologis yang berkelanjutan
dengan menggunakan suatu system teknologi modern.
Dalam penulisan makalah ini akan dijelaskan pentingnya peran perawat dalam
situasi tanggap bencana, bentuk dan peran yang bisa dilakukan perawat dalam
keadaan tanggap bencana. Terutama permasalahan dalam mengatasi masalah
psikis dari penderita bencana alam yang dapat mengganggu dan berpengaruh
terhadap masalah kesehatan dari klien.

2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dari pelayanan keperawatan jiwa pada situasi bencana
alam ?
2. Apa pentingnya peran mahasiswa keperawatan dalam situasi tanggap
bencana ?
3. Bagaimana bentuk kegiatan yang bisa dilakukan ?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep dari pelayanan keperawatan jiwa pada situasi
bencana alam
2. Untuk mengetahui peran penting mahasiswa dalam proses keperawatan
jiwa dalam situasi tanggap bencana
3. Untuk mengetahui bentuk peran dan kegiatan yang bisa dilakukan oleh
mahasiswa dalam proses keperawatan jiwa dalam situasi tanggap
bencana.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi Bencana

Definisi Bencana menurut WHO (2002) adalah setiap kejadian yang


menyebabkan kerusakan gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia,
atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan dalam skala
tertentu dan memerlukan respon dari luar masyarakat dan wilayah yang
terkena bencana. Dalam setiap bencana yang terjadi, selalu ada implikasi
kesehatan jiwa – baik dalam kasus bencana alam, misalnya gempa bumi,
tsunami, angin ribut, atau pada bencana yang diakibatkan oleh manusia,
misalnya perang atau kekerasan interpersonal. Kebutuhan langsung dari
populasi yang terkena bencana alam seringkali merupakan kebutuhan fisik
(sandang pangan). Namun perlu diingat bahwa semua orang yang
mengalami dan hidup dalam situasi yang tidak menentu akan menderita
trauma.
Bencana alam dapat menyebabkan dampak serius dan berkepanjangan
terhadap kesehatan fisik maupun psikologis pada korban bencana yang
selamat. Stres pasca tauma (post traumatic stress disorder (PTSD))
merupakan kelainan psikologis yang umum diteliti setelah terjadinya
bencana. PTSD dicirikan dengan adanya gangguan ingatan secara permanen
terkait kejadian traumatik, perilaku menghindar dari rangsangan terkait
trauma, dan mengalami gangguan meningkat secara terus - menerus

B. Jenis-jenis bencana:
Menurut Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2007 jenis bencana terbagi
menjadi 3 bagian ;
1. Bencana alam
Bencana alam (natural disaster), yaitu kejadian-kejadian alami seperti
banjir, genangan, gempa bumi, gunung meletus dan lain sebagainya.
2. Bencana non alam

4
Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa non alam yang anatara lain berupa gagal teknelogi,
gagal moderenisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
3. Bencana sosial
Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan
teror.

C. Fase-fase bencana
Menurut Barbara Santamaria (1995), ada tiga fase dapat terjadinya suatu
bencana yaitu fase pre impact, impact, dan post impact
1. Fase pre impact merupakan warning fase, tahap awal dari bencana.
Informasi didapat dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya
pada fase inilah segala persiapan dilakukan dengan baik oleh pemerintah,
lembaga dan masyarakat.
2. Fase impact Merupakan fase terjadinya klimaks bencana. inilah saat-saat
dimana manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup. Fase
impact ini terus berlanjut hingga tejadi kerusakan dan bantuan-bantuan
yang darurat dilakukan.
3. Fase post impact merupakan saat dimulainya perbaikan dan
penyembuhan dari fase darurat. Juga tahap dimana masyarakat mulai
berusaha kembali pada fungsi kualitas normal. Secara umum pada fase
post impact para korban akan mengalami tahap respons fisiologi mulai
dari penolakan (denial), marah(angry), tawar – menawar (bargaing),
depresi (depression), hingga penerimaan (acceptance).

D. Evolusi Pandangan Terhadap Bencana


1. Pandangan konvensional
Bencana merupakan sifat alam. Terjadinya bencana : kecelakaan atau
(accident) ; tidak dapat diprediksi; tidak menentu; tidak terhindarkan;

5
dan tidak terkendali. Masyarakat dipandang sebagai ‘korban’ dan
‘penerima bantuan’ dari pihak luar.
2. Pandangan ilmu pengetahuan alam
Bencana merupakan unsur lingkungan fisik yang membahayakan
kehidupan manusia. Karena kekuatan alam yang luar biasa. Proses
geofisik, geologi, dan hidrometereologi. Tidak memperhitungkan
manusia sebagai penyebab alam.
3. Pandangan ilmu terapan
Besaran (Magnitude) bencana tergantung besarnya ketahanan atau
kerusakan akibat bencana. Pengkajian bencana ditujukan pada upaya
peningkatan kekuatan fisik struktur bangunan untuk memperkecil
kerusakan.
4. Pandangan progresif
Menganggap bencana sebagai bagian dari pembangunan masyarakat
yang ‘normal’. Bencana adalah masalah yang tidak pernah berhenti.
Peran sentral dari masyarakat adalah mengenai bencana itu sendiri.
5. Pandangan ilmu sosial
Fokus pada bagaimana tanggapan dan kesiapan masyarakat
menghadapi bahaya. Ancaman adalah alami, tetapi bencana bukan
alami. Besaran bencana tergantung perbedaan tingkat kerawanan
masyarakat.
6. Pandangan holistik
Menekankan pada ancaman (Threat) dan kerentanan (Vulnerability),
serta kemampuan masyarakat dalam menghadapi resiko. Gejala alam
menjadi ancaman jika mengancam hidup dan harta benda. Ancaman
akan berubah menjadi bencana jika bertemu dengan kerentanan.

E. Permasalahan dalam penanggulangan bencana


Secara umum masyarakat Indonesia termasuk aparat pemerintah didaerah
memiliki keterbatasan pengetahuan tentang bencana seperti berikut :
1. Kurangnya pemahaman terhadap karakteristik bahaya
2. Sikap atau prilaku yang mengakibatkan menurunnya kualitas SDA

6
3. Kurangnya informasi atau peringatan dini yang mengakibatkan
ketidaksiapan
4. Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman
bahaya

F. Kelompok rentan bencana


Kerentanan adalah keadaan atau sifat (perilaku) manusia atau masyarakat
yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman
dari potensi bencana untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan dan
menanggapi dampak bahaya tertentu.
Kerentanan terbagi atas:
1. Kerentanan fisik, kerentanan yang dihadapi masyarakat dalam
menghadapi ancaman bahaya tertentu, misalnya kekuatan rumah bagi
masyarakat yang tinggal di daerah rawan gempa.
2. Kerentanan ekonomi, kemampuan ekonomi individu atau masyarakat
dalam pengalokasian sumber daya untuk pencegahan serta
penanggulangan bencana.
3. Kerentanan sosial, kondisi social masyarakat dilihat dari aspek
pendidikan, pengetahuan tentang ancaman bahaya dan rwesiko
bencana.
4. Kerentanan lingkungan, keadaan disekitar masyarakat tinggal.
Misalnya masyarakat yang tinggal di lereng bukit atau pegunungan
rentan terhadap ancaman bencana tanah longsor.

G. Paradigma Penanggulanngan Bencana


H. Konsep penanggulangan bencana telah mengalami pergeseran paradigm
dari konfensional yakni anggapan bahwa bencana merupakan kejadian yang
tak terelakan dan korban harus segera mendapatkan pertolongan,
pendekatan holistic yakni menampakkan bencana dalam tatak rangka
menejerial yang dikenali dari bahaya, kerentanan serta kemampuan
masyarakat. Pada konsep ini dipersepsikan bahwa bencana merupakan
kejadian yang tak dapat dihindari, namun resiko atau akibat kejadian

7
bencana dapat diminimalisasi dengan mengurangi kerentanan masyarakat
yang ada dilokasi rawan bencan serta meningkatkan kapasitas masyarakat
dalam pencegahan dan penangan bencana.

I. Pengurangan Risiko Bencana


Tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
1. Pra bencana, pada tahapan ini dilakukan kegiatan perencanaan
penanggulangan bencana, pengurangan risiko bencana, pencegahan,
pemaduan dalam perencanaan pembangunan, persyaratan analisis
risiko bencana, penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan
peletahihan serta penentuan persyaratan standar teknis penanggulangan
bencana (kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana).
2. Tanggap darurat, tahapan ini mencakup pengkajian terhadap lokasi,
kerusakan dan sumber daya; penentuan status keadan darurat;
penyelamatan dan evakuasi korban, pemenuhan kebutuhan
dasar; pelayanan psikososial dan kesehatan.
3. Paska bencana, tahapan ini mencakup kegiatan rehabilitasi (pemulihan
daerah bencana, prasarana dan saran umum, bantuan perbaikan rumah,
social, psikologis, pelayanan kesehatan, keamanan dan ketertiban) dan
rekonstruksi (pembangunan, pembangkitan dan peningkatan sarana
prasarana termasuk fungsi pelayanan kesehatan.

J. Trauma Pasca Bencana


1. Stress
Secara sederhana, stres dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan
dimana individu terganggu keseimbangannya. Stres terjadi akibat
adanya situasi dari luar ataupun dari dalam diri yang memunculkan
gangguan, dan menuntut individu berespon secara sesuai.
Stress merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari kehidupan
manusia, bahkan seperti merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri.
Setiap hari kadang kita harus tergesa bangun, membereskan pekerjaan
rumah kadang hingga lupa atau tidak sempat sarapan, lari mengejar

8
kendaraan umum untuk Sekolah atau menjalani aktivitas, berkonflik
dengan teman atau orang lain, kehabisan uang padahal harus membeli
keperluan harian dan seterusnya. Semua kejadian itu dapat
memunculkan stres.
Mereka yang mengalami stres mungkin merasa lebih gelisah, tegang,
cemas, mengalami kelelahan, ketegangan otot dan sulit tidur. Ada pula
yang tekanan darah dan detak jantungnya nmeningkat, sakit kepala,
perut mulas, gatal-gatal atau diare. Stres juga dapat merubah perilaku
kita. Misalnya kita menjadi lebih cepat marah, lebih suka sendirian,
menjadi tidak enak makan, merasa tidak berdaya, tidak bersemangat,
frustrasi, atau merasa tidak percaya diri.
Meski cukup sering menganggu, stres tidak perlu selalu dilihat sebagai
hal negatif. Dalam hal tertentu ,stres memiliki dampak positif. Eustress
adalah stres dalam artian positif yakni keadaan yang dapat memotivasi,
dan berdampak menguntungkan. Sebagai contohnya, ada orang-orang
yang bila sudah terdesak waktu, tiba-tiba akan terbangkitkan
kreativitasnya. Ada pula yang karena merasa tertinggal, memotivasi diri
sendiri dan dapat berprestasi gemilang.

2. Trauma
Secara sederhana, trauma berarti luka atau kekagetan (syok/shock).
Penyebab trauma adalah peristiwa yang sangat menekan, terjadi secara
tiba-tiba dan di luar kontrol/kendali seseorang, bahkan seringkali
membahayakan kehidupan atau mengancam jiwa. Peristiwa ini begitu
mengagetkan, menyakitkan dan melebihi situasi stres yang kita alami
sehari-hari. Peristiwa ini dinamakan sebagai peristiwa traumatis.
Ciri-ciri peristiwa traumatis adalah :
a. Terjadi secara tiba-tiba.
b. Mengerikan, menimbulkan perasaan takut yang amat sangat.
c. Mengancam keutuhan fisik maupun mental.

9
d. Dapat menimbulkan dampak fisik, pikiran, perasaan, dan perilaku
yang amat membekas bagi mereka yang mengalami ataupun yang
menyaksikan.

Bencana alam seperti gempa bumi jelas merupakan peristiwa


traumatis, karena tidak pernah ada yang bisa meramalkan kapan akan
datang dan menimbukan perasaan takut dan mengerikan. Sehingga
dapat menimbukan trauma bagi yang mengalaminya. Kondisi seperti
stres yang kita rasakan setelah munculnya peristiwa traumatis disebut
sebagai stres traumatis. Kondisi inilah yang biasa kita kenal sebagai
trauma.
Gejala trauma sebenarnya dapat juga dialami oleh orang yang tidak
mengalami langsung peristiwa traumatis. Misalnya, seseorang yang
menonton berita bencana secara terus menerus. Ia kemudian menjadi
sulit tidur, mengalami rasa takut dan waspada berlebihan. Hal
semacam ini disebut sebagai trauma sekunder, yaitu stres traumatis
yang dialami oleh orang yang tidak mengalami secara langsung.
Siapapun orangnya, sekuat dan sehebat apapun dia, biasanya akan
menunjukkan respon tertentu. Respon yang muncul mungkin berbeda-
beda bagi tiap orang, namun umumnya respon yang muncul adalah:
a. Memiliki ingatan atau bayangan yang sulit dilupakan, seperti
mencengkeram, atau ingatan lainnya tentang traumanya
b. Merasakan peristiwa seperti terjadi lagi (flashback)
c. Merasa terganggu bila diingatkan, atau teringat peristiwa
d. traumatis karena sesuatu yang dilihat, didengar, dirasakan, atau
diciumnya.
e. Ketakutan, merasa kembali berada dalam bahaya
f. Kesulitan mengendalikan perasaan karena tidak mampu
mengendalikan ingatan tentang peristiwa traumatis.

Selain respon-respon tersebut, kita mungkin akan mengalami


perubahan perasaan ataupun perilaku. Perubahan perasaan yang
mungkin dialami antara lain:

10
a. Cepat sedih
b. Cepat marah
c. Ingin menangis
d. Merasa bersalah
e. Merasa tidak berdaya
f. Suasana hati tidak menentu atau mudah berubah
g. Merasa tidak dipahami oleh orang-orang disekitarnya

Sementara perubahan perilaku yang mungkin terjadi antara lain :


a. Lebih banyak menyendiri
b. Gemetar
c. Tidak mau keluar rumah
d. Mudah tersinggung
e. Mengalami gangguan tidur, seperti: sering mimpi buruk,
f. susah tidur atau justru terlalu banyak tidur.
g. Gelisah
h. Kewaspadaan berlebih, sangat ingin menjaga dan melindungi diri
i. Mengalami gangguan makan, seperti : mual, muntah, tidak mau
makan, atau justru terlalu banyak makan
j. Mudah merasa was-was
k. Tiba-tiba dicekam bayangan menakutkan
l. Sulit berkonsentrasi atau berpikir jernih
m. Badan sering terasa lemas dan keluar keringat dingin
n. Sesak napas

Biasanya perubahan perilaku maupun perasaan tersebut akan


berkurang seiring dengan berjalannya waktu. Namun, kita perlu
mewaspadai apabila perubahan tersebut dirasakan lebih dari 6-8
minggu dan mengganggu kehidupan kita sehari-hari. Dampak yang
kita alami mungkin lebih besar daripada yang kita bayangkan.

11
K. Dari Aspek Psikososial, Bencana Dapat Berdampak Pada
1. Extreme peritraumatic stress reactions (reaksi stres & trauma)
Gejala ini muncul pada masa kurang dari 2 hari. Gejala ini ditandai
dengan simptom - simptom yang muncul setelah bencana, di antaranya:
a. Dissosiasi (depersonalisasi, derelisasi, amnesia).
b. Menghindar (menarik diri dari situasi sosial).
c. Kecemasan (cemas berlebihan, nervous, gugup, merasa tidak
berdaya).
d. Intrusive re-experiencing (flashback, mimpi buruk).
2. Acute stress disorder (ASD)
Gejala ini muncul pada masa 2 s.d 30 hari/4 minggu yang ditandai
dengan:
a. Individu/korban mengalami peristiwa traumatik yang
mengancam jiwa diri sendiri maupun orang lain, atau
menimbulkan kengerian luar biasa bagi dirinya (horor).
b. Peningkatan keterbangkitan psikologis, misalnya kewaspadaan
tinggi, mudah kaget, sulit konsentrasi, sulit tidur, mudah
tersinggung dan gelisah.
c. Gangguan efektifitas diri di area sosial dan pekerjaan.
3. Post traumatic stress disorder (PTSD)
Gejala ini muncul di atas 30 hari/1 bulan yang ditandai dengan:
a. Gangguan muncul akibat suatu peristiwa hebat yang
mengejutkan, bahkan sering tidak terduga dan akibatnya pun
tidak tertahankan oleh orang yang mengalaminya.
b. Terulangnya bayangan mental akibat peristiwa traumatik yang
pernah dialami.
c. Ketidakberdayaan/ke-”tumpul”an emosional dan “menarik diri”.
d. Terlalu siaga/waspada yang disertai ketergugahan/keterbangkitan
secara kronis.
e. Terjadi gangguan yang menyebabkan kegagalan untuk berfungsi
secara efektif dalam kehidupan sosial (pekerjaan, rumah tangga,
pendidikan, dll).

12
L. Peran Perawat Komunitas Dalam Manajemen Kejadian Bencana
Perawat komunitas dalam asuhan keperawatan komunitas memiliki
tanggung jawab peran dalam membantu mengatasi ancaman bencana baik
selama tahap preimpact, impact/emergency, dan post impact.
Peran perawat disini bisa dikatakan multiple; sebagai bagian dari penyusun
rencana, pendidik, pemberi asuhan keperawatan bagian dari tim
pengkajian kejadian bencana.
Tujuan utama : Tujuan tindakan asuhan keperawatan komunitas pada
bencana ini adalah untuk mencapai kemungkinan tingkat kesehatan terbaik
masyarakat yang terkena bencana tersebut.
1. Peran dalam Pencegahan Primer
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan perawat dalam masa pra
bencana ini, antara lain:
a. Mengenali instruksi ancaman bahaya,
b. Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan saat fase emergency
(makanan, air, obat-obatan, pakaian dan selimut, serta tenda),
c. Melatih penanganan pertama korban bencana, dan
d. Merkoordinasi berbagai dinas pemerintahan, organisasi
lingkungan, palang merah nasional maupun lembaga-lembaga
kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi
persiapan menghadapi ancaman bencana kepada masyarakat.

Pendidikan kesehatan diarahkan kepada :


a. Usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut).
b. Pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong
anggota keluarga dengan kecurigaan fraktur tulang , perdarahan,
dan pertolongan pertama luka bakar.
c. Memberikan beberapa alamat dan nomor telepon darurat seperti
dinas kebakaran, rs dan ambulans.
d. Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa
(misal pakaian seperlunya, portable radio, senter, baterai).
e. Memberikan informasi tempat-tempat alternatif penampungan atau
posko-posko bencana.

13
Peran Perawat dalam Keadaan Darurat (Impact Phase)
Biasanya pertolongan pertama pada korban bencana dilakukan tepat
setelah keadaan stabil. Setelah bencana mulai stabil, masing-masing
bidang tim survey mulai melakukan pengkajian cepat terhadap
kerusakan-kerusakan, begitu juga perawat sebagai bagian dari tim
kesehatan.
Perawat harus melakukan pengkajian secara cepat untuk memutuskan
tindakan pertolongan pertama. Ada saat dimana ”seleksi” pasien untuk
penanganan segera (emergency) akan lebih efektif. (Triase).
TRIASE :
a. Merah — paling penting, prioritas utama. keadaan yang
mengancam kehidupan sebagian besar pasien mengalami hipoksia,
syok, trauma dada, perdarahan internal, trauma kepala dengan
kehilangan kesadaran, luka bakar derajat I-II.
b. Kuning — penting, prioritas kedua. Prioritas kedua meliputi injury
dengan efek sistemik namun belum jatuh ke keadaan syok karena
dalam keadaan ini sebenarnya pasien masih dapat bertahan selama
30-60 menit. Injury tersebut antara lain fraktur tulang multipel,
fraktur terbuka, cedera medulla spinalis, laserasi, luka bakar derajat
II.
c. Hijau — prioritas ketiga. Yang termasuk kategori ini adalah fraktur
tertutup, luka bakar minor, minor laserasi, kontusio, abrasio, dan
dislokasi.
d. Hitam — meninggal. Ini adalah korban bencana yang tidak dapat
selamat dari bencana, ditemukan sudah dalam keadaan meninggal.

M. Peran Mahasiswa Keperawatan Dalam Tanggap Bencana


Pelayanan keperawatan tidak hanya terbatas diberikan pada instansi
pelayanan kesehatan seperti rumah sakit saja. Tetapi, pelayanan
keperawatan tersebut juga sangat dibutuhkan dalam situasi tanggap
bencana. Mahasiswa keperawatan tidak hanya dituntut memiliki
pengetahuan dan kemampuan dasar praktek keperawatan saja, Lebih dari

14
itu, kemampuan tanggap bencana juga sangat di butuhkan saaat keadaan
darurat. Hal ini diharapkan menjadi bekal bagi mahasiswa keperawatan
untuk bisa terjun memberikan pertolongan dalam situasi bencana.
Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan sangat berbeda, kita lebih
banyak melihat tenaga relawan dan LSM lain yang memberikan pertolongan
lebih dahulu dibandingkan dengan mahasiswa keperawata, walaupun ada
itu sudah terkesan lambat.

N. Jenis Kegiatan Siaga Bencana


Kegiatan penanganan siaga bencana memang berbeda dibandingkan
pertolongan medis dalam keadaan normal lainnya. Ada beberapa hal yang
menjadi perhatian penting. Berikut beberapa tnidakan yang bisa dilakukan
oleh mahasiswa keperawatan dalam situasi tanggap bencana:
1. Pengobatan dan pemulihan kesehatan fisik
Bencana alam yang menimpa suatu daerah, selalu akan memakan
korban dan kerusakan, baik itu korban meninggal, korban luka luka,
kerusakan fasilitas pribadi dan umum, yang mungkin akan
menyebabkan isolasi tempat, sehingga sulit dijangkau oleh para
relawan. Hal yang paling urgen dibutuhkan oleh korban saat itu adalah
pengobatan dari tenaga kesehatan. Mahasiswa keperawatan bisa turut
andil dalam aksi ini, baik berkolaborasi dengan tenaga perawat atau pun
tenaga kesehatan profesional, ataupun juga melakukan pengobatan
bersama mahasiswa keperawatan lainnya secara cepat, menyeluruh dan
merata di tempat bencana. Pengobatan yang dilakukan pun bisa
beragam, mulai dari pemeriksaan fisik, pengobatan luka, dan lainnya
sesuai dengan profesi keperawatan.
2. Pemberian bantuan
Mahasiswa keperawatan dapat melakukan aksi galang dana bagi korban
bencana, dengan menghimpun dana dari berbagai kalangan dalam
berbagai bentuk, seperti makanan, obat obatan, keperluan sandang dan
lain sebagainya. Pemberian bantuan tersebut bisa dilakukan langsung
oleh mahasiswa keperawatan secara langsung di lokasi bencana dengan

15
memdirikan posko bantuan. Selain itu, Hal yang harus difokuskan
dalam kegiatan ini adalah pemerataan bantuan di tempat bencana sesuai
kebutuhan yang di butuhkan oleh para korban saat itu, sehinnga tidak
akan ada lagi para korban yang tidak mendapatkan bantuan tersebut
dikarenakan bantuan yang menumpuk ataupun tidak tepat sasaran.
3. Pemulihan kesehatan mental
Para korban suatu bencana biasanya akan mengalami trauma psikologis
akibat kejadian yang menimpanya. Trauma tersebut bisa berupa
kesedihan yang mendalam, ketakutan dan kehilangan berat. Tidak
sedikit trauma ini menimpa wanita, ibu ibu, dan anak anak yang sedang
dalam massa pertumbuhan. Sehinnga apabila hal ini terus berkelanjutan
maka akan mengakibatkan stress berat dan gannguan mental bagi para
korban bencana. Hal yang dibutukan dalam penanaganan situasi seperti
ini adalah pemulihan kesehatan mental yang dapat dilakukan oleh
mahasiswa keperawatan. Pada orang dewasa, pemulihannya bisa
dilakukan dengan sharing dan mendengarkan segala keluhan keluhan
yang dihadapinya, selanjutnya diberikan sebuah solusi dan diberi
penyemangat untuk tetap bangkit. Sedangkan pada anak anak, cara
yang efektif adalah dengan mengembalikan keceriaan mereka kembali,
hal ini mengingat sifat lahiriah anak anak yang berada pada masa
bermain. Mahasiswa keperawatan dapat memdirikan sebuah taman
bermain, dimana anak anak tersebut akan mendapatkan permainan,
cerita lucu, dan lain sebagainnya. Sehinnga kepercayaan diri mereka
akan kembali seperti sedia kala.
4. Pemberdayaan masyarakat
Kondisi masyarakat di sekitar daerah yang terkena musibah pasca
bencana biasanya akan menjadi terkatung katung tidak jelas akibat
memburuknya keaadaan pasca bencana., akibat kehilangan harta benda
yang mereka miliki. sehinnga banyak diantara mereka yang patah arah
dalam menentukan hidup selanjutnya. Hal yang bisa menolong
membangkitkan keadaan tersebut adalah melakukan pemberdayaan
masyarakat. Masyarakat perlu mendapatkan fasilitas dan skill yang

16
dapat menjadi bekal bagi mereka kelak. Mahasiswa keperawatan dapat
melakukan pelatihan pelatihan keterampilan yang difasilitasi dan
berkolaborasi dengan instansi ataupun LSM yang bergerak dalam
bidang itu. Sehinnga diharapkan masyarakat di sekitar daerah bencana
akan mampu membangun kehidupannya kedepan lewat kemampuan
yang ia miliki.
Untuk mewujudkan tindakan di atas perlu adanya beberapa hal yang
harus dimiliki oleh seorang mahasiswa keperawatan, diantaranya:
1. Mahasiswa keperawatan harus memilki skill keperawatan yang
baik. Sebagai mahasiswa keperawatan yang akan memberikan
pertolongan dalam penanaganan bencana, haruslah mumpuni
dalam skill keperawatan, dengan bekal tersebut mahasiswa akan
mampu memberikan pertolongan medis yang baik dan maksimal.
2. Mahasiswa keperawatan harus memiliki jiwa dan sikap kepedulian.
Pemulihan daerah bencana membutuhkan kepedulian dari setiap
elemen masyarakat termasuk mahasiswa keperawatan, kepedulian
tersebut tercemin dari rasa empati dan mau berkontribusi secara
maksimal dalam segala situasi bencana. Sehingga dengan jiwa dan
semangat kepedulian tersebut akan mampu meringankan beban
penderitaan korban bencana.
3. Mahasiswa keperawatan harus memahami managemen siaga
bencana

Kondisi siaga bencana membutuhkan penanganan yang berbeda, segal


hal yang terkait harus didasarkan pada managemen yang baik,
mengingat bencana datang secara tak terduga banyak hal yang harus
dipersiapkan dengan matang, jangan sampai tindakan yang dilakukan
salah dan sia sia. Dalam melakukan tindakan di daerah bencana,
mahasiswa keperawatan dituntut untuk mampu memilki kesiapan
dalam situasi apapun jika terjadi bencana alam. Segala hal yang
berhubungan dengan peralatan bantuan dan pertolongan medis harus
bisa dikoordinir dengan baik dalam waktu yang mendesak. Oleh

17
karena itu, mahasiswa keperawatan harus mengerti konsep siaga
bencana.

18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bencana alam dapat menyebabkan dampak serius dan
berkepanjangan terhadap kesehatan fisik maupun psikologis pada
korban bencana yang selamat. Menurut Barbara santamaria ada tiga
fase dapat terjadinya suatu bencana yaitu fase pre impact,impact,dan
post impact. Pelayanan keperawatan tidak hanya terbatas diberikan
pada instansi pelayanan kesehatan seperti rumah sakit saja. Tetapi,
pelayanan keperawatan tersebut juga sangat dibutuhkan dalam
situasi tanggap bencana. Untuk mewujudkan tindakan di atas perlu
adanya beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang mahasiswa
keperawatan, diantaranya: Mahasiswa keperawatan harus memilki
skill keperawatan yang baik, Mahasiswa keperawatan harus
memiliki jiwa dan sikap kepedulian, Mahasiswa keperawatan harus
memahami managemen siaga bencana.

B. Saran
Sebagai seorang calon tenaga kesehatan, mahasiswa keperawatan
diharapkan bisa turut andil dalam melakukan kegiatan tanggap
bencana. sekarang tidak hanya dituntut mampu memiliki
kemampsuan intelektual namun harus memilki jiwa kemanuasiaan
melalui aksi siaga bencana.

19
DAFTAR PUSTAKA

Keliat Budi,dkk. 2014. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Yogyakarta :


EGC.
Yusuf AH, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika

20

Anda mungkin juga menyukai