Anda di halaman 1dari 12

REFERAT

Infeksi Bakteri Gram Positif yang Berhubungan Dengan Produksi


Toksin

Referat ini di buat untuk melengkapi persyaratan mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU. Haji Medan

Pembimbing:
dr. Irwan Fahri Rangkuti Sp.KK

Disusun Oleh:
Reza Rahadian Yusuf Daen
20360104

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses penyusunan referat ini
dengan judul “Infeksi Bakteri Gram Positif yang Berhubungan Dengan Produksi
Toksin”. Penyelesaian referat ini banyak bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu
adanya kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sangat tulus
kepada dr. Irwan Fahri Rangkuti Sp.KK selaku pembimbing yang telah banyak
memberikan ilmu, petunjuk, nasehat dan memberi kesempatan kepada kami untuk
menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini tentu tentu tidak lepas dari kekurangan
karena kebatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Maka sangat diperlukan
masukan dan saran yang membangun. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat.

Medan, November 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksik gram-positif yang berhubungan dengan produksi toksin merupakan


infeksi kulit dengan bakteri Gram positif Staphylococcus aureus dan grup A
streptococcus (Streptococcus pyogenes) merupakan sumber morbiditas dan bahkan
mortalitas yang penting. Bakteri ini menghasilkan racun yang dapat menyebabkan
sindrom khas, termasuk sindrom kulit melepuh stafilokokal (SSSS) dan sindrom syok
(TSS). Selain itu, produksi racun ini diduga mendasari kemampuan infeksi bakteri ini
untuk memulai dan atau menyebabkan penyakit kulit inflamasi.

Semua kondisi yang disebabkan oleh infeksi bakteri gram-positif relatif jarang
tetapi memiliki morbiditas tinggi, dan beberapa memiliki mortalitas yang cukup besar.
lebih sering terjadi pada bayi baru lahir dan bayi kurang dari 1 tahun, tetapi juga dapat
mengenai anak-anak. Impetigo bulosa terutama terjadi pada bayi baru lahir, walaupun
dapat juga terjadi pada semua umur. Impetigo bulosa tipe neonatus merupakan tipe
yang sangat mudah menular, dengan area tersering di wajah dan tangan. Kejadian
impetigo nonbulosa sebesar 70% dari kasus pioderma, dapat terjadi pada anak maupun
dewasa, dengan area tersering di wajah, leher, dan ekstremitas (Afif, 2019)

Untuk tingkat kematian untuk Streptococcus Toksik Syok Sindrom (TSS) adalah
30–70%. Morbiditas juga tinggi. Dalam satu seri, 13 dari 20 pasien menjalani prosedur
pembedahan besar, seperti fasciotomy, debridement, laparotomi, amputasi, atau
histerektomi. Tingkat kematian untuk STSS menstruasi terkait telah menurun dari 5,5%
pada tahun 1980 menjadi 1,8% pada tahun 1996. (Arifin, 2014)

B. Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan referat ini adalah untuk menambah


pengetahuan hal-hal yang berkaitan dengan infeksi bakteri gram-positif yang
berhubungan denga produksi toksin dan sebagai salah satu pemenuhan tugas
kepaniteraan klinik senior ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Di Rumah Sakit Umum
Haji Medan Sumatera Utara.
C. Manfaat
1. Menambah pengetahuan mengenai infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri gram-
positif yang berhubungan dengan pelepasan toksin
2. Menambah pengetahuan mengenai cara mendiagnosis dan penatalaksanaan pada
penyakit kulit yang disebabkan oleh bakteri gram-positif yang berhubungan dengan
pelepasan toksin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Infeksik gram-positif yang berhubungan dengan produksi toksin merupakan infeksi kulit
dengan bakteri Gram positif Staphylococcus aureus dan grup A streptococcus
(Streptococcus pyogenes) merupakan sumber morbiditas dan bahkan mortalitas yang
penting. Bakteri ini menghasilkan racun yang dapat menyebabkan sindrom khas, termasuk
sindrom kulit melepuh stafilokokal (SSSS) dan sindrom syok (TSS). Selain itu, produksi
racun ini diduga mendasari kemampuan infeksi bakteri ini untuk memulai dan atau
menyebabkan penyakit kulit inflamasi.

B. Epidemiologi

Semua kondisi yang disebabkan oleh infeksi bakteri gram-positif relatif jarang tetapi
memiliki morbiditas tinggi, dan beberapa memiliki mortalitas yang cukup besar. lebih
sering terjadi pada bayi baru lahir dan bayi kurang dari 1 tahun, tetapi juga dapat mengenai
anak-anak. Impetigo bulosa terutama terjadi pada bayi baru lahir, walaupun dapat juga
terjadi pada semua umur. Impetigo bulosa tipe neonatus merupakan tipe yang sangat mudah
menular, dengan area tersering di wajah dan tangan. Kejadian impetigo nonbulosa sebesar
70% dari kasus pioderma, dapat terjadi pada anak maupun dewasa, dengan area tersering di
wajah, leher, dan ekstremitas (Afif, 2019).

Untuk tingkat kematian untuk Streptococcus Toksik Syok Sindrom (TSS) adalah 30–
70%. Morbiditas juga tinggi. Dalam satu seri, 13 dari 20 pasien menjalani prosedur
pembedahan besar, seperti fasciotomy, debridement, laparotomi, amputasi, atau
histerektomi. Tingkat kematian untuk STSS menstruasi terkait telah menurun dari 5,5%
pada tahun 1980 menjadi 1,8% pada tahun 1996. (Arifin, 2014)

C. Etiologi
Disebabkan oleh bakteri gram-positif yaitu Stafilococcus Aureus dan
Streptococcus grup A (Streptococcus Pyogenes)
Tabel 2.1 Penyebab infeksi oleh bakteri gram-positif

Etiologi Infeksi Gram-Positif

Bakteri Toksin Jenis Racun Penyakit Klinis


Staphylococcus aureus Epidermolitik Impetigo bulosa
Eksfoliatin tipe A
SSSS
Exfoliatin tipe B Epidermolitik SSSS
Impetigo bulosa
Superantigen TSS (menstruasi  nonmenstrual),
Toksin TSS1 makanan
peracunan
Enterotoksin stafilokokus A – C Superantigen TSS (nonmenstrual  menstruasi),
keracunan makanan
TSS (nonmenstrual), demam berdarah
Streptococcus pyogenesEksotoksin pirogenik streptokokus A, C Superantigen

SSSS = staphylococcal scalded-skin syndrome; TSS = toxic shock syndrome.

D. Klasifikasi
1. Penyakit yang disebabkan oleh Toksin Eksfoliatif
a. Stafilococcal Scalded-Skin Syndrome (SSSS)
Stafilococcal Scalded-Skin Sindrom (SSSS) ditandai dengan pembelahan
intraepidermal dengan pembelahan di bawah dan di dalam stratum granulosum.
Ruang pembelahan mungkin berisi sel-sel acantholytic yang sebagian atau
seluruhnya tidak terikat. Namun, sisa dari epidermis biasanya tidak dapat
ditandakan, dan dermis mengandung sedikit sel inflamasi.
Gejala awal timbulnya eritema pada wajah, pungung dan dada yang setelah
24 jam menjadi menyeluruh, setelah 24-48 jam eritem berubah menjadi bula.
Setelah itu bula tersebut pecah dan mengerut lalu mengering. Terjadinya proses
deskuamasi pada hari ke 10.
SE
A B
BU
AH
Gambar 2.1 Penderita SSS pada 24 jam pertama (A), Penderita SSSS sudah
terjadinya proses deskuamasi setelah 10 hari.

b. Impetigo bullosa
Impetigo termasuk salah satu pioderma superfisial, yang terdiri dari 2 tipe,
yaitu impetigo bulosa dan impetigo nonbulosa/krustosa/kontagiosa. Impetigo
bulosa merupakan infeksi bakteri lokal di lapisan epidermis kulit dengan
manifestasi utama berupa bula dan bula hipopion, Jika bula tersebut pecah akan
menimbulkan dasar yang eritem. (Afif, 2019).

Gambar 2.2 Impetigo bulosa

2. Penyakit yang disebabkan oleh Toksin Superantigenic


a. Streptococcal Toxic Shock Syndrome (TSS)

TSS adalah respon inflamasi yang ditandai dengan demam, ruam, hipotensi,
dan keterlibatan multiorgan yang mewakili ujung spektrum penyakit yang
dimediasi supernantigen yang parah. Meskipun pertama kali dijelaskan pada
tahun 1978 dalam serangkaian anak-anak dengan infeksi S. aureus, TSS menjadi
lebih dikenal secara luas dengan laporan epidemi yang terkait dengan
penggunaan tampon yang sangat menyerap pada wanita yang sedang menstruasi
pada awal 1980-an, tampon tersebut berfungsi sebagai sumber untuk infeksi:
darah menambahkan protein dan menetralkan pH vagina yang asam yang fungsi
normalnya sebagai bakteriosidal. Sejak uraian pertama penyakit ini, TSS telah
terbukti berhubungan dengan toksin yang ditimbulkan oleh banyak jenis infeksi
stafilokokus dan streptokokus.

Gambar 2.3 Pasien TSS dengan bula yang sudah pecah disertai eritema

D. Gejala Klinis

Tabel 2.2 Gejala Klinis bedasarkan Toksin yang dihasilkan

Eksfoliatin Toksin Superantigenic Toksin

Eritem local atau menyeluruh Eritem local atau menyeluruh


dengan atau tanpa

Tenderness Demam dan hipotensi

Nikolsky sign (+) Mucosal involvement

Bulla dan bulla hipopion Edema ekstremitas

Eksfoliasi Organ failure

Eksfoliasi atau desquamosa


F. Patogenesis
Toksin eksfoliatif (ET) dibuat oleh strain S. aureus tertentu (biasanya grup fag
2). Exfoliatin A dan B (ETA dan ETB) adalah dua protein yang berbeda secara
serologis yang diproduksi oleh S. aureus.2 ET adalah protease serin yang mengikat
molekul adhesi sel desmoglein 1 dan membelahnya, mengakibatkan hilangnya adhesi
sel-sel. Sesuai dengan pola ekspresi desmoglein 1, yang diekspresikan di bagian atas
epidermis, epidermolisis biasanya terjadi antara stratum spinosum dan granulosum.
Hal ini menghasilkan lepuh berdinding tipis dan lembek yang mudah rusak,
menunjukkan tanda Nikolsky positif. Patofisiologi ET menyerupai penyakit pelepuhan
autoimun pemfigus foliaceus, dengan desmoglein 1 ditargetkan pada kedua penyakit
tersebut. Agaknya, bakteri stafilokokus telah mengembangkan toksin ini untuk
memungkinkan bakteri berkembang biak dan menyebar di bawah pelindung kulit.
Ada dua bentuk penyakit yang dimediasi ET: (1) impetigo bulosa terlokalisasi dan (2)
SSSS sistemik. Studi terbaru menunjukkan bahwa sebagian besar kasus impetigo
bulosa lokal disebabkan oleh ETA, dan bentuk sistemik seperti SSSS disebabkan oleh
ETB, mungkin karena titer yang lebih rendah dari antibodi anti-ETB penetral pada
populasi umum. Meskipun beberapa laporan menunjukkan bahwa ET juga dapat
bertindak sebagai superantigen.
G. Diagnosis
Diagnosis impetigo bulosa ditegakkan melalui pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan Gram, kultur kuman, uji resistansi
kuman terhadap antibiotik (Craft, 2012; Pereira, 2014; Ghazvini et al., 2015)
Penegakkan diagnosis Stafilococcal Scalded-Skin Syndrome (SSSS) harus
bedasarkan pemeriksaan histopatologi, pada pemeriksaan histopatologi ditemukan
gambaran yang khas berupa lepuh pada intraepidermal, terdapat celah pada stratum
granulosum, dan tidak terdapat sel-sel nekrosis di sekitar celah.
Pada Toksik Syok Sindrom (TSS) selain dari pemeriksaan fisik, dapat juga
dilakukan pemeriksaan laboratorium yang biasanya terdapat tanda tanda gagal organ.
Salah satunya dapat berupa hipotensi, hypoalbuminemia, hipokalsemia, dan
peningkatan tingkat transaminase hati.
H. Penatalaksaan

Terapi untuk impetigo bulosa mungkin termasuk terapi salep mupirocin


topikal jika terdapat ruam yang banyak dapat diberikan obat sistemik antibiotik oral.
Prognosis untuk pemulihan sangat baik. Terapi untuk SSSS harus diarahkan pada
pemberantasan S. aureus, yang umumnya membutuhkan rawat inap dan antibiotik
anti-stafilokokus intravena. Untuk kasus yang tidak rumit, antibiotik oral biasanya
dapat diganti setelah beberapa hari. Penggunaan antibiotik yang sesuai,
dikombinasikan dengan perawatan kulit yang mendukung dan pengelolaan cairan
potensial, dan kelainan elektrolit karena gangguan fungsi penghalang yang meluas,
biasanya cukup untuk memastikan pemulihan yang cepat. Neonatus mendapat
manfaat dari inkubator untuk menjaga suhu dan kelembaban tubuh. Penggunaan
pembalut yang tidak melekat, termasuk kain kasa yang mengandung petrolatum, pada
area lepuh superfisial yang tersebar luas sangat membantu. Salep mupirocin antibiotik
yang dioleskan beberapa kali sehari ke area yang terkena impetiginisasi dengan jelas,
termasuk sumber aslinya, seringkali merupakan tambahan yang berguna untuk terapi
antibiotik sistemik
Perawatan TSS streptokokus mirip dengan perawatan untuk TSS stafilokokus.
Untuk kasus yang berhubungan dengan necrotizing fasciitis / myositis, pengenalan yang
cepat dan debridement sangat penting. IVIG menjadi semakin dikenal sebagai bagian
penting dari pengobatan TSS streptokokus, terutama karena angka kematian pada
penyakit ini bisa lebih dari 30%.

I. Pencegahan
Pencegahan yang perlu dilakukan pada infeksi bakter gram-positif dapat berupa
menjaga higenitas yang baik, kontrol faktor predisposisi agar menghindari terjadinya
suatu komplikasi, dan penanganan yang tepat pada infeksi kulit yang terjadi agar tidak
menimbulkan infeksi sekunder.
J. Prognosis
Impetigo bulosa dan nonbulosa dapat sembuh tanpa pengobatan dalam 2–3
minggu tanpa sekuele. Walaupun demikian, pemberian terapi pada kasus impetigo
bulosa akan mempercepat penyembuhan pasien dan menurunkan risiko penyebaran
infeksi. Pada SSSS dan TSS perlu dilakukan pemberian cairan yang cukup guna
untuk menghindari terjadinya dehidrasi akibat keluarnya cairan tubuh dari bula yang
pecah agar prognosis membaik. (Afif, 2019).
BAB III

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Afif N, Damayanti, dan Maylita. Buku Seri Dermatologi dan Venereologi : Infeksi
Bakteri di Kulit. Universitas Airlangga. Surabaya. 2019

Arifin Johan. Toxic Shock Syndrome. Jurnal Medica Hospitalia 2014;Vol 2 (3)

Lowel A, Stephen, dan Barbara. Fitzpatrick’s : Dermatology in General Medicine.


Mexico 2012; 2147-2156

Anda mungkin juga menyukai