Anda di halaman 1dari 39

29 POSISI PASIEN DAN POTENSI CEDERA

MARY E. WARNER • REBECCA L. JOHNSON

POIN-POIN PENTING
1 Etiologi neuropati perifer seringkali tidak jelas. Meskipun terdapat alasan
anatomi dan neurofisiologis yang potensial, inflamasi perioperatif, yang
menyebabkan mikrovaskulitis, mungkin merupakan faktor etiologi yang
penting.
2 Peregangan saraf 5% atau lebih di luar panjang istirahatnya dapat membelit
arteriol dan menyebabkan iskemia.
3 Bantalan yang disediakan oleh sejumlah bahan yang berbeda (misalnya,
bantalan gel atau busa, selimut) harus digunakan untuk menyebarkan point
pressure secara merata pada bagian tubuh dan jaringan lunak.
4 Pasien yang diberikan sedatif atau dianestesi harus ditempatkan pada posisi
yang nyaman saat mereka terjaga.
5 Kehilangan penglihatan permanen dapat terjadi setelah prosedur bedah
nonokular, terutama yang dilakukan dalam posisi pronasi.

Memposisikan (positioning) pasien untuk prosedur pembedahan


seringkali menjadi kompromi antara apa yang dapat ditoleransi oleh pasien
yang dianestesi, baik secara struktural maupun fisiologis, dan apa yang
dibutuhkan oleh tim bedah untuk mengakses target anatominya. Penetapan
postur bedah yang diinginkan mungkin perlu dimodifikasi agar sesuai dengan
toleransi pasien. Bab ini menyajikan pentingnya berbagai posisi yang
diterapkan kepada pasien selama operasi, menjelaskan secara singkat teknik
penetapan posisi, dan membahas potensi komplikasi dari setiap postur. Bab
ini juga akan menyajikan data yang menunjukkan respon inflamasi
perioperatif yang mungkin memiliki peran penting dalam perkembangan
neuropati perifer, dan yang berpotensi menjadi neuropati sentral.
Sangat penting bagi dokter untuk memahami konsekuensi fisiologis
dan patologis potensial dari posisi pasien. Sejumlah penelitian bedah skala
besar telah memberikan informasi mengenai frekuensi dan riwayat alamiah
kejadian perioperatif langka seperti neuropati dan kehilangan penglihatan.
Namun, penelitian-penelitian ini sering kali memberikan data yang tidak
cukup untuk memungkinkan spekulasi mengenai mekanisme potensial
cedera. Berdasarkan temuan studi tersebut, para peneliti berupaya untuk
memastikan mekanisme cedera dan efikasi intervensi baru untuk
mengurangi frekuensi kejadian perioperatif ini. Sampai studi itu selesai,
mekanisme etiologi untuk berbagai komplikasi yang berpotensi terjadi
terkait posisi masih belum diketahui.
Kurangnya informasi ilmiah yang kuat mengenai mekanisme dasar
komplikasi terkait posisi sering menyebabkan keterkaitan medikolegal. Catatan
tentang anestesi dan catatan ruang operasi mungkin tidak ada atau tidak
informatif. Catatan deskriptif yang cermat mengenai posisi yang digunakan
selama anestesi dan pembedahan, serta keterangan singkat tentang tindakan
perlindungan khusus seperti perawatan mata dan pressure-point padding,
berguna untuk dimasukkan dalam catatan anestesi. Dalam keadaan yang
berpotensi rumit atau kontroversial, disarankan untuk menggunakan deskripsi
singkat terpisah mengenai perawatan pasien yang didokumentasikan dalam
rekam medis pasien. Ketika pengetahuan yang dapat menjelaskan lebih lanjut
mekanisme komplikasi terkait posisi telah berkembang dan kredibel, masalah-
masalah ini dan perawatan pasien akan dapat ditingkatkan.

Prinsip-prinsip umum
Kompresi langsung jaringan saraf dan jaringan lunak dapat menyebabkan
iskemia dan kerusakan jaringan. Selama bertahun-tahun, banyak upaya telah
ditujukan dalam meningkatkan edukasi penyedia layanan kesehatan untuk
mengurangi trauma jaringan langsung akibat kompresi. Kebanyakan penyedia
anestesi diajari sejak awal pelatihan mengenai berbagai manuver, bantalan, dan
alat positioning yang berguna untuk mengurangi point-pressure pada jaringan
saraf dan jaringan lunak. Meskipun upaya ini telah dilakukan, neuropati dan
kerusakan jaringan lunak masih terjadi. Apakah kegagalan pendidikan,
penerapan informasi yang salah, atau masalah lain yang berkontribusi pada
berlanjutnya cedera posisi perioperatif? Atau mungkin, apakah ada mekanisme
etiologi yang bekerja yang belum kita pahami?
Studi dan tajuk rencana terbaru menunjukkan bahwa mekanisme etiologi
dari masalah positioning belum sepenuhnya dipahami.1–4 Studi ini melaporkan
neuropati inflamasi pada pasien yang mengalami neuropati perifer pasca operasi
yang berat. Anehnya, sebagian besar pasien ini memiliki neuropati
mikrovaskulitik yang tersebar, dan banyak yang responsif terhadap modulasi
imunologi dengan kortikosteroid dosis tinggi. Respon inflamasi dapat berubah
secara dramatis pada periode perioperatif, dan neuropati mikrovaskulitik
tampaknya menjadi penyebab neuropati perifer yang sebelumnya tidak diketahui.
Misalnya, obat anestesi dan transfusi produk darah diketahui dapat
meningkatkan inflamasi sistemik.5,6 Studi epidemiologi skala besar akan
membantu menentukan peran etiologi baru tersebut dalam menyebabkan
berbagai jenis neuropati perioperatif. Sementara itu, laporan-laporan tersebut
berfungsi sebagai bukti bahwa sejumlah neuropati perioperatif sebenarnya tidak
memiliki hubungan dengan posisi intraoperatif atau tatalaksana faktor fisiologis.
Virus telah dikaitkan dengan neuropati sentral dan perifer yang muncul
selama periode perioperatif. Seperti yang disebutkan sebelumnya, supresi imun
terjadi pada sebagian besar pasien yang menjalani prosedur pembedahan besar.
Supresi imun ini dapat memberikan peluang bagi virus yang sudah ada atau virus
baru untuk aktif, terutama di jaringan saraf. Misalnya, timbulnya herpes zoster
mungkin lebih sering terjadi pada populasi yang pernah menjalani pembedahan
dibandingkan dengan populasi umum.
Positioning tentu saja dapat menyebabkan kerusakan jaringan.
Peregangan jaringan saraf dapat menjadi faktor penting dalam munculnya
neuropati perifer dan sentral. Peregangan saraf pada sebagian besar mamalia
hingga 5% lebih besar dari panjang istirahat normalnya telah terbukti berulang
kali menyebabkan iskemia dengan mengurangi aliran darah arteriol dan venula.
Arteriol dan venula yang mengalami kinking karena regangan saraf dapat
menyebabkan iskemia.8 Iskemia yang berkepanjangan dapat menyebabkan
kerusakan saraf permanen. Dampak peregangan pada jaringan lunak lain kurang
terdokumentasi dengan baik dan akan sangat tergantung pada jenis jaringan dan
jumlah regangan.
Point-pressure pada jaringan lunak manapun dapat mengurangi aliran
darah lokal dan menyebabkan iskemia. Ada banyak cara untuk mengurangi
point-pressure, tetapi yang paling umum digunakan adalah dengan
penggunaan bantalan (padding). Meskipun terdapat perbedaan yang khas
dalam sifat mekanik dari berbagai bahan bantalan (misalnya gel, busa,
tekstil, dan lainnya), tidak ada yang terbukti secara signifikan lebih baik
daripada yang lain dalam mengurangi frekuensi atau keparahan kerusakan
saraf atau jaringan lunak perioperatif. Prinsip dasarnya adalah menggunakan
salah satu bahan ini untuk melindungi saraf dan jaringan lunak dari point-
pressure.

Gambar 29-1 A: Pasien dewasa dengan posisi supinasi dengan gradien minimal pada sumbu
vaskular horizontal. Volume darah paru paling besar di bagian dorsal. Organ viscera menggeser
diafragma ke arah kepala. Sirkulasi otak sedikit di atas level jantung jika kepala diletakkan di atas
bantal kecil. B: Head-down tilt membantu aliran darah kembali dari ekstremitas bawah tetapi
mendorong terjadinya vasodilatasi refleks, menyumbat pembuluh darah di apeks paru yang
berventilasi buruk, dan meningkatkan volume darah intrakranial. C: Elevasi kepala menyebabkan
penggeseran organ viscera abdomen menjauh dari diafragma dan meningkatkan ventilasi basis
paru. Karena gradien di atas jantung, tekanan pada arteri di kepala dan leher menurun; tekanan
pada vena yang menyertainya bisa menjadi di bawah tekanan atmosfir.
Posisi Supinasi
Variasi Posisi Supinasi
Horizontal
Dalam posisi supinasi tradisional, pasien berbaring telentang dengan bantal kecil
di bawah kepala (Gbr. 29-1A). Lengannya tertahan dengan nyaman pada
bantalan di samping batang tubuhnya, atau diabduksikan pada papan lengan
yang diberi bantalan. Salah satu lengan (atau keduanya) dapat dieksteksikan ke
arah ventral dan lengan bawah difleksikan dan diikatkan pada rangka yang
ditinggikan sedemikian rupa sehingga perfusi tangan tidak terganggu, tidak ada
kontak kulit-logam yang menyebabkan luka bakar listrik jika kauter digunakan,
dan bundel neurovaskular brakialis tidak teregang atau terkompresi di area
aksila. Tulang belakang lumbal mungkin memerlukan bantalan penopang untuk
mencegah sakit punggung pasca operasi (lihat “Komplikasi Posisi Supinasi”).
Titik kontak tulang di oksipital, siku, dan tumit harus diberi bantalan. Untungnya,
sebagian besar meja bedah modern memiliki bantalan kasur yang cukup ringan
dan tebal untuk memungkinkan dispersi point-pressure.
Meskipun postur supinasi horizontal memiliki riwayat penggunaan yang
luas, postur ini tidak menempatkan sendi pinggul dan lutut pada posisi netral dan
tidak dapat ditoleransi dengan baik untuk waktu yang lama oleh pasien sadar
yang tidak dapat bergerak.

Contoured
Postur contoured supine (Gbr. 29-2) disebut sebagai lawn chair position. Posisi
ini dilakukan dengan mengatur permukaan meja operasi sehingga trunk–thigh
hinge bersudut kira-kira 15 derajat dan thigh-knee hinge memiliki sudut yang
sama pada arah yang berlawanan. Sebagai alternatif, gulungan handuk, bantal,
atau selimut dapat diletakkan di bawah lutut pasien agar tetap fleksi. Pasien
dengan tinggi rata-rata kemudian berbaring dengan nyaman dengan pinggul dan
lutut sedikit fleksi.

Perpindahan Massa Uterus atau Abdomen ke Lateral


Dengan pasien dalam posisi supinasi, massa abdomen yang bergerak, seperti
tumor yang sangat besar atau uterus pasien hamil, dapat bertumpu pada
pembuluh besar di abdomen dan mengganggu sirkulasi. Hal ini dikenal sebagai
sindrom aortokaval atau supine hypotensive syndrome. Tingkat perfusi yang
signifikan dapat dipulihkan jika massa yang menekan bergeser ke arah
hemiabdomen kiri dengan kemiringan meja ke kiri atau dengan ganjalan di
bawah pinggul kanan.

Gambar 29-2 Penetapan posisi contoured supine (lawn chair). A: Meja supinasi datar tradisional.
B: Paha fleksi terhadap batang tubuh. C: Lutut sedikit fleksi pada posisi tubuh akhir. D: Bagian
batang tubuh diratakan untuk menstabilkan papan lengan yang tertahan di lantai.

Gambar 29-3 Posisi litotomi standar dengan penyangga ekstremitas "candy cane". Paha fleksi kira-
kira 90 derajat terhadap abdomen; lutut fleksi cukup untuk membuat kaki bagian bawah sejajar
dengan bagian torso pada meja. Lengan ditahan di papan, disilangkan di abdomen, atau diikat di
sisi pasien.

Litotomi
Standar
Pada posisi litotomi standar (Gbr. 29-3), pasien berbaring telentang, biasanya
dengan satu atau kedua lengan diekstensikan ke lateral kurang dari 90 derajat
pada papan lengan. Setiap ekstremitas bawah difleksikan di pinggul dan lutut,
dan kedua tungkai secara bersamaan dielevasikan dan dipisahkan sehingga
perineum dapat diakses oleh ahli bedah. Untuk banyak prosedur ginekologi dan
urologi, paha pasien difleksikan kira-kira 90 derajat pada batang tubuh dan lutut
difleksikan secukupnya untuk mempertahankan kaki bagian bawah agar sejajar
dengan lantai. Fleksi lutut atau pinggul dengan sudut yang lebih sempit dapat
menyebabkan angulasi dan penekanan pada pembuluh besar di kedua sendi.
Selain itu, fleksi pinggul lebih dari 90 derajat pada batang tubuh telah terbukti
meningkatkan regangan ligamen inguinalis.8 Cabang dari nervus cutaneus
femoris lateralis sering melewati langsung melalui ligamen ini dan dapat tertekan
dan menjadi iskemik pada ligamen yang teregang.
Banyak alat yang tersedia untuk menahan kaki yang dielevasikan
selama persalinan atau operasi perineum. Setiap alat harus disesuaikan
dengan tinggi badan masing-masing pasien. Perhatian harus diberikan untuk
memastikan bahwa sudut atau tepi bantalan tidak menekan fossa poplitea
atau paha atas bagian dorsal. Sindrom kompartemen dari satu atau kedua
ekstremitas bawah disebabkan oleh penggunaan posisi litotomi dalam waktu
lama dengan berbagai jenis alat pendukung.

Rendah
Pada sebagian besar prosedur urologi dan pada banyak prosedur yang
membutuhkan akses ke abdomen dan perineum secara bersamaan, derajat
elevasi paha pada posisi litotomi hanya sekitar 30 sampai 45 derajat (Gbr. 29-4).
Hal ini untuk mengurangi gradien perfusi ke dan dari ekstremitas bawah dan
meningkatkan akses ke lokasi bedah perineum untuk anggota tim operasi yang
mungkin perlu berdiri di sisi lateral kedua kaki.

Tinggi
Beberapa ahli bedah lebih memilih untuk meningkatkan akses ke perineum
dengan menggantungkan kaki pasien dari tiang yang tinggi, yaitu dengan
membuat tungkai pasien terekstensi hampir maksimal di atas paha (Gbr. 29-5)
dan paha difleksikan 90 derajat atau lebih pada batang tubuh. Postur ini
menghasilkan gradien perfusi arteri ke kaki yang menanjak secara signifikan,
membutuhkan pengawasan yang cermat dalam menghindari hipotensi sistemik.
Pada studi dengan sukarelawan diposisikan menggunakan posisi litotomi tinggi,
didapatkan tekanan perfusi ekstremitas bawah yang bervasiasi; namun, para
relawan tersebut cenderung memiliki tekanan perfusi yang rendah. 9,10 Pasien
dengan kemampuan mobilitas yang kurang akan mentolerir postur ini dengan
buruk karena angulasi dan kompresi kanalis femoralis oleh ligamentum inguinalis
(Gbr. 29-5A), atau regangan nervus ischiadicus (Gbr. 29-5B), atau keduanya.

Gambar 29-4 Posisi litotomi rendah untuk akses perineum, instrumentasi transurethral, atau
prosedur kombinasi abdominoperineal.

Berlebihan
Akses transperineal ke area retropubik mengharuskan panggul pasien ditekuk ke
sisi ventral pada tulang belakang, paha difleksikan hampir secara paksa pada
batang tubuh, dan tungkai bawah mengarah ke atas sehingga menyimpang (Gbr.
29- 6). Hasilnya menempatkan sumbu panjang simfisis pubis hampir sejajar
dengan lantai. Posisi litotomi yang berlebihan ini menekan vertebra lumbar,
menghasilkan gradien menanjak yang signifikan untuk perfusi kaki, dan dapat
membatasi ventilasi karena kompresi abdomen oleh paha yang besar. Jika
terdapat penyakit vertebra lumbal dengan nyeri yang sudah ada sebelumnya,
posisi bedah alternatif mungkin perlu dipilih sebelumnya untuk menghindari
aksentuasi tekanan lumbal setelah operasi. Posisi ini dikaitkan dengan frekuensi
sindrom kompartemen ekstremitas bawah yang sangat tinggi.11 Pemeliharaan
tekanan perfusi yang adekuat pada kaki adalah penting.
Gambar 29-5 Posisi litotomi tinggi. Perhatikan potensi angulasi dan kompresi/ obstruksi isi kanalis
femoralis (A, inset) atau regangan nervus ischiadicus (B). (A) Diadaptasi dari McLeskey CH, ed.
Geriatric Anesthesiology. Baltimore, MD: Williams & Wilkins; 1997: 146.

Gambar 29-6 Posisi litotomi berlebihan. Penyangga bahu mungkin diperlukan untuk menstabilkan
torso. Jika digunakan, alat ini harus ditempatkan di atas area akromioklavikular untuk
meminimalkan kompresi pleksus brakialis dan pembuluh darah yang berdekatan.

Komplikasi Posisi Supinasi


Neuropati Pleksus Brakialis
Cedera Radiks Saraf
Penyangga bahu yang dipasang ketat pada pangkal leher dapat menekan dan
mencederai radiks pleksus brakialis saat posisi head-down yang curam.
Penyangga, jika diperlukan, dianggap tidak terlalu berbahaya bila dipasang lebih
lateral di atas sendi akromioklavikularis. Secara umum, penggunaan penyangga
bahu harus dicegah. Hal yang sama berlaku untuk tali atau selotip yang
disilangkan dari atas bahu agar pasien tidak meluncur jatuh ke arah kepala.
Posisi supinasi biasanya tidak mengancam struktur di leher pasien kecuali jika
terjadi perpindahan kepala yang terlalu lateral atau jika ada penambahan head-
down. Ketika terjadi pergeseran kepala ke lateral, radiks dari pleksus brakialis di
sisi sudut tumpul kepala-bahu dapat meregang dan cedera. Jika ekstremitas atas
diikatkan di meja operasi pada pergelangan tangan (misalnya, dengan balutan
pergelangan tangan atau seprai atau handuk yang digunakan untuk menyelipkan
lengan), cedera regangan pada pleksus dapat memberat saat kepala bergerak
secara lateral menjauh dari titik penahan di pergelangan tangan. Demikian pula,
rotasi kepala yang berlebihan dari lengan yang diekstensikan dapat dikaitkan
dengan cedera pleksus brakialis.

Retraksi Sternum
Seringkali pasien yang menjalani sternotomi median kedua lengannya diberi
bantalan dan diikatkan di samping torso. Alternatifnya adalah dengan abduksi
kedua lengan.12 Vander Salm et al13,14 menjelaskan bahwa patah tulang rusuk
pertama dan cedera pleksus brakialis terkait dengan sternotomi median. Mereka
menghubungkan luasnya cedera dengan jumlah perpindahan retraktor dari
tulang rusuk, dengan cedera yang paling parah disebabkan oleh perpindahan
yang cukup untuk menghasilkan patah tulang rusuk pertama. Roy et al,15 dalam
sebuah penelitian terhadap 200 orang dewasa yang dijadwalkan untuk operasi
jantung dengan sternotomi median, diposisikan dengan lengan kiri posisi abduksi
atau diberikan bantalan pada papan lengan dengan telapak tangan supinasi atau
diikat oleh dengan sprei di samping batang tubuh; lengan kanan selalu
ditempatkan di samping batang tubuh. Mereka menemukan 10% kejadian cedera
saraf ekstremitas atas yang tidak dipengaruhi oleh internal mammary artery
harvest, kateterisasi vena jugularis internal, atau posisi lengan kiri. Manipulasi
bedah lebih berkontribusi daripada posisi ekstremitas dalam menghasilkan
trauma pada pleksus brakialis. Jellish et al12 melaporkan bahwa ada sedikit
perlambatan dari bangkitan potensial somatosensorik (SSEPs) dari nervus
ulnaris selama sternotomi ketika kedua lengan diabduksikan, bukan diselipkan di
samping. Namun, mereka tidak menemukan perbedaan dalam gejala perioperatif
antara pasien dalam kelompok lengan-abduksi versus lengan-di-samping.

Gambar 29-7 Winged scapula. Otot serratus anterior (kanan atas) hanya disuplai oleh nervus
thorakalis longus yang bercabang langsung dari C5, C6, C7, dan terkadang C8 (gambar kiri).
Keluar dari tulang rusuk lateral dan masuk ke permukaan dalam dari skapula, otot ini menjaga
shoulder girdle tetap dekat dengan tulang rusuk dorsal. Paralisis nervus thorakalis longus
memungkinkan penonjolan skapula ke dorsal (kanan bawah). Lihat teks untuk detailnya.

Disfungsi Nervus Thorakalis Longus


Sejumlah tuntutan hukum berpusat pada disfungsi otot serratus anterior pasca
operasi dan winged scapula (Gbr. 29-7) yang diduga diakibatkan oleh cedera
terkait posisi pada nervus thorakalis longus, saraf yang berasak dari radiks C5,
C6, dan C7. Karena serabut saraf C5 dan C6 berjalan melalui otot scalenus
medius dan muncul dari batas lateral untuk bergabung dengan serabut dari C7,
telah diusulkan pendapat bahwa neuropati dari nervus thorakalis longus berasal
dari trauma.16,17 Karena saraf itu tidak selalu terlibat dalam cedera regangan
pleksus brakialis dan karena pleksus tidak selalu terlibat saat terjadi disfungsi
nervus thorakalis longus, hubungan antara neuropati nervus thorakalis longus
pasca operasi dan posisi pasien tetap spekulatif. Berdasarkan bukti Foo dan
Swann18, ditambah data dari berbagai litigasi, Martin 17 menyimpulkan bahwa
dengan tidak adanya keterkaitan trauma yang dapat dibuktikan, disfungsi
postoperatif dari nervus thorakalis longus kemungkinan besar merupakan hasil
dari neuropati tidak terduga, yang kemungkinan berasal dari virus atau inflamasi.

Trauma Aksila oleh Caput Humerus


Abduksi lengan pada papan lengan hingga lebih dari 90 derajat dapat
mendorong caput humerus ke bundel neurovaskular aksila. Bundel
neurovaskular ini biasanya terletak di sisi fleksi sendi bahu. Namun, ketika
lengan diabduksikan lebih dari 90 derajat, bundel berada di sisi ekstensi sendi.
Pada saat itu, bundel tersebut terkompresi dan teregang, dan struktur sarafnya
dapat cedera. Hal serupa juga dapat menyebabkan pembuluh darah tertekan
atau tersumbat dan perfusi ekstremitas dapat terancam.

Kompresi Nervus Radialis


Nervus radialis, yang keluar dari akar C6-8 dan T1, melewati bagian dorsolateral
di sekitar bagian tengah dan bawah humerus dalam sulcus radialis. Pada satu
titik di sisi lateral lengan, kira-kira tiga lebar jari di proksimal epikondilus lateralis
humerus, saraf dapat tertekan ke tulang di bawahnya dan terluka. Kompresi dari
tiang vertikal layar anestesi atau perangkat serupa terhadap sisi lateral lengan,
kompresi berlebihan dari manset alat tensi otomatis, dan kompresi pada level
midhumerus oleh seprai atau handuk ketat yang digunakan untuk menyelipkan
lengan diketahui terlibat dalam menyebabkan kerusakan pada nervus radialis.
Perangkat pendukung lainnya, termasuk papan lengan dan sling yang digunakan
saat pasien diposisikan secara lateral, dapat langsung menekan nervus radialis
karena perangkat-perangkat tersebut membungkus di sekitar sulcus radialis.

Disfungsi Nervus Medianus


Cedera perioperatif tunggal dari nervus medianus jarang terjadi dan
19,20
mekanismenya biasanya tidak diketahui jelas. Sumber cedera potensial
adalah trauma iatrogenik pada saraf selama tindakan yang membutuhkan akses
ke pembuluh darah di fossa antecubital, seperti yang mungkin terjadi selama
pungsi vena. Masalah ini tampaknya sering terjadi pada pria berusia 20 hingga
40 tahun yang tidak dapat dengan mudah mengulurkan siku sepenuhnya.
Ekstensi paksa siku setelah pemberian obat-obatan muscle relaxant dan saat
memposisikan lengan, yang berakibat pada peregangan nervus medianus, telah
diduga sebagai salah satu mekanisme potensial untuk masalah ini.

Neuropati Ulnaris
Perawatan anestesi yang tidak tepat dan malposisi pasien terlibat sebagai faktor
penyebab dalam munculnya neuropati ulnaris sejak pelaporan oleh Büdinger 21
dan Garriques22 pada tahun 1890-an. Faktor-faktor ini kemungkinan memainkan
peran etiologi untuk masalah ini pada beberapa pasien bedah. Faktor lain,
bagaimanapun, dapat berkontribusi pada perkembangan neuropati ulnaris pasca
operasi. Dalam penelitian dengan 12 pasien rawat inap dengan neuropati ulnaris
yang baru didapat, Wadsworth dan Williams23 menetapkan bahwa kompresi
eksternal nervus ulnaris selama pembedahan merupakan faktor yang ditemukan
hanya pada dua pasien. Neuropati ulnaris muncul pada pasien dengan
perawatan medis maupun bedah.24 Jadi, mekanisme dari neuropati ulnaris tidak
jelas.
Biasanya, cedera nervus ulnaris terkait anestesi dianggap berhubungan
dengan kompresi atau regangan saraf eksternal yang disebabkan oleh
malposisi selama periode intraoperatif. Meskipun implikasi ini mungkin benar
untuk beberapa pasien, tiga temuan menunjukkan bahwa faktor lain dapat
berkontribusi. Pertama, karakteristik pasien (misalnya, jenis kelamin laki-laki,
indeks massa tubuh yang tinggi, dan bedrest pasca operasi yang lama)
dikaitkan dengan neuropati ulnaris.25 Berbagai laporan menunjukkan bahwa
70% hingga 90% pasien yang mengalami masalah ini adalah laki-laki. 19,20, 23-25
Kedua, banyak pasien dengan neuropati ulnaris perioperatif memiliki frekuensi
disfungsi konduksi nervus ulnaris kontralateral yang tinggi.26 Temuan ini
menunjukkan bahwa banyak dari pasien ini kemungkinan memiliki nervus
ulnaris abnormal yang asimtomatik sebelum prosedur anestesi, dan saraf
abnormal ini dapat menjadi simptomatik selama periode perioperatif. Akhirnya,
banyak pasien tidak menyadari atau mengeluhkan gejala nervus ulnaris hingga
lebih dari 48 jam setelah prosedur pembedahan.25,26 Sebuah studi prospektif
tentang neuropati ulnaris pada 1.502 pasien bedah menemukan bahwa tidak
ada pasien yang memiliki gejala neuropati selama pemeriksaan 2 hari pertama
pasca operasi.27 Tidak jelas apakah onset gejala menunjukkan waktu terjadinya
cedera pada saraf. Prielipp et al28 menemukan bahwa 8 dari 15 relawan yang
terjaga yang memiliki perubahan menonjol pada sinyal SSEP nervus ulnaris
mereka dari tekanan nervus ulnaris langsung tidak merasakan paresthesia,
bahkan ketika bentuk gelombang SSEP menurun sebanyak 72%.
Fleksi siku dapat menyebabkan kerusakan nervus ulnaris melalui
beberapa mekanisme. Pada beberapa pasien, nervus ulnaris tertekan oleh
aponeurosis otot fleksor carpi ulnaris dan cubital tunnel retinaculum ketika
siku difleksikan lebih dari 110 derajat (Gbr. 29-8). 29,30 Pada pasien lain, atap
fibrotendinous dari terowongan cubital tidak terbentuk dengan baik dan dapat
menyebabkan subluksasi anterior atau dislokasi nervus ulnaris di atas
epikondilus medialis humerus selama fleksi siku. Perpindahan ini telah
diamati pada sekitar 16% dari mayat dimana aponeurosis otot fleksor dan
jaringan pendukungnya belum dibedah. 31,32 Ashenhurst32 berspekulasi bahwa
nervus ulnaris dapat rusak secara kronis oleh trauma mekanis berulang
karena saraf berada di subluksasi epikondilus medialis.

Gambar 29-8 Tampakan medial-lateral siku kanan. Cubital tunnel retinaculum (CTR) lemah dalam
ekstensi (A) karena membentang dari epikondilus medialis (ME) ke olekranon (Ol). Retinakulum
mengencang saat fleksi (B) dan dapat menekan nervus ulnaris (panah). (Diadaptasi dari O’Driscoll
SW, Horii E, Carmichael SW, et al. The cubital tunnel and ulnar neuropathy. J Bone Joint Surg Br.
1991; 73: 615.)

Kompresi eksternal dengan tidak adanya fleksi siku juga dapat


merusak saraf ulnaris.33,34 Meskipun kompresi dalam sulcus ulnaris dapat
terjadi jika sulcus lebih dangkal dari biasanya, sulcus ini biasanya dalam dan
saraf terlindungi dengan baik dari kompresi eksternal. 35 Kompresi eksternal
dapat terjadi di bagian distal epikondilus medialis, di mana saraf dan arteri
yang terkait relatif superfisial. Dalam sebuah studi anatomi, Contreras et al36
mengamati bahwa nervus ulnaris dan arteri ulnaris rekuren posterior berjalan
posteromedial ke tuberkulum prosesus koronoid, dimana hanya ditutupi oleh
kulit, lemak subkutan, dan pita distal tipis dari aponeurosis fleksor carpi
ulnaris.
Ada beberapa perbedaan anatomi antara pria dan wanita yang dapat
meningkatkan kemungkinan berkembangnya neuropati ulnaris perioperatif
pada pria. Pertama, dua perbedaan anatomis dapat meningkatkan
kemungkinan kompresi nervus ulnaris di daerah siku. Tuberkulum dari
prosesus koronoid kira-kira 1,5 kali lebih besar pada pria dibandingkan
wanita.36 Selain itu, terdapat lebih sedikit jaringan adiposa di atas sisi medial
siku pria dibandingkan dengan wanita dengan komposisi lemak tubuh yang
serupa.36–38 Kedua, pria lebih mungkin memiliki retinakulum terowongan
cubital yang berkembang dengan baik daripada wanita, dan retinakulumnya,
jika ada, lebih tebal. Retinakulum terowongan cubital yang lebih tebal dapat
meningkatkan risiko kompresi nervus ulnaris di terowongan cubital saat siku
tertekuk.
Manifestasi klinis dari disfungsi nervus ulnaris bervariasi sesuai lokasi
dan luasnya lesi.39 Hampir semua pasien mengalami mati rasa, kesemutan,
atau nyeri pada distribusi sensoris nervus ulnaris begitu berkembang menjadi
bergejala. Namun, bisa terjadi disfungsi nervus ulnaris yang cukup parah
sebelum gejala muncul. Prielipp et al28 menemukan bahwa hanya 8 dari 15
relawan pria dengan konduksi nervus ulnaris yang signifikan mendapati
gejala. Lebih banyak penelitian diperlukan untuk lebih memahami
mekanisme dan riwayat alamiah neuropati ulnaris.
Neuropati ulnaris perioperatif relatif umum. 19,20,27 Selain itu, sebagian
besar pasien memiliki gejala disfungsi nervus ulnaris bilateral baik sebelum
maupun sesudah operasi.27 Oleh karena itu, beberapa orang berspekulasi
bahwa mungkin menanyakan riwayat neuropati ulnaris ("crazy bone") atau
operasi siku sebelumnya selama wawancara pra-anestesi mungkin dapat
berguna. Jika riwayat seperti itu diindikasikan, temuan harus dicatat dan
diskusi dengan pasien atau keluarga harus membahas mengenai
kemungkinan kekambuhan pasca operasi meskipun ada tindakan
pencegahan khusus menggunakan bantalan dan positioning.
Waktu pengenalan anestesi digital terkait dengan disfungsi nervus
ulnaris mungkin sangat penting dalam menentukan asal mula sindrom pasca
operasi. Jika hipestesi atau anestesi ulnaris dicatat segera setelah anestesi
berakhir, seperti pada fasilitas pemulihan, kondisi tersebut kemungkinan besar
berkaitan dengan kejadian yang terjadi selama anestesi atau operasi. Jika
penemuan tertunda selama beberapa jam, kemungkinan penyebabnya akan
bergeser dari periode intra-anestesi menjadi kejadian pasca operasi. Cheney et
al20 berpendapat bahwa disfungsi ulnaris pasca operasi dapat terjadi sebagai
akibat dari kejadian dalam periode pasca anestesi dan bahwa cedera saraf
dapat muncul pada pasien yang rentan "meskipun metode positioning dan
padding diterima secara konvensional."
Opioid dapat menutupi disestesia dan nyeri pasca operasi, tetapi
bahkan analgesik yang kuat tampaknya tidak menutupi hilangnya sensasi
akibat disfungsi saraf. Menilai fungsi nervus ulnaris dan mencatat hasil
pengamatan sebelum pasien keluar dari ruang pemulihan dapat berguna.

Masalah Posisi Supinasi Lainnya


Komplikasi Lengan
Papan lengan harus terpasang erat ke meja operasi untuk mencegah pelepasan
yang tidak disengaja. Lengan yang tidak diikatkan dengan baik dapat tergelincir
dari tepi meja atau papan lengan, mengakibatkan cedera pada kapsul sendi
bahu akibat ekstensi humerus ke arah dorsal yang berlebihan, fraktur leher
humerus dari humerus yang mengalami osteoporosis, atau cedera nervus ulnaris
pada siku. Sebaliknya, jika tali penahan atau alat atau kain penahan lain
mengikat lengan bawah yang tersupinasi dengan terlalu ketat (Gbr. 29-9),
terdapat potensi tekanan pada nervus interoseus anterior, cabang dari nervus
medianus di lengan bawah bagian proksimal yang terletak beriringan dengan
arteri di sepanjang permukaan volar dari membran interoseus yang keras.
Hasilnya adalah cedera iskemik pada lokasi distribusi saraf dan arteri tersebut
yang menyerupai sindrom kompartemen di ekstremitas bawah dan memerlukan
prosedur dekompresi segera.40-42

Gambar 29-9 Pengikatan lengan, jika terlalu ketat, dapat menekan nervus interoseus anterior dan
pembuluh darah ke membran interoseus di lengan bawah volar menyebabkan neuropati iskemik.
(Diadaptasi dari McLeskey CH, ed. Geriatric Anesthesiology.)

Nyeri punggung dan Paraplegia


Sakit punggung lumbal dapat diperburuk oleh relaksasi ligamen yang terjadi pada
anestesi general, spinal, atau epidural. Hilangnya kurvatura lumbal normal dalam
posisi supinasi tampaknya menjadi masalah. Sebagai aturan umum, jika
memungkinkan sebelum induksi anestesi, pasien harus ditempatkan pada posisi
yang nyaman saat mereka terjaga. Bantalan yang ditempatkan di bawah tulang
belakang lumbal sebelum induksi anestesi dapat membantu mempertahankan
lordosis dan membuat pasien dengan distress lumbal menjadi lebih nyaman.
Namun, hiperlordosis harus dihindari. Hiperekstensi lumbal, terutama pada
angulasi lebih dari 10 derajat pada apeks lumbal L2-3, dapat menyebabkan
iskemia saraf tulang belakang.43 Beberapa pasien yang menjalani prosedur
pembedahan pelvis telah dilaporkan mengalami paraplegia. Pada pasien-pasien
ini, hiperlordosis diinduksi oleh retrofleksi maksimal dari meja ruang operasi,
meninggikan sandaran ginjal sepenuhnya, dan menambahkan bantalan
(misalnya, handuk, gulungan, bantal, dan bahkan kantong infus) di bawah tulang
belakang lumbal untuk memaksimalkan hiperlordosis.

Sindroma Kompartemen
Jika dengan alasan apa pun perfusi ke ekstremitas tidak memadai, sindrom
kompartemen dapat muncul. Ditandai dengan iskemia, edema hipoksia,
peningkatan tekanan jaringan di dalam kompartemen fasia tungkai, dan
rhabdomyolisis yang luas, sindrom ini menghasilkan kerusakan yang luas dan
berpotensi memberikan kesusakan yang lama pada otot dan saraf di
kompartemen tersebut.
Penyebab sindrom kompartemen yang mungkin behrubungan dengan
faktor positioning saat pasien berada dalam posisi dekubitus dorsal meliputi (1)
hipotensi sistemik dan hilangnya driving pressure ke ekstremitas (yang diperberat
dengan elevasi ekstremitas); (2) obstruksi vaskular pada pembuluh darah besar
pada kaki oleh retraktor intrapelvis, oleh fleksi berlebih pada lutut atau pinggul,
atau oleh tekanan poplitea yang tidak semestinya dari kruk lutut; dan (3)
kompresi eksternal pada ekstremitas yang dielevasikan dengan tali atau
pembungkus kaki yang terlalu ketat, oleh tekanan yang tidak disengaja dari
lengan asisten bedah, atau oleh beban penyangga kaki yang kurang baik pada
ekstremitas. Tali yang ketat di lengan serta "sprei" yang ketat untuk menjaga
lengan di sisi pasien dapat menekan bundel neurovaskular interoseus anterior
dan dapat terkait dengan neuropati interoseus anterior atau sindrom
.41,42
kompartemen lengan bawah atau tangan
Beberapa karakteristik klinis tampaknya berkaitan dengan sindrom
kompartemen perioperatif. Dalam literatur mengenai sindrom kompartemen
pasca litotomi, postur litotomi berkepanjangan lebih dari 5 jam menjadi faktor
umum. Untuk prosedur yang lama dalam posisi litotomi, bantalan yang baik yang
mengimobilisasi anggota tubuh dengan menopang kaki tanpa menekan betis
atau fossa poplitea tampaknya menjadi pilihan yang paling tidak merugikan. Ada
variasi yang cukup besar dalam tekanan perfusi ekstremitas bawah pada kaki
yang ditinggikan. Halliwill et al.9 dan Pfeffer et al.10 menemukan variasi tekanan
darah yang signifikan pada pergelangan kaki relawan yang ditempatkan di
berbagai posisi litotomi. Beberapa relawan memiliki tekanan rata-rata lebih dari
20 mmHg ketika ditempatkan pada posisi litotomi tinggi. Tekanan ini lebih kecil
dari tekanan intrakompartemen yang biasa diukur pada banyak posisi litotomi.
Warner et al44 menunjukkan bahwa sindrom kompartemen perioperatif
terjadi pada pasien dalam posisi selain litotomi. Frekuensi masalah ini tampaknya
terjadi pada pasien yang dianestesi dalam posisi lateral sesering (sekitar 1 dari
9.000 pasien dipelajari secara retrospektif) pada pasien serupa yang diposisikan
dalam litotomi. Perbedaan antara sindrom kompartemen pada kedua kelompok
ini adalah pasien pada posisi lateral dekubitus cenderung mengalami sindrom
kompartemen pada kedua lengan, sedangkan pada posisi litotomi mengalami
sindrom kompartemen pada ekstremitas bawah.
Posisi Lateral
Ada beberapa konsep positioning umum yang perlu dipertimbangkan saat
menempatkan pasien ke posisi lateral dekubitus. Membungkus kaki dan paha
dengan perban tekan umum digunakan untuk menangani bendungan darah
(pooling) vena. Fleksi yang bermakna pada ekstremitas bawah, yaitu pada lutut
dan pinggul dapat mengobstruksi aliran balik vena ke vena cava inferior sebagian
atau total, baik dengan angulasi pembuluh darah di fossa poplitea dan
ligamentum inguinalis atau dengan kompresi paha terhadap abdomen yang
mengalami obesitas. Alat penyangga kecil yang ditempatkan pada bagian bawah
aksila dapat digunakan untuk mengangkat dada, cukup untuk mengurangi
tekanan pada bundel neurovaskular aksila dan mencegah terganggunya aliran
darah ke lengan dan tangan. Namun, penyangga dada ini (oleh sebagian orang
disebut juga axillary roll) belum terbukti mengurangi frekuensi iskemia, kerusakan
saraf, atau sindrom kompartemen pada ekstremitas atas. Namun, hal ini dapat
mengurangi ketidaknyamanan bahu pasca operasi. Setiap bantalan harus
menopang dinding dada dan harus diamati secara berkala untuk memastikan
bahwa bantalan tersebut tidak mengenai struktur neurovaskular aksila.

Variasi Posisi Lateral


Posisi Lateral Standar
Dalam posisi lateral standar (Gbr. 29-10), pasien digulingkan ke satu sisi pada
permukaan meja yang datar dan distabilkan dalam postur tersebut dengan
memfleksikan paha bagian distal. Lutut ditekuk untuk mempertahankan kaki di
atas meja dan meningkatkan stabilisasi batang tubuh. Nervus peroneus komunis
di sisi itu diberi bantalan untuk meminimalkan kerusakan kompresi yang
disebabkan oleh beban kaki. Paha dan cruris diekstensikan dengan nyaman, dan
bantal ditempatkan di antara ekstremitas bawah. Kepala ditopang oleh bantal
atau sandaran kepala sehingga tulang vertebra servikal dan torakal sejajar
dengan benar. Bantalan kecil, namun cukup tebal untuk mengangkat dinding
dada dan mencegah kompresi bahu yang berlebihan atau jeratan/ kompresi
struktur neurovaskular aksila, ditempatkan tepat di bagian bawah aksila.
Bantalan ini dapat mendukung perfusi yang memadai pada sisi bawah tangan
dan meminimalkan sirkumduksi bahu yang tergantung, yang dapat meregangkan
nervus supraskapularis-nya.
Lengan dapat diekstensikan ke sisi ventral dan dipertahankan pada
papan lengan tunggal dengan bantalan yang sesuai di antaranya, atau dapat
diikatkan satu-satu pada penyangga lengan dua tingkat yang diberi bantalan
yang juga dapat membantu menstabilkan dada. Metode alternatif pengaturan
lengan adalah dengan memfleksikan tiap siku dan meletakkan lengan pada
bantalan yang sesuai di atas meja di depan wajah pasien.
Pasien distabilkan pada posisi lateral dengan menggunakan satu atau
lebih pita penahan atau tali yang direntangkan di pinggul dan difiksasi di bagian
bawah meja. Perhatian harus diberikan untuk mengetahui bahwa pita atau tali
pinggul terletak dengan aman di antara crista iliaca dan kepala tulang femur
daripada di atas kepala telur femur. Pita penahan atau tali tambahan dapat
digunakan di dada atau bahu jika diperlukan. Metode lain yang biasa digunakan
antara lain penggunaan "bean bag" atau perangkat penyimpanan vakum. Seperti
alat lainnya, penting untuk memastikan bahwa point-pressure pada tonjolan
tulang diminimalkan dan struktur tubuh ditopang dengan tepat.

Gambar 29-10 Posisi lateral dekubitus standar. Penopang kepala yang tepat, penyangga dada,
dan pengaturan bantal kaki ditunjukkan pada gambar bawah. Kaki difleksikan di pinggul dan lutut
untuk menstabilkan torso. Tali penahan dan bantalan untuk nervus peroneus bagian distal tidak
ditampilkan.

Semi-supinasi dan Semi-pronasi


Postur semi-lateral dirancang untuk memungkinkan ahli bedah mencapai struktur
tubuh anterolateral (semi-supinasi/ semisupine) dan posterolateral (semi-pronasi/
semiprone). Pada posisi semi-supinasi, lengan bagian atas harus ditopang
dengan hati-hati agar tidak hiperekstensi, dan tidak ada traksi atau kompresi
pada neurovaskular brakialis dan aksilaris (Gbr. 29-11). Tiang penyangga harus
dibungkus dengan baik untuk mencegah kontak grounding listrik (Gbr. 29-11A).
Pemberian bantalan (noncompressible padding) yang memadai harus
ditempatkan di bawah torso dan pinggul untuk mencegah pasien berguling ke
posisi supinasi dan meregangkan ekstremitas yang terikat. Denyut nadi
pergelangan tangan yang diikat harus diperiksa untuk memastikan sirkulasi yang
memadai di lengan dan tangan yang ditinggikan (Gbr. 29-11B).

ambar 29-11 Posisi semi-supinasi dengan bantalan punggung yang menopang batang tubuh,
lengan yang diekstensikan pada siku, dan lengan yang dielevasikan terikat pada tiang di atas
kepala yang dapat disesuaikan (A) dan diberi bantalan yang baik. Komponen aksila (B) tidak
tertekan dan tidak terkompresi oleh caput humerus, dan oksimeter memastikan bahwa sirkulasi
jemari tidak terganggu. Posisinya aman hanya jika lengan tidak menjadi tumpuan gantung untuk
menopang batang tubuh. (Diadaptasi dari Collins VJ, ed. Principles of Anesthesiology, edisi ke-3.
Philadelphia, PA: Lea & Febiger; 1993: 176.)

Posisi Lateral Fleksi


Lateral Jackknife
Posisi jackknife (pisau lipat) lateral menempatkan crista iliaca bawah di atas
engsel antara bagian belakang dan paha meja (Gbr. 29-12). Bagian atas meja
bersudut pada saat itu untuk melenturkan paha pada bagasi secara lateral.
Setelah pasien diposisikan dan ditahan dengan tepat, rangka meja dimiringkan
sehingga permukaan paling atas dari panggul dan dada pasien menjadi
horizontal. Akibatnya, kaki berada di bawah level atrium, dan sejumlah besar
darah dapat terkumpul di pembuluh darah yang elastis di setiap kaki.
Posisi lateral jackknife biasanya dimaksudkan untuk meregangkan sisi
sayap atas dan memperlebar ruang interkostal sebagai akses untuk insisi
torakotomi. Namun, dalam kondisi stres lumbal, pembatasan oleh gerakan tepi
kosta ke atas yang kencang, dan bendungan darah pada ekstremitas bawah
yang tertekan, posisi tersebut berpotensi menimbulkan gangguan fisiologis
yang signifikan. Sebenarnya kegunaan posisi ini bagi ahli bedah singkat, dan
penggunaannya harus dibatasi. Setelah retraktor rib-spreader ditempatkan di
insisi, posisi tersebut memiliki nilai yang kurang untuk sisa operasi.

Gambar 29-12 Posisi lateral jackknife, dimaksudkan untuk membuka ruang interkostal. Perhatikan
pita penahan yang ditempatkan dengan benar (gambar besar) menahan ke arah cephal untuk
mempertahankan crista iliaca pada titik fleksi meja dan mencegah selip ke arah caudal, yang dapat
menyebabkan kompresi panggul (inset).

Ginjal
Posisi ginjal (Gbr. 29-13) menyerupai posisi lateral jackknife, tetapi
ditambahkan dengan penggunaan sandaran yang ditinggikan (kidney rest/
sandaran ginjal) di bawah crista iliaca bawah untuk meningkatkan besar fleksi
lateral dan meningkatkan akses ke ginjal bagian atas di bawah margin costal
yang menjorok. Berbeda dengan posisi lateral jackknife, posisi ginjal tidak
memiliki alternatif yang berguna untuk pendekatan panggul ke ginjal. Dengan
demikian, gangguan fisiologis yang terkait dengan postur perlu dibatasi dengan
anestesi yang teliti dan waktu pembedahan yang cepat. Tindakan pencegahan
penstabilan yang ketat harus dilakukan untuk mencegah pasien bergeser ke
arah caudal di atas meja operasi sedemikian rupa sehingga sandaran yang
ditinggikan berpindah ke sisi panggul dan menjadi kesulitan yang berat untuk
ventilasi paru yang tergantung.

Gambar 29-13 Posisi lateral fleksi (ginjal). Panel atas menunjukkan lokasi yang tidak tepat dari
tempat elevated transverse rest, titik fleksi meja, di sisi panggul (A) atau di tepi kosta yang lebih
rendah (B) untuk menghalangi ventilasi paru-paru bagian bawah. Crista iliaca pada titik fleksi yang
tepat (C), memungkinkan ekspansi terbaik dari paru-paru bagian bawah. Pita penahan dihapus dari
gambar untuk kejelasan gambar.

Komplikasi Posisi Lateral


Mata dan Telinga
Cedera pada mata tidak mungkin terjadi jika kepala ditopang dengan benar
selama dan setelah pergantian dari posisi supinasi ke posisi lateral. Namun, jika
wajah pasien menghadap ke kasur, dan kelopak mata tidak tertutup atau mata
tidak terlindungi, permukaan mata bisa tergores. Tekanan langsung pada bola
mata dapat menggeser lokasi lensa kristalina, meningkatkan tekanan intraokular
atau, terutama jika ada hipotensi sistemik, menyebabkan iskemia.
Dalam posisi lateral, beban kepala dapat menekan telinga bagian bawah
ke permukaan penyangga yang kasar atau berkerut. Pemberian bantalan yang
baik dengan bantal atau spons busa biasanya cukup melindungi telinga dari
kontusi. Telinga luar juga harus dipalpasi untuk memastikan bahwa telinga
tersebut tidak terlipat selama proses penempatan penyangga di bawah kepala.

Leher
Fleksi lateral leher dimungkinkan jika kepala pasien dalam posisi lateral tidak
disangga dengan baik. Jika tulang leher mengalami artritis, nyeri leher pasca
operasi bisa muncul. Nyeri dari penonjolan dari diskus servikalis yang bergejala
dapat meningkat, kecuali jika kepala ditempatkan dengan hati-hati sehingga
fleksi lateral atau ventral, ekstensi, atau rotasi dapat dihindari.

Nervus supraskapularis
Sirkumduksi ventral pada bahu yang tergantung dapat memutar incisura
scapulae menjauh dari radiks servikalis (Gbr. 29-14). Karena nervus
supraskapularis difiksasi baik pada paravertebra maupun incisura scapulae,
sirkumduksi dapat meregangkan saraf dan menghasilkan nyeri bahu yang
mengganggu, menyebar, dan tumpul. Diagnosis ditegakkan dengan mem-block
saraf di incisura dan menghasilkan nyeri yang mereda. Perawatan mungkin
memerlukan reseksi ligamen di atas incisura untuk dekompresi saraf. Bantalan
penyangga yang ditempatkan di bawah toraks caudad dari aksila dan cukup
tebal untuk mengangkat dada dari bahu dapat mencegah cedera peregangan
sirkumduksi pada saraf.

Gambar 29-14 Sirkumduksi lengan yang menggeser skapula dan meregangkan nervus
suprascapularis antara titik-titik penahannya di vertebra servikalis dan incisura scapulae.

Posisi Pronasi
Pronasi Penuh
Pada posisi pronasi penuh (Gbr. 29-15), elevasi batang tubuh dari permukaan
penyangga sehingga dinding abdomen bagian abdomen terbebas dari kompresi
hampir selalu mengakibatkan kepala dan ekstremitas bawah berada di bawah
ketinggian tulang belakang. Jika bagian atas meja bersudut pada batang-engsel
paha untuk menghilangkan lordosis lumbal dan memisahkan prosesus spinosus
lumbal, dan jika sasis kemudian diputar ke atas secukupnya untuk menyamakan
punggung pasien, gradien perfusi yang signifikan dapat berkembang antara kaki
dan jantung. Membungkus kaki dengan perban tekan, atau penggunaan kaus
kaki elastis panjang, meminimalkan bendungan darah (pooling) di pembuluh
darah yang elastis dan mendukung aliran balik vena.

Gambar 29-15 Posisi pronasi klasik. A: Meja datar dengan lengan rileks diekstensikan di samping
kepala pasien. Gulungan dada yang sama dibentangkan dari arah caudal dari klavikula hingga
tepat di luar area inguinal, dengan bantal di atas ujung panggul. Siku dan lutut diberi bantalan, dan
kaki difleksikan di lutut. Kepala diputar ke bantalan berbentuk C, berbahan gel atau spons busa
yang membebaskan mata dan telinga dari kompresi. B: Postur yang sama dengan lengan tertahan
di samping torso. C: Meja ditekuk untuk mengurangi lordosis lumbal; tali pada area subgluteal
ditempatkan setelah kaki diturunkan untuk memberikan dorongan ke arah cephal dan mencegah
selip ke arah caudal.

Saat posisi ini menyebabkan kepala lebih rendah dari jantung, gradien
tekanan dapat menyebabkan stasis vena dan limfatik di kepala. Posisi ini
dapat menyebabkan edema pada wajah dan jalan nafas, membuat ekstubasi
pasien yang diintubasi menjadi sulit, terutama setelah prosedur yang
berkepanjangan seperti fusi tulang belakang. Selain itu, selama satu atau
dua dekade terakhir, prosedur bedah tulang belakang yang berlangsung
lama telah mengakibatkan sejumlah pasien mengalami kehilangan
penglihatan berat. Kehilangan penglihatan ini terutama terkait dengan
neuropati optik iskemik. Meskipun etiologi dari neuropati optik iskemik tidak
sepenuhnya jelas, Lee et al45 berpendapat bahwa posisi pronasi dengan
kepala lebih rendah daripada jantung dapat menyebabkan kongesti vena dan
limfatik di kanalis optikus. Kongesti ini, ditambah dengan efek gravitasi pada
bola mata yang tergantung, dapat mengakibatkan peregangan nervus
optikus dan kemungkinan munculnya neuropati iskemik.46
Berbagai penyangga pelvis, abdomen, dan dada, termasuk gulungan
sejenis dari sprei yang padat, rangka dari gel atau logam yang diberi
bantalan dan dapat disesuaikan, dan four-pillar frames, telah dirancang untuk
membebaskan abdomen dari kompresi. Karena itu, penggunaan Wilson
frame sangat menjadi perhatian karena penggunaannya menghasilkan posisi
kepala yang lebih rendah daripada jantung, berpotensi berkontribusi pada
terjadinya kongesti nervus optikus.45 Penggunaan rangka juga dapat
menghasilkan peluang timbulnya point-pressure dan jika digunakan,
pemberian bantalan dengan hati-hati pada titik kontak harus
dipertimbangkan. Pilihan peralatan didasarkan pada fisik pasien, persyaratan
prosedur pembedahan, dan ketersediaan.
Pasien pronasi dengan mobilitas leher yang terbatas, riwayat nyeri
leher postural, atau riwayat gejala pada diskus servikalis harus
mempertahankan kepala pada bidang sagital, baik dengan skull-pin head
clamp atau dengan face rest. Face rest memiliki popularitas yang
berfluktuasi. Tekanan periokular yang berlebihan harus dipertimbangkan dan
dihindari dalam penggunaan face rest. Jika leher tidak nyeri dan mobilitasnya
baik, kepala dapat diputar ke samping dan ditopang untuk mencegah
tekanan pada bagian bawah mata dan telinga. Namun, rotasi paksa pada
kepala yang mengalami pronasi harus dihindari dengan hati-hati agar tidak
menyebabkan nyeri leher pasca operasi atau kompresi radiks atau pembuluh
darah servikal. Selain itu, sebagian besar pasien yang dijelaskan dalam
database American Association of Anesthesiologists (ASA) Closed Claims
telah mengalami neuropati servikal saat posisi pronasi dengan kepala diputar
selama lebih dari 3 jam. Informasi ini menunjukkan bahwa mungkin masuk
akal untuk menjaga kepala dalam posisi netral ketika pasien diperkirakan
akan diposisikan pronasi selama lebih dari 3 jam.
Ketika pasien dijadwalkan untuk diposisikan pronasi setelah induksi
anestesi, ada baiknya selama wawancara pra-anestesi untuk mendapat dan
mencatat informasi tentang segala keterbatasan yang mungkin ada dalam
kemampuannya mengangkat lengan ke atas saat bekerja atau tidur. Jika
pasien menunjukkan gejala, sebaiknya letakkan lengan di samping batang
tubuh setelah pronasi (lihat Thoracic Outlet Syndrome). Jika lengan
ditempatkan di samping kepala (yaitu, diekstensikan ke arah ventral di bahu,
difleksikan di siku, dan abduksikan ke papan lengan; posisi "menyerah"), otot
di sekitar bahu tidak boleh ada penekanan, caput humerus tidak boleh
meregang atau menekan bundel neurovaskular aksila (yaitu, bahu harus
abduksi <90 derajat), nervus ulnaris di siku harus diberi bantalan, dan denyut
nadi di pergelangan tangan harus tetap kuat. Fleksi anterior (ke depan) bahu
dapat mengurangi ketegangan pada struktur neurovaskular aksila.

Komplikasi Posisi Pronasi


Mata dan Telinga
Mata dan telinga mungkin mengalami cedera pada posisi pronasi. Kelopak mata
harus ditutup, dan setiap mata harus dilindungi sedemikian rupa sehingga
kelopak mata tidak terbuka secara tidak sengaja dan kornea mata tergores.
Pemberian pelumas mata harus dipertimbangkan, meskipun nilai perawatan ini
masih diperdebatkan. Mata juga harus dilindungi dari kepala yang diputar saat
positioning dan tekanan diberikan pada bola mata. Kabel peralatan monitoring
dan selang intravena harus diperiksa setelah pronasi untuk melihat bahwa tidak
ada yang bermigrasi di bawah kepala. Jika kepala tertahan di bidang sagital,
mata harus diperiksa setelah diposisikan untuk memastikan aman dari kompresi
oleh sandaran kepala.
Edema konjungtiva biasanya terjadi pada mata pasien pronasi jika kepala
berada pada atau di bawah level jantung. Biasanya bersifat sementara, tidak
bermakna, dan hanya membutuhkan pemulihan kembali gradien perfusi jaringan
normal dengan posisi supinasi, atau sedikit miring ke atas, agar terdistribusi
kembali. Tampaknya tidak ada hubungan antara edema ini dan terjadinya
neuropati optik iskemik posterior.

Kebutaan
Kehilangan penglihatan permanen dapat terjadi setelah prosedur bedah
nonokular, terutama yang dilakukan dalam posisi pronasi.45 Terjadinya komplikasi
yang merugikan ini terutama terkait dengan prosedur bedah ekstensif yang
dilakukan pada posisi pronasi, seperti bedah rekonstruktif tulang belakang,
dimana terjadi kehilangan darah, anemia, dan hipotensi.
Lee et al45 menggunakan data dari American Society of Anesthesiologists
Visual Loss Registry untuk mempelajari neuropati optik iskemik pada pasien fusi
tulang belakang. Dengan menggunakan metodologi kendali kasus 1:4, penulis
menemukan enam faktor risiko, setengahnya sangat mendukung spekulasi
mereka bahwa kongesti vena akut dari kanalis optikus adalah etiologi potensial
dari neuropati optik iskemik dalam kondisi ini. Penggunaan rangka tempat tidur
bedah Wilson dengan kurvatura yang dielevasikan sehingga kepala menjadi lebih
rendah dari jantung, obesitas dengan potensi peningkatan tekanan intra-
abdominal pada posisi pronasi, dan durasi anestesi yang lama, semuanya dapat
berkontribusi pada peningkatan kongesti vena di kanalis optikus dan berpotensi
menurunkan tekanan perfusi nervus optikus. Para penulis juga menemukan
bahwa peningkatan perkiraan kehilangan darah, jenis kelamin laki-laki, dan
persentase administrasi koloid yang lebih rendah secara independen terkait
dengan perkembangan neuropati optik iskemik setelah operasi fusi tulang
belakang.
Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa mengenai masalah ini, ASA’s
2012 Practice Advisory relevan.46 Pada dasarnya, adalah bijaksana untuk
mencoba mengurangi kongesti vena di kanalis optikus. Artinya, pertimbangan
harus diberikan untuk menggunakan posisi yang memungkinkan kepala pasien
sejajar atau lebih tinggi dari jantung mereka. Mungkin berguna untuk
menggunakan koloid serta kristaloid untuk mempertahankan volume
intravaskular. Posisi intraoperatif yang membantu mengurangi tekanan
intraabdomen dan, oleh karena itu juga mengurangi penyumbatan vena, mungkin
dapat berguna. Penggunaan Wilson frame dan alat positioning lainnya harus
dinilai dengan hati-hati, dengan tujuan untuk mengurangi tekanan pada abdomen
dan untuk menjaga agar kepala tetap setinggi atau lebih tinggi dari jantung.
Karena penulis menemukan durasi anestesi menjadi faktor risiko independen
untuk terjadinya neuropati optik iskemik pada populasi ini, mungkin lebih
bijaksana untuk bekerja sama dengan ahli bedah tulang belakang untuk
menentukan apakah akan bermanfaat jika ada pembatasan durasi operasi yang
diperkirakan akan berlangsung lama, terutama 6 jam atau lebih. Penetapan
staging dari prosedur ini mungkin dapat membantu.

Masalah Leher
Anestesi mengganggu refleks spasme otot yang melindungi tulang dari gerakan
yang menyakitkan jika pasien dalam kondisi sadar. Rotasi lateral kepala dan
leher pasien pronasi yang dianestesi, terutama pasien dengan artritis vertebra
servikalis, dapat terjadi peregangan otot rangka yang rileks dan ligamen, dan
melukai artikulasi vertebra servikalis. Nyeri leher pasca operasi dan keterbatasan
gerak dapat terjadi. Artritis leher biasanya paling baik ditangani dengan menjaga
kepala di bidang sagital pada saat pasien pronasi.
Rotasi kepala dan leher yang ekstrem juga dapat mengganggu aliran di
pembuluh darah ipsilateral atau kontralateral ke dan dari kepala. Rotasi kepala
yang berlebihan dapat mengurangi aliran pada sistem karotis 47 dan vertebral.48
Gangguan perfusi otak merupakan konsekuensi yang jelas bisa terjadi.

Cedera Pleksus Brakialis


Cedera peregangan pada akar pleksus brakialis (Gbr. 29-16A) di sisi
kontralateral ke wajah yang diputar mungkin terjadi jika bahu kontralateral
ditahan dengan kuat oleh ikatan pada pergelangan tangan. Jika satu lengan
diletakkan pada papan lengan di samping kepala, perhatian harus diberikan
untuk memastikan bahwa caput humerus tidak meregang dan menekan bundel
neurovaskular aksila (Gbr. 29-16B, C).
Ketika satu lengan diletakkan di atas papan lengan di samping kepala,
lengan bawah secara alami akan mengalami pronasi. Akibatnya, saraf ulnaris,
yang terletak di terowongan cubital (alur antara prosesus olekranon dan
epikondilus medialis humerus), rentan untuk tertekan oleh beban siku (Gbr. 29-
16D). Oleh karena itu, sisi medial siku harus memiliki bantalan yang baik dan
bebannya ditanggung di area yang luas untuk menghindari tekanan titik.

Gambar 29-16 Sumber potensi cedera pleksus brakialis dan komponen perifernya saat pasien
dalam posisi pronasi. A: Rotasi leher, peregangan radiks pleksus. B: Kompresi pleksus dan
pembuluh darah antara klavikula dan tulang rusuk pertama. C: Cedera pada berkas neurovaskular
ketiak dari caput humerus. D: Kompresi nervus ulnaris sebelum, di luar, dan di dalam terowongan
cubital. E: Area kerentanan dari nervus radialis terhadap kompresi lateral di bagian proksimal siku.

Menanyakan pasien tentang kemampuan mereka untuk bekerja atau tidur


dengan lengan dielevasikan di atas kepala dapat mengidentifikasi pasien dengan
thoracic outlet obstruction. Tes pra-operasi yang dapat dilakukan jika anamnedia
diragukan adalah dengan meminta pasien menggenggam tangan di belakang
oksiput selama wawancara. Jika pasien menggambarkan disestesi, mungkin
lebih baik untuk menjaga lengan di samping batang tubuh dalam posisi pronasi.
Nyeri pasca operasi yang menyiksa, melemahkan, dan tak kunjung reda telah
diketahui dapat terjadi pada pasien pronasi dengan penempatan lengan di atas
kepala yang sebelumnya mengalami ketidaknyamanan pada lengan mereka
pada posisi tersebut.

Cedera Payudara
Payudara wanita pronasi, jika dipaksa secara lateral atau medial oleh penyangga
dinding dada dan abdomen, dapat meregang dan terluka di sepanjang batas
sternalnya. Tekanan langsung pada payudara (terutama jika terdapat protesa
payudara) dapat menyebabkan iskemia pada jaringan payudara dan harus
dihindari. Beberapa kasus iskemia jaringan payudara telah dilaporkan, seringkali
mengakibatkan mastektomi dan kebutuhan rekonstruksi.

Kompresi Abdomen
Kompresi abdomen oleh berat badan pasien pronasi dapat menyebabkan organ
viscera menggeser diafragma ke arah cephal (cephalad) yang dapat
mengganggu ventilasi. Jika tekanan intraabdomen mendekati atau melebihi
tekanan vena, kembalinya darah dari pelvis dan ekstremitas bawah berkurang
atau terhalang. Karena pleksus vena vertebralis berkomunikasi langsung dengan
vena abdominal, peningkatan tekanan intraabdomen ditransmisikan ke bidang
bedah perivertebral dan intraspinal dalam bentuk distensi vena dan hal ini
menyebabkan peningkatan kesulitan dari tercapainya hemostasis. Semua
bantalan dan rangka pendukung, jika digunakan dengan benar, dirancang untuk
menghilangkan tekanan dari abdomen dan menghindari masalah ini.

Stoma dan Genital


Stoma yang mengalirkan isi organ viscera melalui dinding abdomen berisiko
terkena cedera pada posisi pronasi jika bersandar pada bagian rangka atau
bantalan penyangga. Iskemia kompresif pada orifisium stoma dapat
menyebabkannya terkelupas. Masalah yang sama juga terjadi pada alat kelamin,
terutama penis dan skrotum pria yang rentan.

Gambar 29-17 A: Posisi duduk pada pembedahan saraf konvensional. Kaki kira-kira setinggi
jantung dan sedikit difleksikan pada paha; kaki ditopang pada sudut yang sesuai terhadap kaki;
bantalan subgluteal melindungi nervus ischiadius. Rangka penopang kepala dijepit dengan benar
ke selusur di samping bagian pada bagian belakang pada kejadian emboli udara yang bermakna
secara hemodinamik. B: Pemasangan rangka kepala yang tidak tepat ke selusur meja di bagian
paha. Pada posisi ini, kepala pasien tidak dapat segera diturunkan karena perlu melepas skull
clamp.

Posisi Elevasi Kepala


Variasi Posisi Elevasi Kepala
Duduk
Posisi duduk klasik untuk pembedahan menempatkan pasien dalam postur
setengah bersandar di atas meja operasi, dengan kaki diangkat kira-kira setinggi
jantung dan kepala fleksi ke sisi ventral (Gbr. 29-17). Fleksi kepala seharusnya
tidak sampai memaksa dagu ke arah fossa jugularis sternalis (lihat “Tetraplegia
Midservikal”). Stoking elastis atau balutan tekan di sekitar kaki mengurangi
bendungan darah di ekstremitas bawah. Kepala seringkali ditahan di tempat
dengan beberapa jenis sandaran wajah atau dengan three-pin skull fixation
frame.

Supinasi — Tilted Head-up


Posisi supinasi dengan elevasi kepala pasien digunakan untuk banyak operasi
yang melibatkan aspek ventral dan lateral kepala (Gbr. 29-18) dan leher, dan
kadang-kadang dengan leher fleksi, untuk akses transkranial ke bagian atas
otak. Tujuannya adalah untuk meningkatkan akses ke target bedah untuk tim
operasi, serta untuk mengalirkan darah dan larutan irigasi dari luka. Bagian
belakang meja bedah dapat dinaikkan sesuai kebutuhan untuk menghasilkan
posisi duduk yang rendah (Gbr. 29-18A) atau seluruh meja dapat diputar setinggi
kepala dengan kaki pasien ditopang oleh sandaran kaki (Gbr. 29- 18B).
Meskipun derajat kemiringan biasanya tidak besar, gradien tekanan kecil
terbentuk di sepanjang axis vaskular yang kemudian dapat membentuk
bendungan darah di ekstremitas bawah atau memasukkan udara ke dalam
pembuluh darah berpori yang diinsisi di atas level jantung.
Untuk operasi di sekitar sendi bahu, pasien dapat ditempatkan pada
posisi elevasi kepala semi-supinasi (Gbr. 29-19). Batang tubuh atas biasanya
digerakkan ke lateral sampai bahu bedah diekstensikan melampaui tepi meja
operasi. Batang tubuh ditopang sedemikian rupa sehingga pinggul berada di atas
meja, bahu bedah diangkat dan di atas tepi meja, dan kepala bertumpu pada
bantal (Gbr. 29-19A) atau sandaran kepala (Gbr. 29-19B). Dengan demikian
akses untuk sisi dorsal dan ventral dari shoulder girdle (cingulum pectorale)
tersedia. Lengan bedah tetap berada di bagian depan torso dan dipersiapkan
serta dibungkus agar dapat mobile di meja bedah.

Gambar 29-18 Posisi elevasi kepala yang sering digunakan untuk operasi pada sisi ventral dan
ventrolateral dari kepala, wajah, leher, dan vertebra servikalis. A: Kakinya kira-kira setinggi jantung
dan gradien ke kepala sedikit berarti. B: Meja datar dan sandaran kaki berguna saat tiroidektomi
direncanakan dengan anestesi regional.
Gambar 29-19 A: Posisi lawn chair untuk operasi di sekitar sendi bahu. B: Batang tubuh bagian
atas diputar ke arah bahu yang tidak dibedah dan disangga dengan gulungan atau bantalan yang
kokoh.
Lateral — Tilted Head Up
Posisi lateral dengan kepala agak ditinggikan, sarana akses ke lesi
oksipitoservikal, juga disebut sebagai posisi bangku taman (park bench position).
Semua persyaratan stabilisasi yang diperlukan untuk posisi lateral biasa berlaku.
Kepala dapat dipegang dengan kuat pada three-pin skull fixation holder, yang
dapat diatur ulang sesuai kebutuhan selama operasi, atau disangga oleh bantal
atau bantalan. Meskipun derajat ketinggian kepala yang digunakan biasanya
kurang dari 15 derajat, posisi tersebut tidak sepenuhnya menghilangkan risiko
emboli udara. Ahli anestesi memiliki akses yang baik ke wajah dan dada pasien
untuk tujuan monitoring, manipulasi, dan resusitasi. Perhatian yang besar harus
diarahkan untuk menghindari kompresi vena leher, yang dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial dan edema lidah.

Komplikasi Posisi Elevasi Kepala


Hipotensi Postural
Pada pasien yang dianestesi, menetapkan salah satu posisi elevasi kepala
sering kali disertai dengan penurunan tekanan darah sistemik. Refleks protektif
normal dari perubahan tekanan darah dihambat oleh obat-obatan yang diberikan
selama anestesi. Mengukur tekanan arteri rata-rata pada level sirkulus Willisi
banyak direkomendasikan untuk menilai tekanan perfusi otak secara lebih akurat.
Namun bagaimanapun juga, rekomendasi ini bersifat kontroversial.49–53

Emboli Udara
Emboli udara berpotensi kematian. Dalam aliran darah, udara bermigrasi ke
jantung, dimana ia menciptakan busa yang dapat dimampatkan yang
mengganggu efisiensi dorongan kontraksi ventrikel dan mengganggu sistem
konduksi. Udara juga dapat masuk ke pembuluh darah paru, dimana gelembung
menghalangi pembuluh darah kecil dan mengganggu pertukaran gas, atau dapat
melewati foramen ovale paten ke sisi kiri jantung dan sirkulasi sistemik.
Potensi emboli udara vena meningkat seiring dengan peningkatan derajat
elevasi lokasi operasi di atas jantung. Meskipun terjadinya emboli udara adalah
fenomena yang relatif sering terjadi pada posisi elevasi kepala, sebagian besar
emboli berukuran kecil, tidak tampak secara klinis, dan hanya dapat dikenali
dengan deteksi Doppler yang canggih atau teknik ekokardiografi (misalnya
transesophageal). Namun demikian, potensi akumulasi berbahaya dari udara
yang masuk memerlukan deteksi emboli segera, pencarian yang cermat untuk
portal masuknya, dan pengobatan yang tepat untuk efek klinisnya.

Edema pada Wajah, Lidah, dan Leher


Makroglossia berat pasca operasi akibat obstruksi vena dan limfatik dapat
disebabkan oleh fleksi leher yang berkepanjangan dan bermakna. Kebutuhan
trakeostomi pasca operasi telah dilaporkan. Hindari menempatkan dagu pasien
dengan kuat ke dada dan gunakan oral airway untuk melindungi selang
endotrakeal. Fleksi leher ekstrim, dengan atau tanpa rotasi kepala, telah banyak
digunakan untuk mendapatkan akses ke struktur di fossa posterior dan vertebra
servikalis, tetapi potensi kerusakannya harus dipahami dan rotasi fleksi yang
berlebihan perlu dihindari jika memungkinkan. Moore et al54 berpendapat bahwa
mekanisme utama komplikasi ini mungkin dapat dicari tahu secara neurologis
daripada diperkirakan sebagai hasil dari obstruksi vaskular atau trauma lokal.
Masalah ini juga telah dijelaskan dengan penggunaan probe ekokardiografi
transesofageal.
Tetraplegi midservikal
Cedera parah ini terjadi setelah hiperfleksi leher, dengan atau tanpa rotasi
kepala, dan dikaitkan dengan peregangan korda spinalis yang mengakibatkan
gangguan pada pembuluh darahnya di area midservikal. Unsur spondilosis atau
batang spondilotik mungkin terlibat.55,56 Hasilnya adalah kelumpuhan di bawah
level vertebra servikalis ke lima. Meskipun sebagian besar laporan dalam literatur
menggambarkan kondisi tersebut terjadi setelah penggunaan posisi duduk,
tetraplegi midservikal juga terjadi setelah fleksi kepala yang berkepanjangan
untuk operasi intrakranial dalam posisi supinasi.

Cedera Nervus Ischiadicus


Cedera regangan nervus ischiadicus dapat terjadi pada beberapa pasien posisi
duduk jika pinggul difleksikan secara bermakna tanpa menekuk lutut. Kompresi
yang berkepanjangan dari nervus ischiadicus karena saraf ini keluar dari panggul
mungkin terjadi pada pasien kurus posisi duduk jika bokong tidak diberi bantalan
yang sesuai. Foot drop dapat disebabkan oleh cedera pada nervus ischiadicus
atau nervus peroneus komunis dan bisa bilateral.

Posisi Head-down
Pengenalan prosedur robotik telah menghasilkan peningkatan penggunaan
posisi head-down. Sebagian besar prosedur robotik pada awal pengenalan
teknologi mencakup prosedur prostatektomi, kolorektal, dan ginekologi. Dengan
demikian, sebagian besar dari prosedur ini dan pengalaman yang diperoleh
dengan prosedur robotik telah dilakukan di panggul dan abdomen bagian bawah.
Seperti halnya pengenalan teknologi baru, ada kurva pembelajaran yang curam
bagi operator. Biasanya, pengguna awal teknologi robotik meminta posisi head-
down yang curam pada pasien supinasi. Posisi head-down yang curam ini
mengakibatkan berbagai komplikasi yang menyulitkan ahli anestesi dan pasien.

Komplikasi Posisi Head-down


Cedera Kepala dan Leher
Bertepatan dengan diperkenalkannya teknik bedah robotik, beberapa pasien
mengalami cedera parah dan bahkan meninggal akibat pergeseran tubuh di meja
ruang operasi yang dimiringkan dengan sangat curam. Ada beberapa penjelasan
dari tindakan medikolegal yang melibatkan pasien yang tergelincir dari meja
operasi tersebut, yang mengakibatkan cedera leher. Dalam satu contoh, seorang
pasien dalam posisi supinasi dengan head-down tilt yang sangat curam jatuh dari
meja operasi dan kemudian meninggal karena pendarahan intrakranial masif.
Head-down tilt yang curam sering kali tidak terjamin dan harus secara aktif
dicegah jika diperlukan. Operator yang terampil sering kali merasa bahwa
mereka membutuhkan kemiringan kepala ke bawah yang tidak terlalu curam
karena mereka mendapatkan pengalaman dan keahlian dengan prosedur
robotik.

Pleksopati Brachial
Terdapat risiko cedera brakialis terkait dengan gerakan cephalad pasien saat
lengan atau bahu diikatkan ke meja dengan bahan retensi atau penyangga bahu.
Gerakan cephalad ketika lengan difiksasi atau ketika penahan bahu dengan
brace, tape, perangkat “bean bag”, atau pengunaan penahan torso lainnya dapat
mengakibatkan regangan bagian tengah dan bawah dari pleksus brakialis. Jika
gerakan cephalad menyebabkan hiperabduksi relatif bahu hingga lebih dari 90
derajat, pleksus brakialis dapat diregangkan saat bergerak ke distal di sekitar
caput humerus yang hiperabduksi.
Berdasarkan pada derajat penurunan kepala, penambahan kemiringan
pada posisi litotomi menggabungkan bagian terburuk dari litotomi dan postur
head-down. Berat organ viscera abdomen pada diafragma menambah kompresi
abdomen apa pun yang dihasilkan oleh paha fleksi pasien obesitas atau yang
ditempatkan pada posisi litotomi berlebihan. Ventilasi harus dibantu atau
dikontrol. Karena elevasi ekstremitas bawah di atas jantung menghasilkan
gradien perfusi yang menanjak, hipotensi sistemik dan pembungkus kaki
kompresif dapat membatasi perfusi ke perifer, dan keduanya dapat menjadi
faktor dalam munculnya sindrom kompartemen di kaki pasien dalam posisi
litotomi. Gradien perfusi ini sering tidak dapat diprediksi dan berlebihan,
berpotensi meningkatkan risiko sindrom kompartemen.9,10
Perpindahan sefalad diafragma dan terhalangnya gerakan inspirasi
kaudadnya menyertai posisi head-down karena organ viscera abdomen yang
bergeser oleh sebab gravitasi. Akibatnya, kerja ventilasi spontan meningkat
untuk pasien yang dianestesi dengan postur yang memperburuk rasio ventilasi-
perfusi oleh akumulasi gravitasi darah di apeks paru yang berventilasi buruk.
Selama ventilasi terkontrol, tekanan inspirasi yang lebih tinggi diperlukan untuk
mengembangkan paru-paru.
Kongesti pembuluh darah kranial dan peningkatan tekanan intrakranial
dapat diperkirakan diakibatkan oleh head-down tilt. Untuk pasien dengan
penyakit intrakranial yang telah diketahui atau dicurigai, posisi tersebut harus
digunakan hanya pada kasus yang jarang terjadi dimana postur pengganti yang
berguna untuk pembedahan tidak dapat ditemukan. Posisi harus dipertahankan
sesingkat mungkin.57,58
Posisi head-down tilt yang curam (misalnya 30 hingga 45 derajat
kemiringan kepala ke bawah) mungkin memerlukan beberapa cara untuk
mencegah pasien tergeser ke arah cephal keluar dari posisinya. Penggunaan
lutut yang ditekuk kadang-kadang digunakan untuk mempertahankan posisi
pasien yang miring (Gbr. 29-20). Secara historis, penyangga (brace) bahu, strap,
atau tape juga telah digunakan untuk mencegah pasien meluncur ke arah cephal
pada posisi head-down tilt yang curam. Posisi ini paling baik ditoleransi jika
ditempatkan di atas sendi akromioklavikularis, tetapi perhatian harus diberikan
untuk melihat bahwa bahu tidak dipaksa caudad agar tidak menekan bundel
neurovaskular subklavia antara klavikula dan tulang rusuk pertama. Jika
ditempatkan secara medial pada akar leher, akan dapat dengan mudah menekan
struktur neurovaskular yang muncul dari area otot scalenus. Untuk alasan ini dan
alasan lainnya, penggunaan penyangga bahu dan penggunaan penahan lainnya
telah berkurang popularitasnya. Secara umum, penggunaan posisi head-down
yang curam harus dibatasi hanya pada bagian-bagian dari prosedur di mana
penggunaannya sangat dibutuhkan.57,58
Gambar 29-20 Head-down tilt. Gambar bawah menunjukkan kemiringan tradisional yang curam
(30 hingga 45 derajat). Penahan tungkai dan fleksi lutut menstabilkan pasien, menghindari
penggunaan brace pada pergelangan tangan atau bahu yang mengancam pleksus brakialis.
Gambar atas menunjukkan 10 hingga 15 derajat head-down tilt.

Ringkasan
Ada banyak kemungkinan cedera pada pasien selama prosedur pembedahan.
Pertimbangan hati-hati dari posisi intraoperatif dan pasca operasi dapat
membantu mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan kejadian terkait posisi
perioperatif. Meskipun masalah yang berkaitan dengan posisi perioperatif tampak
sederhana dan dapat dicegah, mekanisme etiologi dari banyak masalah ini masih
belum terlihat. Masih banyak yang harus dilakukan untuk menentukan peran
etiologi potensial lainnya, seperti respon inflamasi perioperatif, imunosupresi, dan
aktivasi virus, pada perkembangan masalah ini.

Anda mungkin juga menyukai