OLEH
KELOMPOK 1
Dengan segaa puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis
ucapkan, karena melaui berkat dan rahmatnya sehingga makalah ini dapat tersusun
dengan baik.
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah
wawasan untuk memahami manusia dari perndekatan psikologis. Selain itu juga
penulis berharap makalah ini dapat menjadi dasar pengantar pemenuhuan materi
perkuliahan psikologi kebidanan.
Seperti pepatah mengatakan tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu
dengan rendah hati kami berharap pada pembaca kiranya dapat memberikan kritik
dan saran yang membangun guna perbaikan makalah ini kedepannya.
Sebagai akhir kata penulis megucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu penyusunan makalah ini
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN................................................................................. 1.
1.1. Latar Belakang..................................................................................................
1.2. Rumusan
Masalah.............................................................................................
1.3. Tujuan...............................................................................................................
1.3.1. Tujuan Umum.............................................................................................
1.3.2. Tujuan Khusus..............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rasio kematian ibu, yang diperkirakan sekitar 228 per100.000
kelahiran hidup, tetap tinggi di atas 200 selama dekade terakhir, meskipun
telah dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ibu
dan setiap 1 jam satu perempuan meninggal dunia ketika melahirkan atau
karena sebab yang berhubungan dengan kehamilan. (Adik Wibowo, 2014;
Kemenkes, 2012). Penurunan Angka Kematian Ibu (AK) merupakan salah
satu target Millenium Development Goal (MDG) World Health
Organization (WHO) yaitu sebesar 75% pada tahun 2015 (Krisnadi, 2018).
Faktor yang menyebabkan kematian ibu secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab
langsung kematian ibu adalah faktor yang berhubungan dengan komplikasi
kehamilan, persalinan dan nifas seperti perdarahan, pre eklampsia/
eklampsia, infeksi, persalinan macet dan abortus.
Penyebab kematian tidak langsung kematian ibu adalah faktor yang
memperberat keadaan ibu hamil seperti empat terlalu serta faktor yang
mempersulit proses penanganan kedaruratan kehamilan, persalinan, dan
nifas, seperti lebih kurang 65% kehamilan yang terjadi berhubungan dengan
4 terlalu, terlalu muda (usia kurang dari 20 tahun, terlalu tua (usia lebih dari
35 tahun), terlalu sering melahirkan (jarak kehamilan kurang dari 2 tahun),
dan terlalu banyak (lebih dari 3 anak).
Empat terlalu selain berpengaruh terhadap angka kematian ibu, juga
mempunyai dampak terhadap kematian bayi dan pertumbuhan kesehatan
bayi yang dilahirkan dan 3 terlambat yaitu terlambat mengenali kehamilan
dalam situasi gawat, jauh dari fasilitas kesehatan, biaya, persepsi mengenai
kualitas dan efektivitas dari pelayanan kesehatan. Terlambat kedua,
dipengaruhi oleh lama pengangkutan, kondisi jalan dan biaya transportasi.
Faktor yang mempengaruhi terlambat ketiga adalah terlambat mendapatkan
pelayanan pertama kali di RS rujukan (Krisnadi, 2014).
Kematian ibu juga disebabkan faktor dasar antara lain keterbatasan
pengetahuan, taraf pendidikan, status sosial ekonomi, dan pengambilan
keputusan di tingkat rumah tangga. Meningkatkan kesehatan ibu berarti
meningkatkan terciptanya generasi penerus yang cerdas. Masih banyak ibu
hamil yang tidak memperhatikan asupan gizi, sehingga anak yang dilahirkan
berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Untuk mengatasi kematian
ibu dan kematian bayi diperlukan upaya inovatif dan kualitas pelayanan
yang diberikan oleh tenaga kesehatan dan peningkatan pengetahuan ibu
hamil mengenai asuhan dalam kehamilan.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 (Kemenkes, 2013),
mengemukakan bahwa, cakupan pemeriksaan kehamilan pertama pada
trimester pertama adalah 81,6 persen dan frekuensi antenatal care (ANC) 1
kali pada trimester pertama, minimal 1 kali pada trimester kedua dan
minimal 2 kali pada trimester3 sebesar70,4 persen. Tenaga yang paling
banyak memberikan pelayanan ANC adalah bidan (88%) dan tempat
pelayanan ANC paling banyak diberikan di praktek bidan (52,5%).
2.1.1. Torch
TORCH adalah singkatan untuk kumpulan beberapa penyakit infeksi
yang terkait dengan meningkatnya risiko terjadinya abortus atau
kelainan/cacat bawaan pada janin akibat infeksi yang terjadi pada masa
kehamilan. Kepanjangan TORCH adalah Toxoplasmosis, Rubella (campak
Jerman) , Cytomegalovirus (CMV) dan Herpes simpleks.
TORCH bisa menyerang orangtua dan anak muda dari berbagai
kalangan dan berbagai jenis kelamin. Keempat infeksi tersebut tidak
memberikan gejala yang berat pada orang dewasa yang terkena. Jika timbul
gejala biasanya hanya berupa sering sakit kepala, radang tenggorokan, flu
berkepanjangan, sakit pada otot, persendian, pinggang, sakit pada kaki,
lambung, mata dan sebagainya.
Gejala yang berat dapat timbul hanya pada orang dewasa dengan
penurunan data tahan tubuh yang hebat. Misalnya seperti pada penderita
HIV atau orang yang mendapat obat penekan respon imun seperti pada
orang yang menjalani transplantasi organ. Infeksi pada wanita yang terjadi
selama kehamilan dapat menular pada bayi dan meningkatkan risiko
terjadinya keguguran. Selain itu dapat juga mengakibatkan bayi baru lahir
mati atau bayi dengan cacat/kelainan bawaan yang serius pada bayi.
Oleh karena itu, fungsi pemeriksaan TORCH saat kehamilan pada
dasarnya adalah untuk mengetahui ada tidaknya infeksi. Pemeriksaan
TORCH juga dapat dilakukan pada wanita yang berencana untuk hamil
guna mengetahui kondisi kesehatan sebelum hamil. Selain itu, pemeriksaan
ini juga perlu dilakukan pada seorang bayi yang menunjukkan gejala yang
sesuai dengan salah satu infeksi bawaan tersebut.
Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi adanya infeksi TORCH
yang umum dilakukan adalah pemeriksaan untuk mendeteksi adanya
antibodi terhadap keempat jenis organisme ini. Secara umum jika seseorang
terinfeksi maka sistem kekebalan tubuhnya akan bereaksi membentuk
antibodi. Pemeriksaan antibodi terhadap TORCH dalam darah wanita hamil
biasanya dilakukan pada trisemester pertama kehamilan dan pemeriksaan
terhadap antibodi ini pada prinsipnya hanya merupakan pemeriksaan awal).
Jika hasil pemeriksaan antibodi dalam darah memberikan hasil posistif
sebaiknya dikonfirmasi dengan pemeriksaan lain yang lebih canggih seperti
pemeriksaan cairan ketuban yang diperiksa dengan metode polymerase
chain reaction (PCR) untuk mencari DNA parasit atau virus Infeksi
TORCH bisa dicegah dengan meningkatkan daya tahan tubuh, menjaga
kebersihan dan hygiene dengan meningkatkan kebiasaan cuci tangan dengan
sabun sampai bersih, mencuci bersih sayuran mentah yang akan dimakan,
menghindari makan daging mentah atau yang dimasak setengah matang,
mengurangi kontak langsung dan erat dengan penderita campak dan herpes,
pengobatan infeksi toxoplasma dalam kehamilan dengan pemberian
antibiotik untuk mencegah toxoplasmosis kongenital, vaksinasi campak
terutama pada wanita usia subur, prosedur melahirkan dengan section
caessaria pada wanita hamil dengan lesi herpes simpleks aktif pada genital.
2.1.2. Syfilis
Sifilis merupakan penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh
bakteri Treponema pallidum, merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik,
selama perjalanan penyakit dapat menyerang seluruh organ tubuh. Terdapat
masa laten tanpa manifestasi lesi di tubuh, dan dapat ditularkan kepada bayi di
dalam kandungan.
Manifestasi awal penyakit sifilis dapat berupa makula kecil, yang
kemudian menjadi papul dan mengalami ulserasi. Ulkus biasanya tunggal, tidak
nyeri, dasar bersih dan relatif tidak memiiki pembuluh darah, meskipun kaang
dapat multipel. Dapat terjadi limfadenopati inguinal bilateral. Pada pria, lesi
umumnya ditemukan di sulkus koronal pada glan penis atau batang penis,
sedangkan pada wanita lesi ditemukan pada vulva, dinding vagina, atau pada
servik. Lesi ekstragenital jarang terjadi. Apabila tidak diobati, ulkus akan
menghilang secara spontan dalam waktu 3-8 minggu tanpa meninggalkan bekas
luka.
Diagnosis sifilis didasarkan pada evaluasi klinis, deteksi organisme
penyebab, dan konfirmasi dari penyakit dengan pemeriksaan laboratorium.
Treponema pallidum tidak dapat dilakukan kultur di laboratorium, tetapi dapat
diidentifikasi pada lesi menggunakan pemeriksaan lapangan gelap atau
mikroskop fluoresensi atau dengan teknik molekuler. Pada individu yang
asimtomatis, dapat dilakukan tes serologi untuk skrining terhadap infeksi.
Serologi masih merupakan metode yang paling reliabel untuk diagnosis
laboratorium sifilis. Uji serologis dibagi menjadi tes nontreponemal dan
treponemal. Diagnosis serologi konvensional menggunakan pendekatan dua
langkah, yaitu skrining pertama dengan metode nontreponemal, dan kemudian
menggunakan tes konfirmasi yang menggunakan metode antigen treponema
untuk mengkonfirmasi hasil tes skrining positif. Uji nontreponemal juga dapat
digunakan untuk memonitor respon pengobatan.
Pemeriksaan histologis dapat dilakukan pada individu dengan lesi yang
tidak khas, dimana pemeriksaan ini ditandai dengan ditemukannya infiltrat
perivaskuler yang terdiri dari limfosit dan plasma sel. Selain itu dapat ditemukan
endarteritis obliterans dan endoplebitis, proliferasi endothelial serta penebalan
dinding pembuluh darah yang dikelilingi sel infiltrat. Selanjutnya dapat terjadi
obliterasi dan trombosis pembuluh darah yang menyebabkan nekrosis. Pada
sifilis sekunder dapat ditemukan spirochaetes pada sayatan yang diberi
pewarnaan Levaditi. Sedangkan pada sifilis tersier yang berbentuk gumma dapat
dijumpai vaskulitis granulomatosa.
Pengobatan sifilis menggunakan penisilin G yang diberikan secara
parenteral. Penisilin merupakan pilihan obat untuk tatalaksana sifilis pada semua
stadium. Preparat yang digunakan seperti benzathine, aqueous procaine, atau
aqueous crystalline. Dosis dan lama pengobatan disesuaikan dengan stadium dan
manifestasi klinis yang muncul dari penyakit. Pengobatan untuk sifilis laten
lanjut dan sifilis tersier memerlukan waktu yang lebih lama, karena organisme
penyebab mungkin membelah secara lambat. Pengobatan yang lebih lama juga
dibutuhkan pada individu dengan sifilis laten yang tidak diketahui secara pasti
durasi individu tersebut terinfeksi sifilis.
2.1.3. Hepatitis B
Hepatitis B adalah infeksi yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh
virus Hepatitis B (VHB).Penyakit ini bisa menjadi akut atau kronis dan dapat
pula menyebabkan radang hati, gagal hati, serosis hati, kanker hati, dan
kematian.Dari beberapa penyebab Hepatitis yang disebabkan oleh virus,
Hepatitis B menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia
karena manifestasinya sebagai Hepatitis akut dengan segala komplikasinya serta
risiko menjadi kronik (Kementerian Kesehatan RI, 2014; Feld dan Janssen,
2015).
Transmisi virus dari ibu ke anak umumnya dikenal dengan istilah
transmisi perinatal. Berdasarkan definisinya, periode perinatal dimulai dari usia
kehamilan 28 minggu dan berakhir pada hari ke-28 pasca salin.
Manifestasi klinis infeksi VHB pada ibu hamil tidak berbeda dengan
infeksi VHB pada umumnya, dengan 4 gambaran sebagai berikut (Silverman,
1995) :
a. Asimtomatik
Gambaran klinis pada penderita asimtomatik tidak memberikan
gambaran yang khas.Penderita nampak sehat, namun dalam
darahnya ditemukan HBsAg positif.Jika ditemukan HBeAg positif,
maka penderita tergolong infeksius, sebab HBeAg menunjukkan
adanya proses replikasi yang masih berlangsung.
b. Hepatitis B Akut
Perjalanan klinis hepatitis B akut dibagi menjadi 4 tahap yaitu:
1. Masa inkubasi Merupakan periode diantara penularan infeksi
hingga timbulnya gejala, berkisar antara 28 – 225 hari dengan
rata-rata 75 hari.
2. Fase pra-ikterik
Merupakan periode diantara timbulnya gejala pertama hingga
ikterik. Keluhan awal yang biasa dirasakan antara lain lemas,
malaise, anoreksia, mual, muntah, panas, dan rasa tidak enak di
daerah perut kanan atas. Mual dan muntah pada kehamilan muda
dapat dibedakan dari hepatitis, dimana pada kehamilan muda,
mual dan muntah terutama dirasakan pada pagi hari dan semakin
berkurang dan semakin membaik pada sore hari. Sementara pada
hepatitis, semakin sore mual dan muntah yang dirasakan akan
semakin berat
3. Fase ikterik
Fase ikterik berlangsung antara beberapa hari hingga 6 bulan,
dengan ratarata 1-3 minggu dan menghilang dalam 2-6 minggu.
Saat gejala ikterik muncul, maka gejala demam dan malaise akan
menghilang. Pada pemeriksaan fisik ditemukan hepar yang
teraba membesar dan menetap selama beberapa saat setelah
ikterik menghilang.
4. Fase penyembuhan
Merupakan periode diantara menghilangnya ikterik hingga
pasien sembuh.Pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan
HBsAg, HBeAg, dan VHB DNA. Anti-HBc mulai timbul
disertai IgM anti-HBc yang meningkat, sedangkan IgG anti-HBc
timbul belakangan dan menetap. Pada fase ini, sebelum HBsAg
menghilang akan timbul anti-HBe yang menandakan penurunan
replikasi virus dan terjadinya resolusi.
c. Hepatitis B kronis
Gambaran klinis hepatitis B kronis bermacam-macam, mulai dari
tanpa gejala hingga gejala yang khas. Gejala tersebut seringkali sulit
dibedakan, apakah seseorang menderita hepatitis kronis persisten
atau hepatitis kronis aktif. Keluhan yang sering terjadi pada hepatitis
kronis aktif adalah lemas, mudah lelah, nafsu makan dan berat badan
menurun, dan kadang disertai demam subfebris.
d. Karsinoma Hepatoselular Primer (KHP)
Gejala klinis KHP akan muncul dan perlu dicurigai apabila seorang
penderita sirosis mengalami perburukan kondisi. Keluhan umum
berupa malaise, rasa penuh di daerah perut, anoreksia, berat badan
menurun dan demam subfebris. Pada pemeriksaan didapatkan perut
yang membengkak karena asites dan liver yang membesar.
Gambaran yang mencurigakan ke arah
Skrining hepatitis B merupakan salah satu bagian dari upaya untuk
menurunkan transmisi vertikal dari maternal. Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) menyarankan untuk melakukan skrining hepatitis B surface
antigen (HBsAg) setiap wanita hamil pada setiap kehamilan, bahkan jika
sebelumnya terdapat riwayat skrining maupun vaksinasi. Ibu dengan hasil skrining
positif diharapkan dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk menegakkan
diagnosis hepatitis B (CDC, 2005).
2.1.4. Blood Group Dan Rhesus Faktor
Pemeriksaan golongan darah adalah suatu prosedur laboratorium
yang dilakukan untuk menentukan jenis golongan darah. Pada uji
pratransfusi, pemeriksaan golongan darah minimal yang harus dikerjakan
adalah golongan darah sistem ABO dan Rhesus (D typing). Pemeriksaan
golongan darah dilakukan baik pada donor maupun pada pasien (WHO,
2002).
Pemahaman antigen dan antibodi merupakan dasar untuk melakukan
prosedur test dan menginterpretasikan hasil pemeriksaan. Antigen adalah
setiap zat yang dianggap sebagai benda asing yang masuk ke dalam tubuh
dan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk merespon masuknya antigen
tersebut. Antibodi adalah produk dari respon imun dan akan bereaksi
dengan antigen dengan beberapa cara yang dapat diamati.
Berdasarkan sistem ABO, ada 4 jenis golongan darah sesuai dengan
jenis antigen dan antibodi yang dimiliki masing-masing golongan. Individu
dengan golongan darah A memiliki antigen A pada sel darah merahnya dan
antibodi B dalam plasmanya. Individu dengan golongan darah B memiliki
antigen B dan antibodi A, sedangkan individu golongan darah AB
mempunyai antigen A maupun antigen B dan tidak memiliki antibodi A
maupun B dalam plasmanya. Individu dengan golongan darah O tidak
memiliki antigen A maupun B tetapi mempunyai antibodi A dan B dalam
plasmanya (McClelland, 2007).
Berdasarkan jenis peralatan penunjang yang digunakan, pemeriksaan
golongan darah secara manual dapat dikerjakan dengan tiga metode, yaitu
1. Slide test atau glass slide atau white porcelain tile
2. Tube test
3. Microwell plate atau microplate test.
Beberapa teknik lain yang sudah dikembangkan saat ini dan dapat
dikerjakan secara otomatis, antara lain:
1. Column technique (sephadex gel)
2. Solid phase tests (NIB, 2013).
Golongan darah Rhesus merupakan sistem golongan darah
terpenting kedua dalam pelayanan transfusi. Antigen Rhesus bersifat sangat
imunogenik. Antibodi Rhesus baru terbentuk bila ada paparan antigen
Rhesus. Istilah Rhesus positif dan Rhesus negatif rutin digunakan di
masyarakat dan para ahli, ketika menyebutkan jenis golongan darah.
Misalnya A-positif atau A-negatif. Rhesus positif mengindikasikan adanya
salah satu antigen Rhesus pada sel darah merah, umumnya antigen D.
Rhesus negatif mengindikasikan tidak adanya antigen D pada sel darah
merah seseorang (Johnson and Wiler, 2012).
Berbeda dengan antigen ABO, antigen Rhesus hanya diekspresikan
oleh sel eritrosit dan tidak oleh jaringan tubuh yang lain termasuk leukosit
dan trombosit. Antigen D memiliki makna klinis yang signifikan sama
seperti antigen A dan B. Antibodi D tidak ditemukan pada semua individu
golongan darah Rhesus negatif. Anti-D baru terbentuk setelah seseorang
dengan Rhesus negatif terpapar Rhesus positif. Misalnya setelah mendapat
transfusi atau setelah proses kehamilan. Lebih dari 80% individu dengan
Rhesus D negative akan membentuk anti-D setelah transfusi dengan
golongan darah Rhesus D positif (Mehdi, 2013).
Tujuan utama dari pemeriksaan golongan darah Rhesus adalah untuk
mendeteksi ada tidaknya antigen D. Sebenarnya ada beberapa jenis antigen
Rhesus, namun antigen D memiliki sifat yang paling imunogenik di antara
antigen lainnya sehingga rutin diperiksa bersama dengan antigen golongan
darah sistem ABO (Blaney and Howard, 2013).
Prinsip pemeriksaan golongan darah Rhesus sama dengan golongan
darah ABO yaitu apabila antigen direaksikan dengan antibodi yang sesuai
maka akan terjadi aglutinasi. Sistem Rhesus merupakan golongan darah
dengan tingkat imunogenitas yang tinggi dan komplek serta memiliki nilai
klinis yang signifikan. Karena memiliki konsekuensi klinis secara langsung,
maka pemeriksaan golongan darah Rhesus rutin dikerjakan pada uji
pratransfusi (Levitt, 2014).
Beberapa golongan darah Rhesus dapat bersifat weak D antigens
yang hanya dikenali dengan prosedur pemeriksaan Indirect Coomb’s Test
(ICT). Pada hasil pemeriksan rutin yang negatif perlu dilakukan
pemeriksaan lanjutan untuk mendeteksi adanya weak D. Standar dari
American Association of Blood Bank (AABB) menganjurkan untuk rutin
mendeteksi weak D pada pemeriksaan darah donor, tetapi tidak rutin pada
sampel pasien (Levitt, 2014).
Ada 3 jenis metode manual yang bisa digunakan untuk pemeriksaan
golongan darah Rhesus yaitu:
1. Slide test atau white tile.
2. tube test
3. Microwell plate atau Microplate (Roback et al, 2011; Saluju and
Singal, 2014).
Disini hanya dibahas pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan 3
metode manual, 2 metode lainnya hampir sama dengan pemeriksaan
golongan darah ABO hanya berbeda pada jenis reagen yang digunakan.
2.1.5. Anti D Proppylaxis For The Rhesus
Sistem klasifikasi rhesus merupakan sistem penggolongan darah
terpenting kedua setelah sistem ABO. Secara klinis sistem rhesus
merupakan sistem klasifikasi yang penting karena berhubungan dengan
anemia hemolitik pada neonatus, transfusi, dan autoimmune hemolytic
anemia (AIHA). Sistem ini mengklasifikasikan darah menjadi rhesus positif
dan rhesus negatif berdasarkan ada tidaknya antigen-D pada permukaan
eritrosit.
Antigen D merupakan antigen rhesus utama yang ada pada
permukaan eritrosit. Apabila terdapat antigen-D pada permukaan eritrosit
(dengan genotif D/D atau D/d), maka dikatakan golongan darah rhesus
positif (Rh+), begitu pula sebaliknya. Apabila tidak ditemukan antigen-D
pada permukaan eritrosit, maka dikatakan golongan darah rhesus negatif
(Rh-).
Sistem penggolongan darah rhesus berbeda dengan sistem
penggolongan ABO. Pada sistem rhesus, antibodi anti-Rh biasanya tidak
ditemukan pada orang dengan Rh-, namun antibodi anti-Rh akan muncul
pada orang dengan rhesus negatif apabila peredaran darah orang tersebut
telah terpapar dengan antigen-D (Rh+).
Antibodi anti-Rh ini merupakan immunoglobulin G (IgG) dan oleh
karena antibodi ini dapat melintasi plasenta, sehingga pada ibu hamil
dengan Rh- yang mengandung anak dengan Rh+ dapat membentuk antibodi
anti-Rh pada kehamilan selanjutnya. Secara umum, golongan darah Rh+
lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan golongan darah Rh-.
Pemeriksaan golongan darah dan crossmatching sebaiknya
dilakukan pada semua wanita hamil pada kunjungan pertama . Jika wanita
tersebut memiliki Rh+, maka tidak diperlukan pemeriksaan lanjutan untuk
golongan darah, namun apabila wanita tersebut memiliki Rh-, maka
pemeriksaan golongan darah ABO dan Rh suami perlu dilakukan. Apabila
hasil pemeriksaan golongan darah suami menunjukkan Rh+, maka hampir
semua guideline merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan genotip
ayah untuk gen peng-kode Rh-D.
Untuk wanita yang belum mengalami isoimunisasi, tujuan
tatalaksana adalah untuk mencegah terjadinya sensitisasi. Hal ini dapat
dilakukan dengan memberikan immunoglobulin anti-D dosis profilaksis
untuk mengatasi perdarahan fetomaternal spontan dan juga berbagai
kejadian antepartum yang berpotensi menyebabkan perdarahan tambahan.(2)
Apabila tidak diberikan profilaksis, diperkirakan 1% wanita Rh- akan
membentuk antibodi pada akhir kehamilan Rh+. Sekitar 7-9% wanita
lainnya akan tersensitisasi saat persalinan, dan 7-9% lainnya akan
membentuk antibodi selama 6 bulan setelah melahirkan dan sekitar 17%
wanita akan tersensitisasi pada saat kehamilan kedua. Strategi yang paling
efektif untuk mengurangi insiden isoimunisasi Rh adalah dengan
memberikan anti-D profilaksis pada saat antenatal atau saat bayi lahir.
Apabila hasil pemeriksaan ICT negatif pada kunjungan pertama,
pemeriksaan diulang dengan interval empat minggu dan jika tetap negatif
pada tes berikutnya, maka diberikan immunoglobulin anti-D dosis
profilaksis (300 mikrogram, diberikan secara intramuskular) pada minggu
ke 28-32 kehamilan. Hal ini akan mengatasi sejumlah kecil perdarahan
fetomaternal dan mencegah terjadinya isoimunisasi.
Apabila antibodi Rh-D (anti-D) pada pemeriksaan ICT positif dan
mencapai titer kritikal, kehamilan harus ditatalaksana sebagai kehamilan
yang telah mengalami isoimunisasi. Tujuan tatalaksana ini adalah
mendeteksi anemia pada janin sedini mungkin dan juga menghindari
kemungkinan terjadinya perdarahan fetomaternal (misalnya versi kepala
eksternal, trauma eksternal di luar abdomen atau pemeriksaan yang invasif)
Kematian
Skrining streptokokus grup B biasanya dilakukan ketika usia
kehamilan memasuki 36 minggu. Ada pula skrining streptokokus grup B
cepat, yang dilakukan ketika sudah memasuki proses persalinan dan
hasilnya bisa diketahui 1 jam setelahnya. Kalau ibu hamil belum skrining
streptokokus grup B, dokter bisa memberikan antibiotik kepada ibu
hamil lewat infus ketika sudah memasuki proses persalinan. Hal ini
untuk memastikan agar ibu hamil tidak akan menularkan infeksi ke bayi,
khususnya jika ibu hamil memiliki faktor risiko SGB, meliputi:
Persalinan prematur.
Ketuban pecah dini lebih dari 18 jam sebelum bayi lahir.
Mengalami demam saat proses persalinan.
Sebelumnya positif streptokokus grup B ketika skrining.
Memiliki riwayat SGB di kehamilan sebelumnya.
Ditemukan positif SGB melalui tes urine selama kehamilan.
Saat pemeriksaan panggul selama kehamilan, dokter biasanya
akan melakukan skrining streptokokus grup B dengan melakukan swab
vagina dan rektum. Swab ini kemudian dikirim ke laboratorium untuk
dianalisa. SGB juga bisa terdeteksi lewat tes urine. Jika ibu hamil
terdeteksi positif SGB lewat tes urine, dokter akan langsung
mengobatinya dengan memberikan antibiotik oral, kemudian juga
memberikan antibiotik infus saat proses persalinan.
SGB late-onset adalah kondisi di mana bayi baru terinfeksi SGB
sekitar 1 minggu hingga beberapa bulan setelah lahir, baik lewat kontak
dari sang Ibu atau dari orang lain yang positif SGB. Kondisi ini bisa
terjadi, meskipun sangat langka. SGB late-onset biasanya terjadi ketika
ibu tidak diberikan antibiotik infus . Hal ini bisa menyebabkan
konsekuensi yang cukup serius pada bayi. Penyakit late-onset juga dapat
mengakibatkan meningitis.
Pada bayi baru lahir, sulit untuk mengenali tanda dan gejala
meningitis. Namun, segera ke dokter jika si Kecil mengalami:
Kurang berenergi atau terlihat lemas.
Iritabilitas
Mendapatkan asupan gizi yang buruk.
Demam tinggi.
Tidak ada risiko dari melakukan skrining streptokokus grup B.
Skrining dan pengobatan untuk streptokokus grup B perlu dilakukan
untuk kebaikan Mums dan si Kecil. Jadi, Mums tidak perlu ragu
melakukan skrining ini
2.1.9. Thalasemia
Talasemia merupakan penyakit hemolitik herediter yang disebabkan
oleh gangguan sintesis hemoglobin di dalam sel darah merah. Penyakit ini
ditandai dengan menurunnya atau tidak adanya sintesis salah satu rantai α, β
dan atau rantai globin lain yang membentuk struktur normal molekul
hemoglobin utama pada orang dewasa.
Talasemia merupakan salah satu penyakit yang mengenai sistem
hematologi dan seringkali dibahas bersamaan dengan rumpun
Hemoglobinopati. Hemoglobinopati sendiri adalah kelainan struktur
hemoglobin yang dapat mempengaruhi fungsi dan kelangsungan hidup sel
darah merah. Secara ringkas dapat disampaikan bahwa Talasemia terkait
dengan kelainan jumlah penyusun hemoglobin, sedangkan hemoglobinopati
adalah kondisi yang terkait dengan perubahan struktur hemoglobin. Dua
abnormalitas ini menyebabkan kondisi klinis anemia kronis dengan semua
gejala dan tanda klinis, serta komplikasi yang menyertainya.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pengertian dari KB yaitu tindakan yang membantu individu atau
pasngan untuk menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mengatur
interval kelahiran, mengontrol kartu keturunan dalam hubungan dengan
umur pasanngan suami istri dan menentukan jumlah anak dalam
keluarga(Hartanto, 2003). Dalam pelaksanaan program KB biasanya
digunakan alat kontrasepsi yang digunakan untuk mengatur /mengendalikan
pertumbuhan penduduk khususnya di Indonesia. Pengertian dari kontrasepsi
adalah cara untuk mencegah terjadinya konsepsi yaitu bertemunya sel
sperme dan ovum. Dalam pelayanan KB ada berbagaimacam cara untuk
mencegah konsepsi salah satunya dengan menggunakan AKDR. Dalam
penggunaan AKDR juga terdapat manfaat, keuntungan serta kerugian dari
penggunaan AKDR tersebut. Masalah yang timbul dari penggunaan AKDR
tersebut juga diharapkan bisa teratasi dengan beberapa cara antara lain
dengan memperhatikan cara pemakaian yang benar, efek samping serta
konseling bagi pengguna oleh tenaga kesehatan.
3.2. Saran
3.2.1. Bagi pengguna alat kontrasepsi AKDR Pengguna hendaknya
mengetahui terlebih dahulu alat kontrasepsi yang akan di pakai
dengan cara bertanya hal yang ingin diketahui ke tenaga kesehatan.
3.2.2. Bagi tenaga kesehatan
a. Sebagai tenaga kesehatan hendaknya meningkatkan keterampilannya
memasang AKDR yang baik dan sesuai prosedur.
b. Sebelum memasang AKDR pada klien jangan lupa untuk melakukan
infomconsent pada klien.