Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

MATA KULIAH ASKEB KEHAMILAN


SESMI NANDA OKTAVIA

OLEH
KELOMPOK 1

1. Anna Shopia Rahmi 2003043 13. Melva Haswinda 2003055


2. Badriah Khalidi 2003044 14. Isnelly Warni 2003056
3. Dania Fitri 2003045 15. Neni Sulatri 2003057
4. Dewi Melia Yulastri 2003046 16. Novi Marissa 2003058
5. Ellia Munawwari 2003047 17. Noviasari Putri 2003059
6. Elvina 2003048 18. Novy Mardayanti AR 2003060
7. Fitri Handayani Tanjung 2003049 19. Rayhany 2003061
8. Fitria Valentina 2003050 20. Refi Junita 2003062
9. Friska Amelia Putri 2003051 21. Ria Rosaliana 2003063
10. Helfiati 2003052 22. Rikawati 2003064
11. Indah Yulia Kasih 2003053 23. Safni Fitri Yanti 2003065
12. Ineng Rahmanida 2003054

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUMATERA BARAT


STIKES SUMBAR
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Dengan segaa puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis
ucapkan, karena melaui berkat dan rahmatnya sehingga makalah ini dapat tersusun
dengan baik.
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah
wawasan untuk memahami manusia dari perndekatan psikologis. Selain itu juga
penulis berharap makalah ini dapat menjadi dasar pengantar pemenuhuan materi
perkuliahan psikologi kebidanan.
Seperti pepatah mengatakan tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu
dengan rendah hati kami berharap pada pembaca kiranya dapat memberikan kritik
dan saran yang membangun guna perbaikan makalah ini kedepannya.
Sebagai akhir kata penulis megucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu penyusunan makalah ini

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN................................................................................. 1.
1.1. Latar Belakang..................................................................................................
1.2. Rumusan
Masalah.............................................................................................
1.3. Tujuan...............................................................................................................
1.3.1. Tujuan Umum.............................................................................................
1.3.2. Tujuan Khusus..............................................................................................

BAB II. PEMBAHASAN


2.1 Skrining Resiko Maternal Dalam Selama Kehamilan (Prinsip Skrining)
2.1.1 Torch
2.1.2 Syfilis
2.1.3 Hepatitis B
2.1.4 Blood Group Dan Rhesus Faktor
2.1.5 Anti D Proppylaxis Fot The Rhesus
2.1.6 Dwon Syndrome Risk Fetoprotein
2.1.7 Group B Hemolityc Streptococcus
2.1.8 Sickle Cell Anemia
2.1.9 Thalasemia
2.1.10 Vaginal Infection
2.2 Skrining Faktor Fisik Dan Psiko sosial
2.3 Pemeriksaan Laboratorium Dan Pemeriksaan Penunjang Lainnya

BAB III PENUTUP


3.1. . Kesimpulan.....................................................................................................
3.2. Saran.................................................................................................................
.

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rasio kematian ibu, yang diperkirakan sekitar 228 per100.000
kelahiran hidup, tetap tinggi di atas 200 selama dekade terakhir, meskipun
telah dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ibu
dan setiap 1 jam satu perempuan meninggal dunia ketika melahirkan atau
karena sebab yang berhubungan dengan kehamilan. (Adik Wibowo, 2014;
Kemenkes, 2012). Penurunan Angka Kematian Ibu (AK) merupakan salah
satu target Millenium Development Goal (MDG) World Health
Organization (WHO) yaitu sebesar 75% pada tahun 2015 (Krisnadi, 2018).
Faktor yang menyebabkan kematian ibu secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab
langsung kematian ibu adalah faktor yang berhubungan dengan komplikasi
kehamilan, persalinan dan nifas seperti perdarahan, pre eklampsia/
eklampsia, infeksi, persalinan macet dan abortus.
Penyebab kematian tidak langsung kematian ibu adalah faktor yang
memperberat keadaan ibu hamil seperti empat terlalu serta faktor yang
mempersulit proses penanganan kedaruratan kehamilan, persalinan, dan
nifas, seperti lebih kurang 65% kehamilan yang terjadi berhubungan dengan
4 terlalu, terlalu muda (usia kurang dari 20 tahun, terlalu tua (usia lebih dari
35 tahun), terlalu sering melahirkan (jarak kehamilan kurang dari 2 tahun),
dan terlalu banyak (lebih dari 3 anak).
Empat terlalu selain berpengaruh terhadap angka kematian ibu, juga
mempunyai dampak terhadap kematian bayi dan pertumbuhan kesehatan
bayi yang dilahirkan dan 3 terlambat yaitu terlambat mengenali kehamilan
dalam situasi gawat, jauh dari fasilitas kesehatan, biaya, persepsi mengenai
kualitas dan efektivitas dari pelayanan kesehatan. Terlambat kedua,
dipengaruhi oleh lama pengangkutan, kondisi jalan dan biaya transportasi.
Faktor yang mempengaruhi terlambat ketiga adalah terlambat mendapatkan
pelayanan pertama kali di RS rujukan (Krisnadi, 2014).
Kematian ibu juga disebabkan faktor dasar antara lain keterbatasan
pengetahuan, taraf pendidikan, status sosial ekonomi, dan pengambilan
keputusan di tingkat rumah tangga. Meningkatkan kesehatan ibu berarti
meningkatkan terciptanya generasi penerus yang cerdas. Masih banyak ibu
hamil yang tidak memperhatikan asupan gizi, sehingga anak yang dilahirkan
berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Untuk mengatasi kematian
ibu dan kematian bayi diperlukan upaya inovatif dan kualitas pelayanan
yang diberikan oleh tenaga kesehatan dan peningkatan pengetahuan ibu
hamil mengenai asuhan dalam kehamilan.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 (Kemenkes, 2013),
mengemukakan bahwa, cakupan pemeriksaan kehamilan pertama pada
trimester pertama adalah 81,6 persen dan frekuensi antenatal care (ANC) 1
kali pada trimester pertama, minimal 1 kali pada trimester kedua dan
minimal 2 kali pada trimester3 sebesar70,4 persen. Tenaga yang paling
banyak memberikan pelayanan ANC adalah bidan (88%) dan tempat
pelayanan ANC paling banyak diberikan di praktek bidan (52,5%).

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1. Apa Saja Skrining Resiko Maternal Dalam Selama Kehamilan
(Prinsip Skrining)?
1.2.2. Apa Saja Skrining Faktor Fisik Dan Psiko sosial
1.2.3. Apa Saja Dan Bagaimana Cara Pemeriksaan Laboratorium Dan
Pemeriksaan Penunjang Lainnya
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk Mengetahui Apa Saja Skrining Resiko Maternal Dalam
Selama Kehamilan (Prinsip Skrining)?
1.3.2 Untuk Mengetahui Apa Saja Skrining Faktor Fisik Dan Psiko
sosial
1.3.3 Untuk Mengetahui Apa Saja Dan Bagaimana Cara Pemeriksaan
Laboratorium Dan Pemeriksaan Penunjang Lainnya
BAB II
Skrining Resiko Maternal Dalam Kehamilan

2. 1. Skrining Resiko Maternal Dalam Selama Kehamilan (Prinsip Skrining)


Skrining resiko maternal dalam selama kehamilan berguna untuk
mendeteksi dini komplikasi atau kegawatdararutan yang mungkin bisa
terjadi selama masa kehamilan ibu ataupun pada masa persalinan ibu.
Kehamilan dan persalinan selalu mempunyai risiko, dengan
kemungkinan bahaya yang terjadi komplikasi dalam kehamilan, persalinan,
dan nifas (Kemenkes, 2014). Faktor risiko adalah kondisi pada ibu hamil
yang dapat menyebabkan kemungkinan risiko/bahaya terjadinya komplikasi
pada persalinan yang dapat menyebabkan kematian atau kesakitan pada ibu
dan/ bayinya (Rochjati, 2011). Skrining kehamilan dilakukan dengan
menggunakan skor Poedji Rohjati.
Skor Poedji Rochjati dalam buku Skrining Antenatal Pada Ibu Hamil
merupakan cara untuk mendeteksi dini kehamilan berisiko. Skor Poedji
Rochjati berfungsi sebagai alat komunikasi untuk edukasi kepada ibu hamil,
suami maupun keluarga untuk kebutuhan pertolongan mendadak ataupun
rujukan terrencana dan sebagai alat pengingat bagi petugas kesehatan
(Rochjati, 2010)

2.1.1. Torch
TORCH adalah singkatan untuk kumpulan beberapa penyakit infeksi
yang terkait dengan meningkatnya risiko terjadinya abortus atau
kelainan/cacat bawaan pada janin akibat infeksi yang terjadi pada masa
kehamilan. Kepanjangan TORCH adalah Toxoplasmosis, Rubella (campak
Jerman) , Cytomegalovirus (CMV) dan Herpes simpleks.
TORCH bisa menyerang orangtua dan anak muda dari berbagai
kalangan dan berbagai jenis kelamin. Keempat infeksi tersebut tidak
memberikan gejala yang berat pada orang dewasa yang terkena. Jika timbul
gejala biasanya hanya berupa sering sakit kepala, radang tenggorokan, flu
berkepanjangan, sakit pada otot, persendian, pinggang, sakit pada kaki,
lambung, mata dan sebagainya.
Gejala yang berat dapat timbul hanya pada orang dewasa dengan
penurunan data tahan tubuh yang hebat. Misalnya seperti pada penderita
HIV atau orang yang mendapat obat penekan respon imun seperti pada
orang yang menjalani transplantasi organ. Infeksi pada wanita yang terjadi
selama kehamilan dapat menular pada bayi dan meningkatkan risiko
terjadinya keguguran. Selain itu dapat juga mengakibatkan bayi baru lahir
mati atau bayi dengan cacat/kelainan bawaan yang serius pada bayi.
Oleh karena itu, fungsi pemeriksaan TORCH saat kehamilan pada
dasarnya adalah untuk mengetahui ada tidaknya infeksi. Pemeriksaan
TORCH juga dapat dilakukan pada wanita yang berencana untuk hamil
guna mengetahui kondisi kesehatan sebelum hamil. Selain itu, pemeriksaan
ini juga perlu dilakukan pada seorang bayi yang menunjukkan gejala yang
sesuai dengan salah satu infeksi bawaan tersebut.
Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi adanya infeksi TORCH
yang umum dilakukan adalah pemeriksaan untuk mendeteksi adanya
antibodi terhadap keempat jenis organisme ini. Secara umum jika seseorang
terinfeksi maka sistem kekebalan tubuhnya akan bereaksi membentuk
antibodi. Pemeriksaan antibodi terhadap TORCH dalam darah wanita hamil
biasanya dilakukan pada trisemester pertama kehamilan dan pemeriksaan
terhadap antibodi ini pada prinsipnya hanya merupakan pemeriksaan awal).
Jika hasil pemeriksaan antibodi dalam darah memberikan hasil posistif
sebaiknya dikonfirmasi dengan pemeriksaan lain yang lebih canggih seperti
pemeriksaan cairan ketuban yang diperiksa dengan metode polymerase
chain reaction (PCR) untuk mencari DNA parasit atau virus Infeksi
TORCH bisa dicegah dengan meningkatkan daya tahan tubuh, menjaga
kebersihan dan hygiene dengan meningkatkan kebiasaan cuci tangan dengan
sabun sampai bersih, mencuci bersih sayuran mentah yang akan dimakan,
menghindari makan daging mentah atau yang dimasak setengah matang,
mengurangi kontak langsung dan erat dengan penderita campak dan herpes,
pengobatan infeksi toxoplasma dalam kehamilan dengan pemberian
antibiotik untuk mencegah toxoplasmosis kongenital, vaksinasi campak
terutama pada wanita usia subur, prosedur melahirkan dengan section
caessaria pada wanita hamil dengan lesi herpes simpleks aktif pada genital.

2.1.2. Syfilis
Sifilis merupakan penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh
bakteri Treponema pallidum, merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik,
selama perjalanan penyakit dapat menyerang seluruh organ tubuh. Terdapat
masa laten tanpa manifestasi lesi di tubuh, dan dapat ditularkan kepada bayi di
dalam kandungan.
Manifestasi awal penyakit sifilis dapat berupa makula kecil, yang
kemudian menjadi papul dan mengalami ulserasi. Ulkus biasanya tunggal, tidak
nyeri, dasar bersih dan relatif tidak memiiki pembuluh darah, meskipun kaang
dapat multipel. Dapat terjadi limfadenopati inguinal bilateral. Pada pria, lesi
umumnya ditemukan di sulkus koronal pada glan penis atau batang penis,
sedangkan pada wanita lesi ditemukan pada vulva, dinding vagina, atau pada
servik. Lesi ekstragenital jarang terjadi. Apabila tidak diobati, ulkus akan
menghilang secara spontan dalam waktu 3-8 minggu tanpa meninggalkan bekas
luka.
Diagnosis sifilis didasarkan pada evaluasi klinis, deteksi organisme
penyebab, dan konfirmasi dari penyakit dengan pemeriksaan laboratorium.
Treponema pallidum tidak dapat dilakukan kultur di laboratorium, tetapi dapat
diidentifikasi pada lesi menggunakan pemeriksaan lapangan gelap atau
mikroskop fluoresensi atau dengan teknik molekuler. Pada individu yang
asimtomatis, dapat dilakukan tes serologi untuk skrining terhadap infeksi.
Serologi masih merupakan metode yang paling reliabel untuk diagnosis
laboratorium sifilis. Uji serologis dibagi menjadi tes nontreponemal dan
treponemal. Diagnosis serologi konvensional menggunakan pendekatan dua
langkah, yaitu skrining pertama dengan metode nontreponemal, dan kemudian
menggunakan tes konfirmasi yang menggunakan metode antigen treponema
untuk mengkonfirmasi hasil tes skrining positif. Uji nontreponemal juga dapat
digunakan untuk memonitor respon pengobatan.
Pemeriksaan histologis dapat dilakukan pada individu dengan lesi yang
tidak khas, dimana pemeriksaan ini ditandai dengan ditemukannya infiltrat
perivaskuler yang terdiri dari limfosit dan plasma sel. Selain itu dapat ditemukan
endarteritis obliterans dan endoplebitis, proliferasi endothelial serta penebalan
dinding pembuluh darah yang dikelilingi sel infiltrat. Selanjutnya dapat terjadi
obliterasi dan trombosis pembuluh darah yang menyebabkan nekrosis. Pada
sifilis sekunder dapat ditemukan spirochaetes pada sayatan yang diberi
pewarnaan Levaditi. Sedangkan pada sifilis tersier yang berbentuk gumma dapat
dijumpai vaskulitis granulomatosa.
Pengobatan sifilis menggunakan penisilin G yang diberikan secara
parenteral. Penisilin merupakan pilihan obat untuk tatalaksana sifilis pada semua
stadium. Preparat yang digunakan seperti benzathine, aqueous procaine, atau
aqueous crystalline. Dosis dan lama pengobatan disesuaikan dengan stadium dan
manifestasi klinis yang muncul dari penyakit. Pengobatan untuk sifilis laten
lanjut dan sifilis tersier memerlukan waktu yang lebih lama, karena organisme
penyebab mungkin membelah secara lambat. Pengobatan yang lebih lama juga
dibutuhkan pada individu dengan sifilis laten yang tidak diketahui secara pasti
durasi individu tersebut terinfeksi sifilis.
2.1.3. Hepatitis B
Hepatitis B adalah infeksi yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh
virus Hepatitis B (VHB).Penyakit ini bisa menjadi akut atau kronis dan dapat
pula menyebabkan radang hati, gagal hati, serosis hati, kanker hati, dan
kematian.Dari beberapa penyebab Hepatitis yang disebabkan oleh virus,
Hepatitis B menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia
karena manifestasinya sebagai Hepatitis akut dengan segala komplikasinya serta
risiko menjadi kronik (Kementerian Kesehatan RI, 2014; Feld dan Janssen,
2015).
Transmisi virus dari ibu ke anak umumnya dikenal dengan istilah
transmisi perinatal. Berdasarkan definisinya, periode perinatal dimulai dari usia
kehamilan 28 minggu dan berakhir pada hari ke-28 pasca salin.
Manifestasi klinis infeksi VHB pada ibu hamil tidak berbeda dengan
infeksi VHB pada umumnya, dengan 4 gambaran sebagai berikut (Silverman,
1995) :
a. Asimtomatik
Gambaran klinis pada penderita asimtomatik tidak memberikan
gambaran yang khas.Penderita nampak sehat, namun dalam
darahnya ditemukan HBsAg positif.Jika ditemukan HBeAg positif,
maka penderita tergolong infeksius, sebab HBeAg menunjukkan
adanya proses replikasi yang masih berlangsung.

b. Hepatitis B Akut
Perjalanan klinis hepatitis B akut dibagi menjadi 4 tahap yaitu:
1. Masa inkubasi Merupakan periode diantara penularan infeksi
hingga timbulnya gejala, berkisar antara 28 – 225 hari dengan
rata-rata 75 hari.
2. Fase pra-ikterik
Merupakan periode diantara timbulnya gejala pertama hingga
ikterik. Keluhan awal yang biasa dirasakan antara lain lemas,
malaise, anoreksia, mual, muntah, panas, dan rasa tidak enak di
daerah perut kanan atas. Mual dan muntah pada kehamilan muda
dapat dibedakan dari hepatitis, dimana pada kehamilan muda,
mual dan muntah terutama dirasakan pada pagi hari dan semakin
berkurang dan semakin membaik pada sore hari. Sementara pada
hepatitis, semakin sore mual dan muntah yang dirasakan akan
semakin berat
3. Fase ikterik
Fase ikterik berlangsung antara beberapa hari hingga 6 bulan,
dengan ratarata 1-3 minggu dan menghilang dalam 2-6 minggu.
Saat gejala ikterik muncul, maka gejala demam dan malaise akan
menghilang. Pada pemeriksaan fisik ditemukan hepar yang
teraba membesar dan menetap selama beberapa saat setelah
ikterik menghilang.
4. Fase penyembuhan
Merupakan periode diantara menghilangnya ikterik hingga
pasien sembuh.Pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan
HBsAg, HBeAg, dan VHB DNA. Anti-HBc mulai timbul
disertai IgM anti-HBc yang meningkat, sedangkan IgG anti-HBc
timbul belakangan dan menetap. Pada fase ini, sebelum HBsAg
menghilang akan timbul anti-HBe yang menandakan penurunan
replikasi virus dan terjadinya resolusi.
c. Hepatitis B kronis
Gambaran klinis hepatitis B kronis bermacam-macam, mulai dari
tanpa gejala hingga gejala yang khas. Gejala tersebut seringkali sulit
dibedakan, apakah seseorang menderita hepatitis kronis persisten
atau hepatitis kronis aktif. Keluhan yang sering terjadi pada hepatitis
kronis aktif adalah lemas, mudah lelah, nafsu makan dan berat badan
menurun, dan kadang disertai demam subfebris.
d. Karsinoma Hepatoselular Primer (KHP)
Gejala klinis KHP akan muncul dan perlu dicurigai apabila seorang
penderita sirosis mengalami perburukan kondisi. Keluhan umum
berupa malaise, rasa penuh di daerah perut, anoreksia, berat badan
menurun dan demam subfebris. Pada pemeriksaan didapatkan perut
yang membengkak karena asites dan liver yang membesar.
Gambaran yang mencurigakan ke arah
Skrining hepatitis B merupakan salah satu bagian dari upaya untuk
menurunkan transmisi vertikal dari maternal. Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) menyarankan untuk melakukan skrining hepatitis B surface
antigen (HBsAg) setiap wanita hamil pada setiap kehamilan, bahkan jika
sebelumnya terdapat riwayat skrining maupun vaksinasi. Ibu dengan hasil skrining
positif diharapkan dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk menegakkan
diagnosis hepatitis B (CDC, 2005).
2.1.4. Blood Group Dan Rhesus Faktor
Pemeriksaan golongan darah adalah suatu prosedur laboratorium
yang dilakukan untuk menentukan jenis golongan darah. Pada uji
pratransfusi, pemeriksaan golongan darah minimal yang harus dikerjakan
adalah golongan darah sistem ABO dan Rhesus (D typing). Pemeriksaan
golongan darah dilakukan baik pada donor maupun pada pasien (WHO,
2002).
Pemahaman antigen dan antibodi merupakan dasar untuk melakukan
prosedur test dan menginterpretasikan hasil pemeriksaan. Antigen adalah
setiap zat yang dianggap sebagai benda asing yang masuk ke dalam tubuh
dan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk merespon masuknya antigen
tersebut. Antibodi adalah produk dari respon imun dan akan bereaksi
dengan antigen dengan beberapa cara yang dapat diamati.
Berdasarkan sistem ABO, ada 4 jenis golongan darah sesuai dengan
jenis antigen dan antibodi yang dimiliki masing-masing golongan. Individu
dengan golongan darah A memiliki antigen A pada sel darah merahnya dan
antibodi B dalam plasmanya. Individu dengan golongan darah B memiliki
antigen B dan antibodi A, sedangkan individu golongan darah AB
mempunyai antigen A maupun antigen B dan tidak memiliki antibodi A
maupun B dalam plasmanya. Individu dengan golongan darah O tidak
memiliki antigen A maupun B tetapi mempunyai antibodi A dan B dalam
plasmanya (McClelland, 2007).
Berdasarkan jenis peralatan penunjang yang digunakan, pemeriksaan
golongan darah secara manual dapat dikerjakan dengan tiga metode, yaitu
1. Slide test atau glass slide atau white porcelain tile
2. Tube test
3. Microwell plate atau microplate test.
Beberapa teknik lain yang sudah dikembangkan saat ini dan dapat
dikerjakan secara otomatis, antara lain:
1. Column technique (sephadex gel)
2. Solid phase tests (NIB, 2013).
Golongan darah Rhesus merupakan sistem golongan darah
terpenting kedua dalam pelayanan transfusi. Antigen Rhesus bersifat sangat
imunogenik. Antibodi Rhesus baru terbentuk bila ada paparan antigen
Rhesus. Istilah Rhesus positif dan Rhesus negatif rutin digunakan di
masyarakat dan para ahli, ketika menyebutkan jenis golongan darah.
Misalnya A-positif atau A-negatif. Rhesus positif mengindikasikan adanya
salah satu antigen Rhesus pada sel darah merah, umumnya antigen D.
Rhesus negatif mengindikasikan tidak adanya antigen D pada sel darah
merah seseorang (Johnson and Wiler, 2012).
Berbeda dengan antigen ABO, antigen Rhesus hanya diekspresikan
oleh sel eritrosit dan tidak oleh jaringan tubuh yang lain termasuk leukosit
dan trombosit. Antigen D memiliki makna klinis yang signifikan sama
seperti antigen A dan B. Antibodi D tidak ditemukan pada semua individu
golongan darah Rhesus negatif. Anti-D baru terbentuk setelah seseorang
dengan Rhesus negatif terpapar Rhesus positif. Misalnya setelah mendapat
transfusi atau setelah proses kehamilan. Lebih dari 80% individu dengan
Rhesus D negative akan membentuk anti-D setelah transfusi dengan
golongan darah Rhesus D positif (Mehdi, 2013).
Tujuan utama dari pemeriksaan golongan darah Rhesus adalah untuk
mendeteksi ada tidaknya antigen D. Sebenarnya ada beberapa jenis antigen
Rhesus, namun antigen D memiliki sifat yang paling imunogenik di antara
antigen lainnya sehingga rutin diperiksa bersama dengan antigen golongan
darah sistem ABO (Blaney and Howard, 2013).
Prinsip pemeriksaan golongan darah Rhesus sama dengan golongan
darah ABO yaitu apabila antigen direaksikan dengan antibodi yang sesuai
maka akan terjadi aglutinasi. Sistem Rhesus merupakan golongan darah
dengan tingkat imunogenitas yang tinggi dan komplek serta memiliki nilai
klinis yang signifikan. Karena memiliki konsekuensi klinis secara langsung,
maka pemeriksaan golongan darah Rhesus rutin dikerjakan pada uji
pratransfusi (Levitt, 2014).
Beberapa golongan darah Rhesus dapat bersifat weak D antigens
yang hanya dikenali dengan prosedur pemeriksaan Indirect Coomb’s Test
(ICT). Pada hasil pemeriksan rutin yang negatif perlu dilakukan
pemeriksaan lanjutan untuk mendeteksi adanya weak D. Standar dari
American Association of Blood Bank (AABB) menganjurkan untuk rutin
mendeteksi weak D pada pemeriksaan darah donor, tetapi tidak rutin pada
sampel pasien (Levitt, 2014).
Ada 3 jenis metode manual yang bisa digunakan untuk pemeriksaan
golongan darah Rhesus yaitu:
1. Slide test atau white tile.
2. tube test
3. Microwell plate atau Microplate (Roback et al, 2011; Saluju and
Singal, 2014).
Disini hanya dibahas pemeriksaan golongan darah Rhesus dengan 3
metode manual, 2 metode lainnya hampir sama dengan pemeriksaan
golongan darah ABO hanya berbeda pada jenis reagen yang digunakan.
2.1.5. Anti D Proppylaxis For The Rhesus
Sistem klasifikasi rhesus merupakan sistem penggolongan darah
terpenting kedua setelah sistem ABO. Secara klinis sistem rhesus
merupakan sistem klasifikasi yang penting karena berhubungan dengan
anemia hemolitik pada neonatus, transfusi, dan autoimmune hemolytic
anemia (AIHA). Sistem ini mengklasifikasikan darah menjadi rhesus positif
dan rhesus negatif berdasarkan ada tidaknya antigen-D pada permukaan
eritrosit.
Antigen D merupakan antigen rhesus utama yang ada pada
permukaan eritrosit. Apabila terdapat antigen-D pada permukaan eritrosit
(dengan genotif D/D atau D/d), maka dikatakan golongan darah rhesus
positif (Rh+), begitu pula sebaliknya. Apabila tidak ditemukan antigen-D
pada permukaan eritrosit, maka dikatakan golongan darah rhesus negatif
(Rh-).
Sistem penggolongan darah rhesus berbeda dengan sistem
penggolongan ABO. Pada sistem rhesus, antibodi anti-Rh biasanya tidak
ditemukan pada orang dengan Rh-, namun antibodi anti-Rh akan muncul
pada orang dengan rhesus negatif apabila peredaran darah orang tersebut
telah terpapar dengan  antigen-D (Rh+).
Antibodi anti-Rh ini merupakan immunoglobulin G (IgG) dan oleh
karena antibodi ini dapat melintasi plasenta, sehingga pada ibu hamil
dengan Rh- yang mengandung anak dengan Rh+ dapat membentuk antibodi
anti-Rh pada kehamilan selanjutnya. Secara umum, golongan darah Rh+
lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan golongan darah Rh-.
Pemeriksaan golongan darah dan crossmatching sebaiknya
dilakukan pada semua wanita hamil pada kunjungan pertama . Jika wanita
tersebut memiliki Rh+, maka tidak diperlukan pemeriksaan lanjutan untuk
golongan darah, namun apabila wanita tersebut memiliki Rh-, maka
pemeriksaan golongan darah ABO dan Rh suami perlu dilakukan. Apabila
hasil pemeriksaan golongan darah suami menunjukkan Rh+, maka hampir
semua guideline merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan genotip
ayah untuk gen peng-kode Rh-D.
Untuk wanita yang belum mengalami isoimunisasi, tujuan
tatalaksana adalah untuk mencegah terjadinya sensitisasi. Hal ini dapat
dilakukan dengan memberikan immunoglobulin anti-D dosis profilaksis
untuk mengatasi perdarahan  fetomaternal spontan dan juga berbagai
kejadian antepartum yang berpotensi menyebabkan  perdarahan tambahan.(2)
Apabila tidak diberikan profilaksis, diperkirakan 1% wanita Rh- akan
membentuk antibodi pada akhir kehamilan Rh+. Sekitar 7-9% wanita
lainnya akan tersensitisasi saat persalinan, dan 7-9% lainnya akan
membentuk antibodi selama 6 bulan setelah melahirkan dan sekitar 17%
wanita akan tersensitisasi pada saat kehamilan kedua. Strategi yang paling
efektif untuk mengurangi insiden isoimunisasi Rh adalah dengan
memberikan anti-D profilaksis pada saat antenatal atau saat bayi lahir.
Apabila hasil pemeriksaan ICT negatif pada kunjungan pertama,
pemeriksaan diulang dengan interval empat minggu dan jika tetap negatif
pada tes berikutnya, maka diberikan immunoglobulin anti-D dosis
profilaksis (300 mikrogram, diberikan secara intramuskular) pada minggu
ke 28-32 kehamilan. Hal ini akan mengatasi sejumlah kecil perdarahan
fetomaternal  dan mencegah terjadinya isoimunisasi.
Apabila antibodi Rh-D (anti-D) pada pemeriksaan ICT positif dan
mencapai titer kritikal, kehamilan harus ditatalaksana sebagai kehamilan
yang telah mengalami isoimunisasi. Tujuan tatalaksana ini adalah
mendeteksi anemia pada janin sedini mungkin dan juga menghindari
kemungkinan terjadinya perdarahan fetomaternal  (misalnya versi kepala
eksternal, trauma eksternal di luar abdomen atau pemeriksaan yang invasif)

2.1.6. Dwon Syndrome Risk Fetoprotein


Singh dkk (2004), menyarankan dilakukan skrining untuk Sindrom
Down pada ibu hamil yang mempunyai risiko tinggi yaitu ibu hamil berusia
tua. Skrining dapat dilakukan dengan cara noninvasif, yaitu melalui triple,
quad, AFP/free beta, dan nuchal translucency screening test. Skrining yang
positif harus ditindaklanjuti dengan usaha untuk menegakkan diagnosis
prenatal dengan menggunakan cara yang lebih invasif, yaitu Chorionic
Villous Sampling, Amniocentesis, atau Percutaneus Umbilical Blood
Sampling. Sementara diagnosis Sindrom Down postnatal, dilakukan
berdasarkan identifikasi karakteristik fisik yang sering dijumpai pada bayi
baru lahir dengan Sindrom Down dan dikonfirmasi dengan analisis
kromosom.
Prevalensi hasil konsepsi mempunyai kelainan, yaitu sekitar 8%. Hal
ini merupakan indikasi untuk dilakukan tes diagnosis prenatal invasif yang
saat ini masih merupakan standar baku. Diagnosis prenatal pada kehamilan
risiko tinggi dapat mengurangi penurunan terjadinya Sindrom Down
melalui amniosintesis dan Chorion Villus Sampling (CVS).
Tes skrining pada trimester I (nuchal translucency, free ß-hCG dan
PAPP-A) dan triple test pada trimester II (Feto Protein, Unconjugated
Estradiol 3 dan ß-hCG) merupakan metode yang sering dipakai untuk
skrining kelainan kromosom. Prosedur standar (gold standard) untuk
diagnosis prenatal adalah dengan fetal karyotyping pada wanita hamil.
Diagnosis definitif ini membutuhkan pemeriksaan invasif yaitu CVS atau
amniosintesis. Terdapat beberapa assay molekuler seperti Fluorescent in situ
Hybridization (FISH), Quantitative Fluorescence PCR (QF-PCR), dan
MLPA Multiplex Probe Ligation Assay (MLPA) yang juga dapat digunakan
untuk diagnosis prenatal.
Amniosintesis dilakukan dengan mengambil sampel air ketuban
yang kemudian diuji untuk menganalisis kromosom janin. Pada trimester II
(minggu ke 14-20 kehamilan), cara tersebut merupakan teknik invasif yang
paling umum digunakan karena lebih aman dan lebih mudah (dibandingkan
dengan amniosintesis pada trimester I dan CVS), terpercaya, dan akurat dari
segi sitogenetik serta biaya yang relatif murah daripada metode skrining
yang lain. Komplikasi amniosintesis berkisar antara 0,5-2,2%.
Amniosintesis dan CVS cukup dapat diandalkan tetapi memberikan risiko
keguguran sekitar 0,5-1%. CVS dilakukan dengan mengambil sampel sel
dari plasenta. Sampel tersebut akan diuji untuk melihat kromosom janin.
Teknik ini dilakukan pada kehamilan minggu kesembilan hingga empat
belas.
Berdasarkan tanda klinis seperti adanya tulang hidung yang kecil
atau bahkan tidak ada, ventrikel yang besar, dan leher yang tebal, risiko
untuk janin Sindrom Down dapat diidentifikasi melalui USG pada minggu
gestasional ke 14 sampai 24. Peningkatan translusensi leher janin
mengindikasikan peningkatan risiko dari Sindrom Down.
Metode FISH dari nukleus interfase merupakan metode yang paling
sering digunakan dengan menggunakan HSA21 spesifik atau seluruh
HSA21. Metode lain yang sering digunakan di beberapa negara yaitu
QFPCR, di mana tanda polimorfik DNA (mikrosatelit) pada HSA21
digunakan untuk menentukan keberadaan dari tiga alel berbeda. Metode ini
mengandalkan tanda informatif dan ketersediaan DNA. Diagnosis cepat
dengan metode berdasarkan PCR menggunakan tanda STR polimorfik
mungkin menurunkan kesulitan dengan pendekatan konvensional.
Penggunaan metode tanda STR dapat mendeteksi trisomi pada 86,67%
kasus dengan hanya dua marker. Metode tambahan untuk mengukur jumlah
salinan dari urutan DNA termasuk MLPA yang pertama kali dikenalkan
pada 2002 sebagai metode dari kuantifikasi relatif di DNA. MLPA
memberikan berbagai keuntungan, seperti waktu yang sangat pendek untuk
diagnosis (2-4 hari), efektivitas, sederhana, dan harga yang murah. MLPA
tidak dapat mengidentifikasi pada plasenta yang sedikit.
Metode terkini disebut Paralogous Sequence Quantification (PSQ),
menggunakan urutan paralog untuk kuantifikasi jumlah salinan HSA21.
PSQ adalah metode berbasis PCR untuk mendeteksi jumlah kromosom
target yang abnormal yang disebut PSQ, berdasarkan penggunaan dari gen
paralog. Urutan paralog memiliki derajat tinggi dalam identitas urutan,
tetapi akumulasi pengganti nukelotida dalam lokus spesifik. PSQ mudah
digunakan, mudah untuk diatur sebagai metode untuk diagnosis pada
aneuploidi yang umum dan dapat dilakukan kurang dari 48 jam.
Pengurutannya secara kuantitatif digunakan dengan pyrosequencing.
Perbandingan hibridisasi genomik pada BAC dapat digunakan untuk
diagnosis dari trisomi atau monosomi penuh, dan untuk aneuploidi
sebagian.
Sensitivitas penanda uji tapis untuk Sindrom Down berkisar antara
61%-67%. Pada ibu yang mengandung fetus dengan SD seringkali
didapatkan kadar serum maternal alfa-fetoprotein dan unconjugated estriol
yang lebih rendah dari normal. Sebaliknya, kadar serum maternal beta-
human chorionic gonadotropin (betahCG) didapatkan lebih tinggi dari
normal. Uji diagnostik prenatal yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
sampel vilus korionik, amniosintesis, dan percutaneus blood sampling,
dengan tingkat akurasi 98-99%.
Pemeriksaan AFP atau alfa feto protein adalah tes darah yang
berfungsi untuk mengukur jumlah AFP dalam darah. Selama proses
kehamilan, kantong kuning pada embrio (yolk sac), saluran pencernaan dan
hati pada janin yang dikandung akan menghasilkan AFP yang akan
terdeteksi pada darah ibu.
Pemeriksaan kadar AFP pada calon ibu dapat mendeteksi masalah di
tabung saraf janin. Tabung saraf atau neural tube berperan sangat penting,
karena kelak akan berkembang menjadi otak dan sumsum tulang
belakang.Pemeriksaan kadar AFP biasanya merupakan bagian dari
pemeriksaan ibu hamil pada trimester kedua kehamilan. Namun,
pemeriksaan ini juga dapat bermanfaat bagi orang dewasa yang tidak
hamil.AFP dapat terdeteksi pada orang-orang yang tidak hamil meskipun
kadarnya sangat rendah. Tingkat AFP yang tinggi pada orang dewasa yang
tidak hamil biasanya menunjukkan jenis penyakit hati tertentu.
Pemeriksaan AFP dilakukan sebagai skrining rutin bagi wanita
dengan usia kehamilan 14-22 minggu. Prosedur ini paling akurat dilakukan
antara minggu ke-16 dan ke-18. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui
dengan pasti usia kehamilan Anda.Pengujian AFP biasanya merupakan
bagian dari quad screen, suatu skrining yang dilakukan untuk menguji
kadar:
 Human chorionic gonadotropin (HCG)
 Estriol, hormon yang diproduksi oleh plasenta dan hati janin
 Inhibin A, hormon yang diproduksi oleh plasenta
Dokter akan menelaah hasil quad screen, usia, dan etnis Anda untuk
menentukan kemungkinan janin memiliki cacat lahir genetik. Cacat yang
dapat terdeteksi oleh jenis skrining ini mencakup cacat tabung saraf, seperti
spina bifida, dan kelainan kromosom, seperti sindrom Down.

Hasil AFP akan membantu dokter menentukan kebutuhan Anda


terhadap tes lanjutan. Sebab, hasil tes yang abnormal tidak mutlak
menyatakan janin akan mengalami cacat lahir. Tes AFP sangat penting bagi
wanita yang berisiko tinggi memiliki anak dengan cacat lahir, termasuk di
antaranya:
 Wanita berusia 35 tahun ke atas
 Wanita dengan riwayat keluarga yang memiliki cacat lahir
 Wanita yang menggunakan obat-obatan keras atau obat-obatan berisiko
selama kehamilan
 Wanita dengan diabetes
Jika Anda tidak hamil, tes AFP dapat membantu mendiagnosis dan
memantau kondisi hati tertentu, seperti kanker hati, sirosis, dan hepatitis.
Pemeriksaan ini juga dapat membantu dokter mendeteksi beberapa kanker
lain, yakni kanker testis, ovarium, saluran empedu, lambung, dan pankreas.
Berikut ini langkah-langkah yang dilakukan tim medis selama
pemeriksaan AFP.
1. Pemeriksaan AFP dilakukan sebagai tes darah. Prosedurnya meliputi
pengambilan darah dan pemeriksaan sampel di laboratorium.
2. Pada hari tes dilakukan, seorang petugas akan mengambil darah Anda.
Sampel darah biasanya diambil dari vena di bagian dalam siku atau
punggung tangan. Petugas akan memulai tindakan dengan mengoleskan
antiseptik untuk membersihkan kulit. Langkah ini penting untuk
membantu mencegah infeksi.
3. Kemudian lengan Anda akan dibungkus dengan suatu alat yang
dinamakan tourniquet agar pembuluh darah terisi penuh. Lalu, teknisi
akan memasukkan jarum ke pembuluh darah vena Anda. Darah
kemudian akan mengalir melalui jarum ke tabung yang sudah disiapkan.
4. Pengambilan darah hanya akan memakan waktu beberapa menit. Setelah
mengambil darah, teknisi akan memberikan tekanan untuk
menghentikan perdarahan.
5. Petugas akan membalut perban ke area tusukan dan mengirim sampel
darah Anda ke laboratorium untuk pengujian. Seorang spesialis
laboratorium akan menganalisis sampel Anda. Hasil pemeriksaan
biasanya akan keluar dalam 1-2 minggu.
Untuk wanita yang tidak hamil maupun pria, jumlah normal AFP
biasanya kurang dari 10 nanogram per mililiter darah. Jika tingkat AFP
Anda sangat tinggi tetapi Anda tidak hamil, hal tersebut dapat menunjukkan
kemungkinan adanya kanker atau penyakit hati tertentu. Jika Anda hamil
dan memiliki kadar AFP yang lebih tinggi dari normal, hal itu dapat
menunjukkan cacat tabung saraf pada janin yang sedang berkembang.
Namun, biasanya yang menjadi penyebab paling umum dari peningkatan
kadar AFP adalah penghitungan usia kehamilan yang tidak akurat. Tingkat
AFP sangat bervariasi selama kehamilan.
Hasil tes bisa jadi tidak akurat jika Anda hamil untuk jangka waktu
yang lebih lama atau lebih pendek dari yang usia kehamilan yang
diperkirakan.Jika Anda hamil dan kadar AFP Anda sangat rendah, hal ini
bisa menunjukkan bahwa janin Anda memiliki kelainan kromosom, seperti
sindrom Down atau sindrom Edwards.
Hasil pembacaan AFP yang abnormal juga bisa terjadi karena
adanya kehamilan ganda, seperti memiliki anak kembar dua atau lebih.
Selain itu, pembacaan AFP yang abnormal juga bisa disebabkan oleh
kematian janin. Menurut American Pregnancy Association, sebanyak 25-50
wanita hamil dari setiap 1.000 wanita hamil yang menjalani tes AFP
menghasilkan hasil yang abnormal. Namun, hanya 1 dari 16-33 wanita
dengan hasil abnormal yang benar-benar melahirkan bayi dengan cacat
lahir. Jika hasil tes abnormal, bukan berarti bahwa anak Anda akan
mengalami cacat lahir. Hal tersebut hanya menunjukkan bahwa diperlukan
lebih banyak tes bagi dokter untuk membuat diagnosis.Dokter dapat
melakukan tes AFP lain diikuti dengan USG untuk merekam kondisi janin
di dalam kandungan Anda. Dokter juga mungkin akan merekomendasikan
tindakan lain seperti amniosentesis, jika hasil tes lanjutan masih
menunjukkan hasil abnormal. Pada amniosentesis, dokter akan menganalisis
sejumlah kecil cairan ketuban dari sekitar janin yang diambil melalui jarum
khusus.

2.1.7. Group B Hemolityc Streptococcus


Streptokokus grup B (SGB) adalah sejenis bakteri yang sering
ditemukan di vagina. Menurut Centers for Disease Control and
Prevention (CDC), estimasinya 1 dari setiap 4 wanita memiliki bakteri
SGB. Meskipun tidak berbahaya, SGB bisa menular ke bayi ketika
proses melahirkan normal, khususnya jika persalinan dilakukan tanpa
pertolongan medis.
Hal ini bisa menyebabkan masalah kesehatan serius pada
bayi.Oleh sebab itu, skrining streptokokus grup B direkomendasikan
untuk ibu hamil. Skrining streptokokus grup B biasanya dilakukan di
trimester ketiga. Untuk tahu lebih jauh tentang skrining streptokokus
grup B.
Semua ibu hamil disarankan rutin skrining streptokokus grup B
jika sudah memasuki trimester ketiga. Karena bisa saja tidak sadar
memiliki streptokokus grup B karena bakteri ini umumnya tidak
menimbulkan gejala. Jika tidak diskrining, maka tidak akan tahu bahwa
ada bakteri SGB di vagina. Alhasil, bayi bisa tertular SGB ketika lahir.
Hal ini berisiko menyebabkan bayi terkena infeksi serius. Pada penyakit
awal (early onset), bayi bisa sakit dalam 12-48 jam atau 7 hari pertama
setelah dilahirkan. Ini bisa menyebabkan:

 Radang penutup otak atau sumsum tulang belakang


(meningitis).

 Infeksi paru-paru (pneumonia).

 Infeksi dalam darah (sepsis).

 Kematian
Skrining streptokokus grup B biasanya dilakukan ketika usia
kehamilan memasuki 36 minggu. Ada pula skrining streptokokus grup B
cepat, yang dilakukan ketika sudah memasuki proses persalinan dan
hasilnya bisa diketahui 1 jam setelahnya. Kalau ibu hamil belum skrining
streptokokus grup B, dokter bisa memberikan antibiotik kepada ibu
hamil lewat infus ketika sudah memasuki proses persalinan. Hal ini
untuk memastikan agar ibu hamil tidak akan menularkan infeksi ke bayi,
khususnya jika ibu hamil memiliki faktor risiko SGB, meliputi:
 Persalinan prematur.
 Ketuban pecah dini lebih dari 18 jam sebelum bayi lahir.
 Mengalami demam saat proses persalinan.
 Sebelumnya positif streptokokus grup B ketika skrining.
 Memiliki riwayat SGB di kehamilan sebelumnya.
 Ditemukan positif SGB melalui tes urine selama kehamilan.
Saat pemeriksaan panggul selama kehamilan, dokter biasanya
akan melakukan skrining streptokokus grup B dengan melakukan swab
vagina dan rektum. Swab ini kemudian dikirim ke laboratorium untuk
dianalisa. SGB juga bisa terdeteksi lewat tes urine. Jika ibu hamil
terdeteksi positif SGB lewat tes urine, dokter akan langsung
mengobatinya dengan memberikan antibiotik oral, kemudian juga
memberikan antibiotik infus saat proses persalinan.
SGB late-onset adalah kondisi di mana bayi baru terinfeksi SGB
sekitar 1 minggu hingga beberapa bulan setelah lahir, baik lewat kontak
dari sang Ibu atau dari orang lain yang positif SGB. Kondisi ini bisa
terjadi, meskipun sangat langka. SGB late-onset biasanya terjadi ketika
ibu tidak diberikan antibiotik infus . Hal ini bisa menyebabkan
konsekuensi yang cukup serius pada bayi. Penyakit late-onset juga dapat
mengakibatkan meningitis.

Pada bayi baru lahir, sulit untuk mengenali tanda dan gejala
meningitis. Namun, segera ke dokter jika si Kecil mengalami:
 Kurang berenergi atau terlihat lemas.
 Iritabilitas
 Mendapatkan asupan gizi yang buruk.
 Demam tinggi.
Tidak ada risiko dari melakukan skrining streptokokus grup B.
Skrining dan pengobatan untuk streptokokus grup B perlu dilakukan
untuk kebaikan Mums dan si Kecil. Jadi, Mums tidak perlu ragu
melakukan skrining ini

2.1.8. Sickle Cell Anemia (Anemia Sel Sabit)


Anemia merupakan suatu bentuk kelainan pada darah yang paling
sering terjadi pada masyarakat. Anemia sel sabit merupakan anemia karena
hemoglobinopati yang disebabkan adanya perubahan asam amino ke-6 dari
rantai globin β. Anemia sel sabit banyak terjadi di daerah tropis.
Secara patofisiologi, terdapat perubahan asam amino dari asam
glutamat menjadi valin pada rantai globin β yang menyebabkan sel darah
merah menjadi berbentuk sabit ketika mengalami deoksigenasi, tetapi masih
dapat kembali ke bentuk normal bila mengalami oksigenasi. Ketika
membran sel darah merah telah mengalami perubahan, maka polimerisasi
sel darah merah telah menjadi ireversibel. Gambaran klinik yang tampak
pada anemia sel sabit dapat dibedakan menjadi 2, yaitu akut dan kronis.
Diagnosis yang dapat dilakukan adalah dengan membedakan antara
penyakit sel sabit heterozigot dengan homozigot. Perawatan sesuai dengan
gambaran klinis yang tampak. Pengobatan dapat dilakukan dengan transfusi
darah, transplantasi sumsum tulang, pemberian obat anti-sickling, dan
pemberian obat untuk memicu sintesis HbF. Pengobatan yang masih dalam
tahap pengembangan adalah dengan menggunakan stem cell.
Anemia merupakan suatu bentuk kelainan pada darah yang paling
sering terjadi pada masyarakat. Secara garis besar, anemia dapat dibedakan
menjadi 4 kelompok yaitu:
1. anemia yang disebabkan oleh cacat atau masalah yang ada pada
faktor konstitusional dari sel darah merah
2. anemia yang disebabkan oleh defisiensi atau kekurangan bahan-
bahan yang berasal dari luar tubuh
3. anemia karena kehilangan sel darah merah yang baik dan sehat; dan
4. anemia yang disebabkan karena adanya reaksi autoimun dari tubuh.

Bersadarkan klasifikasi anemia di atas, anemia sel sabit termasuk


dalam jenis anemia yang pertama, yaitu anemia yang disebabkan oleh cacat
pada faktor konstitusional pada sel darah merah, dalam hal ini adalah cacat
pada hemoglobin, yang disebut dengan istilah hemoglobinopathy.
Berdasarkan kasus yang telah dijumpai, Sickle Cell Disease (Penyakit Sel
Sabit) dan thalassemia merupakan hemoglobinopati yang paling sering
dijumpai.
Penyakit sel sabit sebenarnya dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. penyakit sel sabit yang heterozigot; dan
2. penyakit sel sabit yang homozigot.
Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, untuk
mengetahui gambaran klinis dari penderita, hal selanjutnya yang dapat
dilakukan dalam menegakkan diagnosis adalah melakukan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan penunjang yang paling sederhana yang dapat
dilakukan adalah dengan cara memberikan darah suatu agen yang dapat
memicu terjadinya deoksigenasi, seperti sodium dithionite.
Pada darah yang mengandung HbS akan didapati darah yang kental
setelah dilakukan penambahan. Akan tetapi, cara ini dapat menyebabkan
hasil yang postif semu maupun negatif semu. Hasil positif semu akan
diperoleh jika terdapat hyperglobulinemia atau terdapat hemoglobin lain
yang tidak normal selain HbS., sedangkan hasil negatif semu akan diperoleh
jika jumlah sel darah merah yang digunakan tidak tepat .
Oleh karena itu, cara ini sebaiknya tidak digunakan untuk
pemeriksaan utama dalam menegakkan diagnosis. Tes yang digunakan
untuk mendeteksi HbS dalam diagnosis anemia sel sabit yang paling sering
digunakan adalah electrophoresis . Tes ini kerap kali digunakan karena
cepat, murah dan efektif dalam pemisahan hemoglobin normal dengan yang
tidak normal. Pada kasus penyakit sel sabit heterozigot, terkadang hasil
elektroforesis yang menampakkan hasil yang sukar untuk dibedakan dengan
homozigot, misalnya saja anemia HbS-β° Thalassemia. Selain itu, terkadang
penyakit sel sabit heterozigot juga menunjukkan gejala-gejala yang sama
dengan anemia sel sabit, seperti spleenomegaly, ACS, infeksi bakterial
maupun viral, keadaan aplastik, hemolisis berlebihan, dehidrasi. Untuk itu,
di bawah ini akan ditampilkan tabel diagnosis banding dari anemia sel sabit
dengan penyakit sel sabit heterozigot menggunakan elektroforesis.
Beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah:
1. Anemia sel sabit merupakan anemia karena hemoglobinopati
yang disebabkan adanya perubahan asam amino ke-6 dari rantai
globin β.
2. Anemia sel sabit banyak terjadi di daerah tropis di Afrika dan
sebagian kecil di daerah Arab Saudi, India dan Mediterania serta
orang-orang kulit hitam di Amerika. Selain itu, ditemukan pula
karier di berbagai negara Eropa.
3. Secara patofisiologi, terdapat perubahan asam amino dari asam
glutamat menjadi valin pada rantai globin β yang menyebabkan
sel darah merah menjadi berbentuk sabit ketika mengalami
deoksigenasi, tetapi masih dapat kembali ke bentuk normal bila
mengalami oksigenasi.
4. Ketika membran sel darah merah telah mengalami perubahan,
maka polimerisasi sel darah merah telah menjadi ireversibel.
5. Gambaran klinik yang tampak pada anemia sel sabit dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu akut dan kronis.
6. Diagnosis yang dapat dilakukan adalah dengan membedakan
antara penyakit sel sabit heterozigot atau homozigot, kemudian
memberikan perawatan sesuai dengan gambaran klinis yang
tampak.
7. Pengobatan yang dapat dilakukan adalah dengan transfusi darah,
transplantasi sumsum tulang, pemberian obat anti-sickling,
pemberian obat untuk memicu sintesis HbF, dan yang masih
dalam tahap pengembangan adalah dengan menggunakan stem

2.1.9. Thalasemia
Talasemia merupakan penyakit hemolitik herediter yang disebabkan
oleh gangguan sintesis hemoglobin di dalam sel darah merah. Penyakit ini
ditandai dengan menurunnya atau tidak adanya sintesis salah satu rantai α, β
dan atau rantai globin lain yang membentuk struktur normal molekul
hemoglobin utama pada orang dewasa.
Talasemia merupakan salah satu penyakit yang mengenai sistem
hematologi dan seringkali dibahas bersamaan dengan rumpun
Hemoglobinopati. Hemoglobinopati sendiri adalah kelainan struktur
hemoglobin yang dapat mempengaruhi fungsi dan kelangsungan hidup sel
darah merah. Secara ringkas dapat disampaikan bahwa Talasemia terkait
dengan kelainan jumlah penyusun hemoglobin, sedangkan hemoglobinopati
adalah kondisi yang terkait dengan perubahan struktur hemoglobin. Dua
abnormalitas ini menyebabkan kondisi klinis anemia kronis dengan semua
gejala dan tanda klinis, serta komplikasi yang menyertainya.

Berdasarkan kelainan klinis, Talasemia terbagi atas tiga (3)


pembagian utama yaitu :
1. Talasemia mayor,
2. Talasemia intermedia, dan
3. Talasemia minor.
Kriteria utama untuk membagi 3 bagian itu berdasar atas gejala dan
tanda klinis, onset awitan, dan kebutuhan transfusi darah yang digunakan
untuk terapi suportif pasien Talasemia.
Patogenesis kelainan Talasemia terjadi akibat dari ketiadaan atau
berkurangnya rantai globin penyusun struktur hemoglobin, protein yang
bertugas sebagai alat transport oksigen dalam tubuh. Klasifikasi Talasemia
secara genetik didasarkan pada kelainan subunit rantai globin yang terkena,
yaitu Talasemia , Talasemia , Talasemia , Talasemia , dan
Talasemia .
Diagnosis Talasemia dibedakan menurut tiga jenis kriteria utama,
yaitu kriteria klinis, kriteria laboratorium, dan kriteria DNA. Diagnosis
klinis hanya fokus pada Talasemia mayor atau yang bergantung transfusi.
Rangkaian tindakan diagnosis Talasemia mayor diuraikan dalam panduan
berikut :
1. Diagnosa Klinis terdiri dari
a. anamnesa
 The hallmark adalah pucat kronik atau berlangsung lama
 Riwayat transfusi berulang; anemia yang berulang,
memerlukan transfusi berkala
 Riwayat keluarga dengan Talasemia dan transfusi
berulang.
 Perut buncit;
 Etnis dan suku tertentu;
 Riwayat tumbuh kembang dan pubertas terlambat
b. pemeriksaan fisik
Beberapa karakteristik yang dapat ditemukan dari
pemeriksaan fisik pada anak dengan Talasemia yang
bergantung transfusi adalah :
 Pucat; dokter harus memeriksa bagian konjungtiva
bagian bawah.
 Sklera tampak ikterik kekuningan akibat bilirubin
yang meningkat.
 facies Cooley seperti dahi menonjol, mata menyipit,
jarak kedua mata melebar, maksila hipertrofi,
maloklusi gigi.
 hepatosplenomegali, akibat proses eritropoiesis yang
berlebih dan destruksi sel darah merah pada sistem
retikuloendostelial (RES)
 gagal tumbuh, periksa dengan mengukur TB dan BB
kemudian bandingkan dengan persentil anak normal
lainnya
 gizi kurang, perawakan pendek,
 pubertas terlambat akibat gangguan hormon
pertumbuhan karena deposit besi pada jaringan. h)
Hiperpigmentasi kulit, akibat timbunan besi yang
berlebih.
2. Diagnosa Hematologi, Pemeriksaan laboratorium yang
diperlukan untuk diagnsois Talasemia adalah sebagai berikut :
a. Darah perifer lengkap (DPL)
b. Gambaran darah tepi
Pada usia anak balita gejala Talasemia mayor akan kelihatan dengan
mudah karena derajat anemia yang cukup berat. Hb pada saat kedatangan
dimungkinkan ada di bawah 8. Transfusi umumnya mulai diindikaksikan
jika Hb sangat rendah di bawah 7. Sebelum melakukan transfusi seharusnya
dokter dapat mengambil darah pretransfusi untuk mengecek kondisi
hematologi rutin sebelum transfusi sekaligus untuk menentukan jenis Hb
elektroforesis yang dikandungnya dan dilakukan pemeriksaan laboratorium
apusan darah tepi.
Talasemia adalah penyakit genetik yang diturunkan dan endemik di
Indonesia. Perkembangan ilmu Talasemia sudah sangat maju baik dalam hal
tingkatan keilmuan dasar maupun dalam ilmu pengelolaan. Namun, sampai
saat ini pengobatan definitif penyakit ini belum dapat digeneralisir dalam
pengobatan massal. Terapi suportif dengan transfusi darah dan obat kelasi
besi menjadi satu-satunya program pengelolaan kuratif saat ini. Kondisi ini
menjadi perhatian serius mengingat insidensi Talasemia yang tidak kunjung
menurun, bahkan meningkat setiap tahunnya. Berkaca pada keberhasilan
negara-negara Mediterania dalam pencegahan Talasemia, sudah selayaknya
negara memperhatikan dan berupaya mengeluarkan kebijakan terkait sektor
pencegahan. Dampak financial dalam pembiayaan kuratif penyakit ini
sangat besar, dan akan terus membesar jika tidak dilakukan langkah-langah
konkret pencegahan. Buku ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber
rujukan untuk belajar bagi para pelajar kedokteran dan kesehatan pada
umumnya. Perkembangan ilmu Talasemia akan semakin cepat, sehingga
diharapkan para pembelajar agar selalu mengupdate ilmu melalui jurnal-
jurnal yang terbaru.
2.1.10.Vaginal Infection
Bakterial Vaginosis (BV) paling sering dijumpai sebagai penyebab
infeksi vagina pada wanita pada masa produktif. Semula disebut sebagai
vaginitis nonspesifik, suatu gambaran keadaan yang merupakan
pengecualian dari vaginitis yang sudah jelas etiologinya. Namun saat ini
para ahli menyatakan kuman Gardnerella vaginalis yang dianggap sebagai
penyebab vaginitis nonspesifik. Hal yang khas pada vaginitis nonspesifik
ialah dijumpainya perubahan flora vagina.
Infeksi BV adalah penyebab paling umum dari gejala-gejala yang
terjadi pada vagina wanita, namun sampai saat ini belum jelas bagaimana
peran aktivitas diperkembangan infeksi BV.
Infeksi BV yang tidak mendapat penanganan yang baik dapat
menyebabkan komplikasi, antara lain, endometritis, penyakit radang
panggul, sepsis paskaaborsi, infeksi paskabedah, infeksi paskahisterektomi,
peningkatan risiko penularan HIV dan IMS lain. Infeksi BV merupakan
faktor risiko potensial untuk penularan HIV karena pH vagina meningkat
dan faktor biokimia lain yang diduga merusak mekanisme pertahanan host.
Penelitian dari seluruh dunia mengenai BV langsung tertuju kepada
sejumlah komplikasi obstetrik yaitu keguguran, lahir mati, perdarahan,
kelahiran prematur, persalinan prematur, ketuban pecah dini, infeksi cairan
ketuban, endometritis paskapersalinan dan kejadian infeksi daerah operasi
(IDO).
Metode pemeriksaan Spiegel merupakan penilaian yang berdasar
pada jumlah kuman Lactobacillus, Gardnerella dan flora campuran dalam
menegakkan diagnosis apakah seseorang terdiagnosis BV atau tidak.
Kriteria Spiegel bersifat lebih tegas karena hanya terdapat 2 kriteria aja,
yaitu normal dan BV positif,sehingga lebih memudahkan dalam
menentukan perlu atau tidaknya dilakukan terapi.
Kriteria Nugent atau juga dikenal sebagai skor Nugent merupakan
metode diagnosis infeksi BV dengan pendekatan berdasarkan jumlah bakteri
yang ada sekret vagina. Kriteria Nugent merupakan modifikasi dari metode
Spiegel dalam penghitungan jumlah kuman pada preparat basah sekret
vagina.
GasLiquid Chromatography (GLC) merupakan salah satu metode
diagnosis infeksi BV secara tidak langsung, yaitu dengan cara mendeteksi
adanya hasil metabolisme mikro organisme sekret vagina. Pada infeksi BV
salah satu gejala yang menjadi karakteristik yang khas yaitu didapatkan bau
amis pada sekret vagina. Bau ini berhubungan dengan adanya hasil
matabolisme bakteri yaitu diamin, putresin dan kadaverin.

Kriteria Amsel dalam penegakan diagnosis BV harus terpenuhi 3


dari 4 kriteria berikut:
a. Adanya peningkatan jumlah cairan vagina yang bersifat homogen.
Keluhan yang sering ditemukan pada wanita dengan BV adalah
adanya gejala cairan vagina yang berlebihan,berwarna putih yang
berbau amis dan menjadi lebih banyak setelah melakukan hubungan
seksual. Pada pemeriksaan spekulum didapatkan cairan vagina yang
encer, homogen, dan melekat pada dinding vagina namun mudah
dibersihkan. Pada beberapa kasus, cairan vagina terlihat berbusa
yang mana gejala hampir mirip dengan infeksi trikomoniasis
sehingga kadang sering keliru dalam menegakan diagnosis.
b. pH cairan vagina yang lebih dari 4,5
pH vagina ditentukan dengan pemerikasaan sekret vagina yang
diambil dari dinding lateral vagina menggunakan cotton swab dan
dioleskan pada kertas strip pH.(2,5,7). Pemeriksaan ini cukup
sensitif, 90% dari penderita BV mempunyai pH cairan vagina lebih
dari 5; tetapi spesitifitas tidak tinggi karena PH juga dapat
meningkat akibat pencucian vagina, menstruasi atau adanya sperma.
pH yang meningkat akan meningkatkan pertumbuhan flora vagina
yang abnormal.
c. Whiff test Positif
Whiff test diuji dengan cara meneteskan KOH 10% pada sekret
vagina, pemeriksaan dinyatakan positif jika setelah penentesan
tercium bau amis.1,4,20Diduga meningkat pH vagina menyebabkan
asam amino mudah terurai dan menegeluarkan putresin serta
kadaverin yang berbau amis khas. Bau amis ini mudah tercium pada
saat melakukan pemeriksaan spekulum, dan ditambah bila cairan
vagina tersebut kita tetesi KOH 10% . Cara ini juga memberikan
hasil yang positif terhadap infeksi trikomoniasis.
d. Ditemukan clue cells pada pemeriksaan mikroskopis
Menemukan clue cells di dalam sekret vagina merupakan hal yang
sangat esensial pada kriteria Amsel. Clue cells merupakan sel-sel
epitel vagina yang dikelilingi oleh bakteri Gram variabel
coccobasilli sehingga yang pada keadaan normal sel epitel vagina
yang ujung-ujungnya tajam, perbatasanya menjadi tidak jelas atau
berbintik. Clue cells dapat ditemukan dengan pengecatan gram
sekret vagina dengan pemeriksaan laboratorium sederhana dibawah
mikroskop cahaya. Jika ditemukan paling sedikit 20% dari lapangan
pandang

2. 2. Skrining Faktor Fisik Dan Psiko sosial

2. 3. Pemeriksaan Laboratorium Dan Pemeriksaan Penunjang Lainnya

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Pengertian dari KB yaitu tindakan yang membantu individu atau
pasngan untuk menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mengatur
interval kelahiran, mengontrol kartu keturunan dalam hubungan dengan
umur pasanngan suami istri dan menentukan jumlah anak dalam
keluarga(Hartanto, 2003). Dalam pelaksanaan program KB biasanya
digunakan alat kontrasepsi yang digunakan untuk mengatur /mengendalikan
pertumbuhan penduduk khususnya di Indonesia. Pengertian dari kontrasepsi
adalah cara untuk mencegah terjadinya konsepsi yaitu bertemunya sel
sperme dan ovum. Dalam pelayanan KB ada berbagaimacam cara untuk
mencegah konsepsi salah satunya dengan menggunakan AKDR. Dalam
penggunaan AKDR juga terdapat manfaat, keuntungan serta kerugian dari
penggunaan AKDR tersebut. Masalah yang timbul dari penggunaan AKDR
tersebut juga diharapkan bisa teratasi dengan beberapa cara antara lain
dengan memperhatikan cara pemakaian yang benar, efek samping serta
konseling bagi pengguna oleh tenaga kesehatan.
3.2. Saran
3.2.1. Bagi pengguna alat kontrasepsi AKDR Pengguna hendaknya
mengetahui terlebih dahulu alat kontrasepsi yang akan di pakai
dengan cara bertanya hal yang ingin diketahui ke tenaga kesehatan.
3.2.2. Bagi tenaga kesehatan
a. Sebagai tenaga kesehatan hendaknya meningkatkan keterampilannya
memasang AKDR yang baik dan sesuai prosedur.
b. Sebelum memasang AKDR pada klien jangan lupa untuk melakukan
infomconsent pada klien.

Anda mungkin juga menyukai