Anda di halaman 1dari 5

Dewasa Secara Kafah, Hikmah

Usia 40 Tahun
Red: Ani Nursalikah

Dewasa Secara Kafah, Hikmah Usia 40 Tahun.


Foto: Dedhez Anggara/ANTARA
Hikmah dari usia 40 tahun adalah momentum untuk penegasan visi hidup.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ki H Ashad Kusuma Djaya | Wakil Ketua


PDM Kota Yogyakarta

JAKARTA -- Sehingga apabila ia telah dewasa dan umurnya sampai


empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk
mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan
kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh
yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi
kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada
Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah
diri”. (QS. Al-Ahqoof [46]: 15).

Jika melongok al-Qur’an, ayat di atas, ada usia manusia yang secara


eksplisit disebutkan terkait dengan perkembangan kedewasaaan
seseorang. Usia itu adalah 40 tahun. Tak perlu kita otak-atik keramatnya
angka 40, cukup kita merenungkan maknanya ketika Allah berfirman
tentang usia 40 tahun dalam surat Al-Ahqoof ayat 15.

Memang menarik untuk mencari jawaban kenapa usia empat puluh


disebutkan eksplisit dalam ayat tersebut. Ibnu Katsir dalam kitab
tafsirnya tentang ayat tersebut menerangkan bahwa biasanya
seseorang tidak berubah lagi dari kebiasaan yang dilakukannya bila
mencapai usia 40 tahun. Ketika seseorang berada dalam usia 40 tahun
maka sempurnalah akal, pemahaman, dan pengendalian dirinya.
Hal di atas sejalan dengan pandangan ilmiah terkait kematangan usia.
Beberapa analisis ahli psikologi menyatakan 40 tahun adalah
momentum kematangan ruhani seseorang.

Elizabeth B. Hurloch membagi masa dewasa menjadi tiga bagian,


dewasa dini, dewasa madya, serta dewasa lanjut, dan menyebutkan
batas antara dewasa dini dengan madya ada pada umur 40 tahun. Pada
dewasa madya, usia 40 hingga 60 tahun, perhatian seseorang pada
masalah agama lebih besar dari sebelumnya yang itu dilandasi
kebutuhan pribadi dan sosial.

Nabi Muhammad juga diangkat oleh Allah menjadi Rasul pada usia 40
tahun. Seorang Rasul mendapat amanat untuk membimbing dan
memimpin umat kepada jalan Allah.

Untuk bisa menjalankan amanat itu maka sosok seorang Rasul harus
memiliki kematangan secara intelektual, emosional, dan spiritual.
Dengan demikian salah satu hikmah dari usia 40 tahun adalah
momentum untuk penegasan visi hidup dengan kematangan spiritual,
emosional, dan intelektual.

Nilai-nilai kematangan spiritual, emosional, dan intelektual tercermin


dalam struktur teks doa pada Qur’an surah al-Ahqaf ayat 15. Dalam
sudut pandang psikologis struktur teks doa tersebut memberi nilai-nilai
kedewasaan yang seharusnya melekat pada seseorang yang telah
memasuki 40 tahun. Setidaknya ada empat nilai, yaitu: bersyukur,
beramal shalih, bertaubat, dan berserah diri.

Kedewasaan spiritual ditunjukkan pada kehidupan seseorang yang


mampu berserah diri pada Allah. Seseorang yang memiliki kedewasaan
spiritual orientasi hidupnya sudah hanya untuk Allah saja. Seluruh
hidupnya hanya untuk menggapai ridha Allah sehingga menghindarkan
diri dari hal-hal yang mendatangkan laknat dari Allah.
Seorang yang bersyukur berarti menerima secara positif apa pun yang
dimilikinya serta mampu memanfaatkan dan merawatnya dengan baik.
Sedang bertobat adalah kemampuan seseorang memperbaiki diri.

Dengan kemampuannya bersyukur dan bertobat seorang akan memiliki


4 ciri dewasa secara secara emosional. Empat ciri itu ialah: 1) Mampu
mengendalikan reaksi; 2) Melihat segala sesuatu sebagai peluang
menjadi lebih baik’ 3) Mampu menempatkan diri dalam segala kondisi;
dan 4) Tidak mudah putus asa.

Sedangkan kedewasaan intelektual atau berpikir ditunjukkan dengan


kemampuannya mengurai masalah yang dihadapi dan membuat tahap-
tahap penyelesaian masalah. Lebih jauh lagi mereka yang memiliki
kedewasaan berpikir mampu membuat rencana jalan untuk tujuan yang
diinginkan. Ia memiliki perspektif yang tepat tentang masa lalu, masa
kini, dan masa depan.
Perspektif waktu yang mewakili cara berpikir dewasa ada dalam doa
usia 40 tahun. Melihat masa lalu sebagai sesuatu yang disyukuri
(mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada
ibu bapakku). Melihat masa kini untuk melakukan tindakan tepat (supaya
aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai). Serta melihat
masa depan sebagai buah dari tindakan masa kini (berilah kebaikan
kepadaku dengan memberi kebaikan kepada anak cucuku).

Semakin dewasa seseorang dalam berpikir akan semakin mampu


mensyukuri apa-apa yang sudah didapat dari masa lalunya, semakin
progresif dan solutif di masa kini, serta semakin antisipatif dan tidak
mudah cemas memandang masa depan. Mereka yang tidak mampu
mengantisipasi dan cemas melihat masa depan dikarenakan tidak
mampu mengurai yang dihadapi dan membuat tahap-tahap
penyelesaian masalah. Karena itu mereka pun tak mampu merumuskan
apa yang tepat untuk dilakukannya di masa kini.
Mereka yang usianya lebih dari 40 tahun sudah harus sadar kini ia
bukan lagi hanya bertanggung jawab mengenai nasibnya dirinya sendiri.
Ia juga bertanggung jawab tentang nasib generasi masa depan dengan
seluruh tindakannya di masa kini. Jika mereka tidak bisa memberi
warisan yang mendatangkan kebaikan masa depan, setidaknya jangan
mewariskan sesuatu yang mendatangkan keburukan.

Seorang muslim yang telah memasuki usia 40 tahun hendaknya


memperbaharui tobatnya dan mempertegas visi hidupnya. Ia harus
menjadi orang yang dewasa secara spiritual, emosional, dan intelektual
untuk menjalani misi yang diamanatkan Allah padanya. Sebagai muslim
yang baik maka ia harus semakin bersungguh-sungguh menjalani hidup
sebagai hamba Allah dan khalifatullah (wakil Allah) memakmurkan bumi.

Anda mungkin juga menyukai