Anda di halaman 1dari 52

PADANAN PARTIKEL

AKHIR KALIMAT BAHASA


JEPANG DALAM BAHASA
INDONESIA: KAJIAN
PENERJEMAHAN BENTUK
DANSEIGO- JOSEIGO PADA
MANGA

PROPOSAL

Oleh

VANIA RIZKY WULANDARI


NIM. 1605111661

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA JEPANG


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS RIAU
2020

1
2
A. Judul

Padanan Partikel Akhir Kalimat Bahasa Jepang dalam Bahasa Indonesia:


Kajian Penerjemahan Bentuk Danseigo-Joseigo pada Manga

B. Latar Belakang

Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi manusia yang digunakan


untuk berbicara satu sama lain. Beberapa penggunaan bahasa dapat dilihat pada
bentuk tulisan atau lisan. Sebagai tindak komunikasi, penutur dalam suatu bahasa
baik dalam bentuk teks atau lisan dapat dipastikan ingin agar maksud ujaran yang
diucapkannya dapat dipahami oleh penerima (baik pendengar maupun pembaca).
Maksud tersebut dikemas sebagai makna, sedangkan bentuknya dapat berubah
tergantung situasi, misalnya untuk menyampaikan informasi, bercerita,
mengimbau, bermaksud melarang, menanyakan suatu hal dan berbagai maksud
lainnya.

Tindakan memahami makna dalam suatu tuturan bahasa salah satunya


terdapat pada situasi menerjemahkan bahasa asing, dalam penelitian ini akan
membahas tentang padanan kalimat bahasa Jepang dalam bahasa Indonesia.
Dalam penelitian yang membahas tentang suatu padanan penerjemahan, seorang
penerjemah perlu memahami tahap-tahap penerjemahan seperti teknik, prosedur
dan metode penerjemahan yang tepat sesuai dengan standar penerjemahan yang
ada. Tahapan penerjemahan tersebut kemudian digunakan untuk mendapatkan
hasil penerjemahan yang baik dan sesuai dengan bahasa sasaran. Penelitian ini
diambil dari sumber data utamanya adalah dalam bahasa Jepang, maka untuk
menganalisisnya harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa
sasarannya. Selanjutnya selain melalui tahap-tahap proses penerjemahan, salah
satu upaya menganalisis hasil dari suatu penerjemahan dapat pula ditinjau dari
segi linguistik yang mengkaji tentang makna, dalam kata lain adalah semantik.
Aspek semantik memberikan dampak kesepadanan makna yang akan dicapai
dalam penerjemahan.

3
Hasil dari suatu proses penerjemahan umumnya dapat dilihat dari sebuah
karya yang dihasilkan oleh penerjemah, salah satunya berupa karya cetak atau
tulisan. Pada masa ini sudah banyak karya tulis suatu bahasa yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa lainnya, seperti karya tulis dalam bahasa Jepang.
Buku, majalah, artikel dan sebagainya dalam bahasa Jepang banyak diterjemahkan
oleh penerjemah ke dalam bahasa Indonesia. Salah satu bentuknya adalah manga.
Manga merupakan sebutan dalam bahasa Jepang yang berarti komik. Percakapan
yang disajikan dalam manga umumnya merupakan situasi yang terdapat dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang, sehingga konteks bahasa yang
digunakan adalah bahasa kasual. Bahasa kasual merupakan jenis bahasa yang
umum digunakan pada situasi bahasa lisan dan penggunanya memiliki konteks
yang akrab seperti digunakan pada teman sebaya, kerabat, maupun keluarga.

Mengenai penerjemahan suatu bahasa, pasti terkait dengan struktur bahasa


yang dimiliki oleh masing-masing bahasa yang bersangkutan. Bahasa Jepang
memiliki struktur bahasa yang dapat mempengaruhi padanan yang akan dihasilkan
dalam bahasa sasaran. Salah satu elemen yang dapat mempengaruhinya bisa
berasal dari partikel akhir yang berada di dalam kalimat. Bahasa Jepang menyebut
partikel akhir ini dengan kata shuujoshi. Penggunaan shuujoshi dapat
menggambarkan bentuk seperti maksud, perintah, larangan, perasaan, pertanyaan
dan lain sebagainya. Salah satu bentuk penggunaan yang menggunakan shuujoshi
seperti pada kalimat ‘kondo sonna koto o shitara, zettai ni yurusanai zo’, yang
berarti ‘kalau lain kali lakukan hal seperti itu, maka tidak akan kumaafkan loh!’
(Bahasa Jepang; Ragam Bahasa Pria dan Wanita, 2016:104). Penggunaan partikel
akhir dalam bahasa Jepang dapat bersifat textual maupun lisan.

Sebagai salah satu elemen dari struktur kalimat, partikel akhir banyak
digunakan dalam konteks percakapan yang bervariasi di dalam bahasa Jepang,
salah satu bentuk penggunaannya terdapat pada ragam bahasa gender. Bahasa
Jepang memiliki dua jenis ragam bahasa gender yang terbagi menjadi ragam
bahasa pria dan ragam bahasa wanita, dalam bahasa Jepang keduanya disebut
dengan danseigo dan joseigo. Ragam bahasa gender umumnya digunakan pada

4
situasi percakapan kasual atau bisa dikategorikan ragam akrab. Hal tersebut atas
dasar jenis kata dan pola kalimat yang diucapkan cenderung digunakan dengan
bentuk yang santai dan kurang memperlihatkan bentuk kalimat yang sopan. Para
sosiolinguis berpendapat bahwa adanya perbedaan antara bahasa yang dipakai
oleh pria dan wanita, dimana pria umumnya menggunakan bahasa yang terkesan
kasar dan tegas, sedangkan wanita terkesan lebih halus dan sopan daripada
danseigo meskipun digunakan dalam percakapan kasual. Kemudian hubungan
penggunaan partikel akhir pada danseigo dan joseigo juga memiliki perbedaan,
seperti jenis partikel akhir apa yang terdapat pada masing-masing ragam bahasa
tersebut.

Selanjutnya bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa yang juga


dipelajari di beberapa instansi pendidikan di Jepang, tentu saja penelitian yang
membahas mengenai perbedaan penggunaan kedua bahasa tersebut menarik untuk
diketahui. Dengan banyaknya media Jepang yang telah dikenal masyarakat
Indonesia dan tidak selalu menggunakan bahasa dengan situasi resmi,
menerjemahkan konteks kasual tentu saja perlu teknik penerjemahan yang tepat
dan khusus. Terutama mahasiswa atau peserta didik yang mempelajari bahasa
Jepang di Indonesia, pasti memerlukan media bahasa Jepang dengan
penerjemahan yang baik agar tidak terjadi kesalahan pada pemahaman
kosakatanya. Apalagi membahas tentang hubungan partikel akhir kalimat pada
danseigo dan joseigo, bila dikaitkan dengan bahasa Indonesia peneliti tertarik
untuk melihat bagaimana padanan makna dari penggunaan partikel akhir tersebut.
Tentu menarik untuk dibahas salah satunya adalah mengapa danseigo dapat
bermakna lebih kasar daripada joseigo. Hal tersebut karena bahasa Indonesia
secara umum tidak memiliki perbedaan mengenai penggunaan bahasa laki-laki
dan perempuan, meskipun diketahui ada beberapa penelitian mengenai ragam
bahasa gender dalam bahasa daerah di Indonesia. Namun hal tersebut tidak
menegaskan bahwa bahasa Indonesia memakai ragam bahasa gender, melainkan
hanya dipakai pada konteks tertentu dan tidak umum.

5
Penggunaan partikel akhir dalam bahasa Indonesia juga dijelaskan dengan
penyebutan kategori fatis, dengan beberapa ahli menyebutkan maknanya dapat
berarti suatu kata atau ungkapan yang dapat digunakan sebagai bentuk memulai
percakapan, mempertahankan komunikasi, menarik lawan bicara yang umum
digunakan pada situasi lisan untuk menjaga kesinambungan komunikasi antar
pembicara dan lawan bicara. Kemudian kategori fatis pada bahasa Indonesia juga
dapat dipengaruhi dari segi dialek dan sosial pembicara, sehingga kata atau
ungkapan yang dihasilkan menjadi beragam. Namun sebagai pembelajar bahasa
Jepang, kalimat bahasa Jepang dalam bentuk partikel akhir, jika diubah ke dalam
bahasa Indonesia seringkali juga diterjemahkan menjadi partikel akhir. Hal ini
yang menjadi konsentrasi peneliti bagaimana seharusnya partikel akhir tersebut
diterjemahkan termasuk keterkaitannya jika digunakan pada ragam gender.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, berikut rumusan


masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, sebagai berikut :

1. Apa saja bentuk padanan terjemahan dari shuujoshi pada joseigo dan
danseigo dari kalimat percakapan oleh tokoh dalam manga?
2. Apa saja teknik yang dilakukan dalam penerjemahan shuujoshi pada
joseigo dan danseigo dari kalimat percakapan oleh tokoh dalam manga?

D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas maka tujuan
yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk menjabarkan hasil padanan terjemahan dari bentuk shuujoshi pada


joseigo dan danseigo dari kalimat percakapan oleh tokoh dalam manga.
2. Untuk mendeskripsikan apa saja teknik yang dilakukan dalam
penerjemahan shuujoshi pada joseigo dan danseigo dari kalimat
percakapan oleh tokoh dalam manga.

6
E. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas maka


manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah :

A. Manfaat bagi penulis dan peneliti.


1. Bagi peneliti selanjutnya, dapat digunakan untuk menambah referensi data
penelitian mengenai partikel akhir maupun ragam bahasa.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber penambah wawasan bagi
peneliti mengenai konsep hubungan penerjemahan dalam suatu bahasa.

B. Manfaat bagi pembelajar bahasa.


1. Dapat mengetahui hasil keterkaitan penggunaan partikel akhir dalam
bahasa Jepang jika digunakan di dalam bahasa Indonesia.
3. Dapat mengetahui apa saja teknik penerjemahan yang dapat digunakan
dalam menerjemahkan suatu bahasa.

F. Definisi Operasional

Agar memudahkan memahami kata atau bahasa yang terdapat dalam


penelitian ini maka akan dijelaskan sebagai berikut :

1. Terjemahan merupakan bentuk atau hasil dari sebuah proses


penerjemahan dari suatu bahasa ke bahasa yang lain.
2. Gender adalah penyebutan dalam bahasa Inggris yang digunakan sebagai
bentuk penanda jenis kelamin, seperti laki-laki dan perempuan.
3. Ragam bahasa maknanya adalah variasi bentuk atau macam-macam
perbedaan penggunaan bahasa yang dilakukan oleh sekumpulan orang
yang dapat dipengaruhi baik dari segi sosial maupun budaya.
G. Kajian Teoritis
1. Penerjemahan

7
Terjemahan atau penerjemahan merupakan hal yang lazim digunakan
dalam proses pembelajaran yang berkaitan dengan bahasa asing dan dapat
digunakan sebagai pendekatan kebahasaan. Menurut Catford (1965) dalam
Machali (2000:5) penerjemahan dapat didefinisikan sebagai “the replacement of
textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another
language (TL)”, yang berarti mengganti bahan teks dalam bahasa sumber dengan
bahan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran.

Menurut Newmark (1998:6) dalam Rahmadani (2017) penerjemahan


memiliki kesenangan dan daya tarik tersendiri. Penerjemahan yang memuaskan
memang menungkinkan, akan tetapi penerjemah yang baik tidak akan pernah puas
terhadap hasil terjemahannya sebab akan selalu bisa dilakukan perbaikan.
Penerjemah selalu berusaha untuk memperluas pengetahuannya dan memikirkan
fakta serta kata-kata. Terdapat empat level yang dilakukan oleh penerjemah, yaitu:
1. Penerjemahan adalah pengetahuan, dimana penerjemah mengejar pengetahuan
serta verifikasi pada fakta serta mencari-kata-kata dalam bahasa yang bisa
mendeskribsikannya, 2. Penerjemahan sebagai keterampilan, yaitu mencari bahasa
yang sesuai dan lazim digunakan, 3. Sebagai seni, yaitu membedakan tulisan yang
bagus dari yang buruk serta kreatif sesuai dengan instuisi yang terkadang dapat
menginspirasi, 4. Sebagai rasa, dimana argumen terhenti, pilihan diekspresikan
dan penerjemahan merupakan refleksi dari perbedaan setiap individual.
Penerjemahan juga dapat diartikan sebagai proses merubah, mengganti
ataupun mencocokkan keterkaitan antar kata atau kalimat dari suatu bahasa ke
bahasa lainnya atau lebih sehingga dapat saling memahami makna dari masing-
masing bahasa tersebut. Kemudian terlihat adanya kesepakatan bahwa
penerjemahan merupakan suatu kegiatan yang menyangkut keterkaitan antara dua
bahasa atau lebih (multy-language) yang kemudian adanya transfer makna dari
bahasa sumber (SL) ke bahasa sasaran. (TL), dengan keakuratan pesan,
keterbacaan, dan keberterimaan yang akan bermuara pada produk terjemahan
yang baik, sebagaimana dikemukakan Halliday dalam Steiner bahwa terjemahan
yang baik adalah suatu teks yang merupakan terjemahan ekivalen terkait dengan

8
fitur-fitur linguistik yang bernilai dalam konteks penerjemahan. “A good
translation is a text which is a translation (i.e.is equivalent) in respect of those
linguistic feautures which are most valued in the given transalation” (2001: 17).

Menurut Machali (2000:11) terdapat perangkat yang digunakan oleh


penerjemah sebagai modal dasar yang harus dimiliki seorang penerjemah.
Lazimnya, perangkat tersebut berupa perangkat intelektual dan praktis. Perangkat
intelektual mencakup: (1) kemampuan yang baik dalam bahasa sumber; (2)
kemampuan yang baik dalam bahasa sasaran; (3) pengetahuan mengenai pokok
masalah yang diterjemahkan; (4) penerapan pengetahuan yang dimiliki; (5)
keterampilan. Sementara itu perangkat praktis mencakup: (1) kemampuan
menggunakan sumber-sumber rujukan, seperti kamus biasa, kamus elektronik
serta narasumber bidang yang diterjemahkan; (2) kemampuan mengenali konteks
suatu teks, baik kontek langsung maupun tidak langsung.

2. Metode Penerjemahan

Menurut Newmark (1988) dalam Machali (2000:49) ada dua kelompok


metode penerjemahan, yaitu 1) metode yang memberikan penekanan terhadap
bahasa sumber (Bsu); 2) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa
sasaran. Dalam metode terjemahan yang pertama, penerjemah berusaha
mewujudkan kembali dengan setepat-tepatnya makna kontekstual Tsu, meskipun
dijumpai hambatan sintaksis dan semantis pada Tsa (yakni hambatan bentuk dan
makna). Dalam metode kedua, penerjemah berupaya menghasilkan dampak yang
relatif sama dengan yang diharapkan oleh penulis asli terhadap pembaca versi
Bsu. Metode pengelompokan yang pertama akan dijelaskan dibawah ini :

a. Penerjemahan Kata Demi Kata


Dalam metode penerjemahan jenis ini biasanya kata-kata Tsa langsung
diletakkan di bawah versi Tsu. Kata-kata dalam Tsu diterjemahkan di luar
konteks, dan kata-kata yang bersifat kultural (misalnya ‘tempe’)
dipindahkan apa adanya. Umumnya metode ini digunakan sebagai tahapan

9
prapenerjemahan pada penerjemahan yang sangat sukar atau untuk
memahami mekanisme BSu.
Contoh penerjemahan kata demi kata dalam teks bahasa Jepang:
BSu: 私は猫が好き。  BSa:
私 watashi saya
は wa (partikel pengantar topik)
猫 neko kucing
が ga (partikel penanda objek)
好き suki suka
Metode penerjemahan ini juga dapat dikatakan menerjemahkan teks
sumber dengan membiarkan susunan kalimat aslinya.
b. Penerjemahan Harfiah
Konstruksi gramatikal BSu dicarikan padanannya yang terdekat dalam
TSa, tetapi penerjemahan leksikal atau kata-katanya dilakukan terpisah
dari konteks.
Contoh hasil dari penerjemahan harfiah dalam teks bahasa Jepang :
BSu: 猫に小判  (Supriatnaningsih dan Nurhayati, 2020)
Neko ni koban
BSa: ‘memberikan hadiah kepada orang lain yang tidak bisa
menghargainya adalah tindakan yang sia-sia’
Secara harfiah jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia artinya merupakan
‘memberikan koin emas kepada kucing’, maksud dari artinya adalah
‘memberikan hadiah kepada orang lain yang tidak bisa menghargainya
adalah tindakan yang sia-sia’.
c. Penerjemahan Setia
Penerjemahan setia mencoba mereproduksi makna kontekstual TSu
dengan masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Di sini kata-kata yang
bermuatan budaya dialihbahasakan, tetapi penyimpangan dari segi tata
bahasa dan pilihan kata masih tetap dibiarkan.
Contoh hasil penerjemahan setia dalam teks bahasa Jepang :
BSu: 水の音

10
Mizu no oto
Suara air
(Haiku karya Matsuo Basho dalam Supriatnaningsih dan Nurhayati, 2020)

d. Penerjemahan Semantis
Penerjemahan semantis ini lebih luwes daripada penerjemahan setia yang
lebih kaku dan tidak berkompromi dengan kaidah TSa. Penerjemahan
semantis harus pula mempertimbangkan unsur estetika teks BSu dengan
mengkompromikan makna selama masih dalam batas kewajaran. Kata
yang hanya sedikit bermuatan budaya kemudian dapat diterjemahkan
dengan kata yang netral atau istilah yang fungsional.
Contoh hasil penerjemahan semantis dalam bahasa Jepang :
BSu : 腹がへる (hara ga heru)
‘perutnya berkurang’ (Supriatnaningsih dan Nurhayati, 2020)
BSa : makna yang tepat adalah ‘perutnya kosong’

Penerjemahan ini lebih ditekankan kepada bahasa sasaran dan tidak sekaku
penerjemahan setia. Makna dari terjemahan di atas dapat mengisyaratkan
si pembicara yang maksudnya adalah ‘perutnya lapar’.

Kemudian ada pula metode penerjemahan yang lebih ditekankan kepada


BSa. Ini berarti bahwa selain mempertimbangkan kewacanaan, penerjemahan juga
mempertimbangkan hal-hal lain yang berkaitan dengan bahasa sasaran. Berikut
adalah keempat metode tersebut :

a. Adaptasi
Adaptasi merupakan metode penerjemahan yang paling bebas dan paling
dekat dengan BSa. Biasanya metode ini digunakan dalam menerjemahkan
puisi atau drama yaitu yang memperahankan tema, karakter dan alur.
Contoh penerjemahan adaptasi :
BSu : 泣き面に蜂 (nakitsura ni hachi) (Weliantari, 2020)
‘lebah pada wajah menangis’

11
BSa : Sudah jatuh tertimpa tangga
Makna dari hasil penerjemahan ini mengalami perubahan budaya dari BSu
dan BSa. Pada teks BSu, makna ‘lebah pada wajah menangis’ artinya
sudah wajah bengkak, lalu mendapat sengatan lebah. Hal ini sama dengan
peribahasa dalam bahasa Indonesia (BSa) yakni, ‘sudah jatuh tertimpa
tangga’.

b. Penerjemahan Bebas
Metode penerjemahan ini yang mengutamakan isi dan mengorbankan
bentuk teks BSu. Biasanya, metode ini berbentuk sebuah paafrase yang
dapat lebih panjang atau lebih pendek dari aslinya. Metode ini sering
dipakai dikalangan media massa.
Contoh penerjemahan bebas :
BSu : いずれもプログラムを手にしながら、...
Izure mo puroguremu o te ni shinagara
BSa : ‘masing-masing dengan buku acara di tangan’
(Andriani dkk., 2019)

c. Penerjemahan Idiomatik
Metode ini bertujuan mereproduksi pesan dalam teks BSu, tetapi sering
dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak
didapati pada versi aslinya, yang juga padanan istilah, ungkapan dan
idiomnya berorientasi pada BSa.
Contoh penerjemahan idiomatik :
BSu : 猿も木から落ちる (saru mo ki kara ochiru)
BSa : ‘orang yang mahir dalam sesuatu, pasti juga akan menemui
kesalahan’
Jika diartikan secara harfiah, teks BSu maknanya yakni ‘monyet juga jatuh
dari pohon’. Kemudian jika diterjemahkan ke BSa, sama dengan
peribahasa ‘sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga’.

12
d. Penerjemahan Komunikatif
Metode ini mengupayakan reproduksi makna kontekstual yang demikian
rupa, sehingga baik aspek kebahasaan maupun aspek isi langsung dapat
dimengerti oleh pembaca. Metode ini memperhatikan prinsip-prinsip
komunikasi, yaitu khalayak pembaca dan tujuan penerjemahan.
Contoh penerjemahan komunikatif :
BSu : 昆虫類 (konchurui)
BSa : insekta (dalam ilmu biologi) atau serangga (umum)

3. Prosedur Penerjemahan

Menurut The Macquaric Dictionary, “a procedure is the act or manner of


proceeding in any action or process” ‘prosedur adalah perbuatan atau cara kerja
dalam segala tindakan atau proses. Perbedaan antara metode dan prosedur terletak
pada satuan penerapannya. Metode penerjemahan berkenaan dengan keseluruhan
teks, sedangkan prosedur penerjemahan berlaku untuk kalimat dan satuan-satuan
bahasa yang lebih kecil seperti klausa, frase, kata dan sebagainya. Dibawah ini
akan dijelaskan beberapa prosedur yang dilakukan dalam penerjemahan.

A. Pergeseran bentuk
Menurut Catford (1965) dalam Machali (2000:63) prosedur yang biasa
dikenal dengan transposisi atau ‘shift’ ini merupakan suatu prosedur
penerjemahan yang melibatkan perubahan bentuk gramatikal dari BSu ke
BSa. Ada empat jenis pergeseran bentuk, seperti dibawah ini :
a. Prosedur penerjemahan dalam pencarian padanan dari BSu ke BSa.
Contoh :
Adjektiva + nomina menjadi nomina + pemberi sifat
TSu : きれい女の子 (Kirei onna no ko)
TSa : Anak kecil (yang) cantik
b. Pergeseran bentuk yang dilakukan jika suatu struktur gramatikal dalam
BSu tidak ada dalam BSa.
Contoh :

13
TSu : おふろ(Ofuro)
TSa : Kamar mandi
Dalam BSa awalan O tidak mendapat padanan karena tidak ada dalam
BSu.
c. Pergeseran yang terjadi apabila suatu ungkapan dalam BSu dapat
diterjemahkan scara harfiah ke dalam BSa melalui cara gramatikal,
tetapi padanannya kaku dalam BSa.
Contoh :
TSu : 普通の男の人は好きじゃありません
(Futsuu no otoko no hito wa suki ja arimasen)
TSa : Saya tidak suka laki-laki yang biasa saja
Jika frase diatas diterjemahkan secara harfiah, maka bunyinya akan
menjadi ‘laki-laki biasa saya tidak suka’, dan frase ini terasa kaku di
dalam bahasa Indonesia.
d. Pergeseran bentuk yang dilakukan dengan maksud mengisi
kesenjangan leksikal (termasuk peranti gramatikal yang mempunyai
fungsi tekstual, seperti /-lah/, /-pun/) dalam BSa dengan menggunakan
suatu struktur gramatikal.
Contoh :
TSu : だからさっきからそう言ってるじゃないか
(Dakara sakki kara sou itteru janai ka)
TSa : Itu lah sebabnya saya mengatakannya sedari tadi

B. Pergeseran makna atau modulasi


Konsep prosedur penerjemahan modulasi ini didasarkan atas pandangan
Newmark (1988) dalam Machali (2000:69) yang dibagi menjadi modulasi
wajib dan modulasi bebas.
a. Modulasi wajib dilakukan apabila suatu kata, frase atau struktur tidak
ada padananannya dalam BSa sehingga perlu dimunculkan.
Contoh :
TSu : ああ、そうだなあ (Aa soudanaa)

14
TSa : Oohh begitu (ya rupanya..)
b. Modulasi bebas adalah prosedur penerjemahan yang dilakukan karena
alasan nonlinguistik, misalnya untuk memperjelas makna,
menimbulkan kesetalian dalam BSa, mencari padanan yang terasa
alami dalam BSa dan sebagainya.

C. Adaptasi
Adaptasi adalah pengupayaan padanan kultural antara dua situasi tertentu.

D. Pemadanan berkonteks
Pemberian konteks atau contextual conditioning adalah penempatan suatu
informasi dalam konteks, agar maknanya jelas bagi penerima
informasi/berita (Nida (1982) dalam Machali (2000:71)).

E. Pemadanan bercatatan
Apabila semua prosedur penerjemahan tersebut di muka tidak dapat
menghasilkan padanan yang diharapkan, maka langkah pemadanan
bercatatan dapat dilakukan. Misalnya pemberian makna dengan catatan
setelah terjemahan dalam BSa. Prosedur penerjemahan ini juga dapat
berupa seperti catatan kaki.

Selain dari kelima prosedur penerjemahan yang telah disebutkan di atas,


Newmark dalam bukunya A Text Book of Translation (1988) juga menjelaskan
beberapa prosedur penerjemahan lain.

A. Transferensi
Menurut Newmark (1988:81) prosedur transferensi dalam proses
penerjemahannya mengambil istilah bahasa yang terdapat pada BSu untuk
kemudian dipakai juga dalam BSa. Hal ini dilakukan penerjemah pada saat
tidak ditemukannya padanan pada BSu di dalam BSa. Transferensi dapat
pula digunakan untuk memperkenalkan istilah bahasa asing kepada
pembaca, namun apabila istilah tersebut sudah lazim didengar.

15
Contoh :
TSu : 私は寿司が好きです。(watashi wa sushi ga suki desu)
TSa : saya menyukai sushi.

B. Naturalisasi
Prosedur penerjemahan naturalisasi dapat dikatakan mirip dengan proses
transferensi, dimana prosedurnya mengadaptasi BSu menjadi BSa yang
memiliki pelafalan kata yang serupa. Newmark (1988) juga menjelaskan
prosedur penerjemahan ini digunakan pada istilah bahasa sumber yang
sudah lazim dikenal oleh pembaca.
Contoh :
TSu : 今しゃぶしゃぶをたべる。(ima shabu-shabu o taberu)
TSa: saat ini sedang makan shabu-shabu.
Dalam bahasa jepang kata shabu-shabu berarti bunyi saat menggoyangkan
daging tipis saat dimasak yang terdengar seperti kata ‘shabu-shabu’.
Kemudian orang-orang saat ini mengenal bunyi tersebut sebagai suatu
nama makanan Jepang.

C. Couplet/Triplet/Quadruplet
Menurut Newmark (1988), prosedur penerjemahan ini digunakan dengan
menggabungkan 2 atau lebih jenis prosedur penerjemahan dalam
menerjeahkan kata/frase antara BSu dan BSa.

D. Padanan Budaya
Prosedur penerjemahan ini dilakukan dengan memadankan atau mengganti
unsur budaya yang terdapat pada BSu menjadi padanan yang sesuai
dengan BSa.

E. Kesepadanan Deskriptif
Prosedur penerjemahan deskriptif dilakukan dengan cara menguraikan
padanan dari istilah BSu ke dalam BSa agar menjadi lebih jelas maknanya.

16
4. Teknik Penerjemahan

Menurut Collins English Dictionary dalam Machali (2000:77) teknik


adalah suatu metode atau keahlian seni yang praktis yang diterapkan pada suatu
tugas tertentu. Teknik juga berarti secara langsung berkaitan dengan permasalahan
praktis penerjemahan dan pemecahannya dengan norma pedoman tertentu.
Menurut Molina dan Albir (2002, dalam Dewi dan Anggraeny, 2018) terdapat
beberapa macam teknik penerjemahan akan dijelaskan dibawah ini.

1. Adaptasi

Teknik adaptasi dilakukan dengan menganti unsur budaya yang terdapat pada
bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Hal ini dilakukan agar teks dalam
BSu dapat mudah dipahami artinya di dalam BSa.

Contoh :

TSu : As white as snow

TSa : Seputih kapas

2. Amplifikasi

Teknik amplifikasi merupakan memfrasakan suatu informasi yang implisit


dalam teks BSu. Hal ini sama dengan menambahkan makna yang ada dari
BSu.

Contoh :

TSu : はなび (Hanabi)

TSa : Festival kembang api

3. Peminjaman (Borrowing)

17
Teknik ini adalah teknik penerjemahan yang dilakukan dengan meminjam
kata atau ungkapan yang terdapat dari BSu. Peminjaman itu bisa bersifat
natural atau bisa sesuai dengan pelafalan yang seharusnya.

Contoh :

TSu : 東京 (Toukyou)

TSa: Tookyoo (murni) || Tokyo (alamiah)

4. Kalke (Calque)

Teknik penerjemahan ini dilakukan dengan menerjemahkan BSu secara


literal.

Contoh :

TSu : Directorate General

TSa : Direktorat Jendral

5. Kompensasi

Teknik penerjemahan dengan penyampaian pesan pada bagian lain dari teks
terjemahan.

Contoh :

TSu : 三まいの紙 (San mai no kami)

TSa : Tiga lembar kertas

6. Deskripsi

Teknik penerjemahan dengan memberikan penjelasan makna atau deskripsi


dan fungsinya dari teks BSu.

Contoh :

TSu : ナット (Natto)

18
TSa: Makanan dari hasil fermentasi kacang kedelai

7. Transposisi

Teknik penerjemahan dimana penerjemah melakukan perubahan gramatikal.

Contoh :

TSu : 上手 (Jouzu)

TSa : Sangat pintar/hebat

8. Modulasi

Teknik penerjemahan dengan merubah sudut pandang, focus atau kognitif


dalam kaitannya dengan BSu. Perubahan sudut pandang tersebut dapat berupa
leksikal maupun struktural.

TSu : 家にだれもいません (Uchi ni dare mo imasen)

TSa : Semua orang tidak ada dirumah

5. Ragam Bahasa Gender

Ragam bahasa merupakan salah satu bentuk peranan penting yang


penggunaannya berbeda-beda dalam setiap bahasa. Menurut Kridalaksana
(2008:206) ragam bahasa merupakan variasi bahasa antara pembicara dan
pendengar menurut topik yang dibicarakan, hubungan pembicara dan lawan
bicara, menurut orang yang dibicarakan, serta medium pembicara yang dapat
dipengaruhi dari segi sosial, kebudayaan dan latar belakang yang mempengaruhi
pembicaraan tersebut. Menurut definisi tersebut ragam bahasa pun dapat
dipengaruhi oleh gender, makna gender sendiri berarti jenis kelamin sebagai
bentuk yang dapat membedakan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu
ragam bahasa gender dapat berarti ragam bahasa yang penggunaannya

19
dipengaruhi oleh gender itu sendiri, yakni antara bahasa yang digunakan oleh
laki-laki dan perempuan.

Bahasa Jepang merupakan salah satu pengguna ragam bahasa gender,


yang biasa disebut dengan danseigo dan joseigo. Terdapat perbedaan yang
menunjukkan persepsi masyarakat Jepang mengenai penggunaan danseigo dan
joseigo. Dalam bahasa Jepang, penggunaan ragam bahasa pria (danseigo)
cenderung menampilkan pengucapan dengan sisi kasar, keras dan kuat seperti
merepresentasikan image seorang laki-laki. Sebaliknya pengguna ragam bahasa
wanita menampilkan bahasa tersebut dengan intonasi yang sopan, lemah lembut
dan anggun. Selain itu, kecenderungan wanita menggunakan bahasa yang lebih
sopan juga disebutkan oleh Holmes (2013:168) tentang “Woman’s role as
guardian of society’s values”, ia menyebutkan “A second explanation for the fact
that women use more than men points to the way society tends to expect ‘better’
behavior from women than from men”, hal ini menjelaskan bahwa kaum wanita
menjadikan lingkungan yang memperlihatkan sosok wanita yang seharusnya
terlihat anggun, indah dan sopan daripada seorang pria.

Setelah menemukan adanya perbedaan bentuk bahasa yang digunakan pria


dan wanita dalam bahasa Jepang, tentu kita perlu mengetahui bagaimana melihat
faktor dari perbedaan ragam bahasa tersebut. Menurut Putri dan Santoso (2015:
168) dalam bahasa Jepang terdapat unsur bahasa yang menjadi pemarkah atau
penanda yang dapat menentukan perbedaan antara danseigo dan joseigo yang
akan dijelaskan sebagai berikut.

A. Pronomina Persona

Pronominal persona memiliki arti lain yakni kata ganti yang dapat
digunakan untuk kata ganti orang, benda, tempat atau arah. Dalam bahasa Jepang
pronomina persona disebut dengan ninshou dameishi. Ninshou dameishi terdiri
dari beberapa macam, sebagai berikut:

20
1. Kata Ganti Orang Pertama

Dalam bahasa Jepang kata ganti orang pertama disebut dengan jishou.
Putri dan Santoso (2015) mengumpulkan beberapa kosakata yang masuk ke dalam
kategori kata ganti orang pertama berdasarkan komik berjudul Chibi Maruko
Chan, yang dapat dibedakan antara pengguna pria dan pengguna wanita, seperti
berikut ini.

Pengguna Bahasa
Danseigo Joseigo Arti Keterangan
Boku - Penggunanya merupakan
Ore - anak laki-laki sampai dewasa
Penggunanya pria berusia 60
Washi/washira - ke atas atau sudah kakek-
Saya
kakek
- Watashi Penggunanya bisa dari anak-
anak perempuan sampai
- Atashi
wanita dewasa

2. Kata Ganti Orang Kedua

Bahasa Jepang menyebut kata ganti orang kedua dengan kata taishou,
berikut beberapa kata ganti orang kedua dalam bahasa Jepang.

Pengguna Bahasa
Danseigo Joseigo Arti Keterangan
Kamu Cenderung dipakai oleh
Omae - penutur pria dengan intonasi
yang kurang sopan
Kimi Kimi Kamu/anda Keduanya sering digunakan
oleh penutur pria dan wanita,
dapat dengan intonasi yang
Anta Anta Kamu/anda
kasar maupun sopan dalam
konteks keakraban.

21
3. Kata Ganti Orang Ketiga

Tashou dalam bahasa Jepang berarti kata ganti orang ketiga. Menurut Putri
dan Santoso (2015:182) terdapat perbedaan mengenai kata ganti orang ketiga
yang digunakan dalam danseigo dan joseigo, seperti beberapa kata berikut ini.

Pengguna Bahasa
Danseigo Joseigo Arti Keterangan
Kata yang cenderung
Soitsu Dia/orang itu
berintonasi kasar
Digunakan oleh orang yang
Aitsu Dia/orang itu lebih tua/lebih punya status
atau kekuasaan lebih tinggi
Memiliki makna cenderung
Yatsu Dia/orang itu
kasar
Kono hito Orang itu
Ano hito Orang itu Seluruhnya memiliki
Sono hito Orang itu makna/intonasi yang lebih
Dia (laki-
Kare sopan ketika diucapkan
laki)
daripada pada bahasa pria.
Dia
Kanojo
(perempuan)

B. Kandoushi

Kandoushi dalam bahasa Indonesia biasa disebut dengan interjeksi atau


interjection yang berarti kelas kata yang dapat berdiri sendiri dan tidak mengenal
konjugasi atau deklinasi (Putri dan Santoso, 2015:193). Kandoushi juga
merupakan ungkapan-ungkapan yang mengungkapkan sesuatu perasaan, impresi,
panggilan, jawaban maupun persalaman. Berikut beberapa contoh kata yang
menunjukkan kandoushi dalam danseigo dan joseigo.

Pengguna Bahasa
Danseigo Joseigo Arti Keterangan

22
Kata yang sering digunakan
oleh penutur pria dan wanita,
Hora Hora Lihat, tuh/ lihat! digunakan ketika hendak
menunjukkan suatu hal
kepada lawan bicara
Menunjukkan sesuatu seperti
Are Are Hei/loh?
terkejut atau keheranan
Dapat berupa ungkapan
Maa Maa Wah/ yaa../hmm dalam ekspresi terkejut
namun juga kagum
Umumnya digunakan oleh
penutur pria dewasa dan
Hoo - Haa../hah? anak-anak. Digunakan ketika
terkejut dengan sedikit
berfikir
Anak laki-laki banyak
menggunakan kata ini, dan
tidak dalam konteks terkejut
Yai - Wah..
akan tetapi digunakan ketika
dalam bentuk memanggil
lawan bicara
Umumnya digunakan oleh
penutur wanita dan anak laki-
Ooi Ooi Woi!
laki untuk memanggil lawan
bicara
Mennunjukkan ekspresi
terkejut dan lebih sering
- Ara Wah..
diucapkan oleh penutur
wanita

C. Kata Benda/Meishi

23
Pada bentuk pemarkah dalam kalimat danseigo dan joseigo juga terdapat
kata benda yang biasa digunakan oleh kedua ragam bahasa tersebut, beberapa
contohnya dijelaskan sebagai berikut.

Pengguna Bahasa
Danseigo Joseigo Arti Keterangan
Perut Pada danseigo, penutur pria
cenderung lebih
mengucapkan kata ‘Hara
Hara Onaka heta’ daripada ‘Onaka ga
suita’, dan sehingga pada
penutur wanita bahasanya
cenderung lebih sopan
‘sugee’ dan ‘sugoi’ memiliki
makna yang sama, akan
Sugee Sugoi Hebat/bagus tetapi pada penutur pria
pengucapannya terkesan
kasar
‘umai’ dan ‘oishii’ memiliki
makna yang sama, akan
tetapi pada penutur pria
Umai Oishii Enak
pengucapannya terkesan
kasar daripada penutur
wanita

Selain beberapa pemarkah dalam penggunaan danseigo dan joseigo yang


telah dijelaskan diatas, sesuai dengan topik penelitian ini yang mengenai partikel
akhir kalimat peneliti juga menyajikan tentang partikel akhir yang digunakan
dalam ragam bahasa gender tersebut. Macam-macam partikel akhir kalimat
tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

6. Shuujoshi

24
A. Definisi Shuujoshi pada Bentuk Ishi ‘Maksud’ yang Berhubungan
dengan Gender

Sedikit penjelasan mengenai shuujoshi telah dijelaskan dalam latar


belakang, yang mana shuujoshi berarti partikel akhir dalam kalimat. Selain
makna berupa partikel akhir kalimat, dalam penelitian ini definisi shuujoshi juga
berfungsi sebagai bentuk kalimat yang diucapkan pembicara untuk
menyampaikan pesan, perasaan, pertanyaan, pernyataan dan sebagainya. Partikel
akhir biasanya terdapat pada tataran wacana atau bersifat textual seperti yang
diungkapkan oleh Narrog (2009:18) dalam Aibonotika (2016), namun selain
dihunakan dalam tataran wacana, penggunaan shuujoshi juga dapat dijelaskan
dalam tataran kalimat yang umumnya tidak memerlukan konteks.

Banyak macam-macam pengertian mengenai shuujoshi yang dikemukakan


para ahli linguistik. Salah satunya adalah shuujoshi yang umumnya digunakan
dalam tataran wacana, juga dapat digunakan pada tataran kalimat. Dalam tataran
kalimat, penggunaan shuujoshi berorientasi pada pendengarnya. Kemudian dalam
salah satu penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Aibonotika (2016), kata
shuujoshi memiliki sebutan lain seperti modalitas atau ilokusi modalitas. Pada
penelitian tersebut juga menjelaskan jenis shuujoshi mana saja yang memiliki
hubungan penggunaannya dengan ragam bahasa gender (danseigo-joseigo),
yakni akan menjadi landasan pemilihan shuujoshi yang akan diteliti.

Definisi partikel akhir dalam penelitian sebelumnya milik Aibonotika


(2016) yang berjudul “Modalitas Ishi ‘Maksud’ Bahasa Jepang dan Padanannya
dalam Bahasa Indonesia: Studi Struktur dan Makna” menjelaskan tentang
pandangan para linguis sering diasosiasikan dengan daya ilokusi (illocutionary
force) atau maknanya tindak tutur dalam kalimat yang diidentifikasi dengan cara
yang terus terang dan tidak berbelit-belit sehingga mudah dipahami maksudnya.
Untuk pengertian yang sama dari penjelasan tersebut Narrog (2009:214) dalam
Aibonotika (2016) menggunakan istilah illocutionary modulators.

25
Selanjutnya penggunaan shuujoshi juga berfungsi sebagai ungkapan
gramatikal yang dapat diklasifikasikan sebagai sikap pembicara yang berorientasi
pada pendengar. Menurut Masuoka (1991:48) dalam Aibonotika (2016) partikel
akhir diklasifikasikan dengan sebutan dentatsu-taido no modariti (modalitas
sikap-penyampaian) yang berarti modalitas ini merupakan bentuk
mengungkapkan sikap si pembicara terhadap orang yang mendengarkan kalimat
yang diucapkan oleh penuturnya. Kemudian konteks tersebut biasanya
diugkapkan di dalam suatu kalimat dengan partikel akhir seperti na, yo, sa, zo, ze,
wa dan lain sebagainya. Kemudian makna dari hasil penggunaan partikel akhir
dalam bahasa Jepang tersebut memberikan pengaruh terhadap makna dari partikel
yang digunakan dalam bahasa Indonesia dalam mengartikan shuujoshi yang
dipakai dalam kalimat danseigo dan joseigo.

Partikel akhir menurut Noda (2002:261-262) berdasarkan Chin (1987)


dalam Aibonotika (2016) mempunyai fungsi umum yang dijelaskan seperti
“pengisian celah kesadaran atau pemahaman antara pembicara dan pendengar”.
Pengertian ini mirip dengan definisi shuujoshi yang disebutkan oleh Moriyama
(2005:51) dalam Putri dan Santoso (2016:102) yakni shuujoshi dapat digunakan
untuk mengekspresikan pengetahuan pembicara dan pembicara kepada pendengar
atau lawan bicara serta memiliki bermacam-macam makna.

Beberapa pengertian tentang shuujoshi tersebut dalam penelitian yang


dilakukan oleh Aibonotika merupakan salah satu bentuk hubungan modalitas ishi
atau maksud dengan penggunaan partikel akhir. Bentuk maksud seperti
menegaskan kalimat, penilaian pembicara, ajakan dan sebagainya. Bentuk kalimat
maksud juga didasari oleh suatu infleksi atau perubahan kata berdasarkan struktur
gramatikal. Menurut Moriyama ada tiga bentuk infleksi yang menggambarkan
‘maksud’ dalam bahasa Jepang. Pertama bentuk よ う ’ (y)ou’ yang digunakan
untuk kalimat dari pikiran seseorang dan bersifat nondialogis. Kedua adalah
bentuk infleksi r(u) yang digunakan sebagai tahapan untuk menyatakan suatu
keputusan disertai dengan komitmen untuk melakukan tindakan. Kemudian yang
ketiga merupakan bentuk infleksi tsumori yang digunakan untuk menyatakan

26
‘maksud’ yang telah ada dipikiran si pembicara akan tetapi belum ada tindakan
yang dilakukan dari pemikiran tersebut (Aibonotika, 2016). Infleksi tersebut
merupakan ciri atau penanda suatu kalimat yang memiliki bentuk ‘maksud’. Dari
bentuk infleksi ini kemudian akan dilihat apakah ada keterkaitan dengan
shuujoshi yang berhubungan dengan danseigo dan joseigo.

Gambar 1

Berdasarkan sumber yang terlampir, ada beberapa partikel akhir yang


memiliki keterkaitan dengan penggunaan ragam bahasa gender, seperti yang
tertera pada tabel berikut.

Dari data yang ditampilkan pada tabel di atas, dapat dilihat penggunaan
shuujoshi pada bentuk maksud dapat diklasifikasikan oleh pengguna bahasa pria
dan wanita. Seperti laki-laki yang banyak menggunakan partikel zo, ze dan sa,
sedangkan perempuan menggunakan partikel wa. Data di atas juga menampilkan
penggunaan shuujoshi yang bersifat nondialogis, penggunaan ragam sopan, ragam

27
biasa, adjektiva, bentuk kamus, bentuk perintah, bentuk maksud, dan lain-lain.
Dalam verba bentuk maksud, kecenderungan pengguna bahasa dalam konteks
gender hanya digunakan oleh laki-laki dengan bentuk kalimat yang terdapat
shuujoshi ze.

Hasil data di atas terlampir pada penelitian yang dilakukan oleh


Aibonotika (2016), akan tetapi pada jenis shuujoshi lainnya seperti nee, yo, yone,
naa tidak terdapat kelompok shuujoshi yang memiliki kecenderungan digunakan
oleh gender sebagai bentuk modalitas maksud. Hanya terdapat pada shuujoshi na
yang sering digunakan oleh pria dewasa, umumnya dalam konteks kalimat sopan.
Hal ini tidak sejalan dengan penggunaan shuujoshi pada danseigo-joseigo yang
cenderung memiliki bentuk kalimat kasual dan konteks keakraban yang tidak
begitu menampilkan bentuk kesopanan.

B. Dialogis dan Nondialogis

Sebelum masuk pada pembahasan jenis-jenis shuujoshi, bentuk partikel


akhir yang didasarkan oleh modalitas ishi (maksud) dalam bahasa Jepang juga
dapat digunakan secara dialogis dan nondialogis. Jika dialogis merupakan situasi
dimana pembicara dan pendegar saling berbicara satu sama lain, maka berbeda
dengan nondialogis. Maknanya adalah kalimat yang diucapkan oleh si pembicara
tidak selalu harus dalam konteks berbicara dengan lawan bicara, akan tetapi bisa
jadi kalimat untuk dirinya atau ungkapan yang disampaikan untuk diri sendiri,
seperti berbicara di dalam hati (Aibonotika, 2016). Oleh karena itu analisis
mengenai partikel akhir dengan landasan penggunaan pada bentuk maksud
mungkin akan dianalisis berdasarkan bentuk nondialogis dan dialogis kemudian
akan dikaitkan dengan penuturnya yakni danseigo atau joseigo.

C. Jenis-jenis Shuujoshi pada bentuk Ishi ‘Maksud’ yang Berhubungan


dengan Gender

1. Zo dan ze
a. Partikel zo

28
Menurut Putri dan Santoso (2016:103) partikel zo memiliki makna yang
menyatakan keputusan atau ketidakpastian si pembicara. Selain itu pada situasi
bentuk maksud, partikel zo yang bersifat nondialogis dapat menjelaskan suatu
pemikiran yang diketahui oleh pembicara atau pemahaman yang baru hanya pada
diri sendiri. Dalam konteks tertentu sebagai bentuk ‘meyakinkan’ pemikiran si
pembicara, partikel zo juga digunakan oleh wanita dalam mengungkapkan
perubahan atau pemahaman dirinya (Noda, 2002:269 dalam Aibonotika, 2016) .
Seperti salah satu contoh berikut:

Uchida : ああ、だんだん分かってきたぞ。(Aibonotika, 2016)


Aa, dandan wakatte kita zo.
‘Ohh, baiklah saya sudah paham sedikit demi sedikit’

Dalam situasi dialogis, partikel zo sering digunakan sebagai bentuk


kalimat yang tegas, memiliki nuansa yang ‘mendesakkan’ atau mengarahkan dan
mengatur tindakan lawan bicara sehingga membuat penggunaan partikel ini
terkesan tidak formal yang menyebabkan kecenderungan dipakai oleh pria. Oleh
karena itu, terkait dengan salah satu kutipan yang terdapat pada latar belakang
mengenai ada kecenderungan wanita menggunakan bentuk bahasa yang lebih
sopan daripada pria seperti yang dikemukakan oleh Holmes (2013:168) membuat
sudut pandang penggunaan ragam bahasa yang terpusat kepada laki-laki
ketimbang wanita. Oleh karena itu laki-laki bertindak sebagai pemimpin yang
harus bercitra tegas dan kuat, sedangkan wanita harus lemah lembut (Aibonotika,
2016). Selain itu patikel ini juga dapat digunakan sebagai bentuk menyadarkan
pendengar dengan bentuk yang sungguh-sungguh dengan kesan pendengar yang
harus percaya dan terkesan ‘mendesakkan’, seperti pada contoh berikut:

「さきに行くぞ!」(Putri dan Santoso, 2016:105)


Saki ni iku zo!
‘Saya pergi duluan nih!’

b. Partikel ze

29
Partikel ze menurut Putri dan Santoso (2016:106) dapat dipakai pada akhir
kalimat yang mendukung ajakan. Seperti yang diungkapkan pada contoh berikut:

「どう?、今から出かけるぜ」
Dou? Ima kara dekakeru ze.
‘Gimana? Saya pergi sekarang nih!’

Pada contoh kalimat di atas, penggunaan partikel ze juga memiliki hubungan yang
serupa dengan partikel zo dalam hal ‘mendesakkan’ sesuatu yang lebih kuat.
Dalam situasi lain, menurut Nitta et al., 2003:248 dalam Aibonotika (2016)
partikel ze digunakan dalam konteks si pendengar diajak mengaktualisasikan
suatu ajakan dengan nuansa ‘pembicara menganggap ajakannya tidak akan ditolak
oleh pendengar’, seperti pada contoh berikut:

「座れよ、一緒に飲もうぜ」
Suware yo, isshoni nomou ze
‘Duduklah, ayo dong minum sama-sama’

Pernyataan dari kalimat tersebut memberikan kesan bahwa hal tersebut


merupakan suatu yang ‘wajar diterima’ oleh pembicara, sehingga memuculkan
kesan menyalahkan. Atas dasar ini pula barangkali mengapa partikel ini tidak
digunakan oleh wanita.

2. Wa

Makna penggunaan partikel wa secara nondialogis adalah mengungkapkan


kesadaran disertai perasaan yang kuat atau seruan pada kalimat. Menurut Ueno
(1972) dalam Aibonotika (2016), kalimat yang menggunakan partikel wa
memiliki penekanan yang ringan sebagai ungkapan kepada lawan bicara dengan
bentuk seperti bergumam. Partikel wa umum digunakan oleh wanita karena
menampilkan ungkapan yang bernada tinggi, seperti yang biasa wanita ucapkan.

Contoh : 「知らないわ」(Putri dan Santoso, 2016:93)


Shiranai wa
‘Gaktau deh..’

30
Makna dari contoh kalimat tersebut dapat berarti si pembicara mengungkapkan
suatu kalimat menjelaskan ketidaktahuannya dengan cara seperti bergumam atau
berbicara sendiri.

Menurut Noda (2002) dalam Aibonotika (2016) secara dialogis partikel


wa dapat dijelaskan sebagai kasus berbicara sendiri yang mengindikasikan nuansa
dengan ‘maksud ingin dimengerti’ oleh pendengar, meskipun itu tetap
menunjukkan hal kesadaran diri sendiri dan dengan bentuk ‘penekanan terhadap
pendengar’. Oleh karena itu penambahan partikel yo sesudah wa dirasa sesuai,
seperti pendapat Putri dan Santoso (2016:93) penambahan partikel yo dapat
menambah kesan penegasan dan penekanan pada kalimat. Seperti pada contoh
kalimat berikut:

「彼女はまだ会社にいるわよ」(Putri dan Santoso, 2016:94)


Kanojo wa mada kaisha ni iru way o
‘Dia (perempuan) masih berada dikantor lho!’

3. Sa

Menurut Nitta et al., 2003:251 dalam Aibonotika (2016), partikel sa


umumnya digunakan oleh laki-laki. Dalam kasus penggunaan sa pada wanita
biasanya ditambahkan bentuk kutipan seperti ndatte atau tte (penyampaian pesan
atau denbun). Penggunaannya sebagai bentuk menyampaikan makna tanpa
mencampuri subjektivitas pembicara tentang isi perkataan orang lain dengan
intonasi yang naik, kemudian tidak ada nuansa ‘memaksakan’ sehingga juga
digunakan oleh wanita.

Contoh : 「先生が、体に気お付けて、元気で頑張りなさいってさ」
Sensei ga, karada ni kiotsukete, genki de ganbarinasai tte sa
‘Kata (bapak/ibu) guru sih, jaga kesehatan dan bersungguh-sungguh’
(Nitta et al., 2003:251 dalam Aibonotika, 2016)

Selain itu, Chin (1972) dalam Aibonotika (2016) memberikan pendapat


mengenai dua macam penggunaan sa. Pertama adalah sa yang selalu dilekatkan

31
pada kalimat yang menerima pernyataan yang dikemukakan di hadapan pendengar
maupun pembicara, kedua sa yang digunakan untuk menegaskan,
mengkonfirmasi, yang menyatakan penjelasan terhadap pendengar kepada
pembicara.

Contoh : 「子供にだってできるさ」(Putri dan Santoso, 2016:103)


Kodomo ni date dekiru sa
(Anak kecil saja bisa loh!)

4. Partikel Kashira

Selain partikel akhir yang berhubungan dengan bentuk ishi ‘maksud’,


terdapat pula salah satu partikel yang dapat digunakan untuk mengungkapkan
ketidakyakinan pembicara akan suatu hal. Partikel kashira umumnya digunakan
oleh wanita dan cenderung untuk menjelaskan kalimat tanya. Seperti contoh
berikut ini:

「誰かやってくれないかしら」(Putri dan Santoso, 2016:92)


Dare ka yatte kurenai kashira
‘Bisa tidak ya seseorang melakukannya?’

Dari kalimat tersebut pembicara terlihat tidak yakin akan pikiran yang
diungkapkannya. Seperti bertanya-tanya dan tidak tahu bagaimana hasil yang
akan didapatnya.

Partikel kashira terkadang juga digunakan oleh pria, namun jumlahnya


terbatas tidak sebanyak wanita. Sebagai gantinya pria menggunakan partikel yang
menunjukkan pertanyaan yang lebih tegas seperti kai, dai, kane, kana atau
darouka daripada memakai partikel kashira (Putri dan Santoso, 2016:93).

D. Partikel dalam bahasa Indonesia

Pada penelitian yang berfokus pada menerjemahkan suatu bahasa, tentu


penting untuk memasukkan hubungan makna dari bahasa sasarannya. Setelah
menjelaskan macam-macam partikel akhir dalam bahasa Jepang (shuujoshi),

32
bahasa Indonesia juga memiliki beragam bentuk partikel dan pemakaiannya mirip
dengan partikel akhir bahasa Jepang. Penggunaannya juga dalam bentuk lisan dan
tidak baku yang juga dipengaruhi oleh sifat dialektal.

Beberapa partikel dalam bahasa Indonesia dijelaskan dalam kategori fatis


yang disebutkan oleh Kridalaksana et al. (1985:109-113) yakni bentuk-bentuk
partikel tersebut memiliki konsep pemakaian yang monolog, atau dipakai untuk
berbicara sendiri oleh si pembicara atau ungkapan yang tidak dimaksudkan
kepada lawan bicara. Partikel tersebut bisa saja bermakna menegaskan,
penekanan, memastikan sesuatu dari keraguan atau ketidakyakinan pembicara,
dan kata seru yang dapat merubah intonasi sebagai ungkapan ekspresi pembicara.

Partikel yang disebutkan oleh Kridalaksana (1985:110-112), dengn


beberapa diantaranya merupakan bentuk partikel deh/dah, dong, kan, lho/loh, dan
ya. Pada partikel deh/dah, yang berasal dari kata ‘sudah/udah’, makna partikel ini
dapat berarti penekanan atas pernyataan. Penggunaannya dalam kalimat seperti
‘bagaimana kalau’ atau ‘saya mau’ contohnya seperti ‘coba dulu deh’, makna
kalimat tersebut dapat berarti ‘bagaimana kalau dicoba dahulu?’. Kalimat pertama
tidak menjelaskan indikasi bentuk pertanyaan, melainkan pembicara menekankan
pernyataan yang diungkapkan untuk melakukan sesuatu yang ada dipikirannya.

Selanjutnya partikel dong yang memiliki makna sebagai penegas yang


halus ataupun kasar. Contoh penggunaan partikel dong dengan makna yang halus
seperti ‘iya, yang ini dong’, makna kalimat tersebut menunjukkan bentuk ‘tentu
saja’ atau pengakuan dari pembicara yang diutarakan kepada lawan bicaranya.
Selain itu dalam konteks yang terbilang kasar contohnya seperti kalimat ‘pelan-
pelan dong!’. Kalimat tersebut terkesan seperti sebuah perintah atau larangan yang
muncul dari si pembicara untuk menyatakan ketidakpuasan atau keinginan
sebenarnya yang ingin didengar oleh lawan bicaranya.

Kemudian terdapat partikel kan yang dapat digunakan untuk menunjukkan


permintaan persetujuan pembicara terhadap pendengar, seperti ‘cantik kan?’.
Maknanya si pembicara ingin lawan bicaranya juga setuju dengan apa yang

33
diucapkannya, bahwa sesuatu itu cantik atau bagus. Namun pada penggunaan
partikel ya, maknanya tidak selalu untuk mendapatkan persetujuan. Partikel ya
dapat digunakan seabagai ungkapan yang digunakan oleh pembicara atas rasa
ketidakyakinannya seperti pada kalimat ‘kira-kira bisa tidak ya?’ kemungkinan
kalimat yang diucapkan merupakan bentuk bergumam atau tidak berbicara kepada
lawan bicara.

Dalam partikel lho/loh, salah satu penggunaannya dapat berupa


menekankan kalimat yang diucapkan pembicara yang bersifat informatif dalam
suatu hal tertentu. Contohnya pada kalimat ‘nanti kamu kedinginan loh!’, kalimat
ini dapat berarti si pembicara ingin memberitahu pendengarnya suatu informasi
bahwa nanti dia akan kedinginan, oleh karena itu mengucapannya sedikit
menekan dan berintonasi tinggi.

7. Semantik

Hubungan semantik dan makna dalam penelitian ini adalah semantik dan
makna merupakan elemen penting dalam penelitian penerjemahan dalam ruang
lingkup linguistik. Hal tersebut untuk mengetahui makna kata, makna frasa
maupun makna kalimat agar dapat tersampaikan kepada lawan bicara yang
menjadikan objek semantik dan makna diperlukan.

Semantik merupakan salah satu cabang linguistik yang mempelajari


tentang makna. Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah yang
digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda
linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bahwa
semantik itu adalah bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau
arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu
tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa :
fonologi, gramatikal, dan semantik (Chaer, 1994:2)

Menurut Chaer (2009: 6-11) dalam Nafinuddin (2020) Semantik


berdasarkan tataran atau bagian dari bahasa yang menjadi objek penyelidikan
dapat dibedakan menjadi empat, yaitu (1) semantik leksikal yang merupakan jenis

34
semantik yang objek penelitiannya adalah leksikon dari suatu bahsa, (2) semantik
gramatikal yang merupakan jenis semantik yang objek penelitiannya adalah
makna-makna gramatikal dari tataran morfologi, (3) semantik sintaksikal yang
merupakan jenis semantik yang sasaran penyelidikannya bertumpu pada hal-hal
yang berkaitan dengan sintaksis, (4) semantik maksud yang merupakan jenis
semantik yang berkenaan dengan pemakaian bentuk-bentuk gaya bahasa, seperti
metafora, ironi, litotes, dan sebagainya.
Menurut Wijana (2015: 39) analisis semantik merupakan analisis proposisi
yang terdiri dari predikat dan beberapa nomina lain sebagai argumennya.
Kemudian dalam bahasa Indonesia, predikat itu dapat berupa verba, adjektiva,
numeral, bilangan, adverbia dan frase preposisi.
Semantik berbeda dengan sintaksis, kajian tentang kombinatorik unit
bahasa (tanpa mengacu pada maknanya), dan pragmatik, kajian tentang hubungan
antara simbol-simbol bahasa, makna, dan pengguna bahasa. Semantik juga
dibahas dalam bahasa Jepang. Pembagian semantik ke dalam ilmu bahasa menurut
Ikegami (1991:19) menyebutkan bahwa :

言語における意味の問題は、当然言語学の一部門として意味論の対
象 にな る。 意味 論は 、特 に区 別さ れる とき は「 言語 学的 な意 味論 」
(linguistic semantics)、「哲学的な意味論」(philosophical semantics)、 「一
般意味論」(general semantics)というふうにそれぞれ呼ばれるが、多くはい
ずれの場合対しても「意味論」という名称使われる。
Terjemahan:
Permasalahan arti dalam bahasa yang menjadi objek semantik adalah salah satu
bagian dalam ilmu linguistik. Semantik yang secara khusus dibedakan sesuai
dengan sebutannya menjadi semantik linguistik semantik filosifis, semantik
umum, tetapi sering digunakan nama semantik dalam berbagai macam
kesempatan dengan nama sebutannya.

8. Makna

35
Makna merupakan salah satu elemen penting yang terdapat dalam proses
penerjemahan suatu bahasa. Sebagai tindak komunikasi makna sangat diperlukan
baik dari produsen teks dan penerima atau pembaca agar memahami maksud dari
suatu bacaan.

Menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure


dalam Nafinuddin (2020) makna adalah ’pengertian’ atau ’konsep’ yang dimiliki
atau terdapat pada sebuah tanda-linguistik. Menurut de Saussure, setiap tanda
linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu (1) yang diartikan (Perancis: signifie,
Inggris: signified) dan (2) yang mengartikan (Perancis: signifiant, Inggris:
signifier). Yang diartikan (signifie, signified) sebenarnya tidak lain dari pada
konsep atau makna dari sesuatu tanda-bunyi. Sedangkan yang mengartikan
(signifiant atau signifier) adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem
bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiap tanda-linguistik terdiri dari
unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa
(intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang
merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual). Di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Depdikbud, 2005:619) kata makna diartikan: 1) arti: ia memperhatikan
makna setiap kata yang terdapat dalam tulisan kuno itu, 2) maksud pembicara atau
penulis, 3) pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan.

Menurut Sutedi (2003:103) menyatakan bahwa dalam tata bahasa Jepang,


makna sebagai objek kajian semantik antara lain makna kata (go no imi), relasi
makna (go no imi kankei) antar satu kata dengan kata yang lainnya, makna frase
dalam suatu idiom (ka no imi) dan makna kalimat (bun no imi).

Makna dapat digolongkan menjadi makna leksikal, gramatikal, kontekstual


dan sosiokultural. Sedangkan dari segi asalnya, Larson dalam Machali (2000:24)
makna dibedakan menjadi dua jenis, yakni primer dan sekunder. Hal tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Makna leksikal

36
Makna leksikal merupakan makna satuan-satuan kebahasaan yang dapat
diidentifikasikan tanpa satuan itu bergabung dengan satuan yang lain
(Wijana, 2015:28). Kata leksikal berasal dari kata leksikon yang berarti
kata-kata, merupakan makna sebagaimana yang sering ditemukan dalam
kamus pada umumnya, misalnya dalam kamus bahasa Indonesia-Jepang,
anjing= inu.
2. Makna Gramatikal
Makna gramatikal menurut Wijana (2015:29) adalah penggabungan suatu
lingual dengan lingual lainnya berdasarkan kaidah gramatikal. Makna
gramatikal juga dapat diartikan sebagai makna yang terbentuk akibat
susunan kata-kata dalam frase, klausa, atau kalimat, misalnya makna yang
terbentuk akibat akhiran yang ditambahkan dalam kata ‘meminjam’ yang
dalam bahasa Jepang adalah ‘karimasu.
3. Makna Kontekstual
Makna Kontekstual adalah makna yang didasarkan atas hubungan antara
ujaran dan situasi pemakaian ujaran itu (Depdiknas, 2008:864). Makna
kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada dalam
suatu konteks. Makna kontekstual terbentuk dari hubungannya dengan
kata-kata lain yang digunakan dalam teks ataupun yang berada di luar teks.
4. Makna Sosiokultural
Makna sosiokultural adalah makna yang terbentuk oleh budaya setempat
atau juga mempunyai muatan sosial tertentu. Contohnya kalimat ‘selamat
makan’ yang juga terdapat dalam budaya Jepang dengan ucapan
‘itadakimasu’.
5. Makna Primer dan Sekunder
Makna primer biasa disebut dengan makna referensial, yang berarti adalah
makna dasar atau makna asli yang dimiliki suatu kata. Kemudian makna
sekunder biasa disebut dengan makna konotatif adalah makna yang
mendapat makna tambahan akibat budaya disekitarnya.

37
H. Kerangka Konseptual Penelitian

Bagan 1

Shuujoshi

Teknik penerjemahan
Padanan penerjemahan
Manga
dalam bahasa Indonesia
Bentuk penerjemahan

Danseigo dan Joseigo

I. Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah :

1. Penelitian yang dilakukan oleh M. Herfiansyah yang berjudul “Padanan


Terjemahan Shuujoshi yo, zo, ze, sa dan wa pada Komik Doraemon Vol.
6 (2014)”. Hasil penelitian ini adalah padanan terjemahan dari macam-
macam shuujoshi yang tersebut diatas pada komik Doraemon Vol. 6 dengan
menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif.

Persamaan dari penelitian sebelumnya dengan penelitian yang saya teliti


adalah sama-sama meneliti tentang penggunaan shuujoshi dengan sumber data
yang diambil dari manga. Perbedaannya adalah terletak pada objek penelitiannya

38
yakni danseigo dan joseigo dan sumber data yang diambil dari judul manga atau
komik yang berbeda dan tidak tertuju pada satu judul saja. Penelitian sebelumnya
juga hanya meneliti beberapa jenis shuujoshi saja, namun dalam penelitian yang
saya teliti akan meneliti semua jenis shuujoshi yang berkaitan dengan danseigo
dan joseigo berdasarkan percakapan yang terdapat dalam manga.

2. Penelitian relevan yang dilakukan oleh Kadek Eva Krishna Adnyani yang
berjudul “Representasi Wanita dalam Joseigo (2013)”. Hasil dari
penelitian ini memiliki kesimpulan bahwa penggunaan joseigo oleh
masyarakat Jepang merupakan manipulasi yang dibuat oleh pemerintah
sehingga membuat adanya perbedaan kedudukan antara pria dan wanita.
Sehingga membuat joseigo menjadi bahasa yang penggunaannya lebih sopan
daripada bahasa pria.

Persaaman dari penelitian terdahulu adalah topik penelitian ini saya


jadikan acuan penulisan dalam latar belakang sebagai penjelasan tentang
perbedaan dan persamaan ragam bahasa dalam bahasa Jepang dan bahasa
Indonesia. Perbedaan yang terdapat dari penelitian tersebut dengan penelitian kali
ini adalah penelitian ini tidak meneliti tentang penggunaan partikel seperti
shuujoshi dan danseigo namun hanya meneliti tentang fungsi atau kegunaan dan
keberadaan joseigo dalam bahasa Jepang.

3. Penelitian yang relevan dilakukan oleh Ketut Agus Kartika, Renny


Anggraeny dan Maria Gorethy Nie Nie yang berjudul “Struktur, Fungsi dan
Makna Shuujoshi yone, wa dan kashira dalam Komik School Rumble
Volume 1-10 Karya Jin Kobayashi (2016)”. Hasil penelitian ini adalah
menjabarkan bagaimana struktur, fungsi dan makna dari shuujoshi yone, wa
dan kashira yang terdapat pada komik School Rumble volume 1-10 karya Jin
Kobayashi.

Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang saya lakukan adalah


sama-sama meneliti topik tentang shuujoshi dalam komik atau manga dan
padanan penerjemahannya, kemudian perbedaannya terletak pada objek yang

39
diambil dalam penelitian saya merupakan danseigo dan joseigo sedangkan pada
penelitian terdahulu membahas struktur dan fungsi dari shuujoshi tertentu saja.

4. Penelitian terdahulu yang berjudul “Analisis Penggunaan Danseigo dan


Joseigo dalam Novel Sekai Kara Neko ga Kieta Nara karya Kawamura
Genki (2016)”. Hasil dari penelitian ini merupakan analisis dari penggunaan
semua komponen yang dipakai dalam danseigo dan joseigo seperti shuujoshi,
kandoushi¸meishi, ninshodaimeshi, doushi dan penyimpangan yang terdapat
pada penggunaan danseigo dan joseigo.

Dari penelitian terdahulu diketahui memiliki persamaan dengan penelitian


saya dalam hal sama-sama membahas shuujoshi dengan sumber data yang diambil
dari manga. Perbedaannya adalah dalam penelitian yang saya lakukan tidak
membahas hal-hal lain selain shuujoshi.

5. Penelitian disertasi milik Arza Aibonotika yang berjudul “Modalitas Ishi


‘Maksud’ dalam Bahasa Jepang dan Padanannya dalam Bahasa
Indonesia: Studi Struktur Bentuk dan Makna (2016)”.

Penelitian ini digunakan sebagai landasan teori tentang penggunaan


shuujoshi atau partikel akhir dalam bahasa Jepang dan hubungan penggunaannya
pada ragam bahasa gender, kemudian juga keterkaitan partikel di dalam bahasa
Indonesia, sesuai dengan penelitian yang akan diteliti.

J. Metode Penelitian
1. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai dari berlakunya surat tugas dosen


pembimbing. Adapun perkiraan rincian kegiatan penelitiannya sebagai berikut :

Tabel 1
No
Kegiatan Penelitian Waktu Penelitian
.
1. Pengajuan Judul November 2019
2. Seminar Proposal Januari 2020

40
Perbaikan Proposal (setelah
3. Januari 2020
seminar proposal)
4. Pengambilan Data Januari 2020
Pengolahan Data dan Penyusunan
5. Januari-Februari 2020
bab 4-5
6. Seminar Hasil Februari 2020
7. Perbaikan Skripsi 1 Maret 2020
8. Seminar Skripsi Maret 2020
9. Perbaikan Skripsi 2 Maret 2020

2. Jenis Penelitian

Berdasarkan pendapat tersebut, penelitian ini merupakan penelitian


kualitatif deskriptif sebab dalam proses pelaksanaannya lebih menekankan pada
makna dan mengikuti metode dan prosedur yang sudah ada, kemudian hasilnya
akan dijababarkan. Sehingga pengertian tersebut seperti pendapat yang
dikemukakan oleh Denzin dan Lincoln (1994) dalam Anggito dan Setiawan
(2018:7) yang menyebutkan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitan yang
menggunakan latar alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi
dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Selain dengan
penelitian kualitatif, penelitian ini juga bersifat deskriptif seperti menurut Moh.
Nazir (1985:84) merupakan metode pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat
untuk membuat gambaran mengenai suatu kegiatan atau situasi yang tidak
menguji suatu hipotesis.

Berdasarkan pengertian diatas, penelitian kulitatif juga berlandaskan pada


filsafat postpositivisme, karena digunakan untuk meneliti dengan kondisi objek
yang alamiah dan pengambilan data secara purposive dan snowbaal dengan teknik
pengambilan data trianggulasi atau gabungan dan lebih menekankan kepada
makna (Sugiyono, 2012:15). Penelitian kualitatif banyak digunakan untuk
penelitian dengan latar belakang sosial dengan fenomena pengambilan sumber
data yang jelas dan natural.

3. Sumber Data

41
Sumber data yang diambil dalam penelitian kali ini menggunakan
beberapa judul manga yang berbentuk buku/cetak. Pemilihan manga sebagai
sumber data penelitian dengan alasan kalimat percakapan yang disajikan pada
manga merupakan bentuk tertulis beserta gambar yang menampilkan ekspresi
penuturnya. Hal tersebut akan memudahkan peneliti yang bukan merupakan
seorang native speaker. Kemudian manga yang dipilih juga terdapat dalam bentuk
bahasa Indonesia yang telah resmi dikeluarkan oleh penerbit di Indonesia. Bila
dibandingkan dengan menggunakan anime sebagai sumber data, anime akan
tersedia dalam bentuk audio dan video sehingga dalam proses pengumpulan data
akan dirasa kurang efisien apabila harus mendengarkan kalimat yang sesuai
berulang-ulang, selain itu banyak sekali situs anime dengan penerjemahan yang
tidak resmi bahkan bajakan yang sebaiknya peneliti hindari. Berikut ini beberapa
judul manga yang dipilih dengan uraian alasannya.

A. Manga berbahasa Jepang


1. Detective Conan (edisi spesial volume 8,9 dan 10)

Detective Conan merupakan manga karya penulis Gosho Aoyama yang


pertama kali terbit di Jepang pada tahun 1994 melalui majalah Weekly Shonen
Sunday oleh penerbit Shogakukan. Manga ini menceritakan tentang seorang
detektif SMA bernama Shinichi Kudo yang berubah menjadi seorang anak kecil
akibat salah meminum ramuan yang kemudian dia mengganti namanya menjadi
Conan Edogawa untuk menyembunyikan identitas aslinya. Selain Conan, terdapat
karakter lain yang terdapat dalam manga ini seperti Ran Mouri yang merupakan
kekasih Shinichi Kudo yang tidak mengetahui bahwa Shinici berubah menjadi
seorang anak kecil bernama Conan. Kemudian ada Kogoro Mouri, ayah dari Ran
Mouri yang meruapakan seorang detektif terkenal dari kasus-kasus besar namun
konyol dan kasus-kasusnya selalu dibantu di pecahkan oleh Conan. Selain itu ada
pula karakter anak-anak sebagai teman-teman Conan seperti George Kojima,
Ayumi Yoshida, Mitsuhiko Tsuburaya dan Ai haibara yang juga berubah menjadi
kecil seperti Conan.

42
Manga ini merupakan serial manga edisi spesial yang dibuat oleh Gosho
Aoyama dengan genre misteri. Pada manga Detective Conan berbahasa Jepang
volume ke-8, manga ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1999 dengan total
192 halaman. Kemudian volume ke-9 terbit pada tahun 1999 dengan jumlah 193
halaman dan volume ke-10 diterbitkan tahun 2000 dengan total halaman yang
disajikan sebanyak 219 halaman.

Alasan pemilihan manga ini sebagai sumber data untuk penelitian kali ini
adalah karena di dalam manga ini terdapat banyak tokoh yang bervariasi dari segi
usia dan profesi di dalam alur ceritanya. Sehingga hal tersebut membuat ragam
bahasa seperti danseigo dan joseigo dapat muncul dalam percakapan antar tokoh
pada manga Detective Conan ini. Selain itu, akibat beragam profesi berbeda yang
terkadang muncul pada cerita di dalam manga ini, bentuk variasi bahasa seperti
danseigo dan joseigo dalam penggunaan partikel akhir memungkinkan untuk
diteliti. Namun untuk membuat batasan data yang akan diambil maka hanya akan
di teliti dari volume 8, 9 dan 10 saja.

2. One Piece (volume 8,9 dan 10)

One Piece merupakan sebuah seri manga Jepang yang ditulis dan
diilustrasikan oleh Eiichiro Oda. Manga ini telah dimuat di majalah Weekly
Shōnen Jump milik Shueisha sejak tanggal 22 Juli 1997, dan telah dibundel
menjadi 91 volume tankōbon. Ceritanya mengisahkan petualangan Monkey D.
Luffy, seorang anak laki-laki yang memiliki kemampuan tubuh elastis seperti
karet setelah memakan Buah Iblis secara tidak disengaja. Dengan kru bajak
lautnya, yang dinamakan Bajak Laut Topi Jerami, Luffy menjelajahi Grand Line
untuk mencari harta karun terbesar di dunia yang dikenal sebagai "One Piece"
dalam rangka untuk menjadi Raja Bajak Laut yang berikutnya.

Selain Luffy, ada karakter lain yang juga menjadi pendukung dalam cerita
One Piece ini seperti Rorona Zoro, yang merupakan pemburu bajak laut tiga
pedang yang menjadi kru pertama yang bergabung dengan Kelompok Topi Jerami
dan menjabat sebagai wakil kapten. Kemudian ada Nami, yang berperan sebagai

43
navigator dan pencuri yang dapat mengenali dan menganalisis perubahan sekecil
apapun tentang cuaca. Lalu ada Usopp seorang pembohong, pelukis handal dan
ahli senjata ulung bagi timnya, dan masih banyak tokoh-tokoh lainnya.

Manga dengan genre petualangan dan fantasi ini pada volume ke-8
pertama kali terbit pada tahun 1999 dengan total halaman sebanyak 187 halaman.
Kemudian disusul dengan volume ke-9 dan 10 yang juga terbit pada 1999 dengan
masing-masing total halaman sebanyak 187 dan 205 halaman. Alasan memilih
ketiga volume dengan memulai dari volume ke-8 karena memulai dari volume ini
sudah mulai menampilkan beberapa tokoh baru, sehingga bentuk percakapan yang
digunakan dapat lebih bervariasi daripada volume awal manga.

Manga ini dipilih untuk diteliti karena situasi cerita yang disajikan sangat
menarik karena cara berbicara bajak laut yang terkesan kasar dan lantang,
kemudian situasi keakraban yang kental membuat manga ini dapat
merepesentasikan situasi percakapan dalam danseigo. Banyaknya tokoh pria
dalam manga One Piece ini juga menjadi alasan yang memungkinkan untuk
meneliti bentuk percakapan dan penggunaan partikel akhir (shuujoshi) dari
danseigo dan joseigo. Untuk membatasi jumlah data yang digunakan, manga ini
juga hanya akan diteliti dalam 3 volume saja.

3. Gekkan Shojo Nozaki-kun (volume 4 dan 5)

Gekkan Shojo Nozaki-kun atau judul bahasa Inggrisnya Monthly Girls’


Nozaki-kun merupakan manga bergenre komedi romantis yang ditulis oleh Izumi
Tsubaki yang dirilis pada pertengahan tahun 2013. Manga ini menceritakan
tentang seorang seniman manga bernama Nozaki Umetaro yang duduk dibangku
kelas dua SMA. Profesinya sebagai seorang penulis manga tidak banyak diketahui
oleh orang-orang disekitarnya. Nozaki mempunyai badan yang atletis dan
rupawan sehingga membuat salah satu temannya yang bernama Sakura Chiyo
tertarik padanya. Chiyo merupakan salah satu karakter utama di dalam manga ini.
Awalnya Chiyo menyatakan rasa sukanya kepada Nozaki, akan tetapi karena
memiliki sifat yang susah ditebak Nozaki menganggap Chiyo sebagai

44
penggemarnya dan memberikan tanda-tangannya. Kemudian ada karakter lain
bernama Mikoto Mikoshiba yang merupakan asisten Nozaki dan selalu menjadi
objek inspirasi Nozaki dalam menulis manga. Lalu ada pula karakter bernama
Yuzuki Seo yang merupakan teman akrab Chiyo yang memiliki sifat blak-blakan
dan tomboy namun baik dan pintar di bidan ekstrakurikuler.

Manga ini berlatar belakang situasi sekolah dan memiliki karakter bahasa
yang cenderung akrab. Memiliki tokoh laki-laki dan perempuan yang lumayan
seimbang membuat manga ini menarik untuk diteliti terutama dalam penggunaan
danseigo dan joseigo. Namun karena keterbatasan mendapatkan manga dalam
bentuk cetak maka pengambilan data hanya menggunakan dua volume manga
saja.

4. Sunadokei (volume 1,2 dan 3)

Sunadokei diangkat dari serial shojo manga yang berjudul Sand Cronicles
karya Hinako Ashihara. Manga ini bergenre drama romantis dan pertama kali
diterbitkan tahun 2003. Pada tahun 2003 manga Sunadokei pertama kali terbit
dengan volume 1 dan 2, kemudian disusul dengan volume ke-3 yang terbit pada
tahun 2004 dengan masing-masing total halaman sebanyak 187 halaman. Manga
ini bercertita tentang tokoh utama bernama Uekusa An yang harus pindah dari
Tokyo ke kampong halamannya karena ayahnya yang punya utang menumpuk
dan ibunya yang minta cerai. Awalnya An tidak suka tinggal dikampung
halamannya namun kemudian dia menemukan teman-teman baru yaitu kakak
beradik Fujii-Shika yang membuat An senang tinggal dikampung halamannya
setelah kepergian ibunya yang bunuh diri.

Anime ini menggambarkan sisi persahabatan dan banyak dialog


percakapan yang akrab. Oleh karena itu manga ini menjadi salah satu acuan
sumber data untuk penelitian ini karena tokoh utama wanita yang kemungkinan
banyak menggunakan joseigo dalam percakapannya. Begitu pula dengan tokoh-
tokoh lainnya yang merupakan beberapa tokoh laki-laki yang juga akrab. Untuk

45
membatasi jumlah data yang digunakan, manga ini hanya menggunakan 3 volume
saja sebagai sumber datanya.

A. Manga berbahasa Indonesia

Elex Media Komputindo merupakan anak perusaahan Kompas Gramedia


yang mengkhususkan menerbitkan media cetak seperti buku, komik, majalah,
novel, dan lain sebagainya. Sebagai perusahaan yang juga menerbitkan komik
dengan terjemahan bahasa Indonesia resmi, oleh karena itu peneliti juga memilih
untuk memakai manga dengan terjemahan bahasa Indonesia dalam menganalisis
data pada penelitian ini. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi
kesalahpahaman bahasa yang dapat disebabkan dari peneliti, sehingga diperlukan
hasil terjemahan yang baik oleh ahli bahasa.

Seluruh judul manga dalam bahasa Indonesia yang diperlukan pada


penelitian merupakan hasil terbitan Elex Media Komputindo. Salah satu manga
tersebut ada yang judulnya tetap sama seperti One Piece. Kemudian tiga judul
manga lainnya berubah seperti Detective Conan menjadi Detektif Conan, Gekkan
Shoujo Nozaki-kun menjadi Komikus Shojo Nozaki, dan manga dengan judul
Sunadokei dalam manga berbahasa Indonesia dengan judul Sands’ Chronicle.

4. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pustaka dalam proses pengumpulan


data penelitian. Teknik pustaka adalah suatu teknik penelitian yang diambil dari
sumber data tertulis. Pada penelitian ini sumber dapat tersebut diambil dari manga
berbahasa Jepang beserta manga terjemahannya dalam bahasa Indonesia dengan
judul adalah Detective Conan volume 8-10, One Piece volume 8-10, Gekkan
Shoujo Nozaki-kun volume 4 dan 5, dan Sunadokei volume 1-3. Penulis
menentukan sumber data yang akan diambil dengan mengaitkan situasi yang
terdapat pada manga, misalnya seperti genre apa manga tersebut, ruang lingkup
dan lingkungan tokoh dalam cerita tersebut seperti apa, dan peranan apa yang
dimainkan oleh tokoh. Contohnya seperti pada manga berjudul Gekkan Shoujo
Nozaki-kun, pada manga ini terdapat situasi yang terjadi pada kehidupan sekolah,

46
sehingga tokoh yang disajikan pun beragam, seperti ada siswa perempuan, siswa
laki-laki, siswa perempuan yang tomboy dan siswa laki-laki yang keperempuanan.
Pada situasi tersebut memungkinkan peneliti mendapatkan masing-masing
percakapan dan ragam bahasa apa yang para tokoh gunakan. Alasan semacam ini
juga dilakukan dalam pemilihan sumber data manga lainnya.

Tahap awal pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan


metode baca dan catat. Dalam proses membaca, pertama dengan menggunakan
manga berbahasa Jepang terlebih dahulu. Kemudian di identifikasi percakapan
mana saja yang menggunakan partikel akhir kalimat dalam bahasa Jepang.
Selanjutnya setelah menemukannya, kalimat tersebut ditandai berasal dari
halaman berapa dan siapa tokoh yang mengucapkannya. Setelah ditandai, maka
dialog-dialog tersebut dicatat kemudian di kelompokkan tempatnya, partikel akhir
kalimat mana yang berhubungan dengan danseigo dan joseigo.

5. Teknik Analisis Data

Dalam proses menganalisis data dari penelitian ini diperlukan metode


agih, menurut Sudaryanto (1985:5,1993:15) dalam Jannah (2016) yang berarti
metode penelitian dengan alat penentunya sudah ada di dalam dan merupakan
bagian dari bahasa yang di teliti. Selain metode agih, juga digunakan teknik
lanjutan berupa teknik ganti dan padan.

Penggunaan teknik ganti dan padan digunakan dalam menyesuaikan


kalimat percakapan antara manga berbahasa Jepang dan bahasa Indonesia. Setelah
mengumpulkan data dari membaca manga berbahasa Jepang, kemudian beralih
kepada terjemahan dari manga tersebut, yakni manga berbahasa Indonesia.
Selanjutnya dari hasil kumpulan kalimat percakapan mengenai partikel akhir
dalam bahasa Jepang sebelumnya, dari situ kemudian dilihat bagaimana
penerjemah dalam manga bahasa Indonesia memadankan makna kalimat yang
menggunakan partikel akhir yang berhubungan dengan ragam gender tersebut.
Manga berbahasa Indonesia tersebut juga menjadi acuan dan sumber pertama

47
untuk memudahkan peneliti apabila terdapat kata yang terkesan tidak umum atau
tidak sesuai pada manga, maka peneliti akan menerjemahkan kembali kata atau
frase tersebut ke dalam bahasa yang lebih mudah dipahami.

Selanjutnya setelah mendapat bahasa yang sudah diterjemahkan, maka


langkah selanjutnya akan ditinjau dari segi teknik, prosedur atau metode
penerjemahan apa yang dilakukan baik peneliti maupun penerjemah manga
bahasa Indonesia. Jenis-jenis teknik penerjemahan tersebut sebelumnya telah
dijelaskan pada kajian teori.

48
K. Daftar Pustaka

Adnyani, Kadek Eva Krishna. 2013. Representasi Wanita dalam Joseigo. Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Seni: Universitas Pendidikan Ganesha.
(https://ejournal.undiksha.ac.id) Diakses pada 6 Oktober 2020.

Andriani, Natalia, dkk. 2019. Metode dan Ideologi Penerjemahan Makna


Kanyouku Organ Tubuh dalam Cerpen Kappa Karya Akutagawa
Ryuunosuke. (https://ojs.unud.ac.id/index.php/sakura/article) Diakses pada
7 Desember 2020.

Aibonotika, Arza. 2016. Modalitas Ishi ‘Maksud’ Bahasa Jepang dan


Padanannya dalam Bahasa Indonesia: Studi Struktur Bentuk dan Makna
(Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran).

Anggito, Albi & Setiawan Johan. 2018. Metode Penelitian Kualitatif. Sukabumi:
CV Jejak. (http://google-scholar) Diakses pada 20 Oktober 2020.

Ashihara, Hinako. 2003. Sunadokei volume 1. Tokyo: Betsucomi.

Ashihara, Hinako. 2003. Sunadokei volume 2. Tokyo: Betsucomi.

Ashihara, Hinako. 2003. Sunadokei volume 3. Tokyo: Betsucomi.

Chaer, Abdul. 1994. Linguistic Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul & Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:
Rineka Cipta.

Dewi, Ni Putu Eka Suwari & Renny Anggraeny. 2018. Teknik dan Metode
Penerjemahan Istilah Artistik dalam Manga Nodame Cantabile Volume 1-
25 Karya Tomoko Ninomiya. Fakultas Ilmu Budaya Unud.
(https://ocs.unud.ac.id/) diakses pada 10 November 2020

Fauziah, Nurul Inayah. 2014. Pemadanan Kata Janaika dan Darou sebagai

49
Pengungkap Modalitas Epistemik ke dalam Bahasa Indonesia. UPI.
(repository.upi.edu) Diakses pada 17 November 2020.

Gosho, Aoyama. 1999. Detective Conan Volume 8. Tokyo: Sanko Printing, Ltd.

Gosho, Aoyama. 1999. Detective Conan Volume 9. Tokyo: Sanko Printing, Ltd.

Gosho, Aoyama. 1999. Detective Conan Volume 10. Tokyo: Sanko Printing, Ltd.

Herfiansyah, M. 2014. Padanan Terjemahan Shuujoshi yo, zo, ze, sa dan wa pada
Komik Doraemon Vol. 6. (Skripsi Program Studi Pendidikan Bahasa
Jepang, Universitas Riau)

Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistik (edisi keempat, 2013).


New york: Routledge.

Jannah, Fakhriatul. 2016. Analisis Penggunaan Danseigo dan Joseigo dalam


Novel Sekai Kara Neko Ga Kietanara Karya Kawamura Genki.
(https://lib.unnes.ac.id/25032/1/2302412004.pdf). Diakses pada 06 Juli
2020.

Kartika, Ketut Agus, dkk. 2016. Struktur, Fungsi dan Makna Shuujoshi yone, wa
dan kashira dalam Komik School Rumble Volume 1-10 Karya Jin
Kobayashi. Fakultas Ilmu Budaya, UNUD. (https://ojs.
unud.ac.id/) Diakses pada 6 September 2020

Kridalaksana, Harimurti et al. 1985. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Indonesia:


Sintaksis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik: Edisi Keempat. Jakarta:


Gramedia

Machali, Rochayah. 2000. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo.

Moh. Nazir. 1985. Metode Penelitian Cetakan ke-1. Jakarta: Ghalia Indonesia.

50
Nafinuddin, Surianti. 2020. Pengantar Semantik (Pengertian, Hakikat, Jenis).
(Google Scholar, https://osf.io/b8ws3 ) Diakses pada 7 Desember 2020

Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. Newyork: Prentice Hall


International. (https://www.academia.edu/) Diakses pada 14 Januari 2021.

Oda, Eiichiro. 1999. One Piece Volume 8. Tokyo: Shueisha Co., Ltd.

Oda, Eiichiro. 1999. One Piece Volume 9. Tokyo: Shueisha Co., Ltd.

Oda, Eiichiro. 1999. One Piece Volume 10. Tokyo: Shueisha Co., Ltd.

Putri, Fransiska Nimas Jayanti &Teguh Santoso. 2015. Bahasa Jepang; Ragam
Bahasa Pria dan Wanita. Jakarta: Morfalingua.

Rahmadani, Nadia Septian. 2017. Penerjemahan Fukugoudoushi ~Komu(~込む)


dari Bahasa Jepang ke Bahasa Indonesia: Studi Kasus dalam Novel
‘Jisatsu Yoteibi’ Karya Akiyoshi Rikako.
(http://repository.ub.ac.id/8141/1/Rahmadani) Diakses pada 6 Desember
2020

Suciati, Endang. 2010. Penerjemahan dan Penelitian Terjemahan.


(https://www.test.journal.unipdu.ac.id/) Diakses pada 7 Desember 2020

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:


Alfabeta.

Supriatnaningsih, Rina & Silvia Nurhayati. 2020. Pelatihan Penerjemahan bagi


Translator Pemula. Jurnal Varia Humanika. (googlescholar-unnes.ac.id)
Diakses pada 7 Desember 2020

Steiner, Yallop. 2001. Exploring Translation and Multilingual text Production:


Beyond Content. Berlin, New York: Mouton de Gruyter.

Sutedi, Dedi. 2011. Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung:


Humaniora.

51
Tsubaki, Izumi. 2014. Gekkan Shoujo Nozaki-kun volume 4. Tokyo: Garowa
Graphico.

Tsubaki, Izumi. 2014. Gekkan Shoujo Nozaki-kun volume 4. Tokyo: Garowa


Graphico.

Weliantari, Ni Ketut Suni. 2020. Metode Penerjemahan Kotowaza dalam Blog


Kursus Bahasa Jepang Evergreen.

(https://ocs.unud.ac.id/index.php/sakura/article/) Diakses pada 7 Des. 2020

Wijana, I Dewa Putu. 2015. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Cetakan ke-
2). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

52

Anda mungkin juga menyukai