Disusun oleh :
2017/2018
BAB I
A. Latar Belakang
Bahasa adalah kemampuan yang dimiliki manusia untuk berkomunikasi dengan manusia
lainnya menggunakan tanda, misalnya kata dan gerakan. Hakikat bahasa itu adalah simbol.
Manusia mempergunakan bahasa dalam berkomunikasi sehari-hari. Memang, manusia itu
seperti yang dikatakan oleh Ernest Cassirer bahwa manusia adalah makhluk yang mengenal
dan menggunakan simbol (Daeng,2008:183). Bahkan sampai sekarang jalinan komunikasi
yang manusiawi berkat peran bahasa.
Kajian ilmiah bahasa disebut ilmu linguistik. Menurut Noam Chomsky, bahasa adalah
sebagai aturan (finite or infinite-terbatas atau tidak terbatas) dari kalimat sebagian yang
terbatas berada di dalam kalimat yang panjang dan gagasan yang keluar dari aturan kalimat
terbatas dari elemen-elemennya.
Penelitian (research) adalah segala usaha berdasarkan metode dan disiplin ilmiah untuk
mengumpulkan, menjelaskan, menganalisis dan menafsir fakta-fakta serta hubungan antara
fakta-fakta pada: alam, masyarakata, tingkah laku, dan rohani manusia, guna menentukan
asas-asas pengetahuan dan metode-metode baru dalam usaha menanggapi fakta-fakta itu
sendiri (Malalaton, 2000:12).
Sebagai objek kajian linguistik, "bahasa" memiliki 2 arti dasar: sebagai sebuah konsep
abstrak, dan sebagai sebuah sistem linguistik yang spesifik. Bahasa Indonesia adalah contoh
dari makna bahasa sebagai sebuah sistem linguistik yang spesifik. Ferdinand de Saussure,
seorang linguis asal Swiss, adalah orang pertama yang merumuskan perbedaan kata dalam
bahasa Perancis. Terdapat langage dalam arti bahasa sebagai sebuah konsep, langue dalam
arti bahasa sebagai sistem linguistik yang spesifik, dan parole dalam arti bahasa sebagai
penggunaan konkret bahasa tertentu sebagai tuturan.
Bahasa Jepang sebagai ilmu murni (linguistik) bisa diartikan sebagai objek penelitian
dengan tujuan untuk memecahkan masalah dalam pengajaran bahasa Jepang di lapangan.
Bahasa Jepang memiliki karakter tersendiri dan sangat berbeda dengan bahasa Indonesia,
sehingga dianggap sulit untuk dipelajari oleh orang Indonesia.
Bidang garapan yang bisa dijadikan sebagai objek penelitian, yaitu semua cabang
linguistik yang mencakup:
a. Fonetik dan fonologi;
b. Morfologi;
c. Sintaksis;
d. Semantik; dan
e. Pragmatik.
Bidang fonetik mencakup bunyi bahasa Jepang yang dilambangkan dengan abjad IPA,
aksen, dan intonasi. Kesalahan berbahasa Jepang bisa muncul karena salah mengucapkan
lafal, akkibat pengaruh dari bahasa ibu pembelajar. Akibatnya akan menghambat proses
komunikasi dengan menggunakan bahasa tersebut.
Dalam bahasa Indonesia hampir tidak ada aksen yang berfungsi sebagai pembeda arti,
sehingga akan menimbulkan kesalahan berbahasa Jepang. Intonasi pun ada yang sama ada
yang berbeda, ini pun meruupakan daerah rawan kesalahan berbahasa Jepang, dan perlu
diteliti.
Bidang fonologi mencakup fonem-fonem bahasa Jepang yang juga merupakan hal
penting untuk dideskripsikan untuk mengurangi kesalahan berbahasa Jepang.
Morfologi mencakup perubahan dan pembentukan kata dalam bahasa Jepang, merupakan
hal yang potensial untuk diteliti. Kendatipun dalam perubahan (konjugasi) bentuk kata
(verba dan adjektiva) ada ketentuan yang berlaku, tetapi banyak yang tidak mengikuti
ketentuan tersebut.
Misalnya, berdasarkan pada konjugasinya, ciri verba kelompok II adalah yang berakhiran
suara –e/i る (~e/i-ru), tetapi banyak juga kata yang tidak memenuhi aturan demikian. Verba
kaeru (pulang), kiru (memotong), hashiru (berlari), iru (perlu), shiru (mengetahui), keru
(menendang), hairu (masuk) adalah sebagian dari contohnya. Masih banyak verba yang
lainnya yang jarang disentuh oleh para guru bahasa Jepang.
Kalimat bahasa Jepang baik dari struktur maupun dari pembentukan dan fungsinya,
banyak yang berbeda dengan bahasa Indonesia. Hal ini pun merupakan daerah rawan
kesalahan berbahasa Jepang, dan sangat potensial untuk diteliti. Struktur kalimat dalam
bahasa Jepang berbeda dengan bahasa Indonesia, tetapi ada juga struktur kalimat tertentu
yang sama urutannya dengan bahasa Indonesia seperti kalimat intransitif.
Makna bisa diteliti melalui semantik dan pragmatik. Garapan makna dalam semantik
mencakup makna kata, frase, klausa, dan kalimat yang merupakan makna dalam bahasa.
Makna kata banyak ragamnya, ada yang termasuk dalam polisemi, ada yang termasuk ke
dalam sinonim yang juga sering menjadi penyebab munculnya kesalahan berbahasa.
Dalam frase ada yang bermakna secara leksikalnya saja, ada yang bermakna
idiomatikalnya saja, dan ada yang memiliki kedua jenis makna tersebut. Makna ganda atau
kesamaan makna tidak hanya terjadi pada level kata dan frase, melainkan dalam kalimat
pun sering ditemui. Semua hal tersebut perlu diteliti, karena kata akan membentuk suatu
kalimat yang digunakan dalam berkomunikasi.
Makna dalam garapan pragmatik yaitu makna yang dipengaruhi oleh konteks dan kondisi
suatu kalimat atau kata diucapkan oleh penutur. Hal ini dipengaruhi oleh budaya dan
kebiasaan bangsa Jepang, yang juga sangat potensial untuk dijadikan topik penelitian.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah yang akan
menjadi fokus bahasan pada makalah ini yaitu:
Berdasarkan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai melalui
makalah ini adalah:
Pada makalah ini difokuskan pada sebagian dari metode penelitian linguistic, agar
bisa diterapkan oleh para penleiti pemula dalam memecahkan sebagian dari masalah tentang
kebahasaan terutama sebagai bahan ajar. Hasilnya bisa dimanfaatkan untuk memperbaharui
dan melengkapi bahan ajar bahasa Jepang, atau sebagai bahan pengayaaan yang diperlukan
baik oleh pengajar maupun oleh pembelajar, karena selama ini di pasaran masih kurang
keterangan atau buku-buku yang membahas materi Bahasa Jepang. Pembahasann pada
bagian berikutnya berfokus pada model penelitian tentang kosakata, frase ungkapan dan
kalimat yang sering menjadi masalah bagi para pembelajar.
a) あの子が(倒れた/転んだ)
Anko ko ga (taoreta/koronda)
Anak itu jatuh
Verba taoreru dan korobu pada contoh di atas bias digunakan dan
terjemahannya sama yaitu jatuh. Ini membuktikan bahwa verba
tersebut bersinonim.
Kemudian sajikan dua contoh yang hanya bisa menggunakan
salah satu dari kata yang dianalisis tersebut. Umpamanya kata yang
dikontraskan itu berupa verba A dan verba B, maka pada kalimat
pertama hanya A saja yang bisa digunakan dan kalimat kedua hanya B
saja yang bisa digunakan, Dari kedua contoh tersebut akan kelihatan
perbedaanya dengan melihat berbagai unsur arti. Misalnya, siapa dan
bagaimana bentuk subjeknya, lalu apa objeknya dan bagaimana
partikelnya, kemudian maknanya bagaimana. Karena, seperti yang
sudah disinggung, bagaimana pun tinggginya tingkat kesinoniman
antara A dan B pasti ditemukan suatu perbedaannnya. Hal inilah yang
harus ditemukan oleh peneliti. Untuk memperjelas, mari kita lihat
contoh taoreru dan korobu pada contoh berikut.
a) 山田君は貧血なので、朝礼の時、(倒れて/転んで)しまっ
た。
b) 山田君は、走っている時、(転んで/倒れて)しまった。
Makna 3
Homofon
Kata 1 Makna 1
Kata 2 Makna 2
\ Bunyi 1
Kata 3 Makna 3
Kata n Makna n
3 家にあがる 入る Masuk
7 ゴールの前にあがる 進 Maju
(1) 男は狼である
(2) 正月休みに食べ過ぎて、ぶたになってしまった。
(3) 一升瓶を飲みほす
Isshoubin o nomihosu
Satu botol diminum sekali tengguk
(4) 眼鏡が曇った
Megane ga kumotta
Kacamata berawan
(5) 悲しむこと―>なげく/なく
c) Sinekdoke
Sinekdoke adalah majas yang digunakan untuk
menyatakan sesuatu hal atau perkara yang bersifat umum
(misalnya A) dengan hal/perkara lain yang bersifat khusus
(misalnya B), atau sebaliknya hal yang khusus digunakan untuk
menyatakan hal yang umum. Seperti contoh
(6) 毎朝、パンと卵を食べている
(7) 明日、花見に行きます
Frase dalam bahasa Jepang dasebut dengan ku, istilah ini sering digunakan untuk
mewakili istilah setsu (klausa) seperti oleh Momiyama (2002) dan sebagainya. Oleh karena
itu istilah frase yang digunakan di sini mencakup makna klausa.
Jika dilihat dari strukturnya frase bahasa Jepang terdiri dari perpaduan dua kata atau
lebih, yang jenisnya berbeda-beda. Dilihat dari maknanya dalam suatu frase ada yang
mengandung makna secara leksikal, sesuai dengan arti kata tersebut (jigi-doori no imi), ada
pula yang mengandung makna secara idiomatikal saja, tidak bisa diterjemahkan secara
leksikal, dan ada yang mengandung makna kedua-duanya.
Momiyama (2002:121) membagi jenis frase dalam bahasa Jepang berdasarkan pada
maknanya menjadi tiga macam, yaitu: futsuu no ku, rengo, dan kanyouku.
Futsuu no ku adalah frase biasa, terdiri dari dua kata atau lebih, makna
keseluruhannya bisa diketahui dengan cara memahami makna dari setiap kata yang
membentuk frase tersebut, sebagian dari kata yang membentuk frase tersebut bisa diubah
dengan yang lainnya secara bebas.
Rengo adalah frase yang makna keseluruhannya bisa diketahui dari makna setiap kata
yang menyusun frase tersebut, tetapi setiap kata tersebut tidak bisa diganti dengan kata yang
lainnya meskipun sebagai sinonimnya. Dalam rengo setiap kata sudah menjadi satu pasangan
yang tidak bisa diganti dengan lainnya. Dalam bahasa Jepang frase ini cukup banyak
jumlahnya, dan perlu dihapal oleh pembelajar, sehingga menjadi salah satu beban yang cukup
berat. Berikut adalah beberapa contoh rengo (Momiyama, 2002:122).
予定を立てる。 → 予定を作る。
Yotei o tateru Yotei o tsukuru.
Mendirikan rencana. Membuat rencana
(=Menyusun rencana)
評判を落とす。 → 評判を失う。
Hyouban o otosu. Hyouban o ushinau.
Menjatuhkan reputasi. Menghilangkan reputasi.
(=Kehilangan reputasi)
Kanyouku adalah frase yang memiliki makna idiom saja, makna tersebut tidak bisa
diketahui meskipun memahami makna setiap kata yang membentuk frase tersebut. Dilihat
dari strukturnya kanyouku ada empat tipe yaitu:
Tipe pertama, misalnya frase (idiom) hone o oru yang secara leksikal diterjemahkan
mematahkan tulang, frase ini digunakan untuk menyatakan kerja keras dalam melakukan
sesuatu, dan lebih dekat dengan ungkapan membanting tulang dalam bahasa Indonesia. Frase
ini digunakan dalam kalimat secara satu set dan tidak bisa diselipi oleh kata lainnya.
彼は私たちのために一所懸命骨を折ってくれた。
Kare wa watashitachi no tame ni ishhokenmei hone o otte kureta.
Dia dengan sungguh-sungguh membanting tulang demi kita.
*彼は私たちのために骨を一所懸命折ってくれた。
*Kare wa watashitachi no tame ni hone o isshokenmei otte kureta.
*Dia membanting dengan sungguh-sungguh tulangnya demi kita semua.
Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa pada frase (idiom) hone o oru sama sekali
tidak bisa diselipi apapun.
Tipe kedua, misalnya idiom hara o tateru (membuat perut berdiri → membuat
marah), digunakan dalam konteks berikut.
あいつの態度にみんなが原を立てた。
Aitsu no taido ni minna ga hara o tateta.
Semuanya marah terhadap perilaku dia.
*あいつの態度にみんなが立てた原。
*Aitsu no taido ni minna ga tateta hara.
Frase hara o tateru sama sekali tidak bisa berubah urutan misalnya dalam betuk
modifikasi seperti contoh di atas. Tetapi kalau dalam bentuk hara o tateta watashi (saya yang
marah) tidak menjadi masalah sebab bentuk asalnya hara o tateta tidak berubah.
Tipe ketiga, misalnya pada idiom hana ga takai (hidungnya tinggi) digunakan untuk
menyatakan arti sombong atau besar kepala dalam bahasa Indonesia dan idiom hara ga tatsu
(perut berdiri → marah). Sebagian dari frase tersebut tidak bisa diganti dengan kosakata
yang lainnya baik sebagai sinonim maupun sebagai antonimnya, misalnya menjadi *hana o
hikui (hidung rendah) dengan maksud untuk menyatakan tidak sombong, atau *onaka ga
tatsu (perut berdiri) dengan maksud menghaluskan kata perut.
Tipe keempat, yaitu ada frase (idiom) yang digunakan hanya dalam bentuk
menyangkal (bentuk ~nai) saja, dan tidak bisa diubah menjadi bentuk positif, misalnya
udatsu ga agaranai (kehidupannya tidak meningkat), moto mo ko mo nai (sia-sia) tidak bisa
diubah menjadi *udatsu ga agaru atau *moto mo ko mo aru.
Untuk penutur bahasa Jepang cara tersebut mungkin bisa diterapkan langsung, tetapi
bagi para pembelajar orang asukng belum tentu cocok. Penutur asli memiliki chokkan
(intuitif bahasa), sehingga begitu mendengar suatu frase dapat langsung memahami artinya.
Lain halnya dengan pembelajar bahasa Jepang (orang asing), ketika ia menemukan suatu
idiom, langkah pertama adalah menerjemahkan secara leksikal, kemudian ia akan berusaha
untuk memahami makna idiomatikalnya, baik melalui penjelasan dari guru atau keterangan
lain.
Untuk itu, langkah kerja dalam penelitian tentang frase (idiom) juga sama dengan
langkah yang lainnya, yaitu diawali dengan peralihan objek yang akan diteliti dengan
berbagai alasan yang menguatkan penelitian ini perlu dilakukan. Kemudian disusul dengan
pengumpulan data (jitsurei) untuk memperjelas kapan dan dalam situasi yang bagaimana
idiom tersebut digunakan. Setelah data terkumpul lalu dengan diikuti dengan analisis yang
berujung pada generalisasi (penyimpulan). Dalam kegiatan analisis suatu frase terutama
idiom (rengo atau kanyouku) untuk kepentingan pengajaran, minimal ada tiga langkah yang
harus ditempuh, yaitu:
Pertama jika menemukan suatu idiom bahasa Jepang, langkah pertamanya yaitu
dengan mengkaji makna secara leksikal (jigi douri no imi), dengan menggunakan referensi
yang berupa kamus atau yang lainnya. Kemudian perlu juga diinformasikan tentang struktur
frase tersebut melalui penghimpunan berbagai informasi tentang tata bahasa, mengingat
bentuk idiom bahasa Jepang bermacam-macam.
Kedua setelah diketahui makna leksikal (jigi douri no imi) dilanjutkan dengan
pengkajian makna idiomatikalnya (kanyou no imi). Hal ini bisa dilakukan dengan menelaah
berbagai referensi tentang buku/kamus idiom bahasa Jepang atau referensi lainnya seperti
hasil penelitian terdahulu.
Dengan hanya menyajikan makna yang terkandung dalam idiom, pembelajar dituntut
untuk menelan mentah-mentah dan menghapal di luar kepala. Hal ini bisa menjadi beban
yang cukup berat bagi pembelajar. Setiap orang mepunyai cara tersendiri dalam usaha untuk
menghapal dan mengingat sesuatu. Tetapi akan lebih baik dan lebih membantu juka pengajar
membantu menjelaskan bagaimana proses munculnya makna idiomatikal dari makna
leksikalnya, sehingga akan mempermudah pembelajar untuk lebih memahami dan
mengingatnya.
Ketiga, perlu upaya untuk mendeskripsikan hubungan antara makna leksikal jigi douri
no imi dengan makna idiomatikalnya. Hal ini ditunjukan untuk menjelaskan mengapa makna
idiomatikal itu muncul, dari berbagai sudut terutama budaya atau kebiasaan orang Jepang.
Untuk memperjelas hubungan antarmakna tersebut bisa pula digunakan ketiga majas yang
sudah dibahas pada bagian sebelumnya, yaitu metafora, metonimi, dan sinekdoke.
子どもが生まれたのをきっかけに、彼は人にうらまれるような仕事から足を洗った。
Kodomo ga umareta no o kikkake ni, kare wa hito ni uramareru youna shigoto kara
ashi o aratta.
Semenjak anaknya lahir, dia berhenti dari pekerjaan yang bisa membuat dendam
seseorang.
Dua makna yang terkandung dalam frase (idiom) tersebut, yaitu secara leksikal
bermakna mencuci kaki, yaitu menghilangkan kotoran yang melekat pada kaki dengan
menggunakan air, sedangkan secara idiomatikal bermakna berhenti dari pekerjaan
jelek/tercela. Kotoran pada kaki dan perbuatan kotor atau tercela yang dilakukan selama ini
merupakan hal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, baik dalam mencuci kaki maupun
dalam berhenti dari pekerjaan kotor/tercela terdapat titik kesamaannya, yaitu menjauhkan
diri dari hal yang tidak diinginkan. Dengan demikian, makna idiomatikal yang muncul pada
idiom tersebut merupakan perluasan dari makna leksikal secara metafora (Momiyama,
2002:130).
Contoh lain yang menunjukan hubungan antara makna idiom dengan makna leksikal
secara sinekdoke yaitu, pada idiom Nieyu o nomaseru secara leksikal bermakna diberi minum
(dipaksa minum) air yang mendidih, digunakan untuk menyatakan arti mendapat bahaya.
Momiyama (2002) menjelaskan bahwa minum air panas merupakan salah satu jenis dari
bahaya, jadi bahaya secara umum dinyatakan dengan minum air panas yang merupakan
salah satu jenis dari bahaya, sehingga termasuk ke dalam sinekdoke.
Demikian salah satu cara yang bisa dicoba untuk diterapkan dalam mendeskripsikan
hubungan natara makna leksikal dan makna idiomatikal dalam frase bahasa Jepang.
Untuk kepentingan pengajaran, kalimat bahasa Jepang bisa diteliti dari dua sisi, yaiutu
dari segi bentuk (struktur) dan makna yang kedua-duanya tidak bisa dipisahkan. Seperti objek
yang lainnya, kalimat pun perlu diteliti dengan berpijak dari berbagai masalah atau kesalahan
yang dihadapi oleh pembelajar.
Dari segi struktur, kalimat dalam bahasa Jepang (S) terdiri dari beberapa Frase (P),
yaitu frase nomina (NP), frase adjekitiva (AP), dan frase verba (VP). Setiap frase nomina
(NP) akan hadir kata bantu atau partikel (Part.). Untuk lebih jelasnya mari kita lihat contoh
kalimat verba berikut :
太郎が食堂でご飯を食べている。
Tarou ga shokudou de gohan o tabete iru.
Taro sedang makan nasi di kantin.
Kalimat diatas terdiri dari Tarou ga (NP+Part.), shokudo de (NP+Part.), goban o (NP
+ Part.), dan tabette iru (VP). Untuk kalimat seperti ini, penelitian bisa dilakukan pada bagian
yang diberi garis bawah. Karena pembelaja sering melakukan kesalahan dalam menggunakan
partikel dibelakang nomina dan penggunaan bentuk verba. Kesalahan penggunaan kosa kata
pun sering terjadi, tetapi ini merupakan garapan penelitian tentang kosakata seperti yang
sudah dibahas pada bagian sebelumnya.
Jadi, untuk kepentingan pengajaran bahasa Jepang, penelitian pada level kalimat bisa
difokuskan pada penggunaan partikel dan bentuk predikat (byougen) dengan tidak
melepaskan makna kalimat itu sendiri. Kesalahan para pembelajar dalam hal kalimat bisa
juga disebabkan oleh adanya makna ganda (tagibun), kesinoniman (ruigibun) dengan kalimat
lainnya, atau strukturnya yang kompleks (fukuzatsu-bun). Sama halnya dengan kosakata
(penelitian kosakata), kesinoniman dan kepolisemian bisa juga ditemukan pada tingkat
partikel, mengingat dalam bahasa Jepang jumlahnya cukup banyak dan fungsinya pun
bermacam-macam, atau pada level kalimatnya sendiri. Misalnya partikel で (de) memiliki arti
dan fungsi yang bermacam-macam, dalam konteks tertentu bisa bersinonim dengan partikel
を (o) dan に (ni).
Pada level ungkapan (ekspresi) pun kesinoniman dan kepolisemian bisa terjadi.
Misalnya, untuk ungkapan yang menyatakan keharusan dalam bahasa Jepang bisa digunakan
verba bentuk ...nakereba naranai, ...nai so ikenai, ...V-ru buki dan sebagainya. Hal seperti ini
yang bisa menimbulkan kesulitan bagi pembelajar bahasa Jepang. Untuk meneliti
kesinoniman ungkapan bisa dilakukan seperti halnya dalam meneliti kosakata, yaitu dengan
teknik substitusi (teknik ganti) dalam kalimat yang sama.
Objek lain yang berhubungan dengan kalimat yang perlu diteliti diantaranya tentang
diatesis, kala, aspek, dan modalitas dalam bahasa Jepang. Hasil penelitian seperti dapat
berupa deskripsi yang bisa digunakan untuk kepentingan pengajaran bahasa Jepang. Bahkan
akan lebih langsung bisa diterapkan dalam pengajaran bahasa Jepang, jika dikontraskan
dengan bahasa ibu pembelajar. Pembahasan tentang penelitian kontrasif disajikan pada bab
berikutnya.
BAB III
A. Kesimpulan
Bahasa digunakan sebagai alata untuk menyampaikan ide, gagasan, pikiran, hasrat, dan
keinginan kepada orang lain baik secara lisan maupun secara tulisan.
Kajian tentang bahasa, linguistik, telah berkembang menjadi ilmu sejak deskripsi pertama
tata bahasa dari bahasa tertentu lebih dari 2000 tahun lalu. Sekarang, linguistik adalah sebuah
ilmu yang memperhatikan semua aspek dari bahasa, menelitinya dari semua sudut pandang.
Kajian akademis terhadap bahasa dilakukan dari banyak area disiplin dan dari sudut pandang
teoretis yang berbeda, semuanya memberikan pendekatan modern terhadap linguistik.
B. Saran
Dalam makalah ini terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kesulitan bagi pembelajar
bahasa Jepang seperti kosakata, frase, ungkapan (idiom), dan kalimat dalam bahasa Jepang.
Banyaknya kata yang bersinonim dalam bahasa Jepang adalah salah satu penyebab
munculnya kesulitan dalam mempelajari bahasa Jepang. Penelitian tentang sinonim masih
diperlukan dan masih memegang peranan penting baik dalam pendidikan bahasa Jepang
maupun di bidang linguistik
Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran bahasa Jepang di Indonesia, idiom bahasa
Jepang bisa diteliti dengan menekankan pada maknanya, bukan pada bentuk. Kecuali untuk
kepentingan linguistik terutama bidang sintaksis, bentuk (struktur) dari suatu idiom juga bisa
dijadikan objek penelitian.
Untuk kepentingan pengajaran bahasa Jepang, penelitian pada level kalimat bisa
difokuskan pada penggunaan partikel dan bentuk predikat (hyougen) dengan tidak
melepaskann makna kalimat itu sendiri.