Anda di halaman 1dari 21

METODE PENELITIAN KEBAHASAAN

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah


Nihongo Kenkyuu
Yang diampu oleh: Dra. Rina Sukmara M.Pd.

Disusun oleh :

Aldandy Ockadeya Dharmasakti 1501065005


Irfan Muhammad Fadhil 1501065035

PENDIDIKAN BAHASA JEPANG

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA

2017/2018
BAB I

A. Latar Belakang

Bahasa adalah kemampuan yang dimiliki manusia untuk berkomunikasi dengan manusia
lainnya menggunakan tanda, misalnya kata dan gerakan. Hakikat bahasa itu adalah simbol.
Manusia mempergunakan bahasa dalam berkomunikasi sehari-hari. Memang, manusia itu
seperti yang dikatakan oleh Ernest Cassirer bahwa manusia adalah makhluk yang mengenal
dan menggunakan simbol (Daeng,2008:183). Bahkan sampai sekarang jalinan komunikasi
yang manusiawi berkat peran bahasa.

Kajian ilmiah bahasa disebut ilmu linguistik. Menurut Noam Chomsky, bahasa adalah
sebagai aturan (finite or infinite-terbatas atau tidak terbatas) dari kalimat sebagian yang
terbatas berada di dalam kalimat yang panjang dan gagasan yang keluar dari aturan kalimat
terbatas dari elemen-elemennya.

Penelitian (research) adalah segala usaha berdasarkan metode dan disiplin ilmiah untuk
mengumpulkan, menjelaskan, menganalisis dan menafsir fakta-fakta serta hubungan antara
fakta-fakta pada: alam, masyarakata, tingkah laku, dan rohani manusia, guna menentukan
asas-asas pengetahuan dan metode-metode baru dalam usaha menanggapi fakta-fakta itu
sendiri (Malalaton, 2000:12).

Sebagai objek kajian linguistik, "bahasa" memiliki 2 arti dasar: sebagai sebuah konsep
abstrak, dan sebagai sebuah sistem linguistik yang spesifik. Bahasa Indonesia adalah contoh
dari makna bahasa sebagai sebuah sistem linguistik yang spesifik. Ferdinand de Saussure,
seorang linguis asal Swiss, adalah orang pertama yang merumuskan perbedaan kata dalam
bahasa Perancis. Terdapat langage dalam arti bahasa sebagai sebuah konsep, langue dalam
arti bahasa sebagai sistem linguistik yang spesifik, dan parole dalam arti bahasa sebagai
penggunaan konkret bahasa tertentu sebagai tuturan.

Bahasa Jepang sebagai ilmu murni (linguistik) bisa diartikan sebagai objek penelitian
dengan tujuan untuk memecahkan masalah dalam pengajaran bahasa Jepang di lapangan.
Bahasa Jepang memiliki karakter tersendiri dan sangat berbeda dengan bahasa Indonesia,
sehingga dianggap sulit untuk dipelajari oleh orang Indonesia.

Masalah yang dihadapi oleh pembelajar umumnya menyangkut pemahaman kaidah


kebahasaan. Kesalahan berbahasa muncul karena kurangnya pemahaman terhadap kaidah
bahasa tersebut. Kurangnya pemahaman ini disebabkan oleh kurangnya bahan pengayaan
yang bisa digunakan dalam pengajaran. Oleh karena itu, penelitian linguistik bahasa Jepang
akan bermanfaat untuk mengembangkan pendidikan bahasa Jepang.

Bidang garapan yang bisa dijadikan sebagai objek penelitian, yaitu semua cabang
linguistik yang mencakup:
a. Fonetik dan fonologi;
b. Morfologi;
c. Sintaksis;
d. Semantik; dan
e. Pragmatik.

Bidang fonetik mencakup bunyi bahasa Jepang yang dilambangkan dengan abjad IPA,
aksen, dan intonasi. Kesalahan berbahasa Jepang bisa muncul karena salah mengucapkan
lafal, akkibat pengaruh dari bahasa ibu pembelajar. Akibatnya akan menghambat proses
komunikasi dengan menggunakan bahasa tersebut.

Dalam bahasa Indonesia hampir tidak ada aksen yang berfungsi sebagai pembeda arti,
sehingga akan menimbulkan kesalahan berbahasa Jepang. Intonasi pun ada yang sama ada
yang berbeda, ini pun meruupakan daerah rawan kesalahan berbahasa Jepang, dan perlu
diteliti.

Bidang fonologi mencakup fonem-fonem bahasa Jepang yang juga merupakan hal
penting untuk dideskripsikan untuk mengurangi kesalahan berbahasa Jepang.

Morfologi mencakup perubahan dan pembentukan kata dalam bahasa Jepang, merupakan
hal yang potensial untuk diteliti. Kendatipun dalam perubahan (konjugasi) bentuk kata
(verba dan adjektiva) ada ketentuan yang berlaku, tetapi banyak yang tidak mengikuti
ketentuan tersebut.

Misalnya, berdasarkan pada konjugasinya, ciri verba kelompok II adalah yang berakhiran
suara –e/i る (~e/i-ru), tetapi banyak juga kata yang tidak memenuhi aturan demikian. Verba
kaeru (pulang), kiru (memotong), hashiru (berlari), iru (perlu), shiru (mengetahui), keru
(menendang), hairu (masuk) adalah sebagian dari contohnya. Masih banyak verba yang
lainnya yang jarang disentuh oleh para guru bahasa Jepang.

Kalimat bahasa Jepang baik dari struktur maupun dari pembentukan dan fungsinya,
banyak yang berbeda dengan bahasa Indonesia. Hal ini pun merupakan daerah rawan
kesalahan berbahasa Jepang, dan sangat potensial untuk diteliti. Struktur kalimat dalam
bahasa Jepang berbeda dengan bahasa Indonesia, tetapi ada juga struktur kalimat tertentu
yang sama urutannya dengan bahasa Indonesia seperti kalimat intransitif.

Makna bisa diteliti melalui semantik dan pragmatik. Garapan makna dalam semantik
mencakup makna kata, frase, klausa, dan kalimat yang merupakan makna dalam bahasa.
Makna kata banyak ragamnya, ada yang termasuk dalam polisemi, ada yang termasuk ke
dalam sinonim yang juga sering menjadi penyebab munculnya kesalahan berbahasa.

Dalam frase ada yang bermakna secara leksikalnya saja, ada yang bermakna
idiomatikalnya saja, dan ada yang memiliki kedua jenis makna tersebut. Makna ganda atau
kesamaan makna tidak hanya terjadi pada level kata dan frase, melainkan dalam kalimat
pun sering ditemui. Semua hal tersebut perlu diteliti, karena kata akan membentuk suatu
kalimat yang digunakan dalam berkomunikasi.
Makna dalam garapan pragmatik yaitu makna yang dipengaruhi oleh konteks dan kondisi
suatu kalimat atau kata diucapkan oleh penutur. Hal ini dipengaruhi oleh budaya dan
kebiasaan bangsa Jepang, yang juga sangat potensial untuk dijadikan topik penelitian.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah yang akan
menjadi fokus bahasan pada makalah ini yaitu:

1. Apa manfaat dari penelitian kebahasaan (linguistik bahasa Jepang)?


2. Apa masalah yang dialami pembelajar yang berhubungan dengan kosakata
(kesinonim dan kepolisemian) dalam bahasa Jepang?
3. Apa tujuan dan manfaat dari penelitian tentang kosakata (sinonim dan polisemi),
frase, dan kalimat bahasa Jepang?
4. Bagaimana langkah kerja yang diperlukan untuk meneliti kosakata (sinonim dan
polisemi), frase, dan kalimat bahasa Jepang?

C. Tujuan Penulisan Makalah

Berdasarkan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai melalui
makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan memahami manfaat dari penelitian kebahasaan (linguistik


bahasa Jepang).
2. Untuk mengetahui dan memahami masalah yang dialami pembelajar yang
berhubungan dengan kosakata (kesinonim dan kepolisemian) dalam bahasa Jepang.
3. Untuk mengetahui dan memahami tujuan dan manfaat dari penelitian tentang
kosakata (sinonim dan polisemi), frase, dan kalimat bahasa Jepang.
4. Untuk mengetahui dan memahami langkah kerja yang diperlukan untuk meneliti
kosakata (sinonim dan polisemi), frase, dan kalimat bahasa Jepang.
BAB II

Pada makalah ini difokuskan pada sebagian dari metode penelitian linguistic, agar
bisa diterapkan oleh para penleiti pemula dalam memecahkan sebagian dari masalah tentang
kebahasaan terutama sebagai bahan ajar. Hasilnya bisa dimanfaatkan untuk memperbaharui
dan melengkapi bahan ajar bahasa Jepang, atau sebagai bahan pengayaaan yang diperlukan
baik oleh pengajar maupun oleh pembelajar, karena selama ini di pasaran masih kurang
keterangan atau buku-buku yang membahas materi Bahasa Jepang. Pembahasann pada
bagian berikutnya berfokus pada model penelitian tentang kosakata, frase ungkapan dan
kalimat yang sering menjadi masalah bagi para pembelajar.

A. Penelitian Tentang Kosakata


Penelitian tentang kosakaata Bahasa Jepang biasanya bertumpu pada
pembentukannya (morfologi), makna (semantic), dan aksennya (fonetik).
Pebelitian makna merupakan penelitian yang banyak dilakukan oleh para ahli
untuk dijadikan objek penelitian, karena dianggap sangat diperlukan oleh
pembelajar orang asing (Shibata dkk, 1979 dan Kunihiro 1997). Pada bagian ini
akan mengulas kedua jenis penelitian tersebut.
1. Penelitian Tentang Sinonim
a. Tujan dan manfaat
Tujuan utama dari penelitian sinonim adalah untuk mendeskripsikan
berbagai persamaan dan perbedanannya sehingga bermanfaat bagi guru
atau pembelajar Bahasa Jepang. Terkadang guru mengalami kesulitan
untuk mendeskripsikan berbagai persamaan dan perbedaanya untuk
menjawab pertanyaan yang dilontarkan pembelajaar tentang persamaan
dan perberdaan kata yang bersinonoim. Oleh karena itu, penelitian tentang
sinonim masih diperlukan dan masih memegang peranan penting bagi
dalam bidang Pendidikan Bahasa jepang maupun bidang linguistic.
Manfaat lain dari penelitian tentang sinonim yaitu bahwa dalam
menganalisis makna suatu kata daripada menganalisis satu kata secara
tunggal akan lebih baik dengan cara mebandingkan atau
mengkontarskannya denagan kata lain sebagai sinonimnya, karena
pendalaman makna dan ciri khas yang dimiliki oleh kata tersebut akan
semakin jelas.
b. Langkah kerja
Ada enam langkah pokok yang perlu ditempuh untuk meneliti suatu
sinonim.
1) Menentukan objek yang akan diteliti
Dalam menentukan objek yang akan diteliti terlebih dahulu harus
mengidentifikasi apakah dua kata atau lebih itu merupakan kata yang
bersinonim atau bukan. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan
salah satu dari cara berikut:
a) Beberapa kata jika ditejemahkan ke dalam Bahasa asing, akan
menjadi satu kata, misalnya kata oriru, kudaaru, sagaru dan furu
dalam Bahasa Indonesia bisa dipadankan dengan kata turun
b) Jika dua buah kata dapaat menduduki posisi yang sama dalam
suuatu kalimat dan tidak menimbulkan perbedaaaan yang terlalu
jauh, bias dianggap sebagai kata yang bersinoni. Misalnya, kata
agaru dan noboru pada klausa kaidan o agaru/ noboru, kedua-
duanya berarti menaiki tangga
c) Untuk mempertegas suatu makna, kedua-duanya bisa digunakan
secara bersamaana (sekaligus). Misalnya, kata hikaru dan
kagayaku pada kalimat hosi ga hikari kagayaite iru berarti bintang
bersinar cemerlang.
2) Mencari dan menelaah literaur yang relavan
Setelah menentukan objek sinonim lalu disusul dengan
penelaah pustaka. Jenis pustaka yang harus dibaca adalah literatur yang
relavan dengan tema (sinonim) tersebut dapat berupa hasil penelitian
terdahulu atau karya lainnya yang telah dipublikasikan seperti buku
tata Bahasa atau buku linguistic Bahasa Jepang yang relevan. Dengan
membaca sejumlah literatur ini, kita akan mengetahui apakah sinoim
tersebut perlu diteliti lagi atau tidak.
3) Mengumpulkan data
Langkah selanjutnya yaitu pengumpulan data penelitian.
Bentuk data berupa kalimat yang mengandung sinonim yang diteliti
baik berupa jitsurei maupun berupa sakurei. Jenis data yang pertama
yaitu penggunaan dalam kalimat secara nyata yang digunakan dalam
novel-novel, surat kabar atau karya lainnya yang dipublikasikan,
sedangkan data yang kedua berupa contoh kalimat yang dibuat oleh
peneliti sendiri sebagai pelengkap (pembanding). Dalam proses
pengumpulan data, peneliti langsung bertindak sebgai instrument
dengan menggunakan format data (kartu data) yang didalamnya
mencangkup kolom: nomor kalimat, contoh kalimat dan sumbernya
yang terdiri dari nama penulis, tahun dan halamannya, jika data
tersebut dari karya dicetak. Dalam pengumpulan data ini bisa
digunakan teknik catat. melalui transkripsi ortografis seperti yang
dikemukakan sudaruanato (1993:6)
4) Menentukan pasangan kata yang akan dianalisis
Setelah data terkumpul lalu diklasifikasikan berdasarkan
kategori atau kriteria tertentu, lalu disusul dengan menentukan
pasangan sinonim yang akan dianalisis, jika memang lebih dari dua
kata. Untuk lebih mendalami persamaan dan perbedaan sinonim
tersebut, akan lebih baik jika dianalisa dua buah kata secara
berpasangan. Misalnya jika kita menganalisis tiga kata A, B, dan C,
maka analisisnya dilakukan dengan cara mengkontrasakan A dan B,
kemudian A dan C, lalu B dan C. setelah diperoleh informasi yang
jelas tentang ketiga kata tersebut lalu diuji kembali kdengan melihat
contoh yang sama yang bias menggunakan ketiga kata tersebut. Contoh
konkret misalnya jika kita menganalisis kata yang berpadanan dengan
kata jatuh, yaitu korobu, taoreru dan ochiru. Pasangan analisis yang
perlu dilakukan tidak sekaligus melainkan dua-dua, yaitu korobu
dikontraska dengan taoreru, kemudian korobu dikontraskan dengan
ochiru, dan terakhir taoreru dikontraskan dengan ochiru.
5) Melakukan analisis
Setelah data yang diperlukan terkumpul, kemudian disusul
dengan kegiatan analisis. Kegiatan analisis memerlukan kecermatan
dan ketelitian, karena setiap unsur kalimat yang dijadikan data harus
diperhatikan baik-baik. Mula-mula sajikan contoh yang bisa
menggunakan kedua kata yang bersinonim tersebut. Hal ini dilakukan
untuk membuktikan bahwa kedua kata tersebut bersinonim, jika tidak
terjadi perubahan makna pada kalimat tersebut, jita ambil contoh verba
korobu dan taoreru seperti berikut.

a) あの子が(倒れた/転んだ)
Anko ko ga (taoreta/koronda)
Anak itu jatuh
Verba taoreru dan korobu pada contoh di atas bias digunakan dan
terjemahannya sama yaitu jatuh. Ini membuktikan bahwa verba
tersebut bersinonim.
Kemudian sajikan dua contoh yang hanya bisa menggunakan
salah satu dari kata yang dianalisis tersebut. Umpamanya kata yang
dikontraskan itu berupa verba A dan verba B, maka pada kalimat
pertama hanya A saja yang bisa digunakan dan kalimat kedua hanya B
saja yang bisa digunakan, Dari kedua contoh tersebut akan kelihatan
perbedaanya dengan melihat berbagai unsur arti. Misalnya, siapa dan
bagaimana bentuk subjeknya, lalu apa objeknya dan bagaimana
partikelnya, kemudian maknanya bagaimana. Karena, seperti yang
sudah disinggung, bagaimana pun tinggginya tingkat kesinoniman
antara A dan B pasti ditemukan suatu perbedaannnya. Hal inilah yang
harus ditemukan oleh peneliti. Untuk memperjelas, mari kita lihat
contoh taoreru dan korobu pada contoh berikut.

a) 山田君は貧血なので、朝礼の時、(倒れて/転んで)しまっ

た。

Yamada kun wa hinketsu nanode, chourei no toki,


(taorete/*koronde) shimatta
Yamada jatuh ketika sedang upacara pagi, karena kurang
darah (= tergeketak, pingsan)

b) 山田君は、走っている時、(転んで/倒れて)しまった。

Yamada kun wa, hasihtte iru toki (koronde/*taorete)


shimatta
Yamada jatuh letika sedang berlari (= karena tersandung,
dll)
Dari contoh di atas, dapat diketahui salah satu perbedaan kedua verba
tersebut adalah proses terjadinya subjek tersebut jatuh. Pada korobu,
subjek ketika sedang berlari (melaju), sedangkan pada taoreru subjek
tidak sedang melaju (diam).
6) Membuat generalisasi
Setelah melalui semua langkah di atas, lalu disusul dengan
membuat generalisasi. Tentunya yang disajikan adalah persamaan dan
perbedaan tentang setiap sinonim tersebut, disertai dengan beberapa
contoh lain yang bias mewakili setiap karakter, sambal membuktikan
generalisasi tersebut.
2. Penelitian Tentang Polisemi
a. Batasan Polisemi
Istilah polisemi (tangigo) harus dibedakan dengan istilah homofon
(dou-on-igigo), karena kedua-duanya merujuk pada makna ganda. Polisemi
adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu dan setiap makna tersebut
satu sama lainnya memiliki keterkaitan (hubungan) yang bias dideskripsikan,
sedangkan homofon adalah beberapa kata yang bunyinya sama tetapi
maknanya berlainan dan setiap makna tersebut sama sekali tidak ada
keterkaitannya (Kunihiro, 1996: 97). Misalnya, kata kumo bias berarti awan
atau laba-laba, karena kedua makna tersebut, karena kedua makna tersebut
tidak ada keterkaitan apa-apa, maka dikategorikan ke dalam homofon. Dalam
Bahasa Indonesia bias dapat berarti dapat dan racun, kedua makna tersebut
tidak ada keterkaitan apa-apa, sehingga dikategorikan ke dalam homofon.
Kata ocha yang semula berarti minuman meluas menjadi istirahat dan
sebagainya. Kemudian kepala yang semula berarti bagian dari tubuh meluas
menjadi pimpinan adalah contoh dari polisemi yang hubungan dari kedua
makna tersebut dapat dijelaskan. Perbedaan polisemi dan homofon adapat
dilihat pada gambar berikut.
Polisemi
Makna 1
Kata 1 Bunyi 1 Makna 2

Makna 3

Homofon

Kata 1 Makna 1

Kata 2 Makna 2
\ Bunyi 1
Kata 3 Makna 3

Kata n Makna n

b. Tujuan dan Manfaat


Tujuan dari penelititan polisemi adalah untuk mendeskirpsikan makna-
makna yang dimiliki oleh suatu kata, kemudian mendeskripsikan
bagaimana hubungan antar makna tersebut dengan jelas. Sedangkan
manfaat penelitian ini dapat dimanfaaatkan dalam pengajaran Bahasa
Jepang, baik secara langsung maupun tidak langsung.
c. Langkah kerja
Berdasarkan pada Batasan polisemi di atas, ada tiga langkah pokok dalam
meneliti kepolisemian suatu kata
1) Identifikasi makna
Identifikasi makna dilakukan untuk melihat dan menentukan ada
berapa buah makna yang dimiliki oleh suatu kata. Ada beberapa cara
yang bisa digunakan untuk mendidenitfitkasi makna dalam suatu kata
a) Melihat padanan kata yang terdapat pada kamus
Dengan melihat kamus adalah cara yang mudah dilakukan.
Akan tetapi harus berhati-hati dalam penggunaannyya, karena
setiap kamus akan berlainan cara menyajikan maknanya. Oleh
karena itu, untuk mengetahui berapa jumlah makna yang dimiliki
oleh suatu kata, jangan terlalu bergantung pada kamus saja,
melainkan aan lebih baik kalua berdasarkan pada contoh jitsurei
yang dikumpulkan sebagai data.
b) Mengidentifikasi makna
Untuk mengidentifikasi makna, yaitu degna mencari sinonim
dari kata tersebut. Misalnya, verba agaru bisa diketahui maknanya
berdasarkan pada sinonimnya seperti pada table berikut.
No. Contoh Kalimat Sinonim Makna
1 階段をあがる のぼる Naik

2 料理があがる できる Jadi

3 家にあがる 入る Masuk

4 犯人があがる みつかる Ketemu

5 飲声があがる 聞こえる Terdengar

6 面接であがってしま 緊張する Gugup

7 ゴールの前にあがる 進 Maju

8 物価があがる 高くなる Meningkat

Di atas dapat diketahui bahwa makna verba agaru minimal ada


delapan makna dan tidak menutup kemungkinan masih ada makna
lainnya.
c) Pendeskripsian hubungan antar makna
Yaitu dengan mencari lawan kata dari setiap contoh kalimat yang
digunakannya. Cara ini mungkin hanya berlaku bagi kosakata
tertentu saja, seperti kata takai ><hikui, yasashii><muzukashii dll.
Dari sini akan ketahuan bahwa makna setiap kata tersebut lebih
dari satu.
2) Menentukan makna dasar
Makna banyak sekali ragamnya, tetapi dalam polisemi hanya
ada dua macam, yaitu makna dasar dan makna perluasan, atau disebut
pula makna prototipe dan makna bukan prototitpe. Perubahan atau
perluasan makna terjadi karena berbagai faktor seperti perkembangan
ilmu pergetahuan, tekologi, norma Susila, nilai rasa dan sebagainya
yang mempengaruhi kehidupan manusia pemakai Bahasa tersebut.
Makna dasar tidak selalu sama dengan makna perluasan, melainkan
makna yang benar-benar merupakan makna dasar dalam Bahasa yang
digunakan sekarang ini.
Salah satu aliran lingustik yang menawarkan bagaimana cara
mendeskripsikan hubungan antarmakna dalam suatu polisemi, yaitu
aliran linguistic kognitif. Aliran ini berazaskan pada pemikiran bahwa
semua perubahan dan perkembangabn makna dalam suatu Bahasa
dapat dideskripsikan, dan tidak terjadi secara kebetulan belaka
melainkan ada yang memotivasinya, untuk mendeskripsikan makna
dalam polisemi antara lain daapat digunakan tiga macam gaya Bahasa
(majas), yaitu metafora, metonimi dan shikedoke karena kehidupan
berbahasa tidak terlepas dari ketiga mazas tersebut.
a) Metafora
Metafora adalah mazas yang digunakan untuk
menyatakan sesuatu hal atau perkara (misalnya A) dengan
hal/perkara lainnya (misalnya B), atas dasar
kemiripan/kesamaan sifat atau karakternya pada kedua hal
tersebut. Kemiripan dalam arti luas baik secara fisik, sifat,
karakter, atau dalam hal tertentu , tergantung pada sudut
pandang si penutur. Seperti contoh kalimat berikut

(1) 男は狼である

Otoko wa ookami de aru


Laki-laki itu (semuanya) serigala (=buaya darat)

(2) 正月休みに食べ過ぎて、ぶたになってしまった。

Shogatsu yasumi ni tabesugite, buta ni natte


shimatta
Karena waktu liburan tahun baru (saya) terlalu
banyak makan, badanku jadi babi (=badan ku jadi
gemuk)
Pada kedua contoh di atas, dua hal yang diumpamakan
yaitu: otoko dan ookami pada contoh (1), dan seseorang dengan
buta pada contoh (2) hanya makna kiasan sebagai
perumpamaan saja. Dalam budaya Jepang kata serigala
digunakan untuk menyatakan arti laki-laki hidumg belang atau
berbahaya yang dalam Bahasa Indonesia digunakan istilah
buaya darat, sedangkan kata babi digunakan untuk menyatakan
arti badan yang gemuk.
b) Metonimi
Metonimi adalah gaya Bahasa yang dignakan untuk
menyatakan suatu hal atau perkara (misalnya A) dengan
hal/perkara lain (misalnya B), atas dasar kedekatan baik ada
jarak yang dekat, bisa pula berarti tidak ada jarak sama sekali,
sehingga mencangkup makna bagian dari keseluruhan, sebab
dan akibat dan sebagainya. Berikut kita lihat berbagai bentuk
hubungan dari metonimi.

(3) 一升瓶を飲みほす

Isshoubin o nomihosu
Satu botol diminum sekali tengguk

(4) 眼鏡が曇った

Megane ga kumotta
Kacamata berawan

(5) 悲しむこと―>なげく/なく

Kanashimu koto -> nageku/naku


Kesedihan -> murung/menangis
Pada contoh (3) diketahui yang diminum bukan
botolnya melainkan isi botol (minuman/sake). Pada contoh (4)
yang kena lebab bukan kacamata secara keseluruhan,
melainkan hanya lensanya saja. Pada contoh (5) untuk
menyatakan kesedihan digunakan kata nageku, naku.
Dalam percakapan Bahasa Indonesia sehari-hari pun
kita sering mendengar kalimat tolong kecilkan TV-nya , yang
dikecilkan bukan wujud TV-nya melainkan suara TV tersebut,
atau pada klausa mengunci kamar, yang dikunci adalah pintu
kamar yang merupakan bagian dari kamar tersebut.

c) Sinekdoke
Sinekdoke adalah majas yang digunakan untuk
menyatakan sesuatu hal atau perkara yang bersifat umum
(misalnya A) dengan hal/perkara lain yang bersifat khusus
(misalnya B), atau sebaliknya hal yang khusus digunakan untuk
menyatakan hal yang umum. Seperti contoh

(6) 毎朝、パンと卵を食べている

Mai asa, pan to tamago o tabeteiru


Tiap pagi saya makan roti dan telur

(7) 明日、花見に行きます

Ashita, hanami ni ikimasu


Besok, akan pergi untuk melihat bunga
Sebenarnya kata telur berarti luas bisa meliputi telur
ayam, telur bebek, telur burung, telur ikan, telur buaya, telur
penyu dan sebagainya, akan tetapi pada contoh (7) di atas,
bermakna telur ayam bukan telur yang lainnya. Jadi kata telur
uang bermakna umum digunakan untuk menyatakan telur ayam
yang lebih khusus. Begitu pula untuk kata hanami pada contoh
(7) digunakan untuk menyatakan arti bunga sakura bukan
bunga yang lainnya, disini pun bunga secara umum
menyatakan arti bunga secara khusus yaitu bunga sakura,
merupakan bentuk dari sinekdoke.
B. Penelitian tentang Frase (Klausa)

Frase dalam bahasa Jepang dasebut dengan ku, istilah ini sering digunakan untuk
mewakili istilah setsu (klausa) seperti oleh Momiyama (2002) dan sebagainya. Oleh karena
itu istilah frase yang digunakan di sini mencakup makna klausa.

Jika dilihat dari strukturnya frase bahasa Jepang terdiri dari perpaduan dua kata atau
lebih, yang jenisnya berbeda-beda. Dilihat dari maknanya dalam suatu frase ada yang
mengandung makna secara leksikal, sesuai dengan arti kata tersebut (jigi-doori no imi), ada
pula yang mengandung makna secara idiomatikal saja, tidak bisa diterjemahkan secara
leksikal, dan ada yang mengandung makna kedua-duanya.

Momiyama (2002:121) membagi jenis frase dalam bahasa Jepang berdasarkan pada
maknanya menjadi tiga macam, yaitu: futsuu no ku, rengo, dan kanyouku.

Futsuu no ku adalah frase biasa, terdiri dari dua kata atau lebih, makna
keseluruhannya bisa diketahui dengan cara memahami makna dari setiap kata yang
membentuk frase tersebut, sebagian dari kata yang membentuk frase tersebut bisa diubah
dengan yang lainnya secara bebas.

Rengo adalah frase yang makna keseluruhannya bisa diketahui dari makna setiap kata
yang menyusun frase tersebut, tetapi setiap kata tersebut tidak bisa diganti dengan kata yang
lainnya meskipun sebagai sinonimnya. Dalam rengo setiap kata sudah menjadi satu pasangan
yang tidak bisa diganti dengan lainnya. Dalam bahasa Jepang frase ini cukup banyak
jumlahnya, dan perlu dihapal oleh pembelajar, sehingga menjadi salah satu beban yang cukup
berat. Berikut adalah beberapa contoh rengo (Momiyama, 2002:122).

予定を立てる。 → 予定を作る。
Yotei o tateru Yotei o tsukuru.
Mendirikan rencana. Membuat rencana
(=Menyusun rencana)

評判を落とす。 → 評判を失う。
Hyouban o otosu. Hyouban o ushinau.
Menjatuhkan reputasi. Menghilangkan reputasi.
(=Kehilangan reputasi)

Kanyouku adalah frase yang memiliki makna idiom saja, makna tersebut tidak bisa
diketahui meskipun memahami makna setiap kata yang membentuk frase tersebut. Dilihat
dari strukturnya kanyouku ada empat tipe yaitu:

a. Tidak bisa diselipi apapun.


b. Tidak bisa berubah posisi (menjadi suatu modifikator).
c. Tidak bisa diganti dengan kata yang lain (sinonim dan antonim).
d. Ada yang hanya dalam betuk menyangkal saja dan tidak bisa diubah ke dalam
bentuk positif.

Tipe pertama, misalnya frase (idiom) hone o oru yang secara leksikal diterjemahkan
mematahkan tulang, frase ini digunakan untuk menyatakan kerja keras dalam melakukan
sesuatu, dan lebih dekat dengan ungkapan membanting tulang dalam bahasa Indonesia. Frase
ini digunakan dalam kalimat secara satu set dan tidak bisa diselipi oleh kata lainnya.

彼は私たちのために一所懸命骨を折ってくれた。
Kare wa watashitachi no tame ni ishhokenmei hone o otte kureta.
Dia dengan sungguh-sungguh membanting tulang demi kita.

*彼は私たちのために骨を一所懸命折ってくれた。
*Kare wa watashitachi no tame ni hone o isshokenmei otte kureta.
*Dia membanting dengan sungguh-sungguh tulangnya demi kita semua.

Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa pada frase (idiom) hone o oru sama sekali
tidak bisa diselipi apapun.

Tipe kedua, misalnya idiom hara o tateru (membuat perut berdiri → membuat
marah), digunakan dalam konteks berikut.

あいつの態度にみんなが原を立てた。
Aitsu no taido ni minna ga hara o tateta.
Semuanya marah terhadap perilaku dia.

*あいつの態度にみんなが立てた原。
*Aitsu no taido ni minna ga tateta hara.

Frase hara o tateru sama sekali tidak bisa berubah urutan misalnya dalam betuk
modifikasi seperti contoh di atas. Tetapi kalau dalam bentuk hara o tateta watashi (saya yang
marah) tidak menjadi masalah sebab bentuk asalnya hara o tateta tidak berubah.

Tipe ketiga, misalnya pada idiom hana ga takai (hidungnya tinggi) digunakan untuk
menyatakan arti sombong atau besar kepala dalam bahasa Indonesia dan idiom hara ga tatsu
(perut berdiri → marah). Sebagian dari frase tersebut tidak bisa diganti dengan kosakata
yang lainnya baik sebagai sinonim maupun sebagai antonimnya, misalnya menjadi *hana o
hikui (hidung rendah) dengan maksud untuk menyatakan tidak sombong, atau *onaka ga
tatsu (perut berdiri) dengan maksud menghaluskan kata perut.

Tipe keempat, yaitu ada frase (idiom) yang digunakan hanya dalam bentuk
menyangkal (bentuk ~nai) saja, dan tidak bisa diubah menjadi bentuk positif, misalnya
udatsu ga agaranai (kehidupannya tidak meningkat), moto mo ko mo nai (sia-sia) tidak bisa
diubah menjadi *udatsu ga agaru atau *moto mo ko mo aru.

Momiyama (2002:124) menjelaskan cara membedakan antara rengo dan kanyouku,


yaitu dengan melihat maknanya. Jika dengan hanya melihat makna dari sebagian (kata) dari
frase tersebut kemudian makna keseluruhannya bisa diketahui, maka termasuk ke dalam
rengo. Sebaliknya makna frase tersebut tidak bisa diketahui dari sebagian kata, tetapi harus
secara keseluruhan (idiomatikal), maka ternasuk ke dalam kanyouku.

Untuk penutur bahasa Jepang cara tersebut mungkin bisa diterapkan langsung, tetapi
bagi para pembelajar orang asukng belum tentu cocok. Penutur asli memiliki chokkan
(intuitif bahasa), sehingga begitu mendengar suatu frase dapat langsung memahami artinya.
Lain halnya dengan pembelajar bahasa Jepang (orang asing), ketika ia menemukan suatu
idiom, langkah pertama adalah menerjemahkan secara leksikal, kemudian ia akan berusaha
untuk memahami makna idiomatikalnya, baik melalui penjelasan dari guru atau keterangan
lain.

Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran bahasa Jepang terutama di Indonesia,


idiom bahasa Jepang bisa diteliti dengan menekankan pada maknanya, bukan pada bentuk.
Kecuali untuk kepentingan linguistik terutama bidang sintaksis, bentuk (struktur) dari suatu
idiom juga bisa dijadikan objek penelitian.

Untuk itu, langkah kerja dalam penelitian tentang frase (idiom) juga sama dengan
langkah yang lainnya, yaitu diawali dengan peralihan objek yang akan diteliti dengan
berbagai alasan yang menguatkan penelitian ini perlu dilakukan. Kemudian disusul dengan
pengumpulan data (jitsurei) untuk memperjelas kapan dan dalam situasi yang bagaimana
idiom tersebut digunakan. Setelah data terkumpul lalu dengan diikuti dengan analisis yang
berujung pada generalisasi (penyimpulan). Dalam kegiatan analisis suatu frase terutama
idiom (rengo atau kanyouku) untuk kepentingan pengajaran, minimal ada tiga langkah yang
harus ditempuh, yaitu:

a. Pengkajian makna leksikal (jigi douri no imi).


b. Pengkajian makna idiomatikal (kanyoukuteki imi).
c. Deskripsi hubungan makna leksikal dengan makna idiomatikal.

Pertama jika menemukan suatu idiom bahasa Jepang, langkah pertamanya yaitu
dengan mengkaji makna secara leksikal (jigi douri no imi), dengan menggunakan referensi
yang berupa kamus atau yang lainnya. Kemudian perlu juga diinformasikan tentang struktur
frase tersebut melalui penghimpunan berbagai informasi tentang tata bahasa, mengingat
bentuk idiom bahasa Jepang bermacam-macam.

Kedua setelah diketahui makna leksikal (jigi douri no imi) dilanjutkan dengan
pengkajian makna idiomatikalnya (kanyou no imi). Hal ini bisa dilakukan dengan menelaah
berbagai referensi tentang buku/kamus idiom bahasa Jepang atau referensi lainnya seperti
hasil penelitian terdahulu.

Dengan hanya menyajikan makna yang terkandung dalam idiom, pembelajar dituntut
untuk menelan mentah-mentah dan menghapal di luar kepala. Hal ini bisa menjadi beban
yang cukup berat bagi pembelajar. Setiap orang mepunyai cara tersendiri dalam usaha untuk
menghapal dan mengingat sesuatu. Tetapi akan lebih baik dan lebih membantu juka pengajar
membantu menjelaskan bagaimana proses munculnya makna idiomatikal dari makna
leksikalnya, sehingga akan mempermudah pembelajar untuk lebih memahami dan
mengingatnya.

Ketiga, perlu upaya untuk mendeskripsikan hubungan antara makna leksikal jigi douri
no imi dengan makna idiomatikalnya. Hal ini ditunjukan untuk menjelaskan mengapa makna
idiomatikal itu muncul, dari berbagai sudut terutama budaya atau kebiasaan orang Jepang.
Untuk memperjelas hubungan antarmakna tersebut bisa pula digunakan ketiga majas yang
sudah dibahas pada bagian sebelumnya, yaitu metafora, metonimi, dan sinekdoke.
子どもが生まれたのをきっかけに、彼は人にうらまれるような仕事から足を洗った。
Kodomo ga umareta no o kikkake ni, kare wa hito ni uramareru youna shigoto kara
ashi o aratta.
Semenjak anaknya lahir, dia berhenti dari pekerjaan yang bisa membuat dendam
seseorang.

Dua makna yang terkandung dalam frase (idiom) tersebut, yaitu secara leksikal
bermakna mencuci kaki, yaitu menghilangkan kotoran yang melekat pada kaki dengan
menggunakan air, sedangkan secara idiomatikal bermakna berhenti dari pekerjaan
jelek/tercela. Kotoran pada kaki dan perbuatan kotor atau tercela yang dilakukan selama ini
merupakan hal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, baik dalam mencuci kaki maupun
dalam berhenti dari pekerjaan kotor/tercela terdapat titik kesamaannya, yaitu menjauhkan
diri dari hal yang tidak diinginkan. Dengan demikian, makna idiomatikal yang muncul pada
idiom tersebut merupakan perluasan dari makna leksikal secara metafora (Momiyama,
2002:130).

Untuk idiom atama ga sagaru (kepala turun/menunduk) digunakan untuk menyatakan


arti menghormati. Ada suatu kebiasaan bangsa Jepang, ketika menghormati orang lain
dengan cara menundukan kepala bahkan menundukan badan (ojigi). Bahkan dalam
kehidupan sehari-hari ketika seorang bawahan berbicara dengan atasannya, ia tidak pernah
melihat mata langsung (bertemu pandang) karena dianggap tidak sopan, ia akan selalu
menunduk atau melihat bagian leher saja. Jadi kebiasaan menunduk adalah pertanda
menghormati orang lain. Ini juga merupakan salah satu bentuk hubungan dari metonimi.

Contoh lain yang menunjukan hubungan antara makna idiom dengan makna leksikal
secara sinekdoke yaitu, pada idiom Nieyu o nomaseru secara leksikal bermakna diberi minum
(dipaksa minum) air yang mendidih, digunakan untuk menyatakan arti mendapat bahaya.
Momiyama (2002) menjelaskan bahwa minum air panas merupakan salah satu jenis dari
bahaya, jadi bahaya secara umum dinyatakan dengan minum air panas yang merupakan
salah satu jenis dari bahaya, sehingga termasuk ke dalam sinekdoke.

Demikian salah satu cara yang bisa dicoba untuk diterapkan dalam mendeskripsikan
hubungan natara makna leksikal dan makna idiomatikal dalam frase bahasa Jepang.

C. Penelitian tentang Kalimat/Ungkapan

Untuk kepentingan pengajaran, kalimat bahasa Jepang bisa diteliti dari dua sisi, yaiutu
dari segi bentuk (struktur) dan makna yang kedua-duanya tidak bisa dipisahkan. Seperti objek
yang lainnya, kalimat pun perlu diteliti dengan berpijak dari berbagai masalah atau kesalahan
yang dihadapi oleh pembelajar.

Dari segi struktur, kalimat dalam bahasa Jepang (S) terdiri dari beberapa Frase (P),
yaitu frase nomina (NP), frase adjekitiva (AP), dan frase verba (VP). Setiap frase nomina
(NP) akan hadir kata bantu atau partikel (Part.). Untuk lebih jelasnya mari kita lihat contoh
kalimat verba berikut :
太郎が食堂でご飯を食べている。
Tarou ga shokudou de gohan o tabete iru.
Taro sedang makan nasi di kantin.

Kalimat diatas terdiri dari Tarou ga (NP+Part.), shokudo de (NP+Part.), goban o (NP
+ Part.), dan tabette iru (VP). Untuk kalimat seperti ini, penelitian bisa dilakukan pada bagian
yang diberi garis bawah. Karena pembelaja sering melakukan kesalahan dalam menggunakan
partikel dibelakang nomina dan penggunaan bentuk verba. Kesalahan penggunaan kosa kata
pun sering terjadi, tetapi ini merupakan garapan penelitian tentang kosakata seperti yang
sudah dibahas pada bagian sebelumnya.

Jadi, untuk kepentingan pengajaran bahasa Jepang, penelitian pada level kalimat bisa
difokuskan pada penggunaan partikel dan bentuk predikat (byougen) dengan tidak
melepaskan makna kalimat itu sendiri. Kesalahan para pembelajar dalam hal kalimat bisa
juga disebabkan oleh adanya makna ganda (tagibun), kesinoniman (ruigibun) dengan kalimat
lainnya, atau strukturnya yang kompleks (fukuzatsu-bun). Sama halnya dengan kosakata
(penelitian kosakata), kesinoniman dan kepolisemian bisa juga ditemukan pada tingkat
partikel, mengingat dalam bahasa Jepang jumlahnya cukup banyak dan fungsinya pun
bermacam-macam, atau pada level kalimatnya sendiri. Misalnya partikel で (de) memiliki arti
dan fungsi yang bermacam-macam, dalam konteks tertentu bisa bersinonim dengan partikel
を (o) dan に (ni).

Pada level ungkapan (ekspresi) pun kesinoniman dan kepolisemian bisa terjadi.
Misalnya, untuk ungkapan yang menyatakan keharusan dalam bahasa Jepang bisa digunakan
verba bentuk ...nakereba naranai, ...nai so ikenai, ...V-ru buki dan sebagainya. Hal seperti ini
yang bisa menimbulkan kesulitan bagi pembelajar bahasa Jepang. Untuk meneliti
kesinoniman ungkapan bisa dilakukan seperti halnya dalam meneliti kosakata, yaitu dengan
teknik substitusi (teknik ganti) dalam kalimat yang sama.

Objek lain yang berhubungan dengan kalimat yang perlu diteliti diantaranya tentang
diatesis, kala, aspek, dan modalitas dalam bahasa Jepang. Hasil penelitian seperti dapat
berupa deskripsi yang bisa digunakan untuk kepentingan pengajaran bahasa Jepang. Bahkan
akan lebih langsung bisa diterapkan dalam pengajaran bahasa Jepang, jika dikontraskan
dengan bahasa ibu pembelajar. Pembahasan tentang penelitian kontrasif disajikan pada bab
berikutnya.
BAB III
A. Kesimpulan

Bahasa digunakan sebagai alata untuk menyampaikan ide, gagasan, pikiran, hasrat, dan
keinginan kepada orang lain baik secara lisan maupun secara tulisan.

Kajian tentang bahasa, linguistik, telah berkembang menjadi ilmu sejak deskripsi pertama
tata bahasa dari bahasa tertentu lebih dari 2000 tahun lalu. Sekarang, linguistik adalah sebuah
ilmu yang memperhatikan semua aspek dari bahasa, menelitinya dari semua sudut pandang.
Kajian akademis terhadap bahasa dilakukan dari banyak area disiplin dan dari sudut pandang
teoretis yang berbeda, semuanya memberikan pendekatan modern terhadap linguistik.

Semua penelitian yang menyangkut linguistik tersebut, dapat dimanfaatkan untuk


mengembangkan, memecahkan masalah yang ditemu dalam pengajaran bahasa Jepang. Oleh
karena itu, tidak ada pemilahan antara pendidikan bahasa Jepang dan linguistik bahasa
Jepang. Sebab kedua-duanya saling membutuhkan dan saling memanfaatkan hasil penelitan
masing-masing, serrta tidak bisa dilepaskan satu sama lainnya.

Metode penelitian kebahasaan mengikuti gerak globalisasi sehingga ada antropolinguistik,


neurolinguistik programming, ethnolinguistik, dan sebagainya. Trend global ditandai oleh
perkembangan pendekatan kualitatif yang berkibar.

Penelitian kebahasaan dilakukan untuk memecahkan masalah tentang kebahasaan


terutama sebagai bahan ajar. Hasilnya bisa dimanfaatkan untuk memperbaharui dan
melengkapi bahan ajar bahasa Jepang, atau sebagai pengayaan yang diperlukan baik oleh
pengajar maupun oleh pembelajar, terutama mengenai kosakata, frase, ungkapan, dan kalimat
bahasa Jepang yang sering menjadi masalah bagi para pembelajar.

B. Saran

Dalam makalah ini terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kesulitan bagi pembelajar
bahasa Jepang seperti kosakata, frase, ungkapan (idiom), dan kalimat dalam bahasa Jepang.

Banyaknya kata yang bersinonim dalam bahasa Jepang adalah salah satu penyebab
munculnya kesulitan dalam mempelajari bahasa Jepang. Penelitian tentang sinonim masih
diperlukan dan masih memegang peranan penting baik dalam pendidikan bahasa Jepang
maupun di bidang linguistik

Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran bahasa Jepang di Indonesia, idiom bahasa
Jepang bisa diteliti dengan menekankan pada maknanya, bukan pada bentuk. Kecuali untuk
kepentingan linguistik terutama bidang sintaksis, bentuk (struktur) dari suatu idiom juga bisa
dijadikan objek penelitian.

Untuk kepentingan pengajaran bahasa Jepang, penelitian pada level kalimat bisa
difokuskan pada penggunaan partikel dan bentuk predikat (hyougen) dengan tidak
melepaskann makna kalimat itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai