Anda di halaman 1dari 8

PERAN MANAJEMEN RISIKO TERHADAP PANDEMIC VIRUS CORONA

Tugas Besar 2 – Good corporate governance

Disusun oleh

Chiko Prima 43217120080

Dosen Pengampu

Taufik Akbar, SE, M.Si, Ak, CA

Universitas Mercu Buana

Fakultas Ekonomi dan Bisnis – Akuntansi


Manajemen Risiko Terhadap Pandemic Virus Corona

Ketika Virus Corona atau Covid-19 menjadi pandemi, tidak hanya mengakibatkan
krisis kesehatan tetapi juga memukul dengan keras sektor ekonomi. Banyak perusahaan yang
pada akhirnya kehabisan nafas.

Perusahaan yang berplatform digital pun tak luput ikut tersapu. Sebut saja Airbnb,
Lyft, Uber, Grab dan Traveloka yang selama ini dengan kokoh bertengger sebagai
perusahaan digital terkemuka, terpaksa harus memangkas karyawan demi bertahan ditengah
pandemi. Namun, ada juga perusahaan yang mampu menunjukkan resiliensinya, mampu
berselancar di atas gelombang perubahan drastis dari perilaku bisnis.

Tatkala model bisnis yang mengandalkan high touch dan mobilitas manusia secara
masif dengan intensitas tinggi menjadi tak lagi relevan.

Dampak dari orang-orang memilih atau dipaksa memilih tinggal rumah, Zoom
menjadi salah satu perusahaan aplikasi yang mengalami booming. Aplikasi komunikasi yang
sontak naik kelas menjadi kebutuhan primer bagi hampir semua orang, terutama bagi yang
melakukan work from home. Berkah bagi perusahaan baru besutan Eric Yuan itu
membuatnya termasuk pendatang baru yang mendadak menjadi orang terkaya versi majalah
Forbes.

Merespon perubahan perilaku bisnis, perusahaan seakan tak punya opsi kecuali
melakukan transformasi digital. Perusahaan yang memandang bahwa menjadi digital (being
digital) merupakan strategi yang memampukan dalam mengatasi disrupsi. Apakah dengan
langkah ini akan menjawab tantangan tersebut?

Menurut Steven Denning dalam bukunya The Age of Agile (2018), perbedaan antara
pemenang dan pecundang bukanlah sekedar memiliki akses terhadap teknologi dan big data.
Pembeda hakikinya terletak pada ketangkasan dalam memanfaatkan teknologi dan data.

Dengan kata lain, mentransformasi perusahaan menjadi agile management.


Perusahaan menjadi lebih adaptif dan meningkatkan produk dan jasa agar mampu memenuhi
perubahan teknologi dan kebutuhan pelanggan dengan cepat. Perubahan itu bisa berujung
pada efisiensi, perbaikan kualitas atau bahkan dengan melahirkan produk dan jasa yang baru.
Dalam konteks kenormalan baru, konsultan manajemen dunia McKinsey & Company
menegaskan keharusan perusahaan untuk lebih inovatif dalam berbisnis. Perubahan perilaku
pelanggan menjadi faktor yang paling diperhitungkan. Secara garis besar, perusahaan dalam
berbisnis menjadi sangat peduli dengan kondisi yang aman buat pelanggan.

Physical distancing merupakan fakta kehidupan yang mensyaratkan adanya penataan


ulang ruang dan model bisnis baru, mempercepat transformasi digital agar dapat
meningkatkan produktifitas, kualitas dan konektifitas dengan end-customer.

Dari kedua perspektif tersebut, baik yang dikemukakan oleh Denning maupun
McKinsey, titik simpulnya terletak pada customer focus dan kemampuan berinovasi dengan
mengeksplorasi peluang yang ada.

Pergeseran perilaku menjadi kenormalan baru dan meningkatkan ketidakpastian


perusahaan dalam mencapai sasaran. Dari perspektif manajemen risiko, pergeseran tersebut
akan menimbulkan risiko baru (emerging risk) atau memperbesar probabilitas dan dampak
risiko yang ada (existing risk) menjadi peristiwa. Oleh karena itu, menjadi penting untuk
meninjau ulang profil risiko dan efektifitas mitigasi yang ditetapkan sebelumnya.

Selain itu mengarungi kenormalan baru kemungkinan akan menimbulkan paradoks


dalam organisasi. Alih-alih desain organisasi yang dituntut gesit, justru manajemen risikonya
bersifat statis dan terlalu dibebani dengan proses administratif. Manajemen risiko yang
dominan pada paradigma risiko sebagai ancaman sepertinya tak cukup mengoptimasi strategi
perusahaan.

Paradigma manajemen risiko semacam itu akan cenderung berfokus internal,


berkarakter takut risiko (risk averse) dan mengeksploitasi bisnis model yang ada.

Paradigma ini bertentangan secara diametral dengan model bisnis perusahaan yang
menghendaki kegesitan (agility). Dalam konsep manajemen risiko sebenarnya sudah mulai
diamplifikasi bahwa ia tidak selamanya negatif (downside risk) tetapi dapat juga bersifat
positif (upside risk). Namun, ruh organisasi lebih cenderung untuk tetap memperlakukan
risiko sebagai hal negatif dan mengerem laju organisasi.

Alhasil menyikapi risiko pun menggunakan opsi yang defensif seperti menolak
(avoid), mengalihkan (transfer), mengurangi (reduce) dan menerima (accept) dengan tingkat
selera risiko yang rendah. Opsi untuk melakukan eksplorasi peluang bisnis menjadi
terabaikan.
Padahal senafas dengan Al-Qur’an dalam surah Al-Insyirah disebutkan bahwa inna
ma’al ‘usri yusra (di balik kesulitan terdapat banyak kemudahan). Jika diterjemahkan dalam
bahasa manajemen, risiko dapat diartikan bahwa di balik ancamannya, sesungguhnya selalu
terdapat banyak peluang yang dapat dieksplorasi.

Pada tataran ini perusahaan perlu memahami dengan tepat berbagai perubahan pada
lanskap bisnisnya sebagai penetapan konteks dan menyesuaikan strategi manajemen risiko
dengan melakukan risk paradigm shifting, dari defensif menjadi lebih ofensif. Dari risk
mitigation (down side risk focus) bergerak ke arah risk optimization (upside risk focus).
Dengan pendekatan ini, manajemen risiko akan bekerja dalam ritme yang sejalan dengan
agile management untuk merangkul kenormalan baru.

Perusahaan kosmetik Lin Qingxuan menarik untuk dijadikan contoh seperti diuraikan
dalam Harvard Business Review berjudul How Chinese Companies Have Responded to
Coronavirus. Krisis memaksa perusahaan menutup 40% tokonya, termasuk semua lokasinya
di Wuhan.

Perusahaan kemudian mengubah model bisnis dengan menjadikan ratusan


karyawannya sebagai beauty advisor (influencer online). Dampaknya, penjualan online
meningkat tajam, bahkan di Wuhan yang merupakan episentrum pandemi, dibandingkan
dengan sebelum wabah.

Oleh karena itu, menjadi perusahaan yang agile dengan platform digital dan ditopang
dengan manajemen risiko yang disruptif menjadi sebuah formula yang dibutuhkan organisasi.
Perusahan tidak hanya memiliki kesiapan dalam menghadapi kenormalan baru, pelanggan
pun merasa mendapatkan nilai baru dari transformasi korporasi tersebut.

Menurut Badan Siber dan Sandi Negara (2020), tahapan strategi yang paling penting dan
berkaitan dengan proses operasional perusahaan dan manajemen risiko keamanan rantai
pasok untuk meminimalisasi dampak Virus Corona terhadap proses kelangsungan bisnis
adalah tahapan persiapan dan perencanaan. Tahapan ini mencakup:

1. Identifikasi proses bisnis atau sistem yang kritikal untuk setiap organisasi yang tetap
akan menjalankan kegiatan operasional melalui WFH.
2. Identifikasi proses bisnis yang sulit/dikecualikan untuk dilakukan
secara teleworking. Pada umumnya, hal tersebut membutuhkan akses fisik secara
langsung ke dalam sistem.

3. Menetapkan penanggung jawab dari setiap proses bisnis atau sistem yang kritikal,
kemudian tetapkan tim beserta tugas dan tanggung jawabnya, seperti penanggung
jawab keamanan informasi dari suatu layanan perusahaan.

4. Membuat aturan terkait mekanisme operasional dari layanan. Hal ini meliputi jam
kerja pegawai, pendefinisian peran akses, serta kebijakan keamanan informasi.

5. Melatih pekerja untuk menjalankan aturan formal yang ditetapkan.

6. Identifikasi fungsi esensial maupun pemasok yang menunjang proses bisnis atau
layanan tersebut. Identifikasi ini dilakukan dengan monitoring keamanan terhadap
fungsi esensial serta memastikan bahwa kelangsungan rantai pasok terhadap fungsi
esensial tersebut dapat berjalan.

7. Melakukan penilaian secara berkelanjutan mengenai kesiapan layanan dalam


menghadapi perubahan proses bisnis serta dampak dari perubahan lingkungan.

8. Merancang skenario kerja bagi pekerja secara remote. Pembuatan skenario kerja perlu
dilakukan untuk memilah dan mengantisipasi kondisi terburuk
pemberlakuan lockdown.

9. Selalu memantau mengenai setiap kebijakan, baik itu dari pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah terhadap upaya penanganan Virus Corona, sehingga perusahaan
dapat melakukan adaptasi dan langkah antisipatif terhadap proses bisnis secara cepat
dan tepat.

Keamanan Rantai Pasok

Badan Siber dan Sandi Negara (2020) menjelaskan bahwa tahapan berikutnya setelah
melakukan identifikasi dan persiapan pada proses operasional perusahaan untuk
meminimalisasi dampak Virus Corona adalah memastikan ketersediaan dukungan
keberlangsungan proses bisnis atau layanan yang berkaitan dengan ketersediaan dukungan
dari pemasok. Langkah tersebut di antaranya adalah:

1. Melakukan penilaian mengenai rantai pemasok yang berkaitan dengan proses bisnis
atau layanan organisasi yang berkaitan dengan kemungkinan dampak dan gangguan
akibat keterlambatan pengiriman pasokan atau logistik, serta keterlambatan proses
manufaktur akibat pandemi global Virus Corona.

2. Melakukan komunikasi dengan pihak penyedia atau pemasok yang digunakan oleh
suatu perusahaan atau organisasi yang mungkin dihadapi dalam kondisi terburuk
akibat pandemi Virus Corona.

3. Melakukan Identifikasi potensi penyedia atau pemasok lain yang dapat mendukung
proses operasional bisnis dan layanan perusahaan ketika terjadi gangguan.

4. Melakukan komunikasi kepada pengguna atau konsumen mengenai keterbatasan yang


dihadapi oleh perusahaan/organisasi serta menyampaikan langkah mitigasi yang akan
dilakukan oleh perusahaan/organisasi tersebut.

Saat ini, beberapa perusahaan dan organisasi telah menerapkan kebijakan WFH,
rekomendasi terhadap hal tersebut yang berkaitan dengan rantai pasok di antaranya adalah
memastikan keamanan dari sistem perusahaan/organisasi yang dapat diakses oleh pegawai
dari rumah atau secara remote. Hal ini dapat dilakukan dengan
melakukan monitoring keamanan terhadap seluruh sistem dan aktivitas pengguna yang
mengakses sistem tersebut.

Selain melakukan monitoring keamanan terhadap seluruh sistem yang berkaitan dengan


rantai pasok perusahaan, perlu juga dilakukan uji kapasitas dan koneksi remote yang
diberikan untuk menjamin keberlangsunganmasing-masing layanan perusahaan/organisasi.

Untuk menjamin keberlangsungan operasional dan layanan perusahaan terhadap


ketersediaan rantai pasok memerlukan rencana mengenai keberlanjutan bisnis yang
dimutakhirkan, salah satunya dengan memberikan edukasi mengenai informasi-informasi
kepada setiap pegawai yang melakukan pekerjaan dari rumah. Selain itu, pemutakhiran
rencana tanggap insiden keamanan perlu dilakukan untuk menyesuaikan dengan kondisi
perubahan lingkungan kerja yang tersebar dari berbagai lokasi.

Pada situasi pandemi seperti ini, kolaborasi semua pihak dalam rantai pasok sangat
diperlukan, tidak hanya pelaku utama saja, melainkan peran pelaku pendukung pun
diperlukan dan harus dilakukan. Perubahan atau tindakan yang diambil oleh salah satu
anggota rantai pasok akan berdampak pada anggota rantai pasok yang lain.
Kebijakan WFH ini membuat setiap pekerja seolah didorong untuk memikirkan cara agar
dapat bekerja secara efektif dan efisien walaupun tidak bertatap muka secara langsung
dengan rekan kerja lainnya. Oleh karena itu, implementasi WFH ini memerlukan partisipasi
dari setiap pegawai dalam suatu perusahaan untuk melakukan strategi manajemen risiko
terhadap dampak dari Virus Corona, hal tersebut dilakukkan untuk menjaga keberlangsungan
perusahaan di tengah situasi pandemi ini.
Referensi:

 https://ekonomi.bisnis.com/read/20200626/9/1258014/berkelit-dari-tekanan-covid-19-
dengan-manajemen-risiko-onfensif
 https://klc2.kemenkeu.go.id/document/2020/10/6/1601948707999dxp/manajemen_ris
iko_&_manajemen_krisis_di_era_pandemi__-_edit_anes.pdf

 https://www.worldometers.info/coronavirus/country/indonesia/

 Badan Siber dan Sandi Negara. 2020. Panduan Keamanan Siber Manajemen Risiko
Keamanan di Tengah Pandemi Covid-19.

Anda mungkin juga menyukai