1. Apa hal-hal positif yang telah anda pelajari dari pemikiran KHD yang
juga anda lihat pada budaya di daerah Anda?
Setelah berdiskusi, kami sepakat bahwa ada beberapa hal positif dari pemikiran KHD dan berkaitan dengan
a. Memberikan ruang bagi peserta didik untuk berekspresi dan menyampaikan gagasan yang mereka
miliki. Dalam budaya Manggarai, hal ini sesuai dengan adat Lonto Leok, di mana setiap orang berkumpul
pada sebuah tempat untuk menyampaikan berbagai pikiran sehingga mencapai sebuah tujuan atau
kesepakatan.
Alasan kelompok kami memilih hal positif ini karena dengan menyediakan sebuah wadah dan situasi
belajar yang nyaman, peserta didik akan dengan leluasa menyampaikan ide di bawah tuntunan para guru
dalam pembelajaran.
Berdasarkan pengalaman kami selama ini, tantangan yang dihadapi dalam menerapkan poin ini yaitu
menyiasati keterbatasan daya dukung dalam menyediakan wadah “lonto leok” pada proses pembelajaran.
Untuk mengatasinya, hal yang kami lakukan adalah memanfaatkan metode/media sederhana dan
kontekstual agar pembelajaran tetap berjalan dengan baik dan mencapai tujuan merdeka belajar.
1
Kelompok A-3
b. Menuntun peserta didik agar percaya diri, mampu berpendapat berdasarkan ide sendiri dan
menghilangkan kebiasaan plagiarisme. Dalam budaya Manggarai, hal ini senada dengan salah satu
kebijaksanaan lokal yakni “titong kudut jintot ba weki, agu palong du salang lako” yakni menuntun
ke hal/tujuan yang baik dan benar. Lebih lanjut, terdapat sebuah pepatah dalam budaya Manggarai
yakni “Neka Daku Ngong Data” yaitu jangan menghakimi milik orang lain sebagai milikmu atau
dengan kata lain jangan mencuri. Dua kearifan lokal ini memiliki kaitan yang erat dengan hal positif
di atas yakni menuntun peserta didik kearah yang baik dan benar, mampu mengandalkan kekuatan
diri agar tidak memilih jalan pintas dengan “mencuri” karya orang lain.
Alasan Kelompok kami memilih hal positif ini adalah bahwa kemerdekaan berpendapat di dalam
konteks pembelajaran patut dijunjung tinggi. Gagasan dan ide dari setiap peserta didik wajib
dihormati dan dijaga kemurniannya. Kemunculan plagiarisme dalam pendidikan tentu meresahkan.
Dengan demikian guru wajib menuntun siswa agar memiliki rasa percaya diri yang tinggi dalam
mengemukakan pikiran.
Tantangan yang kami hadapi terkait poin ini adalah kesiapan siswa secara mental untuk melepaskan
diri dari kebiasaan plagiarisme. Solusinya adalah, dengan komunikasi yang efektif pada budaya
titong, kami terus berupaya mengingatkan peserta didik untuk berani berdiri di atas kaki sendiri
2
Kelompok A-3
c. Pendidikan tidak boleh dimaknai sebagai paksaan, tuntunan tidak boleh dimaknai sebagai
pembatasan kodrat. Kita harus paham bahwa tumbuh dan kembang anak didik itu berada di
luar kehendak guru. Dalam budaya Manggarai terdapat sebuah nasihat “Weri Latung Gok Latung,
Weri Woja Ako Woja” yang maknanya adalah apa yang ditanam, itulah yang dituai. Kaitannya dengan
poin ini adalah bahwa guru tidak boleh bermimpi bahwa peserta didik akan menjadi seperti apapun
Alasan Kelompok Kami memilih hal positif ini yaitu setelah memahami filosofi pendidikan
KHD, kami sadar bahwa terkadang dalam proses pembelajaran, dengan atau tanpa sengaja, kami guru
memaknai pemberian tuntunan kepada peserta didik sebagai “pemaksaan kehendak”. Sehingga hal
positif ini menjadi teguran yang jika dikaitkan dengan nasihat Manggarai, memberikan pesan untuk
menjunjung tinggi kodrat anak. “Menanam benih padi maka akan menuai padi.”
Tantangan yang kami hadapi adalah perubahan pola kebiasaan “lama” dalam pembelajaran
menuju pola yang memerdekakan peserta didik dalam proses pembelajaran membutuhkan komitmen
yang tinggi dan dukungan lingkungan kerja yang gotong-royong dalam melakukan pembaharuan
positif. Sebagai solusi, yang kami lakukan baik secara kolektif maupun individual adalah
meningkatkan kompetensi, belajar dari contoh penerapan merdeka belajar di sekolah lain, saling
3
Kelompok A-3
Menuntun peserta didik agar percaya diri, mampu berpendapat berdasarkan ide sendiri
Alasannya adalah issue plagiarisme yang terjadi hampir di setiap satuan pendidikan saat ini masih
membutuhkan perhatian yang serius. Contoh praktis yang bisa diangkat adalah situasi belajar di
masa pendemi, di mana dalam menyelesaikan tugas mandiri baik melalui daring maupun luring,
ditemukan banyak hasil pekerjaan siswa yang jauh dari ide-ide otentik. Referensi dari sumber
belajar elektronik tidak lagi melalui proses elaborasi tetapi justru dijiplak mentah-mentah.
Oleh karena itu, dengan merefleksikan hal positif di atas, mulai dari ruang kelas, guru mampu
menuntun dan menguatkan peserta didik agar berani mengandalkan kecakapannya untuk