Anda di halaman 1dari 45

IDENTIFIKASI BAKTERI GRAM POSITIF SERTA PENGARUHNYA

TERHADAP HISTOPATOLOGI ORGAN GINJAL PADA IKAN SAPU-


SAPU (Pterygoplichthys pardalis) DI DANAU LAPOMPAKKA DAN
DANAU SIDENRENG, KABUPATEN WAJO

PROPOSAL

DIAN ANUGRAH
C031171010

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
IDENTIFIKASI BAKTERI GRAM POSITIF SERTA PENGARUHNYA
TERHADAP HISTOPATOLOGI ORGAN GINJAL PADA IKAN SAPU-
SAPU (Pterygoplichthys pardalis) DI DANAU LAPOMPAKKA DAN
DANAU SIDENRENG, KABUPATEN WAJO

DIAN ANUGRAH

Proposal Penelitian

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Identifikasi Bakteri Gram Positif Serta


Pengaruhnya Terhadap Histopatologi Organ
Ginjal Pada Ikan Sapu–Sapu
Judul Peneltian :
(Pterygoplichthys pardalis) di Danau
Lapompakka dan Danau Sidenreng,
Kabupaten Wajo.
Bidang Studi : Kedokteran Hewan
Danau Lapompakka dan Danau Sidenreng,
Tempat Penelitian :
Kabupaten Wajo.
Peneliti
Nama : Dian Anugrah
NIM : C031171010
Program Studi : Kedokteran Hewan

Dengan Komisi Pembimbing :


No. Nama Pembimbing Status Tanda Tangan
Drh. Andi Magfira Satya Apada, M.Sc Pembimbing
1.
NIP. 19850807 201012 2 002 Utama
Dr. Drh. Dwi Kesuma Sari Pembimbing
2.
NIP.19730216 199903 2 001 Anggota

Makassar, 12 Januari 2021

Proposal ini telah diperiksa dan disetujui oleh:

Mengetahui, Peneliti
Pembimbing Utama

Drh. Andi Magfira Satya Apada, M.Sc Dian Anugrah


NIP. 19850807 201012 2 002 NIM. C031171010

Disetujui oleh,
Panitia Seminar Proposal
Program Studi Kedokteran Hewan

Drh. Andi Magfira Satya Apada, M.Sc


NIP. 19850807 201012 2 002

iii
ABSTRAK

DIAN ANUGRAH. Identifikasi bakteri gram positif serta pengeruhnya


terhadap histopatologi organ ginjal pada ikan Sapu-sapu (Pterygoplichthys
pardalis) di danau Lapompakka dan danau Sidenreng, Kabupaten Wajo.
Dibawah bimbingan ANDI MAGFIRA SATYA APADA dan DWI KESUMA
SARI

Ikan Pterygoplichthys spp biasa disebut ikan sapu-sapu yang berasal dari Sungai
Amazon di Amerika Selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi
dan mengidentifikasi jenis bakteri gram positif yang bersifat pathogen pada organ
ginjal ikan sapu–sapu (Pterygoplichthys pardalis) dan melihat perubahan
histopatologi organ ginjal ikan sapu - sapu yang teridentifikasi bakteri gram
positif pathogen di Danau Sidenreng dan Danau Lapompakka. Sampel yang
digunakan sebanyak sepuluh sampel ikan dengan masing-masing 5 sampel ikan
disetiap danau. Isolasi dan identifikasi bakteri gram positif dilakukan dengan
kultur bakteri hasil sweb organ ginjal ikan sapu-sapu pada media blood agar
dengan pewarnaan gram kemudian dilanjutkan dengan uji biokimia menggunakan
mesin Vitek 2 Campact. Hasil yang didapatkan yaitu terisolasi 4 bakteri gram
positif, satu diantaranya adalah Enterococcus faecalis yang diduga sebagai bakteri
pathogen. Pembuatan preparat histopatologi organ (ginjal) dilakukan dengan
fiksasi menggunakan neutral buffered formalin (NBF) 10%, dehidrasi
menggunakan alkohol bertingkat, embedding dengan menggunakan paraffin,
pemotongan dengan ketebalan 4 µm yang diwarnai dengan menggunakan
haematoksilin eosin kemudian diamati. Analisis data yang digunakan adalah
dekriptif kualitatif. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh kerusakan yang
terjadi pada ginjal yaitu nekrosis, infiltrasi sel radang, hemoragi, dan hypertropi
sel. Kerusakan ginjal diduga karena adanya bakteri gram positif pathogen yaitu
Enterococcus faecalis.
Kata kunci : Danau Sidenreng, Danau Buaya, ginjal, histopatologi, ikan
sapu-sapu, Enterococcus faecalis.

iv
ABSTRAK

DIAN ANUGRAH. Identification of gram-positive bacteria and their effect


on the histopathology of kidney organs in Suckermouth catfish
(Pterygoplichthys pardalis) in Lake Lapompakka and Lake Sidenreng, Wajo
Regency. Supervised by ANDI MAGFIRA SATYA APADA and DWI
KESUMA SARI

Fish Pterygoplichthys spp commonly called broom fish originating from the
Amazon River in South America. The purpose of this study was to isolate and
identify the types of gram-positive bacteria that are pathogenic in the kidney
organs of the Suckermouth catfish (Pterygoplichthys pardalis) and to observe the
histopathological changes in the kidneys of the Suckermouth catfish which
identified gram-positive pathogenic bacteria in Lake Sidenreng and Lake
Lapompakka. The samples used were ten fish samples with 5 fish samples in each
lake. Isolation and identification of gram-positive bacteria was carried out by
culturing the bacteria from the kidney organ of the Suckermouth catfish on blood
agar with gram staining, followed by biochemical tests using the Vitek 2 Campact
machine. The results obtained were isolated 4 gram-positive bacteria, one of
which was Enterococcus faecalis which was suspected as a bacterial pathogen.
Preparation of histopathological preparations of organs (kidneys) was carried out
by fixation using 10% neutral buffered formalin (NBF), dehydration using graded
alcohol, embedding using paraffin, cutting with a thickness of 4 m stained with
haematoxylin eosin and then observing. The data analysis used is descriptive
qualitative. Based on the observations, the damage that occurred in the kidney was
necrosis, inflammatory cell infiltration, hemorrhage, and cell hypertrophy. Kidney
damage is thought to be due to the presence of gram-positive pathogenic bacteria,
namely Enterococcus faecalis.
Key words: histopathology, kidney, Lake Buaya, Lake Sidenreng,
Suckermouth catfish, Enterococcus faecalis.

v
PERNYATAAN KEASLIAN

1. Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : Dian Anugrah
NIM : C031171010
Program Studi : Kedokteran Hewan
Fakultas : Kedokteran
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa :
a. Karya skripsi saya adalah asli
b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari skripsi ini, terutama dalam bab
hasil dan pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia
dibatalkan dan dikenakan sanksi akademik yang berlaku
2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan
seperlunya.

Makassar, 2021
Pembuat Pernyataan,

Dian Anugrah

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN iii


DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.3.1 Tujuan Umum 2
1.3.2 Tujuan Khusus 2
1.4 Manfaat Penelitian 2
1.4.1 Manfaat Teoritis 2
1.4.2 Manfaat Praktis 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Danau Sidenreng dan Danau Lapompakka (Buaya) 6
2.2 Ikan Sapu-Sapu (Pterygoplichthys pardalis) 7
2.2.1 Klasifikasi dan Ciri Fisik Ikan Sapu-Sapu (Pterygoplichthys pardalis) 7
2.2.2 Habitat dan Penyebaran Ikan Sapu-Sapu (Pterygoplichthys pardalis) 8
2.2 Bakteri 9
2.3.1 Definisi 9
2.3.2 Klasifikasi 9
2.3.3 Perbedaan Bakteri Gram positif dan Gram negatif 9
2.3 Ginjal 10
BAB 3 MATERI DAN METODE 14
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 14
3.2 Jenis Penelitian 14
3.3 Materi Penelitian 14
3.3.1 Sampel 15
3.3.2 Alat 15
3.3.2.1 Identifikasi Bakteri Ikan Sapu-Sapu 15
3.3.2.2 Uji Histopatologi 15

vii
3.3.3 Bahan 15
3.3.3.1 Identifikasi Bakteri Ikan Sapu-Sapu 15
3.4.3.2 Uji Histopatologi 16
3.4 Prosedur Penelitian 16
3.4.1 Kerangka Konsep Penelitian 16
3.4.2 Pengambilan Sampel 16
3.4.3 Prosedur Kerja 17
3.4.1 Pembuatan Sediaan Histologi 19
3.4.1 Pengamatan Mikroskop 19
3.5 Analisis Data 19
DAFTAR PUSTAKA 20

viii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Ciri-ciri khas bakteri gram negatif dan gram positif pada 10
pewarnaan gram
2. Karakterisasi Morfologi Koloni Isolat ginjal ikan Sapu-sapu 18
danau Sidenreng (DS)
3. Karakterisasi Morfologi Koloni Isolate ginjal ikan Sapu-sapu 19
danau Lapompakka (DL)
4. Hasil identifikasi bakteri oleh alat vitek 2 Compact pada 21
sampel ginjal ikan Sapu-sapu danau Sidenreng
5. Hasil identifikasi bakteri oleh alat vitek 2 Compact pada 22
sampel ginjal ikan Sapu-sapu danau Lapompakka
6. Gambaran histopatologi ginjal ikan Sapu-sapu danau 24
Sidenreng dan danau Lapompakka yang tridentifikasi bakteri
gram positif

ix
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Peta Lokasi Daerah Danau Buaya dan sekitarnya 7
2. Morfologi Ikan sapu-sapu (P. pardalis) (a) Ikan Jantan (b) 8
Ikan Betina
3. Skema pewarnaan gram 10
4. Ginjal Ikan 11
5. (a) Gambar skema anatomi bagian dalam ikan teleost. 1, hati; 12
2, perut; 3, usus; 4, hati; 5, swimbladder; 6, ginjal; 7, testis; 8
ureter (saluran mesonefrik); 9, saluran eferen; 10, kandung
kemih (saluran archinephric); 11, insang (b) Sebuah montase
yang menggambarkan komponen utama dari nefron
glomerulus teleost
6. Histopatologi Ginjal Ikan Gurami (O. gouramy) dengan 13
Pewarnaan H-E (Perbesaran 400x)
7. Peta Lokasi Daerah Danau Sidenreng dan sekitarnya 14
8. Kerangka konsep prosedur identifikasi bakteri 14
9. Kerangka konsep prosedur uji histopatologi organ ginjal ikan
Sapu-Sapu (Pterygoplichthys pardalis) 15
10. Morfologi koloni sampel koloni bakteri pada ginjal ikan
Sapu-Sapu pada media Blod Agar (A) Isolate DSG1, (B)
Isolate DSG2, (C) Isolate DLG1, (D) Isolate DLG2, (E)
Isolate DLG3. 18
11. Tampakan koloni bakteri dibawah mikroskop pembesaran
100x; A: Isolate DBG3b (Enterococcus faecalis), B: DSG3a
(Staphylococcus gallinarum), C: DSG1a (Bacillus sp); D:
DLG3b (Staphylococcus equorum) 21

x
1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Danau Sidenreng dan Danau Lapompakka (Buaya) adalah danau yang


dekat dengan danau Tempe. Ketiga danau ini diapit oleh tiga kabupaten yaitu
Kabupaten Wajo, Soppeng dan Sidrap. Ketiga danau tersebut saling berkaitan dan
terletak di bagian tengah Sulawesi Selatan. Danau Sidenreng memiliki luas sekitar
3000 Ha dengan tingkat kedalaman 4 m, sedangkan danau Lapompakka (Buaya)
memiliki luas sekitar 300 Ha dengan tingkat kedalaman 4 m (Husnah et al,. 2008).
Ketiga danau ini saling berhubungan terutama di musim penghujan danau
akan menyatu membentuk perairan danau yang luas sekitar 35.000 Ha (Andy
Omar, 2010), lain halnya pada musim kemarau ketiga danau ini berpisah dengan
batas-batas yang tegas (Naing et al., 2009). Karena pada dasarnya ketiga danau
menyatu di musim penghujan menyebabkan ikan-ikan yang berada di danau
tersebut juga akan menyatu, sehingga komposisi jenis iktiofauna didanau tersebut
diduga tidaklah berbeda. Salah satu jenis ikan yang dominan ditemukan adalah
ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) (Andy Omar et al., 2020, Azalia 2018,
Pratiwi 2018).
Danau Sidenreng merupakan salah satu ekosistem potensial di Sulawesi
Selatan, khususnya di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap). Hal tersebut
disebabkan Danau Sidenreng berfungsi sebagai penghasil ikan yang dimanfaatkan
oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani (Pinem et al., 2016),
dan meningkatkan pendapatan rumah tangga nelayan (Hasrianti et al., 2020).
Berbagian jenis ikan di Danau Sidenreng mulai mengalami kepunahan (Andy
Omar, 2010), salah satu dugaan yang mempengaruhi adalah keberadaan spesies
ikan sapu-sapu yang mengalami ledakan populasi (peningkatan jumlah spesies
dari tahun ke tahun) mengakibatkan ikan tersebut menjadi ancaman tersendiri bagi
populasi spesies ikan-ikan lokal yang ada.
Keberadaan ikan sapu-sapu di Danau Sidenreng dan Danau Lapompakka
banyak meresahkan masyarakat karena sangat mengganggu dan merugikan. Sejak
munculnya ikan sapu-sapu mengakibatkan ikan konsumsi lain menurun, sehingga
pendapatan nelayan juga ikut menurun (Dewi et al., 2020). Ikan ini belum banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber pangan karena ikan sapu-sapu ini
mempunyai sisik yang keras sehingga sulit dalam penanganannya (Dewi, 2019).
Selama ini sebagian besar masyarakat hanya memanfaatkannya sebagai pembersih
akuarium karena ikan sapu-sapu pemakan alga atau sisa-sisa pakan (Istanti, 2005).
Namun beberapa daerah lain sudah banyak memanfaatkan ikan sapu-sapu
sebagai bahan pangan seperti pemanfaatan ikan sapu-sapu dalam pembuatan
produk bakso ikan, otak-otak, nagget, tepung sapu-sapu, gelatin ikan dan
menghasilkan produk yang memiliki nilai gizi cukup baik serta warna cukup
menarik (Chaidir, 2001; Mahdia, 2002; Erawaty, 2001; Tiyansmainar, 2001;
Hermanto et al., 2014).
Dalam pembuatan bahan pangan berbahan dasar ikan sapu-sapu yang
aman bagi kesehatan diperlukan persyaratan-persyaratan yang sesuai standar
kesehatan, salah satunya adalah ikan tersebut bebas mengandung bahan-bahan
berbahaya dan bebas kontaminasi mikroorganisme patogen yang dapat
membahayakan manusia jika mengkonsumsinya. Mikroorganisme berupa bakteri
2

patogen baik yang bersifat gram negatif maupun gram positif semua perlu
diwaspadai. Dengan demikian sangat dibutuhkan informasi pencemaran bakteri
patogen pada ikan sapu-sapu terkhusus pada Danau Sidenreng dan juga Danau
Lapompakka (Buaya). Salah satu bakteri patogen yang sangat berbahaya adalah
Leisteria spp. Bakteri gram positif, bakteri ini bisa ditemukan pada ikan yang
hidup dilingkungan yang terkontaminasi oleh polusi dan limbah yang
menyebabkan penyakit Listeriosis (Kwantes dan Isaac, 1975 dalam Manurung dan
Susantie, 2017).
Untuk mengetahui perubahan patologi pada ikan yang terserang penyakit,
perlu dilakukan pemeriksaan histologi untuk mendeteksi adanya komponen-
komponen patogen yang bersifat infektif melalui pengamatan secara mikro
anatomi terhadap perubahan abnormal tingkat jaringan (Asniatih et al., 2013).
Oleh sebab itu, perlunya pemeriksaan histopatologi untuk mendukung hasil uji
identifikasi bakteri. Berdasarkan hal tersebut dipandang perlu dilakukan penelitian
mengenai identifikasi bakteri gram positif serta pengaruhnya terhadap
histopatologi organ ginjal pada ikan sapu–sapu (Pterygoplichthys pardalis) di
Danau Lapompakka dan Danau Sidenreng.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan maka dapat diambil


rumusan masalah sebagai berikut:
1.2.1. Apakah ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) pada danau
Lapompakka dan danau Sidenreng positif terinfeksi bakteri gram positif
patogen?

1.2.2. Apakah ada perubahan histopatologi organ ginjal ikan sapu-sapu yang
telah terinfeksi bakteri gram positif patogen?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan maka dapat diambil


tujuan penelitian sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengisolasi dan mengidentifikasi jenis bakteri gram positif pada


organ ginjal ikan sapu – sapu
1.3.2 Tujuan Khusus

Untuk mengetahui perubahan histopatologi organ ginjal ikan sapu - sapu


yang terinfeksi bakteri gram positif

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Pengembangan Ilmu Teori


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang
adanya cemaran bakteri gram positif pada ikan sapu-sapu serta
pengaruhnya terhadap organ ginjal
3

1.4.2. Manfaat Untuk Aplikasi


a. Untuk Peneliti

Melatih kemampuan meneliti dan menjadi data penunjang bagi penelitian-


penelitian selanjutnya.
b. Untuk Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan edukasi dan kontribusi dalam


pengembangan ilmu kedokteran hewan khususnya pada hewan aquatik
dalam upaya meningkatkan kesehatan hewan akuatik dan juga kesehatan
manusia

1.5 Hipotesis

Ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) yang di ambil di danau


Lapompakka dan danau Sidenreng kabupaten Wajo diduga tercemar beberapa
bakteri gram positif dan mengalami perubahan gambaran histopatologi khususnya
pada ginjal ikan.

1.6 Keaslian Penelitian


Penelitian mengenai “Identifikasi Bakteri Gram Positif Serta Pengaruhnya
Terhadap Histopatologi Organ Ginjal Pada Ikan Sapu–Sapu (Pterygoplichthys
pardalis) di Danau Lapompakka dan Danau Sidenreng, Kabupaten Wajo.” belum
pernah dilakukan, namun penelitian yang terkait yang pernah dilakukan
sebelumnya dengan lokasi dan objek yang berbeda mengenai “Histopatologi Hati
dan Ginjal Ikan Patin (Pangasionodon hypopthalmus) yang Diinjeksikan Bakteri
Aeromonas hydrophila”( (Safratilofa, 2017) dan “Deteksi Bakteri Pencemar
Lingkungan (Coliform) Pada Ikan Sapu-Sapu Asal Sungai Ciliwung” (Puspitasari
et al, 2018)
4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Danau Sidenreng dan Lapompakka (Buaya)

Terdapat tiga danau yang diapit oleh Kabupaten Wajo, Soppeng dan
Sidrap yaitu danau Sidenreng, danau Tempe dan Lapompakka yang juga biasa
disebut danau Buaya. Tiga danau tersebut saling berkaitan dan terletak di bagian
tengah Sulawesi Selatan. Danau Tempe memiliki luas danau sekitar 13.000 Ha
dengan kedalaman sekitar 5,5 m, danau Sidenreng memiliki luas sekitar 3000 Ha
dengan tingkat kedalaman 4 m, sedangkan danau Lapompakka (Buaya) memiliki
luas sekitar 300 Ha dengan tingkat kedalaman 4 m. Ketiga danau tersebut
dikategorikan rawa banjiran (Husnah et al., 2008). Ketiga danau ini memiliki
hubungan terutama di musim penghujan, dimana ketiga danau ini menyatu
membentuk perairan danau yang luas sekitar 35.000 Ha (Andy Omar, 2010), dan
kedalaman maksimum mencapai 5,5 m (Husnah et al., 2008).
Danau Sidenreng merupakan salah satu ekosistem potensial di Sulawesi
Selatan, khususnya di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap). Hal tersebut
disebabkan Danau Sidenreng berfungsi sebagai penghasil ikan yang dimanfaatkan
oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein, meningkatkan pendapatan
nelayan, dan memperluas lapangan kerja dan kesempatan kerja bagi masyarakat di
sekitar danau (Andy Omar, 2010). Pada tahun 2008 Danau Sidenreng mengalami
penurunan produksi penangkapan sebesar 312 ton dari produksi tahun 2006
sebesar 683,2 ton dengan jumlah armada penangkapan yang beroperasi sebanyak
404 buah, sedangkan untuk produksi budidaya jaring apung tahun 2005 dan 2006
sebesar 1,9 ton dan 2 ton (Febianty, 2010). Saat ini, ikan sapu-sapu telah
ditemukan di perairan D. Sidenreng (Azalia 2018, Pratiwi 2018), begitupula di D.
Buaya berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Andy Omar et al (2020) juga
menyatakan terdapat beberapa jenis ikan yang dominan pada D.Buaya salah
satunya adalah ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis).
Mulanya Danau Sidenreng, Danau Tempe, dan Danau Lapompakka
(Buaya) merupakan satu kesatuan yang disebut sistem Danau Tempe, namun
karena adanya sedimentasi yang berlangsung secara terus menerus dan terjadi
pendangkalan menyebabkan ketiga danau ini terpisah dan masing-masing
mempunyai nama tersendiri serta batas yang jelas (Kementerian Lingkungan
Hidup Republik Indonesia, 2014). Kondisi Danau Sidenreng dipengaruhi oleh
curah hujan (Irmawati, 1994). Pada saat banjir besar, air dari ketiga danau
tersebut akan menggenangi wilayah pemukiman penduduk di Kabupaten
Sidenreng Rappang, Soppeng, dan Wajo (Andy Omar et al., 2020). Pada bulan
Mei-Juli berlangsung banjir besar (probabilitas luapan melampaui elevasi muka
air rata-rata yaitu ±5,6 meter). Sebaliknya pada bulan Agustus-Desember kondisi
muka air normal atau tidak banjir karena perubahan elevasi air dibawah rata-rata.
Bulan Januari-Maret berlangsung banjir kecil dan pada bulan April berlangsung
banjir sedang. Berdasarkan kondisi tersebut, secara periodik danau tersebut
mengalami penurunan hasil produksi akibat terjadinya penurunan volume air
danau sehingga berpengaruh pada hasil tangkapan (Irmawati, 1994).
5

Gambar 1 Peta Lokasi Daerah Danau Buaya dan sekitarnya (Kementerian Lingkungan
Hidup Republik Indonesia, 2014).

2.2 Ikan Sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)

2.2.1 Klasifikasi dan Ciri Fisik Ikan Sapu-Sapu


Klasifikasi ikan sapu-sapu menurut Nelson (2006), Andy Omar (2016),
dan Froese dan Pauly (2020), adalah sebagai berikut: Filum Chordata, Subfilum
Craniata, Superkelas Gnathostomata, Kelas Actinopterygii, Subkelas Neopterygii,
Divisi Teleostei, Subdivisi Ostarioclupeomorpha (Otocephala), Superordo
Ostariophysi, Ordo Siluriformes, Superfamili Loricarioidea, Famili Loricariidae,
Subfamili Hypostominae, Genus Pterygoplichthys, Spesies Pterygoplichthys
pardalis (Castelnau, 1855). Nama lain dari ikan sapu-sapu di Sulawesi Selatan
sendiri dikenal dengan nama ikan tokek. Adapun ikan sapu-sapu yang terdapat di
D. Sidenreng dapat dilihat pada Gambar 2.
6

Gambar 2. Morfologi Ikan sapu-sapu (P. pardalis) (a) Ikan Jantan (b) Ikan Betina
(Tisasari et al., 2015).

Ikan dari anggota famili Loricariidae merupakan famili terbesar dengan


700 spesies dari famili lain (Hossain et al., 2018). Ciri-ciri morfologi ikan sapu-
sapu adalah memiliki bentuk kepala picak, tidak bersisik dan permukaan kasar.
Mata di bagian dorsal sisi atas, memiliki sepasang mata, 2 pasang lubang hidung
di depan mata. Mulut yang terletak di bagian bawah (ventral), bibir berbentuk
cakram dan memiliki sepasang sungut di sudut mulut. Semua siripnya diawali
dengan jari-jari keras kecuali sirip ekor, badan berbentuk pipih, memiliki alat
pernapasan tambahan yaitu labyrinth. Tubuh ikan sapu-sapu memanjang, ditutupi
dengan sisik yang keras dan tajam kecuali bagian ventral tubuh yang mendatar
(Tisasari et al., 2015). P. pardalis dan P. multiradiatus keduanya memiliki pola
pigmentasi ventral berupa bintik-bintik gelap yang tidak menyatu dengan warna
dasar terang, sedangkan P. disjunctivus menunjukkan pola vermikulat (seperti
cacing) dan P. anisitsi memiliki bintik terang pada warna dasar gelap (Armbruster
dan Page, 2006). P. pardalis berbeda dari P. multiradiatus karena memiliki pola
pigmentasi geometris diatas kepala, tidak seperti bintik-bintik hitam spesies
terakhir yang terdistribusi tidak teratur, tetapi kedua spesies tersebut dapat
berhibridisasi dengan Pterygoplichthys spp lainnya di Amerika Utara (Capps et
al., 2011) dan Asia (Sinha et al., 2010).
Ikan sapu-sapu jantan dan betina dibedakan melalui ukuran tubuh dan
warna papilla yaitu tubuh betina lebih besar daripada jantan, warna papilla betina
merah dan jantan putih (Pinem et al., 2016). Menurut Page dan Robins (2006),
spesies ikan sapu-sapu memiliki ciri-ciri spesifik pada bagian ventral tubuh
berupa bintik-bintik hitam atau totol yang tidak saling berhubungan. Ikan sapu-
sapu secara morfologi memiliki tubuh yang ditutupi dengan sisik keras yang
fleksibel. Bentuk kepala ikan Ordo Siluriformes adalah picak atau depressed.
Bagian abdomen memiliki pola titik-titik putih besar dengan beberapa pola
menyatu yang dilengkapi dengan mulut penghisap pada bagian bawah. Linea
lateralis jelas terlihat memanjang dari bagian belakang kepala hingga akhir batang
ekor (caudal peduncle) (Dewi, 2019).

2.2.2 Habitat dan Penyebaran Ikan Sapu-sapu


Ikan sapu-sapu atau ikan bandaraya adalah sekelompok ikan air tawar yang
berasal dari Amerika tropis yang termasuk dalam famili Loricariidae, namun tidak
semua anggota Loricariidae adalah sapu-sapu. Ikan asli Sungai Amazon ini
merupakan jenis ikan yang tahan terhadap kondisi lingkungan tercemar dengan
kemampuan adaptasi yang cepat dan dapat bertahan hidup dengan tingkat
7

toleransi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan yang kurang mendukung,


seperti kualitas air yang rendah dan perairan yang tercemar (Tisasari et al., 2015).
Ikan Sapu-sapu dapat hidup secara optimal di perairan tropis dengan kisaran pH
7-7,5 dan suhu antara 23-28ºC. Walaupun demikian, ikan ini masih dapat hidup
dengan baik pada kondisi fisika kimia perairan yang kurang baik sehingga dapat
berperan sebagai indikator lingkungan. Dalam perdagangan ikan internasional ia
dikenal sebagai plecostomus atau singkatannya, plecos dan plecs. Di Indonesia,
analogi yang sama juga dipakai tetapi alatnya yang dipakai sebagai nama (sapu)
sedangkan di Malaysia orang menyebutnya “ikan bandaraya” karena fungsinya
seperti petugas pembersih kota (“bandar”) (Susanto, 2004). Habitat asli ikan sapu-
sapu adalah sungai dengan aliran deras dan jernih, tetapi juga dapat hidup di
perairan tergenang seperti rawa dan danau.
Ikan ini juga dikenal dengan sebutan janitor fish (ikan pembersih)
(Jumawan et al., 2016). Spesies ikan sapu-sapu dari tahun ketahun juga mulai
mendominasi D. Sidenreng dan D. Lapompakka (Buaya). Salah satu hal yang
juga diduga mempengaruhi keragaman spesies ikan yang terdapat di Danau
Sidenreng adalah kehadiran spesies invasif yaitu ikan sapu-sapu
(Pterygoplichthys spp). Keberadaan spesies ikan sapu-sapu yang mengalami
ledakan populasi mengakibatkan ikan tersebut menjadi ancaman tersendiri bagi
populasi spesies ikan-ikan lokal yang ada (Hasrianti et al., 2020). Thalathiah dan
Palanisamy (2004) menyatakan bahwa jenis ikan yang terdampak dengan
kehadiran sapu-sapu adalah ikan-ikan dari famili Cyprinidae seperti ikan mas.

2.3 Bakteri

2.3.1 Definisi
Bakteri adalah organisme hidup yang berukuran mikroskopis (Irianto,
2014). Bakteri adalah mikroorganisme yang bersel satu, berkembang biak dengan
membelah diri, serta hanya dapat dilihat menggunakan mikroskop ( Dwijeseputro,
1988)
2.3.2 Klasifikasi
Bakteri dapat diklasifikasi dengan berbagai cara. Salah satu klasifikasi
yang paling umum diguakan adalah dengan menggunakan hasil pewarnaan gram.
Pewarnaan gram adalah prosedur mikrobiologi dasar untuk mendeteksi dan
mengidentifikasi bakteri. Pewarnaan ini pertama kali dikemukakan oleh ilmuwan
Denmark Hans Christian Gram (1853–1938) yang mengembangkan teknik ini
pada tahun 1884, untuk membedakan antara Pneumokokus dan bakteri Klebsiella
pneumoniae. Pewarnaan Gram atau metode Gram adalah salah satu teknik
pewarnaan yang paling penting dan luas yang digunakan untuk mengidentifikasi
bakteri. Dalam proses ini, olesan bakteri yang sudah terfiksasi dikenai larutan-
larutan berikut : zat pewarna kristal violet, larutan iodium, larutan alkohol (bahan
pemucat), dan zat pewarna tandingannya berupa zat warna safranin atau air
fuchsin (Putri dan Sukini, 2017). Bakteri yang terwarnai dengan metode ini
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu bakteri Gram Positif dan Bakteri Gram
Negatif.
2.3.3 Perbedaan Bakteri Gram positif dan Gram negatif
Bakteri gram positif adalah bakteri yang pada saat dilakukan pewarnaan
gram tubuhnya dapat menahan zat warna ungu (metilviolet, kristaviolet,
8

gentaviolet) meskipun telah didekolorisasi dengan alcohol atau aseton. Dengan


demikian tubuh bakteri itu tetap berwarna ungu meskipun disertai dengan
pengecatan oleh warna kontras. Sebaliknya bakteri yang tidak dapat menahan zat
warna setelah didekolorisasi dengan alkohol akan kembali menjadi tidak berwarna
dan bila diberikan pengecatan dengan zat warna kontras, akan berwarna sesuai
dengan zat warna kontras tersebut, bakteri yang mempertahankan reaksi semacam
ini dinamakan bakteri gram negatife (Irianto, 2014).

Gambar 3. Skema pewarnaan gram (Putri dan Sukini, 2017).

Karakteristik yang membedakan bakteri Gram positif adalah komposisi


dinding selnya – beberapa lapisan peptidoglikan bergabung bersama membentuk
struktur tebal dan kaku. Terdapat sekitar 40 lapisan peptidoglikan atau disebut
juga lapisan Murein/Mukopeptida yang merupakan 50% dari bahan dinding sel.
Sedangkan pada bakteri Gram negatif hanya ada 1 atau 2 lapisan yang merupakan
5-10% dari bahan dinding sel (Putr dan Sukini, 2017).
Table 1. Ciri-ciri khas bakteri gram negatif dan gram positif pada pewarnaan gram
(Irianto, 2014).
Bakteri Gram Positif Bakteri Gram Negatif

Sangat sensitive terhadap zat warna Kurang sensitive terhadap zat warna
trifenilmetan trifenilmetan

Sensitif terhadap penisilin Sensitif terhadap streptomisin

Resisten terhadap alkali: tidak larut Sensitif terhadap alkali: larut oleh 1 %
oleh 1 % KOH KOH

Biasanya kokus atau batang pembentuk Biasanya batang tidak berbentuk spora
spora (kecuali Lactobacillus, (kecuali Neisseria yang berbentuk
Corynebacterium). kokus)

Dapat bersifat tahan asam (acit fast) Tampaknya tidak pernah tahan asam
9

2.4 Ginjal

Ginjal ikan pada umumnya terletak antara columna vertebralis dan


gelembung renang, di atas rongga perut, di luar peritonium, di bawah tulang
punggung dan aorta dorsalis (Saladin, 2001). Ginjal adalah bagian dari organ
ekskretoris (Apriliani, 2017). Ginjal berfungsi menyaring sisa-sisa metabolisme
untuk dibuang dalam bentuk urin. Ginjal merupakan organ ekskresi pada semua
hewan vertebrata. Ginjal mensekresi produk metabolisme seperti amonia dan
mempunyai fungsi penting dalam memelihara homeostasis. Unit ginjal yang
digunakan sebagai organ ekskresi adalah nephron. Sebuah nephron tersusun dari
badan malphigi dan saluran kemih. Badan malphigi terdiri dari glomerolus dan
kapsul bowman. Badan malphigi dihasilkan urin sederhana. Waktu urin sederhana
melewati saluran kemih, bahan-bahan penting diserap kembali dan bahan-bahan
tidak penting mengalir keluar dari tempat ini (Safratilofa, 2017).
Ginjal ikan merupakan organ yang terdiri atas campuran hemopoetik,
retikuloendotelial, endokrin, dan bagian ekskretoris (Saladin, 2001). Warna ginjal
dalam keadaan normal umumnya merah kehitaman. Secara umum, struktur
histologi ginjal terdiri atas glomerulus, tubulus, dan pembuluh darah (McGavin
dan Zachary, 2006). Struktur jaringan ginjal ini menurut Martinez (2017) yang
menyatakan bahwa pada ginjal ikan normal terlihat adanya kapsula Bowman dan
glomerulus.

Gambar 4. Ginjal ikan (Andy Omar, 2019).

Ginjal berjumlah sepasang, berbentuk ramping dan memanjang (Gambar


4) dengan warna merah tua, terletak di bagian atas rongga perut dan di bawah
tulang punggung (Andy Omar, 2016). Hasil buangan berupa urine yang dihasilkan
oleh ginjal dialirkan melalui sepasang ureter (ductus mesonephridicus) yang
berjalan di pinggiran rongga badan sebelah dorsal menuju ke belakang. Di ginjal
glomerulus, urin dibentuk melalui efek interaktif ultrafiltrasi, reabsorpsi air dan
zat terlarut, serta sekresi. Strategi ini memungkinkan fleksibilitas yang tinggi
dalam komposisi kimiawi urin akhir yang diekskresikan karena urin primer
(ultrafiltrasi) dapat dimodifikasi secara ekstensif dan bervariasi dengan reabsorpsi
dan sekresi (Martinez, 2017).
10

Gambar 5. (a) Gambar skema anatomi bagian dalam ikan teleost. 1, hati; 2, perut;
3, usus; 4, hati; 5, swimbladder; 6, ginjal; 7, testis; 8 ureter (saluran
mesonefrik); 9, saluran eferen; 10, kandung kemih (saluran
archinephric); 11, insang (b) Sebuah montase yang menggambarkan
komponen utama dari nefron glomerulus teleost (Martinez, 2017).
Pemeliharaan ikan dalam akuarium dapat memberikan kepuasan tersendiri
bagi sebagian orang. Dalam kapasitas yang besar, memelihara dan
membudidayakan ikan juga menjadi aspek penting dalam menunjang
pertumbuhan ekonomi. Namun, ada beberapa hal yang dapat mengganggu baik
dalam aspek ekonomi, ekologi, dan kesehatan salah satunya adalah penyakit ikan
yang bersifat zoonosis (Darmawan dan Rohaendi, 2014). Penyakit zoonosis
adalah penyakit dan infeksi agen yang secara alami ditularkan antara hewan
vertebrata dan manusia. Beberapa penyakit zoonosis diketahui berasal dari ikan
baik ikan hidup, ikan segar, maupun produk olahannya. Penyakit zoonosis pada
ikan umumnya berasal dari golongan bakteri, parasit, serta jamur. Agen pembawa
penyakit dari golongan bakteri antara lain penyakit bakterial yang mungkin
menyerang ikan air tawar antara lain Aeromonas hydrophila, A. salmonicida,
Pseudomonas anguilliseptica, Streptococcus agalactiae, S. iniae, Vibrio sp.,
Edwardsiella tarda, E. ictaluri, Mycobacterium sp., Yersinia sp., dan
Acinetobacter sp (Murwantoko et al., 2013).
Patologi merupakan studi penyakit mencakup fungsional dan perubahan
morfologi serta reaksi yang berkambang pada organisme akibat adanya infeksi
patogen (Plum. 1994, dalam Safratilofa, 2017). Pemeriksaan histopatologi pada
ikan dapat memberikan gambaran perubahan jaringan yang terinfeksi patogen dan
11

untuk mendeteksi adanya komponen-komponen patogen yang bersifat infektif


melalui pengamatan secara mikro terhadap perubahan abnormal di tingkat
jaringan. Jaringan yang bisa dijadikan indikator pengamatan adalah ginjal dan hati
(Sukenda et al., 2008).
Salah satu bakteri yang dapat menyerang ginjal adalah bakteri A.
hydrophila yang masuk kedalam darah dengan mudah mencapai organ-organ
penting pada ikan seperti pada sinusoid ginjal. Selanjutnya ginjal akan
dimanfaatkan oleh bakteri sebagai tempat memperbanyak diri, serta mengambil
nutrisi yang ada disekitarnya untuk proses metabolisme (Sukenda et al,. 2008).
Menurut Latifah et al (2014) dari pengamatan histopatologi ginjal, ikan gurami
yang terserang “mata belo” ditemukan beberapa kerusakan jaringan seperti
kongesti, nekrosis dan degenerasi pada ginjal (Gambar 6A).

Keterangan : (A) Jaringan ginjal ikan gurami sakit, (B) Jaringan ginjal ikan
normal, Kongesti (k), Nekrosis (ne), Degenerasi (de), Tubulus distal (td).

Gambar 6. Histopatologi Ginjal Ikan Gurami (O. gouramy) dengan Pewarnaan H-


E (Perbesaran 400x) (Latifah et al., 2014)
12

BAB 3 MATERI DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini akan berlangsung dari bulan Februari-Maret 2021 yang
meliputi kegiatan pengambilan sampel ikan di dua danau yaitu Danau Sidenreng
yang berlokasi di Kelurahan Wette'e, Kecamatan Panca Lautang, Kabupaten
Sidrap dan Danau Buaya yang berlokasi di Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten
Wajo. Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Dinas Kesehatan
Kota Makassar dan Laboratorium Klinik Hewan Pendidikan Universitas
Hasanuddin.

Gambar 7. Peta Lokasi Daerah Danau Sidenreng dan sekitarnya (Hasrianti et al.,
2020).

3.2 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian analisis deskriptif data primer


yaitu dengan mengumpulkan informasi dan meninjau lokasi yang diperlukan
sesuai dengan hipotesis. Satu stasiun di Danau Sidenreng dan Danau Buaya
dipilih yang kemungkinan telah tercemar bakteri gram positif. Kemudian
dilakukan analisis dengan alat Vitek MS dan objek dari hasil pengamatan
dideskripsi untuk mencapai kesimpulan.
13

3.3 Materi Penelitian

3.3.1 Sampel
Sampel yang digunakan masing-masing 1 ekor ikan sampel dari masing-
masing danau, sehingga total sampel sebanyak 2 ekor ikan. Ikan ditangkap dengan
menggunakan alat tangkap jebba. Sampel yang dikumpulkan kemudian dilakukan
nekropsi untuk pemisahan organ ginjal. Setelah itu, sampel organ dibagi menjadi
dua bagian. Masing-masing dibawa ke Laboratorium Dinas Kesehatan Kota
Makassar untuk dilakukan identifikasi bakteri dan laboratorium Klinik Hewan
Pendidikan Universitas Hasanuddin untuk melihat gambaran kerusakan
histopatologinya.

3.3.2 Alat
3.3.2.1 Identifikasi Bakteri Gram Positif
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah wadah steril (box),
autoclave (OSK 6500, ALP Co. Lts), cawan petri, tabung reaksi (Pyrex), Bunsen,
Mikroskop cahaya (Olympus corporation, Jepang), korek api, mikropipet, pipet
tetes, inkubator (Inkubator IG150, Jouan, Perancis), rak tabung reaksi, spidol,
Vitek MS, cool box, lemari pendingin (Panasonic Healthcare Co. Ltd, Jepang),
vortek (Labinco L46), calibrated loops, inoculation loop, filter pipette tips dan
object glass,

3.3.2.2 Uji Histopatologi


Alat yang digunakan Untuk uji histopatologi adalah alat bedah nekropsi
(gunting bedah, pisau bedah, pinset sirurgis, pinset anatomis), mikroskop,
penggaris, kamera, spoit, botol sampel, kertas label, tissue, gelas ukur, tissue
cassette, seperangkat alat untuk pewarnaan hematoksilin-eosin (HE), object glass,
kuas kecil, cover glass, incubator, mikrotom, dan pisau mikrotom.

3.3.3 Bahan
3.3.3.1 Identifikasi Bakteri Gram Positif
Bahan yang digunakan untuk identifikasi bakteri gram positif dalam
penelitian ini adalah sampel ikan sapu-sapu, NaCl (PH 7 ), aquadest, Blood Agar
(BA), Brain Heart Infusion Broth (BHIB), crystal violet, lugol/iodine, alkohol
96%, safranin, minyak emersi, Vitek MS-DS target slides, dan reagen matriks.

3.3.3.2 Uji Histopatologi


Bahan-bahan yang digunakan untuk uji histopatologi adalah organ ginjal
ikan sapu-sapu yang positif teridentifikasi bakteri gram positif, formalin 10%,
alkohol seri (70%, 80%, 90%, 95%, 100%), xylol, parafin, aquadest,
hematoksilin, dan eosin.
14

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Kerangka Konsep Prosedur Penelitian


3.4.1.1 Kerangka Konsep Prosedur Identifikasi Bakteri
Persiapan sampel

Penyuburan pada
media BHIB

Kultur bakteri pada


media Blood Agar

Identifikasi bakteri menggunakan mesin


Vitek MS

Gambar 8. Kerangka konsep prosedur identifikasi bakteri

3.4.1.2 Kerangka Konsep Prosedur Uji Histopathologi Organ Ginjal Ikan


Sapu-Sapu

Organ target

Fiksasi menggunakan formalin 10% minimal 24 jam

Dehidrasi dan Clearing pada automatic tissue processor

Penanaman dalam paraffin (embedding)

Pemotongan jaringan organ

Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin (H&E)


15

Penutupan (Covering)

Pemngamatan menggunakan mikroskop

Gambar 9. Kerangka konsep prosedur uji histopatologi organ ginjal ikan Sapu-
Sapu (Pterygoplichthys pardalis)

3.4.2 Pengambilan Sampel


Pengambilan sampel ikan sapu-sapu dilakukan untuk mengisolasi dan
mengidentifikasi adanya bakteri gram positif. Sampel ikan sapu-sapu yang
diambil dari Danau Sidenreng dan Danau Buaya. Setelah diambil Sampel
dilakukan nekropsi pada organ target untuk melakukan pengujian berupa
identifikasi bakteri gram positif. Selanjutnya, sebagian sampel organ dibawa ke
laboratorium Klinik Hewan Pendidikan Universitas Hasanuddin untuk melihat
gambaran kerusakan histopatologinya.
3.4.3 Prosedur kerja
3.4.3.1 Identifikasi Bakteri Gram Positif
Identifikasi bakteri gram positif dilakukan dengan beberapa tahapan yang
terdiri sebagai berikut:
1. Penyuburan bakteri pada Media Brain – Heart Infusion Broth (BHIB)
Sampel berupa 2 organ ginjal ikan sapu-sapu di swab, kemudian dilarutkan ke
dalam 9 ml larutan penyubur Brain-heart Infusion Broth (BHIB), diinkubasi pada
suhu 37°C selama 24 jam.

2. Kultur Bakteri pada Media Blood agar


Koloni bakteri yang telah tumbuh pada media BHIB selanjutnya
diinokulasikan pada media Blood agar dan diinkubasi kembali pada suhu 37°C
selama 24 jam. Koloni yang telah tumbuh pada media Blood agar kembali
dilakukan rekultur pada media Blood agar baru kemudian kembali diinkubasi
pada suhu 37°C selama 24 jam. Koloni yang telah tumbuh diamati untuk
membedakan koloni bakteri gram negative dan gram positif.

3. Identifikasi bakteri menggunakan alat Vitek MS


Koloni bakteri Gram positif diambil dari Blood agar. Koloni kemudian di
oleskan tipis pada spot Vitek MS-DS target slides menggunakan calibrated loops
ukuran 1 µl, kemudian ditetesi reagent matrik 1 µl menggunakan mikropipet.
Setelah itu dilakukan pembacaan barcode, masukkan Vitek MS-DS target slides
mesin Vitek MS. Mesin akan membaca alat slide kurang lebih 15 menit.

3.4.3.2 Pembuatan Sediaan Histologi


Pembuatan preparat histopatologi memiliki beberapa tahapan. Berikut
merupakan tahapan pembuatannya:
1. Fiksasi
Dasar dari pembuatan preparat histopatologi yang baik dimulai dengan
melakukan fiksasi yang benar pada ikan yang telah dimasukkan dalam larutan
16

formalin 10% selama 2 hari.Volume larutan formalin 10% minimal 10 kali


volume jaringan.

2. Trimming
Dilakukan nekropsi pada ikan dan memasukan organ yang telah difiksasi
jaringannya ke dalam tissue cassette.

3. Processing dan embedding


Tissue cassette dimasukkan ke dalam tissue processor sebagai tahapan
processing. Jaringan yang ada dalam tissue cassette kemudian didehidrasi dengan
memasukkan jaringan ke dalam larutan alkohol bertingkat yaitu alkohol 70%,
80%, 90%, 95%, 100%. Alkohol 70% sampai 80% masing- masing selama 1 hari.
Kemudian 90% dan 95% masing-masing 12 jam. Selanjutnya 100% (1) dan 100
% (2) masing masing 1 jam. Kemudian clearing ke dalam Xylol I dan Xylol II,
masing-masing selama 15 menit. Kemudian tahap infiltring yaitu tissue cassette
dimasukkan ke dalam parafin cair I dan II dengan suhu 56°C masing -masing
selama 1 jam. Tahapan selanjutnya adalah embedding yaitu mencetak jaringan
dalam parafin cair dengan cara spesimen diletakkan di atas cetakan lalu diisi
dengan parafin. Posisi spesimen yang akan dipotong harus menghadap ke bawah
menempel pada cetakan.Kemudian diletakkan kaset pink diatas cetakan dan
ditambahkan parafin.

4. Pemotongan
Pemotongan dilakukan dengan mikrotom dengan ketebalan 5 mμ. Potongan
jaringan kemudian ditaruh pada slide yang telah diberi aquadest dan penomoran.
Kemudian slide ditaruh di dalam inkubator bersuhu 40⁰ C selama 1 hari sebelum
diberikan pewarnaan.

5. Pewarnaan
Jaringan direndam ke dalam larutan Xylol I selama 30 menit kemudian
direndam ke dalam larutan Xylol II selama 30 menit, lalu dimasukkan ke dalam
alkohol 100% I, 100% II, 95%, 80% dan 70% secara berurut masing-masing
selama 1 menit. Selanjutnya direndam ke dalam aquadest selama 15 menit agar
pewarnaan haematoxylin eosin dapat menempel dengan baik. Kemudian
dilanjutkan dengan memasukkan sediaan ke dalam larutan pewarna eosin selama
10 menit. Langkah berikutnya adalah sediaan dimasukkan ke dalam larutan
alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, 100%, 100%, Xylol I, dan Xylol II secara berurut
masing-masing selama 1 menit kecuali Xylol I dan II masing-masing 30 menit.
Setelah itu sediaan dikeringkan. Tahap selanjutnya adalah mounting yaitu
pemberian perekat entelan sebanyak 1-2 tetes, lalu ditutup dengan kaca penutup
dengan hati-hati hingga tidak ada gelembung udara yang terbentuk, lalu disimpan
selama beberapa menit sampai zat perekat mengering dan siap diamati dengan
mikroskop.
3.4.5 Pengamatan Mikroskopik
Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop, menggunakan perbesaran lensa
subjektif 10x dan lensa objektif 4x, 10x, dan 40x. Pengamatan dan pengambilan
gambar dilakukan dengan menggunakan kamera mikroskop optilab advanced.
Preparat histologi ginjal ikan sapu-sapu kemudian diamati. Hasil pemeriksaan
17

mikroskopik dicatat lalu diolah menggunakan program komputer yang telah


tersedia untuk diberikan jawaban diagnosa definitif.

3.5 Analisis Data


Analisis data yang dilakukan secara deskriptif kualitatif, menggambarkan
bagian-bagian jaringan organ ginjal yang mengalami perubahan patologi pada
ikan sapu-sapu.
18

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Identifikasi Bakteri Gram Positif


Identifikasi bakteri gram positif dilakukan dengan cara uji biokimia
menggunakan mesin Vitek Densi CHEK Plus. Sampel yang akan dilakukan
pengujian biokimia terlebih dahulu dilakukan isolasi pada media Blood agar
untuk mendapatkan isolate bakteri yang mengarah pada ciri-ciri bakteri gram
positif yang di temukan pada media kultur bakteri.
Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa jumlah
isolat bakteri potensial gram positif dari isolasi ginjal ikan Sapu-sapu
(Pterygoplichthys pardalis) ditemukan sebanyak 7 total isolate bakteri yaitu
terdapat 4 isolate bakteri dari danau Sidenreng dan 3 isolat dari danau
Lapompakka. Hasil tersebut diperoleh setelah dilakukan uji untuk menyeleksi
seluruh isolat yang ditemukan dari ginjal ikan Sapu-sapu (Pterygoplichthys
pardalis) sehingga diperoleh isolat bakteri yang memang merupakan potensial
bakteri gram positif yaitu sebanyak 7 isolate murni.
a b C

d e

Gambar 10 . Morfologi koloni sampel koloni bakteri pada ginjal ikan Sapu-Sapu
pada media Blod Agar (A) Isolate DSG1, (B) Isolate DSG2, (C)
Isolate DLG1, (D) Isolate DLG2, (E) Isolate DLG3.
Morfologi Koloni dan Sel Bakteri Potensial Gram Positif Pada Ikan Sapu-
sapu (Pterygoplichthys pardalis)
Isolate bakteri potensial gram positif yang ditemukan dari hasil isolasi
ginjal ikan Sapu-sapu (P. pardalis) dapat dilihat dari morfologi koloni meliputi
warna, ukuran, bentuk, hemolisis dan morfologi sel bakteri. Adapun ciri-ciri
morfologi dari 7 koloni yang berhasil diisolasi dapat dilihat pada Tabel 2 dan
Tabel 3.
Tabel 2. Karakterisasi Morfologi Koloni Isolat ginjal ikan Sapu-sapu danau
Sidenreng (DS)
No. Kode Koloni Warna Ukuran Bentuk Hemoli Pewarna Morfolo
Sampel sis an Gram gi Sel
1. DSG1 a Koloni Besar Pipih β- + Bacil
putih abu melebar Hemolisa
19

b Koloni Sedang Bulat, β- - Bacil


putih abu cembung Hemolisa
c Koloni Sedang Bulat, γ- - Bacil
putih abu Cembung Hemolisa
d Koloni Kecil Cembung γ- - Coccus
putih abu Hemolisa

2. DSG2 a Koloni Besar Pipih, β- + Bacil


putih abu melebar Hemolisa

b Putih Sedang Cembung γ- - Bacil


susu bulat Hemolisa
c Putih abu Sedang Cembung γ- - Bacil
bulat Hemolisa
3. DSG3 a Putih Abu Besar Bulat, β- + Coccus
pipih, Hemolisa
melebar

b Putih abu Kecil Bulat, γ- - Bacil


Muda Cembung Hemolisa

4. DSG4 a Koloni Kecil Bulat, β- - Bacil


putih abu cembung Hemolisa
b Koloni Sedang Bulat, α- + Coccus
putih susu cembung Hemolisa

5. DSG5 a Koloni Kecil Bulat, β- - Bacil


putih abu cembung Hemolisa
b Koloni Sedang Bulat, α- - Bacil
putih susu cembung Hemolisa

Tabel 3. Karakterisasi Morfologi Koloni Isolate ginjal ikan Sapu-sapu danau


Lapompakka (DL)
No. Kode koloni Warna Ukuran Bentuk Hemoli Pewarna Morfolo
Sampel sis an Gram gi Sel
1. DLG1 a Koloni putih Kecil Bulat γ- - Cocco-
abu Hemolisa Bacil
b Koloni putih Kecil Bulat, γ- + Coccus
susu cembung Hemolisa
c Koloni putih Besar Pipih, α- - Bacil
abu melebar, Hemolisa
tidak
beraturan
20

d Koloni putih Sedang Bulat, γ- - Cocco-


abu cembung Hemolisa Bacil

2. DLG2 a Koloni Sedang Pipih, β- - Bacil


transparan melebar, Hemolisa
tidak
beraturan

b Koloni Sedang Bulat γ- - Bacil


putih susu cembung Hemolisa

3. DLG3 a Koloni putih Kecil Bulat β- - Bacil


Abu cembung Hemolisa
b Koloni putih Sedang Bulat α- + Coccus
susu cembung Hemolisa

4. DLG4 a Koloni putih Kecil Bulat, β- - Bacil


abu pipih Hemolisa
b Koloni putih Kecil Bulat, γ- - Bacil
cembung Hemolisa

5. DSG5 a Koloni putih Sedang Bulat β- - Bacil


abu Hemolisa

b Koloni putih Sedang Bulat, α- + Coccus


susu cembung Hemolisa

Pengamatan morfologi pada sel isolat bakteri potensial bakteri gram


positif yang diperoleh dari ikan Sapu-sapu (P. pardalis) perlu dilakukan dengan
pewarnaan Gram dan uji biokimia untuk mengidentifikasi spesies bakteri gram
positif tersebut. Pewarnaan gram dilakukan secara mikroskopik dengan
pembesaran 100x10 μm kemudian didapat hasil pewarnaan Gram dari ke-7 isolate
bakteri yaitu berwarna ungu yang merupakan gram positif karena mampu
mengikat kristal violet, hal ini sesuai dengan pernyataan Dwidjoseputro (2010),
bakteri Gram positif mampu mempertahankan zat warna utama dalam pewarnaan
gram, yaitu gentian violet, sehingga nampak berwarna ungu saat pengamatan
dikarenakan dinding sel kelompok bakteri ini tersusun oleh sebagian besar
peptidoglikan, yang mampu mengikat zat warna dan tidak rusak saat dicuci
dengan alkohol. Adapun 2 dari 7 isolate bakteri tersebut berbentuk basil atau
batang, sedangkan 5 diantaranya berbentuk kokus atau bulat. Hasil pewarnaan
Gram dari isolat bakteri potensial gram positif dapat dilihat pada Gambar 11.
21

A B

C D

Gambar 11. Tampakan koloni bakteri dibawah mikroskop pembesaran 100x; A:


Isolate DBG3b (Enterococcus faecalis), B: DSG3a (Staphylococcus
gallinarum), C: DSG1a (Bacillus sp); D: DLG3b (Staphylococcus
equorum)
Karakterisasi dan Identifikasi Bakteri gram positif Pada Ikan Sapu-sapu
Koloni bakteri yang telah diisolasi pada media blod agar selanjutnya diuji
menggunakan uji biokimia pada mesin Vitek 2 Compact. Vitek 2 Compact
merupakan alat bersistem otomatik tinggi (Highly Automatic System) untuk uji
pengenalan (tes identifikasi) dan kepekaan (sensitifitas) antimikroba berdasarkan
asas (prinsip) Advanced Colorimetry dan Turbidimetry. Sehingga memungkinkan
hasil pengenalan (identifikasi) dan kepekaan (sensitifitas) antimikroba selesai
dalam waktu 5–8 jam (Prihatini et al., 2018). Alat tersebut menggunakan
colorimetric reagent cards (Gram Negatif, Gram Positif dan ragi atau yeast) yang
diinkubasi dan ditafsirkan secara otomatik (Tauran et al., 2018). Hasil
pengamatan morfologi sel baik pewarnaan Gram dan uji biokimia menggunakan
mesin Vitek 2 Compact dari ke-7 isolat bakteri dapat dilihat pada Tabel 4 dan
Tabel 5.

Tabel 4 . Hasil identifikasi bakteri oleh alat vitek 2 Compact pada sampel ginjal
ikan Sapu-sapu danau Sidenreng
Jenis sampel Koloni Pewarnaan garam Jenis bakteri confidenc
e
Sampel danau DS G1a Bacilli gram Bacillus sp
Sidenreng positif
Sampel 1 DS G1b Bacilli gram - -
negatif
DS G1c Bacilli gram - -
negatif
DS G1d Bacilli gram - -
negatif
22

Sampel danau DS G2a Bacilli gram Bacillus sp 85%


Sidenreng sampel 2 positif
DS G2b Bacilli gram - -
negatif
DS G2c Bacilli gram - -
negatif
Sampel danau DS G3a Coccus gram Staphylococcus 99%
Sidenreng sampel 3 positif gallinarum
DS G3b Bacilli gram - -
positif
Danau Sidenreng DS G4a Bacilli gram - -
sampel 4 negatif
DS G4b Coccus gram Enterococcus 98%
positif faecalis
Danau Sidenreng DS G5a Bacilli gram - -
sampel 5 negatif
DS G5b Bacilli gram - -
negatif

Tabel 5. Hasil identifikasi bakteri oleh alat vitek 2 Compact pada sampel ginjal
ikan Sapu-sapu danau Lapompakka
Jenis sampel Koloni Pewarnaan garam Jenis bakteri confidence
Danau DLG1a Bacilli gram - -
Lampopakka negatif
sampel 1 DLG1b Coccus gram Staphylococcus 95%
positif equorum
DLG1c Bacilli gram - -
negatif
DLG1b Bacilli gram - -
negatif
Danau DLG2a Bacilli gram - -
Lapompakka negatif
sampel 2 DLG2b Bacilli gram - -
negatif
Danau DLG3a Bacilli gram - -
Lapompakka negatif
sampel 3 DLG3b Coccus gram Enterecoccus 98%
positif faecalis
Danau DLG4a Bacilli gram - -
Lapompakka negatif
sampel 4 DLG4b Bacilli gram - -
negatif
Danau DLG5a Bacilli gram - -
lapompakka negatif
sampel 5 DLG5b Coccus gram Enterecoccus 99%
positif faecalis
23

Hasil pembacaan mesin Vitek 2 Compact pada 4 isolate dari danau


Sidenreng teridentifikasi isolate dengan kode DSG1a dan DSG2a sama yaitu
bakteri Bacillus sp, isolate dengan kode DSG3a adalah bakteri Staphylococcus
gallinarum dan isolate DSG4b adalah bakteri Enterococcus faecalis. Adapun hasil
pembacaan isolat dari danau Lapompakka terdapat 3 isolate teridentifikasi yaitu
isolate dengan kode DLG3b dan DLG5b sama yaitu bakteri Enterecoccus faecalis
dan isolate DLG1b adalah bakteri Staphylococcus equorum.

a. Bacillus sp
Berdasarkan pengamatan karakteristik morfologi koloni bakteri Bacillus sp
pada media Blod agar di dapatkan hasil bahwa koloni bakteri ini berwarna putih
susu, bulat dan berbentuk batang (bacilli). Hal ini sesuai dengan penelitian
Feliatra et al., (2004) bahwa warna koloni kabteri Bacillus sp adalah berwarna
putih susu, bentuk koloni keseluruhan bulat, memiliki tepian yang keriput. Bentuk
sel batang dan lurus dengan ukuran 0,5-2,5 µm x 1,2-10 µm.
Bakteri Bacillus sp pada ginjal ikan sebelumnya juga pernah ditemukan oleh
Mulia et al., (2011) pada penelitiaanya yang berjudul “Isolasi, Karakterisasi, dan
Identifikasi Bakteri Pada Lele Dumbo Yang Terserang Penyakit di Kabupaten
Banyumas”. Bakteri Bacillus sp sendiri merupakan bakteri yang dapat ditemukan
di bermacam-macam habitat karena sangat resisten pada kondisi ekstrim baik di
tanah, air dan pencernaan hewan (Holt et al., 1994 dalam Feliatra, 2004). Bacillus
sp juga merupakan saprofit ringan yang tidak berbahaya dalam tubuh (Mulia et
al., 2011). Serta merupakan mikroorganisme non-patogen dan tidak beracun tanpa
efek samping yang tidak diinginkan bila diberikan pada organisme akuatik
sebagai probiotik (Farzanfar, 2006). Sehingga dengan kata lain dapat diketahui
bahwa Bacillus sp tidak menimbulkan kerusakan pada organ inangnya. Menurut
Flores dan Torda, (2011) Bacillus sp dapat memodifikasi komposisi bakteri dalam
saluran pencernaan hewan akuatik, air, dan sedimen, serta dapat digunakan untuk
suplemen pakan yang dapat meningkatkan kesehatan inang dan berperan sebagai
agen biokontrol selain it menurut Hong et al., (2004) Bacillus merupakan salah
satu jenis bakteri yang banyak dimanfaatkan sebagai probiotik dalam akuakultur
karena kemampuannya menghasilkan enzim dan komponen antimikroba yang
dapat menghambat bakteri pathogen.

b. Enterecoccus faecalis
Pada isolate DSG4b, DLG3b dan DLG5b diketahui merupakan bakteri
Enterecoccus faecalis. Bakteri ini merupkana satu-satunya bakteri yang
ditemukan pada sampel kedua danau yaitu danau Sidenreng dan danau
Lapompakka. E. faecalis memiliki ciri-ciri morfologi pada Blod agar adalah
berwarna putih susu, sedang dan bulat cembung, hasil pewarnaan memperlihatkan
berbentuk coccus berpasangan. Hal ini juga sesuai menurut Evans et al., (2002)
yang mengatakan Enterococcus faecalis merupakan bakteri coccus gram positif
berbentuk ovoid berdiameter antara 0,5 – 1 um yang dapat berkoloni secara rantai,
berpasangan ataupun soliter. Bakteri ini bersifat fakultatif anaerob, mempunyai
kemampuan untuk hidup dan berkembang biak dengan oksigen maupun tanpa
oksigen.
Diketahui bahwa sampel ikan sapu-sapu yang terdapat pada danau
Sidenreng dan danau Lapompaka teridentifikasi bakteri E. faecalis. Menurut
24

penelitian yang telah dilakukan oleh Arumugam et al (2017) ikan yang terpapar
atau terinfeksi positif bakteri E. faecalis memiliki ciri-ciri gejala klinis lesu, asites
perut, perubahan warna organ, nekrosis limpa dan perdarahan pada ginjal. Selain
itu bakteri E.faecalis dianggap sebagai bakteri pathogen pada ikan maupun pada
manusia (Eley, 1992), karena Enterococcus sp. pada makanan ikan yang
terkontaminasi dapat menyebabkan penyakit yang mengancam jiwa manusia
seperti endokarditis (Dahl dan Bruun, 2013), bakteremia (Stuart et al., 2006),
infeksi saluran kemih dan meningitis (Tebruegge et al., 2011) dan resistensinya
terhadap antibiotik muncul sebagai masalah utama dalam mengobati infeksi ini
(Koch et al., 2004).

c. Staphylococcus equorum
Pada isolate DLG1b danau Lapompakka teridentifikasi bakteri
Staphylococcus equorum dengan morfologi koloni berwana putih susu, bulat
cembung dan berbentuk, coccus, merupakan bakteri gram positif. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Febriyana, (2017) dimana menyatakan bakteri
Staphylococcus equorum adalah bakteri Gram positif, tidak berspora, tidak motil,
fakultatif anaerob, kemoorganotrofik, dengan dua pernapasan dan metabolisme
fermentatif. Koloni biasanya buram, bisa putih atau krem dan kadang-kadang
kuning keorangeorangean. Staphylococcus equorum adalah anggota kelompok
staphylococcus koagulase-negatif dan sering diisolasi dari produk makanan
fermentasi dan dari lingkungan pemrosesan makanan. S. Equorum berperan
penting pada pembentukan senyawa aroma selama pematangan makanan
fermentasi, terutama keju dan sosis (Irlinger et al., 2012).
Staphylococcus equorum adalah bagian dari mikrobiota normal pada kulit
dan selaput lendir manusia dan hewan, dan juga tersebar di berbagai tempat,
termasuk tanah, air, dan udara, serta berbagai bahan makanan (Coton et al.,
2010). S. equorum termasuk dalam salah satu bakteri Coagulase-Negative
Staphylococci (CNS) yang umumnya jinak tidak menimbulkan pathogen, namun
kadang bersifat oportunistik, yaitu bakteri yang dapat menjadi penyebab suatu
penyakit apabila kekebalan tubuh sedang menurun atau terdapat lingkungan yang
mendukung (Lee et al., 2018).

d. Staphylococcus gallinarum
Isolate dengan kode DSG3a pada danau Sidenreng merupakan bakteri
Staphylococcus gallinarum. Adapun morfologi koloni bakteri Staphylococcus
gallinarum yang diamati pada Blod agar adalah berwarna putih abu, bulat pipih
melebar, besar dan berbentuk coccus, hal ini sesuai dengan pernyataan dalam
buku Jawetz, Melnick & Adelberg Mikrobiologi Kedokteran edisi 23 oleh Geo
et al., (2008),yang menyatakan bahwa bakteri S. gallinarum berbentuk Coccus
nonmotil, tidak membentuk spora, Gram positif, diameter 0,5-1,8 mm; Koloni
kuning, kekuningan, atau tidak berpigmen, datar, buram, dan kering.
S. gallinarum ditemukan pada ayam dan saliva manusia dewasa sehat secara
alami. S. gallinarum secara umum tidak bersifat patogen, berdasarkan
pembuktian dengan isolasi yang dilakukan dari darah pasien pengidap hepatitis B
akut dan pasien infeksi mata (endophthalmitis) di rumah sakit. Kemampuan
infeksi S. gallinarum tergolong rendah dan mempunyai dampak kecil pada
manusia (Yu et al., 2008). Sama halnya dengan bakteri S. equorum, S.
25

gallinarum termasuk dalam salah satu bakteri Coagulase-Negative Staphylococci


(CNS) yang umumnya jinak tidak menimbulkan pathogen, namun kadang
bersifat oportunistik (Lee et al., 2018).

4.2 Gambaran Histopatologi Ginjal Ikan Sapu-sapu (Pterygoplichthys


pardalis)
Berdasarkan hasil pengujian biokimia dengan menggunakan mesin Vitek 2
Campact dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dari 10 sampel, 5 sampel dari
danau Sidenreng dan 5 sampel dari danau Lapompakka yang telah di uji
dinyatakan bahwa terdapat 7 sampel yang positif teridentifikasi bakteri gram
positif. Dari 7 isolate terdapat 4 bakteri gram positif yang teridentifikasi. Berikut
hasil gambaran histopatologi organ ginjal ikan Sapu-sapu (Pterygoplichthys
pardalis):
Tabel 6 . Gambaran histopatologi ginjal ikan Sapu-sapu danau Sidenreng dan
danau Lapompakka yang tridentifikasi bakteri gram positif
Isolate Nama Bakteri Gambaran Histopatology
DSG1a Bacillus sp

Keterangan : Histologi Ginjal ikan Sapu-sapu Pada


Lokasi danau Sidenreng. Pewarnaan HE (Perbesaran
40x10; Bar = 10 µm). Ht: Hipertropi ; H: Hemoragi;
N: nekrosis; Ir: Infiltrasi sel.
DSG3a Staphylococcus
gallinarum

Keterangan : Histologi Ginjal ikan Sapu-sapu Pada


26

Lokasi danau Sidenreng. Pewarnaan HE (Perbesaran


40x10; Bar = 10 µm). Ht: Hipertropi ; H: Hemoragi;
N: nekrosis; Ir: Infiltrasi sel.
DLG3b Enterococcus
faecalis

Keterangan : Histologi Ginjal ikan Sapu-sapu Pada


Lokasi danau Lapompakka. Pewarnaan HE
(Perbesaran 40x10; Bar = 10 µm). Ht: Hipertropi; L:
Lisis ; H: Hemoragi; N: nekrosis; Ir: Infiltrasi sel.
DLG1b Staphylococcus
equorum

Keterangan : Histologi Ginjal ikan Sapu-sapu Pada


Lokasi danau Lapompakka. Pewarnaan HE
(Perbesaran 40x10; Bar = 10 µm). Ht: Hipertropi; L:
Lisis ; H: Hemoragi; N: nekrosis; Ir: Infiltrasi sel.
27

Gambar 12. Tampakan histopatology ginjal ikan normal (Heidel et al., 2007).
Ginjal ikan merupakan organ yang terdiri dari cmpuran hemapoetik,
retikuloendotelial, endokrin dan bagian ekskretoris. Ginjal pada ikan terletak di
luar ruang peritorium, menempel di bawah tulang punggung, memenajang dari
dekat anus kea rah depan hingga ujung rongga perut. Warna ginjal dalam keadaan
normal umumnya merah kehitaman. Secara umum, struktur histologi ginjal terdiri
dari unsur utama yaitu glomerulus, tubulus dan pembuluh darah (Mc Gavin dan
Zachary, 2007). Sel glomerulus, tidak berbentuk bulat utuh tapi berbentuk angka
enam dan kapsula bowmen terlihat rapi membungkus glomerulus( Lubis, 2014).
Menurut Peebua et al., (2006) bahwa ginjal terdiri dari banyak sel-sel dengan
glomeruli yang berkembang dengan baik dan sistem tubulus. Segmen proksimal
ditutupi oleh epitel kolumner dengan inti basal dan terletak disepanjang apices sel.
Segmen distal dipenuhi dengan kolumnar sel epitel. Diameter glomerulus lebih
besar dibandingkan dengan segmen distal, yang mengandung sel-sel epitel
kolumnar dengan inti basal.
Perubahan histologi yang umum dialami oleh ikan Sapu-sapu di danau
Sidenreng dan danau Lapompakka berupa hipertropi sel, nekrosis sel, hemoragi
dan infiltrasi sel. Perubahan histopatologi organ ginjal ikan Sapu-sapu di danau
Sidenreng dan danau Lapompakka ini termasuk tingkat kerusakan terparah
beradasarkan pola pembagian tingkat kerusakan histologi ginjal oleh Carmago
dan Martinez (2007). Sebelumnya telah diketahui bahwa terdapat bakteri
pathogen yang teridentifikasi dari kedua danau tersebut yaitu adanya bakteri
Enterococcus Faecalis yang lebih dominan sebagai bakteri pathogen.
Berdasarkan gambar 1-4 organ ginjal ikan Sapu-sapu menunjukkan adanya
kerusakan pada tubulus dan glomerulus berupa hipertropi (pembengkakan) sel
tubulus dan hipertropi glomerulus sehingga menyebabkan reduksi rongga filtrat,
lisis sel, nekrosis sel dan adanya jaringan parut (jaringan ikat). Hipertropi
glomerulus terjadi karena adanya penyumbatan senyawa yang bersifat toksik,
walaupun konsentrasinya rendah namun terkontaminasi cukup lama dalam tubuh
ikan (Takashima dan Hibiya, 1995). Lisis dan hipertropi merupakan gejala awal
nekrosis. Hal demikian berpengaruh terhadap fungsi ginjal dan metabolisme.
(Mandia et al., 2013). Hipertropi disebabkan ukuran sel membesar sehingga akan
tampak seperti glomerulus membesar. Pada struktur jaringan ginjal terlihat bahwa
sel darah berada ditempat yang tidak semestinya atau yang dikenal dengan
pendarahan/hemoragi. (Wahyuni et al., 2020).
28

Kerusakan pada dinding sel atau terhambatnya sintesis dinding sel akibat
senyawa tertentu akan mengakibatkan lisis pada sel. Semakin lama ginjal terpapar
senyawa toksik, maka jumlah sel jaringan organ ginjal yang mengalami nekrosis
semakin besar (Takashima dan Hibiya, 1995). Nekrosis adalah kematian sel-sel
atau jaringan yang menyertai degenerasi sel pada setiap kehidupan hewan dan
merupakan tahap akhir degenerasi yang irreversibel. Nekrosis dapat disebabkan
oleh trauma, agen-agen biologis (virus, bakteri, jamur, dan parasit), agen-agen
kimia atau terjadinya gangguan terhadap penyediaan darah pada suatu daerah
khusus (Plumb, 1994). Kematian sel ditandai dengan hilangnya beberapa bagian
sel yang akan nampak seperti lubang pada glomerulus (Cahyaningrum et al.,
2015). Menurut Wikiandy et al. (2013), nekrosis secara histologi ditandai dengan
terlihatnya batas-batas sel dan inti sel tidak jelas atau bahkan menghilang.
Adanya trauma, ruptur pembuluh darah atau peningkatan porositas akibat
infeksi bakteri, virus atau bahan toksik dapat menyebabkan hemoragi (plum
1994). Menurut Asnita (2011), hemoragi mengindikasikan keluarnya darah dari
pembuluh darah, baik keluar tubuh maupun ke dalam jaringan tubuh, tampak
adanya bintik hemoragi di lapisan mukosa pada organ tubuh. Ikan yang terinfeksi
biasanya dalam keadaan stress karena beberapa faktor dan menunjukkan warna
kulit yang gelap dengan hemoragik iregular yang luas pada permukaan tubuh dan
pangkal sirip. Selain itu, ikan juga menunjukkan gejala asites. Hemoragi juga bisa
disebabkan infeksi bakteri patogen.
Tampak juga infiltrasi leukosit pada organ ginjal ikan Sapu-sapu. Hal ini
diduga terjadi karena ikan mulai berespons terhadap adanya pathogen bakteri E.
faecalis dalam tubuh, sehingga terjadi infiltrasi sel leukosit dalam organ ginjal.
Mangunwardoyo et al., (2010) menyatakan bakteri yang masuk ke dalam tubuh
akan mengaktifkan respons imun dengan memproduksi polimorfonuklear leukosit,
seperti melanomakrofag, monosit, dan nautrofil yang berperan sebagai phagocyt
sel. Kehadiran leukosit tersebut menyebabkan bakteri mengeluarkan toksin
hemolisin yang mengakibatkan terjadinya ulcer dan hemoragik pada permukaan
tubuh ikan.
Kerusakan-kerusakan histopatologi ginjal ikan Sapu-sapu yang telah
diamati sejalan dengan pendapat dari Arumugam et al (2017) ikan yang terpapar
atau terinfeksi positif bakteri E. faecalis memiliki salah satu ciri-ciri gejala klinis
yaitu perdarahan/hemoragi pada ginjal. Pendarahan terjadi karena diduga karena
adanya ruptur pembuluh darah atau peningkatan porositas akibat infeksi bakteri
pathogen seperti E. faecalis. Pendarahan pada ginjal ikan sapu-sapu yang
terinfeksi positif bakteri E. faecalis yaitu pada sampel danau Sidenreng isolate
DSG4b dan danau Lapompakka isolate DLG3b dan DLG5b.
29

5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah diperoleh hasil pengamatan


menunjukkan bahwa:
a) Terdapat tiga bakteri berbeda yang teridentifikasi sebagai bakteri gram positif
pada ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) danau Sidenreng yaitu
Bacillus sp, Staphylococcus gallinarum dan Enterococcus faecalis sedangkan
pada danau Lapompakka hanya teridentifikasi satu jenis bakteri gram positif
yaitu Enterococcus faecalis
b) Hanya ada satu bakteri gram positif yang sama ditemukan pada danau
Sidenreng dan danau Lapompakka yaitu bakteri Enterococus faecalis, yang
juga diduga merupakan bakteri pathogen pada ikan.
c) Perubahan mikroanatomi yang terjadi pada organ ginjal yaitu nekrosis,
infiltrasi sel radang, hemoragi, hypertropi.

5.2 Saran
30

Saran dari penelitian ini adalah masyarakat lebih berhati-hati dalam


mengonsumsi makanan yang mengandung bakteri patogen karena berbahaya bagi
tubuh. Selain itu, Pemerintah diharap dapat memberikan perhatian khusus untuk
mengantisipasi cemaran lingkungan air di D. Sindenreng dan D. Buaya agar tidak
terjadi pencemaran mikroba berbahaya untuk masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Apriliani, N. S. (2017, October). Anatomical and Histological Structure of Black Pomfret


Fish Kidney (Formio niger). In Proceeding International Conference on Science
and Engineering (Vol. 1, pp. 71-74).
Andy Omar, S. Bin. (2010). Aspek reproduksi ikan nilem Osteochilus vittatus
(Valenciennes, 1842) di Danau Sidenreng, Sulawesi Selatan. Jurnal Iktiologi
Indonesia, 10(2), 111-122.
Andy Omar, S., Parore, R., Rahim, S. W., Parawansa, B. S., & Umar, M. T. (2020).
Ichthyofauna of Lake Buaya, South Sulawesi. Habitus Aquatica, 1(2), 21.
Andy Omar, S. Bin. (2016). Dunia Ikan. Cetakan kedua. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Andy Omar, S. Bin. (2019). Modul Praktikum Iktiologi Fungsional. Universitas
Hasanuddin. Makassar.
Armbruster, J. W., & Page, L. M. (2006). Redescription of Pterygoplichthys punctatus
and description of a new species of Pterygoplichthys (Siluriformes:
Loricariidae). Neotropical Ichthyology, 4(4), 401-410.
Arumugam, U., Stalin, N., & Rebecca, G. P. (2017). Isolation, molecular identification
and antibiotic resistance of Enterococcus faecalis from diseased Tilapia. Int. J.
Curr. Microbiol. Appl. Sci, 6(6), 136-146.
31

Asniatih, M. I., & Sabilu, K. (2013). Studi histopatologi pada ikan lele dumbo (Clarias
gariepinus) yang terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila. Jurnal Mina Laut
Indonesia, 3(12), 13-21.
Asnita. 2011. Identifikasi cacing parasitik dan perubahan histopatologi pada ikan bunglon
batik jepara (Crytocentrus leptocephalus) dari kepulauan seribu. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan).
Azalia, S. (2018). Hubungan Panjang-Bobot dan Faktor Kondisi Ikan Sapu-sapu
(Pterygoplichthys multiradiatus) di Danau Sidenreng, Kabupaten Sidenreng
Rappang, Sulawesi Selatan. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Capps, K. A., Nico, L. G., Mendoza‐Carranza, M., Arévalo ‐Frías, W., Ropicki, A. J.,
Heilpern, S. A., & Rodiles‐Hernández, R. (2011). Salinity tolerance of non ‐native
suckermouth armoured catfish (Loricariidae: Pterygoplichthys) in south ‐eastern
Mexico: implications for invasion and dispersal. Aquatic Conservation: Marine
and Freshwater Ecosystems, 21(6), 528-540.
Cahyaningrum, D., & Haditomo, A. H. C. (2015). Pengaruh Perendaman Ekstrak Daun
Ceremai (Phyllanthus Acidus [L] Skeels) Terhadap Kelulushidupan Dan
Histopatologi Ginjal Ikan Patin (Pangasius Hypophthalmus) Yang Diinfeksi
Bakteri Aeromonas Hydrophila. Journal of Aquaculture Management and
Technology, 4(1), 40-46.
Chaidir, A. (2001). Pengaruh pencucian daging lumat (Minced Fish) ikan sapu-sapu
(hypostomus sp) terhadap kualitas minced fish dalam pembuatan bakso ikan.
Skripsi. Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor.
Coton, E., Mulder, N., Coton, M., Pochet, S., Trip, H., & Lolkema, J. S. (2010). Origin of
the putrescine-producing ability of the coagulase-negative bacterium
Staphylococcus epidermidis 2015B. Applied and environmental
microbiology, 76(16), 5570-5576.
Darmawan, B. D., & Rohaendi, O. E. (2014). Zoonosis: Infeksi penyakit ikan terhadap
manusia akibat kesalahan manajemen dan penanganan ikan maupun produk
olahannya. Journal of Aquatropica Asia, 1(1).
Dahl, A., & Bruun, N. E. (2013). Enterococcus faecalis infective endocarditis: focus on
clinical aspects. Expert review of cardiovascular therapy, 11(9), 1247-1257.
Dewi, M. (2019). Kebiasaan Makanan Ikan Sapu-sapu (Pterygoplichthys Multiradiatus
Hancock, 1828) di Perairan Danau Sidenreng, Kabupaten Sidenreng Rappang,
Sulawesi Selatan. [Skripsi]. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Dewi, M., Suwarni, S., & Omar, S. B. A. (2020). Kebiasaan Makanan Ikan Sapu-sapu
(Pterygoplichthys Multiradiatus Hancock, 1828) di Perairan Danau Sidenreng,
Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Proceeding Simposium
Nasional Kelautan dan Perikanan, (7).
Dwijeseputro. (1988). Dasar- Dasar Mikrobiologi. Djambatan: Jakarta
Eley, A. (1996). Microbial food poisoning. Springer Science & Business Media.
Erawaty, W R. (2001). Pengaruh bahan pengawet, waktu penggorengan, dan daya simpan
terhadap sifat fisik dan organoleptic produk nugget ikan sapu-sapu (Hyposascus
pardalis). Skripsi. Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan Dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Evans, M., Davies, J. K., Sundqvist, G., & Figdor, D. (2002). Mechanisms involved in
the resistance of Enterococcus faecalis to calcium hydroxide. International
endodontic journal, 35(3), 221-228.
Farzanfar, A. (2006). The use of probiotics in shrimp aquaculture. FEMS Immunology &
Medical Microbiology, 48(2), 149-158.
32

Febianty, Andi. (2010). Strategi Pengembangan Agriwisata Di Danau Sidenreng


Kabupaten Sidenreng Rappang Provinsi Sulawesi Selatan.[Skripsi]. IPB Press:
Bogor.
Febryana, M. (2017). Isolasi dan Identifikasi Bakteri Potensial Probiotik pada Saluran
Pencernaan Ikan Mas (Cyprinus carpio).
Feliatra, Efendi. I., & Suryadi, E. (2004). Isolasi dan identifikasi bakteri probiotik dari
ikan kerapu macan (Ephinephelus fuscogatus) dalam upaya efisiensi pakan
ikan. Jurnal Natur Indonesia, 6(2), 75-80.
Flores, M., & Toldra, F. (2011). Microbial enzymatic activities for improved fermented
meats. Trends in Food Science & Technology, 22(2-3), 81-90.
Hasrianti., Surianti & Muhammad Rais Rahmat Razak. (2020). Pengaruh Ledakan
Populasi Ikan Sapu-Sapu (Pterygoplichthys Spp) Terhadap Produksi Hasil
Tangkapan Jaring Insang Di Perairan Danau Sidenreng. ALBACORE Jurnal
Penelitian Perikanan Laut, 4(1), 013-019.
Hermanto, S., Hudzaifah, M. R., & Muawanah, A. (2014). Karakteristik Fisikokimia
Gelatin Kulit Ikan Sapu-Sapu (Hyposarcus pardalis) Hasil Ekstraksi
Asam. Jurnal Kimia Valensi, 4(2), 109-120.
Husnah, Tjahjo DWH, Nastiti A, Oktaviani D, Nasution SH, Sulistiono. (2008). Status
keanekaragaman hayati sumberdaya perikanan perairan umum di Sulawesi.
Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan
Riset Kelautan dan Perikanan: Jakarta.
Holtj. G., Kreig, N.R., Sneath, P.H.A., Stanley, J.T. & Williams, S.T. 1994. Bergeys
Manual Determinative Bacteriology. Baltimore: Williamn and Wilkins
Baltimore.
Hong, H. A., Duc, L. H., & Cutting, S. M. (2005). The use of bacterial spore formers as
probiotics. FEMS microbiology reviews, 29(4), 813-835.
Hossain, M. Y., Vadas, R. L., Ruiz-Carus, R., & Galib, S. M. (2018). Amazon sailfin
catfish Pterygoplichthys pardalis (Loricariidae) in Bangladesh: a critical review
of its invasive threat to native and endemic aquatic species. Fishes, 3(1), 14.
Irianto, K. (2014). Bakteriologi Mikologi dan Virologi; Panduan Medis dan Klinis.
Irmawati. (1994). Struktur Komunitas Ikan dan Aspek Biologi Ikan-ikan Dominan di
Danau Sidenreng, Sulawesi Selatan. [Skripsi]. IPB Press: Bogor.
Irlinger, F., Loux, V., Bento, P., Gibrat, J. F., Straub, C., Bonnarme, P., ... & Monnet, C.
(2012). Genome sequence of Staphylococcus equorum subsp. equorum Mu2,
isolated from a French smear-ripened cheese. Journal of bacteriology, 194(18),
5141.
Istanti, I. (2005). Pengaruh lama penyimpanan terhadap karakteristik kerupuk ikan sapu-
sapu (Hyposarcus pardalis). Skripsi. Teknologi Hasil Perikanan Fakultas
Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Jumawan, J. C., Herrera, A. A., Jumawan, J. H., & Vallejo Jr, B. (2016). Size structure
and reproductive phenology of the suckermouth sailfin catfish Pterygoplichthys
disjunctivus (Weber, 1991) from Marikina River, Philippines. ARPN Journal of
Agricultural and Biological Science, 11(1), 18-23.
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (2014). Gerakan Penyelamatan
Danau (GERMADAN). In Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
https://doi.org/10.1145/3132847.3132886
Koch, S., Hufnagel, M., Theilacker, C., & Huebner, J. (2004). Enterococcal infections:
host response, therapeutic, and prophylactic possibilities. Vaccine, 22(7), 822-
830.
Latifah, A. D., Sartijo & Prayitno, S. B. (2014). Karakterisasi Bakteri Dan Gambaran
Histopatologi Pada Ikan Gurami (Osphronemus Gouramy) Yang Terserang
Penyakit “Mata Belo”. Journal of Aquaculture Management and
Technology, 3(4), 93-100.
33

Lara-Flores, M. (2011). The use of probiotic in aquaculture: an overview. Int Res J


Microbiol, 2(12), 471-478.
Lee, J. H., Heo, S., & Jeong, D. W. (2018). Genomic insights into Staphylococcus
equorum KS1039 as a potential starter culture for the fermentation of high-salt
foods. BMC genomics, 19(1), 1-9.
Lubis, F.A. 2014. Histologi hati dan ginjal ikan baung (Mystus nemurus) sebelum dan
setelah diberi ekstrak temulawak (Curcuma xanthrorrhiza ROXB). Skripsi.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Tidak diterbitkan. 27 hlm.
Mahdia, E. (2002). Pengaruh penambahan bahan pengikat terhadap karakteristik fisik
otak-otak ikan sapu-sapu (Liposarcus pardalis). Skripsi. Teknologi Hasil
Perikanan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Martinez, CBR. (2017). The Kidney. Elsevier Inc.
Manurung, U. N., dan Susantie, D. (2018). Identifikasi bakteri patogen pada ikan Nila
(Oreochromis niloticus) di lokasi budidaya ikan air tawar Kabupaten Kepulauan
Sangihe. Budidaya Perairan, 5(3), 11-17.
Mangunwardoyo, W., Ratih, I., & Etty, R. (2010). Uji Patogenitas dan Virulensi
Aeromonas hydrophila Stainer pada Ikan Nila (Oreochromisniloticus) Melalui
Postulat Koch. Jurnal Riset Akuakultur, 5(2), 1-10.
McGavin, M. D., & Zachary, J. F. (2006). Pathologic basis of veterinary disease.
Elsevier Health Sciences.
Mulia, D. S., Maryanto, H., & Purbomartono, C. (2011). Isolasi, Karakterisasi, dan
Identifikasi Bakteri Pada Lele Dumbo Yang Terserang Penyakit di Kabupaten
Banyumas. Sainteks, 8(1).
Murwantoko, M., Rozi, R., Istiqomah, I., & Nitimulyo, K. H. (2013). Isolasi,
Karakterisasi, dan Patogenitas Bakteri Penyebab Penyakit pada Gurami
(Osphronemus goramy) di Kabupaten Bantul. Jurnal Perikanan Universitas
Gadjah Mada, 15(2), 83-90.
Naing, N., Santosa, H. R., & Soemarno, I. (2009). Kearifan Lokal Tradisional
Masyarakat Nelayan pada Permukiman Mengapung di Danau Tempe Sulawesi
Selatan. Local Wisdom: Jurnal Ilmiah Kajian Kearifan Lokal, 1(1), 19-26.
Nelson, J.S. 2006. Fishes of the World. Fourth edition. John Wily & Sons, Inc. Hoboken,
New Jersey.
Page, L. M., & Robins, R. H. (2006). Identification of sailfin catfishes (Teleostei:
Loricariidae) in southeastern Asia. The Raffles Bulletin of Zoology, 54(2), 455-
457.
Peebua, P., M. Kruatrachuea., P. Pokethitiyooka & P. Kosiyachindaa. 2006. Histological
Effect of Contaminated Sediments in Mae Klong River Tributaries, Thailand, on
Nile tilapia, Oreochromis niloticus. Science Asia. 32: 143-150.
Pinem, F. M., Pulungan, C. P., & Efizon, D. (2016). Reproductive Biology of
Pterygoplichthys Pardalis in the Air Hitam River Payung Sekaki District, Riau
Province (Doctoral dissertation, Riau University).
Plumb, J. A. (2018). Health maintenance of cultured fishes: principal microbial diseases.
CRC Press.
Pratiwi, N. (2018). Biologi Reproduksi Ikan Sapu-Sapu (Pterygoplichthys Multiradiatus
Hancock, 1828) di Perairan Danau Sidenreng, Kabupaten Sidenreng Rappang,
Sulawesi Selatan. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas
Hasanuddin. Makassar.
Prihatini, Aryati, & Hetty. (2018). Identifikasi Cepat Mikroorganisme Menggunakan Alat
Vitek-2. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory.
13(3), 129-132.
Puspitasari, R. L., Elfidasari, D., Sasaerila, Y., Qoyyimah, F. D., & Fatkhurokhim, F.
(2018). Deteksi Bakteri Pencemar Lingkungan (Coliform) Pada Ikan Sapu-Sapu
34

Asal Sungai Ciliwung. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Sains dan Teknologi, 4(1),


24-27.
Putri, H. M., & Sukini, Y. (2017). Bahan Ajar Keperawatan Gigi: Mikrobiologi. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Rahmat, M. R. (2020). PENGARUH LEDAKAN POPULASI IKAN SAPU-SAPU
(PTERYGOPLICHTHYS SPP) TERHADAP PRODUKSI HASIL
TANGKAPAN JARING INSANG DI PERAIRAN DANAU
SIDENRENG. ALBACORE Jurnal Penelitian Perikanan Laut, 4(1), 013-019.
Safratilofa, S. (2017). HISTOPATOLOGI HATI DAN GINJAL IKAN PATIN
(Pangasionodon hypopthalmus) YANG DIINJEKSI BAKTERI Aeromonas
hydrophila. Jurnal Akuakultur Sungai dan Danau, 2(2), 83-88.
Saladin, K.S. (2001). Anatomy and Physiology the Function. Second edition. University
of Wiscon Sin-Mil waukee.
Sinha, R. K., Sinha, R. K., Sarkar, U., & Lakra, W. S. (2010). First record of the southern
sailfin catfish, Pterygoplichthys anisitsi Eigenmann & Kennedy, 1903 (Teleostei:
Loricariidae), in India.
Stuart, C. H., Schwartz, S. A., Beeson, T. J., & Owatz, C. B. (2006). Enterococcus
faecalis: its role in root canal treatment failure and current concepts in
retreatment. Journal of endodontics, 32(2), 93-98.
Sukenda, L. J., Wahyuningrum, D., & Hasan, A. (2008). Penggunaan kitosan untuk
pencegahan infeksi Aeromonas hydrophila pada ikan lele dumbo Clarias
sp. Jurnal Akuakultur Indonesia, 7(2), 159-169.
Susanto DA. (2004). Pleco, Sapu-sapu Hias Eksotis. Jakarta : Penebar Swadaya.
Takashima, F., & Hibiya, T. (1995). An atlas of fish histology: normal and pathological
features.
Tauran, P. M., Handayani, I., & Sennang, N. (2013). Identifikasi Bakteri Aerob Gram
Negatif Dan Gram Positif Menggunakan Metode Konvensional Dan Otomatik.
Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical. 19(2), 105-111.
Tebruegge, M., Pantazidou, A., Clifford, V., Gonis, G., Ritz, N., Connell, T., & Curtis, N.
(2011). The age-related risk of co-existing meningitis in children with urinary
tract infection. PLoS One, 6(11), e26576.
Tisasari, M., Efizon, D., & Pulungan, C. P. (2016). Stomach content analysis of
Pterygoplichthys Pardalis from the Air Hitam River, Payung Sekaki District,
Riau Province (Doctoral dissertation, Riau University).
Tiyansmainar, H A. (2001). Pengaruh lama penggilingan frekuensi pencucian terhadap
mutu tepung ikan sapu-sapu (Fish flour). Skripsi. Teknologi Hasil Perikanan
Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Wahyuni, S., Riauwaty, M., & Windarti, W. Histopathology of Kidney of Striped Catfish
(Pangasiodon hypophthalmus) Feed with Turmeric Flour. Jurnal Perikanan dan
Kelautan, 25(3), 232-237.
Wikiandy, N. (2013). Dampak Pencemaran Limbah Industri Tekstil Terhadap Kerusakan
Struktur Organ Ikan Yang Hidup Di DAS (Daerah Aliran Sungai) Citarum
Bagian Hulu (Doctoral dissertation).
Yu, D., Chen, Y., Pan, Y., Li, H., McCormac, M. A., & Tang, Y. W. (2008).
Staphylococcus gallinarum bacteremia in a patient with chronic hepatitis b virus
infection. Annals of Clinical & Laboratory Science, 38(4), 401-404.
Zachary, J. F., & McGavin, M. D. (Eds.). (2012). Pathologic Basis of Veterinary
Disease5: Pathologic Basis of Veterinary Disease. Elsevier Health Sciences.
35

Anda mungkin juga menyukai