PROPOSAL
DIAN ANUGRAH
C031171010
DIAN ANUGRAH
Proposal Penelitian
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Mengetahui, Peneliti
Pembimbing Utama
Disetujui oleh,
Panitia Seminar Proposal
Program Studi Kedokteran Hewan
iii
ABSTRAK
Ikan Pterygoplichthys spp biasa disebut ikan sapu-sapu yang berasal dari Sungai
Amazon di Amerika Selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi
dan mengidentifikasi jenis bakteri gram positif yang bersifat pathogen pada organ
ginjal ikan sapu–sapu (Pterygoplichthys pardalis) dan melihat perubahan
histopatologi organ ginjal ikan sapu - sapu yang teridentifikasi bakteri gram
positif pathogen di Danau Sidenreng dan Danau Lapompakka. Sampel yang
digunakan sebanyak sepuluh sampel ikan dengan masing-masing 5 sampel ikan
disetiap danau. Isolasi dan identifikasi bakteri gram positif dilakukan dengan
kultur bakteri hasil sweb organ ginjal ikan sapu-sapu pada media blood agar
dengan pewarnaan gram kemudian dilanjutkan dengan uji biokimia menggunakan
mesin Vitek 2 Campact. Hasil yang didapatkan yaitu terisolasi 4 bakteri gram
positif, satu diantaranya adalah Enterococcus faecalis yang diduga sebagai bakteri
pathogen. Pembuatan preparat histopatologi organ (ginjal) dilakukan dengan
fiksasi menggunakan neutral buffered formalin (NBF) 10%, dehidrasi
menggunakan alkohol bertingkat, embedding dengan menggunakan paraffin,
pemotongan dengan ketebalan 4 µm yang diwarnai dengan menggunakan
haematoksilin eosin kemudian diamati. Analisis data yang digunakan adalah
dekriptif kualitatif. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh kerusakan yang
terjadi pada ginjal yaitu nekrosis, infiltrasi sel radang, hemoragi, dan hypertropi
sel. Kerusakan ginjal diduga karena adanya bakteri gram positif pathogen yaitu
Enterococcus faecalis.
Kata kunci : Danau Sidenreng, Danau Buaya, ginjal, histopatologi, ikan
sapu-sapu, Enterococcus faecalis.
iv
ABSTRAK
Fish Pterygoplichthys spp commonly called broom fish originating from the
Amazon River in South America. The purpose of this study was to isolate and
identify the types of gram-positive bacteria that are pathogenic in the kidney
organs of the Suckermouth catfish (Pterygoplichthys pardalis) and to observe the
histopathological changes in the kidneys of the Suckermouth catfish which
identified gram-positive pathogenic bacteria in Lake Sidenreng and Lake
Lapompakka. The samples used were ten fish samples with 5 fish samples in each
lake. Isolation and identification of gram-positive bacteria was carried out by
culturing the bacteria from the kidney organ of the Suckermouth catfish on blood
agar with gram staining, followed by biochemical tests using the Vitek 2 Campact
machine. The results obtained were isolated 4 gram-positive bacteria, one of
which was Enterococcus faecalis which was suspected as a bacterial pathogen.
Preparation of histopathological preparations of organs (kidneys) was carried out
by fixation using 10% neutral buffered formalin (NBF), dehydration using graded
alcohol, embedding using paraffin, cutting with a thickness of 4 m stained with
haematoxylin eosin and then observing. The data analysis used is descriptive
qualitative. Based on the observations, the damage that occurred in the kidney was
necrosis, inflammatory cell infiltration, hemorrhage, and cell hypertrophy. Kidney
damage is thought to be due to the presence of gram-positive pathogenic bacteria,
namely Enterococcus faecalis.
Key words: histopathology, kidney, Lake Buaya, Lake Sidenreng,
Suckermouth catfish, Enterococcus faecalis.
v
PERNYATAAN KEASLIAN
Makassar, 2021
Pembuat Pernyataan,
Dian Anugrah
vi
DAFTAR ISI
vii
3.3.3 Bahan 15
3.3.3.1 Identifikasi Bakteri Ikan Sapu-Sapu 15
3.4.3.2 Uji Histopatologi 16
3.4 Prosedur Penelitian 16
3.4.1 Kerangka Konsep Penelitian 16
3.4.2 Pengambilan Sampel 16
3.4.3 Prosedur Kerja 17
3.4.1 Pembuatan Sediaan Histologi 19
3.4.1 Pengamatan Mikroskop 19
3.5 Analisis Data 19
DAFTAR PUSTAKA 20
viii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Ciri-ciri khas bakteri gram negatif dan gram positif pada 10
pewarnaan gram
2. Karakterisasi Morfologi Koloni Isolat ginjal ikan Sapu-sapu 18
danau Sidenreng (DS)
3. Karakterisasi Morfologi Koloni Isolate ginjal ikan Sapu-sapu 19
danau Lapompakka (DL)
4. Hasil identifikasi bakteri oleh alat vitek 2 Compact pada 21
sampel ginjal ikan Sapu-sapu danau Sidenreng
5. Hasil identifikasi bakteri oleh alat vitek 2 Compact pada 22
sampel ginjal ikan Sapu-sapu danau Lapompakka
6. Gambaran histopatologi ginjal ikan Sapu-sapu danau 24
Sidenreng dan danau Lapompakka yang tridentifikasi bakteri
gram positif
ix
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Peta Lokasi Daerah Danau Buaya dan sekitarnya 7
2. Morfologi Ikan sapu-sapu (P. pardalis) (a) Ikan Jantan (b) 8
Ikan Betina
3. Skema pewarnaan gram 10
4. Ginjal Ikan 11
5. (a) Gambar skema anatomi bagian dalam ikan teleost. 1, hati; 12
2, perut; 3, usus; 4, hati; 5, swimbladder; 6, ginjal; 7, testis; 8
ureter (saluran mesonefrik); 9, saluran eferen; 10, kandung
kemih (saluran archinephric); 11, insang (b) Sebuah montase
yang menggambarkan komponen utama dari nefron
glomerulus teleost
6. Histopatologi Ginjal Ikan Gurami (O. gouramy) dengan 13
Pewarnaan H-E (Perbesaran 400x)
7. Peta Lokasi Daerah Danau Sidenreng dan sekitarnya 14
8. Kerangka konsep prosedur identifikasi bakteri 14
9. Kerangka konsep prosedur uji histopatologi organ ginjal ikan
Sapu-Sapu (Pterygoplichthys pardalis) 15
10. Morfologi koloni sampel koloni bakteri pada ginjal ikan
Sapu-Sapu pada media Blod Agar (A) Isolate DSG1, (B)
Isolate DSG2, (C) Isolate DLG1, (D) Isolate DLG2, (E)
Isolate DLG3. 18
11. Tampakan koloni bakteri dibawah mikroskop pembesaran
100x; A: Isolate DBG3b (Enterococcus faecalis), B: DSG3a
(Staphylococcus gallinarum), C: DSG1a (Bacillus sp); D:
DLG3b (Staphylococcus equorum) 21
x
1
BAB 1 PENDAHULUAN
patogen baik yang bersifat gram negatif maupun gram positif semua perlu
diwaspadai. Dengan demikian sangat dibutuhkan informasi pencemaran bakteri
patogen pada ikan sapu-sapu terkhusus pada Danau Sidenreng dan juga Danau
Lapompakka (Buaya). Salah satu bakteri patogen yang sangat berbahaya adalah
Leisteria spp. Bakteri gram positif, bakteri ini bisa ditemukan pada ikan yang
hidup dilingkungan yang terkontaminasi oleh polusi dan limbah yang
menyebabkan penyakit Listeriosis (Kwantes dan Isaac, 1975 dalam Manurung dan
Susantie, 2017).
Untuk mengetahui perubahan patologi pada ikan yang terserang penyakit,
perlu dilakukan pemeriksaan histologi untuk mendeteksi adanya komponen-
komponen patogen yang bersifat infektif melalui pengamatan secara mikro
anatomi terhadap perubahan abnormal tingkat jaringan (Asniatih et al., 2013).
Oleh sebab itu, perlunya pemeriksaan histopatologi untuk mendukung hasil uji
identifikasi bakteri. Berdasarkan hal tersebut dipandang perlu dilakukan penelitian
mengenai identifikasi bakteri gram positif serta pengaruhnya terhadap
histopatologi organ ginjal pada ikan sapu–sapu (Pterygoplichthys pardalis) di
Danau Lapompakka dan Danau Sidenreng.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.2. Apakah ada perubahan histopatologi organ ginjal ikan sapu-sapu yang
telah terinfeksi bakteri gram positif patogen?
1.5 Hipotesis
Terdapat tiga danau yang diapit oleh Kabupaten Wajo, Soppeng dan
Sidrap yaitu danau Sidenreng, danau Tempe dan Lapompakka yang juga biasa
disebut danau Buaya. Tiga danau tersebut saling berkaitan dan terletak di bagian
tengah Sulawesi Selatan. Danau Tempe memiliki luas danau sekitar 13.000 Ha
dengan kedalaman sekitar 5,5 m, danau Sidenreng memiliki luas sekitar 3000 Ha
dengan tingkat kedalaman 4 m, sedangkan danau Lapompakka (Buaya) memiliki
luas sekitar 300 Ha dengan tingkat kedalaman 4 m. Ketiga danau tersebut
dikategorikan rawa banjiran (Husnah et al., 2008). Ketiga danau ini memiliki
hubungan terutama di musim penghujan, dimana ketiga danau ini menyatu
membentuk perairan danau yang luas sekitar 35.000 Ha (Andy Omar, 2010), dan
kedalaman maksimum mencapai 5,5 m (Husnah et al., 2008).
Danau Sidenreng merupakan salah satu ekosistem potensial di Sulawesi
Selatan, khususnya di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap). Hal tersebut
disebabkan Danau Sidenreng berfungsi sebagai penghasil ikan yang dimanfaatkan
oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein, meningkatkan pendapatan
nelayan, dan memperluas lapangan kerja dan kesempatan kerja bagi masyarakat di
sekitar danau (Andy Omar, 2010). Pada tahun 2008 Danau Sidenreng mengalami
penurunan produksi penangkapan sebesar 312 ton dari produksi tahun 2006
sebesar 683,2 ton dengan jumlah armada penangkapan yang beroperasi sebanyak
404 buah, sedangkan untuk produksi budidaya jaring apung tahun 2005 dan 2006
sebesar 1,9 ton dan 2 ton (Febianty, 2010). Saat ini, ikan sapu-sapu telah
ditemukan di perairan D. Sidenreng (Azalia 2018, Pratiwi 2018), begitupula di D.
Buaya berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Andy Omar et al (2020) juga
menyatakan terdapat beberapa jenis ikan yang dominan pada D.Buaya salah
satunya adalah ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis).
Mulanya Danau Sidenreng, Danau Tempe, dan Danau Lapompakka
(Buaya) merupakan satu kesatuan yang disebut sistem Danau Tempe, namun
karena adanya sedimentasi yang berlangsung secara terus menerus dan terjadi
pendangkalan menyebabkan ketiga danau ini terpisah dan masing-masing
mempunyai nama tersendiri serta batas yang jelas (Kementerian Lingkungan
Hidup Republik Indonesia, 2014). Kondisi Danau Sidenreng dipengaruhi oleh
curah hujan (Irmawati, 1994). Pada saat banjir besar, air dari ketiga danau
tersebut akan menggenangi wilayah pemukiman penduduk di Kabupaten
Sidenreng Rappang, Soppeng, dan Wajo (Andy Omar et al., 2020). Pada bulan
Mei-Juli berlangsung banjir besar (probabilitas luapan melampaui elevasi muka
air rata-rata yaitu ±5,6 meter). Sebaliknya pada bulan Agustus-Desember kondisi
muka air normal atau tidak banjir karena perubahan elevasi air dibawah rata-rata.
Bulan Januari-Maret berlangsung banjir kecil dan pada bulan April berlangsung
banjir sedang. Berdasarkan kondisi tersebut, secara periodik danau tersebut
mengalami penurunan hasil produksi akibat terjadinya penurunan volume air
danau sehingga berpengaruh pada hasil tangkapan (Irmawati, 1994).
5
Gambar 1 Peta Lokasi Daerah Danau Buaya dan sekitarnya (Kementerian Lingkungan
Hidup Republik Indonesia, 2014).
Gambar 2. Morfologi Ikan sapu-sapu (P. pardalis) (a) Ikan Jantan (b) Ikan Betina
(Tisasari et al., 2015).
2.3 Bakteri
2.3.1 Definisi
Bakteri adalah organisme hidup yang berukuran mikroskopis (Irianto,
2014). Bakteri adalah mikroorganisme yang bersel satu, berkembang biak dengan
membelah diri, serta hanya dapat dilihat menggunakan mikroskop ( Dwijeseputro,
1988)
2.3.2 Klasifikasi
Bakteri dapat diklasifikasi dengan berbagai cara. Salah satu klasifikasi
yang paling umum diguakan adalah dengan menggunakan hasil pewarnaan gram.
Pewarnaan gram adalah prosedur mikrobiologi dasar untuk mendeteksi dan
mengidentifikasi bakteri. Pewarnaan ini pertama kali dikemukakan oleh ilmuwan
Denmark Hans Christian Gram (1853–1938) yang mengembangkan teknik ini
pada tahun 1884, untuk membedakan antara Pneumokokus dan bakteri Klebsiella
pneumoniae. Pewarnaan Gram atau metode Gram adalah salah satu teknik
pewarnaan yang paling penting dan luas yang digunakan untuk mengidentifikasi
bakteri. Dalam proses ini, olesan bakteri yang sudah terfiksasi dikenai larutan-
larutan berikut : zat pewarna kristal violet, larutan iodium, larutan alkohol (bahan
pemucat), dan zat pewarna tandingannya berupa zat warna safranin atau air
fuchsin (Putri dan Sukini, 2017). Bakteri yang terwarnai dengan metode ini
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu bakteri Gram Positif dan Bakteri Gram
Negatif.
2.3.3 Perbedaan Bakteri Gram positif dan Gram negatif
Bakteri gram positif adalah bakteri yang pada saat dilakukan pewarnaan
gram tubuhnya dapat menahan zat warna ungu (metilviolet, kristaviolet,
8
Sangat sensitive terhadap zat warna Kurang sensitive terhadap zat warna
trifenilmetan trifenilmetan
Resisten terhadap alkali: tidak larut Sensitif terhadap alkali: larut oleh 1 %
oleh 1 % KOH KOH
Biasanya kokus atau batang pembentuk Biasanya batang tidak berbentuk spora
spora (kecuali Lactobacillus, (kecuali Neisseria yang berbentuk
Corynebacterium). kokus)
Dapat bersifat tahan asam (acit fast) Tampaknya tidak pernah tahan asam
9
2.4 Ginjal
Gambar 5. (a) Gambar skema anatomi bagian dalam ikan teleost. 1, hati; 2, perut;
3, usus; 4, hati; 5, swimbladder; 6, ginjal; 7, testis; 8 ureter (saluran
mesonefrik); 9, saluran eferen; 10, kandung kemih (saluran
archinephric); 11, insang (b) Sebuah montase yang menggambarkan
komponen utama dari nefron glomerulus teleost (Martinez, 2017).
Pemeliharaan ikan dalam akuarium dapat memberikan kepuasan tersendiri
bagi sebagian orang. Dalam kapasitas yang besar, memelihara dan
membudidayakan ikan juga menjadi aspek penting dalam menunjang
pertumbuhan ekonomi. Namun, ada beberapa hal yang dapat mengganggu baik
dalam aspek ekonomi, ekologi, dan kesehatan salah satunya adalah penyakit ikan
yang bersifat zoonosis (Darmawan dan Rohaendi, 2014). Penyakit zoonosis
adalah penyakit dan infeksi agen yang secara alami ditularkan antara hewan
vertebrata dan manusia. Beberapa penyakit zoonosis diketahui berasal dari ikan
baik ikan hidup, ikan segar, maupun produk olahannya. Penyakit zoonosis pada
ikan umumnya berasal dari golongan bakteri, parasit, serta jamur. Agen pembawa
penyakit dari golongan bakteri antara lain penyakit bakterial yang mungkin
menyerang ikan air tawar antara lain Aeromonas hydrophila, A. salmonicida,
Pseudomonas anguilliseptica, Streptococcus agalactiae, S. iniae, Vibrio sp.,
Edwardsiella tarda, E. ictaluri, Mycobacterium sp., Yersinia sp., dan
Acinetobacter sp (Murwantoko et al., 2013).
Patologi merupakan studi penyakit mencakup fungsional dan perubahan
morfologi serta reaksi yang berkambang pada organisme akibat adanya infeksi
patogen (Plum. 1994, dalam Safratilofa, 2017). Pemeriksaan histopatologi pada
ikan dapat memberikan gambaran perubahan jaringan yang terinfeksi patogen dan
11
Keterangan : (A) Jaringan ginjal ikan gurami sakit, (B) Jaringan ginjal ikan
normal, Kongesti (k), Nekrosis (ne), Degenerasi (de), Tubulus distal (td).
Gambar 7. Peta Lokasi Daerah Danau Sidenreng dan sekitarnya (Hasrianti et al.,
2020).
3.3.1 Sampel
Sampel yang digunakan masing-masing 1 ekor ikan sampel dari masing-
masing danau, sehingga total sampel sebanyak 2 ekor ikan. Ikan ditangkap dengan
menggunakan alat tangkap jebba. Sampel yang dikumpulkan kemudian dilakukan
nekropsi untuk pemisahan organ ginjal. Setelah itu, sampel organ dibagi menjadi
dua bagian. Masing-masing dibawa ke Laboratorium Dinas Kesehatan Kota
Makassar untuk dilakukan identifikasi bakteri dan laboratorium Klinik Hewan
Pendidikan Universitas Hasanuddin untuk melihat gambaran kerusakan
histopatologinya.
3.3.2 Alat
3.3.2.1 Identifikasi Bakteri Gram Positif
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah wadah steril (box),
autoclave (OSK 6500, ALP Co. Lts), cawan petri, tabung reaksi (Pyrex), Bunsen,
Mikroskop cahaya (Olympus corporation, Jepang), korek api, mikropipet, pipet
tetes, inkubator (Inkubator IG150, Jouan, Perancis), rak tabung reaksi, spidol,
Vitek MS, cool box, lemari pendingin (Panasonic Healthcare Co. Ltd, Jepang),
vortek (Labinco L46), calibrated loops, inoculation loop, filter pipette tips dan
object glass,
3.3.3 Bahan
3.3.3.1 Identifikasi Bakteri Gram Positif
Bahan yang digunakan untuk identifikasi bakteri gram positif dalam
penelitian ini adalah sampel ikan sapu-sapu, NaCl (PH 7 ), aquadest, Blood Agar
(BA), Brain Heart Infusion Broth (BHIB), crystal violet, lugol/iodine, alkohol
96%, safranin, minyak emersi, Vitek MS-DS target slides, dan reagen matriks.
Penyuburan pada
media BHIB
Organ target
Penutupan (Covering)
Gambar 9. Kerangka konsep prosedur uji histopatologi organ ginjal ikan Sapu-
Sapu (Pterygoplichthys pardalis)
2. Trimming
Dilakukan nekropsi pada ikan dan memasukan organ yang telah difiksasi
jaringannya ke dalam tissue cassette.
4. Pemotongan
Pemotongan dilakukan dengan mikrotom dengan ketebalan 5 mμ. Potongan
jaringan kemudian ditaruh pada slide yang telah diberi aquadest dan penomoran.
Kemudian slide ditaruh di dalam inkubator bersuhu 40⁰ C selama 1 hari sebelum
diberikan pewarnaan.
5. Pewarnaan
Jaringan direndam ke dalam larutan Xylol I selama 30 menit kemudian
direndam ke dalam larutan Xylol II selama 30 menit, lalu dimasukkan ke dalam
alkohol 100% I, 100% II, 95%, 80% dan 70% secara berurut masing-masing
selama 1 menit. Selanjutnya direndam ke dalam aquadest selama 15 menit agar
pewarnaan haematoxylin eosin dapat menempel dengan baik. Kemudian
dilanjutkan dengan memasukkan sediaan ke dalam larutan pewarna eosin selama
10 menit. Langkah berikutnya adalah sediaan dimasukkan ke dalam larutan
alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, 100%, 100%, Xylol I, dan Xylol II secara berurut
masing-masing selama 1 menit kecuali Xylol I dan II masing-masing 30 menit.
Setelah itu sediaan dikeringkan. Tahap selanjutnya adalah mounting yaitu
pemberian perekat entelan sebanyak 1-2 tetes, lalu ditutup dengan kaca penutup
dengan hati-hati hingga tidak ada gelembung udara yang terbentuk, lalu disimpan
selama beberapa menit sampai zat perekat mengering dan siap diamati dengan
mikroskop.
3.4.5 Pengamatan Mikroskopik
Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop, menggunakan perbesaran lensa
subjektif 10x dan lensa objektif 4x, 10x, dan 40x. Pengamatan dan pengambilan
gambar dilakukan dengan menggunakan kamera mikroskop optilab advanced.
Preparat histologi ginjal ikan sapu-sapu kemudian diamati. Hasil pemeriksaan
17
d e
Gambar 10 . Morfologi koloni sampel koloni bakteri pada ginjal ikan Sapu-Sapu
pada media Blod Agar (A) Isolate DSG1, (B) Isolate DSG2, (C)
Isolate DLG1, (D) Isolate DLG2, (E) Isolate DLG3.
Morfologi Koloni dan Sel Bakteri Potensial Gram Positif Pada Ikan Sapu-
sapu (Pterygoplichthys pardalis)
Isolate bakteri potensial gram positif yang ditemukan dari hasil isolasi
ginjal ikan Sapu-sapu (P. pardalis) dapat dilihat dari morfologi koloni meliputi
warna, ukuran, bentuk, hemolisis dan morfologi sel bakteri. Adapun ciri-ciri
morfologi dari 7 koloni yang berhasil diisolasi dapat dilihat pada Tabel 2 dan
Tabel 3.
Tabel 2. Karakterisasi Morfologi Koloni Isolat ginjal ikan Sapu-sapu danau
Sidenreng (DS)
No. Kode Koloni Warna Ukuran Bentuk Hemoli Pewarna Morfolo
Sampel sis an Gram gi Sel
1. DSG1 a Koloni Besar Pipih β- + Bacil
putih abu melebar Hemolisa
19
A B
C D
Tabel 4 . Hasil identifikasi bakteri oleh alat vitek 2 Compact pada sampel ginjal
ikan Sapu-sapu danau Sidenreng
Jenis sampel Koloni Pewarnaan garam Jenis bakteri confidenc
e
Sampel danau DS G1a Bacilli gram Bacillus sp
Sidenreng positif
Sampel 1 DS G1b Bacilli gram - -
negatif
DS G1c Bacilli gram - -
negatif
DS G1d Bacilli gram - -
negatif
22
Tabel 5. Hasil identifikasi bakteri oleh alat vitek 2 Compact pada sampel ginjal
ikan Sapu-sapu danau Lapompakka
Jenis sampel Koloni Pewarnaan garam Jenis bakteri confidence
Danau DLG1a Bacilli gram - -
Lampopakka negatif
sampel 1 DLG1b Coccus gram Staphylococcus 95%
positif equorum
DLG1c Bacilli gram - -
negatif
DLG1b Bacilli gram - -
negatif
Danau DLG2a Bacilli gram - -
Lapompakka negatif
sampel 2 DLG2b Bacilli gram - -
negatif
Danau DLG3a Bacilli gram - -
Lapompakka negatif
sampel 3 DLG3b Coccus gram Enterecoccus 98%
positif faecalis
Danau DLG4a Bacilli gram - -
Lapompakka negatif
sampel 4 DLG4b Bacilli gram - -
negatif
Danau DLG5a Bacilli gram - -
lapompakka negatif
sampel 5 DLG5b Coccus gram Enterecoccus 99%
positif faecalis
23
a. Bacillus sp
Berdasarkan pengamatan karakteristik morfologi koloni bakteri Bacillus sp
pada media Blod agar di dapatkan hasil bahwa koloni bakteri ini berwarna putih
susu, bulat dan berbentuk batang (bacilli). Hal ini sesuai dengan penelitian
Feliatra et al., (2004) bahwa warna koloni kabteri Bacillus sp adalah berwarna
putih susu, bentuk koloni keseluruhan bulat, memiliki tepian yang keriput. Bentuk
sel batang dan lurus dengan ukuran 0,5-2,5 µm x 1,2-10 µm.
Bakteri Bacillus sp pada ginjal ikan sebelumnya juga pernah ditemukan oleh
Mulia et al., (2011) pada penelitiaanya yang berjudul “Isolasi, Karakterisasi, dan
Identifikasi Bakteri Pada Lele Dumbo Yang Terserang Penyakit di Kabupaten
Banyumas”. Bakteri Bacillus sp sendiri merupakan bakteri yang dapat ditemukan
di bermacam-macam habitat karena sangat resisten pada kondisi ekstrim baik di
tanah, air dan pencernaan hewan (Holt et al., 1994 dalam Feliatra, 2004). Bacillus
sp juga merupakan saprofit ringan yang tidak berbahaya dalam tubuh (Mulia et
al., 2011). Serta merupakan mikroorganisme non-patogen dan tidak beracun tanpa
efek samping yang tidak diinginkan bila diberikan pada organisme akuatik
sebagai probiotik (Farzanfar, 2006). Sehingga dengan kata lain dapat diketahui
bahwa Bacillus sp tidak menimbulkan kerusakan pada organ inangnya. Menurut
Flores dan Torda, (2011) Bacillus sp dapat memodifikasi komposisi bakteri dalam
saluran pencernaan hewan akuatik, air, dan sedimen, serta dapat digunakan untuk
suplemen pakan yang dapat meningkatkan kesehatan inang dan berperan sebagai
agen biokontrol selain it menurut Hong et al., (2004) Bacillus merupakan salah
satu jenis bakteri yang banyak dimanfaatkan sebagai probiotik dalam akuakultur
karena kemampuannya menghasilkan enzim dan komponen antimikroba yang
dapat menghambat bakteri pathogen.
b. Enterecoccus faecalis
Pada isolate DSG4b, DLG3b dan DLG5b diketahui merupakan bakteri
Enterecoccus faecalis. Bakteri ini merupkana satu-satunya bakteri yang
ditemukan pada sampel kedua danau yaitu danau Sidenreng dan danau
Lapompakka. E. faecalis memiliki ciri-ciri morfologi pada Blod agar adalah
berwarna putih susu, sedang dan bulat cembung, hasil pewarnaan memperlihatkan
berbentuk coccus berpasangan. Hal ini juga sesuai menurut Evans et al., (2002)
yang mengatakan Enterococcus faecalis merupakan bakteri coccus gram positif
berbentuk ovoid berdiameter antara 0,5 – 1 um yang dapat berkoloni secara rantai,
berpasangan ataupun soliter. Bakteri ini bersifat fakultatif anaerob, mempunyai
kemampuan untuk hidup dan berkembang biak dengan oksigen maupun tanpa
oksigen.
Diketahui bahwa sampel ikan sapu-sapu yang terdapat pada danau
Sidenreng dan danau Lapompaka teridentifikasi bakteri E. faecalis. Menurut
24
penelitian yang telah dilakukan oleh Arumugam et al (2017) ikan yang terpapar
atau terinfeksi positif bakteri E. faecalis memiliki ciri-ciri gejala klinis lesu, asites
perut, perubahan warna organ, nekrosis limpa dan perdarahan pada ginjal. Selain
itu bakteri E.faecalis dianggap sebagai bakteri pathogen pada ikan maupun pada
manusia (Eley, 1992), karena Enterococcus sp. pada makanan ikan yang
terkontaminasi dapat menyebabkan penyakit yang mengancam jiwa manusia
seperti endokarditis (Dahl dan Bruun, 2013), bakteremia (Stuart et al., 2006),
infeksi saluran kemih dan meningitis (Tebruegge et al., 2011) dan resistensinya
terhadap antibiotik muncul sebagai masalah utama dalam mengobati infeksi ini
(Koch et al., 2004).
c. Staphylococcus equorum
Pada isolate DLG1b danau Lapompakka teridentifikasi bakteri
Staphylococcus equorum dengan morfologi koloni berwana putih susu, bulat
cembung dan berbentuk, coccus, merupakan bakteri gram positif. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Febriyana, (2017) dimana menyatakan bakteri
Staphylococcus equorum adalah bakteri Gram positif, tidak berspora, tidak motil,
fakultatif anaerob, kemoorganotrofik, dengan dua pernapasan dan metabolisme
fermentatif. Koloni biasanya buram, bisa putih atau krem dan kadang-kadang
kuning keorangeorangean. Staphylococcus equorum adalah anggota kelompok
staphylococcus koagulase-negatif dan sering diisolasi dari produk makanan
fermentasi dan dari lingkungan pemrosesan makanan. S. Equorum berperan
penting pada pembentukan senyawa aroma selama pematangan makanan
fermentasi, terutama keju dan sosis (Irlinger et al., 2012).
Staphylococcus equorum adalah bagian dari mikrobiota normal pada kulit
dan selaput lendir manusia dan hewan, dan juga tersebar di berbagai tempat,
termasuk tanah, air, dan udara, serta berbagai bahan makanan (Coton et al.,
2010). S. equorum termasuk dalam salah satu bakteri Coagulase-Negative
Staphylococci (CNS) yang umumnya jinak tidak menimbulkan pathogen, namun
kadang bersifat oportunistik, yaitu bakteri yang dapat menjadi penyebab suatu
penyakit apabila kekebalan tubuh sedang menurun atau terdapat lingkungan yang
mendukung (Lee et al., 2018).
d. Staphylococcus gallinarum
Isolate dengan kode DSG3a pada danau Sidenreng merupakan bakteri
Staphylococcus gallinarum. Adapun morfologi koloni bakteri Staphylococcus
gallinarum yang diamati pada Blod agar adalah berwarna putih abu, bulat pipih
melebar, besar dan berbentuk coccus, hal ini sesuai dengan pernyataan dalam
buku Jawetz, Melnick & Adelberg Mikrobiologi Kedokteran edisi 23 oleh Geo
et al., (2008),yang menyatakan bahwa bakteri S. gallinarum berbentuk Coccus
nonmotil, tidak membentuk spora, Gram positif, diameter 0,5-1,8 mm; Koloni
kuning, kekuningan, atau tidak berpigmen, datar, buram, dan kering.
S. gallinarum ditemukan pada ayam dan saliva manusia dewasa sehat secara
alami. S. gallinarum secara umum tidak bersifat patogen, berdasarkan
pembuktian dengan isolasi yang dilakukan dari darah pasien pengidap hepatitis B
akut dan pasien infeksi mata (endophthalmitis) di rumah sakit. Kemampuan
infeksi S. gallinarum tergolong rendah dan mempunyai dampak kecil pada
manusia (Yu et al., 2008). Sama halnya dengan bakteri S. equorum, S.
25
Gambar 12. Tampakan histopatology ginjal ikan normal (Heidel et al., 2007).
Ginjal ikan merupakan organ yang terdiri dari cmpuran hemapoetik,
retikuloendotelial, endokrin dan bagian ekskretoris. Ginjal pada ikan terletak di
luar ruang peritorium, menempel di bawah tulang punggung, memenajang dari
dekat anus kea rah depan hingga ujung rongga perut. Warna ginjal dalam keadaan
normal umumnya merah kehitaman. Secara umum, struktur histologi ginjal terdiri
dari unsur utama yaitu glomerulus, tubulus dan pembuluh darah (Mc Gavin dan
Zachary, 2007). Sel glomerulus, tidak berbentuk bulat utuh tapi berbentuk angka
enam dan kapsula bowmen terlihat rapi membungkus glomerulus( Lubis, 2014).
Menurut Peebua et al., (2006) bahwa ginjal terdiri dari banyak sel-sel dengan
glomeruli yang berkembang dengan baik dan sistem tubulus. Segmen proksimal
ditutupi oleh epitel kolumner dengan inti basal dan terletak disepanjang apices sel.
Segmen distal dipenuhi dengan kolumnar sel epitel. Diameter glomerulus lebih
besar dibandingkan dengan segmen distal, yang mengandung sel-sel epitel
kolumnar dengan inti basal.
Perubahan histologi yang umum dialami oleh ikan Sapu-sapu di danau
Sidenreng dan danau Lapompakka berupa hipertropi sel, nekrosis sel, hemoragi
dan infiltrasi sel. Perubahan histopatologi organ ginjal ikan Sapu-sapu di danau
Sidenreng dan danau Lapompakka ini termasuk tingkat kerusakan terparah
beradasarkan pola pembagian tingkat kerusakan histologi ginjal oleh Carmago
dan Martinez (2007). Sebelumnya telah diketahui bahwa terdapat bakteri
pathogen yang teridentifikasi dari kedua danau tersebut yaitu adanya bakteri
Enterococcus Faecalis yang lebih dominan sebagai bakteri pathogen.
Berdasarkan gambar 1-4 organ ginjal ikan Sapu-sapu menunjukkan adanya
kerusakan pada tubulus dan glomerulus berupa hipertropi (pembengkakan) sel
tubulus dan hipertropi glomerulus sehingga menyebabkan reduksi rongga filtrat,
lisis sel, nekrosis sel dan adanya jaringan parut (jaringan ikat). Hipertropi
glomerulus terjadi karena adanya penyumbatan senyawa yang bersifat toksik,
walaupun konsentrasinya rendah namun terkontaminasi cukup lama dalam tubuh
ikan (Takashima dan Hibiya, 1995). Lisis dan hipertropi merupakan gejala awal
nekrosis. Hal demikian berpengaruh terhadap fungsi ginjal dan metabolisme.
(Mandia et al., 2013). Hipertropi disebabkan ukuran sel membesar sehingga akan
tampak seperti glomerulus membesar. Pada struktur jaringan ginjal terlihat bahwa
sel darah berada ditempat yang tidak semestinya atau yang dikenal dengan
pendarahan/hemoragi. (Wahyuni et al., 2020).
28
Kerusakan pada dinding sel atau terhambatnya sintesis dinding sel akibat
senyawa tertentu akan mengakibatkan lisis pada sel. Semakin lama ginjal terpapar
senyawa toksik, maka jumlah sel jaringan organ ginjal yang mengalami nekrosis
semakin besar (Takashima dan Hibiya, 1995). Nekrosis adalah kematian sel-sel
atau jaringan yang menyertai degenerasi sel pada setiap kehidupan hewan dan
merupakan tahap akhir degenerasi yang irreversibel. Nekrosis dapat disebabkan
oleh trauma, agen-agen biologis (virus, bakteri, jamur, dan parasit), agen-agen
kimia atau terjadinya gangguan terhadap penyediaan darah pada suatu daerah
khusus (Plumb, 1994). Kematian sel ditandai dengan hilangnya beberapa bagian
sel yang akan nampak seperti lubang pada glomerulus (Cahyaningrum et al.,
2015). Menurut Wikiandy et al. (2013), nekrosis secara histologi ditandai dengan
terlihatnya batas-batas sel dan inti sel tidak jelas atau bahkan menghilang.
Adanya trauma, ruptur pembuluh darah atau peningkatan porositas akibat
infeksi bakteri, virus atau bahan toksik dapat menyebabkan hemoragi (plum
1994). Menurut Asnita (2011), hemoragi mengindikasikan keluarnya darah dari
pembuluh darah, baik keluar tubuh maupun ke dalam jaringan tubuh, tampak
adanya bintik hemoragi di lapisan mukosa pada organ tubuh. Ikan yang terinfeksi
biasanya dalam keadaan stress karena beberapa faktor dan menunjukkan warna
kulit yang gelap dengan hemoragik iregular yang luas pada permukaan tubuh dan
pangkal sirip. Selain itu, ikan juga menunjukkan gejala asites. Hemoragi juga bisa
disebabkan infeksi bakteri patogen.
Tampak juga infiltrasi leukosit pada organ ginjal ikan Sapu-sapu. Hal ini
diduga terjadi karena ikan mulai berespons terhadap adanya pathogen bakteri E.
faecalis dalam tubuh, sehingga terjadi infiltrasi sel leukosit dalam organ ginjal.
Mangunwardoyo et al., (2010) menyatakan bakteri yang masuk ke dalam tubuh
akan mengaktifkan respons imun dengan memproduksi polimorfonuklear leukosit,
seperti melanomakrofag, monosit, dan nautrofil yang berperan sebagai phagocyt
sel. Kehadiran leukosit tersebut menyebabkan bakteri mengeluarkan toksin
hemolisin yang mengakibatkan terjadinya ulcer dan hemoragik pada permukaan
tubuh ikan.
Kerusakan-kerusakan histopatologi ginjal ikan Sapu-sapu yang telah
diamati sejalan dengan pendapat dari Arumugam et al (2017) ikan yang terpapar
atau terinfeksi positif bakteri E. faecalis memiliki salah satu ciri-ciri gejala klinis
yaitu perdarahan/hemoragi pada ginjal. Pendarahan terjadi karena diduga karena
adanya ruptur pembuluh darah atau peningkatan porositas akibat infeksi bakteri
pathogen seperti E. faecalis. Pendarahan pada ginjal ikan sapu-sapu yang
terinfeksi positif bakteri E. faecalis yaitu pada sampel danau Sidenreng isolate
DSG4b dan danau Lapompakka isolate DLG3b dan DLG5b.
29
5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
30
DAFTAR PUSTAKA
Asniatih, M. I., & Sabilu, K. (2013). Studi histopatologi pada ikan lele dumbo (Clarias
gariepinus) yang terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila. Jurnal Mina Laut
Indonesia, 3(12), 13-21.
Asnita. 2011. Identifikasi cacing parasitik dan perubahan histopatologi pada ikan bunglon
batik jepara (Crytocentrus leptocephalus) dari kepulauan seribu. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan).
Azalia, S. (2018). Hubungan Panjang-Bobot dan Faktor Kondisi Ikan Sapu-sapu
(Pterygoplichthys multiradiatus) di Danau Sidenreng, Kabupaten Sidenreng
Rappang, Sulawesi Selatan. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Capps, K. A., Nico, L. G., Mendoza‐Carranza, M., Arévalo ‐Frías, W., Ropicki, A. J.,
Heilpern, S. A., & Rodiles‐Hernández, R. (2011). Salinity tolerance of non ‐native
suckermouth armoured catfish (Loricariidae: Pterygoplichthys) in south ‐eastern
Mexico: implications for invasion and dispersal. Aquatic Conservation: Marine
and Freshwater Ecosystems, 21(6), 528-540.
Cahyaningrum, D., & Haditomo, A. H. C. (2015). Pengaruh Perendaman Ekstrak Daun
Ceremai (Phyllanthus Acidus [L] Skeels) Terhadap Kelulushidupan Dan
Histopatologi Ginjal Ikan Patin (Pangasius Hypophthalmus) Yang Diinfeksi
Bakteri Aeromonas Hydrophila. Journal of Aquaculture Management and
Technology, 4(1), 40-46.
Chaidir, A. (2001). Pengaruh pencucian daging lumat (Minced Fish) ikan sapu-sapu
(hypostomus sp) terhadap kualitas minced fish dalam pembuatan bakso ikan.
Skripsi. Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor.
Coton, E., Mulder, N., Coton, M., Pochet, S., Trip, H., & Lolkema, J. S. (2010). Origin of
the putrescine-producing ability of the coagulase-negative bacterium
Staphylococcus epidermidis 2015B. Applied and environmental
microbiology, 76(16), 5570-5576.
Darmawan, B. D., & Rohaendi, O. E. (2014). Zoonosis: Infeksi penyakit ikan terhadap
manusia akibat kesalahan manajemen dan penanganan ikan maupun produk
olahannya. Journal of Aquatropica Asia, 1(1).
Dahl, A., & Bruun, N. E. (2013). Enterococcus faecalis infective endocarditis: focus on
clinical aspects. Expert review of cardiovascular therapy, 11(9), 1247-1257.
Dewi, M. (2019). Kebiasaan Makanan Ikan Sapu-sapu (Pterygoplichthys Multiradiatus
Hancock, 1828) di Perairan Danau Sidenreng, Kabupaten Sidenreng Rappang,
Sulawesi Selatan. [Skripsi]. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Dewi, M., Suwarni, S., & Omar, S. B. A. (2020). Kebiasaan Makanan Ikan Sapu-sapu
(Pterygoplichthys Multiradiatus Hancock, 1828) di Perairan Danau Sidenreng,
Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Proceeding Simposium
Nasional Kelautan dan Perikanan, (7).
Dwijeseputro. (1988). Dasar- Dasar Mikrobiologi. Djambatan: Jakarta
Eley, A. (1996). Microbial food poisoning. Springer Science & Business Media.
Erawaty, W R. (2001). Pengaruh bahan pengawet, waktu penggorengan, dan daya simpan
terhadap sifat fisik dan organoleptic produk nugget ikan sapu-sapu (Hyposascus
pardalis). Skripsi. Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan Dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Evans, M., Davies, J. K., Sundqvist, G., & Figdor, D. (2002). Mechanisms involved in
the resistance of Enterococcus faecalis to calcium hydroxide. International
endodontic journal, 35(3), 221-228.
Farzanfar, A. (2006). The use of probiotics in shrimp aquaculture. FEMS Immunology &
Medical Microbiology, 48(2), 149-158.
32