Anda di halaman 1dari 86

LAPORAN PRAKTIKUM

ILMU KEBIDANAN DAN KEMAJIRAN


“Distokia dan Fetotomi Serta Penanganannya”

NAMA : EKA NURDIANA

NIM : C031171006

KELOMPOK : VI (ENAM)

ASISTEN : MUHAMMAD FADHIL SHALIH

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2020
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................................i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................................................................1
1.2 Tujuan.................................................................................................................................2
1.3 Manfaat...............................................................................................................................2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Distokia dan Eutokia........................................................................................3
2.1.1. Pengertian Distokia…………………………………………………………..……..3
2.1.2. Pengertian Eutokia…………………………………………………………….....…3
2.2. Penyebab Terjadinya distokia……………………………………………....………..3
2.2.1. Sebab Dasar……………………………………………………………………..…..3
2.2.2. Sebab Langsung……………………………………………………………….....…4
2.3. Posisi Abnormal pada Fetus Sapi………………………………………………..…...6
2.4. Tekhnik Pendahuluan Penanganan Distokia……………………………………..…7
2.5. Tekhnik Penanganan Distokia………………………………………………….....….9
2.5.1. Observatif…………………………………………………………………….......….9
2.5.2. Manipulatif ……………………………………………………………………..…..9
2.5.3. Prosedur bedah…………………………………………………………………..…10
2.5.4. Euthanasia…………………………...………………………………………...…...13
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Materi................................................................................................................................15
3.1 Metode...............................................................................................................................15
BAB VI
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil..................................................................................................................................16
4.2 Pembahasan.......................................................................................................................17
BAN V
KESIPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan.......................................................................................................................20
5.2 Saran.................................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sapi adalah spesies ternak yang paling penting karena produksi dan perannya dalam
budaya manusia. Banyak breed yang berbeda dalam penampilan, kinerja dan adaptasi
lingkungan tetap hidup, tetapi asal historis beragam fenotip tidak selalu jelas. Mendampingi
umat manusia sejak awal peradaban, ternak di berbagai lingkungan menjadi bagian integral
dari masyarakat manusia. Dengan memasok susu, daging, dan kulit dan dengan membajak
ladang, sapi telah menjadi spesies hewan domestik yang paling penting. Peran sapi dalam
jejaring sosial, upacara, ritual, dan permainan juga memberi ternak tempat utama dalam
budaya manusia (Felius et al., 2014).
Kegagalan reproduksi pada ternak baik langsung maupun tidak langsung dapat
mendatangkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Tingginya kasus gangguan reproduksi
dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang terutama meliputi manajemen dan pemberian pakan
yang buruk. Beberapa klasifikasi penyimpangan menurut adalah berahi yang tidak teramati,
berulang-ulang, diperpanjang dan tidak teratur, serta menetap dan sering terjadi. Berdasarkan
penyimpangan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa deteksi berahi merupakan masalah
utama yang menjadi penyebab munculnya gangguan reproduksi. Kegagalan mendeteksi
berahi dimungkinkan karena sapi adalah hewan yang bersifat non-seasonal poli-berahi,
dimana sapi dapat menunjukkan berahi setiap waktu dengan siklus 10-23 hari (Matli, 2014).
Distokia merupakan gangguan reproduksi dimana hewan sulit atau mengalami
perpanjangan waktu partus dibandingkan secara normal. Kejadian distokia biasanya
menyerang pada sapi dara yang baru melahirkan pertama kali (primipara) . Kejadian kasus
dapat berasal dari induk maupun fetus. Faktor dari induk dikarenakan adanya ketidak sesuaian
pada jalan kelahiran. Sedangkan faktor fetus biasanya dikarenakan ukuran dari fetus maupun
posisi fetus yang yang abnormal. Sapi yang memiliki bobot badan yang berlebihan atau
penurunan bobot badan yang berlebihan selama trimester terakhir kehamilan sangat rentan
mengalami distokia (Schuenemann 2012).
Oleh karena itu, manajemen nutrisi yang tepat selama kehamilan penting untuk
mengurangi resiko terjadinya distokia. Selain itu juga dapat dilakukan pemilihan indukan
ketika inseminasi buatan yaitu dengan mengeliminasi sapi indukan yang memiliki panggul
(pelvis) yang kecil dan memilih indukan yang telah terbukti mudah dalam proses melahirkan.
Pada sapi perah kejadian kemungkinan terjadinya distokia lebih besar pada sapi dara jika
dibandingkan dengan sapi tua (Matli, 2014).
Tindakan ini dilakukan dengan cara mengikat kaki depan fetus yang sudah keluar untuk
menarik fetus dan pelicin di daerah vulva. Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah
terjadinya infeksi karena proses kelahiran yang tidak steril dan pemasukan benda-benda tidak
steril ke dalam saluran reproduksi seperti tali untuk menarik fetus. Pemberian multivitamin
sebagai pencegahan kurangnya asupan vitamin dan memulihkan stamina sapi setelah
melahirkan. Penanganan pada kasus distokia dapat dilakukan dengan mutasi, apabila uterus
melemah dapat dilakukan penarikan paksa, fetotomi atau pemotongan fetus, dan bila semua
cara tidak berhasil dapat dilakukan operasi sesar (Matli, 2014).
Sehingga sangat penting dalam mempelajari dan mengetahui apa saja yang berkaitan
dengan kasus distokia dan eutokia, agar memudahkan dalam penanganannya oleh dokter
hewah yang bertugas.

1
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari laporan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa pengertian distokia dan eutokia
2. Untuk mengetahui apa penyebab terjadinya distokia
3. Untuk mengetahui bagaimana posisi abnormal pada fetus sapi
4. Untuk mengetahui bagaimana tekhnik pendahuluan penanganan distokia
5. Untuk mengetahui bagaimana tekhnik penanganan distokia
1.3 Manfaat
Adapun Manfaat dari laporan ini adalah sebagai berikut:
1. Mahasiswa dapat mengetahui apa pengertian distokia dan eutokia
2. Mahasiswa dapat mengetahui apa penyebab terjadinya distokia
3. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana posisi abnormal pada fetus sapi
4. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana tekhnik pendahuluan penanganan distokia
5. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana tekhnik penanganan distokia

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Distokia dan Eutokia
2.1.1 Distokia
Distokia adalah kesulitan melahirkan. Distokia juga dapat didefinisikan sebagai
ketidakmampuan sapi untuk mengeluarkan fetus melalui jalan lahir dari uterus. Kondisi ini
terjadi sebagai akibat dari masalah di rahim atau vagina, atau dengan fetus. Dapat terjadi pada
kondisi seperti kelainan saluran panggul, inersia uterus dan neoplasma vagina, fetus
kebesaran, dilatasi cervix yang tidak lengkap dan malposisi fetus (Yulianto dan Saparinto,
2014). Dilatasi cervix yang tidak tepat tampaknyapenyebab maternal distokia yang lebih
sering pada sapi (Mekonnen dan Nibret, 2016).
2.1.2 Eutokia
Eutokia menurut Mainau et al (2013) adalah kelahiran normal. Proses kelahiran normal
atau eutokia akan berlangsung hanya jika kondisi-kondisi berikut dipenuhi :
a. Konformasi dan ukuran fetus normal
b. Saluran pelvis cukup besar untuk memungkinkan lewatnya fetus. Cervix, vagina dan vulva
cukup longgar atau kenyal
c. Kontraksi uterus dengan durasi, kekuatan dan frekuensi yang normal
d. Tidak ada gangguan lingkungan
2.2 Penyebab Terjadinya Distokia
2.2.1 Sebab Dasar
Berikut sebab dasar penyebab terjadinya distokia:
a. Genetik
Genetik atau faktor keturunan ini bisa bermacam-macam bentuknya dalam
mempengaruhi terjadinya distokia. Contohnya genetik berupa gen resesif sari induk maupun
dari pejantan yang mengahasilkan ukuran fetus yang besar yang memnugkinkan terjadinya
distokia (Direktorat Jenderal Peternakan, 2008).
b. Breed (ras sapi)
Penekanan pada berbagai sifat pejantan (sapi jantan dengan berat lahir yang dapat
diterima, kemudahan melahirkan dan EPD pertumbuhan) dapat meminimalkan tingkat
kesulitan melahirkan, sambil tetap mempertahankan sifat-sifat kinerja. Selanjutnya, memilih
sapi jantan pengganti dari sapi jantan dengan EPD rendah untuk berat lahir harus membantu
mengurangi berat lahir dan kesulitan melahirkan. Memilih sapi muda dari pejantan dengan
berat badan lahir rendah cenderung menghasilkan betina dengan ukuran dewasa yang lebih
rendah, yang mungkin, atau mungkin tidak, diinginkan. Oleh karena itu, produsen harus
mengevaluasi EPD pejantan yang penting (berat lahir, kemudahan melahirkan dan kemudahan
melahirkan anak pertama) ketika memilih sapi muda pengganti. Terlihat pada sapi-sapi yang
beberapa rasnya memliki masa kebuntingan yang lebih lama dan memiliki proporsi kelahiran
dengan ukuran fetus yang lebih besar yang memungkinkan terjadinya distokia. Contohnya
yaitu pada breed Aberdeen angus kemungkinan distokia 3%, Simmental 10%, Charolais 9%,
Frisian Holstein 6%, dll Pada sapi jenis Charolais pendukung utama terjadinya distokia
karena ukuran pevis yang kecil dan fetus yang terlalu besar (Cooke et al., 2009).
c. Penyakit
Ada beberapa penyakit yang terjadi di masa partus yang secara tidak langsung bisa
mempengaruhi terjadinya distokia. Contohnya yaitu hipokalsemia saat melahirkan adalah

3
salah satu penyebab inersia uterine primer atau kegagalan unterus dalam berkontraksi
sehingga sulit saat melakukan pengejanan. Selain itu bisa juga karena adanya Salmonellosis
dan Brucellosis dapat meningkatkan insiden distokia (Direktorat Jenderal Peternakan, 2008).
d. Pakan
Pemberian energi tambahan selama 90-100 hari sebelum melahirkan telah terbukti
meningkatkan berat lahir, tetapi tidak memiliki efek buruk pada kemudahan melahirkan.
Lebih lanjut, kejadian kesulitan melahirkan sebenarnya berkurang ketika sapi mengkonsumsi
jumlah energi yang sedang dan tinggi dibandingkan dengan asupan energi yang rendah.
Asupan protein yang tidak memadai selama kehamilan juga menghasilkan penurunan
kekuatan betis, keterlambatan involusi uterus, peningkatan interval estrus, dan penurunan
tingkat konsepsi setelah melahirkan. Masalah-masalah ini tampaknya meningkat ketika energi
juga kurang, menggambarkan perlunya diet seimbang sapi selama kehamilan. Kondisi tubuh
bendungan juga telah terlibat sebagai faktor yang berkontribusi terhadap kesulitan melahirkan
dan berkaitan erat dengan status gizi selama kehamilan. Sapi yang diberi makan kurang
sampai pada titik mereka kurus akan mengakibatkan kesulitan melahirkan mungkin karena
kurangnya kekuatan selama proses pengiriman, dan sapi-sapi ini biasanya memiliki anak sapi
yang lemah dan tidak kuat. Namun, memberi makan sapi secara berlebihan hingga mencapai
titik obesitas juga akan menyebabkan distosia, kemungkinan karena saluran kelahiran yang
dipenuhi lemak dan peningkatan presentasi yang tidak normal. Oleh karena itu, menjadi
sangat penting bahwa sapi tidak diberi makan berlebih atau kurang selama kehamilan, tetapi
diberikan makanan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi mereka dan janin (Cooke
et al., 2009).
e. Exercise
Sapi yang diterapkan exercise paling tidak berupa jalan-jalan sejauh 1 mil setiap hari
selama 4 minggu untuk persiapan partus akan lebih mudah dalam menjalani partus
dibantingkan dengan sapi yang tidak melakukan exersice. Exercise ini akan berpengaruh pada
peningkatan tonus otot yang mendukung dalam proses partus (Cooke et al., 2009).
Tabel 1. Efek exercise selama masa kebuntingan terhadap kelancaran kelahiran (Cooke et al.,
2009).

2.2.2 Sebab Langsung


Berikut sebab langsung terjadinya distokia meliputi:
a. Sebab maternal
1) Kondisi induk sapi
Kondisi induk sapi berkaitan dengan ada tidaknya penyakit maupun kelainan pada
induk yang bisa menyebabkan terjadinya distokia. Dalam hal ini contohya induk
mengalami hipokalsemia yang akan berefek pada terjadinya inersia uterina primer
sehingga bisa menyebabkan distokia (Direktorat Jenderal Peternakan, 2008).
2) Pelvis area

4
Diameter dari pelvis area akan menentukan terjdinya kesulitan patus atau tidak pada
sapi. Kejadian distokia akibat dari diameter pelvis area ini lebih banyak terjadi pada sapi
dara yang memliliki ukuran area pelvis lebih kecil dibandingkan sapi dewasa yang sudah
siap bunting (Cooke et al., 2009).
3) Lama kebuntingan
Lama kebuntingan nanti akan ada kaitannya dengan ukuran fetus. Jadi semakin lama
masa kebuntingan sapi akan semakin banyak nutrisi yang diserap oleh fetus untuk
pertumbuhan sehingga ukuran fetus akan meningkat baik itu dari berat badannya ataupun
dari panjang struktur tulangnya. Peningkaan ukurn menyebabkan fetu lebih sulit dalam
melewati saluran peranakan (Cooke et al., 2009).
4) Umur induk
Umur induk berkaitan dengan dewasa kelamin pada induk. Jikan induk masih berupa
sapi dara kemungkinan untuk terjadinya distokia lebih tinggi karena umurnya masih
terlalu muda. Hal ini disebabkan karena pada sapi betina yang masih muda ukuran dari
pelvis masih terlalu kecil, dan apabila dipaksakan untuk bunting kemudian partus justru
bisa menyebabkan terjadinya fraktur (Direktorat Jenderal Peternakan, 2008).
b. Sebab fetal
1) Berat lahir anak sapi
Telah ditunjukkan bahwa kejadian distosia meningkat dengan meningkatnya berat
lahir. Meskipun berat hewan dapat didistribusikan secara berbeda dalam berbagai ras, ini
merupakan perkiraan yang baik untuk ukuran anak sapi. Karena itu, perhatian khusus
harus diberikan pada faktor-faktor yang memengaruhi berat lahir untuk mencegah
distosia. Berkembang biak pejantan dan bendungan, bersama dengan sifat-sifat genetik
dari kedua orang tua memainkan peran paling penting dalam menentukan berat lahir anak
sapi (Cooke et al., 2009).
Tabel 2. Efek dari pertambahan berat fetus terhadap kelancaran partus (Cooke et al.,
2009).

2) Jenis kelamin fetus


Biasanya, anak lembu jantan lebih berat dari anak lembu jantan lebih banyak pada saat
nifas sampai 10 pound. Ini sebagian dapat dijelaskan oleh fakta bahwa anak sapi jantan
umumnya memiliki panjang kehamilan lebih lama dibandingkan betina. Karena berat lahir
yang lebih berat, banyak laporan menunjukkan bahwa anak sapi jantan membutuhkan
tingkat bantuan 10 hingga 40% lebih tinggi dibandingkan dengan anak sapi jantan selama
kelahiran. Selain itu, telah ditunjukkan bahwa tingkat distosia pada sapi dewasa yang
membawa anak sapi jantan adalah dua kali lipat dari sapi yang membawa anak sapi betina.
Pada fetus jantan kemungkinan terjadinya distokia lebih tinggi dibandingkan dengan fetus
betina. Hal ini disebabkan karena mas kebuntingan pada fetus jantan lebih lama daripada
fetus betina (Cooke et al., 2009).
3) Kondisi fetus

5
Kondisi fetus yang dimaksud dalam hal ini yaitu fetus masih hidup atau mati.
Kematian fetus intrauterina pada akhir kebuntingan atau awal kelahiran bisa menyebabkan
distokia. Misalnya fetus mengalami hipoksia kronis, fetus gagal melepaskan hormone-
hormonnya dengan cukup (ACTH dan kortisol), fetus tidak dapat mengambil postur
kelahiran normal sehingga maldiposisi dan servik gagal dilatasi sempurna sehingga fetus
tidak bisa keluar. Kematian fetus intrauterina bisa disebabkan karena ukuran fetus yang
terlalu besar atau adanya akumulasi gas subkutan (Purihit, et al., 2012).
4) Maldeposition pada fetus
Maldeposition fetus dalam hal ini meliputi presentasi, posisi, dan atau postur yang
tidak normal sehingga mempersulit induk ketika proses partus. Maldeposition akan
menyebabkan kesulitan saat fetus akan melewti saluran peranakan dan kemungkinan
untuk tertahan atau terjapitnya dari fetus sendiri juga besar sehingga perlu bantuan saat
partus. Sekitar 5% dari anak sapi saat lahir berada dalam posisi abnormal, seperti kaki
depan atau kepala kembali, sungsang, posisi ujung belakang, ke samping atau diputar, dll.
(Gambar 4.2). Ini membutuhkan bantuan dokter hewan atau penggembala yang
berpengalaman untuk memposisikan ulang janin dengan benar sebelum persalinan. Jika
posisi janin tidak dapat diperbaiki, dokter hewan mungkin harus melakukan operasi caesar
atau fetotomi (Cooke et al., 2009).
5) Kembar siam
Pada sapi yang bunting kembar akan memiliki masa kebuntingan yang lebih singkat
dan kemungkinan distokia yang lebih tinggi. Bunting kembar memang menyebabkan fetus
memiliki ukuran yang lebih kecil, tapi jika terjadi maldepoition pada salah satu atau kedua
fetus maka kan menyebabkan induk kesulitan saat partus. Maldeposition pada bunting
kembar juga lebih kompleks sehingga cukup sulit untuk ditangani (Purohit, et al., 2012).
2.3 Posisi Abnormal Pada Fetus Sapi
Posisi abnormalitas pada fetus dapat terjadi karena berbagai penyabab seperti kesalahan
pembiakan, kondisi ternak,malformasi ekstremitas, kehamilan pendek atau panjang,
ketidakcocokan maternal janin, dan malposisi janin (Abdisa, 2017).

Gambar 1.Berbagai Posisi abnormal pada fetus (Abdisa, 2017)


Beberapa posisi abnormal yang paling sering terjadi pada fetus antara lain :

6
Gambar 2.Kepalamembengkokkearah dada longitudinal posterior (Abdulla et al, 2019).

Gambar 3.Ekstrmitas membengkok presentasi longitudinal posterior (Abdulla et al, 2019).

Gambar 4. Esktremitas membengkok pada presentasi longitudinal posterior (Abdulla et al,


2019).

Gambar 5. Presentasi transversal dorsal (Abdulla et al, 2019).


2.4 Tekhnik Pendahuluan Penanganan Distokia
2.4.1 Anamnesa
Anamnesa atau history atau sejarah hewan adalah berita atau keterangan atau lebih
tepatnya keluhan dari pemiik hewan mengenai keadaan hewannya ketika dibawa dating
berkonsultasi untuk pertama kalinya, namun dapat pula berupa keterangan tentang sejarah
perjalanan penyakit hewannya jika pemilik telah sering dating berkonsultasi. Cara-cara
mendapatkan sejarah tersebut dari pemilik hewan perlu dipelajari seperti juga dengan tahapan
7
pemeriksaan yang lain. Caranya dengan pertanyaan-pertanyaan menyelidik namun tidak
disadari oleh pemilik hewan, seorang dokter hewan berusaha memperoleh keterangan-
keterangan selengkap mungkin dari pemilik hewan akan hal-hal seputar kejadian atau
ditemukannya hewan yang menunjukkan tanda-tanda subjektif kesakitan. Anamnesa dapat
diperoleh secara pasif dari informasi atau cerota pemilik hewan yang tahu kejadiannya
misalkan tentang gejala yang timbul mula-mula, waktu dan lama kejadiannya, situasi hewan
ketika ditemukan seperti malas-malasan atau tiduran ditempat yang tidak biasanya (Widodo
et al., 2017).
2.4.2 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi kondisi fisik dan umum sapi harus diperhatikan. Suhu tubuh
dan denyut nadi harus diperhatikan dan kelainan signifikan dipertimbangkan. Perhatian
khusus harus diberikan pada vulva. Gerakan fetus harus diperhatikan di sisi kiri sapi dan jika
ini kuat, ini menunjukkan pemisahan plasenta yang menyebabkan anoksia fetus dan
hipermotilitas, tanda-tanda pemisahan plasenta dapat terlihat di vulva jika bagian dari
chorioallantois dan cotiledon terlihat terpisah, keputihan ringan atau kekuningan dapat
menunjukkan anoksia fetusatau kematian fetus yang biasanya disertai dengan pengeluaran
meconium (Mekonnen dan Nibret, 2016).
2.4.3 Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis terbagi menjadi dua yaitu (Mekonnen dan Nibret, 2016) :
a. Pemeriksaan Vagina
Setelah mencuci bagian genital sapi, pemeriksaan internal dimulai. Selama pemeriksaan
ini vagina, vulva, dan uterus harus diperiksa untuk kemungkinan cedera, untuk memastikan
dilatasi serviks dan posisi akhirnya, viabilitas dan ukuran fetus. Tangan yang dilumasi harus
dimasukkan ke dalam vagina dan kondisi serviks dinilai. Jika serviks tertutup, ostium
eksternal yang menonjol tetapi lunak dapat diidentifikasi tetapi serviks yang sepenuhnya
membesar tidak dapat dibedakan karena dinding vagina tetap berlanjut dengan dinding uterus.
Ukuran panggul juga harus ditentukan apakah sempit atau normal. Ini juga memastikan
apakah anggota badan fetus baik bagian depan atau kaki belakang ada di serviks.
b. Pemeriksaan Rektum
Ketika stenosis vagina cranial terdeteksi selama pemeriksaan vagina, pemeriksaan rektal
juga diindikasikan untuk memastikan adanya torsi uterus. Pemeriksaan organ reproduksi
dengan palpasi per rektum diindikasikan hanya pada beberapa kasus distokia. Indikasi paling
umum untuk palpasi rektal adalah untuk memastikan torsi uterus ketika stenosis vagina
cranial terdeteksi selama pemeriksaan vagina. Deformitas panggul dan eksostosis mungkin
lebih mudah dideteksi dengan palpasi per rektum dibandingkan dengan pemeriksaan vagina.
2.4.4 Pengobatan
Ketika masalah dystocia diduga, obat-obatan ekobolik spesifik berikut ini sangat ideal
digunakan: terapi oksitosin, kalsium atau glukosa. Untuk mengobati torsio uteri dapat
digunakan obat antibiotik dan inflamasi. Prostaglandin F2 alfa dan analognya
direkomendasikan untuk menginduksi kontraksi uterus yang mungkin berguna untuk
mengeluarkan isi uterus. Distokia yang berkepanjangan dari hasil perkawinan silang berhasil
dikelola dengan antibiotik, antiinflamasi dan terapi suportif setelah penusukan manual dari
rongga perut janin. Untuk defisiensi estrogeninjeksi dapat membantu dengan menggunakan
injeksi secara IM estradiol-valerat (20 - 30 mg) (Assefa dan Simegnew, 2018).
2.4.5 Alat

8
Pakaian pelindung, sarung tangan karet dan lengan harus dipakai ketika pemeriksaan,
untuk mencegah infeksi dan bau dari kontaminasi lengan operator atau mentransfer infeksi.
Instrumen untuk traksi termasuk batang dan tali obstetris (OB), rantai dan pegangan OB,
jebakan dan kait OB (panjang dan pendek, tumpul dan runcing), forceps OB dan ekstraktor
janin. Instrumen yang digunakan untuk tolakan dan rotasi termasuk Kruk Kuhn, repeller OB
dengan atau tanpa kepala tombak, batang detasion dan forceps OB. Instrumen yang
digunakan untuk pembelahan janin termasuk pisau fetotomi (lurus atau melengkung), pisau
bedah BP, fetotomes (berbagai jenis), pahat OB (polos atau dijaga), dan berbagai jenis Juga
pakaian pembasahan dan boots yang tahan air, tiga tali nilon calving warna yang berbeda
dengan gagang silinder kayu pendek, gergaji kawat koloid-sintetis pelumas. Sabun dan air
adalah pelumas obstetris tradisional dan parafin cair juga dapat digunakan sebagai pelumas;
Obat-obatan: oksitosin, kalsium boroglukonat, larutan dekstrosa, antibiotik suntik, pessarium
uterus, TAT, clenbuterol dan air hangat diperlukan (Abera, 2017).
2.5 Teknik penanganan distokia
2.5.1 Observatif
Pengobatan observatif yang dimaksud adalah dokter menganggap bahwa kasus tersebut
belum siap untuk diberi bantuan sehingga dokter memutuskan membiarkan pasien sampai
jangka waktu terbatas sebelum mengambil tindakan lebih lanjut. Sedapat mungkin, dokter
kandungan hewan harus berusaha menangani pasien mereka di lingkungan yang paling sesuai
untuk kedua belah pihak. Dalam banyak kasus ketika hewan tidak dapat dipindahkan mungkin
tidak ada pilihanlain selain untuk berurusan dengan hewan di tempat itu. Jika memungkinkan,
kasus obstetri harus diperiksa, didiagnosis dan dirawat lingkungan yang bersih, hangat dan
cukup terang (Jackson, 2009).
2.5.2 Manipulatif

Gambar 6. Manipulatif (Noakes et al, 2019)


Saat terjadi kesalahan presentasi, posisi, dan postur fetus dapat dilakukan dengan
berbagai cara-cara manual. Cara pertama yaitu rotasi, memerlukan perubahan posisi fetus
dengan menggerakkannya di sekitar sumbu longitudinalnya: misalnya, dari ventral ke posisi
dorsal. Hal ini lebih sering diperlukan pada kuda daripada pada sapi dan jauh lebih mudah
dilakukan pada fetus hidup responsif. Cara kedua yaitu versi, berarti perubahan presentasi
melintang atau vertikal ke longitudinal. Cara ketiga yaitu retropulsi, yaitu mendorong fetus
secara cranial dariarah vagina. Ini di pengaruhi oleh tekanan menggunakan tangan untuk
mempresentasikan massa fetus. Selain menggunakan tangan dapat pula menggunakan alat
khusus untuk menarik fetus tersebut. Cara keempat yaitu ekstensi, mengacu pada sendi yang
tertekuk ketika kecacatan postur terjadi. Ini dilakukan dengan menerapkan gaya tangensial
pada akhir extremitas yang tergeser sehingga melewati lengkungan lingkaran masuk panggul.
Cara kelima yaitu dengan traksi. Traksi yaitu penerapan gaya pada bagian tubuh fetus yang

9
menempati pintu atas panggul dengan tujuan untuk menambahkan atau pada beberapa kasus
untuk menggantikan gaya dorong induk. Gaya tersebut dapat diterapkan dengan
menggunakan tangan atau melalui media penjerat atau pengait (Noakes et al., 2019).
2.5.3 Prosedur Bedah
Operasi caesar dapat dilakukan dengan posisi berdiri, sternal, lateral atau dorsal
recumbency. Pilihan tergantung pada preferensi dokter bedah, perilaku hewan dan tersedia
fasilitas. Untuk operasi berdiri, hewan harus ditahan menggunakan halter, lebih disukai di
kandang anak sapi, diikat sedemikian rupa sehingga sayap kanan hewan itu menempel ke
dinding dan kepalanya ada di sudut, untuk membatasi gerakan selama operasi. Halter harus
diikat dengan simpul pelepas cepat jika terjadi penyerahan kembali. Bulldog hidung sering
diperlukan untuk menahan diri. Sedasi harus dihindari jika mungkin karena dapat
menyebabkan kesadaran kembali selama operasi dan dapat merusak kelangsungan hidup
fetus. Jika diperlukan sedasi, xylazine biasanya digunakan (0,05-0,1 mg / kg intramuskuler
atau dosis yang dikurangi secara intravena). Sayangnya, xylazine bersifat ecbolic, membuat
pembedahan lebih sulit, dan dapat menyebabkan kembung pada rumen, yang dapat
menghambat luka operasi. Tali dapat dilampirkan pada kaki belakang kanan di atas fetlock
dan diletakkan di bawah tubuh hewan sehingga jika sapi menjadi telentang selama operasi,
tali dapat ditarik untuk memungkinkan hewan berbaring dalam posisi telentang lateral kanan.
Ekor diikat jauh dari jangkauan situs operasi, biasanya ke halter atau ke hock kanan (Noakes
et al., 2019).
Kecukupan anestesi harus diuji dengan hati-hati sebelum operasi karena otot dan
peritoneum dapat tetap sensitif meskipun terjadi desensitisasi kulit. Sayatan sayap kiri adalah
teknik yang paling umum dan paling tepat untuk hewan yang berdiri. Dokter bedah harus
menilai apakah hewan akan tetap berdiri selama prosedur; jika tidak, penyerahan sebelum
operasi harus dilakukan. Salah satu keuntungan dari sayatan sisi kiri adalah bahwa rumen
dapat digunakan untuk mencegah paparan usus. Namun, dalam kasus-kasus tertentu, rumen
yang besar, terutama jika hewan tersebut sedang tegang, dapat mengganggu akses bedah ke
perut. Keuntungan lain dari sayatan panggul pada hewan yang berdiri adalah koreksi torsi
uterus yang lebih mudah. Akhirnya, dehiscence luka lebih mudah ditangani di panggul,
dibandingkan dengan sayatan perut bagian bawah (Noakes et al., 2019).

Gambar 7. Lokasi insisi (Noakes et al., 2019).


Sayatan kulit vertikal dibuat di tengah sayap kiri mulai 10 cm ventral ke proses
transversal dan memanjang sekitar 30-40 cm. Atau, sayatan yang agak miring dari caudo-
dorsal ke cranio-ventral, sekitar 30 ° dari vertikal dapat digunakan, mulai 10 cm dari umbi
coxae. Keuntungan dari sayatan miring adalah bahwa otot miring perut bagian dalam dapat
dibagi sepanjang seratnya dan ada peningkatan akses ke saluran genital. Kerugian potensial
adalah insisi arteri iliaka sirkumfleksa jika insisi diperpanjang terlalu jauh secara kaudo-dorsal
dan kurangnya anestesi jika terlalu jauh kranio-ventral, ketika menggunakan anestesi
paravertebral. Jika berkembang biak bendungan atau indikasi lain untuk operasi menunjukkan
bahwa operasi caesar elektif masa depan mungkin diperlukan, sayatan pertama harus dibuat di

10
perbatasan kranial panggul, sehingga memungkinkan untuk insisi berikutnya lebih kaudal
(Noakes et al., 2019).
Insisi ventrolateral terutama diindikasikan untuk pengangkatan janin emfisematosa.
Sapi harus dalam posisi telentang lateral kanan. Sayatan miring, mulai dari dorsal lipatan
sayap ke perlekatan ambing, dilanjutkan secara kranial, sejajar dengan batas ventral tulang
rusuk. Keuntungan dari pendekatan ini adalah memberikan rahim yang baik, bahkan ketika
rapuh, dan meminimalkan risiko kandungan uterus yang mengkontaminasi rongga perut.
Namun, perbaikan lapisan otot perut bisa lebih sulit jika otot berada di bawah tekanan dan
jahitan dapat merobek jaringan. Saluran drainase bedah dapat dimasukkan selama perbaikan
luka, terutama jika janin mati diberikan (Noakes et al., 2019).
Insisi garis tengah atau paramedian tidak umum digunakan di lapangan karena
diperlukan anestesi umum atau sedasi berat dan fungsi pernapasan bendungan terganggu.
Namun, teknik ini memberikan akses yang sangat baik ke uterus. Jahitan nonabsorbable harus
digunakan untuk memperbaiki semua lapisan otot sayatan karena dehiscence luka pasca
operasi memiliki implikasi yang parah, termasuk herniasi. Sayatan flank kanan jarang
dilakukan, namun ini diindikasikan jika pendekatan flank kiri terhambat oleh perlekatan
sebagai hasil dari operasi sebelumnya. Akses ke uterus baik, tetapi usus kecil sulit
dipertahankan di dalam perut dan mengganggu operasi. Dengan pendekatan flank kiri, lapisan
otot berikut ini diinsisi: kutaneus, oblik abdomen eksternal, oblik abdomen internal dan otot
abdominal transversal. Otot tersebut diinsisi menggunakan pisau bedah, kecuali serat dapat
dipisah sejajar dengan sayatan kulit. Perdarahan dari lapisan otot biasanya minimal, namun
ketika pembuluh besar terlibat, haemostats harus diterapkan dan pembuluh diikat jika perlu.
Peritoneum diinsisi menggunakan pisau bedah, berhati-hatilah agar tidak menusuk rumen
yang terletak tepat di bawah peritoneum. Masuk ke dalam rongga peritoneum biasanya
ditandai oleh suara udara yang memasuki ruang potensial. Sayatan dapat diperpanjang
menggunakan gunting, bukan pisau bedah, untuk mengurangi risiko pemotongan organ
abdomen. Seringkali, sejumlah cairan peritoneum, kadang-kadang berwarna darah, segera
terlihat di rongga perut (Noakes et al., 2019).

Gambar 8. Insisi pada peritonuem (Noakes et al., 2019).


Dokter bedah harus menjelajahi perut dan memperhatikan disposisi fetus. Uterus harus
dieksternalisasi dengan memegang dan memberikan traksi pada ekstremitas distal anak sapi,
biasanya hindleg. Untuk membantu eksteriorisasi kaki belakang, kaki anak sapi dapat
dipegang menggunakan tangan kanan ahli bedah, jadi tuaskan kaki ke atas melalui sayatan.
Seringkali, mungkin untuk mengunci hock ke dalam aspek ventral dari sayatan kulit,
sementara kaki dipertahankan oleh flank di atas aspek dorsal dari sayatan, sehingga
menghilangkan ketegangan pada lengan dokter bedah. Eksteriorisasi uterus sebelum sayatan
11
adalah langkah penting dalam keberhasilan operasi selanjutnya. Namun, traksi pada uterus
mungkin membutuhkan kekuatan dan keuletan yang cukup besar di pihak ahli bedah.
Manipulasi uterus juga menyebabkan peregangan mesometrium dan dapat menyebabkan rasa
sakit dimanifestasikan dengan mendengus dan sapi menunjukkan tanda-tanda
ketidaknyamanan lainnya. Lebih jauh, begitu uterus ditangani, miometrium sering
berkontraksi sehingga membuat eksteriorisasi menjadi lebih sulit, kecuali jika tokolitik telah
diberikan sebelum operasi. Jika fetus berada di tanduk uterus kanan, dokter bedah perlu
memutar uterus sepanjang sumbu longitudinal untuk membawa anggota fetus ke lokasi
sayatan. Rotasi dapat dicapai dengan traksi pada kaki dengan tangan kiri, sambil mendorong
aspek punggung rahim menjauh dari ahli bedah dengan telapak tangan kanan. Teknik serupa
dapat dicoba, jika indikasi untuk operasi caesar adalah torsi uterus yang tidak dapat direduksi,
untuk memperbaiki torsi sebelum sayatan uterus. Namun, dinding uterus dalam kasus ini
sering edema dan rapuh, perawatan harus diambil untuk menghindari penetrasi pada dinding
abdomen. Dinding uterus diiris di atas fetus dari ujung ke ujung sepanjang lengkungan yang
lebih besar dan sejajar dengan lapisan otot longitudinal miometrium. Sayatan dapat dibuat
menggunakan pisau bedah atau gunting. Jika sayatan di dalam rahim terlalu pendek, rahim
dapat robek tanpa terkendali selama ekstraksi fetus. Jika sayatan memanjang terlalu dekat
dengan serviks, perbaikan jahitan mungkin sulit. Perawatan harus diambil untuk menghindari
goresan anak sapi, terutama jika cairan fetus jarang. Selain itu, dokter bedah harus
menghindari sayatan kotiledon, yang dapat menyebabkan perdarahan yang banyak. Jika
sayatan uterus harus dibuat di dalam rongga perut, sering karena uterus telah menjadi rapuh
dan rentan terhadap kerusakan dengan penanganan lebih lanjut, maka pisau embriotomi
Roberts dapat. Namun, sayatan seperti itu menyebabkan kontaminasi perut yang parah dengan
cairan fetus yang tidak mungkin steril, terutama jika distosia merupakan indikasi untuk
pembedahan. Allantochorion dan amnion pecah secara manual, dan fetlocks fetus digenggam
oleh ahli bedah, dieksternalisasi dan diteruskan ke asisten. Atau, tali atau rantai anak lembu
steril dapat dipasang. Awalnya, dalam kasus kaki depan, kedua kaki dan kepala harus
dieksternalisasi oleh ahli bedah. Kemudian anak sapi diekstraksi oleh asisten sementara uterus
dipegang oleh ahli bedah. Eksteriorisasi awal hindlimbs dilakukan secara dorsolateral dan
kemudian kaudal, begitu panggul anak sapi muncul, sedemikian rupa sehingga anak sapi
diputar dan dihilangkan dengan cara yang mirip dengan pervaginum, reposisi anak sapi dalam
presentasi longitudinal posterior (Noakes et al., 2019).

Gambar 9. Reposisi fetus (Noakes et al., 2019).


Reposisi anak sapi dalam presentasi anterior melalui sayatan perut mirip dengan yang
untuk presentasi longitudinal anterior normal. Pegangan jari dan ibu jari di setiap orbit sering
membantu membawa kepala melalui sayatan uterus dan perut. Kadang-kadang, janin dapat
berbaring sejauh ini di dalam vagina sehingga retropulsi pervaginum oleh asisten kadang-
kadang diperlukan, setelah dicuci dan dilumasi dengan hati-hati pada bagian luar anak sapi
(Noakes et al., 2019).
12
Gambar 10. Pengeluaran fetus (Noakes et al., 2019).
2.5.4 Euthanasia
Euthanasia adalah aktivitas umum dan penting dari dokter hewan. Alasan untuk
melakukan euthanasia pada sapi adalah hewan yang terluka akut, pilihan pengobatan yang
tidak layak, langkah-langkah pengendalian penyakit regional dan neonatus dalam kasus
distokia yang belum terselesaikan. Euthanasia hewan diizinkan secara hukum di banyak
negara, tunduk pada undang-undang dan peraturan kesejahteraan hewan. Kewajiban termasuk
penghindaran rasa sakit atau kesusahan. Senjata api dan injeksi mematikan adalah dua metode
utama yang tersedia. Pertimbangan kesehatan dan keselamatan termasuk pemahaman penuh
oleh semua orang yang terlibat dari risiko yang ditimbulkan oleh metode euthanasia dan
hewan, dan penyediaan peralatan pelindung yang tepat. Umumnya, sapi muda lebih mudah
stress daripada sapi yang lebih tua, dan harus dimatikan terlebih dahulu. Anak sapi yang
belum diolah tidak boleh dipindahkan melalui fasilitas pengikat karena untuk mencegah
cedera yang parah (Cockcroft, 2015).

13
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Materi
3.1.1 Alat
a. Meja
b. Kursi
c. Papan tulis
d. Ruangan
3.1.2 Bahan
a. Kertas
b. Pulpen
c. Buku
3.2 Metode
a. Asisten membrikan instruksi mengenai mekanisme diskusi, praktikan diberikan waktu
30 menit untuk berdiskusi.
b. Asisten membagikan dokumen yang memuat tentang kasus-kasus yang terjadi pada
ternak mengenai distokia.
c. Praktikan melakukan diskusi bersama teman kelompok masing-masing
d. Praktikan menjawab soal yang tertera pada dokumen kasus yang diberikan dari
asisten.
a. Setelah 30 menit berlangsung, asisten bertanya ke setiap kelompok hasil diskusinya
mengenai setiap kasus.
a. Setiap kelompok diberikan kesempatan untuk mengomentari tentang diagnosa kasus
masing-masing dan menjelaskan patognomonisnya.
b. Setelah menemui titik tengah maka asisten akan memberikan diagnosa sebenarnya dan
menjelaskan tentang diagnosa tersebut.

14
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Kasus 1
H. Arief mempunyai sapi betina yang sedang birahi, kebetulan tetangga H. Arief,
yakni H. Haerul mempunyai beberapa sapi jantan, setelah berdiskusi, drh. Nucha yang
kebetulan anak dari H. Arief menghubungi dinas peternakan kabupaten sudiang. Setelah
mengetahui hal tersebut, dinas peternakan bersama drh. Nucha memeriksa sapi dinyatakan
telah bunting. Memasuki bulan ke-5, ukuran abdomen sapi sangat besar dan setelah diperiksa
oleh drh. Marafandy, sapi tersebut tenyata bunting kembar. Memasuki minggu ke-2, bulan ke-
7 intensitas ukuran abdomen sapi meningkat pesat sementara nafsu makan sapi kian menurun
dan sapi sesekali mengejan dan terengah engah, 2 hari kemudian, drh. Nucha melakukan
palpasi rectal dan fetus tidak dapat terabaa. Memasuki bulan ke 8, sapi mengalami rebah dan
sulit berdiri.

Kasus 2
Pak Naufal neniliki peternakan yang cukup besar didaerah sulawei selatan. Namun,
sesuatu ketika terdapat salah satu sapinya yang telah di IB sebelumnya mengalami kelainan.
Sapi yang diduga bunting ini mengelurkan cairan berbau busuk dari organ kelaminnya. Maka
Pak Naufal memutuskan untuk memanggil drh. Galuh untuk memeriksa sapi tersebut. Pada
pemeriksaan klinis denyut nadi normal dan tidak ada nafsu makan, dehidrasi sedang, lemah
dan berat badan menurun. Sedangkan pada pemeriksaan per-rektal dirasakan adanya tulang
fetus di uterus terikat dengan mengelurkan cairan bernanah berbau busuk dari vulva.
Terdengar suara kreping tulang jelas di cornua uterii. Pemeriksaan pervagina mengungkapkan
fetus dapat teraba dengan posisi longitudinal posterior.

Kasus 3
Peternakan sapi milik juragan Hamdi menghubungi petugas Sudiang sore tadi. Sapi
juragan Hamdi memiliki nafsu makan yang menurun adan tetapi sapi tersebut terlihat gemuk.
Setelah petugas datang ke lokasi, ternyata salah satu sapi betina milik juragan Hamdi sudah
rebah dan ketika berdiri sapi tersebut terlihat mengalami tremor dan terlihat ketikseimbangan
saat berdiri. Dan ternyata sapi tersebut sudah kawin sejak 8 bulan yang lalu. Pada saat
membuang air kecil bau urin sapi sangat khas.

Kasus 4
Peternakan sapi milik Pak Melki merupakan peternakan terbesar yang memiliki
kandang kolektif. Salah satu betina di kandang tersebut sejak 8 bulan yang lalu
memperlihatkan tanda klinis layaknya sapi bunting seperti pembesaran abdomen tetapi sapi
tidak memperlihatkan pembesaran kelenjar mammae. Sapi tersebut terlihat seperti gelisah dan
setelah dilakukan pemeriksaan fisik diperoleh bahwa terdapat refleks sakit di bagian sekitar
abdomen. Hasil palpasi rektal menunjukan uterus membesar dan mengeras pada salah satu
sisi serta tidak ada fremitus a. uterina mediana dan ketika ovarium diraba terdapat penonjolan
folikel.

Kasus 5

15
Seekor sapi perah berumur 6 tahun dengan produksi susu 30 liter/hari milik Bu Suharti
menunjukkan gejala partus mulai pukul 03.00 WITA namun hingga pukul 21.00 WITA tidak
kunjung mengalami partus. Pemeriksaan pervaginal tidak ditemukan respon gerakan fetus dan
tubuh fetus sudah mengeras. Kantung amnion pecah dan cairan keluar dari vagina serta
diikuti organ intestinal fetus. Kaki belakang fetus melipat ke kepala di jalan kelahiran.
Pemeriksaan fisik ditemukan suhu rektal 38.8oC, frekuensi nafas 68x/menit, dan frekuensi
jantung 136x/menit.

4.2 Pembahasan
Kasus 1
Diagnosa dari kasus 1 adalah hydroallantois dimana gejala patognomonis dari
hydroallantois itu sendiri adalah tidak nafsu makan, mengalami peningkatan berat badan yang
pesat, pembesaran abdomen yang berlebihan serta sapi mengalami dyspnoe. Menurut Reddy
et al (2018), hydroallantois adalah salah satu gangguan sporadis pada hewan perah yang
ditandai dengan akumulasi cairan yang cepat pada periode kehamilan terakhir, perubahan
drastis dalam cairan allantoic terjadi di rongga allantoic yang menyebabkan peningkatan
ukuran dan distensi bilateral perut, secara klinis muncul sebagai kehamilan kembar atau ganda
sapi juga mengalami anoreksia, tanda-tanda sakit perut, gangguan pernapasan dan sembelit.
Hasil pemeriksaan palpasi perektal menyatakan sapi telah bunting tua meskipun fetus tidak
dapat teraba. Pembesaran abdomen terjadi karena adanya akumulasi cairan pada allantois
fetus sehingga mengakibatkan abdomen dari induknya membesar. Dyspnoe terjadi karena
adanya penekanan pada rongga thorax akibat pembesaran abdomen sehingga membuat induk
menjadi sesak nafas. Selain itu, diagnosa diperkuat dengan dengan hasil pemeriksaan palpasi
perektal yang menyatakan bahwa sapi telah bunting tua dikarenakan pada dasarnya
hydroallantois memang menyerang sapi-sapi yang usia kebuntingannya sekitar 8-9 bulan atau
pada trimester terakhir.
Penanganan yang tepat untuk kasus ini adalah memberikan diinduksi partus terlebih
dahulu dengan menggunakan inj. Dinoprost tromethamine (Lutalyse®, Pfizer Animal Health,
25 mg, intramuskuler) dan inj. Dexamethasone sodium phosphate (Dexasone, Zydus Animal
Health Limited, 60 mg, intramuskuler). Pengobatan suportif juga diberikan untuk pencegahan
infeksi sekunder dan manajemen nyeri. Untuk menghilangkan cairan allantoic, tangan
dimasukkan ke dalam vagina dan bagian yang menonjol dari kantung allantoic pecah untuk
mengalirkan cairan dari uterus gravid. Setelah pengangkatan total cairan allantoic, fetus
dipalpasi dan diberikan traksi. Hewan diberi obat 5 liter masing-masing 5% dekstrosa normal
saline dan larutan normal saline. Suntikan ceftiofur natrium 1 gm (Xnel, Pfizer) dan injeksi
deksametason 35mg (Dexasone, Zydus Animal Health Limited) diberikan secara intravena,
sedangkan injeksi Meloxicam 20 ml (Melonex, Intas Neovet) diberikan secara intramuskuler.
Bolus dari Furazolidone dan urea (Furea, Pfizer, 4 no.) (Kapadiya et al., 2018).

Kasus 2
Diagnosa dari kasus 2 adalah maserasi fetus dimana gejala patognomonis dari fetus itu
sendiri adalah vulva yang mengeluarkan leleran yang berbau busuk, cervix terbuka, uterus
yang diraba keras dan menonjol serta masih terasa bekas pertumbuhan CL setelah ovarium
diraba. Saurabh et al (2018), pada pemeriksaan per rektal dinding uterus tebal pekat dengan
tulang janin teraba dalam suara krepasi dan tulang janin pada aspek ventral yang menonjol

16
keluar dari massa padat ditemukan di rongga panggul. Plasentom tidak teraba dan fremitus
tidak ada. Setelah pemeriksaan per-vagina mengungkapkan dilatasi parsial serviks dengan
cairan berbau busuk. Uterus yang diraba keras dan menonjol dikarenakan masih terdapat sisa-
sisa tulang dari fetus itu sendiri yang merupakan hasil dari maserasi. Selain itu, diagnosa
diperkuat dengan keadaan sekitar kandang yang kurang terawatt disertai saluran pembuangan
yang penuh. Kandang yang kurang terawat memicu adanya mikroorganisme atau mikroba
pathogen yang merupakan salah satu penyebab dari maserasi fetus. Maserasi fetus dapat
terjadi jika fetus yang mati disertai dengan dipertahankannya corpus luteum, dan diikuti lagi
dengan terbukanya pintu cervix yang menjadi pusat masuknya bakteri autolitik dan bakteri
lainnya ke dalam uterus. Penyebab dari maserasi fetus itu sendiri salah satunya adalah
mikroorganisme yang berada pada uterus yang dapat menyebabkan infeksi. Penanganan yang
tepat untuk kasus maserasi fetus adalah melakukan irigasi atau flushing dan penyuntikan
hormon prostaglandin untuk melisiskan corpus luteum. Sedangkan menurut Saurabh et al
(2018), tindakan yang dapat dilakukan yaitu hewan diberikan Valethamate bromide 48 mg
(Epidosin), 25 mg Dinoprost tromethamine (Lutalyse), secara intramuskuler untuk
menginduksi involusi korpus luteum dengan penghentian kebuntingan berikutnya. Setelah 24
jam, ada dilatasi lengkap serviks dengan evakuasi nanah sepenuhnya. Di bawah anestesi
Epidural dengan 5 ml Lignocaine hidroklorida, pervaginal mendekati massa tulang janin
diangkat, sepenuhnya dengan traksi lembut dengan pelumasan yang cukup. Massa yang
dikeluarkan adalah maserasi dengan autolisis parsial jaringan lunak. Uterus dibilas dengan 3
liter saline normal hangat. Secara simtomatik, hewan tersebut diobati dengan antibiotik,
antihistamin, obat antiinflamasi dan cairan intravena dan dilanjutkan selama tiga hari. Untuk
mencegah terjadinya maserasi fetus yaitu melakukan perbaikan terhadap manajemen pakan
dan perkandangan sehingga tidak memicu munculnya mikroorganisme.

Kasus 3
Pada kasus 3 adalah toksemia kebuntingan. Dimana gejala patognomonisdan
diagnosanya mirip menurut Jackson (2007) kondisi sapi 2 bulan terakhir kebuntingan dan
khususnya pada beberapa minggu terakhir. Hewan biasanya linglung, anoreksia dan
kehilangan berat badan dengan drastis. Aktivitas rumenal berkurang atau tidak ada dan bau
seperti aseton tercium dari napasnya. Menurut Toelihere (2006) kondisi pada dasarnya
disebabkan oleh berkurangnya konsumsi makanan, terutama karbohidrat dalam hubungannya
dengan kekurangan makanan karena laktasi berat. Kadar keton sangat meningkat didalam
darah dan urin. Pada bentuk nervosa yang jarang terjadi, gejalanya lebih parah dan terlihat
depresi, hewan tersebut gemetar, nervous dan menjilat-jilat, terjadi paresis, dan perununan
reproduksi susu. Penanganan untuk toksemia kebuntingan yaitu terdiri dari peningkatan kadar
gula darah untuk suatu periode, untuk mengembalikan nafsu makan hewan tersebut. Selain
itu, dapat juga dipakai untuk meniggikan kadar glukosa darah adalah larutan 500-1000 ml 40
persen glukosan disuntikkan secara intravena. Penyuntikan 200-600 IU ACTH secara
intramuscular merangsang produksi glucocorticoidboleh kelenjar adrenal yang meningkatakan
kadar gula didalam darah.

Kasus 4
Pada kasus 4 adalah pyometradimana gejala patognomonisdan diagnosa mirip dari
pyometramenurut Toelihere (2006) yaitu pada pyometra dinding uterus umumnya tebal dan

17
berat dan tidak memiliki tonus. Cairan didalam uterus berupa air seperti sirup atau kental.
Cornua uterus umumnya tidak sama besar seperti keadaan bunting. Nanah cenderung untuk
bergravitasi dan berkumpul diapeks atau ujung cornua dan tidak ada penonjolan dorsal pada
cornua uterus seperti yang lazim ditemukan pada kebuntingan muda. Fetus dan plancentoma
tidak teraba. Ateri uterina media mengecil dan tidak ada fremitus. Penangan pyometra
menurut Raj et al (2015) yaitu vvakuasi uterus berkontribusi pada keberhasilan terapi
antibiotik lebih lanjut yang dapat dilakukan dengan palpasi uterus berulang oleh dokter hewan
dan penggunaan hormon untuk mengeluarkan cairan atau mempercepat timbulnya estrus.
Estrus biasanya merupakan cara terbaik untuk merangsang kontraksi uterus dan mengeluarkan
cairan. Ketika cairan dikeluarkan, efektivitas antibiotik dalam membersihkan infeksi yang
tersisa meningkat. Pemberian prostaglandin F2 pada postpartum memperpendek interval
postpartum pada sapi memengaruhi berhari-hari dengan estrus pertama pada sapi perah
dengan meningkatkan evakuasi lochia.

Kasus 5
Pada kasus 5 adalah dimana gejala patognomonis dan dignosanya miripschistosoma
reflexusmenurut (Lestari et al., 2019) kelainan yang ditemukan pada kasus schistosomus
reflexus adalah dorsoflexi dari tulang belakang sehingga akan teraba kepala dan ekstremitas
fetus secara berdekatan saat palpasi perektal dilakukan . Rongga toraks dan abdomen fetus
gagal untuk menutup sempurna menyebabkan organ viseral terpapar dalam ruang uterus
merupakan diagnosis kasus schistosomus reflexus. Organ viseral seperti intestin, jantung,
maupun hati umumnya teraba saat dilakukan palpasi. Penyebab pasti dari kasus ini belum
ditemukan, namun dapat disebabkan oleh faktor genetik, mutasi, infeksi agen, anomali
kromosom, faktor lingkungan, maupun gabungan dari beberapa faktor tersebut. Beberapa
penanganan kasus schistosomus reflexus yang dilakukan adalah fetotomi maupun bedah sesar.

18
BAB V
KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
1. Distokia didefinisikan sebagai kesulitan melahirkan atau ketidakmampuan untuk
dikeluarkan anak dari uterus melalui vaginasedangkan eutokia adalah kelahiran yang
normal
2. Penyebab distokia yaitu terbagi atas dua yaitu penyebab dasar (geenetik, ras, pakan,
penyakit dan exercise) dan penyebab langsung (sebab fetal dan maternal).
3. Adapun prosedur penanganan distokia yaitu anamnesa, pemeriksaan klinis, pemeriksaan
khusus, alat dan obat-obatan
4. Adapun teknik penanganan distokia yaitu observatif, manipulatif, prosedur bedah dan
euthanasia
5.2 Saran
5.2.1 Saran untuk laboratorium
Semoga praktikum daring ini cepat berlalu aga proses praktikum dapat berjalan
dengan lancar dan dapat lebih mudah di pahami
5.2.2 Saran untuk asisten
Saran saya untuk asisten yaitu mungkin bisa di pelankan pada saat menjelaskan kak,
karena susah untuk mencatat kalau terlalu cepat penjelasan dari kakak.

19
DAFTAR PUSTAKA
Abdisa, Tagesu. 2017. Review on the Reproductive Health Problem of Dairy Cattle. Journal
of Dairy and Veterinary Sciences. 5(1):1-12.
Abdullah,M.H.N., C.N. Novita dan E.M. Sari. 2019. Manajeman reproduksi ternak sapi.
Syiah kuala press: Aceh.
Abera, Dessie.2017. Management of Dystocia Cases in the Cattle: A Review. Journal of
Reproduction and Infertility. 8 (1): 01-09.
Assefa, Roba dan Simegnew Adugna. 2018. Causes, Economic Impact and Management of
Dystocia in Dairy Cattle: A Review. Global Veterinaria. 20 (4): 153-163.
Cockcroft, P. 2015. Bovine Medicine. Wiley Blackwell: Iowa.
Cooke, Reinaldo Fernandes., C. Estill dan A. Villarroel. 2009. Calving School Handbook.
Beef Cattle Sciences: Oregon State University.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2008. Petunjuk Pemelharaan Sapi Brahman Croos. BPTU
Sembawa, Ditjen Peternakan: Palembang.
Felius, M., Beerling, M.-L., Buchanan, D., Theunissen, B., Koolmees, P., dan Lenstra, J.
2014. On the History of Cattle Genetic Resources. Diversity. 6(4): 705–750.
Jackson, Peter G.G. 2009. Handbook of Veterinary Obstetrics 2nd Edition. Elsevier Saunders:
USA.
Kapadiya, P. S., Parikh, S. S., Chauhan, P. M., Sutaria, T. V., & Nakhasi, H. C. 2018.
Management of hydroallantois in a Jaffrabadi buffalo: A case report. Journal of
Pharmacognosy and Phytochemistry. 1534-1536.
Lestari, Nurul Aeni Ayu, Dhenok Maria Ulva, Nsereko, dan Mokhamad Fakhrul Ulum. 2019.
Penanganan distokia karena schistosomus reflexus pada sapi friesian holstein. ARSHI
Vet Lett. 3 (1): 9-10.
Mainau., D. Temple, dan Mantace. 2013. Walfare in Dairy Cows During in Peripartum
Peiod. Farm Animal Welfare Education Centre: Universitat Autonoma de Barcelona.
Matli, N. B. 2014. Gangguan Reproduksi pada Sapi Perah dan Upaya Penanggulangannya.
Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Mekonnen, Mollalign dan Nibret Moges. 2016. A Review on Distokia in Cows. European
Journal of Biological Sciences. 8 (3): 91-100.
Noakes, D. E., T. J Parkinson dan G.C.W England. 2019. Arthur’s Veterinary Reproduction
and Obstetric 8th Edition. Saunders Elsevier: China.
Purohit, G.N., Solanki, K., Shekhar, C., Yadav, S.P. 2012. Prespectives of Fetal Dystocia in
Cattle and Buffalo. Veterinary Science Development. volume 2;e8.
Raj, Praveen, Vinod Kumar D dan Naidu G V. 2015. Understanding The Pathophysiology Of
Pyometra and it’s Treatment In Bovines – An Overview. International Journal Of
Science, Environment And Technology. 4 (6) : 1538 – 1539.
Reddy, Y. P., Reddy, B. S., & Sivakumar, R. V. 2018. Ultrasonographic Diagnosis and
Management of Hydroallantois in Buffaloes. International Journal of Livestock
Research. 8 (01): 202-206.
Saurabh., S. Srivastava, A. Patel, P. Sharma, V. Gautam dan S. K. Verma. 2018. Management
of Fetal Maceration in A Buffalo. Bull. Env. Pharmacol. Life Sci. 7 (7) : 84-85.
Schuenemann GM. 2012. Calving Management in Dairy Herds: Timing of Intervention and
Stillbirth. The Ohio State University:Ohio (USA).
Toelihere, Mozes R. 2006. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapid an Kerbau. UI press: Jakarta.

20
Widodo, Setyo., Donlin Sjuthi., Chusnul Choliq., Agus Wijaya., Retno Wulansari dan RP
Agus Lelana. 2017. Diagnostik Klinik Hewan Kecil. IPB Press: Bogor.
Yulianto, P. dan C. Saparinto. 2014. Beternak Sapi Limosin. Penebar Swadaya: Jakarta.

21
Abdisa

22
23
24
Abdullah

25
26
Abera

27
28
29
30
31
Assefa

32
Cockcroft

33
34
35
COOKE:

36
37
38
39
40
41
Direktorat Jenderal Peternakan, 2008

42
43
44
Felius

45
Jackson

46
47
Kapadiya

48
49
Lestari

50
Mainau

51
Matli

52
53
Mekonnen

54
55
56
57
Noakes

58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
Purohit

68
69
70
71
Reddy

72
73
Saurabh

74
Schuenemann

75
76
Toelihere

77
78
Widodo

79
80
Yulianto

81
82

Anda mungkin juga menyukai