Anda di halaman 1dari 5

“Cocoklogi” dan Teori Konspirasi

Antara politik, ikhtiyath dan phobia


Oleh : Rasyiddin siregar

Membicarakan konspirasi selain memang menarik juga seolah hampir tiada akhirnya.
Di Indonesia sendiri walau sudah cukup lama berkembang, pembicaraan tentang teori
konspirasi baru marak dibicarakan umum sejak diterbitkannya novel The Da Vinci
Code.

Fenomena maraknya pembahasan tentang teori konspirasi yang dipengaruhi oleh


buku karya Dan Brown ini dapat kita lihat dari menjamurnya buku-buku yang terbit
kemudian untuk menjelaskan lebih lanjut tentang isu apa sebenarnya yang dibawa
Dan Brown dalam bukunya.

Isu-isu seperti perkumpulan dan organisasi rahasia dengan agenda besar tertentu
betul-betul menarik perhatian banyak pihak. Indonesia yang cukup lama berada
dibawah kontrol informasi rezim Orde Baru betul-betul terbelalak dengan pemaparan-
pemaparan tentang organisasi macam Freemasonry, Illuminati, Rossicrucian,
Brotherhood of Snake dan lain-lain.

Apalagi agenda yang dibawa oleh kelompok rahasia ini adalah agenda besar yang
pastinya melibatkan seluruh orang di dunia yang ironisnya justru tidak menyadari
adanya agenda tersebut. Agendanya sederhana saja, yakni menguasai dunia.
Sayangnya, ketika isu seperti ini jatuh ketangan public, seringkali masyarakat awam
bertindak reaktif ketimbang antisipatif. Walau agenda “menguasai dunia” itu
terdengar sederhana, tapi aspek-aspek pendukung agar rencana tersebut terwujud
tidaklah sederhana. Disinilah masalah terjadi, ketika masyarakat awam mulai
menyederhanakan perkara yang tidak sederhana.

Gagap Informasi, Semua Berkonspirasi

Konspirasi secara umum adalah bentuk kerjasama dibalik layar, maknanya sendiri
kemudian cenderung bernuansa negative dikarenakan jarangnya seseorang atau
kelompok berkonspirasi untuk tujuan yang baik dan mulia.

Oleh karena sifatnya yang tertutup dan penuh rahasia, teori konspirasi berperan dalam
mengungkap fakta dan benang merah yang janggal dalam sebuah kejadian atau
perkara. Mencari fakta dalam perkara rahasia bukanlah hal yang mudah tapi juga
tidak lantas mustahil, disinilah teori konspirasi berperan. Dengan menggunakan fakta-
fakta janggal yang terbatas, teori konspirasi dibuat untuk membangun hipotesis dasar
untuk kemudian dipakai sebagai alat pengungkap fakta berikutnya. Proses ini terus
berlanjut sampai akhirnya sebuah kenyataan dapat diungkap.

Teori konspirasi sesungguhnya berangkat dari pengungkapan seperangkat fakta yang


kemudian diikat dalam kesimpulan atau hipotesa tertentu yang sifatnya sementara.
Akan tetapi dalam perkembangannya, teori konspirasi menjadi teori yang sifatnya
lebih pada praduga-praduga yang bahkan tidak memiliki fakta awal yang relevant.

Fenomena dimana teori konspirasi turun kasta menjadi teori tebak-tebakan sejatinya
sudah lama terjadi. Penulis sekaligus pakar semiotika dan abad pertengahan, Umberto
Eco dalam novelnya “Foucault’s Pendulum”, dengan bagus menangkap fenomena
tersebut.

Dalam novelnya tersebut, Eco dengan lugas mengungkap betapa berbahayanya jika
sekumpulan fakta yang terbatas tidak dipahami dengan bijak dan justru disikapi
dengan tergesa-gesa. Buku yang diterbitkan tahun 1988 itu adalah wujud auto critics
terhadap fenomena gandrungnya masyarakat Eropa dengan teori-teori konspirasi
yang sebenarnya telah terdegradasi menjadi teori tebak-tebakan. Artinya, di Barat
sana fenomena ini sesungguhnya sudah lama muncul.

Sedangkan di Indonesia sendiri, yang boleh dibilang cukup terlambat menerima teori
konspirasi ala Barat, rupanya juga mengalami hal yang tidak jauh berbeda. Hal ini
diperparah dengan absennya orang-orang yang ahli dibidangnya, terutama seorang
ahli dengan framework Islam.

Contoh sederhana dalam menyikapi karya seni buah tangan Da Vinci, fakta macam
apa yang bisa didapat dari seseorang yang tidak paham sejarah dan tidak faham seni.
Sementara fakta yang hendak diungkap adalah ideology dibalik karya seni.

Walhasil, jangankan membuat hipotesa, dalam pengumpulan data saja bisa jadi kita
sudah banyak salahnya. Dari kerancuan-kerancuan yang demikian bisa jadi
menumbuhkan phobia dalam diri kita bahwa semua ini adalah hasil konspirasi.

Habis Konspirasi Terbit Cocoklogi

Jika kata Biologi itu berasal dari bios yang artinya “kehidupan” dan logos yang
artinya “ilmu”, maka kata Cocoklogi mungkin berasal dari kata cocok yang artinya
memang cocok, tepat atau “klop” dan logos yang artinya ilmu. Dengan kata lain
Cocoklogi adalah ilmu yang membahas kecocokan-kecocokan, atau klop-klopan
antara satu fakta dengan yang lainnya.

Kata Cocoklogi ini sesungguhnya hadir dikarenakan alasan yang sama dengan
terbitnya novel Umberto Eco yang berjudul “Foucault’s Pendulum” itu. Kata
Cocoklogi adalah sebuah bentuk kritik dari masyarakat yang bosan atau boleh jadi
muak dengan para “pakar konspirasi” partikelir yang seringkali mencocok-cocokkan
fakta yang tidak cocok kedalam sebuah teori konspirasi tertentu.
Mirisnya, ilmu Cocoklogi ini cukup menjamur ditengah kalangan aktivis Islam yang
justru baru belajar tentang apa itu konspirasi. Praduga dijadikan fakta, asumsi
dijadikan konsepsi, sungguh pola fikir semacam ini, alih-alih menyelesaikan perkara
konspirasi global, justru menjadi masalah “konspirasi” sendiri di dalam tubuh umat
ini.

Terutama yang perlu ditekankan adalah perkara symbol yang dipopulerkan oleh Dan
Brown. Jangan hanya karena ada logo mirip bentuk “satu mata” maka langsung di
justifikasi sebagai antek New World Order, jangan pula hanya karena pakai kata
“cahaya”, sesuatu langsung diasosiasikan dekat atau berkaitan dengan Illuminati.

Sifat bahasa, yang didalamnya termasuk symbol, adalah arbitrer. Artinya bisa jadi
sama “mata”nya tapi maknanya bisa berbeda. Karena masalah pemaknaan akan
kembali kepada ideology yang beraneka ragam adanya.

Bersikaplah dengan Sikap Seorang Muslim

Kalau umat Islam terjebak dengan kebodohan yang sama yang dilakukan para
pemerhati teori Konspirasi di Barat yang keblinger, sungguh percuma predikat
Muslim menempel pada diri kita. Sebab seorang muslim jelas-jelas dilarang untuk
bereaksi hanya berdasarkan kepada praduga atau dzon.

Dalam Islam kita diajarkan dengan teliti dan hati-hati tentang bagaimana mengelola
informasi dalam kehidupan sehari-hari, kita juga diajarkan bahwa mencari dan
mengungkap kebenaran yang bisa menjadi pengetahuan bukan pekerjaan sehari dua
hari, perlu proses yang panjang dan kontinu didalamnya.

Adanya konspirasi itu pasti, tapi sungguh rugi hanya paham konspirasi tapi tidak
mencari solusi. Apalagi kalau sampai kita memakai Cocoklogi untuk melemahkan
perjuangan Islam itu sendiri.

Reperensi

Noreaga dan Achernahr, THE DIARY OF DAJJAL, Jakarta: Pheonix Publishing Project, 2013

A.D EL Marzdedeq . JARINGAN GELAP FREEMASONRY. Bandung: Syaamil Cipta Media, 2006

Arif Fadhillah. SILSILAH, KARAKTERISTIK DAN SEPAK TERJANG BANGSA YAHUDI. Jakarta: Madani Press
& Wiskaf, 2009

Anda mungkin juga menyukai