Anda di halaman 1dari 22

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kakao merupakan salah satu komoditi yang cukup banyak dimanfaatkan pada


dunia industri. Biji kakao dapat diolah menjadi berbagai macam produk. Produk
utama dari biji kakao adalah bubuk dan lemak kakao yang kemudian dapat diolah
menjadi beberapa produk baru yang bernilai ekonomi tinggi misalnya coklat. Hal
ini dikarenakan biji kakao mengandung cita rasa dan warna khas yang sangat
digemari dan banyak diminati. Produk olahan kakao yang bermutu baik sangat
dipengaruhi oleh mutu dari biji kakao yang digunakan. Bila biji kakao yang
digunakan bermutu rendah, maka hasil yang diperoleh akan rendah pula.

Cokelat adalah sebutan untuk hasil olahan makanan atau minuman dari biji
kakao (Theobroma cacao). Cokelat pertama kali dikonsumsi oleh penduduk
Mesoamerika kuno sebagai minuman.Theobroma cacao adalah nama biologi
yang diberikan pada pohon kakao oleh Linnaeus pada tahun 1753. Tempat
alamiah dari genus Theobroma adalah di bagian hutan tropis dengan banyak curah
hujan, tingkat kelembaban tinggi, dan teduh.
Secara umum, proses terbentuknya coklat dari buah kakao mengalami
beberapa tahapan, yaitu pembersihan dan penyortiran biji kakao, penyangraian,
pemecahan dan pemisahan kulit, pengempaan untuk mendapatkan lemak kakao
dan bungkil kakao, dan terakhir pengolahan pasta dan bubuk coklat untuk
mendapatkan produk akhir yang diinginkan. Produk – produk tersebut dapat
berupa coklat batangan, coklat bubuk, dan masih banyak yang lainnya. Oleh
karena itu dilakukan praktikum ini untuk mengetahui proses-proses dalam
pembuatan coklat yang akan mempengaruhi produk akhir yang.

1.2 Tujuan
1. Memahami perubahan yang terjadi selama penyangraian,
2. mengetahui efisiensi pemisahan kulit biji
3. mengetahui ukuran partikel pasta hasil pemastaan dibandingkan dengan
pasta komersial
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kakao
Kakao adalah tanaman yang berasal dari hutan-hutan tropis di Amerika
Tengah dan Amerika Selatan bagian utara. Pengusahaan kakao sebagai makanan
dan minuman dilakukan pertama kali oleh penduduk suku Indian Maya dan suku
Aztec. Selanjutnya, bangsa Spanyol dan Belanda yang berperan dalam
mengenalkan dan menyebarkan tanaman kakao hingga ke Asia termasuk
Indonesia (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).

Kakao merupakan satu-satunya di antara 22 jenis marga Theobroma, suku


Sterculiaceae yang diusahakan secara komersial. Sistematika tanaman kakao
sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa: Malvales

Suku : Sterculiaceae

Marga : Theobroma

Spesies : Theobroma cacao L.

Kakao terbagi menjadi tiga kelompok besar yaitu Criollo, Forastero, dan
Trinitario. Criollo dalam tata niaga kakao termasuk kelompok kakao mulia (fine
flavoured), Forastero termasuk kakao lindak (bulk), dan Trinitario merupakan
hibrida Criollo dengan Forastero (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
Indonesia, 2004).

Jenis tanaman kakao ada 2 yaitu kakao lindak dan kakao mulia. Jenis
tanaman kakao yang dibudidayakan dan juga digunakan sebagai bahan baku
pengolahan kakao adalah jenis kakao mulia, karena produksinya tinggi dan biji
kakao kering memiliki aroma yang sangat baik (Mulato dan Misnawi, 2005).
Menurut Susanto dan Saneto (1994), bahwa tanaman kakao yang paling
banyak ditanam untuk produksi kakao secara besar-besaran dapat dibagi menjadi
tiga jenis (varietas), yaitu Criollo, Forastero, dan Trinitario.

2.2 SNI Pasta Kakao dan Cokelat

Tabel 1. Syarat mutu kakao massa


No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan -
1.1 Bau % Khas kakao massa
1.2 Rasa Khas kakao massa
1.3 Warna Coklat
2 Kadar lemak (b/b) Min.48
3 Kadar air (b/b) % Maks.2
4 Kehalusan (lolos ayakan mesh 200)(m/b) % Min.99,0
5 Kadar abu dari bahan kering tanpa lemak (b/b) % Maks. 14
6 Kulit dihitung dari alkali free nibs (b/b) % Maks. 1,75
7 Cemaran logam
7.1 Timbal (Pb) Mg/kg Maks. 2,0
7.2 Kadmium (Cd) Mg/kg Maks. 1,0
7.3 Timah (Sn) Mg/kg Maks.40
8 Cemaran arsen (As) Mg/kg Maks. 1,0
9 Cemaran mikroba
9.1 Angka lempeng total Koloni/g Maks.5 x 103
9.2 Bakteri bentuk coli APM/g <3
9.3 Escherichia coli Per g Negatif
9.4 Salmonella Per 25 g Negatif
9.5 Kapang Koloni/g Maks.50
9.6 Khamir Koloni/g Maks.50
Sumber : (SNI 3749:2009)

2.3 Proses Pembuatan Cokelat


Proses pembuatan cokelat melalui beberapa tahapan.
2.3.1 Penyangraian
Selama proses sangrai, asam amino dan gula reduksi pada biji kako akan
bereaksi membentuk senyawa Maillard. Menurut Winarno (2001), reaksi Maillard
adalah reaksi yang terjadi antara gugus amina primer pada lantai protein dengan
gula reduksi sehingga terbentuk senyawa mellanoidin (pigmen cokelat).
Sedangkan senyawa gula non-reduksi (sukrosa) akan terhidrolisa oleh air
membentuk senyawa gula reduksi dan kemudian akan melanjutkan reaksi
Maillard. Selain keberadaan senyawa calon pembentuk aroma dan cita rasa,
kesempurnaan reaksi sangrai dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu panas, waktu dan
kadar air (Mulato dkk, 2004).
Menurutu Azizah (2005) selama proses penyangraian ada empat tahapan
reaksi fisik dan kimiawi berjalan secara berurutan, yaitu,
1. Penguapan air dari dalam biji,
2. Pelepasan kulit yang menempel di permukaan inti biji,
3. Pencokelatan inti biji,
4. Penguapan senyawa volatile (senyawa yang mudah menguap) antara lain
asam, aldehid, furan, pirazin, alkohol dan ester.
Menurut Minife (1980), tingkat suhu penyangraian beragam tergantung
jenis biji dan penggunaan selanjutnya. Tingkat suhu penyangraian dibagi menjadi
tiga golongan yaitu:
a. Penyangraian suhu rendah, yaitu pada suhu 110 – 115 oC dengan waktu 60
menit. Produk yang dihasilkan adalah lemak kakao, gula-gula, dan red cocoa
powder.
b. Penyangraian suhu menengah, yaitu pada suhu 140 oC dengan waktu 40 menit.
Produk yang dihasilkan adalah bubuk kakao, liquor, vamicelly, dan chocolate
bars.
c. Penyangraian suhu tinggi, yaitu pada suhu 190 – 200 oC dengan waktu 15 – 20
menit. Produk yang dihasilkan adalah kakao bahan coating, black liquor cocoa,
bahan pengisi chocolate bars .
2.3.2. Pemisahan Nib
Kulit biji kakao tidak cocok untuk dikonsumsi oleh manusia karena
memiliki kandungan selulosa yang cukup tinggi yang dapat mengakibatkan rasa
pedih. Kulit biji juga dapat menyebabkan kapasitas penghancuran biji secara
mekanis menjadi rendah (Mulato dkk, 2004).
Pemisahan kulit biji secara manual pada biji kakao berkadar air 6,5 persen
diperoleh komponen nib sebanyak 87,1 persen sedangkan pemisahan secara
mekanis jarang dapat mencapai lebih dari 83 persen dan nib lazimnya masih
mengandung 1,5-2 persen kulit biji. Hal ini berarti kandungan murni tidak lebih
dari 82 persen. (Minife, 1980)
2.4.3. Pemastaan
Proses pelumatan dengan alat penghalus pasta atau refiner untuk
menghasilkan kehalusan pasta dengan ukuran partikel < 20 μm. Proses pelumatan
dilakukan secara berulang sampai diperoleh pasta cokelat dengan tingkat
kehalusan di bawah 20 μm. Pasta yang demikian dapat langsung digunakan
sebagai bahan baku untuk berbagai jenis makanan, roti, kue atau permen cokelat
(Mulato dkk, 2004).
2.4.2 Pengeresan atau Pengempaa
Pengepresan bertujuan untuk memisahkan lemak kakao dari pasta
kasar/pasta halus. Banyaknya lemak yang dapat diekstrak tergantung pada
lamanya pengepresan, tekanan yang digunakan, dan ukuran partikel pasta yang
diekstrak. Lemak kakao akan relatif mudah dikempa pada suhu antara 40-45oC,
kadar air <4% dan ukuran partikel <75 m. Sisa hasil kempaan adalah bungkil
padat dengan kandungan lemak berkisar antara 10-22% (Septianti, 2013).
2.4.3 Pembuatan Cokelat
Menurut Septianti (2013), proses pengolahan lemak dan pasta cokelat
menjadi makanan cokelat dibagi menjadi pencampuran, penghalusan, koncing
tempering dan pencetakan.
A. Pencampuran
Pencampuran dilakukan dengan mengaduk campuran pasta dan lemak
cokelat, susu, dan bahan lain sebagai penambah rasa dengan perbandingan
tertentu serta mentega dan lesitin untuk mendapatkan penampilan cokelat yang
baik (mengkilap).
B. Penghalusan / Refining
Adonan yang homogen kemudian dihaluskan/direfining secara berulang
dengan menggunakan alat refiner (mesin penghalus adonan cokelat tipe roll
bertingkat) untuk menghasilkan kehalusan pasta dengan ukuran partikel < 20 m.
C. Conching
Proses koncing diatur suhunya antara 60-70oC selama 18-24 jam. Selama
proses koncing partikel cokelat, gula dan susu akan terikat dan terselimuti dengan
baik oleh lapisan lemak sehingga memberikan sensasi halus dalam mulut.
D. Tempering
Adonan cokelat yang telah jadi sebelum dicetak harus melewati proses
tempering terlebih dahulu, yaitu penyimpanan adonan dalam ruangan dengan
kondisi suhu dan waktu tertentu. Pada tahap awal ruang tempering dipanaskan
secara perlahan sehingga suhu adonan cokelat meningkat dari suhu 33oC menjadi
48oC selama 10- 12 menit. Kemudian diikuti proses pendinginan awal, suhu
adonan diturunkan menjadi 33oC. Pada tahap ini kristal lemak belum terbentuk
sehingga perlu diturunkan lanjut pada 26oC. Adonan kemudian dipanaskan ulang
sampai suhu 33oC saat adonan akan dituang ke cetakan.
E. Pengemasan
Tahap terakhir adalah pengemasan yang bertujuan untuk mempertahankan
aroma, cita rasa dan penampilan produk makanan cokelat. Faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap keawetan makanan cokelat adalah suhu lingkungan,
kelembaban dan kandungan oksigen di dalam. Kemasan harus ditutup rapat
dengan perlakuan panas dan tekanan. Beberapa jenis kemasan menggunakan
sistem vakum untuk memperpanjang masa simpan bahan dan makanan cokelat.

BAB 3 METODOLOGI PRAKTIKUM


3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
1. Roaster
2. Mesin winnowing
3. Alat pemastaan
4. Thickness meter
5. tisu
6. Pisau
7. Timbangan
8. Gelas arloji
9. Tempat sampel
10. Timbangan
11. pinset
3.1.2 Bahan
1. Kakao biji
2. Biji kakao sangrai
3. Nib
4. Pasta komersial

3.2 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan


3.2.1 Penyangraian

100 gram biji kakao

Penyangraian 110 – 115oC selama


10 menit
Pengeluaran dari mesin penyangraian

Pendinginan

Penimbangan

Pengamatan warna, aroma, tekstur

Penyangraian merupakan proses awal yang dilakukan dalam pengolahan


biji kakao. Penyangraian bertujuan untuk penguapan air dari dalam biji,
memudahkan pelepasan kulit yang menempel di permukaan inti biji, pencokelatan
inti biji, dan penguapan senyawa volatile (senyawa yang mudah menguap) antara
lain asam, aldehid, furan, pirazin, alkohol dan ester. Langkah awal dalam
penyangraian biji kakao adalah penimbangan 100 gram biji kakao yang akan
digunakan sebagai sampel. Selanjutnya, dilakukan penyangraian biji kakao pada
mesin roaster menggunakan suhu 110-115 oC selama 10 menit. Penyangraian
hanya dilakukan selama 10 menit dikarenakan proses penyangraian bertujuan
untuk mengendorkan kulit biji kakao, sehingga pada saat pengupasan
menggunakan mesin winnowing akan lebih mudah. Setelah dilakukan
penyangraian selama 10 menit, biji kakao dikeluarkan untuk selanjutnya
dilakukan pendinginan. Langkah selanjutnya adalah dilakukan penimbangan
untuk mengetahui berat biji kakao setelah penyangraian sehingga dapat diketahui
banyaknya air yang hilang selama proses penyangraian. Tahap terakhir adalah
pengamatan sensoris biji kakao, antara lain dari segi warna, aroma, dan tekstur.
3.2.2 Pemisahan Biji

Biji kakao sangrai

Penimbangan 100 gram

Pemasukan kedalam mesin winnowing

Nib Kulit

Penimbangan Penimbangan

Penimbangan 50 gram

Pemisahan kulit terikut

Penimbangan Kulit

Proses selanjutnya yang dilakukan dalam pengolahan cokelat adalah


pemisahan kulit biji. Proses pemisahan atau pengupasan kulit biji kakao diakukan
menggunakan mesin winnowing. Langkah awal yang dilakukan adalah
penimbangan 100 gram biji kakao yang sebelumnya telah disangrai sebagai
sample. Selanjutnya, dialukan pengupasan kulit biji dengan mesin winnowing,
Tujuan dari pengupasan biji kakao adalah memisahkan nib dan kulit. Selanjutnya
dilakukan pengambilan sebanyak 50 gram nib untuk dilakukan pemisahan antara
nib dengan kulit yang terikut. Kulit yang terikut kemudian ditimbang dan
dilakukan perhitungan efisiensi kulit yang terikut.

3.2.3 Pemastaan

Nib

Penimbangan 100 gram

Pemasukan dalam mesin pemasta

Pemastaan

Pasta

Penimbangan

Pengukuran partikel menggunakan


thickness meter

Proses selanjutnya dalam pengolahan biji kakao menjadi cokelat adalah


proses pemastaan. Proses pemastaan dilakukan pada nib yang telah bersih dari
kulitnya. Dilakukan penimbangan 100 gram nib yang telah bersih sebagai sampel.
Selanjutnya proses pemastaan dilakukan dengan bantuan mesin pemasta. Pasta
yang dihasilkan selanjutnya dilakukan penimbangan untuk mengetahui berat
pasta. Pasta hasil pemastaan dilakukan pengukuran besar partikel menggunakan
Thickness meter.

BAB 4 HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN

4.1 Hasil Pengamatan

4.1.1 Penyangraian

Ulangan Berat (gram) Deskripsi sifat fisik sebelum Deskripsi sifat fisik setelah
sangrai sangrai
Awal Setelah Warna aroma tekstur warna aroma tekstur
(gr) Roasting
(gr)
1 100 95 Coklat Lemah Keras Coklat Kuat Mudah
tua rapuh
2 100 92¸5 Coklat Lemah Keras Coklat Kuat Mudah
tua rapuh
3 100 95 Coklat Lemah Keras Coklat Kuat Mudah
tua rapuh
4 100 95 Coklat Lemah Keras Coklat Kuat Mudah
tua rapuh

4.1.2 Pemisahan kulit

Berat (g)
Fraksi
Kulit Nib
1 1,98 92,21
2 2,60 29,56
3 2,60 15,93
4 7,53 -

4.1.3 Pemastaan

Ulangan Berat awal Berat setelah Ukuran Ukuran partikel


pemastaan partikel (mm) pasta komersial
(mm)
1 284 x 10-2
2 100 94,81 236 x 10-2 2
3 303 x 10-2

4.2 Hasil Perhitungan

4.2.1 Pemisahan Kulit

Fraksi Persentasi Kulit


1 2,102%
2 8,084%
3 14,031%
BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Penyangraian

Proses penyangraian dilakukan melalui 4 kali ulangan dengan


menggunakan masing-masing 100 gram biji kakao. Pengamatan yang dilakukan
berupa analisa sensori dengan parameter pengamatan warna, aroma, dan tekstur.
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, warna keseluruhan
pengulangan biji kakao setelah di sangrai menjadi cokelat, dengan aroma yang
lebih kuat dari sebelum disangrai dan teksturnya menjadi rapuh. Hasil
penyangraian cokelat yang didapatkan telah sesuai petunjuk penyangraian dan
menghasilkan biji kakao yang sesuai. Menurut Winanrno (2001), proses
penyangraian bertujuan untuk membentuk aroma dan cita rasa khas cokelat dari
biji kakao. Melalui proses fermentasi dan pengeringan yang tepat, biji kakao
mengandung cukup banyak senyawa calon pembentuk cita rasa dan aroma khas
cokelat antara lain asam amino dan gula reduksi yang selama proses penyangraian
keduanya akan bereaksi membentuk senyawa Maillard. Warna cokelat yang
dihasilkan dipengaruhi oleh panas dan waktu yang dikenakan ada sample.
Penyangraian suhu 110 – 115 oC memberikan warna cokelat pada biji kakao
dengan produk yang dihasilkan adalah lemak kakao, gula-gula, dan red cocoa
powder (Minife, 1980). Reaksi Maillard juga berpengaruh pada perubahan warna.
Pembentukan aroma yang kuat dipengaruhi oleh penguapan senyawa volatile
(senyawa yang mudah menguap). Proses penyangraian terbentuk 400-500
komponen yang telah diidentifikasi dari bermacam bentuk fraksi volatil dan non-
volatil pada cokelat. antara lain asam, furan, pirazin, hidrokarbon, alkohol,
aldehid, keton, ester, amina, aksazol, komponen sulfur dan ester (Azizah, 2005).
Perubahan tekstur bekaitan dengan adanya perubahan kadar air dalam biji kopi.
Jika kadar air turun maka tingkat kekerasan pada biji kakao akan berubah. Hal ini
sesuai dengan literatur, kadar air biji kakao ditentukan oleh cara penyangraian dan
penyimpanannya. Kadar air biji kakao hasil pengeringan sebaiknya antara 6-7%.
Namun, kadar air yang terlalu rendah juga tidak baik karena biji kakao menjadi
sangat rapuh (Wahyudi dkk, 2008).

5.2 Pemisahan Kulit

Proses pemisahan nib dilakukan menggunakan prinsip berat jenis


menggunakan mesin winnowing yang akan menyedot kulit biji kakao dengan
berat jenis yang lebih rendah dan meloloskan nib dengan berat jenis yang lebih
besar. Pada mesin winnowing terdapat 4 fraksi berat. Semakin banyak fraksi berat
maka efisiensi mesin akan semakin meningkat. Proses pemisahan dikenakan pada
sample biji kakao 100 gram. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan,
semakin tinggi fraksi semakin kecil berat nib yang dihasilkan, hal ini dikarenakan
semakin tinggi fraksi semakin kecil ukuran nib yang didapatkan dan semakin
besar kulit yang didapatkan. Berdasarkan hasil perhitungan yang didapatkan,
presentase kulit terikut semakin meningkat,. Menurut SNI 3749:2009 kadar kulit
maksimal yang dapat terikut 1,75 % (b/b). Kulit yang terikut pada nib cukup
tinggi, hal ini dikarenakan proses winnowing berdasarkan berat jenis dan pada
praktiknya terdapat kulit biji yang terlalu besar hingga tidak mampu tersedot
mesin dan ikut lolos pada bagian nib, faktor yang dapat mempengaruhi adalah
kadar air pada bahan masih tinggi atau dapat dikatakan bahwa proses
penyangraian kurang sempurna, sehingga kulit yang dipisahkan melebihi kadar
maksimal.

5.3 Pemastaan

Proses pemastaan dilakukan menggunakan mesin pemastaan pada 100


gram nib. Setelah pemastaan kemudian dilakukan pengamatan yang meliputi berat
setelah pemastaan (rendemen) dan diukur ketebalannya (ukuran partikel) dengan 3
kali pengulangan pada masing-masing sample menggunakan thickness
meter.Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, berat pasta kakao yang
telah diproduksi 86,01. Ukuran partikel pasta coklat yang didapatkan dari hasil
pemastaan adalah 2-3 mm. Faktor yang dapat mempengaruhi pengecilan ukuran
adalah kadar air dan sensitivitas bahan terhadap energi panas. Perbedaan ini juga
dapat disebabkan karena kekerasan biji kakao. Kekerasan biji kakao juga
berhubungan dengan kadar air pada biji kakao. Kadar air pada biji kakao yang
berbeda-beda inilah yang mempengaruhi ukuran dari partikel pasta kakao. Pada
prinsipnya biji kakao yang memiliki kadar air yang rendah akan memiliki tingkat
kerapuhan yang tinggi (Kent, 1993). Sample hasil pemastaan yang dilakukan tidak
memiliki ukuran partikel yang sesuai dengan ketentuan hasil pasta kakao yang
dapat diolah menjadi coklat. Sample hasil pemastaan yang didapatkan 2-3mm atau
2000-3000 μm. Menurut Mulato., et al (2004) nib yang semula berbentuk butiran
padat kasar harus dihancurkan sampai ukuran tertentu (<20 μm) dan menjadi
bentuk pasta cair kental. Proses pemastaan atau penghalusan nib kakao dilakukan
dalam dua tahap, yaitu penghancuran untuk merubah biji kakao padat menjadi
pasta dengan kehalusan butiran >40 μm dengan menggunakan mesin pemasta
silinder. Kemudian disusul proses pelumatan dengan alat penghalus pasta atau
refiner untuk menghasilkan kehalusan pasta dengan ukuran partikel <20 μm.
BAB 6. PENUTUP

6.1 Kesimpulan

1. Selama proses penyangraian terjadi proses perubahan fisik dan kimiawi


pada biji kakao berupa warna menjadi coklat, aroma semakin kuat dan
tekstur yang rapuh.
2. Pemisahan kulit biji dilakukan menggunankan mesin winnowing kurang
efisien dikarenakan ukuran kulit biji terlalu besar dan pengaruh kadar air,
sehingga masih banyak kulit biji terikut.
3. Ukuran partikel pemastaan tidak sesuai dengan ketentuan pada sumber
dikarenakan perlakuan pemastaan yang hanya sekali dan dipengaruhi oleh
faktor kekerasan biji dan kadar air.

DAFTAR PUSTAKA

Afoakwa, E.O., Paterson, A. And Folwer, M. 2007. Factors


influencing rheological and textural qualities in
chocolate–a review. Trends Food Sci. Technol. 18(6),
290–298.
Azizah, Siti. 2005. Uji Kinerja Mesin Sangrai Tipe Silinder
Horisontal Berputar Untuk Penyangraian Biji Kakao
“Under Grade”. Jurusan Teknik Pertanian. Jember :
Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Jember.
Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI 3749 : 2009 – Kakao
Massa. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional.

Beckett, S. T. 2009. Industrial Chocolate Manufacture And Use. 4th


edition.
Wiley-Blackwell, York, UK,
BSN. 2008. SNI Biji Kakao 01-2323-2008. Jakarta.
BSN. 2009. Kakao Massa SNI 3749 : 2009. Jakarta : Badan
Standar Nasional. BSN. 2009. Lemak Kakao SNI 3748 : 2009.
Jakarta : Badan Standar Nasional. Geiselman, P.J., Smith, C.F.,
Williamson, D.A., Champagne, C.M., Bray, G.A.
And Ryan, D.H. 1998. Perception of sweetness intensity
determines women’s hedonic and other perceptual
responsiveness to chocolate food. Appetite 1998(31), 37–
48.

Guinard, J.X. and Mazzucchelli, R. 1999. Effects of sugar and fat


on the sensory properties of milk chocolate: Descriptive
analysis and instrumental measurements. J. Sci. Food
Agric. 79(11), 1331–1339.

Haryadi, M. dan Supriyanto. 2001. Pengolahan Kakao Menjadi


Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.
Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. Hlm 56-70.

Hasbawati, 2006. Karakteristik Fisik Biji Buah Kakao Menurut


Posisinya Pada Pohon. Makassar : Fakultas Pertanian dan
Kehutanan Universitas Hasanuddin.

Hayatinufus, L. Tobing, A. 2010. Modern Indonesian Chef. Jakarta: Dian


Rakyat.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak
Pangan. Cetakan Pertama. Jakarta : UI-Press.

Minife, B.W. 1980. Chocolate Cacao and Confectionary Science and


Technology.
The Avi Publishing Co. Westport. Connecticut
Moeljaningsih. 2006. Pengaruh Penambahan Lesitin TerhadapKualitas Permen
Coklat SelamaPenyimpanan Pada Suhu Kamar. Medan : Badan
KetahananPangan Sumatera Utara.

Mulato, S., Sukrisno, W., Misnawi, Edy, S. 2004. Petunjuk Teknis Pengolahan
Produk Primer dan Sekunder Kakao. Jember : Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia.

Poedjiwidodo, M. S., 1996. Sambung Samping Kakao. Trubus Agriwidya, Jawa


Tengah.

Prawoto, A. dan Sulistyowati .2001. Sifat-sifat fisiko Kkmia lemak kakao dan
faktor-faktor yang berpengaruh. Jember : Pusat Penelitian Perkebunan.
Hlm 39-46.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 2010. Budidaya dan Pasca


Panen Kakao. Bogor.

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2008. Kakao. Jember.


Rector, D. 2000. Chocolate – controlling the flow. Benefits of polygycerol
polyricinoleic acid. Manuf. Confect. 80(5), 63–70

Ruku, S. 2008. Teknologi Pengolahan Biji Kakao Kering Menjadi produk Olahan
Setengah Jadi. Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 2008. Kendari :
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara.
Septianti, E. 2013. Teknologi Pengolahan Primer dan Sekunder Biji Kakao. Sinar
Tani Agroinovasi Edisi 20-26 Maret 2013 No.3499 Tahun XLIII. Makassar
: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Supriyanto dan Marseno, D, W. 2010. Penyangraian Hancuran Nib Kakao Dengan
Enerji Gelombang Mikro Untuk Menghasilkan Cokelat Bubuk.
AGRITECH, Vol. 30, No. 4, NOVEMBER 2010. Yogyakarta : Universitas
Gadjah Mada.
Susanti, 2012. Studi Pembuatan Dark Cokelat Dengan Penambahan Ekstrak Jahe
(zingiberofficinale) Sebagai Bahan Pengisi. Program Studi Ilmu
Teknologi Pangan. Jurusan Teknologi Pertanian. Fakultas Pertanian.
Makassar : Universitas Hasanuddin.

Susanto, F. X. Ir. 1994. Tanaman kakao (Budidaya dan Pengolahan Hasil).


Yogyakarta : Kanisius.
Susanto,F.X., 1994.Tanaman Kakao.Yogyakarta : Kanisius. Hlm 137.
Syamsulbahri. 1996. Bercocok Tanam Tanaman Perkebunan Tahunan. Yogyakarta
: Gadjah Mada University Press.

Towaha, J., Anggraini, D, A., dan Rubiyanto. 2012. Keragaan Mutu Biji Kakao
dan Produk Turunannya Pada Berbagai Tingkat Fermentasi: Studi kasus di
Tabanan, Bali. Pelita Perkebunan 28 (3) 2012, 166-183. Sukabumi : Balai
Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar.

Triwitarsih. 2009. Mengenal Kakao. Yogyakarta : Kanisius

Utama, D. 2013. Pengaruh Kecepatan Pengadukan Terhadap Karakterstik Fisik


Mikrosfer Ovarbumin-Alginat Dengan Metode Aerosolasi. Jurnal
Farmasetika. Surabaya : Unair.
Wahyudi, et al. 2008. Panduan Lengkap Kakao. Jakarta : Penebar Swadaya.
Winarno, FG. 2001. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.
Lampiran Perhitungan

Pemisahan kulit

Presentase kulit = (Kulit : (Nib + Kulit))*100%

1. Fraksi ke 1
1,98 : (92,21+1,98)*100% = 2,102%
2. Fraksi ke 2
2,60 : (29.56+2,60)*100% = 8,084%
3. Fraksi ke 3
2,60 : (15,93+2,60)*100% = 14,031%

Anda mungkin juga menyukai