Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Saliva
Saliva atau air ludah adalah cairan yang jernih, dihasilkan oleh berbagai
kelenjar dalam mulut yang berguna untuk membasahi lidah dan dinding mulut,
sehingga mempermudah gerakan lidah dan menelan makanan. Berdasarkan
anatominya kelenjar saliva dibagi menjadi kelenjar mayor dan minor. Kelenjar
saliva minor tersebar di mukosa mulut yang terdapat pada mukosa labial,
bukal, palatal, dan lingual. Sedangkan kelenjar saliva mayor, terdiri dari tiga
pasang yaitu kelenjar parotis, kelenjar submandibularis, dan kelenjar
sublingualis.15
Sel-sel yang menyusun asini/alveoli kelenjar salivarius dapat dibedakan
menjadi, sel serous, sel mukous, dan campuran serus dan mukus. Asini serus
tersusun dari sel-sel bentuk piramid yang mengelilingi lumen kecil dan
mempunyai membran basalis. Warna kelenjar ini dengan pengecatan
Hematoksilin Eosin (HE) tampak lebih merah, intinya bulat ditengah. Hasil
sekresinya berupa liur yang jernih berisi enzim ptialin. Asini mukous tersusun
dari sel-sel kuboid sampai kolumner yang mengelilingi lumen kecil dan
mempunyai membran basalis. Hasil sekresinya adalah musin (lendir) sehingga
sekretnya sangat kental. Asini campuran mempunyai struktur asini serous dan
asini mukous. Dapat dijumpai stuktur bagian serous di sebelah distal yang
menempel pada bagian mukous sehingga tampak sebagai bangunan berbentuk
bulan sabit dikenal sebagai demiluner dari Gianuzzi.16

1. Fisiologi kelenjar saliva


Derajat pengeluaran saliva dikontrol oleh pusat saliva melalui saraf
otonom yang mempersyarafi kelenjar saliva. Berbeda dengan sistem saraf
otonom di tempat lain, respon simpatis dan parasimpatis di kelenjar saliva
tidak saling bertentangan. Baik stimulasi simpatis maupun parasimpatis

5
Prevalensi Kadar Ph Saliva pada Penderita Stomatitis Aftosa: Kajian pada Mahasiswa/I Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti 2010
Laura Blessa Rolanda
Perpustakaan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, 2016, 021-5672731 Ext. 1607
meningkatkan sekresi saliva, tetapi jumlah, karakteristik dan mekanisme
yang berbeda peran.
Kelenjar saliva yang dikontrol oleh sinyal saraf parasimpatis
berperan dominan, menyebabkan pengeluaran saliva encer dalam jumlah
besar dan kaya enzim.17 Kelenjar saliva yang dikontrol oleh saraf
parasimpatis berasal dari nukleus salivatorius superior dan inferior pada
batang otak. Nukleus salivarius terletak kira-kira pada pertemuan antara
medula dan pons. Beberapa rangsang pengecapan terutama rasa asam,
merangsang sekresi saliva dalam jumlah sangat banyak, seringkali 8 sampai
20 kali kecepatan sekresi basal. Salivasi juga bisa dirangsang atau dihambat
oleh sinyal-sinyal saraf yang tiba pada nukleus salivatorius dari pusat-pusat
sistem saraf pusat. Salivasi juga dapat terjadi sebagai respon terhadap
refleks yang berasal dari lambung dan usus bagian atas. Saliva yang ditelan
diperkirakan membantu menghilangkan faktor iritan pada traktus
gastrointestinal dengan cara mengencerkan atau menetralkan iritan.18
Perangsang simpatis juga dapat meningkatkan salivasi dalam jumlah
sedang, tetapi lebih sedikit dari perangsang parasimpatis dengan konsistensi
kental dan kaya mukus. Saraf-saraf simpatis berasal dari ganglia servikalis
superior dan kemudian berjalan sepanjang pembuluh darah ke kelenjar-
kelenjar saliva. Suplai darah ke kelenjar-kelenjar juga dapat mempengaruhi
sekresi karena sekresi selalu membutuhkan nutrisi yang adekuat. Sinyal-
sinyal saraf parasimpatis yang sangat merangsang salivasi, pada saat yang
bersamaan melebarkan pembuluh-pembuluh darah.18

2. Mekanisme sekresi saliva


Kelenjar saliva berperan memproduksi saliva, dimulai dari proksimal
dari asinus dan kemudian dimodifikasi dibagian distal oleh duktus.5 Sekresi
normal saliva dalam sehari dapat mencapai 1-1,5 liter, meskipun kecepatan
sekresi saliva bervariasi tergantung pada variasi diurnal, status hidrasi,
asupan makanan dan berbagai faktor lainnya. Kecepatan sekresi
unstimulated saliva dapat mencapai atau kurang dari 0,1 mL/menit (selama

6
Prevalensi Kadar Ph Saliva pada Penderita Stomatitis Aftosa: Kajian pada Mahasiswa/I Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti 2010
Laura Blessa Rolanda
Perpustakaan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, 2016, 021-5672731 Ext. 1607
5-15 menit) dimana kecepatan sekresi stimulated saliva dapat mencapai atau
krang dari 0,5 mL/menit. Kecepatan maksimal sebesar 5 mL/menit dapat
pula terjadi sebagai respon terhadap rangsangan kuat. Sekresi air liur yang
bersifat spontan yang kontinu, bahkan tanpa adanya rangsangan yang jelas
disebabkan oleh stimulasi konstan tingkat rendah ujung-ujung saraf
parasimpatis yang berakhir di kelenjar liur.
Sekresi saliva dapat ditingkatkan melalui dua jenis refleks saliva
yang berbeda yaitu reflek saliva sederhana atau tidak terkondisi dan refleks
saliva didapat atau terkondisi. Refleks saliva sederhana atau tidak terkondisi
terjadi sewaktu kemoreseptor atau reseptor tekanan di dalam rongga mulut
berespon terhadap adanya makanan. Sewaktu diaktifkan reseptor tersebut
memulai impuls diserat saraf aferen yang membawa informasi ke pusat
saliva di medulla batang otak. Pusat saliva mengirim impuls melalui saraf
otonom ekstrinsik ke kelenjar saliva untuk meningkatkan sekresi saliva.
Pada refleks saliva didapat atau terkondisi, pengeluaran saliva terjadi tanpa
rangsangan oral. Hanya dengan melihat, berpikir, membaui atau mendengar
pembicaraan tentang makanan yang lezat dapat memicu pengeluaran
saliva.17

3. Komposisi saliva
Komponen-komponen saliva, yang dalam keadaan larut disekresi
oleh kelenjar saliva, dapat dibedakan atas komponen organik dan anorganik.
Namun demikian, kadar tersebut masih terhitung rendah dibandingkan
dengan serum karena pada saliva bahan utamanya adalah air. Komponen
anorganik saliva antara lain sodium, kalsium, kalium, magnesium,
bikarbonat, klorida, rodanida dan tiosianat (CNS), fosfat, potassium dan
nitrat. Sedangkan komponen organik pada saliva meliputi protein yang
berupa enzim amilase, maltase, serum albumin, asam urat, kreatinin, musin,
vitamin C, beberapa asam amino, lisosim, laktat, dan beberapa hormon
seperti testosteron dan kortisol.19,20

7
Prevalensi Kadar Ph Saliva pada Penderita Stomatitis Aftosa: Kajian pada Mahasiswa/I Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti 2010
Laura Blessa Rolanda
Perpustakaan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, 2016, 021-5672731 Ext. 1607
Komposisi saliva dipengaruhi oleh beberapa faktor antaranya adalah
jenis kelenjar saliva, laju aliran saliva, durasi stimulasi dan jenis rangsang.21

4. Fungsi saliva
Fungsi saliva berguna untuk menjaga kesehatan mulut dan
membantu menciptakan keseimbangan biologis dalam mulut yaitu untuk
perlindungan, menjaga kesehatan gigi, menghambat aktivitas antibakteri,
dan membantu proses pencernaan.22
Protein makromolekul dan musin berguna untuk pembersihan,
perlekatan dengan bakteri dalam rongga mulut, dan berpengaruh pada
pembentukan plak. Sebagai pengatur pH dan kapasitas saliva yaitu
bikarbonat, fosfat, dan urea. Sebagai pengatur demineralisasi dan
remineralisasi yaitu kalsium dan fosfat. Sedangkan yang berfungsi untuk
menghambat aktivitas bakteri yaitu imunoglobulin, protein dan enzim.22
a. Perlindungan permukaan mulut
Saliva memberi perlindungan baik pada mukosa maupun elemen
gigi-geligi melalui pengaruh bufer, pembersihan mekanis, demineralisasi
dan remineralisasi, aktivitas anti-bakterial dan agregasi mikro-organisme
mulut. Pengaruh bufer menyebabkan saliva menahan perubahan asam
(pH) di dalam rongga mulut terutama dari makanan yang asam.23
Kalsium dan fosfat memegang peranan penting dalam mekanisme
penolakan terhadap dekalsifikasi email gigi dalam lingkungan asam
(demineralisasi), sedangkan ion-ion ini memungkinkan terjadinya
remineralisasi pada permukaan gigi yang sedikit terkikis.24
Di dalam saliva dijumpai berbagai komponen anorganik dan
organik yang mempunyai pengaruh antibakterial dan antiviral. Misalnya,
thiosianat, laktoperoksidase, enzim-enzim lisozim, protein laktoferin dan
imunoglobulin. Agregasi mikro-organisme terjadi karena bakteri tertentu
digumpalkan oleh komponen-komponen saliva seperti imunoglobulin,
substansi reaktif kelompok darah dan musin. Kolonisasi bakteri di dalam

8
Prevalensi Kadar Ph Saliva pada Penderita Stomatitis Aftosa: Kajian pada Mahasiswa/I Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti 2010
Laura Blessa Rolanda
Perpustakaan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, 2016, 021-5672731 Ext. 1607
rongga mulut akan terhalang dan selanjutnya dapat diangkut ke
lambung.23

b. Pencernaan
Dalam fungsi pencernaan, saliva membantu melumatkan
makanan dan membentuk bolus-bolus makanan yang memfasilitasi
penelanan dan pengecapan.21 Saliva mengandung enzim amylase yang
berfungsi untuk menghancurkan pati menjadi maltose yang merupakan
inisiasi dalam proses pencernaan.17
c. Buffering
Di dalam saliva terdapat ion buffering yaitu sodium bikarbonat
yang membantu mencegah demineralisasi.17 Kemampuan saliva
meminimalisir asam di dalam mulut dikenal dengan istilah kapasitas
buffer. Dengan kapasitas buffer saliva yang tinggi akan menyebabkan
elevasi pH permukaan kristal enamel gigi, menghasilkan kondisi yang
ideal untuk penyerapan mineral.25
d. Fungsi bicara dan membantu penelanan
Saliva membantu melumasi permukaan lidah dan seluruh mukosa
mulut sehingga lidah dapat lebih mudah bergerak dan dapat membantu
melafalkan vokal yang baik.17
Saliva membantu mempermudah proses penelanan dengan
membasahi partikel-partikel makanan sehingga saling menyatu serta
menghasilkan pelumasan karena adanya mukus yang kental dan licin.17,21
e. Menjaga kebersihan rongga mulut
Aliran saliva terus-menerus membantu dalam pembersihan
mekanis dari residu yang ada dalam mulut seperti bakteri non-adherent,
sel epitel deskuamasi dan debris makanan. Semakin besar laju alir saliva,
kemampuan self cleansing saliva semakin baik. Oleh sebab itu, jika ada
perbahan kondisi sistemik yang menurunkan laju alir saliva dapat
menyebabkan perubahan dalam tingkat pembersihan mulut.19

9
Prevalensi Kadar Ph Saliva pada Penderita Stomatitis Aftosa: Kajian pada Mahasiswa/I Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti 2010
Laura Blessa Rolanda
Perpustakaan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, 2016, 021-5672731 Ext. 1607
5. Faktor yang mempengaruhi sekresi saliva
Beberapa faktor mempengaruhi sekresi saliva dengan merangsang
kelenjar saliva melalui cara-cara berikut:26
a. Faktor mekanis yaitu dengan mengunyah makan yang keras atau
permen karet.
b. Faktor kimiawi yaitu melalui rangsangan seperti asam, manis, asin,
pahit dan pedas.
c. Faktor neuronal yaitu melalui sistem saraf otonom baik simpatis
maupun parasimpatis.
d. Faktor psikis yaitu stress yang menghambat sekresi saliva.
e. Rangsangan rasa sakit, misalnya oleh radang, gingivitis, dan pemakaian
protesa yang dapat menstimulasi sekresi saliva.

B. Stomatitis aftosa
Stomatitis aftosa atau apthous stomatitis adalah suatu radang yang
terjadi di daerah mukosa mulut biasanya merupakan ulser putih kekuningan
dengan permukaan agak cekung, dapat berupa lesi tunggal atau multipel
dengan bentuk bulat atau lonjong. Lesi dikelilingi batas merah yang tegas
dengan pseudomembran berwarna putih atau kuning. Stomatitis aftosa
merupakan penyakit kelainan mulut yang paling sering ditemukan. Sekitar 20%
dari populasi menderita penyakit ini, dimana lebih sering ditemukan pada
kaum ekonomi menengah ke atas, dengan prevalensi sedikit lebih tinggi pada
wanita dibanding pria.27 Observasi terhadap stomatitis aftosa pada wanita dapat
dikaitkan dengan siklus menstruasi yang mengarah ke spekulasi adanya
pengaruh hormonal terhadap lesi ini. Meskipun wanita lebih dipengaruhi faktor
etiologi lebih banyak, pada nyatanya tidak terlalu signifikan perbedaan antara
wanita dengan pria.28

1. Etiologi
Penyebab utama stomatitis aftosa belum diketahui secara pasti, namun
terdapat beberapa faktor pendukung yang dapat menginisiasi munculnya

10
Prevalensi Kadar Ph Saliva pada Penderita Stomatitis Aftosa: Kajian pada Mahasiswa/I Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti 2010
Laura Blessa Rolanda
Perpustakaan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, 2016, 021-5672731 Ext. 1607
stomatitis aftosa. Adanya hubungan kondisi emosional seperti stress
terhadap tingkat keparahan dan distribusi, mendukung adanya pengaruh
psikologik dari lesi ini. Faktor predisposisi lainnya meliputi defisiensi
vitamin B 12, asam folat, zinc, zat besi, cyclic neutropenia, infeksi HIV,
agranulosis, penyakit Chron, dan alergi makanan.21 Trauma tergigit,
defisiensi vitamin C, kebersihan mulut yang tidak terjaga, menurunnya daya
tahan tubuh, serta gangguan sistem imun diduga termasuk faktor
predisposisi terjadinya stomatitis aftosa.27

2. Gambaran Klinis
Secara umum, gambaran klinis stomatitis aphtosa adalah pola yang
teratur, bulat atau oval, terasa sakit dengan tepi eritematosa yang tegas. Lesi
ini akan membesar secara bertahap dalam waktu 48-72 jam.29
Manifestasi klinis stomatitis aphtosa dapat berupa lesi yang berat
maupun ringan. Pada kasus yang ringan lesi akan menghilang dengan
sendirinya dalam waktu 7-10 hari tanpa meninggalkan jaringan parut,
sedangkan pada kasus yang berat, lesi dalam mulut dapat menimbulkan
gangguan saat makan dan bicara.28
Stomatitis aphtosa dapat terjadi pada siapa saja tanpa mengenal usia
maupun jenis kelamin. Stomatitis aphtosa dapat menyerang saat kanak-
kanak atau masa remaja dengan intensitas yang tidak terlalu berat, dan
memuncak saat dewasa kemudian akan berkurang secara spontan.(28,30)
Menurut Cawson et al28, orang lanjut usia jarang ditemukan stomatitis
aphtosa karena biasanya sudah tak bergigi. Namun, apabila terdapat
kelainan darah maka hal tersebut merupakan salah satu timbulnya lesi ini
pada lansia.

3. Lokasi
Stomatitis aphtosa dapat muncul di semua daerah mukosa rongga
mulut, tetapi pada tingkat keparahan ringan, biasanya lebih sering terjadi
pada mukosa non-keratin, seperti mukosa labial dan bukal, lipatan

11
Prevalensi Kadar Ph Saliva pada Penderita Stomatitis Aftosa: Kajian pada Mahasiswa/I Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti 2010
Laura Blessa Rolanda
Perpustakaan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, 2016, 021-5672731 Ext. 1607
mukobukal, lateral/ventral lidah, dasar mulut, dan palatum lunak.28 Lesi
sangat jarang ditemukan pada mukosa berkeratin.31 Tidak pernah didapati
adanya lesi pada batas vermilion bibir. Lesi pada lidah biasanya sangat sakit
dengan ulkus yang dalam dan tepi yang terangkat. Sedangkan pada
vestibulum, terutama di mukosa labial dan lipatan mukobukal, lesi
berbentuk linier. Kadang kala lesi juga dijumpai pada frenulum dan uvula.32

4. Klasifikasi
Berdasarkan gambaran klinisnya, stomatitis aftosa dibagi menjadi 3 tipe.
a. Stomatitis aftosa minor
Bentuk ini merupakan bentuk yang paling sering ditemukan,
dengan prevalensi 85% dari keseluruhan angka kejadian. Ukuran
diameter lesi berkisar antara 2-3mm (Gambar 1). Lesi ini dapat muncul
sendiri-sendiri atau berkelompok mencapai 10 lesi, dapat bertahan antara
tiga hari sampai dua minggu sebelum sembuh tanpa meninggalkan
jaringan parut. Bentuk lesi bulat atau oval, dengan lingkaran
erythematous dengan daerah abu-abu atau kuning di tengahnya. Lesi
hanya mengenai mukosa tidak berkeratin, bagian dalam bibir, sulkus dan
mukosa bukal, dasar mulut, bagian bawah lidah dan palatum lunak.
Terkadang dapat mengenai dorsum lidah tetapi tidak pernah terjadi pada
gingiva cekat atau palatum keras.

Gambar 1: Stomatitis Aftosa Minor.33

12
Prevalensi Kadar Ph Saliva pada Penderita Stomatitis Aftosa: Kajian pada Mahasiswa/I Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti 2010
Laura Blessa Rolanda
Perpustakaan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, 2016, 021-5672731 Ext. 1607
b. Stomatitis aftosa mayor
Bentuk lesi ditandai dengan batas garis luar yang tidak beraturan,
dengan diameter 1 cm atau lebih (Gambar 2). Biasanya lesi muncul
sendiri-sendiri, dengan rasa sakit yang lebih besar, ulkus lebih dalam dan
berdarah. Penyembuhan terjadi setelah beberapa minggu sampai bulan,
disertai pembentukan jaringan parut. Lesi hanya terjadi pada mukosa
tidak berkeratin, tampa melibatkan mukosa palatum keras dan gingiva
cekat. Stomatitis aftosa mayor terjadi pada 7% dari populasi.

Gambar 2: Stomatitis Aftosa Mayor.33

c. Stomatitis aftosa herpetiform


Disebut lesi herpetiform karena pasien dengan bentuk lesi ini
memiliki kondisi yang tampak menyerupai infeksi herpes primer.
Diameter diketahui 1-2 mm, berjumlah 20-200 lesi yang terjadi secara
bersamaan (Gambar 3). Sembuh setelah beberapa hari sampai dua
minggu tanpa disertai pembentukan jaringan parut. Hanya melibatkan
mukosa tidak berkeratin dengan prevalensi 7% dari populasi. Bentuk lesi
herpetiform dapat dibedakan dari infeksi herpes primer melalui angka

13
Prevalensi Kadar Ph Saliva pada Penderita Stomatitis Aftosa: Kajian pada Mahasiswa/I Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti 2010
Laura Blessa Rolanda
Perpustakaan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, 2016, 021-5672731 Ext. 1607
rekurensi dimana herpetiform terjadi berulang ditempat yang sama. Pada
infeksi primer gingivostomatitis tampak ulkus yang mengenai gingiva
cekat dan palatum keras, disertai adanya peradangan gingiva. Hal ini
tidak ditemukan pada stomatitis aftosa herpetiform.34

Gambar 3: Stomatitis Aftosa Herpetiform.33

5. Terapi

Melakukan terapi pengobatan untuk stomatitis aphtosa adalah


pengelolaan gejala yang ditimbulkan dari stomatitis aphtosa, karena
stomatitis aphtosa sebenarnya sebuah lesi yang dapat sembuh sendiri.
Namun di tengah keberadaannya yang mengganggu, dapat dipertimbangkan
perlunya diberikan pengobatan untuk mengurangi rasa sakit dan
penyembuhan lesi, akan tetapi ditambah dengan mengidentifikasi faktor-
faktor predisposisi yang mungkin terdapat dalam pasien tersebut.
Faktor predisposisi yang memungkinkan menjadi penyebab
stomatitis aphtosa, seperti hubungan dengan penyakit gastrointestinal,
menstruasi, dan stres harus diidentifikasi. Pemeriksaan darah harus
mencakup jumlah darah lengkap dengan penilaian vitamin B12, folat dan
tingkat besi (Fe) dalam darah pasien tersebut. Timbulnya ulserasi dapat juga
terjadi pada saat periode stres psikologis yang menerpa hidupnya.35
Pengobatan melalui obat-obatan yang bersifat paliatif atau
mengurangi rasa sakit, yaitu :

14
Prevalensi Kadar Ph Saliva pada Penderita Stomatitis Aftosa: Kajian pada Mahasiswa/I Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti 2010
Laura Blessa Rolanda
Perpustakaan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, 2016, 021-5672731 Ext. 1607
a. Kortikosteroid
Beberapa pasien mendapatkan pengobatan dari hidrokortison
hemisuccinate 2,5 mg tablet yang diperbolehkan untuk diminum
dalam mulut tiga kali sehari. Kortikosteroid tidak mungkin untuk
mempercepat penyembuhan luka yang ada, tapi untuk mengurangi
peradangan yang menyakitkan. Bentuk yang paling rasional dalam
pengobatan bagi pasien adalah dengan bentuk topikal untuk
mengaktifkan kortikosteroid untuk bertindak lebih cepat pada tahap
sangat awal tanpa gejala. Rumusan obat ini hanya khusus untuk
pasien yang memiliki ulserasi pada interval 2-3 minggu atau lebih
sering. Dicoba untuk 2 bulan pertama, kemudian berhenti selama
satu bulan untuk menilai bagaimana terapi yang diberikan, apakah
masih berulang atau tidak. Alternatif lain adalah penggunaan
kortikosteroid semprot.28,36
Salah satu bentuk dari kortikosteroid topical adalah
triamcinolone dental paste28. Kortikosteroid berbentuk gel seperti
pasta gigi yang dapat dikeluarkan agar menempel pada permukaan
mukosa yang lembab. Ketika gel sudah diletakkan pada lesi,
kelembaban pada lesi akan berkurang karena diserap gel tersebut
dan gel tetap di lesi selama satu atau beberapa jam degan
menambahkan lapisan pelindung atau kasa di atas ulkus tersebut
untuk dapat tetap berada di atas ulkus. Cara ini efektif pada pasien
stomatitis aphtosa mayor.28
b. Tetrasiklin kumur
Hasil dari laporan penelitian di Inggris dan Amerika Serikat
menunjukkan bahwa tetrasiklin bilasan secara signifikan
mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan stomatitis aphtosa.
Untuk tipe herpetiform khususnya, isi kapsul tetrasiklin (250 mg)
diaduk dengan sedikit air dan kumur dalam mulut selama 2-3 menit

15
Prevalensi Kadar Ph Saliva pada Penderita Stomatitis Aftosa: Kajian pada Mahasiswa/I Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti 2010
Laura Blessa Rolanda
Perpustakaan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, 2016, 021-5672731 Ext. 1607
sebanyak tiga kali sehari. Obat antijamur mungkin juga perlu
diberikan untuk pasien yang rentan terhadap superinfeksi oleh
candida albicans.28
c. Klorheksidin
Larutan solusi 0,2% digunakan sebagai obat kumur untuk
stomatitis aphtosa. Digunakan tiga kali sehari setelah makan dan
kumur dalam mulut setidaknya selama 1 menit. Ada kemungkinan
klorhexidine mengurangi flora dalam mulut terutama streptococci,
yang diketahui menghambat reaksi silang imunologis antara bakteri
dan antigen epitelium oral yang kemudian mendorong insisasi
munculnya lesi. Penggunaan jangka panjang klorhexidine 0,2%
dalam obat kumur mengurangi durasi dari lesi.28,37,38
d. Topikal salisilat
Salisilat memiliki tindakan antiinflamasi dan juga memiliki
efek lokal. Salisilat kolin dalam gel dapat dipakai untuk pengobatan
stomatitis aphtosa. Ini dapat menjadi obat darurat dimana suatu saat
sakit yang tidak tertahankan.28
Penggunaan obat-obatan sistemik tubuh dalam terapi stomatitis
aphtosa juga dapat dilakukan, namun penggunannya harus dipertimbangkan
secara hati-hati dan dikhususkan pada pasien yang tidak merespon pada
pengobatan secara topikal. Obat-obatan sistemik ini seperti prednisolone
(prednisone), levamisol, monoamine oxidase inhibitors, thalidomide atau
dapson.28

16
Prevalensi Kadar Ph Saliva pada Penderita Stomatitis Aftosa: Kajian pada Mahasiswa/I Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti 2010
Laura Blessa Rolanda
Perpustakaan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, 2016, 021-5672731 Ext. 1607

Anda mungkin juga menyukai