Anda di halaman 1dari 102

PEDOMAN PENGENDALIAN

PENYAKIT THALASSEMIA
DI
FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

Kementerian Kesehatan R.I.


Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular
2017
KATA PENGANTAR

Pada saat ini angka kesakitan dan kematian Penyakit Tidak Menular,
seperti penyakit Jantung dan Pembuluh Darah, Kanker, Diabetes Mellitus
dan penyakit metabolisme, penyakit Kronis dan degeneratif lainnya (seperti
Penyakit Paru Obstruktif Kronis, Osteoporosis, Asma, SLE dan lain-lain)
masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal tersebut
dikarenakan makin meningkatnya usia harapan hidup masyarakat
Indonesia dan makin tingginya pajanan faktor risiko, yaitu hal-hal yang
mempengaruhi atau menyebabkan terjadinya penyakit tidak menular pada
seseorang atau kelompok tertentu.
Keberhasilan Program Pengendalian Thalassemia ditentukan oleh
adanya kebijakan, strategi, dan komitmen nasional dalam pengendalian
penyakit tersebut serta kerjasama dengan berbagai pihak terkait serta
didukung oleh sumber daya yang memadai.
Buku ini disusun sebagai panduan bagi petugas kesehatan dalam
upaya pengendalian penyakit Thalassemia di Indonesia pada tingkat
puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. merupakan revisi
dari terbitan pertama tahun 2011 pada Direktorat Pengendalian Penyakit
Tidak Menular di lingkungan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan RI.
Semoga buku pedoman umum ini bermanfaat bagi semua pihak
terutama bagi petugas kesehatan dan pengelola program di berbagai
tingkatan pelayanan dalam upaya pengendalian penyakit Thalassemia di
Indonesia.

Jakarta, Mei 2017


Direktur Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Tidak Menular

dr. Lily Sriwahyuni Sulistyowati, MM


NIP.195801131988032001

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama i


KATA SAMBUTAN

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga buku Pedoman
Pengendalian Thalassemia ini selesai disusun.
Penyakit Thalassemia merupakan salah satu penyakit kronis dan
degeneratif lainnya yang menjadi bagian dari masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Untuk mengendalikan penyakit Thalassemia ini
diperlukan berbagai upaya dari semua pihak. Untuk itu diperlukan suatu
buku pedoman dalam pelaksanaan kegiatan pengendalian Thalassemia di
masyarakat.
Selanjutnya diharapkan upaya pengendalian ini dapat terus
ditingkatkan sehingga angka kesakitan dan kematian akibat penyakit ini
dapat terus diturunkan.
Kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-
besarnya kepada tim penyusun, editor, dan semua pihak yang telah
berkontribusi dalam penyusunan buku ini. Semoga kontribusi yang
diberikan merupakan bagian dari amal baik dalam upaya pengendalian
Thalassemia di Indonesia.
Buku ini masih perlu terus diperbaiki sesuai dengan kemajuan ilmu
dan teknologi di bidang kesehatan. Untuk itu kami mengharapkan masukan
dari semua pihak agar buku ini dapat terus diperbaiki di kemudian hari.
Demikian, semoga buku ini dapat digunakan dengan sebaik-baiknya
dan memberi manfaat sebesar-besarnya.

Jakarta, Mei 2017


Direktur Jenderal P2P

dr. H.M. Subuh, MPPM


NIP. 196201191989021001

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama iii


Pelindung:
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

Penanggung jawab:
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular

TIM PENYUSUN
1. D r. dr. Djumhana Atmakusuma, Sp.PD,KHOM, Divisi Hematologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI-RSCM
2. Dr. dr. Pustika Amalia, Sp.A (K), Divisi Hematologi-Onkologi,
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
3. dr. Iswari Setianingsih, Sp.A,(K) PhD, Lembaga Eijkman, Jakarta
4. dr. Delita Prihatni, Sp.PK
5. dr. Sondang Maryutka SIrait, Sp.PK, BBLK Kementerian Kesehatan
6. dr. Teny Tjitrasari, Sp.A(K), Divisi Hematologi-Onkologi, Departemen
Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
7. dr. Ludi Dhyani Rahmartani, Sp.A, Divisi Hematologi-Onkologi,
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
8. Direktorat Pelayanan Kesehatan Primer, Kementerian Kesehatan RI
9. Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan, Kementerian Kesehatan RI
10. Direktorat Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI
11. Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan, Kementerian Kesehatan
RI
12. dr. Lily S. Sulistyowati, MM
13. dr. Niken Wastu Palupi, MKM
14. dr. Aries Hamzah, MKM
15. Setyadi, ST, M.Kes
16. dr. Novi Indriastuti, M.Epid
17. Mugi Wahidin, SKM, M.Epid
18. Siti Aisyah, S.ST
19. dr. Frides Susanty
20. dr. Gerda Angela Komalawati
21. Dian Kiranawati, S.Kep, Ners
22. Sri Ridha Hasanah, SKM
23. Fadli Amri Tanjung, AMK

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama v


24. Esthi Nusantri, SKM
25. Dr. Ekowati Rahajeng, SKM, M.Kes
26. dr. Theresia Sandra Diah Ratih, MHA
27. dr. Prima Yosephine, MKM
28. dr. Farina Andayani, M.Sc
29. dr. Tiffany Tiara Pakasi, MA
30. dr. Dian Meutia Sari, M.Epid
31. dr. Agung Susanto, MARS
32. dr. Mauliate Duarta C.H
33. dr. Iis Afandi
34. dr. Rezavitawanti

Sekretariat:
1. Yuli Hernita
2. Nuraini,SKM.,MSc
3. R.Djarot Darsono,S.Pd,M.Epid
4. M. Sugeng Hidayat, MHP
5. Sri Widiawati

vi Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ………………………………………………………… i
KATA SAMBUTAN ………………………………………………………….. iii
TIM PENYUSUN ……………………………………………………………. v
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. vii
DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………………… ix
DAFTAR ISTILAH .................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………. xiii
DAFTAR DIAGRAM ………………………………………………………… xv
DAFTAR TABEL …………………………………………………………….. xvii
Bab I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………………... 1
B. Tujuan ……………………………………………………….. 3
C. Ruang Lingkup …………………………………….............. 4
D. Sasaran ……………………………………………………… 4
E. Dasar Hukum ………………………………………………. 4
Bab II PENGENDALIAN THALASSEMIA DI INDONESIA
A. Kebijakan Pengendalian Thalassemia ........................... 7
B. Strategi Pengendalian Thalassemia ............................... 7
Bab III PENYAKIT THALASSEMIA
A. Patofisiologi Thalassemia ………………………………… 9
B. Faktor Risiko Penurunan Thalassemia ........................... 13
C. Klasifikasi Thalassemia .................................................. 14
D. Manifestasi Klinik Thalassemia ....................................... 14
E. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang .................... 15
F. Diagnosis Thalassemia ................................................... 20
Bab IV PENGELOLAAN PENYAKIT THALASSEMIA
A. Pencegahan Primer Thalassemia ………………………... 27
1. Promosi dan KIE ……………………………………….. 27
2. Pengendalian populasi berisiko ………………………. 32

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama vii


B. Pencegahan Sekunder Thalassemia ………………….... 32
1. Skrining/Pejaringan ……………………………………. 32
2. Deteksi Dini …………………………………………….. 38
C. Pencegahan Tersier Thalasaemia ………………………… 39
D. Penatalaksanaan Thalassemia ……………………............ 40
a. Puskesmas/Fasilitas Pelayanan Kesehatan Kesehatan
Tingkat Pertama …………………………………………. 40
b. Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan ……. 41
Bab V MANAJEMEN PROGRAM PENGENDALIAN THALASSEMIA
1. Perencanaan ……………………………………………….. 49
2. Pembiayaan ………………………………………………… 51
3. Penyelenggaraan ………………………………………….. 51
4. Pemantauan dan Penilaian ……………………………….. 57
5. Pembinaan ………………………………………………….. 60
6. Pencatatan dan Pelaporan………………………………… 60
Bab VI PENUTUP ………………………………………………………… 61
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………….................... 63
LAMPIRAN:
1. Membuat pemeriksaan hapus darah tepi …………………………… 67
2. Contoh Unit Pelayanan Kesehatan (Puskesmas & Laboratorium)
yang memiliki Cel Counter …………………………………………… 77
3. Surat Edaran BPJS Kesehatan tentang Pelayanan Thalassemia
bagi peserta JKN ……………………………………………………… 81

viii Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


DAFTAR SINGKATAN

1. MCH : Mean corpuscular haemoglobin = HER ( Hemoglobin Eritrosit


rata-Rata)
2. MCV : Mean corpuscular volume = VER (Volume Eritrosit Rata-rata)
3. MCHC : Mean corpuscular haemoglobin consentration = KHER
(Konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata)
4. RDW : Red cell distribution width

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama ix


DAFTAR ISTILAH

1. Pencegahan Thalassemia Mayor adalah upaya pencegahan kelahiran


anak dengan Thalassemia mayor melalui program pengendalian
Thalassemia mayor di pelayanan kesehatan tingkat pertama.
2. Thalassemia Alfa adalah jenis Thalassemia akibat hilangnya 1 atau
lebih rantai globin-α pembentuk hemoglobin
3. Thalassemia Beta: jenis Thalassemia akibat hilangnya 1 atau lebih
rantai globin-β pembentuk hemoglobin
4. Faktor risiko Thalassemia yaitu anggota keluarga pada keluarga
pasien Thalassemia Mayor, kelompok masyarakat yang mempunyai
prevalensi di atas angka nasional (0,010/∞) (Riskesdas, 2007).
5. Pasangan risiko tinggi adalah pasangan pembawa sifat Thalassemia
yang merencanakan kehamilan dan mempunyai kemungkinan
melahirkan anak Thalassemia Mayor.
6. Populasi yang berisiko adalah:
Seseorang yang mempunyai riwayat anggota keluarga penyandang
Thalassemia, meliputi:
a. Seseorang dengan anemia disertai nilai MCV dan MCH kurang
dari normal (MCV < 80 fL, MCH < 27pg )
b. Seseorang dengan kadar Hb normal dengan nilai MCV dan MCH
kurang dari normal ( MCV < 80 fL, MCH < 27pg ),
7. Skrining dan Deteksi dini Thalassemia dilaksanakan melalui program
penjaringan UKS pada anak sekolah kelas VII /1 SMP dengan
pengisian koesioner riwayat keluarga bila ada riwayat (+) dilakukan
pemeriksaan darah.
8. Deteksi dini kasus Thalassemia Mayor dan Intermedia merupakan
kegiatan pemeriksaan klinis dan darah (Hb, Hematokrit, MCV, MCH,
dan sediaan hapus darah tepi) pada individu/populasi yang berisiko.
9. Diagnosis Prenatal adalah kegiatan pemeriksaan yang bertujuan
mendiagnosis janin apakah menderita Thalasemia mayor/ minor/
normal. Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada janin dari pasangan
yang keduanya adalah pembawa sifat Thalassemia

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama xi


10. Hidropsfetalis adalah janin yang mengalami anemia berat sehingga
terjadi gagal jantung dan penimbunan cairan pada rongga perut dan
dada, umumnya kelainan ini dapat disebabkan oleh Thalassemia Alfa
dengan jenis berat (delesi -4 gen globin alfa).
11. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas
adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya
kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat
pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif,
untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
di wilayah kerjanya.
12. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama adalah pelayanan kesehatan
perorangan yang bersifat non spesialistik (primer) meliputi pelayanan
rawat jalan dan rawat inap.
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dapat berupa:
a. Puskesmas atau yang setara
b. Praktik dokter
c. Praktik dokter gigi
d. Klinik Pratama atau yang setara
e. Rumah Sakit Kelas D Pratama atau yang setara
13. Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan adalah upaya
pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat spesialistik atau sub
spesialistik yang meliputi rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap
tingkat lanjutan, dan rawat inap di ruang perawatan khusus.
Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut dapat berupa:
a. Klinik utama atau yang setara;
b. Rumah sakit umum; dan
c. Rumah sakit khusus.
14. Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan
agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan
perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang
diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau
iurannya dibayar oleh pemerintah.

xii Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Hemoglobin ………………………………………………….. 10


Gambar 3.2. Komposisi Hemoglobin dewasa (>usia 6 bulan) …………. 11
Gambar 3.3. Perkembangan hemoglobin manusia …………………….. 12
Gambar 3.4. Mekanisme Penurunan Penyakit Thalassemia ………….. 13
Gambar 3.5. Pasien Thalassemia Mayor ………………………………… 22
Gambar 3.6. Darah tepi dan analisis Hb Thalassemia-α minor ............. 25

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama xiii


DAFTAR DIAGRAM

Diagram 3.1. Algoritma Skrining atau Penjaringan dan Deteksi Dini


Thalassemia untuk Kelas 1 SMP/MTS. ……………….. 16
Diagram 3.2. Algoritma skrining Thalassemia di Indonesia dengan
sistem rujukan berdasarkan ketersediaan sarana dan
prasarana (HTA, 2010) ………………………………….. 17

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama xv


DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Teknik dan metode skrining berdasarkan ketersediaan


sarana prasarana laboratorium …………………………….. 18

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama xvii


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Thalassemia ini merupakan kelainan gen tunggal (single gene
disorders) dengan jenis dan frekuensi yang terbanyak di dunia.
Penyakit ini menyebar mulai dari Mediterania, Timur Tengah, Anak
benua (sub-continent) India dan Burma, serta di daerah sepanjang
garis antara Cina bagian selatan, Thailand, semenanjung Malaysia,
kepulauan Pasifik dan Indonesia. Daerah-daerah tersebut lazim
disebut daerah sabuk Thalassemia.
Pada tahun 1994, menurut World Health Organization (WHO)
tidak kurang dari 250 juta penduduk dunia, sekitar 4,5% dari total
penduduk dunia adalah pembawa sifat (bentuk heterozigot). Dari
jumlah tersebut, sekitar 80-90 juta adalah pembawa sifat Thalassemia
 dan sisanya pembawa sifat Thalassemia , jenis lain pembawa sifat
hemoglobin varian seperti HbE, HbS, HbO, dan lain-lain. Saat ini,
sekitar 7% dari total penduduk dunia adalah pembawa sifat kelainan
tersebut.
Thalassemia merupakan kelainan genetik yang paling banyak
ditemukan di Indonesia. Angka pembawa sifat Thalassemia- berkisar
3-5%, bahkan di beberapa daerah mendakati angka 10%.i Data A.S
Sofro dan F. Lanni, UGM tahun 2012, menunjukkan data distribusi
pembawa sifat Thalassaemia- yaitu Palembang 9%, Jawa 8%,
Makasar 8%, Alor 6%, Bima 5%, Padang 4%, Pekanbaru 4%, Kaili
5%, Bangka 5%, Sumba 3%, Sasak 3%, Minahasa 2%, Dayak 2%,
Bali 1%, Medan 1% dan Banjar 0%. Hasil skrining pada masyarakat
umum dari tahun 2008 – 2014 didapatkan 93 orang (5,41%)
pembawa sifat dari 1718 orang; sedangkan hasil skrining pada
keluarga Thalassemia (ring 1) tahun 2009-2014 didapatkan 93 orang
(28%) dari 332 orang (YTI dan POPTI, 2014).
Berdasarkan data Riskesdas 2007, prevalensi nasional
Thalassemia adalah 1,5‰, terdapat 8 provinsi dengan prevalensi lebih
tinggi dari prevalensi nasional, antara lain Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (13,4‰), DKI Jakarta (12,3‰), Sumatera Selatan (5,4‰),

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 1


Gorontalo (3,1‰), Kep. Riau (3,0‰), NTB (2,6‰), Maluku (1,9‰),
Papua Barat (2,2‰). Prevalensi terendah terdapat di Provinsi
Lampung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara masing-masing
sebesar 0,1‰.
Distribusi pasien Thalassemia Mayor yang terdaftar di seluruh
Indonesia sampai dengan Juni 2014 sebanyak 7.441 orang, meliputi:
Propinsi Jawa Barat (3180), Jakarta (1723), Jawa Tengah dan
Jogyakarta (920), Jawa Timur (602), Aceh (263), Sumatera Selatan
(177), Pekan Baru dan Riau (149), Kalimantan Barat (120), Sumatera
Utara (94), Bengkulu (50), Sumatera Barat (42), Kalimantan Selatan
(34), Bali (32), Sulawesi Selatan (28), Kalimantan Tengah (20),
Kalimantan Timur (5), Minahasa (2). (Sumber: Data Hematology-
Oncology Working Group-IPS, 2014). Dari data Pusat Thalassemia,
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM, didapatkan usia
pasien tertua mencapai 40 tahun, berkeluarga serta mempunyai
keturunan. Jumlah pasien yang terdaftar di Pusat Thalassemia,
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM, tahun 2014
mencapai 1.723 pasien, dengan rentang usia terbanyak berkisar 6-14
tahun. Setiap tahun, jumlah pasien baru terus meningkat sekitar 70
orang/tahun dan yang meninggal lebih kurang 18 orang/tahun.
Data Yayasan Thalassemia Indonesia dan Perhimpunan Orang
Penderita Thalassaemia Indonesia tahun 2014 menunjukkan jumlah
penderita Thalassemia dari 23 Provinsi, sejak tahun 2011 sampai Juni
2014 adalah sebanyak 6.439 (laki-laki 3.219 dan 3.220 perempuan)
orang.
Berdasarkan hasil penelitian Eijkman tahun 2012, diperkirakan
angka kelahiran 20% dari jumlah penduduk ± 240 juta, maka
diperkirakan jumlah pasien Thalassemia Mayor baru yang lahir setiap
tahun di Indonesia sekitar 2.500 anak.
Sampai saat ini, Thalassemia belum dapat disembuhkan,
tetapi dapat dicegah. Berbagai studi memperlihatkan bahwa program
pencegahan Thalassemia jauh lebih menguntungkan daripada
pengobatan. Berdasarkan gambaran masalah tersebut di atas, maka
program pengelolaan penyakit Thalassemia seharusnya lebih
ditujukan kepada pencegahan kelahiran pasien Thalassemia Mayor.

2 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


Salah satu metode adalah melakukan skrining/penjaringan dan
deteksi dini bagi populasi yang berisiko.
Kegiatan skrining dan deteksi ini membutuhkan biaya sekitar
350 - 400 ribu rupiah/orang dimana jumlah ini jauh lebih murah dari
pada biaya pengobatan seorang pasien Thalassemia selama satu
tahun yang diperkiraan mencapai sekitar 300 juta rupiah diluar biaya
pengobatan jika terjadi komplikasi. Selain beban psikologis akibat
menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan, mereka harus
berobat seumur hidup, dan disertai terjadi perubahan pada fisik.
WHO memperkirakan biaya tahunan program nasional
pencegahan Thalassemia sama dengan besar biaya penanganan medis
seorang pasien selama satu tahun. Biaya program pencegahan
Thalassemia tersebut relatif konstan, sementara biaya penanganan
medis cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Dikaitkan dengan hal tersebut diatas dan kecenderungan
meningkatnya kasus Thalassemia, perlu dilakukan pengendalian
Thalassemia, Kementerian Kesehatan bekerjasama dengan Profesi
dan Ahli serta lintas sektor terkait menyusun buku Pedoman
Pengendalian Thalassaemia.

B. TUJUAN
1. Umum:
Tersusunnya Pedoman Pengendalian Thalassemia sebagai acuan
bagi tenaga kesehatan & pengelola program PTM di masyarakat.
2. Khusus:
a. Terlaksananya KIE Thalassemia di masyarakat
b. Terlaksananya skrining dan deteksi dini Thalassemia di sekolah
c. Terlaksananya pemeriksaan darah di FKTP
d. Terlaksananya konseling Thalassemiadi FKTP
e. Tersedianya data pembawa sifat atau penyandang Thalassemia
f. Terlaksananya surveilans epidemologi PTM
g. Meningkatkan kemitraan dengan lintas sektor, LSM, CSR, dll.

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 3


C. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup pedoman ini meliputi upaya promotif, preventif
melalui skrining dan dekatkan deteksi dini serta kuratif termasuk
sistem rujukannya.

D. SASARAN
Sasaran buku pedoman ini adalah:
1. Tenaga Kesehatan (Dokter, Perawat/Bidan, Ahli Teknologi
Laboratorium Medik, Kesehatan Masyarakat)
2. Institusi Kesehatan (Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat
pertama/Puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas
Kesehatan Propinsi, Rumah Sakit Daerah)
3. Masyarakat

E. DASAR HUKUM
1. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063)
2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara RI no. 5072)
3. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3637)
4. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan
Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3781)
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nomor 001
Tahun 2012 Tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan
Perorangan
6. Permenkes No. 75 tahun 2014 tentang Puskesmas
7. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1022/Menkes/SK/XI/ 2008
Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik

4 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


8. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1023/Menkes/SK/XI/ 2008
Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma
9. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1142/Menkes/SK/XII/ 2008
Tentang Pedoman Pengendalian Osteoporosis
10. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 854/Menkes/SK/IX/ 2009
Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah
11. Pedoman untuk Tenaga Kesehatan tahun 2011 tentang Usaha
Kesehatan Sekolah di tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah
dan Pondok Pesantren
12. Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan Nasional, Menteri
Kesehatan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia No.1/U/SKB/2003,1067/Menkes/ SKB/VII/2003,
MA/230A/2003, Nomor 26 tahun 2003, tentang Pembinaan dan
Pengembangan Usaha Kesehatan Sekolah

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 5


BAB II
PENGENDALIAN PENYAKIT THALASSEMIA

A. KEBIJAKAN
Kebijakan dalam Pengendalian Thalassemia didasari kepada:
1. Partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan
dan penanggulangan Thalassemia serta sesuai dengan kondisi di
setiap daerah (local area spesific)
2. Pengembangan kemitraan dan jejaring kerja secara multidisiplin
dan lintas sektor
3. Pengelolaan secara profesional, berkualitas dan terjangkau oleh
masyarakat serta didukung oleh sumber daya yang memadai.
4. Peningkatan peran pemerintah propinsi, kabupaten/kota
5. Pengembangan sistem rujukan, dan surveilans epidemiologi
Thalassemia.

B. STRATEGI
Strategi Pengendalian Thalassemia yaitu:
1. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat dalam
pencegahan dan penanggulangan Thalassemia.
2. Memfasilitasi gerakan dalam penggendalian Thalassemia di
masyarakat.
3. Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dalam
pengendalian Thalassemia.
4. Memfasilitasi kebijakan publik dalam penggendalian
Thalassemia.
5. Meningkatkan sistem surveilans epidemiologi (faktor risiko dan
kasus) Thalassemia.
6. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan (skrining/
penjaringan, deteksi dini, dan tata laksana) Thalassemia yang
berkualitas.

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 7


7. Melaksanakan sosialisasi dan advokasi pada pemerintah daerah,
legislatif dan stake holder untuk memberikan dukungan
pendanaan dan operasional.

8 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


BAB III
PENYAKIT THALASSEMIA

A. PATOFISIOLOGI THALASSEMIA
1. Pengertian Penyakit Thalassemia
Thalassemia merupakan penyakit keturunan (kelainan
genetik) akibat kelainan sel darah merah dimana rantai globin-α
atau β pembentuk hemoglobin utama tidak terbentuk sebagian
atau tidak ada sama sekali.
Hemoglobinopati: adanya hemoglobin abnormal yang
muncul selain ketiga buah Hb normal (HbF, HbA dan HbA2),
yang mengakibatkan sel darah merah mudah pecah sehingga
membutuhkan transfusi darah rutin

2. Hemoglobin
Hemoglobin adalah komponen utama eritrosit yang
berfungsi menjamin distribusi oksigen ke jaringan dan
mengembalikan karbondioksida dari jaringan ke paru. Setiap
eritrosit mengandung 640 juta molekul hemoglobin, 65% di
antaranya disintesis di dalam eritroblas dan sisanya di dalam
retikulosit.ii,iii Satu molekul hemoglobin terdiri atas senyawa heme
dan globin.
Heme merupakan suatu senyawa kompleks yang terdiri
atas 4 struktur pirol dengan atom Fe di tengahnya. Sekitar 85%
sintesis heme terjadi pada sel-sel prekursor eritoid di sumsum
tulang dan sisanya di sel hepar. Globin merupakan suatu
tetramer yang tersusun dari dua pasang rantai globin yang tidak
sejenis, yaitu sepasang rantai globin yang produksinya
dikendalikan oleh gugus gen globin- pada kromosom 16 dan
sepasang rantai globin yang produksinya dikendalikan oleh gugus
gen globin- pada kromosom 11. Rantai-rantai globin tersebut
terdiri atas sederetan asam amino (polipeptida) yang urutannya
sudah teratur. Masing-masing polipeptida globin akan
terkonjugasi pada satu molekul hem yang berfungsi mengikat

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 9


oksigen sehingga satu molekul hemoglobin mengandung 4
molekul hem.
Agar molekul hemoglobin mempunyai struktur rantai
polipeptida globin normal dan dapat berfungsi dengan baik, maka
diperlukan suatu urutan asam amino yang sesuai dan benar.
Perubahan satu asam amino saja sering dapat mengubah
struktur dan fungsi Hb tersebut.

Molekul Hemoglobin

Rantai-

Gambar 3.1. Hemoglobiniv

3. Struktur Hemoglobin Normal


Hemoglobin manusia dewasa terutama terdiri atas
hemoglobin A (HbA1), serta sedikit hemoglobin F (HbF) dan
hemoglobin A2 (HbA2). Globin hemoglobin dewasa (HbA1) adalah
kombinasi antara 2 rantai globin- dengan 2 rantai globin-,
membentuk tetramer 22. Rantai globin- tersusun dari 141
asam amino, sedangkan rantai globin- tersusun dari 146 asam
amino. Hemoglobin F (HbF) adalah hemoglobin yang mempunyai
2 pasang rantai polipeptida, yaitu 2 rantai globin- dan 2 rantai
globin- membentuk tetramer 22, sedangkan hemoglobin A2
(HbA2) mempunyai 2 rantai globin- dan 2 rantai globin-
membentuk tetramer 22.

10 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


Gambar 3.2. Komposisi Hemoglobin dewasa (>usia 6 bulan)

4. Perkembangan Hemoglobin
Hemoglobin F merupakan Hb utama pada masa janin,
sedangkan pada masa dewasa kadar HbF hanya  1%, dan
kadar HbA2  3,5%. Pada perkembangan awal embrio, dibentuk
Hb embrional, yaitu kombinasi antara rantai globin-  dengan
globin- (Hb Portland 22) atau antara globin- dengan rantai
globin- (Hb Gower1 22), atau antara rantai globin- dengan
rantai globin- (Hb Gower 2, 22).v
Dalam perkembangannya komposisi produk hemoglobin
manusia mengalami 2 tahap peralihan. Peralihan pertama, saat 3
bulan pertama kehamilan eritrosit mengandung Hb embrionik,
kemudian berubah sampai dan selama 6 bulan terakhir
kehamilan eritrosit beralih menjadi lebih banyak mengandung Hb
fetus (HbF). Peralihan kedua, terjadi saat periode perinatal, Hb
fetus berubah menjadi Hb dewasa, dan proses ini selesai pada
saat pertengahan tahun pertama kehidupan ekstrauterin. Penting
untuk diingat bahwa perubahan sintesis jenis hemoglobin
tersebut ditentukan oleh perkembangan maturitas janin dan
bukan karena perubahan tempat terjadinya eritropoiesis vi,vii
(Gambar 2.3). Oleh karena itu, Thalassemia β mayor
bermanifestasi klinis pada usia sekitar 6 bulan karena rantai
Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 11
globin β merupakan komponen utama Hb dewasa (HbA1) dan
sama sekali bukan komponen Hb masa janin ataupun masa
embrio. Berbeda dengan Thalassemia α yang berat
bermanifestasi klinis pada masa janin karena rantai globin α
sudah diproduksi sejak masa janin dan merupakan komponen
utama Hb masa janin (HbF: α dan γ).

Gambar 3.3. Perkembangan hemoglobin manusia.viii

5. Patofisiologi Thalassemia
Pada orang dewasa normal, rantai globin-α dan rantai
globin-β dibentuk dalam jumlah relatif sama (equal) dan
seimbang. Setiap gangguan yang menyebabkan ketidak-
seimbangan tersebut dapat menyebabkan kelainan pada
hemoglobin.
Penyakit genetik dari kelainan hemoglobin tersebut secara
umum dapat di klasifikasikan dalam 2 bagian, yaitu:
1. Thalassemia, jika terjadi gangguan sintesis (berkurang atau
tidak ada) dari rantai globin yang normal;
2. Varian hemoglobin (Hemoglobinopati), jika terjadi perubahan
susunan asam amino pada salah satu rantai globin yang
normal. Contohnya: HbE merupakan jenis varian Hb tersering
di Indonesia yang disebabkan oleh mutasi di kodon 26 pada

12 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


gen globin β). Mutasi ini juga termasuk kategori Thalassemia β
karena selain menyebabkan perubahan asam amino juga
menyebabkan penurunan sintesis rantai globin β (E).

B. FAKTOR RISIKO PENURUNAN THALASSEMIA


Thalassemia dapat diturunkan pada anak dengan Thalassemia
mayor dapat lahir dari perkawinan antara kedua orang tua yang dua-
duanya pembawa sifat.Seorang pembawa sifat Thalassemia secara
kasat mata tampak sehat (tidak bergejala), hanya bisa diketahui
melalui pemeriksaan darah dan analisis hemoglobin.
Berdasarkan Hukum Mendel mekanisme penurunan
Thalassemia ke generasi berikutnya dapat kita lihat pada gambar di
bawah ini :

Setiap kelahiran,
mempunyai
kemungkinan 25%
lahir anak
Thalassemia Mayor

Gambar 3.4. Mekanisme Penurunan Penyakit Thalassemia

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 13


Penyakit Thalassemia Mayor yang berat mulai terlihat ketika
anak pada usia dini, dengan gejala pucat karena anemia, lemas, tidak
nafsu makan, sukar tidur. Kelahiran pasien Thalassemia mayor dapat
dihindari dengan mencegah perkawinan antara dua orang pembawa
sifat Thalassemia. Pada pasangan orang tua yang salah satunya
pembawa gen Thalassemia Minor, berisiko mempunyai anak pasien
Thalassemia Minor 50%. Pasangan tersebut tidak akan mempunyai
anak dengan Thalassemia Mayor, tetapi jika kedua orang tuanya
membawa gen Thalassemia Minor (pembawa sifat) maka mereka
dapat kemungkinan 50% anaknya Thalassemia Minor, 25% sehat,
dan 25% sisanya dengan Thalassemia Mayor.

C. KLASIFIKASI THALASSEMIA
1. Berdasarkan kelainan genetiknya, maka Thalasemia dapat dibagi
menjadi:
a. Thalassemia –β disebabkan oleh kelainan pada rantai globin –
β
b. Thalassemia –α disebabkan oleh kelainan pada rantai globin –
α
c. Thalassemia -α β disebabkan oleh kelainan pada rantai globin
-α dan –β

2. Berdasarkan klasifikasi Klinis, maka Thalassemia dapat dibagi


menjadi:
a. Thalassemia mayor, pasien yang memerlukan transfusi darah
secara rutin seumur hidup.
b. Thalassemia intermedia pasien yang membutuhkan transfusi
darah, tetapi tidak rutin.
c. Thalassemia minor/trait/pembawa sifat: Secara klinis tampak
sehat sama dengan orang normal, tidak bergejala dan tidak
butuh transfusi darah.

D. MANIFESTASI KLINIK THALASSEMIA MAYOR


Pada beberapa kasus Thalassemia dapat ditemukan gejala-
gejala seperti: badan lemah, kulit kekuningan (jaundice), urin gelap,
cepat lelah, denyut jantung meningkat, tulang wajah abnormal dan

14 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


pertumbuhan terhambat serta permukaan perut yang membuncit
dengan pembesaran hati dan limpa.
Pasien Thalassemia mayor umumnya menunjukkan gejala-
gejala fisik berupa hambatan pertumbuhan, anak menjadi kurus, perut
membuncit akibat hepatosplenomegali dengan wajah yang khas,
frontal bossing, mulut tongos (rodent like mouth), bibir agak tertarik,
dan maloklusi gigi. Perubahan ini terjadi akibat sumsum tulang yang
terlalu aktif bekerja untuk menghasilkan sel darah merah, pada
Thalassemia bisa menyebabkan penebalan dan pembesaran tulang
terutama tulang kepala dan wajah, selain itu anak akan mengalami
pertumbuhan yang terhambat. Akibat dari anemia kronis dan transfusi
berulang, maka pasien akan mengalami kelebihan zat besi yang
kemudian akan tertimbun di setiap organ, terutama otot jantung, hati,
kelenjar pankreas, dan kelenjar pembentuk hormon lainnya, yang
dikemudian hari akan menimbulkan komplikasi.
Perubahan tulang yang paling sering terlihat terjadi pada tulang
tengkorak dan tulang wajah. Kepala pasien Thalassemia mayor
menjadi besar dengan penonjolan pada tulang frontal dan pelebaran
diploe (spons tulang) tulang tengkorak hingga beberapa kali lebih
besar dari orang normal.

E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN PENUNJANG


Bagi Puskesmas yang tidak memiliki sarana laboratorium yang
lengkap, seperti reagen pewarnaan, mikroskop, dll), maka dilakukan
pemeriksaan hemoglobin (Hb) dengan Sahli dan sediaan hapus
darah segar yang kemudian difiksasi dengan metanol absolut
kemudian hasilnya dikirim ke Puskesmas/fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya yang mempunyai sarana laboratorium lebih
lengkap untuk diwarnai dan secara manual menghitung MCV dan
MCH
Apabila hasil sedian hapus darah tepi menunjukkan sel darah
merah sesuai dengan gambaran mikrositik hipokrom, maka protokol
disesuaikan dengan Algoritma skrining Thalassemia di Indonesia
dengan sistem rujukan berdasarkan ketersediaan sarana dan
prasarana (HTA, 2010).

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 15


Diagram 3.1. Algoritma Skrining atau Penjaringan dan Deteksi Dini
Thalassemia untuk Kelas 1 SMP/MTS.

16 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


1. Skema/Alur
Alur pemeriksaan Thalassemia beserta tingkatan fasilitas pelayanan
kesehatan sesuai teknologi yang dimiliki:

Diagram 3.2. Algoritma skrining Thalassemia di Indonesia dengan


sistem rujukan berdasarkan ketersediaan sarana dan prasarana
(HTA, 2010)

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 17


Tabel 3.1 Teknik dan metode skrining berdasarkan ketersediaan sarana prasarana laboratorium

18
Supervisor/ Quality
Level Tujuan Jenis/ Teknik
Alat SDM Terkait Control
skrining Pemeriksaan Pemeriksaan

• Hb,
• Morfologi sel darah • Hb meter
tepi*) • Sediaan Hapus
Skrining darah Tepi
• Hematologi (objek glass, • Dokter Umum
Dasar anemia • Ahli Tekhnologi
Lengkap*) (Hb, reagen, • Ahli Tekhnologi
Puskesmas mikrositik Laboratorium Medik
MCV, MCH, MCHC, mikroskop, dll) Laboratorium Medik
hipokromik
RDW, Morfologi • Electronic blood
darah tepi) cell counter

Rujukan :
• Spesialis Patologi
Level I • Hematologi Klinik • Level I:
Skrining
Lengkap (Hb, MCV, • Electronic blood Dokter Spesialis Patologi
anemia • Spesialis Anak
RS MCH, MCHC,RDW, cell counter Klinik (RS Kelas C) yang
mikrositik • Spesialis Obgyn
Kabupaten/ morfologi darah ditunjuk oleh Dinas
hipokromik • Spesialis Penyakit
Kota) tepi) Kesehatan Kab/Kota
Dalam
Level II
• Skrining • Spesialis Patologi • Level II:
(RS Provinsi/ • Electronic blood
anemia Klinik Dokter Spesialis Patologi
RS • Hematologi cell counter
mikrositik • Spesialis Anak Klinik/ sub spesialis
Pendidikan/ Lengkap • ELISA Elektro
hipokromi • Spesialis Penyakit Hematologi di RS Kelas B/A
Laboratorium • Feritin Hb typing foresis otomatis
• Skrining Dalam yang ditunjuk oleh Dinas
swasta yang (HPLC)
thalassemia • Spesialis Obgyn Kesehatan Propinsi
memadai)

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


• Skrining Lembaga Eijkman, Jakarta
anemia • Spesialis Patologi (RSCM) Surabaya (RS.
mikrositik Klinik Sutomo), Semarang (RS.
hipokromik • Electronic blood • Spesialis Anak Kariyadi), Yogyakarta (RS.
• Hematologi
• Skrining cell counte • Spesialis Penyakit Sardjito), Makassar (RS.
Level III Lengkap
thalassemi • ELISA Dalam Wahidin), Bandung (RS.
(RS Rujukan • Feritin
• Diagnosis • Elektroforesisoto • Spesialis Obgyn yang Hasan Sadikin), Bali (RS.
Nasional) • Hb typing Analisis
prenatal matis (HPLC) telah pendapat Sanglah), Medan (RS.
DNA level 1 Adam Malik). Sumbar (M
Analisis PCR pelatihan dan sertifikat
DNA kompetensi Ahli Djamil), Palembang (RS.
(common genetika Husein), Banjarmasin (RS.
mutation) Ulin), Menado (RS. Kandau)

• Skrining
anemia • Electronic blood
mikrositik cell counte
Level IV hipokromik • HematologiLengkap • ELISA
(Laboratoriu • Skrining • Feritin • Elektroforesisoto
• Ahli genetika Lembaga Eijkman
mRujukan thalassemia • Hb typing Analisis matis (HPLC)
Nasional) Analisis DNA level 2,3,4 • PCR
DNA • Sequensing
(uncommon • MLPA
mutation)

Catatan:
*) Bagi Puskesmas yang tidak memiliki sarana laboratorium yang lengkap, seperti reagen pewarnaan hapus darah tepi,

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


mikroskop dll, maka dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb) dengan Sahli atau HB meter lainnya dan pengambilan
sediaan hapus darah tepi segar dilakukan fiksasi dengan metanol absolut kemudian sediaan tersebut dikirim dari
Puskesmas ke fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang mempunyai sarana laboratorium lebih lengkap untuk diwarnai
dan secara manual dihitung nilai MCV dan MCH-nya.

19
2. Analisis Hemoglobin
Thalassemia β adalah Thalassemia β homozigot yang
umumnya bermanifestasi T halassemia β mayor, dengan kadar Hb F
meningkat mendekati 100%, kadar HbA yang sangat rendah sampai
nol (bergantung jenis mutasi). Thalassemia β/ HbE dimana kadar HbF
meningkat sekitar 50%, kadar HbA2+ HbE sekitar 40-50%, kadar HbA
sangat rendah bergantung jenis mutasi (HbE).
a. Terletak pada peak yang sama dengan HbA2 pada metode dengan
menggunakan elektroforesis Hb, metode gel basa dan HPLC;
b. Terletak pada peak terpisah dengan HbA2 pada metode
elektroforesis Hb metode gel asam, dan elektroforesis kapiler).

3. Pemeriksaan Radiologi
Pada pasien Thalassemia mayor, pada foto rontgen tengkorak
dapat dilihat gambaran hair on end menyerupai rambut berdiri
potongan pendek, penipisan tulang korteks, pelebaran diploe. 8 Adanya
penampakan ini oleh karena hiperplasia dari sumsum tulang yang
menyebabkan pelebaran diploe. Bentukan trabekular pada diploe
terkadang tersusun secara peripendikular pada kurvatura tulang
tengkorak. Hiperplasia pada sumsum tulang yang bersifat radiolusen,
penebalan trabekular dan penampakan warna opaque, tiga hal inilah
yang menyebabkan penampakkan “hair on end”. Selain terlihatnya
gambaran hair on end, pada rontgen kepala juga dapat ditemukan
gambaran porotic hyperostosis yang merupakan porosis (lubang-
lubang kecil) pada permukaan tulang tengkorak.
Perubahan patologis tulang tidak hanya terjadi pada tulang
tengkorak, juga dapat kita lihat perubahan tulang wajah (deformitas
orofacial) pada foto rontgen, seperti: Facies Cooley dan Chipmunk
Appearance / Rodent Face.

F. DIAGNOSIS THALASSEMIA
Puskesmas dapat melakukan penjaringan dan penemuan kasus
yang dicurigai Thalassemia (Suspect Thalassemia) dan kemudian
dirujuk ke Rumah Sakit untuk melakukan Diagnosis Thalassemia
(kode ICD X) sebagai berikut:

20 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


D56 Thalassemia
D56.0 Alpha Thalassemia
D56.1 Beta Thalassemia

1. Diagnosis Thalassemia Mayor


Diagnosis Thalassemia mayor dapat dilakukan sebagai
berikut:
a. Anamnesis
▪ Memiliki riwayat penyakit keluarga yang anemia atau
pasien Thalassemia
▪ Riwayat transfusi berulang (jika sudah pernah transfusi
sebelumnya)
▪ Pucat yang lama (kronis)
▪ Anak tampak kuning (ikterus)
▪ Riwayat mudah infeksi
▪ Perut membesar akibat hepatosplenomegali
▪ Pertumbuhan terhambat/pubertas terhambat
▪ Riwayat fraktur patologis

b. Pemeriksaan Fisis
▪ Gizi kurang
▪ Pucat
▪ Konjungtiva pucat
▪ Hiperpigmentasi: kulit berwarna kehitaman
▪ Bentuk muka facies Cooley akibat adanya maloklusi pada
tulang maxilla
▪ Gangguan pertumbuhan (perawakan pendek)/ pubertas
terhambat
▪ Bentuk muka yang asimetris (abnormal) dengan ciri
tulang frontal menonjol, maxilla yang protrusi, dan tulang
wajah hipertropi
▪ Organomegali: Hepatosplenomegali terutama
splenomegali.

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 21


Gambar 3.5. Pasien Thalassemia Mayor

c. Pemeriksaan penunjang 7
Pemeriksaan laboratorium sederhana ditemukan:
▪ Kadar haemoglobin umumnya rendah
▪ MCV < Normal (< 8O fL): rerata 70,8 fL,(SB 8,9)
▪ MCH < Normal (< 27 pg): Rerata 24,1 pg, (SB 3,9)
▪ RDW tinggi: Rerata 26,8% (SB 9,5)
▪ Retikulosit sangat meningkat (>14,6)

22 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


▪ Jumlah eritrosit meningkat
▪ Dapat didapatkan sel darah berinti
▪ Foto rontgen tengkorak: gambaran hair on end
menyerupai rambut berdiri potongan pendek, penipisan
tulang korteks, pelebaran diploe.

Eritrosit
berinti
Tear
drop cell

Normal Thalassemia Mayor

Analisis Hb:
Thalassemia beta: atau Beta /Hb E

Thalassemia - β Thalassemia-β/HbE

Thalassemia-α:
1. Lab: Hb ↓/N, MCV ↓/N, MCH ↓/N, RDW ↑
2. Analisis Hb: N/ Hb Bart’s

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 23


Thalassemia-α

2. DiagnosisThalassemia Intermedia
a. Gejala klinis dan laboratorium sama dengan pasien
Thalassemia mayor, tetapi frekuensi kebutuhan transfusi
darah jarang
b. Rerata Hb pra-transfusi 7,5 g/dL
c. Umumnya Thalassemia heterozigot ganda (-β/HbE, -αβ) atau
Thalassemia-α

3. Diagnosis Thalassemia Minor


a. Anamnesis: memiliki riwayat keluarga Thalassemia
b. Pemeriksaan klinis: tanpa gejala
c. Pemeriksaan Laboratorium sederhana:
Darah tepi lengkap:
▪ Hb normal atau sedikit rendahMCV dan MCH rendah (< normal)
▪ RDW Normal/ meningkat (relatif normal)
▪ Retikulosit meningkat
▪ Jumlah eritrosit meningkat
▪ Morfologi darah: mikrositik, hipokrom, anisositosis, poikilositosis,
ditemukan tear drops cell , elips dan sel target.

24 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


Normal Thalassemia minor

Analisis Hb:

Normal Trait –β

Trait HbE

Gambar 3.6. Darah tepi dan analisis Hb Thalassemia-α minor

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 25


BAB IV
PENGENDALIAN PENYAKIT THALASSEMIA

Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi


masyarakat maka diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan
menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan (UKP) dan
upaya kesehatan masyarakat (UKM). Upaya kesehatan diselenggarakan
dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan
berkesinambungan.
Thalassemia mayor belum dapat disembuhkan, oleh karena itu
program yang umum dilakukan adalah mencegah lahirnya penderita baru
Thalassemia mayor. Pencegahan Thalassemia ada 3 jenis yaitu:
1. Pencegahan Primer
2. Pencegahan Sekunder
3. Pencegahan Tertier

A. PENCEGAHAN PRIMER THALASSEMIA


1. Promosi dan Komunikasi Informasi Edukasi (KIE)
a. Promosi Kesehatan
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1193/
Menkes/SK/X/2004 tentang Kebijakan Nasional Promosi
Kesehatan dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1114/Menkes/SK/VIII/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan
Promosi Kesehatan di Daerah, strategi utama promosi
kesehatan adalah :
1) Advokasi
2) Bina Suasana
3) Gerakan Pemberdayaan Masyarakat
4) Kemitraan

Add. 1) Advokasi
Advokasi perlu dilakukan, dalam upaya
memberdayakan klien, faslitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama (Puskesmas) atau kegiatan di masyarakat seperti

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 27


Posbindu yang membutuhkan keterlibatan pihak-pihak
terkait, misalnya advokasi ke pimpinan daerah, para penentu
kebijakan, TOMA, TOGA, dll, terkait dengan Kebijakan
Thalassemia. Advokasi merupakan proses yang tidak
sederhana. Sasaran advokasi hendaknya diarahkan/
dipandu untuk menempuh tahapan-tahapan sebagai berkut:
a). Memahami persoalan yang diajukan.
b). Tertarik untuk ikut berberan dalam persoalan yang
diajukan.
c). Mempertimbangkan sejumlah pilihan kemungkinan
dalam berperan.
d). Menyepakati satu pilihan kemungkinan dalam berperan.
e). Menyampaikan langkah tindak lanjut.
Jika kelima tahapan tersebut dapat dicapai selama waktu
yang telah disediakan untuk advokasi, maka dapat dikatakan
advokasi itu berhasil. Langkah tindak lanjut yang tercetus
diujung perbincangan menunjukkan adanya komitmen untuk
memberikan dukungan.
Kata-kata kunci dalam penyiapan bahan advokasi
adalah “Tepat, Lengkap, Akurat, dan Menarik”. Artinya
bahan advokasi harus dibuat: sesuai dengan sasaran (latar
belakang pendidikannya, jabatanya, budayanya,
kesukaannya dan lain-lain).
▪ Sesuai dengan lama waktu yang disediakan untuk
advokasi
▪ Mencakup unsur-unsur pokok yaitu apa, mengapa,
dimana, bilamana, siapa melakukan dan bagaimana
melakukannya (5W+1H).
▪ Memuat masalah dan pilihan-pilihan kemungkinan untuk
memecahkan masalah
▪ Memuat peran yang diharapkan dari sasaran advokasi
▪ Memuat data pendukung, bila mungkin juga gambar,
bagan dan lain-lain
▪ Dalam kemasan yang menarik (tidak menjemukan)
ringkas, tapi jelas, sehingga perbincangan tersistem.

28 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


Add. 2) Bina Suasana
Pemberdayaan akan cepat berhasil bila didukung
dengan kegiatan yang menciptakan suasana atau
lingkungan yang kondusif. Tentu saja lingkungan yang
dimaksud adalah lingkungan yang diperhitungkan memiliki
pengaruh bagi klien yang sedang diberdayakan. Kegiatan
menciptakan suasana atau lingkungan yang kondusif ini
disebut bina suasana.

Add. 3) Gerakan Pemberdayaan Masyarakat


Gerakan pemberdayaan masyarakat merupakan
ujung tombak dalam pengendalian PTM. Pada hakekatnya
pemberdayaan merupakan upaya membantu atau
memfasilitasi klien (pembawa sifat, penyandang
Thalassemia) agar memiliki pengetahuan, kemauan dan
kemampuan tentang penyakit Thalassemia. Dalam
pelaksanaannya upaya ini umumnya berbentuk pelayanan
konseling genetik.

Add. 4) Kemitraan
Baik dalam pemberdayaan, maupun dalam bina
suasana dan advokasi, prinsip-prinsip kemitraan harus
ditegakkan. Kemitraan dikembangkan antara petugas
kesehatan dengan kliennya, dalam pelaksanaan
pemberdayaan, bina suasana dan advokasi. Kemitraan juga
harus bekerja sama dengan berbagai pihak terkait seperti
kelompok profesi, pemuka agama, tokoh masyarakat, dan
lain-lain.
Tiga prinsip dasar kemitraan yang harus diperhatikan
adalah:
a) Kesetaraan
Kesetaraan menghendaki tidak diciptakannya hubungan
yang bersifat hirarkis. Semua harus diawali dengan
kesediaan menerima bahwa masing-masing berada
dalam kedudukan yang sederajat. Semua ini bisa
dicapai bila semua pihak bersedia mengembangkan

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 29


hubungan kekeluargaan, yaitu yang dilandasi
kepentingan bersama.
b) Keterbukaan
Dalam setiap langkah menjalin kerjasama, diperlukan
adanya kejujuran dari masing-masing pihak. Setiap
usul/saran/komentar harus disertai dengan itikad yang
jujur, sesuai dengan fakta.
c) Saling menguntungkan
Solusi yang diajukan hendaknya selalu mengandung
keuntungan di semua pihak (win-win solution). Misalnya
dalam hubungan antara petugas Puskesmas dengan
klien, maka setiap solusi yang ditawarkan hendaknya
juga berisi penjelasan tentang keuntungan bagi klien.
Terdapat tujuh landasan (dikenal dengan tujuh saling)
yang harus diperhatikan dan dipraktikan dalam
pengembangan kemitraan yaitu:
▪ Saling memahami kedudukan, tugas dan fungsi
masing-masing
▪ Saling mengakui kapasitas dan kemampuan masing-
masing
▪ Saling berupaya untuk membangun hubungan
▪ Saling berupaya saling mendekati
▪ Saling terbuka terhadap kritik/saran, serta mau
membantu dan dibantu
▪ Saling mendukung upaya masing-masing
▪ Saling menghargai upaya masing-masing

b. Komunikasi Informasi Dan Edukasi (KIE)


Pengetahuan mengenai penyakit Thalassemia
memegang peranan yang sangat penting dalam program
pencegahan Thalassemia di masyarakat. Edukasi tentang
penyakit Thalassemia yang bersifat genetik dan diturunkan,
serta kasus ”carier” nya di masyarakat.
Pendidikan genetika sebaiknya mulai dini diajarkan di
sekolah-sekolah, demikian pula pengetahuan tentang gejala
awal Thalassemia. Pengetahuan ini juga sangat penting bagi

30 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan (calon
pengantin) perlu mendapatkan pengetahuan tentang
penyakit-penyakit yang dapat diturunkan sehingga timbul
awarenes (mawas diri) pada calon pasangan tersebut. Jika
pernikahan tetap dilanjutkan, mereka diinformasikan
kemungkinan mendapat anak dengan Thalasemia dan
pilihan yang dapat dilakukan untuk menghindarinya.
Salah satu cara yang dilakukan dengan memasukkan
materi tentang Thalassemia ke dalam kurikulum pendidikan
tingkat sekolah menengah, penyebaran informasi melalui
media massa (cetak dan elektronik), jaringan internet, brosur
dan leafleat, serta menyelenggarakan kegiatan untuk
memperingati hari Thalassemia sedunia yang melibatkan
seluruh komponen masyarakat.
Tujuan KIE adalah:
1. Untuk menumbuhkan sikap serta mempengaruhi dan
merubah perilaku masyarakat dalam pengendalian
penyakit Thalassemia
2. Untuk meningkatkan kemandirian masyarakat dalam
pengendalian penyakit Thalassemia
3. Untuk meningkatkan motivasi dan partisipasi masyarakat
serta merangsang kegiatan masyarakat dalam
pengendalian penyakit Thalassemia.
Sasaran KIE adalah:
a. Tenaga kesehatan
b. Masyarakat umum (keluarga dan kelompok yang
berpengaruh dan berperan di masyarakat).
Kegiatan KIE meliputi:
1. Menyiapkan materi penyuluhan dan mengadakan
pelatihan KIE dan penanggulangan penyakit Thalassemia
kepada petugas kesehatan (medis dan para medis),
kader kesehatan maupun tokoh-tokoh yang ada di
masyarakat termasuk guru disekolah.
2. Melaksanakan KIE tentang penyakit Thalassemia dan
faktor risikonya melalui berbagai jalur media penyuluhan.

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 31


3. Penyuluhan perorangan atau penyuluhan kelompok yang
dilaksanakan oleh petugas Puskesmas, Posbindu PTM,
kader kesehatan dan lain-lain seperti layanan konseling
edukasi penyakit Thalassemia
4. Penyuluhan bagi pasien dan keluarga tentang
pencegahan dan penanggulangan penyakit Thalassemia.
2. Pengendalian populasi berisiko
Populasi yang berisiko adalah:
a. Seseorang yang mempunyai riwayat anggota keluarga yang
menderita Thalassemia, dengan atau tanpa anemia
b. Seseorang dengan anemia disertai MCV dan MCH kurang dari
normal (MCV < 80 fL, MCH < 27pg)
c. Seseorang dengan kadar Hb normal dengan MCV dan MCH
kurang dari normal (MCV < 80 fL, MCH < 27pg),
Populasi berisiko ini memerlukan informasi, edukasi dan konseling
genetik tentang Thalassemia yang bertujuan untuk meningkatkan
pemahaman dan mawas diri (awareness).

B. PENCEGAHAN SEKUNDER THALASSEMIA


Pencegahan sekunder Thalassemia meliputi:
1. Skrining/Penjaringan
2. Deteksi dini
Deteksi dini kasus Thalassemia mayor dan intermedia adalah kegiatan
pemeriksaan klinis dan darah pada individu atau pasien yang dicurigai
sebagai pasien Thalassemia.
1. Skrining/Penjaringan
Skrining/penjaringan Thalassemia ditujukan untuk
menjaring individu dengan “carier” atau penyandang Thalasemia
pada suatu populasi, idealnya dilakukan sebelum memiliki anak.
Target utama skrining adalah penemuan Thalassemia
minor/trait/pembawa sifat Thalassemia β dan Hb- E.
Skrining dapat dilakukan di sekolah, klinik dokter
keluarga, klinik keluarga berencana, klinik antenatal, saat
pranikah, terutama di daerah yang berisiko tinggi
(Thalassemia belt/sabuk Thalassemia).

32 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


Skrining dapat dilakukan terintegrasi denga n program-
program yang sudah berjalan yaitu :

a. Program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)


Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan anak
sekolah melalui Trias UKS yaitu: pendidikan, pelayanan dan
pembinaan lingkungan sehat maka pelayanan kesehatan di
sekolah dilaksanakan secara menyeluruh dengan
mengutamakan kegiatan promotif, preventif dan kegiatan
deteksi dini penyakit dalam upaya penghentian proses penyakit
tahap awal serta kegiatan kuratif dan rehabilitatif.
Kegiatan pencegahan berupa penjaringan atau skrining
penyakit Thalassemia di sekolah dilakukan bersama-sama
dengan program penjaringan kesehatan di sekolah dan saat
pemeriksaan kesehatan berkala.
Dalam pelaksanaan skrining di sekolah, petugas
kesehatan dibantu oleh guru, dokter kecil, dan kader kesehatan
remaja.
Kegiatan Skrining/Penjaringan sebagai berikut:
a. Penjaringan kesehatan pada peserta didik baru masuk/kelas
7 (Siswa SMP kelas 1).
Penjaringan penyakit Thalassemia yang di awali dengan
melakukan pengisian kuesioner yang dilengkapi dengan
edukasi tentang penyakit Thalassemia. Jika ditemukan
riwayat keluarga dengan Thalassemia dilanjutkan dengan
pemeriksaan darah (Hb, Hematokrit, MCV, MCH, dan
sediaan hapus darah tepi). Untuk memastikan jenis
Thalassemianya dilanjutkan dengan pemeriksaan analisis
Hb.
b. Pemeriksaan kesehatan berkala
Bagi siswa yang tidak mengikuti skrining pada saat
memasuki tahun ajaran baru, dapat dilakukan skrining pada
saat pemeriksaan kesehatan berkala, yang waktunya setiap
6 bulan.

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 33


Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3

Sekolah ▪Rumah Sakit Umum


(Program Penjaringan ▪Puskesmas
Propinsi/Nasional
Kesehatan pada peserta ▪Laboratorium kesehatan
▪Lembaga Eijkman RSCM
didik kelas 7) daerah
▪Laboratorium kesehatan
daerah

PESERTA DIDIK
Kegiatan sosialisasi dan edukasi (ceramah, pembagian flyer, leaflet)
mengenai : definisi thalassemia, mekanisme terkena penyakit
thalassemia, gejala thalassemia dan di halaman terakhir dibuatkan
blanko
Kegiatan isian.
sosialisasi dan edukasi (ceramah, pembagian fliyer, leaflet)
informasi berisi : tentang apa itu Thalassemia, mekanisme terkena penyakit Thalassaemia, bagaimana gejala
penyandang Thalassaemia, dan pada halaman terakhir dibuatkan blanko isian

Tidak ada kecurigaan : Ada riwayat


Ada keluarga: pembawa
riwayat keluarga : atau penyandang Thalassemia
tidak adapembawa/
bukan kecurigaan: bukan
penyandang. Adapembawa/
gejala menuju
penyandangcuriga Thalassemia
thalassemia.
pembawa/penyandang Ada gejala menuju curiga thalassemia.

Guru sekolah/BP: Koordinasi


Guru sekolah/ dengandengan
BP : Koordinasi Puskesmas binaan wilayah
Puskesmas Binaan Wilayah
Pemeriksaan Hb, sediaan darah tepi

Pemeriksaan Hb,
Hasil pemeriksaan normal (Hb Hb normal/rendah, MCV < 80 fL, MCH
< 27 pg, sediaan darah (mikrositik,
hipokrom, anisositosis,
poikilositosis, ditemukan tear drops
Hasil pemeriksaan normal cell Hb
, elips dan
normal/ sel target
rendah, MCV < 80 fl,
MCH < 27 pg, sediaan darah
(mikrositik hipokromik,
Pemantauan anisositosis, poikilositosis,
ditemukan tear drops cell, elips
Tatalaksana lanjutan/rujuk ke RS

Pemantauan
Tatalaksana lanjutan,
rujuk ke RS

34 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


b. Program Calon Pengantin

• Pendekatan skrining pada calon pengantin dilakukan


sementara untuk dapat menjangkau sasaran yang belum
mendapatkan skrining melalui program usaha kesehatan
sekolah.
▪ Pencegahan penyakit Thalassemia dapat dilakukan melalui
skrining pada calon pengantin (skrining pramarital). Bagi
calon pengantin yang keduanya pembawa sifat Thalassemia
dianjurkan untuk tidak menikah, jika tetap ingin menikah
diberikan edukasi tentang risiko mempunyai keturunan
dengan Thalassemia.
▪ Bekerjasama dengan Kementerian Agama untuk
memasukkan materi tentang penyakit genetik yaitu
Thalassemia ke dalam modul TOT Kursus Pra Nikah dan
Tuntunan Keluarga Sakinah bagi remaja usia nikah (seri
kesehatan). Sehingga materi ini dapat disampaikan ke calon
pasangan yang akan menikah saat mengikuti “Kursus Calon
Pengantin”. Hal ini bisa berbentuk Surat Keputusan Bersama
antara dua menteri yakni Menteri kesehatan dan Menteri
Agama mengundang organisasi profesi dan tokoh
masyarakat.
Setelah calon pengantin mengikuti “Kursus Calon Pengantin”
dilakukan pemeriksaan morfologi sel darah merah (sediaan
hapus) dan menghitung sel darah merah secara manual
untuk menghitung MCV dan MCH (bila tidak ada fasilitas cell
counter).

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 35


CALON PENGANTIN

MCH < 80 fl MCH < 27 pg

Hb rendah
Hb Normal Klinis baik (tidak ada tanda-tanda infeksi)

Beri suplementasi besi selama 2 minggu

Hb tetap rendah Hb Meningkat

Analisis Hb Kemungkinan defisiensi zat besi

Separasi

salah satu/keduanya Carier


Melanjutkan pernikahan dengan
beberapa pilihan:
1. Adopsi
KONSULTASI GENETIK 2. Bayi Tabung
3. Tidak mempunyai keturunan

36 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


c. Program Ante Natal care
Setiap pasangan yang memiliki sifat atau riwayat
keluarga Thalassemia, dan berencana memiliki anak dianjurkan
untuk melakukan skrining.
Pada kehamilan, penjaringan atau skrining utama
ditujukan pada ibu hamil saat pertama kali kunjungan ANC.
Jika ibu merupakan pembawa sifat atau ”carrier”
Thalasemia, maka skrining kemudian dilanjutkan pada ayah
janin dengan teknik yang sama. Jika ayah janin normal maka
skrining janin (pranatal diagnosis) tidak disarankan. Jika ayah
janin merupakan pengidap atau ”carrier” Thalasemia maka
disarankan mengikuti konseling genetik dan jika diperlukan
melanjutkan pemeriksaan skrining pada janin (pranatal
diagnosis).ix Pemeriksaan bayi baru lahir tidak umum dilakukan
tetapi dapat dilakukan bila kedua orangtuanya adalah pembawa
sifat Thalassemia.
Untuk pasangan dengan yang salah satunya “carrier”,
atau keduanya “carrier” atau salah satunya penyandang atau
keduanya penyandang diberikan edukasi komprehensive
tentang kondisi yang mungkin dialami oleh anak yang akan
dilahirkan.

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 37


2. Deteksi Dini
a. Deteksi dini bertujuan:
o untuk mencegah perburukan/komplikasi dari Thalassemia
mayor
o mendapatkan carrier & penyandang Thalassemia.
b. Deteksi dini dilakukan melalui program yang sudah berjalan,
yakni pada kelompok sebagai contoh:
o Program usaha kesehatan sekolah: anak sekolah dengan
hasil pemeriksaan penjaringan kesehatan/skrining mengarah
ke Thalassemia dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk
diagnosis pasti Thalassemia (genetik dan klinis).
o Medical check up dengan tujuan apapun, dengan hasil MCV,
MCH rendah dengan atau tanpa anemia dilakukan
pemeriksaan lanjutan kearah Thalassemia.
c. Deteksi dini kasus Thalassemia dilakukan pada pasien anemia
(ringan/berat) kronis sebelum gejala klinis yang lain muncul
seperti pembesaran hati limpa, perubahan bentuk tulang muka,
kecurigaan kearah Thalassemia dapat juga berdasarkan riwayat
anggota keluarga ada yang menderita Thalassemia.
d. Deteksi dini pembawa sifat Thalassemia lebih ditujukan pada
anggota keluarga dari pasien Thalassemia mayor, intermedia,
dan ”carrier” Thalassemia (skrining retrospektif), dan bila
terdeteksi sebagai pembawa sifat Thalassemia dilakukan
penjelasan mengenai risiko Thalassemia pada keturunannya
dan cara pencegahannya serta pencegahan pernikahan antar
pembawa sifat, skrining ibu hamil (diagnosis pranatal).
e. Pada kasus ini selain anamnesis dan pemeriksaan fisis,
pemeriksaan laboratorium tahap awal yang dapat dilakukan
adalah:
1) Pemeriksaan darah: Haemoglobin, Hematokrit, MCV,
MCH,RDW, dan morfologi sel darah merah (sediaan hapus
darah tepi).
2) Bila tidak ada fasilitas cell counter dapat dilakukan
pemeriksaan Haemoglobin, Hematokrit, dan morfologi sel

38 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


darah merah dengan sediaan hapus (hitung sel darah
merah) untuk secara manual menghitung MCV dan MCH.

Rumus MCV = VER = 10 x Ht : E ( satuan femtoliter atau fl)


Nilai Normal MCV = VER = 82-92 fl

Rumus MCH = HER = 10 x Hb : E (satuan pikogram atau pg)


Nilai Normal MCH = HER = 27-31 pg

Fasilitas untuk pemeriksaan ini pada umumnya tersedia di


seluruh puskesmas di Indonesia.

C. PENCEGAHAN TERSIER THALASSEMIA


Pencegahan tersier bagi penyandang Thalassemia adalah
mencegah agar tidak timbul komplikasi yang makin memperberat
kondisi kesehatannya. Misalnya dalam tatalaksana transfusi darah
diupayakan agar tidak terjadi penumpukan zat besi yang berlebihan
dan jika terjadi penumpukan zat besi maka terapi kelasi besi harus
dikuasai oleh petugas kesehatan di rumah sakit dengan baik untuk
mencegah terjadinya kerusakan hati dan ginjal.

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 39


D. PENATALAKSANAAN THALASSEMIA
1. Penatalaksanaan bagi pasien Thalassemia Mayor
Di Fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama (Puskesmas dan
fasilitas kesehatan lainnya)
a. Penatalaksanaan kasus Thalassemia dengan rujuk balik adalah
mengikuti anjuran dokter dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Tingkat Lanjutan, umumnya pada pasien Thalassemia mayor
adalah evaluasi klinis, pemeriksaan laboratorium dan efek
samping dari pemberian kelasi besi
b. Untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama yang akan
mendapatkan rujukan balik pasien Thalassemia dari fayankes
tingkat lanjutan, perlu melakukan monitoring seperti: 1.
Munculnya reaksi transfusi yang muncul (bisa tipe cepat dan
atau lambat), terutama urtikaria dan demam yang dapat diatasi
simptomatis. Saat akan merujuk balik pasien ke fayankes
lanjutan agar diinformasikan
1). Adanya reaksi transfuse
2). Monitor kadar Hb pasien, jika < 9 g/dL sebaiknya dirujuk
kembali ke fasyankes lanjutan untuk mendapatkan
transfusi darah adekuat
3). Monitoring kepatuhan dan efek samping obat kelasi besi.
Selain itu pada pasien yang telah displenektomi perlu
dipantau ketat terutama adanya tanda-tanda infeksi, tidak
boleh dianggap sepele dan pasien harus dapat
pengobatan yang adekuat
4). Melakukan KIE pada pasien dan keluarga akan pentingnya
pengobatan yang teratur dan adekuat, jika mungkin
mencarikan 4-5 orang donor darah tetap untuk setiap
pasien.

2. Penatalaksanaan Thalassemia Pembawa Sifat /”Carrier”


a. Di Fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama
(Puskesmas dan fasilitas kesehatan lainnya)
1) Pada kasus anemia yang dicurigai pembawa sifat/carrier
Thalassemia berdasarkan anamnesa, riwayat anggota
keluarga ada yang menderita Thalassemia, pemeriksaan

40 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


fisis, pemeriksaan laboratorium dan telah menyingkirkan
kemungkinan adanya tanda-tanda infeksi dan anemia
defisiensi besi. (Pedoman Tatalaksana Pengelolaan
Anemia Defisiensi Besi, oleh Direktorat Gizi,
Kementerian Kesehatan).
2) Sebaiknya sebelum melakukan pemeriksaan darah dan
skrining Thalassemia faskes tingkat 1 melakukan
penyuluhan secara berkala mengenai apa pentingnya
mengetahui penyakit Thalassemia untuk meningkatkan
pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat sehingga
masyarakat awam sadar dan mengerti mengapa
pemeriksaan skrining tersebut menjadi sangat penting.

b. Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan


Dalam upaya pelayanan kesehatan bagi pasien Thalassemia
memerlukan SDM, sarana dan prasarana yang mendukung
(Merujuk pada Buku Pedoman HTA, PHTDI, 2009).
Kegiatan yang dilakukan meliputi:
1) Penatalaksanaan pasien Thalassemia yang optimal
2) Menerima rujukan dan mengembalikan dari dan ke fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama (pasien, laboratorium
dan penunjang lain)
3) Melakukan deteksi dini Thalassemia
4) Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE)

Ad 1. Penatalaksanaan Thalassemia
Secara garis besar, penatalaksanaan Thalassemia
adalah transfusi darah, pemberian obat pengikat besi (iron
chelators), obat obat suportif, manajemen komplikasi medis dan
non medis, serta transplantasi sumsum tulang.

a). Transfusi darah


Pemberian transfusi darah bagi penyandang
Thalassaemia seumur hidup, rata-rata sebulan sekali,
kemudian untuk mengeluarkan kelebihan besi dalam tubuh
akibat transfusi darah rutin dan anemia kronik maka
diberikan obat kelasi besi. Komplikasi Thalassaemia

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 41


seperti gagal jantung, gangguan pertumbuhan,
pembesaran limpa, dan lainnya umumnya muncul pada
dekade kedua, dengan tatalaksana yang baik, maka pasien
dapat mencapai usia sampai dekade ke 3-5.
Berdasarkan rekomendasi PHTDI Indonesia
transfusi darah rutin untuk pasien anak diberikan pada
kadar Hb pretranfusi 9-10 gr %, dengan target Hb pasca
transfusi antara 12-13 gr%. Hal ini bertujuan agar anak
Thalassemia mayor dapat tumbuh dan kembang sesuai
anak normal lainnya.
Sangat dianjurkan pemberian darah aman dan
adekuat untuk mencegah tertularnya penyakit yang dapat
tertular melalui darah, misalnya hepatitis B, hepatis C dan
HIV, Dunia menganjurkan skrining darah donor
menggunakan metoda “nucleic acid testing” (NAT).
Sayangnya skrining metoda NAT ini tidak selalu tersedia
disemua tempat, untuk itu dapat diusahakan menyediakan
donor tetap yang sudah diskrining sebelumnya, selain itu
pada pasien yang mendapat transfusi darah berulang
seperti pasien Thalassemia, untuk mencegah terjadinya
reaksi transfusi akibat pembentukan alloantibodi,
dianjurkan untuk menggunakan darah rendah leukosit
(leukoreduksi atau leukodeplesi), jika darah leukoreduksi
tidak tersedia, dapat menggunakan bedside filter saat
transfusi.

b). Obat Pengikat Besi / Kelasi Besi


Saat ini di Indonesia tersedia 3 jenis obat obat
pengikat besi (iron cehlators). Ke tiga obat tersebut adalah
1) Desferrioxamine (DFO) yang diberikan secara
subkutan
2) Deferriprone (DFP),
3) Deferasirox (DFX) yang dapat diberikan secara oral.
Obat kelasi besi ini baru diberikan jika
1) Kadar feritiin serum ≥ 1000 ng/dL

42 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


2) Kadar saturasi transferin (serum iron/total iron binding
capacity = SI/TIBC) ≥ 75%
3) Adanya tumpukan besi di jantung yang diukur dengan
menggunakan pemeriksaan MRI T2* < 20 ms
4) Telah menerima transfuse darah > 10x
5) Telah menerima darah sebanyak ± 3 liter.
Monitoring sangat diperlukan pada semua pasien
yang mendapatkan obat kelasi besi ini. Sebelum
pemberian obat kelasi besi ini sebaiknya diketahui fungsi
organ eksresi (Hati: enzim transaminase SGOT, SGPT;
Ginjal: ureum dan kreatinin), karena metabolit ketiga jenis
obat tersebut dikeluarkan melalui urin (DFO dan DFP) atau
tinja (DFX). Selama pemberian obat tersebut harus
dimonitor apakah ditemukan adanya efek samping dari
masing-masing obat tersebut.
Efek samping pemakaian DFO antara lain:
kemerahan pada tempat suntikan, telinga berdengung atau
hilangnya sebagian lapang pandang, tetapi efek ini sangat
individual. Selain itu pemakain DFO pada anak usia < 3
tahun menggunakan dosis dewasa dapat meyebabkan
pemendekan epifisis tulang belakang (dosis dewasa/anak:
40-50/20-25/mg/kgBB/hari subkutan selama 8-12 jam
menggunakan pompa khusus). Karena itu pada pasien
yang menggunakan DFO sebaiknya dilakukan monitoring:
pemeriksaan mata, telinga, pengukuran tinggi badan berdiri
(TBB) dan tinggi badan duduk (TBD), minimal 1 kali dalam
6-12 bulan, kecuali bila ditemukan keluhan. Untuk
mengurangi nyeri pada bekas suntikan dapat diberikan
anestesi topical sebelumnya, atau bila terjadi peradangan
disekitar tempat suntikan dapat diobati secara simptomatis.
Jangan lupa diberikan informasi pada pasien dan keluarga
bahwa memakai DFO akan menyebabkan:
1) Warna urin menjadi kemerahan akibat zat besi yang
dikeluarkan
2) Hentikan pemakaian DFO bila pasien sedang
mengalami infeksi, dan obat dapat diberikan kembali
bila infeksi sudah teratasi

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 43


3) Obat tidak boleh diberikan pada saat kehamilan, kecuali
jika sangat dibutuhkan dapat diberikan pada kehamilan
trimester ke-3, tetapi obat ini aman digunakan saat
menyusui.
Efek samping pemakaian DFP yang sering ditemui
adalah: gangguan saluran cerna (mual dan muntah),
granulositopenia (menurunkan jumlah leukosit), dan
atralgia (nyeri sendi), dan meningkatnya kadar enzim
transaminase (SGOT, SGPT).
Untuk mengatasinya mual dan muntah anjurkan
pada pasien untuk meminum obat setelah atau saat makan
(after/during meal), atau diberikan obat golongan antasida
sebelumnya.
Menurunnya kadar leukosit umumnya didapatkan
pada 3 bulan pertama pemakaian obat. Idealnya dilakukan
pemantauan kadar leukosit (terutama jumlah leukosit
batang dan segmen) setiap 5-10 hari sekali. Tentunya hal
ini sangat tidak mungkin, oleh karena itu ingatkan
pasien/orangtua untuk tidak mengonsumsi DFP bila
terdapat tanda-tanda infeksi yang jelas, dan obat dapat
dikonsumsi kembali setelah infeksi teratasi.
Nyeri sendi dapat diatasi dengan pemberian obat
anti nyeri atau menghentikan DFP dan memulainya
kembali dengan dosis rendah (50 mg/kg BB). Jika efek
samping tidak dapat diatasi, sebaiknya menggunakan
kelasi besi yang lain. Obat ini diekresikan melalui urin
sehingga akan menyebabkan urin berwarna kemerahan,
Pemantauan keberhasilan pengobatan dan efek samping
obat dilakukan setiap 3 bulan sekali dengan memeriksa
SGOT,SGPT, ureum, kreatinin, kadar feritin serum. Jika
ditemui kadar enzim transaminase > 5x nilai normal, obat
harus dihentikan sementara sampai kadarnya < 5x normal.
Perlu diingat selama pemakaian obat DFP, warna urin
menjadi kemerahan akibat zat besi dibuang melalui urin,
dan perlu diinformasikan bahwa DFP tidak dapat
dikonsumsi ibu hamil dan menyusui.

44 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


Efek dari pemberian DFX antara lain ditemukannya
gangguan saluran cerna berupa mual dan muntah,
gangguan fungsi hati dan terutama ginjal. Oleh karena itu
monitoring fungsi hati dan ginjal beserta profil zat besi
(Feritin serum, SI/TIBC) idealnya dilakukan 1-3 bulan
sekali. Obat ini juga tidak dapat diberikan pada ibu hamil
dan menyusui.
Penentuan obat kelasi besi untuk setiap pasien
sangat bergantung pada tingkat kepatuhan, ketersediaan
obat dan efek samping obat yang muncul, karena
munculnya efek samping pada setiap pasien tidak selalu
sama.

c). Obat obat suportif dan makanan


Di samping transfusi darah, kepada pasien diberikan
obat-obat seperti asam folat, vitamin E sebagai
antioksidan, serta micro dan makroelental lainnya seperti
kalsium, zinc dan pengobatan khusus lainnya untuk
mencegah atau sebagai terapi dari komplikasi yang timbul.
Makanan yang perlu dihindari adalah makanan yang
banyak mengandung zat besi seperti daging merah dan
hati. Sangat dianjurkan untuk banyak mengkonsumsi
makanan dairy products seperti susu, keju, gandum, juga
teh.

d). Splenektomi
Pembesaran limpa yang terjadi umumnya akibat
terjadinya hiperaktif sistem eritropoesis yang biasanya
terjadi akibat Hb pretransfusi pasien yang rendah (Hb < 9
g/dL). Hal ini menyebabkan tubuh melakukan kompensasi
dan menyebabkan limpa membesar.
Saat ini splenektomi sudah banyak ditinggalkan,
karena bahaya pasca tindakan seperti thrombosis dan
sepsis yang berat. Jika pembesaran limpa disebabkan
transfusi darah yang tidak adekuat, sebelum melakukan
tindakan splenektomi dapat dicoba pemberian transfusi
dan kelasi besi yang adekuat (Hb pre transfusi 9-10 g/dL,

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 45


dengan target Hb 13 g/dL disertai pemakaian kelasi besi
adekuat selama 6 bulan) Jika dengan tindakan tersebut
ukuran limpa mengecil, maka tindakan splenektomi dapat
ditunda). Tetapi pada beberapa kasus yang
memerlukannya harus diperhatikan bahwa 2 minggu
sebelum/sesudah operasi sebaiknya diberikan vaksinasi,
dan pemantauan ketat tanda infeksi pasca splenektomi.

e). Manajemen komplikasi


Komplikasi dapat terjadi akibat penyakit
Thalassemianya sendiri dan akibat dari tatalaksana yang
diberikan. uan psikososial terutama pada pasien remaja.
Monitoring komplikasi akibat penyakit yang
umumnya dilakukan saat pasien mulai berusia 10 tahun
dengan melakukan serangkaian pemeriksaan, antara lain:
ekokargiografi, MRI T2* untuk mengetahui adanya
hemokromatosis jantung; Pemeriksaan hormon
pertumbuhan, elektrolit dan mikro/ makroelemen (kalsium,
fosfat, zink), bone age untuk mengetahui adanya
keterlambatan usia tulang, foto tulang panjang untuk
melihat osteoporosis. Selain itu pada pasien remaja
sebaiknya dilakukan juga terapi psikososial untuk
meningkatkan rasa percaya diri, kemampuan yang mereka
miliki, dan mengatasi kebosanan dalam melakukan
pengobatan yang akan mereka jalani seumur hidupnya.

f). Transplantasi sumsum tulang


Transplantasi sumsum tulang sebaiknya dilakukan
sesegera mungkin, dengan syarat pasien tersebut belum
menderita komplikasi berat yang “irreversible” dan pasien
tersebut memiliki donor sumsum tulang yang cocok sistem
HLA-nya, untuk transplantasi alogenik.

Ad. 2 Menerima rujukan dari fasilitas pelayanan kesehatan


tingkat pertama (pasien, laboratorium dan penunjang lain)
Mulai dari menegakan diagnostik, tatalaksana optimal,
kemudian memberikan rujukan balik ke fasyankes tingkat

46 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


pertama, pemeriksaan apa yang harus dimonitor secara
periodik di antaranya darah tepi, fungsi organ hati dan ginjal,
dan adanya tanda infeksi. Bila ditemui tanda infeksi, dianjurkan
untuk untuk menghentikan obat kelasi besi (minimal monitoring
SGOT, SGPT, ureum kreatinin per 3 bulan). Untuk anak dengan
Hb ≤ 9 gr/dL dan dewasa dengan Hb ≤ 8 gr/dl harus dirujuk
untuk transfusi.

Ad. 3 Melakukan deteksi dini Thalassemia


Dengan atau tanpa anemia yang disertai gambaran
mikrositik hipokrom harus dilakukan deteksi dini.

Ad. 4 Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE)


Dalam rangka meningkatkan “awareness” bagi pasien,
keluarga, masyarakat awam tentang penyakit Thalassemia.

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 47


BAB V
MANAJEMEN PROGRAM PENGENDALIAN THALASSEMIA

Program pengendalian Thalassemia perpaduan antara upaya


kesehatan masyarakat (UKM) yang berorientasi kepada upaya promotif
dan preventif dan upaya kesehatan perseorangan (UKP) sebagai bagian
dari tatalaksana penyakit Thalassemia. UKM dilakukan dengan melibatkan
masyarakat sebagai sasaran kegiatan, target perubahan, agen pengubah
sekaligus sebagai sumber daya. Dalam pelaksanaan Program
pengendalian Thalassemia selanjutnya dilakukan kegiatan skrining dan
konseling edukasi yang dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan
tingkat pertama dan rujukan ke rumah sakit.
Program pencegahan Thalassemia jauh lebih menguntungkan daripada
pengobatan, oleh karena itu kegiatan skrining dan konseling harus berjalan
optimal. Agar kegiatan skrining dan konseling edukasi dapat terselenggara
dan terencana dengan baik serta dapat dipantau dan dievaluasi hasilnya,
maka perlu disusun manajemen kegiatan ini yang meliputi perencanaan
dan pembiayaan, penyelenggaraan, pencatatan dan pelaporan serta
pemantauan dan evaluasi.
1. Perencanaan kegiatan skrining/penjaringan dan konseling edukasi
Thalassemia
Kegiatan skrining dan konseling edukasi yang dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan salah satu kegiatan
dalam penatalaksanaan untuk Thalassemia.
Persiapan dalam kegiatan skrining dan konseling edukasi
Thalassemia didahului dengan identifikasi sumber daya yang tersedia
di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama misalnya tenaga
pelaksana, alat kesehatan yang diperlukan, tempat pelaksanaan
konseling, pengaturan mekanisme kerja, serta sumber pembiayaan.
Dalam penyelenggaraan kegiatan skrining dan konseling edukasi
Thalassemia memerlukan persiapan sebagai berikut:

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 49


a. Pembentukan tim pengendalian Thalassemia
Kepala institusi kesehatan menerbitkan surat keputusan tentang
pembentukkan Tim pengendalian Thalassemia yang bertanggung
jawab dalam kegiatan skrining dan konseling edukasi Thalassemia.
Tim layanan pengendalian Thalassemia di Fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama meliputi:
1. Dokter Umum:
a) Bekerja di poli umum
b) Telah bekerja minimal 1 tahun
2. Perawat/Bidan/ahli teknologi laboratorium medik/ Kesehatan
Masyarakat:
a) Bekerja di poli umum/KIA
b) Telah bekerja minimal 1 tahun
b. Identifikasi Sumber Daya lain
1. Pengelolaan program pengendalian Thalassemia pada fasilitas
pelayanan kesehatan primer memerlukan sumber daya lainnya
seperti: alat penunjang pemeriksaan, tempat layanan konseling
2. Alat penunjang meliputi Haematology analizer (Haemoglobin,
Hematokrit, MCV, MCH,RDW), cell counter, sediaan hapus
darah tepi (Lampiran halaman 67).
3. Formulir pencatatan dan pelaporan
4. Media KIE yang diperlukan seperti Buku Saku, lembar balik,
banner, leafleat, poster, film terkait testimony penyandang
Thalassemia dll.
5. Layanan skrining dan konseling edukasi Thalassemia
c. Penyusunan rencana kegiatan
Penyusunan rencana kegiatan skrining dan konseling edukasi
Thalassemia yang meliputi sasaran, bentuk kegiatan, pelaksanaan,
biaya, tempat dan waktu.
Rujukan dilakukan dalam pelayanan kesehatan berkelanjutan
(Continuum of Care) dari fasilitas pelayanan kesehatan pertama ke
fasilitas pelayanan kesehatan lanjutan dan dari masyarakat fasilitas
pelayanan kesehatan pertama.

50 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


2. Pembiayaan skrining dan konseling edukasi Thalassemia
Biaya penyelenggaraan kegiatan skrining dan konseling edukasi
Thalassemia dapat berasal dari berbagai sumber yaitu dapat berasal
dari:
a. Pemerintah misalnya dalam bentuk APBN, APBD, BOK, Dana
Desa, pajak rokok daerah atau masuk dalam pembiayaan Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN),
b. Swasta seperti YTI, POPTI, CSR, dana kesehatan perusahaan,
donor dan lain-lain
c. Iuran warga, serta bantuan yang tidak mengikat lainnya
Pada awal pelaksanaan mendapat stimulasi atau subsidi dari
pemerintah. Secara bertahap, diharapkan masyarakat mampu
membiayai penyelenggaraan kegiatan secara mandiri. Pihak
swasta dapat berpartisipasi dalam pelaksanaan kegiatan skrining
Thalassemia di masyarakat dalam bentuk dan mekanisme
kemitraan yang sudah ada, yaitu "CSR (Corporate Social
responsibility)” sebagai tanggung jawab sosial perusahaan.
Puskesmas juga dapat memanfaatkan sumber-sumber
pembiayaan yang potensial untuk mendukung dan memfasilitasi
penyelenggaraan kegiatan layanan skrining dan konseling edukasi
Thalassemia selaku pembina kesehatan di wilayah kerjanya. Salah
satunya melalui pemanfaatan Bantuan Operasional Kesehatan
(BOK) yang ada di Puskesmas melalui fasilitasi transportasi
petugas puskesmas. Puskesmas juga diharapkan mampu
melakukan advokasi ke pemerintah daerah, melalui Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
Pemerintah Daerah setempat memiliki kewajiban juga untuk
menjaga keberlangsungan skrining dan konseling edukasi
Thalassemia agar dapat terus berlangsung dengan dukungan
kebijakan termasuk berbagai fasilitasi lainnya.

3. Penyelenggaraan skrining dan konseling edukasi Thalassemia


Penyelenggaraan skrining dan konseling edukasi Thalassemia di
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama meliputi: anamnesa,
riwayat anggota keluarga ada yang menderita Thalassemia,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Kegiatan dilakukan

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 51


pada anak sekolah yang didapat melalui program usaha kesehatan
sekolah dengan hasil pemeriksaan skrining mengarah ke
Thalassemia, calon pengantin yang melakukan pemeriksaan
pramarital, bila hasilnya mengarah kepada Thalassemia dilanjutkan
dengan konseling edukatif mengenai hal-hal yang perlu diketahui
tentang Thalassemia.
Pelaksanaan layanan konseling edukasi Thalassemia yang
diselenggarakan di luar gedung (posbindu PTM di masyarakat,
sekolah, perkantoran, dll) memberikan layanan penyuluhan dan
konseling konseling edukasi Thalassemia.
Peran Pemangku kepentingan
Penyelenggaraan kegiatan skrining dan konseling edukasi
Thalassemia memerlukan peran lintas program dan lintas sektor
seperti promosi kesehatan, pelayanan kesehatan; lintas sektor seperti
Kementerian Agama beserta instansi dibawahnya, Kementerian
Pendidikan, dan pemangku kepentingan lainnya seperti pihak swasta,
mulai di Pusat, Provinsi, Kabupaten/ Kota, Puskesmas sampai ke
tingkat Desa dan masyarakat.

Adapun peran tersebut adalah sebagai berikut:


a. PUSAT
o Menyusun norma, standar, prosedur, modul, dan pedoman
o Melakukan sosialisasi dan advokasi baik kepada lintas program,
lintas sektor dan pemegang kebijakan baik di Pusat dan Daerah
dalam pengembangan layanan konseling upaya Thalassemia
o Membentuk dan memfasilitasi jejaring kerja dalam pengendalian
PTM di Pusat, Provinsi dan Kabupaten/ Kota.
o Menyusun materi dan Media KIE Pengendalian PTM termasuk
pendistribusiannya.
o Memfasilitasi sarana dan prasarana termasuk logistik sebagai
stimulant maupun subsidi untuk mendukung pelaksanaan
kegiatan layanan konseling upaya Thalassemia.
o Melakukan bimbingan teknis dan pembinaan program
pengendalian PTM.
o Melakukan pemantauan dan penilaian.

52 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


3.1.1 LINTAS UNIT UTAMA DI KEMENTERIAN KESEHATAN
1) DIT. BUK DASAR :
Penetapan standar Puskesmas/Fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama menjadi pembina kegiatan
skrining dan konseling edukasi Thalassemia,
melaksanakan pelatihan petugas konseling, kader atau
petugas pelaksana kegiatan posbindu PTM.
2) DIT. BUK RUJUKAN :
Tersedianya mekaniksme dan adanya alur Sistem
rujukan dari puskesmas/Fasilitas pelayanan kesehatan
tingkat pertama ke Rumah Sakit serta rujuk balik
3) DIT. BUK PENUNJANG :
Penyediaan dan penetapan standar sarana alat
kesehatan serta reagen untuk laboratorium seperti
Haematology analizer (Haemoglobin, Hematokrit, MCV,
MCH, RDW), cell counter, sediaan hapus darah tepi,
metanol absolut dan reagensia.
4) PROMKES :
Peningkatan peran serta masyarakat melalui Desa
Siaga untuk, advokasi, sosialisasi dan penyuluhan
tentang skrining dan konseling edukasi Thalassemia
serta faktor risiko dan upaya pencegahan dan
pengendalian PTM melalui kegiatan Posbindu PTM.
5) PUSDATIN :
Dukungan data, informasi dan surveilans kasus
Thalassemia dari Puskesmas/Fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama dan Rumah Sakit

3.1.2 UNIT PELAKSANA TEKNIS KEMENTERIAN KESEHATAN


(UPT)
UPT yaitu Kantor Kesehatan Pelabuhan, Balai Teknis
Kesehatan Lingkungan, Balai Besar Pelatihan Kesehatan,
melakukan:
1. Melakukan sosialisasi dan advokasi baik kepada lintas
program, lintas sektor dan pemegang kebijakan di
wilayah kerjanya.

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 53


2. Membentuk dan memfasilitasi jejaring kerja.
3. Melakukan bimbingan teknis dan pembinaan
4. Memfasilitasi sarana dan prasarana termasuk logistik
dan perbekalan dalam mendukung pengembangan
layanan konseling upaya Thalassemia di wilayah
kerjanya
5. Melakukan pemantauan dan penilaian.
6. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan

3.1.3 DINAS KESEHATAN PROPINSI


1. Melaksanakan kebijakan, peraturan dan perundang-
undangan di bidang PPTM.
2. Mensosialisasikan pedoman umum dan pedoman
teknis, modul, standar dan prosedur kegiatan skrining
dan konseling edukasi Thalassemia.
3. Melakukan sosialisasi dan advokasi kegiatan Posbindu
PTM kepada Pemerintah Daerah, DPRD, lintas
program, lintas sektor, dan swasta.
4. Memfasilitasi pertemuan baik lintas program maupun
lintas sektor.
5. Membangun dan memantapkan kemitraan dan jejaring
kerja PTM secara berkesinambungan.
6. Memfasilitasi Kabupaten/Kota dalam mengembangkan
kegiatan skrining dan konseling edukasi Thalassemia di
wilayahnya.
7. Memfasilitasi sarana dan prasarana termasuk logistik
dan perbekalan dalam mendukung pengembangan
skrining dan konseling edukasi Thalassemia bersumber
dana APBD.
8. Melaksanakan pemantauan, penilaian dan pembinaan.
9. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan serta
mengirimkan ke Pusat.

3.1.4 DINAS KESEHATAN KABUPATEN/KOTA


1. Mensosialisasikan pedoman umum dan teknis, modul,
standar operasional prosedur dari Kegiatan skrining
dan konseling edukasi Thalassemia

54 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


2. Melakukan Advokasi kegiatan skrining dan konseling
edukasi Thalassemia kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota dan DPRD, lintas program, lintas
sektor, swasta, dan masyarakat.
3. Melaksanakan pertemuan lintas program maupun
lintas sektor.
4. Membangun dan memantapkan jejaring kerja serta
forum masyarakat pemerhati PTM secara
berkelanjutan.
5. Melaksanakan bimbingan dan pembinaan teknis ke
Puskesmas dan jaringannya.
6. Memfasilitasi Puskesmas dan jaringannya dalam
mengembangkan skrining dan konseling edukasi
Thalassemia di wilayah kerjanya.
7. Melaksanakan monitoring dan evaluasi Kegiatan
skrining dan konseling edukasi Thalassemia
8. Mengelola surveilans epidemiologi faktor risiko PTM
pada wilayah Kabupaten/Kota
9. Menyelenggarakan pelatihan penyelenggaran skrining
dan konseling edukasi Thalassemia bagi petugas
puskesmas dan petugas pelaksana Posbindu PTM.
10. Melaksanakan promosi pengendalian PTM melalui
berbagai metode dan media penyuluhan kepada dan
masyarakat/petugas pelaksana.
11. Melaksanakan dan memfasilitasi kegiatan
pemberdayaan dan peningkatan partisipasi
masyarakat dalam upaya pengendalian PTM yang
sesuai dengan kondisi daerah (local area specific)
melalui skrining dan konseling edukasi Thalassemia
12. Melakukan pemantauan, penilaian dan pembinaan.
13. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan serta
mengirimkan ke Provinsi.

3.1.5 PUSKESMAS / FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN


TINGKAT PERTAMA
1. Melakukan penilaian kebutuhan dan sumber daya
masyarakat, termasuk identifikasi kelompok potensial di
masyarakat untuk menyelenggarakan skrining dan

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 55


konseling edukasi Thalassemia, misalnya swasta/dunia
usaha, PKK/dasa wisma, LSM, organisasi profesi, serta
lembaga pendidikan misalnya Sekolah, Perguruan
Tinggi.
2. Melakukan sosialisasi dan advokasi tentang skrining
dan konseling edukasi Thalassemia, yang meliputi
informasi tentang PTM dan dampaknya, bagaimana
pengendalian dan manfaatnya bagi masyarakat,
kepada pimpinan wilayah, pimpinan organisasi,
kepala/ketua kelompok dan para tokoh masyarakat
yang berpengaruh.
3. Mempersiapkan sarana dan tenaga di Puskesmas
dalam menerima rujukan dari Posbindu PTM.
4. Memastikan ketersediaan sarana dan prasarana
termasuk logistik dan perbekalan lainnya untuk
menunjang skrining dan konseling edukasi
Thalassemia
5. Menyelenggarakan pelatihan tenaga pelaksana
Posbindu PTM.
6. Menyelenggarakan pembinaan dan fasilitasi teknis
kepada petugas pelaksana Posbindu PTM.
7. Melakukan pemantauan dan penilaian
8. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan dan
mengirimkan ke provinsi

3.1.6 PROFESI / AKADEMISI / PERGURUAN TINGGI


1. Mendukung implementasi kebijakan Pemerintah Pusat
dan Daerah dalam pengendalian PTM.
2. Mengadvokasi dan mensosialisasikan skrining dan
konseling edukasi Thalassemia
3. Menginisiasi terselenggaranya skrining dan konseling
edukasi Thalassemia
4. Membina kegiatan skrining dan konseling edukasi
Thalassemia di suatu wilayah
5. Memberikan umpan balik pengembangan program
pengendalian Thalassemia kepada Pemerintah Pusat
dan Daerah dalam pengendalian PTM.

56 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


3.1.7 KELOMPOK / ORGANISASI LEMBAGA MASYARAKAT /
SWASTA
1. Menyelenggarakan skrining dan konseling edukasi
Thalassemia di lingkungannya.
2. Mendorong secara aktif anggota kelompoknya untuk
menerapkan gaya hidup sehat dan mawas diri terhadap
faktor risiko PTM.
3. Memfasilitasi pembentukan, pembinaan dan
pemantapan jejaring kerja pengendalian PTM secara
berkesinambungan.
4. Mendukung implementasi kebijakan Pemerintah Pusat
dan Daerah dalam pengendalian PTM.
5. Berkonsultasi dan berkoordinasi dengan Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dan Puskesmas dalam
menyelenggarakan kegiatan Posbindu PTM.
6. Berpartisipasi mengembangkan rujukan dari Posbindu
PTM ke Puskesmas.
7. Berkontribusi mengembangkan Posbindu PTM melalui
dana CSR.

4. Pemantauan dan Penilaian hasil skrining dan konseling edukasi


Thalassemia
Pemantauan bertujuan untuk mengetahui apakah kegiatan sudah
dilaksanakan sesuai dengan perencanaan, apakah hasil kegiatan
sudah sesuai dengan target yang diharapkan dan mengidentifikasi
masalah dan hambatan yang dihadapi, serta menentukan alternatif
pemecahan masalah.
Penilaian dilakukan secara menyeluruh terhadap aspek masukan,
proses, keluaran atau output termasuk kontribusinya terhadap tujuan
kegiatan. Tujuan penilaian adalah untuk mengetahui sejauh mana
tingkat perkembangan kegiatan skrining dan konseling edukasi
Thalassemia dalam penyelenggaraannya, sehingga dapat dilakukan
pembinaan.
Pemantauan dan penilaian dilakukan sebagai berikut:
1. Pelaksana pemantauan dan penilaian adalah petugas Puskesmas,
Dinkes Kab/Kota, Dinkes Provinsi dan Pusat.

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 57


2. Sasaran pemantauan dan penilaian adalah para petugas
pelaksana.
3. Pemantauan kegiatan dilakukan setiap 6 (enam) bulan sekali dan
penilaian indikator dilakukan setiap 1 tahun sekali.
4. Hasil pemantauan dan penilaian ini dipergunakan sebagai bahan
penilaian kegiatan yang lalu dan sebagai bahan informasi besaran
masalah merokok di masyarakat serta tingkat perkembangan
kinerja kegiatan skrining dan konseling edukasi Thalassemia
disamping untuk bahan menyusun perencanaan pengendalian
PTM umumnya, dan secara khusus pengendalian Thalassemia
terhadap kesehatan pada tahun berikutnya.
5. Hasil pemantauan dan penilaian kegiatan Posbindu PTM
disosialisasikan kepada lintas program, lintas sektor terkait dan
masyarakat untuk mengambil langkah-langkah upaya tindak lanjut.
Pelaksanaan pemantauan dan penilaian hasil pelaksanaan Kegiatan
Posbindu PTM di masyarakat/ lembaga / institusi, Provinsi maupun
Kabupaten/Kota, dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagai
berikut:
1. Obyektif dan profesional
Pelaksanaan pemantauan dan penilaian dilakukan secara
profesional berdasarkan analisis data yang lengkap dan akurat
agar menghasilkan penilaian secara obyektif dan masukan yang
tepat terhadap pelaksanaan kegiatan skrining dan konseling
edukasi Thalassemia.
2. Terbuka/Transparan
Pelaksanaan pemantauan dan penilaian dilakukan secara
terbuka/transparan dan dilaporkan secara luas melalui berbagai
media yang ada agar masyarakat dapat mengakses dengan
mudah tentang informasi penyakit Thalassemia.
3. Partisipatif
Pelaksanaan kegiatan pemantauan dan penilaian dilakukan
dengan melibatkan secara aktif dan interaktif para pelaku skrining
dan konseling edukasi Thalassemia.
4. Akuntabel
Pelaksanaan pemantauan dan penilaian harus dapat
dipertanggungjawabkan secara internal maupun eksternal.

58 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


5. Tepat waktu
Pelaksanaan pemantauan dan penilaian harus dilakukan sesuai
dengan waktu yang dijadwalkan.

6. Berkesinambungan.
Pelaksanaan pemantauan dan penilaian dilakukan secara
berkesinambungan agar dapat dimanfaatkan sebagai umpan balik
bagi penyempurnaan kebijakan.
7. Berbasis indikator kinerja.
Pelaksanaan pemantauan dan penilaian dilakukan berdasarkan
kriteria kinerja, baik indikator masukan, proses, luaran, manfaat
maupun dampak.
Pemantauan dan penilaian keberhasilan dari
penyelenggaraan kegiatan Posbindu PTM harus dilakukan dengan
membandingkan indikator yang telah ditetapkan sejak awal dan
dibandingkan dengan hasil pencapaiannya.
Indikator yang dinilai dalam kegiatan program pengendalian
Thalassemia adalah:
1. Persentase puskesmas yang melaksanakan skrining Thalassemia
= Jumlah puskesmas yang melakukan skrining Thalassemia di kab/kota
Jumlah total puskesmas yang ada di kab/kota

2. Persentase puskesmas yang melaksanakan konseling edukasi


Thalassemia
= Jumlah puskesmas konseling edukasi di kab/kota
Jumlah total puskesmas yang ada di kab/kota

3. Jumlah kab/kota yang melaksanakan program pengendalian


Thalassemia
= Jumlah kab/kota melaksanakan program Thalassemia di propinsi
Jumlah total kab/kota yang ada di propinsi
4. Jumlah Rumah sakit yang melaksanakan tatalaksana Thalassemia
di propinsi
= Jumlah Rumah sakit tatalaksana Thalassemia di propinsi
Jumlah total Rumah Sakit yang ada di propinsi
Indikator dalam pemantauan pengendalian Penyakit Tidak Menular di
daerah sebagai berikut :

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 59


a. Bertanggung jawab terhadap surveilans penyakit tidak menular di
daerah
b. Terbentuknya jejaring/ kemitraan kerja berfungsi dalam surveilans
faktor risiko, registri penyakit dan kematian akibat penyakit tidak
menular
c. Adanya regulasi daerah yang mendukung kegiatan pengendalian
penyakit tidak menular khususnya program pengendalian
Thalassemia
d. Menurunnya angka kelahiran anak Thalassemia mayor, melalui
skrining dan konseling edukasi Thalassemia.
Indiktor penilaian yang akan dicapai adalah :
a. Tersedianya SDM program pengendalian Thalassemia yang
terlatih
b. Tersedianya alat penunjang dan ruang untuk memberikan
layanan konseling edukasi
c. Terlaksananya kegiatan skrining dan konseling edukasi.
5. Pembinaan kegiatan skrining dan konseling edukasi Thalassemia
Pembinaan dilakukan secara berjenjang oleh puskesmas dan fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pusat. Dukungan Pemerintah Pusat
dan Daerah terhadap skrining dan konseling edukasi Thalassemia
harus berjalan optimal untuk menjamin keberlangsungan
penyelenggaraan kegiatan ini termasuk memotivasi dan memfasilitasi
organisasi masyarakat/profesi/ swasta/dunia usaha sesuai dengan
kearifan lokal.
6. Pencatatan dan Pelaporan
Skrining dan konseling edukasi Thalassemia merupakan salah satu
bentuk kegiatan pelayanan kesehatan yang dapat dilakukan di
pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pelaksanaan skrining dan
konseling edukasi Thalassemia tersebut perlu pencatatan dan
pelaporan sebagai salah satu upaya tertib administrasi kegiatan.
Pencatatan dan pelaporan ini dapat dijadikan sebagai bahan analisa
dan perbaikan untuk kegiatan saat ini dan yang akan datang,
sehingga dapat terselenggara dengan optimal, baik, dan terukur.

60 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


BAB VI
PENUTUP

Penyakit Thalassemia merupakan penyakit menurun (genetik) yang


membutuhkan biaya besar secara rutin sejak dilahirkan, sehingga untuk
menjaga stamina dan kesehatannya harus dilakukan transfusi darah
secara teratur sejak anak-anak.
Penyakit ini dapat di cegah bila penyandang Thalassemia
minor/pembawa sifat (carrier) tidak menikah dengan sesama penyandang
Thalassemia minor. Jika pasangan carrier ini menikah maka kemungkinan
lahir bayi Thalassemia mayor sebesar 25%.
Upaya Pemerintah dalam pengendalian Thalassemia dengan cara
melakukan kegiatan Promotif dan Preventif melalui skrining/ penjaringan
dan deteksi dini di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama agar
dapat menurunkan angka kelahiran bayi Thalassemia Mayor dan angka
kesakitan Thalassemia.

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 61


DAFTAR PUSTAKA

Bunn HF, Forget BG, Ranney HM. Human hemoglobins. Edisi ke-5.
Philadelphia: Saunders; 1997. h. 101-39.

Hoffbrand AV, Petit JE. Essential haematology. Edisi ke-3. Oxford:


Blackwell; 1995. h. 94-120.

Mader SS. Inquiry into life. 1997. Diunduh dari:


http://www.tikirobot.net/wp/tag/hemoglobin/Diakses
tanggal 1 September 2006.

Weatherall DJ. Phenotype-genotype relationship in monogenic disease:


lessons from the Thalassemias. Macmillan magazine.
2001;2:245.

Stamatoyannopoulos G, Nienhuis AW. Hemoglobin switching. Dalam:


Stamatoyanno poulos G, Nienhuis AW, Majerus PH, Varmus H,
penyunting. The molecular basis of blood disease. Edisi ke-2.
Philadelphia: Saunders; 1994. h. 107-40.

Cunningham JM, Jane SM. Hemoglobin switching and fetal hemoglobin


reactivation. Semin Hematol. 1996;33:9-23.

Bain BJ. Haemoglobinopathy diagnosis. Edisi ke-2. Massachusetts:


Blackwell; 2006.h.1-62.

Rogers M, Phelan L, Bain B. Screening criteria for Thalassemia βtrait in


pregnant women. J Clin Pathol 1995; 48:1054-1056.

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 63


LAMPIRAN
Lampiran 1 : Cara Melakukan Pemeriksaan Hapus Darah Tepi.

MEMBUAT PEMERIKSAAN HAPUS DARAH TEPI

Alat dan reagen yang diperlukan:


1. Gelas objek 25 x 75 mm
2. Kaca penutup
3. Lancet
4. Alcohol swab
5. Rak Kaca objek
6. Rak Pengering
7. Batang gelas
8. Mikroskop
9. Metanol Absolut dengan kadar air kurang dari 4%
10. Pipet Pasteur
11. Zat warna Wright
12. Zat warna Giemsa
13. Larutan Dapar
14. Safety box utk tempat mengamanan Lancet

Tujuan Pemeriksaan:
▪ Menilai berbagai unsur sel darah tepi seperti eritrosit, leukosit,
trombosit .
▪ Mencari adanya parasit seperti : malaria, mikrofilaria dll.
▪ Sediaan hapus yang dibuat dan dipulas dengan baik merupakan syarat
mutlak untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang baik.

Membuat dan mewarnai sediaan hapus darah tepi:


REAGENSIA:
1. Metanol absolut dengan kadar air kurang dari 4%, disimpan dalam
botol yang tertutup rapat supaya tidak menguap dan mencegah
masuknya uap air dari udara.
Larutan ini dipakai untuk fiksasi sediaan hapus.

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 67


2. Zat warna
▪ Wright ( zat warna Wright eosin methylen blue 1 g + metanol bebas
aceton 600 mL) yang dapat dibeli dalam bentuk cair.
▪ Zat warna Giemsa (zat warna Giemsa yang didibeli dalam bentuk
cair) diencerkan dengan larutan dapar sebanyak 20 kali.
3. Larutan
o Larutan dapar (buffer): pH 6,4
Na2HPO4 2,56 g
KH2PO4 6,63 g
air suling sampai 1 L
o Sebagai pengganti larutan dapar, dapat juga dipakai air suling
dengan pH diatur dengan penambahan tetes demi tetes larutan
Kbicarbonat 1% atau lar HCl 1% sampai indikator bromthymolblue
(larutan 0,04% dalam air suling) yang ditambahkan di dalamnya
mencapai warna hijau.
o Dapat juga dipakai buffer Weisse berupa tablet pH 6,4 dari Merck
cat. TP 728 968 438 yang dilarutkan dalam 1 liter air suling.

BAHAN PEMERIKSAAN:
▪ Yang terbaik adalah darah segar (darah kapiler atau vena yang
dihapuskan pada kaca objek).
▪ Pada keadaan tertentu dapat pula digunakan darah EDTA.

PERALATAN:
Kaca objek ukuran 25 x 75 mm: kaca objek yang akan digunakan harus
bersih dan kering serta bebas lemak; Batang gelas; Rak kacaa objek; Pipet
Pasteur; dan Kaca tutup urin (deck glass)

Cara membuat sediaan hapus:


1. Pilih kaca objek yang bertepi rata untuk digunakan sebagai “kaca
penghapus”. Patahkan sudut kaca objek tersebut menurut garis
diagonal untuk dapat menghasilkan sediaan hapus darah yang tidak
mencapai tepi kaca objek.
2. Letakkan 1 tetes kecil darah, pada ± (2-3)mm dari ujung kaca objek.
Letakkan kaca penghapus dengan sudut (30-45)° terhadap kaca objek
di depan tetes darah.

68 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


3. Tarik kaca penghapus ke belakang sehingga menyentuh tetes darah,
tunggu sampai darah menyebar pada sudut tersebut.
4. Dengan gerak yang cepat doronglah kaca penghapus sehingga
terbentuk hapusan darah sepanjang (3-4) cm pada kaca objek (lihat
gambar). Darah harus habis sebelum kaca penghapus mencapai ujung
lain dari kaca objek.hapusan darah tidak boleh terlalu tipis atau terlalu
tebal, ketebalan ini diatur dengan mengubah sudut antara kedua kaca
objek dan kecepatan menggeser.makin besar sudut atau makin cepat
menggeser, makin tipis hapusan darah yang dihasilkan.

5. Biarkan hapusan darah mengering di udara.


Tuliskan identitas pasien pada bagian tebal hapusan dengan pensil.

Sediaan yang baik untuk diwarnai mempunyai ciri sebagai berikut:


1. Tidak melebar sampai tepi kaca objek, panjangnya setengah sampai
dua pertiga panjang kaca.
2. Mempunyai bagian yang cukup tipis untuk diperiksa, pada bagian itu
eritrosit terletak berdekatan tanpa bertumpuk.
3. Rata, tidak berlubang-lubang dan tidak bergaris-garis.

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 69


4. Mempunyai penyebaran leukosit yang baik, tidak berhimpit pada pinggir
atau ujung sediaan.
Cara mewarnai sediaan hapus :
Dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu :
- dengan menggenanginya dengan reagensia
- dengan mencelupnya ke dalam reagensia yang ada dalam kuvet
pewarnaan.
Pewarnaan Wright
1. Buat hapusan darah tepi, biarkan kering di udara.
2. Letakkan sediaan yang akan dipulas diatas rak pengecatan.
3. Fixasi sediaan hapus dengan metanol absolut selama (2-3) menit atau
biarkan kering di udara.
4. Genangi sediaan hapus dengan zat warna Wright, biarkan selama (10-
15) menit.
5. Tambahkan larutan dapar dalam jumlah yang sama dengan zat warna.
Usahakan agar larutan dapar tercampur rata dengan zat warna. Biarkan
selama (10-12) menit.
6. Bilas dengan air mengalir/aquadest untuk menghilangkan semua
kelebihan zat warna.
7. Letakkan sediaan hapus dalam rak pengering dalam posisi tegak
sampai kering.
Pewarnaan Giemsa :
1. Buat hapusan darah tepi, biarkan kering di udara.
2. Letakkan sediaan yang akan dipulas diatas rak pengecatan.
3. Fiksasi sediaan hapus dengan metanol absolut selama (2-3) menit atau
biarkan kering di udara.
4. Genangi sediaan hapus dengan zat warna Giemsa, yang baru
diencerkan dengan larutan dapar (1:4) biarkan selama (20-30) menit.
5. Bilas dengan air mengalir/aquadest untuk menghilangkan semua
kelebihan zat warna.
6. Letakkan sediaan hapus dalam rak pengering dalam posisi tegak
sampai kering.
Pewarnaan Wright-Giemsa:
1. Buat hapusan darah tepi, biarkan kering di udara.
2. Letakkan sediaan yang akan dipulas diatas rak pengecatan.

70 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


3. Fiksasi sediaan hapus dengan metanol absolut selama (2-3)menit atau
biarkan kering di udara.
4. Genangi sediaan hapus dengan zat warna Wright, sehingga bagian
yang terlapisi darah tertutup, biarkan selama 2 menit.
5. Cuci dengan air menaglir.
6. Dalam botol pencampur, encerkan larutan Giemsa dengan larutan
dapar pH 7,2 dengan perbandingan 1:4.
7. Genangi sediaan dengan larutan
8. Giemsa tersebut, biarkan selama 20 menit.
9. Cuci dengan air mengalir.Letakkan sediaan hapus dalam rak pengering
dalam posisi tegak sampai kering.
Sumber Kesalahan:
1. Kesalahan dalam persiapan pasien, pengambilan dan penyimpanan
bahan pemeriksaan.
2. Sediaan hapus yang terlampau biru karena hapusan terlalu tebal,
pewarnaan terlalu lama,kurang pencucian zat warna atau larutan dapar
yang terlalu alkalis.
3. Sediaan hapus yang terlampau merah karena zat warna atau larutan
dapar terlalu asam dan leukosit bisa hancur.
4. Bercak zat warna pada sediaan hapus karena zat warna tidak disaring
atau sudah mengering.
5. Sebaiknya sediaan hapusan darah menggunakan darah langsung
tanpa antikoagulan,bila mnggunakan darah dengan antikoagulan jangan
lebih dari 1 jam.
6. Sediaan hapus yang tidak rata karena kaca penghapus tidak bersih,
pinggiran tidak rata, kaca objek berdebu, berlemak atau bersidik jari.
7. Fiksasi yang tidak baik menyebabkan perubahan morfologi dan warna
sediaan. Ini disebabkan menggunakan metanol absolut akibat botol
penampung tidak bertutup rapat.
8. Fiksasi yang tidak dilakukan segera setelah sediaan hapus kering dapat
menyebabkan perubahan morfologi leukosit.
Cara memeriksa:
 Letakkan sediaan hapus darah pda mikroskop.
 Lihat dengan pembesaran lemah (lensa objektif 10x dan lensa okuler
10x) untuk mendapatkan gambar menyeluruh.

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 71


 Perhatikan apakah penyebaran sel cukup merata pada bagian ujung
dari sediaan, perhatikan jumlah leukosit dan adanya pengelompokan
trombosit.
 Untuk menilai keadaan eritosit, leukosit, hitung jenis leukosit dan
trombosit gunakan lensa objektif 40x.
 Bila pembesaran dengan mengggunakan lensa objektif 100 x dan lensa
okuler 10x digunakan minyak imersi.
 Biasanya digunakan bila memeriksa sediaan untuk mencari parasit
seperti malaria.
Cara melaporkan:
 Diperlukan untuk membantu membuat diagnosis, prognosis dan dapat
mengetahui pemeriksaan lanjutan yang diperlukan.
 Indikasi pemeriksaan ini untuk :
a. Menilai Eritrosit: Morfologi, yang dipakai untuk menggolongkan
anemia berdasarkan morfologi dan untuk pemeriksaan lanjutan yang
diperlukan untuk mengetahui etiologi anemia.
b. Menilai Leukosit: memperhatikan hitung jenis, sel mana yang
dominan, adanya kelainan morfologi leukosit dan perkiraan jumlah
leukosit.
c. Menilai Trombosit: dapat diperkirakan jumlah trombosit menurun,
normal atau meningkat.

Penilaian Erirtosit:
 Lakukan penilaian 3 S (size, shape, staining).
 Lakukan pada daerah pandangan dimana eritrosit terletak saling saling
berdekatan tetapi tidak saling menumpuk.
 Ukuran eritrosit normal (6-8)μm, ± sebewar inti limfosit kecil, berbentuk
bulat dengan warna ditengah lebih pucat.ukuran lebih besar disebut
makrositik, lebih kecil disebut mikrositik.
 Bila bagian yang berwarna lebih pucat dan lebih luas disebut sebagai
hipokrom.
 Kadang-kadang dijumpai eritrosit berinti.
 Juga diperhatikan kelainan bentuk, benda inklusi sperti parasit misalnya
plasmodium malaria.

72 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


Penilaian Leukosit:
 Dilaporkan perkiraan jumlah,morfologi, hitung jenis (eosinofil, basofil,
neutrofil batang, neutrofil segmen, limfosit dan monosit) yang berbeda
ukuran, bentuk inti, warna sitoplasma serta granulasi.
Penilaian Trombosit:
 Ukuran trambosit (1-4)μm.
 Dinilai kesan jumlah dan kelainan morfologi.
 Untuk memperkirakan jumlah trombosit dipakai sediaan hapus darah
tepi menggunakan antikoagulan EDTA.
 Dihitung jumlah trombosit minimal 10 lapangan pandang minyak imersi
dengan jumlah eritrosit > 1000.
Sumber Kesalahan
1. Pewarnaan kurang baik.
2. Sediaan hapus dengan penyebaran sel yang tak merata.
3. Adanya perubahan morfologi karena fiksasi yang kurang baik.
4. Kesalahan dalam menentukan jenis sel.
5. Mikroskop yang tidak baik.
Kelainan morfologi eritrosit
 Eritrosit normal berukuran (6 - 8) μm.
 Dalam sediaan hapus, eritrosit normal berukuran = inti limfosit kecil
dengan area di tengah berwarna pucat.
 Kelainan morfologi eritrosit berupa kelainan:
- ukuran (size).
- bentuk (shape).
- warna (staining characteristic).
- adanya benda inklusi.

Eritrosit normal kelainan morfologi eritrosit

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 73


Kelaian morfologi eristrosit Eritosit berinti (metarubrisit)

Kelainan ukuran eritrosit Kelaian morfologi eristrosit

74 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


Tabel Nilai pemeriksaan darah

Nilai
Heterosigot/Trait
Heterosigot/Trait normal
+ def. Fe?
dewasa

A. Indeks sel darah merah

Hb (g/dL) 12,5 10,0 12-18

MCV (fL) 61,6 59,8 80-97

MCH (pg) 19,7 19,5 26-32

MCHC (g/dL) 32,1 32,6 31-36

RDW (%) 19,2 18,3 11,5-14,6

RBC (M/uL) 6,33 5,13 4,20-6,30

B. Analisis Hb

HbA2 (%) 5,4 5,6 2,5-3,5

HbF (%) 1,4 1,3 <1

Jenis Hb (%) A, F, A2 A, F, A2 A, F, A2

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 75


Tabel hasil pemeriksaan darah pada kasus Anak X
usia 1 tahun

Homosigot (0 atau Nilai normal


(+ berat usia 6-12 bulan

A. Indeks sel darah merah

Hb (g/dL) 4,2 9,5-13,5

MCV (fL) 73,2 74-108

MCH (pg) 23,6 25-35

MCHC (g/dL) 32,3 30-36

RDW (%) 34,1 11,5-14,5

RBC (M/uL) 1,78 3-4,6

B. Analisis Hb

HbA2 (%) 2,3 2,3-3,1

HbF (%) 98,6 1,3-5

Jenis Hb (%) F, A2 A, F, A2

76 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


Lampiran 2.

Unit Pelayanan Kesehatan


(Puskesmas dan Laboratorium)
yang memiliki Cell Counter

No Unit Pelayanan Kesehatan Alamat

A. Wilayah Banten

1 Labkesda Kabupaten Lebak Jl Multatuli no 2, Lebak, Banten


Labkesda Jl Bhayangkari no 3, Pandeglang.
2
Kabupaten Pandeglang Banten.
Labkesda
3 Jl Daan Mogot no 4, Tangerang
Kabupaten Tangerang
4 PKM Balaraja Jl Raya Serang, Balaraja.
Jl Raya Bayah Cikotok Rt 02 Rw
5 PKM Kecamatan Bayah 03. Desa Bayah Barat, Kecamatan
Bayah, Lebak
Jl Raya Serang KM 14, Depan
6 PKM Kecamatan Cikupa
Pasar Cikupa
Jl Muncang Gajruk KM I. Desa
7 PKM Kecamatan Cipanas
Haurgajruk, Kec. Cipanas, Lebak
Jl KH Hasyim Ashari. Kecamatan
8 PKM Kecamatan Cipondoh
Cipondoh, Tangerang
Jl Jend. Sudirman no 164, Labuan,
9 PKM Kecamatan Labuan
Banten
10 PKM Kecamatan Merak Jl Raya Merak Km I
Jl Raya Cibaliung no 5,
11 PKM Kecamatan Panimbang Pandeglang. Setelah pasar
Panimbang
PKM Kecamatan Pondok Perumahan Eka Bakti, Jl Raya
12
Jagung Serpong
Jl Veteran, Kota Tangerang,
13 PKM Kecamatan Sukasari
Banten.
RSUD Kabupaten
14 Tangerang
Tangerang

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 77


Jl Ciptayasa, Desa Singaraja,
15 PKM Pontang
Pontang, Serang, Banten.
16 Labkesda Kab Serang Palima, Serang
Jl Raden Patah no 125, Ciledug,
17 PKM Kecamatan Ciledug
Kota Tangerang
Jl. Surya Kencana No. 1
18 PKM Pamulang
Puskesmas Pamulang
19 PKM Saketi Jl Raya Labuan, Saketi
JL. Raya Serang Km. 14,
20 PKM Kecamatan Cikupa
Tanggerang
Labkesda Kabupaten
21 Jl. Bhayangkara No. 3 Pandeglang
Pandeglang
Kp. Kukun RT.01/02 Ds. Parigi,
22 PKM Cikande
Kec. Cikande, Kab. Serang
23 PKM Cisoka Jl Raya Cisoka, Banten
24 PKM Curug Jl PLT Curug, Banten.
25 PKM Kresek Jl Syekh Nawawi no 2, Kresek
26 PKM Kronjo Jl Raya Kronjo, Balaraja, Banten
Jl Ir. Raden Mahmud no 2, Mauk ,
27 PKM Mauk
Banten
Jl. Perintis Kemerdekaan, Ds.
28 PKM Menes
Purwarga Kec . Menes Pandeglang
Jl. Tambak - Rangkas Bitung, Kp.
29 PKM Pamarayan Pamarayan, Kec. Pamarayan Kab.
Serang
PKM Kecamatan Pondok Perumahan Eka Bakti, Jl Raya
30
Jagung Serpong
Jl. Layar IV, Kelapa Dua, Gading
31 PKM Kelapa Dua
Serpong, Kab Tangerang
Jl. Surya Kencana No. 1
32 PKM Pamulang
Puskesmas Pamulang
Jl Raya Labuan KM 5, Cikoneng,
33 RSUD Pandeglang
Pandeglang, Banten
Labkesda Kota Tangerang Jl Witanaharja no 27, Pamulang,
34
Selatan Tangsel, Banten
35 PKM Setu Jl Raya Puspitek no 1, Setu,

78 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


Tangsel
36 PKM Pondok Aren Jl Puskesmas no 4, Pondok Aren.
Jl Anggur I no 2, Rempoa, 021
37 PKM Ciputat Timur
7440312.
38 PKM Ciputat Jl Ki Hajar Dewantara no 7, Ciputat
Jl Raya Serpong no 1. Deket pasar
39 PKM Serpong
Serpong.
Jl Glatik no 1, RT 01/01, Sawah
40 PKM Kampung Sawah
Lama, Ciputat.
41 PKM Rawa Buntu Depan kompleks Delatinos - BSD.
B. Wilayah Jakarta
Jl Cibubur I Rt 003/01. Jakarta
1 PKM Kecamatan Ciracas
Timur
Jl Matraman Raya no 220. Jakarta
2 PKM Kecamatan Jatinegara
Timur
Lanud Halim Perdana Kusuma
3 Rumkit Kohandunas Jakarta,
Jaktim
Jl Satu Maret Raya, Citra Garden.
4 PKM Kecamatan Kalideres
Jakarta Barat.
Gd Nusantara 3. Jl Gatot Subroto.
5 Poli MPR RI
Jak Sel
PKM Kecamatan Cempaka Jl Rawasari Selatan I, Jakarta
6
Putih Pusat
7 PKM Kecamatan Senen Jl Kramat VII, Jakarta Pusat
PKM Kecamatan Tanjung
8 Jl Bugis no 63. Jakarta Utara.
Priuk
Jl Walang Permai no 39, Koja,
9 PKM Kecamatan Koja
Jakarta Utara
10 PKM Kecamatan Jagakarsa Jl Kahfi I no 27A, Jagakarsa, Jaksel
Jl Prof. Supomo SH no 54. Jakarta
11 PKM Kecamatan Tebet
Selatan
Poliklinik Lembaga Sandi Jl Raya Harsono RM, Ps. Minggu.
12
Negara Jak Sel
Jl. HR. Rasuna Said Blok X5 Kav.
13 Poliklinik Kemenkes Pusat
4-9 Jakarta

Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 79


C. Wilayah Jawa Barat
1 PKM Baros Cimahi Selatan Cimahi
2 PKM Cimahi Utara Cimahi
3 PKM Melong Asih Cimahi
4 PKM Darmaraja Sumedang
5 PKM Cimahi Tengah Cimahi
6 PKM Cikatomas Tasikmalaya
7 PKM Cipatujah Tasikmalaya
8 PKM Plumbon Cirebon
9 PKM Kerticala Indramayu
10 PKM Paliaman Cirebon
11 PKM Cidempet Indramayu
PKM Kecamatan
Sukabumi
12 Parungkuda
13 PKM Ciranjang Cianjur
14 PKM Muka Cianjur
15 PKM Jampang Tengah Sukabumi
16 Labkesda Tasikmalaya Tasikmalaya
17 Labkesda Sumedang Sumedang
18 Labkesda Ciamis Ciamis

80 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 81
82 Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

Anda mungkin juga menyukai