PENYAKIT THALASSEMIA
DI
FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
Pada saat ini angka kesakitan dan kematian Penyakit Tidak Menular,
seperti penyakit Jantung dan Pembuluh Darah, Kanker, Diabetes Mellitus
dan penyakit metabolisme, penyakit Kronis dan degeneratif lainnya (seperti
Penyakit Paru Obstruktif Kronis, Osteoporosis, Asma, SLE dan lain-lain)
masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal tersebut
dikarenakan makin meningkatnya usia harapan hidup masyarakat
Indonesia dan makin tingginya pajanan faktor risiko, yaitu hal-hal yang
mempengaruhi atau menyebabkan terjadinya penyakit tidak menular pada
seseorang atau kelompok tertentu.
Keberhasilan Program Pengendalian Thalassemia ditentukan oleh
adanya kebijakan, strategi, dan komitmen nasional dalam pengendalian
penyakit tersebut serta kerjasama dengan berbagai pihak terkait serta
didukung oleh sumber daya yang memadai.
Buku ini disusun sebagai panduan bagi petugas kesehatan dalam
upaya pengendalian penyakit Thalassemia di Indonesia pada tingkat
puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. merupakan revisi
dari terbitan pertama tahun 2011 pada Direktorat Pengendalian Penyakit
Tidak Menular di lingkungan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan RI.
Semoga buku pedoman umum ini bermanfaat bagi semua pihak
terutama bagi petugas kesehatan dan pengelola program di berbagai
tingkatan pelayanan dalam upaya pengendalian penyakit Thalassemia di
Indonesia.
Penanggung jawab:
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular
TIM PENYUSUN
1. D r. dr. Djumhana Atmakusuma, Sp.PD,KHOM, Divisi Hematologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI-RSCM
2. Dr. dr. Pustika Amalia, Sp.A (K), Divisi Hematologi-Onkologi,
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
3. dr. Iswari Setianingsih, Sp.A,(K) PhD, Lembaga Eijkman, Jakarta
4. dr. Delita Prihatni, Sp.PK
5. dr. Sondang Maryutka SIrait, Sp.PK, BBLK Kementerian Kesehatan
6. dr. Teny Tjitrasari, Sp.A(K), Divisi Hematologi-Onkologi, Departemen
Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
7. dr. Ludi Dhyani Rahmartani, Sp.A, Divisi Hematologi-Onkologi,
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
8. Direktorat Pelayanan Kesehatan Primer, Kementerian Kesehatan RI
9. Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan, Kementerian Kesehatan RI
10. Direktorat Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI
11. Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan, Kementerian Kesehatan
RI
12. dr. Lily S. Sulistyowati, MM
13. dr. Niken Wastu Palupi, MKM
14. dr. Aries Hamzah, MKM
15. Setyadi, ST, M.Kes
16. dr. Novi Indriastuti, M.Epid
17. Mugi Wahidin, SKM, M.Epid
18. Siti Aisyah, S.ST
19. dr. Frides Susanty
20. dr. Gerda Angela Komalawati
21. Dian Kiranawati, S.Kep, Ners
22. Sri Ridha Hasanah, SKM
23. Fadli Amri Tanjung, AMK
Sekretariat:
1. Yuli Hernita
2. Nuraini,SKM.,MSc
3. R.Djarot Darsono,S.Pd,M.Epid
4. M. Sugeng Hidayat, MHP
5. Sri Widiawati
Halaman
KATA PENGANTAR ………………………………………………………… i
KATA SAMBUTAN ………………………………………………………….. iii
TIM PENYUSUN ……………………………………………………………. v
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. vii
DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………………… ix
DAFTAR ISTILAH .................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………. xiii
DAFTAR DIAGRAM ………………………………………………………… xv
DAFTAR TABEL …………………………………………………………….. xvii
Bab I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………………... 1
B. Tujuan ……………………………………………………….. 3
C. Ruang Lingkup …………………………………….............. 4
D. Sasaran ……………………………………………………… 4
E. Dasar Hukum ………………………………………………. 4
Bab II PENGENDALIAN THALASSEMIA DI INDONESIA
A. Kebijakan Pengendalian Thalassemia ........................... 7
B. Strategi Pengendalian Thalassemia ............................... 7
Bab III PENYAKIT THALASSEMIA
A. Patofisiologi Thalassemia ………………………………… 9
B. Faktor Risiko Penurunan Thalassemia ........................... 13
C. Klasifikasi Thalassemia .................................................. 14
D. Manifestasi Klinik Thalassemia ....................................... 14
E. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang .................... 15
F. Diagnosis Thalassemia ................................................... 20
Bab IV PENGELOLAAN PENYAKIT THALASSEMIA
A. Pencegahan Primer Thalassemia ………………………... 27
1. Promosi dan KIE ……………………………………….. 27
2. Pengendalian populasi berisiko ………………………. 32
A. LATAR BELAKANG
Thalassemia ini merupakan kelainan gen tunggal (single gene
disorders) dengan jenis dan frekuensi yang terbanyak di dunia.
Penyakit ini menyebar mulai dari Mediterania, Timur Tengah, Anak
benua (sub-continent) India dan Burma, serta di daerah sepanjang
garis antara Cina bagian selatan, Thailand, semenanjung Malaysia,
kepulauan Pasifik dan Indonesia. Daerah-daerah tersebut lazim
disebut daerah sabuk Thalassemia.
Pada tahun 1994, menurut World Health Organization (WHO)
tidak kurang dari 250 juta penduduk dunia, sekitar 4,5% dari total
penduduk dunia adalah pembawa sifat (bentuk heterozigot). Dari
jumlah tersebut, sekitar 80-90 juta adalah pembawa sifat Thalassemia
dan sisanya pembawa sifat Thalassemia , jenis lain pembawa sifat
hemoglobin varian seperti HbE, HbS, HbO, dan lain-lain. Saat ini,
sekitar 7% dari total penduduk dunia adalah pembawa sifat kelainan
tersebut.
Thalassemia merupakan kelainan genetik yang paling banyak
ditemukan di Indonesia. Angka pembawa sifat Thalassemia- berkisar
3-5%, bahkan di beberapa daerah mendakati angka 10%.i Data A.S
Sofro dan F. Lanni, UGM tahun 2012, menunjukkan data distribusi
pembawa sifat Thalassaemia- yaitu Palembang 9%, Jawa 8%,
Makasar 8%, Alor 6%, Bima 5%, Padang 4%, Pekanbaru 4%, Kaili
5%, Bangka 5%, Sumba 3%, Sasak 3%, Minahasa 2%, Dayak 2%,
Bali 1%, Medan 1% dan Banjar 0%. Hasil skrining pada masyarakat
umum dari tahun 2008 – 2014 didapatkan 93 orang (5,41%)
pembawa sifat dari 1718 orang; sedangkan hasil skrining pada
keluarga Thalassemia (ring 1) tahun 2009-2014 didapatkan 93 orang
(28%) dari 332 orang (YTI dan POPTI, 2014).
Berdasarkan data Riskesdas 2007, prevalensi nasional
Thalassemia adalah 1,5‰, terdapat 8 provinsi dengan prevalensi lebih
tinggi dari prevalensi nasional, antara lain Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (13,4‰), DKI Jakarta (12,3‰), Sumatera Selatan (5,4‰),
B. TUJUAN
1. Umum:
Tersusunnya Pedoman Pengendalian Thalassemia sebagai acuan
bagi tenaga kesehatan & pengelola program PTM di masyarakat.
2. Khusus:
a. Terlaksananya KIE Thalassemia di masyarakat
b. Terlaksananya skrining dan deteksi dini Thalassemia di sekolah
c. Terlaksananya pemeriksaan darah di FKTP
d. Terlaksananya konseling Thalassemiadi FKTP
e. Tersedianya data pembawa sifat atau penyandang Thalassemia
f. Terlaksananya surveilans epidemologi PTM
g. Meningkatkan kemitraan dengan lintas sektor, LSM, CSR, dll.
D. SASARAN
Sasaran buku pedoman ini adalah:
1. Tenaga Kesehatan (Dokter, Perawat/Bidan, Ahli Teknologi
Laboratorium Medik, Kesehatan Masyarakat)
2. Institusi Kesehatan (Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat
pertama/Puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas
Kesehatan Propinsi, Rumah Sakit Daerah)
3. Masyarakat
E. DASAR HUKUM
1. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063)
2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara RI no. 5072)
3. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3637)
4. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan
Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3781)
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nomor 001
Tahun 2012 Tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan
Perorangan
6. Permenkes No. 75 tahun 2014 tentang Puskesmas
7. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1022/Menkes/SK/XI/ 2008
Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik
A. KEBIJAKAN
Kebijakan dalam Pengendalian Thalassemia didasari kepada:
1. Partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan
dan penanggulangan Thalassemia serta sesuai dengan kondisi di
setiap daerah (local area spesific)
2. Pengembangan kemitraan dan jejaring kerja secara multidisiplin
dan lintas sektor
3. Pengelolaan secara profesional, berkualitas dan terjangkau oleh
masyarakat serta didukung oleh sumber daya yang memadai.
4. Peningkatan peran pemerintah propinsi, kabupaten/kota
5. Pengembangan sistem rujukan, dan surveilans epidemiologi
Thalassemia.
B. STRATEGI
Strategi Pengendalian Thalassemia yaitu:
1. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat dalam
pencegahan dan penanggulangan Thalassemia.
2. Memfasilitasi gerakan dalam penggendalian Thalassemia di
masyarakat.
3. Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dalam
pengendalian Thalassemia.
4. Memfasilitasi kebijakan publik dalam penggendalian
Thalassemia.
5. Meningkatkan sistem surveilans epidemiologi (faktor risiko dan
kasus) Thalassemia.
6. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan (skrining/
penjaringan, deteksi dini, dan tata laksana) Thalassemia yang
berkualitas.
A. PATOFISIOLOGI THALASSEMIA
1. Pengertian Penyakit Thalassemia
Thalassemia merupakan penyakit keturunan (kelainan
genetik) akibat kelainan sel darah merah dimana rantai globin-α
atau β pembentuk hemoglobin utama tidak terbentuk sebagian
atau tidak ada sama sekali.
Hemoglobinopati: adanya hemoglobin abnormal yang
muncul selain ketiga buah Hb normal (HbF, HbA dan HbA2),
yang mengakibatkan sel darah merah mudah pecah sehingga
membutuhkan transfusi darah rutin
2. Hemoglobin
Hemoglobin adalah komponen utama eritrosit yang
berfungsi menjamin distribusi oksigen ke jaringan dan
mengembalikan karbondioksida dari jaringan ke paru. Setiap
eritrosit mengandung 640 juta molekul hemoglobin, 65% di
antaranya disintesis di dalam eritroblas dan sisanya di dalam
retikulosit.ii,iii Satu molekul hemoglobin terdiri atas senyawa heme
dan globin.
Heme merupakan suatu senyawa kompleks yang terdiri
atas 4 struktur pirol dengan atom Fe di tengahnya. Sekitar 85%
sintesis heme terjadi pada sel-sel prekursor eritoid di sumsum
tulang dan sisanya di sel hepar. Globin merupakan suatu
tetramer yang tersusun dari dua pasang rantai globin yang tidak
sejenis, yaitu sepasang rantai globin yang produksinya
dikendalikan oleh gugus gen globin- pada kromosom 16 dan
sepasang rantai globin yang produksinya dikendalikan oleh gugus
gen globin- pada kromosom 11. Rantai-rantai globin tersebut
terdiri atas sederetan asam amino (polipeptida) yang urutannya
sudah teratur. Masing-masing polipeptida globin akan
terkonjugasi pada satu molekul hem yang berfungsi mengikat
Molekul Hemoglobin
Rantai-
4. Perkembangan Hemoglobin
Hemoglobin F merupakan Hb utama pada masa janin,
sedangkan pada masa dewasa kadar HbF hanya 1%, dan
kadar HbA2 3,5%. Pada perkembangan awal embrio, dibentuk
Hb embrional, yaitu kombinasi antara rantai globin- dengan
globin- (Hb Portland 22) atau antara globin- dengan rantai
globin- (Hb Gower1 22), atau antara rantai globin- dengan
rantai globin- (Hb Gower 2, 22).v
Dalam perkembangannya komposisi produk hemoglobin
manusia mengalami 2 tahap peralihan. Peralihan pertama, saat 3
bulan pertama kehamilan eritrosit mengandung Hb embrionik,
kemudian berubah sampai dan selama 6 bulan terakhir
kehamilan eritrosit beralih menjadi lebih banyak mengandung Hb
fetus (HbF). Peralihan kedua, terjadi saat periode perinatal, Hb
fetus berubah menjadi Hb dewasa, dan proses ini selesai pada
saat pertengahan tahun pertama kehidupan ekstrauterin. Penting
untuk diingat bahwa perubahan sintesis jenis hemoglobin
tersebut ditentukan oleh perkembangan maturitas janin dan
bukan karena perubahan tempat terjadinya eritropoiesis vi,vii
(Gambar 2.3). Oleh karena itu, Thalassemia β mayor
bermanifestasi klinis pada usia sekitar 6 bulan karena rantai
Pedoman Pengendalian Penyakit Thalassemia di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 11
globin β merupakan komponen utama Hb dewasa (HbA1) dan
sama sekali bukan komponen Hb masa janin ataupun masa
embrio. Berbeda dengan Thalassemia α yang berat
bermanifestasi klinis pada masa janin karena rantai globin α
sudah diproduksi sejak masa janin dan merupakan komponen
utama Hb masa janin (HbF: α dan γ).
5. Patofisiologi Thalassemia
Pada orang dewasa normal, rantai globin-α dan rantai
globin-β dibentuk dalam jumlah relatif sama (equal) dan
seimbang. Setiap gangguan yang menyebabkan ketidak-
seimbangan tersebut dapat menyebabkan kelainan pada
hemoglobin.
Penyakit genetik dari kelainan hemoglobin tersebut secara
umum dapat di klasifikasikan dalam 2 bagian, yaitu:
1. Thalassemia, jika terjadi gangguan sintesis (berkurang atau
tidak ada) dari rantai globin yang normal;
2. Varian hemoglobin (Hemoglobinopati), jika terjadi perubahan
susunan asam amino pada salah satu rantai globin yang
normal. Contohnya: HbE merupakan jenis varian Hb tersering
di Indonesia yang disebabkan oleh mutasi di kodon 26 pada
Setiap kelahiran,
mempunyai
kemungkinan 25%
lahir anak
Thalassemia Mayor
C. KLASIFIKASI THALASSEMIA
1. Berdasarkan kelainan genetiknya, maka Thalasemia dapat dibagi
menjadi:
a. Thalassemia –β disebabkan oleh kelainan pada rantai globin –
β
b. Thalassemia –α disebabkan oleh kelainan pada rantai globin –
α
c. Thalassemia -α β disebabkan oleh kelainan pada rantai globin
-α dan –β
18
Supervisor/ Quality
Level Tujuan Jenis/ Teknik
Alat SDM Terkait Control
skrining Pemeriksaan Pemeriksaan
• Hb,
• Morfologi sel darah • Hb meter
tepi*) • Sediaan Hapus
Skrining darah Tepi
• Hematologi (objek glass, • Dokter Umum
Dasar anemia • Ahli Tekhnologi
Lengkap*) (Hb, reagen, • Ahli Tekhnologi
Puskesmas mikrositik Laboratorium Medik
MCV, MCH, MCHC, mikroskop, dll) Laboratorium Medik
hipokromik
RDW, Morfologi • Electronic blood
darah tepi) cell counter
Rujukan :
• Spesialis Patologi
Level I • Hematologi Klinik • Level I:
Skrining
Lengkap (Hb, MCV, • Electronic blood Dokter Spesialis Patologi
anemia • Spesialis Anak
RS MCH, MCHC,RDW, cell counter Klinik (RS Kelas C) yang
mikrositik • Spesialis Obgyn
Kabupaten/ morfologi darah ditunjuk oleh Dinas
hipokromik • Spesialis Penyakit
Kota) tepi) Kesehatan Kab/Kota
Dalam
Level II
• Skrining • Spesialis Patologi • Level II:
(RS Provinsi/ • Electronic blood
anemia Klinik Dokter Spesialis Patologi
RS • Hematologi cell counter
mikrositik • Spesialis Anak Klinik/ sub spesialis
Pendidikan/ Lengkap • ELISA Elektro
hipokromi • Spesialis Penyakit Hematologi di RS Kelas B/A
Laboratorium • Feritin Hb typing foresis otomatis
• Skrining Dalam yang ditunjuk oleh Dinas
swasta yang (HPLC)
thalassemia • Spesialis Obgyn Kesehatan Propinsi
memadai)
• Skrining
anemia • Electronic blood
mikrositik cell counte
Level IV hipokromik • HematologiLengkap • ELISA
(Laboratoriu • Skrining • Feritin • Elektroforesisoto
• Ahli genetika Lembaga Eijkman
mRujukan thalassemia • Hb typing Analisis matis (HPLC)
Nasional) Analisis DNA level 2,3,4 • PCR
DNA • Sequensing
(uncommon • MLPA
mutation)
Catatan:
*) Bagi Puskesmas yang tidak memiliki sarana laboratorium yang lengkap, seperti reagen pewarnaan hapus darah tepi,
19
2. Analisis Hemoglobin
Thalassemia β adalah Thalassemia β homozigot yang
umumnya bermanifestasi T halassemia β mayor, dengan kadar Hb F
meningkat mendekati 100%, kadar HbA yang sangat rendah sampai
nol (bergantung jenis mutasi). Thalassemia β/ HbE dimana kadar HbF
meningkat sekitar 50%, kadar HbA2+ HbE sekitar 40-50%, kadar HbA
sangat rendah bergantung jenis mutasi (HbE).
a. Terletak pada peak yang sama dengan HbA2 pada metode dengan
menggunakan elektroforesis Hb, metode gel basa dan HPLC;
b. Terletak pada peak terpisah dengan HbA2 pada metode
elektroforesis Hb metode gel asam, dan elektroforesis kapiler).
3. Pemeriksaan Radiologi
Pada pasien Thalassemia mayor, pada foto rontgen tengkorak
dapat dilihat gambaran hair on end menyerupai rambut berdiri
potongan pendek, penipisan tulang korteks, pelebaran diploe. 8 Adanya
penampakan ini oleh karena hiperplasia dari sumsum tulang yang
menyebabkan pelebaran diploe. Bentukan trabekular pada diploe
terkadang tersusun secara peripendikular pada kurvatura tulang
tengkorak. Hiperplasia pada sumsum tulang yang bersifat radiolusen,
penebalan trabekular dan penampakan warna opaque, tiga hal inilah
yang menyebabkan penampakkan “hair on end”. Selain terlihatnya
gambaran hair on end, pada rontgen kepala juga dapat ditemukan
gambaran porotic hyperostosis yang merupakan porosis (lubang-
lubang kecil) pada permukaan tulang tengkorak.
Perubahan patologis tulang tidak hanya terjadi pada tulang
tengkorak, juga dapat kita lihat perubahan tulang wajah (deformitas
orofacial) pada foto rontgen, seperti: Facies Cooley dan Chipmunk
Appearance / Rodent Face.
F. DIAGNOSIS THALASSEMIA
Puskesmas dapat melakukan penjaringan dan penemuan kasus
yang dicurigai Thalassemia (Suspect Thalassemia) dan kemudian
dirujuk ke Rumah Sakit untuk melakukan Diagnosis Thalassemia
(kode ICD X) sebagai berikut:
b. Pemeriksaan Fisis
▪ Gizi kurang
▪ Pucat
▪ Konjungtiva pucat
▪ Hiperpigmentasi: kulit berwarna kehitaman
▪ Bentuk muka facies Cooley akibat adanya maloklusi pada
tulang maxilla
▪ Gangguan pertumbuhan (perawakan pendek)/ pubertas
terhambat
▪ Bentuk muka yang asimetris (abnormal) dengan ciri
tulang frontal menonjol, maxilla yang protrusi, dan tulang
wajah hipertropi
▪ Organomegali: Hepatosplenomegali terutama
splenomegali.
c. Pemeriksaan penunjang 7
Pemeriksaan laboratorium sederhana ditemukan:
▪ Kadar haemoglobin umumnya rendah
▪ MCV < Normal (< 8O fL): rerata 70,8 fL,(SB 8,9)
▪ MCH < Normal (< 27 pg): Rerata 24,1 pg, (SB 3,9)
▪ RDW tinggi: Rerata 26,8% (SB 9,5)
▪ Retikulosit sangat meningkat (>14,6)
Eritrosit
berinti
Tear
drop cell
Analisis Hb:
Thalassemia beta: atau Beta /Hb E
Thalassemia - β Thalassemia-β/HbE
Thalassemia-α:
1. Lab: Hb ↓/N, MCV ↓/N, MCH ↓/N, RDW ↑
2. Analisis Hb: N/ Hb Bart’s
2. DiagnosisThalassemia Intermedia
a. Gejala klinis dan laboratorium sama dengan pasien
Thalassemia mayor, tetapi frekuensi kebutuhan transfusi
darah jarang
b. Rerata Hb pra-transfusi 7,5 g/dL
c. Umumnya Thalassemia heterozigot ganda (-β/HbE, -αβ) atau
Thalassemia-α
Analisis Hb:
Normal Trait –β
Trait HbE
Add. 1) Advokasi
Advokasi perlu dilakukan, dalam upaya
memberdayakan klien, faslitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama (Puskesmas) atau kegiatan di masyarakat seperti
Add. 4) Kemitraan
Baik dalam pemberdayaan, maupun dalam bina
suasana dan advokasi, prinsip-prinsip kemitraan harus
ditegakkan. Kemitraan dikembangkan antara petugas
kesehatan dengan kliennya, dalam pelaksanaan
pemberdayaan, bina suasana dan advokasi. Kemitraan juga
harus bekerja sama dengan berbagai pihak terkait seperti
kelompok profesi, pemuka agama, tokoh masyarakat, dan
lain-lain.
Tiga prinsip dasar kemitraan yang harus diperhatikan
adalah:
a) Kesetaraan
Kesetaraan menghendaki tidak diciptakannya hubungan
yang bersifat hirarkis. Semua harus diawali dengan
kesediaan menerima bahwa masing-masing berada
dalam kedudukan yang sederajat. Semua ini bisa
dicapai bila semua pihak bersedia mengembangkan
PESERTA DIDIK
Kegiatan sosialisasi dan edukasi (ceramah, pembagian flyer, leaflet)
mengenai : definisi thalassemia, mekanisme terkena penyakit
thalassemia, gejala thalassemia dan di halaman terakhir dibuatkan
blanko
Kegiatan isian.
sosialisasi dan edukasi (ceramah, pembagian fliyer, leaflet)
informasi berisi : tentang apa itu Thalassemia, mekanisme terkena penyakit Thalassaemia, bagaimana gejala
penyandang Thalassaemia, dan pada halaman terakhir dibuatkan blanko isian
Pemeriksaan Hb,
Hasil pemeriksaan normal (Hb Hb normal/rendah, MCV < 80 fL, MCH
< 27 pg, sediaan darah (mikrositik,
hipokrom, anisositosis,
poikilositosis, ditemukan tear drops
Hasil pemeriksaan normal cell Hb
, elips dan
normal/ sel target
rendah, MCV < 80 fl,
MCH < 27 pg, sediaan darah
(mikrositik hipokromik,
Pemantauan anisositosis, poikilositosis,
ditemukan tear drops cell, elips
Tatalaksana lanjutan/rujuk ke RS
Pemantauan
Tatalaksana lanjutan,
rujuk ke RS
Hb rendah
Hb Normal Klinis baik (tidak ada tanda-tanda infeksi)
Separasi
Ad 1. Penatalaksanaan Thalassemia
Secara garis besar, penatalaksanaan Thalassemia
adalah transfusi darah, pemberian obat pengikat besi (iron
chelators), obat obat suportif, manajemen komplikasi medis dan
non medis, serta transplantasi sumsum tulang.
d). Splenektomi
Pembesaran limpa yang terjadi umumnya akibat
terjadinya hiperaktif sistem eritropoesis yang biasanya
terjadi akibat Hb pretransfusi pasien yang rendah (Hb < 9
g/dL). Hal ini menyebabkan tubuh melakukan kompensasi
dan menyebabkan limpa membesar.
Saat ini splenektomi sudah banyak ditinggalkan,
karena bahaya pasca tindakan seperti thrombosis dan
sepsis yang berat. Jika pembesaran limpa disebabkan
transfusi darah yang tidak adekuat, sebelum melakukan
tindakan splenektomi dapat dicoba pemberian transfusi
dan kelasi besi yang adekuat (Hb pre transfusi 9-10 g/dL,
6. Berkesinambungan.
Pelaksanaan pemantauan dan penilaian dilakukan secara
berkesinambungan agar dapat dimanfaatkan sebagai umpan balik
bagi penyempurnaan kebijakan.
7. Berbasis indikator kinerja.
Pelaksanaan pemantauan dan penilaian dilakukan berdasarkan
kriteria kinerja, baik indikator masukan, proses, luaran, manfaat
maupun dampak.
Pemantauan dan penilaian keberhasilan dari
penyelenggaraan kegiatan Posbindu PTM harus dilakukan dengan
membandingkan indikator yang telah ditetapkan sejak awal dan
dibandingkan dengan hasil pencapaiannya.
Indikator yang dinilai dalam kegiatan program pengendalian
Thalassemia adalah:
1. Persentase puskesmas yang melaksanakan skrining Thalassemia
= Jumlah puskesmas yang melakukan skrining Thalassemia di kab/kota
Jumlah total puskesmas yang ada di kab/kota
Bunn HF, Forget BG, Ranney HM. Human hemoglobins. Edisi ke-5.
Philadelphia: Saunders; 1997. h. 101-39.
Tujuan Pemeriksaan:
▪ Menilai berbagai unsur sel darah tepi seperti eritrosit, leukosit,
trombosit .
▪ Mencari adanya parasit seperti : malaria, mikrofilaria dll.
▪ Sediaan hapus yang dibuat dan dipulas dengan baik merupakan syarat
mutlak untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang baik.
BAHAN PEMERIKSAAN:
▪ Yang terbaik adalah darah segar (darah kapiler atau vena yang
dihapuskan pada kaca objek).
▪ Pada keadaan tertentu dapat pula digunakan darah EDTA.
PERALATAN:
Kaca objek ukuran 25 x 75 mm: kaca objek yang akan digunakan harus
bersih dan kering serta bebas lemak; Batang gelas; Rak kacaa objek; Pipet
Pasteur; dan Kaca tutup urin (deck glass)
Penilaian Erirtosit:
Lakukan penilaian 3 S (size, shape, staining).
Lakukan pada daerah pandangan dimana eritrosit terletak saling saling
berdekatan tetapi tidak saling menumpuk.
Ukuran eritrosit normal (6-8)μm, ± sebewar inti limfosit kecil, berbentuk
bulat dengan warna ditengah lebih pucat.ukuran lebih besar disebut
makrositik, lebih kecil disebut mikrositik.
Bila bagian yang berwarna lebih pucat dan lebih luas disebut sebagai
hipokrom.
Kadang-kadang dijumpai eritrosit berinti.
Juga diperhatikan kelainan bentuk, benda inklusi sperti parasit misalnya
plasmodium malaria.
Nilai
Heterosigot/Trait
Heterosigot/Trait normal
+ def. Fe?
dewasa
B. Analisis Hb
Jenis Hb (%) A, F, A2 A, F, A2 A, F, A2
B. Analisis Hb
Jenis Hb (%) F, A2 A, F, A2
A. Wilayah Banten