Anda di halaman 1dari 9

ISSN 2088 - 5369

PENGGUNAAN AIR KELAPA UNTUK BAHAN DASAR CUKA MAKAN

THE USE OF COCONUT WATER FOR RAW MATERIAL OF VINEGAR

Hasanuddin*, Kurnia Harlina Dewi dan Okta Wulandra


Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
*E-mail: hasanudin_2@unib.ac.id

ABSTRACT

Vinegar could be produced from any fruit juice. Coconut water as raw material was used by
increasing sugar concentration. Vinegar is one of the alternatives in the use of coconut water waste.
This is supported by the needs of the growing vinegar. Vinegar manufacture involves two stages of
fermentation (anaerobic and aerobic). Aerobic fermentation by adding yeast and sugar yield of
12% alcohol (the alcohol optimal), where as aerobic fermentation produces vinegar 4% -12.5%
(SNI). The purpose of this study were to determine the optimal percentage of the addition of yeast
and sugar to produce alcohol 12%, and to compare the quality of coco vinegar with SNI 01-3711-
1995 vinegar. This study used factorial completely randomized design , the adding sugar and yeast
as treatment, 3 level of adding sugar and yeast with 3 observations. Results of variance analysis
showed that the treatment was very real effect on levels of alcohol and alcohol pH. The Duncans
Multiple Range Test (DMRT) showed that the highest quality levels of alcohol present in addition of
16% sugar and 6% of yeast. while the pH of alcohol contained in the addition of yeast 4.5% and
sugar 10%.
Key words : vinegar; alcohol; and environmental factors fermentation

ABSTRAK

Cuka makan dapat dibuat dari berbagai bahan dasar sari buah. Salah satunya adalah air kelapa
dengan peningkatan konsentrasi gula. Sebagian besar air kelapa hanyalah merupakan limbah
industri produk-produk kelapa. Pembuatan cuka makan merupakan salah satu alternatif
pemanfaatan air kelapa. Hal ini didukung oleh kebutuhan asam cuka yang terus meningkat.
Pembuatan cuka makan melibatkan dua tahap fermentasi yaitu anaerob dan aerob. Fermentasi aerob
dengan penambahan ragi dan gula menghasilkan alkohol 12% (kadar alkohol optimal), sedangkan
fermentasi aerob menghasilkan asam cuka 4%-12,5% (SNI cuka makan). Penelitian bertujuan ntuk
menentukan persentase optimal penambahan ragi dan gula untuk menghasilkan cuka makan yang
memenuhi standar SNI 01-3711-1995. Penelitian menggunakan rancang acak lengkap (RAL)
faktorial dengan perlakuan penambahan gula dan ragi, masing-masing terdapat 3 taraf dengan 3
kali ulangan. Hasil analisa varian menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata
terhadap kadar alkohol dan pH alkohol. Hasil uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa pada kadar
alkohol mutu tertinggi terdapat pada penambahan ragi 6% dan gula 16%, sedangkan pada pH
alkohol terdapat pada penambahan ragi 4,5% dan gula 10%.
Kata kunci : asam cuka, alcohol, faktor lingkungan fermentasi.
Hasanuddin, K.H. Dewi dan O. Wulandra

PENDAHULUAN sebagainya (Richtler dan Knaut, 1984;


Istina et al., 2003.).
Produksi buah kelapa di Indonesia Dari data yang dihimpun oleh APCC
rata-rata 15,5 milyar butir/tahun atau setara (2001) bahwa konsumsi kelapa segar dari
dengan 3,02 juta ton kopra, 3,75 juta ton sekitar 220 juta penduduk Indonesia
air, 0,75 juta ton arang tempurung, 1,8 juta mencapai 8,15 milyar butir (52,6%),
ton serat sabut, dan 3,3 juta ton debu sabut dengan konsumsi per kapita per tahun
(Agustian et al., 2003; Allorerung dan Lay, sebanyak 37 butir. Sisanya sebanyak 7,35
1998; Istina et al., 2003; APCC, 2003). milyar butir (47,4%) diolah menjadi 1,43
Berdasarkan BPS Provinsi Bengkulu tahun juta ton kopra. Dari 1,43 juta ton kopra di
2009 tercatat jumlah produksi buah kelapa atas 85-90% diolah menjadi crude coconut
di propinsi Bengkulu sebanyak 7.464,01 oil (CCO) dan sisanya (10-15%) untuk
ton/tahun. Dari data tersebut bisa diketahui olahan lanjutan (Agustian et al., 2003;
jumlah air kelapa yang didapat berkisar Rindengan dan Karaow, 2003).
1.642 ton/tahun atau setara dengan 4,5 Kalau hanya memfokuskan
ton/hari. pengolahan buah kelapa pada daging buah
Industri pengolahan buah kelapa saja menyebabkan harga kelapa tertinggi
umumnya masih terfokus kepada hanya mencapai rata-rata Rp 1.500,-/butir,
pengolahan hasil daging buah sebagai hasil pendapatan yang sangat rendah untuk
utama, sedangkan industri yang mengolah petani dapat hidup layak. Salah satu usaha
hasil samping buah (by-product) seperti, untuk meningkatkan pendapatan petani
air, sabut, dan tempurung kelapa masih kelapa adalah dengan mengolah semua
secara tradisional dan berskala kecil, komponen buah menjadi produk yang
padahal potensi ketersediaan bahan baku bernilai tinggi, sehingga nilai buah kelapa
untuk membangun industri pengolahannya akan meningkat. Sebagai contoh air kelapa,
masih sangat besar. Tidak hanya dari segi kalau diolah menjadi produk baru seperti
jumlah, dari segi jenis produk hilir pun, cuka makan, maka akan mendapatkan
pengolahan hasil buah kelapa juga masih pendapatan lebih bagi para petani dan
mempunyai peluang cukup besar. Daging pelaku usaha dibidangnya. Dengan
buah kelapa yang selama ini hanya diolah demikian nilai ekonomi kelapa tidak lagi
menjadi kopra, crude coconut oil (CCO), hanya berbasis pada produk kopra dari
dan minyak goreng, mempunyai peluang daging buah saja.
dikembangkan menjadi industri Kebutuhan asam cuka terus
oleochemical, oleofood, desicated coconut, meningkat, hal ini karena asam cuka
dan lain-lain sebagai produk yang memiliki banyak digunakan dalam industri
nilai ekonomi tinggi (Rumokoi dan Akuba, pengolahan pangan, industri farmasi dan
1998). industri kimia. Pada industri makanan,
Hasil samping buah kelapa terdiri asam cuka terutama digunakan sebagai
dari air kelapa, sabut dan tempurung. Air bahan pembangkit flavor asam dan
kelapa dapat dijadikan asam cuka, kecap, pengawet. Selain digunakan sebagai bahan
dan nata de coco. Sabut kelapa dapat penyedap rasa (edible vinegar), asam cuka
dijadikan serat sabut, cocopeat. Sedangkan banyak digunakan dalam industri untuk
tempurung dapat dijadikan tepung memproduksi asam alifatis terpenting.
tempurung dan karbon aktif. Bahan Asam cuka juga digunakan untuk
tersebut merupakan bahan baku pada pembuatan obat-obatan (aspirin), untuk
industri; aneka makanan dan minuman, bahan warna (indigo) dan parfum, serta
matras, kasur, pot, kompos kering, dan lain sebagai bahan dasar pembuatan anhidrat

54 | Jurnal Agroindustri, Vol. 2 No. 2, September 2012: 53-61


PENGGUNAAN AIR KELAPA UNTUK BAHAN DASAR CUKA MAKAN

yang sangat diperlukan untuk asetilasi, Rancangan Penelitian


terutama dalam pembuatan selulosa asetat. Penelitian menggunakan rancangan
Pembuatan asam cuka melibatkan acak lengkap (RAL) dalam faktorial.
dua macam fermentasi yang berbeda, yaitu Sebagai faktor perlakuan yaitu
fermentasi anaerob untuk menghasilkan penambahan gula dan ragi. Kedua faktor
alkohol 12% dan fermentasi aerob untuk perlakuan masing-masing memiliki 3
menghasilkan asam asetat 4%. Fermentasi taraf. Interaksi perlakuan dilakukan 3 kali
yang pertama harus diselesaikan sebelum ulangan.
memulai fermentasi yang kedua. Pada Faktor-faktor perlakuan tersebut
fermentasi anaerob ada penambahan ragi adalah :
dan gula untuk menghasilkan alkohol, A. Persentase penambahan ragi, terdiri dari
belum diketahui berapa persentase optimal 3 taraf, yaitu :
penambahan ragi dan gula sehingga bisa A1 = 3%
menghasilkan kandungan alkohol 12% dari A2 = 4,5%
hasil fermentasi anaerob. A3 = 6%
Dalam penelitian ini gula yang B. Persentase penambahan gula, terdiri dari
digunakan adalah gula pasir, air kelapa tua 3 taraf, yaitu :
yang berasal dari tanaman kelapa varietas B1 = 10%
hibrida dan karena keterbatasan waktu dan B2 = 13%
biaya maka pada kualitas hanya mengamati B3 = 16%
bentuk, bau, pH, ada atau tidaknya Sehingga diperoleh kombinasi perlakuan
kandungan asam-asam anorganik (asam sebagai berikut :
format dan asam oksalat), dan menghitung A1B1 A1B2 A1B3
kadar asam asetat pada produk asam cuka A2B1 A2B2 A2B3
yang dihasilkan. Dari penelitian ini A3B1 A3B2 A3B3
diharapkan pembuatan asam cuka dapat
menjadi alternatif dari pengolahan air Tahapan penelitian terdiri dari 2,
kelapa dan menambah pengetahuan untuk yaitu : tahapan anaerob dan aerob.
menerapkan industri fermentasi asam cuka. Fermentasi anaerob dilakukan pada jerigen
plastik volume 20 liter tanpa kontak
METODE PENELITIAN dengan udara gas hasil fermentasi
dikeluarkan melalui selang yang
Alat yang adalah : jerigen 5 liter 27 dilewatkan pada air, hasil fermentasi ini
buah, jerigen 20 liter 3 buah, fermentor 200 adalah alkohol. Fermentasi aerob dilakukan
liter 1 buah, hydrometer alkohol, pH meter, dalam tabung fermentor dengan
thermometer, saringan air kelapa, melewatkan udara pada permukaan
timbangan analitik, pipa paralon ½ inchi, fermentor, hasil fermentasi ini adalah asam
kertas kasa, gelas ukur, pinggan porselin, asetat.
penangas air, kompor gas, sulingan, Air kelapa tua diambil kemudian
Erlenmeyer 250 ml, labu ukur 250 ml, disaring agar terpisah dari kotoran-kotoran
tabung reaksi 27 buah, selang plastik 7 seperti serbuk serabut, pecahan tempurung,
meter. dan serpihan daging buah. Selanjutnya
Bahan yang digunakan adalah : air dipanaskan, kemudian ditambahkan gula
kelapa tua, NaOH 0,1 N, natrium klorida, dan starter (ragi fermipan). Larutan air
asam tartrat, kalium/natrium hidroksida, kelapa difermentasi secara anaerob selama
perak nitrat 0,1 N, vanillin alkohol, larutan 1 minggu (7 hari), gas hasil samping proses
floroglusinol, aquades, gula pasir, dan fermentasi harus dikeluarkan. Alkohol
starter (ragi fermipan). (etanol) yang dihasilkan dari fermentasi

Jurnal Agroindustri, Vol. 2 No. 2, September 2012: 53-61 | 55


Hasanuddin, K.H. Dewi dan O. Wulandra

anaerob diukur dengan hydrometer alkohol Pengukuran pH dilakukan pada


untuk memastikan jumlah kadar sampel saat sebelum dan sesudah
alkoholnya. Fermentasi akan dihentikan fermentasi, hal ini bertujuan untuk
bila kandungan alkohol sudah mencapai mengetahui kesesuaian pH dengan
12%. Hasil fermentasi anaerob (alkohol pertumbuhan Saccharomyces cereviceae.
12%) difermentasi lagi secara aerob Rentang pH optimum untuk produksi
dengan menambahkan 20 liter alkohol 12% etanol dengan kadar yang relatif stabil oleh
ke dalam fermentor (gentong 250 L) yang Saccharomyces cereviceae adalah 3,5 –
terlebih dahulu diisi dengan starter (asam 6,5. (Roukas, 1996).
asetat glacial 10%) sebanyak 35 liter. Pengamatan bentuk dan bau dilakukan
Penambahan alkohol sebanyak 20 liter ini secara langsung pada produk asam cuka.
dilakukan sampai 4 minggu. Pada minggu Menurut SNI tentang cuka makan, bentuk
ke 5 dipanen sebanyak 20 liter asam cuka dari asam cuka adalah cairan encer, jenih,
dan ditambahkan lagi 20 liter alkohol, dan tidak bewarna, sedangkan bau dari
begitu juga seterusnya dipanen dan asam cuka adalah khas asam asetat.
ditambah pada setiap minggunya. Pengukuran suhu pada saat fermentasi
Variabel yang diamati dibagi menjadi aerob dilakukan dilakukan satu minggu
dua bagian, yaitu alkohol dan asam cuka. sekali diwaktu pagi, siang, dan malam.
Pada alkohol diamati sifat fisik dan kimia. Temperatur optimum untuk pertumbuhan
Pengamatan sifat fisik yaitu suhu Acetobacter acetii adalah antara 25-30oC
sedangkan sifat kimia yaitu kadar alkohol, (Ferdiaz, 1992).
dan pH. Pada asam cuka diamati sifat fisik Pengukuran kadar asam cuka dengan
dan sifat kimianya berdasarkan SNI 01- uji kuantitatif secara alkalimetri, yaitu
3711-1995 cuka makan. Sifat fisik yang dengan cara memasukan 5 ml asam cuka
diamati adalah bentuk, bau, dan suhu, ke dalam labu ukur 250 ml dan
sedangkan sifat kimia asam cuka berupa ditambahkan aquades 25 ml. lalu diambil
pH, kadar asam cuka, dan asam-asam 25 ml larutan sampel cuka dan dimasukkan
anorganik (asam format dan asam oksalat). ke dalam Erlenmeyer 250 ml lalu
Pengukuran suhu pada saat ditambahkan 3 tetes PP 1% kemudian
fermentasi anaerob dilakukan pada dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N
lingkungan tempat fermentasi berlangsung. sampai terlihat perubahan warna dari jernih
Pada fermentasi anaerob pengukuranya menjadi merah muda yang konstan.
dilakukan setiap hari diwaktu pagi, siang, Kemudian dilakukan penghitungan dengan
dan malam. Temperatur optimum untuk rumus :
pertumbuhan Saccharomyces cereviceae Kadar asam asetat (CH3COOH) :
adalah antara 25-30oC (Ferdiaz, 1992).
Pengamatan kadar alkohol dilakukan
dengan menggunakan hydrometer alcohol
dengan cara memasukkan hydrometer
alkohol kedalam sampel sebanyak 450 ml Keterangan :
yang sudah dituang ke dalam gelas ukur V : volume larutan NaOH
N : normalitas larutan NaOH baku
berukuran 500 ml. Hydrometer alkohol fp : factor pengenceran
akan terendam dengan perlahan kemudian 60,5 : bobot ekivalent asam asetat
dilihat garis penunjuk pada hydrometer W : bobot contoh (mg)
alkohol tersebut untuk memastikan berapa
kadar alkohol yang terkandung dalam Pengukuran pH dilakukan pada waktu
sampel. panen asam cuka.

56 | Jurnal Agroindustri, Vol. 2 No. 2, September 2012: 53-61


PENGGUNAAN AIR KELAPA UNTUK BAHAN DASAR CUKA MAKAN

Pengamatan asam format dengan dan untuk mempersingkat masa adaptasi


mengambil 50 ml larutan contoh ditambah sel ragi dalam medium kompleks. Lebih
10 gram natrium klorida dan 0,5 gram lanjut Bucle et al, (1987), menjelaskan
asam tartrat. Sulingkan dengan uap hingga bahwa penambahan gula juga untuk
terdapat 30-40 ml sulingan. Tambahkan melengkapi karbohidrat yang ada untuk
larutan kalium/natrium hidroksida 5% fermentasi sekaligus memberikan rasa
dalam hasil sulingan hingga bereaksi asam yang lebih manis. Penambahan Persentase
lemah. Tambahkan larutan perak nitrat 0,1 ragi dan gula sangat mempengaruhi kadar
N ke dalam sebagian hasil larutan, alkohol yang dihasilkan.
kemudian didihkan. Bila terbentuk keadaan Berdasarkan analisa varian terhadap
yang berkilap pada dinding tabung berarti kadar alkohol, maka kombinasi perlakuan
terjadi pemisahan Ag. Hal ini persentase ragi dan gula menunjukkan hasil
menunjukkan adanya asam format. berbeda sangat nyata. Hasil analisa varian
Pengamatan asam oksalat dengan ini dilanjutkan dengan uji lanjut DMRT
mencampurkan beberapa tetes larutan pada taraf 5% dan hasilnya dapat dilihat
vanillin alkohol dengan larutan pada Tabel 1.
floroglusinol dalam jumlah yang sama
pada sebuah pinggan porselin. Uapkan di Tabel 1. Pengaruh masing-masing faktor
atas penangas air hingga kering. Ke dalam perlakuan terhadap kadar
pinggan tersebut tambahkan beberapa tetes alkohol.
larutan contoh dan uapkan lagi hingga Nilai Rata-rata Kadar
Perlakuan
kering. Jika timbul warna merah berarti Alkohol (%)
contoh mengandung asam anorganik atau A3B3 16,67 a
asam oksalat. A2B3 16,33 b
Data dianalisa menggunakan Analisis A1B3 16,00 c
Varians (ANAVA) untuk mengetahui A2B2 15,67 d
pengaruh yang nyata antara rasio A1B2 15,00 e
kombinasi perlakuan terhadap kadar A3B2 13.67 f
alkohol dan pH alkohol. kemudian A1B1 12,00 g
dilanjutkan dengan uji lanjut Duncans A3B1 11,00 h
Multiple Range Test (DMRT) untuk A2B1 11,00 h
mengetahui kombinasi perlakuan terbaik. Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf
Selain itu dilakukan analisa deskriptif kecil yang tidak sama menunjukkan
untuk membandingkan kualitas asam cuka berbeda nyata pada uji DMRT 5%.
yang dihasilkan dengan syarat mutu cuka Dari Tabel 1 dilihat bahwa kadar
makan berdasarkan SNI 01-3711-1995. alkohol tertinggi terdapat pada perlakuan
A3B3 (ragi 6% dengan gula 16%) sebesar
HASIL DAN PEMBAHASAN 16,67%. Tingginya kadar alkohol pada
perlakuan A3B3 disebabkan oleh gula
Ragi dan gula sangat diperlukan (nutrisi) yang dirombak oleh ragi
dalam pembuatan alkohol. Ragi berperan jumlahnya lebih banyak, sehingga kadar
untuk mengubah glukosa menjadi alkohol. alkohol yang dihasilkan lebih tinggi.
Gula digunakan sebagai tambahan nutrisi Menurut Desrosier (1989), semakin banyak
untuk pertumbuhan Saccharomyces jumlah glukosa didalam suatu bahan, maka
cerevisiae. Menurut Buckle et al, (1987), semakin tinggi jumlah alkohol yang
penambahan gula untuk menghasilkan dihasilkan dari perombakan glukosa
biomassa sel yang optimum dalam tersebut.
mengubah substrat pada awal fermentasi

Jurnal Agroindustri, Vol. 2 No. 2, September 2012: 53-61 | 57


Hasanuddin, K.H. Dewi dan O. Wulandra

Perlakuan A3B3 yang menghasilkan Berdasarkan uji secara statistik


alkohol tertinggi ini bukanlah perlakuan dengan analisa varian terhadap pH alkohol,
yang baik untuk dilanjutkan ke fermentasi maka kombinasi perlakuan persentase ragi
tahap kedua (aerob), perlakuan yang baik dan gula menunjukkan hasil berbeda sangat
adalah A1B1 (ragi 3% dan gula 10%) yang nyata. Hasil analisa varian ini dilanjutkan
menghasilkan kadar alkohol sebesar 12%. dengan uji lanjut DMRT pada taraf 5% dan
Menurut Waluyo (1984), untuk melakukan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2.
asetifikasi (fermentasi aerob pada alkohol)
kadar alkohol yang diperlukan adalah 11%- Tabel 2. Pengaruh masing-masing faktor
13%. Kadar alkohol diatas 13% maka perlakuan terhadap pH alkohol.
oksidasi alkohol menjadi asam cuka Perlakuan Nilai Rata-rata pH Alkohol
berjalan kurang sempurna karena A2B1 4,13 a
perkembangan bakteri asam cuka A3B1 4,11 b
terhambat, sedangkan kadar alkohol yang A1B1 4,01 c
terlalu rendah (dibawah 11%) ester dan A3B2 3,91 d
asam cuka akan dioksidasi yang A1B2 3,82 e
mengakibatkan aroma dan flavor menjadi A2B2 3,76 f
kurang bagus (Abdullah, 2012). A1B3 3,71 g
Semua perlakuan berbeda nyata A2B3 3,67 h
dengan perlakuan lainya kecuali pada A3B3 3,58 i
perlakuan A3B1 dan A2B1 yang tidak Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf
berbeda nyata. Pada kedua perlakuan ini kecil yang tidak sama menunjukkan
kadar alkohol yang dihasilkan sama yaitu berbeda nyata pada uji DMRT 5%.
sebesar 11%. Hal ini disebabkan oleh Tabel 2 dapat di lihat bahwa pH
jumlah ragi tidak seimbang dengan jumlah alkohol tertinggi terdapat pada perlakuan
gula yang mengakibatkan terjadinya A2B1 (ragi 4,5% dengan gula 10%)
persaingan sel ragi dalam penggunaan sebesar 4,13. Tingginya pH alkohol pada
nutrisi, sehingga kadar alkohol yang perlakuan A2B1 karena semakin tinggi
dihasilkan tidak optimal. Menurut Ferdiaz kadar alkohol maka pH yang dihasilkan
(1988), pembentukan alkohol menjadi semakin menurun. Terlihat juga bahwa
lebih optimum kalau ketersediaan nutrisi semua perlakuan berbeda nyata antara satu
dengan sel ragi harus sebanding sehingga dengan yang lainya, perbedaan yang nyata
tidak terjadi persaingan dalam penggunaan ini terjadi akibat perubahan pH sewaktu
nutrisi oleh sel ragi. fermentasi. Dalam proses fermentasi
pH medium merupakan salah satu Saccharomyces cerevisiae selain
faktor penting yang mempengaruhi menghasilkan etanol juga menghasilkan
pertumbuhan mikroorganisme dan CO2 dan asam-asam organik. Amerine
pembentukan produk dalam proses dalam Sugiharto (1991), menyatakan
fermentasi. pH yang terlalu tinggi maupun bahwa perubahan pH dalam fermentasi
terlalu rendah dapat menghambat disebabkan karena dalam aktivitasnya sel
pertumbuhan Saccharomyces cereviceae khamir selain menghasilkan etanol sebagai
dan akan mempengaruhi kadar alkohol metabolit primer juga menghasilkan asam-
yang dihasilkan. Rentang pH optimum asam organik seperti asam malat, asam
untuk produksi etanol dengan kadar yang asetat, asam butirat, asam tartarat, asam
relatif stabil oleh Saccharomyces sitrat, asam laktat, asam propinoat, sebagai
cereviceae adalah 3,5 – 6,5. (Roukas, hasil sampingan. Asam-asam ini
1996). menurunkan pH medium.

58 | Jurnal Agroindustri, Vol. 2 No. 2, September 2012: 53-61


PENGGUNAAN AIR KELAPA UNTUK BAHAN DASAR CUKA MAKAN

Perbandingan hasil fermentasi tahap asam asetat yang dihasilkan. Penurunan


kedua (aerob) dengan SNI dapat dilihat kadar asam asetat ini disebabkan karena
pada Tabel 3. Dari Tabel 3 dapat kita lihat asam asetat akan teroksidasi menjadi
bahwa beberapa kriteria uji asam cuka karbondioksida dan air pada waktu
yang dihasilkan sudah memenuhi Standar fermentasi yang lama. Hal ini sesuai
Nasional Indonesia, kecuali pada kadar dengan pernyataan Soeharto (1994), yang
asam asetat. menyatakan bahwa lama fermentasi akan
mempengaruhi produk fermentasi yang
Kadar Asam Asetat dihasilkan. Fermentasi (aerob) yang
Asam cuka merupakan produk dari dimulai dengan pemanenan pertama (28
fermentasi aerob. Fermentasi aerob yang hari) menghasilkan kadar asam asetat
dilakukan dalam penelitian ini 19,24%, pemanenan kedua (35 hari)
menggunakan perlakuan A1B1 yang menghasilkan kadar asam asetat 17%,
menghasilkan kadar alkohol 12% (optimal pemanenan ketiga (42 hari) menghasilkan
tahap 1). Dari fermentasi tahap II (aerob), kadar asam asetat 15,85%, dan pemanenan
secara ringkas kadar asam asetat pada asam keempat (49 hari) menghasilkan kadar
cuka yang dihasilkan dapat dilihat pada asam asetat 14,52%. Kadar asam asetat
Gambar 1. yang dihasilkan dalam penelitian ini sudah
Dari Gambar 1 terlihat bahwa melebihi Standar Nasional Indonesia (SNI)
semakin lama fermentasi aerob yang 0l-3711-1995 tentang cuka makan. Kadar
dilakukan maka semakin menurun kadar asam asetat menurut SNI yaitu 4%-12,5%.

Tabel 3. Uji kualitas produk dengan SNI asam cuka.

No Kriteria Uji Satuan SNI Produk


Cairan encer, jernih, dan Cairan encer, kurang
1 Bentuk -
tidak berwarna jernih.
2 Bau - Khas asam asetat Khas asam asetat
3 Kadar asam asetat % b/b 4-12,5 14,52-19,54
4 Asam format - Negatif Negatif
5 Asam oksalat - Negatif Negatif

25%
Kadar asam asetat (v/v)

19.24%
20% 17%
15,85%
14,52%
15%

10%

5%

0%
28 35 42 49
Lama fermentasi (hari)
Gambar 1. Hubungan Lama Fermentasi Aerob terhadap Kadar Asam Asetat

Jurnal Agroindustri, Vol. 2 No. 2, September 2012: 53-61 | 59


Hasanuddin, K.H. Dewi dan O. Wulandra

Bentuk Asam Cuka penelitian ternyata asam cuka berbahan


Menurut Standar Nasional Indonesia baku air kelapa ini tidak mengandung asam
(SNI) 0l-3711-1995 tentang cuka makan, oksalat, sebagai pedoman adanya asam
bentuk dari asam cuka yaitu cairan encer, oksalat pada asam cuka dalam uji asam
jernih, dan tidak bewarna. Hasil penelitian oksalat maka akan terbentuknya warna
menunjukkan asam cuka yang dihasilkan merah pada hasil uji asam oksalat. Setelah
cairannya encer tetapi kurang jernih. dilakukan uji asam oksalat ternyata tidak
Dengan demikian bentuk dari asam cuka terbentuk warna merah pada sampel maka
yang dihasilkan belum sesuai dengan hal ini menandakan asam cuka yang
Standar Nasional Indonesia (SNI) 0l-3711- dihasilkan tidak mengandung asam oksalat
1995. dan hasil yang didapat sesuai dengan SNI
0l-3711-1995.
Bau Asam Cuka
Menurut Standar Nasional Indonesia KESIMPULAN
(SNI) 0l-3711-1995 tentang cuka makan,
bau dari asam cuka yaitu khas asam asetat, Persentase ragi dan gula yang
Hasil penelitian menunjukkan bau asam optimal supaya kandungan alkohol menjadi
cuka yang dihasilkan yaitu khas asam 12% dari hasil fermentasi anaerob, masing-
asetat. Dengan demikian bau dari asam masing adalah 3% dan 10%.
cuka yang dihasilkan sesuai dengan Beberapa parameter kualitas asam
Standar Nasional Indonesia (SNI) 0l-3711- cuka yang dihasilkan sudah sesuai dengan
1995. cuka makan menurut SNI, seperti : bentuk,
bau, asam format, dan asam oksalat,
Asam Format sedangkan kadar asam asetat sudah
Menurut Standar Nasional Indonesia melebihi Standar Nasional Indonesia
(SNI) 0l-3711-1995 tentang cuka makan, (SNI).
asam cuka tidak mengandung asam format.
Dari hasil penelitian ternyata asam cuka DAFTAR PUSTAKA
berbahan baku air kelapa ini tidak
mengandung asam format, sebagai Abdullah, 2012. Diktat Mikrobiologi
pedoman dalam pengujian asam format ini Industri. Jurusan Teknik Kimia
jika tidak terbentuk keadaan yang berkilap Fakultas Teknik Universitas
pada dinding tabung pada hasil uji asam Diponegoro : Semarang.
format maka hal ini menandakan tidak http://lab.tekim.undip.ac.id/mikrobi
terjadinya pemisahan Ag dan sampel tidak ologi/files/2012/03/ASAM-
mengandung asam format. Tidak ASETAT1.pdf. [diakses 20 Mei
terbentuknya keadaan yang berkilap 2012].
didinding tabung pada hasil uji asam Agustian, A., S. Friyatno, Supadi dan A.
format maka asam cuka yang dihasilkan ini Askin. 2003. Analisis Pengembangan
ternyata tidak mengandung asam format Agroindustri Komoditas Perkebunan
dan hasil yang didapat sesuai dengan SNI Rakyat (Kopi dan Kelapa) dalam
0l-3711-1995. Mendukung Peningkatan Daya Saing
Sektor Pertanian. Makalah Seminar
Asam Oksalat Hasil Penelitian Pusat Penelitian dan
Menurut Standar Nasional Indonesia Pengembangan Sosial Ekonomi
(SNI) 0l-3711-1995 tentang cuka makan, Pertanian Bogor. Bogor.
asam oksalat pada asam cuka hasilnya Allorerung, D., dan A. Lay. 1998.
adalah negatif atau asam cuka tidak Kemungkinan Pengembangan
mengandung asam oksalat. Dari hasil Pengolahan Buah Kelapa secara

60 | Jurnal Agroindustri, Vol. 2 No. 2, September 2012: 53-61


PENGGUNAAN AIR KELAPA UNTUK BAHAN DASAR CUKA MAKAN

Terpadu Skala Pedesaan. Prosiding Richtler, H.J dan J. Knaut. 1984.


Konperensi Nasional Kelapa IV. Challenges to Mature Industri,
Bandar Lampung. Marketing and Economics of
Asian and Pacific Coconut Community. Oleochemicals In Western Europe.
2001. Coconut Statistical Yearbook JAOC.
2000. Asian and Pacific Coconut Rindengan dan S. Karaow. 2003. Peluang
Community Publisher. Jakarta Pengembangan Minyak Kelapa
Asian and Pacific Coconut Comunity. Murni. Prosiding Konferensi
2003. Coconut Statistical Yearbook Nasional Kelapa V.
2002. Asia Pacific Coconut Roukas T. 1996. Continuous Bioetanol
Community Publisher. Jakarta Production from Nonsterilized Carob
Badan Pusat Statistik. 2009. Luas Lahan Pod Extract by Immobilized
Menurut penggunaannya di Provinsi Saccharomyces cerevisiae on
Bengkulu. Badan Pusat Statistik Mineral Kissiris Using A Tworeactor
Provinsi Bengkulu. Bengkulu. System, J. Applied Biochemistry and
Bucle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet dan Biotechnology 59( 3).
M. Woofon. 1987. Ilmu Pangan. UI Rumokoi, M. M.M, dan R.H. Akuba. 1998.
Press. Jakarta. Minyak Kelapa Abad 21: Pangan
Desrosier. 1989. Teknologi Pengawetan atau Oleokimia. Prosiding
Pangan. UI Press. Jakarta. Konperensi Nasional Kelapa IV.
Ferdiaz, S. 1988. Fisiologi Fermentasi. IPB Puslitbangtri. Bandar Lampung.
Bogor. Bogor. Soeharto, P. 1994. Ilmu Gizi Komparatif.
Ferdiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. BPFE. Yogyakarta.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sugiharto, P.E. 1991. Analisis Kuantitatif
Istina. I.N., Kardiyono, Umar, dan A. Aris. Kadar Etanol Dari Bonggol Pisang
2003. Pemanfaatan Limbah Sabut oleh Saccharomyces cerevisiae.
Kelapa dalam Usahatani Padi Pasang Fakultas MIPA Universitas
Surut. Kelembagaan Perkelapaan di Brawijaya. Malang.
Era Otanomi Daerah. Prosiding Waluyo. S. 1984. Beberapa Aspek Tentang
Konferensi Nasional Kelapa V. Pengolahan Vinegar. Dewa Ruci
Press. Jakarta
.

Jurnal Agroindustri, Vol. 2 No. 2, September 2012: 53-61 | 61

Anda mungkin juga menyukai