Anda di halaman 1dari 138

Kata Pengantar

Pertama-tama, puji dan syukur kami haturkan kepada


Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatnya, kami
dapat menyelesaikan buku ini. Buku ini dibuat dalam rangka
memenuhi tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia. Buku yang
sederhana berisi tentang cerita-cerita pendek karya siswa SMA
Kanisius Jakarta.
Dalam penyusunan buku ini, banyak pihak yang telah
membantu dan mendukung kami. Oleh karena itu, kami ingin
mengucapkan terima kasih kepada Kepala SMA Kanisius dan
Bapak Widi selaku guru bidang studi Bahasa Indonesia, karena
telah memberikan kami kesempatan untuk menyusun buku ini.
Berikutnya kepada keluarga penulis yang telah memberikan
dukungan baik secara moral maupun materiil, sehingga buku
ini bisa selesai tepat waktu. Kemudian kepada pihak-pihak
lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, sehingga
kami dapat menyelesaikan buku ini.
Setiap manusia tidak ada yang sempurna dan pasti
sering melakukan kesalahan. Dalam penyusunan buku ini juga
masih banyak kekurangan dan mungkin membuat pembaca
tidak nyaman. Oleh karena itu, kami meminta maaf apabila ada
kata-kata yang kurang nyaman pada pembaca. Akhir kata,
semoga buku ini bisa bermanfaat bagi para pembaca

November 2019

Penulis

1
Daftar Isi
Kata Pengantar
Isi
1. Waktu Tetap Berjalan ........................................ 4
2. Sehad dari Ustad ................................................ 8
3. Kematian Mimpi ................................................ 13
4. Prestasi yang Tertunda ....................................... 16
5. Malam Tanpa Rehat ........................................... 19
6. Rahasia Gunung ................................................. 23
7. Motivasi Tak Biasa ............................................ 26
8. Kebetulan .......................................................... 29
9. Perkemahan ....................................................... 31
10. Pembunuh Maha Bakshi .................................... 34
11. An S.O.S............................................................ 39
12. Pertandingan Menyelamatkan Manusia .............. 45
13. KO-BLOG ......................................................... 50
14. Kala Senja Kian Temaram ................................. 56
15. 1 Hari Lagi ........................................................ 60
16. CANDU ............................................................ 63
17. Arvin sang Pemain Basket yang Pendek ............. 68
18. Sepadan ............................................................. 73
19. Telepon Genggam di Kebun Jeruk ..................... 77
20. The Downfall ..................................................... 83
21. Telah Dipanggil ................................................. 86
22. PLASTIK .......................................................... 92
23. Lagu Terakhir .................................................... 95
24. Hari Kesialan Anton .......................................... 106
25. Tak Ada yang Seperti Tampaknya ...................... 109
26. Si Anak Emas dari Malang ................................. 112
27. Khayalan Penuh Harapan ................................... 118

2
28. Cedera yangMengubah Segalanya ...................... 124
29. Bangkit ............................................................. 127
30. Besok Aku Mati ................................................. 130
31. Luangkan Waktu ................................................ 135

3
Waktu Tetap Berjalan
Oleh : Adi Priana Admaja XIA6/1

Nama saya Adam, saya hanyalah siswa SMA biasa


seperti yang lain di Jakarta. Saya belajar, pusing, bermain,
stress, bersenang-senang, bahkan depresi. Pastinya sudah dapat
dibayangkan bagaimana di masa-masa SMA ini. Akhir-akhir
ini saya juga baru saja lulus SMP di Yogyakarta, dan jujur saya
pengalaman saya di SMP lebih meyenangkan dibandingkan
sekarang. Apalagi sekolah yang saya tempati adalah Jakarta,
jauh sekali dengan Yogyakarta. Alasan saya ingin bersekolah
di Jakarta bermacam-macam, namun untuk dipersingkat saya
ingin merasakan bagaimana rasanya berteman dengan teman
yang bisa dikatakan hidup ‘elite’. Dan tentunya, pasti terjadi
konflik diantara saya dan juga kedua teman saya.

Kedua teman saya adalah Hanna dan Ryoga, bisa


dikatakan mereka berdua adalah sahabat juga karena saya
selalu bersama mereka saat kita bertemu di sekolah. Kita sudah
berteman sejak kecil dari TK, dan bahkan masih berteman
sampai sekarang. Kita sedikit berbeda dengan yang lain, karena
gaya pembicaraan kita bisa dikatakan tidak seperti yang lain.
Kita selalu berbicara dan ngobrol dengan gaya orang barat, jadi
bisa dibayangkan kata kata yang kita katakan tercampur dengan
inggris. Memang aneh dibilang, karena Yogyakarta merupakan
tempat yang penuh dengan orang yang berbicara dengan bahasa
Jawa.
Masalah perpindahan sekolah ini dimulai saat kita
menjadi siswa kelas 7, Pada hari minggu itu kita bertiga hanya
bersantai santai dan bermain PS3 milik Ryoga. Ya, sebenarnya

4
hanya Ryoga dan Hanna saja sih, saya hanya duduk di meja
belajar Ryoga, menggambar.
“Udah ah, gua dah bosen” Keluh Ryoga sambil
mematikan PS3-nya.
“Eh? Cepet amat, kita kan masih blom selesai” Jawab
Hanna
“Hmmmm, im bored, Adam helppp” Ujar Ryoga ke
saya yang artinya ia bosan dan ingin minta bantuan saya untuk
membantu dia.
“Well uh.. gua juga gk tau mau ngapain, pr dah selesai,
gak ada ulangan besok.. wes ga tau lagi mau ngapain”
“..kita beda banget ya kalo dibandingkan sama anak-
anak lain” Jawab Hanna
“Kita tuh.. autis bener kayak yang dibilang sama
mereka di kelas. Apalagi gua cewe, hangout sama lu pada
cowo”
“..hah...coba kalo kita bisa sekolah di Jakarta” Keluh
saya sambil menghembuskan nafas
“Eh? Malah bagus dong disana, apalagi keluarga lu
kaya. Bahkan lu bilang kakak lu sekolah disana dulu” Jawab
Ryoga
“Ya.. tapi kan gak seru kalo gak ada lu berdua.
Keluarga kalian tuh ketat banget kalo milih sekolah itu kan?”
“I- I guess so..”
Setelah hening dan memikirkan jawaban kita.
“Y-Ya, kita kan masih kelas 7, mungkin lain kali kita
mikirin, ya?” Jawab Hanna
“Iya Hanna, bener juga..”

Beberapa bulan telah berlalu, dan kita sudah menjadi


siswa kelas 9 SMP. Pada saat itu, terjadi tragedi yang

5
menyedihkan bagi kita bertiga, atau bisa dikatakan hanya untuk
kedua dari kita saja. Ryoga dilaporkan oleh para warga di
sekitar bahwa Ryoga terkena kecelakaan dan meninggal pada
tanggal 27 April 2017. Saya sendiri saat itupun pastinya sangat
sedih, namun siapa yang paling sedih disini bukanlah saya.
Dibandingkan dengan kesedihan yang dimiliki oleh Hanna , dia
lah yang paling tersakiti dengan insiden ini.

Kita melayat di kuburan Ryoga pada hari itu juga, dan


melihat tangisan keluarga Ryoga saja sudah menyakitkan.
Apalagi saya sendiri adalah sahabatnya, namun apa yang lebih
mengejutkan Hanna yang paling keras tangisannya. Saat itu
pula, saya menjadi lebih ragu dengan diri saya sendiri. Apakah
benar pindah sekolah ke Jakarta merupakan pilihan yang paling
tepat? Saya tidak ingin Hanna kesepian tanpa teman, karena
kita bertiga selalu bersama dan sudah menganggap kita sebagai
saudara malahan.

Namun keesokan harinya, keadaan berubah secara


drastis bagi Hanna. Pagi hari itu, Hanna mengetuk pintu rumah
saya. Dan ketika saya buka pintnya, ia tersenyum sambil
mengatakan,
“Um.. Adam? Lu.. gak usah mikirin banget gua yah..”
“Eh? Tapi kan..”
“Gua tau, lu khawatir gua bakal kesepian disini kan?
Ya.. mending gak usah pusingin deh, gua dah tau kok”
“..tau gimana?”
“Setiap manusia mati, dan kita gak tau kapan itu
terjadi. Kalo kita sesalin aja terus.. ya, pastinya gak akan ada
gunanya kan? Yang penting itu lu harus bersyukur Ryoga dah
menjadi teman yang baik buat kita, bukan sesalin dia udah gak

6
ada disini. Jadi Adam.. kalo mau ke Jakarta, silahkan” Jawab
Hanna sambil tersenyum
“T-Tapi kan! Gua juga.. lu..”
“Adam, kalo Jakarta itu tempat lu ketemu teman baru,
pastinya gua juga harus ikut cari teman baru dong. Makanya,
gak usah sedih banget”
Tak terduganya, yang tadinya Hanna teriak menangis,
sekarang saya yang teriak menangis. Hanna memeluk saya
sambil mengatakan ‘it’s alright’.

Waktu tetap berjalan, hanya itu yang bisa saya katakan.


Saya memang katakan saya menyesal sedikit, namun di sisi
baiknya saya dapat bertemu dengan teman baru disini dan lebih
dapat dikatakan ‘relatable’ yang artinya cocok sebagai teman.
Sampai sekarang, saya hanya dapat berharap Hanna baik baik
saja disana dan tetap bahagia seperti biasanya.

7
Sehad dari Ustad
Oleh : Albertus G. Rakayudha XIA6/2
“Yah dok, masa dikasih obat ini lagi? Udah 2 dokter
ngasih obatnya sama juga nggak sembuh-sembuh dok. Masa
sekarang dokter ngasih obat yang sama juga?” Gerutu Sinta,
ibu dari remaja 15 tahun bernama Stephano memecah
kesunyian sore itu di rumah sakit Medika.

Sudah satu bulan lamanya Stephano menderita panas


atau demam. Sudah banyak rumah sakit dan dokter yang
mencoba untuk menyembuhkannya, namun Stephano tak
kunjung sembuh juga. Stephano yang tinggal seorang diri
dengan ibunya selama menderita sakitnya itu.

“Whusssh…”

Angin sore itu berhembus kencang menyapa Sinta


yang sedang duduk di halaman teras depan rumahnya.

“Oh iya dulu Steph juga pernah kayak gini”

Angin yang lewat tadi seakan membawa kembali


memori masa lalu ibu dan anak tersebut. Memori 15 tahun lalu
yang selamanya tak akan dilupakan oleh mereka berdua. Kelam
tapi melegakan.

Rumah Sakit Jaya, sore itu dipenuhi dengan tangis bayi


berusia 9 bulan. Rasanya tak akan henti tangisnya sampai
segalanya terselesaikan. Miris.

“Anaknya kenapa bu?”

8
Tanya lugu seorang dokter yang baru saja
menyelesaikan studi terakhirnya di Amerika.

“Ini dok, udah 1 minggu panas tapi nggak


sembuh-sembuh, kemaren udah ke dokter lain, tukang urut,
orang pintar, tapi kata mereka nggak ada yang salah dok.
Dokter yang terakhir juga bilang kalau si Steph cuma demam
biasa. Tapi biasa apanya coba dok, ini udah 5 hari abis periksa
masih aja panas.” Amarah Sinta mencoba mendesak dokter itu
untuk mengecek kesehatan anaknya yang malang itu.

Lima menit dokter lulusan Amerika itu memeriksa


kondisi bayi itu. Namun hasilnya hanyalah kebingungan. Ilmu
tinggi yang telah dipelajarinya di amerika selama belasan tahun
tak berbuah apa-apa. Dokter tersebut juga mengatakan bahwa
sakit yang diderita Stephano ini sangatlah aneh, karena satu-
satunya bagian tubuh yang panas ialah dahinya, tidak disertai
dengan yang lainnya.

“Bu, mohon maaf sekali, namun saya tidak dapat


menyatakan penyakit anak ibu.”

Tanpa berbasa-basi Sinta keluar ruangan.

Satu minggu lamanya. Sinta tak menyerah untuk terus


menyarikan solusi terbaik bagi anaknya itu. Beberapa dokter
telah didatanginya. Namun jawaban para dokter konsisten.

“Maaf Bu”

Bahkan tes darah juga telah dilakukan. Negatif. Itulah


hasilnya. Di sisi lain bayi 9 bulan itu selalu menangis pagi siang
malam. Namun apalah arti tangisan itu jika tak dapat menolong
situasi saat itu.

9
Sampai pada suatu pagi…

“Loh bu, kok anaknya nangis terus?

Tanya Pak Ustad yang tinggal disebelah rumah Sinta,


tetangga barunya.

“Iya pak, ini Steph demam udah satu bulan nggak


sembuh-sembuh.” Jawab Sinta.

“Boleh saya masuk ngeliat nggak bu?

Satu kalimat tanya itu langsung membuat detak


jantung Sinta seakan berhenti untuk sesaat. Bagaimana tidak?
Tetangganya itu terkenal sangat penyendiri, jarang keluar
rumah, apa lagi bergaul. Bahkan beberapa minggu lalu polisi
sempat mendatangi rumahnya. Bahkan gosipnya, saat
membawakan ceramah di tempat ibadah, Ustad yang satu ini
agak ngawur dengan isi ceramahnya. Beberapa hal itu
ditambah perbedaan agama membuat Sinta menjadi sedikit
ragu untuk menyuruhnya masuk. Namun dengan penuh
pertimbangan mulut Sinta berkata.

“Mari pak, silakan.”

Dua puluh detik setelah membuka gerbang, tangan Pak


ustad langsung meraih dahi Stephano, yang tentu membuat
Sinta sedikit tersentak. Lima menit berikutnya tangan Pak
Ustad dilepaskan dari kepala Stephano, setelah mulutnya
komat-kamit mengucapkan bahasa yang tidak dimengerti oleh
Sinta. Sepuluh detik setelahnya Stephano berhenti menangis.

“Kok bisa pak?” Tanya Santi

10
“Iya bu, banyakin doa aja ya menurut pandangan ibu,
biar sekarang sehat terus Steph nya.”

“Terima kas...”

Belum selesai Santi menyelesaikan kalimatnya,


seorang polisi masuk ke halaman teras Santi tanpa mengetuk
pintu. Shock. Satu kata yang menggambarkan suasana hati
Santi kala itu.

“Misi bu saya boleh ngajak Pak Ustad ke kantor ga?”

“Emang kenapa pak? Pak ustad ini baik banget loh pak,
mau nyembuhin anak saya. Tolong jangan diapa-apain pak.”
Bujuk Santi

“Iya buk, saya tahu kok Pak ustad baik, ini mau saya
ajak ke kantor karena satu bulan yang lalu Pak Ustad nemuin
dompet, terus sekarang pemiliknya pingin ngasih imbalan ke
Pak Ustad.”

Kalimat yang dikatakan polisi itu langsung membuat


Santi merasa bersalah, karena beranggapan buruk terhadap
tetangganya itu tanpa mengetahui hal yang sebenarnya.

“Ma, aku pingin minum”

Teriak Stepahano membangunkan Santi dari tempat


duduknya di teras rumahnya itu. Pagi hari setelahnya menjadi
yang menggembirakan bagi keluarga kecil itu. Kesehatan
Steph berangsur pulih setelah ibunya mendoakan Rosario
sepanjang malam di samping anak kesayangannya itu.
Sekarang, keluarga itu disadarkan dari cerita lama yang
dibawakan oleh angin yang berhembus waktu itu. Keluarga

11
kecil itu berubah menjadi keluarga rohanis, yang sering
menghabiskan sore harinya untuk berdoa di gereja kecil tak
jauh dari rumah mereka. Jika ditanya orang mengapa mereka
berubah jawabannya hanya singkat: “sekarang kami tahu
kemana kami akan kembali dan membalaskan budi.”

12
Kematian Mimpi
Oleh : Alexander Collin XIA6/3
Aku terbangun di sebuah keramaian. Dalam sebuah
gedung putih, tidak terlalu besar, dan belum pernah kukunjungi
sebelumnya, tapi nampak sangat akrab denganku. Aneh,
ditengah keramaian itu, aku merasa sepi. Aku menyusuri
gedung itu, dan bertanya sana-sini. Tapi, seolah diriku tak
nampak, aku tak bisa berkomunikasi dengan siapapun.

Aku terdiam di sebuah ruangan. Janggal rasanya


merasakan dingin di Jakarta, apakah ini hanya sebuah mimpi?
Jika iya, apa tujuannya dan bagaimana caraku untuk keluar?

Aku memutuskan untuk menyusuri gedung itu sekali


lagi, kali ini aku mengunjungi setiap lantai gedung aneh itu.
Kutemukan diriku di lantai empat. Dalam benakku, ini pasti
sebuah pesta kejutan yang diselenggarakan untukku.

Tak jauh dari situ, aku melihat seorang yang sangat


akrab mukanya. Ternyata orang itu adalah Rini, sepupu jauhku.
Kami memang tidak begitu dekat, Aku melewati dia tanpa
menyapanya.

Sampai sini, aku yakin ini bukan sebuah kejutan untuk


diriku. Buat apa si Rini datang jauh-jauh dari Medan? Kami
saja tidak sedekat itu.

Aku menemui sebuah ruangan, banyak kelompok


orang yang aku kenal, tetapi banyak juga yang tidak.
Sepertinya mereka teman-teman ibu dan bapakku. Aku

13
melewati teman dan saudaraku berharap tidak dilihat.
Rencanaku berhasil.

Di kejauhan, aku melihat kakak dan ibuku. Tak pernah


sebelumnya kulihat kakakku semurung itu. Aku melihat
kakakku yang sedang murung dan ibuku yang tak kunjung
henti menangis.

Aku duduk di samping mereka, “Ada apa kak?”


Tanyaku kebingungan. Mereka nampak sangat pucat dan sedih,
sampai-sampai aku tak dibalas. Aku duduk disebelah ibuku,
masih terbingung-bingung.

Banyak teman dan saudaraku disitu, ada yang


menggunakan baju ALASKA dan ada juga yang rapih
berkemeja hitam. Mereka sama sekali tidak menganggap diriku
dan suasananya sangat sepi.

Aku positif acara tersebut adalah untuk diriku, tetapi


acara apa? Karena tak dianggap ibuku, aku meneruskan
perjalananku melalui sebuah kerai putih. Aku lihat ayahku
berbincang dengan seorang asing bagiku.

Orang itu satu-satunya wajah yang sama sekali tak


kukenali. Ekspresi ayahku tak beda jauh dengan kakakku. Aku
berdiri didekat mereka. Orang itu seolah melihatku, tapi tidak
yakin. Ia orang pertama di acara ini yang tidak mengabaikanku.

“Tempatmu bukan disini”, gumamnya. Aku


kebingungan. Tanyaku, “kenapa? Bukankah acara ini
untukku?” Ketika aku membalik badan, barulah aku sadar
acara ini untuk siapa.

14
Aku melihat diriku sendiri, berbaju rapih, terbaring
dengan muka yang dingin diatas sekotak mayat yang indah.

Ayahku keheranan melihat orang itu berbicara


denganku. “Anda berbicara dengan siapa?”, tanyanya.
“Anakmu disini”, jawabnya.

Seketika ruangan yang sedikit ramai menjadi sangat


sepi. Semua orang menghadap ke arahku. Ibu dan kakakku
menghampiriku dan kami berbincang melalui orang itu.

Saat itu, mereka menjelaskan apa yang sebenarnya


terjadi padaku. Aku melihat kakakku yang mulai menitikkan
air matanya. Ia menyalahkan dirinya atas kepergianku.

Aku menenangkan kakakku, dan seolah duniaku


menerang. Kulihat seorang berjubah putih terang datang
menjemputku. Aku langsung berpamitan dengan keluarga dan
teman-temanku dan ikut dirinya pergi.

15
Prestasi yang Tertunda
Oleh : Alfonsus Arvin XIA6/4
Cius diundang untuk naik ke panggung atas prestasi
yang telah ia capai. Cius adalah anak yang sangat berprestasi di
sekolahnya. Hasil yang dia dapat saat ini adalah hasil dari
perjuangan keras yang ia lakukan, dimana sebelumnya ia
pernah mengalami pengalaman buruk yang membuat hatinya
sangat kacau di saat itu. Pada saat mengalami pengalaman yang
buruk itu, Cius bersekolah di SMAN 8 Jakarta, dimana dia
adalah seorang anak yang sangat pemalas, nakal, serta suka
membantah guru saat di kelas. Pada saat itu Cius duduk dikelas
1 SMA atau sederajat dengan kelas 10.

Cius memiliki geng yang dia ketuai. Geng tersebut


beranggotakan siswa-siswa yang paling terkenal di sekolah itu.
Karena popularitasnya yang sangat tinggi itu, Cius sering kali
gonta-ganti pacar dan memiliki pergaulan yang cukup bebas.
Suatu ketika Cius meninggalkan pelajaran selama 2 jam
pelajaran. Akibat hal tersebut guru yang bersangkutanpun
mulai mencurigainya. Akhirnya guru tersebut memerintahkan
karyawan untuk mengecek keberadaan Cius lewat CCTV
sekolah. Setelah melihat CCTV sekolah keberadaan Cius
akhirnya diketahui. Ternyata Cius masuk kedalam toilet saat
dia keluar dari kelas itu pada jam istirahat.

Sesampainya di toilet, Cius ditangkap sedang merokok


di toilet tersebut. Setelah ia ketahuan merokok, ia pun dibawa
ke ruangan BK untuk berbicara dengan guru BK. Saat di ruang
BK, sikap Cius tetap seperti biasa tanpa rasa ketakutan akan
dimarahi. Sikap Cius sangat tidak kooperatif saat diajak

16
berbicara dan tetap membantah untuk tidak mau mengakui
bahwa ia telah melakukan kesalahan yang cukup berat. Akibat
sikapnya yang sangat tidak kooperatif tersebut akhirnya guru
BK mengirimkan Cius ke ruang kepala sekolah. Saat bertemu
dengan kepala sekolah Cius malah asik memainkan ponselnya
sendiri tanpa memperdulikan kepala sekolah yang sedang
menasehatnya. Kepala sekolah pun mulai kesal dengan Cius
dan akhirnya memberikan hukuman kepada Cius untuk diskors
selama 1 minggu serta memanggil orang tua Cius untuk
bertemu dengan kepala sekolah. Orang tua Cius pun diminta
untuk mengawasi Cius selama menjalani hukumannya
dirumah.

Selama menjalankan hukuman yang diberikan Cius


hanya bermalas-malasan, seperti seharian bermain ponsel,
tidur-tiduran dikamar, serta bermain game PC bersama teman-
teman di kompleknya. Satu minggu telah ia jalani tanpa rasa
yang berarti. Setelah itu Cius kembali bersekolah seperti biasa.
Tetapi, sikap Cius yang dulu masih tetap ia lakukan di sekolah
mulai dari suka tidur di kelas, mengobrol dengan teman
sebangku, meminta makanan teman dengan paksa, hingga
melawan guru saat dikelas. Sampai saatnya ujian akhir
semester yang sebentar lagi akan datang. Cius tetap tidak peduli
dengan ujian akhir semester yang sebentar lagi akan berjalan.

Selama ujian akhir semester Cius tidak pernah belajar


dan hanya bermain game PC dengan teman-teman
kompleknya. Akhirnya waktu pembagian raport datang, betapa
kagetnya Cius yang dinyatakan akibat tidak naik kelas akibat
sikapnya yang buruk serta nilanya yang buruk juga. Akhirnya
Cius dijauhi oleh teman-temannya dan gengnya pun hilang.
Selama liburan akhir semester Cius pun mulai stres akibat

17
teman-temannya telah meninggalkannya dan juga tidak naik
kelas. Orang tua Cius pun memutuskan untuk memindahkan
Cius ke sekolah baru yang dekat dengan rumahnya.

Saat pertama hari ia masuk sekolah, ia pun merasa


sangat diasingkan oleh teman-teman barunya di sekolah itu.
Cius akhirnya memutuskan untuk berubah, dimana yang
awalnya dia adalah anak yang sangat buruk, dia akan berusaha
untuk merubahnya dan menghilangkan sikap-sikap buruknya.
Di sekolah barunya Cius memiliki seorang teman baik yang
bernama Hifa, Hifa adalah anak yang sangat rajin dan juga
cukup terkenal cantik disekolah itu. Hifa mengenal Cius saat
hari pertama sekolah tak sengaja untuk Ibu guru menyuruh
Cius untuk duduk disebelah Hifa. Hifa pun bertanya-tanya
awalnya “mengapa engkau pindah ke sekolah ini?”, dengan
malu Cius memberi tahu bahwa ia tidak naik kelas disekolah
lamanya. Selama di sekolah baru itu Hifa selalu membantu
Cius untuk belajar lebih giat lagi. Cius pun berjanji kepada
Hifa, bahwa ia akan mendapatkan penghargaan juara kelas.
Selama kurang lebih satu tahun telah Cius jalani dengan serius,
akhirnya pada saat pengumuman juara umum diangkatan
tersebut, betapa kagetnya nama Cius dipanggil kedepan untuk
menerima penghargaan tersebut. Selisih nilai Cius dan nilai
Hifa sangat beda tipis, tetapi Hifa sebagai sahabat Cius ia
mengakui bahwa kerja keras yang Cius lakukan pantas untuk
mendapatkan sebuah penghargaan.

18
Malam Tanpa Rehat
Oleh : Alvin Tanujaya XIA6/5
Libur sekolah tiba, semua siswa senang termasuk
empat sekawan yang bersiap diri untuk pergi berlibur. Empat
sekawan itu adalah Andi, Tono, William dan Erwin. Mereka
semua sudah merencanakan rencana kepergian mereka
semenjak satu tahun sebelumnya, sehingga rencana yang
mereka buat sudah dipikirkan secara matang-matang mulai dari
tempat tinggal hingga destinasi wisata yang akan dikunjungi.

Mereka baru saja lulus kelas 9 dan akan masuk SMA


pada tahun ajaran berikutnya. Keakraban mereka sudah tidak
diragukan karena jalinan persahabatan mereka sudah mereka
jalin selama 3 tahun. Dari antara mereka, yang memiliki sikap
paling ceroboh adalah Erwin sedangkan Andi memiliki sikap
yang terbalik dari Erwin dimana dirinya sangat perfeksionis
dan memiliki jiwa kepemimpinan.

Hari yang dinanti-nantikan tiba, mereka berkumpul di


terminal Bandara Soekarno Hatta sejak dini hari. Anehnya,
mereka semua dapat berkumpul tepat dengan waktu yang telah
mereka sepakati sebelumnya, padahal biasanya jam mereka
ibarat jam karet yang penuh dengan ketidakpastian. Mereka
semua berpamitan dengan orang tua yang mengantar mereka
kemudian berangkat menuju Singapura bersama dengan
penumpang lainnya.

Sesampainya disana, mereka dijemput menuju tempat


tinggal yang telah mereka sewa ketika berada di Jakarta. Ketika
mereka sampai pada tujuan, mereka semua senang sekaligus

19
terkejut karena tempat tersebut dapat dikatakan jauh diluar
ekspetasi mereka, dimana tempat yang telah mereka sewa lebih
bagus dari yang mereka bayangkan sebelumnya selama
perjalanan.

Pintu kamar dibuka dan tanpa buang waktu mereka


segera menaruh tas bawaan mereka kemudian beristirahat
sejenak. Mereka semua terlelap dengan sangat nikmat sehingga
waktu tak terasa berlalu dengan cepat. Malam hari pun tiba dan
mereka terbangun karena perut mereka yang meronta-ronta
kelaparan. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk mencari
restoran cepat saji karena lokasinya yang dekat dengan
penginapan mereka.

Mereka semua lekas menggunakan alas kaki dan


beranjak keluar, hingga Erwin menjadi orang yang keluar
paling akhir. Mereka semua berjalan sambil menikmati ujara
sejuk yang menyelimuti mereka. Perasaan mereka terbawa
suasana dengan keindahan lampu yang menambah keindahan
kota Singapura. Tak lama perasaan tenang mereka bertahan,
perasaan mereka berubah menjadi penyesalan karena Erwin
lupa untuk mencabut kunci kamar penginapan mereka.

Karena rasa lapar mereka yang lebih dominan, maka


mereka berusaha untuk bersikap tidak peduli. Sembari makan,
mereka bercerita satu sama lain sembari meluapkan rasa emosi
mereka pada Erwin yang begitu dengan cerobohnya
meninggalkan kunci kamar mereka dalam keadaan pintu
tertutup. Makanan mereka santap dengan cepat dan mereka
memutuskan untuk segera kembali ke penginapan dan mencari
cara untuk masuk ke dalam penginapan mereka yang terkunci
dari dalam.

20
Kesialan mereka bertambah ketika mereka berjalan
pulang, dimana mereka diberhentikan oleh polisi karena dirasa
tidak wajar jika anak sepantaran mereka berkeliaran di jalanan
karena waktu sudah menunjukkan dini hari. Mereka dimintai
identitas diri, namun mereka tidak bisa memenuhi hal tersebut
karena mereka melupakan pelancong yang sedang menikmati
liburan mereka. Mereka pun dimintai untuk menunjukkan
passport sebagai identitas diri, namun tidak ada satu pun dari
antara mereka yang membawanya, karena passport mereka
masih berada di dalam tas bawaan mereka. Beruntungnya,
karena kejujuran mereka dengan berkata apa adanya, maka
polisi memutuskan untuk melepaskan mereka.

Sesampainya di tempat penginapan, mereka semua


kebingungan karena tidak ada petugas/penjaga penginapan
yang masih bangun. Nampaknya pikiran mereka berjalan dua
kali lebih cepat ketika terjadi kepanikan yang menimpa
mereka, dimana mereka teringat bahwa ada jendela kamar
mandi yang terbuka. Mereka pun segera mengitari penginapan
menuju jendela terbuka yang dimaksudkan.

Keberuntungan juga berpihak pada mereka karena


mereka menemukan sebuah tangga untuk memanjat jendela
tersebut. Namun, tangga tersebut terletak di pojok tembok yang
tertutupi oleh jemuran. Ketika Tono mencoba untuk
mengambil tangga tersebut, dirinya tidak sengaja menjatuhkan
jemuran yang terpasang rapi. Mereka semua panik, karena
takut dikira maling namun Andi mencoba untuk menenangkan
mereka dan mengarahkan mereka untuk segera merapikan
jemuran tersebut.

21
Masalah jemuran baru saja diatasi, namun masalah
baru kembali menimpa mereka ketika mereka berusaha untuk
masuk melalui jendela kamar mandi. Ketika mereka mencoba
satu per satu untuk merangkak masuk, tidak ada dari antara
mereka yang memiliki ukuran tubuh yang ideal untuk masuk
melalui jendela tersebut. Pada akhirnya, William yang
berbadan lebih kurus dari antara mereka, berinisiatif untuk
masuk dan dirinya dapat masuk dengan mudah.

Pada akhirnya, mereka semua berhasil masuk kamar


penginapan mereka setelah pintu dibukakan oleh William dari
dalam. Mereka semua segera berbesih diri karena badan
mereka dipenuhi debu ketika mencoba masuk melalui jendela
kamar mandi. Malam telah berubah menjadi pagi dan mereka
semua kelelahan. Pada akhirnya mereka beristirahat dengan
tenang dan melakukan aktivitas sesuai rencana mereka
sebelumnya.

22
Rahasia Gunung
Oleh : Anthony Kenneth Sistan XIA6/6

Ketika orang bertanya apakah sebenarnya keuntungan


yang didapat dari mendaki gunung, paling yang bisa di bilang
hanya membuang-buang waktu dan tenaga karena kaki terus
melangkah maju, punggung menahan beban tas carrier, leher
yang harus selalu mendongak ke atas, dan mata yang selalu
fokus menatap jalan. Sama persis seperti jawabanku saat diajak
mendaki gunung untuk yang pertama kalinya. Hal ini
dikarenakan oleh pengalaman buruk saya selama jambore
berlawanan dengan hujan, tanah basah, lumpur, bahkan berada
di bawah terik matahari pun cukup menggangu bagi saya.
Apalagi ditambah, aku adalah orang yang males ribet, kotor-
kotoran, dan yang penting nyaman. Namun karena banyak
teman-temanku yang ikut, akupun mengiyakan ajakan tersebut.
Dan juga sesekali belajar menantang diri untuk keluar dari zona
nyaman.

Setelah berunding panjang, ditentukanlah kami akan


mendaki Gunung Sindoro saat liburan akhir semester. Gunung
ini bisa dibilang jauh dari Jakarta karena terletak di Kabupaten
Wonosobo, Jawa Tengah. Perjalanan kami tempuh selama
hampir 16 jam dengan bis antarkota “Sinar jaya” yang
membuat saya kapok naik bis antarkota. Akhirnya sampailah
kami di Terminal Wonosobo, lalu kami menyewa truk pickup
untuk mengantarkan kami ber-12 ke basecamp Gunung
Sindoro via Kledung. Dan dari sanalah pendakian kami
dimulai.

23
Sekitar jam 8 pagi kami mulai mendaki dari pos satu
dengan target jam 1 siang bisa sampai di pos 3.5 untuk
mendirikan tenda. Namun track yang dilalui jauh dari
ekspektasi, kontur berbatuan besar menanjak membuat langkah
terasa sangat berat ditambah berat beban tas carrier di
punggung dan hujan mengguyur kami sehingga memperlambat
jalan kami. Membuat perjalanan kami selalu diselingi istirahat
tiap 5 menit. Bahkan sampai ada teman kami Martin yang ingin
turun kembali ke pos 1 untuk istirahat dan tidak melanjutkan
perjalanan. Saya pun mulai berpikiran menyesal ikut naik
gunung akibat kondisi ekstrim saat itu.

Akhirnya kami sampai juga di basecamp pada jam 7


malam. Sesampainya di pos kemah, kami pun langsung
mendirikan tenda dan memasak bersama untuk makan malam.
Setelah itu, masing-masing dari kami pun langsung tertidur
akibat kelelahan setelah aktivitas panjang hari itu, dan untuk
persiapan muncak yang akan dimulai pukul 5 dini hari besok.

Hari dimulai dengan pemandangan sunrise di depan


tenda yang indah. Membuat saya kembali mendapat semangat
menjalani aktivitas. Matahari perlahan muncul di timur, di
tengah gunung-gunung lainnya menghangatkan suasana
sedingin 3 derajat Celcius. Secangkir susu dan kopi mengawali
kegiatan hari itu dan langsung memulai perjalanan ke puncak
Gunung Sindoro. Perjalanan terasa melelahkan bahkan tanpa
tas carrier, track batuan berpasir membuat sulit untuk
menapakan kaki apalagi mendaki naik. Namun dengan sisa
tenaga dan semangat yang kami miliki, kami berhasil
menapakan kaki di puncak Gunung Sindoro setelah melakukan
3 jam lebih pendakian. Semua perasaan lelah, letih, senang, dan
bangga semua bercampur aduk.

24
Aku pun terdiam sembari menikmati pemandangan
alam dari atap Jawa Tengah., sungguh pemandangan yang luar
biasa. Pengalaman ini membuat saya semakin mencintai
gunung dan selalu ingin kembali kesana. Menurut saya yang
berkesan dari gunung adalah gunung selalu tampak cantik dari
kejauhan. Ketika kita baru menjejakinya gunung akan terlihat
melelahkan dan menyusahkan. Tetapi, jika kita mau berjuang
melewati segala ringtangan, percayalah pemandangan gunung
yang kita lihat dari kejauhan tidak ada apa-apanya jika
dibandingkan dengan keindahan yang akan kita lihat dari
puncak gunung.

25
Motivasi Tak Biasa
Oleh : Armando Sastra R. XIA6/7
Minggu berakhir, Senin tiba. Hari Senin adalah hari
yang paling tidak disukai oleh Al. Tiap kali ia bangun pada hari
Senin, Al langsung teringat bahwa ia akan dijumpai mata
pelajaran yang berat dan lama serta adanya upacara pagi yang
tiap kali dibilang “singkat.” Al tidak pernah menyiapkan buku
mata pelajaran malam sebelumnya, namun ia tidak pernah
ketinggalan buku. Namun ada konsekuensinya. Setiap Senin
pagi, ia akan selalu melihat apa yang akan dibawa dan
dipelajari pada hari tersebut, dalam keadaan ngantuk.
Tentunya, motivasi Al untuk pergi ke sekolah pun menurun dan
pikiran untuk kembali tidur semakin kuat, namun Al selalu
tetap pergi dan datang ke sekolah dikarenakan teman yang ia
miliki dan keinginan untuk bertemu mereka.

Matahari sudah bersinar terang saat jam 7 pagi hari


senin itu. Pelaksanaan upacara membuat banyak siswa gerah,
terutama Al. Niatnya untuk belajar sudah berkurang. Al selalu
berdiri paling depan saat upacara, dan pada hari itu, matahari
paling menyinari ia dan teman teman yang sebaris dengan ia.
Saat upacara, Al juga teringat bahwa mata pelajaran pertama
yang ia akan hadapi adalah kimia. Kimia adalah pelajaran yang
paling dibenci oleh Al dikarenakan gurunya yang dipandang Al
menyebalkan dan tidak tahu diri. Setiap pelajaran, Al bagaikan
sasaran utama guru kimia tersebut untuk maju ke depan dan
mengerjakan soal yang dibuatnya, dan jika ia tidak bisa, Al
pasti dikenai hukuman. Sudah hampir tiap kali pelajaran kimia,

26
gurunya Al akan menyebut nomor absennya untuk maju dan
mengerjakan soal yang ditulis di papan tulis.

Setelah selesai upacara, Al memutuskan untuk pergi ke


toilet terlebih dahulu untuk mencuci muka. Saat semua siswa
masuk kelas, Al baru tiba di toilet. Setelah selesai, ia
menemukan dirinya terheran, “Kenapa tadi teman teman saya
cepat cepat masuk ke dalam kelas ya? Biasanya tidak seperti
itu.” Ia berpikir. Saat ia menuju balik ke kelasnya, Al mengintip
ke beberapa kelas lain dan menemukan bahwa semua siswa
sudah masuk, namun gurunya tidak ada. Kelasnya ia pun juga
seperti itu. Setelah masuk kelas, tidak lama kemudian Al
langsung diajak untuk bermain games bareng dengan teman
temannya, Al melihat kepada meja mejanya dan hanya
menemukan beberapa kertas folio di atas meja dan peralatan
tulis. Tidak ada buku sama sekali. Tentunya, Al tidak bisa
menolak ajakan bermain dari teman temannya.

Waktu yang dipakai Al sudah cukup lama, namun tetap


saja, tidak ada guru yang memasuki kelasnya. Al merasa
terheran, “Guru guru biasanya sudah masuk jam segini,
mengapa belum ya?” Temannya Haje tidak segan langsung
menjawabnya, “Ya, memang tidak ada yang masuk. Kamu lupa
mengapa?” Tidak lama kemudian Al menyadari bahwa guru
guru sedang melaksanakan acara di luar, ia baru teringat
pengumuman yang disampaikan setelah upacara. “Ohh, karena
itu toh, pelajaran kita diganti dengan tugas penganti bukan?”
Tanya Al. “Ya, namun, tidak ada yang mengerjakannya saat
ini, nanti sebelum pulang kita harus mengumpulkannya maka
itu palingan setelah beberapa game lagi, kita baru mulai
mengerjakannya.” Jawab Haje.

27
Al melanjutkan kegiatan bermainnya dengan teman
temannya, dan ia merasa termotivasi untuk menjalankan hari
tersebut. Saat teman temannya selesai bermain, Al ikut
mengerjakan tugas pengganti bareng dengan teman-temannya.
Al selalu selesai pertama untuk mengerjakan tugas
penggantinya, dan tidak segan untuk membantu teman
temannya yang belum selesai, namun meskipun terlihat buru
buru mengerjakannya, apa yang ditulis Al itu masuk kedalam
pikirannya. Ternyata, motivasi yang ia peroleh itu berasal dari
dalam diri dan teman teman yang baik kepada Al.

28
Kebetulan
Oleh : Bernardus Mario XIA6/8
Dunia adalah tempat yang aneh. Suatu saat menyesali
hidup dan satu jam kemudian hidup menjadi sebuah
kesenangan yang tak ingin kulepas. Secara kebetulan saja
hidupku berputar dan berubah lagi. Namun, ini merupakan
perubahan-perubahan yang aku suka. Walau aku tahu tidak ada
yang abadi, itu membuatku lebih menhargainya. Setiap detik
yang kulewati dengan perubahan ini akan kujadikan abadi
dalam memori. Entah mengapa, aku merasa hari-hari ke depan
akan menjadi hari-hari yang penuh perasaan. Bisa sedih, bisa
senang, bisa apa saja, anehnya hal itu tidak membuatku takut.
Awalan dari kebetulan ini penuh dengan kebetulan lainnya
yang ujungnya membawa perubahan kepada hidupku.
“Dia gak jadi datang”
Mendengar itu aku mulai bertanya-tanya, dari alasan
hingga apa yang akan dia lakukan sekarang. Temanku yang
satu ini ingin bertemu dengan kenalannya yang dia tahu dari
media sosial. Tidak berani sendiri, dia mengajak salah satu dari
temannya. Yang pada akhirnya tidak dapat datang. Untuk
bilang diriku senang merupakan pernyataan yang meremehkan.
Tapi, tidak mungkin aku tunjukan kepada temanku. Takutnya
nanti aku tidak terlihat keren. Jadi, berpura-pura adalah cara
yang menurutku benar untuk situasi ini.
“Terus, kamu ke sana sendiri?”
Jebakan telah diletakkan. Sesuai prediksi, dia
memintaku untuk menggantikan temannya yang berhalangan
datang. Mengapa aku senang dengan ini semua? Karena sudah

29
sekian lamanya aku dapat bertemu dengan orang lain di luar
lingkungan hidupku yang biasanya. Keluarga, sekolah,
tetangga, dan yang lain yang sering aku temui. Jadi ini bagiku
adalah kesempatan yang berharga untuk menambahkan
setidaknya satu orang lagi ke dalam hidupku.
Kami memilih untuk berkumpul pada sore hari di kedai
kopi dekat rumah temanku. Jumlah orang ada 4, aku dan
temanku, lalu kenalan baru yang akan membawa temannya
juga. Kedua orang yang membuat pertemuan sudah sampai
lebih dulu. Dari yang aku tahu, mereka berdua sangat terus
terang dalam chat mereka. Jadi, kagetnya aku melihat mereka
berdua bertemu empat mata namun tidak berbicara sedikitpun.
Suasananya pun sangat canggung dan aku yang baru sampai,
tidak tahan melihat seperti itu. Duduk di tempat mereka, aku
mulai bertanya-tanya, mencoba untuk memulai percakapan.
Agar suasananya tidak seperti sedang menjenguk orang sakit
atau menunggu hasil pemeriksaan dokter.
Namun, dua lawan satu bukanlah peluang yang besar.
Segala usahaku hanya dibalas dengan jawaban satu sampai tiga
kata. Aku merasa gagal membuat api, percikanku tak berdaya.
Semua itu berubah ketika orang terakhir datang. Dia
masuk dengan penuh energi dan akhirnya peluang untuk keluar
dari suasana menyesakan ini menjadi imbang. Dua orang yang
pendiam dan dua orang yang ingin memulai percakapan.
Mungkin aku mengira dua orang yang diam itu akan ikut.
Betapa salahnya perkiraanku itu. Tidak masalah, karena
sekarang jadi terbagi dua. Temanku yang lagi diam dengan
kenalannya, dan aku dengan teman baruku yang sedang seru
bercanda denganku.

30
Perkemahan
Oleh : Christopher Adrian XIA6/9

Seorang anak bernama Tono memiliki salah satu


pengalaman paling berkesan di hidupnya, tepatnya pada
tahun 2015 ia menjalani camping dari sekolahnya, Tono
yang biasanya sangat malas tetapi karena paksaan dari
pihak sekolah maka akhirnya ia mengindahkannya,
walaupun ia melupakan kondisi badannya yang pada saat
itu masih kurang bugar dan segera meminta izin untuk
mengikuti camping tersebut kepada kedua orang tuanya.

Keesokan harinya, berangkatlah rombongan


perkemahan Tono. Mereka menuju ke salah satu bumi
perkemahan di daerah Bandung dengan menggunakan
truk tronton yang memakan waktu kurang lebih 6 jam dari
siang hari hingga sore hari, perjalanan yang memakan
waktu sangat lama ini membuat Tono menjadi
memikirkan pilihan yang telah dibuatnya itu, selain itu
perjalanan yang panjang ini membuat kondisi badan Tono
yang sebenarnya sedang kurang bugar menjadi semakin
parah, sesampainya di lokasi tersebut Tono terlihat pucat,
walaupun pucat dan mulai merasakan demam yang
semakin tinggi, Tono memilih untuk tidak
memikirkannya dan terus menjalani aktivitas perkemahan
yang dimulai dengan tracking menuju ke tempat akhir dari
perkemahan selama kurang lebih 6 jam.

31
Seiring berjalannya waktu selama tracking dan
sudah menempuh perjalanan selama kurang lebih 3 jam
tanpa ada istirahat, Tono mulai kehilangan fokusnya,
sering kali Ia salah berbelok pada saat ada tikungan di rute
pendakian sehingga membuat teman-temannya cukup
kerepotan karena harus selalu memperhatikan dimana
posisi Tono karena tanpa mereka Tono sudah pasti
hilang, Ditambah di situasi yang sudah memburuk ini
datanglah masalah kedua yang cukup serius bagi Tono
yaitu demam dan flu yang diidapnya semakin parah yang
menyebabkan sakit kepalanya Tono semakin parah dan
berujung pada ia banyak melamun.

Banyak melamun yang disebabkan oleh sakit


kepala yang semakin menjadi di Tono mulai
menunjukkan dampak yang semakin parah pada Tono,
disamping perjalanan yang masih setengah jalan lagi dan
situasi cuaca yang juga mulai memburuk juga menambah
keruh situasi, medan perjalanan yang semakin berat
dikarenakan licin terkena hujan juga menambah masalah
yang sudah cukup banyak. Disini Tono dan teman-
temannya mulai menghadapi masalah-masalah, Tono
yang sudah semakin tidak fokus menjadi banyak
melamun yang berujung pada suatu saat ia tidak
memperhatikan jalan yang berujung pada terpelesetnya
Tono dari tebing hingga membuatnya hampir jatuh ke
jurang, beruntung salah seorang temannya dengan sigap
langsung menolong Tono dan menariknya dari tebing,

32
nama temannya itu adalah Liam, setelah itu Liam
memastikan Tono tidak apa apa dan bertanya apakah
Tono membawa obat, sesegera mungkin Tono mencoba
merogoh kantong di tasnya yang Ia yakini sudah diisi
dengan perlengkapan medisnya, tetapi kesialan
nampaknya semakin menghantui Tono, ternyata disaat ia
terjatuh ke di tebing tersebut kantong yang ia sematkan di
salah satu sisi di tasnya terjatuh ke dalam jurang sehingga
membuat segala obat-obatan yang dibawa Tono ikut jatuh
Bersama kantong tersebut, ditambah Liam yang juga
ternyata tidak membawa obat-obatan jenis apapun,
membuat mereka kehabisan cara lagi selain berusaha
secepatnya untuk mencapai kemah dan berharap para
guru membawa obat-obatan yang sesuai dengan penyakit
Tono.

Setelah kurang lebih 3 jam berjalan akhirnya


mereka sampai di bumi perkemahan, Tono langsung
dibawa ke tenda medis untuk mendapatkan obat dan Tono
menghabiskan hari pertamanya tidur di dalam tenda
medis, beruntung obat-obatan tersebut cukup manjur
untuk Tono sehingga pada keesokan harinya Tono sudah
merasa lebih baik dan bisa menjalankan sisa harinya
dengan baik, dari perjalanannya yang tak terlupakan ini
Tono merasa sengat berterima kasih kepada semua teman-
temannya terutama Liam karena tanpa mereka belum
tentu Tono dapat mengatasi semua rintangan di dalam
perjalanan yang sangat berat tersebut.

33
Pembunuh Maha Bakshi
Oleh : Danin H.J. XIA6/10
Di seberang timur sana terdengar teriakan jawara
dan hantaman besi-besi pedang. Jawara-jawara tersebut
mengasingkan akal sehatnya untuk menjadi tangan kanan
Ken Bhina. Teriakan para penonton bergema, mengirim
pesan ke seluruh nusantara bahwa Ken Bhina sedang
mencari tangan kanan. Tawaran itu membawa seluruh
jawara di timur untuk berkumpul di lapangan Kerajaan
Maha Bakshi, mengadu ahli dan ilmu. Setelah beberapa
malam dan ratusan yang tumbang, tersisa Ki Angrok
dengan keris saktinya melawan Ki Badhok dengan ilmu
titisan baratnya. Perkelahiannya sangat sengit, bagaikan
naga barat dan naga timur yang amarahnya tak pernah
surut selama ratusan abad. Sorakan penonton semakin
lantang, bergemuruh senada dengan Ki Angrok dan Ki
Badhok. Ken Bhina pun terkesima dengan pementasan
dua naga ini, dia sadar bahwa hal ini bukan pemandangan
yang mudah dijumpai. Pada akhirnya, Ki Badhok
memiliki kerik Ki Angrok di lehernya, di genggam
dengan kuat. Ki Angrok menawarkan nyawa Ki Badhok,
tetapi ia pantang menyerah, hal itu diluar prinsipnya dan
Ki Angrok terpaksa melakukannya. Ki Angrok
menandakan kemenangannya dengan kepala Ki Badhok
yang sudah terpisah dari tubuhnya.

34
Kemenangannya dirayakan dengan meriah
sebagai akhir dari sayembara untuk mencari tangan kanan
Ken Bhina. Dengan Ki Angrok yang menjadi juara, dia
mendapatkan 1500 keping emas dan kehormatan untuk
berada di samping Ken Bhina jikalau sedang dalam
peperangan. Raja ketiga Maha Bakshi itu mengundang
seluruh rakyatnya untuk merayakan akhir dari sayembara.
Pesta rakyat seakan sudah tahun baru, ramuan arak dari
negeri barat, babi guling yang menjadi santapan utama.
Diantara keramaian dan hiruk pikuk pesta rakyat,
terdengar hentakan tapal kuda. Sam Saimunar, komandan
pos pertahanan Maha Bakshi tiba. Mukanya tampak
kelelahan tapi khawatir. Tergesa-gesa ia menuju Ken
Bhina “Ken Bhina, para kompeni akan menyerang Maha
Bakshi.” Kata Sam Saimunar dengan ngos-ngosan. Dalam
satu sisi Ken Bhina merasa lega karena sayembaranya
sudah selesai tetapi dia juga cemas karena beberapa
kerajaan hindu yang dia dengar jatuh di tangan Belanda,
katanya mereka memiliki senjata asing yang melontarkan
bola besi dengan ledakan. “Jika kompeni menyerang kita,
mungkin kita tidak bisa menanganinya, Sam sebaiknya
kau kembali ke pos pertahanan, kirim pesan ke kerajaan
apabila kompeni menyerang, dan lihat apakah mereka
bawa senjata asing itu atau tidak.” Ken Bhina berkata
dengan tegas. Siap siaga menerima perintah raja Maha
Bakshi, Sam Saimunar dan anak buahnya bergegas
kembali ke pos pertahanan.

35
Pos pertahanan kerajaan Maha Bakshi terletak
tidak terlalu jauh dari pusat Kerajaan Maha Bakshi.
Memperlukan sekiranya dua malam dengan berkuda,
sebetulnya satu malam pun cukup tetapi para rombongan
harus melewati hutan yang dipenuhi oleh binatang buas
dan manusia liar, resikonya tidak sepadan. Maka dari itu
mereka harus memutari pinggiran hutan yang merupakan
jalanan umum orang-orang disana. Sam Saimunar dan
para anak buahnya datang tepat waktu di pos pertahanan.
Perintah pertama setibanya disana pada anak buahnya
adalah untuk melipat gandakan penjaga dan untuk lebih
waspada apabila kompeni sudah berada di pintu depan
Maha Bakshi. Malam ketiga setelah kedatangan mereka,
aroma-aroma kompeni sudah mulai tercium di pos
pertahanan. Pasukan Belanda datang tanpa malu, ratusan
pasukan berkuda dan puluhan Meriam siap menyapa pos
pertahanan. Sam Saimunar pun sadar bahwa ia tidak
punya banyak waktu, ia mengirim pesan ke Ken Bhina di
Kerajaan Maha Bakshi untuk melarikan diri dan
memindahkan kerajaan Maha Bakshi jika ingin bertahan
karena kompeni membawa pasukan diluar pengertian
mereka dengan senjata-senjata asing yang dapat
menghancurkan apapun yang menghalanginya. Sam
Saimunar mengirim pesannya dengan burung kerajaan
yaitu burung merpati putih, mengirim pesan dengan kuda
bukanlah pilihan karena membutuhkan waktu yang lebih
lama memutari pinggiran hutan. Dalam kegentingan ini
pos pertahanan sudah menjadi lapangan demonstrasi

36
kapabilitas meriam Belanda. Dengan mudah Belanda
mengubrak-abrik pasukan pos pertahanan dan mereka
terpaksa mempertahankan pos mereka. Tidak sampai satu
malam pos pertahanan dibobol oleh pasukan Belanda,
yang tersisa hanyalah puing-puing, mayat, dan burung
merpati putih yang sudah terbang tinggi.
Burung merpati putih terbang hanya dengan satu
tujuan, matanya tidak sekali melihat ke bawah, hanya ke
depan dimana tujuannya berada, Maha Bakshi. Di dalam
hutan itu terdapat pemburu yang hari-harinya di hutan
tidak pernah sama satu dengan yang lain, karena di dalam
hutan itu selalu saja terjadi hal-hal yang tidak diduga. Hari
ini dia belum menemukan makanan, bukan hari ini saja,
sudah 5 hari pemburu itu hanya makan dedaunan.
Senapan di tangannya ia genggam dcngan erat, namun
sudah lam tidak ditembakkan. Ketika fajar menyerang
burung putih itu tampak berkilau dari atas sana dan
karenanya tatapan pemburu itu terpaku pada putihnya.
Segera ia mengeker burung itu dengan senapannya. Ia
baru sadar bahwa burung itu adalah burung merpati,
burung kerajaan. Tetapi ia tidak ingin memercayainya,
tidak ingin tahu. Pemburu itu membohongi dirinya sendiri
“Ah, itu hanya cahaya matahari saja yang membuatnya
tampak putih.” Ia mencari pembenaran atas sesuatu yang
akan dilakukannya meskipun ia tahu membunuh burung
kerajaan dapat membahayakan nyawanya sendiri. Ia
membiarkan emosinya mengelabui akalnya dan menarik
pelatuk senapannya.

37
Ken Bhina belum mengatehui apa yang akan
dihadapinya. Burung merpati putih itu tak kunjung datang
dan Ken Bhina pun tidak mengetahui akan kedatangannya
pula. Beberapa hari tanpa kabar membuat ia berpikir
bahwa berita ini hanya angin lalu. Pikirannya itu cepat
dipatahkan, ketika malam tiba tidak lama bagi Belanda
untuk datang, bukan untuk berunding karena sapaan
pertamanya adalah ledakan Meriam. Bagi Maha Bakshi
bunyi itu adalah terompet perang. Ken Bhina segera
mengumpulkan seluruh pasukannya, termasuk tangan
kanannya, Ki Angrok. Pasukan Maha Bakshi tidak
sebanyak pasukan kompeni. DIbanding kompeni,
persenjataan pasukan Maha Bakshi juga jauh tertinggal.
Tapia pa yang kiranya mereka dapat perbuat, melarikan
diri sudah tidak mungkin karena kompeni sudah terlalu
dekat. Tampak semuanya sudah siap mati, apalagi Ken
Bhina, ia tidak mau melepas kerajaan yang dibangun oleh
kakeknya itu. Di malam itu, Kerajaan Maha Bakshi
runtuh. Di dalam hutan, pemburu itu tidak henti
menyantap burung hasil tembakannya itu, belum pernah
ia makan burung yang lebih enak dari ini. Enggan
memercayai apa yang telah diperbuatnya, membunuh
Maha Bakshi.

38
An S.O.S.
Oleh : Jeremia Parningotan XIA6 /11
Ia duduk termenung sendiri di kamarnya yang temaram
sambil memeluk gulingnya. Perlahan-lahan air menyusuri
pipinya. Tanpa sadar, guling yang ia peluk semakin dingin,
sedingin hatinya yang kosong. Sendirian sudah biasa baginya.
Ia hanya mempunyai satu sahabat. Sahabatnya ini sangat setia
dan selalu ada di dekatnya. Nama sahabatnya adalah kesepian.
Budi namanya, ia sangat beruntung memiliki ayah dan ibu yang
sangat perhatian. Ayah dan ibunya selalu memperhatikan
pekerjaan dan urusannya masing-masing. Setiap kali di rumah,
Budi tak diperhatikan dan bahkan sering dimarahi.
Rutinitasnya sebelum berangkat ke sekolah adalah memasang
topeng wajah yang melengkungkan senyuman dan
mengeringkan air mata.

Di sekolah, Budi seringkali terkucilkan. Pernah sekali


ia mencoba untuk duduk disamping Farel, salah satu anak yang
populer di SMA nya. Budi merasa diterima oleh Farel dan ia
merasa sangat senang. Ia merasa akhirnya ada orang yang mau
menjadi teman nya. Akan tetapi, kegembiraannya segera
berakhir karena Farel hanya menjadikan Budi sebagai bahan
ejekan karena fisiknya yang jelek dan kemampuannya yang
kurang. Satu-satunya alasan Farel mau duduk bersebelahan
dengan Budi adalah ia ingin mencari hal-hal yang bisa diejek
dari Budi. Selama 1 hari penuh, Budi diejek dan dihina oleh
siswa dan siswi lain. Akibat hal tersebut, Budi ingin sekali
pergi dari sekolah. Akan tetapi, ia tak tahu akan pergi ke mana.

39
Ia merasa tak ada satu orangpun yang menginginkan
kehadirannya. Alhasil, ia menangis di toilet sekolah. Karena
tangisannya cukup terdengar, Nathan yang merupakan jagoan
sekolah langsung merekam tangisan Budi lalu dikirim ke media
sosial. Disana tertulis "Tadinya gw kira hantu, ternyata ANSOS
wkwkwk." Melihat hal tersebut, Budi semakin terpukul.

Akhirnya tibalah jam pulang sekolah. Ia menggunakan


ojek untuk pulang. Sesampainya di rumah, ia tak mempunyai
teman ataupun keluarga yang dapat dijadikan tempat untuk
mencurahkan isi hatinya. Ia hanya bisa diam dan menangis
meratapi nasibnya. Dari sore sampai malam, ia sibuk dengan
HP-nya karena itulah satu-satunya temannya. Setiap kali yang
membuka Instagram, ia melihat ke depan orang lain yang
sangat bahagia. Ia melihat Rendi yang memiliki nilai yang
bagus, teman yang banyak, dan pacar yang cantik. Saat ia
sedang berkhayal untuk bisa seperti Rendi, tiba-tiba ayahnya
yang sedang mabuk masuk ke kamarnya lalu memaki-maki
Budi. Setelah memaki-maki Budi, ayahnya keluar
meninggalkan Budi yang syok, stres, dan tertekan.

Setelah hal tersebut, Budi tidur dalam tangisan.


Keesokan paginya ia terbangun lalu bersiap untuk ke sekolah.
Sesampainya disekolah, ia hanya bisa tertunduk dan langsung
mengambil kursi di belakang kelas. Tak ada satu pun orang
yang mau berada di dekat Budi. Sebenarnya Budi adalah orang
yang sangat baik. Akan tetapi, siswa populer menjadikannya
sebagai bahan lelucon yang membuat Budi dijadikan lelucon
oleh satu sekolah. Pada suatu ketika, Budi melihat ada siswa

40
yang cantik. Awalnya ia tak percaya diri, akan tetapi ia
memberanikan diri untuk berkenalan. Namanya adalah
Angel. usut punya usut, Ia adalah orang yang sangat populer
di sekolahnya. Budi pun langsung sadar diri untuk tidak
melanjutkan hubungannya dengan Angel.

Angel yang merupakan siswi dari SMA lain rupanya


disukai oleh Farel. Farel yang mengetahui bahwa Budi
berkenalan dengan Angel langsung berang. Farel langsung
merencanakan cara untuk memberi pelajaran kepada Budi.
Farel dan kelompoknya akan menghasut seluruh sekolah untuk
mengejek Budi. Farel bahkan menghilangkan tas Budi yang
berisi buku dan kunci rumah milik Budi. Farel juga
mengkoordinir anggota kelompoknya untuk memesan setiap
ojek pangkalan yang ada agar Budi sulit untuk pulang. Farel
memerintahkan Nathan untuk mengambil HP Budi yang
sedang diisi baterainya. Budi pun tak tahu caranya pulang dan
harus mencari kunci rumahnya. Ia melapor pada guru akan
tetapi guru yang ada tak peduli dengannya. Walaupun begitu,
ia memutuskan untuk berjalan kaki ke rumahnya dan untung
saja ada pembantunya untuk membukakan pintu. Ia langsung
masuk kamar lalu menangis. Ia bahkan berpikir untuk bunuh
diri. Hatinya sudah kosong dan sekarang psikologi nya cukup
terganggu.

Keesokan harinya, Budi tak masuk sekolah. Ia duduk


di warung yang ada di belakang sekolah sambil memakai
masker dan sarung tangan. Ia menunggu sampai bel pulang
sekolah. Setelah ia melihat Farel, ia mengikuti dan mengamati

41
tindakannya. Sudah seminggu ia mengamati Farel. Suatu hari,
Budi menyusup ke rumah Farel mengambil HP Farel, HP-nya
disembunyikan, dan meracuni anjing kesayangan Farel. Semua
pakaian Farel bahkan diambil oleh Budi. Keesokan paginya,
Farel dan keluarga sangat terpukul dengan peristiwa yang
terjadi lalu melaporkan hal ini ke polisi. Polisi menyelidiki
CCTV rumah namun tak menemukan petunjuk. Anehnya lagi,
seluruh kabel telepon dan alat komunikasi yang ada di rumah
Farel tak bisa berfungsi. Telepon genggam orang tua Farel pun
hilang tanpa jejak.

Pada Sore harinya Farel meninggal karena sudah


muntah-muntah darah selama setengah jam. Itulah yang
diketahui sekolah dari orang yang menelepon tata usaha
sekolah dengan nomor telepon orang tua Farel. Orang tersebut
juga meminta agar pihak sekolah dan teman yang ingin melayat
boleh langsung ke Rumah Duka Alam yang berada di dekat
rumah Farel. Akan tetapi, karena sekolah baru menerima berita
tersebut pada sore hari, maka pihak sekolah menyampaikan
bahwa kemungkinan besar tak akan ada yang hadir ke rumah
duka karena pada sore tersebut seluruh guru dan siswa dari
setiap jenjang kelas akan melakukan kegiatan di luar sekolah.
Akhirnya sang penelepon pun berkata bahwa tidak apa-apa dan
ia hanya meminta doa. Pihak sekolah juga memutuskan untuk
tak mengabari siswa atas meninggalnya Farel. Beberapa guru
memang mengetahui bahwa Farel sudah meninggal dunia, akan
tetapi mereka diimbau untuk tidak memberitahu siapa pun
sampai kegiatan selesai agar tak menghambat dinamika yang
sedang berjalan.

42
Karena harus berurusan dengan polisi dan pihak-pihak
lainnya mengenai kejadian di rumahnya, orang tua Farel baru
bisa datang ke sekolah pukul 17.00 untuk memberitahu
keadaan Farel yang sebenarnya. Sayangnya, pada pukul 15.00
seluruh guru dan siswa sudah pergi. Penjaga keamanan sekolah
lah satu-satunya orang yang terlihat. Orang tua Farel akhirnya
menitipkan catatan pada penjaga keamanan sekolah untuk
nantinya diberikan kepada tata usaha sekolah. Betapa
terkejutnya orang tua Farel saat melihat semua ban kendaraan
mereka berada dalam kondisi yang sangat kempes. Pada saat
itu pun tak ada satu pun ojek pangkalan yang terlihat. Alhasil
orang tua Farel tak punya pilihan lain selain pulang dengan
kedua kakinya.

Sesampainya di rumah, orang tua Farel langsung


duduk di sofa. Farel langsung bertanya dengan nada tinggi di
manakah mobil mereka dan meminta dengan paksa untuk
diantar ke tempat kegiatan sekolah. Perpaduan antara stres dan
lelah atas peristiwa yang belakangan ini terjadi lalu ditambah
Farel yang bertingkah memantik amarah Ayahnya. Ayahnya
langsung membentak lalu memukul Farel. Ibunya yang
berusaha untuk melindungi Farel, tak sengaja terkena pukulan
ayahnya. Akibat hal tersebut, ayah dan ibu Farel pergi ke kamar
yang berbeda. Ayah Farel yang baru saja menerima laporan
bahwa perusahaannya sedang kacau akibat terputusnya
komunikasi dengan pimpinan langsung stres. Begitu ia melihat
Farel, Ia langsung menghajarnya habis-habisan. Ia langsung
masuk ke kamarnya lalu menangis. Sekarang Farel merasa
sangat kesepian. Ia tak memiliki siapa-siapa untuk dijadikan
teman. Tiba-tiba ia teringat atas seluruh tindakannya pada Budi

43
dan sekarang ia merasakan apa yang dirasakan Budi. Ia
langsung berdoa untuk diberi maaf dan diberi petunjuk oleh
Tuhan. Keesokan harinya, Farel pergi ke tempat Budi. Farel
mengetuk pintu lalu Budi membukakan. Entah mengapa,
mereka berdua langsung terikat dalam suatu ikatan emosional.
Mereka pun bercerita panjang lebar dan Budi mengakui seluruh
perbuatannya. Farel pun membawa Budi bertemu orang tuanya
untuk mengakui perbuatannya. Mendengar penjelasan Farel
dan Budi, orang tua Farel memutuskan untuk memaafkan
seluruh perbuatan Budi dan akan meluruskan laporan kematian
Farel kepada tata usaha sekolah. Orang tua Farel bahkan
mengatakan pada tata usaha sekolah untuk tak menjatuhkan
sanksi pada Budi dan menjaga agar kasus ini tak diketahui
siapapun. Pihak sekolah pun setuju dengan hal tersebut.

Singkat cerita Budi dan Farel menjadi sahabat. Mereka


saling membantu dan mereka berdua bisa menjadi anak teladan
yang terkenal. Mereka mempunyai misi yang sama yaitu
menjaga kesehatan mental dan menghilangkan KDRT. Setelah
lulus SMA dan kuliah mereka berdua mendirikan lembaga
yang terfokus pada misi mereka. Mereka menjadi pembicara
yang terkenal. Alhasil mereka berdua bisa hidup sejahtera dan
berguna bagi sesama.

44
Pertandingan Menyelamatkan
Manusia
Oleh : Jonathan Adrianto Saleh XIA6/12
Tahun 2020, kontak pertama manusia dengan alien
berhasil dilakukan. Sebuah ras yang menyebut mereka dengan
nama Mavericks mengirim pesan melalui satelit NASA, “Hai
Umat Bumi 64, kami menantang kalian dalam sebuah
permainan basketball. Satu pertandingan. Jika kalian menang,
kami akan meninggalkan bumi kalian. Jika kami menang, maka
semua ras kalian akan kami habisi, dan planet ini akan menjadi
milik kami. Kami akan tiba dalam 72 Jam Bumi.”

Seluruh NASA pun terkejut dan memberikan pesan


ini segera ke presiden Amerika Serikat. Maka dalam 24 jam,
pesan ini pun tersebar ke seluruh dunia, sambil para pemimpin
dunia, NASA, dan pemain basket terbaik membicarakan
mengenai langkah selanjutnya yang harus mereka lakukan.
Apakah mereka mencoba mengontak kembali, bersiap siap
untuk perang, apakah inilah akhir dari umat manusia?

Setelah mencoba mengkontak kembali para alien,


mereka kembali mendapatkan pesan “Ikuti perintah kami, atau
kalian semua akan mati sekejap”. Melihat kondisi ini,
dibuatlah keputusan agar dikirim tim basket terbaik di dunia
ini, memperintahkan agar semua negara bersiap-siap untuk
perang dan berdoa agar para pemain berhasil memenangkan
pertandingan. Tak disangka, keberlangsungan kehidupan di
bumi ini bergantung pada 1 pertandingan basket.

45
Hari kedua tiba, dan dibentuklah tim utama yang
disebut All Stars, terdiri atas pemain seperti Lebron James,
Kevin Durant, Stephen Curry, James Harden, Antetokounmpo,
Embiid, Anthony Davis, Damian Lillard, Paul George, dan
Kahwi Leonard, ditemani pemain dan pelatih legendaris,
seperti Michael Jordan, Shaquille O’Neal, dan lain-lain.
Mereka bersiap-siap untuk pertandingan terbesar dalam hidup
mereka.

Hari ketiga telah tiba, dan sebuah benda terbang


raksasa mendarat di tengah kota New York. Mellihat ukuran
dan bentuk benda tersebut, dunia pun berpikir, apakah kita bisa
melawan kekuatan seperti ini jika kita kalah? Di tengah
pesawat, terbuka sebuah lapangan basket besar, penuh dengan
penonton yang rupanya mirip dengan sosok manusia.
Lapangan ini pun dikelilingi helikopter untuk menyiari
pertandingan, dan para pemain pun mendarat di lapangan,
bersiap-siap untuk bermain. Seorang alien mempersilahkan
para pemain untuk bersiap-siap dan melakukan warming up
selama 1 jam, sebelum pertandingan dimulai dengan peraturan
sama.

Gregg Popovich, pelatih yang ditunjuk untuk melatih


para All Stars menjelaskan kembali semua hal yang mereka
sudah latih bersama, dan sebelum pertandingan dimulai
memberikan pesan sekali lagi “Nasib Umat Manusia berada di
tangan kalian, jika kalian kalah, maka tidak akan lagi basket
dan tidak akan ada lagi kehidupan. Berikan semua yang kalian
punya, dan kalian akan menjadi pahlawan dunia.” Lalu pemain
utama maju ke lapangan, yaitu untuk PG Stephen Curry, SG
James Harden, SF Lebron James, PF Kevin Durant, C
Antetokounmpo.

46
“And noww the starting lineup for our Martian
Mavericks . At PG, Marco ivanos, At SG, James Owen, At SF,
Patrick Star, At PF, Alberto Carlos, And at Center, the one and
only, Christopher Adrian.” Pemain Mavericks pun keluar
seketika disambut teriakan meriah dari penonton Alien. Namun
tak disangka, tubuh mereka yang cukup mirip dengan manusia,
membuat para All Stars kembali percaya bahwa mereka bisa
memenangkan pertandingan ini.

“Prittttt” , pertandingan pun langsung dimulai dengan


tip off dimenangkan oleh Antetokounmpo oleh All Stars.
Beberapa detik kemudian, Lebron James memberikan bola
kepada Kevin Durant, yang menembak tembakan 3 poin, dan
masuk. Namun para Maverick langsung membalas dengan
mencetak 4 poin berturut turut dari center mereka Adrian.
Harden mencoba melakukan drive ke tengah, namun usahanya
pun diblok dengan keras oleh Carlos. Para Maverick pun
menggunakan kesempatan ini untuk melakukan serangan
kembali dengan Patrick yang memasukan 3 poin. Sekarang
sudah terlihat jelas bahwa meskipun para Maverick memiliki
ukuran dan tampak badan yang sama, mereka memiliki
kecepatan dan lompat yang jauh lebih tinggi daripada Manusia
biasa, dan inilah mengapa mereka hanya memilki 5 pemain
saja, tanpa ada cadangan.

Quarter pertama diikuti dengan pembantaian keras


oleh para Maverick yang mencetak 25 poin total, dibandingkan
All Star yang hanya mencetak 15 dari jump shot, karena
serangan ke ring selalu berakhir dengan blok atau miss. “
Kalian masih terbiasa lengah di quarter pertama, dan ini harus
berubah. Ini bisa jadi pertandingan terakhir kalian, atau bahkan
hal terakhir yang kalian lakukan di hidup ini. Lakukan 100

47
persen, berlarilah, dan fokus kerja sama. Hari ini kita harus
menang.” Ujar coach Gregg menyemangati timnya.

Quarter kedua pun dimulai, dan Harden pun ditukar


dengan Kahwi Leonard. Langsung setelah istirahat, Leonard
melakukan serangan ke tengah dan memberikan passing ke
Curry yang mencetak 3 poin. Para All Star lalu mendapatkan
bola lagi, dan Curry kembali menembak 3 poin, diikuti and-one
dari James. Para Maverick pun terkejut dan melakukan alley
oop ke Adrian dan melakukan tembakan 3 poin dari Owen.
Pada akhir quarter kedua, Maverick hanya unggul 49 – 46 ke
All Stars.

Pertandingan selanjutnya itu berlangsung sangat


sengit dengan para pemain All Stars menghabiskan semua
tenaga mereka untuk terus mencetak poin dan melakukan
pertahanan yang baik. Tibalah quarter ke 4 dengan skor
Maverick 80 – 75 ke All stars. “Ini adalah 10 menit terakhir
yang paling berarti dalam hidup kalian. Pastikan kalian
memberikan segalanya. Saya yakin kalian pasti bisa menang,
jadi mari kita selamatkan bumi.”

Quarter ke 4 dimulai dengan Antetokounmpo


melakukan serangan dan dunk ke Alberto, yang meningkatkan
semangat All stars. Namun Para Maverick tidak mau kalah, dan
kembali mencetak 5 poin berturut turut dari Ivanos sehingga
perbedaan menjadi 8 poin. Mereka lalu saling bertukar poin
sampai sisa 2 menit waktu. James memberikan passing ke
Curry yang menembak 3 poin dengan dijaga ketat oleh Owen.
Terdengar suara peluit, dan bola masuk “And oneeee”, Curry
berhasil melakukan 4 point play yang menutupi perbedaan
hanya ke 4 poin.

48
Kemudian, Patrick melakukan serangan ke ring ingin
melakukan dunk, namun dari samping, James berhasil
menahan bola, dan didapatkan oleh Durant, yang melakukan
serangan cepat dan mencetak 2 poin sehingga perbedaan
menjadi 2 dengan waktu 1 menit lagi. Para Maverick kembali
memberikan bola ke pemain terbaik mereka, Adrian yang
mencetak 2 poin dari 35 terakhirnya. Namun All star tidak mau
menyerah, dan James memberikan bola ke Durant yang
berhasil mencetak 3 poin. Kemudian Adrian melakukan
serangan cepat ke ring dengan kecepatan tak manusiawi.
Akhirnya ia pun di foul dan melakuakan free throw 2 kali
dengan sisa waktu 3 detik. Namun pada free thow ke dua, ia
tidak berhasil membuka kesempatan ke All Stars.

Dari timeout, Gregg menggambar strategy serangan


terakhir untuk memberikan kesempatan Curry menembak 3
poin. Masih ada 1 kesempatan untuk menyelamatkan manusia.
Seluruh dunia menonton dan berdoa agar mereka bisa
memenangkan pertandingan. Lalu saat dimulai James
memberikan bola ke curry yang terbuka .......” BANGGGGG”
Sambil alarm waktu habis berbunyi, Curry berhasil menebak 3
poin terakhirnya, memenangkan pertandingan untuk
menyelamatkan bumi. Seluruh dunia bersorak sorai gembira,
dan All Star pun berlari memeluk Curry sambil menangis bisa
menyelamatkan bumi. Akhirnya para Mavericks pun menepati
janji mereka dan meninggalkan bumi, dan manusia pun
selamat. Sehari setelah pertandingan, para Mavericks
mengirim pesan lagi “Kami akan kembali lagi suatu saat, kalian
belum tentu akan beruntung lagi.”

49
KO-BLOG
Oleh : Kaloosh Falito Verrell XIA6/13

Lonceng pintu kafe berdering. Seorang pemuda


dengan rambut pirang dicat masuk pintu tersebut.
Aliyah memperhatikan langkah-langkah pemuda
tersebut dengan wajah menggerutu. Dengan kesal, ia pun
setengah berteriak, “Alasan lu telat lagi apa?”
Amarah Aliyah mengesankan bagi para pendatang
kafe, namun tidak satu pun yang menanggapi-nya.
Pemuda tersebut menjawab, “Gua sesat. Karena hilang
di mata lo.” Walaupun wajahnya memerah, dengan ekspresi
netral, Aliyah pun menjawab, “Lucu, Dex.”
Dex, atau juga dipanggil Dexter, adalah seorang
pemalas yang hanya berada di sekolah karena terpaksa. Pada
sisi lain, Aliyah adalah seorang murid teladan, ketua klub
drama dan siswi berprestasi dengan wajah yang diirikan
keseluruhan sekolahnya. Beberapa bulan yang lalu, mereka
tidak saling mengenal, bahkan mereka tidak pernah bertemu.
Tetapi, pada suatu hari, kepala sekolah memanggil
mereka. Dexter, yang sudah memegang 2 surat peringatan,
tidak terlalu terkejut sedangkan wajah Aliyah memucat dengan
syok. Ternyata, mereka berdua ditunjuk menjadi pengurus blog
Seragam Beragam, yaitu suatu blog curahan hati bagi banyak
siswa-siswi SMA di DKI Jakarta. Tokoh moderator blog
tersebut, dengan nama samaran “Putri Malu” adalah semacam
selebritas antara kalangan remaja.
Tentunya, pada mulanya, gagasan tersebut sulit
diterima oleh kedua pihak.

50
Dexter berkata, “Lagian, ngapain manggil-manggil
gue tengah malem? Bahkan maksa!” Jam kafe menunjuk waktu
11:00, dan langit diluar tentunya tidak cerah.
Dengan serius, Aliyah menjawab sambil memutarkan
layar laptopnya, “Karena Putri Malu baru menerima surel
penting.” Layar laptop Aliyah menunjukkan suatu surel dari
“H04X”.
Ekspresi Dexter memberat. “H04X” adalah nama
samaran klub TIK di sekolah yang memiliki reputasi sebagai
kumpulan sangat kompetitif. Setiap tahun, mereka berusaha
meraih juara pada lomba penciptaan blog nasional. Tetapi, blog
Seragam Beragam selalu menang juara pertama.
Ternyata, mereka rela menyembunyikan tangan dan
berat sebelah supaya menang.
Pada surel tersebut, tertulis, “Tutuplah blog Seragam
Beragam. Jika blog tidak ditutup pada pukul 24:00 besok,
identitas Putri Malu akan disebarkan dan diberitakan.” Mata
Dexter melebar. Ini adalah karena H04X memang mampu
melakukan hal ini. Mereka memiliki basis data dan identitas
keseluruhan SMA, termasuk guru dan karyawan. Kasus
identitas berbagai siswa-siswi disebarkan oleh H04X
berlimpah sepanjang sejarah sekolah. Bahkan, Dexter heran
mengapa hal ini tak terjadi sejak dahulu.
“Bahaya, Dex. Makanya, gue panggil. Gue akan lapor
ke kepsek, besok-besok klub TIK paling dipanggil dan..” ujar
Aliyah, namun dipotong oleh Dexter.
“Kita tutup saja.”
Ekspresi Aliyah berganti-ganti, dari kesal, marah, dan
bingung. “HAH?? Dex, lo gak serius kan? Ini tugas dari kepsek
sendiri, gak mungkin lo bisa lepas kayak gitu saja!”

51
“Bisa kok.”, ujar Dexter. Pada awalnya, Aliyah tidak
mementingkan kerjasama dengan Dexter, namun jika
menghadapi kemampuan kumpulan orang seperti ini, ia tidak
mampu berjuang sendiri. Aliyah berkata, “Dex. Ini bukan
sepele-pele. Bisa saja lo dikeluarkan sekolah karena ini.”
Tetapi, Dexter sudah memutuskan pilihannya. Menurut dia
sendiri, Dexter tidaklah seorang pengecut. Namun ia tahu jika
ada perjuangan yang tidak dapat dimenangkan.
Beberapa detik kemudian, Dexter keluar dari kafe dan
Aliyah tertinggal sendiri.
Esok harinya, Dexter pulang dari sekolah dengan
firasat buruk. Pada awalnya, ia mengabaikannya tetapi ketika
perasaan tersebut memburuk, ia terpaksa menanggapinya.
Satu-satunya cara ialah untuk bertemu dengan Aliyah. Malam
kemarin berada di benak Dexter sejak ia meninggalkan Aliyah
di kafe tersebut. Sekarang, ia berpikir ulang untuk
membantunya menghadapi kepala sekolah. Tetapi, ketika
Dexter tiba didepan kelas Aliyah, ia tak menemukannya.
“Bro. Lo dateng gak?”
Suara tersebut dimilikki teman dekat Dexter, Udin.
Dexter pun bingung.
“Ngapain?” tanya Dexter. Udin tertawa, lalu
menjawab, “Dex, lo belum tahu? Putri Malu, tahu kan? Kabar
angin, dia mau pergi ke klub drama abis pulang sekolah.
Makanya, banyak orang pikir dia anggota klub drama, karena
besok latihan terakhir sebelum pekan seni. Jadinya dateng
gak?”
Dexter tak bergerak selama beberapa detik. Ia
mengingat ancaman surel kemarin dan jantungnya berdetak
kencang. Ia pun lari dengan secepat-cepatnya ke ruangan
Audio-Visual, tempat latihan klub drama. Ketika ia tiba,

52
dugaan dia menjadi kenyataan. Ruangan Audio-Visual
terpenuhi dan sesak padat, dipenuhi berbagai siswa-siswi dari
sekolah lain dan wartawan serta jurnalis dari berbagai
perusahaan berita.
Pada saat itu, Dexter pun memikir dan merefleksikan
pada tindakannya kemarin. Jika ia tidak meninggalkan Aliyah
di kafe sendirian, mungkin saja segala ini dapat dicegah. “Saya
harus memperbaiki ini,” pikir Dexter. Setelah berpikir-pikir, ia
memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sangat bodoh,
irasional dan ceroboh.
Ia pun menanjak ke panggung utama, dan teriak
dengan sekeras-kerasnya, “Wawancara terbuka! Saya akan
menunggu di samping ruangan Audio-Visual, dan akan
mencoba menjawab pertanyaan sebanyak-banyaknya.”
Semua orang langsung diam. Selama beberapa detik,
suasana ruangan mencekik dan tegang. Seorang siswa pun
berseru, “Lo Putri Malu? Lo memang salah kelamin, atau..”
Dexter memotongnya dan berteriak balik, “Saya
melihat semua postingan dan pesan pribadi kalian. Saya bisa
membuktikannya.”
Ruangan sunyi. Dexter mengeluarkan handphone-nya,
dan membaca berbagai nama pengguna serta isi pesan pribadi-
nya yang ditujukan kepada Putri Malu. Muka dari banyak
siswa-siswi memerah dan bahkan beberapa segera keluar dari
ruangan itu. Tampaknya wartawan dan jurnalis memperhatikan
keadaan ruangan karena beberapa detik kemudian, Dexter
diserbu. Mikrofon dipaksakan didepan wajahnya, dan ia rasa
sesak dikelilingi banyak orang. Namun, ia tetap berusaha jalan
menjauhi ruangan Audio-Visual. Selama berjam-jam, ia
menjawab pertanyaan dari berbagai wartawan dan siswa-siswi.
Ia pun tidak pulang pada hari itu.

53
Maju beberapa tahun, Dexter lulus dari SMA. Selama
tahun-tahun terakhir di SMA tersebut, ia diejek dan dimaki-
maki secara berat-berat oleh banyak siswa lelaki. Ia diberi
berbagai nama sindiran, seperti “homo”, “gay’ dan lain-lain,
namun tidak sekali pun ia memperhatikannya. Ujung-
ujungnya, Dexter hanya memiliki Udin sebagai teman karena
peristiwa pada sore hari itu.
Pada suatu hari, ia sedang jalan ke kafe untuk minum
kopi sesuai rutinitas pagi. Namun, tiba-tiba, ia melihatnya.
Aliyah duduk di meja yang sama, dengan minuman
yang sama ketika Dexter meninggalkannya pada malam hari
itu. Seharusnya ia merasa marah dan kesal, tapi ia tidak merasa
emosi seperti itu.
Dexter mendekatinya. Aliyah sedang membaca koran,
namun belum menyadari Dexter.
“Lo ngapain disini?” kata Dexter. Aliyah berpaling
kepada Dexter dan tampak terguncang. Air mata menetes dari
mata Aliyah. Dengan suara kecil, ia berkata, “Dexter?”
“Iya. Gue Dexter. Gue nanya lagi, nih. Lo ngapain
disini?”
Aliyah mulai menangis. Bingung, Dexter mencoba
melipurnya. ‘Weh, weh. Sudah, sudah, tak usah nangis.” Ini tak
berhasil karena tangisan Aliyah semakin keras.
Dexter tetap linglung, tetapi tiba-tiba Aliyah mulai
tertawa. Sedemikian, Dexter mulai ikut tertawa bersamanya.
Mereka berhenti dan menetap satu sama lain.
“Lu goblok banget Dex.” Pada saat itu juga, Dexter
sadar situasi mereka. Ia pun bersenyum, “Sama-sama, Aliyah.”
Beberapa jam kemudian, mereka ngobrol. Berbicang
tentang sekolah dan kehidupan tampak nyaman untuk
keduanya. Ternyata, mereka berdua masuk ke perguruan tinggi

54
yang sama, di kota yang sama. Tahun-tahun berikutnya,
mereka pun bertemanan dekat dan tak pernah pisah dari satu
sama lain.
Dan itu, nak, cerita bagaimana saya bertemu dengan
ibumu.

55
Kala Senja Kian Temaram
Oleh : Leonardo Bambang H. XIA6/14
Pagi itu aku terbangun dengan setengah sadar. Secara
reflek aku melakukan rutinitas seperti pagi biasanya. Langit
kala itu begitu cerah, bahkan begitu cerahnya hingga aku tak
mengenali langit Jakarta yang biasanya kelam. Seperti biasa,
pagi selalu kuawali dengan doa, bilas muka, gosok gigi, lalu
bergegas bersiap menghadapi realita kehidupan remaja pada
umumnya. Entah mengapa, rumahku tak biasanya sesunyi ini.
Mungkin orangtuaku memang belum bangun, atau aku bangun
lebih pagi dari biasanya. Tanpa pikir panjang, aku melangkah
kaki untuk berangkat ke sekolah. Terasa seperti ada yang
janggal, tapi rasanya lebih baik aku abaikan firasat yang
mengganggu benakku ini.

Selang beberapa langkah keluar rumah, aku baru


menyadari semuanya. Sunyi yang tak biasa tersebut bukan
hanya firasat semata. Kebisingan lalu lalang lalu lintas lenyap
begitu saja. Bahkan tak ada satupun manusia yang kutemui pagi
ini. Mendadak aku merasakan ketakutan mendalam. Sesegera
mungkin aku berlari tanpa arah seolah dikendarai oleh perasaan
mencekam yang tak terbayangkan. Peradaban manusia, lenyap
dalam semalam.

Setelah kupikir lagi, rasanya konyol untuk berlari


tanpa arah tanpa, bahkan aku pun baru menyadari juga "Aku
ini lari dari siapa sih? Mengapa aku lari? Memangnya apa yang
harus ditakuti?" Memang, begitu memalukan rasanya. Tetapi
buat apa pula malu? Tidak ada juga yang melihatku. Lebih

56
tepatnya, aku tak melihat siapapun melihatku malu. Jadi, untuk
apa malu?

Ketakutan yang mencekam berubah menjadi teriakan


gila dan tingkah-tingkah aneh yang sebelumnya kupendam
sendiri. Karena tentunya tidak ada yang ingin melihatku atau
sekedar mendengar racauan dan makian serta tarian aneh yang
tak berirama sama sekali. Tetapi rasanya puas sekali untuk
bebas melakukan apa yang ku mau." Bebas. Bebas?" Pikirku
sekali lagi. Aku pun menyadari, aku bebas melakukan apapun.
Dunia seluruhnya sekarang jadi milikku sendiri.

Siang itu berdering sunyi. Tapi kesunyian tersebut


terpecahkan oleh kebisingan yang ku buat. Semua benda yang
ada di muka bumi, adalah milikku sekarang. Siang itu aku
habiskan di pusat perbelanjaan terbesar di ibukota. Dan aku
sendirian! Aku bebas mengambil apapun yang aku mau. Baju,
sepati, tas, aksesoris, apapun benda yang yang selama ini hanya
bisa kupandang lewat kaca etalase, telah menempel pada
tubuhku ini. Semuanya bebas kuambil. Tapi sayang, andai
restoran tetap buka dan ada seseorang yang mau memasakkan
makanan enak untukku, siang itu akan terasa sangat sempurna.
Akupun menyadari sesuatu, namun aku masih belum bisa
menyimpulkannya.

Rasanya senang aku bisa memiliki apapun yang


kumau. Bahkan sepeda motor terkeren di showroom bermerk
mahal sekalipun bisa kuambil dan kupakai dengan bebas.
Rasanya aku bisa berkendara kemana saja secepat apapun yang
ku mau. Namun untuk mengakhiri hari yang indah tersebut.
Aku memutuskan untuk pergi ke tempat aku biasa berkumpul
dengan kawan-kawanku.

57
Setibanya di taman tempatku biasa berkumpul. Aku
mendengar dengungan kesunyian yang mengganggu benakku.
Aku duduk di sebuah bangku, sambil berharap seseorang
datang untuk sekedar bercerita dan bersenda gurau persis
seperti sore yang biasanya. Bukankah betapa asyik ketika
banyak dari kawanmu berkumpul di satu tempat dan semuanya
bersenda gurau diiringi tawa yang tak berirama seolah bahagia
itu sangatlah sederhana.

Hampir terbenam matahari kurasa, namun langit yang


tadinya lembayung perlahan sinarnya memudar dan mendung.
Tak seorangpun datang. Tak pernah aku merasakan kesunyian
semencekam ini. Tadinya kesunyian tersebut dapat ku abaikan.
Tapi lama-lama kesunyian tersebut terasa seperti jeritan yang
mengoyakkan telingaku dan meminta untuk tidak diabaikan.
Rasa takut perlahan menggerogoti akal sehatku. Badanku
menggigil tidak karuan, bahkan inderaku mulai mati rasa. Tak
pernah ku sadari, kesendirian lama-kelamaan begitu
mematikan ketika kau mengabaikannya terlalu lama. Aku
butuh seseorang.

"SADARLAH!" Seketika aku mendapati diriku sendiri


berdiri tegak dihadapanku. Siapa manusia ini? Tidak. Apakah
dia manusia? Tidak, apakah aku masih waras? Sekiranya
ribuan pertanyaan terlontar di benakku pada detik itu juga.
Melihatku yang sontak kaget, ia tak bereaksi apapun. Ku lihat
dia memang sepertiku. Persis. Apakah aku sedang bermimpi?
"BANGUN!" Itulah kata kedua dan terakhir darinya yang
kuingat. Begitu singkat aku beralih menuju realitas yang lain.
Bahkan aku tak sempat menikmati guratan cahaya langit senja
yang kala itu hendak mendung. Kesadaranku terlempar pada

58
raga yang terlelap pulas, dan rasanya kesadaranku jatuh
menimpa ragaku tersebut

***.

Aneh rasanya. Akupun terbangun dalam perasaan


terkejut serasa aku baru saja jatuh dari suatu tempat. Pagi itu
begitu cerah. Tak seperti langit jakarta biasanya. Mungkin aku
bangun terlalu pagi. Namun ada sesuatu yang janggal.
Entahlah, kurasa firasatku tak jauh lebih penting dari rutinitas
pagiku. Semoga hari ini menjadi hari yang lebih baik.

59
1 Hari Lagi
Oleh : Marco Medhavanto XIA6/15
Aku terbangun di pagi hari mendengar jam weker. Aku
menoleh ke samping untuk mengecek jam dan memastikan
bahwa masih jam 5. Perlahan-lahan aku turun dari ranjang
untuk pergi ke toilet sebelum memutuskan untuk kembali ke
ranjang dan tidur lagi 15 menit. Tadi malam aku tidur pukul 1
pagi untuk belajar ulangan biologi.

Saat aku keluar kamar, jam di dinding sudah


menunjukan waktu 6.00. Aku bergegas memasukan buku dan
tugas ke dalam tas. Kemudian aku cepat-cepat mandi dan
memakai baju seragam. Selama melakukan hal tersebut aku
mencoba mengingat hal-hal yang aku pelajari kemarin malam
untuk ulangan biologi hari ini. Aku tidak bisa mengingat apa-
apa, 2 jam les kemarin beserta 3 jam belajar tidak membantuku
sama sekali.

Setelah aku melewati sesi ocehan orang tua tentang


mengapa aku tidak boleh tidur larut malam, aku memesan
Gojek untuk pergi ke sekolah. Sepuluh menit berlalu dan Gojek
masih belum datang, padahal jam sudah mmenunjukan waktu
6.40. Aku mencoba membuka HP dan ada pesan baru dari supir
Gojek, ‘OTW’. Frustasi, aku memutuskan untuk membuka
rangkuman ulangan di HP. Tiba-tiba nenek nenek meneriaki
aku, “Jangan main HP di pinggir jalan!”. Aku pun
mengurungkan niatku untuk belajar. Sudah berkali-kali dia
melakukan hal ini dan tidak ada gunanya dilawan. Beberapa
minggu yang lalu dia melempar HP lamaku padahal aku hanya

60
sedang chatting dengan teman. Untungnya Gojek datang tepat
waktu untuk menyelamatkanku dari ceramahnya.

Aku nyaris terlambat sampai ke sekolah dan begitu


saya sampai ke kelas pelajaran langsung dimulai. Aku belum
hafal materi sama sekali sehingga aku memutuskan untuk
diam-diam belajar. Materi yang diajarkan guru pada saat itu
dapat dipelajari di lain waktu, akan tetapi ulangan kali ini harus
di atas 90 kalau aku ingin lulus.

Satu demi satu bel pelajaran berbunyi dan istirahat tiba.


Pelajaran setelah ini adalah ulangan biologi. Teman-teman
saling bertanya soal apa yang mungkin keluar di ulangan dan
prediksi nilai masing-masing. Ada banyak yang bilang bahwa
mereka yakin akan mendapat di bawah KKM dan aku merasa
lega karena mengetahui bahwa tidak hanya aku yang tidak
hafal. Walaupun begitu aku tahu bahwa sebenarnya sebagian
besar dari mereka sebenarnua hafal dan hanya rendah hati. Pasti
hanya ada 5 atau 6 orang yang di bawah KKM.

Bel pelajaran berbunyi dan ulangan dimulai. Aku


menerima soal ulangan dan seketika itu juga aku lupa semua
materi yang aku pelajari. Soal esai yang ditulis dengan Bahasa
Indonesia terasa seperti ditulis dengan Bahasa Latin. Beberapa
soal yang awalnya aku yakin bisa kukerjakan satu per satu aku
isi dengan jawaban kosong. Setelah menghabiskan 1 jam
pelajaran berpikir tanpa hasil, aku hanya bisa pasrah dan
mengisi soal dengan jawaban asal.

Aku keluar dari ruang kelas dengan perasaan putus asa.


7 soal aku tanyakan ke teman, 7 jawaban semuanya salah.
Hilang sudah harapanku untuk naik kelas. Kalaupun ada nilai

61
tulis, pasti tidak akan di atas 70. Bahkan kalau aku entah
bagaimana bisa mendapatkan 75 di ulangan ini aku masih harus
mencoba mendapatkan nilai 90 di ulangan berikutnya.

Selama pelajaran-pelajaran selanjutnya aku tidak bisa


fokus. Habis sudah tenagaku untuk belajar biologi. Di
pikiranku terbayang-bayang masa depan di mana orangtuaku
tidak dipanggil ke sekolah. Mungkin di ulangan berikutnya aku
bisa mendapatkan nilai bagus sehingga hanya ada 2 nilai yang
dibawah KKM. Mungkin ulangan ini masih bisa mendapatkan
nilai cukup bagus karena jawabanku sebenarnya sedikit mirip
dengan jawaban yang benar. Mungkin guru akan salah
membaca jawaban dan memberikan saya nilai yang lebih
tinggi. Akan tetapi aku tahu hal tersebut tidak mungkin akan
pernah terjadi.

Aku pulang sekolah dengan perasaan lega. Bagian


tersulit bulan ini sudah terlewati. Walaupun kali ini mungkin
dapat nilai buruk, ulangan selanjutnya aku akan kerjakan lebih
baik lagi. Aku akan mencoba lebih focus mendengarkan guru.

Aku membuka catatan tugas di HPku. Besok ada 2


ulangan dan 3 tugas. Aku pasti bisa, Aku pasti bisa. Aku pasti
bisa.

62
CANDU
Oleh : Marvel Evorius Nugroho XIA6/16

Tok ! Tok ! Tok ! Aku mendengar suara pintu depan


terketuk,
“Siapa sih yang ngetok pintu tengah malam begini ,
bodo amat lah, “ Kataku dalam hati sembari membiarkan saja
ketukan itu.
Aku mencoba untuk diam saja, aku pikir mungkin ia
salah ketuk kamar. Tetapi, ketukannya makin lama makin
keras. Tiba – tiba …….
Kringggg!!! Alarm berbunyi begitu kerasnya sampai
membuat telinga berdengung.
“ Akhhh !!! Ganggu tidur aja sih ini alarm, “ kataku
dengan nada yang kesal.
Hai ! Nama gue Ardilo Fernand. Orang – orang biasa
manggil gue Arlo, dan inilah cerita gue.
Pada saat kelas 3 SMA di Bandung banyak orang yang
nanya ke gue “ Mau kuliah dimana “. Gue pun langsung bilang
“ Jakarta “. Banyak orang yang tidak percaya kepada gue.
Banyak orang bilang “ Disini banyak juga kok Universitas
bagus ngapain jauh – jauh disana “ dan “ Bahaya tau di Jakarta
banyak hal gak jelas “ dan banyak kata – kata menghasut gue
supaya kuliah di Bandung aja. Tetapi gue tetap berpegang
teguh akan keinginan gue. Orang tua gue akhirnya mengijinkan
gue buat kuliah di Jakarta asal jangan bertindak aneh – aneh
kek narkoba, hamilin anak orang ato pun nyolong. Yak gue
bilang,

63
“ Ya kali, Belajar doang kok gak aneh – aneh, “ Kata
gue ke orang tua gue.
Bulan – demi bulan berlalu dan gue menjalani
kehidupan gue sebagai seorang mahasiswa. Bangun, belajar,
main, nongkrong, tidur, bangun, belajar, main, nongkrong,
tidur, begitu terus menerus ada di kehidupan gue semasa
kuliah. Dahulu yang gue termasuk anak pendiem, adem ayem,
baik mulai berubah pada saat kuliah ini. Pola hidup gue yang
dulu cuman bangun, belajar, tidur semua berubah. Gue mulai
kenal yang namanya rokok, AMER atau anggur merah, dan
mabok mabokan. Selain itu gue juga mulai berani untuk
bersosialisasi, yang dulunya gue disebut anak “ ANSOS “
sekarang tidak lagi.
Pada saat kuliah ini gue punya banyak teman, mulai
dari teman nongkrong sampai teman belajar. Walaupun gue
punya banyak temen, tapi gue punya dua teman baik yang
selalu gue percaya. Namanya Irene dan Aldo. Aldo, Laki – laki
anak basket tingginya ya sebelas duabelas sama tiang lampu
merah, Kata orang sih dia keren makanya gak heran kalo dia
disukai banyak cewe maupun om - om . Irene, cewe, cantik,
pinter,senyumnya yang manis, baik maka gak heran kalau dia
banyak yang suka. Gue sih beruntung banget punya temen kaya
mereka Aldo suka ngajak gue nongkrong dan Irene yang selalu
ngingetin gue jangan aneh – aneh dan nemenin gue belajar.
Semua hal berjalan dengan baik sampai tiba – tiba, saat
gue nongkrong aldo ngasih gue semacam permen gue kira itu
apa kata dia,
“ Cobain aja ini, enak ,“ kata dia sambil ngasih gue
permen itu.

64
Gue pun yang penasaran mencobanya, saat masuk
pertama kali ke mulut rasanya enak, manis dan membuat aku
ketagihan.
“ Enak kan, nih mau lagi gak. Gue dikasih temen
basket gue. Katanya dari Afrika “ Kata Aldo sembari ngasih
gue permen lagi.
Setelah hari itu, gue tidak bisa hidup tanpa permen
tersebut. Rasanya kalo gaada permen itu gue bakal sengsara.
Dari rasa kecanduan itu merubah sikap gue, gue mulai sering
marah – marah, depresi, ngantuk dan malas kuliah. Semenjak
kenal permen itu gue mulai jarang masuk kuliah dan jika masuk
kerjaan gue ya hanya tidur kalo gak main HP. Banyak teman
yang mulai ngejauhin gue karena katanya gue aneh.
Sampai suatu minggu karena gue udah jarang masuk
semiggu Irene dateng ke kos-an gue.
“Lu kemana ? dari kemarin gue cariin, lu Sakit ? “
tanya Irene.
“ Gak, biasa aja kok gue sehat – sehat aja, “ Jawab gue.
Irene pun gue suruh masuk ke kos-an gue dan karena
di kos-an gue gaada apa – apa gue tawarin aja permen yang
dikasih aldo ke dia.
Dia pun kaget,
“ Eh inikan permen yang dilarang polisi, karena
katanya ada narkoba di dalemnya “ kata dia
“ Apaansih ini aja permen biasa, santuy aja kali “ Kata
gue.
Setelah berdebat panjang dengan Irene akhirnya dia
ngomong,
“ Gue kasih tau aja nih ya gimana perasaan emak lu,
bapak lu susah – susah cari duit ternyata anaknya narkobaan
pikir tuh, “ Kata dia “ Udah ah pulang aja gue, cape ngasih tau

65
yang bener ama orang yang batu kek lu “ Sambung dia sambil
pulang dan membanting pintu.
Gue sih bodo amat, namanya permen ya permen.
Begitulah pikiran gue. Mulai saat itu Irene kayak ngejauhin gue
dan setiap gue sapa dia selalu ngomong “ Urusin dulu tuh
permen “. Setiap chat di line maupun WA selalu di kacangin
ama dia. Sampai tiba – tiba gue liat di kampus banyak polisi
berdatangan menangkap Aldo dan teman basketnya karena
diduga telah menjadi bandar narkoba berbentuk permen
tersebut. Gue pun kaget dan langsung buru - buru pulang ke
kos-an gue
Sampai tiba – tiba tengah malam ketika gue sedang
ngerjain tugas kuliah ada yang mengetuk pintu gue. Gue diemin
aja abisnya gue pikir mungkin salah kamar kali dia. Tapi makin
lama ketukannya makin kencang sampai tiba – tiba ada suara
orang teriak. “ Woy buka Woy “ Gue yang kaget dan takut
langsung gue bukain pintu kamar gue dan ternyata yang
mengetuk pintu gue adalah orang yang menangkap aldo di
kampus tadi. Makin takut ampe keringet dingin dong gue.
Sehabis itu gue disuruh dia buat ke kantor polisi buat
ditanya – tanya. Gue jawab aja yang jujur gue kira itu permen
ternyata narkoba dan dia nanya gue nyimpen permen itu atau
tidak gue bilang iya dan gue kasih polisinya. Abis itu gue
ditahan sekitar 3 hari dan gue dibebasin karena gue hanya
sebagai korban dari tindakan aldo dan gue harus mengikuti
rehabilitasi yang ditetapin oleh polisi disitu.
Setelah kejadian itu gue mulai membuang kebiasaan
buruk gue dan gue minta maaf ke Irene. Dan untungnya dia
maafin gue dan janji bakal nemenin gue selama rehabilitasi dan
selalu jagain gue selama kuliah dan mungkin sepanjang hidup
gue.

66
Begitulah cerita singkat hidup gue selama kuliah di
Jakarta, Daerah yang asing bagi gue saat itu dan gue selalu
inget satu hal yaitu “ CANDU narkoba bahaya bagi hidup
kecuali CANDU cinta “.

67
Arvin sang Pemain Basket
yang Pendek
Oleh : Matthew Patrick XIA6/17
Arvin merupakan seseorang yang gigih sejak ia masih
kecil. Saat Arvin masih berumur enam tahun , Arvin sudah
diperkenalkan permainan bola basket oleh ayah Arvin. Sejak
saat itulah juga Arvin menemukan passionnya. Dari Arvin
umur enam tahun sampai ia SMP , bola basket merupakan
bagian dari kehidupannya. Arvin merasa tanpa basket ia tidak
akan bisa menjalankan hidupnya lagi , sampai seperti itulah
cinta Arvin terhadap permainan bola basket ini. Badan Arvin
tidak tinggi atau dapat dibilang pendek sehingga dapat menjadi
penghalang besar dalam karier basket Arvin. Walaupun begitu
Arvin tidak pernah menyerah dan terus gigih berlatih untuk
menutupi kekurangan yang ia miliki itu.

Tahun berganti dan kini saatnya Arvin mulai duduk di


bangku SMP. Arvin terkejut, karena di SMP barunya ada
banyak sekali peminat basket tidak seperti saat ia SD yang
dimana Arvin hanya bermain basket sendirian. Perasaan Arvin
bercampur-campur antara senang dan khawatir. Senang, karena
banyak yang seminat dengannya dan khawatir, karena banyak
pemain basket yang lebih tinggi darinya. Kekhawatiran Arvin
ternyata berdampak pada saat pemilihan tim-tim untuk
mewakili sekolah untuk pertandingan-pertandingan antar
sekolah. Arvin yang merasa kalah dengan pemain-pemain yang
lebih tinggi darinya membuat Arvin kalah mental dan akhirnya
bermain dengan gugup sehingga tidak dapat menunjukkan skill
yang ia punya sebenarnya. Akibatnya Arvin tidak dipilih untuk

68
bertanding mewakili sekolahnya, walaupun sebenarnya ada
tiga tim. Arvin merasa kecewa dengan dirinya sendiri, karena
masuk ke tim C , yang merupakan tim paling buruk diantara
ketiga tim saja tidak bisa. Arvin menanggapi kekecewaannya
tersebut dengan berlatih . Arvin berlatih dengan sangat keras
yaitu latihan shooting dengan 1000 kali percobaan dilanjuti
dengan latihan dribblingnya selama kurang lebih dua jam setiap
harinya. Namun sampai lulus SMP –pun, Arvin tidak pernah
dimasukkan tim oleh pelatihnya.

Waktu berlalu dengan sangat cepat bagi Arvin yang


setiap harinya berlatih dengan keras , tanpa ia sadari sudah
saatnya ia melanjuti pendidikannya di SMA dan saat itulah juga
Arvin berjanji kepada dirinya sendiri untuk masuk tim basket
SMAnya. Kebetulan SMP dan SMA Arvin sama yaitu di
Kolese Kanisius sehingga banyak yang tahu bahwa Arvin rajin
berlatih namun tidak pernah masuk tim basket ,tim C sekalipun
juga tidak. Arvin sering diledek di kelasnya dan salah satunya
yang memulai adalah murid yang bernama Mamat.“ Woi Vin,
tahun ini masuk tim ga kira-kira? HAHAHAHA” ledek
Mamat. Arvin menjawab dengan tegas bahwa ia pasti dapat
masuk tim basket pada tahun pertamanya di SMA Kanisius ini.
“ Mana mungkin lah lu pendek gini” ledek Mamat lagi. Satu
kelas ketawa , kecuali satu murid yang bernama Kenneth.
Kenneth merupakan murid baru dan juga seorang penggemar
permainan bola basket. Kenneth lalu mendekati Arvin. “
Jangan didengerin fokus aja sama permainan basket lu” ujar
Kenneth kepada Arvin. Sejak saat itu Arvin dan Kenneth mulai
berteman baik. Kenneth memiliki postur tubuh yang tinggi dan
cocok untuk menjadi pemain basket. Kenneth juga memiliki
skill diatas semua pemain basket di SMA Kanisius bahkan juga

69
seniornya. Arvin tidak terkejut Kenneth akan langsung
dimasukkan ke tim inti . Namun Arvin sama sekali tidak
dipandang oleh pelatihnya walaupun Arvin pandai mencetak
three-point ,karena pelatihnya menganggap pemain basket
yang pendek tidak akan terlalu berguna di dalam pertandingan
sesungguhnya.

Setiap tahunnya ada yang namanya pertandingan


basket yang diperuntukkan sekolah-sekolah SMA di Indonesia.
Tentu saja Kanisius berpartisipasi dalam pertandingan tersebut.
Kenneth yang merupakan pemain terbaik SMA Kanisius juga
tentu mewakili Kanisius bersama pemain-pemain lainnya yang
ada di tim A SMA Kanisius. Pada tahun ini juga pun Arvin
tidak dimasukkan tim sama sekali namun ia membuat sebuah
perkembangan yaitu Arvin dimasukkan ke dalam tim B. Arvin
merasa senang namun belum juga puas , karena Kenneth
berkata ia akan menunggu kedatangannya di tim A. Walaupun
Arvin tidak bertanding di DBL, ia tetap bertanding di
pertandingan sekolah lain. Performa bagus Arvin di
pertandingan- pertandingan tersebut dan tim A yang bertanding
di DBL kalah di perempat final ,membuat pelatih basket SMA
Kanisius menyadari bahwa dengan kedatangan Arvin di tim A
akan membuat sebuah perbedaan. Sehingga pada saat Arvin
kelas 11 ia dimasukkan ke tim A untuk mewakili Kanisius di
DBL. Arvin dan Kenneth dengan tim A lainnya berjuang untuk
membawa Kanisius supaya juara di DBL tahun ini, namun
sayangnya mereka hanya dapat berjuang sampai perempat final
lagi seperti tahun sebelumnya. Arvin yang sudah berjuang
menangis, begitu juga Kenneth. Mereka berdua berjanji untuk
membawa pulang juara pertama balik ke Kanisius tahun depan.

70
Satu tahun berlalu dan Arvin tetap berlatih dengan
keras. Setiap harinya masih berlatih menembak bola basket
1000 kali dan latihan dribble selama dua jam. Tim Kanisius
juga semakin kuat, karena kedatangan beberapa kelas 10 yang
lumayan andal dalam bermain basket. Sampai sekarang pun
Arvin masih diledeki oleh Mamat yang kebetulan pada kelas
12 ini mereka sekelas lagi. Namun Arvin sekarang berbeda dan
hanya mendiamkan apa yang dikatakan oleh Mamat. Arvin
hanya fokus dalam permainan basketnya seperti saran yang
diberi oleh Kenneth. Belajar di sekolah, latihan basket , tidur
dan bangun seperti itulah kegiatan Arvin setiap harinya. Arvin
sangat ingin memenangkan DBL pada tahun terakhir masa
SMA-nya dan tahun terakhirnya di Kanisius. Arvin berlatih
dengan sangat keras dengan tanpa ia sadari sudah saatnya DBL
dimulai. Arvin yang berlatih dengan keras membawakan
Kanisius ke perempat final dengan mencetak total 236 poin .
Arvin gugup, karena tahun lalu ia juga kalah di perempat final
. “Jangan takut, kita udah lebih kuat dengan adanya kelas 10
yang jago-jago” Kenneth menyemangati Arvin. Akhirnya
Kanisius lolos ke final dengan Arvin mencetak 24 poin .

Hari yang ditunggu-tunggu oleh semua Kanisian dan


juga tim basket Kanisius akhirnya dating yaitu final DBL .
Quarter pertama sangat sengit dengan poin 11-12 Kanisius.
Alaska yang merupakan Aliansi Supporter Kanisius tetap
memberi semangat termasuk Mamat yang selama ini meledek
Arvin. Quarter kedua Kanisius dibalap skornya dengan 30-28.
Quarter ketiga juga masih sengit dengan skor 41-39 Kanisius.
Arvin tetap semangat dan tidak ingin menyerah, karena itulah
sikap yang Arvin selalu tanamkan sejak ia kecil. Pada quarter
terakhir dan tersisa 20 detik lagi dengan skor 54-52 Kenneth

71
selaku point guard yang mengatur penyerangan tim memegang
bola dan berharap dengan serangan terakhir ini akan
membawakan pulang juara pertama ke Kanisius . 10 detik
sebelum pertandingan selesai, Kenneth masih belum dapat
menemukan ruangan kosong untuk mengoper bola. Pada saat
waktu tersisa 5 detik akhirnya Arvin muncul dan Kenneth
dengan cepat mengoper bola kepada Arvin dan Arvin dengan
percaya diri menembakkan bola ke ring basket dari garis three
point. Bola basket tersebut menyentuh ring dan berputar
mengelilingi ring tersebut dan akhirnya jatuh ke tanah melewati
net yang disambungkan dengan ring tersebut. Arvin baru saja
memenangkan Kanisius juara pertama. Para Alaska bernyanyi
kencang dengan gembira. Arvin pun menangis, namun tidak
seperti tahun lalu dimana nangisnya disebabkan oleh kekalahan
. Mamat pun menyelamatkan Arvin dan meminta maaf.
“Gausah minta maaf, dengan lu meledek gua membuat gua
menjadi lebih ingin menjadi lebih baik. Malah seharusnya gua
berterima kasih” Kata Arvin kepada Mamat. Namun DBL ini
bukan akhir dari karier Arvin sang pemain basket pendek ini,
karena Arvin ingin melanjutkan kariernya ke liga NBA.

72
Sepadan
Oleh : Michael Ananta XIA6/18
Erza, anak jenius yang miskin dari desa Pandeyan yang
bersekolah di kota. Ia selalu duduk di bangku paling depan agar
bisa memperhatikan gurunya dengan baik. Meskipun jenius,
Erza diperlakukan berbeda oleh teman-temannya, karena
penampilannya yang dekil dan bau. Erza hanya diam saja saat
diejek temannya karena menurutnya ia tidak akan bisa
melawan orang kaya, menurutnya orang kaya memiliki kuasa
atas dunia.

Namun di setiap cerita pasti ada malaikat


pelindungnya. Harsa, teman sebangku sekaligus teman
seperjuangan Erza, tak tahan melihat temannya diejek terus
menerus. Harsa adalah orang yang berani, dan bertindak tanpa
pikir panjang. Ia tak peduli terhadap status orang lain yang
lebih kaya.

“Za, ora iso koyo ngene terus, masa kamu mau diejek
sama temen kamu yang banyak gaya kaya gitu.” Kata Harsa.
“Mau aku bantu abisin mereka ga?” tanya Harsa yang dengan
berani menawarkan bantuan ke Erza.

“Jangan Sa, biarin aja.” saut Erza.

Harsa selalu diam saja di kelas, karena dia tahu


posisinya yang merupakan kelompok minoritas. Tetapi melihat
temannya diejek, jiwa seorang mantan geng motor dalam diri
Harsa muncul, dahulu Harsa merupakan salah satu anggota
geng motor di Bandung, tetapi karena kelakuannya yang buruk
ia terpaksa dikeluarkan dari sekolah dan pindah ke Jogja.

73
Di tahun-tahun terakhirnya sebagai pelajar SMA, Erza
kesulitan memilih universitas. Erza selalu menginginkan untuk
berkuliah di Fakultas Teknik Elektro di Universitas terkenal di
Jogja. Tetapi karena kondisi keuangannya yang kurang, ia
kebingungan.

Tiba saatnya ia menjalankan tes masuk ke Fakultas


Teknik Elektro. Sesuai eskpektasi sebagai anak jenius, ia dapat
melalui tes tersebut dengan mudah. Tetapi ia tetap tidak akan
bisa berkuliah jika tidak ada uang. Ia bingung bagaimana
caranya agar ia bisa masuk ke universitas impiannya.

Kehabisan ide, Erza pun meminta bantuan teman


seperjuangannya alias Harsa.

“Sa, gimana nih aku lolos tes masuk Fakultas Teknik


Elektro.” Ucap Erza.

“Wah, bagus dong, trus kenapa?” Balas harsa.

“Nah, gini Sa, masalahya aku ora ono duit kanggo


bayar kuliah, gimana ya?” Balas Erza dengan muka sedihnya
berharap temannya langsung membantunya.

“Keluarga kamu gimana? Gak ada yang bisa


pinjemin?” Jawab Harsa memberikan solusi.

“Ora ono Sa, semua gak mampu.” Balas Erza.

“Kenapa gak beasiswa aja Za, kan kamu pinter sama


jenius?” Tanya Harsa.

“Gak bisa juga Sa, beasiswa terbatas banget, bahkan


anak orang kaya aja juga mau beasiswa.” Balas Erza.

74
“Kalo gini caranya, gak bisa diem aja Za, kita harus
cari cara biar kamu bisa kuliah.” Tegas Harsa dengan berani.

“Nah, tapi gimana caranya, Sa?” Tanya Erza yang


mulai kehilangan harapan.

“Ngerampok Za!” Jawab Harsa dengan yakin dan


tanpa pikir panjang.

“Kamu gila ya?” Jawab Erza yang sangat kaget


mendengar jawaban teman seperjuangannya itu.

“Gak ada cara lain lagi Za, kalau kamu mau kuliah di
universitas impian kamu, caranya cuman ngerampok.”

Tidak bisa berbuat apa-apa lagi, Erza mengikuti


rencana tu dengan berat hati. “Kalau begitu, apa yang bakal kita
rampok?” Tanya Erza dengan berat hati.

“Toko mas Za.” Jawab Harsa.

Satu minggu penuh mereka habiskan untuk


merencanakan aksi merampok mereka. Saat rencana mereka
sudah matang, langsung mereka beraksi. Dua buah pisau
dibawanya masing-masing. Awalnya aksi mereka berjalan
sesuai rencana, tetapi aksi mereka tertangkap basah oleh
seorang mantan TNI, langsung dilumpuhkanlah kedua bujang
itu.

Alhasil, aksi mereka tidak membuahkan hasil yang


memuaskan. Mereka berdua berakhir di penjara, Erza pun
menyesal telah melakukan hal tersebut, apa yang ia lakukan
tidak sepadan dengan hasilnya. Ia tidak dapat berkuliah di

75
universitas impiannya, dan menjalani hari-harinya bersama
napi yang lain.

76
Telepon Genggam di Kebun
Jeruk
Oleh : Michael Evan XIA6/19
Malam yang sunyi dipenuhi dengan suara kegembiraan
di sekitar. Hari beristirahat telah datang, malam Minggu. Di
dalam bar yang terletak di negara jauh barat, Amerika Serikat,
saya dengan teman-teman saya datang untuk mengambil
beberapa minuman serta mengobrol. Waktu berjalan, obrolan
berjalan dari mulut ke mulut, minuman yang mulai berkurang.
Terlarutnya malam, saya dan teman-teman saya akhirnya
memutuskan untuk kembali ke rumah. Kami pergi ke mobil,
tersadar telepon genggam saya telah hilang dari kantong saya.
Segera saya cari di dalam tas, hingga saya harus balik ke bar
hanya untuk menemukan meja yang kosong.

Datangnya pagi menjumpai, saya melakukan rutinitas


pagi saya: sarapan, mandi, dan seterusnya. Teringat akan
telepon genggam yang hilang, saya pergi ke toko untuk
membeli yang baru. Akun sama, telepon genggam beda. Mulai
sekarang, saya akan lebih memperhatikan barang saya.

Hari berlalu, hari yang kemudian menjadi minggu,


minggu kemudian menjadi bulan. Sudah 4 bulan saya memiliki
telepon genggan yang baru. Rasa kecewa yang dulu sudah tidak
ada dalam hati saya. Saya menjalankan pekerjaan seperti biasa,
tetapi pada suatu hari telepon genggam saya yang lama telah
terhubung dengan milik saya sekarang. Dengan kebingungan
saya melihat apa yang terjadi. Saya mengetahui bahwa telepon

77
genggam zaman sekarang bisa terhubung dengan akun yang
sama untuk menjaga hubungan dengan kita, penggunanya.

Dengan teliti saya menginspeksi lebih mengenai


dengan keberadaan telepon genggam saya yang lama. Saya
kaget. Dalam galeri telepon genggam saya, terisi swafoto
dengan buah jeruk. Foto tersebut bukanlah wajah saya. Rasa
kebingungan saya mulai bertambah, berlawanan dengan rasa
ingin tahu akan siapa, dimana dan bagaimana foto-foto tersebut
bisa ada di dalam telepon genggam saya.

Inspeksi mulai mendalam. Saya melihat, mencari dan


akhirnya menemukan jalan buntu. Mengetahui hanya orang
tanpa nama serta sebuah kebun jeruk. Saya merasa cukup untuk
inspeksi pada hari ini. Saya memutuskan untuk istirahat dan
akan berusaha untuk mencari bantuan pada keesokan harinya.

Meminta bantuan, saya mengubungi teman saya yang


mahir dalam perangkat telepon genggam serta
perdagangannya. Namanya Jonathan, ia sudah bekerja dalam
perdagangan telepon genggam selama 8 tahun. Jonathan
mengatakan bahwa kebanyakan telepon genggam dijual ke
Tiongkok. Selain itu Jonathan mengetahui bahwa telepon
genggam hasil curian dijual ke toko khusus. Jonathan
memberikan ciri-ciri toko yang menjualnya. Saya langsung
mencari dan mencocokkan ciri-ciri dengan toko sekitar bar
yang waktu itu saya kunjungi. Akhirnya, hasilnya tidak
memuaskan dan saya kembali ke rumah.

Di dalam rumah saat waktu luang, saya menulis artikel


mengenai pengalam tersebut. Artikel saya meledak. Seluruh
komen pada artikel saya berisi dengan orang lain yang berusaha

78
untuk membantu saya mencari informasi lebih. Dari teman ke
teman, artikel yang saya unggah meledak secara internasional.
Sampai kepada Tiongkok. Pada akhirnya dengan bantuan
orang, saya mendapatkan informasi. Saya mengetahui nama
orang yang memiliki telepon genggam saya yang lama beserta
alamat yang akurat. Namanya Tang. Ia tinggal di rumah dengan
kebun jeruk yang dimilikinya di Guangzhou, Tiongkok.

Interaksi saya dengan Tang dimulai dengan kata


universal, “Hai”. Tang menjawab. Saya mebalas terus-terusan
hingga Tang kesulitan untuk membalas. Tang menggunakan
bahasa Kanton. Dengan bantuan teknologi saya akhirnya
mampu mengerti. Tang mengajak saya untuk bertemu
membahas masalah ini. Dengan sigap, saya langsung melihat
jadwal saya dan menggosongkan waktu untuk bertemu Tang.
Setelah waktu ditentukan saya langsung membeli tiket pesawat
dan pergi sesuai tanggal.

Di bandara Tiongkok dekat rumah Tang saya turun.


Ternyata di Guangzhou, saya memiliki suatu “fan base”.
Ternyata masalah dari artikel saya telah menjadi hal yang
populer di Tiongkok dikarenakan terbentuknya persahabatan
antara orang Amerika dengan orang Tiongkok. Tang dan saya
akhirnya bertemu dan akhirnya pergi makan, diikuti dengan
terangnya lampu kamera dari banyak orang. Pada awalnya
semua terlihat seru, kami bermain bersama. Berfoto-foto
hingga pada saatnya timbul rasa bosan dan kesal dari saya dan
Tang. Seluruh kegiatan yang kami lakukan terdokumentasi.

Dari semua mimpi, menjadi populer mungkin terlihat


baik. Tetapi dari semua kesenangan tersebut ada hal yang tidak
disadari. Karena rumah Tang terletak jauh dari kota, rasa

79
keraguan saya meningkat dan saya diberi tahu oleh teman
untuk berhati-hati karena banyak tindakan kriminal, terutama
pembunuhan terhadap orang populer. Teman saya benar. Saat
saya berjalan dengan Tang dan rombongan “fan base” yang
mengikuti, ada pisau yang jatuh. Melihat pisau yang jatuh, saya
ambil pisau itu dan melihat tulisan “Tang”. Tang melihat saya
mengambil pisau tersebut lalu secara cepat Tang mengambil
pisau itu dan mengatakan bahwa semua ini bohongan.
Rombongan yang telah mengikuti saya ternyata adalah
kelompok gang Tang sendiri yang ia bayar. Tanpa
mengeluarkan sepatah katapun, saya langsung lari ketakutan
akan penghianatan yang saya alami. Tanpa disadari barang-
barang saya masih di dalam tas. Saya hanya membawa telepon
genggam dengan dompet. Dari situ Tang berteriak dan
mengatakan bahwa ia menginginkan seluruh barang saya. Saya
disuruh untuk memberikannya uang untuk mendapatkan tas
saya kembali, yang berisi paspor serta tiket pulang.

Saya berlari dan berlari hingga bingung mau pergi


kemana. Saya merasa kecewa terhadap diri saya yang bodoh.
Ide mulai mengalir dan saya berpikir untuk pergi ke media dan
memberi tahu kejadian yang saya alami. Saya berjalan, ke
media stasiun tv terdekat dan yang termasuk populer di
kalangan Tiongkok. Saya bercerita mengenai Tang, serta
rombongan yang ia telah buat untuk mengancam saya. Media
tersbeut tidak percaya dan mengatakan bahwa hal itu hanyalah
fiktif. Saya mencari media lain tetapi selalu ditolak.

Pada akhirnya saya memutuskan untuk menyerah. Lalu


seorang saptam menjumpai saya dan bertanya jika saya baik-
baik saja. Saya menjelaskan ulang cerita saya seperti kepada
media yang menolak. Ia percaya, dan dengan kagum saya

80
meminta bantuannya. Ia menjelaskan bahwa media Guangzhou
jarang menerima kabar atau berita dari orang luar mengenai
berita lokal. Maka, ia menyarankan saya untuk melaporkannya
pada polisi. Saya langsung bertanya dimana kantor polisi
terdekat. Ia memberitahu saya dan saya pun pergi.

Sampai di kantor polisi, saya menjelaskan masalah


Tang untuk kesekian kalinya dan mereka percaya. Saya di
interogasi mengenai lokasi mereka beserta muka para
pelakunya. Ternyata pelaku tersebut memiliki latar belakang di
penjara karena pencurian bersenjata. Polisi bergegas
menginformasikan yang lain untuk melakukan penyelidikan
lebih.

Malam tiba, Tang menunggu di rumahnya sampai


rombongan kaki polisi berhentakan menimbulkan terror di
sekitar rumah Tang. Tang dengan rombongannya ditangkap.
Sekitar 5 orang termasuk Tang ditahan oleh polisi. Saya pun
mendapatkan seluruh barang saya kembali.

Saya menghembuskan napas lega. Dengan lelah, saya


menuju hotel untuk bersiap-siap kembali ke Amerika. Untung
saja, tiket pulang yang saya telah beli adalah besok. Saya
bersiap-siap di hotel untuk hari esok yang akan datang. Pada
waktu itu juga saya diberikan suatu hadiah, telepon genggam
saya yang lama. Dengan diam saya hanya tertawa dan
mengucapkan terima kasih.

Di pesawat, saya berpikir betapa suatu telepon


genggam ini bisa menunjukkan jalan ke Guangzhou, bertemu
dengan seorang penjahat dalam proses itu. Pikiran itu terus
berlari dalam kepala saya akhirnya saya terlelap di pesawat.

81
Setelah kembali beraktivitas seperti biasa, teman saya bertanya
kabar. Saya menjawab dan teman saya mengajak untuk
membicarakan “liburan” yang saya alami. Kembali di bar yang
sama, saya duduk, minum, dan berbicara dengan telepon
genggam dan pengalaman yang berbeda.

82
The Downfall
Oleh : Michael Tumbelaka XIA6/20
Cerita ini bercerita mengenai jatuhnya seseorang dari
ketenaran yang dimiliki dikarenakan dirinya yang gegabah.
Cerita ini berawa mula dari, Timmy Rosaldi adalah seorang
anak sulung dari pasangan Pamela Lin dan Gregory Tung, dia
juga memiliki seorang adik bernama Kiky Rosaldi. Awal mula
ketenaran Timmy Rosaldi ialah dari aplikasi bernama Vine,
Vine merupakan aplikasi yang memperbolehkan orang-orang
untuk memposting klip-klip video yang mereka buat untuk
ditonton oleh orang-orang. Timmy Rosaldi sendiri membuat
banyak video dan videonya banyak yang menonton sehingga
follower Timmy Rosaldi di Vine pun meroket. Timmy Rosaldi
sendiri dapat disebut sebagai artis vine dikarenakan ketenaran
tersebut.

Tetapi akhirnya pun aplikasi vine ini mati dengan


sendirinya karena semua orang pada beralih ke aplikasi-
aplikasi lain. Maka dari itu Timmy Rosaldi pun juga beralih.
Dia beralih ke Instagram tetapi di instagram dia tidak
seterkenal dan tidak seviral saat dia masih di Vine. Timmy
Rosaldi juga sempat bermain di beberapa film. Lalu pada suatu
hari, adiknya Timmy Rosaldi, Kiky Rosaldi mulai membuat
akun youtube dimana youtubenya sangat sukses dan juga
sangat viral dan juga pada saat itu menjadi channel tercepat
pertumbuhan subscribernya. Pertumbuhannya sangat cepat
dikarenakan faktor dimana Kiky Rosaldi juga ikut terkenal
dengan kakaknya di Vine dan juga Kiky Rosaldi sendiri
merupakan artis Disney sehingga sangatlah terkenal. Karena

83
adiknya yang sukses di youtube, maka Timmy Rosaldi pun juga
membuat yotube channel dan ternyata Timmy Rosaldi
channelnya bisa lebih booming dari pada channel Kiky Rosaldi
adiknya sendiri itu. Timmy Rosaldi pun menjadi sangat
terkenal karena dia dari sebelumnya sudah terkenal dan juga
konten yang diberikan oleh Timmy Rosaldi dapat dibilang seru,
tetapi sepertinya ia tidak pernah puas dengan pencapaiannya
itu. Bahkan karena dia ingin mencari sensasi lebih banyak lagi,
ia pun sampai bertengkar dengan adiknya sendiri via youtube.

Pertengkaran tersebut sangatlah viral dan terkenal pada


saat itu dikarenakan kedua channel raksasa yang bertengkat,
bukan channel kecil dimana subscriber dari keduanya sudah
melebihi 10 juta subscriber. Pertengkaran tersebut lebih
memihak kepada Timmy Rosaldi karena kebanyakan artis dan
juga channel youtube lainnya lebih mendukung Timmy
Rosaldi. Timmy Rosaldi juga saat bertengkar dia mencari
aliansi-aliansi lainnya sehingga yang lainnya pun jadi
membenci adiknya. Dan tentunya pertengkaran tersebut
walaupun akhirnya mereka berdua berbaikan, tetapi
dampaknya terkena pada Kiky Rosaldi karena jadi banyak
orang yang membenci Kiky Rosaldi. Hanya karena ketenaran,
Timmy Rosaldi bahkan sampai mengumbar aib-aib dari Kiky
Rosaldi yang mengakibatkan Kiky Rosaldi, adiknya sendiri
menjadi dibenci.

Pada saat Timmy Rosaldi berada di puncak, dia pun


tetap tidak pernah puas dan selalu mencari sensasi baru. Sensasi
barunya ialah ia ngide untuk membuat vlog di suatu hutan di
Jepang yang terkenal dengan banyaknya orang yang
melakukan aksi bunuh diri disana. Alasan ia jatuh ialah pada
cerita ini. Pada saat ditengah-tengah vlog tersebut, ia dengan

84
tidak sengaja melihat mayat orang yang bunuh diri disana, lalu
dengan sengaja ia memvideokan mayat tersebut. Walaupun
telah ia sensor tetapi tentunya tidak etis untuk memvideokan
orang yang sudah meninggal, lalu meninggalnya dengan cara
bunuh diri lagi. Maka dari itu banyak sekali yang jadi
membenci dia bahkan mencekam dia. Youtuber-youtuber serta
artis lain pun ikut mengomentari aksi Timmy Rosaldi tersebut
dikarenakan hal yang ia lakukan sangatlah tidak etis. Semakin
hari, kebencian yang didapat oleh Timmy Rosaldi pun juga
semakin banyak. Bahkan karena banyaknya kebencian,
subscriber Timmy Rosaldi menurun, bahkan Timmy Rosaldi
sendiri sampai hilang dari yang namanya youtube selama
beberapa lama. Itu bisa dibilang sebagai titik terendah dari
kariernya, ia menghilang dari dunia maya selama beberapa
bulan. Tetapi akhirnya pun dia memberanikan diri untuk
kembali ke dunia maya ini, walaupun dia sudah tidak setenar
dulu lagi dan juga tidak seaktif dulu, dia tetap berusaha untuk
bangkit, walaupun tidak berhasil.

85
Telah Dipanggil
Oleh: Mikhael Prima Angelo Hanapie XIA6/21

Mono terbangun dengan cukup semangat pada hari ini.


Setelah bel alarm di jamnya berbunyi dia langsung duduk tegak
penuh dengan energi, dan keluar dari tempat tidurnya. Dia
melihat kalendernya di atas meja belajar untuk memastikan
hari, dan tanggalnya benar, hari ini adalah ulang tahunnya.
Oleh karena ini dia sangat senang, apalagi karena nanti setelah
pelajaran hari ini selesai, dia dapat untuk balik ke rumah
orangtuanya untuk merayakannya bersama keluarganya.

Dia membuka pintu kamar tidurnya, dan jalan menuju


ruang makan. Mono tinggal di rumah kos bersama teman-
temannya, sebab kuliahnya cukup jauh di Serpong, sedangkan
rumahnya di Kelapa Gading bersama orangtuanya.
Sesampainya di ruang makan dia bertemu dengan Silvio, salah
satu teman lamanya yang tinggal se-kos bersamanya. Silvio
sebenarnya 3 tahun lebih tua dari Mono, dan bahkan berasal
dari negara lain sekaligus. Dia datang ke Indonesia dengan
tujuan mengikuti sebuah kursus Teknologi Informasi yang dia
minati. Namun pada saat ini dia sama sekali bukan mengotak-
atik soal computer, melainkan justru mengenai memasak
sarapan pagi untuk mereka semua.

Ketika dia menyadari Mono telah masuk ruangan, dia


langsung menyambutnya, “Mono! Kamu sudah bangun
ternyata!”, dia bilang dengan ria. Mono senyum kepadanya,
dan berjalan mendekatinya untuk melihat apa yang dia sedang

86
memasak, “Kamu ingat kan hari ini hari apa?”, dia bertanya
dengan nada bermain-main. Silvio berhenti mengaduk untuk
beberapa detik, lalu jawabannya muncul di pikirannya, “Ooh!
Hari ini ulang tahunmu ya kan? Saya hampir lupa, selamat
ulang tahun temanku!”, dia menjawab kepadanya. Silvio
menepak punggungnya Mono secara ramah, dan dia ketawa
kecil kepadanya, “Makasih sahabat, eh tapi kamu lagi masak
apa?”, Mono bertanya dengan rasa ingin-tahu. Silvio
mengangkat pancinya sedikit untuk menunjukkannya, “Mie
kuah rebus! Dengan sentuhan Italia sedikit, tak instan
tentunya.”, dia menjawab dengan cukup bangga.

Sebelum Mono bisa menyicip masakannya Silvio,


ataupun memberi respons ke jawabannya, ada pintu yang
terbuka dari belakang mereka secara tiba-tiba, yang
mengagetkan Mono. Dari situ salah satu teman kosnya Mono
yang lain keluar, “Apa saya mendengar ada mie kuah rebus?”,
dia bertanya dengan semangat. Itu adalah Erik, temannya yang
relatif baru yang berpindah ke sini dari negeri luar juga. Meski
umurnya sama dengan Mono, dia lebih tinggi dan kekar,
meskipun sikapnya yang ramah membuatnya tak
menyeramkan sama sekali. Dia jalan keluar bersama dengan
Amelia, teman kosnya yang terakhir, dan dapat dibilang
sebagai pacarnya Erik. “Hah... baru jam segini kalian sudah
bangun?”, Amelia bilang dengan heran. “Hey, kamu tahu saya
makannya selalu menambah melulu, butuh waktu yang cukup
dong!”, Erik bilang sebagai bercanda. Mereka ketawa sedikit,
dan dalam waktu singkat makanan sudah siap, dan mereka
makan bersama.

Setelah berjam-jam di kuliah, Mono akhirnya selesai


juga dengan studi-studinya untuk hari ini. Dia meninggalkan

87
lobby utama kuliahnya, siap untuk balik ke rumahnya untuk
merayakan ulang tahunnya. Seiring dia berjalan ke halte untuk
mendapatkan taksi, teman-temannya berjalan mengikutinya.
“Hey Mono, kamu akan pulang balik dulu ya?”, Erik bertanya.
Mono kaget sedikit setelah sadar mereka disampingnya, dia
menjawab “Iya, saya sudah tak sabra bertemu dengan keluarga
nih.”, dia menjawab dengan bersenyum. “Hadiahnya terlambat
dikit yaa, saya masih kurang tahu mau beli kami apa”, Silvio
berkata dengan jujur. Mono baru mau menjawab, ketika dia
mendapat pesan melalui WA di telpon selulernya.

Dia memeriksanya sebentar, berpikir bahwa itu sebuah


pesan selamat ulang tahun sekali lagi dari anggota keluarganya.
Namun setelah membaca sekilas, lalu sekali lagi, detak
jantungnya Mono menjadi tinggi. Mono tampak tak tenang,
dan teman-temannya menjadi khawatir. “Ada apa, Mono?
Kamu terlihat sangat kaget…”, Amelia bertanya. “Saya… saya
harus jalan sekarang, maafkan saya!”, setelah itu Mono lari
dengan cepat menuju halte, berita yang baru saja diterimanya
sangat mengejutkannya, dan ini bukan kejutan ulang tahun
yang meriah dan senang... sayangnya. Dia terburu-buru
memanggil taksi pertama yang dilihatnya, dan dia langsung
mengatakan ke supirnya, “Pak, ke Rumah Sakit Mitra di
Kelapa Gading segera!”.

Meski jalannya lancar dan sukar macet, perjalanan ke


rumah sakit terasa amat lama baginya… banyak pikiran berlaju
di pikirannya. Berita yang dia dapatkan adalah bahwa
kakeknya tiba-tiba kejang dan jatuh di rumah sepupunya, dan
sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Kakeknya memang
sudah sakit untuk waktu yang cukup lama… namun akhir-akhir
ini dia mudah membaik, kok bisa tiba-tiba terjadi sedemikian

88
padanya? Dia berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar
semua baik-baik saja, dan bahwa kakeknya hanya mengalami
kecelakaan kecil… namun ada sesuatu di dalamnya yang
mengatakan padanya bahwa mungkin saja… sudah tak ada lagi
yang dapat dilakukan.

Ketika dia sampai, dia langsung bertemu kedua


orangtuanya dan beberapa paman dan bibinya yang tinggal
dekat, dan dari cara mereka bicara, raut muka mereka, dan air
mata yang menetes di muka mereka, dia merasa sudah tahu
jawabannya. Dia berpelukan dengan ayah dan ibunya, dan pada
dirinya air mata juga mulai menetes. Ayahnya mengelus
punggungnya Mono dengan lembut, “Maaf Mon… dia
memang telah dipanggil olehNya…”. Dia tak tahu apa yang
harus dirasakannya, kakeknya telah meninggal dunia, dan dia
bahkan tak dapat bertemunya untuk satu saat yang terakhir…
bahkan di dalam pelukan orangtuanya, dia tak dapat menahan
rasa sedihnya.

Mono meninggalkan rumah sakit tersebut sendirian,


keluarganya masih di dalam lobby. Dia memerlukan waktu
sendirian terlebih dahulu setelah apa yang telah terjadi… dia
tak bisa percaya bahwa ini terjadi pada saat ini juga, pada hari
ulang tahunnya apa lagi. Rasa senangnya dari sepanjang hari
ini langsung menguap dan menghilang, “Buat apa lagi saya
merayakan ulang tahunku kalau seperti ini?”, dia berpikir ke
diri sendirinya, dengan murung, sambil duduk di tangga sekitar
lapangan parkir rumah sakit, diantara tanaman-tanaman. Dia
merasa ingin tidur saja di situ, namun di merasakan sebuah
tangan di punggungnya dia. Dia melihat kebelakang, dan ada
teman-temannya! Ternyata mereka datang menyusul dia.

89
Erik yang pertama memeluknya, lalu Silvio, dan lalu
Amelia. “Turut berduka cita atas kakekmu, Mono.”, Erik
berkata. “Dan juga… ini hadiah untuk ulang tahunmu.”, Silvio
mengatakan sambil memberinya sebuah set gambar sketsa
yang dia dulu inginkan… ternyata mereka patungan
membelinya untuk dia. “Terima kasih teman-teman…
sungguh, saya sangat bersyukur saya memiliki kalian di sini
sekarang.”, Mono mengatakan sambil menangis sedikit.
Amelia mengusap air matanya, “Jangan sedih teman, saya
yakin kakekmu sudah lebih damai, tak lagi menderita sakit
lagi.”, dia berkata. Mono memeluk mereka bertiga sekali lagi,
sebelum berhenti tangisannya. “Iya… iya, kalian benar… dia
sudah tak menderita lagi, dia sudah dapat beristirahat dengan
tenang sekarang.”, Mono mengatakan. Erik menaruh
tangannya di punggung Mono sekali lagi, dan memberinya
sebuah senyuman yang menenangkan. “Ayolah Mono, saya
yakin kakekmu tak akan mau kamu untuk bersedih seperti ini
di ulang tahunmu untuk alasan apapun.”, Erik mengatakan
dengan lembut. Silvio juga berpendapat, “Iya Mono, kita akan
membantumu melalui ini, tak mungkin kita akan
meninggalkanmu sedih seperti ini pada hari ulang tahunmu
sendiri!”, dia bilang dengan semangat dan ria. Amelia
mengangguk kepalanya, “Mhm, kita akan selalu disisimu
ketika anda berkesusahan, itulah yang teman-teman melakukan
untuk sesama.”, dia mengatakan.

Mono tersenyum atas perkataan teman-temannya, dan


memeluk mereka semua sekali lagi. “T-terima kasih…
bagaimana kalau kita masuk ke dalam? Sudah mulai dingin,
dan mungkin kalian bisa berkenalan lebih lanjut dengan
keluargaku, mungkin sambil makan?”, Mono menawarkan ke

90
mereka. “Itu terdengar seperti ide bagus!”, Silvio mengatakan
dengan ria. Dengan itu, mereka jalan bersama masuk ke lobby
rumah sakit, sambil berbincang ramah bersama.

91
PLASTIK
Oleh: Muhammad Rizky XIA6/22

“Jelek banget si lu jadi cewek!”, kantin kampus tiba-


tiba jadi hening gara-gara teriakannya Anna, si cecan sekolah
yang lagi ngehujat Jisoo, cewek (yang katanya) terjelek di
kampus. Emang hal kek gini hal yang biasa terjadi. Anna dan
gengnya emang sering banget ngehujat Jisoo. Ga cuman di
kantin, di kelas, selasar, pagi, sore, dimanapun dan kapanpun
kalo bisa.

Jisoo emang udah capek dengerin ocehan Anna dkk,


tapi mau apa lagi. Kejadian di masa lalunya Jisoo udah buat dia
stuck dengan mukanya itu. Kejadian yang sampai saat ini,
cuman dia dan keluarganya yang tau (Penulisnya aja gak tau
sumpah, Jisoonya ga mau cerita). Jadi dia sampe sekarang
cuman bisa nahan kesedihannya. Tapi, dia ga mau nyerah gitu
aja.

Selang beberapa waktu, ga kerasa udah Jisoo udah 4


semester berkuliah. Tapi dia masih tetep aja dapet hujatan dari
banyak orang. Jisoo denger dari orang-orang kalo ada tempat
buat operasi plastik yang murah banget. Katanya gosip anak-
anak kampus si, orang-orang langsung jadi cakep abis oplas
disitu. Jisoo jadi tertarik. Dia mulai ngumpulin duit dan
akhirnya operasinya jalan.

Mulai dari mata, hidung, pipi, sampe dagu, semuanya


dirombak. Emang keknya Jisoo bertekad banget biar ga diejek
Anna lagi. Tapi kalo dipikir-pikir siapa yang tahan diejek terus-

92
terusan (Penulis kalo diejek terus-terusan kek Jisoo udah ga
kuliah kali)(Untuk yang nanya, “Kok orang tuanya Jisoo
ngebolehin dia operasi plastik si?” Jangan nanya penulis, sekali
lagi Jisoo ga mau cerita. Aneh kan, aneh).

Setelah operasi yang syukur Alhamdulillah berjalan


lancar, Jisoo jadi semangat lagi buat kuliah. Dia ngerasa
dengan muka barunya ini, dia dapet confident boost yang gede
banget. Setiap pagi, dia ngeliat cermin sambil bilang, “Jir, gw
cakep banget”, abis itu dia pasti bilang, “Jir, gw lebay banget.”
Tapi yang terpenting, dia sekarang ga bakal dikatain ama Anna
dan gengnya lagi, ya kan?

Ternyata hidup bener-bener ga semudah membalikkan


telapak tangan ya. Sekarang Anna ada cara lain buat ngatain
Jisoo. Gimana ya? Dengan ngatain kalo Jisoo OPLAS.
Ternyata oplas juga ada beban moralnya ya. Jisoo ga kepikiran
sampe sana. Dan sekarang dia mikir lagi, keputusannya buat
operasi bener atau engga. Ternyata masi ada yang support dia
meskipun dia ga tau.

Jisoo sekarang depresi lagi. Apa dengan dia oplas,


masalah dia belom selesai? Apa orang belom juga puas sama
dia yang sekarang? Jisoo nanya terus ke dirinya ini, di atas
gedung kampus. Ralat, di ujung atap gedung kampus. Bahaya
emang, tapi Jisoo ga peduli, pikiran dia masih terfokus masalah
dia yang sekarang. Dia jadi kepikiran buat ngeakhirin
semuanya aja, biar dia ga tersiksa lagi.

Jisoo udah dalam tahap siap lompat. Dia udah ga peduli


sama apapun lagi. Dia mikir buat apa juga. Tuhan punya
rencana lain ternyata. Tangan seseorang tiba-tiba megang

93
Jisoo, orang itu sambil bilang, “Jangan mati dulu, ada banyak
hal yang gw suka dari lu.”

“Dari suaranya, orang ini cowok,” kata Jisoo di


pikirannya. Pas dia nengok ke belakang, dia ngeliat muka yang
familiar, “Kevin?!”

“Lu ngapain di sini?” kata Jisoo.

“Nyelematin orang yang gw suka. Kenapa, salah?”


bales Kevin. Denger itu, Jisoo langsung diem, suasana tiba-tiba
jadi aneh. Mereka akhirnya pindah ke tengah-tengah gedung
buat ngobrol (Biar ga jatoh). Kevin tuh sebenernya temen
SMA-nya Jisoo, cuman ga terlalu deket. Kevin udah lama suka
sama Jisoo, tapi ga berani bilang (Sekali lagi penulis ga tau
kenapa Kevin ga berani).

Di akhir omongan panjang lebar dan tinggi mereka,


Kevin tiba-tiba ngomong, “ Lu mau ga jadi pacar gw?” Jisoo
cuman bisa diem lagi sama kayak tadi, sampe Kevin nanya lagi,
“ Mau ato engga, kalo diem aja gw dorong ni,” disusul oleh
cubitan dari Jisoo. Jisoo narik nafas terus bilang, “Iya Kev, gw
mau.”

94
Lagu Terakhir
Oleh : Nicolas Matthew Tenadi XIA6/23
Di dalam ruangan terang ini, saya hanya bisa melihat
sejauh mata memandang. Suara tepuk tangan dan sorak sorai
memenuhi ruangan itu. Saya tidak merasakan malu ataupun
ketakutan, melainkan saya merasa bangga dan terharu. Setelah
saya keluar dari ruangan ini 1 tahun kemudian, saya perpikir
bahwa saya tdiak akan masuk ke sini lagi.

Tiba-tiba, perasaan pusing yang telah saya alami sejak


dulu kambuh lagi. Tetapi kali ini, sakitnya sudah tak
tertahankan. Setelah beberapa waktu, akhirnya saya mulai tak
sadarkan diri.

12 bulan yang lalu.

Suasana di panggung internasional ini sangat meriah


sekali. Temanku yang berada di panggung baru saja tampil.
Hasilnya luar biasa. Dia mendapatkan standing ovation dari
hampir seluruh penonton. Ya, temanku adalalah penyanyi yang
sangat hebat. Nadia adalah namanya. Kita bersekolah di
sekolah yang sama, yaitu SMAN XX, sekolah unggulan di
Jakarta. Kita brada di sini sama-sama diminta pemerintah untuk
mewakili Indonesia untuk ajang International Music Festival
2017. Saya akan tampil sebagai pemain piano dua hari
kemudian.

Pertunjukan temanku tadi sangat fenomenal. Temanku


bisa bernyanyi sampai 6 oktaf. Walaupun demikian, yang
membuat suaranya sangat spektakuler adalah kemampuannya
untuk memberikan suara yang sampai ke hati. Dia sengaja

95
mengubah sedikit sebuah lagu untuk suasana yang sangat
indah. Temponya, nadanya, bahkan gerakan dan ekspresinya
sangat cocok untuk lagu itu.

Sesudah pertunjukkannya selesai, kita menikmati


jalan-jalan kita di kota Vienna, kota yang sangat terkenal
dengan musik dan budayanya. Indah sekali kota ini, apalagi
hotelnya. Kita merasakan hotel bintang lima dengan ruangan
yang sangat nyaman dan kolam renang yang sangat luas.
Semua ini dibayar oleh pemerintah.

Besoknya, kita menikmati makanan super mewah yang


disajikan hotel. Setelah itu, saya berlatih dengan piano yang
dimiliki hotel sampai sore hari, menjelang malam.

Saya sedang akan melanjutkan rekreasi saya ketika


saya mendengar pntu kamar saya diketuk. Teman saya cekatan
membukanya. Tak lama kemudian, teman saya menyebutkan
bahwa seseorang dari KBRI mencari saya. Saya terkejut. Untuk
apa seorang diplomat mencari saya? Saya belum tampil. Yang
memberikan penampilan spektakuler kemarin kan temanku.

Si diplomat pun mengajak saya untuk membahas


sesuatu di kamar saya. Dia pun mengusir semua pembantunya
dan bahkan temanku sendiri. Dia berkata bahwa kita perlu
privasi. Firasatku menjadi buruk.

Setelah duduk, si diplomat berkata demikian,” Adikku,


saya tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan berita ini,
tetapi mungkin tidak ada cara yang halus untuk
memberitakannya. Pada pukul 21.30 WIB, nenekmu sedang
mamberishkan rumah bersama dengan pembantunya. Tiba-
tiba, nenekmu jatuh saat dia sedang merapikan ruang tamu. Dia

96
dibawa ke rumah sakit 30 menit kemudian, tetapi Tuhan
berkata lain. Dia meninggal pukul 23.50 WIB karena gagal
jantung. Saya mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya
nenekmu ini, terutama saat kita mengetahui bahwa anda ini
adalah yatim piatu. Mungkin sekarang, anda memerlukan
istirahat dan waktu sendirian, dan oleh karena itu, saya pamit
mengundurkan diri”. Dia langsung bergegas meninggalkan
hotel bersama dengan pembantunya.

Tidak mungkin. Sangat tidak mungkin. Nenekku


adalah orang yang sangat bertenaga. Dia adalah orang yang
menemaniku dan mengajariku bermain piano dari kecil. Dia
selalu berlari pagi dan berenang di rumah setiap hari. Setaiap
hari terlihat sangat sehat, sangat segar. Mengapa bisa
demikian?

Tetapi, saya lambat laun menerima kenyataan. Tidak


mungkin sebuah lembaga negara memberitakan berita bohong,
apalagi topik serius seperti ini. Perasaan kebingungan mulai
terganti dengan kesedihan. Saya menangis tersedu-sedu. Saya
tidak bisa keluar kamar, dan saya terus menangis sampai mata
saya kering, dan kemudian saya tertidur.

“Kok, kemarin diplomat itu menyuruh untuk


membiarkanmu sendirian? Memangnya ada apa, sampai-
sampai kamu tidak keluar dari kamar?”, tanya si Nadia.

“Tidak ada apa-apa”, jawabku, mempersiapkan


penampilanku.

Penampilanku tinggal dua menit lagi. Saya harus


bersiap-siap.

97
Tiba-tiba, MC berkata, “Next, we have Ms. Rosa
Amelia, 15 years old, from Indonesia!”

Waduh, saya sudah harus tampil. Saya berjalan di


panggung, menuju piano yang sudah disiapkan untukku. Begitu
saya duduk, saya seharusnya merasakan gairah yang luar biasa.
Sekarang, tidak demikian. Saya hanya merasakan kekosongan.
Saya memandang tuts yang sudah berbaris rapi menunggu
untuk dimainkan dengan lama. Namun, sekarang, saya hanya
dibaluti pikiran tentang nenek dan kedua orangtua saya.
Bagaimana mereka direnggut dariku sangat cepat. Kedua
orangtuaku karena kecelakaan pesawat, nenekku karena
serangan jantung.

Saya mulai meneteskan air mata. Tidak dapat


menahannya lagi, saya menyambar keluar dari panggung
dengan menutup muka, menyisakan kebingungan dari
penonton.

Singkat cerita, kita pulang ke Indonesia. Fakta bahwa


kita dikirim ke acara tersebut nampaknya tidak dihiraukan
media. Mereka hanya fokus pada persiapan lebaran. Tetapi, apa
yang terjadi di Vienna mengguncang dunia musik Indonesia.
KBRI mendapatkan kritik-kritik yang luar biasa dari kalangan
pemusik, baik luar maupun dalam negeri. Harusnya saya tidak
usah diberi tahu sebelum pertunjukkan selesai. Walaupun
demikian, nasi sudah menjadi bubur. Berkat pengalamanku di
Vienna, saya tidak bisa lagi bermain piano karena trauma dan
kesedihan yang melanda saya.

Januari 2018

98
Liburan semester sudah berakhir. Tidak ada latihan
musik selama semester kemarin. Bahkan, saya tidak pernah lagi
menemani temanku si Nadia latihan bernyanyi. Menurut rumor
yang beredar, dia sudah menemukan pasangan bernyanyi
cowok di sekolah, dan dia mau berduet dengannya untuk
konser regional satu bulan lagi.

Nilai saya di semester lalu meroket naik karena saya


memiliki banyak waktu untuk belajar. Sekarang, saya diasuh
oleh kakek saya.

Pada saat istriahat dimulai, tiba tiba si Nadia


menghampiriku dan mengajakku untuk pergi ke mall.

“Nanti gue akan traktir lo makan lah, sambil main ke


rumah gue”, kata si Nadia.

Saya sebenarnya tidak tergiur dengan tawaran itu,


karena toh saya juga memiliki uang saku yang cukup. Tetapi,
saya sadar bahwa saya tidak pernah pergi lagi bareng sama
Nadia. Akhirnya, saya menyetujuinya.

Sebelum masuk, temanku mendaftarkan meja untuk 3


orang. Tidak ada waiting list, jadi kami langsung masuk.

“Loh, kok pesennya buat 3 orang sih?”, tanyaku.

“Nanti ada temanku yang mau dating.”, jawabnya.

Yaudah, masuk sajalah. Setelah kita memakan


setengah porsi kita, tiba-tiba temannya datang. Seorang pria,
namun bukan pacarnya si Nadia. Nadia sebenarnya tidak mau
pacaran sebelum kuliah.

99
“Perkenalkan, dia ini adalah Max, umur 15 tahun. Dia
ini adalah anak pindahan kita.”, kata si Nadia

Bukan main! Di itu sangat tampan. Menilai dari


percakapan kita selama di restoran, dia itu sangat baik dan
pandai berbicara.

Setelah selesai makan, kita diajak untuk main ke


rumahnya si Nadia. Rumahnya sebenarnya sangat besar.
Karena besarnya, dia memerlukan 7 pembantu untuk keperluan
rumah tangga. Saat sampai di rumahnya, saya langsung duduk
di sofa, menyalakan TV. Namun, Nadia menarikku ke atas,
menuju ke ruangannya.

Loh? Ini bukan ruangan si Nadia. Kita dihadapkan


dengan ruangan gelap. Saat Nadia menyalakan lampunya, kita
melihat ruangan seperti ruangan rekaman 15X7 meter, lengkap
dengan alat-alat musik.

“Lu ngapain ajak gue ke sini?”, tanyaku.

“Gue pengen latihan buat konsernya. Lu mau ikut


ngga, sebagai pemain piano buat instrumennya?”, jawab
temanku.

“Ngga ah, gw sudah quit. Gw sudah trauma megang


piano. Lagian gw sekarang pusing-pusing terus, ga bisa
konsen”, jawabku.

“Ayolah, katanya tujuan hidupmu hanya bermain


musik. Kalau begitu, segala usaha nenekmu sia-sia dong?”,
balasnya.

100
“Gue trauma, Nadia. Bisa aja pas nanti konser gw
berhenti di tengah.”, kataku.

Entah mengapa, si Max tiba-tiba datang sambil


berkata, “Sudahlah, kita latihan dulu. Kalau si Rosa ngga mau,
ya jangan paksakan.”

Akhirnya, saya memutuskan untuk mendengar mereka


latihan.

5 Bulan Kemudian

Mendengarkan duet mereka memebuatku sangat


terkesan, fokus dengan musiknya. Mereka sudah sangat
kompak, sangat baik. Semua konser sudah kita lewati,
semuanya berujung sangat baik.

Ya, saya memutuskan untuk membantu mereka setelah


mendengar mereka bernyanyi. Cara mereka bernyanyi sangat
emosional. Meskipun demikian, kami tetap saja latihan, tidak
pernah bermalas-malasan.

Tetapi, seiring jalannya latihan-latihan intensif, saya


mulai merasakan sakit kepala yang luar biasa. Bahkan, saya
mudah lemas, dan sering ketiduran di kelas sekolah.

Sampai pada saat latihan, kami memainkan lagu A


Million Dreams untuk acara internasional 2 minggu lagi, tiba-
tiba kepalaku seperti melayang. Saya terjatuh dari tempat
duduk, dan semuanya menjadi gelap.

Saya terbangun di kamar rumah sakit. Saya langsung


diberikan operasi untuk menyembuhkan masalah di jantung
saya. Dokter memvonis bahwa saya tidak boleh dipaksakan

101
latihan dulu selama satu tahun, karena jantungku yang baru
dioperasi tidak bisa menahannya.

Saya diperbolehkan keluar rumah sakit 6 hari


kemudian. Nadia dan Max sudah menunggu di luar.

Si Nadia langsing berkata,“Kita harus mencari pemain


pengganti, mungkin pemerintah akan bersedia….”

“Tidak, aku akan tampil di pertunjukan itu, meskipun


saya harus mempertaruhkan nyawa saya. Saya tidak akan
mengulangi kesalahan yang sana.”, saya tegas memotong.

Saya dan teman-temanku lanjut latihan, meskipun ada


waktu dimana mereka berdua latihan sendiri dan saya istirahat.

Satu minggu kemudian

Saya tidak bisa tidur semalaman. Malam sebelumnya,


saya sudah terus-menerus latihan, tanpa ada mereka berdua.
Saya sudah Lelah, mungkin jantungku juga tak mampu
menahannya. Saya hanya tidur 2 jam.

Saya merasakan kegugupan yang luar biasa. Gedung


opera Vienna. Selama hidupku, saya tidak pernah gagal dalam
bermain piano, sebelum kejadian satu tahun kemudian, di
tempat yang sama. Tanganku terlihat mengigil ketakutan.

Tiba-tiba, Nadia memegang tanganku sambil berkata,


“Tidak apa-apa, kita akan mengguncang panggung itu
bersama-sama. Terima kasih, Rosa, karena telah mendukung
saya untuk sampai ke sini dua kali, dan juga untuk kerja
kerasmu dan tekadmu untuk melakukan hal ini.”

102
Nama kita kemudian dipanggil. Inilah saatnya. Dimana
saya akan membuktikan diriku sendiri.

Saat saya duduk di kursi, saya melihat banyak


penonton melirik saya. Saya tidak peduli. Saya hanya akan
fokus kepada pertunjukannya.

“A Million Dreams, by Michelle Williams”, MC


berkata.

Saya mulai mengerakkan jari-jariku di piano. Si Max


mulai bernyanyi, diikuti dengan Nadia beberapa saat
kemudian.

Hasilnya sungguh baik. Suara pianoku dengan


nyanyian mereka sangat sinkron. Kita seperti menggambar
suasana di seluruh panggung. Kita terlihat bersemangat sekali
saat bertampil, apalagi si Nadia dan Max. Mereka semangat
sekali membawakan lagunya. Nada demi nada, lirik demi lirik
kita mainkan secara sempurna.

Akhirnya, lagu itu selesai. Tetapi dampak yang kita


berikan kepada penonton belum selesai. Mereka tercengang
dengan apa yang barusan mereka lihat. Mereka terbawa
suasana yang barusan kita buat

Kemudian, semua penonton berdiri dan memberikan


kita tepuk tangan. Sebuah standing ovation yang jarang terlihat
di acara ini.

Di dalam ruangan terang ini, saya hanya bisa melihat


sejauh mata memandang. Suara tepuk tangan dan sorak sorai
memenuhi ruangan itu. Saya tidak merasakan malu ataupun
ketakutan, melainkan saya merasa bangga dan terharu. Setelah

103
saya keluar dari ruangan ini 1 tahun kemudian, saya perpikir
bahwa saya tidak akan masuk ke sini lagi.

“Lihatlah, kawan. Kita menaklukkan dunia.”, sebut


Max

Tiba-tiba, perasaan pusing yang telah saya alami sejak


dulu kambuh lagi. Tetapi kali ini, saya langsung merasa seperti
melayang. Setelah beberapa waktu, akhirnya saya mulai tak
sadarkan diri. Saya terjatuh dari tempat duduk.

Saya terbangun, hanya melihat putih-putih. Apakah ini


surga? Apakah saya sudah meninggal?

“Hei, dia sudah terbangun! Nadia, dia sudah bangun!”


Saya kenal suara itu. Apakah itu Max? Berarti, saya masih
hidup.

“Kamu selamat, Rosa. Saya mengira bahwa kami


semua akan kehilanganmu.”, Nadia berkata demikian sambil
menangis.

Ternyata, setelah saya pingsan di bangunan opera, saya


langsung dilarikan ke rumah sakit. Di rumah sakit, dokter
sudah menyatakan bahwa saya sudah flatline, alias tidak ada
denyut nadi. Segala usaha resitusi jantung mulai dilakukan.

Pertama, mulai dari pemberian pernapasan. Tidak


ampuh. Dokter langsung mengambil alat penghentak jantung
dan memasukkan tegangan sedang ke tubuhku. Tidak ampuh.
Nadia dan Max mulai putus harapan, mulai menangis.

Tetapi, tim medis belum putus harapan. Tegangan


listrik tinggi mulai dimasukkan. Pompa oksigen dimasukkan

104
ke mulutku. Suntikan adrenalin dimasukkan ke tubuhku.
Hingga akhirnya, jantungku mulai berdetak lagi.

Dokter sudah menyarankan agar saya tinggal di rumah


sakit di Vienna, karena jantungku masih sangat lemah. Tidak
apa-apa, toh yang membayar tiket juga pemerintah Indonesia.

Lalu, tiba-tiba saya mendapat surat dari Pak Presiden.


Surat itu dikirim langsung oleh kedutaan.

Dia berkata, “Halo Ny. Rosa. Senang bisa berbicara


denganmu. Saya mendengarkan konsermu bersama temanmu
di televisi. Sangat fenomenal sekali kalian. Tetapi yang sangat
berkesan menurut saya adalah kamu. Saya sudah membaca
latar belakang anda. Kehilangan kedua orangtua dan nenekmu,
gagal di panggung internasional, bahkan menderita penyakit
jantung. Tetapi, anda memutuskan untukterus maju, terus
bertahan dengan tekad dan semangat yang luar biasa.”

“Teruslah berjuang, anakku. Teruslah menggapai


mimpi-mimpimu dengan semangat yang tinggi dan tekad yang
kuat.”

105
Hari Kesialan Anton
Oleh: Peter Brian XIA6/24

Setiap harinya, Anton selalu mengatakan dirinya


bahwa keberuntungan selalu ada. Dia merasa tidak ada sebuah
nasib sial yang akan menimpa dirinya. “Setiap hari rasanya
enak-enak aja ya, selalu beruntung aja aku,” katanya. Tobi
menjawab, “Ya ampun, Ton. Jangan berpikiran gitu, deh.
Hidup tuh pasti gak sempurna. Tiap orang pasti pernah
mengalami yang namanya gagal.” Anton hanya cuek
mendengar hal itu dan langsung pulang ke rumahnya. Di
rumah, Ibunya menanyakan apakah besok ada ulangan ataupun
tugas. “Nggak ada kok. Santai aja, Bu,” jawabnya. “Awas,
sampe besok dihukum!”

Anton masuk ke kamarnya dan bergegas untuk mandi.


Yang ada di pikirannya bahwa besok tidak ada tugas dan
ulangan. Dia pun bermain game sepuas-puasnya hingga dia
mulai mengantuk. Dia tertidur pulas di ranjangnya dan
mengorok keras-keras. Dia pun bermimpi sedang bersantai di
pantai seolah-olah tidak ada rasa kekhawatiran dalam dirinya.

Keesokan harinya, ketika Anton masih di ranjang, tiba-


tiba ada suara ketukan pintu kamarnya. Ada pula suara
teriakan, “Anton! Bangun! Hei!” Ibunya berteriak-teriak
hingga akhirnya Anton bangun. “Astaga! Jam setengah 7?!
Gawat!” seru Anton ketika melihat jamnya. Dengan keadaan
yang terburu-buru, dia langsung memakai seragamnya dan

106
makan roti saat perjalanan naik mobil ke sekolah. Ibunya yang
melihat hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

Anton berhasil sampai di sekolah, tetapi sudah


terlambat. Jam sudah menunjukkan pukul 07.20 dan dengan
lemas, dia berjalan ke kelasnya. Begitu masuk, semprotan
amarah dari gurunya langsung mengenai Anton. “Maaf, Pak.
Saya janji tidak bakal mengulanginya lagi,” jawabnya. Dia
langsung duduk di sebelah Tobi. Tobi hanya menepukkan dahi
ketika melihat temannya tersebut. Belum selesai di situ, guru
tiba-tiba meminta semua siswa untuk mengumpulkan tugas
laporan observasi. Anton kaget dan langsung bertanya ke Tobi,
“Tob, emang ada tugas?” “Lah kan emang iya, Ton. Kamu kan
sudah tulis di notes kemarin kan?” Setelah semuanya
terkumpul, guru kembali memanggil Anton. Dia menanyakan
tentang tugasnya yang Anton tidak kumpulkan. “Maaf, saya
lupa bawa, Pak,” jawabnya. Kembali dimarahi oleh guru,
Anton dihukum berdiri di luar kelas dan tidak boleh mengikuti
pelajaran selama satu hari itu. “Aduh! Kenapa bisa begini?!”
katanya dalam hati.

Saat pulang sekolah, Tobi menyampiri Anton.


“Sudahlah, Ton. Nggak usah dipikirkan. Lain kali ya lebih
diperhatikan tentang tugas.” “Iya, Tob, tapi kamu juga bantuin
ingetin aku juga kadang-kadang.” Tobi mengangguk tetapi
juga memberi nasihat lagi. “Kan sudah aku bilang kalo hidup
gak mungkin sempurna. Siapapun pasti pernah mengalami
kesialan.” Anton mengangguk-anggukan kepala.

Sampai di rumah, Ibunya langsung menanyakan


bagaimana di sekolah. Anton secara jujur akhirnya
menceritakan apa yang sudah terjadi di sekolah. Ibunya

107
menasihatinya, “Makanya, dari kemarin kan Ibu sudah
mengingatkan kamu ada tugas atau nggak, tapi kamu malah
santai-santai aja.” “Iya, Bu. Entah kenapa, kemarin aku bener-
bener lupa dengan tugas yang harus dikerjakan. Aku bener-
bener terlalu meremehkannya,” jawab Anton sambil
meneteskan air mata. “Ya sudah, sekarang anggap ini sebagai
pelajaran buat kamu. Ke depannya, kamu harus lebih
bertanggung jawab sebagai siswa sekolah.” “Ya, Bu. Aku janji
kok,” jawab Anton lagi-lagi sambil meneteskan air matanya.
Ibunya langsung memberinya pelukan dan mencium dahinya.

Keesokan harinya, Anton dapat bangun lebih pagi. Dia


bisa mandi, memakai seragam dan sarapan lebih tenang. Saat
berangkat, Ibunya memeluk dia dan mencium dahinya agar
Anton dapat semangat. Saat di sekolah, Anton bisa mengikuti
pelajaran dengan baik. Tugas-tugas yang harus dikerjakan saat
hari itu juga sudah diselesaikan dan dikumpulkan olehnya. Tak
hanya itu, tugas yang kemarin belum terkumpul akhirnya dia
kumpulkan. Saat pulang sekolah, Tobi langsung berkata, “Nah,
akhirnya sudah ada yang lega nih.” “Iya, Tob. Akhirnya
masalah bisa terselesaikan. Terima kasih ya, nasihatmu
kemarin sangat membantu.” Tobi hanya tertawa mendengar hal
itu. “Yaudah, Ton. Karena besok hari Sabtu libur, main yuk ke
Mall. Siapa tahu ada film baru di bioskop.” “Ok, siap,” jawab
Anton.

108
Tak Ada yang Seperti
Tampaknya
Oleh : Philip Jonathan Kho XIA6/25
Pada suatu hari, Clyde, salah satu pengusaha besar di
Asia Tenggara ingin berangkat ke negara lain Karena panggilan
kerja. Ia pada siang hari berangkat menuju bandara namun
sampai dibandara ia merasa lemah dan lapar sehingga Clyde
ingin mencari bekal untuk makan. Sampailah Clyde di sebuah
kedai donut, ada tulisan besar yang menggoda Clyde “beli 4
gratis 1” maka Clyde membeli donut tersebut dan duduk di
sebuah kedai untuk bersantai sembari. Clyde meletakan
barang- barangnya di sofa dan ia ke kasir untuk memsan
minum. Saat clyde kembali ke mejanya, ia melihat seseorang
berbaju kumuh, menggunakn sandal jepit, dan terlihat tidak
berkecukupan, duduk berhadapan di meja Clyde. Clyde
menanyakan kepada pria itu, “ada yang bisa saya bantu” pria
itu menoleh dan tidak menjawab Clyde sama sekali, dan itu
sedikit membuat Clyde kesal akan perlakuan pria itu. Beberapa
menit kemudian Pria itu mengambil sebuah donut yang ada di
meja, Clyde melihat ia mengambilnya dan merasa kesal
mengambil donut miliknya, namun Clyde membiarkannya
karena merasa kasihan dan Clyde juga mengambil satu
sehingga sisa 3 donut. Clyde kemudian asik membaca koran
dan berapa menit kemudian pria itu mengambil donut kedua
dan Clyde menatap mata pria itu dengan kesal, karena donut
miliknya diambil seakan tidak mempunyai etika dan sopan
santun. Pria itu menoleh balik kepada Clyde seolah tidak ada
yang terjadi dan hal itu dianggap hal yang biasa. Akhirnya

109
Clyde membiarkannya dan mengambil satu donut lagi sehingga
tersisa 1 buah donut. Clyde sudah kehilangan semangatnya
membaca koran karena harinya sudah cukup kesal. Beberapa
saat kemudain terdengar suara pengumuman bahwa
pesawatnya akan segera boarding, si pengusaha itu ber siap-
siap untuk pergi. Sebelum si pengusaha pergi, si pemulung
pergi terlebih dahulu dan mengambil donut terakhir, dengan
sangat kesal si pengusaha akhirnya berdiri dan melototi si
pemulung dengan muka yang sangat marah dan kesal. Dengan
lancangnya, si pria tersebut merobek donut itu dan
membaginya kepada sang pengusaha, dengan pasrah ia
menerimanya begitu saja. Sang pengusaha tersebut akhirnya
bergegas untuk pergi dengan kesal dan menyimpan amarah,
“betapa tidak tahu dirinya pria itu, makan tinggal makan, ijin
juga tidak, terimakasih juga tidak” dia mengambil barang-
barangnya yang ia letakkan di sofa, setelah ia mengangkat
tasnya ia menemukan sebuah kantong putih berisi lima donut
miliknya yang masih utuh. Seketika ekspresi pria itu langsung
berubah, dan Ia kaget ternyata selama itu ia memakan donut
milik pemulung itu dan pemulung itu tidak masalah ia
memakannya miliknya, bahkan saat tinggal satu masih dibagi
dua. Pria itu kemudian mengambil donutnya dan mengejar sang
pemulung itu, kemudian ia melihat pemulung itu dikawal oleh
7 orang pramugari kedalam loung bertulisan “first class” ia
langsung kaget dimana ternyata orang yang ia kira pemulung
merupakan pemilik “fly emirates’ alias salah satu maskapai
penerbangan terbaik. Ternyata pria itu hanya mengetes
perilaku orang yang berpakaian baik.

110
Amanat yang saya dapatkan adalah, orang yang
berpenampilan baik tidak selalu beretika baik, dan orang yang
berpenampilan buruk tidak selalu beretika buruk, roda
kehidupan berputar dan tidak ada yang seperti tampaknya.

111
Si Anak Emas dari Malang
Oleh: Ravi Harun XIA6/26
Suatu hari di malam yang dingin dan basah, Bobby
sedang memikirkan nasibnya di kota ini. Bobby tinggal
bersama bapaknya Agus dan ibunya Ratna di pedalaman kota
Malang, Jawa Timur. Belakangan anak berumur 15 tahun ini
bertanya-tanya kepada Tuhan, entah seberapa besar salah dan
dosanya untuk diperlakukan seperti sampah di kota yang sudah
lama dia berniat untuk pergi. Sudah lama Bobby menggarap
tanah di pinggir jalan kota Malang untuk membantu bapak
ibunya mencari nafkah. Ia pun tidak memiliki banyak waktu
untuk belajar setelah pulang sekolah karena harus membantu
ibunya berjualan koran di jalan raya dekat rumahnya.
Meskipun itu, Bobby terus berusaha untuk meraih nilai yang
terbaik di sekolah demi masa depannya nanti.

Semua keputusaan Bobby berubah saat ia membaca


berita di koran yang sedang ia jual, bahwa akan diadakannya
tes bagi calon siswa SMA Kelas 1 untuk berasrama dalam
sebuah sekolah top di Jakarta. Melihat kesempatan ini, Bobby
langsung memberitahu orangtuanya untuk membantunya
dalam pendaftaran sekolah tersebut. ‘Bu, Pak, boleh dengerin
Bi sebentar nggak?’ sebut Bobby menggunakan nama
panggilannya. ‘Apa nak?’ hasut ibu, ‘tadi pas Bi lagi jualan
koran, Bi lihat pemberitahuan mengenai suatu sekolah di
Jakarta yang menerapkan program asrama bu.’ ‘Terus kenapa
Bi? Kamu mau sekolah di sana’, selutuk ibu ‘Iya bu, soalnya
program ini bisa ngebantu kita sekeluarga dalam masalah-
masalah kita, termasuk masalah uang’ jelas Bobby. ‘Lagi-lagi

112
bu, program ini menyediakan beasiswa bagi kita yang berhasil
meraih nilai tinggi di tes mereka’. Ibu Ratna pada awalnya
ragu-ragu akan ide anaknya, mengingat bahwa kota Jakarta
sangat jauh dari Malang, tetapi setelah mendengar bahwa ada
beasiswa, Bu Ratna langsung bersemangat. Pak Agus yang
sedang makan di meja makan mendengar percakapan mereka
berdua dan lansung memberikan tanda hijau atas ide tersebut.

Dengan bantuan tetangga mereka, semua keperluan


Bobby dapat dipenuhi. Ia mulai belajar giat demi mendapatkan
nilai tinggi demi beasiswa tersebut. Ibunya pun harus bekerja
lebih keras selama jenjang waktu enam bulan agar Bobby dapat
memiliki waktu belajar yang banyak setelah pulang sekolah.
Meski lelah, ibu tidak pernah mengeluh. Sedangkan bapak
harus kerja lembur di pabrik demi membantu istrinya jualan
koran. Sekali-kali temannya datang untuk membantu Bobby
namun ia tidak ingin merepotkan teman-temannya karena ia
sudah sering mengutang mereka di sekolah. Meski merupakan
Bobby merupakan salah satu siswa terbaik di sekolahnya
dengan nilai yang tinggi-tinggi, Bobby merasa bahwa tes ini
merupakan salah satu tantangan terbesar yang ia akan hadapi.
Bahkan beberapa dari guru mereka bertanya kepadanya, ‘Bi,
kamu gak cape apa?’ ‘gak bu, saya pengen bantu orangtua saya
agar mereka tidak terus terjerat dengan keberadaan saya’, sahut
Bobby dengan senang hati. Bobby berharap dengan pindahnya
dia ke Jakarta, ia bisa membantu orangtuanya dengan
mengurangi tanggung jawab mereka karena nantinya
semuannya akan ditanggung di asrama itu apabila Bobby
berhasil meraih beasiswa itu.

Enam bulan telah berlalu dan hari tes telah tiba. Bobby
merasa sangat gugup karena ia takut tidak mencapai targetnya.

113
Namun ibu sadar akan kegelisahan Bobby dan ia langsung
memeluknya dan berkata, ‘tenang bi, proses tidak akan
mengkhianati hasil, kamu pasti bisa kok.’ Bapak juga ikut
mendampingi Bobby karena itu hari sabtu dan pabriknya tutup
libur. Bobby sangat senang dengan dukungan kedua
orangtuanya dan sangat bersyukur atas pengorbanan mereka
selama ini. Akhirnya Bobby berhasil mendapatkan beasiswa
tersebut dengan tertera namanya di papan pengumuman 2
minggu setelah tes tersebut di tempat diselenggarakannya tes
ini. Bobby merupakan salah satu dari 20 anak yang berhasil
meraih beasiswa di seluruh Indonesia yang dimana kebutuhan
mereka kan ditanggung 100 persen oleh pihak asrama termasuk
tiket bus/pesawat dari kota mereka masing-masing.

Meski berhasil meraih beasiswa tersebut, tantangan


Bobby tidak sampai situ saja. Begitu sampai di asrama, ia
langsung di bebani dengan realita kehidupan di asrama. Meski
ada beberapa anak baru di asrama tersebut, kebanyakan dari
mereka sudah kenal satu sama lain karena berasal dari kota
yang sama. Dalam kata lain, Bobby hanyalah satu-satunya yang
berasal dari Lampung. Adapun anak-anak mayoritas lainnya
yang berasal dari SMP asrama tersebut. Jadi Bobby sungguh
merasa kesepian. Sudah tiga bulan lewat dan ia sangat
merindukan orangtuanya. Disaat Bobby sedang melamun di
sela-sela istirahat, ia mendengar sebuah sahutan, ‘Hei, ikut
main yuk!’ Ternyata salah satu temannya yang ia tidak terlalu
kenal mengajaknya bermain basket. Melihat kesempatan itu,
Bobby setuju dan ia pun ikut bermain. Selama beberapa menit
bermain, Bobby mulai merasa ia diterima di sekolah tersebut.
Sampai pada suatu saat dimana Bobby disekat oleh salah satu
temannya yang tidak jumpa meminta maaf. Merasa kesakitan

114
Bobby ditertawai oleh teman-temannya karena terlihat air mata
keluar dari matanya. ‘Cengeng lu! Dasar bocah’ sahut
temannya. Bobby pun merasa tidak berdaya karena sudah sakit
dan juga diejek. Namun ada satu orang yang tidak tertawa
yakni teman yang mengajaknya bermain basket. Ia kemudian
yang membantu Bobby untuk berdiri dan membawanya ke
UKS. Disana mereka berkenalan, sambal Bobby dirawat oleh
salah satu guru di asrama tersebut. Ternyata nama anaknya
adalah Evan, dan Bobby merasa bahwa hanya Evan yang bisa
tulus menjadi temannya.

Bobby dan Evan kemudian menjadi teman dekat


selama kelas 1 SMA dan Bobby tidak merasa sepi lagi. Sampai
pada saat Evan bertanya kepada Bobby, ‘Bi, lu sebenernya ada
temen lain nggak sih, selain gw.’ Mendengar pertanyaan
tersebut, Bobby tersinggung dan berkata, ‘Maksud lu apa Van,
nanya begituan?’ ‘Nggak maksudnya tuh lu keliahatan sedih
banget kadang-kadang, kenapa sih?’ jelas Bobby mencoba
untuk menenangkan situasi. Ternyata Bobby masih trauma
akan kejadian di lapangan basket setahun yang lalu, sampai hari
itu, ia merasa tidak diterima semua orang disekolahnya kecuali
oleh Evan. Mendengar perasaan Bobby setelah ia jelaskan
kepada Evan, Evan mencoba untuk mencari sebuah solusi
untuk mengatasi masalah percaya diri Bobby. Sampai pada
pulang sekolah, Evan bertemu Bobby di kantin untuk
memberitahu nya bahwa satu-satunya cara untuk dihormati
oleh teman-teman sekitarnya adalah untuk meraih sebuah
prestasi. Bobby kemudian mengikuti Evan untuk mencari tahu
mengenai lomba-lomba sains yang akan diadakan selama
semester 1 ini karena minatnya adalah mapel kimia dan fisika.
Bobby pun menemukan sebuah proposal suatu lomba sains di

115
Jakarta Utara mengenai lomba fisika yang berhadiah 5 juta
rupiah.

Selama berminggu-minggu Bobby mempersiapkan


dirinya untuk lomba ini. Ia terus bekerja keras dalam berlatih
dan terus meminta latihan soal kepada ibu guru. Kemudian hari
lomba telah tiba dan ia lagi-lagi gugup. Bobby sebenarnya
berniat untuk memberikan hadiah uang 5 juta tersebut kepada
kedua orangtuanya. Ia mengetahui bahwa uang sebesar itu
dapat membantu mereka, maka dari itu, ia sangat ingin
memenangkan juara 1. Setelah berlomba ternyata Bobby juara
2. Melihat hasilnya ia merasa sedih dan ingin putus asa karena
telah gagal mencapai tujuannya yaitu untuk mendapatkan
hormat dari teman dan juga untuk membantu orangtuanya.
Meski tidak juara 1, ia tetap memberikan uang sebesar 3 juta
rupiah itu kepada orangtuanya di Malang. Bobby sangat sayang
kepada kedua orangtuanya jadi ia rela memberikan semuanya
bagi mereka.

Melihat kemurahan hati Bobby, pihak sekolah dan


asrama sangat menghargai tindakannya untuk memberikan
seluruh hadiah uang yang ia menangkan kepada kedua
orangtuanya. Sehingga kepala sekolahnya saat apel pagi
mengapresiasi Bobby dengan menyebut namanya dan
memanggilnya untuk naik panggung. Di atas panggung, bapak
kepala sekolah menceritakan pengalamannya kepada seluruh
siswa SMA di pagi hari itu. Berdiri di panggung membuat
Bobby merasa nyaman dan senang akan pencapaian dan
pengorbanannya selama ini. Ia tidak bertujuan untuk mencari-
cari perhatian agar dihormati oleh teman-temannya. Ia hanya
merupakan anak sederhana yang menginginkan yang terbaik

116
untuk keluarganya. Maka semenjak hari itu, ia dikenal sebagai
anak emas asrama tersebut.

117
Khayalan Penuh Harapan
Oleh : Stephanus Primayuda XIA6/27
Siang itu, aku duduk termenung di kursi terasku.
Matahari siang itu menyapaku, memberikanku segenggam
harapan sembari diiringi melodi-melodi angin yang
membawaku pada khayalan penuh harapan, hingga kerap kali
aku menutup mata membayangkannya.

***

Nasib yang tak kunjung berubah, membawa tekadku


untuk pergi ke suatu kota, entah kemana. Terlintas dalam
pikiranku untuk pergi ke Jakarta, sebuah kota yang kuharapkan
bisa mengubah nasibku. Kata orang, Jakarta adalah kota yang
tepat untuk mengubah nasib. Sebenarnya, aku bingung, aku
terjebak dalam perasaan yang tidak mudah, dilema namanya.
Aku tak tega aku meninggalkan istriku yang sedang hamil
muda sendirian. Tak lama aku mendengar suara samar-samar
dari kejauhan, sepertinya dari dapur.

“Klinting…klinting…klinting…klinting…ting…tingg
…ting…ting…”

Suara itu menganggu sekali, rasanya penuh dalam


pikiran dan menganggu semua harapan indah yang sudah
kususun. Tanpa rasa bersalah, istriku duduk disampingku
sambil mengibaskan rambutnya dan meletakkan segelas teh
hangat sebagai tanda cintanya. Aku mulai membuka mulut tuk
mengatakan semua isi pikiranku selama termenung tadi.
Belum ada satu katapun yang kuucap, aku masih ragu, takut
keputusan yang kuambil salah. Namun akhirnya aku berani

118
berbicara meskipun diikuti rasa takut. Jawaban tak terduga
keluar dari mulut istriku.

“Iya mas tidak apa apa, semoga keputusanmu bisa


mengubah keluarga kecil ini.” jawabnya.

Tanpa berpikir panjang, istriku dengan mudahnya


membiarkan ku pergi. Kepenatan dengan keadaan atau justru
sebuah dorongan agar aku bisa mengubah keluarga kecil ini.
Kalimat yang keluar dari mulutnya terasa tawar, ambigu sekali.
Butuh beberapa detik hingga akhirnya aku tahu apa yang harus
kulakukan. Aku berlari menuju bilik kamarku untuk
membereskan pakaian. Tak sengaja aku melihat celengan ayam
di atas meja, kupecahkan celengan ayam itu sebagai uang
pegangan. Uang yang selama ini aku kumpulkan untuk biaya
persalinan istriku, namun tampaknya aku harus gunakan untuk
pergi ke Jakarta. Kuhitung ada dua juta lima puluh ribu rupiah.
Cukup, harus cukup, dan pasti cukup.

Berpamitan dengan orang yang kusayangi tak semudah


seperti yang kubayangkan, apalagi pergi untuk waktu yang tak
tentu. Aku merasakan air mata mengalir dari pipinya membuat
pundak kananku basah. Doa dan harapan juga turut menyertai
saat pelukan terakhir kami itu. Entah untuk berapa lama hingga
akhirnya kami bisa berpelukan lagi. Langit berubah menjadi
abu-abu ketika aku keluar dari rumah tersebut. Tuhan pun
seakan ragu memberikan jalan kepadaku. Keputusanku sudah
bulat, aku tetap harus berangkat.

Aku sudah sampai di pelabuhan Tanjung Ringgit


sebelum senja tiba. Memori itu kembali memasuki diriku,
membawaku pada kenangan masa muda saat kami berpacaran

119
saat itu. Menikmati segelas air kelapa dingin sambil menunggu
senja turun dan akhirnya berganti malam. Diiringi dengan
obrolan kami yang menghangatkan malam yang dingin kala itu.
Bulan begitu sempurna malam itu, tak seperti jalan hidupku.
Memori itu kian lama kian memudar, aku terganggu dengan
kebisingan diluar sana. Egoisnya orang-orang, tak ada
kesempatan bagiku untuk menikmati semua memori indah itu
sebentar saja.

Di tengah kebisingan itu, pandanganku tertuju pada


seorang perempuan yang tampaknya seumuran denganku. Aku
mencoba untuk menghampirinya. Ternyata itu adalah Siti,
temanku ketika SMA. Pertemuan yang sangat tidak disengaja.
Dulu, aku sempat berpacaran dengannya untuk waktu yang
lama. Dan aku pikir, kini kami sudah terlalu dewasa untuk
membahas kenangan masa muda kami. Aku turut senang ketika
tahu bahwa Siti adalah seorang guru, setauku itulah cita-citanya
ketika SMA waktu itu. Desiran ombak menemani obrolan
kami yang tak ada habisnya. Bulan purnama malam itu juga
terlihat sabar menyaksikan obrolan kami. Tak ada kata lelah
bagi kami, kami sama-sama punya harapan, harapan kecil
untuk bisa mengubah nasib. Obrolan kamipun meluas, seperti
luasnya harapan kami di dunia ini. Tak terasa jauh disana
mentari mulai menunjukkan sinarnya. Dan akhirnya aku
sampai di pelabuhan Tanjung Priuk, Jakarta.

“Huftt… perjalanan yang melelahkan” kataku.

Lagi-lagi aku harus berpisah, sebuah kejadian yang


membuatku trauma karena banyak perasaan didalamnya.
Rasanya baru sebentar kami mengobrol, namun Tuhan

120
mempercepat waktu dalam perasaanku. Tak apa, pertemuan
singkat itu sungguh bermakan bagiku.

Akhirnya aku sampai di Jakarta. Ya Jakarta, kota yang


awalnya kuharapkan bisa mengubah nasibku ini menjadi
sebuah kota tanpa petunjuk. Orang-orang Jakarta adalah orang
yang mandiri. Mereka bisa menentukan arah jalan hidupnya
masing-masing. Sedangkan aku yang bukan orang Jakarta
dibutakan oleh mereka. Ketidakpastian ini membuatku takut
sejak awal. Aku memberanikan diri untuk memulai langkah
dan ketika aku berjalan, aku bertemu dengan seseorang yang
tak kukenal. Ia menyapaku duluan seperti kami sudah akrab,
padahal tidak. Namun menurutku ini satu petunjuk yang Tuhan
berikan kepadaku. Tuhan seperti mengutus satu nabinya untuk
membantu memberikan jalan padaku hari itu. Namanya Bapak
Tono. Ia menuntunku sampai ke rumah pengusaha kaya. Dan
akhirnya aku ditawari pekerjaan sebagai tukang kebun. Tanpa
pikir panjang, aku segera menerima kesempatan itu. Bukan
pekerjaan yang kuharapkan, tetapi aku tahu Tuhan memberikan
jalan kecil ini agar aku bisa sampai ke jalan yang besar.

Selama kira-kira 6 bulan, Tuhan tidak memberikan aku


cobaan sedikitpun. Aku nyaman dengan pekerjaanku dan
penghasilan yang kudapatkan juga lumayan. Aku heran
mengapa Tuhan sungguh baik akhir-akhir ini. Mungkin, Ia
mendengar semua keluh kesahku selama ini. Dengan
pendapatan yang sudah kudapat, aku memutuskan untuk
pulang diakhir tahun ini. Pastinya, aku rindu pada istriku yang
kini sedang hamil besar. Rindu itu kusimpan selama 6 bulan.
Untuk memberi kabar pun, aku tak bisa, aku tak punya gawai,
dan aku tidak punya waktu. Rasa rindu inilah yang membuatku
semangat untuk kembali.

121
Aku berangkat saat matahari mulai bercahaya.
Matahari begitu cepat bercahaya seakan ia terburu-buru
membawaku pulang. Ada apakah sebenarnya ? Aku terus
merenungkan itu sambil melihat pecahan ombak yang
menabrak kapal. Secepat itukah hingga aku tak sadar bahwa
kapalku sudah sampai sebelum senja tiba. Aku tersadar bahwa
senja itu adalah senja yang sama seperti dahulu kala. Memori
itu mencoba untuk masuk lagi, namun kutinggalkan itu. Aku
tak ada waktu untuk memikirkan itu, aku hanya rindu padanya.

Dari kejauhan aku lihat rumahku cukup ramai, banyak


orang berdatangan, namun dengan pakaian hitam. Aku
bertanya tanya dalam hatiku, apakah yang sebenarnya terjadi.
Semua orang menangis, bendera kuning banyak terpasang,
semua orang menunduk dan terfokus pada sesuatu yang
diselimuti kain putih ditengah. Terdengar samar-samar
lantunan surat yasin.

“ya sin, walqur anil hakim, innaka laminal mursalin,


ala siratim mustaqim, tanzilal azizir rahim…”

Semakin aku berjalan mendekat, semakin keras suara


itu hingga mengacaukan perasaanku. Aku tak kuasa melihat
diriku yang sebodoh ini. Nampaknya, resiko yang kuambil
terlalu besar hingga aku harus mengorbankan istriku dan anak
dalam kandungannya. Perhatian seorang ayah dan suami yang
seharusnya mereka rasakan, tidak mereka mereka terima.
Mereka telah berjuang untuk hidup tanpaku. Kini aku sendiri,
tak punya siapa siapa. Andaikan Tuhan bisa terlihat,
setidaknya aku punya teman yang selalu menemani hari-
hariku.

122
Turut berduka cita adalah kalimat munafik yang
kudengar dari orang orang itu karena aku tak rela istriku harus
pergi lebih cepat. Sedikit demi sedikit orang-orang itu pergi
kembali ke rumah masing-masing tanpa rasa bersalah sama
sekali. Air mata mereka sudah berhenti, sedangkan air mataku
terus mengalir dari mataku tak ada hentinya. Semua memori
masa lalu itu kembali masuk. Semua kenangan indah itu
mengacaukan pikiranku, menambah banyaknya air mataku
yang keluar dari mataku. Ingin kuhabiskan semua air mataku
sampai berhenti sendiri dan akhirnya sembab.

Ayam berkokok sejak pagi tadi, tetapi aku


menghiraukannya, meskipun ayam itu memang bermaksud
untuk membangunkanku. Biasanya istriku membangunkan
aku. Mataku sulit dibuka, mungkin mata ini kurang air karena
semua air telah kukeluarkan tadi malam. Apakah perlu
kumasukan kembali air mataku agar semua kejadian kembali
seperti semula? Aku tak biasa hidup mandiri, bahkan aku tak
tahu bagaimana cara membuat teh seperti yang istriku lakukan
setiap hari kepadaku. Akhirnya, aku berhasil membuat teh itu.
Sambil berjalan ke teras kuseruput sedikit, tawar sekali,
rasanya menyedihkan.

Siang itu, aku duduk termenung di kursi terasku.


Matahari siang itu menyapaku, memberikanku segenggam
harapan sembari diiringi melodi-melodi angin yang
membawaku pada khayalan penuh harapan, hingga kerap kali
aku menutup mata membayangkannya. Aku terbangun karena
siang itu, istriku tidak sengaja menumpahkan teh di kakiku.
Untung saja semua khayalan itu hanya mimpi.

123
Cedera yang Mengubah
Segalanya
Oleh: Theo Adiwinata XIA6/28

Tahun ajaran yang baru sudah mulai berjalan di SMA


Puji Indah Melati, Jakarta Pusat. Murid-murid baru di tahun
ajaran 2019/2020 ada sekitar 212 anak. Salah satu murid yang
baru di tahun ajaran 2019/2020 ini adalah Kenny Gregory.
Kenny memiliki seorang ayah yang merupakan sebuah atlit
basket terkenal di Indonesia. Alhasil Kenny mengikuti jejak
ayahnya yang merupakan seorang atlit basket, oleh karena itu
seorang Kenny gemar bermain basket.

Pada hari Senin, 21 Juni 2019 Kenny pergi ke SMA Puji


Indah Melati untuk upacara sambutan murid di tahun ajaran
2019/2020. Kenny mulai beradaptasi di sekolah SMA barunya,
dia mulai bermain dan bergaul dengan teman sebayanya di
kelas. Alhasil Kenny memiliki banyak teman yang baru di
SMA Puji Indah Melati. Lalu saat pulang sekolah Kenny juga
mendaftarkan diri pada ekstrakurikuler basket, salah satu
alasan Kenny daftar sekolah ini adalah karena program
basketnya yang terkenal.

Kemudian satu minggu setelah Kenny mendaftar


ekstrakurikuler basket, dia baru diterima dan mulai mengikuti
ekstrakurikuler tersebut. Karena Kenny mendapatkan ajaran
khusus dari ayahnya, Kenny sudah beberapa tingkat diatas
teman sebayanya. Oleh karena itu Kenny di ekstrakurikuler

124
basket sangat tinggi sekali hatinya. Temannya yang baru
berteman dengan dia juga sudah mulai jengkel dengan sikapnya
Kenny. Tapi mereka masih berharap bahwa Kenny bisa
berubah seiring berjalannya waktu.

Kenny yang selalu dinasehati oleh temannya, tidak juga


berubah. Bahkan Kenny sekarang semakin sombong dan
emosian saat bermain basket. Akhirnya Kenny pun mulai
dijauhi oleh temannya di SMA Puji Indah Melati ini. Walaupun
begitu pelatih atau coach ekstrakurikuler basket tetap senang
dan terus memuji Kenny. Karena Kenny memiliki talenta dan
skill yang sudah terbukti. Oleh sebab itu sikap Kenny tidak ada
yang berubah karena Ia menjadi anak favorit pelatih di
sekolahnya.

Namun pada suatu hari setelah beberapa bulan Kenny


ekstrakurikuler, Kenny yang sedang melakukan drill dengan
pelatihnya jatuh. Kenny yang terjatuh itu cedera, akibatnya
pelatih dan para guru membantu Kenny untuk pergi ke rumah
sakit. Para murid yang ikut ekstrakurikuler itu malah tertawa
senang. Karena si Kenny yang sombong itu cedera dan tidak
akan mengikuti ekstrakulikuler untuk sementara.

Kenny yang sekarang berada di rumah sakit, terkejut dan


tidak bisa menerima kenyataan dari dokter. Lututnya tidak bisa
disembuhkan dengan segala cara medis, cedera yang dialami
oleh Kenny ternyata lebih parah dibanding yang Ia perkirakan.
Setelah itu orang tua Kenny datang untuk membayar biaya
perawatan dan berbicara dengan dia. Setelah mendengar
keadaan Kenny dari dokter, ibu dan ayahnya terkejut.

125
Ayah dan Ibunya menyemangati Kenny bahwa Ia akan
terus bisa bermain basket. Tapi Kenny yang mendengar
semangat itu menjadi marah dan menyuruh orang tuanya keluar
dari ruangan. Akhirnya orang tuanya keluar, Kenny tahu bahwa
orang tuanya hanya ingin menyemangati dia. Tapi Kenny juga
kesal karena diberi harapan palsu “dengan lutut seperti ini apa
yang bisa aku lakukan” kata Kenny sambil menangis.

Setelah beberapa bulan berlalu, Kenny baru


diperbolehkan untuk keluar dari rumah sakit. Kenny sudah
rehabilitasi dan bisa berjalan, tapi sekarang Kenny sudah
sangat sulit sekali untuk bermain basket. Kenny bertemu
dengan pelatihnya dan berkata bahwa Ia akan keluar dari
ekstrakurikuler basket. Pelatihnya yang sudah mengetahui
alasan Kenny setuju dengan keputusan yang Ia buat.

Lalu Kenny mulai berubah menjadi orang yang pendiam


dan lesu. Kemudian teman-teman dan para murid anggota
ekstrakukrikuler basket mendengar berita tentang Kenny.
Mereka merasa bersalah dan akhirnya meminta maaf kepada
Kenny, atas seluruh hal yang mereka katakan kepada Kenny.
Kenny yang mendegar permintaan maaf itu tidak berkata apa-
apa dan tidak merasakan apa-apa. Karena cita-cita yang Ia
punya dan kejar sekarang sudah tiada. Akhirnya Kenny pergi
kembali ke sekolah SMA Puji Indah Melati hanya untuk
belajar.

126
Bangkit
Oleh: Timothy Antonius Sevenson XIA6/29

Seorang anak bernama Teddy adalah seorang anak


laki-laki yang memiliki sifat pekerja keras, tidak mudah putus
asa, tekun, dan rajin dalam berlatih suatu hal yang digemarinya.
Ia adalah seorang pelajar yang masih duduk di bangku SMA.
Sekarang Ia bersekolah di SMA Kolese Kanisius Jakarta. Salah
satu kegemarannya adalah bermain basket. Impiannya sejak
kecil adalah menjadi seorang pemain/atlet basket. Ia tidak
pernah menyerah dan putus asa dalam mengembangkan
kemampuannya di dalam bermain basket. Sejak SD hingga
SMP Ia selalu ikut dalam ekstrakulikuler basket yang ada di
sekolahnya, bahkan Ia juga sempat tergabung dalam sebuah
klub basket yang berada di daerah Senayan, Jakarta Selatan.
Pada bulan Februari 2016, pada saat sedang mengikuti
ekstrakulikuler basket di sekolahnya SMP, Teddy terjatuh
dengan posisi yang sangat tidak tepat, sehingga Ia mengalami
cedera di lutut kirinya. Setelah kejadian tersebut, Ia dibawa ke
sebuah pengobatan tradisional, tetapi setelah selesai menjalani
segala pengobatan, cedera lututnya tidak kembali seperti
normal dan terdapat sebuah benjolan pada tulangnya serta
posisi tulang tempurung kaki kanannya yang tidak pada
tempatnya. Pengobatan tradisional maupun medis pun sudah
dilalui, tetapi hasilnya masih belum kembali seperti normal.
Menurut salah seorang dokter, untuk melakukan operasi akan
mengeluarkan dana yang besar dan tingkat keberhasilan yang
hanya 50 persen. Oleh karena itu, setelah berdiskusi dengan
keluarganya, Ia memutuskan untuk tidak melakukan operasi,

127
sehingga Ia masih bisa berjalan normal, tetapi tidak dapat
berlari dan melakukan kegiatan yang berat.
Setelah mengalami kejadian tersebut, Teddy merasa
minder dengan kondisinya saat itu dan merasa bahwa masa
depannya tidak mungkin lagi dapat dicapainya. Ia terpaksa
untuk tidak bisa lagi dalam mengikuti kegiatan olahraga,
sehingga Ia keluar dari ekstrakurikuler basket dan keluar dari
klub basket yang sempat diikutinya. Ia sangat menyesali
kejadian pada waktu itu yang mengakibatkan semua cita-
citanya lenyap. Ia pun sempat berpikiran bahwa Ia tidak
memiliki kemampuan dan bakat apapun lagi.
Saat berada di kelas 8 SMP, Teddy merasa tertarik
untuk mencoba bermain sebuah alat musik tiup, saksofon. Ia
memilih alat musik tersebut, karena menurutnya laki-laki yang
bermain saksofon terlihat sangat menarik untuk ditonton dan
terlebih lagi pada waktu itu masih sedikit orang yang mampu
memainkan alat musik tersebut. Pada awal pertama belajar, Ia
belajar di sebuah tempat kursus musik di daerah Cikini, Jakarta
Pusat. Namun, saat masih di tempat kursus tersebut, Ia tidak
pernah mendapat nilai yang bagus untuk tes kenaikan tingkat.
Nilai yang didapat hanya selalu di angka 7. Setelah 2 tahun
mengikuti kursus musik, Ia memutuskan keluar dan memilih
untuk berlatih secara mandiri. Ia mencoba untuk mengikuti
ekstrakulikuler band dan orkestra di sekolahnya SMP.
Beberapa kali Ia mengikuti penampilan orkestra dan juga
mengikuti lomba-lomba band. Walaupun seringkali tidak
masuk sebagai juara, tetapi itu tidak mengurangi semangatnya
untuk selalu berlatih. Ketika masuk di bangku SMA pun, Ia
mengikuti sebuah ensemble alat musik tiup di SMA Kolese
Kanisius, Canisius Wind Ensemble (CWE). Bahkan, Ia pernah
sekali diajak oleh seorang penyanyi seriosa, Putri Ayu untuk

128
berkolaborasi. Ia tidak pernah berpikiran negatif lagi terhadap
dirinya. Ia sangat mensyukuri anugerah yang Tuhan berikan
kepadanya. Ia juga sangat menikmati keadaannya sebagai
pemain saksofon.
Sekarang Ia bercita-cita untuk menjadi seorang musisi
muda berbakat. Ia ingin sekali agar suatu saat mempunyai
karyanya sendiri, seperti album musik.

129
Besok Aku Mati
Oleh: Vannes Wijaya / XI-A6 / 30

Hari yang normal di tengah ibukota, aku bangun di


pagi yang selalu sama saja. Seperti biasa aku menjalankan
rutinitas lalu berangkat ke kantor. Membosankan. Jalanan
tampak kosong, pepohonan tampak lebih hijau dari biasanya.
Hmmm, cukup aneh, aku pikir. Aku mengamati rumah-rumah
di pinggir jalan, tampak lebih muram dari biasanya.
Menyedihkan, aku pikir.

...

...

DUAR!

...

Hitam, hitam, hitam. Aku tidak bisa melihat apa-apa.


Telingaku berdengung terus-menerus, sangat tidak nyaman.
Penglihatanku mulai muncul, walau masih buram. Mulai
terdengar suara-suara, obrolan dan keramaian. Aku mulai
terbangun, menyadari aku sedang berada di rumah sakit. Apa
yang terjadi denganku? Aku menengok badanku, tidak ada
luka, walaupun terasa pegal-pegal. Sungguh aneh. Padahal
seingatku aku ditabrak oleh truk besar.

"Wah, mas sudah enakan?" kata suster yang tiba-tiba


datang.

130
"Eh-eh-sudah kok mba," jawabku dengan gugup
sambil menatap wajahnya yang sungguh mempesona.

"Apa yang terjadi dengan saya ya mba? Kok tidak ada


luka sama sekali? Padahal saya kecelakaan cukup parah."

"Iya mas, keajaiban itu nyata, mungkin?"

Tak lama kemudian dokter datang dan mengatakan


bahwa ia membawa berita buruk.

"Kami telah melakukan pengecekan medis, dan


hasilnya cukup mengecewakan. Walaupun mas tidak
mendapatkan luka luar sama sekali yang ialah aneh, namun mas
mengalami kerusakan organ dalam yang cukup fatal, dan
dengan berat hati saya harus memberitahukan bahwa mas
tinggal punya satu minggu untuk hidup. Kerusakan organ yang
mas alami ini tidak dapat kami pulihkan secara total, dan hanya
satu minggu ini yang dapat kami usahakan untuk hidup mas."

Aku hanya terdiam. Dokter ini bercanda? Atau jangan-


jangan ini hanyalah mimpi? Lagipula wajah si dokter terlihat
aneh. Tidak simetris. Aku kembali mengamati kamarku,
meraba-raba kulitku. Ya, ini nyata.

Satu minggu? Aku rasa aku tak bisa menghabiskan


waktuku untuk bersedih dan bersesal. Lagipula, usiaku masih
muda, masih banyak hal yang belum saya alami di dunia ini.
Aku pikir, aku akan menghabiskan satu minggu terakhirku ini
untuk melakukan hal-hal yang selalu aku ingin lakukan namun
tidak aku wujudkan selama ini.

Petualangan dan kebersamaan. Tunggu aku.

131
Aku memberitakan dengan segera berita burukku (atau
baik?) kepada orang-orang terdekatku. Selalu disambut dengan
tangisan, aku mengajak mereka untuk berhenti menghabiskan
waktu dengan bersedih, tapi dengan bersenang-senang
bersamaku. Bersama mereka, akupun menyusun rencana dan
daftar hal-hal yang ingin ku lakukan untuk minggu terakhir
dalam hidupku.

Petualangan dimulai. Aku mendaki Gunung Slamet


bersama sahabat-sahabatku sampai ke puncak. Sungguh aneh,
kerusakan organ dalamku tidak menggangguku sama sekali
dalam melakukan olahraga ekstrim. Kemudian aku berlibur
bersama keluargaku ke Raja Ampat, bercanda tawa dan
mengenang momen-momen lucu bersama dengan kedua kakak
kandungku. Yang terakhir, aku berkelana bersama pacarku ke
Jogjakarta, menikmati cinta dan kebersamaan untuk terakhir
kalinya. Semua terasa cepat, hingga hari terakhir datang.

Telpon berdering, si dokter berwajah aneh


mengingatkanku bahwa hari ini adalah hari terakhirku. Aku
memutuskan untuk menggunakannya untuk memberikan
terima kasih dan balas budi kepada orang-orang yang telah
memberikan pengaruh positif besar dalam hidupku. Orang-
orang yang telah memberikan warna-warna unik dalam
hidupku. Aku tidak memberitahu mereka berita burukku,
namun aku langsung berterima kasih dan memberikan sebagian
hartaku sebagai bentuk balas budi. Tak heran, mereka semua
tampak bingung.

Akhirnya, misiku sudah selesai. Aku telah


memberikan terima kasih terakhirku kepada pamanku yang
selalu memberikanku nasihat dan bantuan di saat-saat sulit.

132
Aku pamit, keluar dari rumahnya, tiba-tiba paman
memanggilku lagi dengan lantang. Sambil aku berbalik badan,
telingaku tiba-tiba berdengung. Dengungan itu lama-kelamaan
semakin keras. Ketika aku berbalik badan, tidak ada siapa-
siapa.

...

...

DUAR!

...

Hitam, hitam, hitam. Lagi.

Titik kecil terang terlihat, makin lama makin besar.


Aku terbangun di atas tempat tidur rumahku. Apakah aku sudah
mati? Aku sudah kecelakaan dua kali, bagaimana mungkin aku
belum mati? Aku abadi? Punya banyak nyawa? Ataukah ini
sebuah mimpi?

Aku turun ke dapur, menemui pacarku. Aku meraba


dan menyentuhnya, memastikan apakah ini mimpi atau realita.

"Ada apa sayang? Kok baru pagi-pagi gini udah aneh-


aneh aja sih kamu. Sana makan sarapannya. Kamu harus kerja
loh sayang hari ini."

Kenyataan? Ini sebuah kenyataan?

Ya, ternyata selama ini aku hanya bermimpi. Dari


jalanan yang kosong, si dokter berwajah aneh, hingga
kecelakaan kedua. Itu sebuah hanyalah mimpi. Mimpi yang
membuka mataku. Sekarang aku kembali pada kenyataan, dan

133
aku rindu akan mimpiku tadi malam, ketika aku dikejar
kematian, dan terpaksa harus hidup dengan sepenuhnya selama
satu minggu. Menjalani hidup dengan seharusnya.
Menghabiskan waktuku dengan orang-orang yang aku cintai,
untuk hal-hal yang berharga. Aku baru menyadari, bahwa
selama ini aku hanya bersembunyi di balik topeng gembira,
bersandiwara. Kenyataanya, di dalam lubuk hatiku yang paling
dalam, aku bersedih dan bersesal. Aku menghabiskan waktuku
untuk hal-hal yang sejujurnya tidak aku nikmati dan
membuatku membenci hidup. Hal-hal yang tidak bernilai
bagiku. Dari mimpi tadi malam, aku sadar, bahwa hidup itu
singkat, dan aku harus menggunakannya untuk hal-hal yang
bermakna.

Eh, tunggu sebentar. Kamarku tampak aneh.


Semuanya tampak rapih dan bersih, tidak seperti biasanya.
Masih mimpi?

134
Luangkan Waktu
Oleh: Xaverius Victor Constantino XIA6/31

Tentara Nasional Korea Selatan, adalah mereka yang


berada di paling depan dalam garis pertahanan suatu negara.
Mereka dilatih dan dibentuk fisik dan mentalnya sehingga siap
dalam menghadapi situasi yang darurat. Saat negara dalam
keadaan bahaya dan terancam, mereka lah yang akan menjaga
pertahanan kita. Tidak jarang juga mereka harus membantu
dalam urusan diplomatik negara. Richard adalah seorang
tentara yang ditugaskan untuk membantu mengurus diplomatik
tersebut. Akan tetapi Richard tertembak peluru sehingga ia
harus pulang dengan keadaan terluka.
Setelah kembali dari tugasnya, ia tinggal di barak dan
diperbolehkan untuk keluar dari baraknya pada jam tertentu.
Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke rumah sakit untuk
melakukan perawatan terhadap lukanya. Dalam perjalanan ke
rumah sakit, ia bertemu dengan temannya yang sedang ingin ke
rumah sakit juga. Sesampainya di rumah sakit, ia berpisah dan
mendaftar untuk bertemu dengan dokter umum. Dokter yang ia
temui bernama Irene. Irene meminta Richard untuk datang
rutin. Setelah itu, ia rajin datang ke rumah sakit untuk
penyembuhan lukanya. Tetapi, ia menjadi semakin akrab
dengan Irene.
Suatu hari, Richard diminta pergi ke Ukraina untuk
membantu penanganan terorisme di Ukraina tersebut. Saat di
barak, ia tidak tahu akan disatukan areanya dengan tim medis.
Saat tim medis tiba di barak, Irene pun berpapasan dengan
Richard. Irene ditugaskan karena ada kerja sama antara rumah

135
sakit tempat ia bekerja dengan Ukraina. Akhirnya mereka pun
menjalankan hari-harinya bersama.
Setiap hari, ada pasien yang dicek kesehatannya di
barak tentara ini. Kemudian Richard harus pergi untuk
menangani terorisme di Ukraina ini. Richard berhadapan
dengan rakyat miskin yang disiksa oleh kelompok-kelompok
teroris, sehingga rakyat ini perlu dibawa ke barak untuk dicek
kesehatannya. Ternyata banyak yang tidak baik kesehatannya,
dan dirawat di ruang perawatan yang telah disediakan.
Di waktu yang bersamaan, ada pembangunan gedung
pencakar langit di dekat situ. Saat suasana sedang tenang dan
tentram, terjadi gempa bumi yang cukup kuat dan membuat
gedung itu hancur. Kehancuran ini menyebabkan banyak
pekerja yang tewas dan luka-luka. Tim Irene pun diminta untuk
langsung terjun ke area konstruksi. Sesampainya di sana,
mereka langsung bergegas menghampiri korban terdekat dan
langsung memberikan pertolongan pertama. Ada banyak
korban yang luka parah hingga harus dirawat di ruang
perawatan di barak. Bahkan ruang perawatan hingga kelebihan
kapasitas dan beberapa ada yang dilarikan ke rumah sakit lain.
Para tentara pun membantu tim Irene dengan evakuasi
area konstruksi, dan mencari korban-korban selamat diantara
tumpukan puing bangunan. Richard yang memimpin evakuasi
ini bekerja cukup keras. Mereka terkadang kesulitan karena
puing-puing yang ada di situ cukup besar, sehingga alat
pengangkat puing kadang tidak kuat dan mereka harus
menghancurkan puing itu dulu. Setelah para tentara
menemukan korban selamat, mereka langsung memanggil
salah satu tim medis atau mengarahkan korban selamat ke tim
medis terdekat. Setelah mendapatkan pertolongan pertama,

136
mereka akan dibuat untuk melakukan rawat jalan, sehingga
tidak menumpuk di area situ.
Evakuasi berjalan cukup lama dan tim medis pun tidak
ada berhentinya mengobati para korban selamat. Terkadang
tim medis harus menahan rasa sabar mereka dari rintihan
kesakitan. Tidak sedikit juga yang mengeluh meminta pulang
karena khawatir akan keluarganya. Irene yang sedari tadi
menghadapi berbagai karakter pasien ini pun kelelahan. Tapi ia
sadar, tugasnya belum selesai, masih ada beberapa perawatan
yang harus dijalankan oleh beberapa korban selamat. Bencana
ini membuat Irene dan Richard jarang mengobrol lagi, bahkan
hanya bertegur sapa.
Hari-hari berlalu dengan kelelahan mereka mengobati
maupun mengevakuasi para korban selamat. Banyak evakuasi
telah dijalankan, dan semakin hari, korban meninggal dunia
pun semakin banyak. Karena insiden ini, banyak rakyat sekitar
yang membuat tempat untuk menyalakan lilin dan mendoakan
mereka yang meninggal dunia. Ya, memang cukup sedih untuk
menghadapi situasi seperti ini. Irene pun yang sedang menatap
tempat ini, meneteskan air mata. Saat itu, Richard datang
menghampiri Irene, karna tugasnya saat itu sudah selesai.
Richard pun merangkul Irene yang sedang menangis itu, dan
berusaha menenangkan Irene.
***
Beberapa bulan setelah insiden itu, mereka kembali
beraktivitas seperti biasa di barak. Kemudian Richard dan Irene
pun tetap membantu rakyat Ukraina. Di sela-sela pekerjaan
mereka, terkadang mereka bertemu untuk sekedar minum teh
bersama dan mengobrol. Setelah berbulan-bulan ada di

137
Ukraina, akhirnya Richard pun menyatakan perasaannya pada
Irene dan mereka pun berpacaran.
Setelah tinggal di Ukraina cukup lama, mereka pun
kembali ke Korea Selatan dan kembali beraktivitas di Rumah
sakit ataupun di barak. Dalam hubungan mereka, banyak
rintangan yang dilalui, misalnya jadwal mereka yang padat,
membuat mereka sulit untuk bertemu. Irene yang sering
diminta bertugas di UGD, hampir setiap malam mendapatkan
kiriman pasien dari berbagai macam kejadian, seperti
kecelakaan atau kebakaran. Richard dengan pangkatnya yang
cukup tinggi pun, kini memiliki peran penting dalam
pekerjaannya. Banyak rapat-rapat yang harus ia hadiri dan
tidak bisa diubah.
Pada akhirnya Richard dan Irene pun menjalani
hubungan yang tidak pada umumnya. Mereka bertemu kurang
lebih sebulan sekali, dan hal ini menyebabkan kerenggangan.
Akhirnya, di akhir Desember, pada saat musim dingin, mereka
bertemu di sebuah kafe. Suasana yang dingin, memang nikmat
sambil meminum sebuah kopi panas. Setelah mereka bertemu
dan duduk berhadapan. Irene pun mengawali pembicaraan
dengan terang-terangan. Ia meminta untuk putus karena
jarangnya mereka bertemu. Selain itu Richard juga tidak
memberikan kepastian kepada Irene. Richard pun menerima
keputusan Irene dengan terbuka. Akhirnya mereka putus dan
tidak pernah berhubungan lagi.

138

Anda mungkin juga menyukai