Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

Akuntansi Keuangan Syariah

Disusun oleh :
Bekti Tri Utomo (4321921003)
Putri Amalia (43219210025)
Regita Cahyaningrum (43219210037)

FAKULTAS EKONOMI BISNIS


JURUSAN AKUNTANSI
UNIVERSITAS MERCU BUANA JATISAMPURNA
2020/2021
Istishna’ Menurut Islam
Secara bahasa, istishna berasal dari kata shana’a yang artinya membuat. Karena ada
penambahan huruf alif, sin dan ta maka makna yang terbentuk adalah meminta atau
memohon untuk dibuatkan. Adapun yang dimaksud dengan Istishna’ adalah akad pemesanan
suatu barang dari pihak 1 (pemesan) ke pihak 2 (produsen). Adapun dalam Istishna, pemesan
memiliki kriteria sendiri untuk dibuatkan barang tersebut oleh produsen. Singkat kata,
produsen harus membuatkan barang pesanan sesuai dengan keinginan pemesan. Akad
istishna sudah dikenal sejak dahulu kala di zaman Rasulullah, Nabi Muhammad SAW. Di
salah satu riwayatnya, Rasulullah diceritakan memesan cincin dari perak. Bentuk pemesanan
barang tersebut masuk ke dalam akad istishna. Lalu, akad ini pun di zaman-zaman
selanjutnya disepakati oleh ulama sebagai salah satu akad perdagangan yang sesuai dengan
syariat islam.
Pendapat para ulama tersebut tentunya tidak terlepas dari sumber utama yaitu Al-
Qur’an dan As-sunnah. Ayat yang menjadi landasan hukum istishna adalah QS. Al-
Baqarah:275 yang artinya, “dan Allah telah menghalalkan Jual Beli dan Mengharamkan
Riba”
Kemudian pada hadist Nabi SAW, Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu ‘anhu, pada
suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja
non arab, lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi
menerima surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin
stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat
menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (Riwayat Muslim)
Merujuk pada hadist ini maka dapat disimpulkan bahwa akad istishna diperbolehkan.
Kemudian sebagian ulama’ menyatakan melalui ijmanya bahwa akad istishna’ adalah akad
yang dibenarkan dan juga telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau
ulama pun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.
Di Indonesia, Dewan Syariah Nasional MUI sebagai lembaga yang berwenang
mengakomodir legalisasi sebuah produk telah melegalkan akad istishna dengan
dikeluarkannya fatwa DSN MUI 06/DSN-MUI/VI/2000 tentang Istishna. Dalam fatwa ini
mencakup beberapa hal yaitu ketentuan tentang pembayaran dan ketentuan tentang
barangnya.

Akuntansi Istishna’ Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan


104
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 104 : Akuntansi Istishna’ (PSAK 104)
dikeluarkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK IAI)
pada 27 Juni 2007. PSAK 104 menggantikan pengaturan mengenai akuntansi istishna’ dalam
PSAK 59: Akuntansi Perbankan Syariah yang dikeluarkan pada 1 Mei 2002.
Berdasarkan surat Dewan Pengurus Nasional (DPN) IAI No. 0823-
B/DPN/IAI/XI/2013 maka seluruh produk akuntansi syariah yang sebelumnya dikeluarkan
oleh DSAK IAI dialihkan kewenangannya kepada Dewan Standar Akuntansi Syariah (DSAS)
IAI. PSAK 104 mengalami penyesuaian pada 6 Januari 2016 terkait definisi nilai wajar yang
disesuaikan dengan PSAK 68: Pengukuran Nilai Wajar.
Tujuan PSAK 104 mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan
transaksi istishna’. Pernyataan ini diterapkan untuk lembaga keuangan syariah dan koperasi
syariah yang melakukan transaksi istishna’, baik sebagai penjual maupun pembeli.
Istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli,
mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’).

Syarat-Syarat Akad Istishna’


1. Kesepakatan Kriteria Barang disebutkan Diawal
Hal ini dilakukan agar tidak terjadi perselisihan nantinya saat barang atau
produk pesanan sudah jadi. Oleh sebab itu, kriteria barang harus jelas dideskripsikan
oleh pemesan kepada produsen sejak awal.
2. Waktu Penyerahan Barang Tidak Ditentukan
Dalam akad istishna disebutkan bahwa barang penyerahan barang yang sudah
selesai dipesan tidak ditentukan. Apabila ditentukan, akadnya akan berubah menjadi
akad salam. Akan tetapi, hal tersebut diperdebatkan oleh ulama. Menurut tradisi,
sebenarnya penentuan penyerahan barang boleh dilakukan.

3. Barang yang Dipesan sudah Biasa Menggunakan Akad Istishna’


Ada pendapat yang menyatakan bahwa barang yang bisa ditransaksikan
dengan akad istishna adalah barang yang sejak dulu sudah ditransaksikan dengan akad
tersebut. Namun pendapat ini tidaklah kuat, menurut dalil-dalil tentang akad istishna
dalam Alquran dan As Sunnah, tidak ada batasan barang yang bisa menggunakan
akad istishna.

Skema Akad Istishna’


Gambar di atas adalah skema akad istishna dimana bank syariah diposisikan sebagai
penjual. Dalam hal ini nasabah memesan barang yang sesuai spesifikasi kepada bank. Ketika
sepakat, bank memesan barang tersebut kepada produsen pembuat. Sembari barang tersebut
dibuat, Nasabah membayar uang kepada bank bisa dengan cara bayar diawal, dicicil ataupun
diakhir. Ketika barang tersebut jadi maka barang dikirimkan langsung kepada nasabah
pemesan.

Ketentuan-Ketentuan Akad Istihna


Akad Istishna diatur dalam SAK ETAP dan PSAK No. 104 tentang Akuntansi
Istishna. Adapun ketentuan-ketentuan terjadinya akad istishna adalah sebagai berikut :
1. Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan penjual pada awal
akad. Harga barang tidak dapat berubah selama jangka waktu akad, kecuali telah
disepakati oleh kedua belah pihak.
2. Spesifikasi arang pesanan harus jelas dan sesuai dengan karakteristik yang telah
disepakati antara pembeli dan penjual, seperti jenis, macam ukuran, mutu, dan
jumlahnya. Jika tidak, maka penjual harus bertanggung jawab.
3. Jika nasabah dalam akad istiahna tidak mewajibkan bank untuk membuat sendiri
barang pesanan, maka untuk memenuhi kewajiban pada akad pertama, bank dapat
mengadakan akad istishna paralel.
4. Istishna tidak dapat dibatalkan, kecuali kedua belah pihak setuju untuk
menghentikannya atau akad batal demi hukum, di mana terjadi kondisi hukum yang
dapat menghalangi pelaksanaan akad.
5. Metode pengakuan pendapatan istishna dapat dilakukan dengan metode presentase
penyelesaian dan metode akad selesai.
6. Jika estimasi penyelesaian akad dan biaya untuk penyelesaiannya tidak dapat
ditentukan secara rasional pada akhir periode Laporan Keuangan, maka digunakan
metode akad selesai.
7. Pada pembiayaan istishna, bank melakukan pesanan barang kepada supplier atas
pesanan dari nasabah.
8. Nasabah dapat membayar uang muka barang pesanan kepada bank sebelum barang
diserahkan kepada nasabah dan bank juga dapat membayar uang muka barang
pesanan kepada supplier.
9. Bank dapat menagih kepada nasabah atas barang pesanan yang telah diserahkan dan
supplier dapat menagih kepada bank atas barang pesanan yang telah diserahkan.
10. Selama barang pesanan masih dibuat, bank akan menggunakan rekening Aset Istishna
Dalam Penyelesaian ketika melakukan pembayaran kepada supplier dan
menggunakan rekening Termin Istishna ketika melakukan penagihan kepada nasabah.
11. Pengakuan pendapatan untuk transaksi istishna menggunakan metode sebagaimana
pengakuan pendapatan pada transaksi murabahah.
12. Dalam hal nasabah mengalami tunggakan pembayaran angsuran, bank wajib
membentuk Penyisihan Penghapusan Aset untuk piutang istishna sesuai dengan
ketentuan yang berlaku mengenai kualitas aset.

Mekanisme Pembayaran Akad Istishna’

Mekanisme pembayaran istishna yang harus disepakati dalam akad dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
1. Pembayaran dimuka secara keseluruhan atau sebagian setelah akad namun sebelum
pembuatan barang.
2. Pembayaran saat penyerahan barang atau selama dalam proses pembuatan barang.
Cara pembayaran ini dimungkinkan adanya pembayaran termin sesuai dengan progres
pembuatan aset istishna.
3. Pembayaran ditangguhkan setelah penyerahan barang.
4. Kombinasi dari cara pembayaran di atas.
  Dasar Hukum Istisna’
Akad istishna' adalah akad yang halal dan didasarkan secara syar'i di atas petunjuk
Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma' di kalangan muslimin.
1. Al-Quran
‫ َوأَ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الرِّبا‬      
”Allah telah  menghalalkan  jual-beli  dan  mengharamkan  riba. (Qs. Al Baqarah: 275 “

      Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama'


menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-
nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.
2.      As-Sunnah
‫ا‬ZZً‫ونَ إِالَّ ِكتَاب‬ZZُ‫هُ إِ َّن ْال َع َج َم الَيَ ْقبَل‬Zَ‫ َل ل‬Z‫ب إِلَى ْال َع َج ِم فَقِي‬
َ ُ‫أ َ َرا َد أَ ْن يَ ْكت‬ZZَ‫ى هَّللا ِ ص َكان‬
َّ ِ‫س رضي هللا عنه أَ َّن نَب‬
ٍ َ‫ َع ْنأَن‬      
ِ ‫ َكأَنِّى أَ ْنظُ ُر إِلَى بَيَا‬:‫قَا َل‬.‫ض ٍة‬
‫ رواه مسلم‬.‫ض ِه فِى يَ ِد ِه‬ َّ ِ‫ فَاصْ طَنَ َع خَاتَ ًما ِم ْنف‬.‫َعلَ ْي ِه خَاتِ ٌم‬
     Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab,
lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang
tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar
ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-
akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim)
Perbuatan nabi ini menjadi buktinya tabah wa akad istishna' adalah akad yang dibolehkan.

3.   Al-Ijma'
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de-facto
telah bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang
dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama pu
n yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.[5]
      Hakikat Akad Istishna’
    Menurut Madzhab Hanafi Bai’ al-istishna’ termasuk akad yang
dilarang karena bertentangan dengan Bai’    secara qiyas. Mereka mendasarkan pada argum
entasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual,
sedangkan dalam Istishna’,
pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiki penjual. Meskipun demikian,
Madzhab  Hanafi menyetujui kontrak Istishna,  dengan alasan menganggap baik dan perlu u
ntuk kepentingan umat terhadapnya.[6]
Para ahli fiqih malikiah, Syi’ah dan Hanbali mengqiaskan Bai’ al-istishna’
dengan Bai’ As-salam karena dalam keduanya barang yang
dipesan belum berada ditangan penjual manakala kontrak ditandatangani.[7]

Ruang Lingkup Istisna’
Pernyataan ini diterapkan untuk lembaga keuangan syariah dan koperasi syariah yang
melakukan transaksi istishna ' baik sebagai penjual maupun pembeli.
Lembaga keuangan syariah yang dimaksud, antara lain, adalah:
1.      Perbankan syariah sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan  perundang-undangan yang
berlaku.
2.      Lembaga keuangan syariah non bank
seperti asuransi,  lembaga  pembiayaan, dan dana pensiun; dan
3.      Lembaga keuangan lain yang diizinkan oleh peraturan perundang-         undangan yang
berlaku untuk menjalankan transaksi istishna’.
           
Selanjutnya dalam konteks pengaturan dalam Pernyataan ini istilah entitas akan digunakan da
lam pengertian meliputi lembaga keuangan syariah dan koperasi syariah.
Pernyataan ini tidak mencakup pengaturan perlakuan akuntansi atas obligasi syariah
(sukuk) yang menggunakan akad istishna'.

Ilustrasi Jurnal Keuangan Istishna

1. Penerimaan uang muka pesanan dari nasabah:

Keterangan Debet Kredit


Kas / Rekening Rp, -
Kewajibanlainnya–Uang Rp, -
muka Istishna
2. Penerimaan barang dari supplier:
A. Mekanisme Uang Muka
1. Pemberian Uang Muka

Keterangan Debet Kredit


Aset lainnya – Uang muka Rp, -
kepada supplier
Kas/rekening Rp, -

2. Pemberian Sebagian Barang Pesanan Dari Supplier

Keterangan Debet Kredit


Aset Istishna Dalam Rp, -
Penyelesaian
Aset lainnya – Uang Rp, -
Muka kepada supplier

B. Mekanisme Tagihan Supplier


1. Menerima Tagihan Supplier

Keterangan Debet Kredit


Aset Istishna Dalam Rp, -
Penyelesaian
Kewajiban lainnya – Rp, -
Utang Istishna

2. Pembayaran Kepada Supplier

Keterangan Debet Kredit


Kewajiban lainnya – Utang Rp, -
Istishna
Kas/rekening Rp, -

Anda mungkin juga menyukai