Disusun oleh :
Bekti Tri Utomo (4321921003)
Putri Amalia (43219210025)
Regita Cahyaningrum (43219210037)
Mekanisme pembayaran istishna yang harus disepakati dalam akad dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
1. Pembayaran dimuka secara keseluruhan atau sebagian setelah akad namun sebelum
pembuatan barang.
2. Pembayaran saat penyerahan barang atau selama dalam proses pembuatan barang.
Cara pembayaran ini dimungkinkan adanya pembayaran termin sesuai dengan progres
pembuatan aset istishna.
3. Pembayaran ditangguhkan setelah penyerahan barang.
4. Kombinasi dari cara pembayaran di atas.
Dasar Hukum Istisna’
Akad istishna' adalah akad yang halal dan didasarkan secara syar'i di atas petunjuk
Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma' di kalangan muslimin.
1. Al-Quran
َوأَ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الرِّبا
”Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al Baqarah: 275 “
3. Al-Ijma'
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de-facto
telah bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang
dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama pu
n yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.[5]
Hakikat Akad Istishna’
Menurut Madzhab Hanafi Bai’ al-istishna’ termasuk akad yang
dilarang karena bertentangan dengan Bai’ secara qiyas. Mereka mendasarkan pada argum
entasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual,
sedangkan dalam Istishna’,
pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiki penjual. Meskipun demikian,
Madzhab Hanafi menyetujui kontrak Istishna, dengan alasan menganggap baik dan perlu u
ntuk kepentingan umat terhadapnya.[6]
Para ahli fiqih malikiah, Syi’ah dan Hanbali mengqiaskan Bai’ al-istishna’
dengan Bai’ As-salam karena dalam keduanya barang yang
dipesan belum berada ditangan penjual manakala kontrak ditandatangani.[7]
Ruang Lingkup Istisna’
Pernyataan ini diterapkan untuk lembaga keuangan syariah dan koperasi syariah yang
melakukan transaksi istishna ' baik sebagai penjual maupun pembeli.
Lembaga keuangan syariah yang dimaksud, antara lain, adalah:
1. Perbankan syariah sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Lembaga keuangan syariah non bank
seperti asuransi, lembaga pembiayaan, dan dana pensiun; dan
3. Lembaga keuangan lain yang diizinkan oleh peraturan perundang- undangan yang
berlaku untuk menjalankan transaksi istishna’.
Selanjutnya dalam konteks pengaturan dalam Pernyataan ini istilah entitas akan digunakan da
lam pengertian meliputi lembaga keuangan syariah dan koperasi syariah.
Pernyataan ini tidak mencakup pengaturan perlakuan akuntansi atas obligasi syariah
(sukuk) yang menggunakan akad istishna'.