Anda di halaman 1dari 3

SuaraJogja.

id - Sri Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) menjadi salah satu sosok yang paling ideal untuk
menggambarkan keteladanan hidup paripurna di Indonesia, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY). Bukti nyata itu tidak hanya dilihat melalui sikap, tapi juga prinsip serta bertemunya kata dan
perbuatan hingga pengabdian bagi bangsa dan negara.

Guna lebih menyuarakan atau setidaknya menjadi bahan edukasi dan pengetahuan bersama bagi
masyarakat secara luas. Keteladanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX itu dituangkan oleh seniman-
seniman khususnya pelukis menjadi sebuah pameran lukisan.

Pameran lukisan bertajuk "Tahta Untuk Rakyat" Sri Sultan Hamengku Buwono IX (12 April 1912 - 02
Oktober 1988) ini dilaksanakan di Jogja Gallery, Jl. Pekapalan No.7, Alun-alun Utara, Prawirodirjan,
Gondomanan, Yogyakarta.

Ketua Panitia, KRMT Indro Kimpling Suseno, mengatakan pameran lukisan ini berawal dari obrolannya di
sebuah warung kopi. Rencana semula, pameran tersebut sedianya digelar pada Agustus 2020 lalu.

Rencana awal pameran ini dilaksanakan pada Agustus 2020 lalu. Namun akibat kondisi pandemi Covid-
19 yang ada saat itu, akhirnya sepakat untuk ditunda. Hingga pada September tahun lalu diputuskan
bahwa pameran seni lukis ini akan digelar Maret 2021 hanya bermodal dengan keyakinan," kata pria
yang akrab disapa Kimpling tersebut, saat menggelar konferensi pers di Jogja Gallery, Rabu (17/3/2021).

Kimpling menjelaskan pemilihan Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjadi ide pokok pada pameran kali
ini karena HB IX dianggap sebagai sosok milik rakyat Indonesia. Sri Sultan HB IX, yang terlahir sebagai
putra raja hingga pada akhirnya menjadi raja, dinilai memiliki sisi-sisi yang tidak dimiliki tokoh lain.

Dalam kapasitasnya sebagai Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, sebagai Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta, dan sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia (1973-1978), hingga rakyat
Yogyakarta yang menyebutnya ‘Ngarsa Dalem’, ia adalah sosok teladan dalam kepemimpinan dan
kehidupan.

"Keteladanan Ngarsa Dalem [HB IX] ini merupakan nilai-nilai yang semestinya terus ditularkan,
disuarakan, atau setidaknya terus menjadi pengetahuan yang menginspirasi bagi setiap generasi,"
ujarnya.

Pada ranah tersebut, kata Kimpling, juga muncul persoalan atau sejumlah pertanyaan dari sosok HB IX.
Misalnya, bagaimana cara menghadirkan nilai-nilai keteladanan itu pada sepotong kanvas atau sebidang
gambar?
"Ataukah, jangan-jangan lukisan-lukisan itu terperangkap pada ilustrasi sebatas penggalan adegan dari
sepanjang hayat HB IX? Jangan-jangan yang tertangkap hanya “potret wajah” sang Raja?," jelasnya.

Masih banyak pertanyaan lain yang muncul dalam kisah dibalik perjalanan hidup HB IX tersebut. Hal-hal
itu yang akan digunakan oleh para pelukis dalam menggoreskan setiap warna di setiap kanvasnya.

"Merancang pameran ini, sungguh diliputi kecemasan atau tepatnya tantangan semacam itu,"
imbuhnya.

Maka dari itu, pihaknya tidak bisa semena-mena dalam membuat semacam panduan bagi para pelukis
yang telah dipilih dan diundang sebelumnya. Sejawaran UGM, Sri Margana menjadi pilihan guna
menyusun diskripsi sejumlah narasi, sesuai dengan jumlah pelukis yang diundang.

Lebih lanjut, penetuan narasi dan pelukis itu didasari oleh pengalaman empiris serta dengan mengamati
hasil kerja kreatif yang bersangkutan. Narasi disusun berdasarkan peristiwa menyentuh; sejak kelahiran
bayi mungil G.R.M Dorodjatun sang calon Raja, kemudian masa kanak-kanak, masa sekolah, masa
merantau, masa studi di Eropa, kembali ke Jawa atau Yogyakarta.

Tidak luput masa HB IX menerima estafet kepemimpinan sebagai Raja di Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat, masa perjuangan diplomasi dan revolusi kemerdekaan, masa pemerintahan Orde Baru,
hingga HB IX mangkat pada 2 Oktober 1988.

"Setiap pelukis mendapatkan satu narasi, dengan tetap memberikan keleluasaan tafsir atas narasi
historis tersebut, tentu dalam batas-batas kewajaran dan kepatutan. Kecemasan atau sejumlah
pertanyaan dijawab dengan sangat baik oleh 37 pelukis yang ada," terangnya.

Riset mendalam menjadi langkah dari para pelukis sebelum akhirnya karya tersebut bisa dipajang dan
dinikmati oleh khalayak ramai. Karya-karya dari 37 pelukis ini, bagai narasi biografis, sambung-
menyambung, meringkas, meringkus, mengembangkan, menyederhanakan, merumitkan, sesuai selera
estetik, artistik, dan intelektual mereka.
"Karya-karya mereka merupakan “dramaturgi visual” yang menggugah dan menantang pemaknaan
lanjut," tegasnya.

Sementara itu Kurator Pameran, Suwarno Wisetrotomo, mengatakan Sri Sultan Hamengku Buwono IX
yang menjadi tema utama dalam pameran kali ini dinilai sebagai kesatuan tema yang nyata adanya.
Pameran ini menjadi interpretasi para seniman dalam setiap narasi yang dibangun untuk sosok HB IX.

"Tema ini yang nyata adanya. Sosok historis, kharismatis dan sekaligus mistis. Jadi sosok ini sosok nyata
senyata-nyatanya yang melekat dihati setiap orang khususnya warga DIY atau Indonesia pada umumnya
bahkan internasional," kata Suwarno.

Suwarno mengungkap bahwa pameran ini juga unik karena menghadirkan pelukis dari lintas generasi.
Mulai dari Fika Khoirun Nisa sebagai generasi termuda hingga pelukis senior Djokopekik.

Pameran ini diharapkan dapat mengundang diskusi di sekitar 'sejarah, narasi sejarah, lukisan sejarah dan
masalah transformasi narasi ke lukisan'. Lebih dari itu, diharapkan pula lukisan-lukisan yang digubah
tersebut dapat menggugah atau menyentuh naluri setiap orang yang menikmatinya.

"Bahwa kita memiliki sosok teladan yang pantas dikenang sepanjang zaman. Di samping juga seni lukis
menemukan kembali makna dan fungsinga dalam kehidupan kemanusiaan kita," tandasnya.

Rencananya pameran "Tahta Untuk Rakyat" Sri Sultan Hamengku Buwono IX (12 April 1912 - 02 Oktober
1988) ini akan dibuka langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X pada Jumat (19/3/2021).

Sedangkan pameran sendiri akan dibuka untuk umum pada tanggal 20 Maret hingga 25 April 2021
mendatang setiap hari (Selasa-Minggu) kecuali Senin (tutup) pukul 10.00 WIB - 19.00 WIB.

Anda mungkin juga menyukai