• Sanad secara bahasa artinya sandaran yang dapat dipercaya atau
bukti. Sedangkan menurut istilah, sanad adalah rantai yang
menghubungkan pembawa berita (rawi/ periwâyah) dari sebuah matn atau teks (lafazh) kepada pembicara (bila berupa perkataan) atau penulisnya (bila berupa tulisan). • Teks atau lafazh yang dibawa atau diriwayatkan oleh perawi disebut khabar (berita) atau matn. Jadi, matn adalah sesuatu yang kepadanya berakhir sanad. Matn dapat berupa kitab, seperti Al-Qurân, kitab-kitab hadits, aqidah, atau fiqih. Dapat juga berupa syair, seperti manzhumah ilmiyah yang disusun oleh para Ulama. Dapat juga berupa matn-matn hadits (sebuah hadits) yang memiliki kesamaan sifat dalam meriwayatkannya (disebut dengan istilah hadits musalsal). • Fungsi Sanad dan Periwayatan 1. Salah satu pintu gerbang ilmu 2. Penjagaan terhadap lafazh dari sebuah Matn/ Khabar 3. Sanad dan Keberkahan (Lil-Barakah) 4. Menjaga cara baca (tajwid) dan variasi qiraatnya (khusus sanad atau periwayatan Al-Quran) 5. Sunnah para ulama Salaf dan Khalaf 6. Menjaga sifat dan karakter perawi yang shahih, sehingga senantiasa dekat dengan Allâh 7. Menjadi pemicu untuk memperdalam sisi dirayah شروط الراوي • Sebuah riwâyah akan dinilai sah dan diterima apabila memenuhi lima syarat sanad yang shahih (lih. Dr. Luqmân Al- Hakîm Al-Azhariy dalam Imdâdul Mughîts hal. 28-35): • Ittishâlus sanad (tersambungnya sanad), • ‘Adâlatur râwî (perawi yang adil), • Dhabthur râwî (perawi yang bisa menjaga), • Tidak ada syâdz (pertentangan), dan • Tidak ada cacat. • Dari syarat-syarat tersebut, syarat yang berkaitan dengan perawi ada dua: ‘adâlatur râwî (perawi yang adil) dan dhabthur râwî (perawi yang bisa menjaga). عدالة الراوي • Maksud dari ‘adâlatur râwî adalah selamatnya seorang perawi dari sifat fasik (at-taqwâ) dan al- murû`ah. • Lebih rinci, beberapa sifat yang wajib dimiliki perawi yang adil adalah: • Islam, • Baligh, • Berakal, • Bertakwa, • Al-Murû`ah. ضبط الراوي • Adh-Dhabt artinya bisa menjaga riwâyah dari kekeliruan, baik yang disebabkan oleh kelalaian, lupa, atau keraguan pada saat at-tahammul wal adâ. Maka, setiap perawi mesti memiliki karakter: 1. Mampu menghafal dan menjaga setiap periwayatan dengan baik, 2. Mampu menjaga teks riwâyah apabila ia tidak menghafalnya dengan kuat, 3. Mengetahui perubahan lafazh dan makna apabila ia meriwayatkan dengan makna. ضبط الراوي • Adh-Dhabth terbagi menjadi dua: 1. Dhabhtu Shadr: – Dhabthu Tâm: perawi yang memiliki hafalan yang sangat kuat dan sempurna, tidak ada kecacatan dan riwâyahnya tidak bertentangan dengan perawi lain yang sama derajat kepercayaannya. Riwâyah yang dibawanya disebut shahîh lidzâtihi. – Dhabthu Ghayri Tâm: perawi yang hafalannya kuat namun tidak sekuat perawi pertama. Penilaian para ulama terhadapnya kadang berbeda, sebagian menilai dhabith dan sebagian lain menilai tidak. Periwayatan dari perawi jenis ini dapat menjadi shahîh lighayrihi atau hasan lidzâtihi. 2. Dhabthu Kitâb: perawi yang mampu menjaga kitab yang berisi periwayatannya dan mampu mengoreksinya apabila terjadi kekeliruan. ُط ُر ُق التَّ َّحمُ ِل َّواألَّ َّدا ِء • At-Tahammul artinya seorang murid mengambil riwâyah dari gurunya, sedangkan al-adâ artinya seorang guru meriwayatkan sesuatu kepada muridnya. • Cara yang merupakan asas dari periwayatan, baik at- tahammul atau al-adâ adalah: as-samâ’ dan al-qirâ`ah (al-‘ardh). • Sedangkan cara selain kedua cara tersebut, merupakan cara yang digunakan untuk menggantikan kedua cara tersebut apabila tidak bisa dilakukan. ُط ُر ُق التَّ َّحمُ ِل َّواألَّ َّدا ِء 1. َّ As-Samâ’ ()ٱلس َماع – Secara bahasa, as-samâ’ artinya mendengar atau menyimak. Yakni seseorang mengambil riwâyah dari perkataan guru, baik guru tersebut menyampaikan dari hafalannya atau dari kitabnya. َ َ ۡ 2. Al-Qirâah (ُ)ٱلقِراءة – Secara bahasa, al-qirâah bermakna mengumpulkan atau membaca. Yakni mengambil riwâyah dari guru melalui bacaan murid kepada gurunya, atau melalui bacaan orang lain kepada gurunya dan ia menyimaknya. ۡ َ ۡ 3. Al-‘Ardh ()ٱلعرض – Secara bahasa, al-‘ardh bermakna menyodorkan atau menampakkan. Yakni membaca kepada seorang muhaddits (perawi), sambil mencocokkannya dengan naskah asli. ُط ُر ُق التَّ َّحمُ ِل َّواألَّ َّدا ِء َ َ ۡ 4. Al-Ijâzah (ُ)ٱۡلجازة – Maksud dari al-ijâzah adalah izin dalam meriwayatkan. Al-Ijâzah (izin) untuk meriwayatkan ini diberikan dari seorang guru kepada muridnya disebabkan muridnya tidak sempurna dalam as-samâ’ atau al-‘ardh. • Ijâzah dalam ilmu riwâyah sendiri bervariasi bentuknya, di antaranya: • Al-Ijâzah yang diberikan seseorang untuk orang tertentu dalam riwâyah tertentu (Al-Ijâzah Al-Khâshshah), • Al-Ijâzah yang yang diberikan seseorang untuk orang tertentu dalam riwâyah yang tidak ditentukan (al-ijâzah al-muthlaqah). Kebanyakan ulama mengakui keabsahan ijâzah ini dengan syarat muridnya telah memastikan periwayatan gurunya, • Al-Ijâzah yang diberikan kepada orang yang belum ditentukan (al-ijâzah al- ‘âmmah). ُط ُر ُق التَّ َّحمُ ِل َّواألَّ َّدا ِء ََ َ ۡ 5. Al-Munâwalah (ُ)ٱلمناولة – Secara bahasa, al-munâwalah artinya memberikan atau menyampaikan. Yakni seorang guru memberikan sebuah kitab yang berisi periwayatannya kepada muridnya, setelah kitab tersebut diteliti dan dipastikan keshahihannya, disertai izin untuk meriwayatkannya, baik izin tersebut disampaikan secara tersurat ataupun tersirat. َ َ َ ۡ 6. Al-Mukâtabah (ُ)ٱلمَكتبة – Secara bahasa bermakna mengumpulkan atau menyusun sesuatu. “Seorang guru – atau orang yang dipercaya olehnya dan berdasarkan perintahnya – menulis sebagian hadits yang diriwayatkannya untuk diberikan kepada muridnya (yang tidak hadir) sambil disertai izin untuk meriwayatkannya, baik izin tersebut disampaikan secara tersurat ataupun tersirat. Status hukumnya sama dengan munâwalah. ِ ُاز ُة ِفي الق رآن َّ ا ِإل َّج • Dalam konteks Al-Qurân atau ilmu qirâât, maka ijâzah selain berfungsi sebagai izin untuk menjaga dan meriwayatkan lafazh-lafazh Al-Qurân sebagaimana pada hadits, juga berfungsi sebagai at-tazkiyah (rekomendasi) dan asy-syahâdah (kesaksaian) seorang Syaikh atas kompetensi muridnya. • Seorang Syaikh tidak akan memberikan ijâzah Al-Qurân kepada muridnya kecuali ia telah yakin bahwa muridnya ini bisa melafazhkan ayat-ayat Al- Qurân dengan tepat sesuai dengan kaidah dan standar ilmu tajwid. • Jadi, dalam ijâzah Al-Qurân terdapat dua fungsi penjagaan: pertama, fungsi periwayatan dalam menjaga lafazh-lafazh Al-Qurân (dari sisi tulisan/ rasm dan makna). Kedua, fungsi pengakuan atas keahlian dalam menjaga cara membaca lafazh-lafazh tersebut (dari sisi qirâah dan tajwid). ِ ُاز ُة ِفي الق رآن َّ ا ِإل َّج • Di kalangan para ulama ahli qirâât, dikenal dua jenis ijâzah dalam Al-Qurân. • Pertama, al-ijâzah fil qirâah. Ijâzah ini adalah ijâzah diberikan seorang Syaikh kepada muridnya karena muridnya telah mengamalkan salah satu atau beberapa cara tahammul (cara-cara meriwayatkan) yang sah dengan bacaan yang baik, namun masih memiliki kekurangan dari sisi pendalaman teoritis (ilmu tajwid atau qirâât), atau belum memenuhi syarat-syarat khusus yang ditentukan oleh Syaikhnya. • Maka Syaikhnya memberikan ijâzah qirâah (izin untuk membaca Al- Qurân di depan umum) tanpa iqrâ (menerima bacaan (mengajar) atau meriwayatkan). ِ ُاز ُة ِفي الق رآن َّ ا ِإل َّج • Kedua, al-ijâzah fil-qirâah wal iqrâ`. Ijâzah ini adalah ijâzah diberikan seorang Syaikh kepada muridnya setelah muridnya mengamalkan salah satu atau beberapa cara tahammul yang sah dengan bacaan yang baik dan telah teruji dari sisi pendalaman teoritisnya (ilmu tajwid atau qirâât), serta telah memenuhi syarat-syarat khusus yang telah ditetapkan oleh Syaikhnya seperti misalnya hafalan yang kuat, hafalan mutûn (kitab-kitab kecil) dalam ilmu tajwid dan qirâât, memahami persoalan waqf dan ibtidâ (tata cara berhenti dan memulai bacaan Al-Qurân), atau selainnya, dimana masing-masing Syaikh terkadang memberikan syarat yang berbeda-beda. • Al-Ijâzah fil qirâah wal iqrâ artinya izin dari seorang Syaikh kepada muridnya untuk membaca Al-Qurân di depan umum, membacakannya (meriwayatkannya) kepada orang lain, atau menerima bacaan dari orang lain (mengajarkan dan mengoreksi bacaannya). ِ ُاز ُة ِفي الق رآن َّ ستج َّ ِ إل ا ن ۡ َ ) 1. At-Talqîn (ُٱتللقِي – At-Talqîn artinya Syaikh (guru) membacakan Al-Qurân kepada muridnya, kemudian muridnya mengulangi bacaan tersebut sambil dikoreksi dari awal Al-Fâtihah sampai akhir An-Nâs. َ ۡ ۡ ن 2. Al-‘Ardh (ض ُ )ٱلعر – Yakni murid membacakan Al-Qurân secara sempurna dari awal Al-Fâtihah sampai akhir An-Nâs kepada gurunya, baik bil ifrâd (satu riwâyah) atau bil jam' (membaca dengan menggabungkan beberapa riwâyah atau beberapa qirâât dalam satu bacaan). ن َّ ُ )ٱلس َم 3. As-Samâ’ (اع – Yaitu menyimak keseluruhan Al-Qurân dari Syaikhnya secara sempurna dari awal Al-Fâtihah sampai akhir An-Nâs. Seorang murid menyimak bacaan gurunya dari awal sampai akhir, tanpa mengulangi bacaan tersebut. ِ ُاز ُة ِفي الق رآن َّ ستج َّ ِ إل ا ن َ ۡ 1. Alikhtibâr (ُٱِلختِبار ِ ) – Seorang guru menguji bacaan muridnya pada sebagian tempat Al-Qurân, baik dari sisi ketepatan makhraj dan sifat huruf, hukum-hukum tajwid, waqf dan ibtida, atau variasi qirâât. ۡن ۡ 2. Biba'dhil Qurân (ن ُ ِ )ب َِبع ُِ ضُٱلقرآ – Seorang murid membaca sebagian surat atau ayat Al-Qurân, kemudian gurunya memberikan ijâzah (izin) untuk membaca (fil qirâah) dan mengajarkan (wal iqrâ) untuk seluruh Al-Qurân, bukan hanya ayat atau surat yang dibacanya saja. Termasuk dalam kategori ini adalah bit tanawub. َ َن 3. Al-Ijâzah (ٱإلجاز ُة ِ ) – Seorang guru langsung memberikan ijâzah (izin) untuk membaca (fil qirâah) dan mengajarkan (wal iqrâ), tanpa mendengar bacaan muridnya (al-‘ardh), dan tanpa membacakan Al-Qurân kepada muridnya (as-samâ’). التنبيهات • Para ulama qirâât berbeda pendapat mengenai keshahihan ijâzah untuk tiga nomor terakhir (al-ikhtibâr, biba’dhil qurân, dan al-ijâzah). Pendapat pertama, sebagian ulama mengatakan shahih secara mutlak. • Pendapat kedua, sah dengan syarat penerima ijâzah (mujâz) telah menerima ijâzah sebelumnya dengan salah satu dari tiga cara yang pertama (talqîn, al-‘ardh, atau as-samâ’). • Apabila mujâz menerima ijâzah dengan salah satu dari cara ke-4 sampai ke-6, namun ia belum pernah mendapat ijâzah dengan salah satu dari cara pertama sampai ke-3, maka ijâzahnya tidak sah, artinya tidak bisa diriwayatkan kepada murid-muridnya. Dengan kata lain, sanadnya tidak shahih. آداب المجيز • Bagi seseorang yang telah mendapatkan ijâzah, maka perlu diperhatikan adab-adabnya, sebelum meng- ijâzah-kan kepada orang lain, di antaranya: 1. Tidak memperjualbelikan al-ijâzah atau riwâyah, 2. Menahan diri dari meriwayatkan apabila ada orang yang lebih ‘âliy (tinggi) sanadnya di wilayah tersebut, 3. Menahan diri dari meriwayatkan apabila ada orang yang lebih senior di wilayah tersebut, walaupun sanadnya setara (satu tingkat), آداب المجيز 4. Kalaupun pada akhirnya mesti meriwayatkan, maka hendaknya mengabarkan kepada murid-muridnya, keberadaan orang yang lebih tinggi sanadnya atau yang lebih senior itu, sehingga murid-muridnya terpacu untuk terus belajar dan tidak mencukupkan diri pada riwâyah yang ada atau ijâzah yang diberikan, 5. Hendaknya menjaga kejujuran dalam periwayatan, dengan mengabarkan siapa gurunya dan bagaimana cara tahammul (mengambil riwâyah) yang dahulu pernah dilakukannya. Hal ini sebagai bentuk dari amanah ilmiah dan menjauhkan diri dari tadlîs (penipuan terhadap riwâyah). آداب المجيز 6. Memenuhi syarat yang mu’tabar, berupa: – Tatsabbut (cek dan ricek) perkataan atau lafazh yang tidak dipahami atau belum diketahui ketepatan cara membacanya, – Berusaha menjaga periwayatan dari tahrîf (perubahan pada harakat) atau tashhîf (perubahan pada huruf/ titik), – Selalu murâja’ah (mengulang pelajaran) dan bertanya kepada para ‘ulama, – Apabila menemukan persoalan yang baru, maka mesti mencari jawabannya dengan merujuk pendapat para ulama atau menggunakan ushul yang telah ditetapkan para ulama, – Tidak tergesa-gesa dalam memberikan fatwa, kecuali setelah benar-benar meneliti dengan mendalam permasalahan yang diajukan, – Hendaknya meneliti jalur-jalur periwayatan dan sanad yang ia dapatkan, agar terhindar dari kekeliruan atau kekurangan atau penambahan, dan menjaga jalur sanadnya tetap shahih.