Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK

PERCOBAAN V
ESTERIFIKASI FENOL: SINTESIS ASPIRIN

Disusun Oleh:

Nama : Difani Armandita Kh


NPM : 10060319171
Shift/Kelompok : E/2
Tanggal Percobaan : Rabu, 26 Mei 2021
Tanggal Pengumpulan : Rabu, 2 Juni 2021
Nama Asisten : Nety Kurniaty, S.Si., M.Sc.

LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT A


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
1442 H / 2021 M
PERCOBAAN V
ESTERIFIKASI FENOL: SINTESIS ASPIRIN

I. Tujuan Percobaan
1.1 Sintesis aspirin dari asam salisilat dan anhidrida asetat dengan cara esterifikasi.
1.2 Pemurnian kristal aspirin hasil sintesis dengan cara rekristalisasi.
1.3 Uji kemurnian aspirin hasil sintesis dengan cara uji senyawa kompleks
menggunakan FeCl3.
1.4 Identifikasi aspirin hasil sintesis dengan cara uji titik leleh.
1.5 Analisis kandungan aspirin dalam tablet komersil dengan cara titrasi asam basa.

II. Prinsip Percobaan


2.1 Esterifikasi : Reaksi antara gugus karboksilat (COOH) dengan
gugus hidroksi (OH) menghasilkan gugus ester.
2.2 Rekristalisasi : Pemurnian zat padat berdasarkan perbedaan kelarutan
antara zat yang akan dimurnikan dengan zat pengotornya.
2.3 Pengompleksan : Pembentukkan senyawa kompleks antara gugus
hidroksi dengan senyawa FeCl3 yang menghasilkan warna ungu.
2.4 Uji titik leleh : Perubahan wujud dari padat menjadi cair pada suhu
titik lelehnya dengan adanya pemanasan.
2.5 Titrasi asam basa : Reaksi penetralan, zat yang bersifat asam akan dititrasi
dengan larutan basa yang sudah diketahui konsentrasinya.

III. Teori Dasar


3.1 Aspirin
Aspirin merupakan nama lain dari asam asetil salisilat yang memiliki peranan
sangat besar dalam bidang farmasi yaitu sebagai obat yang berkhasiat anti piretik dan
analgenik. Senyawa aspirin ini tidak terdapat dalam keadaan bebas di alam, jadi untuk
memperolehnya perlu dilakukan sintesa. Sintesa adalah reaksi kimia antara dua zat
atau lebih untuk membentuk suatu senyawa baru. Sintesis senyawa organik adalah
sintesis teknik preparasi senyawa yang dapat dianggap sebagai seni, salah satu senyawa
organik yang dapat disentesis adalah aspirin. Aspirin atau asetosal atau asam
asetilsalisilat adalah turunan dari senyawa asam salisilat yang diperoleh dari simplisia
tumbuhan Cortex salicis (Baysinger 2004).
Aspirin adalah salah satu jenis obat yang paling dikenal. Aspirin adalah
obat pertama yang dipasarkan dalam bentuk tablet. Sebelumnya, obat diperdagangkan
dalam bentuk bubuk (puyer). Orang Romawi dan Yunani Kuno telah menggunakan
sejenis aspirin yang diekstrak dari sejenis tumbuhan sebagai analgesik (penghilang rasa
sakit). Selain itu, aspirin juga dikenal sebagai antipiretik (penurun demam), dan anti
inflamasi. Penggunaan lain aspirin digunakan untuk mencegah thrombus koroner dan
thorombus vena- dalam berdasarkan efek penghambat agregas trombosit. Laporan
menunjukkan bahwa dosis aspirin kecil (325 mg/hari) yang diminum setiap hari dapat
mengurangi insiden infark miokard akut, dan kematian pada penderita angina tidak
stabil. Sedangkan efek samping dari aspirin yang sering terjadi yaitu tukak lambung,
kadang-kadang disertai anemia sekunder (Baysinger 2004).

Gambar 1. Struktur Aspirin


3.2 Asam Salisilat
Asam salisilat adalah asam monohidroksibenzoat, sejenis asam fenolik dan beta
hydroxyl acid. Asam organik kristal ini berwarna dan banyak digunakan dalam sintesis
organik juga berfungsi sebagai hormon tanaman. Hal ini berasal dari metabolisme
salisin. Selain menjadi suatu senyawa yang secara kimiawi mirip, tetapi tidak
identik dengan komponen aktif aspirin. Garam dan ester dari asam salisilat dikenal
sebagai salisilat (Dedi 2014).
Bahan baku utama dalam pembuatan asam salisilat adalah phenol, NaOH,
karbondioksida, dan asam sulfat. Asam salisilat kebanyakan digunakan sebagai
obat-obatan dan sebagai bahan intermediet pada pabrik obat dan pabrik farmasi
seperti aspirin dan beberapa turunannya. Sebagai antiseptik, asam salisilat zat yang
mengiritasi kulit dan selaput lendir. Asam salisilat tidak diserap oleh kulit, tetapi
membunuh sel epidermis dengan sangat cepat tanpa memberikan efek langsung pada
sel epidermis. Setelah pemakaian beberapa hari akan menyebabkan terbentuknya
lapisan-lapisan kulit yang baru. Obat ini sangat spesifik untuk rematik akut yang dapat
mencegah kerusakan jantung yang biasanya terjadi akibat rematik, menghilangkan
sakit secara keseluruhan, dan beberapa saat setelah pemakaiannya akan menurunkan
temperatur suhu tubuh kembali normal (Dedi 2014).

Gambar 2. Struktur Asam Salisilat


3.3 Esterifikasi
Reaksi asetilasi atau esterifikasi merupakan suatu reaksi yang memasukkan
gugus asetil ke dalam suatu substrat yang sesuai. Gugus asetil adalah R-C-OO (dimana
R merupakan alkil atau aril). Aspirin disebut juga asam asetil salisilat atau
acetylsalicylic acid, dapat dibuat dengan cara asetilasi senyawa phenol (dalam bentuk
asam salisilat) menggunakan anhidrida asetat dengan bantuan sedikit asam sulfat
pekat sebagai katalisator (Baysinger 2004).
Esterifikasi merupakan proses penggantian atom H pada gugus -OH atau –NH3
oleh gugus asetil. Zat pengasetelasi yang umum ialah anhidra asetat, asetil klorida,
dan ketene. Reaksi yang terjadi merupakan reaksi yang setimbang. Reaksi asetilasi
sama dengan reaksi esterifikasi, yaitu reaksi antara alkohol dan asam sehingga
dihasilkan suatu ester dan air. Produksi ester secara industri dilakukan dengan
mereaksikan asam asetat anhidrat dengan alkohol. Esterifikasi berkataliskan asam
merupakan reaksi yang reversibel. Asam anhidrat ialah turunan dari asam dengan
mengambil air dari dua gugus karboksil dan menghubungkan fragmen-fragmennya.
Ester yang dibuat dengan cara ini adalah asam asetil salisilat atau yang lebih dikenal
dengan aspirin. Proses sintesis aspirin harus dalam kondisi bebas air, dikarenakan
aspirin yang terbentuk akan terhidrolisis kembali menjadi asam salisilat jika dalam
keadaan berair. Mengingat sifatnya yang higroskopis, asam sulfat juga berperan
sebagai penyerap air (Groggin 1985).
3.4 Rekristalisasi
Rekristalisasi adalah suatu teknik pemurnian zat padat dari campuran
pengotornya yang dilakukan dengan cara mengkristalkan kembali zat tersebut setelah
dilarutkan dalam pelarut (solven) yang sesuai atau cocok. Ada beberapa syarat
agar suatu pelarut dapat digunakan dalam proses kristalisasi yaitu memberikan
perbedaan daya larut yang cukup besar antara zat yang dimurnikan dengan zat
pengotor, tidak meninggalkan zat pengotor pada kristal, dan mudah dipisahkan dari
kristalnya (Rositawati 2013).
Prinsip dasar dari rekristalisasi adalah perbedaan kelarutan antara zat yang akan
dimurnikan dengan kelarutan zat pencampur atau pencemarnya. Larutan yang
terbentuk dipisahkan satu sama lain, kemudian larutan zat yang diinginkan dikristalkan
dengan cara menjenuhkannya (mencapai kondisi supersaturasi atau larutan lewat
jenuh). Secara teoritis ada 4 metoda untuk menciptakan supersaturasi yaitu dengan
mengubah temperatur, menguapkan solven, reaksi kimia, dan mengubah komposisi
solven (Rositawati 2013).
3.4.1 Kristal
Kristal adalah benda padat yang mempunyai permukaan-permukaan datar.
Karena banyak zat padat seperti garam, kuarsa, dan salju ada dalam bentuk-bentuk
yang jelas simetris, telah lama para ilmuwan menduga bahwa atom, ion, ataupun
molekul zat padat ini juga tersusun secara simetris (Keenan 1979).
Pada dasarnya pertumbuhan adalah transfer massa dari fasa cair (larutan) ke
fasa padat (kristal). Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kristal
(Maulin 2001):
1. Kecepatan pertumbuhan pada kristal yang berukuran kecil lebih tinggi daripada
kecepatan pertumbuhan pada kristal berukuran besar. Partikel berukuran lebih
besar mempunyai kecepatan terminal lebih besar pula sehingga semakin
besar partikel, semakin rendah kecepatan pertumbuhannya (Maulin 2001).
2. Pertumbuhan partikel pada temperatur tinggi dikontrol oleh difusi (diffusion
controlled), sedangkan pada temperatur rendah dikontrol oleh nirfase
integration (Maulin 2001).
3. Impuritis memberikan pengaruh yang cukup luas bagi pertumbuhan kristal.
Beberapa impuritas ada yang meningkat atau mengahambat laju pertumbuhan.
Impuritas mempengaruhi pertumbuhan kristal dengan berbagai macam cara.
Impuritas dapat merubah sifat larutan, konsentrasi kesetimbangan, dan
supersaturasi serta dapat merubah karakteristik lapisan adsorpsi permukaan
kristal yang menyebabkan morfologi kristal berbentuk pipih atau seperti
piringan (Maulin 2001).
3.4.2 Pengotor
Pengotor yang ada pada kristal terdiri dari dua katagori, yaitu pengotor yang
ada pada permukaan kristal dan pengotor yang ada di dalam kristal. Pengotor yang ada
pada permukaan kristal berasal dari larutan induk yang terbawa pada permukaan
kristal pada saat proses pemisahan padatan dari larutan induknya (retention liquid).
Pengotor pada permukaan kristal ini dapat dipisahkan hanya dengan pencucian. Cairan
yang digunakan untuk mencuci harus mempunyai sifat dapat melarutkan pengotor
tetapi tidak melarutkan padatan kristal. Salah satu cairan yang memenuhi sifat diatas
adalah larutan jenuh dari bahan kristal yang akan dicuci, namun dapat juga dipakai
pelarut yang pada umumnya memenuhi kriteria tersebut. Adapun pengotor yang
berada di dalam kristal tidak dapat dihilangkan dengan cara pencucian. Salah satu cara
untuk menghilangkan pengotor yang ada didalam kristal adalah dengan jalan
rekristalisasi, yaitu dengan melarutkan kristal tersebut kemudian mengkristalkannya
kembali. Salah satu kelebihan proses kristalisasi dibandingkan dengan proses
pemisahan yang lain adalah bahwa pengotor hanya bisa terbawa dalam kristal
jika terorientasi secara baik dalam kisi kristal. Bahan pengikat pengotor adalah
bahan atau zat yang dapat digunakan untuk mengikat zat-zat asing yang keberadaannya
tidak dikehendaki dalam zat murni (Setyopratomo and dkk 2003).
3.5 Pengompleksan
Senyawa kompleks merupakan jenis senyawa yang molekul atau ionnya
dapat membentuk ikatan koordinasi dengan atom logam atau ion. Spesies koordinasi
(disebut ligan) memiliki pasangan elektron bebas yang dapat disumbangkan untuk
logam atom atau ion lainnya, seperti ion amonia atau air, atau negatif seperti Cl- atau
CN-. Kompleks yang dihasilkan mungkin netral atau mungkin menjadi ion kompleks
(Sjahrul 2010).
Beberapa atom mempunyai tenaga yang dapat mempersatukan atom- atom,
gugusan mereka atau molekul-molekul dengan penggunaan valensi sekunder. Atom-
atom atau gugusan yang terikat dengan valensi sekunder dinamakan terkoordinasi
dengan atom pusat dan dihasilkan senyawa kompleks yang dikenal sebagai kompleks
koordinasi. Gugus kompleks koordinasi yang terikat dengan valensi sekunder tidak
dapat terionisasi sedangkan gugus yang terikat dengan valensi primer dapat terionisasi.
Jumlah maksimum ion atau molekul yang dapat terikat pada atom pusat dengan valensi
sekunder disebut sebagai “bilangan koordinasi”. Ion atau molekul yang terikat pada
atom pusat melalui ikatan koordinasi dinamakan ligan. Terdapat bermacam-macam
ligan seperti unidentat, bidentat, tridentat, dan sebagainya. Setiap jenis ligan ditentukan
oleh jumlah titik-titik koordinasi yang dimiliki ligan (Sjahrul 2010).
3.6 Titik Leleh
Pada penentuan titik leleh suatu zat, cara yang paling banyak diterima adalah
menggunakan tabung kapiler yang salah satu ujungnya disegel. Serbuk kristal yang
telah dihaluskan lalu dimasukkan ke dalam tabung kapiler dengan cara menekannya,
tetapi metode ini sulit dilakukan apabila terdapat sampel dalam jumlah yang sangat
besar, sehingga waktu yang diperlukan untuk meleleh lebih banyak dan dapat
mengurangi keakuratan. Oleh karena itu, sampel yang digunakan haruslah sedikit,
sekitar 1-2 mm dalam tabung kapiler. Perlu diketahui bahwa titik leleh terendah adalah
ketika zat tersebut telah habis meleleh (Federsen and Myers 2011).
3.7 Titrasi Asam Basa
Standarisasi dapat dilakukan dengan titrasi. Titrasi merupakan proses
penentuan konsentrasi suatu larutan dengan mereaksikan larutan yang sudah ditentukan
konsentrasinya (larutan standar). Titrasi asam basa adalah suatu titrasi dengan
menggunakan reaksi asam basa (reaksi penetralan). Prosedur analisis pada titrasi asam
basa ini adalah dengan titrasi volumemetri, yaitu mengukur volume dari suatu asam
atau basa yang bereaksi (Syukri 2007).
Pada saat terjadi perubahan warna indikator, titrasi dihentikan. Indikator
berubah warna pada saat titik ekuivalen. Pada titrasi asam basa, dikenal istilah titik
ekuivalen dan titik akhir titrasi. Titik ekuivalen adalah titik pada proses titrasi ketika
asam dan basa tepat habis bereaksi. Untuk mengetahui titik ekuivalen digunakan
indikator. Saat perubahan warna terjadi, saat itu disebut titik akhir titrasi. Proses
penentuan konsentrasi suatu larutan dipastikan dengan tepat dikenal sebagai
standarisasi. Suatu larutan standar kadang-kadang dapat disiapkan dengan
menggunakan suatu sampel zat terlarut yang diinginkan, yang ditimbang dengan
tepat, dalam volume larutan yang diukur dengan tepat. Zat yang memadai dalam hal
ini hanya sedikit, disebut standar primer (Sukmariah 1990).

IV. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam percobaan kali ini adalah alu, batang pengaduk,
buret, corong buchner, gelas ukur, klem, labu erlenmeyer, melting block, mortar,
pemanas bunsen, penangas air, pipa kapiler, pipet tetes, rak tabung, spatula, statip,
tabung reaksi, termometer, dan timbangan.
Bahan yang digunakan dalam percobaan kali ini adalah air, anhidrida asetat,
asam sulfat, asam salisilat, aqua dm, FeCl 3 (besi (III) klorida) 10%, bongkahan es,
etanol, fenoftalein, kertas saring, label, natrium hidroksida 0,1 M, dan tablet aspirin.

V. Prosedur Percobaan
5.1 Pembuatan Aspirin
Pertama-tama yang dilakukan adalah proses pembuatan aspirin, dinyalakan
pemanas dan diatur suhunya pada 105°C, lalu air yang terdapat digelas kimia
dipanaskan. Ditimbang kertas saring kosong dan ditimbang pula asam salisilat
sebanyak 1,4 gram, kemudian asam salisilat dimasukkan kedalam labu erlenmeyer.
Anhidrida asetat diukur dan ditambahkan sebanyak 4 mL kedalam labu erlenmeyer
yang didalamnya terdapat asam salisilat dan digoyangkan labu secara perlahan, lalu
ditambahkan asam sulfat sebayak 5 tetes secara hati-hati dan diaduk dengan batang
pengaduk. Setelah itu, larutan tersebut dipanaskan kedalam penangas air selama 5
menit (dimasukkan kedalam gelas kimia berisi air yang pada awal percobaan sedang
dipanaskan). Setelah dipanaskan, labu erlenmeyer diangkat dan segera ditambahkan 2
mL aqua dm. Didiamkan erlenmeyer pada suhu ruang selama 2 sampai 3 menit. Setelah
itu ditambahkan kembali aqua dm sebanyak 20 mL dan dibiarkan kembali erlenmeyer
hingga mencapai suhu kamar dan dipastikan kristal terbentuk sebelum masuk ke
langkah berikutnya. Setelah itu ditambahkan kembali aqua dm dingin sebanyak 50 mL
dan didinginkan erlenmeyer kedalam gelas kimia yang berisi bongkahan es sehingga
pembentukkan kristal sempurna. Diangkat erlenmeyer tersebut ketika kristal sudah
terbentuk dan dibiarkan kristal yang telah terbentuk terkumpul kedasar labu.
Selanjutnya ditimbang kertas saring kosong dan dimasukkan kertas saring tersebut
kedalam corong buchner dan dituangkan larutan kristal yang terbentuk kedalam corong
buchner. Dibilas labu erlenmeyer tersebut dengan aqua dm dingin ke dinding-dinding
erlenmeyer lalu disaring kembali, dilakukan sampai erlenmeyer benar-benar bersih dan
tidak ada sisa kristal yang tertinggal didalamnya. Ditimbang kristal yang didapat
setelah penyaringan menggunakan corong buchner, kristal tersebut dimasukkan
kembali kedalam erlenmeyer untuk dilakukan rekristalisasi.Untuk tahap rekristalisasi,
ditambahkan kedalamnya 5 mL etanol dan air hangat kurang lebih 20 mL. Lalu
dipanaskan erlenmeyer tersebut dengan penangas sampai kristal terlarut seluruhnya.
Jika sudah terlarut, diangkat erlenmeyer tersebut dan dibiarkan dingin sampai terbentuk
kristal kembali. Ditimbang kertas saring kosong dan dimasukkan kertas saring tersebut
kedalam corong buchner. Lalu disaring kembali dengan corong buchner kristal yang
diperoleh dari rekristalisasi. Kedalam corong buchner dituangkan kembali sisa kristal
yang telah dibilas dengan air dan ditimbang kristal hasil penyaringan yang sudah
dikeringkan diudara. Dihitung rendemen hasil kristal aspirin yang telah diperoleh.
Uji terhadap aspirin
5.2 Uji reaksi pengkompleksan dengan Besi (III) klorida (FeCl3)
Pertama-tama disiapkan tablet aspirin komersial, tablet tersebut digerus
dengan mortar dan alu. Lalu disiapkan 3 buah tabung reaksi yang diberi label dengan
“asam salisilat”, “my aspirin”, dan “komersial aspirin”, tambahkan kedalam tabung
tersebut masing-masing sampel sesuai pemberian label. Lalu kedalam masing-masing
tabung ditambahkan aqua dm sebanyak 20 tetes yang setelahnya tabung tersebut
digoyangkan untuk melarutkan sampel. Setelah itu, ditambahkan larutan FeCl3
10% sebanyak 10 tetes kedalam masing-masing tabung. Diamati perubahan warna
yang terjadi untuk setiap tabung. Warna ungu menunjukkan adanya asam salisilat
dalam sampel.
5.3 Penentuan titik leleh asam salisilat dan aspirin
Asam salisilat tersebut dimasukkan dalam pipa kapiler dengan cara
ditotolkan, kemudian pipa kapiler dibalik dan diketuk-ketuk, dilakukan berulang kali
sampai dikira asam salisilat yang masuk ke pipa kapiler sudah masuk kurang lebih 0,5
cm. Lalu pipa kapiler tersebut dimasukkan kedalam melting block dan dimasukkan
pula termometer yang skalanya sudah suhu ruangan, lalu dilakukan pemanasan
dan di amati suhu pada termometer. Satu lubang pada melting block harus selalu
diamati untuk melihat apakah asam salisilat dalam pipa kapiler telah meleleh (mulai
terlihat basah). Saat pertama kali meleleh, dicatat suhunya dan saat meleleh
seluruhnya, dicatat pula suhunya. Dilakukan hal yang sama untuk sampel my aspirin.
5.4 Analisis kandungan aspirin dalam tablet aspirin komersial
Pertama-tama digerus kembali tablet aspirin komersial dengan alu dan mortar.
Lalu kedalam erlenmeyer dimasukkan serbuk tablet aspirin, kemudian serbuk aspirin
dilarutkan dalam etanol sebanyak 10 mL. Setelah itu, ditetesi sebanyak 3 tetes indikator
fenoftalein, dan ditambahkan aqua dm sampai larutan genap 50 mL didalam
erlenmeyer. Erlenmeyer digoyangkan dan siap untuk dilakukan titrasi. Sebelum
dilakukan titrasi dibuat terlebih dahulu larutan baku NaOH 0,1 M dengan cara
sebanyak 0,4 gram NaOH ditimbang dan dilarutkan beberapa bagian aquadest di dalam
labu erlenmeyer, setelah itu larutan dimasukkan kedalam labu takar 100 ml lalu
ditambahkan aquadest hingga tanda batas. Selanjutnya larutan di homogenkan.
Setelah dibuat larutan baku NaOH 0,1 M dilakukan proses titrasi, dengan cara
disiapkan buret dan bahan titrasi, NaOH 0,1 M dimasukkan kedalam buret sampai
tanda 0 mL. Kemudian larutan dititrasi dengan NaOH 0,1 M sampai tercapai titik
akhir titrasi. Jika sudah tercapai titik akhir titrasi, dicatat volume yang dibutuhkan.

VI. Hasil Pengamatan dan Perhitungan


6.1 Pembuatan Aspirin

Asam salisilat 1,4 gram


Kertas saring kosong 0,53 gram
Kertas saring + kristal 2,44 gram
Kristal aspirin murni 2,44 gram – 0,53 gram
= 1,91 gram
Mol asam salisilat Massa 1,4 gram
= = 0,0101 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚
Mr 38 g/mol
Anhidrida asetat Gram = p x v = 1,08 x 4
= 4,32 gram
Mol anhidrat asetat Massa 4,32 gram
= = 0,0423 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚
Mr 102 g/mol
• Sintesis aspirin
Persamaan Reaksi :
Asam salisilat + anhidrida asetat → Aspirin + Asam asetat
M: 0,01 0,04
R: 0,01 0,01 0,01_______________
S: - 0,03 0,01

- Mol aspirin = 0,01 mol


- Berat aspirin = 0,01 x 180 (Mr) = 1,8 gram (Berat teoritis)

• % Rendemen
(Berat kertas saring + kristal) – Berat kertas saring
Rendemen = × 100 %
Berat teoritis
2,44 gram − 0,53 gram
= × 100 %
1,8 gram
= 106,11 %

6.2 Uji titik leleh

Keterangan Asam Salisilat Kristal Aspirin Murni


Titik leleh pertama kali 158⁰C 135⁰C
Titik leleh seluruhnya 160⁰C 136⁰C
Lebar trayek 2⁰C 1⁰C
6.3 Uji reaksi pengompleksan dengan FeCl3

Tabung Hasil Pengamatan


1 = Asam salisilat Ungu pekat
2 = My aspirin / Aspirin hasil ekristalisasi Ungu pekat
3 = Aspirin komersial Coklat

6.4 Analisis kandungan aspirin dalam tablet aspirin komersial

Hasil Titrasi
V1 29,2 ml
V2 20 ml

29,2 ml + 29 ml
𝑉𝑉 𝑟𝑟𝑟𝑟𝑡𝑡𝑡𝑡 − 𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟 = = 20,1 𝑚𝑚𝑚𝑚
2
- VNaOH = 29,1 ml
- MNaOH = 0,1
- Vaspirin = 50 ml
Aspirin : NaOH
Vaspirin × Maspirin = VNaOH × MNaOH
50 ml × Maspirin = 29,1 ml × 0,1 M
29,1 ml × 0,1 M
Maspirin =
50 𝑚𝑚𝑚𝑚
Maspirin = 0,0582 M

• Berat Aspirin
𝑀𝑀 × 𝐵𝐵𝐵𝐵 × 𝑉𝑉
𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺 =
1000
0,0582 𝑀𝑀 × 180 × 50 𝑚𝑚𝑚𝑚
=
1000
= 0,5238 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑎𝑎𝑎𝑎
FDA → 5 grains x 0,0648 gram
= 0,324 gram
Yang dimiliki 0,5238 gram artinya memenuhi standar FDA karena hasilnya lebih dari
5 grains (0,324 gram).

VII. Pembahasan
Pada percobaan kali ini akan dilakukan sintesis aspirin dengan cara esterifikasi.
Reaksi esterifikasi merupakan kebalikan dari reaksi hidrolisis, dimana pada reaksi
esterifikasi dapat dikatalis dengan suatu asam, basa, maupun enzim. Pada esterifikasi
ini akan dibentuk suatu gugus ester dari gugus OH, sementara untuk gugus
karboksilatnya akan tetap dalam bentuk gugus karboksilat. Aspirin dapat disintesis
dari asam salisilat atau nama lainnya asam-o-hidroksibenzoat dan dari anhidrida
asetat. Untuk memurnikan hasil sintesis aspirin maka dilakukan rekristalisasi.
Sementara untuk menguji kemurninannya, dapat dilakukan uji pengompleksan dengan
FeCl3 dan juga dengan uji titik leleh. Untuk menentukan kadar aspirin dalam tablet
aspirin komersial dapat dilakukan metode titrasi asam basa.
Yang dilakukan untuk tahap pertama adalah pembuatan aspirin. Untuk
pembuatan aspirin pemanas dinyalakan dan diatur suhunya pada 105°C dan dipanaskan
air didalam gelas kimia. Setelah itu ditimbang bobot kertas saring kosong, bobotnya
adalah 0,52 gram dan untuk asam salisilat ditimbang sebanyak 1,4 gram. Asam salisilat
tersebut ditambahkan anhidrida asetat sebanyak 4 mL, anhidrida asetat merupakan
penggabungan dari 2 senyawa asam asetat yang telah melepaskan air. Anhidrat asetat
merupakan derivat yang lebih reaktif yang dapat menghasilkan ester asetat. Anhidrat
asetat juga dapat mencegah adanya kandungan air, sebab apabila terdapat air maka
kristal aspirin akan terurai kembali menjadi asam salisilat. Ditambahkan asam sulfat
sebanyak 5 tetes secara hati-hati. Fungsi asam salisilat adalah sebagai katalis asam,
dimana pada reaksi esterifikasinya akan memprotonasi atom O pada anhidrida asetat.
Kemudian campuran tersebut diaduk dengan batang pengaduk untuk mempercepat
kelarutan. Setelah itu, larutan tersebut dipanaskan kedalam penangas air selama 5 menit.
Fungsi dilakukannya pemanasan adalah untuk mempercepat terjadinya reaksi. Setelah
dipanaskan, diangkat labu erlenmeyer dan segera ditambahkan kedalamnya 2 mL aqua
dm. Fungsi penambahan aqua dm ini adalah untuk melarutkan asam salisilat sebagai
bahan baku pembentukan aspirin karena adanya ikatan hidrogen yang terbentuk antara
gugus -OH dengan air, sekaligus menghentikan reaksi karena air akan menghidrolisis
anhidrida asam asetat atau untuk mengikat kelebihan anhidrida asetat sehingga tidak
menggangu jalannya reaksi. Kemudian erlenmeyer didiamkan pada suhu ruang selama
2-3 menit. Setelah itu ditambahkan kembali aqua dm sebanyak 20 mL dan dibiarkan
hingga kristal terbentuk. Setelah kristal terbentuk, ditambahkan kembali aqua dm dingin
sebanyak 50 mL dan didinginkan erlenmeyer kedalam gelas kimia yang berisi
bongkahan es. Fungsi dari pendinginan ini adalah agar kristal dapat terbentuk secara
sempurna.
Langkah berikutnya dilakukan proses rekristalisasi. Tahap rekristalisasi ini
bertujuan untuk untuk menghasilkan kristal aspirin yang lebih murni. Metode
rekristalisasi merupakan cara pemurnian zat padat dari campuran padatannya, dimana
zat-zat tersebut dilarutkan dalam suatu pelarut yang cocok kemudian dikristalkan
dengan cara menjenuhkannya. Pertama, endapan yang terbentuk dilarutkan kembali
dalam 5 ml etanol lalu ditambahkan 20 ml air hangat. Penambahkan etanol, berfungsi
sebagai pelarut karena dapat melarutkan pengotor-pengotor dalam kristal dan untuk
memastikan bahwa produk yang dihasilkan adalah aspirin, sehingga kristal hasil
kristalisasi akan melarut dengan mudah dalam etanol dan kristal akan terpisah dengan
air dan diperoleh kristal yang lebih murni dengan jumlah zat pengotor yang
diminimalkan. Etanol digunakan karena diketahui bahwa aspirin mudah larut dalam
etanol. Sedangkan air berfungsi untuk melarutkan zat pengotor yang bersifat polar.
Kemudian larutan dipanaskan sampai semua kristal tepat larut, fungsi dari pemanasan
ini adalah untuk melarutkan keseluruh kristal yang terdapat didalam erlenmeyer, lalu
biarkan larutan dingin sampai kembali terbentuk kristal. Pendinginan dimaksudkan
untuk membentuk kristal, karena ketika suhu dingin, molekul-molekul aspirin dalam
larutan akan bergerak melambat dan pada akhirnya terkumpul membentuk endapan.
Setelah itu disaring kembali kristal yang terbentuk dengan corong Buchner. Selanjutnya
kristal ditimbang, untuk rendemennya didapatkan hasil 106,11%, nilai tersebut dapat
dikatakan keliru karena melebihi 100%, yang berarti terkandung 106,11% aspirin dari
reaksi esterifikasi ini. Seharusnya setelah dilakukan rekristalisasi, bobot kristal yang
diperoleh jauh lebih kecil dibandingkan pada tahap sebelumnya yaitu pada tahap
esterifikasi. Besarnya nilai rendemen ini bisa dipengaruhi dari pengotor yang tidak
tersaring secara sempurna sehingga saat penimbangan, adanya pengotor tersebut
membuat bobot kristal menjadi berat. Atau dapat dipengaruhi saat dilakukan
penimbangan, kristal yang akan ditimbang masih belum cukup kering sehingga
membuat bobotnya menjadi besar atau dapat dikarenakan pada reaksinya masih ada
yang belum tepat bereaksi.
Reaski pembentukan aspirin dengan metode esterifikasi dapat digambarkan
seperti dibawah ini:

Pada reaksi diatas yang bereaksi adalah gugus OH dari asam salisilat dengan
CH3CO dari anhidrida asetat. Sementara CH3COO pada anhidrida asetat akan
bergabung dengan atom H dari gugus OH pada asam salisilat membentuk CH3COOH
yang akan menimbulkan bau seperti cuka. Agar anhidrida asetat dapat terpotong di
bagian O yang berada ditengah, maka diperlukan ion H+, ion H+ ini dapat diperoleh
dari H2SO4 yang merupakan katalis dalam reaksi esterifikasli dalam percobaan kali
ini. H2SO4 digunakan untuk memprotonasi O. Jika pada anhidrida sudah terputus
ikatan O yang berada di tengah, maka C dari CH3CO akan menjadi karbokation. Atom
O dari gugus OH pada asam salisilat akan menembak C karbokation tersebut.
Sementara atom H dari gugus OH nya akan ditarik keluar oleh HSO4- . Jika atom H
telah pergi, maka CH3CO dapat masuk dan membentuk ikatan dengan O, sehingga
aspirin dapat terbentuk.

Selanjutnya dilakukan uji terhadap aspirin, uji yang pertama adalah uji reaksi
pengompleksan dengan FeCl3. Senyawa kompleks merupakan senyawa yang tersusun
dari ion logam dengan satu atau lebih ligan. Interaksi antara logam dengan ligan-ligan
dapat diibaratkan seperti reaksi asam-basa lewis, di mana basa lewis merupakan zat
yang mampu memberikan satu atau lebih pasangan elektron(ligan). Dalam percobaan
ini yang menjadi ligan adalah aspirin, sedangkan logamnya adalah Fe. Fenol yang
bereaksi dengan FeCl3 akan memberikan warna ungu,karena asam salisilat adalah
senyawa yang mengandung fenol maka reaksi FeCl3 dengan asam salisilat juga akan
memberikan warna ungu. Fenol merupakan senyawa yang mengandung gugus
hidroksil yang terikat pada karbon tak jenuh, sehingga dapat bereaksi dengan besi (III)
klorida menghasilkan larutan berwarna. Tablet aspirin komersial digerus untuk
digunakan sebagai sampel uji. Pada 3 buah tabung reaksi yang telah diisikan dengan
sampel sesuai label, sampel tersebut adalah “asam salisilat”, “my aspirin”, dan
“komersial aspirin”. Lalu kedalam masing-masing tabung ditambahkan aqua dm
sebanyak 20 tetes yang setelahnya tabung tersebut digoyangkan untuk melarutkan
sampel. Ditambahkan larutan FeCl3 10% sebanyak 10 tetes kedalam masing-masing
tabung. Larutan FeCl3 10% ini digunakan sebagai indikator yang akan memberikan
warna ungu jika bereaksi dengan asam salisilat. Setelah diamati pada tabung 1 “asam
salisilat” menghasilkan warna ungu pekat, pada tabung 2 “my aspirin” juga
menghasilkan warna ungu pekat, dan pada tabung 3 “komersial aspirin” menghasilkan
warna coklat keunguan dengan endapan putih. Tabung 1 “asam salisilat” dan tabung 3
“komersial aspirin” merupakan tabung pembanding untuk hasil yang diperoleh pada
tabung 2 “my aspirin”. Seharusnya hasil dari tabung 2 “my aspirin” menghasilkan
warna coklat keunguan dengan endapan putih sama dengan hasil pada tabung 3
“komersial aspirin”. Namun pada hasilnya malah menghasilkan warna ungu pekat
sama seperti pada tabung 1 “asam salisilat”, ini menandakan positif masih terdapat
asam salisilat pada tabung 2, yang berarti hasil yang diperoleh belum murni.
Kemungkinan kesalahan ini dikarenakan kurangnya anhidrida asetat (tidak sesuai
perhitungan stoikiometri). Untuk menghindari berkurangnya anhidrida asetat,
seharusnya pengukuran tidak dilakukan dengan menggunakan gelas ukur. Akan lebih
baik jika pengukurannya menggunakan alat yang lebih presisi seperti dengan pipet
volume.

Berikut adalah reaksi pengompleksan dengan menggunakan FeCl3:

Pengujian kedua terhadap aspirin adalah dilakukan uji titik leleh terhadap asam
salisilat dan my aspirin. Asam salisilat dimasukkan dalam pipa kapiler dengan cara
ditotolkan, kemudian pipa kapiler dibalik dan diketuk-ketuk, dilakukan berulang kali
sampai dikira asam salisilat yang masuk ke pipa kapiler sudah masuk kurang lebih 0,5
cm. Lalu pipa kapiler tersebut dimasukkan kedalam melting block dan dimasukkan
pula termometer yang skalanya sudah suhu ruangan. Dilakukan perlakuan yang sama
untuk my aspirin. Termometer yang dipakai harus sudah suhu ruangan, karena jika
tidak nantinya akan mempengaruhi rentang titik leleh dari sampel yang sedang diuji.
Lalu dilakukan pemanasan dan di amati suhu pada termometer. Satu lubang pada
melting block harus selalu diamati untuk melihat apakah asam salisilat dalam pipa
kapiler telah meleleh (mulai terlihat basah), karena jika terlewat akan mempengaruhi
rentang titik lelehnya. Suhu yang didapatkan saat kristal asam salisilat meleleh pertama
kali adalah 158°C, dan saat meleleh seluruhnya adalah pada suhu 160°C. Maka dari
percobaan ini dapat disimpulkan bahwa rentang titik leleh untuk asam salisilat adalah
158°C-160°C. Jika dibandingkan dengan literatur, rentang titik leleh asam salisilat ini
sudah sesuai karena pada literatur rentangnya adalah 158,5°C-161°C (Departemen
Kesehatan RI 1979) yang berarti dapat dikatakan bahwa asam salisilat yang digunakan
murni karena perbedaanya tidak jauh. Sedangkan untuk my aspirin, suhu yang
didapatkan saat kristal meleleh pertama kali adalah 135°C, dan saat meleleh seluruhnya
adalah pada suhu 136°C. Maka dari percobaan ini dapat disimpulkan bahwa rentang
titik leleh untuk aspirin adalah 135°C-136°C. Jika dibandingkan dengan literatur,
rentang titik leleh aspirin ini tidak sesuai karena pada literatur rentangnya adalah
141°C-144°C (Departemen Kesehatan RI 1979). Ketidaksesuaian ini bisa dikarenakan
masih adanya pengotor pada kristal

Terakhir adalah dilakukan analisis kandungan aspirin dalam tablet aspirin


komersial dengan metode titrasi asam basa. Digunakannya metode titrasi asam basa ini
karena aspirin itu sendiri bersifat asam, sifat asam tersebut diperoleh dari gugus
karboksilatnya, dimana atom H pada karboksilat nantinya akan bereaksi dengan basa,
basa dalam titrasi ini diperoleh dari pentiternya yaitu larutan NaOH. Tablet aspirin yang
telah digerus dimasukkan kedalam erlenmeyer dan ditambahkan etanol sebanyak 10
mL. Kemudian ditambahkan pula 3 tetes indikator fenoftalein, dan aqua dm sampai
larutan genap 50 mL didalam erlenmeyer. Digunakannya indikator fenoftalein yaitu
karena dalam suasana basa, fenoftalein akan memberikan warna pink muda, sementara
dalam suasana asam tidak memberikan warna (penanda titik akhir titrasi tercapai).
Untuk proses titrasi, disiapkan pentiter berupa NaOH 0,1 M didalam buret sampai tanda
0 mL. Larutan NaOH digunakan sebagai pentiter karena sifatnya yang basa, yang
nantinya dapat bereaksi dengan aspirin. Larutan dalam erlenmyer dititrasi dengan
NaOH 0,1M sampai tercapai titik akhir titrasi. Titik akhir titrasi tercapai saat NaOH
yang ditetesi dari buret kedalam erlenmeyer terpakai sebanyak 29,2 mL. Sementara
untuk perlakuan duplo, titik akhir titrasi tercapai saat NaOH terpakai sebanyak 20 mL.
29,2 mL dan 20 mL merupakan volume NaOH yang dibutuhkan agar asam dari aspirin
dan basa dari NaOH telah tepat habis bereaksi. Maka untuk rata-ratanya diperoleh nilai
20,1 mL. Dari volume rata- rata yang diperoleh, volume tersebut digunakan untuk
perhitungan penentuan molaritas aspirin. Setelah dihitung diketahui molaritas aspirin
adalah sebesar 0,0582 M. Dan untuk kadar aspirin dalam tablet aspirin komersial
diperoleh angka 0,5238 gram untuk setiap tabletnya. Jika dilihat dari ketentuan FDA,
kadar aspirin dalam tablet aspirin komersial tersebut sudah memenuhi syarat (melebihi
0,324 gram) dari FDA karena ketentuan FDA menyatakan bahwa kadar aspirin dalam
tablet harus mengandung 0,324 gram aspirin.m,

VIII. Kesimpulan
Pada percobaan kali ini, dapat disimpulkan bahwa:
8.1 Aspirin dapat disintesis dengan mereaksikan 1,4 gram asam salisilat dengan 4
ml anhidrida asetat dengan esterifikasi 1,91 gram aspirin dan berat teoritis
aspirin sebesar 1,8 gram sehingga didapatkan rendemen sebesar 106,11%.
8.2 Aspirin hasil sintesis dapat dimurnikan dengan cara rekristalisasi dengan air
panas yang kemudian didinginkan hingga terbentuk kristal, diperoleh hasil
pemurnian 1,91 gram dan diperoleh hasil rendemen sebesar 106,11% lebih
besar dari 100% dapat dikatakan bahwa aspirin yang dihasilkan tidak murni,
karena rekristalisasi berlangsung tidak sempurna disebabkan tidak adanya
proses penyaringan sehingga pengotor masih ada.
8.3 Pada uji FeCl3 tabung 1 = FeCl3 + asam salisilat menghasilkan warna ungu
pekat menunjukan adanya asam salisilat pada sampel, tabung 2 = my aspirin +
FeCl3 menghasilkan warna ungu pekat seharusnya berwarna kuning hal ini
disebabkan karena penimbangan yang tidak tepat sehingga masih ada asam
salisilat yang bereaksi dengan FeCl3, tabung 3 = aspirin komersial + FeCl3
menghasilkan warna coklat (Aspirin sudah murni).
8.4 Lebar trayek asam salisilat 2⁰C dan aspirin sintesis 1⁰C menunjukkan bahwa
aspirin yang dihasilkan murni.
8.5 Kadar aspirin dalam tablet komersial dapat ditentukan dengan titrasi asam basa,
menghasilkan molaritas sebesar 0,0582 M dengan kadar aspirin yang dihasilkan
sebesar 0,5238 gram sudah memenuhi standar FDA karena melebihi 5 grains
atau sebesar 0,324 gram.
DAFTAR PUSTAKA

Baysinger, G. 2004. Handbook of Chemistry and Physics 85th ed. New York: CRC.
Dedi, I. 2014. Experiment Of Organic Chemisthry. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah
P. IPAFITK Press.
Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI.
Federsen, S, and A Myers. 2011. Understanding The Principals of Organic Chemistry.
USA: Cengage Learning.
Groggin, P H. 1985. Unit Process in Organic Chemistry 5th ed. Kogakusha: Mc Graw-
Hill Book Company.
Keenan, W. 1979. Kimia Untuk Universitas. Jakarta: Erlangga.
Maulin, Z. 2001. Crytalization 4 ed. Oxford: Butterworth Heinemann.
Rositawati, A T. 2013. "Rekristalisasi Garam Rakyat Dari Daerah Demak Untuk
Mencapai SNI Garam Industri." Jurnal Teknologi Kimia dan Industri 217-225.
Setyopratomo, P, and dkk. 2003. Studi Eksperimental Pemurnian Garam NaCl dengan
Cara Rekristalisasi. Surabaya: Universitas Surabaya.
Sjahrul, M. 2010. Dasar-Dasar Kimia Anorganik. Makassar: PT Umitoha Ukhuwa
Grafika.
Sukmariah. 1990. Kimia Kedokteran Edisi 2. Jakarta: Binarupa Aksara.
Syukri. 2007. Kimia Dasar 2. Bandung: ITB.

Anda mungkin juga menyukai