Anda di halaman 1dari 15

Makalah

TAQWA

Disusun oleh :
KELOMPOK 10
Uswatun Hasanah (200420242)
Dinda Alfianinta (200420215)
Rapina (200420256)

Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan


Bisnis

Pendidikan Agama
(Dr. Basri , MA)

Universitas Malikussaleh
2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena dengan rahmat,karunia,serta taufik dan hidayah-Nya saya
dapat menyelesaikan makalah tentang Taqwa ini dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga saya berterima
kasih pada Bapak Dr. Basri MA selaku dosen Pendidikan Agama
islam Universitas Negeri Malikussaleh yang telah memberikan tugas
ini kepada saya.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Pendidikan
agama islam yakti tentang Taqwa. saya juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan makalah yang telah saya buat di masa yang
akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun saya dalam bidang ini.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun
yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat
berguna bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya.
Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan saya memohon kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perintah untuk bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla

senantiasa relevan dengan waktu dan tempat, kapanpun dan

dimanapun. Mengingat, ragam fitnah yang mengancam hati

seorang hamba, lingkungan yang tidak kondusif ataupun lantaran

hati manusia yang rentan mengalami perubahan dan sebab-sebab

lainnya yang berpotensi menimbulkan pengaruh negatif pada

keimanan dan ketakwaan.

Urgensi berwasiat untuk takwa dapat disaksikan dari

kenyataan bahwa Allah k menjadikannya wasiat bagi orang-orang

terdahulu dan yang akan datang. Allah k berfirman: (an-Nisaa

4:131)

“…dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-

orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu;

bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir maka

(ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang dibumi

hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha

Terpuji”. [an-Nisaa 4:131]


Ketakwaan juga merupakan wasiat Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Pada haji wada’, Beliau

Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Bertakwalah kepada Allah, kerjakan sholat lima waktu,

berpuasalah di bulan (Ramadhan), tunaikan zakat harta kalian, taati

para penguasa, niscaya kalian masuk syurga Allah. [HR. at-

Tirmidzi].

Taqwa sangat penting dan dibutuhkan dalam setiap

kehidupan seorang muslim. Namun masih banyak yang belum

mengetahui hakekatnya. Setiap jumat para khatib menyerukan

taqwa dan para makmumpun mendengarnya berulang-ulang kali.

Namun yang mereka dengar terkadang tidak difahami dengan

benar dan pas..


B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud taqwa, bagaimana hakikatnya, dan
bagaimana ciri muslim yang bertaqwa?

C. Sistematika
Dalam sistem penulisan ini, kami menggunakan metode
pengumpulan data yang berbentuk dalam makalah. Hal ini
bertujuan untuk memperinci dan mempermudah kita dalam
membaca.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Taqwa
Secara etimologis , kata “taqwa” berasal dari bahasa arab
taqwa. Kata taqwa memiliki kata dasar waqa yang berarti menjaga,
melindungi, hati-hati, waspada, memerhatiakn, dan menjauhi.
Adapun secara terminologis, kata “taqwa” berarti menjalankan apa
yang diperintahankan oleh Allah dan menjauhi segala apa yang
dilarang-Nya.
Para penerjemah Al-Qur’an mengartikan “taqwa” sebagai
kepatuhan, kesalihan, kelurusan, perilaku baik, teguh melawan
kejahatan, dan takut kepada Tuhan.Allah swt berfirman:
(Q.S.Ali Imran [3]:102)

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah


kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah
kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.

2. Makna Taqwa

Dalam Al-Quran hanya terdapat satu ayat yang secara


eksplisit menyebut kata haqiq (haqiqat), tapi ada 227 ayat yang
tafsirnya lain, akan tetapi memiliki hakikat yang sama dengan
hakikat. Diantaranya :

1. “Wahai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah


dengan sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya; dan jangan sekali-
kali kamu mati, melainkan dalam keadaan beragama islam”
(Q.S. Ali Imran 102).
2. “Apa yang telah kami ciptakan itulah yang benar, yang datang
dari tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang yang
ragu-ragu” (Q.S. 3:60)

3. “Sesungguhnya manusia betul-betul berada dalam kerugian,


kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, dan
saling menasehati tentang haq (kebenaran) dan kesabaran”.
(Q.S. Al-‘Ashri : 1-3).

Mayoritas ulama tafsir berpendapat, ayat pertama di atas


mansukh (dihapus), atau tabdil (hukumnya diubah) dengan ayat
“fattaqullah mastatha’tum” (bertaqwalah kepada Allah sesuai
kesanggupanmu) (Q.S. Al-Taghabun: 16).

Pada mulanya, ketika ayat di atas (hakikat taqwa) turun,


banyak diantara para sahabat yang gelisah, karena hakikat berarti
taat yang terus menerus, tidak pernah mendurhakai, syukur secara
terus menerus dan tidak pernah mengingkari, mengingat terus dan
tidak pernah melupakan-Nya. Kemudian sahabat itu berkata, tidak
mungkin seorang hamba mampu bertaqwa dengan sebenar-
benarnya taqwa (hakikatnya) sesuai bunyi ayat di atas

3. Kualifikasi taqwa dalam Al-Qur’an

A. Taqwa Sebagai Refleksi dari Iman, Islam dan Ihsan

Menurut Yunahar Ilyas, bila ajaran Islam dibagi menjadi


Iman, Islam dan Ihsan, maka pada hakikatnya taqwa adalah
integralisasi ketiga dimensi tersebut.[13] Iman adalah gabungan
dari kepercayaan, rasa takut (khauf) dan harap (ar-rajaa),
sedangkan rasa takut adalah substansi dari taqwa.[14] Rasa takut
yang disertai dengan harap tersebut menjadi landasan seorang
muslim untuk senantiasa bertauhid dan meninggalkan syirik. Inilah
yang menjadi acuan seseorang untuk menjalankan agamanya,
sehingga ia disebut muslim. Dan bila keislaman itu dilakukan
secara konsisten, maka timbullah ihsan dalam diri muslim tersebut.
[15]Dengan demikian, seseorang dikatakan bertaqwa apabila ia
telah beriman atau percaya dengan segenap rasa takut dan harap
yang terus menerus berkesinambungan, hingga akhirnya terpatri
dalam dirinya dan menjadi sebuah kebiasaan.

Kebiasaan baik dan kepatuhan (al birru) ini merefleksikan


kepercayaanya kepada Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-
nabi dan hari akhir (Iman), ketundukannya untuk menjalankan
ibadah (Islam) dan kerelaannya untuk senantiasa berbuat kebajikan
(Ihsan).[16] Kualifikasi muslim seperti ini persis perisis seperti apa
yang digambarkan dalam surat Al-Baqarah ayat 3-4 dan juga surat
Ali ‘imran ayat 134-135 tentang ciri-ciri orang beriman, dan juga
dibanyak ayat lainnya di dalam al-Qur’an.[17] Maka, keimanan
seseorang haruslah bersifat aktif dan menjadi penggerak bagi
lahirnya perbuatan-perbuatan baik yang akan mengantarkannya
pada derajat taqwa. Ini tergambar dari bagaimana setelah
disebutkan berganti-ganti beberapa bagian dari Iman, Islam dan
Ihsan itu, kemudian Allah menutupnya dengan kalimat: “Mereka
itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang
yang bertaqwa”. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa dalam
ayat tersebut taqwa dicirikan dengan Iman, Islam dan Ihsan
sekaligus.[18] Atau dengan kata lain, orang yang bertaqwa adalah
orang yang dalam waktu bersamaan menjadi Mukmin, Muslim dan
Muhsin.

B. Taqwa dalam Arti Takut Serta Waspada

Taqwa kepada Allah mengisyaratkan akan besarnya azab


dan hukuman Allah (bagi siapapun yang mengingkarinya), jika
tidak, maka tak mungkin ketaqwaan tersebut mempengaruhi
seseorang untuk tunduk dan patuh terhadap kekuasaan Allah.[19]
Karna perintah untuk takut kepada Allah selalu muncul setelah
adanya perintah untuk melaksanakan suatu ketetapan.[20] Ini
menjadi penegasan terhadap perintah tersebut agar benar-benar
dilakukan, untuk menutup kemungkinan manusia menyimpang
dari perintah Allah. Malahan, tak jarang perintah itu disertai
dengan ancaman akan sebuah azab yang berat, baik langsung
ataupun tidak langsung.[21] Ini mengindikasikan perintah Allah
kepada manusia untuk senantiasa waspada dan berhati-hati dalam
mengambil keputusan, agar tidak bertentangan dengan syariatnya.

Sikap waspada, takut dan kehati-hatian menjadikan manusia


senantiasa mencari cara untuk melindungi dirinya dari azab dan
hukuman Allah baik secara terang-terangan maupun tersembunyi.
[22] Adapun cara untuk melindungi diri dari azab Allah adalah
dengan menjauhi apa yang menjadi laranganNya dan mengikuti
apa yang menjadi perintahNya. Yakni dengan perasaan takut
terhadap azabNya dan terhadap yang memberikan Azab. Perasaan
takut terhadap azab itulah yang menjadi sebuah dasar dari
ketaqwaan kepada Allah. Orang yang takut kepada azab tersebut
tentunya akan berusaha menjauhkan dirinya dari azab, untuk itu,
dia perlu mengetahui apa saja yang menyebabkan dirinya
mendapatkan azab. Dengan demikian, seorang muslim yang
bertaqwa akan senantiasa berhati-hati dalam melangkah dan
mengambil keputusan.

C. Taqwa dalam Arti Furqan (Pembeda)

Diciptakan sebagai makhluk yang menjalankan misi dari


Allah sebagai pengelola bumi, manusia kerap dihadapkan dengan
berbagai pilihan dalam hidup. Bila mengamati dari ayat-ayat al-
Qur’an, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya sekian banyak
pilihan-pilihan tersebut terklasifikasi kedalam dua golongan; haq
(benar) dan batil (salah).
“Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah
lenyap.” Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti
lenyap.”[23]
“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya
Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang
mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya
Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.”[24]

Dari kedua ayat diatas, Allah telah mengisyaratkan dengan


jelas kepada manusia, bahwa apa saja yang diperbolehkan Allah,
itulah yang disebut haq, dan apa saja yang menjadi larangannya
adalah batil. Walaupun terkadang kedua hal tersebut menjadi
samar dimata manusia, namun dengan berpegang kepada petunjuk
Allah berupa al-Qur’an dan Sunnah serta ijtihad dan penjelasan
dari para ulama, manusia akan mampu mengetahui kebenaran.
Itulah pentingnya manusia mencari tahu kebenaran dengan sarana
yang telah telah diberikan Allah melalui akal.[25] Dengan
demikian, seseorang yang bertaqwa tentulah seseorang yang
mengetahui dengan pasti kebenaran-kebenaran yang harus
diikutinya dan kejahatan yang harus dihindari.

D. Taqwa dalam Arti Tunduk dan Patuh

Taqwa memiliki makna filosofis yang dalam. Seperti yang


dikatakan Tabataba’i bahwa dalam jiwa seseorang terdapat dua
potensi, yaitu potensi berbuat baik dan potensi berbuat jahat yang
keduanya tidak dapat berkumpul dalam satu waktu.[31] Maka
manusia yang bertaqwa adalah manusia yang mampu
mengembangkan potensi kebaikan atau ketaatan yang ada dalam
dirinya dengan cara berbuat ihsan dan meredam potensi buruknya.
[32] Hal ini menjelaskan, bahwa sekedar patuh saja tidak cukup
untuk menempatkan manusia ke dalam derajat taqwa yang
sesungguhnya. Manusia bertaqwa haruslah manusia yang produktif
dalam kebaikan. Sehingga kebaikan itu bukan hanya dirasakan
untuk dirinya sendiri, namun juga untuk sekitarnya.
Pendapat ini diperkuat oleh Hamka dalam tafsirnya al-
Azhar, yang mengatakan bahwa dalam kalimat taqwa terkandung
arti yang lebih komprehensif, yakni: cinta, kasih, harap, cemas
tawakkal, ridha, sabar, berani, dan lain-lain.[33] Ini menunjukan
betapa kompleksnya arti taqwa yang sesungguhnya. Ia bukan
hanya berarti melindungi diri dari hal-hal yang membahayakan,
akan tetapi juga berarti semangat untuk memperbaiki dan
membangun hidup dan kehidupannya melalui semangat beragama,
baik dalam kehidupan sosial maupun spiritual. Terkait dengan
kedua potensi yang dimiliki manusia (baik dan buruk), taqwa
mengisyaratkan akan usaha seorang manusia untuk mereduksi
keburukan yang ada dalam dirinya dan menggantinya dengan
kebaikan. Usaha tersebut dilakukan atas dasar kesadaran total akan
wujud perintah Allah terhadap kebaikan dan larangannya terhadap
keburukan, sehingga apa yang dilakukannya bersumber dari
petunjuk Allah.[34] Inilah yang kemudian disebut sebagai sebuah
kepatuhan dan ketundukan total kepada Allah.

E. Tiga Tingkatan pribadi muslim

a) Disebut Islam (Muslim), yaitu baru tingkat penyerahan diri


kepada Tuhan. Misalnya sholat, maka ia akan melakukan dalam
kondisi yang formal dan tidak membantah.
b) Disebut Iman (Mukmin), yaitu apabila yang dilakukan dan
diucapkan tergurat sampai kedalam hati dan tidak puas, karena
baru sebatas menjalankan rukun islam.
c) Disebut Ihsan (Muhsin), tingkatan ini adalah tingkatan
kepastian dan kesadaran batin, yaitu dalam menyembah Allah
seolah-olah melihat-Nya. (H.R. Muslim).
Dari tiga tahap tersebut, maka tahapan ketigalah yang
tertinggi, karena telah terbuka kesadarannya (tabir ma’rifat).
Selanjutnya menjadikan dirinya sebagai batas tertinggi dalam
merealisasikan perintah pada awal waktu, dan terpelihara dari
segala yang dilarang (termasuk makruh sekalipun). Jadi, seorang
muslim yang berlatih meningkatkan kadar keislamannya dri tahap
ke tahap, maka ia termasuk yang berlayar di atas perahu ke tingkat
taqwa. Artinya mukmin yang tidak pernah naik ke kelas yang lebih
tinggi, ialah kelompok yang hanya melaksanakan sebagian
perintah, ala kadarnya dan selalu dipenghujung waktu. Kelompok
seperti inilah yang masih jauh dari hakikat taqwa.

F. Ciri-ciri orang bertaqwa

Dalam Al-Quran banyak disebutkan ciri-ciri orang yang


bertaqwa. Ciri utama orang yang bertaqwa ialah, “yaitu orang-
orang yang menafkahkan (hartanya) baik diwaktu lapang maupun
sempit, orang-orang yang menahan amarahnya, dan orang-orang
yang memaafkan (kesalahan) orang lain, Allah menyukai orang-
orang yang berbuat kebajikan” (Q.S. Ali Imran: 134).
Ayat di atas menyatakan orang yang bertaqwa dan mulia,
minimal mempunyai lima syarat:
a. Bersadaqah dalam kondisi apapun yang dialami, baik lapang
ataupun sempit, merugi atau beruntung.
b. Siap menahan amarahnya. Yakni, hamper-hampir tidak pernah
marah dan kalu terpaksa marah cepat sekali berhenti.
c. Memaafkan kesalahan orang adalah baik, tapi tidaklah
sempurna tanpa disertai memperlihatkan kebaikan, misalnya
dengan mencarikan solusi.
d. Sesudah memperlihatkan kebaikan dan mencarikan solusi,
tidaklah sempurna tanpa mencintainya. Yakni berubah
mencintainya, sekalipun pernah bermusuhan.
e. Mencintainya tidaklah sempurna, tanpa memperlakukan seperti
mencintai dirinya sendiri. Artinya, cinta yang diperlihatkan
cinta sejati. Dan itulah yang dapat mencabut total akar
permusuhan.
G. Hati Yang Bersih Sebagai Penyempurna Taqwa

Begitu banyak orang yang melakukan sholat, puasa, zakat, haji,


dan ibadah yang lain, tetapi kenyataannya mereka masih saja
melakukan hal-hal tercela,seperti menghian orang orang lain,
menggunjing, dan memfitnah. Anehnya, mereka seakan-akan tidak
merasa berdosa dengan melakukan hal itu. Kenapa bisa terjadi
seperti itu?
Orang yang bertaqwa tidak otomatis terbebas dari kesalahan dan
dosa , apalagi orang yang hanya bertaqwa secara lisan . Taqwa
yang sebenarnya ada dalam hati dan tindakan,bukan dalam lisan
dan penampilan .Orang yang memakai peci, sorban, sarung, atau
jilbab, belum tentu hatinya benar-benar bertaqwa kepada Allah.
- Apa yang harus kita lakukan agar menjadi orang yang benar-
benar bertaqwa kepada Allah?
Modal Utama yang harus kita miliki adalah ilmu. Sebab dengan
ilmu kita dapat mengetahui dan memahami segala perintah Allah
dan laranagan-Nya.
- Bagaimana kita dapat melaksanakan perintah Allah, sementara
kita tidak mengetahui apa saja yang diperintahkannya?
Karena itulah mencari ilmu sangat dianjurkan, bahkan diwajibkan
dalam Islam. Dengan ilmu, kita bisa mengetahui apa yang wajib
kita kerjakan dan yang wajib kita tinggalkan.Ibadah yang
dilakukan tanpa ilmu takkan berarti apa-apa.

H. Salah satu bentuk taqwa


Sesungguhnya kenikmatan Allah kepada kita sangat banyak.
Oleh karena itu, kita wajib bersyukur dengan sebenar-benarnya
atas semua kenikmatan itu. Yaitu bersyukur dengan hati, lisan
dan anggota badan. Bersyukur dengan hati, yaitu dengan
mengakui bahwa kenikmatan itu datang dari Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Bersyukur dengan lisan, yaitu dengan memuji Allah
dan menyebut-nyebut kenikmatan tersebut, jika tidak
dikhawatirkan hasad. Dan bersyukur dengan anggota badan,
yaitu menggunakan anggota badan kita ini untuk taat kepada-
Nya, dengan bertakwa kepada-Nya secara sebenar-benarnya.
Takwa ini merupakan perintah Allah kepada seluruh manusia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah
menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah
menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah
memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-
Nya, kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu. (Q.s. an Nisaa`: 1).
Keutamaan takwa sangat sering kita dengar, antara lain firman
Allah:
Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan keluar. (Q.s. ath Thalaq: 2).
Juga firman-Nya:
Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (Q.s. ath Thalaq:
4).
Dan firman-Nya,
Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan
menutupi kesalahan-kesalahannya, dan akan melipatgandakan
pahala baginya. (Q.s. ath Thalaq: 5).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ketaqwaan bermakna luas. Hal ini dapat diketahui dari definisi
para ulama yang menerangkan bahwa ketakwaan ialah upaya
seorang hamba membuat pelindung antara dirinya dengan sesuatu
yang ia takuti. Dengan begitu, seorang hamba yang ingin bertakwa
kepada Allah Azza wa Jalla, berarti ia ingin membangun pelindung
antara dirinya dari Allah Azza wa Jalla yang ia takuti kemarahan
dan kemurkaan-Nya, dengan melaksanakan amal ketaatan dan
menjauhi larangan-Nya.

Anda mungkin juga menyukai