Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perintah untuk bertakwa kepada Allah SWT senantiasa relevan dengan waktu dan tempat,
kapanpun dan dimanapun. Mengingat, ragam fitnah yang mengancam hati seorang hamba,
lingkungan yang tidak kondusif ataupun lantaran hati manusia yang rentan mengalami perubahan
dan sebab-sebab lainnya yang berpotensi menimbulkan pengaruh negatif dan turunnya tingkat
keimanan dan ketakwaan seseorang.
Pentingnya berwasiat kepada sesama muslim agar selalu bertakwa kepada Allah ini dapat
disaksikan dari kenyataan bahwa Allah menjadikannya wasiat bagi orang-orang terdahulu dan
yang akan datang. Sesuai dengan firman Allah dalam Surah An-Nisaa 4:131.
dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab
sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir maka
(ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang dibumi hanyalah kepunyaan Allah
dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. [Q.S An-Nisaa 4:131]
Ketakwaan juga merupakan wasiat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada
umatnya. Pada haji wada, beliau bersabda : Bertakwalah kepada Allah, kerjakan sholat lima
waktu, berpuasalah di bulan (Ramadhan), tunaikan zakat harta kalian, taati para penguasa,
niscaya kalian masuk syurga Allah. [HR. at-Tirmidzi].
Hal ini membuktikan bahwa Taqwa merupakan aspek yang sangat penting dan
dibutuhkan dalam setiap kehidupan seorang muslim. Namun masih banyak yang belum
mengetahui hakekatnya. Setiap khutbah jumat ataupun pengajian para khatib dan ulama selalu
menyerukan setiap muslim untuk bertaqwa dan para makmumpun mendengarnya berulang-ulang
kali. Namun yang mereka dengar terkadang tidak difahami dengan baik dan benar.

B. Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud taqwa, bagaimana hakikatnya, bagaimana ciri muslim yang bertaqwa, dan
apa saja jaminan Allah bagi orang-orang yang bertakwa serta apa saja ruang lingkup ketakwaan
dalam kehidupan sehari-hari ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Kedudukan Taqwa


Secara etimologis, kata taqwa berasal dari bahasa arab taqwa. Kata taqwa memiliki
kata dasar waqa yang berarti menjaga, melindungi, hati-hati, waspada, memperhatikan, dan
menjauhi. Adapun secara terminologis, kata taqwa berarti menjalankan apa yang diperintahkan
oleh Allah dan menjauhi segala apa yang dilarang-Nya.
Para penerjemah Al-Quran mengartikan taqwa sebagai kepatuhan, kesalihan,
kelurusan, perilaku baik, teguh melawan kejahatan, dan takut kepada Tuhan. Allah swt
berfirman:

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa
kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim. (Q.S.Ali Imran [3]:102)

Berdasarkan penelitian Al- Muqaddasi (Beieut, 1323), didalam al-quran terdapat 256
kata taqwa pada 251 ayat dengan berbagai variasi makna. Dasar katanya adalah w.q.y yang
berarti takut, menjaga diri, memelihara, tanggung jawab dan memenuhi kewajiban. Oleh karena
itu, orang yang berwaqwa adalah orang yang merasa takut kepada Allah berdasarkan kesadaran
hatinya untuk mengerjakan seluruh perintah-Nya, tidak melanggar larangan-Nya, takut akan
terjerumus pada perbuatan dosa. Mereka adalah orang yang menjaga dirinya dari kejahatan,
senantiasa memelihara diri agar tidak melakukan perbuatan yang tidak diridhai Alloh,
bertanggung jawab mengenai sikap, tingkah laku dan perbuatannya dan mematuhi kewajibannya.
Menurut H.A Salim, yang dimaksud taqwa adalah sikap mental seseorang yang
senantiasa ingat dan waspada terhadap sesuatu dalam rangka memelihara dirinya dari noda dan
dosa, selalu berusaha melakukan perbuatan yang baik, dan benar, pantang berbuat salah dan
kejahatan terhadap orang lain, diri sendiri, dan lingkungannya (Gazalba,1976:46).

2
Kedudukan taqwa sangat penting dalam ajaran agam islam dan kehidupan manusia. Hal
ini dapat dilihat dalam hadist, Rosululloh menasihati al- Gifari, supaya ia taqwa kepada Alloh,
karena taqwa adalah pokok segala pekerjaan. Kesimpulannya adalah taqwa itu pokok, atau
pangkal dari segala pekerjaan muslim.
Di dalam Surat Al-Hujurat (49) ayat 13, takwa dijadikan dasar untuk saling mengenal
antar bangsa, yaitu yang artinya : (13). Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui Maha Mengenal. Dalam surat lain yaitu Q.S. An-Nisaa (4) ayat 1, taqwa juga
digunakan sebagai dasar persamaan hak antara pria dan wanita (suami dan isteri) dalam keluarga,
karena pria dan wanita diciptakan dari jenis yang sama. Yang artinya: (1). Hai sekalian
manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari
padanya [263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain [264], dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Takwa sangat penting bagi bangsa indonesia, begitu pentingnya makna takwa tersebut
maka didalam berbagai rumusan peraturan perundang-undangan kata takwa digunakan sebagai
kata kunci seperti yang termuat didalam TAP MPR, GBHN 1993 (merupakan azaz pertama).
Beberapa tahun sebelumnya UU No. 2 th 1989 pasal 4 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menyatakan dengan jelas bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada tuhan yang maha esa dan berbudi pekerti luhur.
Hasan Langgulung dalam (Ahmad Taufik, 2011 : 98) berpendapat bahwa takwa
merupakan kesimpulan semua nilai yang terdapat dalam al-quran, dimana nilai-nilai ini
digolongkan atas beberapa golongan yaitu nilai perseorangan, nilai kekeluargaan, nilai sosial,
nilai kenegaraan, dan nilai keagamaan. Menurut beliaau pula terdapat tiga tahap usaha
memasyarakatkan takwa yang dimulai sejak kecil sampai dewasa yaitu tahap sosialisasi, tahhap
identifikasi, dan tahap penghayatan. Tahap sosialisasi yaitu anak didik diajar untuk
melaksanakan nilai yang terkandung dalam perkataan takwa. Tahap identifikasi yaitu tahap

3
peniruan terhadap yeng mereka sukai dan kagumi pada nilai-nilai itu contohnya peniruan
terhadap guru, orang tua, ulama dll. Tahap penghayatan, pada tahap ini anak tidak lagi kagum
pada tokoh yang membawa nilai-nilai itu tetapi mereka gemar dan nikmat mengerjakan nilai-
nilai itu.

B. Hakikat dan Makna Taqwa


Dalam Al-Quran hanya terdapat satu ayat yang secara eksplisit menyebut kata haqiq
(haqiqat), tapi ada 227 ayat yang tafsirnya lain, akan tetapi memiliki hakikat yang sama dengan
hakikat takwa. Diantaranya :
1. Wahai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya
taqwa kepada-Nya; dan jangan sekali-kali kamu mati, melainkan dalam keadaan
beragama islam (Q.S. Ali Imran 102).
2. Apa yang telah kami ciptakan itulah yang benar, yang datang dari tuhanmu, karena itu
janganlah kamu termasuk orang yang ragu-ragu (Q.S. 3:60
3. Sesungguhnya manusia betul-betul berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan beramal shaleh, dan saling menasehati tentang haq (kebenaran) dan
kesabaran. (Q.S. Al-Ashri : 1-3).

Mayoritas ulama tafsir berpendapat, ayat pertama di atas mansukh (dihapus), atau tabdil
(hukumnya diubah) dengan ayat fattaqullah mastathatum (bertaqwalah kepada Allah sesuai
kesanggupanmu) (Q.S. Al-Taghabun: 16).
Pada mulanya, ketika ayat di atas (hakikat taqwa) turun, banyak diantara para sahabat yang
gelisah, karena hakikat berarti taat yang terus menerus, tidak pernah mendurhakai, syukur secara
terus menerus dan tidak pernah mengingkari, mengingat terus dan tidak pernah melupakan-Nya.
Kemudian sahabat itu berkata, tidak mungkin seorang hamba mampu bertaqwa dengan sebenar-
benarnya taqwa (hakikatnya) sesuai bunyi ayat di atas.
Makna taqwa sendiri terhimpun dalam pokok-pokok kebajikan yang terkandung dalam
Q.S. Al-baqoroh ayat 177 yang artinya: (177) Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur
dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan

4
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang
bertakwa.
Dari ayat tersebut diatas dapat diketahui pokok-pokok kebajikan baik yang
mendatangkan keselamatan, keberuntungan. Dari keduanya jelas sudah menunjukkan dimensi
keimanan dan ketaqwaan yang berjalan secara beriringan atau bergandengan satu sama lain.
Bahkan keduanya bertebaran secara konsisten di dalam berbagai ayat al-quran.

C. Ciri-Ciri Orang Bertaqwa


Di antara tanda-tanda orang bertaqwa dalam QS. Al-baqarah ayat 1-5 adalah :
a. Beriman kepada yang gaib. Termasuk beriman kepada yang gaib ialah iman kepada
Allah, kepada malaikat, dan kepada hari kiamat.
b. Mendirikan solat yaitu mengerjakan solat dengan menyempurnakan rukun dan syaratnya
sesuai dengan cara yang diperintahkan Allah dan Rosulnya.
c. Menafkahkan sebagian rizki yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada orang yang
ditentukan oleh agama.
d. Beriman kepada kitab-kitab Allah, yang berarti beriman pula kepada rosul-rosul Allah
yang membawa kitab-kitab itu.
e. Beriman kepada hari akhir, yaitu meyakini adanya hidup setelah mati.

D. Ruang Lingkup Taqwa


Hasan Langgulung dalam (Ahmad Taufik, 2011 : 99) berpendapat bahwa ruang lingkup
takwa dalam rangka memelihara meliputi empat jalur hubungan manusia yaitu hubungan
manusia dengan Allah, manusia dengan hati nurani atau dirinya sendiri, hubungan manusia
dengan sesama manusia, serta hubungan manusia dengan lingkungan hidup.
1. Hubungan manusia dengan Allah (Hablumminallah)
Hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa sebagai dimensi takwa yang
pertama, sebagai prima causa hubungan-hubungan yang lain. Karena itu seharusnya
hubungan ini diutamakan, diatur dan dipelihara.

5
Inti takwa kepada Allah adalah melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala
larangan-Nya. Segala perintah dan semua larangan Allah ditetapkanNya bukan untuk
kepentingan Allah sendiri, tetapi untuk keselamatan manusia. Manusialah yang akan
mendapatkan manfaat pelaksanaan semua perintah Allah dan penjauhan diri dari segala
larangan-Nya.
Perintah Allah itu bermula dari pelaksanaan tugas manusia untuk mengabdi hanya
kepada Allah semata-mata. Larangan Allah ditetapkan-Nya agar manusia dapat
menyelenggarakan fungsinya sebagai khalifah (pengganti Ilahi di bumi ini), manusia harus
senantiasa memperhatikan dan mengindahkan larangan-larangan-Nya. Larangan itu tidak
banyak, tetapi sangat asasi dalam memelihara kelangsungan hidup dan kehidupan manusia di
dunia yang fana ini.
Sekelompok orang-orang yang mampu memfokuskan diri beribadah secara
menyeluruh dengan batin yang bersih untuk meraih dzat Allah dinamakan kelompok
tassawuf. Untuk menjadi sufi mereka harus benar-benar bertaubat (taubatan nashuha) dengan
menjaga ketaqwaannya.
Ketakwaaan atau pemeliharaan hubungan dengan Allah dapat dilakukan antara lain
sebagai berikut :
a. Beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa menurut cara-cara yang diajarkan-
Nya melalui wahyu yang sengaja diturunkan-Nya untuk menjadi petunjuk dan
pedoman hidup manusia.
b. Beribadah kepada-Nya dengan jalan melaksanakan salat lima kali sehari semalam,
menunaikan zakat apabila telah sampai nisab dan haulnya, berpuasa selama sebulan
dalam setahun, melakukan ibadah haji sekali seumur hidup, menurut cara-cara yang
ditetapkan-Nya.
c. Mensyukuri nikmat-Nya dengan jalan menerima, mengurus, memanfaatkan semua
pemberian Allah kepada manusia.
d. Allah dalam makna tabah, tidak putus asa ketika mendapat musibah atau menerima
bencana,
e. Memohon ampun atas segala dosa dan segala perbuatan jahat atau tercela.

6
2. Hubungan Manusia dengan Hati Nurani atau Dirinya Sendiri
Hubungan manusia dengan hati nurani atau diri sendiri sebagai dimensi takwa yang
kedua dapat dipelihara dengan jalan menghayati benar patokan-patokan akhlak, yang
disebutkan Tuhan dalam berbagai ayat Al- Quran.
Hubungan manusia dengan dirinya sendiri disebutkan cara-caranya di dalam ayat-ayat
takwa dan dicontohkan dengan keteladanan Nabi Muhammad. Diantaranya dengan
senantiasa berlaku: sabar, pemaaf, adil, ikhlas, berani, memegang amanah, mawas diri,
mengembangkan semua sikap yang terkandung dalam akhlak atau budi pekerti yang baik.
Selain memelihara komunikasi dan hubungan tetap dengan Allah dan diri sendiri, dimensi
takwa yang ketiga adalah memelihara dan membina hubungan baik dengan sesama manusia.
Hubungan antar manusia ini dapat dibina dan dipelihara antara lain dengan mengembangkan
cara dan gaya hidup yang selaras dengan nilai dan norma yang disepakati bersama dalam
masyarakat dan Negara yang sesuai dengan nilai norma agama.

3. Hubungan Manusia dengan Manusia Lain


Allah mengatur masalah hubungan yang baik sesama manusia antara lain tentang :
a. Mendahulukan kepentingan orang lain (QS. Al-Baqoroh:177)
b. Berbuat baik adalah merupakan sebaik-baik amalan (QS. AliImron:92)
c. Menyempurnakan takaran dan timbangan, serta tidak merugikan orang lainmengurangi
takaran termasuk korupsi kecil-kecilan (QS. Al-Arof:85)
d. Berinfak atau memberikan sebagian rizki kepada orang lain (QS.Al-Baqoroh:254)
e. Tolong menolong dan kasih sayang (QS. Al-Maidah:2)

4. Hubungan Manusia dengan Lingkungan Hidup


Hubungan manusia dengan lingkungan dapat dikembangkan antara lain dengan
menyayangi binatang dan tumbuh-tumbuhan, tanah, air dan udara serta semua alam semesta
yang sengaja diciptakan Allah untuk kepentingan manusia dan makhluk lainnya.
Melihat pola takwa yang dilukiskan dengan mengikuti empat jalur komunikasi
manusia tersebut diatas, jelas kiranya bahwa ruang lingkup takwa kepada Allah menyangkut
seluruh jalur dan aspek kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan Allah, dengan
diri sendiri, dengan manusia lain maupun dengan alam dan lingkungan hidup.

7
Konsekuensi dari empat pemeliharaan hubungan dalam rangka ketakwaan tersebut adalah
bahwa manusia harus selalu menumbuhkan dan mengembangkan dalam dirinya empat, yakni (1)
tanggung jawab kepada Allah SWT; (2) tanggung jawab kepada hati nurani sendiri; (3) tanggung
jawab kepada manusia lain; (4) tanggung jawab untuk memelihara flora dan fauna, udara, air,
dan tanah serta kekayaan alam ciptaan Allah. Keempat tanggung jawab itu harus dikembangkan
sebaik-baiknya.

E. Jaminan Allah Bagi Orang Bertakwa


Banyak sekali jaminan dan penghargaan yang diberikan oleh Allah bagi umatNya yang
selalu bertakwa baik jaminan di dunia maupun di akhirat. Erikut beberapa jaminan yang
dijanjikan oleh Allah :
1. Selalu di lindungi oleh Allah
.... Allah adalah pelindung orang-orang yang bertaqwa. (QS. Al-Jathiyah (45): 19)
2. Menjadi manusia termulia di sisi Allah.
Ketika seseorang bertanya kepada Rasulullah,
:


Wahai Rasulullah, Siapakah manusia termulia ? maka Rasulullah menjawab :
Yang paling bertaqwa (HR. Bukhori dalam kitab ahadits al-anbiya dan Muslim
dalam kitan Al-Fadhail)
3. Menjadi Wali (Kekasih) Allah



Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka
selalu bertakwa.[QS. Yunus (10) : 62-63]. Para wali Allah adalah orang-orang yang
penuh ketaqwaan kepada-Nya, tidak takut melainkan kepada Allah semata. Para wali
bukanlah yang selalu memiliki kemampuan diatas rata-rata manusia biasa, memiliki
kesaktian dengan ilmu kanoragannya dan berkemampuan supranatural
4. Meraih Ma`riyyatullah (kebersamaan)


dan bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah bersama orang-
orang yang bertaqwa [QS. Al-Baqarah(2) : 194]

8
5. Dimudahkan urusannya




Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan
membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan
baginya jalan yang mudah. [QS. Al-Lail (92) : 5-7].
6. Dilapangkan Rizkinya


Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan
keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya . [QS. Ath-
Thalaq (85) : 2 dan 3).

F. Implementasi Takwa dalam Kehidupan Sehari-hari


Aktualisasi taqwa adalah bagian dari sikap bertaqwa seseorang. Karena begitu pentingnya
taqwa yang harus dimiliki oleh setiap mukmin dalam kehidupan dunia ini sehingga beberapa
syariat islam yang diantaranya puasa adalah sebagai wujud pembentukan diri seorang muslim
supaya menjadi orang yang bertaqwa, dan lebih sering lagi setiap khatib pada hari jumat atau
shalat hari raya selalu menganjurkan jamaah untuk selalu bertaqwa. Begitu seringnya sosialisasi
taqwa dalam kehidupan beragama membuktikan bahwa taqwa adalah hasil utama yang
diharapkan dari tujuan hidup manusia (ibadah).
Orang yang takwa adalah orang yang selalu memelihara keempat jalur hubungan itu secara
baik dan seimbang dan mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya serta senantiasa
memenuhi kewajiban dalam rangka melaksanakan perintah Allah. Takwa dalam makna
memenuhi kewajiban perintah Allah yang menjadi kewajiban manusia takwa untuk
melaksanakannya pada pokoknya adalah (1) kewajiban kepada Allah; (2) kewajiban kepada diri
sendiri; (3) kewajiban kepada masyarakat, keluarga, tetangga dan negara;(4) kewajiban kepada
lingkungan hidup.
Kewajiban-kewajiban itu merupakan satu rangkaian kesatuan yang tidak mungkin
dipisahkan. Jika dilihat dari segi iman pelaksanaan kewajiban-kewajiban itu bagi seorang muslim
dan muslimat tidak hanya berupa keuntungan dalam bentuk hak di dunia ini tetapi juga pahala di
akhirat kelak yang dijanjikan Allah. Janji Allah pasti dipenuhi.

9
1. Kewajiban kepada Allah
Kewajiban ini harus ditunaikan manusia untuk memenuhi tujuan hidup dan
kehidupannya di dunia ini yakni mengabdi kepada Illahi. Hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam surat Az-Dzariyat:56. Artinya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Konsekuensi logis pengakuan iman kepada Allah sebagai pencipta dan penguasa
tunggal alam semesta dan terhadap utusan-Nya Muhammad sebagai rasul-Nya, ialah
penerimaan kita secara mutlak dan sadar atas segala perintah-perintah yang diberikan Allah
dan akan tetap melakasanakannya dengan penuh tanggung jawab. Artinya dengan
pengakuan iman kita dalam bentuk pengucapan dua kalimat syahadat, manusia dengan
sukarela telah membebankan atas pundaknya kewajiban-kewajiban untuk menunaikan
perintah-perintah Allah yang disampaikan melalui rasul-Nya.
Perintah mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat terdapat dalam QS Al-Baqarah:
43. Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang yang
ruku. Berpuasa selama bulan ramadhan (Q.S. Al-Baqarah:43), dan menunaikan ibadah haji
(QS Al- Baqarah:196). Artinya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.
Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban
yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di
tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya
(lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau
berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan
umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah
didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib
berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali.
Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi
orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang
bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
sangat keras siksaan-Nya.
Seorang muslim atau muslimat telah menunaikan kewajiban utamanya sebagai
hamba yang harus mengabdikan dirinya hanya kepada Allah. Kewajiban menunaikan kelima
rukun Islam itu merupakan sumber gerak energi timbal balik dalam arah vertical antara

10
manusia sebagai hamba dengan Allah sebagai penguasa tertinggi yang mengatur dan
menguasai alam semesta.
Kewajiban shalat misalnya, mengatur tata cara berkomunikasi dengan Allah yang
terdiri dari sejumlah ucapan atau doa. Dengan demikian jika dilihat dari bentuk maupun
isinya, shalat adalah pelaksanaan kewajiban yang mengandung nilai-nilai peribadatan
(ubudiyah). Karena itu shalat merupakan ibadah murni semurni-murninya. Sebagai ibadah
murni, ibadah shalat merupakan tiang penyangga dan pusat kegiatan ibadah lainnya. Tanpa
ibadah shalat, pelaksanaan ibadah-ibadah lainnya kurang mempunyai makna.

2. Kewajiban terhadap diri sendiri


Menjaga dan memelihara diri, agar tidak melakukan sesuatu yang dilarang Allah.
Sebagai anak cucu Adam, manusia telah dimuliakan Allah dengan antara lain memberikanya
rizki yang baik-baik dan melebihkan mereka dalam bentuk yang paling sempurna dibanding
makhluk ciptan Allah yang lain, demikian pernyataan Allah dalam QS. Al-Isra (17) ayat 70.
Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan , Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.
Oleh karena manusia telah dimuliakan Allah dari makhluknya yang lain, maka sebagai
orang yang takwa manusia harus selalu menjaga diri, ingat dan selalu hati-hati agar tdak
jatuh kedalam lembah yang hina.
Misalnya :
(a) mencari rizki dengan berjudi,
(b) meminim minuman yang berpotensial memabukkan
(c) memakan makanan yang haram
(d) melangkahkan kaki ke tempat-tempat maksiat
(e) berkata-kata sia-sia yang menimbulkan bencana
(f) dan melakukan perbuatan lain yang merendahkan manusia sebagai makhluk yang telah
dimulaiakan Allah. Kawajiban terhadap diri sendiri ini adalah farduain bagi setiap
muslim dan muslimat untuk melakukanya.

11
3. Kewajiban terhadap masyarakat
Kewajiban ini dimulai dari :
a. Kewajiban terhadap keluarga. Dalam hal sistem ajaran Islam, kewajiban terhadap
keluarga ini juga merupakan farduain bagi setiap unsur yang terlibat di dalamnya
terutama bagi suami istri yang menjadi kepala keluarga dan ibu rumah tangga. Keluarga
adalah sumbu tempat seluruh kehidupan manusia berputar. Karena itu kedudukanya
penting sekali dalam islam. Demikian pentingnya, sehingga seperti yang disebut pada
bagian lain, dari 228 ayat hukum di dalam Al-Quran mengenai masalah muamalat atau
kehidupan sosial, 30 persen atau 70 ayat diantaranya mengatur hubungan dalam
keluarga yang menentukanya kewajiban dan hak-hak anak terhadap orang tuanya.
b. Kewajiban Terhadap Tetangga. Kewajiban dibebankan kepada manusia untuk menjaga
dan membina ketertiban dalam lingkungan sosial tempat manusia itu tinggal. Dalam
sistem ajaran Islam, berbuat baik tehadap tetangganya adalah pelaksanaan iman. Belum
sempurna iman seseorang, kalo ia tidak baik terhadap tetangganya. Kewajiban terhadap
tetangga ini berkembang kepada (3) kewajiban terhadap masyarakat luar yang harus
dilakukan pula dengan sebaik-baiknya . pelaksanaan kewajiban terhadap masyarakat
luar itu hars dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Pelaksanaan kewajiban terhadap masyarakat luas itu, termasuk juga (4) kewajiban
terhadap negara. Kewajiban terhadap negara pada hahekatnya adalah sama kewajiban
terhadap (a) tanah air, (b) rayat, (c) pemerintah yang berkuasa pada suatu massa.
Kewajiban (a) terhadap tanah air harus dilaksanakan dengan kesedianya membela dan
mempertahankan tanah air dari setiap serangan dan gangguan. Kewajiban (b) terhadap
rakyat dapat diwujudkan dengan menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak mereka.
Sedang (c) kewajiban terhadap pemerintah dapat dilakukan dengan menaati peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkanya, sepanjang peraturan itu tidak bertentangan
dengan ketetapan Allah dan sunnah Rosulullah. Kepatuhan terhadap pemerintah secara
demokratis dan melaksanakan keinginan rakyat yang memilihnya itu dengan bijaksana,
disebutkan dalam al-Quran surat an-nisa (4) ayat 59. Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman

12
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya.
c. Kewajiban terhadap lingkungan hidup
Secara umum kewajiban terhadap lingkungan hidup dapat disimpulkan dari pernyataan
Tuhan dalam Al-Quran yang menggambarkan kerusakan yang telah terjadi di daratan
dan lautan, karena ulah tangan-tangan manusia, yang tidak mensyukuri kurnia Ilahi.
Untuk mencegah derita yang dirasakan oleh manusia, seperti kini terjadi di Afrika,
manusia wajib memelihara kelestarian lingkungan hidupnya. Memelihara kelestarian
alam lingkungan hidup, berarti pula memelihara kelangsungan hidup manusia sendiri
dan keturunannya di kemudian hari. Dalam hubungan dengan kewajiban terhadap
lingkungan hidup ini, ada baiknya kalau disinggungkan pula dalam tulisan ini kewajiban
orang yang bertakwa terhadap harta yang dititipkan atau yang diamanatkan Allah
kepadanya.
Menurut ketentuan Allah dalam Al-Quran dan sunnah Rasulullah yang kini
terekam dalam kitab-kitab hadits, hubungan manusia dengan hartanya dapat dilihat dari
tiga sisi yaitu dari cara memperolehnya, fungsi harta, dan cara memanfaatkan atau
membelanjakannya. Mengenai cara memperolehnya, Al-Quran memberikan beberapa
ketentuan antara lain adalah harus dengan usaha yang halal. Artinya sah menurut hukum
dan baik menurut akhlak. Selain melalui usaha, cara memperoleh harta yang dibenarkan
Allah adalah melalui pewaris dan penghibahan. Diantara ketiga cara ini yang sangat
dianjurkan adalah dengan usaha, melalui kerja keras dengan mempergunakan akal dan
tenaga. Lapangan usaha memperoleh harta luas sekali. Al-Quran dan Al-Hadits tidak
menyebutkan secara rinci. Yang ditetapkan adalah usaha-usaha yang dilarang dalam
memperoleh harta, diantaranya adalah menyuap dan disuap atau korupsi, berjudi,
memakan riba, menipu, menggelapkan milik orang lain, dan merampas harta orang lain.
Tertera pada surat Al-Baqarah ayat 188:
Mengenai fungsi harta, Al-Quran member beberapa petunjuk diantaranya adalah
tidak boleh ditimbun tanpa dimanfaatkan untuk kepentingan sesama manusia, tidak
boleh hanya beredar di antara orang-orang kaya, dalam harta orang kaya terdapat harta
orang miskin yang tidak punya, harta peninggalan orang yang takwa harus dibagi
menurut ketentuan hukum Islam. Menurut Al-Quran, orang yang memiliki harta akan

13
mendapat ujian apakah ia akan menderita atau bahagia karenanya, harta yang dipunyai
seseorang tidak dengan sendirinya akan menyelamatkan orang yang punya, harta
kekayaan adalah kekuasaan. Sebagai kekuasaan, harta itu dapat mendorong manusia
berbuat baik atau berbuat jahat. Oleh karena itu, Al-Quran memerintahkan kepada
manusia untuk memanfaatkan harta yang dimilikinya tidak hanya untuk diri sendiri
tetapi untuk keluarga dan kepentingan sosial. Tidak boleh dimanfaatkan atau dibiarkan
untuk tujuan yang merugikan orang lain, bahkan harus dapat dinikmati masyarakat.
Tertera pada surat An Nahl ayat 7. Artinya : Dan Allah melebihkan sebahagian kamu
dari sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya
itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki,
agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat
Allah?.
Tentang cara memanfaatkan atau mempergunakan harta, Al-Quran juga
memberikan pedoman antara lain, tidak boleh boros, tidak bolh kikir, hati-hati dan
bijaksana disalurkan melalui lembaga yang telah ditentukan Allah seperti shadaqah,
infak, hibah, qurban, zakat, dan wakaf. Tertera pada surat Al-Baqarah ayat 282 yang
artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-
orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan
dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka
yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil
maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi
Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)

14
keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan
tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu
tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Taqwa adalah sikap abstrak yang tertanam dalam hati setiap muslim, yang aplikasinya
berhubungan dengan syariat agama dan kehidupan sosial. Seorang muslim yang bertaqwa pasti
selalu berusaha melaksanakan perintah Tuhannya dan menjauhi segala laranganNya dalam
kehidupan ini. Yang menjadi permasalahan sekarang adalah bahwa umat islam berada dalam
kehidupan modern yang serba mudah, serba bisa bahkan cenderung serba boleh. Setiap detik
dalam kehidupan umat islam selalu berhadapan dengan hal-hal yang dilarang agamanya akan
tetapi sangat menarik naluri kemanusiaanya, ditambah lagi kondisi religius yang kurang
mendukung. Keadaan seperti ini sangat berbeda dengan kondisi umat islam terdahulu yang
kental dalam kehidupan beragama dan situasi zaman pada waktu itu yang cukup mendukung
kualitas iman seseorang. Olah karenanya dirasa perlu mewujudkan satu konsep khusus mengenai
pelatihan individu muslim menuju sikap taqwa sebagai tongkat penuntun yang dapat digunakan
(dipahami) muslim siapapun. Karena realitas membuktikan bahwa sosialisasi taqwa sekarang,
baik yang berbentuk syariat seperti puasa dan lain-lain atau bentuk normatif seperti himbauan
khatib dan lain-lain terlihat kurang mengena, ini dikarenakan beberapa faktor, diantaranya yang
pertama muslim yang bersangkutan belum paham betul makna dari taqwa itu sendiri, sehingga
membuatnya enggan untuk memulai, dan yang kedua ketidaktahuannya tentang bagaimana,
darimana dan kapan dia harus mulai merilis sikap taqwa, kemudian yang ketiga kondisi sosial
dimana dia hidup tidak mendukung dirinya dalam membangun sikap taqwa, seperti saat sekarang
kehidupan yang serba bisa dan cenderung serba boleh. Oleh karenanya setiap individu muslim
harus paham pos-pos alternatif yang harus dilaluinya, diantaranya yang paling awal dan utama
adalah gadhul bashar (memalingkan pandangan), karena pandangan (dalam arti mata dan telinga)
adalah awal dari segala tindakan, penglihatan atau pendengaran yang ditangkap oleh panca
indera kemudian diteruskan ke otak lalu direfleksikan oleh anggota tubuh dan akhirnya berimbas
ke hati sebagai tempat bersemayam taqwa, jika penglihatan atau pendengaran tersebut bersifat

15
negatif dalam arti sesuatu yang dilarang agama maka akan membuat hati menjadi kotor, jika hati
sudah kotor maka pikiran (akal) juga ikut kotor, dan ini berakibat pada aktualisasi kehidupan
nyata, dan jika prilaku, pikiran dan hati sudah kotor tentu akan sulit mencapai sikap taqwa. Oleh
karenanya dalam situasi yang serba bisa dan sangat plural ini dirasa perlu menjaga pandangan
(dalam arti mata dan telinga) dari hal hal yang dilarang agama sebagai cara awal dan utama
dalam mendidik diri menjadi muslim yang bertaqwa. Menjaga mata, telinga, pikiran, hati dan
perbuatan dari hal-hal yang dilarang agama, menjadikan seorang muslim memiliki kesempatan
besar dalam memperoleh taqwa. Karena taqwa adalah sebaikbaik bekal yang harus kita peroleh
dalam mengarungi kehidupan dunia yang fana dan pasti hancur ini, untuk dibawa kepada
kehidupan akhirat yang kekal dan pasti adanya. Adanya kematian sebagai sesuatu yang pasti dan
tidak dapat dikira-kirakan serta adanya kehidupan setelah kematian menjadikan taqwa sebagai
obyek vital yang harus digapai dalam kehidupan manusia yang sangat singkat ini. Memulai
untuk bertaqwa adalah dengan mulai melakukan hal-hal yang terkecil seperti menjaga
pandangan, serta melatih diri untuk terbiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-Nya, karena arti taqwa itu sendiri sebagaimana dikatakan oleh Imam Jalaluddin Al-
Mahally dalam tafsirnya bahwa arti taqwa adalah imtitsalu awamrillahi wajtinabinnawahih,
menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganya.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Taqwa adalah sikap mental seseorang yang senantiasa ingat dan waspada terhadap
sesuatu dalam rangka memelihara dirinya dari noda dan dosa, selalu berusaha
melakukan perbuatan yang baik, dan benar, pantang berbuat salah dan kejahatan
terhadap orang lain, diri sendiri, dan lingkungannya (Gazalba, 1976:46).
2. Taqwa adalah sikap abstrak yang tertanam dalam hati setiap muslim, yang aplikasinya
berhubungan dengan syariat agama dan kehidupan sosial.
3. Inti takwa kepada Allah adalah melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala
larangan-Nya. Segala perintah dan semua larangan Allah ditetapkanNya bukan untuk
kepentingan Allah sendiri, tetapi untuk keselamatan manusia.
4. Manusia harus selalu menumbuhkan dan mengembangkan dalam dirinya empat, yakni
(1) tanggung jawab kepada Allah SWT; (2) tanggung jawab kepada hati nurani sendiri;
(3) tanggung jawab kepada manusia lain; (4) tanggung jawab untuk memelihara flora
dan fauna, udara, air, dan tanah serta kekayaan alam ciptaan Allah.

B. Saran
Kita sebagai insan yang beragama islam harus berusaha meningkatkan keimanan dan
ketaqwaan kita sehingga kita menjadi umat islam yang bangga dengan keislaman kita.

17
DAFTAR PUSTAKA

http://amgy.wordpress.com/2008/02/22/taqwa-dan-implikasinya-terhadap-pendidikan/
http://dc177.4shared.com/doc/jOClsWu-/preview.html
http://wikipedia.com/taqwa

Di unduh pada tanggal 02 Oktober 2012

18

Anda mungkin juga menyukai