Abstrak
Kebijakan pengembangan kompetensi Pegawai Negeri Sipil (PNS) saat ini
merupakan peluang bagi instansi pemerintah untuk mengurangi kesenjangan
kompetensi pegawai di instansinya. Namun, kebijakan tersebut juga menjadi
tantangan bagi setiap instansi pemerintah, karena konsep dasar dari UU Aparatur
Sipil Negara (ASN) dapat mempengaruhi secara signifikan pada praktik
pengembangan kompetensi PNS yang dilakukan selama ini. Paper ini bertujuan
untuk mendeskripsikan bagaimana refomasi kebijakan pengembangan kompetensi
PNS pasca lahirnya UU ASN. Selain itu, hambatan yang dialami oleh instansi
pemerintah dalam menjalankan kebijakan pengembangan kompetensi PNS juga
menjadi fokus dalam kajian ini. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat
menjadi masukan bagi pemerintah dalam merumuskan strategi percepatan
implementasi kebijakan pengembangan kompetensi PNS. Penelitian ini termasuk
penelitian kebijakan. Metode yang digunakan adalah kualitatif, penggalian data
menggunakan teknik studi literatur, serta wawancara mendalam. Partisipan dipilih
secara purposive yaitu pegawai dan pejabat unit pengelola SDM Aparatur dan unit
pengembangan kompetensi SDM Aparatur. Selain itu wawancara juga dilakukan
terhadap Pejabat Kementerian PAN dan RB sebagai salah satu perumus dari PP No
11 Tahun 2017 yang merupakan turunan dari UU ASN. Penelitian ini merupakan
studi kasus praktik pengembangan kompetensi PNS di Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi(KDPDTT), Kementerian
Keuangan, Kabupaten Banyuwangi, dan Pemerintah Provinsi Bali. Analisis data
menggunakan teknik deskriptif-kualitatif untuk menggali perubahan kebijakan
pengembangan kompetensi PNS dalam perspektif UU ASN besserta hambatan dalam
implementasinya. Permasalahan tersebut di atas akan dideskripsikan secara
komprehensif menggunakan teori implementasi kebijakan. Hasil analisis data
menunjukkan bahwa terdapat 5 (lima) kebaruan dalam kebijakan pengembangan
kompetensi PNS yaitu:1 pemberian hak bagi setiap PNS dalam pengembangan
kompetensi, 2. Kewajiban menyusun perencanaan pengembangan kompetensi PNS,
3. Pengembangan kompetensi didasarkan pada kesenjangan kompetensi dan
kesenjangan kinerja, 4. Dikotomi pelatihan klasikal dan non-klasikal,5.
Pengembangan kompetensi sosial kultura Hambatan yang dialami oleh instansi
pemerintah adalah:1. Banyaknya prasyarat implementasi kebijakan yang belum
dimiliki instansi, 2. Belum tersusunnya aturan turunan dari UU ASN yang terkait
108
dengan pengembangan kompetensi PNS, serta, 3. kesiapan SDM Aparatur
khususnya ketersediaan jabatan assessor juga masih menjadi masalah.
Kata Kunci: Kebijakan Pengembangan Kompetensi, Pegawai Negeri Sipil, UU
Aparatur Sipil Negara, Implementasi Kebijakan.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Manajemen kepegawaian di Indonesia selama beberapa tahun
ini mengalami perubahan yang sangat mendasar, terutama setelah
diterbitkannya grand design reformasi birokrasi melalui peraturan
presiden nomor 81 Tahun 2010, di mana SDM aparatur menjadi salah
satu dari 8 (delapan) area perubahan. Salah perubahan tersebut adalah
pemberlakukan sistem computer assisted test (CAT) yang mendorong
transparansi dalam proses rekrutmen calon pegawai negeri sipil
(CPNS). Perubahan ini terus diperkuat dengan terbitnya UU Nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menggantikan UU
sebelumnya yaitu UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang pokok-pokok
kepegawaian. Undang-undang yang lahir di akhir kepemimpinan SBY
tersebut menempatkan profesionalisme sebagai dasar dalam
manajemen ASN di Indonesia. Merespon hal tersebut, Kementerian
PAN dan RB menyusun roadmap kepegawaian di mana target pada
periode 2015-2019 adalah terbentuknya sistem merit di Kementerian,
Lembaga, dan Pemerintah Daerah (Kementerian PAN dan RB, 2017).
Sistem merit didefiniskan sebagai kebijakan dan manajemen
ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja
secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik,
ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan,
umur, atau kondisi kecacatan (Pemerintah Republik Indonesia, 2014).
Untuk merealisasikan roadmap tersebut tidaklah mudah, banyak hal
yang harus dilakukan. Oleh karenanya, Kementerian PAN dan RB
telah menyiapkan strategi percepatan pencapaian sistem merit yang
salah satunya adalah program pengembangan kompetensi PNS. Hal
tersebut sangatlah penting guna mengurangi kesenjangan kompetensi
PNS yang memiliki peran strategis dalam birokrasi. Pengembangan
kompetensi PNS secara khusus dinyatakan dalam pasal 70 ayat (1)
sampai (6) UU ASN. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengembangan
kompetensi PNS memiliki posisi yang sangat strategis dalam rezim
UU tersebut. UU ASN pasal 70 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap
PNS diberikan hak untuk mendapatkan pengembangan kompetensi
tiap tahunnya. Amanah dari UU ASN tersebut penting guna
mendorong instansi pemerintah untuk mengembangkan kompetensi
109
pegawaianya. Harapannya, kesenjangan kompetensi setiap pegawai
dapat ditingkatkan dan mendorong mereka untuk berkontribusi
optimal bagi instansinya.Dasar filosofis penyusunan UU tersebut
sudah sesuai dengan berbagai tantangan dan permasalahan yang
dihadapi oleh Indonesia saat ini khususnya dalam bidang
kepegawaian.
Hasil assessment yang dilakukan oleh Badan Kepegawaian
Negara (BKN) terhadap 1024 Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama (JPT
Pratama) dan Pejabat Administrasi di Indonesia menunjukkan hasil
yang agak menghawatirkan. Data tersebut menunjukkan bahwa ada 34,
57 % JPT Pratama dan Pejabat Administrasi yang direkomendasikan
untuk ditingkatkan kompetensinya. Lebih menghawatirkan lagi ketika
melihat data yang menunjukkan bahwa dari 294 JPT Pratama yang
dipetakan potensi dan kompetensinya, 48,64% diantaranya
direkomendasikan untuk dikembangkan (Badan Kepegawaian Negara,
2016). Fakta ini perlu menjadi perhatian serius karena JPT Pratama
memegang peranan strategis di instansinya.
Oleh karenanya, implementasi kebijakan pengembangan
kompetensi benar-benar mendesak dan harus menjadi agenda penting
bagi instansi pemerintah pusat maupun daerah. Kebijakan
pengembangan kompetensi yang diamanahkan oleh UU ASN di satu
sisi merupakan sebuah peluang untuk meningkatkan kompetensi PNS
yang diharapkan berkorelasi pada peningkatan kinerja organisasi.
Namun, di sisi lain pengembangan kompetensi merupakan sebuah
tantangan karena merubah secara signifikan terhadap praktik selama
ini.
Beberapa penjelasan di atas memunculkan pertanyaan tentang
bagaimana sebenarnya kebaruan kebijakan pengembangan kompetensi
PNS dalam perspektif UU ASN serta hambatan apa saja yang
dirasakan dalam implementasi kebijakan tersebut.. Rumusan
pertanyaan penelitian diatas merupakan pengembangan dari penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Lembaga Administrasi Negara
dengan judul “ kajian grand design pengembangan kompetensi
ASN”(Lembaga Administrasi Negara, 2015). Manfaat dari penelitian
ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam
merumuskan strategi percepatan implementasi kebijakan
pengembangan kompetensi PNS.
110
Pengembangan Kompetensi PNS: Perspektif Teori Implementasi
Kebijakan
111
pelaksana program, (6) serta sumber daya yang digunakan. Sedangkan
context of implementation terdiri dari: (1) kekuasaan, kepentingan, dan
strategi dari aktor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga dan rezim
yang sedang berkuasa, (3) tingkat kepatuhan dan adanya respon dari
pelaksana.
Analisis terhadap implemtasi kebijakan bisa dilakukan dengan
membandingkan antara program outcomes dan policy goals. Dengan
demikian, implementasi kebijakan tidak bisa berjalan dengan baik
apabila belum ada tujuan kebijakan dan target group yang menjadi
sasarannya, desain program yang spesifik serta sumberdaya yang
dialokasikan untuk menunjang program. Menurutnya, keberhasilan
impelementasi kebijakan dapat diukur melalui proses atau dampak
yang telah dicapai yang dicapai. Keberhasilan proses lebih
menitikberatkan apakah implementasi sudah sesuai dengan yang
diharapkan dari suatu kebijakan. Sedangkan keberhasilan dari
perspektif dampak yang dicapai dapat dilihat dari dampak yang
dirasakan oleh masyarakat serta tingkat perubahan yang terjadi
(Grindle, 1980). Penelitian ini menggunakan teori implementasi
kebijakan yang dimunculkan oleh Grindle untuk menguraikan
kebaruan kebijakan pengembangan kompetensi PNS dan hambatan
dalam implementasinya.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kebijakan melalui studi
kasus di Kementerian Desa, Pembangungan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi (KDPDTT), Pemerintah Provinsi Bali, Kementerian
Keuangan, serta Kabupaten Banyuwangi. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kualititatif. Pengumpulan data
menggunakan teknik studi literatur, serta wawancara mendalam
kepada partisipan yang dipilih secara purposive yaitu pegawai dan
pejabat unit pengelola kepegawaian dan unit pengelola pengembangan
kompetensi. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode
deskriptif kualitatif dengan membandingkan antara praktik
pengembangan kompetensi PNS saat ini dengan konsep ideal yang
diamanahkan oleh UU ASN. Penelitian dilakukan selama 6 (enam)
bulan mulai dari Januari hingga Juni 2017. Pemilihan lokus penelitian
mempertimbangan keterwakilan instansi pemerintah pusat dan daerah
guna memperkaya hasil kajian.
112
HASIL DAN PEMBAHASAN
113
UU ASN dan PP Manajemen PNS menawarkan sebuah kebaruan
pemikiran dalam konteks pengembangan kompetensi. Kebaruan
pemikiran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pemberian hak bagi setiap PNS dalam pengembangan kompetensi.
Pasal 70 ayat (1) UU ASN menyebutkan bahwa setiap ASN
termasuk didalamnya PNS mendapatkan hak dan kesempatan
untuk dikembangkan kompetensinya (Pemerintah Republik
Indonesia, 2014). Lebih lanjut lagi, PP No 11 Tahun 2017 tentang
Manajemen PNS memberikan hak bagi setiap PNS untuk
dikembangkan kompetensinya minimal 20 Jam Pelajaran tiap
tahunnya (Pemerintah Republik Indonesia, 2017).
2. Kewajiban menyusun perencanaan pengembangan kompetensi
PNS bagi seluruh instansi pemerintah pusat dan daerah. UU ASN
pasal 70 ayat (3) menyebutkan bahwa pengembangan kompetensi
PNS harus tertuang dalam dokumen rencana tahunan dan masuk
dalam anggaran tahunan instansi. Tahapan utama dalam
penyusunan rencana tahunan pengembangan kompetensi PNS
adalah:(1) Inventarisasi jenis kompetensi yang akan
dikembangkan untuk setiap PNS, dan (2) penyusunan rencana
pelaksanaan pengembangan kompetensi PNS.
3. Pengembangan kompetensi didasarkan pada kesenjangan
kompetensi dan kesenjangan kinerja. Kebaruan gagasan pasca
lahirnya UU ASN yang secara mendasar berbeda dengan praktik
pengembangan kompetensi PNS sebelumnya adalah dalam
penentuan rencana dan kebutuhan pengembangan kompetensi
PNS. PP Nomor 11 Tahun 2017 secara tegas menyebutkan bahwa
penentuan rencana dan kebutuhan pengembangan kompetensi
harus didasarkan pada hasil analisis kesenjangan kompetensi dan
analisis kesenjangan kinerja. Analisis kesenjangan kompetensi
didapatkan dari membandingkan antara profil kompetensi pegawai
dengan standar kompetensi jabatan. Profil kompetensi pegawai
tersebut didapatkan dari hasil uji kompetensi yang dilakukan oleh
assessor internal pemerintah atau bekerjasama dengan assessor
independen. Hal tersebut tercantum dalam PP Nomor 11 tahun
2017 pasal 171 ayat (2) dan (3). Sedangkan analisis kesenjangan
kinerja dilakukan dengan membandingkan antara hasil penilaian
kinerja PNS dengan target kinerja PNS dalam jabatan.
4. Dikotomi Pelatihan Klasikal dan Non-Klasikal. Hal yang
membedakan dari praktik pengembangan kompetensi yang terjadi
selama ini adalah dengan adanya dikotomi antara jenis
pengembangan kompetensi klasikal dan non-klasikal. Pelatihan
114
klasikal dilakukan melalui proses pembelajaran tatap muka di
dalam kelas. Contoh pelatihan klasikal diantaranya melalui jalur
pelatihan, seminar, kursus, dan penataran. Sedangkan pelatihan
non-klasikal tidak dilakukan melalui proses tatap muka di dalam
kelas seperti pelatihan jarak jauh, magang, pertukaran PNS dengan
pegawai swasta, dan lain-lain.
5. Pengembangan kompetensi sosial kultural.
UU ASN mengenalkan adanya 3 (tiga) jenis pengembangan
kompetensi yaitu kompetensi manajerial, teknis, dan sosial
kultural. Kompetensi sosial kultural dipahami sebagai sebuah
pengetahuan, ketrampilan, dan sikap/perilaku yang dapat diamati,
diukur dan dikembangkan terkait dengan pengalaman berinteraksi
dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku, etika, nilai-
nilai, moral, emosi dan prinsip yang harus dipenuhi oleh setiap
pemegang jabatan untuk memperoleh hasil kerja sesuai
denganperen dan fungsi dalam jabatan.
115
Kedua, Pengembangan kompetensi PNS baru menitikberatkan pada
jalur pelatihan klasikal melalui pelatihan teknis, pelatihan fungsional,
pelatihan kepemimpinan, dan lain-lain. Praktik tersebut dilakukan oleh
KDPDTT, Kabupaten Banyuwangi, dan Pemprov Bali. Sebenarnya,
KDPDTT telah mencoba mengenalkan jalur pengembangan
kompetensi yang bersifat non-klasikal yaitu melalui jalur praktik kerja
di lapangan yang menitikberatkan pada staf untuk terjun langsung ke
masyarakat untuk membaur dan berkomunikasi, namun secara umum
pengembangan kompetensi non-klasikal masih lebih dominan.
Padahal, anggaran yang harus dialokasikan untuk pelatihan klasikal
tergolong sangat besar (Tabel 1). Bisa dibayangkan apabila
pengembangan kompetensi diberikan kepada semua pegawai, berapa
besar alokasi anggaran yang harus dikeluarkan oleh instansi lokus
untuk pengembangan kompetensi PNS di instansinya.
116
assignment adalah 70 %(Pertamina, 2016). Artinya, hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa pelatihan yang menekankan pada praktik
langsung dan memberikan pengalaman langsung memiliki tingkat
efektivitas yang lebih tinggi dalam konteks pengembangan
kompetensi.
Ketiga, Pengembangan kompetensi masih bersifat parsial. Artinya,
pengembangan kompetensi tidak didasarkan pada proses perencanaan,
pelaksanaan, serta evaluasi yang terintegrasi. Hal tersebut disebabkan
karena ketidakjelasan pembagian kewenangan antara unit kerja yang
terkait dengan pengembangan kompetensi PNS (unit pengelola
kepegawaian, unit pengembangan kompetensi, dan unit kerja lainnya).
Pembagian kewenangan tersebut berkaitan dengan proses perencanaan
(pemetaan kebutuhan, penganggaran dan lain-lain), pelaksanaan, dan
evaluasi.
Meskipun sama-sama bersifat parsial namun problematika pembagian
kewenangan pengembangan kompetensi berbeda-beda. Di Pemerintah
Provinsi Bali, kerancuan pembagian kewenangan pembagian
kewenangan terjadi antara Badan Kepegawaian Daerah (BKD) sebagai
unit pengelola kepegawaian dan Badan Pembangunan Sumberdaya
Manusia (BPSDM) sebagai unit pengelola pengembangan kompetensi.
Sedangkan di KDPDTT dan Kabupaten Banyuwangi terjadi antara unit
kepegawaian dan semua satuan kerja yang ada di instansi tersebut.
Karena proses perencanaan,pelaksanaan, dan evaluasi melakat di
setiap satuan kerja. Oleh karena proses pengembangan kompetensi
yang tidak komprehensif dan terintegrasi tersebut, maka tidak
mengherankan apabila ditemukan adanya pegawai yang belum pernah
mendapatkan program pengembangan kompetensi sampai menjelang
pensiun kecuali pelatihan prajabatan (Data lapangan kajian
penyusunan standar kompetensi teknis KDPDTT tahun 2016).
Proses pengembangan kompetensi yang bersifat parsial tersebut akan
sangat menyulitkan ketika mengukur ketercapaian output dari kegiatan
pengembangan disebabkan perbedaan proses yang dilakukan. Selain
itu, pengembangan kompetensi yang bersifat parsial tersebut
berpotensi terhadap tidak sinkronnya antara kebutuhan indidivu dan
organisasi. Berbeda dengan 3 (tiga) instansi lokus, Kementerian
Keuangan sudah tergolong baik karena pengembangan kompetensi
PNS sudah terpusat di unit pengelola SDM Aparatur.
117
Oleh karenanya tidak mengherankan apabila masih banyak ditemukan
hambatan. Berdasarkan hasil wawancara penelusuran terhadap unit
pengelola pengembangan kompetensi dan unit pengelola kepegawaian
di instansi lokus, beberapa hambatan yang dihadapi dalam
implementasi kebijakan pengembangan kompetensi PNS adalah:
118
3 Pemprov Sudah Belum ada Baru Baru Data riwayat Memungki
Bali ada untuk JPT berbent pengembangan nkan
dan JA uk hasil kompetensi
penilaia belum lengkap
n
kinerja
4 Kabupate Sudah Kurang Baru Baru Data riwayat Memungki
n ada Standar untuk JPT berbent pengembangan nkan
Banyuwa Kompetensi dan JA uk hasil kompetensi
ngi (Stankom) penilaia belum lengkap
Sosial n
Kultural kinerja
Sumber: diolah dari LAN, 2017
119
Gambar 2. Analisis Kesenjangan Kompetensi PNS dalam Perspektif PP
Manajemen PNS
120
standar kompetensi manajerial untuk melakukan assessment terhadap
1024 JPT Pratama dan Administrasi pada tahun 2015, Kementerian
PAN dan RB melalui Kedeputian SDM Aparatur juga sedang
berencana menerbitkan peraturan menteri yang mengatur pedoman
penyusunan standar kompetensi jabatan bagi seluruh instansi
pemerintah pusat dan daerah.
121
Tabel 5 menunjukkan bahwa kondisi yang dialami oleh instansi yang
menjadi lokus nampaknya juga dialami oleh banyak instansi
pemerintah di Indonesia. Pasalnya, meskipun PNS dalam UU ASN
dianggap sebagai profesi, namun saat ini lebih didominasi oleh jabatan
fungsional umum.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat dirumuskan dari studi kasus pengembangan
kompetensi PNS di KDPDTT,Pemerintah Provinsi Bali, Kementerian
Keuangan, serta Kabupaten Banyuwangi adalah terdapat 5 (lima)
kebaruan dalam pengembangan kompetensi PNS pasca lahirnya UU
ASN. Kelima kebaruan tersebut adalah :1 pemberian hak bagi setiap
PNS dalam pengembangan kompetensi, 2. Kewajiban menyusun
perencanaan pengembangan kompetensi PNS, 3. Pengembangan
kompetensi didasarkan pada kesenjangan kompetensi dan kesenjangan
kinerja, 4. Dikotomi pelatihan klasikal dan non-klasikal,5.
Pengembangan kompetensi sosial kultura Hambatan yang dialami oleh
instansi pemerintah adalah: 1. belum terpenuhinya prasyarat dalam
pengembangan kompetensi PNS, 2. Belum tersusunnya sebagian besar
aturan turunan UU ASN yang berkaitan dengan pengembangan
kompetensi PNS, serta 3. Kurangnya SDM Aparatur khususnya
jabatan.
122
SARAN/REKOMENDASI
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka rekomendasi yang bisa
dirumuskan adalah sebagai berikut: pertama, perekrutan jabatan
assessor harus menjadi konsen pemerintah saat ini. Karena, jabatan
assessor dalam rezim UU ASN perannya akan sangat sentral dalam
implementasi kebijakan pengembangan kompetensi PNS. Kedua,
perlunya pemerintah melakukan upaya percepatan penyelesaian aturan
turunan dari UU ASN khususnya yang berkaitan erat dengan
pengembangan kompetensi PNS. Ketiga, perlunya pemerintah
menyusun strategi guna mendorong instansi pemerintah untuk segera
menyiapkan beberapa prasyarat dalam pengembangan kompetensi
PNS.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Kepegawaian Negara. Bahan paparan dengan judul model
kompetensi Jabatan Pimpinan Tinggi disampaikan pada acara
sarasehan di Hotel Sultan Jakarta 16 Juni 2016 (2016).
Efendi, N. (2015). Pengembangan Sumber Daya Manusia Berbasis
Kompetensi di Kantor Pemerintah Kota Bandar Lampung.
MIMBAR, 31(1), 1–10.
Grindle, M. S. (1980). Policy Content and Context in
Implementation. Politics and Policy Implementation in the Third
World.
Kementerian Keuangan. Draft Surat Edaran Pelaksanaan
Pengembangan Kompetensi di Lingkungan Kementerian
Keuangan Per tanggal 18 Mei 2017 (2017).
Kementerian PAN dan RB. (2017). Bahan Paparan Peta Jalan
Pembangunan ASN 2017-2019 untuk Meningkatkan Daya Saing
Bangsa 2024 disampaikan saat menerima kunjungan peneliti
lembaga Administrasi Negara di Kantor Kementerian PAN dan
RB 3 Maret 2017.
Lembaga Administrasi Negara. (2015). Kajian Grand Design
Pengembangan Kompetensi ASN.
Lembaga Administrasi Negara. (2017). Draft Pedoman
123
Pengembangan Kompetensi Per Tanggal 7 Juli 2017.
Megalia, R. (2011). Manajemen peningkatan kompetensi aparatur :
Studi tentang implementasi kebijakan reformasi sumber daya
manusia pada badan pendidikan dan pelatihan di Indonesia.
Sosiohumanika, 4(2), 259–286.
Pemerintah Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang Aparatur
Sipil Negara Nomor 5 Tahun 2014.
Pemerintah Republik Indonesia. (2016). Peraturan Pemerintah No. 5
Tahun 2016 Tentang Jenis Dan Tarif Atas PNBP Lembaga
Administrasi Negara.pdf.
Pertamina. (2016). Penerapan Manajemen Talenta di PT Pertamina
disampaikan dalam acara sharing Pengetahuan di Lembaga
Administrasi Negara 05 April 2016.
Wardani, W. E., Djumlani, A., & Paranoan, D. (2015).
Pengembangan kompetensi aparatur melalui pendidikan dan
pelatihan di Dinas Perhubungan Provinsi Kalimantan Timur.
Ejournal Administrative Reform, 2(1), 99–111.
124