Anda di halaman 1dari 6

 Proyeksi Submentovertex (SMV)

Radiografi submentovertex adalah radiografi yang digunakan untuk melihat keadaan dasar

tengkorak, posisi mandibula, dinding lateral sinus maksila dan arkus zigomatikus

Sedangkan menurut Bontrager (2010), tujuan dilakukannya proyeksi  Submentovertex

(SMV) adalah untuk menampakkan patologi sinusitis, osteomilitis dan polip.

Teknik pemeriksaan proyeksi Submentovertex (SMV) :

Langkah 1. Mengevaluasi calvarium dan posterior cranial fossa. Mengkaji foramen

magnum , atlas, dens, dan condilus occipital. Mengidentifikasi petrous ridge pada bagian kanan

dan kiri tulang temporal , auditory canals external , dan mastoid air cells. Langkah selanjutnya ,

membandingkan sisi kanan dan sisi kiri agar terlihat simetris.

Langkah 2. Mengevaluasi cranial fossa tengah. Identifikasi foramen oval dan spinosum.

Mengkaji clivus dan sphenoid sinuses.

Langkah 3. Mengevaluasi bagian atas dan tengah wajah. Mengkaji nasal cavity, nasal

septum, maksila, dan ethmoid sinuses dan orbit.

Langkah 4. Mengevaluasi mandibular. Ikuti garis besar dari kepala condylar, prosesus

coronoid , ramus, angulus,

a)     Posisi Pasien

Atur pasien dalam keadaan erect (berdiri), jika memungkinkan untuk menampakkan batas

ketinggian cairan.

b)     Posisi Objek:

(1) MSP tegak lurus kaset

(2) Tengadahkan  Dagu, hyperextensikan leher jika memungkinkan hingga IOML paralel

kaset. Puncak kepala menempel pada kaset.


c)     Sinar pusat :

(1)    Arah sinar tegak lurus IOML

(2)    Titik bidik jatuh di pertengahan sudut mandibular

(3)    Minimum SID 100 cm

d)     Kolimasi   

Pada semua rongga sinus,

e)     Pernafasan

Pasien tahan nafas selama eksposi berlngsung

f)      Kriteria radiograf : Tampak sinus sphenoid, ethmoid, maksillaris dan fossa nasal (gambar

2.24).

Gambar 2.23 Proyeksi Submentovertex (SMV) (Bontrager,2010)


Gambar 2.24 Radiograf Proyeksi Submentovertex (SMV) (Bontrager,2010)

 Waters Projection

Foto Rontgen ini digunakan untuk melihat sinus maksilaris, sinus ethmoidalis, sinus frontalis, sinus

orbita, sutura zigomatiko frontalis, dan rongga nasal.

Langkah 1. Evaluasi calvarium dan sutura, mulai dari sebelah kiri daerah temporal melewati

bumbungan supraorbital ke daerah kanan temporal. Cari kalsifikasi intracranial . Pada langkah

selanjutnya, membandingkan bagian kanan dan kiri terlihat simetris.

Langkah 2. Evaluasi orbit dan sutura frontalis. Identifikasi tepi supraorbital dan infraorbital, inferior

foramen orbital , bagian dasar dari orbit, sutura zygomaticofrontalis , dan garis innominate pada

infratemporal fossa crossing pada aspek lateral setiap orbit.

Langkah 3. Evaluasi sinus maksila dan nasal cavity. Identifikasi superior, medial, dan dinding lateral

pada nasal cavity. Coba untuk identifikasi proyeksi foramen rotundum terhadap dinding mesial pada

sinus.
Langkah 4. Evaluasi arcus zygomaticus. Identifikasi frontal. Maksilar, dan prosesus temporal pada

zygomaticum dan sutura zygomaticofrontal. Konfirmasi kesinambungan dan kesimetrisan dengan

contralateral side.

Langkah 5. Evaluasi condylar dan prosesus coronoid pada mandibular. Ini adalah salah satu tinjauan

PA terbaik pada prosesus coronoid.

 Posteroanterior Projection

Foto Rontgen ini digunakan untuk melihat kelainan pada bagian depan maksila dan mandibula,

gambaran sinus frontalis, sinus ethmoidalis, serta tulang hidung.

Langkah 1. Evaluasi calvarium, sutura, dan ruang diploic dimulai di area sebelah kiri auditory

meatus external (EAM), pada bagian atas calvarium , ke sebelah kanan (EAM). Cari kalsifikasi

intracranial. Identifikasi selsel udara mastoid dan petrous ridge pada kanan dan kiri tulang temporal.

Tahap selanjutnya, bagian kanan dan kiri harus terlihat simetris.

Langkah 2. Evaluasi bagian atas dan wajah tengah. Identifikasi orbits, sinus, dan prosesus

zygomaticum pada maksila. Kaji nasal cavity, turbinates tengah dan turbinates inferior, nasal septum,

prosesus coronoid, dan condilus.

Langkah 3. Evaluasi bagian bawah wajah. Ikuti garis besar pada mandibular dimulai dari condilus

dan prosesus coronoid kanan, ramus, angulus, dan bagian mandibular anterior ke kiri tubuh, angulus,

ramus, prosesus coronoid dan condilus.

Langkah 4. Evaluasi cervical spine . identifikasi dens, superior border of C2 dan border inferior C1.

Langkah 5. Evaluasi tulang alveolar dan gigi.


 Reverse-Towne Projection

Foto Rontgen ini digunakan untuk pasien yang kondilusnya mengalami perpindahan tempat dan juga

dapat digunakan untuk melihat dinding postero lateral pada maksila.

Langkah 1. Evaluasi calvarium dan cari kalsifikasi intracranial. Identifikasi foramen magnum dan

arcus posterior pada atlas. Langkah selanjutnya, bandingkan bagian kanan dan kiri harus terlihat

lengkap.

Langkah 2. Evaluasi fossa cranial tengah , petrous ridge, dan selsel udara mastoid. Anatomi pada

bagian ini susah dilihat. Cari displacement, garis besar pada interupsi, radiolucencies, dan kehilangan

simetrisnya. Identifikasi prosesus odontoid pada axis dalam garis tengah.

Langkah 3. Evaluasi nasal cavity. Identifikasi garis besar dari nasal cavity. Pada proyeksi open-

mouth , kepala condylar , termasuk superior surface dan leher condilus , harus diidentifikasi.

Crouzon Shyndrome

Crouzon Syndrome adalah suatu kelainan genetik yang memperlihatkan adanya

malfomasi pada tengkorak, mata, wajah dan rahang karena penutupan dini dari sutura

(craniosyntosis). Sutura adalah sambungan tulang yang menahan keenam tulang kranial pada

tengkorak untuk menjaga bentuk kepala ketika otak sedang dalam masa perkembangan.

Anak-anak yang mengalami kondisi ini cenderung untuk memiliki bentuk wajah yang khas,

seperti bentuk tengkorak yang menyerupai daun semanggi, Tulang rahang atas yang tidak

berkembang dan hidung yang bengkok.

Namun, mereka masih bisa memiliki kehidupan yang normal dengan kemampuan

intelektual yang normal, terutama apabila perawatan bedah dilakukan untuk memperbaiki
kelainan ini pada tahun pertama usia kehidupan anak. Kondisi ini diwariskan dalam sifat

autosomal dominan, yang berarti bahwa hanya diperlukan salah seorang dari orang tua untuk

mewariskan gen FGFR2 yang rusak sehingga anak dikatakan menderita sindrom ini. Crouzon

dan Apert syndrome adalah dua penyebab paling umum yang menyebabkan kelainan bentuk

tengkorak, dimana sindrom yang pertama lebih sering terjadi daripada sindrom yang terakhir.

Anda mungkin juga menyukai