Jiptummpp GDL Amaliachoi 50855 3 Babii
Jiptummpp GDL Amaliachoi 50855 3 Babii
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Sistem Saraf
2.1.1 Definisi Sistem Saraf
Sistem saraf adalah sistem koordinasi berupa penghantaran impuls saraf
ke susunan saraf pusat, pemrosesan impuls saraf dan pemberi tanggapan
rangsangan (Feriyawati, 2006). Sistem atau susunan saraf merupakan salah satu
bagian terkecil dari organ dalam tubuh, tetapi merupakan bagian yang paling
kompleks. Susunan saraf manusia mempunyai arus informasi yang cepat dengan
kecepatan pemrosesan yang tinggi dan tergantung pada aktivitas listrik (impuls
saraf) (Bahrudin, 2013).
Alur informasi pada sistem saraf dapat dipecah secara skematis menjadi
tiga tahap. Suatu stimulus eksternal atau internal yang mengenai organ-organ
sensorik akan menginduksi pembentukan impuls yang berjalan ke arah susunan
saraf pusat (SSP) (impuls afferent), terjadi proses pengolahan yang komplek pada
SSP (proses pengolahan informasi) dan sebagai hasil pengolahan, SSP
membentuk impuls yang berjalan ke arah perifer (impuls efferent) dan
mempengaruhi respons motorik terhadap stimulus (Bahrudin,2013).
Gambar 2.1 Fungsional Sistem Saraf (biru: sensorik; merah: motorik) (Bahrudin,
2013)
5
6
Gambar 2.6 Saraf Spinalis (31 pasang) beserta nama dan letaknya (Bahrudin,
2013).
B. Sistem Saraf Otonom (SSO)
Sistem saraf otonom mengatur jaringan dan organ tubuh yang tidak
disadari. Jaringan dan organ tubuh yang diatur oleh sistem saraf otonom adalah
pembuluh darah dan jantung. Sistem ini terdiri atas sistem saraf simpatik dan
sistem saraf parasimpatik. Fungsi dari kedua sistem saraf ini adalah saling
berbalikan, seperti pada (Gambar 2.7) dibawah ini.
10
Badan sel (soma) memiliki satu atau beberapa tonjolan (Feriyawati, 2006).
Soma berfungsi untuk mengendalikan metabolisme keseluruhan dari neuron
(Nugroho, 2013). Badan sel (soma) mengandung organel yang bertanggung jawab
untuk memproduksi energi dan biosintesis molekul organik, seperti enzim-enzim.
Pada badan sel terdapat nukleus, daerah disekeliling nukleus disebut perikarion.
Badan sel biasanya memiliki beberapa cabang dendrit (Bahrudin, 2013).
Dendrit adalah serabut sel saraf pendek dan bercabang-cabang serta
merupakan perluasan dari badan sel. Dendrit berfungsi untuk menerima dan
menghantarkan rangsangan ke badan sel (Khafinudin, 2012). Khas dendrit adalah
sangat bercabang dan masing-masing cabang membawa proses yang disebut
dendritic spines (Bahrudin, 2013).
Akson adalah tonjolan tunggal dan panjang yang menghantarkan informasi
keluar dari badan sel (Feryawati, 2006). Di dalam akson terdapat benang-benang
halus disebut neurofibril dan dibungkus oleh beberpa lapis selaput mielin yang
banyak mengandung zat lemak dan berfungsi untuk mempercepat jalannya
rangsangan. Selaput mielin tersebut dibungkus oleh sel-sel Schwann yang akan
membentuk suatu jaringan yang dapat menyediakan makanan dan membantu
pembentukan neurit. Bagian neurit ada yang tidak dibungkus oleh lapisan mielin
yang disebut nodus ranvier (Khafinudin, 2012).
Pada SSP, neuron menerima informasi dari neuron dan primer di dendritic
spines, yang mana ditunjukkan dalam 80-90% dari total neuron area permukaan.
Badan sel dihubungkan dengan sel yang lain melalui akson yang ujung satu
dengan yang lain membentuk sinaps. Pada masing-masing sinap terjadi
komunikasi neuron dengan sel yang lain (Bahrudin, 2013).
selubung mielin normal dengan selubung mielin pada pasien GBS dapat
dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.9 Selubung mielin normal dan selubung mielin pada GBS (Tandel et
al., 2016)
- Sel Satelit
Badan neuron pada ganglia perifer diselubungi oleh sel satelit. Sel satelit
berfungsi untuk regulasi nutrisi dan produk buangan antara neuron body
dan cairan ektraseluler. Sel tersebut juga berfungsi untuk mengisolasi
neuron dari rangsangan lain yang tidak disajikan di sinap.
- Sel Schwann
Setiap akson pada saraf tepi, baik yang terbungkus dengan mielin maupun
tidak, diselubungi oleh sel Schwann atau neorolemmosit. Plasmalemma
dari akson disebut axolemma; pembungkus sitoplasma superfisial yang
dihasilkan oleh sel Schwann disebut neurilemma (Bahrudin, 2013).
Dalam penyampaian impuls dari reseptor sampai ke efektor perifer
caranya berbeda-beda. Sistem saraf somatik (SSS) mencakup semua neuron
motorik somatik yang meng-inervasi otot, badan sel motorik neuron ini terletak
dalam SSP, dan akson-akson dari SSS meluas sampai ke sinapsis neuromuskuler
yang mengendalikan otot rangka. Sebagaian besar kegiatan SSS secara sadar
dikendalikan. Sedangkan sistem saraf otonom mencakup semua motorik neuron
viseral yang menginervasi efektor perifer selain otot rangka. Ada dua kelompok
neuron motorik viseral, satu kelompok memiliki sel tubuh di dalam SSP dan yang
lainnya memiliki sel tubuh di ganglia perifer (Bahrudin, 2013).
Neuron dalam SSP dan neuron di ganglia perifer berfungsi mengontrol
efektor di perifer. Neuron di ganglia perifer dan di SSP mengontrolnya segala
bergiliran. Akson yang memanjang dari SSP ke ganglion disebut serat
preganglionik. Akson yang menghubungkan sel ganglion dengan efektor perifer
dikenal sebagai serat postganglionik. Susunan ini jelas membedakan sistem
(motorik visceral) otonom dari sistem motorik somatik. Sistem motorik somatik
dan sitem motorik visceral memiliki sedikit kendali kesadaran atas kegiatan SSO.
Interneuron terletak diantara neuron sensori dan motorik. Interneuron terletak
sepenuhnya didalam otak dan sumsum tulang belakang. Mereka lebih banyak
daripada semua gabungan neuron lain, baik dalam jumlah dan jenis. Interneuron
bertanggung jawab untuk menganalisis input sensoris dan koordinasi motorik
output. Interneuron dapat diklasifikasikan sebagai rangsang atau penghambat
berdasarkan efek pada membran post sinaps neuron (Bahrudin, 2013).
15
timbul terhadap antigen tertentu, dimana tubuh sudah pernah terpapar sebelumnya
(Kresno, 2013).
2.2.1 Respons Imun Terhadap Infeksi Secara Umum
Respons imun memegang peran penting dalam melindungi tubuh terhadap
infeksi. Walaupun demikian berbagai bukti yang dikumpulkan bertahun-thaun
menunjukkan bahwa aspek patologik yang tampak pada penyakit infeksi
seringkali tidak diakibatkan aksi oleh langsung dari patogen agresor melainkan
merupakan akibat dari proses respon imun. Pada situasi demikian, ada reaksi
hipersensitifitas yang meningkatkan dan memodulasi respon imun yang berakibat
kerusakan jaringan. Pada situasi lain mikroba, baik dengan cara meniru (mimicry)
antigen sendiri, menginduksi proliferasi sel-sel self-reactive atau dengan
meningkatkan ekspresi MHC dan molekul ko-stimulasi pada sel-sel yang
terinfeksi, dapat menimbulkan penyakit autoimun (Kresno, 2013).
Antigen adalah substansi yang dapat dikenali dan diikat dengan baik oleh
sistem imun. Antigen dapat bersal dari organisme (bakteri, virus, jamur, dan
parasit) atau molekul asing bagi tubuh. Tidak setiap bagian dari antigen dapat
berinteraksi dengan molekul sistem imun. Bagian dari antigen secara langsung
berikatan dengan molekul resptor (seperti antibodi) yang dikenal dengan epitop.
Hapten adalah molekul organikm kecil yang dapat mengikat bagian reseptor
antigen. Meskipun molekul ini kecil tetapi dapat menginduksi respon imun
sendiri. Selain itu juga dapat menginduksi antibodi dengan titer yang tinggi jika
diikatkan dengan carrier berupa protein yang mempunyai berat molekul (BM)
tinggi atau polimer sintetik (Hasdianah et al., 2014).
Reaksi inflamasi merupakan respons imun non-spesifik dimana terdapat
suatu upaya pada sel-sel sistem umum untuk memusatkan produk-produk yang
dihasilkannya ke lokasi infeksi. Selama proses ini berlangsung, terjadi 3 proses
penting, yaitu: peningkatan aliran darah di area infeksi, peningkatan permeabilitas
kapiler akibat retraksi sel-sel endotel yang mengakibatkan molekul-molekul besar
menembus dinding vaskular, dan migrasi leukosit ke luar vaskular. Reaksi ini
terjadi akibat dilepaskannya mediator-mediator tertentu oleh beberapa jenis sel
misalnya histamin yang dilepaskan basofil dan monosit, vasoactive amine yang
dilepaskan oleh trombosit, serta anafilatoksin yang berasal dari komponen-
19
flu. Pasien GBS yang mengalami infeksi ini memiliki keterlibatan dengan saraf
sensorik dan saraf kranial. Infeksi ini secara bermakna dikaitkan dengan
antibodi terhadap GM2 (Andary et al., 2016). Keterlibatan secara langsung
maupun tidak langsung replikasi virus dapat mempengaruhi proses patologis
pada GBS (Orlikowski et al., 2014).
c. Infeksi Epstein–Barr virus (EBV), virus varicella-zoster dan Mycoplasma
pneumonia
Ketiga patogen tersebut akan menyebabkan infeksi yang nantinya akan
menjadi penyebab dari penyakit GBS. Tetapi, belum banyak studi yang
menunjukkan hal tersebut dan juga memang tidak banyak ditemukan kasus-
kasus pasien yang terinfeksi ketiga patogen tersebut (Andary et al., 2016).
Infeksi EBV sekitar 10% dari pasien GBS, Mycoplasma pneumonia hanya 5%
lebih sering dari pada kelompok kontrol (Zhong & Cai, 2007).
2. Vaksinasi
Dalam suatu studi epeidemiologi, dikatakan bahwa pemberian vaksin pada
seseorang akan berkaitan dengan terjadinya GBS. Beberapa vaksin yang dapat
menyebabkan GBS adalah influenza, rabies, polio oral, campak, tetanus toksoid,
hepatitis B (Jasti et al., 2016). Gejala-gejala GBS dimulai satu hari sampai
beberapa minggu setelah dilakukan vaksinasi dan biasanya mencapai puncak pada
2 minggu setelah pemberian vaksin. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa
vaksin influenza cukup berpengaruh dalam peningkatan resiko terjadinya GBS.
Dikatakan bahwa pada tahun 2009 terdapat sekitar 1,6 kasus per 100.000 populasi
yang diberi vaksin influenza yang akhirnya menjadi penyebab GBS, namun pada
penelitian yang terbaru yaitu pada tahun 2011 menyimpulkan bahwa tidak
ditemukan bukti yang memadai mengenai hubungan pemberian vaksin influenza
dengan terjadinya penyakit GBS (Yuki & Hartzung, 2012).
Selain pemberian vaksin influenza, vaksin rabies dikatakan dapat
meningkatkan resiko terjadinya penyakit GBS. Vaksin rabies dibuat dari jaringan
otak yang terinfeksi dari hewan dewasa sehingga dapat meningkatkan resiko
terjadinya GBS oleh karena adanya kontaminasi dengan antigen mielin. Tetapi,
ada formulasi baru dari vaksin rabies berasal dari sel-sel embrio ayam, dimana
tidak terlihat hubungan antara pemberian vaksin dengan peningkatan resiko GBS.
24
protein cairan cerebrospinalis. Tanda ini merupakan ciri khas pada GBS (Munir,
2015). Destruksi tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat mengirimkan
sinyal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk merespon
perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls sensoris dari seluruh
bagian tubuh (Mardjono, 2000; van Doorn et al., 2008; Budihardja, 2012).
Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi, yang pertama
adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem imun
tubuh mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa
infeksi tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya
sendiri berkurang. Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang
mielin disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan
mielin (Budihardja, 2012). Teori - teori tersebut diperjelas dengan adanya empat
faktor utama yang diketahui berperan dalam perjalanan penyakit GBS, antara lain
antibodi antigangliosida, mimikri molekular dan reaktivitas silang, aktivasi
komplemen, dan faktor penjamu (host) (van Doorn et al., 2008; Tandel et al.,
2016).
1. Antibodi antigangliosida
Gangliosida adalah asam N-acetylneuraminic (asam sialat) yang
berhubungan dengan glikospingolipid dan berada di luar membran sel saraf dan
berkaitan dengan oligosakarida pada permukaan sel (Kaida & Kusunoki, 2010).
Gangliosida ini terdiri dari ceremide yang melekat satu atau lebih gula (heksosa)
dan mengandung asam N-acetilneuraminic (asam sialat) yang berikatan pada inti
oligosakarida dan merupakan komponen penting dari sistem saraf perifer (Yuki &
Hartzung, 2012).
Pada lebih dari separuh pasien GBS, ditemukan antibodi serum terhadap
berbagai gangliosida di saraf tepi, meliputi LM1, GM1, GM1b, GM2, GD1a,
Ga1Nac-GD1a, GD1b, GD2, GD3, GT1a, dan GQ1b. Sebagian besar antibodi
spesifik terhadap subtipe dari GBS itu sendiri. Antibodi GM1, GM1b, GD1a dan
Ga1Nac-GD1a berhubungan dengan GBS motorik murni atau varian aksonal.
Sedangkan antibodi GD3, GT1a, GQ1b berhubungan dengan oftalmoplegi pada
Miller Fisher Syndrome (MFS) (van Doorn, 2008; Yuki & Hartzung, 2012;
Dimachkie & Barohn, 2013).
26
Tabel II.2 Subtipe GBS dan antibodi antigangliosida yang terlibat (van Doorn,
2008; Yuki & Hartzung, 2012; Dimachkie & Barohn, 2013).
Subtipe GBS Serum antibodi antigangliosida
AIDP (Acute inflammatory demyelinating Tidak diketahui
poliradiculoneuropathy)
AMAN/ AMSAN (Acute motor (and GM1, GM1b, GD1a dan Ga1Nac-GD1a
sensory) axonal neuropathy)
MFS dan GBS overlapping syndrome GD3, GT1a, GQ1b
Gambar 2.11 Imunobiologi dalam perjalanan penyakit GBS (Tandel et al., 2016)
28
Gambar 2.12 AIDP dan AMAN yang disebabkan pasca infeksi akibat C,jejuni
(Tandel et al., 2016)
30
bulbar, dan otot pernafasan juga dapat berpengaruh. Kelemahan otot ini
berkembang secara akut dan berlangsung dari hari ke minggu bahkan sampai
bulan. Keterlibatan saraf kranial dapat diamati pada 45-75% pasien dengan GBS.
Saraf kranial yang terpengaruh adalah kranial III-VII (saraf okulomotoris, saraf
trokhlear, saraf trigeminal, saraf abdusen, dan saraf fasial) dan IX-XII (saraf
glosofaringeal, saraf vagus, saraf aksesori spinal, dan saraf hipoglosal). Keluhan
umum dilaporkan adalah sebagai berikut: diplopias, disfagia, oftalmoplegia,
gangguan pupil (Andary et al., 2016).
Tabel II.3 Gambaran patologis dan klinis subtipe GBS (Hughes et al., 2007;
Hakim 2011; Walling & Dickson, 2013)
Subtipe Gambaran patologis Gambaran klinis Elektrodiagnosis
Kelemahan otot dan kemumpuhan motorik ini terjadi maksimal 12-14 hari.
Selanjutnya akan berhenti pada 4-6 minggu dari onset penyakit (Dhadke et al.,
2013). Keadaan ini disebut sebagai ascending paralysis atau ascending Landrys
paralysis (Muid, 2005).
Kerusakan saraf motoris ini bervariasi pada masing-masing individu,
mulai dari kelemahan sampai pada kuadriplegia flaksid (Budihardja, 2012;
Walling & Dickson, 2013). Pada kasus GBS yang parah, fungsi otot mulai
menghilang setelah 2 minggu terjadinya gejala dan penyakit ini mencapai titik
terendahnya setelah 2 minggu pada sebagian besar kasus dan 4 minggu pada
hampir seluruh kasus. Setelah mencapai fase puncak, fase pemulihan dimulai
dengan kembalinya fungsi proksimal, lalu di bagian distal, dan kekuatan otot
mulai kembali dalam beberapa minggu atau bulan. Antara 4% hingga 15% pasien
meninggal, dan hampir 20% mengalami kelumpuhan setelah satu tahun walaupun
sudah menggunakan terapi modern. Bahkan pada pasien yang mengalami
pemulihan yang baik, masih terdapat sisa kelemahan dan kehilangan unit-unit
motorik yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan klinik dan elektrofisiologis. Hal
inilah yang menyebabkan pasien GBS yang telah pulih masih sering mengalami
keletihan otot (Hughes et al., 2005).
2. Perubahan Sensorik
Gangguan sensoris pada umumnya ringan, sensibilitas dalam biasanya
lebih terpengaruh. Hipotoni, hiporefleksi sampai arefleksi selalu ditemukan.
Nervus kranialis dapat terkena begitu juga otot-otot pernapasan sehingga
penderita memerlukan ventilator (Muid, 2005). Kebanyakan pasien mengeluhkan
parastesia, mati rasa, atau perubahan sensorik yang serupa. Gejala sensorik sering
mendahului kelemahan. Hilangnya getaran, sentuhan dan nyeri pada anggota
tubuh distal mungkin ada. Dalam kebanyakan kasus temuan obyektif dari
penurunan sensorik cenderung minim dan dapat bervariasi (Andary et al., 2016).
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan
kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi
getar. Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan disestesia
pada extremitas distal. Gejala sensoris ini umumnya ringan, kecuali pada pasien
dengan GBS subtipe AMSAN (Budihardja, 2012; Walling & Dickson, 2013).
34
3. Rasa Nyeri
Nyeri merupakan gejala yang umumnya terjadi pada pasien GBS dan
harus ditangani dengan segera. Pengakuan nyeri pasien menjadi penting, terutama
yang tidak mampu berkomunikasi karena dalam intubasi. Nyeri dapat terjadi
sebelum kelemahan, yang mungkin akan membingungkan dan dapat
menyebabkan penundaan dalam penegakan diagnosis GBS. Intensitas nyeri
berkaitan dengan tingkat kelemahan atau kelumpuhan yang dialami pasien (van
Doorn, 2013). Nyeri tersebut timbul dari gejala dan fase penyakit yang berbeda:
paraestesia atau disestesia, nyeri punggung, meningisme, nyeri otot, nyeri sendi,
dan nyeri viseral. Nyeri dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Nyeri pada
fase akut GBS dapat disebabkan oleh penyebab nosiseptif akibat inflamasi. Pada
tingkat penyakit selanjutnya, nyeri neuropati non-nosiseptif dapat timbul akibat
degenerasi bahkan regenerasi serabut saraf. Identifikasi tipe dan keberadaan nyeri
sangat penting untuk menentukan terapi yang tepat bagi pasien. Biopsi kulit dapat
membantu dalam mengetahui mekanisme yang menyebabkan timbulnya nyeri
neuropati pada pasien GBS (Burns, 2008; van Doorn, 2008).
Rasa sakit (nyeri) dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang
terjadi terutama pada anak-anak. Nyeri terutama saat bergerak, dilaporkan pada 50
– 89% pasien GBS. Nyeri yang dideskripsikan berupa nyeri berat, seperti aching
atau cramping/ kaku (menyerupai sciatica) pada otot yang terserang, sering
memburuk pada malam hari. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal
pada lebih dari 50% pasien yang dapat menyebabkan diagnosis GBS menjadi
tertunda (Budihardja, 2012; Walling & Dickson, 2013).
Dalam sebuah studi prospektif longitudinal mengenai nyeri pada pasien
GBS, 89% pasien melaporkan nyeri terjadi pada GBS pada suatu waktu selama
menderita penyakit ini. Pada presentasi awal, hampir 50% dari pasien GBS
digambarkan rasa sakit yang parah. Mekanisme nyeri masih belum diketahui
pasti. Nyeri dapat dihasilkan dari kerusakan saraf sacara langsung atau dari
kelumpuhan dan imobilisasi yang berkepanjangan (Andary et al., 2016) .
35
4. Perubahan Otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis
dan parasimpatis dapat diamati pada pasien GBS. Gejala otonom terjadi pada dua
per tiga pasien dan perubahan otonom tersebut meliputi instabilitas tekanan darah
(hipotensi atau hipertensi), takikardia, bradikardia bahkan cardiac arrest,
kemerahan pada wajah, gangguan hidrosis tau diaphoresis dan penurunan
motilitas gastrointestinal Budihardja, 2012; Walling & Dickson, 2013; Andary et
al., 2016). Hipertensi dapat pula terjadi pada sepertiga pasien dengan GBS dan
dapat diikuti oleh hipotensi. Hipertensi terjadi pada 10 – 30 % pasien sedangkan
aritmia terjadi pada 30 % dari pasien (Meena et.al, 2011; Budihardja, 2012;
Walling & Dickson, 2013). Perubahan otonom ini lebih sering terjadi pada pasien
dengan kelemahan yang parah dan kegagalan pernafasan (Andary et.al, 2016).
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan merupakan penyebab kematian
yang signifikan pada pasien GBS (Budihardja, 2012; Meena et.al, 2011).
5. Keterlibatan otot pernafasan
Kelemahan lanjut dapat melibatkan otot-otot respiratorik dan sekitar 25%
pasien yang dirawat membutuhkan ventilasi mekanik. Kegagalan respirasi lebih
umum terjadi pada pasien dengan progresi gejala yang cepat, kelemahan anggota
gerak atas, disfungsi otonom, atau kelumpuhan bulbar. Kelemahan biasanya
mencapai puncak pada minggu kedua, diikuti dengan fase plateu dengan durasi
yang bervariasi sebelum terjadinya resolusi atau stabilisasi dengan gejala
disabilitas sisa (Walling & Dickson, 2013). Sekitar 40% dari pasien GBS ini
mengalami kelemahan pernafasan atau orofaringeal. Keluhan umum yang
dilaporkan antara lain: dyspnea saat aktivitas, sesak nafas, kesulitan menelan.
Kegagalan ventilasi dengan adanya gangguan pernafasan terjadi pada hingga
sepertiga pasien pada beberapa waktu selama perjalana penyakit (Andary et al.,
2016). Rata-rata durasi antara onset terjadinya kelemahan pernafasan dan gagal
pernafasan dilaporkan antara 2 sampai 3 minggu (Dhadke et al., 2013). Jika
terjadi kegagalan pernafasan akan memicu terjadinya kematian pada pasien.
36
4. Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial atau yang juga disebut hospital-required infection
adalah infeksi yang dialami oleh pasien yang didapatkan dari rumah sakit dan
infeksi tersebut bukan merupakan penyebab awal pasien dirawat di rumah sakit.
Infeksi ini terjadi pada pasien yang tidak mengalami infeksi saat masuk rumah
sakit tetapi mulai timbul selama pasien dirawat di rumah sakit atau fasilitas
kesehatan lainnya. Banyak faktor yang memicu timbulnya infeksi nosokomial ini
antara lain menurunnya imunitas pasien, peningkatan jenis prosedur medis dan
teknik invasif yang meningkatkan potensi rute terjadinya infeksi, serta penyebaran
bakteri yang telah resisten antibiotik di dalam populasi rumah sakit (WHO, 2002).
Infeksi nosokomial juga dapat terjadi pada pasien GBS, terutama pasien
yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU) dalam jangka waktu yang lama.
Pneumonia nosokomial atau yang disebut Ventilator-Associated Pneumonia
(VAP) merupakan infeksi yang paling sering terjadi pada pasien dengan ventilator
di ICU. VAP ini terjadi pada pasien dengan ventilasi mekanis berupa intubasi
endotrakeal dan risiko komplikasi ini meningkat seiring dengan peningkatan lama
penggunaan intubasi. Infeksi nosokomial lain yang dapat terjadi pada pasien GBS
adalah infeksi saluran kencing dan infeksi pada akses intravena pasien (Aggarwal
et al., 2003; WHO, 2002). Infeksi nosokomial ini dapat meningkatkan tingkat
morbiditas dan mortalitas pasien GBS, oleh karena itu penanganan tindakan medis
dan pemberian antibiotik yang tepat dapat mencegah timbulnya komplikasi
infeksi nosokomial tersebut.
a. Hospital-Acquired Pneumoniae (HAP)
Hospital-Acquired Pneumoniae (HAP) adalah infeksi pneumonia yang
terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di rumah sakit dan terbebas dari semua
infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit. HAP dapat disebabkan oleh
kuman yang tidak multi drug resistance (MDR) misalnya S.pneumoniae, H.
influenzae, Methicilin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA), dan kuman MDR
misalnya Pseudomonas aeruginosa, Estherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
Acinetobacter spp dan Gram positif seperti Methicillin Resistance Staphylococcus
aureus (MRSA) (PDPI, 2003). Berikut adalah skema patogenesis HAP dan VAP
yang dapat dilihat pada (Gambar 2.14).
39
(Putra, 2011). Infeksi ini merupakan salah satu infeksi nosokomial yang sering
terjadi karena dengan tingkat morbiditas yang tinggi, dan apabila terjadi
komplikasi kateterisasi vena sentral maka pasien akan semakin lama tinggal di
rumah sakit dan semakin tinggi biaya yang dikeluarkan oleh pasien (Fletcher,
2005).
Jenis bakteri yang ditemukan pada infeksi ini adalah Staphylococcus sp
(41,9%), Bacillus sp (16,1%), Pseudomonas aeruginosa (12,9%), Klebsiella sp
(6,5%), Enterobacter sp (6,5%), Estherichia coli (3,2%), Gaptya tetragena
(3,2%), Kuman Colifor (3,2%). Faktor umur, jenis kelamin, kecepatan tetesan,
lama pemasangan, pemberian obat-obat intravena dan pola penyakit tidak
mempengaruhi terjadinya infeksi pada kolonisasi mikroorganisme (Putra, 2011).
e. Sepsis
Sepsis berasal dari sumber infeksi yang terdapat pada tubuh, seperti kulit,
saluran kemih, rongga peritoneal, paru-paru dan lain-lain. Setelah itu tubuh
melepaskan antigen yang menimbulkan respon inflamasi sistemik yang bertujuan
untuk membatasi dan menghilangkan patogen yang menyerang. Banyak faktor
lain yang dapat menginduksi inflamasi sistemik yaitu endotoksin yang berasal dari
Gram negatif, eksotoksin yang berasal dari bakteri Gram positif,
lipoarabinomannan mycobacteria, serta mannoprotein dan ß-glucan jamur.
Komponen mikrobial diidentifikasi oleh pola spesifik molekul yang dikenalu (sel
CD14 dan Toll-like receptors), proses kompleks ini mengaktivasi seluler yang
terdiri dari pelepasan sitokin ; aktivasi neutrofil, monosit, dan sel esdotelial;
keterlibatan neuroendokrin; dan aktivasi komplemen, koagulasi dan sistem
fibrinolitik (Karnatovskaia, 2012).
Progresivitas klinik meliputi:
1. Infeksi berasal dari sumber infeksi yang terdapat pada tubuh
2. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)
Pasien didiagnosa SIRS apabila mempunyai dua hal atau lebih dari gejala berikut:
Suhu tubuh diatas 38C atau dibawah 36C
Heart rate diatas 90x per menit
Respiratory rate diatas 20x per menit atau PaCO2 dibawah 32 mmHg
White Blood Cell (WBC) lebih dari 12.000 sel/μL atau dibawah 4.000sel/μL
42
lebih banyak ketersediaannya, lebih sedikit usaha intensif, dan lebih sedikit efek
samping dan komplikasi, namun biayanya sangat mahal (Bahrudin, 2013).
Dosis dari IVIG biasanya dilakukan dengan menggunakan total berat
badan. Dosis efektif dari IVIG untuk inflamasi pada neuropati adalah 2g/kgBB
biasanya dibagi menjadi 2 sampai 5 hari, dengan kata lain dosis yang diberikan
sebesar 0,4g/kgBB selama 5 hari berturut-turut (Saderholm, 2010). IVIG juga
diindikasikan untuk mengatasi kelemahan otot dan gangguan pernafasan pada
GBS dengan dosis standar yang sama untuk suatu rejimen yaitu 2g/kgBB, yang
diberikan 0,4 gr/kgBB/hari selama lima hari berturut-turut (Tandel et al., 2016).
Dosis terapi khas IVIG secara empiris juga telah ditetapkan pada dosis 2g/kg
diberikan dalam dua sampai lima dosis harian. Total dosis maksimum untuk
gangguan tertentu telah berubah-ubah, dan belum ada penelitian menemukan
efikasi dosis yang telah dilakukan. Pada pasien yang merespon terhadap IVIG,
dosis pemeliharaan diperlukan, biasanya dengan 1g/kg bulanan, tetapi frekuensi
yang tepat dan dosis harus ditentukan berdasarkan durasi dan tingkat efikasi/
manfaat klinis (Lünemann et al., 2015). Pada pasien dengan tingkat kepararahan
penyakit yang lebih durasi pemberian IVIG lebih lama (6 hari) akan memberikan
keuntungan (EL-Said, 2014).
Pemberian IVIG adalah secara intravena drip. Pada pasien yang
menggunakan lebih dari satu obat intravena, maka IVIG diberikan melalui jalur
intravena lain yang terpisah karena terdapat obat-obat yang berpresipitasi jika
kontak dengan IVIG, misalnya furosemid dan diazepam (Immune Deficiency
Foundation, 2012). Sediaan yang tersedia dan sering digunakan di Indonesia saat
ini adalah Gammaras Plasma Immunoglobulin G IV (Human) 2,5 g (5%) . Dosis
untuk GBS: 400mg/kg BB selama 3-7 hari. Kemasan yang tersedia Vial 2,5 g
IVIG/50ml. Diproduksi oleh Combiphar (ISO vol 48, 2013; e-katalog, 2016).
1. Farmakokinetika dan Farmakodinamik IVIG
Data farmakokinetik sangat penting untuk mendukung aktivitas
farmakologi dan efektifitas dari suatu obat dan dapat membedakan antara satu
produk dengan produk yang lain. Parameter farmakokinetik antara lain adalah
waktu paruh, AUC, volume distribusi, C max, t max, dan laju eliminasi (EMA,
2010).
52
Kadar IgG dalam serum mencapai puncak setelah 3 hari pemberian terapi
IgIV (Kuitwaard et al., 2009). Dosis yang diberikan adalah 0,4g/kg setiap 3-4
minggu dan akan mencapai keadaan steady state pada 4-6 bulan (Koleba &
Ensom, 2006). Dalam interval waktu 3-4minggu tersebut diperkirakan sebesar 36-
48% dari imunoglobulin dimetabolisme dalam tubuh. Untuk perhitungan antara
AUC vs waktu setelah pemberian IVIG ini dapat menghasilkan bioavaibilitas
sebesar 100% (Berger, 2011). Dalam beberapa studi menunjukkan bahwa waktu
paruh dari imunoglobulin adalah sekitar 3-4 minggu (Berger et al., 2013; Berger,
2011; Kuitwaard et al., 2009; Koleba & Ensom, 2006).
Mekanisme IVIG dalam menekan inflamasi adalah dengan cara
menghambat reseptor Fc. IVIG ini dapat bekerja melalui banyak tahap setelah
disuntikkan pada pasien maka akan membentuk sejenis kompleks imun dalam
tubuh pasien. Ketika kompleks imun terbentuk, kompleks imun tersebut akan
berinteraksi dengan reseptor Fc yang aktif pada sel dendrit, kemudian memediasi
efek antiinflamasi yang membantu mengurangi keparahan gejala penyakit
autoimun atau inflamasi. Selanjutnya, antibodi pendonor dapat berikatan secara
langsung dengan antibodi abnormal dalam tubuh resipien sehingga dapat
membuang antibodi yang abnormal tersebut. Selain itu, antibodi yang jumlahnya
banyak dapat merangsang sistem komplemen dalam tubuh pasien sehingga
meningkatkan pembuangan semua antibodi yang berbahaya. IVIG juga
menghambat reseptor antibodi sel imun (sel makrofag), sehingga mengurangi
kerusakan yang disebabkan oleh sel makrofag atau pengaturan fogositosis dari
makrofag. IVIG juga dapat mengatur respon imun dengan bereaksi dengan
sejumlah reseptor membran pada sel T, sel B dan monosit yang bisa menyebabkan
autoreaktivitas dan induksi terhadap toleransi tubuh sendiri (Dhadka et al., 2010,
Berger et al., 2013; Maddur et al., 2014; Lünemann et al., 2015). Suatu laporan
terbaru menyatakan bahwa penggunaan IVIG untuk mengaktivasi sel T untuk
berikatan dengan mikroglia berkurang, akibatnya terjadi penurunan TNF alfa dan
IL 10. Hal ini semakin memperdalam pengertian tentang bagaimana efek IVIG
terhadap inflamasi pada sistem saraf pasien dengan penyakit autoimun (Suwangto,
2010) seperti GBS.
53
terkadang juga diresepkan secara bebas untuk penyakit dengan data yang lemah
dan tidak berbasis bukti, sehingga obat ini kadang-kadang ditolak oleh operator
asuransi, organisasi perawatan kesehatan dan instansi pemerintah karena biaya
tinggi, bahkan untuk gangguan dengan khasiat berbasis bukti. Kebijaksanaan
penggunaan obat ini, alasan, kebutuhan, dan penilaian berkala tentang efektivitas
lanjutan sangat dianjurkan untuk menghindari penggunaan yang tidak perlu atau
pengobatan berlebih (Berger et al., 2013).
3. Interaksi Obat IVIG
Dalam pemberian terapi imunoglobulin ini perlu diperhatikan dengan baik,
karena kemungkinan adanya interaksi dengan pengunaan obat lainnya.
Berdasarkan suatu studi menyatakan bahwa pemberian vaksin seperti MMR dan
varicella sesaat sebelum, bersamaan ataupun setelah pemberian imunoglobulin
dapat mengganggu efektivitas dari vaksin tersebut. Imunoglobulin dapat
mencegah sistem kekebalan tubuh dalam menanggapi adanya vaksin yang
diberikan. Vaksin mungkin tidak dapat bekerja sehingga upaya pencegahan pada
suatu penyakit tertentu menjadi tidak efektif. Durasi penghambatan vaksin MMR
(Mumps, Measless, dan Rubella) dan varicella tergantung pada dosis
imunoglobulin yang diberikan. Vaksin MMR dan varicella harus diberikan lebih
dari 2 minggu sebelum menerima terapi imunoglobulin. Imunoglobulin dapat
mengganggu respon imun dari vaksin MMR dan varicella replikasi virus dan
stimulasi imunitas biasanya berlangsung 2-3 minggu setelah pemeberian vaksin.
Jika interval antara pemberian vaksin dengan imunoglobulin lebih dari 14 hari
maka vaksinasi tidak perlu diulang, tetapi jika interval adalah kurang dari 14 hari
maka pemberian vaksin perlu diulang. Vaksin harus diberikan pada lokasi yang
berbeda dari injeksi imunoglobulin (Kroger & Strikas, 2014).
Imunoglobulin juga tidak dapat diberikan bersamaan dengan fenitoin.
Sebuah laporan menyatakan bahwa pasien mengalami hipersensitivitas
miokarditis yang akhirnya meninggal. Terjadinya hipersensitivitas miokarditis
tersebut akibat pemakaian jangka panjang dari fenitoin yang dilanjutkan dengan
pemberian terapi imunoglobulin. Selain itu, bisa juga pasien mengalami hipotensi
yang pada akhirnya juga dapat meninggal. Karena komplikasi ini sangat serius,
55
maka perlu pemantauan terhadap jumlah leukosit dan eusinofil jika imunoglobulin
diberikan bersama dengan fenitoin (Baxter et al., 2010).
Pemberian imunoglobulin yang bersamaan dengan antibiotik misalnya
benzilpenisilin dan ceftriaxon dapat meningkatkan mortalitas dari pasien sebesar
88%. Sebaiknya, dilakukan pemilihan terapi yang sesuai antara antibiotik atau
imunoglobulin sebagai anti infeksi karena penggunaan bersama sebagai anti
infeksi masih belum jelas (Baxter et al., 2010). Imunoglobulin juga tidak dapat
diberikan bersama dengan azatriopin karena azatriopin dapat menyebabkan
penurunan efek memblok neuromuskular, tetapi dalam studi prospektif dinyatakan
bahwa interaksi dengan azatriopin ini tidak menunjukkan hasil yang signifikan.
Keadaan seperti itu terjadi pada siklosporin jika diberikan bersamaan dengan
terapi imunoglobulin (Baxter et al., 2010).
Beberapa terapi yang diberikan pada pasien GBS akan lebih baik bila
diberikan secara tunggal. Kombinasi imunoglobulin intravena dan PE diketahui
tidak dapat memberikan efek yang signifikan jika dibandingkan dengan
pemberian terapi secara tunggal (Meena et al., 2011; van Doorn, 2013). PE dapat
menghilangkan imunoglobulin yang diberikan pada pasien GBS tersebut
(Rabinstein, 2007). Begitu juga dengan penggunaan IVIG bersamaan dengan
kortikosteroid seperti metilprednisolon yang mana akan lebih efektif apabila
diberikan IVIG saja (Meena et al., 2011).
B. Plasma Exchange (PE)
Plasma exchange juga merupakan terapi efektif dan dapat mempercepat
pemulihan pada GBS. Plasma exchange efektif dan sering digunakan pada kasus
GBS ringan, sedang sampai berat sesuai tingkat keparahan. Apabila gejala ringan
dapat diberikan sebanyak 2 sesi PE, apabila gejala sedang dapat diberikan 4 sesi,
dan bila gejala berat/parah dapat diberikan sampai 6 sesi (Meena et al., 2011).
Indikasi PE sama dengan IVIG. Mekanisme PE ini adalah membuang
imunologlobulin dan antibodi dari serum dengan cara memindahkan darah tubuh
dan menggantinya dengan fresh frozen plasma, albumin, atau salin. Selain itu PE
dapat menghilangkan komplek imun dan konstituen sitotoksik dari serum dan
telah terbukti bahwa sekitar 50% dapat mempercepat pemulihan pasien. PE dapat
mempercepat pemulihan tanpa menyebabkan kerusakan tetapi tetap ada resiko
56
Gambar 2.17 Efek Glukokortikoid pada sistem sel imun (Zen et.al, 2011)
3. Deksametason
Deksametason (9α-fluoro-16α-metilprednisolon) memiliki gugus 9α-F
yang bersifat menarik elektron. Gugus penarik elektron dapat menginduksi gugus
11ß-OH, sehingga deksametason menjadi lebih asam dan meningkatkan
kemampuan ikatan dengan reseptor glukokortikoid (Sweetman, 2009).
pengobatan pada GBS (Japardi, 2002; Hakim, 2011). Terapi suportif yang dapat
diberikan diantaranya sebagai berikut:
A. Analgesik
Nyeri neuropati dapat terjadi pada sejumlah besar pasien GBS oleh sebab
itu pengobatan yang dapat diberikan adalah analgesik (Sebastian, 2012). Beberapa
jenis analgesik yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1). Non-opioid
Dalam pemilihan obat analgesik harus mempertimbangkan efektifitas dari
analgesirk serta efek samping yang minimal dapat terjadi pada pasien.
Acetaminophen, aspirin dan NSAID dapat digunakan untuk mengatasi nyeri
ringan sampai sedang. Obat-obat ini (kecuali acetaminophen) bekerja dengan cara
menghambat pembentukan prostaganldin yang diproduksi sebagai respon dari
stimulan negatif, akibatnya akan terjadi penurunan rasa nyeri yang diterima sistem
saraf pusat. Penggunaan obat NSAID ini dikatakan kurang efektif pada pasien
GBS serta kemungkinan terjadinya efek samping berupa pendarahan saluran
cerna, tukak lambung. NSAID seperti aspirin tampaknya efektif hanya untu
mengobati nyeri sendi dan otot pada pasien GBS (Baumann & Strickland, 2008;
Liu et al., 2013).
2). Opioid
Analgesik opioid dapat juga diberikan pada pasien GBS. Efek dari
analgesik opioid relatif selektif. Pada kadar terapetik normal, opioid tidak
mengganggu fungsi sensorik seperti saraf peraba, penglihatan, pendengaran, tetapi
jika dosis ditingkatkan dapat menimbulkan efek samping seperti sedasi, mual,
muntah, konstipasi (Baumaan & Strickland, 2008). Analgesik opioid yang
digunakan pada pasien GBS yaitu infus morfin secra intravena dengan dosis 1-7
mg/jam (Burns, 2008). Untuk mengatasi nyeri yang parah dapat digunakan injeksi
morfin epidural dengan dosis 1-4 mg secara bolus setiap 8-24 jam (Hughes et al,
2005).
3). Analgesik pusat
Contoh analgesik pusat yang dapat digunakan adalah tramadol. Tramadol
bekerja dengan cara menghambat ambilan kembali norepinefrin dan serotonin
serta sebagai μ opioid receptor binding. Efek samping tramadol adalah pusing,
68
sangat dibutuhkan untuk menjaga sistem saraf agar dapat bekerja dengan baik.
Vitamin ini terdiri dari vitamin B1, B6, dan B12 yang berfungsi untuk melindungi
dan membantu perbaikan kerusakan sel saraf (PERDOSSI, 2012), sehingga
pasien GBS yang mengalami gangguan neuropati dapat menjadi lebih baik dengan
pemberian asupan vitamin neurotropik untuk melindungi dari degenerasi/
kerusakan dan membantu dalam proses regenerasi/ perbaikan saraf selama fase
progresivitas penyakit GBS.
Penyebab neuropati adalah terganggunya metabolisme sel saraf akibat
suatu penyakit, kekurangan vitamin neurotropik, dan bertambahnya usia. Vitamin
B1 (Thiamine) berfungsi dalam metabolisme energi, yaitu memecah karbohidrat
menjadi glukosa. Glukosa tersebut merupakan sumber energi untuk kinerja
sisitem saraf. Vitamin B6 berperan dalam metabolisme asam amino dari protein,
membentuk sel darah merah, dan memelihara fungsi normal saraf. Selanjutnya
Vitamin B12 (Cyanocobalamin) berperan dalam sintesa asam nukleat dan
menjaga kesehatan sel saraf sehingga mengurangi resiko neuropati (MEDIKA,
2014). Pemberian vitamin B1, B6 dan B12 terbukti efisien dalam penurunan
gejala neuropati pada sekitar 87,4% pasien dari 310 pasien neuropati perifer yang
diakibatkan oleh suatu penyakit (Rizvi, 2013).
1). Vitamin B1 (Tiamin)
a. Struktur Kimia Tiamin
Tiamin adalah senyawa yang larut dalam air yang relatif stabil dalam
panas dan asam, yang mengandung pirimidin dan inti thiazole dihubungkan oleh
jembatan metilen(Gambar 2.23).Derivatif dari tiamin termasuk mono-, pyro- dan
bentuk fosfat dan sintesis hidroklorida dan sedikit kurang larut dalam air garam
mononitrate. Derivat tiamin non sintesis yang larut dalam air tersedia tetapi tidak
digunakan dalam suplemen makanan (EVM, 2003).
Tiamin merupakan koenzim utama dalam metabolisme karbohidrat dalam
bentuk difosfat (tiamin pirofosfat, karboksilase). Tiamain berperan dalam
penyediaan energi untuk jaringan saraf dengan memetabolisme glukosa.
Kekurangan tiamin dapat menyebabkan sindroma beri-beri yang dicirikan dengan
terjadinya neuropati perifer, kelemahan dan kelelahan otot, paralisis, asidosis
lakta, gagal jantung serta udema (Jain, 2011; Sweetman, 2009).
70
saraf perifer dengan gejala rasa berat dan lemah pada tungkai, gangguan sensorik
seperti hiperestesia, anastesia, rasa nyeri dan rasa terbakar. Kekuatan otot semaki
berkurang dan pada keadaan berat dapat terjadi kelumpuhan tungkai. Kelainan
pada SSP dapat berupa depresi, kelelahan, lekas tersinggung, serta menurunnya
kemampuan konsentrasi dan daya ingat. Gejala yang timbul pada sisitem
kardiovaskular dapat berupa gejala infusiensi jantung antara lain sesak nafas
setelah kerja jasmani, palpitasi, takikardi, gangguan ritme serta pembesaran
jantung dan perubahan elektrokardiogram. Pada saluran cerna gangguan dapat
berupa konstipasi, nafsu makan berkurang, perasaan tertekan dan nyeri di daerah
epigastrium. Beri-beri basah adalah bentuk defisiensi tiamin disertai edema.
Bengkak ini terjadi karena hipoprotrombinemia dan gangguan fungsi jantung
(Dewoto, 2007).
c. Farmakodinamik dan Fisiologi Tiamin
Pada dosis kecil atau dosis terapi tiamin tidak diperlihatkan efek
farmakodinamik yang nyata. Pada pemberian IV secara cepat dapat terjadi efek
langsung pda pembuluh darah perifer berupa vasodilatasi ringan, disertai
penurunan tekanan darah yang bersifat sementara. Meskipun tiamin berperan
dalam metabolisme karbohidrat, pemberian dosis besar tidak mempengaruhi kadar
gula darah. Dosis toksisk pada hewan coba adalah 125-350mg/kgBB secara IV
dan kira-kira 40 kalinya untuk pemmberian oral. Pada manusia reaksi toksisk
setelah pemberian paranteral biasanya terjadi karena reaksi alergi.Tiamin
pirofosfat adalah bentuk aktif tiamin yang berfungsi sebagai koenzim karboksilase
asam piruvat dan asam ketoglutarat. Peningkatan kadar asam piruvat dalam darah
merupakan salah satu tanda defisiensi tiamin (Dewoto, 2007).
d. Farmakokinetik Tiamin
Absorbsi
Tiamin diabsorbsi melalui Na+ dependent active, proses carrier-mediated
pada konsentrasi rendah di jejunum. Difusi pasif di jejunum dan ileum
pada konsentrasi tinggi. Maksimum absorbsi per oral adalah 8-15mg/hari
(Riley, 2001).Absorbsi tiamin pada GIT menurun karena alkohol, sirosis
atau malabsorbsi. Rata-rata absorbsi tiamin pada GIT menurun karena
72
Gambar 2.24 Struktur Piridoksin dan variannya (Alvarado & Navarro, 2016)
Piridoksin merupakan vitamin yang larut dalam air yang terlibat terutama
dalam metabolisme asam amino, karbohidrat, dan metabolisme lemak, serta
metabolisme beberapa vitamin termasuk konversi triptofan untuk niacin.
Piridoksin diperlukan untuk pembentukan hemoglobin dan sintesis
neurotransmiter. Dalam alam vitamin ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu
piridoksin yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, piridoksal dan piridoksamin yang
terutama berasal dari hewan. Ketiga bentuk piridoksin tersebut dalam tubuh
diubah menjadi piridoksal fosfat (Dewoto & Wardhini, 2007; Fauci, 2012;
Sweetman, 2009).
b. Kebutuhan Harian Piridoksin
Kebutuhan manusia akan piridoksin berhubungan dengan konsumsi protein
yaitu kira-kira 2mg/100mg protein (Dewoto, 2007).
c. Defisiensi Piridoksin
Pada hewan coba defisiensi vitamin ini menimbulkan akrodinia dermatitis
dan penebalan cakar, telinga, hidung dan lain-lain. Pada manusia dapat timbul (1)
kelainan kulit berupa dermatitis seboroik dan peradangan pada selaput lendir
mulut dan lidah; (2) kelainan SSP berupa perangsangan sampai timbulnya kejang;
75
saraf/regenerasi akson selama fase pemulihan GBS. Regenerasi akson ini sangat
diharapkan agar dapat meminimalkan abnormalitas neurologik permanen pada
pasien GBS. Terapi neuroprotektan pada pasien GBS masih dalam tahap
penelitian, tetapi pemberian neuroprotektan diharapkan dapat memberikan
perbaikan klinis yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian imunosupresan
secara agresif (Zhang et al., 2011).
3). Cobalamin (Vitamin B12)
a. Struktur Kimia Cobalamin
dan saraf perifer dapat diakibatkan oleh kekurangan vitamin B12. Kelainan
neurologik pada defisiensi vitamin B12 diduga karena kerusakan pada selubung
mielin, namun mekanisme yang past belum dapat dijelaskan. Pembentukan bagian
lemak dari selubung mielin memerlukan isomerasi metilmalonat menjadi suksinat
yang menggunakan deoksiadenosilkobalamin sebagai kofaktor. Defisiensi vitamin
B12 dapat didiagnosis dengan mengukur kadar vitamin B12 dalam plasma (Miller
et.al, 2005; Dewoto & Wardhini, 2007)
Dalam sebuah studi kekurangan vitamin B12 dapat dengan mudah
merusak mielin yang menjadi target serangan autoimun, kekurangan vitamin B12
berhubungan dengan menurunnya aktivitas imunomodulator, defisiensi vitamin
B12 berhubungan dengan menurunnya aktivitas neurotropik, aktivitas-infalmasi
dan demielinasi berhubungan dengan proses remielinasi yang dengan proses
remielinasi yang dengan pasti membutuhkan konsumsi vitamin B12, oleh karena
itu vitamin B12 berperan sebagai kofaktor dalam pembentukan mielin, memiliki
efek imunomudulator dan neurotropik (Miller et.al, 2005).
f. Efek kobalamin pada proses remielinasi
Mekanisme kerusakan saraf terkait dengan defisiensi B12 itu sendiri, serta
dengan produksi metabolitterkait dengan yang terakhir (peningkatan asam
methylmalonic) dan penurunan S-adenosylmethionine (SAM), yang berpartisipasi
dalam konversi Hcy menjadi metabolit yang berguna. Sebagai tambahan, B12
diperlukan sebagai donor metil dalam sintesis poliamina dan reaksi transmetilasi.
Gambar 2.26 menunjukkan mekanisme yang berkaitan dengan proses kerusakan
pada serat saraf. Demikian juga, kekurangan kobalamin dikaitkan dengan
peningkatan faktor inti kappa-Beta (FN-kB), yang meningkatkan peradangan,
karena faktor ini meningkatkan tingkat faktor nekrosis tumor alfa (FNT- α), reaksi
kekebalan dan apoptosis. Mekanisme untuk mengurangi kerusakan serat saraf
didasarkan pada penurunan produk akhir dari glikosilasi protein lanjutan,
penghambatan jalur diacylglycerol (DAG), yang merupakan jalur aktivasi protein
kinase (amputasi ampuh protein kinase). Demikian juga, DAG juga mengatur
jalur heksosamin, mengatur dan memperbaiki jalur pentosa melalui jalur
metabolisme alternatif (Alvarado & Noverro, 2016).
83
Gambar 2.26 Manifestasi neurologi dari defisiensi vitamin B12 (Alvarado &
Navarro, 2016)
g. Farmakokinetik Cobalamin
Absorbsi
Sianokobalamin diabsorbsi baik dan cepat setelah pemberian IM dan
subkutan. Kadar dalam plasma mencapai puncak dalam waktu 1 jam setelah
suntikan IM. Hidroksokobalamin dan koenzim B12 lebih lambat diabsorbsi,
karena ikatannya yang lebih kuat dengan protein. Absorbsi peroral berlangsung
lambat di ileum; kadar puncak dicapai 8-12 jam setelah pemberian 3 μg.
Absorbsi ini berlangsung dengan dua mekanisme, yaitu dengan perantaraan
FIC dan absorbsi secara langsung. Absorbsi dengan perantara FIC sangat
penting dan sebagian besar anemia megaloblastik disebabkan oleh gangguan
mekanisme ini. Setelah dibebaskan dari ikatan protein vitamin B12 dari
makanan akan membentuk kompleks B12-FIC. FIC hanya mampu mengikat
sejumlah 1,5-3 μg vitamin B12. Kompleks ini masuk ke ileum untuk
diabsorbsi. Untuk perlekatan ini diperlukan ion kalsium (ion magnesium dapat
juga membantu) dan suasana pH sekitar 6. Absorbsi berlangsung dengan
mekanisme pinositosis oleh sel mukosa ileum. FIC yang dihasilkan oleh sel
84
Konsentrasi serum menurun pada penggunaan kontrasepsi oral. Interaksi ini harus
diperhatikan saat melakukan tes konsentrasi darah. Kloramfenikol parenteral
mungkin juga menurunkan efek vitamin B12 pada anemia (Sweetman, 2009).
i. Dosis dan Penggunaan Cobalamin
Sianokobalamin biasa digunakan untuk rute IM atau SC, karena setelah
injeksi IV, ekskresi berlangsung cepat, maka rute IV disarankan dihindari.
Hidroksokobalamin hanya melalui rute injeksi IM. Sianokobalamin dan
kobalamin disarankan rute PO.
a. Asupan makanan harian yang dianjurkan (RDA)
Anak-anak : 0,3-2 μg
Dewasa : 2 μg
b. Defisiensi nutrisi
Gel intranasal : 500 μg
Oral : 25-250 μg
c. Kekurangan vitamin B12
Anak-anak Tanda neurologi : 100 μg/hari selama 10-15 hari (dosis
total 1-1,5 mg)
Tanda hematologi : 10=50 μg/hari selama 5-10 hari
diikuti 100-250 μg/dosis tiap 2-4 minggu
Dewasa Awal : 30 μg/hari selama 5-10 hari
Pemeliharaan : 100-200 μg/bulan
d. Neuropati perifer
Dewasa : 500 μg/ hari rute IM atauIV 3x/minggu
(dosis disesuaikan dengan usia pasien dan gejala yang dialami pasien)
(Lacy et.al, 2003)
j. Bentuk Sediaan
Gel, intranasal (Nascobal) : 500 μg/0,1 ml (5 ml)
Injeksi : 100 μg/ml (1 ml, 10 ml, 30 ml); 1000
μg/ml (1ml, 10ml, 30 ml)
Tablet (OTC) : 50 μg, 100 μg, 250 μg, 500 μg, 1000μg
(Lacy et.al, 2003)
86
Resistensi
Resistensi terhadap eritromisin biasanya dikode dalam plasmid. Telah
diketahui adanya tiga mekanisme resistensinya: 1). Penurunan permeabilitas
membran sel atau efluks aktif; 2). Produksi esterase oleh Enterobactericeae
yang menghidrolisis makrolida; dan 3). Modifikasi lokasi pengikatan
ribosomal (proteksi ribosomal) melalui mutasi kromosom atau melalui metilase
konstitusif atau terinduksi makrolida. Efluks dan produksi metilase merupakan
mekanisme resistensi terpenting pada Gram positif (Chambers, 2010).
Efek Samping
Efek Samping yang mungkin terjadi : a). Efek pada saluran cerna
(anoreksia, mual, muntah dan diare) pada pemberian oral; b). Toksisitas di hati
(eritomisin, khususnya estolat dapat menghasilkan hepatitis kolestatik akut
akibat reaksi hipersensitivitas); dan c). interaksi obat yaitu metabolit
eritromisin dapat menghambat enzim sitokrom P450 sehingga meningkatkan
konsentrasi berbagai obat dalam serum, seperti teofilin, antikoagulan oral,
siklosporin, dan metilprednisolon (Chambers, 2010).
b. Azitromisin
Azitromisin berbeda dari eritromicin dan klaritromisin terutama dalam hal
sifat farmakokinetiknya. Dosis azitromisin sebesar 500 mg menghasilkan kadar
dalam serum yang relatif rendah sekitar 0,4 mcg/mL. Akakn tetapi, azitromisin
berpenetrasi dengan sangat baik ke dalam sebagian besar jaringan (kecuali cairan
serebrospinal) dan sel fagositik, dengan kadar dalam jaringan melebihi kadar
serum sebesar 10 hingga 100 kali lipat. Obat ini dilepaskan secara lambat dari
jaringan (waktu paruh dalam jaringan 2-4 hari) dan menghasilkan waktu paruh
eliminasi hampi 3 hari. Sifatnya yang unik ini memungkinkan pemberian dosis
sekali sehari dan pemendekanlama terapi pada banyak kasus. Azitromisin cepat
diserap dan ditoleransi dengan baik per oral. Obat ini sebaiknya diberikan 1 jam
sebelum atau 2 jam setelah makan. Antasid aluminium dan magnesium tidak
mengubah bioavaibilitasnya tetapi menunda absorbsi dan menurunkan kadar
puncaknya dalam serum. Karena memiliki cincin lakton beranggotakan 15,
azitromisin tidak menonaktifkan enzim sitokrom P450 sehingga tidak terdapat
interaksi obat yang terjadi pada eritromisin dan klaritromisin (Chambers, 2010).
89
c. Klaritromisin
Klaritromisin memiliki stabilitas asam serta absorpsi oral yang lebih baik
daripada eritromisin. Dosis 500 mg menghasilkan kadar serum dalam sebesar 2-3
mcg/mL. Waktu paruh klaritromisin yang lebih panjang (6jam) daripada
eritromisin memungkinkan pemberian dosis sebanyak 2x sehari. Dosis yang
dianjurkan adalah 250-500 mg 2x sehari atau 1g untuk sediaan lepas lambat
sebanyak 1x sehari. Penetrasi klaritromisin pada kebanyakan jaringan cukup baik,
dengan kadar jaringan yang serupa atau melebihi kadar dalam serum (Chambers,
2010).
d. Ketolida
Ketolida merupakan makrolida semisintesis. Contoh ketolida yang
disetujui untuk penggunaan klinis adalah telitromisin. Bioavaibilitas telitromisin
57% dan penetrasinya pada jaringan dan intrasel umumnya baik. Telitromisin
dimetabolisme dalam hati dan dieliminasi oleh kombinasi jalur ekskresi empedu
dan urin. Obat ini diberikan dalam dosis sekali sehari sebesar 800 mg dan
memunculkan kadar puncak dalam serum sekitar 2 mcg/mL. Telitromisin
diindikasikan untuk terapi infeksi saluran pernafasan, termasuk peneumonia
bakterial, ekserbasi akut, bronkitis kronis, sinusitis dan faringitis akibat
streptokokus. Telitromisin merupakan penghambat sistem enzim CYP3A4 yang
reversibel dan dapat sedikit memperpanjang interval QTc (Chambers, 2010).
B. Aminoglikosida
Aminoglikosida adalah golongan antibiotika bakterisidal yang terdiri dari
dua atau lebih gugus gula amino yang terikat lewat ikatan glikosidik pada inti
heksosa. Aminoglikosida bersifat basa kuat, sangat polar dan stabilitasnya cukup
baik pada suhu kamar (Gunawan, 2009).
Mekanisme kerja
Aminoglikosida merupakan inhibitor irreversibel sintesis protein.
Proses awal aktivitas tersebut adalah difusi pasif melalui kanal pori pada
membran luar bakteri. Obat ini selanjutnya ditranspor secara aktif melalui
membran sel bakteri ke dalam sitoplasma melalui suatu proses yang
bergantung pada oksigen. Gradien elektrokimiawi transmembran menyuplai
energi untuk proses tersebut, dan transpor aktif dirangkaikan dengan suatu
90
orang dewasa adalh 0,5-2 g IV setiap 8 jam. Obat ini juga dapat diberikan jalur
IM. Ekskresi obat ini terjadi melalui ginjal sehingga penyesuaian dosis harus
dilakukan untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal (Chambers, 2010).
b. Sefalosporin Generasi Kedua (II)
Kurang aktif terhadap bakteri Gram positif, tetapi efektif untuk bakteri
Gram negatif. Contoh obat: Sefamandol, Sefoksitin, sefaklor, sefuroksim.
Farmakokinetika
Sefaklor, sefuroksim, Sefprozil dapat diberikan per oral. Dosis untuk
orang dewasa biasanya 10-15mg/kg/hari, yang diberikan dalam dua sampai empat
dosis terbagi. Anak-anak harus diberikan 20-40 mg/kg/hari hingga mencapai dosis
maksimum 1g/hari. Kecuali untul sefuroksim aksetil, obat ini diperkirakan tidak
aktif terhadap pneumokokus yang resisten penisilin dan harus digunkan hati-hati
jika memang harus digunakan. Setelah infus IV sebanyak 1g, kadar serum
biasanya 75-125 mcg/mL untuk sebagian besar sefalosporin generasi kedua.
Pemberian IM menimbulkan nyeri sehingga harus dihindari. Dosis dan interval
pemberian bervariasi untuk setiap agen. Tedapat perbedaan nyata antar agen
dalam hal waktu paruh, ikatan protein, dan interval antar dosis. Semua obat ini
dibersihkan oleh ginjal sehingga membutuhkan penysuaian dosis pada gagal
ginjal (Chambers, 2010).
c. Sefalosporin Generasi Ketiga (III)
Sangat aktif terhadap Enterobacteriacea, termasuk strain penghasil
penisilinase. Contoh obat: Sefotaksim, Seftriakson, Sefoperazon, Seftazidim,
Sefiksim.
Farmakokinaetika
Infus IV 1g sefalosporin paranteral menghasilkan kadar serum sebesar 60-
40 mcg/mL. Sefalosporin (kecuali sefoperazon dan semua sefalosporin oral) dapat
mempenetrasi cairan dan jaringan tubuh dengan baik dan mencapai kadar dalam
cairan serebrospinal yang cukup untuk menghambat kebanyakan patogen,
termasuk batang gram negatif, kecuali pseudomonas. Waktu paruh dan interval
pemberian obat sangat bervariasi. Seftriakson (waktu paruh 7-8 jam) dapat
disuntikkan sekali tiap 24 jam pada dosis 15-50mg/kg/hari. Dosis tunggal sebesar
1g per hari cukup diberikan untuk kebanyakan infeksi berat, tetapi pada terapi
96
sehingga obat dibuat dalam sediaan bersama dengan lidokain 1% untuk pemberian
IV (Chambers, 2010)
Efek samping karbapenem yang paling sering terjadi adalah mual, muntah,
diare, ruam kulit, dan reaksi pada tempat infus. Kadar imipenem yang berlebihan
pada pasien gagal ginjal dapat menimbulkan kejang. Meropenem dan ertapenem
lebih jarang menimbulkan kejang dari pada imipenem. Pasien alergi terhadap
penisilin mungkin juga alergi terhadap karbapenem (Chambers, 2010).
E. Kuinolon
Dalam garis besarnya kuinolon dibagi menjadi dua kelompok yaitu
kuinolon dan fluorokuinolon. Kelompok fluorokuinolon mempunyai atom fluor
pada posisi enam dalam struktur molekulnya. Daya antibakteri fluorokuinolon
lebih kuat dibandingkan kelompok kuinolon lama. Selain itu kelompok obat ini
dapat diserap dengan baik pada pemebrian oral, dan beberapa derivatnya terdapat
dalam bentuk paranteral sehingga dapat digunakan untuk penanggulangan infeksi
berat. Khususnya yang disebabkan oleh gram negatif. Daya antibakteri terhadap
gram positif relatif lemah. Yang termasuk kelompok fluorokuinolon ini adalah
Siprofloksasin, pefloksasin, ofloksasin, norfloksasin, levofloksasin, flerosaksin
(Gunawan, 2009).
Mekanisme Kerja
Golongan kuinolon adalah menghambat kerja enzim DNA girase
(topoisomerase II) pada kuman dan bersifat bakterisidal. Enzim DNA girase
(topoisomerase II) berguna untuk menimbulkan relaksasi pada DNA yang
mengalami positive supercoiling (pilinana positif yang berlebihan) pada waktu
transkripsi dalam proses replikasi DNA. Sedangkan pada fluorokuinolon baru,
selain menghambat enzim topoisomerase II juga menghambat enzim
topoisomerase IV yang berfungsi dalam pemisahan DNA baru yang terbentuk
setelah proses replikasi DNA bakteri selesai (Gunawan, 2009).
Farmakokinetik
Setelah pemberian oral, fluorokuinolon diserap dengan baik
(bioavaibilitasnya 80-95%) dan terdistribusi secara luas dalam cairan tubuh dan
jaringan. Waktu paruhnya dalam serum berkisar dari 3-10 jam. Waktu paruh
levofloksasin, gemifloksasin, gatifloksasin dan moksifloksasin yang relatif
99
daya antibakteri yang cukup baik terhadap kuman gram poitif, gram negatif,
dan kuman atipik penyebab infeksi saluran pernafasan bawah (Gunawan,
2009).
2). Penggunaan Antibiotika
Antibiotika profilaksis adalah antibiotika yang dibrikan kepada penderita
sebelum terkena infeksi, tetapi diduga mempunyai peluang besar terjadinya
infeksi, bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi oleh mikroba yang
diperkirakan dapat timbul pada saat perawatan di ICU.
Antibiotika empiris adalah jenis antibiotika yang sering digunakan
sebelum patogen yang menjadi penyebab suatu penyakit diketahui. Antibiotika
empiris digunakan berdasarkan pengalaman yang didukung data klinik yang
sudah ada. Pemilihan jenis antibiotika diberikan berdasarkan perkiraan
kemungkinana kuman penyebabnya. Ini dapat didasarkan pada pengalaman yang
layak atau berdasarkana pada pola epidemiologi kuman setempat. Pertimbangan
utama dari terapi empiris ini adalah pengobatan infeksi sedini mungkin akan
memperkecil resiko komplikasi atau perkembangan lebih lanjut dari infeksinya
(Katzung, 2016).
Antibiotika definitif adalah terapi antibiotika pada infeksi dengan etiologi
yang sudah diketahui. Spesimen yang diadapatkan diproses melalui kultur
sehingga informasi yang didapat dapat dipercaya mengenai penyebab infeksi.
Terapu ini dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologis yang sudah
pasti, jenis kuman maupun spektrum kepekaannya terhadap antibiotika (Katzung,
2016).
Penggunaan antibiotik disesuaikan dengan pola resistensi kuman di rumah
sakit setempat masing-masing.Pemilihan jenis antibiotik dan cakram (disc
diffusion method) antibiotik yang digunakan di rumah sakit didasarkan pada
Kebijakan/ Pedoman Penggunaan Antibiotik, Pedoman Diagnosis dan Terapi/
Protokol Terapi serta Formularium Rumah Sakit yang disahkan oleh Direktur
Rumah Sakit. Prinsip pemilihan antibiotik meliputi :
Antibiotik yang disesuaikan dengan pola kuman lokal dan sensitifitas bakteri
Antibiotik yang bermutu
Antibiotik yang cost effective
101