Anda di halaman 1dari 97

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Sistem Saraf
2.1.1 Definisi Sistem Saraf
Sistem saraf adalah sistem koordinasi berupa penghantaran impuls saraf
ke susunan saraf pusat, pemrosesan impuls saraf dan pemberi tanggapan
rangsangan (Feriyawati, 2006). Sistem atau susunan saraf merupakan salah satu
bagian terkecil dari organ dalam tubuh, tetapi merupakan bagian yang paling
kompleks. Susunan saraf manusia mempunyai arus informasi yang cepat dengan
kecepatan pemrosesan yang tinggi dan tergantung pada aktivitas listrik (impuls
saraf) (Bahrudin, 2013).
Alur informasi pada sistem saraf dapat dipecah secara skematis menjadi
tiga tahap. Suatu stimulus eksternal atau internal yang mengenai organ-organ
sensorik akan menginduksi pembentukan impuls yang berjalan ke arah susunan
saraf pusat (SSP) (impuls afferent), terjadi proses pengolahan yang komplek pada
SSP (proses pengolahan informasi) dan sebagai hasil pengolahan, SSP
membentuk impuls yang berjalan ke arah perifer (impuls efferent) dan
mempengaruhi respons motorik terhadap stimulus (Bahrudin,2013).

Gambar 2.1 Fungsional Sistem Saraf (biru: sensorik; merah: motorik) (Bahrudin,
2013)

5
6

2.1.2 Susunan Sistem Saraf


Susunan sistem saraf terbagi secara anatomi yang terdiri dari saraf pusat
(otak dan medula spinalis) dan saraf tepi (saraf kranial dan spinal) dan secara
fisiologi yaitu saraf otonom dan saraf somatik (Bahrudin, 2013).

Gambar 2.2 Susunan Saraf Manusia (Nugroho, 2013)

1. Sistem Saraf Pusat


Susunan saraf pusat (SSP) yaitu otak (ensefalon) dan medula spinalis,
yang merupakan pusat integrasi dan kontrol seluruh aktifitas tubuh. Bagian
fungsional pada susunan saraf pusat adalah neuron akson sebagai penghubung dan
transmisi elektrik antar neuron, serta dikelilingi oleh sel glia yang menunjang
secara mekanik dan metabolik (Bahrudin, 2013).
A. Otak
Otak merupakan alat tubuh yang sangat penting dan sebagai pusat
pengatur dari segala kegiatan manusia yang terletak di dalam rongga tengkorak.
Bagian utama otak adalah otak besar (cerebrum), otak kecil (cereblum) dan otak
tengah (Khanifuddin, 2012).
Otak besar merupakan pusat pengendali kegiatan tubuh yang disadari.
Otak besar ini dibagi menjadi dua belahan, yaitu belahan kanan dan kiri. Tiap
belahan tersebut terbagi menjadi 4 lobus yaitu frontal, parietal, okspital, dan
temporal. Sedangkan disenfalon adalah bagian dari otak besar yang terdiri dari
talamus, hipotalamus, dan epitalamus (Khafinuddin, 2012). Otak belakang/ kecil
terbagi menjadi dua subdivisi yaitu metensefalon dan mielensefalon.
Metensefalon berubah menjadi batang otak (pons) dan cereblum. Sedangkan
7

mielensefalon akan menjadi medulla oblongata (Nugroho, 2013). Otak tengah/


sistem limbic terdiri dari hipokampus, hipotalamus, dan amigdala (Khafinuddin,
2012).

Gambar 2.3 Bagian-bagian Otak (Nugroho, 2013)


Pada otak terdapat suatu cairan yang dikenal dengan cairan
serebrospinalis. Cairan cerebrospinalis ini mengelilingi ruang sub araknoid
disekitar otak dan medula spinalis. Cairan ini juga mengisi ventrikel otak. Cairan
ini menyerupai plasma darah dan cairan interstisial dan dihasilkan oleh plesus
koroid dan sekresi oleh sel-sel epindemal yang mengelilingi pembuluh darah
serebral dan melapisi kanal sentral medula spinalis. Fungsi cairan ini adalah
sebagai bantalan untuk pemeriksaan lunak otak dan medula spinalis, juga
berperan sebagai media pertukaran nutrien dan zat buangan antara darah dan otak
serta medula spinalis (Nugroho, 2013).
B. Medula Spinalis (Sumsum tulang belakang)
Sumsum tulang belakang terletak memanjang di dalam rongga tulang
belakang, mulai dari ruas-ruas tulang leher sampai ruas-ruas tulang pinggang yang
kedua. Sumsum tulang belakang terbagi menjadi dua lapis yaitu lapisan luar
berwarna putih (white area) dan lapisan dalam berwarna kelabu (grey area)
(Chamidah, 2013). Lapisan luar mengandung serabut saraf dan lapisan dalam
mengandung badan saraf. Di dalam sumsum tulang belakang terdapat saraf
sensorik, saraf motorik dan saraf penghubung. Fungsinya adalah sebagai
penghantar impuls dari otak dan ke otak serta sebagai pusat pengatur gerak refleks
(Khafinuddin, 2012).
8

Gambar 2.4 Bagian Area Medula Spinalis

2. Sistem Saraf Tepi


Susunan saraf tepi (SST) yaitu saraf kranial dan saraf spinalis yang
merupakan garis komunikasi antara SSP dan tubuh . SST tersusun dari semua
saraf yang membawa pesan dari dan ke SSP (Bahrudin, 2013). Berdasarkan
fungsinya SST terbagi menjadi 2 bagian yaitu:
A. Sistem Saraf Somatik (SSS)
Sistem saraf somatik terdiri dari 12 pasang saraf kranial dan 31 pasang saraf
spinal. Proses pada saraf somatik dipengaruhi oleh kesadaran.
1. Saraf kranial
12 pasang saraf kranial muncul dari berbagai bagian batang otak. Beberapa
dari saraf tersebut hanya tersusun dari serabut sensorik, tetapi sebagian besar
tersusun dari serabut sensorik dan motorik. Kedua belas saraf tersebut dijelaskan
pada (Gambar 2.5).
2. Saraf spinal
Ada 31 pasang saraf spinal berawal dari korda melalui radiks dorsal
(posterior) dan ventral (anterior). Saraf spinal adalah saraf gabungan motorik dan
sensorik, membawa informasi ke korda melalui neuron aferen dan meninggalkan
melalui eferen. Saraf spinal (Gambar 2.6) diberi nama dan angka sesuai dengan
regia kolumna vertebra tempat munculnya saraf tersebut.
9

Gambar 2.5 Distribusi Saraf Kranial (Anonim)

Gambar 2.6 Saraf Spinalis (31 pasang) beserta nama dan letaknya (Bahrudin,
2013).
B. Sistem Saraf Otonom (SSO)
Sistem saraf otonom mengatur jaringan dan organ tubuh yang tidak
disadari. Jaringan dan organ tubuh yang diatur oleh sistem saraf otonom adalah
pembuluh darah dan jantung. Sistem ini terdiri atas sistem saraf simpatik dan
sistem saraf parasimpatik. Fungsi dari kedua sistem saraf ini adalah saling
berbalikan, seperti pada (Gambar 2.7) dibawah ini.
10

Gambar 2.7 Sistem Saraf Otonom (Parasimpatik-Simpatik) (Nelson, 2015)


SST berdasarkan divisinya juga dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Divisi sensori (afferent) yaitu susunan saraf tepi dimulai dari
receptor pada kulit atau otot (effector) ke dalam pleksus, radiks,
dan seterusnya kesusunan saraf pusat. Jadi besifat ascendens.
2. Divisi motorik (efferent) yang menghubungkan impuls dari SSP ke
effector (Muscle and Glands) yang bersifat desendens untuk
menjawab impuls yang diterima dari reseptor di kulit dan otot dari
lingkungan sekitar (Bahrudin, 2013).
2.1.3 Sel-sel pada Sistem Saraf
Sistem saraf pada manusia terdiri dari dua komponen yaitu sel saraf dan
sel glial. Sel saraf berfungsi sebagai alat untuk menghantarkan impuls dari panca
indera menuju otak yang selanjutnya oleh otak akan dikirim ke otot. Sedangkan
sel glial berfungsi sebagai pemberi nutrisi pada neuron (Feriyawati, 2006).
1. Sel Saraf (Neuron)
Sel saraf (neuron) bertanggung jawab untuk proses transfer informasi pada
sistem saraf (Bahrudin, 2013). Sel saraf berfungsi untuk menghantarkan impuls.
Setiap satu neuron terdiri dari tiga bagian utama yaitu badan sel (soma), dendrit
dan akson (Feriyawati, 2006).
11

Badan sel (soma) memiliki satu atau beberapa tonjolan (Feriyawati, 2006).
Soma berfungsi untuk mengendalikan metabolisme keseluruhan dari neuron
(Nugroho, 2013). Badan sel (soma) mengandung organel yang bertanggung jawab
untuk memproduksi energi dan biosintesis molekul organik, seperti enzim-enzim.
Pada badan sel terdapat nukleus, daerah disekeliling nukleus disebut perikarion.
Badan sel biasanya memiliki beberapa cabang dendrit (Bahrudin, 2013).
Dendrit adalah serabut sel saraf pendek dan bercabang-cabang serta
merupakan perluasan dari badan sel. Dendrit berfungsi untuk menerima dan
menghantarkan rangsangan ke badan sel (Khafinudin, 2012). Khas dendrit adalah
sangat bercabang dan masing-masing cabang membawa proses yang disebut
dendritic spines (Bahrudin, 2013).
Akson adalah tonjolan tunggal dan panjang yang menghantarkan informasi
keluar dari badan sel (Feryawati, 2006). Di dalam akson terdapat benang-benang
halus disebut neurofibril dan dibungkus oleh beberpa lapis selaput mielin yang
banyak mengandung zat lemak dan berfungsi untuk mempercepat jalannya
rangsangan. Selaput mielin tersebut dibungkus oleh sel-sel Schwann yang akan
membentuk suatu jaringan yang dapat menyediakan makanan dan membantu
pembentukan neurit. Bagian neurit ada yang tidak dibungkus oleh lapisan mielin
yang disebut nodus ranvier (Khafinudin, 2012).
Pada SSP, neuron menerima informasi dari neuron dan primer di dendritic
spines, yang mana ditunjukkan dalam 80-90% dari total neuron area permukaan.
Badan sel dihubungkan dengan sel yang lain melalui akson yang ujung satu
dengan yang lain membentuk sinaps. Pada masing-masing sinap terjadi
komunikasi neuron dengan sel yang lain (Bahrudin, 2013).

Gambar 2.8 Struktur Neuron (Anonim)


12

2. Sel penyokong atau Neuroglia (Sel Glial)


Sel glial adalah sel penunjang tambahan pada SSP yang berfungsi sebagai
jaringan ikat (Nugroho, 2013), selain itu juga berfungsi mengisolasi neuron,
menyediakan kerangka yang mendukung jaringan, membantu memelihara
lingkungan interseluler, dan bertindak sebagai fagosit. Jaringan pada tubuh
mengandung kira-kira 1 milyar neuroglia, atau sel glia, yang secara kasar dapat
diperkirakan 5 kali dari jumlah neuron (Feriyawati, 2006).
Sel glia lebih kecil dari neuron dan keduanya mempertahankan kemapuan
untuk membelah, kemampuan tersebut hilang pada banyak neuron. Secara
bersama-sama, neuroglia bertanggung jawab secara kasar pada setengah dari
volume sistem saraf. Terdapat perbedaan organisasi yang penting antara jaringan
sistem saraf pusat dan sitem saraf tepi, terutama disebabkan oleh perbedaaan pada
a. Macam-macam Sel Glia
Ada empat macam sel glia yang memiliki fungsi berbeda yaitu
(Feriyawati, 2006):
 Astrosit/ Astroglia: berfungsi sebagai “sel pemberi makan” bagi sel saraf
 Oligodendrosit/ Oligodendrolia: sel glia yang bertanggung jawab
menghasilkan mielin dalam susunan saraf pusat. Sel ini mempunyai
lapisan dengan substansi lemak mengelilingi penonjolan atau sepanjang
sel saraf sehingga terbentuk selubung mielin. Mielin pada susunan saraf
tepi dibentuk oleh sel Schwann. Sel ini membentuk mielin maupun
neurolemma saraf tepi. Mielin menghalangi ion natrium dan kalium
melintasi membran neuronal dengan hampir sempurna. Serabut saraf ada
yang bermielin ada yang tidak. Transmisi impuls saraf disepanjang serabut
bermielin lebih cepat daripada serabut yang tak bermielin, karena impuls
berjalan dengan cara meloncat dari nodus ke nodus yang lain disepanjang
selubung mielin (Feriyawati, 2006). Peran dari mielin ini sangatlah
penting, oleh sebab itu pada beberapa orang yang selubung mielinnya
mengalami peradangan ataupun kerusakan seperti pada pasien GBS maka
akan kehilangan kemampuan untuk mengontrol otot-ototnya sehingga
terjadi kelumpuhan pada otot-otot tersebut. Perbedaan struktur dari
13

selubung mielin normal dengan selubung mielin pada pasien GBS dapat
dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.9 Selubung mielin normal dan selubung mielin pada GBS (Tandel et
al., 2016)

 Mikroglia: sel glia yang mempunyai sifat fagosit dalam menghilangkan


sel-sel otak yang mati, bakteri dan lain-lain. Sel jenis ini ditemukan
diseluruh SSP dan dianggap penting dalam proses melawan infeksi.
 Sel ependimal: sel glia yang berperan dalam produksi cairan cerebrospinal.

Gambar 2.10 Bagian neuron dan neuroglia (Anonim)


b. Neuroglia pada Sistem Saraf Tepi (SST)
Neuron pada sistem saraf tepi biasanya berkumpul jadi satu dan disebut
ganglia (tunggal: ganglion). Akson juga bergabung menjadi satu dan membentuk
sistem saraf tepi. Seluruh neuron dan akson disekat atau diselubungi oleh sel glia.
Sel glia yang berperan terdiri dari sel satelit dan sel Schwann.
14

- Sel Satelit
Badan neuron pada ganglia perifer diselubungi oleh sel satelit. Sel satelit
berfungsi untuk regulasi nutrisi dan produk buangan antara neuron body
dan cairan ektraseluler. Sel tersebut juga berfungsi untuk mengisolasi
neuron dari rangsangan lain yang tidak disajikan di sinap.
- Sel Schwann
Setiap akson pada saraf tepi, baik yang terbungkus dengan mielin maupun
tidak, diselubungi oleh sel Schwann atau neorolemmosit. Plasmalemma
dari akson disebut axolemma; pembungkus sitoplasma superfisial yang
dihasilkan oleh sel Schwann disebut neurilemma (Bahrudin, 2013).
Dalam penyampaian impuls dari reseptor sampai ke efektor perifer
caranya berbeda-beda. Sistem saraf somatik (SSS) mencakup semua neuron
motorik somatik yang meng-inervasi otot, badan sel motorik neuron ini terletak
dalam SSP, dan akson-akson dari SSS meluas sampai ke sinapsis neuromuskuler
yang mengendalikan otot rangka. Sebagaian besar kegiatan SSS secara sadar
dikendalikan. Sedangkan sistem saraf otonom mencakup semua motorik neuron
viseral yang menginervasi efektor perifer selain otot rangka. Ada dua kelompok
neuron motorik viseral, satu kelompok memiliki sel tubuh di dalam SSP dan yang
lainnya memiliki sel tubuh di ganglia perifer (Bahrudin, 2013).
Neuron dalam SSP dan neuron di ganglia perifer berfungsi mengontrol
efektor di perifer. Neuron di ganglia perifer dan di SSP mengontrolnya segala
bergiliran. Akson yang memanjang dari SSP ke ganglion disebut serat
preganglionik. Akson yang menghubungkan sel ganglion dengan efektor perifer
dikenal sebagai serat postganglionik. Susunan ini jelas membedakan sistem
(motorik visceral) otonom dari sistem motorik somatik. Sistem motorik somatik
dan sitem motorik visceral memiliki sedikit kendali kesadaran atas kegiatan SSO.
Interneuron terletak diantara neuron sensori dan motorik. Interneuron terletak
sepenuhnya didalam otak dan sumsum tulang belakang. Mereka lebih banyak
daripada semua gabungan neuron lain, baik dalam jumlah dan jenis. Interneuron
bertanggung jawab untuk menganalisis input sensoris dan koordinasi motorik
output. Interneuron dapat diklasifikasikan sebagai rangsang atau penghambat
berdasarkan efek pada membran post sinaps neuron (Bahrudin, 2013).
15

2.1.4 Regenerasi Neuron


Sel saraf sulit sekali untuk melakukan regenarasi setelah mengalami
kerusakan. Dalam sel body (inti sel/ sel tubuh), bagian kromatofilik menghilang
dan nukleus keluar dari pusat sel. Jika neuron berfungsi normal kembali, sel
tersebut pelan-pelan akan kembali pada keadaan normal. Jika suplai oksigen atau
nutrisi dihambat, seperti yang selalu terjadi pada stroke atau trauma mekanik
mengenai neuron, seperti yang selalu pada kerusakan medula spinalis atau perifer,
neuron tidak akan mengalami perbaikan kecuali sirkulasi baik atau tekanan turun
dalam waktu beberapa menit atau jam. Jika keadaan stress ini terjadi terus
menerus, neuron yang mengalami kerusakan akan benar-benar mengalami
kerusakan permanen (Bahrudin, 2013).
Pada SST, sel Schwann berperan dalam memperbaiki neuron yang rusak.
Proses ini dinamakan degenaration wallerian, bagian distal akson yang semakin
memburuk dan migrasi makrofag pada sel tersebut untuk proses fagositosis sel
mati tersebut. Sel Schwann di area yang putus membentuk jaringan padat
memanjang yang menyambung pada bagian akson yang sebenarnya. Selain itu, sel
Schwann juga mengelurkan growth factor untuk merangsang pertumbuhan
kembali akson. Jika akson telah putus, akson yang baru akan mulai muncul dari
bagian proksimal bagian yang putus dalam beberapa jam. Pada sebagian
kerusakan yang biasa pada proksimal akson yang rusak akan mati dan menyusut
beberapa sentimeter sehingga tunas muncul lambat sekitar beberapa minggu.
Ketika neuron terus mengalami perbaikan, akson tersebut akan tumbuh kesisi
yang mengalami kerusakan dan sel Schwann membungkus disekitarnya
(Bahrudin, 2013).
Jika akson terus tumbuh di daerah perifer sepanjang saluran sel Schwann,
ini akan secepatnya mengembalikan hubungan antar sinapnya. Jika tidak tumbuh
lagi atau menyimpang, fungsi normalnya tidak akan kembali. Akson yang tumbuh
mencapai tujuannya, jika bagian distal dan proksimal bagian yang rusak bertemu.
Ketika sebuah saraf perifer mengalami kerusakan seluruhnya, relatif hanya
beberapa akson yang akan sukses mengembalikan hubungan sinap yang normal,
sehingga fungsi saraf akan selamanya rusak.
16

Regenerasi yang terbatas disebabkan karena:


1. Banyak akson yang terdegenarasi
2. Astrosit menghasilkan jaringan parut sehingga mencegah pertumbuhan
akson di daerah yang rusak
3. Astrosit melepaskan bahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan
kembali akson
GBS merupakan bagian atau salah satu dari penyakit neuromuskular,
penyakit ini jarang dijumpai. Gangguan neuromuskular memiliki spektrum gejala
dan tanda yang cukup khas. Mulai dari kesemutan diujung jari, kelumpuhan
ekstremitas, hingga kegagalan saluran pernafasan yang dapat mengancam nyawa.
Oleh karenanya, mengenali penyakit ini sejak awal sangatlah penting. Penyakit
neuromuskular sifat kelumpuhannya adalah lower motor neuron (LMN). Maka
dari itu yang pertama kali diperkirakan bila mencurigai pasien dengan penyakit
neuromuskular adalah memastikan bahwa kelainan pada pasien tersebut bukan
upper motor neuron (UMN). Untuk memperjelas perbedaan antara lesi LMN dan
UMN dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel II.1 Perbedaan lesi LMN dan UMN (Bahrudin, 2013)
LMN UMN
Bentuk kelumpuhan Kelemahan pada otot Hemiparesis, quadriparesis,
tertentu sesuai distribusi paraparesis
radiks atau pleksus
Atrofi Atropi akibat denervasi Disuse atrophy (muncul
(muncul lebih cepat dan belakangan dan tidak terlalu
jelas) jelas)
Fasikulasi (kedutan otot) + -
dan Fibrilasi
Refleks Fisiologis Menurun atau hilang Meningkat
Klonus - +
Tonus Hipotonus Hipertonus
Refleks Patologis - +

2.2 Sistem Imunitas Tubuh


Lingkungan disekitar manusia mengandung berbagai jenis unsur patogen,
misalnya bakteri, virus, fungus, protozoa, dan parasit yang dapat menyebabkan
infeksi pada manusia. Infeksi yang terjadi pada orang normal umumnya singkat
dan jarang meninggalkan kerusakan permanen. Hal ini disebabkan tubuh manusia
memiliki suatu sistem yang disebut sistem imun yang memberikan respons dan
melindungi tubuh terhadap unsur-unsur patogen tersebut (Kresno, 2013).
17

Respon imun sangat bergantung pada kemampuan sistem imun untuk


mengenali molekul asing (antigen) yang terdapat pada patogen potensial dan
kemudian membangkitkan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan sumber antigen
bersangkutan. Proses pengenalan antigen dilakukan ileh unsur utama sistem imun,
yaitu limfosit, yang kemudian diikuti oleh fase efektor yang melibatkan berbagai
jenis sel. Pengenalan antigen sangat penting dalam fungsi sistem imun normal,
karena limfosit harus mengenal semua antigen pada patogen potensial dan pada
saat yang sama limfosit juga harus mengabaikan molekul-molekul jaringan tubuh
sendiri (toleransi). Untuk mengatasi hal itu, limfosit pada seorang individu
melakukan diversifikasi selama perkembangannya demikian rupa sehingga
populasi limfosit secara keseluruhan mampu mengenal molekul asing dan
membedakannya dari molekul jaringan atau sel tubuh sendiri (Fishback et al.,
2004).
Kemampuan diverifikasi dimiliki oleh komponen-komponen sistem imun
yang terdapat dalam jaringan limforetikuler yang letaknya tersebar diseluruh
tubuh, misal didalam sumsum tulang, kelenjar limfa, limpa, thymus sistem saluran
pernafasan, saluran cerna dan organ lainnya. Sel sel terdapat dalam tubuh melaui
darah, getah bening serta jaringan limfoid dan dapat menunjukkan respons
terhadap suatau rangsangan sesuai dengan sifat dan fungsi masing-masing.
Rangsangan terhadap sel-sel tersebut terjadi apabila dalam tubuh masuk suatu zat
yang oleh sel atau jaringan tadi dianggap asing. Sistem imun dapat membedakan
zat asing (non-self) dan zat yang berasal dari tubuh sendiri (self). Pada beberapa
keadaan patologik, sistem imun tidak dapat membedakan self dan nonself
sehingga sel-sel imun membentuk zat anti terhadapt jaringan tubuhnya sendiri, zat
anti itu disebut autoantibodi (Kresno, 2013).
Bila sistem terpapar pada zat yang dianggap asing, maka ada dua jenis
respon imun yang mungkin terjadi, yaitu:1) Respon imun non-spesifik (bawaan)
dan respon imun spesifik (didapat). Respon imun nonspesifik umunya merupakan
imunitas bawaan (innate immunity) dalam arti bahwa respons terhadap zat asing
dapat terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar zat tersebut,
sedangkan respon imun spesifik merupakan respons yang didapat (acquired) yang
18

timbul terhadap antigen tertentu, dimana tubuh sudah pernah terpapar sebelumnya
(Kresno, 2013).
2.2.1 Respons Imun Terhadap Infeksi Secara Umum
Respons imun memegang peran penting dalam melindungi tubuh terhadap
infeksi. Walaupun demikian berbagai bukti yang dikumpulkan bertahun-thaun
menunjukkan bahwa aspek patologik yang tampak pada penyakit infeksi
seringkali tidak diakibatkan aksi oleh langsung dari patogen agresor melainkan
merupakan akibat dari proses respon imun. Pada situasi demikian, ada reaksi
hipersensitifitas yang meningkatkan dan memodulasi respon imun yang berakibat
kerusakan jaringan. Pada situasi lain mikroba, baik dengan cara meniru (mimicry)
antigen sendiri, menginduksi proliferasi sel-sel self-reactive atau dengan
meningkatkan ekspresi MHC dan molekul ko-stimulasi pada sel-sel yang
terinfeksi, dapat menimbulkan penyakit autoimun (Kresno, 2013).
Antigen adalah substansi yang dapat dikenali dan diikat dengan baik oleh
sistem imun. Antigen dapat bersal dari organisme (bakteri, virus, jamur, dan
parasit) atau molekul asing bagi tubuh. Tidak setiap bagian dari antigen dapat
berinteraksi dengan molekul sistem imun. Bagian dari antigen secara langsung
berikatan dengan molekul resptor (seperti antibodi) yang dikenal dengan epitop.
Hapten adalah molekul organikm kecil yang dapat mengikat bagian reseptor
antigen. Meskipun molekul ini kecil tetapi dapat menginduksi respon imun
sendiri. Selain itu juga dapat menginduksi antibodi dengan titer yang tinggi jika
diikatkan dengan carrier berupa protein yang mempunyai berat molekul (BM)
tinggi atau polimer sintetik (Hasdianah et al., 2014).
Reaksi inflamasi merupakan respons imun non-spesifik dimana terdapat
suatu upaya pada sel-sel sistem umum untuk memusatkan produk-produk yang
dihasilkannya ke lokasi infeksi. Selama proses ini berlangsung, terjadi 3 proses
penting, yaitu: peningkatan aliran darah di area infeksi, peningkatan permeabilitas
kapiler akibat retraksi sel-sel endotel yang mengakibatkan molekul-molekul besar
menembus dinding vaskular, dan migrasi leukosit ke luar vaskular. Reaksi ini
terjadi akibat dilepaskannya mediator-mediator tertentu oleh beberapa jenis sel
misalnya histamin yang dilepaskan basofil dan monosit, vasoactive amine yang
dilepaskan oleh trombosit, serta anafilatoksin yang berasal dari komponen-
19

komponen komplemen yang merangsang pelepasan mediator-mediator oleh


mastofit dan basofil sebagai reaksi umpan balik. Mediator-mediator ini antara lain
merangsang bergeraknya sel-sel polimorfnuklear (PMN) menuju lokasi masuknya
antigen serta meningkatkan permeabilitas dinding vaskular yang mengakibatkan
eksudasi protein plasma dan cairan. Gejala inilah yang disebut respons inflamasi
akut (Kresno, 2013).
2.2Guillain Barré Syndrome (GBS)
Penyakit GBS sudah ada sejak 1859, nama Guillain dan Barré diambil dari
dua ilmuwan Perancis, yang menemukan dua orang prajurit perang ditahun 1916
yang mengidap kelumpuhan dengan ditemukannya kelainan pada cairan
cerebrospinal yang ditandai dengan adanya peningkatan kadar protein namun
jumlah sel tetap (dissosiasi albuminositik) kemudian sembuh setelah menerima
perawatan medis (van den Berg et al., 2014).
2.3.1 Definisi GBS
Guillain Barré Syndrome (GBS) atau dikenal dengan Acute Inflammatory
Idiopathic Polyneuropathy (AIIP) atau bisa juga disebut sebagai Acute
Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada
susunan saraf yang terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama mengenai radiks
dan saraf tepi, terkadang mengenai saraf otak yang didahului oleh infeksi.
Penyakit ini merupakan autoimun dimana sistem imunitas tubuh menyerang sel
sarafnya sendiri (Bahrudin, 2013). GBS adalah kumpulan gejala klinis akibat
poliradikuloneuropati akut yang ditandai kelemahan saraf motorik (kadang
sensorik dan otonom) bersifat progresif, simetris dengan penurunan refleks
fisiologis (Munir, 2015).
Guillain Barré Syndrome (GBS) merupakan gangguan pada saraf perifer,
sering dikenal sebagai polyradiculoneuropathy. GBS adalah penyebab paling
umum dari kelumpuhan akut dan subakut pada bayi dan anak-anak. GBS
sebelumnya dianggap sebagai gangguan inflamasi yang hanya mempengaruhi
selubung myelin, yang mengakibatkan demielinisasi. Namun, sekarang diakui
bahwa proses juga dapat menyerang akson, yang menyebabkan degenerasi saraf
itu sendiri (Rosen, 2016).
20

Menurut Perry dan Stanberg 2007, GBS merupakan gangguan dimana


kekebalan tubuh menyerang sistem bagian dari sistem saraf perifer (autoimun),
merupakan kumpulan gejala kelemahan pada anggota gerak dan kadang-kadang
disertai dengan kesemutan pada lengan atau tungkai, disertai menurunnya refleks.
Selain itu kelumpuhan juga dapat terjadi di otot-otot penggerak bola mata
sehingga penderita melihat satu objek menjadi dua yang dapat disertai gangguan
koordinasi anggota gerak (Depkes, 2011).
Secara umum, GBS mencakup berbagai sindrom klinis dengan
polyradiculoneuropathy akut inflamasi, kelemahan otot, dan berkurangnya atau
hilangnya refleks (Jasti et al., 2016).
2.3.2 Epidemiologi GBS
GBS termasuk penyakit langka dan jarang terjadi hanya 1 atau 2 kasus per
100.000 populasi dan angka tersebut hampir sama di semua negara di dunia tiap
tahunnya dan penyakit ini terjadi sepanjang tahun (Hakim, 2011; Rosen, 2016).
Angka kejadian terjadinya GBS diperkirakan meningkat setiap tahunnya.
Peningkatan dilihat dari berbagai segi; segi usia; GBS dapat terjadi pada semua
usia, tetapi jarang pada anak-anak di bawah usia 2 tahun. Orang dewasa lebih
sering terkena daripada anak-anak. Insiden pada anak-anak lebih rendah, dengan
perkiraan antara 0,4 dan 1,3 kasus per 100.000 per tahun (Rosen, 2016),
diperkirakan juga terjadi peningkatan sebanyak 20% pada setiap penambahan usia
10 tahun (Yuki & Hartzung, 2012), segi genetik; pria lebih mempunyai faktor
resiko yang tinggi dibandingkan dengan wanita dengan rasio 3:2 untuk terkena
GBS (van den Berg et al., 2014), namun penyebab pria mempunyai resiko lebih
tinggi terkena GBS belum diketahui secara pasti (Sejvar et al., 2011).
Angka kejadian diberbagai negara sangat variasi, seperti angka kejadian
yang sangat rendah 0,40 dari 100.000 tiap tahunnya dilaporkan di negara Brazil,
dengan tingakatan yang lebih tinggi 2,5 per 100.000 tiap tahunnya di Curacao dan
Bangladesh (van den Berget al., 2014). Insiden keseluruhan telah diperkirakan
berkisar 0,4-2,4 kasus per 100.000 per tahun, dengan 3.500 kasus baru per tahun
terjadi di Amerika Serikat (Rosen, 2016). Insiden latar belakang terjadinya GBS
di kebanyakan penelitian tetap konstan dari waktu ke waktu, meskipun fluktuasi
21

musiman kadang-kadang ditemukan dalam studi dari Curaçao, Bangladesh dan


Cina (van den Berget al., 2014).
Peninjauan epidemiologi dari segi subtipe GBS di beberapa negara
memiliki varian yang berbeda. Proporsi pasien dengan GBS yang memiliki AIDP
dan AMAN sangat bervariasi di seluruh dunia. AIDP adalah subtipe dominan (60-
80% dari pasien) di Amerika Utara dan Eropa. Sebaliknya, frekuensi AMAN
berkisar dari 6-7% di Inggris dan Spanyol dan 30-65% di Asia, Amerika Tengah
dan Amerika Selatan. Keragaman geografis mungkin timbul dari perbedaan dalam
paparan beberapa jenis infeksi, kemungkinan dalam kombinasi dengan kerentanan
genetik yang berbeda karena berbagai polimorfisme genetik antara individu atau
kelompok orang yang tinggal di daerah yang berbeda di dunia. Perbedaan-
perbedaan ini mungkin tidak hanya terkait untuk pengembangan subtipe GBS
tertentu, tetapi juga untuk perjalanan dan keparahan penyakit (van den Berg et al,
2014). Menurut data yang sudah terekap, insiden terjadinya GBS di Indonesia ,
pada akhir tahun 2010-2011 tercatat ada 48 kasus GBS dalam satu tahun dengan
berbagai variannya. Dibandingkan tahun sebelumnya memang terjadi peningkatan
sekitar 10% (Hakim, 2011; Perdossi,2012).
2.3.3 Etiologi GBS
Penyebab yang pasti sampai saat ini masih belum diketahui. Kelemahan
dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya mielin, material
yang membungkus saraf. Hilangnya mielin ini disebut dengan demielinisasi.
Demielinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi
lambat atau berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari
mielin dan menyerang beberapa saraf (Walling&Dickson, 2013; Ahadinarahmah,
2014). Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini
belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh
penyakit autoimun yang didahului oleh adanya suatu infeksi (Ahadinarahma,
2014).
22

Beberapa etiologi yang dapat dikatakan sebagai penyebab GBS


diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Infeksi oleh bakteri atau virus
Infeksi saluran pernafasan dan pencernaan sering mendahului gejala
neuropati dalam 1 sampai 3 minggu (kadang-kadang lebih lama) pada kira-kira
60% penderita GBS (Dimachkie & Barohn, 2013). Pada banyak kasus sering
disebabkan oleh infeksi dari bakteri maupun virus. Berdasarkan penelitian Yuki
dkk 2012, dua pertiga kasus didahului oleh gejala infeksi saluran pernapasan atas
atau diare. Agen infeksi yang paling sering diidentifikasi terkait dengan
perkembangan selanjutnya dari GBS adalah C. jejuni (Bahrudin, 2013) dan pada
satu penelitian meta-analisis, 30% dari infeksi disebabkan oleh bakteri ini,
sedangkan virus adalah Cytomegalovirus yang telah diidentifikasi terdapat hingga
10%. Insiden GBS ini diperkirakan 0,25-0,65 per 1.000 kasus infeksi C. jejuni,
dan 0,6-2,2 per 1000 kasus infeksi Cytomegalovirus primer. Agen infeksi lain
dengan hubungan yang terdefinisi dengan GBS diantaranya virus Epstein-Barr,
virus varicella-zoster, dan Mycoplasma pneumoniae (Yuki & Hartzung, 2012).
a. Infeksi Campylobacter jejuni
Infeksi C.jejuni adalah penyebab paling umum penyakit gastroenteritis
yang terkadang melebihi infeksi yang disebabkan oleh bakteri lainnya seperti
Salmonella, Shigella dan Eschericia coli. Terjadinya infeksi-infeksi ini dapat
diperoleh dari mengkonsumsi daging hewan unggas yang kurang atau belum
terlalu matang dan dari air yang terkontaminasi (Nyati & Nyati, 2013; Jasti et
al., 2016).Infeksi oleh C. jejuni ini menunjukkan adanya antigen spesifik dalam
kapsul. Respon imun yang terjadi akibat infeksi ini adalah kapsul
lipopolisakarida yang akan menghasilkan antibodi yang bereaksi silang dengan
mielin sehingga menyebabkan demielinasi (Andary et al., 2016).
b. Infeksi Cytomegalovirus (CMV)
Infeksi Cytomegalovirus ini merupakan infeksi yang paling sering
dilaporkan kedua setelah infeksi yang disebabkan oleh C.jejuni. Dalam studi di
Belanda menyatakan bahwa sebanyak 13% pasien GBS yang terlebih dulu
terinfeksi oleh CMV (Lunn & Hughes, 2011). Infeksi ini dapat berupa infeksi
saluran pernafasan atas, pneumonia, dan penyakit yang tidak spesifik seperti
23

flu. Pasien GBS yang mengalami infeksi ini memiliki keterlibatan dengan saraf
sensorik dan saraf kranial. Infeksi ini secara bermakna dikaitkan dengan
antibodi terhadap GM2 (Andary et al., 2016). Keterlibatan secara langsung
maupun tidak langsung replikasi virus dapat mempengaruhi proses patologis
pada GBS (Orlikowski et al., 2014).
c. Infeksi Epstein–Barr virus (EBV), virus varicella-zoster dan Mycoplasma
pneumonia
Ketiga patogen tersebut akan menyebabkan infeksi yang nantinya akan
menjadi penyebab dari penyakit GBS. Tetapi, belum banyak studi yang
menunjukkan hal tersebut dan juga memang tidak banyak ditemukan kasus-
kasus pasien yang terinfeksi ketiga patogen tersebut (Andary et al., 2016).
Infeksi EBV sekitar 10% dari pasien GBS, Mycoplasma pneumonia hanya 5%
lebih sering dari pada kelompok kontrol (Zhong & Cai, 2007).
2. Vaksinasi
Dalam suatu studi epeidemiologi, dikatakan bahwa pemberian vaksin pada
seseorang akan berkaitan dengan terjadinya GBS. Beberapa vaksin yang dapat
menyebabkan GBS adalah influenza, rabies, polio oral, campak, tetanus toksoid,
hepatitis B (Jasti et al., 2016). Gejala-gejala GBS dimulai satu hari sampai
beberapa minggu setelah dilakukan vaksinasi dan biasanya mencapai puncak pada
2 minggu setelah pemberian vaksin. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa
vaksin influenza cukup berpengaruh dalam peningkatan resiko terjadinya GBS.
Dikatakan bahwa pada tahun 2009 terdapat sekitar 1,6 kasus per 100.000 populasi
yang diberi vaksin influenza yang akhirnya menjadi penyebab GBS, namun pada
penelitian yang terbaru yaitu pada tahun 2011 menyimpulkan bahwa tidak
ditemukan bukti yang memadai mengenai hubungan pemberian vaksin influenza
dengan terjadinya penyakit GBS (Yuki & Hartzung, 2012).
Selain pemberian vaksin influenza, vaksin rabies dikatakan dapat
meningkatkan resiko terjadinya penyakit GBS. Vaksin rabies dibuat dari jaringan
otak yang terinfeksi dari hewan dewasa sehingga dapat meningkatkan resiko
terjadinya GBS oleh karena adanya kontaminasi dengan antigen mielin. Tetapi,
ada formulasi baru dari vaksin rabies berasal dari sel-sel embrio ayam, dimana
tidak terlihat hubungan antara pemberian vaksin dengan peningkatan resiko GBS.
24

Bagaimanapun kemungkinan peningkatan resiko terjadinya GBS masih ada


meskipun sangatlah kecil (Hughes et al., 2016). Untuk vaksin yang lainnya seperti
polio oral, tetanus toksoid, dan Hepatitis B terbukti tidak ditemukan adanya
hubungan dengan peningkatan resiko terjadinya GBS (Nyati & Nyati, 2013).
3. Pembedahan
Proses pembedahan ini masih belum diketahui dengan jelas dikatakan
sebagai penyebab GBS, tetapi pada saat proses pembedahan dapat menyebabkan
pelepassn antigen dari sel saraf yang dapat memicu timbulnya penyakit GBS
(Burmester et al., 2003).
2.3.4 Patofisiologi GBS
Mekanisme terjadinya Guillain Barré Syndrome (GBS) sebenarnya masih
belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan
saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi (Yuki
& Hartzung, 2012). Bukti-bukti bahwa imunopatogenesis merupakan mekanisme
yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah didapatkannya
antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity) terhadap
agen infeksius pada saraf tepi (Tandel et al., 2016., adanya autoantibodi terhadap
sistem saraf tepi, dan didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari
peredaran pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi
saraf tepi (Mardjono, 2000;Yuki & Hartzung, 2012; Walling & Dickson ,2013;
Andary et al., 2016)
Perjalanan penyakit ini umumnya diawali oleh kejadian atau faktor pemicu
lain seperti infeksi, vaksinasi dan pembedahan, yang paling sering adalah infeksi.
Infeksi, baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain
memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen tersebut
mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini selanjutnya mengaktivasi proses
pematangan limfosit B dan memproduksi autoantibodi spesifik yang dapat
merusak atau mendestruksi mielin maupun akson dari saraf tepi (Budihardja,
2012). Selain itu, pada saraf penderita GBS ditemukan sel inflamasi dan
makrofag, yang selanjutnya akan diikuti dengan dekstruksi mielin akibat aktivitas
sitokin. Inflamasi dan degenerasi mielin menyebabkan kebocoran protein dari
darah ke cairan serebrospinalis, sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi
25

protein cairan cerebrospinalis. Tanda ini merupakan ciri khas pada GBS (Munir,
2015). Destruksi tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat mengirimkan
sinyal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk merespon
perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls sensoris dari seluruh
bagian tubuh (Mardjono, 2000; van Doorn et al., 2008; Budihardja, 2012).
Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi, yang pertama
adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem imun
tubuh mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa
infeksi tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya
sendiri berkurang. Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang
mielin disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan
mielin (Budihardja, 2012). Teori - teori tersebut diperjelas dengan adanya empat
faktor utama yang diketahui berperan dalam perjalanan penyakit GBS, antara lain
antibodi antigangliosida, mimikri molekular dan reaktivitas silang, aktivasi
komplemen, dan faktor penjamu (host) (van Doorn et al., 2008; Tandel et al.,
2016).
1. Antibodi antigangliosida
Gangliosida adalah asam N-acetylneuraminic (asam sialat) yang
berhubungan dengan glikospingolipid dan berada di luar membran sel saraf dan
berkaitan dengan oligosakarida pada permukaan sel (Kaida & Kusunoki, 2010).
Gangliosida ini terdiri dari ceremide yang melekat satu atau lebih gula (heksosa)
dan mengandung asam N-acetilneuraminic (asam sialat) yang berikatan pada inti
oligosakarida dan merupakan komponen penting dari sistem saraf perifer (Yuki &
Hartzung, 2012).
Pada lebih dari separuh pasien GBS, ditemukan antibodi serum terhadap
berbagai gangliosida di saraf tepi, meliputi LM1, GM1, GM1b, GM2, GD1a,
Ga1Nac-GD1a, GD1b, GD2, GD3, GT1a, dan GQ1b. Sebagian besar antibodi
spesifik terhadap subtipe dari GBS itu sendiri. Antibodi GM1, GM1b, GD1a dan
Ga1Nac-GD1a berhubungan dengan GBS motorik murni atau varian aksonal.
Sedangkan antibodi GD3, GT1a, GQ1b berhubungan dengan oftalmoplegi pada
Miller Fisher Syndrome (MFS) (van Doorn, 2008; Yuki & Hartzung, 2012;
Dimachkie & Barohn, 2013).
26

Tabel II.2 Subtipe GBS dan antibodi antigangliosida yang terlibat (van Doorn,
2008; Yuki & Hartzung, 2012; Dimachkie & Barohn, 2013).
Subtipe GBS Serum antibodi antigangliosida
AIDP (Acute inflammatory demyelinating Tidak diketahui
poliradiculoneuropathy)
AMAN/ AMSAN (Acute motor (and GM1, GM1b, GD1a dan Ga1Nac-GD1a
sensory) axonal neuropathy)
MFS dan GBS overlapping syndrome GD3, GT1a, GQ1b

2. Mimikri molekuler dan reaksi silang


Mekanisme imunitas humoral dan seluler berperan dalam manifestasi
GBS. Onset GBS umumnya muncul 1-4 minggu setelah penyakit infeksius
muncul. Banyak organisme infeksius dianggap menginduksi produksi antibodi
yang bereaksi silang dengan gangliosid dan gikolipid, seperti GM1 dan GD1b,
yang tersebar luas disepanjang mielin pada saraf perifer. Reaksi silang ini disebut
molecular mimicry (Munir, 2015).
C. jejuni yang diisolasi dari pasien GBS dapat mengekspresikan lipo-
oligosakarida (LOS) pada dinding bakteri, menyerupai karbohidrat dari
gangliosida. Mimikri molekuler ini membentuk antibodi antigangliosida yang
menyerang saraf perifer. Tipe mimikri gangliosida C.jejuni berbeda – beda,
tergantung spesifisitas antibodi antigangliosida dan berhubungan dengan subtipe
GBS. C.jejuni yang diisolasi dari pasien GBS motorik atau aksonal umumnya
mengekspresikan GM-1like dan GD1a-like LOS. Di sisi lain, C.jejuni yang
diisolasi dari pasien dengan optalmoplegi atau MFS biasanya mengekspresikan
GD3-like, GT1a-like atau GD1c-like LOS. Berbagai antibodi pada pasien-pasien
tersebut umumnya memiliki reaksi silang dan mengenali LOS seperti gangliosida
atau kompleks gangliosida (van Doorn, 2008; Walling & Dickson, 2013).
3. Aktivasi Komplemen
Studi post mortem menunjukkan bahwa aktivasi komplemen lokal terjadi
pada lokasi kerusakan saraf, seperti pada axolemma pada pasien AMAN dan
membran sel Schwann pada pasien AIDP. Beberapa antibodi antigangliosida
sangat toksik terhadap saraf perifer. Dalam studi percobaan, efek menyerupai α-
latrotoxin dapat diinduksi pada tikus percobaan, dikarakteristikan dengan
pelepasan secara dramatis, menyebabkan deplesi neurotransmiter tersebut pada
ujung saraf, blokade transmisi saraf, dan paralisis saraf-otot. Ujung saraf dan sel
27

Schwann perisinaptik juga akan dihancurkan. Antibodi terhadap GM-1


mempengaruhi kanal natrium pada nodus Ranvier pada saraf perifer kelinci. Hal -
hal tersebut nampaknya bergantung pada aktivasi komplemen dan pembentukan
membran attack complex (MAC) efek neurotoksisk akibat antibodi tersebut dapat
dihambat oleh imunoglobulin dan inhibitor komplemen eculizumab (van Doorn,
2008).

Gambar 2.11 Imunobiologi dalam perjalanan penyakit GBS (Tandel et al., 2016)
28

4. Faktor Penjamu (Host Factor)


Kurang dari 1 per 1000 pasien dengan infeksi C jejuni akan menderita
GBS. Meskipun beberapa waktu terjadi peningkatan insiden, namun tidak pernah
dilaporkan adanya epidemik atau wabah GBS. Faktor penjamu mungkin
mempengaruhi suseptibilitas (kerentanan) terhadap GBS, atau perluasan
kerusakan saraf dan keluaran yang dihasilkan. Single-nucleotide polymorphisms
(SNPs) tidak memiliki hubungan yang konsisten dengan suseptibilitas terhadap
GBS. Namun, SNP tersebut nampaknya memiliki peranan sebagai faktor yang
memodifikasi penyakit. Terdapat hubungan antara keparahan penyakit atau
keluaran dan SNP pada gen yang mengkode mannose-binding lectin, Fc gamma
receptor III, matrix metalloproteinasi 9, dan TNF-α (van Doorn, 2008; Walling &
Dickson, 2013).
2.3.5 Klasifikasi GBS
GBS diklasifikasikan berdasarkan kerusakan saraf yang terjadi pada saraf
perifer, yaitu demielinasi dan degenerasi aksonal dimana serabut saraf motorik
lebih rentan terhadap penyakit daripada saraf sensorik (Zhong dan Cai, 2007).
Menurut Fish dan Liewelyn 2008, klasifikasi pada GBS dilihat berdasarkan segi
klinis; rangkaian waktu, dominasi keterlibatan saraf sensorik atau motorik ataupun
keduanya dan keterlibatan saraf kranial serta keterlibatan antibodi yang beperan
pada masing-masing varian (Fish & Liewelyn, 2008). Konduksi saraf biasanya
membedakan antara demielinasi dan degenerasi aksonal primer. GBS dapat
diklasifikasikan menurut selubung mielin atau akson yang dipengaruhi; apakah
motor, sistem sensorik atau otonom yang terlibat (Dash et al., 2014).
1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)
Infalamasi akut demielinasi polineuropati merupakan subtipe GBS yang
sering terjadi, hampir 85-90% kasus dan ditandai dengan patologis terjadinya
demielinasi, infiltrasi limfositik, dan mediasi makrofag oleh mielin (Tandel et al.,
2016). Demielinasi merupakan ciri patologis yang biasa terjadi pada AIDP dan
mielin menjadi target imun yang paling utama (Hakim, 2011). Gambaran klinis
ditunjukkan dengan adanya kelemahan motor asenden secara simetris dengan hipo
atau arefleksia. Yang perlu digaris bawahi pada proses patologi menyebabkan
inflamasi dan dekstruksi selubung mielin sekeliling saraf perifer akson yang
29

diaktifkan oleh makrofag. Hal ini menyebabkan perlambatan dan blokade


konduksi pada saraf perifer sehingga terjadi kelemahan otot. Pada kasus berat
dapat terjadi kerusakan aksonal sekunder. Sambungan saraf akson yang
mengalami kerusakan pada AIDP akan diikuti oleh ikatan antibodi (antibody
binding) dan fiksasi komplemen. Jalur aktivasi komplemen sebagian besar
mengarah pada pembentukan membran serangan kompleks atau yang disebut
membrane attack complex (MAC) dengan mengdegradasi sambungan sitoskeleton
aksonal dan merusak mitokondria (Tandel et al., 2016).
2. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN).
Pada varian/ subtipe ini ditemukan gangguan motorik murni dan secara
klinis menyerupai demielinisasi pada GBS dengan paralisis asenden simetris
(AIDP), terjadi degenerasi aksonal yang selektif pada radiks motorik dan saraf
perifer tanpa terjadinya demielinasi (Bahrudin, 2013) dengan akson sebagai target
utama dalam serangan imun. Menurut Tandel dkk, gambaran klinis pada AMAN
mirip dengan AIDP tapi refleks tendon dapat dipertahankan. Varian ini dibedakan
berdasarkan gambaran elektrofisiologi yang berupa aksonopatimotorik murni
yang konsisten (Hakim, 2011), berupa selektif saraf motorik dan keterlibatan
aksonal yang ditunjukkan (Tandel et al., 2016). Pada AMAN terdapat hubungan
dengan terjadinya GBS yang diakibatkan karena infeksi sebagai contoh infeksi
yang diakibatkan oleh C.jejuni. Ditunjukkan pada gambar dibawah ini:

Gambar 2.12 AIDP dan AMAN yang disebabkan pasca infeksi akibat C,jejuni
(Tandel et al., 2016)
30

Gambar 2.13Perbedaaan kondisi normal saraf motorik dengan AIDP antara


AMAN dan AMSAN (Willison et al., 2016)
Pada AMAN, proses patologis yang terjadi meliputi pengikatan antibodi
terhadap antigen ganglioside pada membran sel akson, invasi makrofag,
peradangan dan kerusakan aksonal (Tandel et al., 2016).
3. Acute Motor and Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN).
Pada varian ini diperkirakan terjadi demielinisasi radikular yang
diperantarai makrofag dan diikuti degenerasi Wallerian. Pada pemeriksaan
elektrofisiologis ditemukan ganguan aksonal motorik dan sensorik dan sedikit
demielinisasi (Hakim, 2011). Proses patologis yang mendasari terjadinya
AMSAN serupa dengan AMAN yaitu antibodi dimediasi kerusakan akson
(Tandel et al., 2016). Secara umum gambaran klinis yang terjadi mirip dengan
AMAN, namun pada AMSAN terdapat keterlibatan saraf sensorik sehingga akan
timbul gejala sensorik.
4. Miller Fisher Syndrome (MFS)
Merupakan varian GBS yang jarang ditemukan, sekitar 5% dari kasus
GBS. Adanya keterlibatan saraf kranial yang sangat jelas, yaitu pada saraf
motorik okular (oculomotor, trochlear, dan abdusens). Manifestasinya berupa
ataksia, oftalmoplegia, dan arefleksia (Hakim, 2011; Tandel et al., 2016; Yuki
& Hartung, 2012). Sekitar 25% pasien dapat mengalami kelemahan ekstremitas
31

tubuh. Studi elektrofisiologi menunjukkan penyebab utama terjadinya kerusakan


konduksi saraf. Antibodi antigangliosida GQ1b sering ditemukan (pada 90%)
pasien dan berkaitan dengan ophthalmoplegia. Studi patologik pada MFS cukup
terbatas namun demielinasi pada akar saraf sudah banyak dipublikasikan. Secara
kritis, perbedaan antara MFS dan AIDP atau AMAN terletak pada aktivasi dari
antibodi antigangliosida yaitu GQ1b dan GT1a pada MFS sasarannya saraf
okulomotor dan saraf bulbar, dimana kedua saraf tersebut diduga memiliki
densitas gangliosida GQIb dan GT1a yang relatif tinggi (Tandel et al., 2016).
Secara ringkas, perbedaan pada masing-masing varian atau subtipe dari
GBS dapat dilihat pada Tabel II.3.
2.3.6 Manifestasi Klinis GBS
GBS pada umumnya mudah diidentifikasi dengan manifestasi klinis yang
spesifik dan kelemahan progresif dalam beberapa hari. Manifestasi klinis dari
GBS yang terpenting adalah adanya kelemahan motoris yang progresif yang
mengenai lebih dari satu anggota gerak dan adanya reflek yang menurun atau
menghilang (Muid, 2005). GBS dapat menimbulkan gejala-gejala di daerah
multifokal dari infiltrasi sel monuklear pada saraf perifer. Lokasi dan keparahan
inflamasi berkaitan dengan manifestasi klinis. Pada AIDP, mielin lebih dominan
mengalami kerusakan, sedangkan pada AMAN, nodus ranvier merupakan target
inflamasi (Walling & Dickson, 2013).
Manifestasi klinis dari GBS ini muncul ketika seseorang didiagnosis
menderita penyakit GBS yang diiringi dengan fase perjalanan klinisnya, beberapa
manifestasi tersebut antara lain:
1. Kelemahan otot dan Kelumpuhan Motorik
Gejala klinis dari GBS berupa kelemahan motoris terjadi dengan cepat
tetapi progresifitasnya akan berhenti setelah berjalan 4 minggu (Muid, 2005).
Kelemahan otot ini dapat diawali oleh bagian tubuh ekstremitas bawah (tungkai
bawah) yang akan naik pada bagian tubuh ekstremitas atas (tungkai atas), lebih
dari satu anggota gerak dan sifatnya adalah simetris jarang yang asimetris
(Andary et al., 2016). Kelumpuhan dapat ringan dan terbatas pada kedua tungkai
saja, dapat pula terjadi paralisis pada semua keempat anggota gerak yang terjadi
secara cepat dalam waktu kurang dari 72 jam (3 hari) (Muid, 2005). Batang otak,
32

bulbar, dan otot pernafasan juga dapat berpengaruh. Kelemahan otot ini
berkembang secara akut dan berlangsung dari hari ke minggu bahkan sampai
bulan. Keterlibatan saraf kranial dapat diamati pada 45-75% pasien dengan GBS.
Saraf kranial yang terpengaruh adalah kranial III-VII (saraf okulomotoris, saraf
trokhlear, saraf trigeminal, saraf abdusen, dan saraf fasial) dan IX-XII (saraf
glosofaringeal, saraf vagus, saraf aksesori spinal, dan saraf hipoglosal). Keluhan
umum dilaporkan adalah sebagai berikut: diplopias, disfagia, oftalmoplegia,
gangguan pupil (Andary et al., 2016).
Tabel II.3 Gambaran patologis dan klinis subtipe GBS (Hughes et al., 2007;
Hakim 2011; Walling & Dickson, 2013)
Subtipe Gambaran patologis Gambaran klinis Elektrodiagnosis

AIDP Pertama menyerang sel Subtipe yang paling sering Demielinasi


(Acute Schwann; kerusakan terjadi (lebih dari 90%
inflammatory mielin ekstensif, aktivasi pasien GBS di Amerika
demyelinating makrofag, dan infiltrasi Serikat)
polyradiculopath limfosit; kerusakan Lebih banyak pada dewasa
y) aksonal bervariasi. dibandingkan anak; 90%
Demielinisasi perifer kasus dinegara Barat;
multifokal pemulihan cepat; antibodi
Remielinisasi yang anti-GM1 (<50%)
lambat Kelumpuhan simetris dan
Mekanisme humoral dan progresif
seluler Hiporefleksia atau
arefleksia.
AMAN Pertama menyerang AMAN atau AMSAN meliputi Aksonal
(Acute motor nodus Ranvier motorik; sekitar 5-10% kasus GBS.
Axonal aktivasi makrofag, sedikit Berhubungan erat dengan
Neuropathy) limfosit, banyak infeksi C.jejuni; lebih sering
makrofag periaksonal; terjadi saat musim panas,
kerusakan aksonal pada pasien – pasien muda
ekstensif dan China atau Jepang.
Antibodi antigangliosida Hanya gejala motorik yang
GM1, GD1a, Ga1Nac- hilang
GD1a, GD1b pada axon Refleks tendon dalam dapat
saraf motorik perifer; tidak muncul
tidak ada demielinisasi
AMSAN Mekanisme menyerupai Menyerupai AMAN, namun Aksonal
(Acute motor- neuropati axonal motorik yang lebih dominan yaitu
sensory axonal akut, namun dengan keterlibatan sensorisnya.
neuropathy) degenerasi axonal Dewasa; jarang; pemulihan
sensorik. lambat, sering parsial;
berkaitan dengan AMAN
MFS Demielinisasi · Dewasa dan anak; Demielinasi
(Miller Fisher Antibodi IgG melawan Jarang (3% GBS di Amerika
Syndrome) gangliosida GQ1b, GD3, serikat) ·
dan GT1a (90%) Optalmoplegi bilateral ·
Ataksia ·
Arefleksia ·
Kelemahan facial, bulbar
(50% kasus) ·
Kelemahan badan dan
ektremitas (50% kasus)
33

Kelemahan otot dan kemumpuhan motorik ini terjadi maksimal 12-14 hari.
Selanjutnya akan berhenti pada 4-6 minggu dari onset penyakit (Dhadke et al.,
2013). Keadaan ini disebut sebagai ascending paralysis atau ascending Landrys
paralysis (Muid, 2005).
Kerusakan saraf motoris ini bervariasi pada masing-masing individu,
mulai dari kelemahan sampai pada kuadriplegia flaksid (Budihardja, 2012;
Walling & Dickson, 2013). Pada kasus GBS yang parah, fungsi otot mulai
menghilang setelah 2 minggu terjadinya gejala dan penyakit ini mencapai titik
terendahnya setelah 2 minggu pada sebagian besar kasus dan 4 minggu pada
hampir seluruh kasus. Setelah mencapai fase puncak, fase pemulihan dimulai
dengan kembalinya fungsi proksimal, lalu di bagian distal, dan kekuatan otot
mulai kembali dalam beberapa minggu atau bulan. Antara 4% hingga 15% pasien
meninggal, dan hampir 20% mengalami kelumpuhan setelah satu tahun walaupun
sudah menggunakan terapi modern. Bahkan pada pasien yang mengalami
pemulihan yang baik, masih terdapat sisa kelemahan dan kehilangan unit-unit
motorik yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan klinik dan elektrofisiologis. Hal
inilah yang menyebabkan pasien GBS yang telah pulih masih sering mengalami
keletihan otot (Hughes et al., 2005).
2. Perubahan Sensorik
Gangguan sensoris pada umumnya ringan, sensibilitas dalam biasanya
lebih terpengaruh. Hipotoni, hiporefleksi sampai arefleksi selalu ditemukan.
Nervus kranialis dapat terkena begitu juga otot-otot pernapasan sehingga
penderita memerlukan ventilator (Muid, 2005). Kebanyakan pasien mengeluhkan
parastesia, mati rasa, atau perubahan sensorik yang serupa. Gejala sensorik sering
mendahului kelemahan. Hilangnya getaran, sentuhan dan nyeri pada anggota
tubuh distal mungkin ada. Dalam kebanyakan kasus temuan obyektif dari
penurunan sensorik cenderung minim dan dapat bervariasi (Andary et al., 2016).
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan
kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi
getar. Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan disestesia
pada extremitas distal. Gejala sensoris ini umumnya ringan, kecuali pada pasien
dengan GBS subtipe AMSAN (Budihardja, 2012; Walling & Dickson, 2013).
34

3. Rasa Nyeri
Nyeri merupakan gejala yang umumnya terjadi pada pasien GBS dan
harus ditangani dengan segera. Pengakuan nyeri pasien menjadi penting, terutama
yang tidak mampu berkomunikasi karena dalam intubasi. Nyeri dapat terjadi
sebelum kelemahan, yang mungkin akan membingungkan dan dapat
menyebabkan penundaan dalam penegakan diagnosis GBS. Intensitas nyeri
berkaitan dengan tingkat kelemahan atau kelumpuhan yang dialami pasien (van
Doorn, 2013). Nyeri tersebut timbul dari gejala dan fase penyakit yang berbeda:
paraestesia atau disestesia, nyeri punggung, meningisme, nyeri otot, nyeri sendi,
dan nyeri viseral. Nyeri dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Nyeri pada
fase akut GBS dapat disebabkan oleh penyebab nosiseptif akibat inflamasi. Pada
tingkat penyakit selanjutnya, nyeri neuropati non-nosiseptif dapat timbul akibat
degenerasi bahkan regenerasi serabut saraf. Identifikasi tipe dan keberadaan nyeri
sangat penting untuk menentukan terapi yang tepat bagi pasien. Biopsi kulit dapat
membantu dalam mengetahui mekanisme yang menyebabkan timbulnya nyeri
neuropati pada pasien GBS (Burns, 2008; van Doorn, 2008).
Rasa sakit (nyeri) dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang
terjadi terutama pada anak-anak. Nyeri terutama saat bergerak, dilaporkan pada 50
– 89% pasien GBS. Nyeri yang dideskripsikan berupa nyeri berat, seperti aching
atau cramping/ kaku (menyerupai sciatica) pada otot yang terserang, sering
memburuk pada malam hari. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal
pada lebih dari 50% pasien yang dapat menyebabkan diagnosis GBS menjadi
tertunda (Budihardja, 2012; Walling & Dickson, 2013).
Dalam sebuah studi prospektif longitudinal mengenai nyeri pada pasien
GBS, 89% pasien melaporkan nyeri terjadi pada GBS pada suatu waktu selama
menderita penyakit ini. Pada presentasi awal, hampir 50% dari pasien GBS
digambarkan rasa sakit yang parah. Mekanisme nyeri masih belum diketahui
pasti. Nyeri dapat dihasilkan dari kerusakan saraf sacara langsung atau dari
kelumpuhan dan imobilisasi yang berkepanjangan (Andary et al., 2016) .
35

4. Perubahan Otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis
dan parasimpatis dapat diamati pada pasien GBS. Gejala otonom terjadi pada dua
per tiga pasien dan perubahan otonom tersebut meliputi instabilitas tekanan darah
(hipotensi atau hipertensi), takikardia, bradikardia bahkan cardiac arrest,
kemerahan pada wajah, gangguan hidrosis tau diaphoresis dan penurunan
motilitas gastrointestinal Budihardja, 2012; Walling & Dickson, 2013; Andary et
al., 2016). Hipertensi dapat pula terjadi pada sepertiga pasien dengan GBS dan
dapat diikuti oleh hipotensi. Hipertensi terjadi pada 10 – 30 % pasien sedangkan
aritmia terjadi pada 30 % dari pasien (Meena et.al, 2011; Budihardja, 2012;
Walling & Dickson, 2013). Perubahan otonom ini lebih sering terjadi pada pasien
dengan kelemahan yang parah dan kegagalan pernafasan (Andary et.al, 2016).
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan merupakan penyebab kematian
yang signifikan pada pasien GBS (Budihardja, 2012; Meena et.al, 2011).
5. Keterlibatan otot pernafasan
Kelemahan lanjut dapat melibatkan otot-otot respiratorik dan sekitar 25%
pasien yang dirawat membutuhkan ventilasi mekanik. Kegagalan respirasi lebih
umum terjadi pada pasien dengan progresi gejala yang cepat, kelemahan anggota
gerak atas, disfungsi otonom, atau kelumpuhan bulbar. Kelemahan biasanya
mencapai puncak pada minggu kedua, diikuti dengan fase plateu dengan durasi
yang bervariasi sebelum terjadinya resolusi atau stabilisasi dengan gejala
disabilitas sisa (Walling & Dickson, 2013). Sekitar 40% dari pasien GBS ini
mengalami kelemahan pernafasan atau orofaringeal. Keluhan umum yang
dilaporkan antara lain: dyspnea saat aktivitas, sesak nafas, kesulitan menelan.
Kegagalan ventilasi dengan adanya gangguan pernafasan terjadi pada hingga
sepertiga pasien pada beberapa waktu selama perjalana penyakit (Andary et al.,
2016). Rata-rata durasi antara onset terjadinya kelemahan pernafasan dan gagal
pernafasan dilaporkan antara 2 sampai 3 minggu (Dhadke et al., 2013). Jika
terjadi kegagalan pernafasan akan memicu terjadinya kematian pada pasien.
36

2.3.7 Komplikasi GBS


GBS merupakan suatu gangguan imun-mediasi pada sistem saraf tepi
dengan luas spektrum komplikasi. Pemahaman dan pengetahuan yang baik
mengenai komplikasi GBS membantu dokter dan tenaga kesehatan lainya untuk
mengenali dan mengelola (menangani) komplikasi tersebut secara tepat sehingga
dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas pada pasien GBS (Wang et al.,
2016). Pada kondisi lain komplikasi yang sering dan kemungkinan dialami oleh
pasien GBS adalah sebagai berikut:
1. Disautonomia
Disfungsi otonom akut umumnya terjadi pada pasien dengan GBS dan
merupakan penyebab kematian yang signifikan pada pasien. Gangguan jantung
dan aliran darah merupakan komplikasi yang paling serius dan sering terjadi,
selain itu pasien GBS juga sering kali mengalami disautonomia fungsi usus dan
kandung kemih. Aktivitas berlebih simpatetik dan kurangnya aktivitas
parasimpatetik merupakan pola ketidakseimbangan otonomik yang sering terjadi.
Disautonomia yang parah pada umumnya terjadi pada kasus GBS parah yang
berada pada titik terendah klinisnya, seperti pasien GBS yang harus dirawat di
ICU, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa disautonomia ini dapat terjadi
pada fase awal penyakit atau setelah terjadi kelumpuhan. Manifestasi klinik pada
ganguan jantung dan aliran darah ini antara lain hipertensi, postural hipotensi dan
takikardia. Pengawasan kardiovaskular harus selalu dilakukan hingga kondisi
klinis pasien membaik atau pada pasien yang menggunakan bantuan pernafasan,
pasien tidak lagi membutuhkan ventilasi mekanik. Selain itu, keterlibatan saraf
otonom ini dapat menyebabkan retensi urin, ileus, sinus takikardia, aritmia
jantung, dan gangguan motilitas gastrointestinal (Hughes & Combalth, 2005;
Burns, 2008).
2. Neuromuscular Respiratory Failure
Kegagalan pernafasan terjadi pada 25% pasien.Gagal nafas ini terjadi
secara cepat dan diikuti dengan gejala bulbar palsy, keterlibatan anggota gerak
atas, dan disfungsi otonomik. Pengawasan yang teratur, pemeriksaan kapasitas
vital paru-paru, dan intubasi profilaksis sangat penting dilakukan pada pasien
GBS (Hughes & Cornblath, 2005). Pada waktu kurang dari satu minggu setelah
37

timbulnya gejala, kelemahan otot wajah, ketidakmampuan batuk,


ketidakmampuan mengangkat kepala dari bantal, dan terjadinya atelektasis pada
radiograf abdomen merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan kegagalan
pernafasan dan membutuhkan ventilasi mekanik (Burns, 2008).
Kegagalan pernapasan neuromuskuler yang membutuhkan ventilasi
mekanis terjadi pada 20 sampai 30 % dari pasien GBS. Pasien dengan demielinasi
GBS juga lebih mungkin membutuhkan ventilasi mekanik. Pasien GBS yang
membutuhkan ventilasi mekanik beresiko tinggi terkena komplikasi seperti
pneumonia, tracheobronchitis, emboli paru, atau bakteremia. Pada beberapa
pasien GBS , ventilasi mekanik ditujukan untuk disfungsi bulbar parah yang
menyebabkan kesulitan dengan membersihkan sekret, meningkatkan risiko
aspirasi,dan merusak pertukaran gas. Lama pemakaian ventilasi mekanis rata-rata
pada pasien GBS adalah selama 2 hingga 6 minggu. Tindakan trakeostomi juga
dapat dilakukan untuk meningkatkan kenyamanan bernafas pada pasien, tetapi
perlu diperhatikan pula bahwa tindakan ini dapat menimbulkan kerusakan
permanen dan komplikasi lain seperti perdarahan dan infeksi (Burns, 2008).
3. Deep Vein Thrombosis (DVT)
Imobilisasi yang terjadi pada pasien GBS, terutama pada pasien yang lama
berada di ICU, merupakan faktor risiko terjadinya DVT dan emboli pulmonar.
Tromboemboli vena sering merupakan penyebab dari penyakit yang dapat
dicegah bahkan kematian pada pasien rawat inap. Waktu hingga timbulnya gejala
DVT atau emboli pulmonar pada pasien GBS bervariasi mulai dari 4 hingga 67
hari setelah timbulnya serangan. Pada pasien rawat inap dewasa, heparin
terfraksinasi maupun heparin tak terfraksinasi secara subkutan dan penggunaan
compression stocking/ stoking varises diberikan untuk mencegah timbulnya DVT
hingga pasien dapat berjalan dengan normal. Rekomendasi ini berdasarkan
pembuktian bahwa pemberian heparin subkutan (5000 U/ 12 jam) atau enoxaparin
(40 mg/ hari) dapat mengurangi risiko DVT pada pasien. Penggunaan Low-
Molecular-Weight-Heparin (LMWH) mengurangi risiko DVT dari sekitar 30 %
menjadi 6 % (Hughes & Cornblath, 2005; Hughes et al., 2005; Burns, 2008;
Mullings et al., 2010).
38

4. Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial atau yang juga disebut hospital-required infection
adalah infeksi yang dialami oleh pasien yang didapatkan dari rumah sakit dan
infeksi tersebut bukan merupakan penyebab awal pasien dirawat di rumah sakit.
Infeksi ini terjadi pada pasien yang tidak mengalami infeksi saat masuk rumah
sakit tetapi mulai timbul selama pasien dirawat di rumah sakit atau fasilitas
kesehatan lainnya. Banyak faktor yang memicu timbulnya infeksi nosokomial ini
antara lain menurunnya imunitas pasien, peningkatan jenis prosedur medis dan
teknik invasif yang meningkatkan potensi rute terjadinya infeksi, serta penyebaran
bakteri yang telah resisten antibiotik di dalam populasi rumah sakit (WHO, 2002).
Infeksi nosokomial juga dapat terjadi pada pasien GBS, terutama pasien
yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU) dalam jangka waktu yang lama.
Pneumonia nosokomial atau yang disebut Ventilator-Associated Pneumonia
(VAP) merupakan infeksi yang paling sering terjadi pada pasien dengan ventilator
di ICU. VAP ini terjadi pada pasien dengan ventilasi mekanis berupa intubasi
endotrakeal dan risiko komplikasi ini meningkat seiring dengan peningkatan lama
penggunaan intubasi. Infeksi nosokomial lain yang dapat terjadi pada pasien GBS
adalah infeksi saluran kencing dan infeksi pada akses intravena pasien (Aggarwal
et al., 2003; WHO, 2002). Infeksi nosokomial ini dapat meningkatkan tingkat
morbiditas dan mortalitas pasien GBS, oleh karena itu penanganan tindakan medis
dan pemberian antibiotik yang tepat dapat mencegah timbulnya komplikasi
infeksi nosokomial tersebut.
a. Hospital-Acquired Pneumoniae (HAP)
Hospital-Acquired Pneumoniae (HAP) adalah infeksi pneumonia yang
terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di rumah sakit dan terbebas dari semua
infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit. HAP dapat disebabkan oleh
kuman yang tidak multi drug resistance (MDR) misalnya S.pneumoniae, H.
influenzae, Methicilin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA), dan kuman MDR
misalnya Pseudomonas aeruginosa, Estherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
Acinetobacter spp dan Gram positif seperti Methicillin Resistance Staphylococcus
aureus (MRSA) (PDPI, 2003). Berikut adalah skema patogenesis HAP dan VAP
yang dapat dilihat pada (Gambar 2.14).
39

Gambar 2.14 Skema Patogenesis HAP dan VAP (PDPI, 2003)

b. Ventilator-Associated Pneumoniae (VAP)


VAP adalah infeksi pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam setelah
pemasangan instubasi endotrakeal (PDPI, 2003). 20-30% pasien GBS
membutuhkan perwatan Intensive Care Unit (ICU) dan pemakaian alat bantu
pernafasan mekanisme disebabkan lemahnya otot pernafasan atau orofaringeal.
Dilaporkan bahwa kematian pasien GBS yang menggunakan alat bantu
pernafasan mekanis sekitar 20%, dimana hal tersebut tersebut merupakan alat
bantu pernafasan mekanis yaitu sekitar 5%. Kematian yang tinggi tersebut
disebabkan adanya komplikasi lain seperti VAP, bakterimia, dan emboli paru.
Namun demikian, hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien GBS menggunakan
alat bantu pernafasan mekanisme menghasilkan progonosis yang baik (Azim et.al,
2013). Berikut adalah ringkasan pentalaksaan pasien yang didiagnosa terkena
HAP dan VAP yang dapat dilihat pada (Gambar 2.15).
40

c. Infeksi Saluran Kemih


Infeksi saluran kemih (ISK) adalah salah satu infeksi nosokomial yang
sering terjadi. Angka kejadian ISK sebanyak 40-50% dari semua infeksi
nosokomial yang terjadi di rumah sakit. ISK tidak hanya meningkatkan
morbiditas dan mortilitas pasien, tetapi juga biaya rumah sakit karena akan
semakin lama mendapat perawatan intensif di rumah sakit. Faktor paling penting
yang menyebabkan terjadinya ISK adalah katerisasi urin. Dari hasil penelitian,
metode dan durasi kateterisasi urin merupakan resiko tertularnya ISK pada pasien.
ISK teridentifikasi pada 30% pasien dengan kateter urin dalam waktu 2 minggu
dan hampir 100% dalam waktu enak minggu (Savas et.al, 2006).
ISK menunjukkan keberadaan mikroorganisme dalam urin. Bakteri yang
dapat menyebabkan ISK, antara lain:
 Kelompok Enterobactericeae, seperti: Estherichia coli, Klebsiella,
Enterobacter aerogenes, Proteus, Providencia dan Citrobacter
 Pseudomonas aeruginosa
 Acinobacter
 Enterokokus faecalis
 Staphylococcus sarophyticus (Sukandar, 2010).
Antibiotika untuk ISK diberikan secara empiris sebelum hasil laboratrium
dari kultur urin keluar. Oleh karena itu pengetahuan tentang mikroorganisme
penyebab ISK merupakan suatu hal yang wajib (Savas et.al, 2006). Munculnya
resistensi mikroorganisme terhadap antibiotika yang digunakan merupakan hal
yang sering terjadi pada infeksi nosokomial. Pada ISK, telah terjadi peningkatan
resistensi terhadap antibiotika yang umum digunakan, termasuk ampisilin dan
trimethoprim. Di beberapa negara juga terdapat laporan adanya resistensi terhadap
antibiotika golongan fluorokuinolon (Savas et.al, 2006).
d. Infeksi Akses Intravena
Penggunaan kateter intravena dalam perawatan pasien berkaitan dengan
penyediaan makanan dan juga sebagai tempat masuk obat-obatan. Dalam
perkembangannya, penggunaan kateter intravena yang tidak memperhatikan
standar medis akan menimbulkan permasalahan tersendiri, seperti phlebitis, abses
sepsis, dan bakterimia yang secara nyata dapat mengancam keselamatan pasien
41

(Putra, 2011). Infeksi ini merupakan salah satu infeksi nosokomial yang sering
terjadi karena dengan tingkat morbiditas yang tinggi, dan apabila terjadi
komplikasi kateterisasi vena sentral maka pasien akan semakin lama tinggal di
rumah sakit dan semakin tinggi biaya yang dikeluarkan oleh pasien (Fletcher,
2005).
Jenis bakteri yang ditemukan pada infeksi ini adalah Staphylococcus sp
(41,9%), Bacillus sp (16,1%), Pseudomonas aeruginosa (12,9%), Klebsiella sp
(6,5%), Enterobacter sp (6,5%), Estherichia coli (3,2%), Gaptya tetragena
(3,2%), Kuman Colifor (3,2%). Faktor umur, jenis kelamin, kecepatan tetesan,
lama pemasangan, pemberian obat-obat intravena dan pola penyakit tidak
mempengaruhi terjadinya infeksi pada kolonisasi mikroorganisme (Putra, 2011).
e. Sepsis
Sepsis berasal dari sumber infeksi yang terdapat pada tubuh, seperti kulit,
saluran kemih, rongga peritoneal, paru-paru dan lain-lain. Setelah itu tubuh
melepaskan antigen yang menimbulkan respon inflamasi sistemik yang bertujuan
untuk membatasi dan menghilangkan patogen yang menyerang. Banyak faktor
lain yang dapat menginduksi inflamasi sistemik yaitu endotoksin yang berasal dari
Gram negatif, eksotoksin yang berasal dari bakteri Gram positif,
lipoarabinomannan mycobacteria, serta mannoprotein dan ß-glucan jamur.
Komponen mikrobial diidentifikasi oleh pola spesifik molekul yang dikenalu (sel
CD14 dan Toll-like receptors), proses kompleks ini mengaktivasi seluler yang
terdiri dari pelepasan sitokin ; aktivasi neutrofil, monosit, dan sel esdotelial;
keterlibatan neuroendokrin; dan aktivasi komplemen, koagulasi dan sistem
fibrinolitik (Karnatovskaia, 2012).
Progresivitas klinik meliputi:
1. Infeksi berasal dari sumber infeksi yang terdapat pada tubuh
2. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)
Pasien didiagnosa SIRS apabila mempunyai dua hal atau lebih dari gejala berikut:
 Suhu tubuh diatas 38C atau dibawah 36C
 Heart rate diatas 90x per menit
 Respiratory rate diatas 20x per menit atau PaCO2 dibawah 32 mmHg
 White Blood Cell (WBC) lebih dari 12.000 sel/μL atau dibawah 4.000sel/μL
42

Gambar 2.15Skema penatalaksanaan HAP dan VAP (PDPI, 2003)


Pemberian antibiotika spesifik untuk mengatasi sepsis nosokomial harus
memperhatikan resistensi mikroorganisme. De Man et.al menyelidiki bahwa
43

resistensi mikroorgansime dapat dihentikan dengan pemberian modifikasi


antibiotika empiris. Setiap rumah sakit memiliki tingkat resistensi
mikroorganisme berbeda sehingga pemberian antibiotika pun kemungkian bisa
berbeda (Fry D.E, 2012).
2.3.8 Diagnosa GBS
GBS pada umumnya merupakan kelainan pasca-infeksi yang terjadi pada
orang yang sehat. Pada kasus tertentu, gejala pertama yang menyertai adalah
nyeri, mati rasa, kelumpuhan, kelemahan pada anggota gerak atau beberapa
kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Ciri utama GBS adalah progresif kelemahan
otot berlangsung secara cepat, bilateral dan relatif simetris pada anggota badan,
dengan atau tanpa keterlibatan dari otot-otot pernafasan atau otot kranial yang
terinervasi saraf, dan kelemahan yang berlangsung selama 12 jam sampai 28 hari
sebelum mencapai fase plateau. Pasien biasanya secara umum menderita
hyporeflexia atau areflexia. Riwayat penyakitnya meliputi infeksi saluran
pernapasan atas atau diare 3 hari sampai 6 minggu sebelum timbul gejala GBS
(van Doorn et al., 2008; Yuki & Hartung, 2012).
Beberapa tanda dan gejala yang membantu menegakkan diagnosis GBS di
antaranya:
a. Gangguan muncul pada kedua sisi tubuh (gejala relatif simetris)
b. Kelemahan otot terjadi dalam beberapa hari atau minggu, bahkan
berbulan-bulan.
c. Kelemahan pada awalnya muncul di tungkai yang kemudian menjalar
ke atas hingga dapat mengenai otot pernafasan dan otot-otot lengan.
d. Ditemukan riwayat infeksi saluran nafas atau pencernaan sebelum
awitan.
e. Adanya faktor pencetus seperti riwayat infeksius, vaksinasi, kehamilan,
operasi sebelumnya, dan lain-lain.
f. Refleks tendon menghilang akibat terlambatnya penyampaian impuls
saraf karena kerusakan mielin.
g. Keterlibatan saraf kranial, terutama kelemahan bilateral dari otot-otot
wajah
h. Disfungsi autonom
44

i. Nyeri (van Doorn, 2008; Dewanto et al., 2007)


Pada semua penderita dilakukan pemeriksaan klinis neurologis dan
laboratoris. Pemeriksaan klinis neurologis meliputi sensibilitas, reflek fisiologis,
refleks patologis dan derajat kelumpuhan motoris, dan pemeriksaan
elektrofisiologis untuk mengetahui adanya kelainan pada saraf sedangkan
pemeriksaan laboratoris meliputi cairan serebrospinal dengan pungsi lumbal.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dikerjakan untuk mengetahui kadar protein dan
jumlah sel yaitu adanya kenaikan jumlah protein didalam cairan serebrospinal
tanpa adanya kenaikan jumlah sel yang melebihi (disosiasi sitoalbuminemik) 10
sel mononuklear per mm3. Peningkatan jumlah protein dalam cairan serebrospinal
bisa melebihi 45 mg/dl (normal <40 mg/dl) yang puncaknya terjadi pada 4 sampai
5 minggu dan setelah itu berangsur-angsur kembali normal. Selain itu,
pemeriksaan laboratorium lainnya dalah pemeriksaan darah tepi antara lain:
hemoglobin, lekosit dan laju endap darah pada GBS yang biasanya didapatkan
dengan hasil normal kecuali apabila terdapat infeksi misalnya pada paru-paru dan
saluran kencing (Muid, 2005).
Diagnosis secara rinci pada pemeriksaan neurologis penyakit ini lebih
mengarah ke saraf perifer daripada batang otak, sumsum tulang belakang, cauda
equina, neuromuscular junction, atau otot. Distal paresthesia meningkatkan
kemungkinan diagnosis tersebut adalah benar GBS. Jika tidak ada keterlibatan
sensorik, gangguan seperti poliomyelitis, myasthenia gravis, gangguan elektrolit,
botulism, atau miopati akut harus dipertimbangkan dalam penegakan diagnosis.
(Yuki & Hartung, 2012).
Lumbal pungsi hampir selalu dilakukan pada pasien yang diduga
menderita GBS. Pemeriksaan CSS biasanya menunjukkan peningkatan protein
dengan jumlah sel darah putih yang normal pada CSS. Kekeliruan yang sering
terjadi bahwa CSS protein harus selalu meningkat dalam GBS, konsentrasi protein
CSS pada pasien GBS seringkali normal di minggu pertama, tetapi meningkat
lebih dari 90 % pada akhir minggu kedua. Dalam penelitian pasien dengan
sindrom Miller Fisher (MFS) subtipe dari GBS, jumlah pasien dengan protein
CSS total meningkat dari 25 % pada minggu pertama sampai 84 % di minggu
ketiga. Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa ketiga konsentrasi
45

haptoglobin, α1 antitrypsin, apolipoprotein, dan neurofi meningkat dalam CSS


pasien dengan GBS (van Doorn, 2013).
Nerve Conduction Studies (NCS) juga membantu untuk mengetahui
adanya pola dan keparahan neuropati. Setelah diagnosis dari acute peripheral
neuropathy jelas, GBS kemungkinan menjadi diagnosis akhir pada sebagian besar
pasien. GBS umumnya bersifat monofasikdan biasanya tidak kambuh. Meskipun
hyporeflexia atau areflexia merupakan ciri dari GBS, 10 % pasien memilikirefleks
normal atau cepat selama berlangsungnya penyakit. Dengan demikian,
kemungkinan GBS tidak boleh dikecualikan pada pasien dengan refleks normal
atau cepat jika semua ciri lainnya mendukung diagnosis (Yuki & Hartung 2012).
Pemeriksaan EMG (Elektromiogrfi) dapat digunakan sebagai pemeriksaan
penunjang dalam menegakkan diagnosis pada GBS. Gambaran awal penyakit
masih dalam batas normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan
puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ketiga mulai ada
perbaikan. Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat adanya
keterlambatan atau bahkan penghambatan dalam penghantaran impuls. Bila
pemeriksaan dilakukan pada minggu kedua akan terlihat adanya penurunan
potensial aksi dari beberapa otot dan menurunnya kecepatan konduksi saraf
motorik (Israr et al., 2009).
2.3.9 Tingkatan Klinik GBS
Perjalanan GBS dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase progresifitas, fase
plateau dan fase penyembuhan (recovery). Pada fase progresifitas biasanya
berlangsung dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. Pada fase ini perlu
observasi sampai tanda-tanda kearah perburukan tidak terjadi. Pada fase
progresifitas ini penderita mengeluh nyeri dan terjadi kelemahan yang progresif
serta sensibilitas yang abnormal dan ini merupakan tanda khas dari GBS. Gejala-
gejala ini dapat bertambah berat dan kadang-kadang tidak dapat diduga tergantung
dari keadaan penderita yang kurang baik (Muid, 2005).
46

Gambar 2.15 Hubungan antara infeksi, antibodi antigangliosida, dan tingkatan


klinik GBS (Van Doorn et al., 2008)
Pada penelitian lainnya disebutkan, GBS adalah penyakit triphasic
ditandai dengan fase akut, fase plateau panjang yang variabel, dan fase pemulihan
yang dapat berlangsung minggu hingga ke bulan. Gejala awal biasanya hadir
antara 1 dan 4 minggu setelah penyakit pernapasan atau diare. Tahap pertama
adalah ditandai dengan timbulnya dan perkembangan gejala. Fase ini dapat
berlangsung dari jam hingga minggu. Biasanya yang menyajikan perhatian adalah
kelemahan yang dapat bermanifestasi sebagai gangguan gaya berjalan seperti
penolakan untuk berjalan (kelumpuhan), berjalan di atas dasaran yang luas (perlu
bantuan), atau kesulitan dengan berjalan atau naik tangga. Dalam gangguan cara
berjalan, meskipun biasanya ditafsirkan awalnya menjadi ataksia dan karena itu
dianggap mewakili penyakit sistem saraf pusat, biasanya disebabkan oleh
kelemahan daripada disfungsi serebral (Rosen, 2016).
Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase, yakni: (Emedicine
2009).
1. Fase Progresif
Pada umumnya, fase progresif berlangsung selama dua hingga tiga minggu
sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap yang dikenal sebagai
“titik nadir”. Pada fase ini, akan timbul nyeri, kelemahan bersifat progresif
dan gangguan sensorik. Derajat keparahan gejala bervariasi dan tergantung
seberapa berat serangan yang muncul pada penderita. Penatalaksanaan
47

secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan


mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen.
2. Fase Plateau
Fase progresif akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak
didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti,
namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase berikutnya, yaitu
fase penyembuhan. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat
peradangan saraf serta kekakuan otot dan sendi. Keadaan umum penderita
sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta
fisioterapi. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang
hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Pengawasan rutin
terhadap tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan
cairan, serta status generalis haruslah dilakukan. Imunoterapi dapat dimulai
di fase ini. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien
langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien
lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum
dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase Penyembuhan
Fase yang terakhir adalah fase penyembuhan dimana terjadi perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibodi yang
menghancurkan mielin, dan gejala berangsur-angsur menghilang,
penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama
pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan
dan pergerakan otot yang normal dan optimal. Kadang masih didapati nyeri,
yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga
bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja
kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala
ringan sampai waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat
penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase
infeksi.
48

Gambar 2.16 Waktu perjalanan Guillain-Barré Syndrome (Willison, Jacobs, dan


van Doorn, 2016)

Pengukuran progresivitas penyakit pada pasien GBS diukur dengan 7


skala disabilitas (Tabel II.4). Outcome primer yang diharapkan dari hasil terapi
GBS adalah pasien yang mengalami GBS yang parah dan tidak dapat berjalan
tanpa bantuan (skala disabilitas 3 atau lebih) mengalami perbaikan klinis berupa
penurunan skala setelah 4 minggu. Sedangkan outcome sekunder meliputi
perbaikan klinis satu skala atau lebih setelah 4 minggu serta perbaikan terhadap
durasi ventilasi, waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan kemampuan berjalan
pasien, sisa disabilitas, dan kematian (Hughes et al., 2007).
Tabel II.4 Skala disabilitas pasien GBS (Hughes et al., 2007; Fokke et al., 2014)
0 Sehat
1 Gejala minor dari neuropati, tetapi dapat melakukan pekerjaan manual/ berlari
2 Dapat berjalan tanpa bantuan tongkat (5 meter pada ruang terbuka), tetapi tidak dapat melakukan
pekerjaan manual/ berlari
3 Dapat berjalan dengan bantuan tongkat atau alat penunjang (5 meter pada ruang terbuka)
4 Kegiatan terbatas di tempat tidur/ kursi
5 Membutuhkan bantuan ventilasi
6 Kematian

2.3.10 Penatalaksanaan GBS


Tatalaksana GBS meliputi tatalaksana suportif (simptomatis) dan spesifik
(etiologis) (Muid, 2005; Hudges et al., 2012). Penatalaksanaan suportif masih
merupakan yang paling penting karena bersifat multidisiplin (Tandel et al., 2016)
artinya masih harus tetap diberikan untuk mencegah kondisi pasien semakin
49

memburuk. Terapi suportif berupa terapi simptomatis yang diperlukan untuk


mengantisipasi dan menangani akibat dari imobilisasi dan keterlibatan saraf yang
mengurus tanda vital (Hakim, 2011) dan diberikan ataupun digunakan untuk
mengatasi manifestasi klinik dari GBS seperti kelemahan otot sampai dengan
kelumpuhan motorik, gangguan saraf otonom, gangguan otot pernafasan serta
nyeri (Inayah, 2014). Sedangkan tatalaksana spesifik (etiologis) diperlukan untuk
mengatasi gejala penyebabnya berupa imunoterapi Intravenous Immunoglobulin
(IVIG) atau Plasma Exchange (PE), digunakan untuk mengatasi penyebab
autoimun yang terjadi pada pasien GBS (Inayah, 2014). Pengobatan spesifik
sebaiknya segera diberikan begitu diagnosis ditegakkan; imunoglobulin intravena
diberikan dengan dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari atau dengan pemberian
plasmafaresis. Pemberian kortikosteroid untuk penderita GBS sampai saat ini
masih kontroversi. (Muid, 2005; Yuki & Hartzung, 2012).
Apabila penderita melewati fase akut dari penyakitnya akan mengalami
penyembuhan yang sempurna, namun demikian dalam perjalanannya dapat
menjadi berat sampai memerlukan ventilator. Disamping itu penderita perlu
perawatan rehabilitasi medis (Muid, 2005; Tandel et al., 2016).
1. Terapi Spesifik (kausatif/etiologis)
Pengobatan imunomodulasi untuk pasien GBS berupa plasmaferesis/
plasma exchange (PE) dan imunoglobulin intravena (IVIG) (Tandel et al., 2016),
keduanya merupakan imunoterapi yang tersedia saat ini dan terbukti efektif
(van den Berg et al., 2014) dalam mengurangi kerusakan saraf, mengurangi
progresivitas penyakit, dan mempercepat pemulihan keadaan pasien sehingga
memperpendek waktu rawat inap serta efektivitasnya lebih baik dibandingkan
hanya dengan terapi suportif saja (Zhong & Cai, 2007).
IVIG dan plasmafaresis sama-sama efektif sebagai pengobatan lini
pertama, dan parameter spesifik pasien dibutuhkan untuk menentukan terapi mana
dari dua pilihan yang lebih baik. Mengkombinasikan IVIG dengan plasmaferesis
atau dengan 500 mg metilprednisolon intravena tidak menghasilkan respon
tambahan. IVIG tetap pengobatan pilihan untuk anak pada GBS, karena
berdasarkan pengamatan pemulihan lebih cepat dan mengurangi morbiditas,
50

namun pada anak-anak dengan ventilasi mekanik, plasmafaresis mungkin lebih


unggul dibanding IVIG(Lünemann et al., 2015).
Rekomendasi pemilihan penggunaan imunoterapi IVIG atau PE
berdasarkan guideline AAN 2003 diikuti oleh beberapa parameter, diantaranya
adalah (EL-Said, 2014):
1. Pasien pulih lebih cepat dan lebih baik ketika diobati lebih awal.
2. PE direkomendasikan untuk pasien GBS dewasa tidak berdaya
(nonambulatory) dengan mulai pengobatan dalam waktu 4 minggu dari
awal gejala neuropatik. PE juga dianjurkan untuk pasien rawat jalan
yang mulai pengobatan dalam 2 minggu dari timbulnya gejala
neuropati.
3. IVIG direkomendasikan untuk pasien GBS dewasa tidak berdaya
(nonambulatory) yang mulai pengobatan selama 2 atau kemungkinan
sampai 4 minggu dari awal timbulnya gejala neuropati. Pada pasien
GBS anak yang mempunyai prognosis lebih baik sebaiknya diberikan
IVIG sebagai terapi lini pertama (Elovaara, 2008).
4. Pemilihan antara IVIG atau PE berdasarkan ketersediaan lokal dan pada
keterkaitan faktor resiko pasien dalam penggunaan obat, kontraindikasi,
dan pemilihan yang tepat. IVIG lebih mudah untuk diberikan dan secara
luas lebih available, oleh karena pertimbangan tersebut IVIG lebih
sering dijadikan sebagai pilihan terapi (EL-Said, 2014).
A. Intravena Imunoglobulin (IVIG)
Imunoglobulin yang digunakan untuk terapi GBS (yaitu IVIG) adalah
murni berasal dari plasma manusia yang dikumpulkan setidaknya dari 1000
pendonor (Hughes et al., 2014). IVIG diperoleh dari darah donor dan
mengandung semua antibodi dari darah donor tersebut. Satu teori menyatakan
bahwa antibodi nonspesifik dalam donor dapat berikatan dengan antibodi
antimielin spesifik yang menyerang saraf pada pasien GBS dan menetralisasinya.
Terlepas dari mekanismenya, IVIG telah terbukti efektif pada berbagai penyakit
autoimun yang luas, termasuk GBS dan CIDP (Perry dan Stanberg, 2007). Obat
ini sangat efektif bila diberikan dalam 2 minggu pada saat timbulnya gelaja. IVIG
memiliki sejumlah keuntungan dibandingkan dengan plasma exchange, yaitu
51

lebih banyak ketersediaannya, lebih sedikit usaha intensif, dan lebih sedikit efek
samping dan komplikasi, namun biayanya sangat mahal (Bahrudin, 2013).
Dosis dari IVIG biasanya dilakukan dengan menggunakan total berat
badan. Dosis efektif dari IVIG untuk inflamasi pada neuropati adalah 2g/kgBB
biasanya dibagi menjadi 2 sampai 5 hari, dengan kata lain dosis yang diberikan
sebesar 0,4g/kgBB selama 5 hari berturut-turut (Saderholm, 2010). IVIG juga
diindikasikan untuk mengatasi kelemahan otot dan gangguan pernafasan pada
GBS dengan dosis standar yang sama untuk suatu rejimen yaitu 2g/kgBB, yang
diberikan 0,4 gr/kgBB/hari selama lima hari berturut-turut (Tandel et al., 2016).
Dosis terapi khas IVIG secara empiris juga telah ditetapkan pada dosis 2g/kg
diberikan dalam dua sampai lima dosis harian. Total dosis maksimum untuk
gangguan tertentu telah berubah-ubah, dan belum ada penelitian menemukan
efikasi dosis yang telah dilakukan. Pada pasien yang merespon terhadap IVIG,
dosis pemeliharaan diperlukan, biasanya dengan 1g/kg bulanan, tetapi frekuensi
yang tepat dan dosis harus ditentukan berdasarkan durasi dan tingkat efikasi/
manfaat klinis (Lünemann et al., 2015). Pada pasien dengan tingkat kepararahan
penyakit yang lebih durasi pemberian IVIG lebih lama (6 hari) akan memberikan
keuntungan (EL-Said, 2014).
Pemberian IVIG adalah secara intravena drip. Pada pasien yang
menggunakan lebih dari satu obat intravena, maka IVIG diberikan melalui jalur
intravena lain yang terpisah karena terdapat obat-obat yang berpresipitasi jika
kontak dengan IVIG, misalnya furosemid dan diazepam (Immune Deficiency
Foundation, 2012). Sediaan yang tersedia dan sering digunakan di Indonesia saat
ini adalah Gammaras Plasma Immunoglobulin G IV (Human) 2,5 g (5%) . Dosis
untuk GBS: 400mg/kg BB selama 3-7 hari. Kemasan yang tersedia Vial 2,5 g
IVIG/50ml. Diproduksi oleh Combiphar (ISO vol 48, 2013; e-katalog, 2016).
1. Farmakokinetika dan Farmakodinamik IVIG
Data farmakokinetik sangat penting untuk mendukung aktivitas
farmakologi dan efektifitas dari suatu obat dan dapat membedakan antara satu
produk dengan produk yang lain. Parameter farmakokinetik antara lain adalah
waktu paruh, AUC, volume distribusi, C max, t max, dan laju eliminasi (EMA,
2010).
52

Kadar IgG dalam serum mencapai puncak setelah 3 hari pemberian terapi
IgIV (Kuitwaard et al., 2009). Dosis yang diberikan adalah 0,4g/kg setiap 3-4
minggu dan akan mencapai keadaan steady state pada 4-6 bulan (Koleba &
Ensom, 2006). Dalam interval waktu 3-4minggu tersebut diperkirakan sebesar 36-
48% dari imunoglobulin dimetabolisme dalam tubuh. Untuk perhitungan antara
AUC vs waktu setelah pemberian IVIG ini dapat menghasilkan bioavaibilitas
sebesar 100% (Berger, 2011). Dalam beberapa studi menunjukkan bahwa waktu
paruh dari imunoglobulin adalah sekitar 3-4 minggu (Berger et al., 2013; Berger,
2011; Kuitwaard et al., 2009; Koleba & Ensom, 2006).
Mekanisme IVIG dalam menekan inflamasi adalah dengan cara
menghambat reseptor Fc. IVIG ini dapat bekerja melalui banyak tahap setelah
disuntikkan pada pasien maka akan membentuk sejenis kompleks imun dalam
tubuh pasien. Ketika kompleks imun terbentuk, kompleks imun tersebut akan
berinteraksi dengan reseptor Fc yang aktif pada sel dendrit, kemudian memediasi
efek antiinflamasi yang membantu mengurangi keparahan gejala penyakit
autoimun atau inflamasi. Selanjutnya, antibodi pendonor dapat berikatan secara
langsung dengan antibodi abnormal dalam tubuh resipien sehingga dapat
membuang antibodi yang abnormal tersebut. Selain itu, antibodi yang jumlahnya
banyak dapat merangsang sistem komplemen dalam tubuh pasien sehingga
meningkatkan pembuangan semua antibodi yang berbahaya. IVIG juga
menghambat reseptor antibodi sel imun (sel makrofag), sehingga mengurangi
kerusakan yang disebabkan oleh sel makrofag atau pengaturan fogositosis dari
makrofag. IVIG juga dapat mengatur respon imun dengan bereaksi dengan
sejumlah reseptor membran pada sel T, sel B dan monosit yang bisa menyebabkan
autoreaktivitas dan induksi terhadap toleransi tubuh sendiri (Dhadka et al., 2010,
Berger et al., 2013; Maddur et al., 2014; Lünemann et al., 2015). Suatu laporan
terbaru menyatakan bahwa penggunaan IVIG untuk mengaktivasi sel T untuk
berikatan dengan mikroglia berkurang, akibatnya terjadi penurunan TNF alfa dan
IL 10. Hal ini semakin memperdalam pengertian tentang bagaimana efek IVIG
terhadap inflamasi pada sistem saraf pasien dengan penyakit autoimun (Suwangto,
2010) seperti GBS.
53

1. Efek Samping IVIG


Efek samping yang sering dan paling umum terjadi setelah infusi dan
mencakup diantaranya pusing, sakit kepala“headache”, diare/ pembilasan
“flushing”, panas dingin, myalgia, mengi, takikardi, nyeri punggung bawah,
mual, dan hipotensi, hipotensitransien“transient hypotension” dan (semuanya
dapat diminimalisir dengan memperlambat laju infus atau dihentikan), meningism,
aseptic meningitis, reaksi kulit (terutama untuk eczema), neutropenia,
memburuknya gagal ginjal, dan terjadinya stroke akibat hypervicosity (Hughes,
Swan, dan van Doorn, 2012). Apabila gejala ingin diantisipasi atau dicegah,
pasien dapat diberikan premedikasi dengan antihistamin dan IV hidrokortison
(Scheinfeld, 2016).
2. Kontraindikasi IVIG
IVIG tidak dikontraindikasikan pada kehamilan (kategori C). Kecepatan
infus yang lambat disarankan pada pasien dengan penyakit arteri koroner atau
gagal jantung kongestif untuk menghindari overload cairan. Acute tubular
necrosis paling sering berkaitan dengan produk IVIG dengan konsentrasi sukrosa
yang tinggi. Pemantauan blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin dengan ketat
dan hidrasi yang cukup merupakan hal yang penting sewaktu terapi IVIG.
Mengencerkan IVIG, memperlambat kecepatan infus dan memilih produk dengan
osmolalitas rendah akan mengurangi risiko. Kontraindikasi penggunaanIVIG
adalah defisiensi IgA, riwayat reaksi alergi sistemik terhadap IVIG dan fungsi
ginjal yang buruk (Burns , 2008). Pencegahan lebih efektif daripada pengobatan
dengan imunoglobulin, ketika vaksin tersedia hal ini dianjurkan. Tidak
diperbolehkan memberikan vaksin hidup selama 3 minggu sebelum dan 3 minggu
setelah immunoglobulin telah diberikan; karena dapat mengganggu respon
imunologi. Pengobatan imunoglobulin biasanya diperuntukkan bagi pasien
dengan penyakit parah atau yang berada pada risiko tertentu penyakit parah
tersebut (misalnya pasien immunocompromise)(A to Z, 2005; Oxford Handbook
of Practicaly Drug Therapy 1st Ed, 2005; DIH 17th Ed, 2009).
Pengecualian untuk CIDP dan MMN (dan GBS di Eropa dan Asia), semua
kegunaan lain dari IVIG di neurologi masih 'off-label', bahkan untuk gangguan di
mana efikasi telah ditetapkan dengan percobaan acak. Penggunaan IVIG
54

terkadang juga diresepkan secara bebas untuk penyakit dengan data yang lemah
dan tidak berbasis bukti, sehingga obat ini kadang-kadang ditolak oleh operator
asuransi, organisasi perawatan kesehatan dan instansi pemerintah karena biaya
tinggi, bahkan untuk gangguan dengan khasiat berbasis bukti. Kebijaksanaan
penggunaan obat ini, alasan, kebutuhan, dan penilaian berkala tentang efektivitas
lanjutan sangat dianjurkan untuk menghindari penggunaan yang tidak perlu atau
pengobatan berlebih (Berger et al., 2013).
3. Interaksi Obat IVIG
Dalam pemberian terapi imunoglobulin ini perlu diperhatikan dengan baik,
karena kemungkinan adanya interaksi dengan pengunaan obat lainnya.
Berdasarkan suatu studi menyatakan bahwa pemberian vaksin seperti MMR dan
varicella sesaat sebelum, bersamaan ataupun setelah pemberian imunoglobulin
dapat mengganggu efektivitas dari vaksin tersebut. Imunoglobulin dapat
mencegah sistem kekebalan tubuh dalam menanggapi adanya vaksin yang
diberikan. Vaksin mungkin tidak dapat bekerja sehingga upaya pencegahan pada
suatu penyakit tertentu menjadi tidak efektif. Durasi penghambatan vaksin MMR
(Mumps, Measless, dan Rubella) dan varicella tergantung pada dosis
imunoglobulin yang diberikan. Vaksin MMR dan varicella harus diberikan lebih
dari 2 minggu sebelum menerima terapi imunoglobulin. Imunoglobulin dapat
mengganggu respon imun dari vaksin MMR dan varicella replikasi virus dan
stimulasi imunitas biasanya berlangsung 2-3 minggu setelah pemeberian vaksin.
Jika interval antara pemberian vaksin dengan imunoglobulin lebih dari 14 hari
maka vaksinasi tidak perlu diulang, tetapi jika interval adalah kurang dari 14 hari
maka pemberian vaksin perlu diulang. Vaksin harus diberikan pada lokasi yang
berbeda dari injeksi imunoglobulin (Kroger & Strikas, 2014).
Imunoglobulin juga tidak dapat diberikan bersamaan dengan fenitoin.
Sebuah laporan menyatakan bahwa pasien mengalami hipersensitivitas
miokarditis yang akhirnya meninggal. Terjadinya hipersensitivitas miokarditis
tersebut akibat pemakaian jangka panjang dari fenitoin yang dilanjutkan dengan
pemberian terapi imunoglobulin. Selain itu, bisa juga pasien mengalami hipotensi
yang pada akhirnya juga dapat meninggal. Karena komplikasi ini sangat serius,
55

maka perlu pemantauan terhadap jumlah leukosit dan eusinofil jika imunoglobulin
diberikan bersama dengan fenitoin (Baxter et al., 2010).
Pemberian imunoglobulin yang bersamaan dengan antibiotik misalnya
benzilpenisilin dan ceftriaxon dapat meningkatkan mortalitas dari pasien sebesar
88%. Sebaiknya, dilakukan pemilihan terapi yang sesuai antara antibiotik atau
imunoglobulin sebagai anti infeksi karena penggunaan bersama sebagai anti
infeksi masih belum jelas (Baxter et al., 2010). Imunoglobulin juga tidak dapat
diberikan bersama dengan azatriopin karena azatriopin dapat menyebabkan
penurunan efek memblok neuromuskular, tetapi dalam studi prospektif dinyatakan
bahwa interaksi dengan azatriopin ini tidak menunjukkan hasil yang signifikan.
Keadaan seperti itu terjadi pada siklosporin jika diberikan bersamaan dengan
terapi imunoglobulin (Baxter et al., 2010).
Beberapa terapi yang diberikan pada pasien GBS akan lebih baik bila
diberikan secara tunggal. Kombinasi imunoglobulin intravena dan PE diketahui
tidak dapat memberikan efek yang signifikan jika dibandingkan dengan
pemberian terapi secara tunggal (Meena et al., 2011; van Doorn, 2013). PE dapat
menghilangkan imunoglobulin yang diberikan pada pasien GBS tersebut
(Rabinstein, 2007). Begitu juga dengan penggunaan IVIG bersamaan dengan
kortikosteroid seperti metilprednisolon yang mana akan lebih efektif apabila
diberikan IVIG saja (Meena et al., 2011).
B. Plasma Exchange (PE)
Plasma exchange juga merupakan terapi efektif dan dapat mempercepat
pemulihan pada GBS. Plasma exchange efektif dan sering digunakan pada kasus
GBS ringan, sedang sampai berat sesuai tingkat keparahan. Apabila gejala ringan
dapat diberikan sebanyak 2 sesi PE, apabila gejala sedang dapat diberikan 4 sesi,
dan bila gejala berat/parah dapat diberikan sampai 6 sesi (Meena et al., 2011).
Indikasi PE sama dengan IVIG. Mekanisme PE ini adalah membuang
imunologlobulin dan antibodi dari serum dengan cara memindahkan darah tubuh
dan menggantinya dengan fresh frozen plasma, albumin, atau salin. Selain itu PE
dapat menghilangkan komplek imun dan konstituen sitotoksik dari serum dan
telah terbukti bahwa sekitar 50% dapat mempercepat pemulihan pasien. PE dapat
mempercepat pemulihan tanpa menyebabkan kerusakan tetapi tetap ada resiko
56

untuk mengalami kekambuhan (Saderholm, 2010; Andary et al., 2016). Pada


pengobatan dengan PE juga dilakukan penggantian autoantibodi, alloantibodi dan
kompleks imun, promonoklonal dari sirkulasi darah (Pangesti, 2013). Apabila
pasien mengalami kekambuhan pemberian PE dapat dilakukan kembali
(Saderholm, 2010). Pemberian terapi PE dilakukan selama minggu pertama
penyakit, PE dilakukan sekali volume plasma sebanyak 50 mL/kg, diulang dalam
5 kali selama 1-2 minggu (Saderholm, 2010). Aplikasi/ penerapan prosedur PE
yang direkomendasikan adalah sekitar 5x/sesi dalam sehari dengan penggantian
volume total plasma 1-1,5 kali untuk setiap sesi. Untuk prosedur PE yang umum
dilakukan adalah kurang lebih 200-250 ml plasma/ kgBB dalam 5 sesi (40-50
ml/kg per sesi) dalam waktu 7-14 hari (Pangesti, 2013).
Efek samping yang terjadi berupa hipotensi, infeksi, komplikasi
pendarahan, dan hipokalsemia, serta komplikasi berat seperti emboli paru, sepsis,
dan anafilaktik shok (Saderholm, 2010). Terapi ini dikontraindikasikan bagi
wanita hamil (Meena et al., 2011).
C. Kortikosteroid
Kelenjar adrenal mengeluarkan dua kelas steroid yaitu kortikosteroid
(glukokortikoid dan mineralkortikoid) dan hormon produksi (kelamin).
Mineralkortikoid banyak berperan dalam pengaturan keseimbangan cairan dan
elektrolit, sedangkan glukokortikoid berperan dalam metabolisme karbohidrat
(Aziz, 2011).
1). Mineralkortikoid
Hormon ini terutama digunakan sebagai terapi penyakit yang disebabkan
oleh gangguan fungsi kelenjar adrenalis karena suatu hal, misal tumor kelenjar,
sehingga produksi hormon menurun.Mekanisme kerja hormon mineralkortikoid
berhubungan dengan metabolisme elektrolit dan air. Hormon ini memelihara
fungsi normal ginjal yaitu dengan mengatur pemasukan ion natrium dan
pengeluaran ion kalium. Contoh hormon ini adalah aldosteron,
deoksikortikosteron dan fludrokortison.
2). Glukokortikoid
Hormon ini mempunyai efek antiradang dan imunosupresan, dalam klinik
digunakan terutama untuk pengobatan kelainan pada jaringan kolagen, kelainan
57

hematologis (leukimia) dan pernafasan (asma), untuk menekan sistem imun,


pengobatan reumatik, pengobatan penyakit karena alergi tertentu, seperti
dermatologis yang berat, penyakit saluran cerna dan penyakit hati. Glukokortikoid
yang dapat digunakan sebagai imunosupresan adalah prednisolon dan prednison.
a. Farmakokinetik Kortikosteroid (Glukokortikoid)
Glukokortikoid merupakan 21 karbon hormon steroid. Potensi berbagai
macam steroid bergantung pada tingkat absorbsi, konsentrasi pada target jaringan,
kemampuan berikatan dengan reseptor steroid, tingkat metabolisme dan
klirensnya.Glukokortikoid memiliki waktu paruh 80 menit (kortisol) dan 270
menit (deksametason). Sekitar 90% sirkulasi endogenus kortisol terikat pada
protein plasma corticosteroid binding globulin (CBG), hanya sedikit
kortikosteroid bebas yang dapat sampai pada resptor biologis. Glukokortikoid
dimetabolisme dihepar menjadi metabolit terkonjugasi lalu diekskresi sebesar
95% di ginjal (Schacke, 2002).
b. Mekanisme Kortikosteroid (Glukokortikoid)
Glukokortikoid memeiliki efek antiinflamasi dan imunosupresan dalam
tubuh, meskipun mekanisme kedua efek tersebut masih dalam tahap penelitian.
Glukokortikoid dapat menghambat dan menstimulasi respon imun. Sebagian besar
efek antiinflamsi dan imunosupresan terjadi melalui induksi atau reperesentatif
dan transkripsi gen, tetapi fakta-fakta penemuan juga terjadi mekanisme
molekular. Mekanisnya ini terjadi melalui genetik maupun non-genetik.
Mekanisme melalui genetik terjadi setelah 20 menit glukokortikoid membentuk
komplek masuk ke dalam inti sel dimana bekerja langsung maupun tak langsung
dalam mekanisme gentik.Sedangkan mekanisme nongenetik terjadi pada
pemberian glukokortikoid rute intravena yang dapat bereaksi cepat,
glukokortikoid dapat langsung masuk dalam membran sel mengubah ciri fisika
kimia atau berkaitan dengan molekul membran seperti kalsium atau kanal natrium
serta memodifikasikan aktivitasnya (Zen et.al, 2011).
Kortikosteroid (glukokortikoid) memiliki efek anti-inflamasi dengan
memblok jalur siklooksigenase dan lipoksigenase serta menghambat migrasi
leukosit ke daerah inflamasi, sedangkan mekanisme imunosupresan ditunjukan
melalui sebagian inhibisi pada pelepasan sitokin.GBS merupakan penyakit
58

autoimun, pada penanganan GBS terdahulu, pasien diberikan terapi


kortikosteroid. Kortikosteroid tidak mempengaruhi sistem aktivasi komplemen
tetapi menghambat efeknya, juga bermanfaat dalam menghambat reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (cell-mediated), menunda revaskularisasi,
mengganggu sensitisasi limfosit T yang sitotoksik dan pembentukan sel pembuat
antibodi primer (Hughes & van Doorn, 2012).
Terdapat tiga mekanisme kerja utama glukokortikoid. Pertama yaitu
melalui efek genomik langsung, kompleks glukokortikoid-reseptor berikatan
dengan urutan DNA di dalam nukleus yang dikenal sebagai glucocorticoid-
responsive elements (GRE). Ikatan ini menyebabkan induksi atau inhibisi inisiasi
transkripsi oleh RNA polimerase II yang menyebabkan efek anti inflamasi.
Mekanisme kedua yaitu melalui efek genomik tidak langsung, glukokortikoid
membentuk kompleks dengan nuclear factor-B (NF-B), sehingga menghambat
sintesis berbagai molekul pro-inflamasi seperti sitokin, interleukin, molekul
adhesi, dan protease. Mekanisme kerja ketiga yaitu jalur non-genomik, berupa
sinyal-sinyal melalui reseptor pada membran sel dan second massenger (Wirantari
& Prakoeswo, 2014). Mekanisme kerja glukokortikoid secara ringkas dapat dilihat
pada Gambar 2.14

Gambar 2.16Mekanisme Kerja Glukokortikoid (Wirantari & Prakoeswo, 2014)


59

Glukokortikoid mempengaruhi seluruh aktivitas sistem sel imun tubuh,


meliputi sel T helper (Th), sel T regulation (Treg), imunoglobulin (Ig), interleukin
(IL), faktor tumor nekrosis (TNF), interferon (IFN), B limfosit stimulating factor
(BAFF). Gambaran tentang efek glukokortikoid pada sistem imun dapat dilihat
pada Gambar 2.17

Gambar 2.17 Efek Glukokortikoid pada sistem sel imun (Zen et.al, 2011)

c. Macam-macam Obat Glukokortikoid


Kortikosteroid memiliki berbagai macam obat serta aktivitas yang
berbeda-beda. Pemilihan penggunaan kortikosteroid harus berdsarkan kebutuhan,
efek yang dikehendaki, potensi, potensi retensi Na-, dan lama kerja (duration of
action) (Aziz, 2011) Pada Tabel II.5 menggambarkan peranan aktivitas relatif
hormon kortikosteroid yaitu:
Tabel II.5 Peranan aktivitas relatif hormon kortikosteroid (Siswandono, 2008;
Aziz, 2011)
Hormon Steroid Retensi Antiradang Antiradang Dosis
Natrium per-oral setempat ekivalen
(mg)
1. Mineralkortikoid
Aldosteron 3000 0,2 0,2 -
2. Glukokortikoid
Masa Kerja Pendek (8-12 jam)
Hidrokortison 1 1 1 20
60

Masa Kerja Moderat (12-36) jam


Prednison 0,6 3,5 0 5
Metilprednisolon 0,6 4 4 5
Masa Kerja Lama (36-72 jam)
Deksametason 0 30 10-35 0,75
Betametason 0 35 5-100 0,60
* Aktivitas relatif dibandingkan terhadap hidrokortison
1. Metilprednisolon
Metilprednisolon memiliki gugus metil pada posisi 6α yang merupakan
gugus pendorong glukokortikoid, sehingga metilprednisolon memiliki efektivitas
lebih tinggi daripada prednisolon maupun prednison (Sweetman, 2009).

Gambar 2.18Struktur Metilprednisolon (Sweetman, 2009)


Rute pemberian metilprednisolon dapat diberikan secara peroral (PO),
intravena (IV) atau intramuskular (IM). Rute pemebrian diberikan berdasarkan
keadaan/ kondisi pasien. IM atau IV biasanya diberikan untuk pasien yang tidak
memungkinkan diberikan secara PO ataupun untuk keadaan emergensi. Terapi
metilprednisolon oral dalam jangka panjang sebaiknya diperhatikan, serta
dilakukan penurunan dosis secara bertahap. Bagi pasien dewasa dosis besar IV
atau IM diberikan sebanyak 30mg/kgBB diulang dalam 4-6 kali sehari, dan dosis
PO sebesar 2-60mg terbagi dalam 4 kali sehari (Sweetman, 2009).
2. Prednison
Prednison (1,2-Dehidrokortison) merupakan prodrug atau bentuk tidak
aktif dari prednisolon. Prednison memiliki gugus yang tidak aktif berupa keton
pada C11. Keton pada C11 tersebut harus direduksi dahulu agar menjadi gugus
11ß-OH yang merupakan gugus penting untuk berinteraksi dengan reseptor
(Sweetman, 2009).
61

Gambar 2.19Struktur Prednison (Sweetman, 2009)

3. Deksametason
Deksametason (9α-fluoro-16α-metilprednisolon) memiliki gugus 9α-F
yang bersifat menarik elektron. Gugus penarik elektron dapat menginduksi gugus
11ß-OH, sehingga deksametason menjadi lebih asam dan meningkatkan
kemampuan ikatan dengan reseptor glukokortikoid (Sweetman, 2009).

Gambar 2.20Struktur Deksametason (Sweetman, 2009)

Deksametason diabsorbsi pada saluran cerna cukup cepat,  67% obat


terikat oleh protein plasma, dengan waktu paruh plasma  8-12 jam. Dosis oral
0,75-9 mg/hari dalam dosis tunggal atau berbagi. Bentuk garam sodium fosfat,
digunakan untuk pemakaian paranteral, IM dan IV (AHFS, 2012).
d. Penggunaan Kortikosteroid Pada GBS
Kortikosteroid secara teoritis merupakan obat antiinflamasi dan dapat
memperbaiki kerusakan sel pada saraf. Pada penelitian yang dilakukan Kusuma
2013, kortikosteroid digunakan pada 27,5% pasien sebagai terapi imunosupresan
dalam mengatasi GBS maupun terapi penyakit penyerta yang lain (Kusuma,
2013). Kortikosteroid banyak digunakan untuk mengobati gangguan autoimun
dan diharapkan efektif untuk GBS.Namun, sebagian besar penelitian
menunjukkan tidak ada manfaat dari kortikosteroid sebagai terapi pada GBS.
Pemberian kortikosteroid jangka panjang ini tidak memberikan manfaat untuk
62

pasien namun justru dapat meningkatkan risiko terjadinya diabetes yang


menyebabkan meningkatnya insulin dan hipertensi (Hughes et.al, 2016). Bahkan
kortikosteroid yang diharapkan dapat mengurangi inflamasi pada saraf justru
dapat menimbulkan efek negatif pada otot (Hughes, Pritchard, dan Hadden, 2013;
Hughes et.al, 2016).
Berdasarkan enam penelitian dengan moderate quality evidence yang
melibatkan 587 partisipan menunjukkan bahwa pasien yang telah 4 minggu diberi
kortikosteroid, baik oral maupun intravena tidak menunjukkan perkembangan
yang signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol/ tanpa perlakuan (van
Doorn, 2008). Hal serupa juga ditemui pada penelitian dengan moderate to high
quality evidence, tidak didapatkan perkembangan yang signifikan antara
kelompok dengan pemberian kortikosteroid dan kelompok kontrol (Hughes & van
Doorn, 2012; Hughes et.al, 2016) Steroid oral atau metilprednisolon intravena
dengan dosis 500mg/hari selama 5 hari tidak dapat memperbaiki kondisi pasien.
Kombinasi dengan imunoglobulin intravena dengan metilprednisolon intravena
tidak lebih efektif dari pemberian imunoglobulin intravena saja. Meskipun
terdapat efek jangka pendek yang mungkin terjadi akibat kombinasi ini tapi dapat
digunakan sebagai faktor prognosis. Efek yang dapat timbul dari steroid ini adalah
toksisitas antibodi antigangliosida dan aktivasi komplemen atau efek buruk pada
makrofag yang dapat menyebabkan hambatan remielinasi (van Doorn et al.,
2008). Selain metilprednisolon IV, kortikosteroid lain yang diberikan pada pasien
GBS adalah prednisolon secara oral dengan dosis awal 40mg atau 60mg serta
prednison dengan dosis 100mg. Beberapa obat tersebut dinyatakan tidak dapat
memberikan kefektifan terhadap penyakit GBS (Hughes et al., 2003). Pada
penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Inayah mengenai studi penggunaan
kortikosteroid pada pasien GBS dinyatakan bahwa terapi kortikosteroid bersifat
sebagai terapi suportif. Bentuk sediaan yang diberikan bervariasi baik sediaan
injeksi maupun tablet. Dosis yang diberikan rata-rata menggunakan dosis tinggi
dengan penggunaan >300mg/hari, namun adapula yang diberikan dalam dosis
kecil 12mg/hari, tergantung dari kondisi pasien (Inayah, 2014).
63

D. Obat Lain yang Mempengaruhi Respon Imun


 Terapi Imunosupresan
Secara teoritis, imunosupresan digunakan untuk menekan penolakan
transplantasi organ atau untuk pengobatan berbagai jeis inflamasi kronik dan
penyakit autoimun (IONI, 2014).
1. Azatioprin

Gambar 2.21 Struktur Azatioprin (Sweetman, 2009)


Azatioprin adalah antimetabolit imunosupresif yang serupa dengan
merkaptopurin yang diubah dalam tubuh. Efeknya mungkin tidak terlihat selama
beberapa minggu setelah satu dosis. Azatioprin diberikan secara oral, namun tidak
memungkinkan dilakukan injeksi intravena lambat atau dengan infus sebagai
natrium azatioprin. Apabila diberikan secara infus, dosis yang dibutuhkan harus
diencerkan dengan konsentrasi 0,25 sampai 2,5 mg / mL dalam natrium klorida
0,9% atau glukosa 5%, dan diinfuskan selama 30 sampai 60 menit. Azatioprin
juga digunakan pada penyakit autoimun dan kondisi yang dianggap memiliki
komponen auto-imun. Dosis azatioprine yang biasa, diberikan secara oral atau
intravena, dalam kondisi ini berkisar 1 sampai 3 mg/kg setiap hari. Apabila tidak
ada perbaikan yang terlihat setelah 12 minggu, terapi bisa dihentikan. Penggunaan
azatioprin dengan kortikosteroid dimungkinkan memiliki efek hemat
kortikosteroid (steroid sparing effect/ agent) (Sweetman, 2009).
Azatioprin banyak digunakan pada transplantasi dan digunakan untuk
pengobatan beberapa kondisi autoimun, umumnya bila penggunaan kortikosteroid
tunggal tidak memberi hasil yang cukup baik. Azatioprin dimetabolisme menjadi
merkaptopurin dan dosisnya sebaiknya dikurangi bila digunakan bersama
allopurinol. Pemeriksaan darah dan monitor gejala mielosupresi perlu dilakukan
pada penggunaan azatioprin jangka panjang. Enzim thiopurin metil transferase
64

(TPMT) memetabolisme azatioprin, resiko mielosupresi meningkat dengan


rendahnya aktivitas enzim ini, yaitu pada sebagian kecil pasien yang mempunyai
sifat homozygous dengan aktivitas enzim TMPT rendah (IONI, 2014).
Dosis yang dapat digunakan oral 3mg/kgBB/hari, dikurangi sesuai dengan
respons; dosis pemeliharaan 1-3mg/kgBB; bila tidak ada perbaikan selama 3
bulan pertimbangkan untuk menghentikan terapi (IONI, 2014).
Azatioprin dikontraindikasikan terhadap pasien yang hipersensitivitas
terhadap azatioprin atau merkaptopurin. Pada kehamilan, pengobatan
menggunakan azatioprin tetap dapat dilanjutkan. Tidak ada bukti yang
menyebutkan bahwa azatioprin bersifat teratogenik. Efek samping azatioprin
diantarnya reaksi hipersensitivitas (malaise, pusing, mual, demam, nyeri otot,
nyeri sendi, gangguan fungsi hati, ikterus, aritmia, hipotensi, nefritis intertisial);
supresi sumsum tulang yang bergantung dosis, rambut rontok, rentan terhadap
infeksi bila digunakan bersama kortikosteroid, mual, pankreatitis, pneumonitis
(IONI, 2014).
2. Siklosporin
Siklosporin merupakan penghambat calcineurin, merupakan
imunosupresan kuat. Obat ini hampir tidak bersifat mielosupresif, tetapi sangat
nefrotoksik. Manfaatnya sangat menonjol dalam transplantasi organ atau jaringan
yaitu, untuk mencegah reaksi penolakan setelah transplantasi sumsum tulang,
ginjal, hati, jantung, pankreas, dan jantung-paru serta untuk profilaksis dan terapi
penyakit graft-versus-host (kondisis yang terjadi ketika sel-sel imun tubuh dari
organ transplantasi bereaksi terhadap jaringan pasien yang meneri transplantasi)
(IONI, 2014).Siklosporin A adalah suatu heksa-dekapeptida berasal dari jamur
yang mempunyai khasiat menghambat proliferase dan transformasi sel Th,
menghambat produksi limfokin sel Th, dan meningkatkan aktivitas sel Ts.
65

Gambar 2.22Struktur Siklosporin (Sweetman, 2009)

 Efek Samping dan Penggunaan Siklosporin


Nefrotoksisitas, yang bermanifestasi sebagai peningkatan serum kreatinin
dan urea, adalah efek samping utama siklosporin. Hal ini terkait dengan
konsentrasi obat-plasma dan biasanya reversibel pada pengurangan dosis. Pada
episode penerima cangkok ginjal, episode nefrotoksisitas mungkin sulit dibedakan
dari penolakan graft. Fibrosis interstisial dapat terjadi selama terapi jangka
panjang. Efek samping lainnya yang sering terjadi adalah hipertensi, gangguan
gastrointestinal, kelelahan, hepatotoksisitas, hipertrikosis, hiperplasia gusi, tremor,
sakit kepala, hiperlipidemia, hiperkalemia, hipomagnesaemia. hiperurisemia,
parestesia, dan kram otot dan mialgia. Yang kurang umum, anemia,
trombositopenia, ruam, peningkatan berat badan, edema, pankreatitis, miopati,
neuropati, dan hiperglikemia telah dilaporkan (Sweetman, 2009).
 Interaksi Siklosporin
Siklosporin secara ekstensif dimetabolisme di hati dan konsentrasi plasma-
Siklosporin dapat dipengaruhi oleh induser atau penghambat kompetitif enzim
hati, terutama sitokrom P450 isoenzim CYP3A4. Misalnya, penggunaan
karbamazepin, nevirapine, fenitoin, fenobarbital, rifampisin, St John wort,dan
inducer enzim hati lainnya dapat menyebabkan konsentrasi plasma siklosporin
yang lebih rendah, dan peningkatan konsentrasi plasma telah dilaporkan dengan
beberapa antifungi, antibakteri makrolida, penghambat protease HIV, NNRTI
delavirdine, beberapa penghambat saluran kalsium, hormon seks, kortikosteroid
dan jus jeruk. Pada pasien transplantasi yang sering melakukan pengukuran
plasma siklosporin dan, jika perlu, diperlukan penyesuaian dosis siklosporin,
terutama selama pengenalan atau penarikan obat lain. Penggunaan statin secara
simultan dapat meningkatkan risiko miopati dan rhabdomyolysis. Diuretik hemat
66

kalium harus dihindari karena risiko hiperkalemia, dan pasien yang


mengkonsumsi ciclosporin harus menghindari asupan kalium makanan yang
tinggi. Risiko hiperplasia gingiva dapat meningkat dengan amlodipin atau
nifedipin. Selama pengobatan dengan ciclosporin, vaksinasi mungkin kurang
efektif, dan penggunaan vaksin hidup umumnya harus dihindari. Perhatian harus
diberikan saat ciclosporin diberikan dengan obat nefrotoksik lainnya (Sweetman,
2009).
 Farmakokinetik Siklosporin
Absorbsi formulasi siklosporin yang konvensional pada saluran
gastrointestinal bervariasi dan tidak lengkap. Formulasi mikroemulsifikasi oral
dengan karakteristik penyerapan yang lebih baik tersedia dan lebih cepat dan
benar-benar diserap, dengan konsentrasi puncak mencapai sekitar 1,5 sampai 2
jam setelah dosis. Siklosporin didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh.
Distribusi dalam darah tergantung pada konsentrasi, antara 41 dan 58% pada
eritrosit dan 10 sampai 20% pada leukosit; Sisanya ditemukan dalam plasma,
sekitar 90% protein terikat, sebagian besar untuk lipoprotein.
Distribusi siklosporin ke dalam sel darah dengan konsentrasi darah yang
lebih tinggi dari, dan tidak sebanding dengan konsentrasi plasma; dimana
konsentrasi plasma puncak dilaporkan sekitar 1 nanogram/mL (dengan uji HPLC
spesifik) untuk setiap mg siklosporin oral, seluruh konsentrasi darah untuk setiap
rentang mg dari sekitar 1,4 sampai 2,7 nanogram/mL. Siklosporin dilaporkan
melewati plasenta, dan didistribusikan ke ASI.Klirens darah adalah bifasik. Waktu
paruh eliminasi terminal dari dosis oral dilaporkan berkisar antara 5 sampai 20
jam; klirens pada anak lebih banyak dancepat. Siklosporin secara ekstensif
dimetabolisme di hati dan terutama diekskresikan dalam faecesvia empedu.
Sekitar 6% dari dosis dilaporkan diekskresikan dalam urin, kurang dari 0,1% tidak
berubah (Sweetman. 2009).
2. Terapi Suportif
Terapi suportif dapat dikatakan bersifat simptomatik yang dapat digunakan
untuk menunjang perawatan pada pasien GBS dalam meminimalkan gejala yang
timbul atau kemungkinan terjadinya komplikasi serta mendukung terapi
67

pengobatan pada GBS (Japardi, 2002; Hakim, 2011). Terapi suportif yang dapat
diberikan diantaranya sebagai berikut:
A. Analgesik
Nyeri neuropati dapat terjadi pada sejumlah besar pasien GBS oleh sebab
itu pengobatan yang dapat diberikan adalah analgesik (Sebastian, 2012). Beberapa
jenis analgesik yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1). Non-opioid
Dalam pemilihan obat analgesik harus mempertimbangkan efektifitas dari
analgesirk serta efek samping yang minimal dapat terjadi pada pasien.
Acetaminophen, aspirin dan NSAID dapat digunakan untuk mengatasi nyeri
ringan sampai sedang. Obat-obat ini (kecuali acetaminophen) bekerja dengan cara
menghambat pembentukan prostaganldin yang diproduksi sebagai respon dari
stimulan negatif, akibatnya akan terjadi penurunan rasa nyeri yang diterima sistem
saraf pusat. Penggunaan obat NSAID ini dikatakan kurang efektif pada pasien
GBS serta kemungkinan terjadinya efek samping berupa pendarahan saluran
cerna, tukak lambung. NSAID seperti aspirin tampaknya efektif hanya untu
mengobati nyeri sendi dan otot pada pasien GBS (Baumann & Strickland, 2008;
Liu et al., 2013).
2). Opioid
Analgesik opioid dapat juga diberikan pada pasien GBS. Efek dari
analgesik opioid relatif selektif. Pada kadar terapetik normal, opioid tidak
mengganggu fungsi sensorik seperti saraf peraba, penglihatan, pendengaran, tetapi
jika dosis ditingkatkan dapat menimbulkan efek samping seperti sedasi, mual,
muntah, konstipasi (Baumaan & Strickland, 2008). Analgesik opioid yang
digunakan pada pasien GBS yaitu infus morfin secra intravena dengan dosis 1-7
mg/jam (Burns, 2008). Untuk mengatasi nyeri yang parah dapat digunakan injeksi
morfin epidural dengan dosis 1-4 mg secara bolus setiap 8-24 jam (Hughes et al,
2005).
3). Analgesik pusat
Contoh analgesik pusat yang dapat digunakan adalah tramadol. Tramadol
bekerja dengan cara menghambat ambilan kembali norepinefrin dan serotonin
serta sebagai μ opioid receptor binding. Efek samping tramadol adalah pusing,
68

euforia dan meningkatkan resiko timbulnya kejang. Pemberian bersama dengan


serotonin reuptake inhibitor, antidepresan trisiklik, monoamine oxidase inhibitor,
neuroleptik dan obat penurun kejang dapat meningkatkan resiko timbulnya kejang
(Baumann & Strickland, 2008).
4). Analgesik adjuvan.
Analgesik adjuvan merupakan terapi yang dapat menurunkan rasa nyeri
tetapi tidak diklasifikasikan sebagai analgesik. Antikonvulsan, antidepresan
trisiklik, serotonin and norephinephrine reuptake inhibitor antideperessant dan
anastesi lokal tipikal dapat digolongkan dalam analgesik adjuvan (Baumann &
Strickland, 2008). Nyeri pada fase akut dapat dikaitkan dengan adanya
peradangan, kemudian nyeri tersebut dapat berkembang sehingga berkaitan
dengan degenerasi serabut saraf sensorik. Terapi analgesik adjuvan yang dapat
diberikan adalah gabapentin atau karbamazepin. Kedua obat ini dikatakan cukup
efektif untuk mengatasi nyeri neuropati pada pasien GBS (Sebastian, 2012).
Mekanisme kerja kedua obat ini masih belum banyak diketahui, tetapi
berdasarkan penelitian dan bukti klinis yang sudah ada menunjukkan bahwa
karbamazepin bekerja dengan cara mengurangi eksitabilitas neuron dengan
melakukan penghambatan pada kanal natrium. Karbamazepin efektif untuk
mengatsi neuralgia trigeminal. Nyeri pada pasien GBS mirip dengan neuralgia
oleh sebab itu pemberian karbamazepin dapat membantu mengurangi nyeri.
Gabapentin bekerja dengan cara menghambat kanal kalsium yang menghambat
subunit α2-δ. Selain itu, pada studi laboratorium menunjukkan bahwa gabapentin
dapat mempengaruhi metabolisme dan pelepasan glutamat serta mengurangi
neurotransmiter dan eksositotoksin glutamat (Pendey et al., 2005). Dosis yang
dapat diberikan pada pasien GBS adalah gabapentin 15mg/kgBB/hari atau 300mg
sehari sekali dan karbamazepin 300mg/hari selama 3 hari (Hughes et al., 2005;
Pandey et al., 2005; Burns, 2008).
B. Neurotropik
Pasien GBS sebagian besar mengalami gangguan sensorik berupa
gangguan saraf neuropati yang ditandai dengan gejala ksemutan, kebas, dan kram
(Zhang et.al, 2011). Gangguan ini dapat dicegah ataupun diatasi dengan
mengkonsumsi vitamin neurotropik. Vitamin neurotropik adalah vitamin yang
69

sangat dibutuhkan untuk menjaga sistem saraf agar dapat bekerja dengan baik.
Vitamin ini terdiri dari vitamin B1, B6, dan B12 yang berfungsi untuk melindungi
dan membantu perbaikan kerusakan sel saraf (PERDOSSI, 2012), sehingga
pasien GBS yang mengalami gangguan neuropati dapat menjadi lebih baik dengan
pemberian asupan vitamin neurotropik untuk melindungi dari degenerasi/
kerusakan dan membantu dalam proses regenerasi/ perbaikan saraf selama fase
progresivitas penyakit GBS.
Penyebab neuropati adalah terganggunya metabolisme sel saraf akibat
suatu penyakit, kekurangan vitamin neurotropik, dan bertambahnya usia. Vitamin
B1 (Thiamine) berfungsi dalam metabolisme energi, yaitu memecah karbohidrat
menjadi glukosa. Glukosa tersebut merupakan sumber energi untuk kinerja
sisitem saraf. Vitamin B6 berperan dalam metabolisme asam amino dari protein,
membentuk sel darah merah, dan memelihara fungsi normal saraf. Selanjutnya
Vitamin B12 (Cyanocobalamin) berperan dalam sintesa asam nukleat dan
menjaga kesehatan sel saraf sehingga mengurangi resiko neuropati (MEDIKA,
2014). Pemberian vitamin B1, B6 dan B12 terbukti efisien dalam penurunan
gejala neuropati pada sekitar 87,4% pasien dari 310 pasien neuropati perifer yang
diakibatkan oleh suatu penyakit (Rizvi, 2013).
1). Vitamin B1 (Tiamin)
a. Struktur Kimia Tiamin
Tiamin adalah senyawa yang larut dalam air yang relatif stabil dalam
panas dan asam, yang mengandung pirimidin dan inti thiazole dihubungkan oleh
jembatan metilen(Gambar 2.23).Derivatif dari tiamin termasuk mono-, pyro- dan
bentuk fosfat dan sintesis hidroklorida dan sedikit kurang larut dalam air garam
mononitrate. Derivat tiamin non sintesis yang larut dalam air tersedia tetapi tidak
digunakan dalam suplemen makanan (EVM, 2003).
Tiamin merupakan koenzim utama dalam metabolisme karbohidrat dalam
bentuk difosfat (tiamin pirofosfat, karboksilase). Tiamain berperan dalam
penyediaan energi untuk jaringan saraf dengan memetabolisme glukosa.
Kekurangan tiamin dapat menyebabkan sindroma beri-beri yang dicirikan dengan
terjadinya neuropati perifer, kelemahan dan kelelahan otot, paralisis, asidosis
lakta, gagal jantung serta udema (Jain, 2011; Sweetman, 2009).
70

Keterangan: A: Tiamin, B: Tiamin monofosfat (TMP), C: Tiamin pirofosfat (TTP),


D: Tiamin trifosfat
Gambar 2.23 Struktur Tiamin (Alvarado & Navarro, 2016)
Bentuk aktif utama vitamin B1 adalah tiamin difosfat (ThDP), yang juga
dikenal sebagai tiamin pirofosfat (TPP). ThDP diperlukan sebagai kofaktor untuk
enzim yang berhubungan dengan metabolisme karbohidrat: piruvat dehidrogenase
(PDH), a-ketoglutarat dehidrogenase, dan transketolase. Tiamin tidak disintesis
oleh manusia dan tidak disimpan dalam jumlah besar pada manusia. Salah satu
bentuk terfosforilasi, tiamin difosfat juga dikenal sebagai tiamin pirofosfat yang
merupakan bentuk vitamin aktif yang utama. Tiamin difosfat penting sebagai
kofaktor untuk beberapa enzim yang terlibat dalam jalur glikolitik, siklus asam
sitrat, jalur pentosa fosfat, dan degradasi cabang rantai asam amino (Smithline,
2012).
b. Kebutuhan Harian Tiamin
Tiamin penting untuk metabolisme energi, terutama karbohidrat maka
kebutuhan akan tiamin umumnya sebanding dengan asupan kalori. Kebutuhan
minimum adalah 0,3mg/1000 kcal, sedangkan AKG di Indonesia adalah 0,3-0,4
mg/hari untuk bayi; 1,0mg/hari untuk orang dewasa dan 1,2mg/hari untuk wanita
hamil (Dewoto, 2007).
Defisiensi berat menimbulkan penyakit beri-beri yang gejalanya terutama
tampak pada sistem saraf dan kardiovaskular. Gangguan saraf berupa neuritis
71

saraf perifer dengan gejala rasa berat dan lemah pada tungkai, gangguan sensorik
seperti hiperestesia, anastesia, rasa nyeri dan rasa terbakar. Kekuatan otot semaki
berkurang dan pada keadaan berat dapat terjadi kelumpuhan tungkai. Kelainan
pada SSP dapat berupa depresi, kelelahan, lekas tersinggung, serta menurunnya
kemampuan konsentrasi dan daya ingat. Gejala yang timbul pada sisitem
kardiovaskular dapat berupa gejala infusiensi jantung antara lain sesak nafas
setelah kerja jasmani, palpitasi, takikardi, gangguan ritme serta pembesaran
jantung dan perubahan elektrokardiogram. Pada saluran cerna gangguan dapat
berupa konstipasi, nafsu makan berkurang, perasaan tertekan dan nyeri di daerah
epigastrium. Beri-beri basah adalah bentuk defisiensi tiamin disertai edema.
Bengkak ini terjadi karena hipoprotrombinemia dan gangguan fungsi jantung
(Dewoto, 2007).
c. Farmakodinamik dan Fisiologi Tiamin
Pada dosis kecil atau dosis terapi tiamin tidak diperlihatkan efek
farmakodinamik yang nyata. Pada pemberian IV secara cepat dapat terjadi efek
langsung pda pembuluh darah perifer berupa vasodilatasi ringan, disertai
penurunan tekanan darah yang bersifat sementara. Meskipun tiamin berperan
dalam metabolisme karbohidrat, pemberian dosis besar tidak mempengaruhi kadar
gula darah. Dosis toksisk pada hewan coba adalah 125-350mg/kgBB secara IV
dan kira-kira 40 kalinya untuk pemmberian oral. Pada manusia reaksi toksisk
setelah pemberian paranteral biasanya terjadi karena reaksi alergi.Tiamin
pirofosfat adalah bentuk aktif tiamin yang berfungsi sebagai koenzim karboksilase
asam piruvat dan asam ketoglutarat. Peningkatan kadar asam piruvat dalam darah
merupakan salah satu tanda defisiensi tiamin (Dewoto, 2007).
d. Farmakokinetik Tiamin
 Absorbsi
Tiamin diabsorbsi melalui Na+ dependent active, proses carrier-mediated
pada konsentrasi rendah di jejunum. Difusi pasif di jejunum dan ileum
pada konsentrasi tinggi. Maksimum absorbsi per oral adalah 8-15mg/hari
(Riley, 2001).Absorbsi tiamin pada GIT menurun karena alkohol, sirosis
atau malabsorbsi. Rata-rata absorbsi tiamin pada GIT menurun karena
72

ketika timin dikonsumsi bersamaan dengan makanan. Tiamin cepat


diabsorbsi dnegan pemberian IM (McEvoy, 2002).
 Distribusi
Tiamin didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. 100-200μg tiamin
diidstribusikan tiap hari ke ASI pada ibu menyusui (McEvoy, 2002)
 Metabolisme dan Ekskresi
Kelebihan tiamin diekskresi melalui urin sebagai asam asetat tiamin dan
metabolit. Kira-kira 100μg/hari tiamin dieskresi melalui urin dengan
asupan harian 0,5mg/1000kcal. Dengan fungsi ginjal normal, 80-96% dari
dosis IV diekskresi melalui urin (Riley, 2001)
e. Efek Samping Tiamin
Efeksamping tiamin jarang terjadi bila diberikan per oral dan bila
kelebihan tiamin akan cepat diekskresi melalui urin. Meskipun jarang, reaksi
hipersensitivitas dapat terjadi, terutama pada dosis besar paranteral. Reaksi-reaksi
ini telah berkisar dalam keparahan dari sangat ringan sampai sangat jarng sampai
yang fatal yaitu syok anafilaksis (Sweetman, 2009; Dewoto, 2007).
 Dosis dan Penggunaan Tiamin
a). Anjuran asupan makanan harian
< 6 bulan : 0,3 mg
6 bulan - 1 tahun : 0,4 mg
1 - 3 tahun : 0,7 mg
4 - 6 tahun : 0,9 mg
7 - 10 tahun : 1,1 mg
11 - 14 tahun : 1,1 – 1,3 mg
> 14 tahun : 1 – 1,5 mg
b). Kekurangan Tiamn (Beri-Beri)
Anak : 10-25mg/dosis IM atau IV per hari (pada keadaan kritis),
10-50mg/dosis oral per hari selama 2 minggu, lalu 5-10 mg /dosis oral per
hari selama 1 bulan
Dewasa : 5-50 mg/dosis IM atau IV 3x sehari (pada keadaan kritis),
pemberian oral 5-30 mg/hari dalam dosis tunggal atau terbagi 3x sehari
selama 1 bulan.
73

c). Wernicke’s encephalopathy


Dewasa :100 mg IV, lalu 50-100 mg/hari IM atau IV sampai seperti
biasa, diimbangi dengan asupan makanan.
d). Penyakit metabolik
Dewasa :10-20 mg/hari (maksimal sampai 4 g/hari pada dosis terbagi)
f. Bentuk Sediaan Tiamin
Bentuk sediaan tiamin, diantaranya:
 Injeksi, larutan hidroklorida: 100 mg/ml (2ml)
 Tablet hidroklorida : 50 mg, 100 mg, 250 mg, 500 mg
 Tablet, salut interik hidroklorida (Thiailate) : 20 mg
(Lacy et.al, 2003)
Tiamin juga berguna untuk pengobatan berbagai neuritis yang disebabkan
oleh defisiensi tiamin, misalnya pada (1) neuritis alkoholik yang terjadi karena
sumber kalori hanya alkohol saja; (2) wanita hamil yang kurang gizi, atau (3)
pasien emesis gravidarum. Pada trigeminal neuralgia, neuritis yang menyeertai
anemia, penyakit infeksi dan pemakaian obat tertentu, pemeberian tiamin kadang-
kadng dapat memberikan perbaikan. Tiamin juga digunkan untuk pengobatan
penyakit jantung dan gangguan saluran cerna yang dasarnya defisiensi tiamin
(Dewoto, 2007).
Tiamin dianjurkan diberikan secara rute peroral tetapi dapat juga diberikan
pada rute intramuskular maupun intravena. Injeksi IV harus diberikan perlahan
lebih dari 30 menit. Pada rute per oral, sejumlah kecil tiamin diabsorbsi dengan
baik pada saluran cerna, tetapi pada dosis lebih dari 5mg absorbsinya terbatas.
Sedangkan pada injeksi IM absorbsi terjadi dengancepat dan terdistribusi secara
luas pada jaringan. Terapi kekurangan tiamin kronik yang ringan, dosis per oral
yang direkomendasikan adalah 10-25 mg sehari dalam dosis tunggal atau dosis
terbagi, sedangkan kekurangan tiamin yang parah dapat diberikan hingga dosis
300mg per hari. Tiamin tidak disimpan dalam tubuh dan kelebihan tiamin
diekskresikan melalui urin (Sweetman, 2009).
74

2). Vitamin B6 (Piridoksin)


a. Struktur Kimia Piridoksin

Gambar 2.24 Struktur Piridoksin dan variannya (Alvarado & Navarro, 2016)
Piridoksin merupakan vitamin yang larut dalam air yang terlibat terutama
dalam metabolisme asam amino, karbohidrat, dan metabolisme lemak, serta
metabolisme beberapa vitamin termasuk konversi triptofan untuk niacin.
Piridoksin diperlukan untuk pembentukan hemoglobin dan sintesis
neurotransmiter. Dalam alam vitamin ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu
piridoksin yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, piridoksal dan piridoksamin yang
terutama berasal dari hewan. Ketiga bentuk piridoksin tersebut dalam tubuh
diubah menjadi piridoksal fosfat (Dewoto & Wardhini, 2007; Fauci, 2012;
Sweetman, 2009).
b. Kebutuhan Harian Piridoksin
Kebutuhan manusia akan piridoksin berhubungan dengan konsumsi protein
yaitu kira-kira 2mg/100mg protein (Dewoto, 2007).
c. Defisiensi Piridoksin
Pada hewan coba defisiensi vitamin ini menimbulkan akrodinia dermatitis
dan penebalan cakar, telinga, hidung dan lain-lain. Pada manusia dapat timbul (1)
kelainan kulit berupa dermatitis seboroik dan peradangan pada selaput lendir
mulut dan lidah; (2) kelainan SSP berupa perangsangan sampai timbulnya kejang;
75

(3) gangguan sistem eritropoetik berupa anemia hipokrom makrositer (Dewoto,


2007).
d. Farmakodinamik dan Fisiologi Piridoksin
Pemberian piridoksin secara oral dan paranteral tidak menunjukkan efek
farmakodinamik yang nyata. Dosis sangat besar yaitu 304g/kgBB menyebabkan
kejang dan kematian pada hewan coba, tetapi dosis kurang dari ini umumnya
tidak menimbulkan efek yang jelas. Piridoksin fosfat dalam tubuh merupakan
koenzim yang berperan penting dalam metabolisme berbagai asam amino,
diantaranya dekarboksilasi, transminasi, dan raseminasi triptofan, asam-asam
amino yang bersulfur dan asam amino hidroksida (Dewoto, 2007).
e. Farmakokinetik Piridoksin
 Absorbsi
Vitamin B6 diabsorbsi melalui difusi pasif di jejunum dan sedikit
di ileum (Riley, 2001). Piridoksin, piridoksal dan piridoksamin pada
pemberian per oral diabsorbsi di gastrointestinal track (GIT). Konsentrasi
serum normal dari piridoksin adalah 30-80ng/ml (McEvoy, 2002).
a. Distribusi
Vitamin B6 banyak disimpan di liver dan sedikit di otot dan otak.
Total penyimpanan vitamin B6 di tubuh diperkirakan 167 mg. Pridoksal
dan piridoksal fosfat merupakan bentuk vitamin yang ada pada darah
dengan tinggi protein. Piridoksal menmbus plasenta dan konsentrasi
plasma di janin 5 kali lebih besar daripada konsentrasi plasma ibu hamil.
Konsentrasi dari vitamin B6 dalam air susu sekitar 150-240 ng/ml
mngikuti asupan ibu hamil antara 2,5-5 mg vitamin B6 harian. Jika asupan
ibu hamil < 2,5mg dari vitamin B6 harian maka konsentrasi vitamin b6
dalam air susu rata-rata 130 ng/ml (Sweetman, 2009)
b. Metabolisme dan Ekskresi
Piridoksin, piridoksal dan piridoksamin dapat segera diserap dari
saluran pencernaan setelah dosis oral dan dikonversi ke bentuk aktif
piridoksal fosfat dan piridoksamin fosfat. Semuanya disimpan terutama
dalam hati, sedangkat hasil oksidasi 4-asam piridoksat dan metabolit aktif
lainnya akan diekskresikan dalam urin. Dengan meningkatnya dosis,
76

jumlah yang lebih besar diekskresikan tidak berubah dalam urin


(Sweetman, 2009; McEvoy, 2002).
f. Efek Samping Piridoksin
Piridoksin dapat menyebabkan neuropati sensorik atau sindrom neuropati
dalam dosis antara 50mg-2g/ hari untuk jangka panjang. Gejala awal dapat berupa
sikap yang tidak stabil dan rasa kebas di kaki, diikuti pada tangan dan sekitar
mulut. Gejala berangsur-angsur hilang setelah beberapa bulan bila asupan
piridoksin dihentikan (Dewoto, 2007).
Penggunaan jangka panjang dari dosis besar piridoksin terkait dengan
perkembangan neuropati perifer berat masih kontroversial. Neuropati sensorik
parah terjadi pada pasien yang menerima dosis besar piridoksin (2-6g/hari) selama
2-40 bulan. Beberapa menyatakan bahwa jumlah dosis rendah piridoksin tidak
mungkin untuk menghasilkan efek toksik. Namun ada beberapa laporan kasus
penggunaan piridoksin dengan jumlah sampai sekitar 500mg /hari berkepanjangan
dan ddosis lebih rendah (sekitar 200ng/hari atau kurang) juga dapat menyebabkan
sensorik neuropati perifer (Sweetman, 2009).
g. Interaksi Piridoksin
Piridoksin dapat mengurangi efek levodopa, namun hal ini tidak terjadi
jika inhibitor dopa dekarboksilase juga diberikan. Piridoksin mengurangi aktivitas
altertamine. Hal ini juga telah dilaporkan menurunkan konsentrasi serum
fenobarbital dan fenitoin. Banyak obat yang dipersyaratkan untuk piridoksin.
Obat-obatan tersebut termasuk hydralazine, isoniazid, penicillamine, dan
kontrasepsi oral (Sweetman, 2009).
Tabel II.6 Interaksi Piridoksin (Riley, 2001)
Interaksi Piridoksin
Obat Target Obat Keterangan
Piridoksin Levodopa  Piridoksisn  efektifitas dengan
meningkatkan metabolisme perifer, tingkat
rendah yang tersedia dari penetrasi CNS
Piridoksin Fenitoin  Serum fenitoin 
77

h. Dosis dan Penggunaan Piridoksin


a. Asupan makanan harian yang dianjurkan (RDA):
Anak-anak : 1-3 tahun : 0,9 mg
4-6 tahun : 1,3 mg
7-10 tahun : 1,6 mg
Dewasa : Pria : 1,7-2,0 mg
Wanita : 1,4-1,6 mg
b. Dosis untuk bayi
Oral : 2-100 mg/hari
IM, IV, SC : 10-100mg
c. Kekurangan makanan : Oral
Anak-anak : 5-25mg/24 jam selama 3 minggu, kemudian 1,5-
2,5mg/hari pada produk multivitamin
Dewasa : 10-20mg/hari selama 3 minggu
d. Obat penyebab neuritis (isoniazid, hidralazin, penicilamin, sikloserin) : Oral
Anak-anak : Pengobatan : 10-50mg/24 jam
Profilaksis : 1-2mg/kg/24 jam
i. Bentuk Sediaan Piridoksin
Injeksi hidroklorida : 100 mg/ml (10 ml; 30 ml)
Tablet hidroklorida : 25 mg, 50 mg, 100 mg, 250 mg, 500 mg
Tablet salut enterik hidroklorida : 20 mg
(Lacy et.al, 2003).
Selain untuk mencegah dan mengobati defisiensi vitamin B6, vitamin ini
juga diberikan bersama vitamin B lainnya atau sebagai multivitamin untuk
pencegahan dan pengobatan defisiensi vitamin B kompleks. Indikasi lain adalah
untuk mencegah atau mengobati neuritis perifer oleh obat misalnya isoniazid,
sikloserin, hidralazin, penicilamin, yang bekerja sebagai antagonis piridoksin dan/
atau meningkatkan ekskresinya melalui urin (Dewoto, 2007).
Neuroprotektan dapat didefinisikan sebagai terapi yang dapat mencegah
kematian saraf dengan menghambat salah satu/lebih proses patofisiologis yang
dapat menyebabkan keruskan sistem saraf (Jain, 2011). Neuroprotektan dapat
meminimalkan kerusakan saraf selama fase penyakit dan mendukung perbaikan
78

saraf/regenerasi akson selama fase pemulihan GBS. Regenerasi akson ini sangat
diharapkan agar dapat meminimalkan abnormalitas neurologik permanen pada
pasien GBS. Terapi neuroprotektan pada pasien GBS masih dalam tahap
penelitian, tetapi pemberian neuroprotektan diharapkan dapat memberikan
perbaikan klinis yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian imunosupresan
secara agresif (Zhang et al., 2011).
3). Cobalamin (Vitamin B12)
a. Struktur Kimia Cobalamin

Gambar 2.25 Struktur Cobalamin (Alvarado & Navarro, 2016)


Struktur vitamin B12 berbentuk planar dengan inti corrin yang mirip
seperti struktur porfirin dengan empat cincin pirol (Gambar 2.25) dimana atom
kobalt menjadi pusat dalam cincin corrin dan gugus substitusinya dapat diganti
dengan –CH3, -OH, -CN, -5’-deoxyanodenosyl. Nukleotida 5,6-
dimethylbenzimidazolyl menghubungkan hampir di sudut kanan ke inti corrin
dengan ikatan pada atom kobalt dan rantai samping propionat dengan cincin pirol
C (Brunton et.al, 2011). Cobalamin memiliki substituen, diantaranya yaitu (Tabel
II.7)
Tabel II.7 Substituen Vitamin B12 (Brunton et.al, 2011)
Kelompok Substituen Vitamin B12
Nama Struktur R
Cyanocobalamin (Vitamin B12) -CN
Hydroxocobalamin -OH
Methylcobalamin -CH3
5’-Deoxydenosylcobalamin -5’-Deoxydenosyl
79

Kelompok variabel –R yang paling penting ditemukan dalam senyawa


yang stabil yaitu cyanocobalamin dan hydroxocobalamin sedangkan koenzim
aktiv yaitu methylcobalamin dan 5’-deoxydenosylcobalamin. Istilah vitamin B12 dan
cyanocobalamin digunakan secara bergantian sebagai istilah generik untuk semua
cobamides aktif pada manusia. Olahan dari vitamin B12 yang digunakan untuk terapi
baik mengandung cyanocobalamin atau hydroxocobalamin karena hanya derivatif ini
yang tetap aktif setelah penyimpanan (Brunton et.al, 2011; Alvarado & Navarro, 2016).
b. Sumber Vitamin B12 alami
Sumber asli satu-satunya untuk vitamin B12 adalah mikroorganisme.
Bakteri dalam kolom juga membentuk vitamin B12, tetapi tidak berguna untuk
memenuhi kebutuhan individu yang bersangkutan sebab absorbsi vitamin B12
terutama berlangsung dalam ileum, selain itu vitamin B12 dalam kolon ternyata
terikat pada protein, jadi sumber untuk memenuhi kebutuhan manusia adalah
makanan hewani, karena tumbuh-tumbuhan tidak mengandung vitamin B12.
Berbeda dengan manusia, usus halus hewan mengandung mikroorganisme yang
menyebabkan hewan dapat memperoleh vitamin B12 dari flora ususnya sendiri.
Vitamin B12 dalam makanan manusia terikat pada protein, tetapi akan dibebaskan
pada proses proteolisis. Jenis makanan yang kaya akan vitamin B12 adalah jeroan
(hati, ginjal, jantung) dan kerang. Kuning telur, susu kering bebas lemak dan
makanan laut (ikan sarden, kepiting) mengandung vitamin B12 dalam jumlah
sedang (Dewoto & Wardhini, 2007).
c. Kebutuhan Vitamin B12
Kebutuhan vitamin B12 bagi orang sehat kira-kira 1μg sehari yaitu sesuai
dengan jumlah yang disekresi oleh tubuh. Setiap hari tubuh akan mengeluarkan 3-
7 μg sehari ke dalam saluran empedu; sebagian besar akan direabsorbsi melalui
usus dan hanya 1μg yang tidak direabsorbsi, sehingga jumlah tersebut cukup
untuk mempertahankan jumlah vitamin B12 yang dibutuhkan dalam tubuh. Pada
defisiensi vitamin B12 tanpa komplikasi, respon hematologik minimal sudah
didapat dengan 1 μg sehari, tetapi pada anemia pernisiosa dimana factor intrinsic
castle (FIC) berkurang atau tidak ada, kebutuhan ini akan meningkat karena yang
dikeluarkan melalui saluran empedu tidak dapat direabsorbsi (Dewoto &
Wardhini, 2007).
80

d. Fungsi Metabolik Vitamin B12


Koenzim aktif methylcobalamin dan 5’-deoxyadenosylcobalamin sangat
penting untuk pertumbuhan sel dan replikasi. Methylcobalamin diperlukan untuk
konversi homosistein menjadi metionin dan turunan S-adenosylmethionin, selain
itu ketika konsentrasi vitamin B12 tidak memadai, folat akan terjebak seperti
methyltetrahydrofolate yang menyebabkan defisiensi fungsional bentuk
intraseluler lainnya yang diperlukan asam folat. Kelainan hematologi pada pasien
dengan defisiensi vitamin B12 merupakan hasil dari proses ini dan 5’-
deoxyadenosylcobalamin diperlukan untuk penataan kembali metilmalonil CoA
menjadi suksinil CoA (Brunton et.al, 2011).
Peran utama vitamin B12 dan asam folat dalam metabolisme intraseluler
terangkum dalam intraseluler vitamin B12 dibagi menjadi dua koenzim aktif yaitu
methylcobalamin dan deoxyadenosylcobalamin.Deoxyadenosylcobalamin
merupakan kofaktor untuk enzim mutase mitokondria yang mengkatalisis
isomerisasi l-methylmalonyl CoA untuk suksinil CoA, rekasi penting dalam
metabolisme karbohidrat dan lipid. Reaksi ini tidak memiliki hubungan langsung
dengan jalur metabolisme yang melibatkan folat, sebaliknya methylcobalamin
membantu reaksi metionin sintesa yang penting untuk metabolisme folat.
Kelompok metil disumbangkan oleh methyltetrahydrofolate (CH3H4PteuGlu1)
yang digunakan untuk membentuk methylcobalamin yang kemudian bertindak
sebagai kelompok metil donor untuk konversi homosistein menjadi metionin.
Interaksi folat-cobalamin ini penting untuk sintesis purin, pirimidin dan DNA.
Reaksi metionin sintetase sebagian besar bertanggung jawab untuk mengontrol
daur ulang kofaktor folat, pemeliharaan konsentrasi intraseluler
folypolyglutamates dan produksi metionin sendiri, S-adenosylmethionine
mendukung sejumlah reaksi metilasi. Methyltetrahydrfolate adalah substituen
folat utama yang dipasok ke sel, maka penyumbangan kelompok metil untuk
cobalamin sangat penting untuk penyediaan tetrahydrofolate sebagai substrat
untuk metabolik. Tetrahydrofolate adalah prekursor untuk pembentukan
folypolyglutamates intraseluler, tetapi juga bertindak sebagai akseptor dari unit
satu karbon dalam konversi serin ke glisin, dengan pembentukan resultan dari
5,10-methylenetetrahydrofolate (5,10-CH2H4PteGlu). Derivat terakhir yang
81

menyumbangkan kelompok metilen untuk deoxyuridylate (dUMP) untuk sintesis


timidilat (dTMP) merupakan reaksi yang sangat penting dalam sintesis DNA.
Dalam proses tersebut 5,10-methylenetetrahydrofolate dikonveri menjadi
dihydrofolate (H2PteGlu). Siklus ini kemudian dilengkapi dengan pengurangan
H2PteGlu ke H4PteGlu oleh dihydrofolate reduktase, langkah yang diblokir oleh
antagonis folat seperti methotrexate. Jalur lain juga mengarah pada sintesis 5,10
methylenetetrahydrofolate. Jalur ini penting dalam metabolisme asam
formiminoglutamic (FIGLU), purin dan pirimidin.
Kekurangan vitamin B12 ataupun asam folat akan mengakibatkan
penurunan sintesis metionin dan S-adenosylmethionin akan mengganggu
biosintesis protein, sejumlah reaksi metilasi dan sintesis polyamines, selain itu sel
akan merespon kekurangan dengan mengalihkan jalur metabolisme folat untuk
memasok peningkatan jumlah methyltetrahydrofolate, hal ini cenderung
menyediakan reaksi metilasi dengan mengorbankan sintesis asam nukleat.
Mekanisme yang bertanggung jawab untuk lesi neurologis dari defisiensi
vitamin B12 kurang dipahami dengan baik. Kerusakan selubung mielin adalah lesi
yang paling jelas dalam neuropati ini. Hal ini menyatakan bahwa deoxyadenosyl
B12 tergantung pada mutase reaksi methylmalonyl CoA, sedangkan dalam
metabolisme propionat berhubungan dengan kelainan penyakit, namun bukti lain
menunjukkan bahwa kekurangan metionin sintetase dan blok konversi metionin
menjadi S-adenosylmethionin lebih mungkin bertanggung jawab dalam proses
tersebut (Brunton et.al, 2011).
e. Defisiensi Kekurangan Vitamin B12
Kekurangan vitamin B12 dapat disebabkan oleh kurangnya asupan,
terganggunya absorbsi, terganggunya utilisasi, meningkatnya kebutuhan,
dekstruksi yang berlebihan atau ekskresi yang meningkat. Defisiensi kobalamin
ditandai dengan gangguan hematopoesis, gangguan neurologi, kerusakan sel
epitel, terutama epitel saluran cerna dan debilitas umum. Defisiensi vitamin B12
menimbulkan anemia megaloblastik, demielinasi, dan kerusakan neurologis yang
lain. Pada sistem saraf, kekurangan vitamin B12 menyebabkan demielinasi,
diikuti degenerasi aksonal dan terkadang menyebabkan kematian aksonal yang
bersifat ireversibel. Gangguan pada sumsum tulang belakang, otak, saraf optik
82

dan saraf perifer dapat diakibatkan oleh kekurangan vitamin B12. Kelainan
neurologik pada defisiensi vitamin B12 diduga karena kerusakan pada selubung
mielin, namun mekanisme yang past belum dapat dijelaskan. Pembentukan bagian
lemak dari selubung mielin memerlukan isomerasi metilmalonat menjadi suksinat
yang menggunakan deoksiadenosilkobalamin sebagai kofaktor. Defisiensi vitamin
B12 dapat didiagnosis dengan mengukur kadar vitamin B12 dalam plasma (Miller
et.al, 2005; Dewoto & Wardhini, 2007)
Dalam sebuah studi kekurangan vitamin B12 dapat dengan mudah
merusak mielin yang menjadi target serangan autoimun, kekurangan vitamin B12
berhubungan dengan menurunnya aktivitas imunomodulator, defisiensi vitamin
B12 berhubungan dengan menurunnya aktivitas neurotropik, aktivitas-infalmasi
dan demielinasi berhubungan dengan proses remielinasi yang dengan proses
remielinasi yang dengan pasti membutuhkan konsumsi vitamin B12, oleh karena
itu vitamin B12 berperan sebagai kofaktor dalam pembentukan mielin, memiliki
efek imunomudulator dan neurotropik (Miller et.al, 2005).
f. Efek kobalamin pada proses remielinasi
Mekanisme kerusakan saraf terkait dengan defisiensi B12 itu sendiri, serta
dengan produksi metabolitterkait dengan yang terakhir (peningkatan asam
methylmalonic) dan penurunan S-adenosylmethionine (SAM), yang berpartisipasi
dalam konversi Hcy menjadi metabolit yang berguna. Sebagai tambahan, B12
diperlukan sebagai donor metil dalam sintesis poliamina dan reaksi transmetilasi.
Gambar 2.26 menunjukkan mekanisme yang berkaitan dengan proses kerusakan
pada serat saraf. Demikian juga, kekurangan kobalamin dikaitkan dengan
peningkatan faktor inti kappa-Beta (FN-kB), yang meningkatkan peradangan,
karena faktor ini meningkatkan tingkat faktor nekrosis tumor alfa (FNT- α), reaksi
kekebalan dan apoptosis. Mekanisme untuk mengurangi kerusakan serat saraf
didasarkan pada penurunan produk akhir dari glikosilasi protein lanjutan,
penghambatan jalur diacylglycerol (DAG), yang merupakan jalur aktivasi protein
kinase (amputasi ampuh protein kinase). Demikian juga, DAG juga mengatur
jalur heksosamin, mengatur dan memperbaiki jalur pentosa melalui jalur
metabolisme alternatif (Alvarado & Noverro, 2016).
83

Gambar 2.26 Manifestasi neurologi dari defisiensi vitamin B12 (Alvarado &
Navarro, 2016)

g. Farmakokinetik Cobalamin
 Absorbsi
Sianokobalamin diabsorbsi baik dan cepat setelah pemberian IM dan
subkutan. Kadar dalam plasma mencapai puncak dalam waktu 1 jam setelah
suntikan IM. Hidroksokobalamin dan koenzim B12 lebih lambat diabsorbsi,
karena ikatannya yang lebih kuat dengan protein. Absorbsi peroral berlangsung
lambat di ileum; kadar puncak dicapai 8-12 jam setelah pemberian 3 μg.
Absorbsi ini berlangsung dengan dua mekanisme, yaitu dengan perantaraan
FIC dan absorbsi secara langsung. Absorbsi dengan perantara FIC sangat
penting dan sebagian besar anemia megaloblastik disebabkan oleh gangguan
mekanisme ini. Setelah dibebaskan dari ikatan protein vitamin B12 dari
makanan akan membentuk kompleks B12-FIC. FIC hanya mampu mengikat
sejumlah 1,5-3 μg vitamin B12. Kompleks ini masuk ke ileum untuk
diabsorbsi. Untuk perlekatan ini diperlukan ion kalsium (ion magnesium dapat
juga membantu) dan suasana pH sekitar 6. Absorbsi berlangsung dengan
mekanisme pinositosis oleh sel mukosa ileum. FIC yang dihasilkan oleh sel
84

parietal lambung, merupakan suatu glikoprotein dengan berat molekul 60.000.


Bila sekresi FIC bertambah, misalnya akibat obat-obatan kolinergik, histamin
dan mungkin juga beberapa hormon seperti ACTH, kortikosteroid dan hormon
tiroid, maka absorbsi vitamin B12 juga akan meningkat. Absorbsi vitamin B12
harus dibebaskan lebih dahulu oleh protein, maka jumlah yang diabsorbsi juga
tergantung dari ikatannya dengan makanan/ jenis makanan (Dewoto &
Wardhini, 2007).
 Distribusi
Setelah diabsorbsi, hampir semua vitamin B12 dalam darah terikat
dengan protein plasma. Sebagian besar terikat pada beta-globulin
(transkobalamin II), sisanya terikat pada alfa-glikoprotein (transkobalamin I)
dan inter-alfa-glikoprotein (transkobalamin III). Vitamin B12 yang terikat pada
transkobalamin II akan diangkut ke berbagai jaringan, terutama hati yang
merupakan tempat utama penyimpanan vitamin B12 (50-90%). Kadar normal
vitamin B12 dalam plasma adalah 200-900 pg/ml dengan simpanan sebanyak
1-10 mg dalam hepar (Dewoto & Wardhini, 2007).
 Metabolisme dan Ekskresi
Baik sianokobalamin maupun hidroksokobalamin dalam jaringan dan
darah terikat oleh protein. Seperti halnya koenzim B12 ikatan dengan
hidroksokobalamin lebih kuat sehingga sukar diekskresikan melalui urin. Di
dalam hati kedua mecobalamin tersebut akan diubah menjadi koenzim B12.
Pengurangan jumlah kobalamin dalam tubuh disebabkan oleh ekskresi melalui
saluran empedu, sebanyak 3-7 μg sehari harus direabsorbsi dengan perantara
FIC. Ekskresi bersama urin hanya terjadi pada bentuk yang tidak terikat
protein. 80-95% vitamin B12 akan diretensi dalam tubuh bila diberikan dalam
dosis sampai 50 μg; dengan dosis yang lebih besar, jumlah yang diekskresi
akan lebih banyak. Jadi apabila kapasitas ikatan protein dari hati, jaringan dan
darah telah penuh, vitamin B12 dapat menembus sawar uri dan masuk ke
dalam sirkulasi bayi pada wanita hamil (Dewoto & Wardhini, 2007).
h. Interaksi Cobalamin
Penyerapan vitamin B12 pada GIT menurun dengan adanya neomycin,
asam aminosalisilat, histamin H2-antagonis, omeprazole dan colchicine.
85

Konsentrasi serum menurun pada penggunaan kontrasepsi oral. Interaksi ini harus
diperhatikan saat melakukan tes konsentrasi darah. Kloramfenikol parenteral
mungkin juga menurunkan efek vitamin B12 pada anemia (Sweetman, 2009).
i. Dosis dan Penggunaan Cobalamin
Sianokobalamin biasa digunakan untuk rute IM atau SC, karena setelah
injeksi IV, ekskresi berlangsung cepat, maka rute IV disarankan dihindari.
Hidroksokobalamin hanya melalui rute injeksi IM. Sianokobalamin dan
kobalamin disarankan rute PO.
a. Asupan makanan harian yang dianjurkan (RDA)
Anak-anak : 0,3-2 μg
Dewasa : 2 μg
b. Defisiensi nutrisi
Gel intranasal : 500 μg
Oral : 25-250 μg
c. Kekurangan vitamin B12
Anak-anak  Tanda neurologi : 100 μg/hari selama 10-15 hari (dosis
total 1-1,5 mg)
Tanda hematologi : 10=50 μg/hari selama 5-10 hari
diikuti 100-250 μg/dosis tiap 2-4 minggu
Dewasa  Awal : 30 μg/hari selama 5-10 hari
Pemeliharaan : 100-200 μg/bulan
d. Neuropati perifer
Dewasa : 500 μg/ hari rute IM atauIV 3x/minggu
(dosis disesuaikan dengan usia pasien dan gejala yang dialami pasien)
(Lacy et.al, 2003)
j. Bentuk Sediaan
Gel, intranasal (Nascobal) : 500 μg/0,1 ml (5 ml)
Injeksi : 100 μg/ml (1 ml, 10 ml, 30 ml); 1000
μg/ml (1ml, 10ml, 30 ml)
Tablet (OTC) : 50 μg, 100 μg, 250 μg, 500 μg, 1000μg
(Lacy et.al, 2003)
86

Terapi neuroprotektan dan neurotropik ini sangat bermanfaat pada GBS


karena:
1. penyimpangan respon autoimun yang menyebabkan kerusakan saraf
pada GBS hanya bersifat sementara;
2. saraf perifer pada dasarnya memiliki kemampuan regenerasi dan
memperbaiki diri setelah terjadi kerusakan;
3. blood-nerve barrier juga mengalami kerusakan pada saraf yang
rusak, sehingga neuroprotektan yang diberikan selama fase akut
GBS dapat mencapai serabut saraf yang rusak; dan
4. intervensi neuroprotektan dan neurotropik berlangsung dalam jangka
waktuyang terbatas (oleh karena sifat monofasik GBS),
sehingga efek samping potensial yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan
jangka panjang obat-obatan ini dapat diminimalkan (Zhang et al., 2011).
Dari hasil penelitian Hartiningtyas di Rumah Sakit di Surabaya vitamin
B1, B6, dan B12 merupakan neuroprotective agent sebagai terapi suportif
untuk pasien GBS karena mampu membantu meminimalkan atau mencegah
progresifitas penyakit. Dalam penelitian ini penggunaan kombinasi terapi pada 40
pasien GBS yang paling sering adalah fursultiamin dan metilcobalamin (90%).
Kedua kombinasi tersebut digunakan untuk membatasi jumlah cedera saraf
selama perkembangan fase penyakit dan meningkatkan perbaikan saraf /
regenerasi akson selama fase pemulihan GBS dilihat dari manfaat kedua obat
tersebut untuk sel saraf (Hartiningtyas, 2014).
C. Antibiotika
Antibiotika diberikan pada pasien GBS baik pada awal sebelum diagnosis
(untuk profilaksis terhadap infeksi) dan dapat juga diberikan untuk mengatasi
infeksi nosokomial yang terjadi pada pasien GBS seperti ventilator-associated
pneumoniae (VAP), hospital-acquired pneumoniae (HAP), infeksi saluran
kencing, atau infeksi pada akses intravena, serta sepsis. Antibiotika yang sering
digunakan untuk menangani infeksi nosokomial ini antara lain golongan
aminoglikosida (streptomisin, kanamisin, gentamisin), beta-laktam (penisilin,
ampisilin, amoksisilin), sefalosporin (sefotaksim, seftriakson, sefiksim), dan
golongan beta-laktam lain seperti karbapenem dan kuinolon. Antibiotika yang
87

dipilih harus berdasarkan diagnosis klinik atau perkiraan mikroorganisme yang


dapat menginfeksi (antibiotika empiris), sensitivitas, efektivitas, toksisitas, dan
biaya (WHO, 2002).
1). Penggolongan Antibiotika
Berikut adalah penggolongan antibiotika yang digunakan pada pasien GBS
dengan infeksi berdasarkan struktur kimianya:
A. Makrolida
Makrolida adalah sekelompok senyawa yang saling terkait erat dan
memiliki ciri khas adanya cincin lakton makrosiklik (biasanya mengandung 14
atau 16 arom) tempat melekatnya gula deoksi. Obat prototipe golongan ini yaitu
eritromisin, yang tersusun dari dua gugus gula yang melekat pada cincin laton 14-
atom, ditemukan tahun 1952 dari Streptomyces erythreus. Klaritromisin dan
Azitromisin merupakan turunan semisintesis eritromisin (Chambers, 2010).
Mekanisme kerja makrolida yaitu berikatan dengan sub-unit 50S ribosom
dan tempat ikatannya adalah 23S rRNA. Makrolida bekerja dengan membentuk
kompleks yang menginisiasi rantai peptida atau bekerja dengan cara mengganggu
rekasi translokasi aminoacyl (Harniza, 2009).
a. Eritromisin
 Farmakokinetika
Eritromisin basa dihancurkan oleh asam lambung sehingga harus
diberikan dalam bentuk salut enterik. Makanan dapat menghambat
absorbsinya. Stearat dan ester cukup resisten terhadap asam sehingga dapat
diabsorbsi lebih baik. Garam lauril dan ester propionil eritromisin (eritromisin
estolat) merupakan sediaan oral yang diabsorbsi paling baik. Dosis oral sebesar
2 g/hari memberikan konsentrasi basa dan ester eritromisin dalam serum
sebesar 2 mcg/mL. Akan tetapi, hanya bentuk basalah yang aktif secara
mikrobiologis dan konsentrasinya cenderung sama apapun formulasinya. Dosis
eritromisin laktobionat IV sebesar 500 mg menghasilkan kadar dalam serum
sebesar 10 mcg/mL 1 jam setelah pemberian obat. Waktu paruh dalam serum
normalnya sekitar 1,5 jam dan 5 jam pada penderika anuria. Penyesuaian dosis
tidak diperlukan pada gagal ginjal (Chambers, 2010).
88

 Resistensi
Resistensi terhadap eritromisin biasanya dikode dalam plasmid. Telah
diketahui adanya tiga mekanisme resistensinya: 1). Penurunan permeabilitas
membran sel atau efluks aktif; 2). Produksi esterase oleh Enterobactericeae
yang menghidrolisis makrolida; dan 3). Modifikasi lokasi pengikatan
ribosomal (proteksi ribosomal) melalui mutasi kromosom atau melalui metilase
konstitusif atau terinduksi makrolida. Efluks dan produksi metilase merupakan
mekanisme resistensi terpenting pada Gram positif (Chambers, 2010).
 Efek Samping
Efek Samping yang mungkin terjadi : a). Efek pada saluran cerna
(anoreksia, mual, muntah dan diare) pada pemberian oral; b). Toksisitas di hati
(eritomisin, khususnya estolat dapat menghasilkan hepatitis kolestatik akut
akibat reaksi hipersensitivitas); dan c). interaksi obat yaitu metabolit
eritromisin dapat menghambat enzim sitokrom P450 sehingga meningkatkan
konsentrasi berbagai obat dalam serum, seperti teofilin, antikoagulan oral,
siklosporin, dan metilprednisolon (Chambers, 2010).
b. Azitromisin
Azitromisin berbeda dari eritromicin dan klaritromisin terutama dalam hal
sifat farmakokinetiknya. Dosis azitromisin sebesar 500 mg menghasilkan kadar
dalam serum yang relatif rendah sekitar 0,4 mcg/mL. Akakn tetapi, azitromisin
berpenetrasi dengan sangat baik ke dalam sebagian besar jaringan (kecuali cairan
serebrospinal) dan sel fagositik, dengan kadar dalam jaringan melebihi kadar
serum sebesar 10 hingga 100 kali lipat. Obat ini dilepaskan secara lambat dari
jaringan (waktu paruh dalam jaringan 2-4 hari) dan menghasilkan waktu paruh
eliminasi hampi 3 hari. Sifatnya yang unik ini memungkinkan pemberian dosis
sekali sehari dan pemendekanlama terapi pada banyak kasus. Azitromisin cepat
diserap dan ditoleransi dengan baik per oral. Obat ini sebaiknya diberikan 1 jam
sebelum atau 2 jam setelah makan. Antasid aluminium dan magnesium tidak
mengubah bioavaibilitasnya tetapi menunda absorbsi dan menurunkan kadar
puncaknya dalam serum. Karena memiliki cincin lakton beranggotakan 15,
azitromisin tidak menonaktifkan enzim sitokrom P450 sehingga tidak terdapat
interaksi obat yang terjadi pada eritromisin dan klaritromisin (Chambers, 2010).
89

c. Klaritromisin
Klaritromisin memiliki stabilitas asam serta absorpsi oral yang lebih baik
daripada eritromisin. Dosis 500 mg menghasilkan kadar serum dalam sebesar 2-3
mcg/mL. Waktu paruh klaritromisin yang lebih panjang (6jam) daripada
eritromisin memungkinkan pemberian dosis sebanyak 2x sehari. Dosis yang
dianjurkan adalah 250-500 mg 2x sehari atau 1g untuk sediaan lepas lambat
sebanyak 1x sehari. Penetrasi klaritromisin pada kebanyakan jaringan cukup baik,
dengan kadar jaringan yang serupa atau melebihi kadar dalam serum (Chambers,
2010).
d. Ketolida
Ketolida merupakan makrolida semisintesis. Contoh ketolida yang
disetujui untuk penggunaan klinis adalah telitromisin. Bioavaibilitas telitromisin
57% dan penetrasinya pada jaringan dan intrasel umumnya baik. Telitromisin
dimetabolisme dalam hati dan dieliminasi oleh kombinasi jalur ekskresi empedu
dan urin. Obat ini diberikan dalam dosis sekali sehari sebesar 800 mg dan
memunculkan kadar puncak dalam serum sekitar 2 mcg/mL. Telitromisin
diindikasikan untuk terapi infeksi saluran pernafasan, termasuk peneumonia
bakterial, ekserbasi akut, bronkitis kronis, sinusitis dan faringitis akibat
streptokokus. Telitromisin merupakan penghambat sistem enzim CYP3A4 yang
reversibel dan dapat sedikit memperpanjang interval QTc (Chambers, 2010).
B. Aminoglikosida
Aminoglikosida adalah golongan antibiotika bakterisidal yang terdiri dari
dua atau lebih gugus gula amino yang terikat lewat ikatan glikosidik pada inti
heksosa. Aminoglikosida bersifat basa kuat, sangat polar dan stabilitasnya cukup
baik pada suhu kamar (Gunawan, 2009).
 Mekanisme kerja
Aminoglikosida merupakan inhibitor irreversibel sintesis protein.
Proses awal aktivitas tersebut adalah difusi pasif melalui kanal pori pada
membran luar bakteri. Obat ini selanjutnya ditranspor secara aktif melalui
membran sel bakteri ke dalam sitoplasma melalui suatu proses yang
bergantung pada oksigen. Gradien elektrokimiawi transmembran menyuplai
energi untuk proses tersebut, dan transpor aktif dirangkaikan dengan suatu
90

pompa proton. pH ekstrasel yang rendah dan suasana anaerob menghambat


proses transpor dengan mengurangi gradien tersebut. Proses transpor dapat
dipermudah oleh obat-obat yang aktif bekerja pada dinding sel bakteri seperti
penisilin atau vankomisin. Kemudahan transpor tersebut mungkin merupakan
dasar terjadinya sinergisme antibiotika tersebut dengan aminoglikosida
(Chambers, 2010).
Di dalam sel bakteri, aminoglikosida berikatan dengan reseptor pada
subunit 30S protein ribosom bakteri (S12 pada streptomisin). Sintesis protein
ribosom dihambat oleh aminoglikosida setidaknya melalui tiga cara yaitu:
menganggu kompleks inisiasi pembentukan peptida, menyebabkan kesalahan
pembacaan mRNA yang menyebabkan penggabungan asam amino yang salah
ke dalam peptida, dan menguraikan polisom menjadi monosom yang tak
berfungsi. Aktivitas-aktivitas tersebut kurang lebih terjadi secara bersamaan
dan efek keseluruhannya bersifat irreversible dan letal bagi sel bakteri
(Chambers, 2010).
 Farmakokinetika
Aminoglikosida sebagai polikation bersifat sangat polar, sehingga
sangat sukar diabsorpsi melalui saluran cerna. Kurang dari 1% dosis yang
diberikan diabsorpsi melalui saluran cerna. Pemberian per oral hanya
dimaksudkan untuk mendapatkan efek terapi yang lokal dalam saluran cerna
saja, misalnya pada persiapan prabedah usus. Untuk mendapatkan kadar
sistemik yang efektif, aminoglikosida perlu diberikan secara paranteral.
Neomisin, framisetin, dan paromomisin tidak dianjurkan untuk penggunaan
sistemik (Gunawan, 2009). Pada suntikan intramuskular (IM), aminoglikosida
diabsorpsi dengan baik dan mencapai kadar puncak di dalam darah dalam
waktu 30-90 menit. Aminoglikosida biasanya diberikan secara IV dalam infus
selama 30-60 menit. Setelah fase distribusi singkat terlampaui, aminoglikosida
akan mencapai kadar dalam serum yang mendekati kadar aminoglikosida
serum yang dicapai pada pemberian IM (Chambers, 2010).
Secara konvensional, aminoglikosida diberikan 2 atau 3x dengan dosis
yang terbagi rata per hari untuk pasien dengan fungsi ginjal yang normal. Akan
tetapi, pemberian aminoglikosida dengan dosis sekali sehari lebih disukai pada
91

keadaan tertentu. Aminoglikosida memiliki daya bunuh yang bergantung pada


dosis yaitu kadar obat yang semakin besar akan membunuh lebih banyak
bakteri dan terjadi pada kecepatan yang lebih tinggi. Aminoglikosida juga
memiliki postantibiotic effect yang bermakna sehingga aktivitas antibakteri
menetap di luar waktu ketika kadar obat tersebut masih dapat terukur. Efek
tersebut dapat berlangsung selama beberapa jam. Karena sifat tersebut,
efektivitas sejumlah aminoglikosida mungkin lebih baik jika diberikan sekali
dengan dosis besar dibanding diberikan berulang dengan dosis kecil.
Aminoglikosida dibersihkan oleh ginjal dan ekskresinya berhubungan langsung
dengan kebersihan kreatinin. Perubahan cepat pada fungsi ginjal, yang terdapat
pada gagal ginjal akut pada pasien dengan syok sepsis, harus dianstisipasi
untuk menghindari terjadinya kelebihan dosis (Chambers, 2010).
 Resistensi
Tiga mekanisme utama resistensi aminoglikosida yaitu: a). Produksi
suatu enzim transferase atau enzim yang menginaktifkan aminoglikosida
melalui adenilisasi, asetilasi atau fosforilasi. Hal ini merupakan jenis resistensi
yang utama dan ditemukan secara klinis; b). Terdapat gangguan transpor
aminoglikosida ke dalam sel. Hal ini dapat bersifat genotipik yaitu terjadi
akibat mutasi dan delesi suatu protein pori atau protein yang terlibat dalam
transpor dan pemeliharaan gradien elektrokimiawi, atau bersifat fenotipik yaitu
terjadi akibat kondisi pertumbuhan ketika proses transpor aminoglikosida yang
bergantung pada oksigen menjadi tidak berfungsi; c). Protein reseptor pad
subunit 30S ribosom dapat mengalami delesi atau perubahan akibat suatu
mutasi (Chambers, 2010).
 Efek Samping
Semua aminoglikosida bersifat ototoksik dan nefrotoksik. Ototoksisitas
dan nefrotoksisitas dijumpai bila terapi dilanjutkan selama lebih dari 5 hari,
pada dosis yang lebih tinggi, pada lansia, dan pada insufisiensi ginjal.
Penggunaan aminoglikosida secara bersamaan dengan diureik kuat (misalnya
furosemid dan asam etakrinat) atau antimikroba lain yang bersifat nefrotoksik
(misalnya vankomisin atau amfoterisin) dapat memperparah nefrotoksisitas dan
harus dihindari bila memungkinkan. Ototoksisitas mempunyai manifestasi
92

berupa kehilangan pendengararan, yang awalnya menimbulkan tinitus dan


kehilangan pendengaran untuk frekuensi tinggi, atau berupa kerusakan
vestibular yang ditandai dengan vertigo, ataksia dan hilangnya keseimbangan.
Nefrotoksisitas menyebabkan peningkatan kadar kreatinin dalam serum atau
penurunan kebersihan kreatinin meskipun indikasi paling awal terjadinya
toksisitas seringkali berupa peningkatan kadar terendah aminoglikosida serum.
Neomisin, kanamisin dan amikasin adalah obat-obat yang paling bersifat
ototoksik. Neomisin dan tobramisin, dan gentamisin paling bersifat nefrotoksik
(Chambers, 2010).
Sediaan aminoglikosida dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu:
1. Sediaan aminoglikosida sistemik untuk pemberian IM atau IV yaitu
amikasin, gentamisin, kanamisin dan streptomisin
2. Sediaan aminoglikosida topikal yaitu aminosidin, kanamisin, neomisin,
gentamisin, dan streptomisin.
C. Beta-Laktam
Berikut ini termasuk antibiotik golongan beta-laktam:
1. Penisilin
Penisilin digunakan dalam pengobatan terbagi dalam penisilin alam dan
semisintetik. Penisilin alam berasal dari Penicilium notatum dan P. chrysogenum.
Sedangkan penisilin semisintetik diperoleh dengan cara mengubah struktur kimia
penisilin alam atau dengan cara sintesis dari inti penisilin yaitu asam 6-
aminopenisilanat (6-APA) (Gunawan, 2009).
 Mekanisme kerja
Penisilin, seperti semua antibiotika B-laktam yaitu mengahambat
pertumbuhan bakteri dengan mengganggu reaksi transpeptidase dalam sintesis
dinding sel bakteri (Chambers, 2010).
 Farmakokinetika
Absorbsi obat per oral dapat sangat berbeda untuk tiap penisilin dan
sebagian bergantung pada kestabilan terhadap asam dan ikatan proteinnya.
Absorbsi sebagian besar penisilin oral (kecuali amoksilin) terganggu oleh
makanan, sehingga obat tersebut harus diberikan setidaknya 1-2jam sebelum
atau sesudah makan (Chambers, 2010).
93

Pemberian melalui IV lebih disukai daripada pemberian IM karena


injeksi dosis besar IM menimbulkan iritasi dan nyeri setempat. Konsentrasi
obat ini ditentukan oleh ikatan obat dengan protein. Penisilin yang sangat
terikat pada protein (misalnya nafsilin) umunya mencapai konsentrasi obat
bebas yang lebih rendah dalam serum daripada penisilin yang kurang terikat
protein (misalnya penisilin G dan ampisilin). Ikatan dengan protein menjadi
relevan secara klinis jika presentase obat yang terikat pada protein mencapai
sekitar 95% atau lebih. Pensilin cepat diekskresi oleh ginjal dan sejumlah kecil
diekskresi melalui jalur lain. Sekitar 10% ekskresi pada ginjal terjadi melalui
filtrasi glomerulus dan 90% oleh sekresi di tubulus ginjal. Ampisilin dan
penisilin berspektrum luas disekresi lebih lambat ketimbang penisilin G dan
mempunyai waktu paruh selama 1 jam (Chambers, 2010).
 Resistensi
Resistensi terjadi karena empat mekanisme umum yaitu: a). Inaktivasi
antibiotika oleh ß-laktamase; b). Modifiksi Peniciline Binding Protein (PBP)
target; c). Gangguan penetrasi obat untuk mencapai PBP sasaran; dan d).
Terjadinya efluks. Produksi ß-laktamase merupakan mekanisme resistensi yang
paling sering dijumpai. Beberapa ß-laktamase seperti yang diproduksi oleh
Staphylococcus aureus, Haemophilus sp, dan Estherichia coli memiliki
spesifitas terhadap substrat yang relatif sempit sehingga lebih dapat
menginaktivasi penisilin daripada sefalosporin (Chambers, 2010).
 Efek Samping
Pensilin secara umum tidak bersifat toksik. Kebanyakan efek samping
yang terjadi karena hipersensitivitas terhadap penisilin. Reaksi alergik yang
timbul dapat berupa syok anafilaktik (sangat jarang-0,05% resipien), serum
sickness-type reaction (sekarang jarang, berupa urtikaria, demam,
pmbengkakan sendi, edema, angioneurotik, prurutis hebat, dan gangguan
pernafasan yang terjadi 7-12 hari setelah pajanan), dan bebagai ruam kulit. Lesi
mulut, demam, nefritis intertisial (suatu reaksi autoimun terhadap kompleks
penisilin-protein), eosinofilia, anemia hemolitik dan gangguan hematologis
lain, serta vaskulitis juga dapat terjadi. Kebanyakan pasien yang alergi penisilin
dapat ditangani dengan menggunakan obat alternatif, akan tetapi jika perlu
94

(misalnya terapi endokarditis enterokokus atau neurosifilis pada pasien yang


sangat alergi terhadap penislin), desensitisasi dapat dicapai dengan
menigkatkan dosis penisilin secara perlahan (Chambers, 2010).
Sediaan penisilin terdiri dari:
a. Pensilin G, Penisilin V, Penislin Isoksazolil, Ampisilin, Amoksisilin,
Karbenislin, Sulbenisilin.
b. Tikarsilin (untuk terapi ISK tanpa komplikasi, dosis maksimumnya 2g
IM. Untuk ISK berat tikarsilin perlu diberikan secara IV)
c. Azlosilin, Mezlosilin, Piperasilin (Ketiga obat ini lebih poten terhadap
bakteri grm negatif dibandingkan dengan karbenisilin) (Gunawan,
2009)
2. Sefalosporin
Sefalosporin mempunyai inti dasar yaitu asam-7-amino-sefalosporonat
yang merupakan kompleks cincin dihidrotiazin dan cicncin beta-laktam.
Mekanisme kerja sefalosporin adalah menghambat sintesis dinding sel mikroba,
yang dihambat adalah reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi
pembentukan dinding sel. Sefalosporin dibagi menjadi 4 generasi berdsarkan
aktivitas antimikrobanya yang secara tidak langsung juga susuai dengan urutan
pembuatannya:
a. Sefalosporin Generasi Pertama (I)
Aktif terhadap kuman gram positif dan keunggulannya dari pensilin adalah
aktivitasnya terhadap penghasil penisilinase. Mikroba yang resisten antara lain:
Strain S.aureus resisten metisilin, S. epidermis, dan S. faecalis. Contoh obat:
Sefalotin, sefazolin, sefaleksin, sefdrin, sefadroksil,
 Farmakokinetika
Absorbsi sefaleksin, sefadrin dan sefadroksil per oral dalam usus
bervariasi. Setelah pemebrian dosis oral 500mg, kadarnya dalam serum adalah 15-
20 mcg/mL. Konsentrasi dalam urin biasanya sangat tinggi, tetapi pada sebagian
besar jaringan konsentrasinya bervariasi dan biasanya lebih rendah daripada di
dalam serum. Sefazolin adalah satu-satunya sefalosporin generasi pertama
paranteral yang masih digunakan secara luas. Setelah infus IV sebesar 1g, kadar
puncak sefazolin menjadi sebsar 90-120mcg/mL. Dosis sefazolin IV biasa untuk
95

orang dewasa adalh 0,5-2 g IV setiap 8 jam. Obat ini juga dapat diberikan jalur
IM. Ekskresi obat ini terjadi melalui ginjal sehingga penyesuaian dosis harus
dilakukan untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal (Chambers, 2010).
b. Sefalosporin Generasi Kedua (II)
Kurang aktif terhadap bakteri Gram positif, tetapi efektif untuk bakteri
Gram negatif. Contoh obat: Sefamandol, Sefoksitin, sefaklor, sefuroksim.
 Farmakokinetika
Sefaklor, sefuroksim, Sefprozil dapat diberikan per oral. Dosis untuk
orang dewasa biasanya 10-15mg/kg/hari, yang diberikan dalam dua sampai empat
dosis terbagi. Anak-anak harus diberikan 20-40 mg/kg/hari hingga mencapai dosis
maksimum 1g/hari. Kecuali untul sefuroksim aksetil, obat ini diperkirakan tidak
aktif terhadap pneumokokus yang resisten penisilin dan harus digunkan hati-hati
jika memang harus digunakan. Setelah infus IV sebanyak 1g, kadar serum
biasanya 75-125 mcg/mL untuk sebagian besar sefalosporin generasi kedua.
Pemberian IM menimbulkan nyeri sehingga harus dihindari. Dosis dan interval
pemberian bervariasi untuk setiap agen. Tedapat perbedaan nyata antar agen
dalam hal waktu paruh, ikatan protein, dan interval antar dosis. Semua obat ini
dibersihkan oleh ginjal sehingga membutuhkan penysuaian dosis pada gagal
ginjal (Chambers, 2010).
c. Sefalosporin Generasi Ketiga (III)
Sangat aktif terhadap Enterobacteriacea, termasuk strain penghasil
penisilinase. Contoh obat: Sefotaksim, Seftriakson, Sefoperazon, Seftazidim,
Sefiksim.
 Farmakokinaetika
Infus IV 1g sefalosporin paranteral menghasilkan kadar serum sebesar 60-
40 mcg/mL. Sefalosporin (kecuali sefoperazon dan semua sefalosporin oral) dapat
mempenetrasi cairan dan jaringan tubuh dengan baik dan mencapai kadar dalam
cairan serebrospinal yang cukup untuk menghambat kebanyakan patogen,
termasuk batang gram negatif, kecuali pseudomonas. Waktu paruh dan interval
pemberian obat sangat bervariasi. Seftriakson (waktu paruh 7-8 jam) dapat
disuntikkan sekali tiap 24 jam pada dosis 15-50mg/kg/hari. Dosis tunggal sebesar
1g per hari cukup diberikan untuk kebanyakan infeksi berat, tetapi pada terapi
96

meningitis yang dianjurkan adalah dosis tunggal 4 g/hari. Sefoperazone (waktu


paruh 2 jam) dapat disuntikkan tiap 8-12 jam dalam dosis 25-100mg/kg/hari. Obat
lainnya dlam kelompok ini (waktu paruh 1-1,7 jam) dapat disuntikkan tiap 6-8
jam dalam dosis antara 2 dan 12 g/hari, bergantung pada derajat keparahan
infeksi. Sefiksim dapat diberika per oral (200mg 2x sehari atau 400mg 1x sehari)
untuk infeksi saluran pernafasan atau ISK. Ekskresi sefoperazon dan seftriakson
terutama dilakukan melalui traktus biliaris sehingga penyesuaian dosis pada
infusiensi ginjal tidak perlu dilakukan. Obat lainnya diekskresi oleh ginjal
sehingga tetap memerlukan penyesuaian dosis pada infusiensi ginjal (Chambers,
2010).
d. Sefalosporin Generasi Keempat (IV)
Mempunyai spektrum aktivitas lebih luas dan lebih satbil terhadap
hidrolisis oleh betalaktamase. Sefepim cukup efektif terhadapt kebanyakan jalur
streptokokus yang resisten terhadap penisilin dan bermanfaat dalam terapi infeksi
enterobakter. Contoh obat Sefepim dan Sefpirom.
 Farmakokinetik
Obat ini dibersihkan oleh ginjal dan memiliki waktu paruh 2 jam dan
farmakokinetiknya serupa dengan seftazidim (Chambers, 2010).
 Efek samping sefalosporin:
Alergi  sefalosporin dapat menyebabkan sensitisasi dan dapat menimbulkan
berbagai reaksi hipersensitivitas seperti yang ditimbulkan oleh penisilin yaitu
anafilaksis, demam, ruam kulit, nefritis, granulositopenia, dan anemia hemolitik.
Akan tetapi inti kimiawi sefalosporin cukup berbeda dari inti penisilin sehingga
beberapa individu dengan riwayat alergi penisilin dapat menoleransi sefalosporin.
Frekuensi alerginisitas silang diantara dua kelompok obat ini tidak diketahui pasti,
tetapi mungkin sekitar 5-10% saja dapat terjadi. Walaupun demikian, pasien
dengan riwayat anafilaksis pada penisilin tidak boleh menggunakan sefalosporin.
Toksisitas  iritasi lokal dapat menimbulkan nyeri hebat pasca injeksi IM dan
tromboflebitis pasca injeksi IV (Chambers, 2010).
97

D. Golongan Beta-laktam lainnya


a. Karbapenem
Struktur karbapenem berkaitan dengan antibiotika beta-laktam.
Karbapenem diindikasikan untuk infeksi yang disebabkan oleh organisme yang
rentan terhadapnya, yaitu P. aeruginosa, yang resisten terhadap obat lain, serta
untuk infeksi campuran bakteri aerob dan anaerob. Karbapenem bekerja aktif
terhadap kebanyakan galur pneumokokus yang sangat resisten terhadap penisilin.
Karbapenem merupakan antibiotika beta-laktam yang menjadi terapi pilihan
dalam infeksi enterobakter karena resisten terhadap destruksi ß-laktamase yang
dihasilkan oleh enterobakter. Selain itu juga efektif terhadap bakteri gram negatif
yang menghasilkan ESBL. Contoh obat: Imipenem, ertapenem dan Meropenem.
(Chambers, 2010).
Imipenem memiliki spektrum yang luas dengan aktivitas yang baik
terhadap banyak batang gram negatif, termasuk P.aeruginosa, organisme gram
positif dan anaerob. Imipenem resisten terhadap kebanyakan ß-laktamase tetapi
tidak terhadap mellato-ß-laktamase. Enterococcus faecium, galur-galur
satfilokokus yang resisten terhadap metisilin, Clostridium difficile, Burcholderia
cepacia dan Stenonotrophomonas maltophilia resisten terhadap imipenem. Obat
ini dinonaktifkan oleh dehidropeptidase dalam tubulus ginjal sehingga
menurunkan konsentrasinya dalam urin. Akibatnya imipenem diberikan dengan
penghambat dehidropeptidase ginjal, yaitu cilastatin untuk penggunaan klinis.
Meropenem kurang didegradasi oleh dehidropeptidase ginjal sehingga tidak
membutuhkan penghambat tersebut. Ertapenem tidak sekatif meropenem atau
imipenem terhadap P.aeruginosa dan spesies enterobakter. Ertapenem juga tidak
didegradasi oleh dehidropeptidase ginjal (Chambers, 2010).
Penetrasi imipenem ke cairan dan jaringan tubuh termasuk cairan
serebrospinalis cukup baik. Imipenem dibersihkan sepenuhnya oleh ginjal
sehingga dosisnya harus diturunkan pada pasien infusiensi ginjal. Dosis imipenem
biasanya 0,25-0,5 g yang diberikan secara IV setiap 6-8 jam (waktu paroh 1 jam).
Dosis meropenem untuk orang dewasa adalah 1g secara IV tiap 8 jam. Ertapenem
mempunyai waktu paruh terpanjang yaitu 4 jam dan diberikan dalam dosis
tunggal 1 g tiapa harinya secara IV atau IM. Ertapenem IM bersifat iritatif
98

sehingga obat dibuat dalam sediaan bersama dengan lidokain 1% untuk pemberian
IV (Chambers, 2010)
Efek samping karbapenem yang paling sering terjadi adalah mual, muntah,
diare, ruam kulit, dan reaksi pada tempat infus. Kadar imipenem yang berlebihan
pada pasien gagal ginjal dapat menimbulkan kejang. Meropenem dan ertapenem
lebih jarang menimbulkan kejang dari pada imipenem. Pasien alergi terhadap
penisilin mungkin juga alergi terhadap karbapenem (Chambers, 2010).
E. Kuinolon
Dalam garis besarnya kuinolon dibagi menjadi dua kelompok yaitu
kuinolon dan fluorokuinolon. Kelompok fluorokuinolon mempunyai atom fluor
pada posisi enam dalam struktur molekulnya. Daya antibakteri fluorokuinolon
lebih kuat dibandingkan kelompok kuinolon lama. Selain itu kelompok obat ini
dapat diserap dengan baik pada pemebrian oral, dan beberapa derivatnya terdapat
dalam bentuk paranteral sehingga dapat digunakan untuk penanggulangan infeksi
berat. Khususnya yang disebabkan oleh gram negatif. Daya antibakteri terhadap
gram positif relatif lemah. Yang termasuk kelompok fluorokuinolon ini adalah
Siprofloksasin, pefloksasin, ofloksasin, norfloksasin, levofloksasin, flerosaksin
(Gunawan, 2009).
 Mekanisme Kerja
Golongan kuinolon adalah menghambat kerja enzim DNA girase
(topoisomerase II) pada kuman dan bersifat bakterisidal. Enzim DNA girase
(topoisomerase II) berguna untuk menimbulkan relaksasi pada DNA yang
mengalami positive supercoiling (pilinana positif yang berlebihan) pada waktu
transkripsi dalam proses replikasi DNA. Sedangkan pada fluorokuinolon baru,
selain menghambat enzim topoisomerase II juga menghambat enzim
topoisomerase IV yang berfungsi dalam pemisahan DNA baru yang terbentuk
setelah proses replikasi DNA bakteri selesai (Gunawan, 2009).
 Farmakokinetik
Setelah pemberian oral, fluorokuinolon diserap dengan baik
(bioavaibilitasnya 80-95%) dan terdistribusi secara luas dalam cairan tubuh dan
jaringan. Waktu paruhnya dalam serum berkisar dari 3-10 jam. Waktu paruh
levofloksasin, gemifloksasin, gatifloksasin dan moksifloksasin yang relatif
99

lama memungkinkan untuk diberikan dalam dosis sekali sehari. Penyerapan


oralnya diganggu oleh kation divalen, termasuk kation yang terkandung dalam
antasid. Kadar serum obat yang diberikan IV serupa dengan kadar serum obat
yang diberikan per oral. Kebanyakan fluorokuinolon dieliminasi melalui ginjal,
baik melalui sekresi tubulus maupun filtrasi glomerulus. Penyesuaian dosisnya
deiperlukan pada pasien dengan bersihat kreatinin kurang dari 50 ml/menit.
Penyesuaian yang tepat tergantung pada derajat gangguan ginjal dan
fluorokuinolon spesifik yang digunakan. Penyesuaian dosis pada gagal ginjal
tidak diperlukan untuk moksifloksasin. Fluorokuinolon yang dibersihkan di
luar ginjal re;atif dikontraindikasikan pada pasien gagal hati (Chambers, 2010).
 Resistensi
Selama terapi dengan fluorokuinolon, organisme yang resisten
bermunculan sekitar sekali dalam 107-109, khususnya dari stafilokokus,
pseudomonas dan serratia. Resistensi terjadi akibat satu atau lebih mutasi titik
pada daerah ikatan kuinolon di enzim yang menjadi sasaran akibat perubahan
permeabilitas organisme. Resistensi terhadap satu fluorokuinolon, khususnya
resistensi tingkat tinggi, umumnya memeunculkan resistensi silang untuk
anggota lain dalam golongan tersebut (Chambers, 2010).
 Efek Samping
Fluorokuinolon ditoleransi dengan sangat baik. Efek yang paling sering
terjadi adalah mual, muntah, dan diare. Sesekali, timbul nyeri pada kepala,
pusing, insomnia, ruam kulit dan uji fungsi hati yang abnormal (Chambers,
2010)
Fluorokuinolon efektif untuk ISK dengan atau tanpa penyulit termasuk
disebabkan oleh kuman yang multi resisten dan P.aeruginosa. Siprofloksasin,
norfloksasin, ofloksasin dapat mencapai kadar yang cukup tinggi di jaringan
prostat dan dapat digunkan untuk prostatitis bakterial akut maupun kronis.
Efektivitas fluorokuinolon generasi pertama (siprofloksasin, enoksasin,
ofloksasin) untuk infeksi saluran pernafasan bawah cukup baik. Namun perlu
diperhatikan bahwa kuman S. pneumoniae dan S. aureus yang sering menjadi
penyebab infeksi saluran pernafasan bawah kurang peka terhadap golongan ini.
Kuinolon baru (moksifloksasin, gemifloksasin dan levofloksasin) mempunyai
100

daya antibakteri yang cukup baik terhadap kuman gram poitif, gram negatif,
dan kuman atipik penyebab infeksi saluran pernafasan bawah (Gunawan,
2009).
2). Penggunaan Antibiotika
Antibiotika profilaksis adalah antibiotika yang dibrikan kepada penderita
sebelum terkena infeksi, tetapi diduga mempunyai peluang besar terjadinya
infeksi, bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi oleh mikroba yang
diperkirakan dapat timbul pada saat perawatan di ICU.
Antibiotika empiris adalah jenis antibiotika yang sering digunakan
sebelum patogen yang menjadi penyebab suatu penyakit diketahui. Antibiotika
empiris digunakan berdasarkan pengalaman yang didukung data klinik yang
sudah ada. Pemilihan jenis antibiotika diberikan berdasarkan perkiraan
kemungkinana kuman penyebabnya. Ini dapat didasarkan pada pengalaman yang
layak atau berdasarkana pada pola epidemiologi kuman setempat. Pertimbangan
utama dari terapi empiris ini adalah pengobatan infeksi sedini mungkin akan
memperkecil resiko komplikasi atau perkembangan lebih lanjut dari infeksinya
(Katzung, 2016).
Antibiotika definitif adalah terapi antibiotika pada infeksi dengan etiologi
yang sudah diketahui. Spesimen yang diadapatkan diproses melalui kultur
sehingga informasi yang didapat dapat dipercaya mengenai penyebab infeksi.
Terapu ini dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologis yang sudah
pasti, jenis kuman maupun spektrum kepekaannya terhadap antibiotika (Katzung,
2016).
Penggunaan antibiotik disesuaikan dengan pola resistensi kuman di rumah
sakit setempat masing-masing.Pemilihan jenis antibiotik dan cakram (disc
diffusion method) antibiotik yang digunakan di rumah sakit didasarkan pada
Kebijakan/ Pedoman Penggunaan Antibiotik, Pedoman Diagnosis dan Terapi/
Protokol Terapi serta Formularium Rumah Sakit yang disahkan oleh Direktur
Rumah Sakit. Prinsip pemilihan antibiotik meliputi :
 Antibiotik yang disesuaikan dengan pola kuman lokal dan sensitifitas bakteri
 Antibiotik yang bermutu
 Antibiotik yang cost effective
101

Pemberian antibiotik empiris dapat dilakukan pada pasien GBS untuk


terapi pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya. Tujuan
pemberian antibiotik empiris adalah penghambatan pertumbuhan bakteri yang
diduga menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan
mikrobiologi (Depkes, 2011).
Tata laksana suportif memberikan pengaruh yang sangat besar dalam
meningkatkan pemulihan pasien GBS, selain dengan obat-obatan penunjang
adanya perawatan intensif yang lebih baik dan metode ventilasi yang lebih
canggih juga sangat membantu dalam proses penyembuhan pasien GBS. Infeksi,
emboli, sepsis dan gangguan saraf otonom sebagian besar adalah penyebab
terjadinya kematian. Gerakan pasif pada anggota tubuh dan aktif fisioterapi
merupakan tahap akut awal yang tampak menguntungkan meskipun belum teruji
secara uji klinis (Winer, 2014). Dengan perawatan suportif, manifestasi klinis
serta komplikasi dari GBS dapat diatasi serta dipantau dengan manajemen yang
baik.

Anda mungkin juga menyukai