Anda di halaman 1dari 16

PERTANYAAN :

Al Qur'an adalah mukjizat Nabi Muhammad SAW yang berlaku sepanjang


masa. Pilihlah salah satu dimensi kemukjizatan Al Qur'an! Tulislah beberapa
hal yang menjelaskan kemukjizatan Al Qur'an dari sudut pandang yang anda
pilih!

JAWABAN :

Al Qur'an adalah mukjizat Nabi Muhammad SAW yang berlaku


sepanjang masa.

Pengertian "berlaku sepanjang masa" sebagaimana tertulis di atas,


bukanlah pemberlakuannya dimulai dari waktu Al Qur'an diturunkan sampai
berakhirnya jaman, tetapi justru pemberlakuannya dimulai dari waktu yang
jauh sebelum Al Qur'an itu sendiri diturunkan, sebab, sosialisasi turunnya Al
Qur’an telah disampaikan oleh Alloh jauh sebelum diturunkanNya Al Qur’an
itu sendiri, diantaranya melalui kitab-kitab terdahulu seperti Taurot maupun
Injil, dengan memperkenalkan pula Muhammad sebagai Rosul yang
menerimanya, agar menjadi satu kesatuan berita sehingga berkesan : Al
Qur’an identik dengan Muhammad, Muhammad identik dengan Al Qur’an.

Begitulah kiranya Alloh menjadikan Al Qur’an sebagai “Kitab Pilihan”


diturunkan kepada “Nabi Pilihan”, yang justru dengan Al Qur’an itulah
menjadi identitas kerosulan Nabi Muhammad SAW. Beberapa bukti informasi
akan diturunkanNya Al Qur’an maupun kerosulan Muhammad antara lain :
(1) Kitab Perjanjian Lama (taurot) :
- Kitab Ulangan pasal 18, ayat 18 s/d 20 tertulis (lingkaran merah) :
- Kitab Ulangan pasal 34, ayat 10 tertulis (lingkaran merah) :
- Kitab Yesaya pasal 29, ayat 11 s/d 12 tertulis (lingkaran merah) :
(2) Kitab Perjanjian Baru (injil) :
- Kitab Injil Yohanes pasal 16, ayat 7 s/d 14 tertulis (lingkaran merah) :
Dari beberapa contoh tertulis di Al Kitab milik orang Nashrani tersebut
(terlepas dari asli atau palsunya kitab mereka), minimal itu sebagai bukti bagi
mereka sendiri :

- bahwa Nabi Musa AS mengabarkan kepada Bani Isro'il tentang seorang


"nabi terakhir" yang akan datang adalah profilnya sama persis seperti Musa,
misalnya :
- hidup berkeluarga, berisitri, beranak pinak,
(sedangkan Isa tidak demikian).
- pernah berhadapan langsung dengan Alloh, hanya beda tempatnya,
kalau Musa di bukit Thursina, kalau Muhammad di
Sidrotul Muntaha,(sedangkan Isa tidak demikian).
- menerima firman Alloh secara berangsur-angsur,
hanya beda lamanya, kalau Musa selama 40 malam,
kalau Muhammad selama 23 tahun,
(sedangkan Isa tidak demikian).

- bahwa Nabi Isa AS sendiri juga mengabarkan kepada Bani Isro'il tentang
seorang "nabi terakhir", bukanlah dirinya, tetapi orang lain yang berasal dari
saudaranya Bani Isro'il yakni seseorang dari keuturunan Isma'il. Dan beliau
juga mengenalkan nama nabi yang dimaksud tersebut bernama Ahmad,
sebagaimana tertulis di surat As Shoff 6 :
Arti per kalimatnya :
Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata : "Wahai Bani Isro'il,
sesungguhnya aku adalah utusan Alloh untuk kalian, yang membenarkan
bagi apa yang dihadapanku dari (berupa) Taurot, dan yang memberi khabar
gembira dengan (datangnya) seorang Rosul yang akan datang sesudahku,
namanya Ahmad (Muhammad)". Maka keitka dia (rosul Muhammad) datang
kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan (bukti-bukti yang
nyata tentang identitas kerosulannya), mereka berkata : "Ini adalah sihir yang
nyata". (yakni kenyataan yang mengelabui mata, karena tiba-tiba di hadapan
mereka ada seseorang mengaku sebagai Rosul sesudah Isa).

Di surat Asy Syu’aro’ 196 s/d 197 juga tertulis :

Arti per kalimatnya :


Dan sesungguhnya ia (Al Qur'an), benar-benar (tersebut) dalam kitab-kitab
orang-orang terdahulu. Dan apakah tidak (cukup) menjadi bukti bagi mereka
bahwa para ulama Bani Isro'il mengetahuinya (mengetahui Al Qur'an dalam
kitab Taurot dan Injil)?.

Dari keterangan di atas berkesan bahwa ayat-ayat Al Qur'an (atau


dengan kata lain : ajaran Al Qur'an) sudah Alloh berlakukan di jamannya
Taurot, di jamannya Zabur, di jamannya Injil, dan tertulis dalam masing-
masing kitab tersebut, agar di saat turunnya Al Qur'an yang dibawa oleh
seorang Nabi yang bukan dari golongan mereka, diharapkan mereka tetap
mengakuinya bahwa itu firman Tuhan karena yang membawa firman tersebut
adalah seseorang Nabi yang profilnya tercantum dalam kitab mereka
(sebagaimana dinyatakan dalam surat Al A'rof 157), dan karena memang
muatan ayatnya tidak bertentangan dengan ayat-ayat dalam kitab mereka,
bahkan justru ayat-ayat Al Qur'an tersebut membenarkan isi dari kitab-kitab
nabi mereka masing-masing, karena pada hakekatnya Al Qur'an pun
berisikan ayat-ayat yang pernah tampil dalam kitab-kitab mereka
sebagaimana ucapan Rosul berikut ini :

ِ‫أُعِطِ ِيتُ السَِّبعَ الطِِّوَالَ مَكَانَ التَّوِرَاةِ وَ أُعِطِ ِيتُ الْمِئِيِنَ مَكَانَ اإلِِنجِيِل‬

ِ‫ت بـِالْمُفَصَّل‬
ُ ‫وَ أُعِطِ ِيتُ الْمَثـَا ِنيِ مَكَانَ الزَّبُوِرِ َو فُضِِّ ْل‬
Artinya : Aku diberi tujuh surat panjang tempatnya Taurot, dan aku diberi al
Mi’in tempatnya Injil, dan aku diberi Al Matsani tempatnya Zabur, dan aku
diutamakan dengan Al Mufashshol.

Dari hadits tersebut berkesan bahwa ayat-ayat yang pernah Alloh


tampilkan di Taurot, maka Alloh tempatkan di tujuh surat panjang dalam Al
Qur'an yakni dari surat Al Baqoroh s/d At Taubah. Dan ayat-ayat yang pernah
Alloh tampilkan di Injil, maka Alloh tempatkan di surat-surat Al Mi'in dalam Al
Qur'an, yakni surat-surat yang jumlah ayatnya seratusan atau mendekatinya.
Dan ayat-ayat yang pernah Alloh tampilkan di Zabur, maka Alloh tempatkan
di surat-surat Al Matsani dalam Al Qur'an, yakni surat-surat yang jumlah
ayatnya lebih sedikit dari Al Mi'in, dan dinamakan Al Matsani karena
berulang-ulang dibaca dalam sholat. Sedangkan ayat-ayat Al Mufashshol
adalah dimulai dari surat Qoof s/d surat An Naas.

Jadi, pemberlakuan Al Qur'an atau masa berlakunya Al Qur'an itu


dimulai dari sebelum diturunkan, lalu berlanjut pada jaman diturunkan, lalu
berlanjut pada jaman sesudah diturunkan, lalu berlanjut pada jaman
sekarang sampai di akhir jaman.
Salah satu dimensi kemukjizatan Al Qur'an adalah dari segi bahasanya.

Jika ada orang mengatakan bahwa Al Qur'an itu berbahasa Arab


karena tulisannya memakai huruf Arab, maka bagi orang Arab sendiri
pastinya tidak asing dengan Al Qur'an dikarenakan seperti bahasa
keseharian mereka, oleh karena itu orang Arab (maaf saya menyebut etnis)
pasti lebih paham tentang Al Qur'an dari pada kita yang bukan orang Arab.

Pendapat di atas menurut persepsi saya adalah kurang tepat, memang


Al Qur'an itu bertuliskan huruf Arab, tapi susunan huruf-huruf dalam
kalimatnya yang terangkai menjadi suatu ayat sehingga ketika dibaca
menghasilkan irama yang intonasinya bisa menggetarkan (menyentuh hati)
bagi yang mendengarnya, itulah ciri khas gaya bahasa (Ushlub) Al Qur'an,
yang oleh orang Arab sendiri yang pernah "mendengar pertama kali" bacaan
Al Qur'an di saat turunnya pada jaman Rosul di Makkah, mereka (orang
Arab) "merasa asing" dengan gaya bahasa Arabnya versi Al Qur'an,
sehingga membuat mereka penasaran bahkan ketagihan ingin terus menerus
mendengar bacaan Al Qur'an karena sangat menyentuh bagi mereka

Pada jaman Nabi Muhammad SAW di Makkah, setiap kali beliau di


rumah sendiri pada akhir malam melantunkan ayat-ayat Al Qur'an, ada tiga
orang (Abu sufyan bin Harb, Abu Jahl bin Hisyam, Akhnas bin Shoriq)
masing-masing mengendap-endap untuk mencuri dengar tentang bacaan
ayat-ayat tersebut dari sisi dinding rumah yang berbeda, mereka lalukan itu di
setiap malam sampai menjelang fajar agar tidak ketahuan sesama mereka
bertiga sendiri, dan pada akhirnya mereka bertiga mengakui bahwa apa yang
dilantunkan beliau adalah rangkaian kata-kata yang belum mereka dengar
semisalnya karena sangat menyentuh dalam hati mereka.
Sehingga mereka bertiga menyebarkan kepada khalayak umum
masyarakat Makkah tentang apapun yang telah didengar dari bacaan
tersebut, maka sampailah berita itu ke telinga Walid bin Mughiroh (seorang
yang cukup bergengsi di kalangan para petinggi suku Quraisy Makkah) yang
padahal Walid bin Mughiroh sendiri sudah mengenal sosok kepribadian
maupun intelektualitas seorang Muhammad yang sedang jadi bahan
pembicaraan masyarakat Makkah pada waktu itu.

Walid bin Mughiroh sendiri juga termasuk dedengkot petinggi Quraisy


Makkah yang paling benci kepada Muhammad, tapi ketika ada pertemuan
para petinggi bangsa Arab dari berbagai suku dan kabilah yang
pertemuannya waktu itu diadakan di Makkah, di saat para utusan dari luar
Makkah bertanya kepada Walid bin Mughiroh tentang siapakah sosok
Muhammad itu?, anehnya justru ketika dimintai pendapat tentang sosok
Muhammad, jawabannya sangat obyektif padahal dia paling benci kepada
Muhammad.

Dalam kitab Shiroh Nabawiyah karangan Ibnu Hisyam, halaman 270


dijelaskan rekaman dialog dalam pertemuan tersebut :

Para utusan bertanya : "Berikan pendapat anda tentang dia (Muhammad)".


Walid bin Mughiroh berkata : "Tidak, lebih baik anda bicara
dan saya mendengar".
Para utusan berkata : "dia tidak lebih seorang peramal".
Walid bin Mughiroh menjawab : "Demi Tuhan, dia bukan itu, dia bukannya
seorang yang pandai membuat irama pantun, seperti juru ramal".
Para utusan berkata : "Kalau demikian halnya,
dia terpengaruh oleh seorang peramal".
Walid bin Mughiroh menjawab : "Bukan, dia bukan seperti itu,
kami melihat sendiri tidak ada gerak-gerik tak karuan
maupun jampi-jampi, seperti juru ramal".
Para utusan berkata : " Jika demikian, dia seorang penyair".
Walid bin Mughiroh menjawab : "Bukan, dia bukan itu,
kami mengerti semua syair dan permasalahannya".
Para utusan berkata : "Jika demikian halnya, dia mungkin tukang sihir".
Walid bin Mughiroh menjawab : "Bukan, kami telah melihat tukang sihir dan
hasil kerjanya, sedangkan di Makkah sini dia tidak pernah
meludah-ludah seperti juru sihir dan mengikat-ikat tali buhul".
Para utusan berkata : "Jika demikian,
lantas apa yang hendak kita berikan sebutan untuk dia?".
Walid bin Mughiroh menjawab : "Demi Tuhan, kata-katanya indah,
akarnya seperti pohon kurma yang dalamnya sangat berguna,
dan semua apapun yang anda tuduhkan tadi kepadanya
maka pendapat anda akan dianggap sebagai cerita palsu,
kalau menurutku yang mungkin mendekati kebenaran adalah dia itu
seorang sahiir (yang selalu terjaga di malam hari) sebagai pembawa
risalah (ajaran) yang memisahkan seseorang dari ayahnya,
saudaranya, ataupun dari istri dan keluarganya".

Terlepas dari dialog tersebut, ternyata dalam kenyataan sejarah, anaknya


Walid bin Mughiroh yang bernama Kholid, akhirnya masuk Islam dan berbalik
sikap memusuhi bapaknya sendiri yang masih kafir dikarenakan bapaknya
tetap bersikap memusuhi Muhammad, bahkan dari sepak terjangnya di
berbagai medan peperangan membela Islam, Kholid bin Walid dijuluki
seorang Saifulloh (Pedang Alloh) yakni sosok panglima perang yang paling
ditakuti oleh para petinggi Qurasiy Makkah, yang padahal dahulunya sebelum
masuk Islam adalah sosok panglima perang yang paling diandalkan oleh
para petinggi Qurasiy Makkah,
terbukti keberhasilannya mengalahkan tentara Islam pada perang Uhud,
maka sepeninggal Kholid bin Walid dari Makkah untuk berpihak kepada Islam
di Madinah, maka tidak ada lagi yang perlu dibanggakan dari tentara kafir
Quraisy Makkah untuk bertarung melawan tentara Islam yang ada Kholid bin
Walidnya tersebut.

Jadi, seorang petinggi Qurasiy Makkah sekaliber Walid bin Mughiroh


pun mengakui bahwa apa yang dibacakan oleh Rosul (berupa ayat-ayat Al
Qur'an tersebut) bukanlah rangkaian kata-kata dalam kalimat bahasa Arab
biasa, tetapi lebih kepada kata-kata ajaib yang mengandung mukjizat, karena
hanya dengan mendengarnya saja, sudah cukup membuat orang tersentuh,
apalagi jika membacanya maka dengan melihat tulisannya, menjadikan si
pembaca lebih terasa dalam sentuhannya, sehingga timbul kesadaran bahwa
begitu dalamnya kandungan Al Qur'an yang penuh dengan isyarat huruf-
hurufnya, intonasi kalimat-kalimatnya yang menakjubkan.

Pengertian mendasar tentang mukjizat adalah sesuatu yang luar biasa,


alias di luar kebiasaan. Begitu pula orang Arab yang terbiasa berbahasa Arab
ternyata merasa bahwa gaya bahasa (Ushlub) Al Qur'an adalah di luar
kebiasaan kaidah bahasa Arab itu sendiri. Misalnya :

ada rangkaian kalimat dalam bahasa Arab seperti ini :

artinya : tetapi bahkan Alloh telah melaknat mereka dengan sebab kekafiran
mereka, maka orang-orang yang beriman dari mereka sedikit sekali.
Kalimat tulisan Arab yang digaris bawahi tersebut adalah gaya bahasa Arab
umum sebagaimana kaidahnya yakni kebiasaan orang Arab menyusun kata-
katanya seperti itu, tetapi Al Qur'an punya gaya bahasa tersendiri yakni di
luar kebiasaan mereka, maka menjadi seperti ini dalam surat Al Baqoroh 88 :

arti yang digaris bawahi : maka sedikit sekali mereka beriman.

atau menjadi seperti ini di dalam surat An Nisa' 46 :

arti yang digaris bawahi : maka mereka tidak beriman kecuali sedikit.

Susunan kata-kata lafad QOLIILAN di Al Baqoroh (tertulis di tengah


kalimat agar berakhiran bacaan Mad 'Aridh Lissukun) dan di An Nisa' (tertulis
di akhir kalimat agar berakhiran bacaan Mad 'iwadh) itulah menjadi ciri khas
gaya bahasa Al Qur'an yang (sebelum turunnya Al Qur'an) tidak dimiliki oleh
para sastrawan bahasa Arab dari kalangan Quraisy waktu itu yang mereka
hanya bisa memakai lafad JIDDAN, sedangkan Al Qur'an memakai lafad
MAA, begitu pula mereka bisanya pakai lafad MU'MINUUNA, sedangkan Al
Qur'an memakai lafad YU'MINUUNA.
Contoh lain tentang gaya bahasa (Ushlub) Al Qur'an yang di luar
kebiasaan gaya bahasa Arab pada umumnya, sehingga sekilas nampak
salah menurut kaidah bahasa Arab, padahal justru benar jika dibaca dengan
kaidah bahasa Al Qur'an yang sarat akan nilai seni dan sastra sehingga
intonasi bacaannya menimbulkan getaran yang menyentuh, misalnya di surat
Al Baqoroh 49 :

menurut gaya bahasa Arab, susunan tersebut adalah salah, karena jika
diartikan berurutan dari kanan ke kiri : "dan di dalam yang demikian itu,
cobaan dari Tuhan kalian yang besar".

titik kesalahannya ada pada lafad 'AZHIIMUN tidak diletakkan berdekatan


dengan lafad BALAA'UN sehingga rancu pemahamannya seakan-akan lafad
'AZHIIMUN itu statusnya adalah sifat bagi Tuhan kalian, bukan sifat bagi
cobaan,

menurut gaya bahasa Arab, jika lafad 'AZHIIMUN itu statusnya adalah sifat
bagi cobaan, maka harusnya susunannya seperti ini :

karena menurut gaya bahasa Arab, jika lafad 'AZHIIMUN setatusnya sebagai
sifat dari lafad BALAA'UN, maka lafad 'AZHIIMUN itu tulisannya harus
diletakkan berdekatan dengan lafad BALAA'UN, sehingga jika diartikan
berurutan dari kanan ke kiri adalah tepat pemahamannya : "dan di dalam
yang demikian itu, cobaan yang besar dari Tuhan kalian".
Ternyata gaya bahasa Al Qur'an tidak mengikuti gaya bahasa Arab
pada umumnya dalam kasus surat Al Baqoroh 49 tersebut, meskipun Al
Qur'an sendiri bermaksud bahwa lafad 'AZHIIMUN statusnya memang sifat
dari lafad BALAA'UN, dan memang "sengaja" lafad 'AZHIIMUN dijauhkan
dari lafad BALAA'UN, karena jika didekatkan berurutan justru
pemahamannya tidak mencerminkan muatan ajaran Al Qur'an. Mari kita
bandingkan tulisannya beserta perbedaan pemahamannya :

jika seperti itu susunannya maka akhiran bacaannya adalah lafad


ROBBIKUM, dan jika lafad ROBBIKUM ada di akhir ucapan maka perhatian
si pembaca dan si pendengar adalah ucapan terakhir firman Alloh tersebut,
seakan-akan berkesan bahwa Alloh Tuhan kalian adalah "sosok" yang kejam
seperti manusia, yakni Pengadzab, Penyiksa, maka hal itu bertentangan
dengan ajaran Al Qur'an yang padahal ajarannya bermuatan tentang aqidah
yakni mengenalkan kepada manusia bahwa Tuhan Alloh itu Maha Suci dari
sifat-sifat manusiawi.

jika seperti itu susunannya maka akhiran bacaannya adalah lafad


'AZHIIMUN, dan jika lafad 'AZHIIMUN ada di akhir ucapan maka perhatian si
pembaca dan si pendengar adalah ucapan terakhir firman Alloh tersebut,
yang justru mengandung metode "iltifat" mengalihkan perhatian agar kita
tidak melihat kepada Alloh nya (sebagai pelaku pemberi cobaan), tapi
perhatian kita justru kepada objeknya yakni besarnya cobaan yang alaminya.
Jadi, kesimpulannya adalah susunan kata-kata di Al Qur'an yang
menjadi ciri khas Ushlub gaya bahasa tersendiri tidak sama dengan gaya
bahasa Arab pada umumnya itulah justru bentuk mukjizatnya, dikarenakan di
setiap peletakan lafad-lafadnya tersebut mengandung isyarat bermuatan
ajaran yang akan disampaikan Al Qur'an kepada kita, dan ketika dibaca pun
pasti menimbulkan irama tersendiri intonasinya yang jika terdengar
bacaannya oleh telinga bisa menyentuh sampai ke hati si pendengarnya,
bahkan yang lebih terbuktikan mukjizatnya adalah banyaknya orang-orang
yang "hafal" keseluruhan ayat-ayat Al Qur'an, ini berkesan bahwa kata-kata
yang ada dalam Al Qur'an merupakan kata-kata ajaib yang terpelihara dalam
hatinya hamba-hamba Alloh.

Mari kita bandingkan dengan Al Kitab Injil milik umat Kristen jaman
sekarang, yang telah diterjemahkan ke dalam ribuan bahasa, dipasarkan di
mana-mana ternyata laris manis banyak orang yang membeli, tapi sedikit
orang yang membaca, apalagi menghafalnya?, terbukti pada tanggal 26
Januari 1997, harian The Sunday Times menulis hasil penelitian dari jejak
pendapat dari dua ratus ribu anggota pastor Kristen Anglican Inggris,
mengungkapkan bahwa dua pertiga dari pendeta wakil Paus Inggris tidak
dapat mengungkapkan kandungan ayat Sepuluh Perintah Tuhan, dan
memang demikian adanya karena dahulu pada abad keempat masehi,
ordinasi seorang diakonia atau kepastoran menghendaki bahwa seorang
calon pastor itu diharuskan menghapal beberapa bagian dari Injil, meskipun
persyaratan itu berbeda antara satu uskup dengan uskup lainnya. Beberapa
dari mereka ada yang ngotot hanya menghafal Injil Yohanes saja, sedangkan
yang lainnya ada yang juga ngotot menghafal Surat-Surat Paulus saja,
intinya para ulama mereka keberatan jika harus menghafal seluruh ayat dari
Al Kitab Injil tersebut dikarenakan selalu kesulitan, di sisi lain bandingkan
dengan anak-anak muslim yang tidak harus menjadi seorang ulama dulu
untuk bisa hafal Qur'an.

Anda mungkin juga menyukai