Anda di halaman 1dari 10

RESUME 4

LANDASAN ILMU PENDIDIKAN

KEBUDAYAAN DAN KEPRIBADIAN

Oleh :

Marla Ma’firah

20176009

Dosen Pengampu Mata Kuliah :

Prof. Dr. Elizar, M.pd

Dr. Yerimadesi, S.Pd., M.Si

PROGRAM STUDI PASCASARJANA

PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2021
A. Konsep Pendidikan
Banyak orang tidak membedakan antara konsep pendidikan dan pengajaran. Keduanya
dianggap sama saja. Kerancuan juga terjadi dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Karenanya konsep pendidikan dan pengajaran telah
menimbulkan salah paham dalam praktik. Konsep pendidikan terkait erat dengan
istilah pedagogiek yang berarti ilmu pendidikan. Secara filosofis, pendidikan dapat
dipandang sebagai proses memanusiakan manusia lewat pembudayaan atau proses
hominisasi dan humanisasi. Secara psikologis, pendidikan adalah proses pendewasaan
anak muda oleh orang dewasa yang susila.
Pendidikan merupakan suatu proses penyesuaian diri secara timbal balik (memberi
dan menerima pengetahuan) dan dengan penyesuaian diri ini akan menjadi perubahan-
perubahan pada diri manusia lalu potensi pembawaanya (kekuatan, bakat,
kesanggupan, minat) tumbuh dan berkembang sehingga terbentuklah berbagai macam
abilitas dan kapabilitas sesuai dengan konsep pendidikan. Pendidikan juga bisa
diartikan sebagai proses dan hasil. Proses yang dimaksud disini adalah sebagai suatu
aktivitas interaksi antara manusia dengan lingkunganya. Sedangkan sebagai hasilnya
yaitu pendidikan merupakan hasil interaksi antara manusia dengan lingkunganya,
yakni berupa perilaku hidup sehari-hari.
Definisi sempit, yaitu pendidikan adalah sekolah. Pendidikan adalah pengajaran
yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan
adalah segala pengaruh yang diupayakan sekolah terhadap anak dan remaja yang
diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran
penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosial mereka. Sementara itu,
definisi luas terbatas, yaitu pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh
keluarga, masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan
atau latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk
mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai
lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang.
B. Tujuan Pendidikan di Indonesia
Tujuan pendidikan yang berlaku pada masa Orde Lama berbeda dengan tujuan
pendidikan pada masa Orde Baru. Sejak Orde Baru hingga sekarang, rumusan
mengenai tujuan pendidikan selalu mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan
pembangunan dan perkembangan kehidupan masyarakat dan negara Indonesia dalam
konsep pendidikan.
Tujuan pendidikan dalam sistem pendidikan nasional termuat dalam UU sisdiknas,
yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggungjawab.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
menjelaskan bahwa fungsi dan tujuan dari pendidikan nasional dituangkan di dalam
pasal 3 yang mengatakan bahwa:“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
C. Pandangan Teori-teori Kebudayaan terhadap Pendidikan
1. Pandangan Superorganis
Pandangan superorganis mempunyai implikasi terhadap pendidikan. Yang
pertama, adalah bahwa pendidikan ialah sebuah proses melalui mana kebudayaan
mengotrol orang dan membentuknya sesuai denngan tujuan kebudayaan. Untuk
jelasnya, kebijakan pendidikan ditentukan oleh individu-individu, tetapi individu-
individu hanya alat melalui mana kekuatan-kekuatan budaya mencapai tujuannya. Bila
para pendidik memilih, kebudayaan memilih melalui mereka. Pandangan superorganis
juga berimplikasi pada pengawasan pendidikan yang ketat dari pemerintah untuk
menjamin bahwa guru-guru menanamkan dalam diri generasi muda gagasan-gagasan,
sikap-sikap, dan keterampilan-keterampilan yang perlu bagi kelanjutan kebudayaan.
2. Pandangan Konseptualis
Para pengikut konseptualis setuju dengan pandangan bahwa anak-anak harus
mempelajari warisan budaya sesuai dengan perhatiannya. Anak-anak harus
membangun gambaran sendiri tentang kebudayaan berdasarkan pengalamannya
sendiri asal dia mengetes pengalaman belajar dengan pengalaman belajar orang lain
dan asal saja dia mencapai suatu gambaran yang objektif tentang kebudayaan.
Pendidikan dapat menjadi alat dalam pembaruan sosial. Tidak disangsikan, tidak
ada kaum konseptualis yang mengharapkan sekolah sebagai alat untuk perubahan
sosial. Namun demikian, banyak kaum konseptualis akan setuju, bahwa walaupun
sekolah mungkin tidak sanggup merubah kebudayaan, tetapi sekolah yang paling
kurang dapat berbuat banyak untuk menciptakan opini yang kondusif bagi perubahan,
sebuah iklim yang perlu jika individu-individu yang inovatif harus mendapat pengikut-
pengikut dan dengan demikian mengerakkan pola baru dan permanen.
3. Pandangan Realistis
Pandangan budaya realis terhadap pendidikan lebih dekat dengan pandangan
aliran-aliran pemikiran pendidikan yang terpercaya kepada pemyesuaian anak-anak
terhadap realita objektif, baik alamiah maupun budaya, dengan menanamkan
pengetahuan, nilai-nilai, dan ketrampilan-ketrampilan tertentu yang telah dipilih oleh
kebudayaan. Pandangan golongan ini lebih berempati dibandingkan dengan kaum
konseptualis, kaum realis menginginkan sistem pendidikan yang akan melatih individu
untuk menimbang dan merubah kebudayaan mereka berdasarkan nilai-nilai dasar
mereka.
Banyak pendidik tradisional untuk mencapai tujuan ini dengan mendidik generasi
muda tentang apa yang dianggap kebenaran dan nilai yang permanen, dengan
mengunakan nilai-nilai yang ini generasi muda dapat mengatakan perubahan sosial apa
yang harus mereka bantu, hindari atau gerakkan. Golongan tradisional lain
menganjurkan pendidikan ilmiah yang pokok, yang berguna bagi orang-orang muda
jika mereka harus memilih tujuan-tujuan yang diizinkan oleh kebudayaan yang ada,
dan jika mereka akan menggunakan hukum-hukum kebudayaan yang diketahui mereka
untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Perubahan tersebut mesti dibimbing oleh
asumsi-asumsi dasar kebudayaan itu.
D. Relativisme Budaya
Relativisme budaya adalah pandangan yang menyatakan bahwa semua keyakinan,
adat istiadat, dan etika bersifat relatif bagi setiap orang, tergantung konteks sosialnya
sendiri. Relativisme budaya menganggap bahwa pada dasarnya tidak ada sesuatu yang
benar-benar salah, sehingga pada dasarnya tidak ada sesuatu yang benar-benar baik,
pada setiap budaya. Hal ini karena tidak ada suatu ukuran yang yang paling tepat yang
dapat digunakan untuk menilai tinggi rendahnya kebudayaan-kebudayaan yang ada,
sehingga apa yang paling bijaksana adalah mengaitkan atau memakai ukuran-ukuran
nilai yang hidup di masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian apa yang
dianggap baik oleh suatu masyarakat jangan secara apriori diasumsikan akan dianggap
baik pula oleh masyarakat lain.
E. Implementasi Kebudayaan dalam Pendidikan
• Adanya perbedaan kurikulum
Contohnya perbedaan kurikulum ini terdapat pada muatan lokal untuk peserta
didik banyuwangi mendapat kurikulum muatan lokal bahasa using, beda halnya
dengan peserta didik di bali tentunya mendapat muatan lokal yang berbeda pula.
• Adanya perbedaan Standart Penilaian dan evaluasi yang berbeda pada peserta
didik
Yaitu implikasi budaya membuat adanya perbedaan pada evaluasi setiap peserta
didik karena kurikulum yang berbeda dalam hal evaluasi juga.
• Adanya pembatasan terhadap muatan pendidikan
Ada muatan kurikulum atau ekstra di negara-negara barat atau erpa yang tidak
relevan dengan kebudayaan indonesia , sehingga itu atau tidak jarang dipakai. Contoh
ekstra tinju dan sepak bola untuk wanita.
F. Manusia sebagai Makhluk dan Pencipta Kebudayaan
Manusia sebagai makhluk yang berbudaya tidak lain adalah makhluk yang
senantiasa mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagiaan, karena
yang membahagiakan hidup manusia itu hakikatnya sesuatu yang baik, benar dan adil,
maka hanya manusia yang selalu berusaha menciptakan kebaikan, kebenaran dan
keadilan sajalah yang berhak menyandang gelar manusia berbudaya. Hakikat manusia
sebagai makhluk yang berbudaya adalah:
• Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna jika dibandingkan
makhluk lain
• Manusia memiliki cipta/ akal, rasa/ perasaan, dan karsa/ kehendak
• Hal tersebut merupakan faktor dominan lahirnya kebudayaan
Manusia adalah pencipta kebudayaan. Maka dari itu, kebudayaan merupakan salah
satu yang tidak akan lepas dari kehidupan manusia. Pada dasarnya kebudayaan tercipta
dari kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara turun temurun dari satu generasi ke
generasi lain tanpa adanya perubahan yang kemudian disebut dengan superorganic.
Manusia merupakan makhluk yang berbudaya, melalui akalnya manusia dapat
mengembangkan kebudayaan. Begitu pula manusia hidup dan tergantung pada
kebudayaan sebagai hasil ciptaannya. Kebudayaan juga memberikan aturan bagi
manusia dalam mengolah lingkungan dengan teknologi hasil ciptaannya. Kebudayaan
mempunyai fungsi yang besar bagi manusia dan masyarakat untuk menaklukan
berbagai macam kekuatan yang harus di hadapi manusia dan masyarakat seperti
kekuatan alam dan kekuatan lain. Selain itu manusia dan masyarakat memerlukan
kepuasan baik secara spiritual maupun materil.
G. Beberapa pendekatan Tradisional terhadap kajian Kebudayaan dan
Kepribadian
• Pendekatan Konfigurasi
Pendekatan ini berusaha mengkorelasikan tipe kepribadian dasar sebuah
kebudayaan dengan konfigurasi pokoknya. Pendukung utamanya adalah R. Benedict
dan Margaret Mead. Benedict mengatakan bahwa konfigurasi dasar sebuah
kebudayaan dapat dikorelasikan dengan tipe kepribadian tertentu yang karena itu
mempengaruhi pengambilan, pertumbuhan, dan perobahan banyak elemen yang
berbeda dalam suatu kebudayaan. Sedangkan Ruth Benedict mendalilkan satu
kepribadian untuk tiap kebudayaan. sebaliknya Margaret Mead menemukan beberapa
tipe kepribadian.
• Pendekatan Rata-Rata
Abram Kardiner, menganggap bahwa kepribadian dasar bukan sebagai type
psikologis yang dicocokkan dengan nilai-nilai dominan kebudayaan melainkan
dibangun diatas disposisi bawah sadar tertentu (terhadap orang tua terutama) yang
dibentuk oleh institusi pertama kebudayaan seperti cara pengasuhan anak dan
organisasi keluarga.
Ralph Linton telah mengatakan bahwa kepribadian dasar yang dihasilkan
kebudayaan mungkin dirobah oleh status dan peran yang dimiliki seseorang setelah
jadi dewasa. Status-status dan peran ini mungkin akan menghasilkan sub-type atau
varian dari karakteristik kepribadian dasar. Dengan demikian, masing-masing orang
akan mempunyai “kepribadian dasar” yang terdiri dari budaya universal yang dipelajari
ketika kecil dan sejumlah “kepribadian status” yang cocok dengan peran-peran apa
yang dimainkannya.
• Pendekatan Sosialisasi
Dalam buku The Lonely Crowd, D. Reisman meneliti konsekuensi sosial dan
psikologi peralihan masyarakat industri awal ke masyarakat makmur–konsekuensi-
konsekuensi yang terlihat sangat jelas dalam pola kehidupan kelas menengah kota
Amerika. Dalam masyarakat makmur, katanya, orang tua lebih permisif dan melakukan
sedikit kontrol langsung terhadap anak-anak mereka. Karena itu anak-anakcenderung
untuk tidak menginternalisasikan nilai-nilai orang tuanya secara kuat melainkan
mengambil standar-standar dari teman sebayanya. Dia bertumbuh menjadi orang
dewasa yang tidak memiliki akar prinsip-prinsip moral yang kuat dan menghargai
secara kurang atau lebih lengkap adat istiadat kelompoknya.
H. Kritik terhadap Pendekatan Tradisional
Pendekatan tradisional menyampingkan kemungkinan bahwa orang mungkin
menyesuaikan diri dengan pola budaya yang merupakan bukti yang cukup untuk
adanya struktur karakter di dalamnya, tanpa perlu memiliki karakter yang telah
disediakan bagi mereka. Masyarakat tidak perlu memaksa tipe kepribadian yang
dibutuhkannya. Selain itu, sangat sukar untuk melihat bagaimana dalam satu
masyarakat modern yang kompleks dengan begitu banyak variabel yang harus diukur
kepribadian dasar yang demikian akan pernah dapat terbentuk.
Pendekatan tradisional juga menyampingkan batas sejauh mana kebudayaan
memungkinkan individu mengembangkan potensi uniknya. Dengan menekankan hal-
hal yang negatif dan aspek-aspek yang membatasi kebudayaan, pendekatan-
pendekatan diatas kurang memperhatikan kesempatan-kesempatan yang ditawarkan
bagi pemenuhan kepuasan pribadi yang bersifat kreatif. Pendekatan tradisional juga
menyampingkan konteks sosial, yaitu tuntutan berbagai peran dan situasi
mempengaruhi perilaku seorang individu. Misalnya seorang guru cenderung untuk
melakukan ciri-ciri profesinya. Bahkan guru juga juga dipengaruhi oleh kelas-kelas
yang mereka ajar.
I. Pendekatan-pendekatan yang lebih baru
• Menurut Devereux
Devereux mengemukakan bahwa kegiatan tertentu, seperti bepergian ke gereja
tidak perlu hanya memuaskan satu atau sebuah motif budaya yang telah ditanamkan,
aktivitas tersebut mungkin memuaskan serangkaian motif-motif subjektif. Contohnya,
Seorang guru yang mungkin melatih siswa berenang sesudah jam sekorah tidak hanya
karena ia tahu bahwa semacam kegitan extra kurikuler, tetapi juga karena ia menikmati
suasana santai bersama siswanya, ataupun karena dia tidak mau pulang, karena hal
tersebut akan mengingatkannya ke masa remajanya, atau banyak alasan lain.
• Menurut A.F. Wallace
Teori Wallace ini penting, karena mempunyai implikasi suatu pandangan yang
lebih memikirkan kemerdekaan manusia, bukan seperti pandangan golongan
tradisional. Teori Wallace memandang individu lebih sedikit terikat kepada motif-
motif yang dibentuk kebudayaan sehingga lebih mampu untuk mengambil keputusan
yang rasional.
• Menurut Gordon Allport
Allport menyatakan bahwa terdapat tiga tahap dalam pengambilan norma-norma
atau model dari kebudayaan seseorang, yaitu: (1) pengambilan model budaya, (2)
reaksi terhadap model, (3) pemasukan dari model yang sudah dirobah sebagai
penyesuaian pertama kepribadian yang matang.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. (2007). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta


Alam, B. (2006). Antropologi dan Civil Society: Pendekatan Teori Kebudayaan.
Antropologi Indonesia, 30(2), 193–200. https://doi.org/10.7454/ai.v30i2.356 4
Manan, I. (1989). Teori – Teori Kebudayaan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek
Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Rafael Raga Maran, Manusia&Kebudayaan Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 29.
Septiarti, S.W, dkk.2017. Sosiologi dan Antropologi Pendidikan. Yogyakarta : UNY
Press.
Siregar, M.2008. Antropologi Budaya. Padang :Universitas Negeri Padang.
Sumadi Suryabrata . (1983) . Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali Press.
Tilaar . H.A.R. (1992). Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia.
Bandung : Rosda Karya

Anda mungkin juga menyukai